Rahasia Mokau Kauwcu Jilid 10

 
Jilid-10

Sebagai majikan dari sebuah perusahaan ekspedisi pengangkutan, makanan Cay Ko-kang cukup mewah dan lezat, namun sebelum tugas yang dipikulnya selesai, segala apa yang bisa diinginkan terpaksa dikesampingkan. Satu jam lagi, dia sudah akan menyerahkan Yap Kay kepada orang yang harus dia temui di tempat tujuan, sebelum senja tiba, dia sudah ada di rumah dan makan minum sepuas hatinya.

Habis menenggak sebotol arak, tiba-tiba dia sendiri merasa letih. Biasanya dia tidak pernah tidur siang hari, namun mumpung iseng, apa halangannya tidur barang satu atau setengah jam untuk memulihkan semangat. Setelah makan malam nanti dia masih merencanakan sesuatu hiburan yang menyenangkan.

Kereta berjalan di jalan raya yang tidak rata, berguncang seperti perahu yang diombang-ambingkan lautan. Dengan memejamkan mata, otaknya merancang dan membayangkan siapa kiranya nanti malam yang harus ditemuinya untuk menghibur diri?. Untuk senang-senang ini sudah tentu harus mengeduk banyak uang dari kantongnya, tapi dua tahun belakangan ini, dia boleh tidak risau dalam menggunakan uang. Maka dengan senyuman lebar, akhirnya dia pulas.

ooo)dw(ooo

Rasanya dia hanya tidur sebentar saja, namun di kala dia tersentak siuman, Yap Kay ternyata sudah tak berada di tempatnya. Pintu kereta masih tertutup, kereta masih melaju ke depan, tapi Yap Kay sudah lenyap tanpa bekas.

Seketika pucat dan gemetar sekujur badan Cay Ko-kang, teriaknya: "Berhenti!", sebelum kereta berhenti dia sudah melompat turun merenggut sais kereta. "Adakah kau melihat orang she Yap tadi turun dari kereta?"

"Tidak!", sahut sais dengan kaget dan melenggong. "Lalu di mana dia?"

Sais kereta menyengir dingin, katanya: "Dia berada di dalam kereta bersama kau, kalau kau tidak tahu, darimana aku bisa tahu?"

Agaknya sais kereta ini bukan anak-buahnya dan tindak- tanduknya tidak hormat terhadapnya.

Kontan Cay Ko-kang rasa perutnya seperti dipelintir hendak muntah-muntah. Hampir tak tertahan lagi paha ayam dan daging sapi serta arak yang dimakannya tadi hendak dia tuang keluar dari perutnya.

Sais kereta menatapnya dingin-dingin: "Lebih baik lekas kau naik kereta, pulang mempertanggung-jawabkan tugasmu."

Cay Ko-kang tidak punya pikiran untuk melarikan diri. Dia tahu kemanapun dia melarikan diri takkan berguna, akibatnya malam semakin mengerikan. Di kala kereta berjalan, dia mendekam di pinggir jendela mulai muntah- muntah. Ketakutan tak ubahnya bau ikan busuk yang amis, selalu bikin orang muntah-muntah.

Setelah melampaui sebuah selat gunung dan maju tak berapa jauh, tampak di depan sebuah papan lebar di mana ada tertuliskan "Di atas gunung ada harimau, orang lewat ke jalan lain", tapi kereta ini tidak lewat jalan lain. Jalanan gunung semakin sempit dan rusak, tapi cukup lebar untuk lewat sebuah kereta yang menyerempet dinding gunung. Setelah tiba di tikungan gunung lain, mereka tiba di sebuah jalan raya. Jalan raya yang tidak kalah lebar dan ramainya dari jalan raya di sebuah kota besar.

Sepanjang jalan dipagari oleh warung-warung makan, berbagai macam manusia berlalu lalang di tengah jalan. Siapapun yang berada di sini pasti mengira dirinya tahu- tahu sudah kembali ke kota Tiang-an. Tapi setelah tiba di ujung jalan raya ini, kembali mereka dihadang oleh gunung yang liar dan belukar.

Lari kereta mulai diperlambat pula. Orang-orang yang lalu lalang di jalan seolah-olah adem-ayem dan acuh kepada kereta yang lewat di samping mereka. Karena mereka sudah kenal kereta ini juga kenal siapa pemiliknya, demikian pula sais kereta sudah mereka kenal betul.

Jikalau orang asing yang mengendalikan kereta ini mencongklang di jalan raya ini, perduli siapa dia, di dalam waktu singkat pasti jiwanya bakal melayang di tengah jalan. Tentunya di jalan raya ini takkan ada harimau buas, tapi ada orang-orang yang lebih buas dan lebih liar dari harimau yang paling galak.

ooo)dw(ooo

Kereta itu akhirnya masuk ke dalam pekarangan sebuah penginapan. Papan yang terpancang di depan pintu bertuliskan Hong-ping. Hotel yang mirip benar dengan tempat penginapan Yap Kay waktu dia berada di kota Tiang- an. Seorang pelayan yang menyanding kain lap meja di pundaknya dengan menjinjing sebuah teko segera memapak maju, sapanya: "Apakah Cay-cong-piau-thau datang seorang diri?"

Cay Ko-kang unjuk tawa dipaksakan, sahutnya: "Ya, seorang diri saja."

Tak terunjuk perasaan pada muka pelayan ini, katanya: "Kamarnya sudah kami siapkan untuk Cay-cong-piau-thau, silahkan ikut aku. "

Pekarangan luas di sebelah belakang rumah terdapat tujuh kamar besar dan sejuk, tak ubahnya seperti kamar di dalam pekarangan yang di tempati Giok-siau Tojin dan murid-muridnya. Pada ruang tamu di bagian depan, sudah dipersiapkan sebuah poci arak, sebuah nampan perak terukir yang dipenuhi berbagai kue-kue tujuh macam.

Seseorang tengah duduk membelakangi pintu, makan minum sendirian. Seorang yang berperawakan ramping bersanggul kepala tinggi dengan hiasan tusuk kondai dan mainan yang serba mewah. Itulah seorang gadis jelita yang rupawan melebihi bidadari.

Dengan menunduk kepala, Cay Ko-kang beranjak masuk, berdiri di belakang orang, menghela napas keras-keraspun tidak berani. Tanpa berpaling gadis itu pelan-pelan angkat cangkir araknya serta ditenggak habis, baru dengan suara merdu dia bertanya: "Kau datang seorang diri?"

Cay Ko-kang mengiyakan.

"Lalu kemana seorang yang lain?"

"Sudah pergi!," jawab Cay Ko-kang gemetar. Baru sekarang si jelita ini berpaling, raut mukanya mengulum senyuman mekar. Siangkwan Siau-sian. Sudah tentu dia adalah Siangkwan Siau-sian.

Berhadapan dengan gadis jelita ini, namun Cay Ko-kang ketakutan seperti berhadapan dengan iblis jahat.

Halus suara Siangkwan Siau-sian, katanya: "Apa kau mau bilang bahwa Yap Kay sudah menghilang?"

Cay Ko-kang manggut-manggut, giginya gemerutuk, saking ketakutan mulutnya menjadi kaku tak kuasa bersuara.

"Kuah kolesom yang kau siapkan itu, apa tidak kau minumkan kepadanya?", tanya Siangkwan Siau-sian.

"Dia. sudah dia minum."

"Lalu bagaimana?"

"Lalu kupayang dia naik ke kereta,"

Walau musim dingin, namun keringat Cay Ko-kang gemerobyos.

"Di atas kereta dia sudah pulas belum?" "Dia sudah tertidur."

"Bagaimana keadaan luka-lukanya?" "Luka-lukanya tidak ringan."

"Aku tidak mengerti, seseorang yang terluka berat, sudah tidur lagi, cara bagaimana kau melepas dia pergi?"

Cay Ko-kang seka keringatnya, sahutnya: "Aku. tidak

melepasnya pergi." "Aku tahu dia sendiri ingin pergi, tapi masa kau tidak bisa menahannya?"

Semakin di seka semakin gemerobyos keringat dingin Cay Ko-kang, katanya: "Waktu dia pergi, sedikitpun aku tidak tahu."

"Bukankah kau duduk sekereta sama dia?" "Ya"

"Kan aneh, kau duduk sekereta, bagaimana kau tidak tahu kapan dia pergi?"

"Karena.......karena. karena akupun tertidur."

Tiba-tiba Siangkwan Siau-sian tertawa cekikikan, tawa yang manis dan lembut, katanya: "Aku tahu kau pasti terlampau letih, belakangan ini kau memang terlalu repot."

Pucat pias muka Cay Ko-kang,  sahutnya  tersendat:  "Aku. aku tidak letih sedikitpun tidak."

"Kau harus melayani banyak langganan, bukan saja harus melayani para tamu, kau juga harus melayani hiburan cewek- cewek ayu itu. Bagaimana tidak akan meletihkan badanmu?," setelah menghela napas dia menambahkan: "Kupikir kau memang perlu istirahat, biarlah kuberi kau cuti dua puluh tahun saja. Dua puluh tahun kemudian kau akan hidup kembali sebagai laki-laki yang segar bugar."

Jari-jari tangan Siangkwan Siau-sian tengah pegang sepasang sumpit gading yang dihiasi perak, mendadak dia tusukkan masuk ke tenggorokan Cay Ko-kang dengan sepasang sumpitnya ini. Cay Ko-kang tidak berkelit, dia tidak berani berkelit, yang terang memang dia tidak mampu menyelamatkan diri dari tusukan ini. Memang, siapa yang mampu meluputkan diri dari serangan Siangkwan Siau-sian.

Tapi pada detik-detik yang menentukan itulah, sekonyong-konyong sinar kemilau berkelebat, 'Ting...' sumpit gading di tangan Siangkwan Siau-sian tahu-tahu putus terpapas di tengah-tengah. Kekuatan samberan sinar kemilau itu masih terlampau kuat dan 'Trap...' akhirnya menancap ke dinding yang dua tombak jauhnya dari tempat duduk Siangkwan Siau-sian. Itulah sebatang pisau, panjang tiga dim tujuh inci.

Entah sejak kapan seseorang tengah beranjak masuk pelan-pelan dengan tangan berpegang daun pintu. Yap Kay. Akhirnya Yap Kay datang juga. Pisau terbangnya selalu keluar dan lebih banyak menolong jiwa orang daripada membunuh orang. Mukanya kelihatan pucat. Dengan menggeremet meronta, pelan-pelan dia beranjak maju menepuk pundak Cay Ko-kang, katanya: "Kau menolongku sekali, akupun menolongmu sekali. Kini kita masing-masing tidak berhutang kepada siapa."

Siangkwan Siau-sian tertawa, katanya: "Ternyata tidak meleset omonganku, memang bukan hanya sebatang pisau yang kau bawa."

"Mana Lu Di?", ujar Yap Kay tertawa.

"Mana bisa dia mengejarku?" ujar Siangkwan Siau-sian sambil mengawasinya, senyumannya lembut manis.

"Kecuali kau, tiada laki-laki dalam dunia ini yang bisa mengejarku." Ucapan manis yang mengandung dua arti tersembunyi.

Tapi Yap Kay berlagak tidak mengerti, pura-pura bodoh memang salah satu keahliannya, malah sorot matanya celingukan ke sekelilingnya. Katanya sambil menghela napas panjang: "Sungguh tempat ini amat baik sekali!"

"Kau suka tinggal di tempat ini?"

"Kalau aku tertidur terus, setiba di sini baru bangun, pasti kukira aku masih berada di dalam kota, pasti tidak terpikir olehku bahwa markas pusat Kim-cie-pang ternyata berada di sini."

"Sayang, agaknya kau tidak sudi menerima kebaikanku." "Memang untuk membuatku tidur pulas kau harus

menaruh obat tidur sepuluh sendok di dalam kuah kolesom itu."

"Memang aku yang harus disalahkan, kenapa aku lupa bahwa kau adalah putra tersayang dari salah satu yang tertua dari Su-thoa-kong-cu dari Mo Kau."

"Oleh karena itu jangan kau menyalahkan Cay-cong-piau- thau, kupercaya dia sendiri tidak tahu, kenapa dia bisa pulas."

"Tapi kau tahu bukan?"

"Begitu berada di dalam kereta, lantas aku mendapatkan ransum yang dia bekal untuk tangsel perut di tengah jalan."

"Apakah kau selalu juga bawa obat bius?"

Yap Kay tertawa, katanya: "Aku hanya sedikit berludah pada paha ayamnya." "Apakah ludahmu masih mengandung kuah kolesom itu?"

Cay Ko-kang menunduk, mimik mukanya seperti orang yang mendadak mulutnya disumbat.

"Darimana kau bisa tahu bila Cay-cong-piau-thau hendak membawamu kemari?", tanya Siangkwan Siau-sian.

"Kecuali kau, siapa pula yang mampu membikin kuah kolesom dengan obat bius yang mahal itu?"

"Kau sudah lari, kenapa datang kemari?"

"Karena tiada tempat lain yang cukup buat aku berteduh." ujar Yap Kay.

Memang hal ini kenyataan. Dia tahu luka-lukanya berat, bila dia tetap berada di kota Tiang-an, mungkin jiwanya takkan berumur panjang. Dirinya tak ubah seekor rase gemuk, berkulit dan berbulu indah, para pemburu sedang mengejar-ngejar dirinya, burung-burung elang tengah beterbangan di kota Tiang-an mencari jejaknya.

Tiba-tiba Cay Ko-kang angkat kepala, timbrungnya: "Ada sebuah hal belum ku mengerti."

"Hal apa? Kau boleh tanya." ujar Yap Kay.

"Kau punya maksud datang kemari, kenapa pula harus mempermainkan aku?"

"Karena aku tidak sudi dianggap anak bodoh oleh orang lain, perduli ke manapun, aku harus cari tahu tempat macam apakah yang akan ku tuju."

Siangkwan Siau-sian menghela napas, ujarnya: "Kini terhitung kau sudah tahu tempat apa kediamanku ini. Untunglah kini akupun sudah memahami satu hal," matanya mengerling ke arah Cay Ko-kang, katanya menambahkan: "Kini aku betul-betul tahu siapa sebenarnya yang bodoh."

"Aku....." baru sepatah kata yang keluar dari mulut Cay Ko-kang. Untuk bicara mulutnya harus terbuka, mendadak selarik sinar berkelebat melesat masuk ke dalam mulutnya. Seketika terasa mulutnya manis dingin, seperti dia makan gula-gula yang mengandung arak.

Siangkwan tersenyum manis, katanya: "Aku tahu kau suka makan permen. Senjata rahasia di kolong langit ini, tiada satupun yang lebih manis dari permen saljuku ini, benar tidak?"

Cay Ko-kang tidak menjawab. Tiba-tiba kulit mukanya berubah hitam, tenggorokannya tiba-tiba tersumbat, seperti ada dua tangan yang tidak kelihatan mencekik lehernya. Cepat sekali napasnya tiba-tiba putus. Waktu arwahnya melayang, mulutnya masih terasa manis.

Siangkwan Siau-sian tetap tersenyum manis, lebih manis dari permen esnya.

Yap Kay tidak tertawa, dia tak bisa tertawa, dia tutup mulut.

"Kau tidak senang?" tanya Siangkwan Siau-sian, "dia pernah menolongmu, kaupun sudah menolongnya, bukankah utang piutang kalian sudah lunas? Kubunuh dia tiada sangkut pautnya dengan kau lagi."

"Sedikitnya kau bisa membunuhnya di luar, atau di mana saja asal tidak di hadapanku. Tapi kenapa. ?"

"Karena aku ingin kau mengerti akan dua hal," ujar Siangkwan Siau-sian, "jikalau kau ingin seseorang bodoh, tidak sebodoh orang lain, hanya ada satu cara." dengan tersenyum dia awasi mayat Cay Ko-kang serta menambahkan: "Kini bukankah dia tidak lebih bodoh dari orang lain?"

Di manapun juga orang mati sama saja, tiada orang mati yang lebih pintar dan tiada orang mati yang luar biasa bodoh.

Dengan kalem Siangkwan Siau-sian melanjutkan: "Akupun ingin supaya kau tahu, bila aku ingin membunuh orang, maka dia harus mati. Tiada manusia siapapun dalam jagat ini yang bisa menolongnya, demikian pula dirimu."

Yap Kay tetap tutup mulut.

Mengawasi orang, Siangkwan Siau-sian tertawa menggiurkan, ujarnya: "Sekarang kau masih segar bugar, karena aku tidak ingin membunuhmu, tidak akan kuberikan permen es untuk kau. Kenapa kau membisu saja? Yang benar ku anggap perbuatanmu terlalu goblok, kenapa tidak kau pakai saja pisaumu menghadapi Lu Di?"

Yap Kay tertawa dingin, sesaat dia termenung, katanya kalem: "Karena aku ingin membuktikan satu hal."

"Hal apa?"

"Aku ingin tahu apakah Han Tin benar-benar mati karena timpukan pedangnya."

"Jikalau jiwamu sendiri mampus, apa pula untungnya kau tahu akan rahasia itu?"

"Memang, aku terlalu rendah menilai kepandaiannya." "Kepandaiannya lebih tinggi daripada yang kau bayangkan?"

Yap Kay manggut-manggut.

"Kau sudah tahu bahwa Han Tin bukan mati di tangannya?"

"Kalau benar dia yang membunuh Han Tin, pasti diapun akan membunuhku.", ujar Yap Kay, "kenyataan Han Tin bukan dia yang membunuh, maka pasti kaulah yang membunuhnya. Setelah membunuh Han Tin, sengaja kau jatuhkan dosamu atas dirinya, maksudmu supaya aku adu jiwa dengan dia."

Siangkwan Siau-sian menatapnya bulat-bulat, matanya yang jeli menampilkan perasaan yang rumit. Lama  sekali baru dia berkata pelan-pelan: "Apa kau yakin bahwa akulah yang membunuh Han Tin?"

"Kecuali kau, tak terpikir orang kedua." sahut Yap Kay menatapnya juga.

"Tapi, aku benar-benar tidak membunuhnya." kata Siangkwan Siau-sian.

Yap Kay menyeringai dingin.

"Kau tidak percaya?" kata Siangkwan Siau-sian, sambil menghela napas melanjutkan: "Memang aku duga kau tidak akan percaya, apapun yang kukatakan sekarang, kau pasti tidak percaya."

Yap Kay mengakui.

"Tapi kalau aku bisa membuktikan bukan aku yang membunuh dia, kau bagaimana?" "Kau bisa membuktikan? Bagaimana kau akan membuktikan?"

"Sudah tentu aku punya caraku sendiri."

"Aku tahu kau punya akal, malah kaupun punya akal bahwa akulah yang membunuh Han Tin."

"Yang terang buktiku ini kenyataan."

"Aku tahu kau punya bukti yang nyata, sembarang waktu kau bisa saja menonjolkan ratusan bukti-bukti."

"Hanya ada satu bukti pada diriku, kalau kau tidak percaya akan bukti yang kutunjukkan, aku rela kau gorok leherku untuk membalaskan sakit hati Han Tin."

Kata-katanya tegas penuh keyakinan.

Hampir saja Yap Kay sudah termakan oleh kata-katanya, namun dia segera meningkatkan kewaspadaan, supaya dirinya jangan gampang diakali dan mau percaya begitu saja.

"Perduli bukti apapun yang kau tunjukkan, aku tidak akan mau percaya."

"Jikalau kau percaya, bagaimana?"

"Kalau benar kau bisa membuat aku percaya bahwa bukan kau yang membunuh Han Tin, aku akan. "

"Kau akan apa?"

"Terserah apa yang kau inginkan."

"Kau tahu aku jelas tidak akan bertindak apa-apa terhadapmu, bukan saja tidak ingin membunuhmu, akupun tidak ingin kau berduka, aku hanya ingin kau menerima sebuah permintaanku." "Permintaan apa?"

"Sesuatu yang tidak akan mencelakai jiwa orang lain, juga tidak akan merugikan seujung rambutmu."

"Baik, kuterima!"

Dia yakin Siangkwan Siau-sian tidak akan bisa mengeluarkan buktinya, tiada sesuatu dalam dunia ini yang bisa membuatnya percaya akan obrolan Siangkwan Siau-sian. Tapi kali ini dia salah pikir. Masih ada satu orang dalam dunia ini yang bisa membuktikan bahwa bukan Siangkwan Siau-sian yang membunuh Han Tin. Lalu siapakah orang ini?

Orang ini bukan lain adalah Han Tin sendiri.

Hakekatnya Han Tin belum mati, ternyata dengan segar bugar, kembali dia muncul di hadapannya.

Sekali Siangkwan Siau-sian tepukkan tangannya, dia lantas muncul dari belakang, tangannya menenteng sebuah guci arak, dengan tersenyum dia angsurkan ke depan Yap Kay, katanya: "Akhirnya aku temukan arak ini untuk kau. Kalau tidak cukup, aku masih bisa mencari yang lain."

Sudah tentu Yap Kay melenggong dan tak habis mengerti.

Kali ini dia benar-benar menjublek.

Siangkwan Siau-sian tertawa-tawa, ujarnya: "Apa orang ini bukan Han Tin?"

Tidak perlu disangsikan lagi. Jelas terlihat oleh Yap Kay hidung orang yang penyok bekas pukulannya tempo hari.

"Bahwa Han Tin masih hidup, sudah tentu aku tidak pernah membunuh Han Tin." demikian kata Siangkwan Siau- sian, "kau sudah percaya bahwa aku tidak membunuhnya bukan?"

Yap Kay tidak bersuara. Kini dia mengerti, orang yang terpantek pedang, mampus di ranjang itu bukan Han Tin. Muka orang itu sudah dirusak maka dia tidak bisa membedakan apakah dia itu Han Tin yang asli atau palsu.

Terpaksa Yap Kay hanya menyengir tawa, katanya: "Agaknya dalam Kim-cie-pang memang tidak sedikit kaum ahli. Kau suruh seseorang menyaru jadi Han Tin, lalu menghancurkan mukanya, menyuruhnya menipu aku."

Siangkwan Siau-sian berkata: "Han Tin sendiri yang melaksanakan, kepalannya amat keras, sedikitnya lebih keras dari kepalanku."

"Tapi aku tetap tidak mengerti, cara bagaimana ada orang sudi bekerja demi kau, setelah kau hajar dan kau rusak mukanya, masih mau diperalat untuk menipu orang?"

"Waktu kau keluar dari kereta tadi, adakah kau melihat orang-orang di luar itu? Cukup sepatah kataku, apapun yang kuinginkan, mereka akan suka rela melaksanakannya."

"Setelah mereka melaksanakannya, kau tetap membunuh mereka?"

"Memang, aku ini perempuan telengas yang gapah tangan, jiwa orang-orang itu dalam pandanganku tidak berharga sepeserpun." tiba-tiba terunjuk pula sorot mata aneh, katanya lebih lanjut: "Tapi terhadap kau. bagaimana

sikapku terhadap kau, tentu kau tahu sendiri."

"Sekarang aku hanya ingin tahu, kerja apa yang harus kulaksanakan untukmu?" Lama Siangkwan Siau-sian menatapnya, katanya: "Aku hanya minta kau mematuhi permintaanku, tinggallah di sini, setelah luka-lukamu sembuh seluruhnya, baru berlalu."

"Hanya itu saja?" "Hanya ini saja."

Kembali Yap Kay melongo. Mengawasi orang tiba-tiba timbul perasaan yang sukar dia resapi sendiri.'. terhadap

orang lain aku bertindak kejam, tapi bagaimana terhadapmu, tentu kau mengerti sendiri......'. Jadi sengaja perbuatan segala usahanya melulu hanya untuk Yap Kay.

Yap Kay bingung dan tidak habis mengerti, selalu dia tidak mau percaya dan tidak rela percaya, tapi dia di hadapi kenyataan dan mau tidak mau harus percaya.

Siangkwan Siau-sian berkata dengan perasaan seorang gadis yang dilanda asmara: "Sebetulnya banyak cara bisa kugunakan untuk menahanmu di sini, tapi aku tidak ingin memaksa kau, maka ku ingin kau sendiri yang menerima permintaanku."

Yap Kay menghela napas, ujarnya: "Memang, aku toh sudah menerimanya."

ooo)dw(ooo

Di belakang pekarangan terdapat sebuah dapur kecil, bau bubur yang wangi telah teruar dari dapur kecil itu. Siangkwan Siau-sian berada di dapur, tengah memasak bubur, bubur ayam dicampur kolesom.

Bau makanan yang sedap menjadikan perut Yap Kay keroncongan. Sejak tadi dia masih mempertahankan diri, namun begitu dia merebahkan diri di atas ranjang, baru dia sadar, bahwa dirinya kuat bertahan sekian lamanya sungguh merupakan keajaiban. Bukan saja luka-lukanya sedang cekat-cekot, seluruh tulang-tulang badannya seperti berontak, rasanya linu dan senut-senut.

Tak lama kemudian Siangkwan Siau-sian beranjak masuk dengan membawa semangkok bubur, katanya berseri tawa: "Inilah bubur yang ku masak sendiri, boleh kau rasakan bagaimana rasanya?".

Apa benar diapun pandai masak? Bisa masak bubur?

Mungkin karena sudah kelaparan, Yap Kay makan dengan lahapnya.

Kata Siangkwan Siau-sian tertawa senang: "Dalam bubur ku campur obat kuat untuk mempercepat sembuh badanmu."

Kini pupur dan gincu sudah dia bersihkan sama sekali, pakaiannyapun sederhana, kain hijau dan celana dari kain kasar yang bersahaja, siapapun yang berhadapan dengan dia takkan menyangka dan percaya bahwa gadis jelita ini adalah Kim-cie-pang Pangcu, lebih takkan mau percaya bahwa gadis yang satu ini adalah gembong iblis yang bertangan gapah berhati kejam. Kini seolah-olah dia sudah berubah menjadi perempuan lain, dari seorang gadis linglung, gadis boneka menjadi gembong iblis yang jahat, kini berubah lagi seperti seorang istri yang telaten yang meladeni suaminya yang sakit.

Menghadapi perubahan orang, Yap Kay sendiri sukar membedakan perempuan macam apa dia sebenarnya? Mungkinkah setiap manusia mempunyai dua watak dan jiwa yang berlainan? Ada kalanya berhati bajik dan luhur, namun ada kalanya pula dia berbuat jahat.

Yap Kay sendiripun tidak terkecuali akan hal ini. Apakah dia membelenggu watak jahat Siangkwan Siau-sian? Dia tidak yakin, tapi dia berkeputusan untuk mencobanya.

Setelah habis mendulangi bubur, Siangkwan Siau-sian telah memeriksa tulang selangkangan Yap Kay yang putus, katanya menghela napas: "Luka-lukamu memang tidak ringan, agaknya tangan Lu Di memang dibuat dari besi baja."

"Kalau tidak mirip besi, aku yakin tidak ada lagi besi yang lebih menakutkan dari tangannya itu." ujar Yap Kay tertawa kecut.

Siangkwan Siau-sian menepekur, katanya kemudian: "Semula aku memang ingin kau mencari Lu Di menuntutkan balas sakit hati Han Tin, aku ingin kau membunuhnya."

Yap Kay diam saja, dia sedang mendengarkan.

"Kini Siau-li Tham-hoa, Hwi-kiam-khek dan Kek Bu-si walau masih hidup, namun takkan mau mencampuri urusan duniawi lagi. Kecuali ketiga orang ini, dalam dunia ini yang benar-benar bisa merupakan ancaman berat bagi usahaku hanya tiga orang saja."

"Siapa saja ketiga orang itu?" tanya Yap Kay.

"Coba kau terka?" biji mata Siangkwan Siau-sian berkedip-kedip.

"Tentunya kaupun masukkan diriku di dalam hitunganmu itu." "Kau justru tidak!"

Yap Kay melengak, tanya: "Apakah aku belum terhitung tokoh kosen?"

"Kalau menilai ilmu silat, sudah tentu kau merupakan tokoh kosen yang paling top. Sebaliknya kalau dinilai kecerdikan otak serta akal muslihatnya, akupun tidak lebih asor dari orang lain, terutama pisau terbangmu, tiada bandingannya kecuali gurumu sendiri, dan merupakan senjata ampuh yang paling menakutkan dalam dunia ini."

Ini memang kenyataan. Yap Kay tidak suka menimbrung ucapan tulus orang, sudah tentu lebih tidak suka menukas ucapan yang mengagulkan dirinya. Betapapun dipuji dan diagulkan merupakan suatu yang menyenangkan.

"Sayang hatimu kurang hitam (kejam), sepak terjangmu kurang telengas pula. Pisau terbangmu selalu keluar hanya untuk menolong jiwa orang, jarang untuk membunuh orang."

Yap Kay tertawa, katanya: "Oleh karena itu aku tidak bisa menekan dan mengancam?"

"Ku anggap kau tidak atau bukan merupakan ancaman bagi usahaku, yang penting lantaran...... lantaran kita adalah sahabat, aku takkan mencelakai kau. Aku percaya, kaupun segan melukai aku."

"Kalau aku tidak masuk hitungan, Tang-hay-giok-siau apakah masuk diantaranya?"

"Diapun tidak masuk hitungan," sahut Siangkwan Siau- sian, "tiga puluh tahun yang lalu, namanya sudah tercantum di dalam urutan sepuluh tokoh kosen di dalam buku daftar senjata, kini sudah menjadi anggota Mo Kau pula, sudah tentu ilmu silatnya amat menakutkan, tapi dia tetap tidak akan mengancam usaha dan kedudukanku."

"Kenapa?"

"karena dia sudah pergi dan lagi dia punya ciri kelemahan."

"Giok-siau doyan paras ayu." ujar Yap Kay.

"Maka aku tidak perlu gentar menghadapinya, laki-laki yang doyan paras ayu, teramat mudah untuk menghadapinya."

"Giok-siau pun tidak masuk hitungan, lalu Kwe Ting?" "Kwe Ting juga tidak masuk hitungan."

Yap Kay tidak setuju, katanya: "Menurut apa yang ku tahu, tingkatan ilmu pedangnya takkan lebih asor dari Siong-yang-thi-kiam di masa jayanya dulu."

"Memang ilmu pedangnya mungkin lebih tinggi dari Siong- yang-thi-kiam, bukankah Lamkiong Wan termasuk ahli pedang kelas wahid di Bu-lim, sepuluh juruspun dia tidak kuat melawannya."

"Kaupun saksikan pertempuran itu?"

"Duel tokoh Bu-lim pada jaman ini, bila aku punya kesempatan, pasti tidak akan kusia-siakan."

"Ya, malah ada kalanya kau cukup mencuri lihat saja dari luar tembok," olok Yap Kay tertawa.

"Gerakannya memang kuat dan mantap, perubahannyapun cepat sekali, boleh dikata sudah tiada kelemahan yang patut digempur, tapi dia orang yang tetap mempunyai ciri." "O,ya" Yap Kay bersuara heran, "apa cirinya." "Dia terlalu romantis."

Yap Kay harus mengakui kebenaran ini, Kwe Ting memang terlalu romantis.

"Orang yang terlalu romantis, pasti seseorang yang  lemah hati, betapapun kuat dan hebat ilmu silatnya, jikalau hatinya lemah, tidak perlu dia ditakuti."

Yap Kay menghela napas. Mengingat Kwe Ting, serta merta terbayang juga Ting Hun-pin. Bukan saja Ting Hun- pin terlalu romantis, diapun terlalu gampang jatuh cinta dilandasi perasaan yang lembut. Untuk ini dia tidak ingin memikirkannya lebih lanjut. Tanyanya: "Bagaimana dengan majikan kota mutiara?"

"Majikan kota mutiara bersaudara memang boleh dihitung orang ajaib, keanehan ilmu pedang mereka boleh terhitung nomor satu di seluruh jagat."

"Lian-cu-su-pek-kiu-cap-kiam?" seru Yap Kay.

Siangkwan Siau-sian manggut-manggut, katanya: "Kedua kakak beradik ini memang dilahirkan tidak normal seperti manusia umumnya, yang satu lengan kanannya lebih panjang tujuh dim dari lengan kiri, sementara tangan kiri lebih panjang tujuh dim dari tangan kanan. Masing-masing pegang pedang di tangan kiri dan kanan, Cuma pedang yang satu panjang yang lain pendek. Memang mereka saudara kembar, daya pikiran seia sekata. Di waktu bergabung menghadapi musuh, dua orang bersatu padu seperti satu orang. Begitu ilmu pedang rangkaian mutiara yang berjumlah empat ratus sembilan puluh jurus itu dikembangkan, tiada orang dalam dunia ini yang mampu memecahkannya."

"Bukan saja tiada orang bisa memecahkan, malah tiada tokoh kosen siapapun dalam dunia ini yang mampu melawannya sampai empat ratus sembilan puluh jurus itu dikembangkan seluruhnya."

"Lalu mereka termasuk hitungan tidak?" "Tidak!"

"Lho! Kok Tidak? Kenapa?" "Karena mereka sudah mati."

"Kapan mati? Cara bagaimana bisa mati?"

"Setiap orang akhirnya ajal, kenapa dibuat heran?"

"Lalu siapakah ketiga orang yang kau maksud? Apa mereka bukan tokoh kenamaan?"

"Paling tidak mereka bukan tokoh kenamaan segolongan dengan orang-orang yang kau sebut tadi."

Yap Kay menepekur, tiba-tiba dia bertanya: "Kau tahu Pho Ang-swat?"

"Aku tahu, dia adalah temanmu, boleh terhitung sebagai adikmu, wataknya aneh, ilmu goloknyapun aneh luar biasa."

"Bukan aneh, tapi cepat, cepatnya luar biasa."

"Aku pernah melihat permainannya." ujar Siangkwan Siau-sian, "memang goloknya teramat cepat dan telak, bolehlah disejajarkan dengan Hwi-kiam-khek yang kenamaan dulu. " "Diapun belum bisa masuk hitungan" "Tidak bisa."

"Kenapa?"

"Karena dia tidak mau keluar lagi di kalangan Kang-ouw, terhadap kehidupan Kang-ouw ini agaknya dia sudah bosan, dia hanya ingin jadi seorang pertapa, mengasingkan diri tanpa pertentangan dan berlomba mengadu untung dan mempertaruhkan jiwa, diapun tidak ingin menjadi pendekar besar, seorang Enghiong yang menggetarkan jagat, apalagi dia mengidap penyakit ayan yang menakutkan."

Yap Kay kelakep. Kali ini Siangkwan Siau-sian tidak meleset lagi menguraikan setiap tokoh yang dia kenal dengan baik. Lebih menakutkan lagi, siapapun asal dia punya setitik kelemahan., pasti takkan bisa mengelabui dirinya.

Tiba-tiba Yap Kay merasakan orang berubah pula menjadi orang lain, seorang kritikus yang tahu segala seluk beluk dunia, seorang strategis perang yang bisa mengendalikan tentaranya untuk menggempur kelemahan musuh yang jauhnya ribuan Li untuk mencapai kemenangan gemilang.

Semula Yap Kay sudah amat letih, namun kini semangatnya terbangkit, katanya: "Lalu, siapakah sebenarnya tiga orang yang kau maksudkan itu?"

"Tiga orang yang kumaksud barulah benar-benar manusia yang amat menakutkan dalam dunia ini, karena mereka boleh dikata sudah hampir tidak mempunyai kelemahan apa-apa." tiba-tiba terpancar cahaya pada sorot mata Siangkwan Siau-sian, katanya melanjutkan: "Orang pertama she Bak, bernama Bak Ngo-sing." "Bak Ngo-sing?"

"Kau belum pernah mendengar nama orang ini?"

"Apakah dia salah satu keluarga marga Bak dari Ceng- seng-san?"

"Memang, dia inilah majikan tulen dari pasukan berani mati dari Ceng-seng itu. Bak Pek tidak lebih hanyalah budak piaraannya belaka."

Bak Pek sudah terhitung tokoh yang menakutkan, namun orang ternyata hanyalah budaknya belaka.

"Orang macam apakah sebenarnya Bak Ngo-sing ini?

Bagaimana pula ilmu silatnya?"

"Aku tidak bisa menerangkan," sahut Siangkwan Siau- sian, "oleh karena itu ku anggap menakutkan. Soal lain tidak perlu kubiarkan, anak buahnya kira-kira ada 500 orang, sembarang waktu siap gugur demi kepentingan junjungannya Untuk hal ini, kau sudah bisa membayangkan betapa menakutkan dia itu."

Teringat akan orang-orang yang berani mati itu, menghadapi kematian seperti pulang keharibaan Thian dengan sikap gagah dan perkasa, mau tak mau Yap Kay merinding dibuatnya.

"Orang ke dua yang kumaksud pernah bergebrak dengan kau."

"Lu Di?"

"Benar! Lu Di. Mungkin selama ini kau terlalu rendah menilainya." "Sedikitnya kini aku tidak akan memandangnya rendah, aku hampir mampus di tangannya."

"Tapi kau toh belum tahu, di mana leak dari rahasianya yang paling menakutkan." ujar Siangkwan Siau-sian, "ilmu silatnya kau sudah pernah menghadapi, bagaimana menurut pendapatmu?"

"Pertahanannya tiada lowongan untuk kau gempur. Waktu menyerang sedahsyat geledek menyamber, dan lagi cara serangannya banyak variasi dan susah diraba juntrungannya. Dia pandai memakai pancingan untuk menjebak musuh terjerumus ke dalam perangkapnya."

"Akan tetapi bila pisau terbangmu kau kerjakan, dia tetap takkan bisa meluputkan diri."

Yap Kay tidak menyangkal, tapi juga tidak mengakui. Bagi pisaunya sendiri, biasanya dia tidak pernah mau menilai atau menganalisa.

"Letak rahasia yang paling menakutkan bisa dilukiskan dengan enam belas huruf. Tadi kau sudah mengatakan  empat huruf. Yaitu pandai merubah situasi menggempur kelemahan musuh dengan kelicikan jiwanya."

"Masih ada dua belas huruf lagi, apakah itu?"

"Tabah, kejam, jahat sebuas binatang, bermuka ganteng berhati palsu."

Yap Kay tertawa, katanya: "Usianya masih begitu muda, kedengarannya keterlaluan sekali."

Tiba-tiba Siangkwan Siau-sian bertanya: "Tahukah kau kenapa dia bisa mengalahkan kau?" Yap Kay geleng-geleng kepala. Bukannya dia tidak tahu, namun dia tidak ingin mengatakannya.

Siangkwan Siau-sian membeber secara blak-blakan: "Dia dapat mengalahkan kau karena pisau terbangmu tidak kau gunakan." lalu dia bertanya: "Tapi tahukah kau, kenapa pisau terbangmu tidak kau gunakan?"

Kali ini mulut Yap Kay sudah bergerak hendak bicara, tapi Siangkwan Siau-sian tidak memberi kesempatan, katanya mendahului: "Karena dia lempar dulu pedangnya, sudah tentu kau malu menggunakan pisaumu."

"Apakah sebelumnya dia sudah memperhitungkan hal ini bakal terjadi, maka dia tidak mau menggunakan pedang?"

"Tidak akan salah!"

"Tapi dengan tegas dia sendiri mengatakan, bahwa tangannya itu merupakan gaman ampuh."

"Soalnya diapun sudah tahu orang macam apa kau ini, dia tahu semakin begitu perkataannya, kau tidak akan mempergunakan pisau terbangmu, maka dia pura-pura bersikap luhur dan gagah. Tahukah kau kenapa akhirnya dia tidak membunuhmu?"

"Karena. "

Kembali Siangkwan Siau-sian menukas: "Karena dia sendiri sudah menginsyafi bila dia benar-benar berniat hendak membunuh kau, bukan mustahil pisau terbangmu bisa ku keluarkan, tentunya diapun tahu bahwa bukan hanya sebatang saja pisau yang kau gembol."

"Tapi dia mengajakku berduel lagi, kelak. " "Kali ini sudah menaruh belas kasihan terhadapmu, kelak bila berduel betul-betul, apakah kau tega membunuhnya?", dengan tertawa dia menyambung, "apalagi setelah pertempuran kali itu, kau sudah beranggapan dia seorang Enghiong, sudah timbul simpati dan ingin bersahabat dengan dia, kelak umpama dia ingin menjajalimu, kau tetap akan selalu menghindarinya."

Yap Kay tidak menyangkal akan penjelasan ini.

"Oleh karena itu, bukan saja dia sudah mengalahkan kau, bukan saja berkenalan dengan seorang sahabat seperti dirimu yang begini berguna, namanyapun akan tenar dan dikagumi serta disegani sebagai pendekar budiman yang masih muda usia." lalu dengan suara kalem dia menyambung, "maka berani aku melukiskan dia sesuai dengan maksud ke enam belas huruf tadi, dan tidak akan meleset dari kenyataannya. Di samping itu, ada pula muslihat dan besar pula ambisinya."

Yap Kay tertawa getir, katanya: "Oleh karena itu, maka kau mengharap aku wakili kau membunuhnya."

Siangkwan Siau-sian mengakui: "Ada manusia seperti dia ini sungguh merupakan ancaman serius bagi usaha dan cita- citaku."

"Kau tidak mampu menghadapinya?"

"Sedikitnya sampai detik ini, aku belum memperoleh cara yang sempurna untuk menghadapinya."

"Oleh karena itu kau berpendapat dia lebih menakutkan dari Bak Ngo-sing?" Siangkwan Siau-sian manggut-manggut, ujarnya: "Tapi yang paling menakutkan justru adalah orang ketiga."

"Lalu siapakah orang ketiga yang kau maksud?" "Han Tin!"

Yap Kay melongo.

"Kau tidak mengira kalau dia?"

"Orang ini memang pendiam, banyak akalnya dan tabah sekali, namun. "

"Tapi kau tidak percaya kalau dia lebih menakutkan dibanding Bak Ngo-sing dan Lu Di?"

Yap Kay tidak menyangkal bahwa pendapatnya memang demikian.

"Kau kira ilmu silatnya terlampau rendah?", tanya Siangkwan Siau-sian, "kau yakin dapat mengalahkan dia bukan?"

"Aku. "

"Kau tidak yakin, karena hakikatnya kau tidak tahu sampai di mana tingkat kepandaian silatnya, mungkin tiada seorangpun dalam dunia ini yang bisa mengukur sampai di mana tingkat kepandaian silat orang ini sebenarnya."

"Kau sendiripun tidak tahu?" tanya Yap Kay. "Akupun tidak tahu!"

"Kau kira dia tidak benar-benar setia terhadap kau?" "Aku tiada keyakinan itu."

"Tapi dia selalu berada di sampingmu." "Karena sampai detik ini, belum pernah kutemukan sesuatu perbuatannya yang menandakan pengkhianatannya terhadapku, hakikatnya aku tidak memperoleh bukti apa- apa."

"Mungkin bahwa dia memang benar-benar setia terhadapmu, mungkin pula kecurigaanmu terhadapnya merupakan kesalahan pula, memangnya penyakit curiga kaum Hawa jauh lebih besar dari kaum Adam."

"Akan tetapi perempuan memiliki sesuatu perasaan yang aneh, perasaan ini seolah-olah menjadi matanya yang ke tiga, adakalanya perasaan ini dapat melihat perbuatan apa saja yang pernah dilakukan oleh laki-laki."

"Lalu apa yang pernah kau lihat atau rasakan?"

"Sejak lama sudah kurasakan, di antara sekian banyak pembantuku yang terpercaya terdapat seorang mata-mata, sekali aku kurang hati-hati, kemungkinan besar aku bisa hancur di tangannya."

"Jadi kau curiga orang yang kau curigai itu adalah Han Tin?"

"Karena tindak-tanduknya dan segala sikapnya menimbulkan kecurigaan yang paling besar, malahan aku curiga bila dia adalah satu dari Su-thoa-thian-ong Mo Kau."

"Tapi kau belum mendapatkan bukti." "Ya, bukti apapun belum kuperoleh."

"Oleh karena itu pula mata-mata yang tulen bukan dia, mungkin orang lain." "Justru karena sedikitpun aku tidak punya pegangan, maka selama ini aku belum bisa turun tangan kepadanya, yang benar dia pernah melaksanakan banyak bantuan untuk perjuanganku. Memang dia seorang pembantu yang baik sekali, jikalau tanpa sebab aku melenyapkan dia, bukan saja bisa menimbulkan curiga orang dan menakuti orang lain, aku sendiripun merasa sayang."

Tawar kata Yap Kay: "Agaknya jabatan Pangcu Kim-ci- pang memang tidak gampang diduduki."

"Memang, tidak enak duduk sebagai Pangcu."

"Kalau begitu, kenapa kau melakukan usaha yang sukar, makan tenaga dan pikiran, serta berbahaya lagi?"

Jauh pandangan Siangkwan Siau-sian tertuju, lama sekali baru dia bersuara pelan-pelan: "Karena aku adalah Siangkwan Siau-sian, karena aku adalah putri Siangkwan Kim-hong."

"Oleh karena itu kau harus bersabar dan menunggu serta memancing mata-mata ini turun tangan terlebih dahulu kepadamu?"

Siangkwan Siau-sian manggut-manggut, katanya tertawa getir: "Terpaksa aku harus menunggu dia turun tangan lebih dahulu."

"Tapi bukan mustahil sekali dia menyerang, kau sudah sempat dihancurkan lebih dulu."

"Ya, mungkin saja!"

"Oleh karena itu jangan harap kau bisa tidur nyenyak dan makan dengan kenyang." Siangkwan Siau-sian tarik pandangannya dari kejauhan, berkisar ke muka Yap Kay: "Beberapa tahun ini, hanya di kala kau menemani aku, baru malamnya aku bisa tidur nyenyak dan tentram."

Yap Kay menyingkir dari tatapan mata orang, ujarnya tawar: "Itu kejadian masa lalu, waktu itu aku belum tahu orang macam apa kau sebenarnya, sekarang. "

Siangkwan Siau-sian menggenggam tangannya, katanya: "Sekarangpun sama saja, asal kau sudi selalu berada di sampingku, terhadap siapapun aku tidak perlu takut."

"Kau tidak kuatir bila aku. "

"Kau tidak perlu kutakuti," tukas Siangkwan Siau-sian, "aku percaya padamu. Dalam hidupku ini hanya kau seorang yang kupercaya."

Suaranya lembut aleman, rasanya silir seperti hembusan angin lalu di musim semi, katanya pelan-pelan: "Asal kita berdua bisa bersama, umpama ada 10 Lu Di, 10 Han Tin memusuhiku, aku yakin dengan gampang akan memukul mereka. Asal kita bersatu padu, dunia ini milik kita."

Yap Kay tidak bersuara pula, kelopak matanya sudah terpejam. Ternyata dia sudah pulas.

Lama Siangkwan Siau-sian mengawasinya.

Entah berapa lama kemudian, baru pelan-pelan dia lepaskan genggamannya, beranjak keluar pelan-pelan pula. Waktu mengawasi Yap Kay, sorot matanya penuh diliputi keyakinan seolah-olah laki-laki yang satu ini akhirnya pasti akan menjadi miliknya. Agaknya dalam hal ini dia sudah punya pegangan yang kuat. ooo)dw(ooo

Han Tin tunduk kepala, kedua tangan lurus ke bawah, berdiri tegak di pekarangan. Sudah lama dia menunggu di situ, karena Siangkwan Siau-sian minta dia menunggu di situ. Umpama Siangkwan Siau-sian suruh dia menunggu di atas wajan yang panas, dia takkan berani menggeser barang selangkah., tunduk dan setia terhadap perintah junjungan. Tiada orang yang tidak merasa haru dan kagum kepadanya.

Siangkwan Siau-sian sedang beranjak turun dari undakan batu, mengawasi orang, sorot matanya memancarkan rasa puas dan senang. Orang galak dan garang serta keji. Dengan adanya seorang pembantu seperti dia, hatinya pasti akan puas dan senang.

"Orang-orang yang kusuruh kau cari sudah dikumpulkan belum?", tanya Siangkwan Siau-sian.

"Sudah ketemu semua, kini menunggu di luar." sahut Han Tin manggut-manggut.

"Suruh mereka masuk!", Siangkwan Siau-sian memerintahkan.

Han Tin lantas tepuk tangan. Dari pekarangan luar beruntun beranjak masuk belasan orang, di antara mereka ada laki-laki dan ada juga perempuan, ada tua muda, ada pedagang kelontong, ada tukang pikul, ada perempuan centil, ada nenek-nenek, ada juga bajingan dan buaya darat. Dandanan mereka berlainan, namun mereka termasuk dalam satu kelompok yang sama. Di dalam Kim-ci-pang ada semacam manusia-manusia yang patuh, tunduk setia seratus persen. Setiap patah kata Siangkwan Siau-sian adalah perintah.

Perintahnya kali ini: "Pergilah ke kota Tiang-an, sebarkan berita bahwa Yap Kay sudah mati. Tak perduli cara apapun yang kalian gunakan, yang terang kalian harus bikin orang percaya dan yakin bahwa Yap Kay sudah mati. Awas bila ada orang masih berpendapat Yap Kay masih hidup, kalian harus menebus dengan batok kepala."

Perintahnya memang cekak aos, namun amat berhasil.

Mengawasi anak buahnya ini, keluar sorot matanya menunjuk rasa puas dan terhibur, suruh orang-orang ini pergi menyebar kabar bohong, segampang kumbang menyebar madu kembang. Dia yakin rencananya kali ini pasti berhasil dengan baik.

ooo)dw(ooo

"Yap Kay sudah mati?"

"Mana mungkin Yap Kay mati?"

"Manusia siapa yang tidak bisa mati, Yap Kay kan manusia biasa."

"Tapi dia manusia yang tidak gampang mati. Khabarnya dia sudah terhitung tokoh kosen nomor satu pada jaman ini."

"Jangankan jago kosen nomor satu di dunia, raja agungpun akhirnya bisa mati juga. Bukankah tokoh-tokoh kosen nomor satu pada jaman yang lalu kini sudah mati seluruhnya?" "Di antara orang-orang kosen selalu ada yang lebih kosen, jikalau seseorang menjadi tokoh kosen nomor satu di dunia, malah mungkin dia bisa mati lebih cepat dari orang biasa."

"Tapi tak habis aku pikir, siapa yang mampu membunuh dia?"

"Ada dua orang yang mampu membunuhnya." "Siapakah kedua orang itu?"

"Yang satu bernama Lu Di."

"Lu Di? Apakah Pek-ie-kiam-khek Lu Di dari Bu-tong- pay?"

"Tidak salah lagi!"

"Apalagi ilmu silatnya lebih tinggi dari Yap Kay."

"Kukira belum tentu, kalau Yap Kay tidak terluka lebih dulu di tangan orang lain, kali ini dia pasti takkan meninggal."

"Memangnya siapa yang bisa melukai dia? Siapakah dia?" "Seorang perempuan, khabarnya perempuan ini adalah

kekasihnya yang paling dicintai."

"Laki-laki sepintar Yap Kay, kok gampang ditipu perempuan?"

"Ah, laki-laki gagah selalu tunduk dan tekuk lutut di bawah kaki perempuan cantik."

"Siapakah perempuan itu?"

"Dia she Ting, bernama Ting Hun-pin."

ooo)dw(ooo Ting Hun-pin tidur di atas ranjang. Kamar itu dingin gelap, namun hangat, disekap di dalam kemul tebal. Sudah lama dia siuman, namun bergerakpun tidak bisa.

Dia merasa amat letih, seperti baru saja menempuh perjalanan jauh, seperti pula baru saja mimpi di alam buruk. Di dalam mimpinya seakan-akan dia menusuk Yap Kay dengan sebatang pisau. Tentunya memang hanya sebuah mimpi buruk belaka. Sudah tentu dia tidak akan melukai Yap Kay, dia rela jiwa sendiri berkorban, seujung rambutpun dia tidak sampai hati melukai kekasihnya itu.

Terdengar langkah kaki di dalam rumah. "Mungkinkah Yap Kay datang?"

Ting Hun-pin ingin membuka mata lantas melihat Yap Kay.

Sayang yang dia lihat adalah Kwe Ting.

Raut muka Kwe Ting juga menunjukkan keletihan, kurus pucat seperti kurang tidur, namun sorot matanya memancarkan warna senang dan lega.

"Kau sudah bangun?"

Tidak menunggu orang bicara habis, Ting Hun-pin sudah bertanya: "Tempat apakah ini? Bagaimana aku bisa berada di sini? Mana Yap Kay?"

"Kau berada di hotel, kau terkena obat bius Giok-siau, akulah yang membawamu kemari."

Giok-siau mendadak muncul dan menggondolnya pergi dari hadapan yap Kay. Kejadian ini masih bisa diingatnya dengan segar, selanjutnya apa pula yang terjadi? Bagaimana Kwe Ting menolongnya? Semua ini dia tidak jelas lagi. Tapi hal ini tidak menjadi perhatiannya, hanya seorang yang menjadi perhatiannya.

"Mana Yap kay? Yap Kay tidak di sini?"

Kwe Ting geleng-geleng, katanya: "Tidak di sini, aku........

selama ini belum sempat menemuinya."

Dia tidak bicara sejujurnya, kuatir Ting Hun-pin tidak kuat menerima pukulan lahir batin ini. Jikalau dia tahu dirinya menusuk luka di dada Yap kay, betapa sedih dan duka hatinya. Kwe Ting tidak berani membayangkannya.

Ting Hun-pin menarik muka, katanya: "Selama ini kau tidak bertemu dengan Yap Kay? Apakah karena kau tidak pergi mencarinya?"

Kwe Ting diam dan mengakui.

"Kau menolongku kemari tanpa memberitahu kepadanya.

Apa sih maksudmu?" Ting Hun-pin tertawa dingin.

Kwe Ting tidak bisa menjawab. Dia sendiripun tidak mengerti dan bertanya-tanya pada diri sendiri, apa maksud dirinya menolong dan membawa orang kemari? Semula mereka sama-sama tidak kenal, namun dia mengiringi Yap Kay pergi menolongnya keluar dari cengkeraman maut. Kuatir Giok-siau meluruk datang, terpaksa dia membawanya lari dan sembunyi di sini, untuk merawat dan meladeninya. Dia sudah berdiam tiga hari dalam kamar yang gelap dingin ini, entah berapa derita dan kesulitan serta kerendahan hati yang sudah dia alami. Maklumlah perempuan yang kehilangan kesadaran bahwasanya memang sulit diladeni, apalagi dia tidak punya pengalaman menjaga dan merawat orang lain. Dalam tiga hari ini, boleh dikata matanya tidak pernah terpejam barang sekejappun, namun imbalan yang dia terima sekarang hanyalah jengek tawa dan kecurigaan pada dirinya, namun dia rela dicurigai, rela dimaki, namun duduk persoalan sebenarnya pantang dia beritahu kepadanya. Dia tidak ingin orang mengalami pukulan batin yang mendalam.

Ting Hun-pin masih melotot kepadanya, katanya dingin: "Aku tanya kepadamu, kenapa tidak kau jawab?"

Kwe Ting tetap bungkam, tak mungkin dia utarakan isi hatinya.

Tangan Ting Hun-pin sedang meraba-raba di dalam kemul, dia masih mengenakan pakaian, maka rada lega roman mukanya. Namun dia bertanya pula: "Berapa lama aku berada di sini?"

"Kalau tidak salah sudah tiga hari?"

Hampir saja Ting Hun-pin berjingkrak bangun, teriaknya: "Tiga Hari? Sudah tiga hari aku terbaring di sini? Dan kau selalu mendampingiku?"

Kwe Ting manggut-manggut.

Semakin melotot biji mata Ting Hun-pin, serunya: "Selama tiga hari ini, apakah aku terus pulas?"

Kwe Ting mengiyakan. Suaranya enteng dan lirih, karena dia berbohong.

Selama tiga hari ini Ting Hun-pin bukan kelelap dalam tidurnya, banyak sekali yang dia lakukan, tingkah lakunya sukar dijajagi dan di luar dugaan. Tiba-tiba nangis, tahu- tahu tertawa dan banyak lagi tingkah laku yang aneh dan mengerikan. Hanya Kwe Ting yang tahu dan menyaksikan, selama hidupnya tidak akan dia ceritakan kepada siapapun.

Ting Hun-pin menggigit bibir, sesaat dia ragu-ragu, akhirnya bertanya: "Dan kau?"

"Aku?"

"Waktu aku tidur, apa pula kerjamu?"

Kwe Ting tertawa getir: "Tiada yang kulakukan."

Akhirnya Ting Hun-pin menghela napas lega, namun mukanya tetap cemberut keren, katanya: "Kuharap kau tidak membual di hadapanku, karena kalau kau berbohong, cepat atau lambat, aku bisa merasakan."

Kwe Ting hanya pasang kuping tanpa bersuara.

"Kau menolongku, kelak aku akan membalas kebaikanmu, tapi kalau akhirnya kuketahui kau berbohong, akan kucabut nyawamu.", seperti malas memandang Kwe Ting lagi dia berkata dingin: "Sekarang aku harap kau keluar, lekas keluar!"

Kwe Ting tidak memandangnya lagi. Dalam hati dia bertanya-tanya: "Apa sih yang sedang kulakukan? Kenapa aku terima dihina dan dicaci olehnya?", segera dia beranjak keluar tanpa berpaling.

Mengawasi punggung orang yang berperawakan tinggi dan kelihatan kurus lenyap di balik pintu, tiba-tiba timbul rasa menyesal dalam sanubari Ting Hun-pin. Bukan dia membenci laki-laki ini, bukannya dia tidak tahu bahwa laki-laki ini ada menaruh hati atau naksir kepada dirinya, tapi dia pura-pura tidak tahu. Sekali-kali dia tidak akan memberi kesempatan tumbuhnya bibit cinta di dalam lubuk hati orang, karena hanya satu orang direlung hatinya. Yap Kay. Dia harus selekasnya menemukan Yap Kay.

ooo)dw(ooo

Tempat pertama yang harus dia tuju sudah tentu adalah penginapan Hong-ping. Tapi waktu orang-orang di Hong-ping hotel melihatnya, semua memandangnya seperti melihat setan, benci, muak dan takut. Memangnya perempuan mana yang tidak dibenci orang, karena dengan pisau, dia telah menusuk luka parah dan akhirnya mati kepada kekasihnya sendiri.

"Adakah kalian melihat Yap Kongcu?" tanyanya. "Tidak!", jawaban setiap orang ketus.

"Kalian tidak tahu di mana dia berada?"

"Tidak tahu! Semua urusan Yap Kongcu kami tidak tahu. Kenapa kau tidak pergi ke Piau-kiok mencari tahu di sana?"

Maka Ting Hun-pin pergi ke Hou-hong Piau-kiok. Para piausu Piau-kiok menunjukkan mimik lucu dan aneh seperti orang-orang yang ada di Hong-ping hotel waktu mendengar nama Ting Hun-pin.

"Biasanya kami tidak pernah berhubungan dengan Yap Tayhiap, jikalau kau ingin mencari tahu beritanya, silahkan datang ke Pat-hong Piau-kiok. Cong-piau-thau dari Pat-hong Piau-kiok, Thi-tan-tin-pat-hong Cay Ko-kang, khabarnya adalah sahabat karib Yap Tayhiap."

Heran hati Ting Hun-pin dibuatnya, kenapa selama ini belum pernah dia dengar Yap Kay punya sahabat karib dari kalangan Piau-kiok, apalagi Thi-tan-tin-pat-hong segala. Ingin dia bertanya lebih lanjut, namun dia sebal dan muak melihat sorot mata dan sikap para piausu ini.

"Apapun yang terjadi, asal aku bertemu dengan Cay Ko- kang, pasti bisa kucari tahu di mana jejaknya."

Demikian dia menghibur diri sendiri, namun tak pernah terpikir olehnya bahwa selamanya dia tidak akan bisa berhadapan dengan Cay Ko-kang, apalagi mendapat keterangan dari mulutnya.

ooo)dw(ooo

Di pekarangan luar di dalam Pat-hong Piau-kiok, beberapa tukang kuda tengah membersihkan sebuah kereta besar yang bercat hitam mulus.

Seorang laki-laki setengah baya berperawakan jangkung bermuka kaku kasar tengah menggendong ke dua tangannya, berdiri di undakan batu, menyaksikan anak buahnya mencuci kereta. Dia bukan lain adalah wakil Cong-piau-thau Thi- siang-kay-pi (Pukulan besi membelah pilar) Toh Tong.

Ting Hun-pin langsung menerjang ke depan orang, serunya: "Kau kan Cay Ko-kang, Cay-cong-piau-thau?".

Caranya bicara tidak kenal sopan santun, roman mukanya beringas membesi, namun betapapun dia adalah gadis belia yang cantik rupawan.

Mulai dari kepala, Toh Tong mengamatinya sampai ke kaki, katanya dengan tertawa dipaksakan: "Nona she apa? Ada keperluan apa mencari beliau?" "Aku she Ting, ingin aku mencari seseorang dari keterangannya."

Mendengar she Ting, seketika berubah rona muka Toh Tong.

"Kau she Ting? Apakah kau Ting Hun-pin?" (Bersambung ke Jilid-11)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar