Rahasia Mokau Kauwcu Jilid 08

 
Jilid-08

Han Tin yang tidur di atas ranjang lelap di dalam impiannya. Hiat-to penidur memang salah satu jalan darah yang paling aneh.

Tosu perempuan itu duduk di pojok rumah dengan menundukkan kepala, mukanya yang pucat lambat-laun mulai bersemu merah. Setiap murid Tang-hay-giok-siau memang cantik-cantik, terutama yang satu ini, justru paling ayu. Keayuannya lain dengan kecantikan Ting Hun-pin, bukan saja cantik, dia ini juga genit. Memang perempuan ini sudah matang dan cukup umur di dalam segala bidang. Siapapun bila melihat egolan pinggangnya seperti dahan pohon nan gemulai, lirikan matanya yang genit merangsang, pasti akan tergerak dan terbangkit rangsangan kelelakiannya.

"Silahkan duduk," kata Yap Kay.

Tosu perempuan itu geleng-geleng. Tiba-tiba dia bersuara: "Sekarang aku boleh pulang?"

"Tidak boleh!", sahut Yap Kay.

Tosu perempuan tundukkan kepala dengan gigit bibir, katanya: "Kalian hendak gunakan diriku untuk mengancam Giok-siau Tojin?. Kalau benar, tindakan kalian salah besar."

"Kenapa salah, bukankah kau muridnya?"

"Umpama kalian membunuhku di hadapannya, diapun tidak akan ambil perhatian sedikitpun."

Di antara kerlingan mata yang jeli, mengandung rasa kepedihan dan penasaran, katanya lebih lanjut dengan suara lebih lirih: "Selamanya belum pernah aku melihat dia memperhatikan keselamatan orang lain."

Kwe Ting menatapnya, tiba-tiba bertanya: "Jikalau aku membunuhnya di hadapanmu?"

"Akupun tidak akan menitikkan air mata," sahut tosu perempuan. Kata-katanya enteng dan tanpa dipikir lagi.

"Lalu kenapa kau ingin kembali?" tanya Kwe Ting.

"Karena aku...... aku......" dia tidak meneruskan jawabannya. Suaranya tersendat di tenggorokan. Biji mata yang jeli indah sudah berlinang air mata.

Yap Kay maklum apa artinya. Dia harus pulang karena tiada tempat berpijak untuk dirinya. Dan Yap Kay bukan laki-laki yang punya hati keras dan tega terhadap perempuan, tiba-tiba dia bertanya: "Kau she apa?"

"Aku she Cui." "Cui?"

"Cui. Cui Giok-tin."

Yap Kay tertawa, katanya: "Kenapa tidak duduk, apa kursi itu bisa gigit orang?"

Cui Giok-tin tertawa geli. Di saat dia sadar dirinya sedang tertawa, kerisauan hatinya seketika hilang dan merah mukanya.

Waktu Yap Kay melihat perempuan ini legak-legok mengiringi irama seruling Giok-siau kemarin sore, dikiranya perempuan ini sudah lupa akan rasa malu. Baru sekarang dia melihat orang ternyata masih memiliki sifat-sifat malu diri dan kepolosan seorang gadis. Memang siapapun di kala terpaksa sudah tentu bisa saja melakukan sesuatu yang orang lain anggap rendah dan memalukan, dan akhirnya diri sendiripun akan menyesal.

Ada kalanya manusia mirip benar dengan keledai yang ditutupi kedua matanya disuruh menyurung gilingan. Hidup ini laksana cambuk, di kala cambuk melecut ke punggungmu, terpaksa kau harus maju ke depan, walau kau sendiri tidak tahu kemana kau harus menuju dan kapan harus berhenti.

Yap Kay menghela napas, ujarnya: "Kalau kau tidak ingin pulang, boleh tidak usah pulang."

Cui Giok-tin menunduk pula, katanya: "Tapi aku. "

"Aku mengerti maksudmu, tapi dunia sebesar ini, pelan- pelan kau merasakan banyak tempat boleh kau tuju dan kau tempati."

Akhirnya Cui Giok-tin pun mengerti apa yang diartikan oleh ucapan Yap Kay. Tak tertahan terangkat kepalanya, sorot mata terpancar rasa haru dan terima kasih.

"Kaupun tak usah bawa kami mencari nona Ting," kata Yap Kay lebih lanjut, "cukup asal kau beritahu di mana dia berada."

Sesaat ragu-ragu, akhirnya Cui Giok-tin mengangguk, katanya: "Dia berada di belakang pekarangan."

Yap Kay menunggu keterangannya lebih lanjut. "Pekarangan itu amat besar, seluruhnya kalau tidak salah

ada empat belas kamar, nona Ting disekap di kamar samping yang berada paling belakang, di sebelah luar jendela, terdapat tiga vas kembang seruni." "Adakah orang yang menjaganya di sana?"

"Hanya seorang yang menemani dia di dalam, karena dia tetap tak bisa bergerak. Giok-siau tidak kuatir dia melarikan diri."

"Lalu di mana Giok-siau tidur?" "Dia jarang tidur malam hari."

"Tidak tidur, memangnya apa yang dia lakukan?"

Cui Giok-tin kertak gigi, tidak menjawab, namun mukanya menampilkan rasa sedih, marah dan mimik yang harus dikasihani.

Memang dia tidak perlu menjelaskan pula, Giok-siau memang suka main paras ayu, usianya sudah menanjak 70 tahun, namun kelihatannya masih begitu muda dan kuat. Murid-murid perempuannya semua ayu-ayu dan muda belia. Setiap malam apa yang dia lakukan, sudah tentu Yap Kay dapat menduganya.

Kwe Ting malah yang unjuk rasa marah, katanya menyeletuk: "Apakah kalian dipaksa untuk mengikuti keinginannya?"

Cui Giok-tin geleng-geleng, katanya: "Kita adalah anak- anak dari keluarga miskin."

"Jadi kalian dibeli olehnya?", ujar Kwe Ting.

Semakin rendah kepala Cui Giok-tin tertunduk, air matanya sudah bercucuran.

Mendadak Kwe Ting menggebrak meja sekeras-kerasnya, katanya mendesis dingin: "Umpama tidak kebentur persoalan nona Ting, akupun takkan lepaskan manusia cabul ini."

"Tapi sekarang. "

"Aku tahu!," Kwe Ting tukas ucapan Yap Kay, "sudah tentu sekarang harus cepat-cepat menolong nona Ting."

Tiba-tiba Cui Giok-tin berkata pula: "Walau malam dia tidak tidur, tapi menjelang pagi dia harus tidur tiga jam lamanya."

Sekarang kira-kira masih setengah jam sebelum fajar.

Malam hari pada musim dingin memang lebih panjang.

Setelah melihat cuaca, Yap Kay berkata: "Baik! Kita tunggu sebentar lagi."

Han Tin yang tidur nyenyak di ranjang, tiba-tiba membalik badan seraya mengigau. Memang, waktu menutuk Hiat-to penidur, Yap Kay tidak gunakan tenaga besar. Seolah-olah dia masih tetap mengigau: "Mana araknya. ?".

Setelah berulang kali, tiba-tiba dia mencelat bangun seraya mencak-mencak dan berteriak: "Orang she Lu, aku kenal kau, kau kejam benar!". Habis kata-katanya dia roboh tertidur lagi, keringat dingin gemerobyos.

"Orang she Lu?" kata Yap Kay dengan mendelik. "Agaknya orang yang melukainya itu she Lu."

Yap Kay menerawang, katanya: "Tahukah kau di kalangan Kang-ouw belakangan ini ada tokoh kosen she Lu?"

"Belakangan ini memang ada, tapi hanya satu." "Lu Di maksudmu?" Kwe Ting manggut-manggut, katanya: "Benar! Pek-ie- kiam-khek (Ahli pedang baju putih) Lu Di."

"Kau pernah menyaksikan kepandaiannya?"

"Aku hanya tahu kalau dia keponakan lurus dari Oen-ho- gin-kan Lu Hong-sian, namun ilmu yang dia yakinkan adalah Bu-tong-kiam-hoat. Bu-tong adalah aliran lurus dari golongan Lwe-keh, takkan. "

Kini Yap Kay yang menukas: "Katamu dia keponakan siapa?"

"Lu Hong-sian yang dijuluki Oen-ho-gin-kan, dalam daftar senjata dulu dia tercantum nomor 5."

Tiba-tiba terpancar cahaya terang pada sorot mata Yap Kay, katanya: "Lu Hong-sian, kenapa aku melupakan orang satu ini?"

"Kau sudah mengenalnya?"

"Nama julukannya tercantum nomor 5 di dalam buku daftar senjata, kalau orang sudah merasa bangga, namun olehnya dipandang sebagai suatu hal yang memalukan."

Kwe Ting cukup mengerti akan perasaan seseorang yang ingin menangnya sendiri.

"Memang banyak orang yang tidak terima di rendahkan derajatnya di bawah orang lain."

"Tapi diapun tahu bahwa penilaian Pek Siau-seng pasti tidak akan salah, maka dia hancurkan senjatanya itu lalu meyakinkan ilmu silat lain yang lebih menakutkan."

"Ilmu silat apa?" "Tangannya itu!"

Seketika bercahaya mata Kwe Ting.

"Khabarnya dia sudah melatih sehingga tangannya itu sekeras batu dan setajam senjata."

"Dari siapa kau tahu akan hal ini?"

"Seseorang yang pernah menyaksikan sendiri tangan itu, seseorang yang takkan salah lihat dan menilainya."

"Siau-li Tham-hoa?"

Yap Kay manggut-manggut, katanya: "Kalau dalam dunia ini ada orang yang mampu menghajar Han Tin sampai begini rupa, maka orang itu pasti adalah Lu Hong-sian."

"Tapi sejak beberapa tahun yang lalu, dia sudah menghilang."

"Orang yang sudah mati toh bisa bangkit kembali, apalagi cuma orang yang menghilang saja."

"Kau kira diapun sudah sampai di sini?"

"Kau pernah bilang, walau sekarang belum bulan sembilan, walau bukan musimnya orang berburu, tapi kawanan elang sudah beterbangan."

"Tak perlu disangsikan lagi bahwa Lu Hong-sian pun salah satu dari rombongan elang-elang itu."

"Bukan mustahil, dia merupakan elang yang paling menakutkan dui antara kelompok elang-elang itu."

"Jikalau benar dia datang kemari, kau ingin menghadapinya?" Yap Kay mengawasi Han Tin yang rebah di atas ranjang, mulutnya terkancing tidak menjawab. Memang dia tidak perlu banyak mulut lagi.

Maka semakin terang pancaran sinar mata Kwe Ting, namun seperti menatap ke tempat yang jauh, malah gumamnya: "Dapat berduel dengan tokoh yang dulu tercantum di dalam buku daftar senjata, sungguh merupakan kebanggaan di dalam pengalaman hidup ini."

"Tapi ini bukan urusanmu." kata Yap Kay. "Bukan urusanku?"

"Jelas bukan!" ujar Yap Kay tegas dan serius.

Kwe Ting tertawa, katanya tersenyum: "Tak usah kau kuatir aku merebut usaha dagangmu, Han Tin adalah temanmu, bukan temanku."

Yap Kay juga tertawa, katanya: "Kuharap kau tidak melupakan ucapanmu ini."

Sikap Kwe Ting berubah serius pula, katanya: "Lebih baik kalau kau pun jangan melupakan satu hal."

"Hal apa?"

"Oen-ho-gin-kan tercantum nomor 5, tapi tangannya itu lebih menakutkan dari senjatanya," dengan menatap Yap Kay dia menambahkan pelan-pelan: "Aku tidak ingin melihat kau digasak seperti keadaan Han Tin."

Yap Kay tiba-tiba memutar badan, membuka daun jendela. Angin dingin di luar laksana tajamnya golok, tapi hatinya panas membara, seperti baru saja menenggak habis sepuluh cangkir arak. Jauh di kaki langit yang semula hitam gelap, kini pelan-pelan mulai berubah menjadi kelabu. Maka kupingnya segera mendengar kokok ayam.

ooo)dw(ooo

Pekarangan di bilangan belakang memang amat luas, walau sang fajar mulai menyingsing di ufuk timur, sinar lampu masih kelihatan menyala di dalam jendela. Terdengar orang cekikikan tawa di dalam kamar.

"Pinto kali ini terjun ke kalangan Kang-ouw, maksudku memang ingin melihat, di bawah kekuasaan siapakah dunia yang lebar dan besar ini?"

Itulah suara Giok-siau. Di dalam rumah ternyata masih ada orang yang lain.

"Wanpwe takkan berani bertanding dan berlomba dengan Totiang, sayang sekali dalam kalangan Kang-ouw justru banyak terdapat kaum muda yang tidak tahu tingginya langit tebalnya bumi."

Ini bukan suara Giok-siau, namun kedengarannya sudah amat dikenalnya. Itulah suara Ih-me-gao.

Pandangan dan penilaian Ting Hun-pin ternyata tidak meleset. Manusia yang satu ini ternyata memang berjiwa sempit dan pintar melihat arah angin, berlaku hina demi keuntungannya sendiri. Agaknya tidak segan-segan dia rela pasrahkan jiwa raganya kepada Giok-siau.

Serasa berat perasaan Yap Kay, bukan saja Giok-siau tidak tidur, malah dia mempunyai pembantu yang boleh diandalkan. Terdengar Giok-siau sedang bertanya: "Tahukah kau siapa saja kaum muda yang tidak tahu diri itu?" "Siong-yang Kwe Ting, Bu-tong Lu Di, Cui-cu Han Tin, Hwi-hou Nyo Thian, Lam-hay-tin-cu, keluarga Bak dari Ceng-seng dan Lian-lian. Menurut yang kutahu, orang-orang ini sudah berada di Tiang-an."

Agaknya dia belum melupakan dendamnya akan senjata yang diandalkan telah dihancurkan orang, maka yang dia sebut pertama kali adalah Kwe Ting. Dia memang ingin supaya Giok-siau turun tangan membunuh Kwe Ting lebih dulu.

Giok-siau masih bertanya pula: "Masih ada orang lain yang akan datang?"

"Sudah tentu ada!"

"Sedikitnya masih ada Yap Kay."

Ih-me-gao tertawa dingin, jengeknya: "Yap Kay tidak perlu dikuatirkan."

"O," Giok-siau bersuara heran, soalnya betapa tinggi ilmu silat Yap Kay dia sendiri sudah menyaksikannya.

"Karena orang ini sekarang tak ubahnya seperti orang mampus."

"Ah, masa?"

"Entah berapa banyak penghuni kota Tiang-an ini yang ingin membunuh dia, boleh dikata nasibnya sudah berada di tangan orang-orang yang ingin membunuhnya."

Giok-siau tertawa besar, katanya: "Giok-yong, hayo lekas tuangkan arak buat Ih-sian-sing."

Agaknya mereka sudah bertekad untuk ngobrol semalam suntuk, sedikitpun tiada niat hendak tidur. Tapi waktu tinggal satu jam lagi buat Yap Kay, jikalau sekarang dia tidak turun tangan, kesempatan takkan pernah ada pula.

Kwe Ting berbisik di pinggir telinganya: "Aku akan menahan dan merintangi mereka di sini, pergilah kau menolong orang."

"Tidak mungkin," Yap Kay geleng kepala dengan tegas. "Kenapa tidak mungkin?"

"Aku tidak ingin membereskan mayatmu," dingin suara Yap Kay, namun perasaan yang dia limpahkan di dalam kata- katanya lebih panas dari bara yang membakar dadanya.

Kwe Ting sudah membuka pakaiannya, katanya dingin: "Memangnya kau ingin membereskan mayat Ting Hun-pin."

"Aku punya akal, aku pasti punya akal......" hakekatnya akal apapun dia tidak punya. Kembali hatinya kalut, demi keselamatan Ting Hun-pin, sedikitnya dia tidak pantang menyerempet bahaya.

Kwe Ting tahu orang sudah siap menerjang keluar. Sebetulnya dia bukan orang yang tabah dan tenang di dalam menghadapi setiap persoalan, dia beranggapan asal dirinya menerjang keluar, maka Yap Kay akan dipaksa ke belakang menolong orang. Tapi langkahnya ini salah besar. Jikalau dia benar-benar menerjang keluar, tentu saja Yap Kay tidak akan meninggalkan dirinya. Kalau mereka bergabung, akan kuat menghadapi Giok-siau dan Ih-me-gao, namun Ting Hun- pin tetap berada dicengkeram Giok-siau. Jikalau Giok-siau mengancam Yap Kay dengan jiwa Ting Hun-pin, maka jiwa Yap Kay jelas pasti akan jadi korban dengan sia-sia. Sekonyong-konyong terdengar suara jeritan kaget di dalam jendela. Itulah jeritan Ih-me-gao yang ketakutan: "Kau. ! Apa yang ingin kau lakukan?"

Suara Giok-siau dingin: "Aku ingin membunuhmu!" "Dengan baik hati aku kemari hendak kerja sama dengan

kau, kenapa kau hendak membunuhku?"

"Memangnya kau pandang orang macam apa kau ini? Berani kau hendak memperalat aku? Kau ini manusia kerdil, kunyuk yang tidak tahu diri, kalau tidak kubunuh kau, siapa yang harus kubunuh?".

Maka terdengarlah suara ribut dari pecahnya cangkir dan mangkok serta meja kursi terbalik.

Saat mana badan Kwe Ting sudah kebacut melambung ke depan, namun sigap sekali di tengah udara dia merubah arah luncuran badannya. Badannya menerjang ke sana mepet dinding. Yap Kay pun tidak mau ketinggalan. Mereka sama- sama tahu dan menginsyafi kesempatan inilah yang terbaik untuk menolong orang. Paling tidak Ih-me-gao kuat  bertahan dua tiga puluh jurus. Walau jangka waktunya tidak lama, namun asal gerak-gerik mereka cukup cepat dan cekatan, peluang selintas ini sudah lebih dari cukup. Oleh karena itu sedetikpun mereka tidak boleh berayal lagi.

ooo)dw(ooo

Untung di atas para-para di luar jendela ada tiga buah vas kembang, merupakan pertanda yang gampang di kenali, maka mereka tidak perlu susah-susah mencari kian kemari. Lampu dalam kamar masih menyala, dua sosok bayangan orang kelihatan berada di dalam, seorang tosu perempuan dan seorang lagi adalah Ting Hun-pin. Dari gaya duduk ke dua orang ini kelihatannya mereka sedang main catur.

Tanpa membuang waktu Kwe Ting menerjang jendela terus menerobos masuk. Melakukan pekerjaan apapun dia memang suka cepat dan lekas beres.

Namun hati Yap Kay malah merasa diketuk palu godam, dia tahu bayangan yang satu itu jelas bukan Ting Hun-pin. Ting Hun-pin tidak mungkin bermain catur, walaupun Toako- nya Ting Ling-ho seorang ahli di bidang ini, namun dia sendiri menata caturpun tidak bisa. Karena biasanya dia berpendapat dua orang duduk berhadapan main catur adalah kerja yang sia-sia, membuang tenaga dan pikiran. Apakah ini merupakan jebakan pula? Tapi Kwe Ting sudah kebacut menerjang masuk, terpaksa Yap Kay keraskan kepala ikut memburu ke dalam.

Begitu berada di dalam kamar, baru Kwe Ting mendapati seseorang yang lain ternyata bukan Ting Hun-pin. Ting Hun- pin ternyata tak berada di dalam kamar.

Gadis yang duduk di hadapan tosu perempuan memang mengenakan pakaian Tin Hun-pin, menyanggul rambut mirip mode yang disukai Ting Hun-pin, namun dia bukan Ting Hun- pin.

Kalau orang lain pasti melongo kaget dan menjublek, tapi setiap melaksanakan kerja Kwe Ting ternyata mempunyai caranya yang tersendiri pula. Begitu tangannya membalik, tahu-tahu pedang sudah terlolos, ujung pedangnya sudah mengancam tenggorokan tosu perempuan itu. Tanpa mengeluarkan suara kaget, tosu perempuan ini kontan terjungkal jatuh. Gadis yang lainpun tidak menjerit, karena sigap sekali pedang Kwe Ting sudah mengancam tenggorokannya pula.

"Dimana nona Ting?" ancamnya bengis.

Saking kaget dan ketakutan, muka gadis itu sudah memutih hijau, namun sikapnya kukuh dan keras kepala, matipun dia tidak mau menyerah.

Kwe Ting tidak banyak tanya lagi, tangan kirinya terulur merenggut bajunya, sekali tarik dia sobek pakaian orang menjadi dedel dowel, sehingga kulit badannya yang montok berisi terpampang di hadapan orang.

Gadis ini tidak menjerit dan tidak bersuara, namun rona mukanya berubah berulang kali, dari putih menghijau lalu merah padam.

Kwe Ting tertawa, katanya: "Tidak lekas kau bicara, biar kusobek badanmu menjadi dua potong."

Mungkin karena terlalu ketakutan, gadis ini tidak kuasa bersuara, hanya jarinya yang menuding ke arah almari, almari pakaian yang amat besar.

Tanpa ayal Yap Kay segera menerjang ke sana menarik pintu, ternyata benar ada orang meringkuk di dalamnya, seorang perempuan yang berpakaian tosu. Agaknya ditutuk Hiat-to-nya sehingga badannya lemas lunglai, tapi dia memang benar Ting Hun-pin.

"Ada tidak?" tanya Kwe Ting. "Ada!" sahut Yap Kay.

Tanya jawab yang singkat sekali. Cepat Yap Kay sudah melesat ke luar jendela pula seraya membopong Ting Hun-pin.

Kwe Ting menepuk pelan-pelan perut si gadis yang mulai bunting, katanya tersenyum: "Sebentar lagi kau akan gendut, selanjutnya kau ingat, jangan makan terlalu banyak supaya tidak terlalu gemuk."

ooo)dw(ooo

Lampu sudah padam. Cahaya pagi sudah menerangi kamar.

Dengan tekun dan hati-hati Cui Giok-tin tengah membersihkan kulit muka Han Tin dengan handuk yang dibasahi air hangat. Ternyata dia belum pergi. Melihat Yap Kay pulang memondong Ting Hun-pin, dia sambut dengan senyuman lebar.

Han Tin yang rebah di ranjang masih tidur nyenyak. Terpaksa Yap Kay turunkan Ting Hun-pin di atas kursi. Akhirnya dia menghela napas lega.

Cui Giok-tin berkata: "Ada orang mengejar di belakang tidak?"

Yap Kay geleng-geleng, sahutnya tertawa: "Umpama Giok- siau sudah tahu dia di tolong orang, pasti takkan menduga kita semua masih berada di sini."

Kejap lain Kwe Ting pun sudah menyusul pulang, katanya dingin: "Sekarang aku malah mengharap dia menyusul kemari, umpama dia tidak mengejar datang, aku pasti akan mencarinya."

"Tanpa bantuanmu, sungguh aku tidak tahu cara bagaimana memaksa gadis itu bicara terus terang." "Memaksa perempuan bicara jujur, bukan perkara sulit." ujar Kwe Ting, "jikalau pakaian seorang gadis mendadak disobek dan ditelanjangi, jarang yang berani tidak bicara sejujur-jujurnya."

"Sungguh tak nyana kau banyak pengalaman dalam menghadapi perempuan."

"Memang, latihanku bukan Tong-cu-kang!"

"Laki-laki macam tampangmu, kukira takkan bisa meyakinkan Tong-cu-kang."

Kwe Ting berpaling ke arah Ting Hun-pin, namun cepat sekali dia melengos, katanya: "Apakah dia tertutuk Hiat-to penidurnya?"

"Ya, mungkin!. Aku belum memeriksanya." "Sekarang dia tidak perlu tidur lagi."

Yap Kay tersenyum, segera dia menepuk Hiat-to yang tertutuk di badan Ting Hun-pin. Melihat biji mata Ting Hun- pin sudah terbuka sedang mengawasi dirinya, sungguh tak terbilang senang hatinya.

Agaknya Ting Hun-pin belum sadar, mata masih kelihatan sipit dan kedip-kedip memandang dua kali, tanya ragu-ragu: "Yap Kay?"

Yap Kay tertawa, katanya: "Memang, kau tidak mengenalku lagi?"

"Aku mengenalmu!, teriak Ting Hun-pin.

Mendadak dia ulurkan tangannya. Jari-jarinya ternyata menggenggam sebilah pisau dan ditusukkan ke dada Yap Kay. Darah seperti panah muncrat membasahi muka Ting Hun- pin. Kulit mukanya yang pucat pias seketika menjadi merah berdarah. Adalah muka Yap Kay seketika berubah memutih bening. Dengan kaget dia mengawasinya.

Setiap hadirin mengawasi dengan terbelalak kaget, siapapun takkan menyangka, mimpipun tidak menduga bahwa Ting Hun-pin bakal turun tangan melukai sekeji ini terhadap Yap Kay.

Ting Hun-pin malah terkial-kial, tertawa besar yang menggila seperti kesurupan setan. Mendadak dia melompat bangun menerjang keluar jendela.

Dengan mendekap dada dengan sebelah tangannya, Yap Kay masih ingin mengejar, namun badannya segera tersungkur, teriaknya gemetar: "Kejar........ candak dia dan tarik kembali!"

Tanpa menunggu dia bicara habis, Kwe Ting sudah mengejar keluar.

Yap Kay ingin berdiri meloncat keluar jendela melihat ke arah mana mereka pergi, namun kakinya terasa lemah lunglai, pandangan mendadak gelap gulita. Kegelapan yang mencemaskan. Yang terlihat terakhir kalinya adalah sorot pandangan Cui Giok-tin yang diliputi kekuatiran dan perhatian yang sangat terhadap keselamatannya, dan suara yang didengar terakhir kali adalah suara berdentam dari badannya yang menerjang meja.

ooo)dw(ooo

Fajar. Cuaca masih remang-remang penuh diliputi kabut, orang masih kelelap dalam tidurnya.

Seperti kerbau liar yang mengamuk, Ting Hun-pin berlari dan berlompatan dari wuwungan rumah ini ke wuwungan rumah yang lain, mulutnya terus terkial-kial seperti orang gila.

"Aku membunuh Yap Kay..... aku membunuh Yap Kay. "

seakan-akan dia anggap hal ini suatu tugas mulai yang patut dibanggakan.

"Dia sudah gila!" demikian gerutu Kwe Ting. Ilmu ginkangnya sudah dia kembangkan sampai puncak tertinggi, namun setelah sekian lama dan jauhnya, baru dia berhasil menyandaknya.

"Nona Ting, ikut aku pulang!"

Ting Hun-pin melotot kepadanya, seakan-akan dia sudah tidak mengenalnya sama sekali. Mendadak pisau di tangannya bergerak menusuk ke tenggorokannya, pisau yang masih berlepotan darahnya Yap Kay.

Kwe Ting kertak gigi sambil membalik badan, tangannya terayun balik pula untuk merebut pisau orang. Namun dia tidak bertujuan merebut pisau sungguhan hanya sebelah tangan yang lain secepat kilat menyanggah ke atas menopang dagu orang, disusul telapak tangan yang lain membelah ke belakang leher orang. Pandangan Ting Hun-pin tiba-tiba membelalak, orangnya tersungkur roboh.

Sekelilingnya tiada orang, salju masih bertaburan memutih di atap genteng. Teriakan Ting Hun-pin yang  begitu keras kumandangnya di tengah kesunyian pagi ternyata tidak mengejutkan Giok-siau serta membuatnya meluruk keluar.

Sebat sekali Kwe Ting sudah memanggul Ting Hun-pin. Dia harus cepat-cepat kembali ke tempat semula untuk memeriksa luka-luka Yap Kay, maka dia tidak hiraukan pantangan laki-laki dan perempuan.

Akan tetapi setiba di sana, tiada kelihatan bayangan seorangpun di rumah itu, tiada seorangpun yang ketinggalan hidup di sana. Han Tin yang tidur semaput dan tidak sadar itu kini sudah terpantek di atas ranjang. Sebilah pedang tepat menembus ulu hatinya.

Noda-noda darah Yap Kay yang berlepotan di lantai sudah membeku kering. Demikian pula darah yang berceceran di atas mejapun sudah mengering beku. Tapi bayangan Yap Kay entah di mana, demikian pula Cui Giok-tin ikut menghilang.

Pedang siapakah itu? Siapakah pula yang turun tangan sekeji ini? Kenapa turun tangan terhadap orang yang sudah sekarat? Kemana Yap Kay? Mungkinkah dibawa Cui Giok-tin dan diserahkan kepada Giok-siau? Apapun yang terjadi, jiwa Yap Kay pasti terancam, bukan mustahil malahan sudah celaka.

ooo)dw(ooo

Rumah itu kecil, namun segalanya bersih dan teratur. Di pojok rumah terdapat sebuah lemari kayu pendek yang terkunci, di sebelah lagi sebuah toilet, di mana diletakkan sebuah cermin tembaga bundar. Daun jendela berbunyi berisik dihembus angin, bau obat tercium keras terbawa hembusan angin dari luar. Yap Kay ternyata belum ajal, dia sudah siuman, waktu dia terjaga didapatinya dia berada di dalam rumah kecil ini. Di susul disadarinya pula bahwa dia telanjang bulat rebah di atas ranjang, badannya tertutup tiga lapis kemul tebal. Luka-luka di dada sudah terbalut kencang. Siapakah yang membalut luka-lukanya? Tempat apakah ini? Ingin dia duduk, namun rasa sakit di dada tak tertahankan, sedikit bergerak, sekujur badan rasanya seperti dikoyak-koyak.

Baru saja dia hendak buka suara, pada saat itulah kerai tersingkap, muncullah seseorang diam-diam dengan membawa semangkok obat.

Cui Giok-tin. Jubah tosunya sudah dicopot, kini dia mengenakan seperangkat baju lengan panjang dan kun hijau panjang berlepit. Alis tetap tegak, pipi tidak berpupur dan bibirpun tidak dipoles gincu. Lapat-lapat kelihatan alisnya seperti mengandung rasa kekuatiran.

Begitu melihat Yap Kay sudah sadar, kerutan alis seketika terbuka.

"Bagaimana aku bisa berada di sini?", begitu mengajukan pertanyaan ini Yap Kay lantas menyadari akan kebodohannya, sudah tentu Cui Giok-tin yang membawanya kemari.

Cui Giok-tin sudah mendekat dan meletakkan mangkok obat itu di atas meja di pinggir ranjang. Setiap gerak- geriknya kelihatan begitu lembut dan gemulai, tidak mirip seperti tosu perempuan yang telanjang megal-megol seperti ikan lele mengikuti irama seruling itu. Mengawasi orang, tiba-tiba terasa tentram sanubari Yap Kay, tapi tak urung dia masih bertanya: "Tempat apakah ini?"

Untuk menjawab pertanyaan ini Cui Giok-tin menundukkan kepala sambil meniup obat yang panas, sahutnya kemudian: "Rumah dari seseorang."

"Rumah siapa?"

"Rumah seorang pedagang yang jualan daun teh." "Kau kenal dia?"

Cui Giok-tin tidak menjawab pertanyaan ini, namun berkata pelan-pelan: "Luka-lukamu cukup parah. Aku kuatir Giok-siau dan lain-lain meluruk datang, terpaksa lekas-lekas kubawa kau menyingkir."

Memang dia seorang perempuan yang teliti, setiap kerja yang dia lakukan dipikirkannya dengan seksama.

Memang, bilamana Yap Kay masih tertinggal di rumah itu, mungkin diapun sudah terpantek pedang dan mampus di atas ranjang seperti Han Tin.

Berkata pula Cui Giok-tin: "Tapi baru pertama ini aku berada di Tiang-an, seorangpun tiada yang kukenal. Waktu itu hari baru saja terang tanah, sungguh aku tidak tahu kemana aku harus membawamu pergi."

"Maka kau lantas menerjang masuk ke rumah orang lain ini?"

Cui Giok-tin manggut-manggut, katanya: "Inilah rumah dari keluarga kecil yang biasa, pasti takkan ada orang mengira kau berada di tempat ini." "Tentu kaupun tidak kenal siapa pemilik rumah ini?" "Tidak kukenal!", sahut Cui Giok-tin.

Tadi sudah dikatakan di Tiang-an tiada punya kenalan. "Lalu di mana pemilik rumah ini sekarang?"

Cui Giok-tin ragu-ragu, sekian lama dia plegak-pleguk, akhirnya dia menjawab juga: "Sudah kubunuh!"

Kepalanya tertunduk tidak berani mengawasi Yap Kay. Dia takut Yap Kay memakinya. Tapi tak sepatah katapun Yap Kay memberikan komentar.

Memang Yap Kay bukan laki-laki sejati yang berpendidikan tinggi dari keluarga bangsawan yang mematuhi adat kuno. Yang terang dia menyadari tanpa pertolongan Cui Giok-tin kini jiwanya entah sudah ajal di tangan entah siapa. Memang tidak sedikit orang-orang yang ada di Tiang-an yang ingin membunuhnya.

Seorang perempuan yang belum dikenalnya betul, dengan menyerempet bahaya sudi menolong jiwanya serta merawatnya lagi dengan sepenuh hati. Demi keselamatannya tidak segan-segannya dia membunuh orang. Apakah dia tega mengoreksi kesalahannya? Sampaikah hatinya untuk memakinya?

Tiba-tiba Cui Giok-tin berkata pula: "Tapi sebetulnya aku tidak ingin membunuh mereka?"

Yap Kay diam saja, dia menunggu cerita lebih lanjut. "Waktu aku menerjang masuk ke sini, kudapati dua orang

tengah main di atas ranjang. Semula kukira mereka adalah

suami-isteri." Akhirnya Yap Kay bertanya: "Apa benar mereka bukan suami-isteri?"

"Perempuan itu sudah berusia 30-an, sebaliknya laki- lakinya masih hijau plonco, paling baru berusia tujuh belas. Setelah ku ancam baru bocah itu berterus terang."

Kiranya di waktu sang suami keluar daerah membeli daun teh, sang istri lantas memelet pembantu suaminya yang belajar dagang teh.

Muka Cui Giok-tin rada merah, katanya lebih lanjut: "Kedua orang ini yang satu mengkhianati suami, yang lain mengkhianati guru, maka aku baru tega membunuh mereka, aku........ aku harap kau tidak beranggapan bahwa aku ini adalah perempuan jahat bertangan gapah."

Yap Kay mengawasinya, entah bagaimana perasaannya, dia sendiri tidak bisa menjelaskan. Bahwa orang menolong jiwanya, melakukan apa saja dengan menyerempet bahaya demi keselamatan jiwanya, namun dia tidak minta imbalan, hanya satu yang dia inginkan supaya Yap Kay tidak memandang rendah dirinya.

Akhirnya Yap Kay menghela napas, katanya: "Kalau ada orang anggap perbuatan salah, anggap kau perempuan jahat, maka orang itu pasti seorang kunyuk keparat.", lalu dengan tertawa dipaksakan dia menambahkan: "Kuharap kaupun percaya kepadaku, aku pasti bukan kunyuk keparat itu!"

Cui Giok-tin cekikikan geli. Seolah-olah musim dingin sudah berlalu, dan tibalah musim semi.

"Obatnya sudah dingin. Nah, habiskan semangkok ini," lalu dia bantu memapah Yap Kay. Seperti seorang ibu mencekoki obat kepada anaknya, dia sodorkan mangkok obat itu kepada Yap Kay.

Hangat dan syur hati Yap Kay, katanya tersenyum dengan mengawasi orang: "Bertemu dengan kau merupakan keberuntunganku. Segala kerja apapun, agaknya sudah kau perhitungkan dengan baik."

Sesaat Cui Giok-tin kelihatan ragu-ragu, akhirnya berkata: "Tapi aku tak menduga bahwa dia tega hendak membunuhmu."

Yap Kay tertawa kecut, ujarnya: "Kukira. dalam hal ini

pasti ada sebabnya. Banyak kejadian dalam dunia persilatan ini yang sukar diterima oleh nalar sehat, umpama dijelaskan, kaupun tidak akan tahu."

"Apakah kau tidak menyalahkan perbuatannya?", tanya Cui Giok-tin.

Yap Kay menggeleng, sahutnya: "Mungkin dia terpengaruh oleh semacam ilmu sihir sehingga bertindak di luar kesadarannya. Setelah dia sadar, dia pasti akan lebih tersiksa dari aku. Apakah aku pantas menyalahkan dia?"

Tiba-tiba berkaca-kaca mata Cui Giok-tin yang mengawasi dirinya. Akhirnya tak tertahan air mata bercucuran dengan derasnya. Hatinya amat haru, bukan derita bukan cemburu, sebagai seorang perempuan dewasa yang sudah matang, dia hanya merasa kesepian saja.

ooo)dw(ooo

Lama-kelamaan cuaca kembali menjelang petang. Dalam rumah sudah menjadi gelap, sang malam tahu-tahu sudah menyelimuti jagat raya. Sisa nasi yang dimasaknya tadi pagi ditambah kecap lantas dimakannya dengan lahap. Tapi untuk Yap Kay, Cui Giok-tin sengaja memasak bubur ayam. Setelah mengeluarkan banyak darah, Yap Kay memang perlu banyak istirahat dan makanan yang bergizi dan banyak vitamin, maka setelah makan semangkok bubur, Yap Kay lantas merasa badannya letih sekali, malah dingin lagi. Lama- kelamaan dia rebah dengan setengah sadar setengah tidur, yang terang badannya masih terasa dingin, seolah-olah dirinya berada di dalam gunung es. Saking dingin, sekujur badannya gemetar, bibirnyapun sampai biru. Tiga lapis  kemul sudah menutupi badannya, tapi dia tetap bergemetaran.

Cui Giok-tin kebingungan. Apa pula yang harus dia lakukan? Apalagi melihat wajah orang yang pucat dan semakin memburuk, hatinya sungguh kuatir dan tidak tentram. Cara bagaimana untuk membuat badannya hangat? Asal orang tidak gemetar kedinginan, apapun yang harus dia lakukan, dia akan rela melakukannya.

Tiba-tiba dia teringat akan cara baik, tapi mukanya sudah merah malu sebelum bertindak. Itulah cara liar yang mungkin sudah dilakukan manusia pada umumnya.

ooo)dw(ooo

Yap Kay tidak gemetar lagi. Mukanyapun sudah bersemu merah. Lambat-laun kesadarannya pulih kembali, lalu dia merasakan ada seseorang rebah telanjang bulat di sampingnya, dengan kencang memeluk dirinya. Kulit badannya halus licin, panasnya bagai bara yang menyala. Melihat Yap Kay tengah mengawasi dirinya, mukanya seperti terbakar pula, lekas dengan suara aleman segera dia susupkan kepalanya ke dalam kemul.

Bagaimana perasaan Yap Kay? Yang terang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Lambat laun terasakan olehnya badan Cui Giok-tin mulai gemetar, tentunya bukan lantaran kedinginan. Sayang sekali kondisi badan Yap Kay begitu lemah, luka-lukanya belum sembuh. Jangan kata untuk main begituan, buat menggerakkan tangan dan kakipun rasanya seperti diboboti barang ribuan kati. Tapi sang waktu berlalu tanpa terasa, malam semakin larut, akhirnya mereka sama kelelap di dalam buaian pelukan yang manis mesra.

ooo)dw(ooo

Entah berapa lamanya, tiba-tiba pintu di dorong orang. Seseorang menerjang masuk. Seseorang yang tak terkirakan oleh mereka.

Lampu belum padam, sinarnya menyorot muka orang ini, kelihatan mukanya membesi hijau, sorot matanya diliputi napsu membunuh. Dengan penuh kebencian dan kemarahan dia melotot kepada mereka, seakan-akan ingin menusuknya mampus dengan golok di atas ranjang. Yang terang mereka tidak kenal siapa laki-laki ini.

Tiba-tiba Cui Giok-tin berteriak kaget: "Siapa kau?

Kenapa main terjang ke dalam rumah?"

Orang itu melototinya, mendadak tertawa dingin, katanya: "Inikan rumahku? Kenapa aku tidak boleh pulang?"

Sudah tentu Yap Kay dan Cui Giok-tin sama-sama melengak. Kiranya pemilik rumah sudah pulang. Bila seorang suami pulang dari perjalanan jauh, mendadak sepasang laki perempuan yang asing baginya sedang tidur di atas ranjang, betapapun besar kemarahannya, adalah patut kalau kita bersimpati kepadanya.

Semula Cui Giok-tin memang amat marah, kaget dan malu, kini seperti balon kempes saja layaknya dia,  rebah lemas tak bersuara lagi.

Dengan kertak gigi, orang itu menatapnya, suaranya menggerung gusar: "Dua bulan aku keluar berdagang, kau lantas berani curi laki-laki di rumah? Memangnya kau tidak takut kubunuh?"

Kembali  Cui  Giok-tin  tersentak  kaget,  teriaknya:  "Kau. apakah kau tidak salah melihat orang?"

"Aku salah lihat?", damprat orang itu dengan mencak- mencak seperti kebakaran jenggot, "sejak umur enam belas, kau sudah kukawini, umpama terbakar jadi abu juga tetap kukenali kau."

Tak tahan Cui Giok-tin berkaok-kaok: "Kau sudah gila, melihat tampangmupun aku tidak pernah."

"Jadi kau berani menyangkal bahwa kau ini bukan biniku?" "Sudah tentu bukan."

"Kalau bukan biniku, kenapa kau tidur di ranjangku?", lalu laki-laki itu berpaling kepada Yap Kay, katanya: "Kau ini siapa? Kenapa tidur seranjang dengan biniku?"

Cui Giok-tin dan Yap Kay sama-sama kelakep, tiba-tiba dia menyadari dirinya kebentur suatu kejadian yang menggelikan, namun juga memalukan. Sungguh dia sendiri bingung apa yang terjadi sebetulnya.

Berkata pula orang itu: "Untung aku ini orang bajik, perduli apapun yang pernah kalian lakukan, aku tetap akan mengampuni dan memaafkan kalian, tapi sekarang aku sudah kembali, kau harus bangun dan serahkan tempat tidur ini kepadaku.", sembari bicara dia maju menghampiri seraya siap-siap membuka pakaian.

Cui Giok-tin menjerit-jerit. Dengan kencang dia tarik Yap Kay.

"Aku bukan istrinya, bahwasanya aku tidak mengenalnya.

Jangan kau bangun menyerahkan tempat ini kepadanya."

Sudah tentu Yap Kay tidak bisa bangun. Apa yang harus dia lakukan?

Untunglah, pada saat itu dari luar kumandang tawa seseorang yang terkial-kial, seseorang tengah memeluk perut saking tertawa geli melangkah masuk.

Begitu melihat orang ini seketika Yap Kay terbeliak.

Siangkwan Siau-sian. Gadis ini ternyata muncul di saat yang begini memalukan.

Dengan sebelah tangan memegangi perut, tangan Siangkwan Siau-sian yang lain menuding Yap Kay, katanya masih cekikikan geli: "Kau mengangkangi rumah orang, menempati ranjangnya lagi. Ini yang empunya sudah pulang, tanpa banyak rewel hanya suruh kau menyingkir, kau tetap mendablek, apa tidak keterlaluan sikapmu ini?". Belum habis bicara, air matanya bercucuran saking terpingkal-pingkal dengan menahan perut yang mules.

Yap Kay sekarang mulai tabah. Baru kini dia menyadari apakah yang telah terjadi. Perempuan ini bukan saja licik dan licin seperti rase, boleh dikata segala perbuatan apapun bisa saja dia lakukan.

Siangkwan Siau-sian masih terus tertawa tak henti- hentinya, seakan-akan belum pernah dia melihat adegan lucu yang menggelikan ini.

Dengan melongo kaget Cui Giok-tin mengawasinya, tanyanya: "Siapakah dia?"

"Dia bukan manusia." sahut Yap Kay.

"Benar! Sebetulnya aku bukan manusia, aku ini adalah malaikat hidup, perduli kemanapun kau menyembunyikan  diri, aku tetap bisa menemukan kau."

Yap Kay tidak perlu tanya cara bagaimana orang bisa menemukan dirinya. Jelas orang selalu menguntit dan mengawasi setiap gerak-gerik Yap Kay, seperti bayangan setan layaknya.

Berkata Siangkwan Siau-sian: "Tapi aku benar-benar tidak pernah pikir, nona tosu bisa menemukan tempat seperti ini, kalau bukan karena dia tergesa-gesa hendak cari obat, sungguh hampir saja aku tak berhasil menemukan kalian."

Dia maju ke sana menjemput mangkok kosong lalu diendusnya ke dekat hidung, katanya pula dengan tertawa: "Sayang sekali dia belum boleh dianggap tabib yang baik, obat macam ini umpama kau habiskan satu gentongpun takkan berguna."

Sudah tentu Cui Giok-tin naik pitam, katanya dengan merah padam: "Memangnya kau mampu mengobati luka- lukanya?"

"Akupun bukan tabib, tapi aku sudah mengundang seorang tabib yang paling baik kemari."

Laki-laki yang mengaku sebagai suami tadi kini tidak marah lagi, malah dengan tersenyum mengawasi mereka.

Siangkwan Siau-sian memperkenalkan: "Inilah satu- satunya dari Biau-jiu-sin-ih pada jaman yang lalu, Biau-jiu- long-tiong Hoa Cu-ceng. Pengetahuan dan pengalamanmu cukup luas, tentunya tahu akan dirinya."

Yap Kay memang tahu benar. Keluarga Hoa, ayah beranak memang merupakan tabib sakti yang kenamaan di Kang-ouw. Terutama untuk penyembuhan luka-luka luar, mempunyai cara pengobatan khusus. Akan tetapi dua ayah beranak ini mempunyai ciri khas yang aneh, yaitu mencuri. Sebetulnya mereka tidak perlu mencuri, namun sejak dilahirkan sudah menjadi pembawaan, yakni hobbynya mencuri, jadi apapun bila ada kesempatan pasti mereka mencuri. Maka orang- orang atau pasien-pasien yang minta tolong untuk menyembuhkan luka-luka atau sakitnya, pasti akan dikuras kantongnya sampai ludes. Dari situlah mereka mendapat julukan Biau-jiu.

Yap Kay tertawa, katanya: "Tak nyana, bukan saja kepandaian ilmu pengobatan tuan amat tinggi, malah kaupun pandai main sandiwara." Hoa Cu-ceng tertawa, katanya: "Dalam hal ini ada yang tidak kau ketahui. Untuk belajar mencuri, maka kau harus pandai main sandiwara."

"Kenapa begitu?" tanya Yap Kay.

"Karena kau harus belajar menyaru jadi berbagai orang, baru bisa berhasil mendapatkan barang yang beraneka ragamnya pula," dengan tersenyum Ho Cu-ceng menjelaskan, "umpamanya kau hendak mencuri buku ajaran agama di kelenteng, maka kau harus menyamar jadi Hwesio, kalau ingin mencuri lonte, maka kau harus pura-pura jadi laki-laki iseng."

"Jikalau kau hendak mencuri uang di Bank, maka kau harus menyaru jadi pedagang kaya untuk mencari tahu seluk beluknya lebih dulu." Yap Kay menambahkan.

Ho Cu-ceng tepuk tangan, katanya: "Tuan memang pintar, tahu satu lantas jelas tiga. Kalau kau mau ngobyek dalam bidang ini, aku berani tanggung dalam tiga bulan kau pasti sudah menjadi seorang ahli dalam bidang ini."

Siangkwan Siau-sian berkata dengan tertawa manis: "Sekarang juga dia sudah menjadi ahli, maka bila kau menyembuhkan luka-lukanya, lebih baik kau hati-hati, kalau tidak bukan mustahil barang milikmu bakal digerogoti sampai ludes."

Hoa Cu-ceng tertawa, ujarnya: "Sudah puluhan tahun aku selalu mencuri milik orang lain, bila ada barang milikku juga tercuri orang, rasanya menyenangkan juga," dengan tersenyum segera dia maju menghampiri, katanya: "Asal pisau itu tidak beracun, aku berani tanggung, dalam tiga hari tuan pasti akan bisa pergi membunuh orang." "Tunggu sebentar!" tiba-tiba Cui Giok-tin berteriak. "Tunggu apa lagi?" tanya Hoa Cu-ceng.

"Darimana aku tahu kau kemari benar-benar ingin menyembuhkan luka-lukanya?" tanya Cui Giok-tin.

"Nona tosu ini agaknya orang cermat dan hati-hati," kata Siangkwan Siau-sian, "sayang sekali otaknya rada kurang beres. Memangnya kau sudah dibikin pusing tujuh keliling oleh Yap Kongcu ini?"

Merah muka Cui Giok-tin, katanya: "Terserah apapun yang ingin kau katakan, aku. "

"Sekarang kalau aku ingin membunuhmu, boleh dikata segampang makan kacang, buat apa aku susah-susah membuang tenaga?"

Cui Giok-tin tertawa dingin.

"Kau tidak percaya?", ancam Siangkwan Siau-sian. Cui Giok-tin tetap menyeringai dingin.

Tiba-tiba badan Siangkwan Siau-sian melayang enteng laksana segumpal mega, melampaui kepala mereka.

Seketika terasa oleh Cui Giok-tin seperti ada sebuah tangan dingin terulur masuk ke dalam kemul, serta mencubit sekali di tengah dadanya. Waktu dia mengawasinya lagi, tahu-tahu Siangkwan Siau-sian sudah melayang balik ke tempat semula.

Dengan cengar-cengir Siangkwan Siau-sian mengawasi diri Cui Giok-tin, lalu katanya: "Khabarnya Giok-siau Tojin pandai memetik kembang menyerap sarinya, tapi kurasakan badanmu masih kenyal dan agaknya kau memang pandai melayani keinginan laki-laki."

Merah hijau dan pucat pergantian perubahan rona muka Cui Giok-tin, saking jengkel hampir saja dia menangis.

"Itulah suatu hal yang pantas dibuat bangga dari setiap perempuan, buat apa kau malu-malu segala?" ujar Siangkwan Siau-sian, "kapan kau ada waktu, mungkin aku akan mohon belajar dan petunjukmu."

Muka Cui Giok-tin sudah memutih kaku. Dia tahu perempuan ini sengaja hendak menghina dirinya, namun dia terima segala hinaan ini.

Kenapa ada orang ingin orang lain menderita, baru diri sendiri merasa senang? Kalau Cui Giok-tin mengucurkan air mata, sebaliknya Siangkwan Siau-sian sedang tersenyum kesenangan.

"Menggelinding pergi!" tiba-tiba Yap Kay menghardik.

Agaknya Siangkwan Siau-sian terkejut, serunya: "Kau suruh siapa menggelinding pergi keluar?"

"Kau!", sentak Yap Kay.

"Aku baik hati mengundang tabib untuk menyembuhkan luka-lukamu, kau malah suruh aku menggelinding pergi!"

Yap Kay menarik muka, katanya: "Benar! Kusuruh kau menggelinding keluar."

Muka Siangkwan Siau-sian sedikit berubah, katanya menyeringai dingin: "Apa kau tidak takut aku membunuhmu?" "Kau kira kau bisa membunuhku?" Yap Kay balas menjengek.

"Kaupun tidak percaya?"

"Aku hanya ingin memperingatkan kau satu hal." "Hal apa?"

"Hal ini!"

Pelan-pelan Yap Kay acungkan tangannya dari dalam kemul, ternyata jari-jarinya menjepit sebilah pisau. Pisau terbang sepanjang tiga dim tujuh mili. Pisau nan tipis tajam kelihatan kemilau ditingkah sinar lampu.

Muka Siangkwan Siau-sian berubah membesi hijau tertimpa sinar reflek dari cahaya pisau kemilau itu, sebaliknya raut muka Hoa Cu-ceng tegang dan merah coklat.

Pisau terbang warisan Siau-li Tham-hoa. Itulah pisau terbang warisan tunggal dari Siau-li Tham-hoa yang tiada taranya, tak pernah luput saat pisau ditimpukkan. Betapapun jago kosen paling ditakuti di kang-ouw, selamanya tiada satupun yang berani melawan dan kuasa meluputkan diri dari timpukan pisau terbang ini.

Yap Kay tertawa dingin, katanya: "Sebetulnya aku tidak suka membunuh orang, maka kau jangan memaksaku."

Siangkwan Siau-sian balas mengejek, katanya: "Sekarang kau masih bisa membunuh orang?"

"Kau ingin mencobanya?"

Siangkwan Siau-sian tidak berani. Tiada manusia dalam dunia ini yang berani main-main dengan pisau terbang yang satu ini. Memang siapa yang berani mempertaruhkan jiwa raga sendiri untuk main coba-coba, hanya untuk memperebutkan menang atau kalah?.

Siangkwan Siau-sian tekan perasaannya, dengan  menghela napas panjang, katanya: "Apa kau tidak ingin luka- lukamu lekas sembuh?"

"Aku hanya ingin kau lekas menggelinding pergi."

Siangkwan Siau-sian menghela napas pula, katanya: "Aku tidak bisa menggelinding, bagaimana kalau aku berjalan keluar saja?".

Benar juga bilang keluar lantas dia beranjak keluar pintu.

Sudah tentu Hoa Cu-seng tersipu-sipu lebih cepat.

Di depan pintu Siangkwan Siau-sian berpaling muka, katanya: "Ada sebuah hal hampir saja aku lupa memberitahu kepadamu."

"Ada hal apa?"

"Apa kau tidak ingin tahu jejak dan keadaan nona Ting kesayanganmu itu?"

Yap Kay tidak memberi komentar, yang terang sudah tentu dia ingin tahu.

"Sekarang dia berada bersama Kwe Ting, seperti juga kalian, sama-sama tidur di atas ranjang."

Yap Kay tertawa dingin, katanya: "Kenapa kau bicara seperti ini di hadapanku? Kau tahu tiada gunanya kau mengoceh di sini."

"Kau tidak percaya bila mereka melakukan hal itu?" Sudah tentu Yap Kay tidak percaya. "Sebetulnya mungkin mereka cukup setia terhadapmu, tapi jikalau nona Ting sendiripun sedang kedinginan, seperti tosu perempuan ini, Kwe Ting membantu menghangatkan badannya? Jikalau pada sesuatu tempat pada badan nona Ting yang tidak boleh dilihat orang lain terkena sebangsa jarum beracun, untuk menolong jiwanya, apakah Kwe Ting tidak akan mengisap dengan mulutnya?"

Baru sekarang berubah roman muka Yap Kay.

Maka tersimpullah senyum kemenangan pada muka Siangkwan Siau-sian, dengan menggandeng tangan Hoa Cu- seng, ia berkata: "Walau dia tidak kenal persahabatan terhadapku, namun aku tidak boleh bersikap tidak setia, tidak dapat dipercaya kepadanya. Nah, tinggalkan sebungkus obat kepadanya. Marilah kita pergi." kali ini dia benar-benar berlalu.

Yap Kay sudah duduk, kini dia jatuh tertidur pula dengan lunglai.

Cui Giok-tin sampai menjerit kaget: "Kau. kau

kenapa?"

Yap Kay menghela napas, katanya getir: "Untung kau taruh pisauku di bawah bantal, untung dia tidak berani mencobanya."

"Tadi kau sebetulnya tidak mampu melukai dia?" tanya Cui Giok-tin.

Mengawasi pisau di tangannya, berubah muka Yap Kay, katanya: "Pisauku ini bukan hanya ditimpukkan dengan tenaga jari saja, juga harus dilandasi seluruh himpunan semangat dan perhatian untuk memusatkan setaker kekuatan, baru bisa menimpukkan, tapi aku sekarang. "

sampaipun bicara dia merasa sulit dan berat.

Mengawasi muka orang, bercucuran air mata Cui Giok-tin, katanya: "Aku tahu untuk menolong aku, maka kau mengusirnya. Kenapa kau harus menyerempet bahaya ini? Aku. aku memang orang yang pantas dihina orang."

Lembut suara Yap Kay, katanya: "Tiada orang yang harus dihina, tiada orang punya hak untuk menghina orang lain." suaranya lembut dan tegas: "Walau dia orang tua menurunkan pisau ini kepadaku, adalah supaya aku memberitahu kepada seluruh manusia di dalam dunia agar mengetahui akan hal ini, dan yang penting siapapun dilarang melupakannya."

Bercahaya pula mata Cui Giok-tin, katanya pelan-pelan: "Kukira beliau tentu seorang yang luar biasa sekali."

Pandangan Yap Kay tertuju ke tempat nan jauh, sorot matanya mengandung rasa hormat.

"Beliau sendiri sering bilang bahwa dirinya hanyalah seorang awam yang biasa saja, tapi apa yang dia lakukan, terang tiada seorangpun yang kuasa memadai, tiada orang lain yang mampu mengerjakan."

Memang itulah salah satu kebesaran dan keagungan Li Sin-hoan. Oleh karena itu tak peduli ia berada di mana, selamanya jiwa kebesarannya selalu hidup di dalam sanubari setiap orang.

Sinar lampu sudah semakin guram, agaknya minyak sudah hampir kering. Tiba-tiba Cui Giok-tin menghela napas pelan-pelan, katanya: "Kini aku hanya menguatirkan satu hal."

"Kuatir dia membocorkan jejak kita di sini? Kau kuatir dia akan kembali pula?", ujar Yap Kay.

"Dia tidak akan berbuat demikian, dia hanya mengharap luka-lukaku lekas sembuh."

"Kenapa?"

"Karena dia ingin supaya aku wakili dia menghadapi orang lain."

Cui Giok-tin tidak mengerti.

Terpaksa Yap Kay menjelaskan: "Hari itu dia memancing Giok-siau untuk menemui aku, tujuannya supaya aku bentrok dan adu jiwa sama dia. Diapun mengharap supaya aku membunuh Kwe Ting, demikian pula Ih-me-gao, membunuh siapa saja yang kemungkinan menghalangi tujuannya."

"Tapi, dia kan sudah tahu, kau jelas takkan sudi diperalat olehnya."

"Walau aku tidak akan membunuh orang-orang itu karena dia, sebaliknya orang-orang itu hendak membunuh aku." ujar Yap Kay, "maka dia tidak mengharap aku terluka, dan sudah tentu dia tidak akan berpeluk tangan melihat kematianku."

Terasa tangan Cui Giok-tin menjadi dingin basah, sungguh tak habis pikir olehnya bahwa dalam dunia ini ternyata ada perempuan yang begitu licin, keji dan jahat.

Terkandung maksud yang mendalam pada pandangan mata Yap Kay, katanya tiba-tiba: "Oleh karena itu ada beberapa hal yang membuatku tidak mengerti." "Hal apa?"

Sesaat Yap Kay menepekur, lalu berkata lirih: "Orang yang memaksamu meniup seruling di Leng-hiang-wan ini, kemungkinan adalah Giok-siau sendiri."

Cui Giok-tin tertegun, tanyanya: "Kenapa dia berbuat demikian?"

"Karena dia cukup tahu bahwa kau adalah perempuan yang berhati bajik dan bijaksana. Sudah tahu bahwa kau tidak menyukai sepak terjangnya, sudah lama ingin meninggalkan dia."

Cui Giok-tin tertunduk, katanya pelan-pelan: "Belakangan ini memang aku berusaha menghindari dia."

"Diapun tahu bahwa aku pasti akan ke Leng-hiang-wan, maka sengaja dia menggondolmu, dan memberi kesan kau menunggu, agar supaya kau membocorkan jejak di mana Ting Hun-pin sebetulnya berada."

Kini giliran Cui Giok-tin yang tidak paham, tanyanya: "Apa dia sengaja ingin supaya kau berusaha menolong nona Ting?"

Yap Kay manggut-manggut, katanya: "Karena dia sudah gunakan ilmu sihirnya untuk mengendalikan daya pikir Ting Hun-pin, dia suruh, begitu Ting Hun-pin melihat diriku, lantas membunuhku."

"Benar, maka sengaja dia taruh tiga pot kembang di luar jendela, maksudnya supaya kau gampang menemukan tempat itu."

"Tapi kuatir aku curiga, maka dia mengatur sedemikian rupa sehingga aku tidak gampang mencapai tujuanku." "Oleh karena itu dia sengaja memerankan sandiwara itu supaya kau selamanya tidak menduga akan muslihatnya."

"Dia membekuk Ting Hun-pin, tujuannya bukan ingin membunuh Siangkwan Siau-sian, tapi adalah ingin membunuhku."

Cui Giok-tin kertak gigi, katanya geram: "Dulu aku tidak tahu bahwa dia tosu tua bangka yang ganas dan begitu jahat!"

"Tapi dia terang bukan anggota Kim-cie-pang, karena Siangkwan Siau-sian tidak ingin aku mati, diapun tidak tahu bahwa akalnya ini semakin membuat aku tak habis mengerti."

"Apa yang tidak kau mengerti?", tanya Cui Giok-tin.

"Dari mana dia bisa menggunakan ilmu Sip-sim-sut, semacam sihir itu?" ujar Yap Kay, "memang tidak sedikit orang yang pandai menggunakan ilmu ini, namun yang benar- benar boleh dianggap ahli hanya beberapa gelintir saja, di antara mereka sebagian besar adalah orang-orang Mo Kau. Pernahkah kau dengar Giok-siau membicarakan soal Mo Kau?"

"Tidak!" sahut Cui Giok-tin sambil geleng kepala. "Selamanya kau mendampingi dia, di mana saja dia

berada?"

"Dia punya kapal laut yang amat besar. Hidupnya di tengah lautan. Setiap bulan atau dua bulan, baru berlabuh di salah satu pelabuhan untuk menambah bahan makan. Tapi beberapa bulan yang lalu, dia pernah berlabuh di suatu pulau liar yang tiada penghuninya selama enam tujuh hari. Tiada orang yang diajaknya turun, kitapun dilarang berlayar."

(Bersambung ke Jilid-9) 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar