Rahasia Mokau Kauwcu Jilid 12

 
Jilid-12

Yap Kay tidak bisa menyangkal, katanya dengan tertawa getir: "Bukan hanya sehari aku mengenalnya, dia memang gadis yang baik, terhadap aku, diapun kelewat baik."

"Memangnya aku tidak baik terhadapmu?"

Yap Kay diam saja, dengan menggendong tangan dia berjalan mondar-mandir.

Tiba-tiba didengarnya suara aneh seperti sempritan yang terbuat dari tembaga kumandang di tengah udara.

Seekor burung dara terbang mendatangi dari kejauhan, hinggap di wuwungan rumah seberang, bulunya hitam legam, kelihatannya seperti burung elang.

Belum pernah Yap Kay melihat burung dara seperti ini, tak tahan dia menghentikan langkahnya, sesaat mengamati dengan seksama. Waktu dia menoleh pula, baru dilihatnya sorot mata Siangkwan Siau-sian bersinar terang.

Tiba-tiba Siangkwan Siau-sian keluarkan sebuah sempritan kecil dari kantong bajunya lalu ditiupnya sekali. Aneh sekali, burung dara itu segera terbang masuk hinggap di atas telapak tangannya, cakarnya seperti baja, paruhnya seperti tombak, biji matanya merah berkilat-kilat, kelihatannya mirip benar dengan garuda yang gagah dan garang. Burung piaraan siapakah?

Lapat-lapat Yap Kay merasakan majikan dari burung dara itu tentu seorang yang menakutkan pula.

Pada kaki kanan burung dara terikat sebuah bumbung besi, Siangkwan Siau-sian segera mengambilnya, dari dalamnya dia melolos keluar secarik kertas yang penuh bertuliskan huruf-huruf kecil. Siangkwan Siau-sian mendekati lampu lalu membacanya dengan seksama berulang kali. Begitu asyik dia baca surat sungguh  besar perhatiannya pada apa yang tertulis dalam surat itu sehingga kehadiran Yap Kay pun seperti sudah dilupakan.

Yap Kay malah mengawasinya, cahaya lampu menyinari muka orang, muka orang yang semu merah, berubah pucat, sikapnya serius dan tegang seperti tertekan perasaannya. Dalam sekejap ini seakan-akan ia menjadi orang lain, menjadi Siangkwan Kim-hong. Agaknya surat itu amat rahasia, sangat penting.

Yap Kay tidak ingin mencari tahu rahasia orang lain, namun burung dara itu tengah mengawasi dirinya dengan pandangan tajam waspada. Waktu dia mendekat mengulur tangan hendak mengelus bulunya, tiba-tiba burung dara itu pentang sayap sambil mematuk tangannya.

Yap Kay menghela napas, katanya mengguman: "Burung dara segalak ini, jarang di dapat di kolong langit ini."

Siangkwan Siau-sian tiba-tiba angkat kepala dengan tertawa, katanya: "Burung dara jenis seperti ini memang jarang didapat, menurut apa yang ku tahu, di kolong langit ini hanya ada seekor saja. Memang untuk memelihara burung dara ini amat sukar, orang yang mampu dan kuat memeliharanya dalam dunia ini takkan lebih dari 3 orang."

"Kenapa?", tanya Yap Kay heran.

"Tahukah kau makanan apa yang biasa dimakan burung dara ini?", tanya Siangkwan Siau-sian.

Yap Kay geleng-geleng tidak mengerti.

"Memang aku tahu, kau pasti tidak akan menduganya."

Yap Kay tertawa dipaksakan, ujarnya: "Yang dimakan memangnya daging manusia?"

Siangkwan Siau-sian tertawa, tanpa menjawab dia malah tepuk tangan seraya berseru: "Siau-cui!"

Seorang nona cilik yang tertawa manis dengan lesung pipit yang elok berlari keluar sembari mengiyakan.

"Mana pisaumu?", tanya Siangkwan Siau-sian.

Siau-cui segera merogoh keluar sebuah pisau melengkung, gagangnya dihiasi jamrut kecil-kecil.

"Bagus! Sekarang kau boleh menyuapi dia makan." Siangkwan Siau-sian memberi aba-aba. Siau-cui segera membuka baju, dari badannya dia mengiris sekerat kulit dagingnya dengan pisau melengkung itu. Saking kesakitan, muka menjadi pucat dan keringat dingin gemerobyos, namun dia masih unjuk senyuman manis.

Burung dara itu segera terbang menyamber daging itu dengan paruhnya, terus terbang keluar jendela.

Yap Kay terbelalak, serunya: "Makanannya benar-benar daging manusia?"

"Bukan saja daging manusia, malah harus daging segar yang baru diiris dari badan seorang gadis cantik."

Yap Kay jadi mual dan perutnya seperti dipelintir saking jijik dan ngeri.

"Tahukah kau darimana datangnya burung dara ini?", tanya Siangkwan Siau-sian, lanjutnya: "Dia terbang dari tempat yang ribuan li jauhnya, malah membawa berita yang amat penting, umpama dagingku sendiri yang harus diiris untuk makanannya, akupun rela."

"Berita apa yang dibawanya?" "Berita dari Mo Kau!"

"Jadi majikan burung dara ini adalah Mo Kau Kaucu?"

"Bukan Kaucu, namun seorang Kongcu (tuan putri), Kongcu yang cantik sekali."

"Bagaimana dia bisa saling berhubungan dengan kau?" "Karena diapun manusia, asal manusia, aku pasti punya

cara untuk membeli hatinya," ujar Siangkwan Siau-sian menghela napas, "mungkin hanya kau saja yang terkecuali." "Apa dia berani menjual rahasia Mo Kau kepadamu?", tanya Yap Kay.

Siangkwan Siau-sian menghela napas, ujarnya: "Sayang sedikit sekali rahasia yang dia ketahui."

"Apa saja yang dia ketahui?"

"Dia hanya tahu, tiga di antara Su-thoa-thian-ong Mo  Kau kini sudah berada di Tiang-an, namun dia tidak tahu samaran apa yang mereka pakai di sana."

"Diapun tidak tahu nama dari ketiga orang ini?"

"Tahupun tiada gunanya, siapapun setelah masuk anggota Mo Kau, seluruh jiwa raga dan harta benda miliknya harus dia persembahkan untuk Mo Kau, jangan hanya nama belaka, tak berguna lagi."

"Maka dia hanya tahu nama-nama yang mereka pakai di dalam Mo Kau."

Siangkwan Siau-sian manggut-manggut, ujarnya: "Nama- nama Su-thoa-thian-ong dari Mo Kau semuanya aneh-aneh. Yang pertama bernama Sialpu, kedua bernama Tolka, ketiga bernama Putala, ke empat bernama Panjapana. Nama-nama ini diambil dari bahasa Tibet kuno." 

Maksud dari Sialpu melambangkan kecerdikan yang luar biasa, Tolka melambangkan kekuasaan yang besar, Putala adalah sebuah puncak tunggal, sedangkan Panjapana adalah malaikat asmara, malaikat yang suka melampiaskan hawa napsu. "Sekarang, kecuali Tolka Thian-ong seorang yang masih berada di Mo-san, tiga Thian-ong yang lain kini sudah berada di Tiang-an."

"Berita ini dapat dipercaya?" "Pasti boleh dipercaya."

"Kau sendiri tidak tahu siapa kiranya mereka itu?"

"Aku hanya ingat satu orang, Panjapana Thian-ong kemungkinan besar adalah Giok-siau."

"Bisakah kau memancing keterangan dua orang yang lain dari Giok-siau?"

"Tidak mungkin," sahut Siangkwan Siau-sian geleng- geleng, "andaikata punya cara untuk mengompas keterangan dari berbagai orang, hanya satu macam orang saja yang terkecuali."

"Orang mati maksudmu?", tanya Yap Kay. Siangkwan Siau-sian manggut-manggut. "Cara bagaimana dia mati?"

"Ada orang yang membunuhnya."

"Siapa yang mampu membunuh Tang-hay-giok-siau?" "Dalam kota Tiang-an sekarang bukan hanya seorang yang

bisa membunuhnya."

Yap Kay menepekur, katanya kemudian dengan menghela napas: "Baru sepuluhan hari aku di sini, namun kota Tiang-an sudah banyak kejadian pula."

"Kau. apakah kau ingin pergi dari sini?" "Luka-lukaku sudah sembuh."

"Begitu luka-lukamu sembuh, lalu kau hendak pergi?", terpancar rasa pilu pada sorot matanya.

Yap Kay menyingkir dari tatapan orang, katanya: "Cepat atau lambat, aku harus pergi juga."

"Kapan kau hendak pergi?"

"Besok....!" Yap Kay tertawa kecut, "kalau besok aku pergi, kau bisa memberi selamat tahun baru kepada yang hendak pergi?"

Siangkwan Siau-sian gigit bibir, tiba-tiba dia tertawa, katanya: "Kecuali memberi selamat tahun baru, kau malah bisa menghadiri sebuah jamuan pernikahan."

"Jamuan pernikahan siapa?"

"Sudah tentu temanmu, seorang teman yang amat baik kepadamu."

ooo)dw(ooo

Akhirnya Yap Kay pergi juga. Ternyata Siangkwan Siau- sian tidak menahannya lagi, cuma dia gandeng dan peluk lengannya terus mengantar sampai di luar, sampai di ujung jalan.

Siapapun yang melihat sikap mesra mereka pasti  menduga mereka adalah pasangan setimpal. Tapi apakah sebetulnya mereka memang kekasih? Atau teman biasa? Atau musuh besar? Mungkin mereka sendiri sekarang belum bisa membedakan. Sebelum berpisah, tiba-tiba Yap Kay berkata: "Sudah lama kupikirkan, namun tak bisa kusimpulkan juga, siapakah sebenarnya Sialpu dan Putala itu?"

"Kalau tidak bisa kau simpulkan, kenapa kau pikiri?" ujar Siangkwan Siau-sian tertawa rawan.

"Aku tidak bisa tidak harus memikirkannya."

"Kenapa manusia sering memikirkan persoalan yang semestinya tidak perlu dia risaukan?"

Yap Kay tidak berani menjawab, memang dia tidak bisa menjawab.

Cukup lama mereka berdiam diri, akhirnya tak tahan lagi Yap Kay berkata: "Kuduga Sialpu Thian-ong pasti seorang cerdik cendekia, sementara Putala seorang yang tinggi hati dan congkak."

"Nama-nama yang diambil oleh Mo Kau tentunya tanpa beralasan."

"Menurut pandanganmu, siapa kiranya yang paling cerdik pandai di kota Tiang-an?"

"Kaulah...." sahut Siangkwan Siau-sian, "orang yang benar-benar pintar biasanya kelihatan seperti orang linglung. Tidak sedikit orang-orang yang linglung di dalam kota Tiang-an sekarang ini."

"Lalu siapa kiranya menurut pendapatmu orang yang paling tinggi hati?"

"Kau." "Aku lagi?" Tawar suara Siangkwan Siau-sian: "Hanya orang yang congkak, baru tega menolak uluran cinta murni dan suci orang lain."

Sudah tentu 'orang lain' yang dia maksud adalah dirinya sendiri.

Yap Kay berpaling, memandang mega di ujung langit sana dengan mendelong.

"Kecuali kau...," ujar Siangkwan Siau-sian, "mungkin masih ada satu dua orang lagi."

"Siapa?"

"Lu Di, Kwe Ting."

"Tentunya mereka tidak mungkin adalah orang-orang Mo Kau." kata Yap Kay.

"Apakah karena kau kira mereka dari keluarga baik-baik, maka tidak mungkin masuk Mo Kau?"

"Aku hanya merasakan mereka tidak sesat dan sejahat seperti murid-murid Mo Kau umumnya."

"Apapun yang terjadi, Sialpu dan Putala berada di kota Tiang-an. Mungkin mereka adalah dua orang yang paling tidak kau duga karena jejak mereka selamanya memang sukar dijajagi dan bisa diraba oleh orang-orang lain, justru di situlah letak paling sesat dari orang-orang Mo Kau itu."

Yap Kay menghela napas, dia unjuk rasa kuatir. Bila tidak terpaksa betul-betul, murid-murid Mo Kau tidak akan mau menunjukkan bekas-bekas dan asal-usul dirinya. Seringkali setelah orang mati, baru bisa kelihatan kedok asli mereka. Lalu apakah tujuan dan apa maksud mereka datang ke Tiang-an? Apakah Siangkwan Siau-sian atau Yap Kay yang akan dihadapinya?

Dengan tertawa paksa Yap Kay berkata: "Asal mereka benar-benar sudah di Tiang-an, cepat atau lambat aku pasti akan bisa menemukan jejak mereka."

"Tapi, hari ini kau belum bisa mulai pencarianmu." "Kenapa?"

"Karena hari ini kau harus hadir dalam perjamuan pernikahan temanmu di hotel Hong-ping," terpancar tawa yang menusuk perasaan pada sorot matanya, "karena jikalau kau tidak ke sana, banyak orang akan berduka."

Tapi Yap Kay tidak menuju ke hotel Hong-ping. Sampai hari menjelang maghrib, dia tetap belum muncul di hotel Hong-ping.

ooo)dw(ooo

Tanggal satu tahun baru. Lewat lohor. Cuaca hari ini ternyata sangat baik, langit membiru gumpalan mega putih berlalu, cahaya matahari cerah cemerlang, alam semesta kembali diliputi kecerahan pada musim semi yang mulai mendatang.

Muka Kwe Ting jauh lebih segar. Ting Hun-pin tengah menyuapi kuah tim ayam dengan sendok. Mereka jarang bicara, tidak tahu persoalan apa yang perlu dan harus mereka bicarakan. Entah hati mereka syukur? Manis madu? Atau kecut getir? Kwe Ting menundukkan kepala mengawasi kuah di dalam mangkok, katanya: "Bukankah kolesom yang kau seduh ini amat mahal?"

Ting Hun-pin manggut-manggut. "Apa kita mampu membelinya?" "Tidak mampu."

"Lalu dari mana. "

"Terpaksa aku mengebon kepada pemilik hotel. Kupikir hari ini pasti banyak orang yang akan mengirim kado kemari. Tiang-an kota sebesar ini, pasti banyak orang yang ingin hadir melihat kita, minum arak bahagia kita. Kukira mereka bukan orang-orang kikir yang tak sudi mengeduk kantong."

Kwe Ting ragu-ragu, katanya: "Sudah banyak orang yang tahu akan pernikahan kita?"

Ting Hun-pin manggut-manggut, katanya: "Makanya kusuruh Ciangkui menyiapkan dua puluh meja perjamuan."

Tak tertahan Kwe Ting angkat kepala mengawasinya, entah senang atau berduka?

"Sebetulnya kau tak usah berbuat demikian, aku. "

Ting Hun-pin segera pegang tangannya sebelum orang habis bicara, tukasnya lembut: "Asal kau bangkitkan semangatmu, lekas menyembuhkan luka-lukamu, jangan kau biarkan aku jadi janda muda."

Akhirnya Kwe Ting tertawa, tawa yang kecut, namun menampilkan juga sedikit manis mesra. Apapun yang akan terjadi dia sudah berkeputusan untuk menjaga dan melindungi gadis belia yang dia cintai ini seumur hidupnya, dan karena adanya tekad ini, maka dia tidak akan gampang mati oleh luka-lukanya.

Pada saat itulah Ciangkui tiba-tiba bersuara di luar pintu: "Nona Ting, sudah saatnya kau perlu berdandan, sudah kucari orang untuk bantu Kwe Kongcu mandi dan ganti pakaian."

Ting Hun-pin tepuk tangan Kwe Ting, lalu dia  dorong pintu berjalan keluar. Berhadapan dengan orang tua yang baik hati ini, dia menghela napas, katanya: "Kau memang orang baik!"

Ia membangkitkan semangat, tertawa dipaksakan, lalu bertanya: "Sekarang sudah ada orang mengirim kado?"

Ciangkui tertawa, sahutnya: "Yang memberi kado banyak jumlahnya aku sudah catat semua kado yang diterima. Apa nona Ting ingin memeriksanya?"

Ting Hun-pin memang ingin melihatnya. Sudah diduganya pasti banyak orang-orang aneh yang mengirimkan kado yang aneh dan luar biasa pula. Banyak urusan yang dipikirkan oleh Ting Hun-pin, namun tak terpikir sedikitpun olehnya bahwa orang pertama yang mengirim kado kepadanya ternyata adalah Hwi-hou (Rase Terbang) Nyo Thian. Di dalam buku catatan, namanya tercantum nomor satu.

Nyo Thian: 4 macam kado. Sepasang kembang mutiara, sepasang gelang kumala (jade), seperangkat tutup kepala dengan perhiasannya, empat puluh keping emas kuno murni, jumlah seluruhnya 400 tail.

Emas kuno maksudnya adalah bahwa kadonya itu dia kirim mewakili Kim-ci-pang, yaitu mewakili Siangkwan Siau-sian. Terkepal kencang jari-jari Ting Hun-pin, dalam hati dia tertawa dingin. Dia harap nanti malam Siangkwan Siau-sian datang dalam perjamuan pernikahannya.

Lu Di ternyata juga mengirim kado, bersama Toh Tong pemilik Pat-hong Piau-kiok. Kecuali 4 macam kado, terdapat pula sebotol obat mujarab untuk menyembuhkan luka-luka.

Tak terasa Ting Hun-pin tertawa dingin pula, dia sudah berkeputusan untuk tidak menggunakan obat ini, perduli maksud Lu Di baik, dia tetap tidak akan menyerempet bahaya.

Masih banyak lagi nama-nama lain seperti sudah dikenal oleh Ting Hun-pin, orang-orang itu agaknya adalah kenalan kental dari keluarga Ting. Dia terus urutkan nama-nama orang yang tercantum di dalam catatan itu, akhirnya dia temukan lagi sebuah nama yang di luar dugaan, Cui Giok-tin.

Ternyata dia belum mati. Selama ini kenapa dia tidak pernah muncul? Apakah diapun sudah tahu kabar kematian Yap Kay?

Dari samping Ciangkui tertawa, katanya: "Sungguh tak terpikir olehku bahwa di kota Tiang-an ini, nona ternyata punya kenalan begini banyak, nanti malam pestanya tentu amat ramai."

Memang pernikahan mereka sudah menggemparkan seluruh kota Tiang-an.

Baru sekarang tiba-tiba Ting Hun-pin mendadak menyadari bahwa dirinya ternyata juga seorang yang terkenal, tapi apakah lantaran Yap Kay? Waktu dia melihat nama terakhir, seketika hatinya mencelos.

Lamkiong Long: Sebuah pigura (lukisan).

Dia tahu nama ini, juga kenal orangnya. Di dalam setiap keluarga besar persilatan, selalu terdapat satu dua orang yang terlalu jahat dan kejam. Lamkiong Long adalah salah seorang yang paling menakutkan dari keluarga besar persilatan Lamkiong ini. Sebagai begal besar yang telengas, nama Lamkiong Long amat ditakuti sebagai murid keluarga yang murtad, tapi dia adalah paman Lamkiong Wan yang pernah dikalahkan oleh Kwe Ting itu.

Tiba-tiba Ting Hun-pin bertanya: "Kau sudah melihat lukisan yang dikirim kemari belum?"

Ciangkui geleng-geleng, katanya: "Kalau nona ingin memeriksanya, sekarang juga akan kubawa keluar."

Sudah tentu Ting Hun-pin ingin melihatnya.

Waktu gulungan lukisan itu dibuka, tampak dalam lukisan menggambarkan dua orang. Seorang memegang pedang panjang yang berlepotan darah berdiri di depan sepasang lilin merah. Pakaian dan pedang yang dilukiskan dalam gambar ini amat jelas menyolok, namun mukanya serba putih kosong. Orang ini tanpa muka. Seorang yang lain sudah roboh menggeletak di bawah ujung pedang, pakaian yang dipakainya jelas adalah dandanan mempelai pria.

Berubah air muka Ting Hun-pin. Maksud Lamkiong Long sudah jelas sekali, dia kemari hendak menuntut balas bagi keponakannya Lamkiong Wan. Nanti malam Kwe Ting hendak dibunuh dengan pedang di tengah perjamuan pernikahannya. Kwe Ting sudah terluka parah, jelas takkan mampu dan kuat melawan lagi.

Ciangkui juga merasakan ketakutannya, lekas dia gulung lagi gambar itu.

Tiba-tiba terdengar di luar ada orang berseru: "Apakah hotel Hong-ping di sini?"

Yang mengajukan pertanyaan adalah laki-laki yang setengah baya berjubah kuning, berambut panjang, jubah kuningnya yang mengkilap hanya menutupi lutut. Kalau jubahnya kuning emas, sebaliknya mukanya pucat seram tak berperasaan. Seorang ini sudah cukup aneh dan menarik perhatian orang banyak, lebih aneh lagi di belakangnya masih ada tiga orang, dandanan dan sikap mereka mirip satu sama lain.

Ciangkui merinding dibuatnya, terpaksa dia unjuk senyum meringis dan menjawab gemetar: "Betul! Hotel kami memang bernama Hong-ping."

"Jadi pernikahan Kwe Ting, Kwe Kongcu dan Ting Hun- pin, Ting Kohnio adalah di sini?" tanya laki-laki jubah kuning itu.

"Benar, memang di sini." sahut Ciangkui sambil melirik Ting Hun-pin. Dilihatnya muka orang mengunjuk keheranan, namun tidak memberi reaksi, terpaksa Ciangkui bertanya: "Apakah tuan-tuan hendak mencari Kwe Kongcu?"

"Tidak!", sahut laki-laki jubah kuning. "Mengantar kado tentunya?"

"Juga tidak." "Tanpa memberi juga boleh ikut perjamuan. Silahkan kalian duduk sambil menikmati teh."

"Kami tidak minum teh, juga bukan mau ikut perjamuan." kata laki-laki jubah kuning.

Ting Hun-pin tiba-tiba tertawa, katanya: "Mungkinkah kalian hendak melihat pengantin perempuan?"

Laki-laki jubah kuning melirik dingin kepadanya, katanya: "Kau inikah mempelai perempuan?"

Ting Hun-pin manggut-manggut, ujarnya: "Maka jikalau kalian ingin menyaksikan sekarang boleh melihat sepuas hati kalian."

Laki-laki jubah kuning malah mendelikkan mata, katanya: "Yang kami ingin lihat juga bukan pengantin."

"Lalu apa yang ingin kalian lihat?"

"Ingin kami saksikan apakah malam nanti ada orang berani kemari mencari onar?"

"Kalau ada?"

"Tidak boleh ada, juga takkan ada." "Kenapa?"

"Karena kami mendapat perintah untuk menjaga keamanan di sini, melindungi mempelai berdua masuk ke dalam kamar pengantin."

"Kalau ada kalian lantas takkan ada orang berani mencari onar?"

"Kalau ada satu, kota Tiang-an malam ini akan ketambahan satu orang mati." "Kalau ada seratus orang yang datang, kota Tiang-an ini akan ketambahan seratus orang mati?"

"Seratus empat lebih banyak."

Kata-kata ini sudah jelas menandakan walau mereka berempat bukan tandingan seratus orang, namun merekapun jangan harap bisa pulang dengan tetap hidup.

Ting Hun-pin menghela napas, tanyanya: "Atas perintah siapa kalian bertugas di sini? Apa kalian dari Kim-ci-pang?"

Sepatah katapun tak bicara lagi, muka laki-laki jubah kuning malah membesi keren. Satu persatu mereka melangkah masuk ke ruang perjamuan. Di sana mereka berpencar ke empat penjuru, masing-masing menduduki satu sudut, berdiri tegak tanpa bergerak.

Ciangkui menghela napas seraya mengelus dada.

Belum lagi dia bicara, tiba-tiba di luar terdengar ada orang bertanya pula: "Apakah di sini hotel Hong-ping?"

Yang datang kali ini ternyata seorang pengemis dengan rambut awut-awutan dan pakaian bersih penuh tambalan. Di punggungnya menggendong karung yang sudah butut dan berlobang-lobang. Tentunya dia bukan mengantar kado. Pengemis di dunia ini biasanya minta sekedar uang atau beras, tiada pengemis yang memberi kado.

Ciangkui mengerut kening, katanya: "Terlalu pagi kau datang, sekarang belum saatnya minta sedekah di sini."

Pengemis itu malah tertawa dingin, katanya: "Darimana ku tahu kalau aku mendadak minta sedekah?"

"O, bukan minta-minta?" Ciangkui melengak. "Andaikan kau berikan hotelmu ini kepadaku, belum tentu aku sudi menerimanya."

Sombong benar kata-kata pengemis ini.

"Lalu untuk apa kau kemari? Mau ikut perjamuan?" "Tidak! Aku mengantar kado."

"Mana kadonya?"

"Di sini!", ujar pengemis serta menurunkan karungnya terus ditaruh di atas meja.

Belasan butir mutiara sebesar kelengkeng seketika bergelindingan keluar dari dalam karung.

Ciangkui tertegun. Ting Hun-pin kaget.

Belasan butir mutiara ini, harganya sudah tidak ternilai, jarang dilihatnya mutiara sebesar itu. Tak nyana barang- barang yang berada di dalam karung bukan hanya belasan mutiara itu saja, masih terdapat jamrut mata kucing dan batu-batu permata lainnya yang tidak diketahui jumlahnya.

Mulut Ciangkui terbuka lebar, mimpipun tak pernah diduganya bahwa pengemis rudin ini mengirim kado barang- barang antik sebanyak ini.

"Barang-barang ini semua dihaturkan kepada nona Ting untuk menambah pesalin. Harap diterima!".

Habis bicara, sekali badan berputar, tahu-tahu dia sudah mencelat ke jalan raya, kecepatan gerak badannya jarang terlihat di kalangan Kang-ouw. Ting Hun-pin hendak menghadangnya, namun sudah terlambat. Waktu dia memburu ke luar, orang hilir mudik di jalan raya, bayangan pengemis itu sudah tidak kelihatan lagi.

Siapakah dia sebetulnya? Kenapa memberi kado semahal itu?

"Nah, ini ada kartu namanya." seru Ciangkui.

Di dalam kartu nama yang merah besar itu, sebelah kanan atas bertuliskan 'Pernikahan Kwe Kongcu dan Ting Kohnio'. Di tengah pujian muluk-muluk, bagian bawah kiri tertanda hormat dari Sialpu, Tolka, Putala dan Panjapana.

Ting Hun-pin termangu.

"Nona Ting tidak kenal ke empat orang ini?", tanya Ciangkui.

"Bukan saja tidak kenal, nama-nama aneh inipun belum pernah kudengar."

"Bagaimanapun juga dia mengirim kado, tentu bermaksud baik."

Ting Hun-pin menghela napas, belum dia buka suara, di luar sudah ada orang tanya pula: "Apakah di sini hotel Hong- ping?"

Pertanyaan yang sama, namun yang datang beruntun ini justru berlainan satu sama lain. Dua terdahulu sudah termasuk orang-orang aneh, yang ketiga inipun aneh sekali.

Waktu itu hawa cukup dingin, namun orang ini hanya mengenakan baju biru tipis kepalanya mengenakan topi tinggi yang bentuknya aneh, kulit mukanya kuning seperti malam, jenggot kambing yang jarang-jarang kelihatannya seperti orang yang baru sembuh dari penyakit lama, namun orang justru tidak takut dingin. Tangan kiri pegang payung, tangan kanan menenteng peti, kalau payung itu sudah luntur warnanya, peti itu justru mengkilap bersih, entah terbuat dari bahan apa, yang terang peti ini tentu amat berharga dan luar biasa, karena gagang cekalannya dihiasi batu kemala disepuh emas. Kalau pakaiannya amat minim, namun sikapnya amat sombong, biji matanya terbeliak ke atas, katanya dingin: "Apakah di sini ada orang she Kwe yang hendak melangsungkan perkawinan?"

Ciangkui manggut-manggut, tanyanya: sambil mengawasi peti di tangan orang: "Tuan hendak mengantar kado?"

"Bukan!"

"Untuk memberi doa restu?" "Juga bukan."

Ciangkui meringis, dia segan bertanya lagi.

Tiba-tiba Ting Hun-pin menyeletuk: "Kau adalah Lamkiong Long?"

Laki-laki itu tertawa dingin, katanya: "Lamkiong Long terhitung barang apa?"

Ting Hun-pin menghela napas lega, katanya berseri: "Dia memang bukan barang"

"Aku ini barang!"

Ting Hun-pin melenggong, jarang dan belum pernah dia melihat atau dengar ada orang mengatakan diri sendiri adalah barang, bukan manusia. Laki-laki itu menarik muka, katanya: "Kenapa tidak kau tanya, aku ini barang apa?"

"Memang aku ingin mengerti." "Aku ini kadonya."

Terbelalak mata Ting Hun-pin, orang ini benar-benar mirip makhluk aneh. Tidak sedikit makhluk aneh yang  pernah dilihatnya, namun sebuah kado yang bisa bicara dan berjalan, baru kali ini seumur hidupnya mendengar dan membuktikan.

"Kau inikah Ting Hun-pin?" tanya laki-laki itu, "hari ini adalah hari pernikahanmu?"

Ting Hun-pin manggut-manggut.

"Oleh karena itu ada orang mengantarku sebagai kado.

Kau sudah tahu?"

Ting Hun-pin masih tidak mengerti, tanyanya: "Maksudmu ada orang memberikan kau kepadaku sebagai kadonya?"

Laki-laki itu menghela napas lega, katanya: "Akhirnya kau paham juga."

Ting Hun-pin geleng-geleng, katanya: "Untuk apa kado seperti dirimu ini?"

"Sudah tentu amat berguna," sahut laki-laki itu, "aku bisa menolong jiwa orang."

"Menolong jiwa siapa?" "Menolong jiwa suamimu." "Kau bisa menolongnya?" "Kalau aku tidak bisa menolongnya, pasti takkan ada orang kedua dalam dunia ini yang bisa menolongnya."

Ting Hun-pin menatapnya, mengawasi dandanan orang aneh, kulit mukanya yang kuning, melihat payung dan peti di kedua tangan orang. Tiba-tiba terunjuk cahaya terang dari berkobarnya semangat kesenangan pada roman mukanya.

"Aku bukan diberikan untuk ditonton, aku tidak suka ditatap perempuan." ujar laki-laki itu.

Bersinar muka Ting Hun-pin, katanya: "Aku sudah tahu siapa kau sebenarnya."

"Aku siapa?"

"Kau she Kek, kau adalah Ban-po-siang (Peti berlaksa pusaka), Kan-kun-san (Payung sengkala) Kek Pin yang tidak bisa di urus oleh Giam-lo-ong."

"Kau pernah melihat Kek Pin?" tanya laki-laki itu.

"Aku belum pernah melihatnya, namun sering aku dengar Yap Kay membicarakan dirinya," demikian kata Ting Hun-pin, "katanya sejak kecil Kek Pin sering berpenyakitan, dan lai tiada orang yang mampu menyembuhkan penyakitnya, maka dia berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya sendiri. Belakangan dia menjadi seorang tabib hebat nomor satu di seluruh kolong langit, sampaipun Giam-lo-ong, si raja akhirat tak kuasa mengurusmu, karena orang matipun dapat kau hidupkan kembali."

Laki-laki itu tiba-tiba tertawa, jengeknya: "Yap Kay itu terhitung barang apa?" "Dia bukan barang, dia adalah temanmu, aku tahu. "

mendadak dia menubruk maju memegang kencang lengan orang itu, katanya dengan napas memburu: "Apakah Yap Kay suruh kau kemari, apakah dia belum mati?"

"Kau salah mengenal orang." "Tidak akan salah"

"Kau ini pengantin, kau harus menggandeng suamimu, kenapa menarik-narik aku?", kata-kata laki-laki ini mengandung arti rangkap, secara tidak langsung dia menyatakan, kalau kau sudah bertekad hendak menikah dengan Kwe Ting, tidak perlu kau menarikku, tidak pantas lagi mencari Yap Kay.

Jari Ting Hun-pin pelan-pelan mengendor, terjulur turun, kepalapun menunduk, katanya rawan: "Mungkin benar, aku salah mengenalimu."

"Tapi aku tidak salah."

"Kau. kau hendak menemui Kwe Ting?"

Laki-laki itu manggut-manggut, katanya: "Kalau kau tidak ingin jadi janda, lekaslah kau bawa aku kepadanya."

Batu-batu permata tadi masih berada di atas meja, laki- laki ini tidak tertarik sedikitpun. Waktu angin dingin menghembus masuk dari luar pintu, kartu nama warna merah itu tertiup jatuh dan kebetulan hampir terinjak di bawah kakinya, dia tidak memungutnya hanya menunduk melihat tulisan di atas kartu nama itu. Seketika mukanya menunjukkan mimik yang aneh, tiba-tiba dia bertanya: "Siapa yang mengantar kemari?" "Seorang pengemis!", sahut Ting Hun-pin. "Pengemis macam apa?" tanya laki-laki itu.

"Pengemis yang berusia belum terlalu tua, selalu mendelikkan mata, kalau bicara seolah-olah hendak ajak orang berkelahi." demikian Ciangkui menerangkan.

Ingat sesuatu Ting Hun-pin menambahkan: "Gerak-gerik badannya lincah dan gesit, agak aneh juga."

"Apanya yang aneh?"

"Di waktu badannya berputar, mirip benar dengan gangsingan."

Laki-laki itu menepekur dengan muka membesi, katanya tiba-tiba: "Di dalam kado perhiasan ini apakah terdapat sebuah lencana kemala yang menggambarkan empat siluman iblis?"

Memang ada. Lekas sekali Ciangkui menemukannya. Memang lencana kemala itu diukir empat malaikat iblis, seorang mengangkat sebuah batu bundar besar dan tebal, seorang memegang tongkat kebesaran kekuasaan, seorang menyungging puncak gunung dan seorang lagi telapak tangannya menyanggah perempuan telanjang bulat.

Mengawasi gambar-gambar ukiran di atas lencana ini, memicing berkerut kelopak mata laki-laki ini.

Tak tahan Ting Hun-pin bertanya: "Kau tahu siapa ke empat orang ini?"

Laki-laki itu tidak menjawab, hanya mulutnya menyungging senyuman dingin.

ooo)dw(ooo Kwe Ting ternyata sudah bisa berdiri. Kehebatan ilmu pengobatan laki-laki itu memang luar biasa. Tak heran bila Giam-lo-ong, si raja akhiratpun kewalahan menghadapinya. Tapi waktu Ting Hun-pin hendak menyatakan terima kasihnya, tahu-tahu orang sudah tiada entah kemana. Sudah tentu Ting Hun-pin takkan bisa mencarinya. Dia sudah mengenakan pakaian pengantin, perias yang diundang Ciangkui sedang sibuk merias dirinya.

Di luar sudah mulai ramai, agaknya tamu-tamu yang datang bukan main banyaknya, di antara mereka entah adakah kenalan baiknya? Nyo Thian dan Lu Di entah datang juga? Sedikitpun Ting Hun-pin tidak tahu.

Musik mulai kumandang di ruang depan menyambut keluarnya mempelai perempuan untuk sembahyang pada langit dan bumi, pengantin pria malah sudah menunggu. Tapi Ting Hun-pin tetap tidak bergerak meski pengiring pengantin sudah mendesaknya berulang kali.

Apakah Kek Pin menghilang untuk mencari Yap Kay? Apakah Yap Kay belum mati? Hatinya seperti diiris-iris. Ting Hun-pin menekan gejolak hatinya, sekarang dia pantang mengucurkan air mata. Hal ini memang dia lakukan atas kesadaran dan kerelaannya sendiri.

Kwe Ting adalah laki-laki baik, seorang laki-laki sejati, cintanya mungkin jauh lebih besar dan murni dibanding cinta Yap Kay terhadapnya. Selama ini sikap Yap Kay kadang panas kadang dingin, acuh tak acuh seperti orang munafik. Apalagi Kwe Ting pernah menolong jiwanya. Demi membalas budi kebaikan orang dia rela kawin sama orang, hal ini bukan terjadi pada dirinya sendiri. Demikian dia menghibur dan membujuk dirinya sendiri, namun tak urung dalam hati dia tetap bertanya: "Apakah tindakanku ini benar atau salah?" Soal ini selamanya takkan ada orang yang bisa menjawab.

Suara musik semakin cepat, beberapa kali orang di luar berdiri masuk mendesak supaya mempelai perempuan lekas keluar. Akhirnya Ting Hun-pin berdiri, seolah-olah dia harus kerahkan setaker tenaganya untuk bangkit berdiri. Pengiringnya segera menutup mukanya dengan selembar sapu tangan merah, dua orang memapahnya, pelan-pelan berjalan keluar.

Lewat serambi panjang menuju ke pekarangan terus masuk ke ruang upacara, ruang perjamuan. Suara di sini amat ramai dan ribut, berbagai suara campur aduk.

Dengan pikiran kalut akhirnya Ting Hun-pin bersanding di samping Kwe Ting.

Terdengar protokol upacara sudah mulai berseru lantang: "Hormat pertama kepada langit dan bumi."

Baru saja para pengiring hendak memapahnya berlutut, tiba-tiba terdengar suara jeritan kaget, disusul suara lambaian pakaian yang menderu ke depannya. Apakah Lamkiong Long? Seketika terbayang oleh Ting Hun-pin gambar lukisan itu.

Tanpa hiraukan segalanya, tiba-tiba dia angkat tangan menyingkap kain merah penutup mukanya. Segera dia melihat satu orang laki-laki berpakaian hitam menyoren pedang, mukanya pucat memutih, seperti setan gentayangan yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Orang ini berdiri tegak dihadapannya, tangannya menjinjing sebuah kotak persegi dari kayu cendana.

Laki-laki baju kuning yang berjaga di empat jurusan sudah siap merubung, muka Kwe Ting pun sudah berubah.

Ting Hun-pin menjengek dingin: "Lamkiong Long, aku tahu kau memang pasti datang."

Laki-laki baju hitam geleng-geleng, katanya: "Aku bukan Lamkiong Long!."

"Kau bukan? Kau siapa?" tanya Ting Hun-pin. "Aku mengantar kado."

"Kenapa sampai sekarang baru di antar kemari?"

"Walaupun agak terlambat, namun lebih mending daripada tidak ku antar."

Mengawasi kotak cendana di tangan orang, Ting Hun-pin bertanya: "Itukah kado yang kau antar?"

Laki-laki baju hitam manggut-manggut, sebelah tangan mengangkat kotak kayu, tangan yang lain membuka  tutupnya.

Dua pengiring pengantin yang berdiri di samping Ting Hun-pin mendadak menjerit keras, terus jatuh semaput.

Ting Hun-pin sudah melihat jelas barang apa yang berada di dalam kotak kayu itu. Kado yang dibawa laki-laki baju hitam ini ternyata adalah batok kepala yang berlepotan darah.

Batok kepala siapakah?

Seketika pucat muka Ting Hun-pin. Laki-laki baju hitam menatapnya, katanya tawar: "Kalau kau kira kado yang ku antar ini mengandung maksud jahat, maka kau salah."

Ting Hun-pin menyeringai dingin: "Memangnya kau bermaksud baik?"

"Bukan saja bermaksud baik, malah aku tanggung, tamu- tamu yang hadir hari ini, pasti takkan ada yang memberikan kado lebih berharga dari kadoku ini." ujar laki-laki baju hitam, lalu dia menuding batok kepala dalam kotaknya itu, "karena kalau orang ini tidak mampus, mungkin kalian berdua takkan bisa menikmati malam pertama dari pernikahan kalian malam ini dengan tentram."

"Siapakah orang ini?"

"Orang yang hendak memenggal kepala kalian." "Lamkiong Long maksudmu?" jerit Ting Hun-pin. "Benar! Dia adanya."

"Lalu, kau siapa?"

"Sebetulnya akupun masih Lamkiong Long." "Sekarang?"

"Sekarang aku adalah tamu yang sudah memberikan kado dan ingin menikmati makan minum dalam perjamuan kawin ini."

Di dalam ruang perjamuan ini penuh sesak berjubel-jubel banyak orang berbagai ragam dan corak, di antara gerombolan orang banyak, tiba-tiba kumandang sebuah suara nyaring menusuk pendengaran berkata: "Datang ikut perjamuan dengan mengenakan kedok muka, ku kira kau takkan leluasa makan minum."

Muka laki-laki baju hitam tetap tidak mengunjuk perubahan mimiknya, namun kedua biji matanya memicing beringas, bentaknya bengis: "Siapa itu?"

Suara itu berkata dingin: "Selamanya kau tidak akan tahu siapa aku, sebaliknya aku tahu jelas kau justru adalah Lamkiong Long."

Sekonyong-konyong laki-laki baju hitam turun tangan, kotak kayu bersama batok kepala itu dia keprukkan ke atas kepala Ting Hun-pin, pedang yang dipanggulnya sudah terlolos keluar, sinar pedang berkelebat tahu-tahu menusuk ke dada Kwe Ting.

Perubahan ini teramat cepat, namun serangan tusukan pedangnya itu lebih cepat lagi. Bahwa Kwe Ting bisa berdiri sudah terlalu dipaksakan, mana mungkin bisa meluputkan diri dari tusukan pedang yang hebat ini.

Ting Hun-pin pun hanya melongo saja mengawasi. Siapa yang takkan terkesima bila batok kepala orang yang berlepotan darah tahu-tahu dikeprukkan ke atas kepalamu.

Waktu dia berkelit, ujung pedang orang sudah terpaut satu kaki di depan dada Kwe Ting. Andaikata dia membekal kelinting mautnya yang lihay, itupun belum tentu sempat memberi pertolongan, apalagi sebagai seorang pengantin, sudah tentu dia pantang membawa senjata tajam. Keadaan demikian gawat, hampir tiada orang di sekitarnya yang mampu memberikan pertolongan. Pada detik-detik yang kritis itulah mendadak selarik sinar pisau berkelebat. Sinar pisau yang kemilau lebih cepat menyambar daripada kilat, lebih cemerlang dari sambaran geledek, seakan-akan melesat masuk dari arah jendela sebelah kiri.

Begitu sinar pisau berkelebat, badan Ting Hun-pin segera melejit ke sana, dia tinggalkan para tamu yang penuh sesak memenuhi ruang perjamuan, meninggalkan Kwe Ting yang terancam tusukan pedang, meninggalkan segalanya.

Soalnya dia yakin benar bahwa sambaran sinar pisau itu pasti berhasil menolong jiwa Kwe Ting. Orang baju hitam itu pasti dapat dipukul mundur, kalau tidak pasti binasa, atau terluka. Itulah pisau lambang pertolongan. Tak terhitung banyaknya jiwa manusia yang tertolong oleh pisau ini. Dia tahu jelas hanya satu orang dalam dunia ini yang bisa menimpukkan pisau terbang seperti itu. Hanya satu orang. Dia tidak bisa tinggal diam membiarkan orang ini pergi begitu saja, umpama dia harus mati, diapun harus melihatnya penghabisan kali.

ooo)dw(ooo

Malam sudah larut. Hanya beberapa bintang yang tersebar di cakrawala masih memancarkan sinarnya yang guram.

Lapat-lapat di kejauhan tampak sesosok bayangan orang berkelebat.

Segera Ting Hun-pin tancap gas mengejar dengan setaker tenaga dan seluruh kecepatan larinya, namun orang itu lebih cepat lagi. Baru saja dia menerobos keluar jendela, bayangan orang itu sudah puluhan tombak jauhnya. Tapi dia tidak putus asa, dia tahu dirinya takkan bisa mengejarnya, namun dia tetap mengudak. Dia sudah kerahkan seluruh tenaganya.

Cepat sekali dia sudah kehilangan jejak orang yang dikejarnya, hanya tabir malam yang menyambut kedatangannya. Di ujung jalan melintang sana ada sebuah biara pemujaan, di sana masih kelihatan sebuah pelita menyala. Mendadak dia menghentikan langkah di depan  biara serta berteriak sekeras-kerasnya: "Yap Kay, aku tahu kaulah! Aku tahu kau belum pergi jauh! Kau pasti mendengar suaraku!"

Malam nan gelap sunyi senyap tak terdengar suara apapun, hanya bunyi daun pohon saja yang keresekan di hembus angin lalu.

"Perduli kau sudi tidak keluar menemui aku, kau harus mendengar habis apa yang ingin kulimpahkan."

Dengan gigit bibir, dia menahan air mata.

"Aku tak pernah berbuat salah terhadapmu, jikalau kau tidak sudi menemui aku, akupun tidak menyalahkan  kau, tapi. tapi boleh mati di hadapanmu."

Mendadak sekuat tenaga dia sobek pakaiannya, terpampanglah dadanya yang montok kenyal dihembus angin malam nan dingin. Badannya gemetar karena kedinginan dan menahan emosi.

"Aku tahu mungkin kau tidak percaya kepadaku lagi, aku tahu. tapi kali ini, aku ingin mati di hadapanmu."

Diulurkannya tangannya yang gemetar, dan dari atas sanggul kepalanya, dia meraih sebuah tusuk kondai. Dengan mengerahkan seluruh tenaganya, dia tusukkan tusuk kondai ke ulu hatinya sendiri. Dia benar-benar ingin mati.

Tusuk kondai emas itu sudah menusuk dadanya, darah sudah muncrat keluar.

Pada saat itulah dari kegelapan sana tiba-tiba menubruk keluar sesosok bayangan seenteng asap secepat kilat menangkap tangannya. 'Ting...' tusuk kondai itu jatuh berkerontangan. Darah segar nan merah menyolok mengalir membasahi dadanya yang halus putih. Akhirnya dia berhadapan dengan laki-laki yang selalu dia impi-impikan, sampai matipun takkan bisa dia lupakan. Akhirnya dia berhadapan dengan Yap Kay.

Sinar bintang yang pudar menyinari muka Yap Kay yang tak banyak berubah, sorot matanya masih cemerlang, ujung mulutnya masih menyungging senyum manis. Tapi jikalau kau menegasi lebih lanjut, sorot matanya bersinar karena berkaca-kaca air mata. Walau dia masih tersenyum, namun senyum nan syahdu, senyuman rawan dan pilu.

"Tak perlu kau berbuat demikian," katanya pelan dan lembut, "kenapa kau harus menyakiti badanmu sendiri."

Ting Hun-pin mendelong, mengawasinya dengan termangu-mangu, badannya lunglai.

Agaknya Yap Kay pun tengah menekan emosinya, katanya tertekan: "Aku tahu kau tidak bersalah terhadapku, akulah yang bersalah."

"Aku. "

"Apapun tak perlu kau katakan lagi, apapun yang terjadi aku sudah tahu seluruhnya." "Kau. kau benar-benar tahu?"

"Kalau aku jadi kau, akupun pasti berbuat demikian. Kwe Ting adalah pemuda yang punya masa depan, seorang yang baik, sudah tentu kau tidak akan berpeluk tangan melihat dia mati karena dirimu."

"Tapi aku. "

Ting Hun-pin tak kuasa meneruskan ucapannya, air matanya bercucuran deras.

"Kau adalah gadis bajik, bijaksana, kau tahu hanya berbuat demikian, baru kau bisa mempertahankan jiwa Kwe Ting." Yap Kay menghela napas, "seseorang bila dia sendiri sudah tidak ingin hidup, tiada tabib lihay di dunia ini yang bisa menolongnya, demikian pula Kek Pin takkan bisa mengobatinya."

Dia memang memahami Kwe Ting, lebih menyelami jiwa Ting Hun-pin. Tiada sesuatu dalam dunia ini yang bernilai lebih tinggi daripada simpati dan memahami jiwa orang lain.

Seperti bocah yang kesedihan mendengar wejangan orang tuanya, saking haru Ting Hun-pin mendekap dada Yap Kay, pecahlah tangisnya yang tergerung-gerung.

Yap Kay dia saja. Dia tatap orang menangis sepuas hati. Menangis merupakan pelampiasan. Biarlah rasa haru, sedih dan penasaran hatinya lenyap tak berbekas mengikuti cucuran air matanya.

Entah berapa lamanya, isak tangis kepedihan akhirnya berakhir, baru pelan-pelan Yap Kay mendorongnya: "Kau harus segera kembali." "Kau suruh aku kembali? Kembali kemana?"

"Kembali ke tempat semula," bujuk Yap Kay, "mereka tentu menunggumu dengan gelisah."

Tiba-tiba bergidik dingin badan Ting Hun-pin, katanya: "Kau. kau ingin aku pulang menikah dengan Kwe Ting?"

"Kau tidak bisa meninggalkan dia begitu saja." Yap Kay mengeraskan hatinya, "kaupun harus tahu, jikalau kau tinggal pergi begini saja, dia pasti takkan bertahan hidup lebih lama."

Tidak bisa tidak Ting Hun-pin harus mengakui, bahwa Kwe Ting kuat bertahan hidup sejauh itu adalah lantaran dirinya.

Jantung Yap Kay seperti mengejang, katanya: "Jikalau Kwe Ting benar-benar mati, bukan saja aku takkan bisa mengampuni kau, kau sendiri selamanya pasti tidak akan memaafkan dirimu."

Sampai di sini dia tidak bicara lagi, dia tahu Ting Hun-pin pasti maklum maksud hatinya.

Ting Hun-pin tunduk kepala, lama sekali baru dia bersuara pilu: "Kalau aku kembali, lalu kau?"

"Aku akan tetap bertahan hidup," Yap Kay tertawa dipaksakan, "kau tahu aku biasanya cukup tangguh."

"Apakah selanjutnya kita takkan bisa bertemu lagi?" "Sudah tentu masih bisa bertemu," ujar Yap Kay.

Padahal jantungnya seperti ditusuk pisau. Pertama kali ini dia berbohong kepada orang, namun terpaksa dia harus berkata demikian. "Setelah peristiwa ini, kita tetap akan bertemu lagi."

Tiba-tiba Ting Hun-pin angkat kepala menatapnya, katanya: "Baik! Aku terima permintaanmu. Aku akan pulang, tapi kau harus berjanji satu hal kepadaku."

"Coba katakan!"

"Kalau urusan sudah selesai, aku tetap tak bisa menemukan kau, maka kau harus memberitahu kepadaku, di mana kau berada!"

Yap Kay menyingkir dari tatapan orang, katanya: "Setelah tahu urusan menjadi lampau, tak perlu kau mencariku, aku akan menemui kalian."

"Jikalau aku bisa menyelesaikan semua persoalan dengan baik, Kwe Ting bisa hidup sehat dan tenteram, kau akan mencariku?"

Yap Kay manggut-manggut.

"Apakah yang kau katakan memang benar, kau tidak akan menipu aku?"

"Tidak!"

Hancur hati Yap Kay. Dia bicara tidak jujur, namun Ting Hun-pin percaya kepadanya. Tapi sebagai laki-laki sejati, jikalau didesak oleh keadaan dan dipandang mana perlu, dia pasti akan rela mengorbankan diri sendiri demi kebahagiaan hidup orang lain.

Ting Hun-pin berkeputusan: "Baik! Sekarang juga aku pulang. Aku percaya kepadamu."

"Aku. kelak pasti akan mencarimu." Ting Hun-pin manggut-manggut. Pelan-pelan dia membalik badan, seolah-olah dia tidak berani memandangnya lagi meski hanya sekali saja. Dia kuatir hatinya bisa berubah, dengan tekanan perasaan hatinya, dia kerahkan tenaga untuk mengatakan selamat perpisahan: "Kau pergilah!"

ooo)dw(ooo

Yap Kay sudah pergi. Diapun tidak banyak bicara, dengan sisa tenaganya dia baru berhasil menekan emosinya. Angin dingin laksana pisau menyongsong badannya. Lama sekali dia berlari-lari. Tiba-tiba dia membungkuk badannya terus muntah-muntah tak henti-hentinya.

Dalam pada itu, Ting Hun-pin juga sedang muntah- muntah, seluruh isi perutnyapun tumpah habis. Tapi dia sudah bertekad jika Yap Kay belum mati, maka diapun takkan menikah dengan orang lain. Bagaimanapun keadaannya, dia pasti takkan menikah dengan orang lain, umpama dia harus mati, dia tidak akan kawin dengan laki- laki lain kecuali Yap Kay.

Dia sudah berkeputusan untuk kembali menemui Kwe Ting, menjelaskan duduk persoalan, akan dia beritahu perasaan hatinya, penderitaan batinnya kepada Kwe Ting. Jikalau Kwe Ting seorang jantan, dia pasti dapat menyelami hatinya, maka dia harus dan akan berdiri sendiri, bertahan hidup. Dia yakin Kwe Ting betul-betul jantan, untuk ini dia yakin dan percaya akan usahanya pasti berhasil.

ooo)dw(ooo

Ruang perjamuan di dalam hotel Hong-ping masih terang benderang disinari api lilin, suara seruling masih kedengaran mengalun halus. Laki-laki baju hitam pasti sudah lari, Kwe Ting masih hidup, hadirin pasti sudah menunggu dirinya.

Begitu lompat turun dari wuwungan langsung Ting Hun-pin ke ruang perjamuan. Tapi tiba-tiba dia berdiri kaku, terasa sekujur badan menjadi dingin membeku seperti tiba-tiba dia kejeblos ke jurang yang dalamnya ribuan tombak dan gelap gulita, seperti dirinya tiba-tiba terjatuh ke dalam neraka.

Keadaan ruang perjamuan yang ramai penuh sesak tadi, kini begitu menakutkan, jauh lebih mengerikan dari keadaan di neraka. Kalau di neraka api menyala-nyala, asap apipun menyala merah seperti darah, demikian pula ruang pemujaan ini sekarangpun diliputi warna merah, tapi bukan lilin yang merah, bukan pakaian orang yang merah, tapi darah segar dan kental yang merah. Orang-orang yang mengunjungi perkawinannya sudah roboh semua, bergelimpangan di antara ceceran darah. Dalam ruang besar pemujaan ini tinggal seorang saja yang masih hidup, seseorang yang sedang meniup seruling.

Muka peniup seruling ini sudah pucat tak berdarah, matanya kaku mendelong, badannyapun mengejang, namun mulutnya masih meniup seruling. Agaknya dia masih hidup, namun sudah kehilangan sukma. Tiada orang bisa melukiskan bagaimana perasaan Ting Hun-pin mendengar irama seruling ini, malah orangpun takkan bisa membayangkannya.

Kwe Ting sudah tak bisa mendengar penjelasannya, mendengar keluhan batinnya, diapun rebah di antara ceceran darah, roboh berjajar dengan laki-laki baju hitam itu, demikian pula Ciangkui yang baik hati itu. Ting Hun-pin tidak tega memandangnya lagi, hanya warna merah melulu yang terpancang di depan matanya, tiada pandangan lain yang bisa dilihatnya.

Siapakah yang turun tangan sekeji ini? Apa pula tujuannya?

Dia sudah tak mampu memikirkan persoalan ini, tiba-tiba dia meloso jatuh, semaput.

ooo)dw(ooo

Di kala Ting Hun-pin membuka mata pula, pertama-tama yang terlihat oleh matanya adalah peti kayu yang mengkilap dan terukir indah itu, Ban-po-siang (Peti berlaksa pusaka).

Laki-laki tua bertopi tinggi berbaju kasar itu tengah berdiri di pinggir ranjang, menatapnya tajam, sorot matanya diliputi rasa pilu dan kasihan.

Ting Hun-pin hendak meronta bangun, tapi Kek Pin lekas menekan pundaknya supaya dia berbaring lagi. Ting Hun-pin tahu orang tua inilah yang menolong dirinya, akan tetapi..............

"Mana Kwe Ting? Kau tidak menolongnya?"

Kek Pin menggeleng dengan sedih katanya setelah menghela napas panjang: "Aku terlambat datang."

Ting Hun-pin mendadak berteriak: "Kau datang terlambat?. Kenapa kau harus minggat?"

"Karena aku harus lekas-lekas mencari orang."

"Untuk apa kau mencari orang? Kenapa?", suara Ting Hun-pin memekik kalap. Agaknya dia tak kuasa menahan emosinya, segalanya berantakan dan dia hampir hancur lebur.

Setelah perasaannya rada tenang, baru Kek Pin berkata dengan nada tertekan: "Karena aku harus mencari orang untuk menguasai dan mencegah peristiwa ini terjadi."

"Jadi sebelumnya kau sudah tahu bila peristiwa ini akan terjadi?"

"Setelah melihat bungkusan perhiasan permata dan melihat nama ke empat orang itu, aku segera tahu siapa mereka."

"Kau tahu siapa saja mereka itu?" Kek Pin manggut-manggut. "Siapakah mereka sebenarnya?" "Su-thoa-thian-ong dari Mo Kau."

Ting Hun-pin rebah pula dengan lemas seperti kepalanya di palu godam, bergerakpun tidak.

Berkata Kek Pin pelan-pelan: "Waktu itu tidak ku beber, hal ini lantaran aku kuatir setelah kalian tahu akan hal ini, bisa takut, gugup dan panik, aku tidak ingin mempengaruhi suasana gembira dari pernikahan kalian."

Pernikahan-pernikahan apakah jadinya. Ingin Ting Hun- pin berjingkrak pula, ingin berteriak, namun sedikitpun dia tidak punya tenaga.

"Dan lagi, akupun sudah melihat empat orang jubah kuning emas itu, kukira dengan adanya Kim-ci-pang yang mencampuri urusan ini, umpama benar Su-thoa-thian-ong dari Mo Kau pun akan bertindak ragu-ragu dan melihat gelagat."

Namun lekas sekali Kek Pin menambahkan dengan menghela napas: "Tapi tak terpikir olehku kejadian ini berubah di tengah jalan."

"Apakah kau kira Yap Kay akan melindungi kita secara diam-diam?"

Kek Pin manggut-manggut membenarkan.

"Maka kau tidak menduga bahwa Yap Kay akan lari pergi, tak mengira bahwa aku mengejarnya," suara Ting Hun-pin amat lemah. Jazatnya seakan-akan sudah kosong melompong.

Kata Kek Pin: "Seharusnya aku bisa menduga dia akan tinggal pergi, karena dia tidak melihat lencana batu kemala itu, juga tidak tahu adanya perhiasan-perhiasan itu."

"Apakah kado perhiasan itu mempunyai maksud-maksud tertentu?" tanya Ting Hun-pin.

"Ada saja."

"Apa maksudnya?"

"Perhiasan yang mereka antar itu pertanda untuk membeli jiwa."

"Membeli jiwa?" seru Ting Hun-pin mengkirik.

"Su-thoa-thian-ong dari Mo Kau biasanya jarang turun tangan membunuh orang."

"Kenapa?" "Karena mereka percaya adanya inkarnasi (penitisan kembali), roh-roh yang sudah berada di neraka akan menjelma pula ke badan manusia, maka selama hidup mereka tidak mau berhutang jiwa. Oleh karena itu, sebelum mereka turun tangan membunuh orang, mereka mengeluarkan imbalannya sebagai pembelian jiwa orang-orang yang hendak dibunuhnya."

"Darimana pula kau tahu, kalau aku pergi, Yap Kay pun pergi?" tanya Ting Hun-pin.

"Ada orang yang memberitahu kepadaku." "Siapa?"

"Orang yang meniup seruling itu."

"Dia saksikan sendiri peristiwa ini?" tanya Ting Hun-pin bergidik seram.

"Sejak mula sampai berakhir disampaikannya dengan jelas, kalau tidak kebetulan dia kebentur aku, mungkin seumur hidupnya dia akan menjadi linglung yang tak berguna lagi."

Siapapun menyaksikan tragedi yang menyeramkan ini, orang pasti akan ketakutan dan jatuh sakit.

"Diapun melihat muka asli dari Su-thoa-thian-ong itu?" tanya Ting Hun-pin.

"Tidak!" "Kenapa tidak?"

"Karena setiap kali melaksanakan dendam pembunuhnya, Su-thoa-thian-ong selalu mengenakan topeng malaikat iblis." "Membalas dendam? Sakit hati siapa yang mereka balas?"

"Giok-siau!", sahut Kek Pin, "bukankah Giok-siau mati di tangan Kwe Ting?"

(Bersambung ke Jilid-13)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar