Rahasia Mokau Kauwcu Jilid 07

 
Jilid-07

"Di sini ada sebaskom air panas, sebuah ranjang besar yang empuk, bersih dan hangat. " Seperti merintih, Ting Hun-pin menghela napas, ujarnya: "Apa yang kau pikirkan kenapa mirip dengan jalan pikiranku?"

Yap Kay tersenyum, ujarnya: "Karena sudah lama kita tidak bertemu, benar tidak?"

Merah muka Ting Hun-pin, mendadak dia berjingkrak bangun serta menggigit lengan Yap Kay, omelnya: "Kau ini memang laki-laki bejat, ku gigit kau biar mampus. "

ooo)dw(ooo Ranjangnya empuk dan bersih, hangat lagi.

Yap Kay rebah di atas ranjang, dia tidak mati tergigit, namun kelihatannya dia sudah loyo dan empas-empis kehabisan napas.

Ting Hun-pin rebah di atas dadanya, dada yang bidang dan kekar kuat.

Kamar yang mereka tempati sejuk dan nyaman, seperti di dalam musim semi. Api di dalam tungku tengah menyala, menghangatkan udara yang dingin ini. Di dalam kamar yang sudah hangat ini, seorang diri boleh tidak usah pakai baju. Apalagi dua orang berlainan jenis, maka boleh tidak usah pakai selembar benangpun.

Tiba-tiba Ting Hun-pin menghela napas, katanya: "Kita belum menikah secara resmi, lantas main begituan, sungguh tidak pantas." suaranya seperti orang mengigau dalam mimpi, "selalu aku merasa perbuatan kita sudah melanggar kesopanan dan budi pekerti, namun entah kenapa, setiap kali aku selalu sukar menolaknya." "Aku tahu!", sahut Yap Kay. "Kau tahu apa?"

Yap Kay mengawasinya, sorot matanya mengandung kasih sayang, katanya pelan-pelan: "Kau tidak menolak, karena kau lebih bergairah untuk melakukan perbuatan terkutuk ini."

Merah muka Ting Hun-pin, dengan keras dia puntir telinga orang, katanya gemas: "Kau begini jahat, apa pula yang kau ketahui?"

"Dia masih tahu membunuh orang," sekonyong-konyong seseorang menyeletuk, suaranya nyaring dan lincah seperti suara kanak-kanak. Itulah suara Siangkwan Siau-sian.

Ting Hun-pin berjingkrak bangun, namun dia tersipu-sipu dibuatnya, baru dia sadar dirinya telanjang bulat. Sebelum dia berbuat apa-apa, tiba-tiba pintu yang terpalang dari dalam sudah pelan-pelan terpentang. Dengan tersenyum Siangkwan Siau-sian beranjak masuk, tangannya menggendong boneka tanah liat pula. Bola matanya yang bundar jeli berputar ke arah mereka berdua.

Katanya kemudian dengan cekikikan geli sambil geleng- geleng: "Waktu kalian main begituan, seharusnya mengganjel pintu dengan sebuah meja dari dalam, bukankah kalian tahu, hanya membuka pintu yang terpalang dari dalam bukan suatu kerja yang sulit?"

Gemas, dongkol dan malu, seru Ting Hun-pin: "Siapa kira ada gadis perawan seperti kau yang tidak tahu malu bakal menerjang masuk kemari?" "Aku tidak tahu malu? Memangnya kalian tahu malu. Hari belum lagi gelap, kalian sudah begini mesra, apa tidak memalukan?"

Semakin merah muka Ting Hun-pin, lekas dia alihkan pembicaraan, katanya keras: "Kebetulan kau mau datang, kami memang sedang mencarimu. Cara bagaimana kau bisa temukan tempat ini?"

"Bukan saja di sini terdapat koki yang paling pintar, masih ada ranjang paling nyaman. Kebetulan aku tahu bahwa kalian memang orang-orang yang suka bersenang-senang."

Berputar biji mata Ting Hun-pin, "Kau ini tamu, maka berlakulah sopan sedikit sebagai tamu."

"Bagaimana perilaku seorang tamu?"

"Paling tidak sekarang kau keluarlah, biar kami bangun menyambut kedatanganmu."

Siangkwan Siau-sian cekikikan, katanya: "Aku mengerti maksudmu. Bagaimana kalau aku putar badan tidak melihat kalian?"

Gemeretak gigi Ting Hun-pin saking gemas dan benci, tapi orang tidak keluar, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Untung Siangkwan Siau-sian sudah putar badan membelakangi mereka, katanya: "Aku amat heran, dalam hawa sedingin ini kelihatannya kalian tidak takut kedinginan sedikitpun."

Ting Hun-pin diam saja, dia tidak menanggapi ocehan orang. "Khabarnya dulu kau selalu membawa banyak kelinting emas, jikalau tidak ditanggalkan, bukankah amat menyenangkan buat main-main?", demikian goda Siangkwan Siau-sian.

Memang Ting Hun-pin sedang gegetun dan menyesal, jikalau dia membawa kelinting pencabut nyawa itu, sejak tadi dia sudah persen beberapa lubang di badan Siangkwan Siau-sian.

Pada saat itulah, sekonyong-konyong Siangkwan Siau-sian berteriak sekeras-kerasnya, seperti mendadak melihat setan, badannya segera menerjang jendela menerobos keluar, boneka di tangannya jatuh hancur.

Ting Hun-pin berteriak: "Bagaimana juga jangan biarkan dia merat!"

Belum habis dia bicara, Yap Kay sudah menerobos jendela. Umumnya perempuan memang lambat bila mengenakan pakaiannya, bayangan Yap Kay dan Siangkwan Siau-sian sudah tidak kelihatan lagi.

ooo)dw(ooo

Yap Kay memang orang aneh, sebetulnya dia tidak ingin dirinya kenamaan, maka pertama kali dia berkecimpung di kalangan Kang-ouw pernah dia menggunakan beberapa nama samaran yang berlainan. Kejadian di dunia ini memang serba- serbi, orang yang tidak ingin ternama, malah disegani orang dan tenar. Sehingga setiap nama yang pernah dipakai boleh dikata semuanya tenar, satu diantaranya yang paling terkenal sudah tentu adalah Hwi-long-kun. Karena Ginkang-nya memang amat tinggi, malah ada orang berpendapat bahwa kepandaian pisau terbangnya mungkin belum sebanding dengan Siau-li si pisau terbang, tetapi Ginkang-nya jelas tokoh silat kosen manapun tak ada yang bisa mengungkulinya. Malah ada sementara orang yang berpendapat, delapan puluh tahun belakangan ini, tokoh Bu- lim yang memiliki ilmu Ginkang tertinggi adalah dia.

Akan tetapi, waktu dia menerobos keluar jendela ternyata secara aneh Siangkwan Siau-sian menghilang, jadi dia tidak berhasil menangkapnya. Cukup jauh Yap Kay berlari-lari mengejarnya, namun bayangan orang tak dilihatnya.

Tatkala itu sudah menjelang magrib. Angin menjelang petang ini rasanya dingin. Sudah tentu Yap Kay tidak ingin berdiri menjublek di tempat terbuka seperti orang linglung yang diterpa angin barat laut.

Tahu dirinya takkan bisa mengejar orang, terpaksa dia kembali dulu. Entah kenapa belakangan ini perhatiannya terhadap Ting Hun-pin semakin berat.

Dia kembali melalui jalan dimana tadi dia datang. Daun jendela yang keterjang semplak tadi, kini berbunyi nyaring seperti orang bertabuh gendang dihembus angin keras. Baru saja dia hendak melayang turun melalui jendela, tahu-tahu dia menjublek di tempatnya. Rumah yang sepi kini mendadak begitu ramai.

Kamar kecil yang ia tempati, kini ramai dihuni oleh tujuh delapan orang, hampir sebagian besar penghuni kamar itu adalah perempuan, malah semuanya adalah gadis-gadis belia yang molek. Lebih aneh lagi bahwa ke sembilan gadis-gadis ayu itu semuanya mengenakan pakaian tosu.

Darimana datangnya tosu-tosu perempuan ini? Hampir Yap Kay menyangka dirinya salah tujuan dan mendatangi tempat lain, tetapi jelas dilihatnya Ting Hun-pin berada di dalam kamar.

Ting Hun-pin duduk tidak bergeming di tempatnya, sorot matanya menunjukkan rasa keheranan dan kaget, seperti mengandung ketakutan pula. Di belakangnya dua tosu perempuan berdiri menjaganya, di depannya masih ada lima orang lagi, tapi sorot matanya menatap ke arah badan seorang laki-laki.

Seorang laki-laki tua, seorang tosu yang sudah lanjut usia. Tosu tua ini duduk di atas sebuah kursi dekat jendela. Jubah tosu yang dipakai terbuat dari sutra disulam dengan benang-benang emas yang indah. Rambutnya yang ubanan tersisir halus dan rapi laksana perak mengkilap, digelung tinggi dengan tusuk kondai hijau dari batu giok (jade), sabuknya terdiri dari sutra warna jambon, di mana terselip miring sebatang seruling panjang yang halus mengkilap seperti warna pualam.

Usia tosu ubanan ini sedikitnya sudah mencapai enam puluh tahun, tapi rona mukanya masih kelihatan merah segar, halus dan mengkilap, sedikitpun tiada kerut keriputnya, demikian pula biji matanya hitam putihnya masih kelihatan cemerlang dan bercahaya terang.

Walau dia duduk dengan bersimpuh, namun kelihatan perawakannya yang tinggi tegap, sedikitpun tidak kelihatan loyo atau ketuaan jiwanya, jenggot ubanan yang terurai memanjang di depan dadanya melambai-lambai tertiup angin, namun jelas teratur rapi dan terpelihara baik sekali.

Selama hidupnya belum pernah Yap Kay melihat atau berhadapan dengan tosu segagah, mewah, setampan dan berdandan begitu rapi.

Kini Ting Hun-pin sudah melihat kedatangannya, mulutnya sudah terbuka, namun suaranya tak terdengar. Agaknya Hiatto-nya sudah ditutuk orang.

Yap Kay menghela napas, katanya getir: "Agaknya kamar ini memang membawa berkah, baru saja seorang tamu berlalu, tahu-tahu ketambahan delapan lagi."

Tosu ubanan berjubah sutra tengah menatapnya, suaranya keras dan kereng: "Kau inikah Yap Kay?"

Yap Kay manggut-manggut sebagai jawabannya. "Hwi-long-kun juga adalah kau?"

"Ada kalanya memang benar!"

Si Tosu menarik muka, suaranya tetap kereng: "Belakangan ini memang banyak generasi muda yang muncul, orang gagah mampu membunuh delapan puluh tga jiwa dalam semalam, sejak dulu kala Pinto belum pernah menyaksikannya."

"Akupun belum pernah melihatnya." ujar Yap Kay. "Di hadapan Pinto, kau masih berani bertingkah?"

"Kalau Totiang tidak senang melihat orang bertingkah, kenapa kau berada di kamar milik seseorang yang suka bertingkah?" "Agaknya kau belum tahu siapa aku ini?" "Ya, belum tahu!"

"Pinto Giok-siau."

"Giok-siau dari laut timur?".

Melihat si Tosu manggut, Yap Kay menambahkan dengan tertawa getir: "Seharusnya aku terperanjat, sayangnya hari ini sudah banyak kali aku dibuat terkejut."

ooo)dw(ooo

Tang-hay-giok-siau atau Seruling Giok dari Laut Timur.

Memang siapapun yang mendengar nama ini pasti akan terkejut.

Tempo dulu waktu Pek Siau-seng membuat buku daftar senjata, Tang-hay-giok-siau tercantum nomor 10. Bahwasanya Giok-siau Tojin ini adalah satu dari 10 tokoh besar Bu-lim yang sekarang masih ketinggalan hidup, kecuali Li Sin-hoan. Khabarnya jejak pengembaraannya selalu berada di luar lautan. Sungguh tak pernah terpikir oleh Yap Kay, orangnya tahu-tahu sudah berada di sini.

Terdengar Giok-siau Tojin berkata: "Untuk apa Pinto datang kemari, tentunya kau sudah tahu."

"Aku tidak tahu." sahut Yap Kay. "Kelihatannya kau bukan laki-laki goblok."

"Tapi aku pandai main pura-pura." sahut Yap Kay.

Tosu-tosu perempuan yang hadir sejak tadi sudah main lirik secara diam-diam kepada Yap Kay, kini tak tertahan mereka seperti ingin tertawa. Kembali berubah rona muka Giok-siau Tojin, katanya dingin: "Kau lebih pantas kalau pura-pura mampus saja."

"Lho! Kenapa pura-pura mati?"

"Karena Pinto tidak akan bunuh orang mati." "Jadi yang masih hidup kau bunuh semuanya?"

"Ya, aku hanya ingin bunuh orang yang ingin mampus." "Syukurlah, aku orang yang tidak ingin mampus."

"Bila orang ini tetap hidup segar bugar, di hadapan Pinto dia harus bicara terus terang."

"Ya, apa yang kuucapkan semua terus terang." "Milik siapakah boneka tanah liat ini?"

"Milik Siangkwan Siau-sian." "Tadi dia berada di kamar ini?" "Dialah tamuku yang pertama." "Sekarang di mana dia?" "Entah!"

"Barusan dia masih di sini, kenapa kau katakan tidak tahu di mana dia pergi?"

"Sekarang kau masih berada di sini, sebentar lagi kemana kau pergi, aku takkan tahu."

Giok-siau Tojin tiba-tiba menghela napas, katanya: "Betapa berharganya jiwa manusia, kenapa ada orang yang ingin mampus?" tiba-tiba dia keluarkan seruling bundar pualam yang terselip di pinggangnya. Dulu Tang-hay-giok-siau tercantum nomor sepuluh dalam deretan daftar senjata, sumber kepandaian silat Giok-siau Tojin khabarnya mendapat didikan tiga belas aliran, seruling di tangannya ini bukan saja khusus untuk menutuk Hiat-to, namun bisa digunakan sebagai pedang, malah di dalam lubangnya yang bundar itu tersembunyi senjata rahasia yang lihay dan keji benar.

Semula Yap Kay kira orang sudah siap turun tangan, tak nyana Giok-siau Tojin tetap duduk tidak bergeming, seruling dielusnya pelan-pelan, lalu ditempelkan ke bibir dan ditiupnya.

Pertama kali irama serulingnya riang enteng, seolah-olah di puncak gunung menghijau dibuaian hembusan angin lalu yang membawa awan berkembang, sehingga orang yang mendengar merasa hatinya tentram, riang dan gembira. Lambat laun lagunya semakin rendah dan memabukkan, membawa pikiran pendengar ke dalam alam mimpi yang indah dan mengasyikkan. Tiada kerisauan dan derita dalam alam mimpi itu, tiada kejahatan tiada angkara murka, sudah  tentu tiada tanda-tanda nafsu membunuh. Siapapun mendengar lagu seruling ini, pasti takkan pernah membayangkan persoalan dunia yang penuh diliputi ketamakan, kekejian dan kejahatan saling membunuh sesama hidup manusia.

Akan tetapi saat itulah Giok-siau Tojin justru melakukan perbuatan yang paling keji, rendah, kotor dan hina serta memalukan. Dari dalam batang serulingnya tiba-tiba melesat tiga bintik sinar bintang yang dingin, melesat kencang mengarah dada Yap Kay. Itulah senjata gelap sebangsa Song-hun-ting (Paku duka cita), luncurannya kencang, bagai sambaran kilat. Di dalam suasana dibuai irama seruling yang memabukkan ini, siapa akan menyangka dan menduga bahwa orang akan membokong dengan senjata rahasia yang keji dan jahat secara rendah.

Akan tetapi Yap Kay selalu sudah siap waspada. Senjata rahasia yang betapapun keji dan jahatnya, dihadapannya seolah-olah menjadi tak berguna sama sekali. Karena dia membekal semacam kepandaian khusus yang luar biasa untuk menyambuti senjata rahasia, jari-jarinya seperti dilandasi semacam daya sedot yang gaib. Cukup dia melambaikan tangan, ketiga bintik sinar dingin itu seketika lenyap tak berbekas. Apakah itu kepandaian Lwekang Ban-liu-kui-cong (Laksana aliran kembali ke sumbernya) yang sudah lama putus turunan di Bu-lim?

Sedikit berubah rona muka Giok-siau Tojin.

Yap Kay malah tersenyum, katanya: "Teruskan tiupanmu, jangan berhenti, aku senang mendengar orang meniup seruling."

Giok-siau ternyata tidak menghentikan tiupan irama serulingnya, tapi lagu yang ditiupnya jauh berbeda, berubah semacam lagu liar yang penuh mengandung daya pancingan, seperti gadis yang rindu akan kekasih, menggeliat ketagihan nafsu birahi yang merintih-rintih. Memang itu pula harapan setiap laki-laki yang juga dirangsang nafsu liar yang menjalari sanubarinya.

Dua tosu perempuan yang berdiri paling dekat dengan Yap Kay tengah pelirak-pelirik kepadanya dengan senyum genit merangsang, senyum yang mempesonakan penuh diliputi daya rangsang yang pasti menimbulkan gairah terhadap keinginan yang membangkitkan kelelakiannya.

Tidak mungkin Yap Kay takkan melihat dan mengawasi mereka. Tiba-tiba terasa olehnya bahwa dirinya menjadi bocah ingusan yang mendadak baru pertama kali ini melihat gadis ayu telanjang dihadapannya.

Di dalam alam pikirannya seolah-olah mereka menjadi telanjang bugil sama sekali, buah dada nan putih kenyal, pinggang yang ramping dan paha yang panjang mempesonakan. Sekonyong-konyong terasakan olehnya sesuatu telah berubah pada salah satu bagian tubuhnya. Memang, nafsu birahi yang merangsang ini sukar dikendalikan laki-laki manapun dalam dunia ini.

Senyum tawa mereka semakin genit, lembut dan merangsang dengan kerlingan matanya, pinggangnya yang ramping kecil menggeliat laksana egolan ikan lele yang mengundang. Pandangan siapa yang mampu beralih dari tempat-tempat vital yang menyolok, merangsang dan mengundang birahi ini?. Lalu siapa pula yang bakal mau memperhatikan urusan lainnya? Meski dunia hampir kiamatpun takkan dipedulikan lagi.

Dua orang yang menjaga Ting Hun-pin pelan-pelan menggusurnya keluar. Di dalam keadaan seperti itu, kalau terjadi pada laki-laki lain, pasti tidak akan memperhatikan gerak-gerik mereka, tapi Yap Kay bukan laki-laki lain. Yap Kay adalah Yap Kay. Matanya masih menatap ke arah gadis bugil yang sedang menari-nari telanjang, namun tahu-tahu badannya sudah melejit ke sana. Sekonyong-konyong pula irama serulingpun terhenti. Sebatang seruling yang kemilau itu tahu-tahu sudah menuding miring kemari, cepat sekali mengincar Siau-yau- hiat di pinggang Yap Kay. Itulah gerakan jurus Boan-koan- pit yang khusus mengincar Hiat-to dengan telaknya.

Di tengah udara Yap Kay membalik badan terus jumpalitan, arahnya tidak berubah, tetap menubruk ke arah dimana Ting Hun-pin sedang digusur keluar.

Kini gerakan Boan-koan-pit itu langsung berubah menjadi jurus-jurus pedang nan lincah enteng, sekujur bayangan Yap Kay sudah terselubung di dalamnya.

Melihat Ting Hun-pin digusur orang pergi, namun Yap Kay menginsyafi bahwa dirinya tidak bisa meloloskan diri lagi. Tiba-tiba pula disadari olehnya bahwa musuh yang dia hadapi sekarang merupakan musuh tertangguh yang belum pernah dia temui selama hidupnya. Jikalau dia masih merisaukan keselamatan Ting Hun-pin melulu, bukan mustahil dirinya sendiri bisa menjadi korban pula.

Daya luncuran badannya yang pesat ke depan itu sekonyong-konyong terhenti begitu saja secara mentah- mentah, mirip sekali dengan gangsingan yang sedang berputar-putar kencang, mendadak terpaku di atas tanah begitu saja.

Tokoh kosen manapun yang sedang bertempur takkan mungkin mampu melakukan tindakan seperti ini. Sampaipun Giok-siau Tojin yang punya pengalaman tempur ratusan kali, menghadapi berbagai macam musuh yang berbeda-beda, namun belum pernah dia mengalami kejadian seperti ini. Sungguh tak bisa dia menyelami maksud juntrungan Yap Kay. Namun kejap itu pula dia menyadari bahwa Yap Kay adalah pemuda yang kelewat cerdik, orang pintar tak mungkin mendadak melakukan perbuatan bodoh, memangnya di dalam hal ini ada muslihatnya?

Giok-siau Tojin menyeringai dingin, jengeknya: "Apa- apaan maksudmu ini?"

"Tiada maksud apa-apa," sahut Yap Kay. "Kau ingin mampus?"

"Sudah tentu tidak."

"Barusan kau tidak tahu di dalam sekejap tadi aku bisa bikin kau mampus sepuluh kali."

"Aku tahu!", sahut Yap Kay tertawa, lalu menambah dengan suara tawar, "tapi aku juga tahu, begitu aku berhenti, kaupun pasti berhenti."

"Jikalau aku tidak berhenti?"

"Kalau begitu aku benar-benar sudah mampus sepuluh kali."

Tiba-tiba memucat muka Giok-siau Tojin, agaknya dia amat menyesal, sayang menyesalpun sudah terlambat. Kesempatan sebaik itu dia sia-siakan, lain kali jangan harap dia memperoleh peluang seperti itu pula.

"Aku berhenti karena sekarang aku tidak yakin dapat mengalahkan kau!", Yap Kay berterus terang.

Giok-siau Tojin menyeringai.

"Karena sekarang hatiku kalut, apalagi di sekitarmu kau membawa pembantu-pembantu yang begini ayu-ayu lagi." Memang siapa yang hatinya takkan kecut melihat pujaan hatinya digusur pergi oleh pihak musuh.

"Agaknya kau memang jujur dan suka berterus terang," demikian ejek Giok-siau Tojin.

"Buat apa aku menipumu, belum tentu aku bisa menipumu, sudah tentu kaupun sudah tahu bahwa pikiranku sudah kalut."

"Maka pikiran orang yang kalut harus mampus."

"Apa benar kau punya keyakinan membunuh aku?", tantang Yap Kay.

Giok-siau Tojin tidak buka suara. Memang dia tidak yakin. Ilmu silat pemuda satu ini memang luar biasa, kecerdikan otaknya di dalam menghadapi setiap perubahan adalah begitu sigap dan cekatan, merupakan musuh tertangguh yang belum pernah dia hadapi selama hidupnya, musuh yang paling sukar dijajagi dan diraba juntrungannya. Apalagi orang masih memiliki senjata pisau terbang yang belum dia keluarkan. Bahwa pisau terbang Yap Kay belum dikeluarkan, sudah tentu Giok-siau tidak berani memancing dan memaksanya untuk digunakan atas dirinya.

Yap Kay berkata tawar: "Cepat atau lambat pasti datang suatu ketika kau dan aku akan duel, tapi jelas bukan malam ini."

"Kapan?"

"Dikala hatiku tidak kalut. Disaat aku yakin dapat mengalahkan kau." "Umpama benar ada hari yang kau harapkan, kenapa aku harus memberi peluang menunggu datangnya hari itu?"

"Karena mau tidak mau kau harus menunggunya. Sekarang umpama benar kau mampu membunuhku, kau takkan turun tangan, karena tujuanmu yang utama adalah Siangkwan Siau-sian."

Giok-siau Tojin tidak bisa menyangkal akan kebenaran ini.

"Sekarang umpama kau membunuhku, kau takkan bisa menemukan Siangkwan Siau-sian, maka kau menawan Ting Hun-pin, menggusurnya pergi, maksudmu supaya aku membawa Siangkwan Siau-sian untuk menukar dia."

Mendadak Giok-siau menghela napas panjang, ujarnya: "Ternyata kau memang tidak bodoh."

"Aku tidak suka membual." ujar Yap Kay, "sekarang aku benar-benar tidak tahu di mana Siangkwan Siau-sian berada."

"Kalau begitu akupun tidak tahu di mana Ting Hun-pin berada."

"Aku bisa berdaya untuk mencarinya."

"Baik! Kuberi waktu dua belas jam untuk mencarinya." "Dua belas jam?"

"Besok pada waktu sekarang ini, jikalau tidak kau serahkan Siangkwan Siau-sian kepadaku, selama hidupmu jangan harap kau bisa berjumpa pula dengan Ting Hun-pin." Lalu dengan suara kalem dia menambahkan: "Kim-hoan (Gelang emas) tak kenal budi, Pisau terbang mengenal kasih, Thi-kiam (Pedang besi) senang tenar, Giok-siau (Seruling pualam) senang paras ayu. Tentunya kau tahu maksud dari pameo ini."

Sudah tentu Yap Kay pernah mendengar dan tahu artinya.

Giok-siau Tojin menambahkan: "Ting Hun-pin adalah gadis jelita, dan aku adalah laki-laki yang senang paras ayu, maka lebih baik kalau secepatnya kau menemukan Siangkwan Siau-sian, kalau tidak........" dia tidak melanjutkan ancamannya.

Siapapun maklum apa yang diartikan ucapannya.

ooo)dw(ooo

Giok-siau Tojin sudah pergi membawa para murid-murid perempuannya yang cantik-cantik dan sama menggiurkan. 'Besok pada waktu ini aku datang kemari pula.'

Dua belas jam. Hanya dua belas jam. Siapa yang punya keyakinan di dalam dua belas jam bisa menemukan Siangkwan Siau-sian? Siapa yang mampu di dalam waktu yng pendek ini mencari perempuan yang licin seperti rase, dan jahat seperti ular itu? Yap Kay sendiripun tiada keyakinan. Tapi pedang besi mengejar nama, Giok-siau senang paras ayu. Memang siapa yang tega dan tentram hati membiarkan pujaan hatinya berada dicengkeraman laki-laki hidung belang yang senang mempermainkan paras ayu?

Tabir malam sudah menyelimuti jagat raya. Yap Kay diam dan termenung-menung duduk di tempat gelap, dia tidak menyulut pelita, rasanya bergerakpun dia merasa malas. Hawa dalam kamar rasanya masih tercium bau harum Ting Hun-pin, samar-samar seperti tampak sepasang matanya yang jeli di kegelapan diliputi rasa ketakutan yang tak terperikan. Cara bagaimana dia harus menolongnya? Cara bagaimana pula dia harus menemukan Siangkwan Siau-sian?

Sedikitpun tak pernah tersimpul dalam benak Yap Kay cara yang sempurna untuk selekasnya membereskan persoalan pelik ini. Tempat ini begitu sunyi dan hening, tempat yang cocok untuk orang memeras otak memecahkan masalah rumit, biasanya reaksinya teramat cepat, otaknya amat encer dan lincah dalam memecahkan berbagai masalah, tapi entah mengapa otaknya sekarang terlalu bebal, seperti goblok benar, tak ubahnya kepala batu layaknya.

Pekarangan luar yang semula hening dan sepi, mendadak kumandang percakapan orang banyak yang sedang ribut- ribut entah memperbincangkan persoalan apa. Seolah-olah serombongan orang berbondong berdatangan ke tempat yang sunyi ini. Lambat laun percakapan mereka semakin dekat dan jelas, kiranya mereka sedang memperbincangkan Kwe Ting.

"Saudara Siong-yang-thi-kiam kiranya memang tidak bernama kosong,"

"Memangnya Lamkiong bersaudara tidak patut menantangnya berduel pedang?"

"Tapi Lamkiong bersaudara adalah keturunan dari keluarga besar persilatan yang kenamaan di Bu-lim, mana mereka sudi dihina dan diremehkan."

"Terutama Lamkiong Wan, bukan saja dunia membekal ilmu silat warisan keluarga yang tinggi, malah diapun diangkat sebagai murid penutup dari Siau-in-kiam-khek, betapa tinggi ilmu silatnya, khabarnya boleh diagulkan sebagai salah satu dari tujuh tokoh kosen dalam Kang-ouw pada jaman ini."

"Maka orang banyak sama yakin Lamkiong Wan pasti akan menang di dalam duel ini, memangnya Kwe Ting kan tunas muda yang baru saja keluar kandang."

"Menurut apa yang ku tahu, di warung makan Laras Hati tadi ada orang berani bertaruh satu lawan tiga, bahwa Lamkiong Wan pasti menang dalam duel ini."

"Kalau tahu demikian, akupun ingin bertaruh."

"Tadi kau berani bertaruh bahwa Kwe Ting yang akan menang?"

"Memangnya siapa menyangka, ahli pedang kenamaan seperti Lamkiong Wan ternyata tidak mampu melawan sepuluh jurus serangan Kwe Ting."

"Siong-yang-thi-kiam memang teramat lihay dan dahsyat, terutama jurus terakhir dari ilmu pedangnya Thian-te-ki- hun (Bumi dan langit hangus bersama), aku berani bertaruh, tokoh kosen dalam Bu-lim yang kuasa menghadapi jurus ini, pasti takkan lebih dari lima orang."

"Kali ini Kwe Ting benar-benar menjadi tokoh berita yang paling top di segala lapisan, sampaipun beberapa juragan dari piaukiok yang biasanya tinggi hatipun, beramai-ramai menampilkan diri sebagai tuan rumah hendak mentraktirnya makan minum."

"Sekarang memang dia sudah menjadi orang yang paling terkenal di seluruh lapisan kota ini, bisa makan minum mengiringi tokoh setenar dia, sudah tentu pamorku akan ikut menanjak." "Bila dia ingin senang-senang main perempuan, tanggung tak sedikit cewek-cewek yang suka rela menyerahkan dirinya dalam pelukannya."

"Aku ini tidak terhitung hidung belang, sungguh aku jadi iri hati padanya."

"Khabarnya laki-laki yang berkulit hitam, wah, amat hebat kalau main dengan perempuan."

"Memang, perempuan yang kulitnya hitam, tempat itunya juga. "

Pembicaraan selanjutnya terlalu menusuk perasaan untuk didengarkan. Yap Kay segan mendengarkan lebih lanjut. Tadi suasana di luar begitu hening dan sepi, kiranya semua orang berduyun-duyun pergi melihat duel Kwe Ting melawan Lamkiong Wan. Kalau dalam keadaan biasa, Yap Kay pasti akan menonton. Dia tahu siapa sebenarnya Lamkiong Wan itu, diapun tahu betapa tinggi tingkat kepandaian ilmu silat orang ini, kenyataannya memang sudah mewarisi kepandaian leluhurnya secara menyeluruh. Beberapa tahun belakangan ini namanya bagai kilauan pedangnya, selalu menonjol dan menjagoi dalam setiap gelanggang adu kepandaian di Bu-lim, sayang ketenaran dan kecemerlangan namanya hari ini habis direnggut oleh Kwe Ting.

Tentunya Kwe Ting sekarang amat gembira. Masih muda sudah kenamaan, memangnya merupakan perjalanan hidup manusia yang paling menggembirakan sepanjang umurnya.

Yap Kay dapat memaklumi dan bisa merasakan akan kegembiraan seperti itu, namun dia sendiri tidak ingin merasakan dan tidak kepingin. Dia hanya ingin menemukan suatu tempat sunyi, sunyi seorang diri, makan minum dengan tenang, arak ada kalanya memang bisa membius pikiran manusia, tapi ada kalanya juga bisa menjernihkan otak orang.

Pelan-pelan dia bangkit, beranjak lambat-lambat keluar.

Tiada orang memperhatikan dia, malah tiada orang yang melirik atau memandangnya sebelah mata, hanya seorang pemenang dan penggondol piala saja yang benar-benar menarik perhatian orang banyak. Kenyataan sekarang dirinya adalah pihak yang dikalahkan.

ooo)dw(ooo

Di ujung gang sempit itu terdapat sebuah warung arak, merk warungnya sudah menghitam hangus karena asap yang mengepul dari dalam kedai. Penerangan di dalam rumah pun remang-remang. Seorang pelayan yang sedang malas duduk di dingklik kecil mendekati api unggun. Tamu yang hadirpun hanya seorang saja, duduk membelakangi pintu, menempati meja di pojok yang gelap, seorang diri menikmati araknya. Agaknya seperti Yap Kay, orang itu mungkin sedang di rundung kesedihan karena sesuatu kekalahan, atau mungkin pula pedagang yang sedang bangkrut.

Kalau dalam keadaan biasa, mungkin Yap Kay akan menghampirinya, menemaninya minum arak sesama orang yang terpojok dalam kehidupan bermasyarakat ini. Buat apa harus kenal satu sama lain di dalam setiap pertemuan? Tapi sekarang dia memang rela menyendiri, dia suka kesepian seorang diri.

Pelayan acuh tak acuh menghampiri, setelah menatakan sepasang sumpit, orang kembali membersihkan meja. Yap Kay pun acuh tak acuh. "Ingin pesan apa?" tanya pelayan.

"Arak, arak lima kati, terserah arak apa saja yang tersedia."

"Tidak pesan sayur atau kacang bawang?"

"Kalau memang sudah sedia, boleh bawakan ala kadarnya."

'Tamu yang satu ini agaknya tidak pandai memilih makanan', pikir si pelayan. Akhirnya terunjuk senyum pada muka si pelayan, katanya: "Tamu yang ini memesan sepiring roti kering, baiklah kusiapkan nyamikan yang sama saja."

"Ya, boleh!", sahut Yap Kay.

Agaknya tamu yang duluan itupun tidak pandai menikmati makanan.

Sebelum arak disuguhkan, terpaksa Yap Kay harus menunggu diam dengan sabar, memang dia tidak mengharap pelayanan luar biasa di tempat seperti ini.

Tamu yang di sebelah sana selama itu menikmati hidangannya sendiri, tak pernah berpaling ke sini. Kini tiba- tiba dia bersuara: "Aku masih ada sisa arak, kenapa tidak kemari saja minum secangkir dulu?" Suara orang yang pernah amat dikenal Yap Kay. Memangnya siapa dia?

Tengah Yap Kay ragu-ragu, orang itu sudah bersuara pula: "Sebetulnya kau kemari harus menyuguh secangkir kepadaku untuk membayar hutang budimu kepadaku."

"O, kau!" akhirnya Yap Kay mengenal suaranya.

Orang yang menyendiri minum arak dan disangkanya pedagang bangkrut ini, kiranya bukan lain adalah Kwe Ting, tokoh yang sedang menjadi pembicaraan ramai penduduk kota.

"Ya, inilah aku!," akhirnya Kwe Ting berpaling dengan tertawa, "kau tidak nyana akan diriku?"

Yap Kay memang tidak pernah menduganya. Segera dia menghampiri dan duduk di hadapan orang. Dengan nanar dia tatap Kwe Ting, katanya: "Tidak pantas kau sekarang berada di sini."

"Kenapa?", tanya Kwe Ting.

"Tempat seperti ini hanya pantas didatangi orang seperti aku ini. Memangnya kau tidak tahu, sekarang kau sudah menjadi tokoh yang paling terkenal di seluruh pelosok kota?"

"Lantaran aku berhasil menusuk Lamkiong Wan?"

"Bisa mengalahkan Lamkiong Wan memang bukan pekerjaan gampang."

Kwe Ting menyeringai dingin.

Yap Kay tetap mengawasinya, katanya: "Entah berapa orang dalam kota yang ingin benar mencarimu untuk diajak makan minum, seolah-olah hal ini sudah menjadi mode perlombaan mereka. Kenapa kau malah menyembunyikan diri di tempat seperti ini?"

Kwe Ting tidak menjawab, dia malah mengisi secangkir arak, katanya: "Terlalu banyak kau mengoceh. Nah, minumlah! Sedikit sekali arak yang kau minum."

Yap Kay angkat cangkir itu serta diteguknya habis. Kwe Ting mengawasinya, katanya: "Dulu, pernahkah kau menang dalam duel?"

Sudah tentu pernah, Yap Kay tidak perlu memberi jawaban.

"Di kala kau menang dalam duel, apakah banyak orang yang berlomba hendak mentraktirmu minum dan makan sepuasnya?"

Yap Kay manggut-manggut sambil mengiakan. "Dan kau terima ajakan mereka?"

"Sudah tentu tidak!"

Kwe Ting tertawa, tawa yang mengandung kesunyian. Kembali dia minum araknya lalu menyambung dengan suara kalem: "Dulu selalu ingin mengalahkan orang lain, menandingi dan mengungguli orang lain, tapi sekarang. "

"Sekarang bagaimana. ?"

Kwe Ting sibuk mengawasi cangkir dalam tangannya, sahutnya: "Baru sekarang aku tahu, menang rasanya ternyata tidak seenak seperti yang pernah kubayangkan." tiba-tiba dia letakkan cangkir araknya yang sudah kosong di atas meja, katanya: "Kau lihat apa ini?"

"Itu cangkir arak yang kosong," sahut Yap Kay. "Seseorang yang habis menang duel, ada kalanya diapun

akan berubah menjadi orang yang mirip dengan cangkir kosong ini. "

Arak di dalam cangkir sudah tertenggak habis, seseorang yang habis menang duel, maka gairah tempur dan hasrat untuk menang, akhirnya akan berubah seperti arak di dalam cangkir, mendadak berubah menjadi kosong.

Walaupun dia tidak utarakan perasaannya ini, tapi Yap Kay sudah cukup memakluminya, perasaan kosong, hampa dan kesepian yang tak terlukiskan dengan kata-kata ini, diapun pernah mengalami dan menyelaminya, maka dia tidak berkata apa-apa. Dia tuang secangkir penuh untuk Kwe Ting, lalu katanya tersenyum: "Kaupun terlalu banyak ngoceh, minummu sedikit sekali."

Kwe Ting angkat cangkirnya dan menenggaknya habis. Yap Kay tetap tersenyum, katanya: "Apapun yang terjadi,

rasa  kemenangan  itu  jelas  jauh  lebih  nikmat  daripada

kalah."

ooo)dw(ooo

Malam nan dingin.

Angin menderu-deru di luar pintu. Api di dalam tungku hampir padam.

Pelayan yang acuh dan malas tadi menyusupkan kepalanya ke dalam baju kapasnya yang tebal dan longgar, seperti tertidur sambil memeluk dengkul.

Dalam suasana malam nan sunyi ini, hanya di dalam rumah baru bisa terasa hangat.

Wahai para gelandangan yang keluyuran di luaran, di manakah tempat tinggalmu? Kenapa kau tidak lekas pulang ke rumah?

Arak yang kelihatannya butek itu dingin merangsang perut. Tapi arak dingin begitu masuk ke dalam perut, seketika berubah laksana bara yang menyala. Berapa cangkir sudah kau habiskan? Siapa mau mengingat atau menghitungnya?

Kembali Yap Kay penuhi secangkir arak penuh, lekas sekali dia tenggak habis. Dia ingin mabuk? Dia ingin melarikan diri dari tanggung jawab? Memangnya siapa yang tidak ingin mabuk saja, bila menghadapi persoalan yang tak mungkin diselesaikan?

Kwe Ting menatapnya, katanya: "Sebetulnya aku ingin mabuk di sini seorang diri, tak nyana bisa bertemu kau di sini."

"Kau tidak menyangka aku bisa kemari minum arak seorang diri?"

"Aku tak nyana kau datang seorang diri."

Setelah menghabiskan secangkir lagi, Yap Kay tiba-tiba tertawa gelak-gelak, katanya: "Aku sendiripun tidak menyangka." sahutnya getir.

Kwe Ting bertanya dengan tak habis mengerti: "Kau sendiripun tidak menyangka?"

Yap Kay menepekur, lama sekali baru balas bertanya: "Tahukah kau akan Tang-hay-giok-siau?"

Sudah tentu Kwe Ting tahu, katanya: "Cuma kau belum pernah melihatnya."

"Aku pernah berhadapan dengannya."

"Sudah sekian tahun Tang-hay-giok-siau tidak muncul di dunia persilatan," kata Kwe Ting, tanyanya: lebih lanjut: "Kapan kau pernah berhadapan dengannya?" "Baru saja!"

Mendadak bersinar biji mata Kwe Ting, tanyanya: "Kalian sudah bergebrak?"

Yap Kay manggut-manggut.

"Kaupun sudah mengalahkan dia, maka kau kemari hendak minum arak?"

"Aku tidak menang, juga tidak kalah."

Kwe Ting bingung dan tidak mengerti. Di dalam pikirannya, dua orang yang berduel, kalau tidak kalah tentu salah satu pihak menang.

"Kita memang sudah bergebrak, cuma tidak dilanjutkan." "Kenapa?"

"Karena aku tidak ingin dikalahkan dia."

"Kau tidak punya keyakinan untuk mengalahkan dia?" Yap Kay geleng-geleng.

"Kau sudah merasakan ilmu silatnya lebih unggul dari kau?"

"Ilmu silatnya memang amat aneka ragam dan campur aduk, mungkin karena itu maka tiada satupun keahliannya yang berhasil dilatihnya sampai matang betul."

"Jadi sebetulnya kau bisa mengalahkan dia?"

Yap Kay tidak menyangkal dan tidak membenarkan. "Tapi hari ini kau tidak yakin dapat mengalahkan dia?" "Lho, kok aneh benar?" "Karena hatiku amat kalut."

"Agaknya kau bukan laki-laki yang gampang dibuat risau hatimu."

"Memang, aku tidak pernah risau memikirkan apa-apa, tapi hari ini. "

Tiba-tiba Kwe Ting mengerti duduknya persoalan, tanyanya: "Apakah nona Ting terjatuh ke tangan Giok-siau?"

Yap Kay manggut-manggut, kembali dia habiskan secangkir arak.

Kwe Ting pun mengikuti habiskan secangkir, sudah tentu diapun pernah kenal dengan pameo yang bilang 'Thi-kiam kemaruk nama, Giok-siau kepincut paras ayu'.

Tiba-tiba dia rebut cangkir Yap Kay, katanya: "Hari ini kau tidak boleh minum arak lagi."

Yap Kay tertawa getir.

"Kau harus lekas berusaha merebutnya." "Aku tak bisa merebutnya." "Memangnya apa kehendak Giok-siau?"

"Dia minta tukar dengan Siangkwan Siau-sian." "Kau tidak menerimanya?"

"Sudah tentu aku mau, tapi kemana aku harus mencari Siangkwan Siau-sian?"

"Kau tidak tahu di mana sekarang dia berada?" "Tiada orang yang tahu!"

"Jadi dia tidak pikun seperti yang disiarkan di luaran?" "Sebetulnya aku sendiripun ditipu dan dikelabui mentah- mentah, selama hidupku belum pernah aku berhadapan dengan orang yang begitu licin dan begitu menakutkan."

Lama Kwe Ting menatapnya, akhirnya berkata pelan- pelan: "Sebetulnya aku tidak akan percaya semua obrolanmu ini."

"Aku mengerti."

"Tapi sekarang aku justru percaya."

Lama juga Yap Kay termenung, katanya kemudian: "Seharusnya aku tidak akan memberitahukan hal ini kepadamu, tapi sekarang aku sudah membebernya di hadapanmu."

Matanya tidak lagi tertuju ke arah Kwe Ting, demikian pula Kwe Ting tidak mengawasinya lagi. Seolah-olah mereka sama berusaha menghindar dari tatapan mata yang lain. Mereka bukan orang yang suka memamerkan gejolak perasaan hatinya di hadapan orang lain. Apakah mungkin mereka kuatir begitu dirinya terbawa oleh gejolak emosi sehingga sampai mengucurkan air mata?

Akan tetapi persahabatan biasanya memang tidak perlu dinilai dengan pandangan mata. Walau tidak perlu beradu pandang, akan tetapi jalinan persahabatan sudah mulai berbenih di dalam sanubari masing-masing, cepat sekali sudah berakar kokoh dan kuat. Hal ini sungguh merupakan suatu kejadian aneh.

Ada kalanya seseorang bisa bersahabat dan menjadi teman intim dengan seseorang yang lain di suatu tempat yang aneh dan di waktu-waktu yang aneh pula, sampaipun orang-orang yang bersangkutanpun tidak tahu dan tidak menyadari bahwa persahabatan ini entah bagaimana datangnya dan menjalin sanubari mereka.

Entah berapa lamanya, Kwe Ting tiba-tiba bersuara: "Siangkwan Siau-sian memang tak bisa ditemukan, tetapi Tang-hay-giok-siau pasti gampang ditemukan."

Yap Kay diam saja, dia sedang pasang kuping.

"Giok-siau adalah tua bangka yang suka hidup foya-foya, tidak banyak tempat seperti itu di dalam kota ini."

"Tempat yang baik sebetulnya Leng-hiang-wan, tapi tempat itu sekarang sudah menjadi dingin dan tidak harum lagi."

"Tapi kemungkinan besar Giok-siau tetap berada di sana. Khabarnya setiap pergi ke suatu tempat, biasanya dia membawa banyak pembantu."

"Umpama benar dia berada di sana, memangnya kenapa?" "Kalau dia di sana, nona Ting pasti di sana juga."

"Kau ingin supaya aku menolongnya?" "Memangnya kau tidak ingin menolongnya?"

"Hatiku sekarang amat kalut, tidak yakin aku bisa mengalahkan dia."

"Memang kau kira aku ini bukan manusia?"

"Kau...?", tiba-tiba Yap Kay angkat kepala mengawasinya. "Memangnya aku tidak bisa menyertai kau?"

"Tapi... Ting Hun-pin terjatuh di tangannya." "Aku mengerti maksudmu, kekuatiranmu tidak beralasan. Kau takut orang mengancammu dengan alasan keselamatan jiwa nona Ting?"

Yap Kay manggut-manggut. "Tapi kau melupakan satu hal."

"Melupakan apa?" tanya Yap Kay.

"Sekarang dia tentu menyangka kau sedang sibuk dan ubek-ubekan mencari Siangkwan Siau-sian, pasti tidak menyangka tahu-tahu kau meluruk ke sana hendak menolong orang, maka dia tentu tidak akan berjaga-jaga."

Memang sebagai orang luar tentu hati Kwe Ting tidak kalut dan pikirannya jernih.

"Ya, memang begitu", ujar Yap Kay.

"Apalagi dia lebih tidak mengira bahwa kita sudah menjadi kawan."

Kawan. Betapa besar makna dari sepatah kata ini di dalam situasi seperti ini.

Sungguh tak pernah terpikir oleh Yap Kay bahwa pemuda dingin dan sombong ini bakal mengucapkan sepatah kata ini. Memangnya apa pula yang bisa dikatakan Yap Kay? Apa pula yang perlu dia utarakan? Maka tanpa banyak bicara lagi, segera dia berdiri.

Tiba-tiba dengan kencang dia pegang kedua pundak Kwe Ting, katanya: "Baik, sekarang juga kita ke sana."

"Memang, hayolah berangkat!"

ooo)dw(ooo Leng-hiang-wan.

Malam dingin, kembang berbau harum, namun bayangan satu orangpun sudah tak kelihatan.

"Sejak kemarin kau tidak pernah bertemu dengan Han Tin lagi?"

"Tidak!"

"Kalau demikian, mungkin dia berada di sini."

"Aku harap bisa secepatnya menemukan dia, bukan mayatnya."

"Kemanakah mayat-mayat delapan puluh tiga orang itu?" Ternyata  tiada  satupun  mayat  yang  mereka  temukan,

sampai noda-noda darahpun sudah dibersihkan di Thing-siu-

lau. Siapakah yang membereskan mayat-mayat itu?

"Semalam mayat-mayat itu masih ada di sini. Siapakah yang menguburnya?"

Tiada jawaban, memang tiada orang yang bisa memberi jawaban.

Hembusan angin dingin laksana tajam pisau menyayat kulit muka.

Di dalam hawa nan dingin ini bau kembang Bwe rasanya semakin harum.

"Adakah kau melihat sinar api?" "Tidak!"

"Apakah Giok-siau tidak di sini?" Sekonyong-konyong pada ujung jalan kecil yang berliku- liku menembus keluar hutan sana berdentam suara langkah orang yang mendatangi. Malam sedingin ini, siapa yang berjalan di tanah bersalju yang dingin ini? Mungkinkah sukma-sukma gentayangan dari para korban itu? Kalau setan gentayangan, masakah terdengar derap langkahnya?.

Alam gelap gulita, tiada sinar api, tiada bintang tiada rembulan.

Di tengah kegelapan di depan sana seperti muncul sesosok bayangan orang, pelan-pelan tengah beranjak di jalan kecil yang berliku-liku di dalam hutan kembang Bwe itu. Langkah orang itu amat pelan, malah sering celingukan kian kemari, seperti tengah mencari sesuatu. Malam selarut dan sedingin ini, di tengah hutan lebat nan harum ini memangnya apa yang sedang dia cari?

Setelah jaraknya semakin dekat, sayup-sayup terdengar mulut orang seperti mengigau: "Mana araknya?. Mana

araknya?....... Di mana ada arak. ?"

Tak tertahan Yap Kay hampir berteriak: "Han Tin!"

Orang itu ternyata Han Tin. Apakah dia masih sibuk mencarikan arak buat Yap Kay?

Reflek sinar salju menerangi mukanya, ternyata selebar mukanya berlepotan darah, darahpun sudah membeku jadi es.

Darah terasa bergolak di rongga dada Yap Kay, segera dia menerobos keluar dari belakang batu tempat persembunyiannya, langsung dia menghampiri Han Tin, sekali raih dia tekan kedua pundak Han Tin. Han Tin menatapnya, tiba-tiba bertanya: "Mana araknya?..........Tahukah kau di mana aku bisa mendapatkan arak?", ternyata dia tidak kenal Yap Kay lagi, tapi dia sibuk mencari arak buat Yap Kay.

Selebar mukanya boleh dikata sudah hancur dan berubah bentuknya, mirip benar dengan buah kelapa yang diinjak remuk oleh orang.

Tak tahan Yap Kay mengawasi muka orang, katanya: "Kau........bagaimana kau bisa berubah begini rupa? Siapakah yang turun tangan sekeji ini?"

Agaknya Han Tin ingin tertawa, namun tak mampu, mulutnya masih mengigau: "Mana araknya? Di mana ada arak?"

Jantung Yap Kay seperti dipukul oleh godam.

Kwe Ting berdiri di belakang, tanyanya: "Dia inikah Han Tin?"

Yap Kay menjawab dengan anggukan kepala.

Tak tertahan Kwe Ting menghela napas: "Agaknya di kala dia mencarikan arak untukmu, muka dan dadanya kena dihajar orang habis-habisan, begitu parah hajaran itu sampai-sampai dia kehilangan ingatan."

Terkepal kencang kedua tinju Yap Kay, katanya prihatin: "Tapi dia masih ingat mencari arak untuk aku."

"Agaknya dia memang teman baik."

"Sayang sekali aku tidak tahu siapa yang turun tangan sekeji ini? Kalau tidak. "

"Kukira ini bukan perbuatan Siangkwan Siau-sian." "Darimana kau berkesimpulan demikian?"

"Seorang perempuan, tak mungkin punya pukulan tangan seberat ini."

Memang hajaran yang dialami Han Tin amat  mengenaskan, bukan saja mukanya sudah hancur peyot, sampaipun tulang rusuknya melesak ke dalam, agaknya ada yang patah enam tujuh batang. Bagaimana mungkin dengan luka-luka separah ini dia masih kuat bertahan hidup sampai sekarang? Apalagi malam gelap nan dingin seperti ini? Bagaimana dia tidak sampai mati kedinginan?

Yap Kay ingin bertanya, tapi Han Tin sudah kipatkan kedua tangannya, katanya: "Lepaskan aku, aku hendak mencari arak.", kecuali hal itu, apapun dia tidak ingat lagi.

Yap Kay menghela napas, katanya: "Baik, mari ku ajak kau mencari arak.", habis kata-katanya, diapun sudah menotok Hiat-to penidur Han Tin, segera dia peluk pinggang Han Tin terus dipanggulnya.

Kwe Ting berkata: "Asal bisa tidur sehari penuh dengan tenang, mungkin dia bakal siuman."

"Semoga demikian." ujar Yap Kay.

ooo)dw(ooo Dalam kamar ada ranjang dan pelita.

Pelan-pelan Yap Kay rebahkan Han Tin di atas ranjang, katanya: "Kau bawa ketikan api tidak?"

Tanpa diminta Kwe Ting sudah menyalakan lampu. Sinar api yang redup menerangi muka Han Tin, kelihatan begitu mengerikan. Walau tidak tega melihat, namun tidak bisa tidak Yap Kay harus melihatnya, dia harus memeriksa dan ingin tahu siapakah yang turun tangan sekeji ini. Walau dia tidak suka mencatat dendam permusuhan dengan orang lain, tapi keadaan hari ini jauh berbeda. Jikalau tidak pergi mencari arak untuk dirinya, Han Tin tidak akan berakibat begini mengenaskan. Demi kawan yang begini setia, apapun yang terjadi dan harus dia lakukan, dia tidak akan pandang bulu lagi.

Kwe Ting pun sedang mengawasi muka Han Tin, katanya: "Ini bukan bekas pukulan senjata berat."

Yap Kay manggut-manggut. Kalau terluka dipukul benda berat, dari bekas pukulan dapat dilihat jelas.

Memangnya siapa yang mempunyai pukulan tangan seberat ini?

"Ilmu silat Han Tin tidak lemah, tidak banyak orang yang mampu memukul remuk mukanya sampai sedemikian rupa."

Tiba-tiba dirinyapun pernah memukul ringsek hidung orang, tapi luka-luka pukulannya dulu jauh lebih ringan di banding luka-lukanya sekarang. Jelas pukulan orang itu bukan saja amat berat, yang jelas di dalam bidang pukulan tangan, orang itu tentu memiliki keistimewaan.

Waktu pakaian Han Tin dibuka, ternyata tulang rusuknya patah lima batang. Malam sedingin ini, pakaian yang dipakai Han Tin sudah tentu cukup tebal.

Kwe Ting mengerut kening, katanya: "Terpaut lapisan baju setebal ini, orang masih bisa memukul patah lima tulang rusuknya, sungguh tak banyak orang sekuat ini." "Malah luka-luka kekerasan ini hanya luka luar, bukan luka dalam." Yap Kay menambahkan.

Pada pakaian yang dipakai Han Tin tidak meninggalkan bekas-bekas hantaman senjata berat, siapapun pasti akan menyangka luka-luka seperti ini pasti akibat pukulan senjata sebangsa palu atau godam.

"Memangnya kepalan orang itu sekeras palu besi?", kata Kwe Ting.

"Dari luka-lukanya, tidak mirip terpukul oleh ilmu sebangsa Thi-sa-ciang dan lain-lain pukulan berat yang ampuh."

"Kalau pukulan tangan seperti itu, pasti akan menimbulkan luka-luka dalam."

"Maka aku tidak habis mengerti, ilmu pukulan macam apakah yang melukainya?"

"Cepat atau lambat........." kata-kata Kwe Ting seketika berhenti.

Dari hembusan angin dingin di luar jendela, tahu-tahu berkumandang irama seruling yang menyedihkan.

"Tang-hay-giok-siau!"

Sebat sekali Kwe Ting balikkan tangan, lampu seketika padam, katanya: "Ternyata dia memang berada di sini."

"Dapatkah kau di sini men. "

Kwe Ting menukas ucapan Yap Kay: "Han Tin sudah tidur, tak perlu aku menunggunya di sini. Kau sebaliknya tak boleh pergi seorang diri." Inilah persahabatan. Persahabatan adalah pengertian dan prihatin.

Yap Kay mengawasi Han Tin: "Tapi dia. "

Kembali Kwe Ting memutus ucapannya: "Mati hidupnya sekarang sudah tiada membawa akibat apa-apa bagi orang lain, maka dia baru bisa bertahan hidup sampai sekarang, tapi kau.................", dia tidak melanjutkan kata-katanya, memang dia tidak perlu melanjutkan.

Serasa darah bergolak di rongga dada Yap Kay, tidak bisa tidak dia harus mengakui apa yang dikatakan memang betul.

"Baiklah! Mari kita kesana."

ooo)dw(ooo

Irama seruling yang memilukan pada malam sedingin ini, kedengarannya amat menghancurkan hari orang. Irama seruling berkumandang dari luar hutan kembang Bwe.

Pada sisi gunung-gunungan palsu di luar hutan terdapat sebuah gardu, di dalam gardu lapat-lapat seperti ada bayangan orang. Seseorang sedang duduk dan meniup seruling.

Yap Kay berdua berindap-indap maju mendekat dari arah belakang, sudah tentu gerak-gerik mereka pantang menimbulkan suara berisik.

Orang yang meniup seruling masih asyik meniup, iramanya kedengaran mulai gemetar.

Tiba-tiba disadari oleh Yap Kay, peniup seruling ini bukan Tang-hay-giok-siau. Setelah dekat dan lebih jelas dilihatnya orang memang berpakaian tosu, namun pinggangnya lencir ramping, kiranya adalah tosu perempuan.

Pada saat itulah irama serulingnya tiba-tiba berhenti. Tosu perempuan yang meniup seruling seperti terduduk dan menahan isak tangis.

Sekilas Yap Kay ragu-ragu akhirnya dia maju menghampiri, pelan-pelan dia batuk dua kali.

Tosu perempuan ini seperti dihajar lecutan cambuk sekujur badannya bergetar keras, ratapnya mengharukan: "Biarlah ku tiup. aku pasti takkan berhenti lagi."

"Tapi aku toh tidak suruh kau meniup seruling tak henti- hentinya." kata Yap Kay.

Baru sekarang tosu perempuan ini berpaling ke belakang, walaupun kaget namun kelihatan hatinya amat lega dan menghela napas panjang.

"O, kau!", katanya.

Dia kenal Yap Kay, Yap Kay pun mengenalnya.

Tosu perempuan ini adalah salah satu murid perempuan Giok-siau Tojin, malah dia ini yang kemarin tertawa dan menari paling genit dan rupawan.

Maka Yap Kay bertanya: "Kenapa seorang diri meniup seruling di sini?"

"Orang. orang lainlah yang memaksaku kemari."

"Siapa?"

"Seseorang yang mengenakan kedok muka." "Kenapa dia paksa kau kemari dan meniup seruling di sini?"

"Entahlah! Dia paksa aku kemari dan suruh aku meniup terus tak boleh berhenti, kalau tidak katanya aku hendak ditelanjangi pakaianku, lalu menggantungku di sini."

"Bagaimana kau bisa terjatuh ke tangannya?"

"Waktu itu aku sedang di.............. di belakang, hanya aku sendiri, tak kira tiba-tiba dia menerobos masuk."

Sudah tentu Yap Kay maklum apa yang diartikan 'di belakang'. Setiap perempuan yang melepaskan hajatnya, sudah tentu hanya sendirian, sudah tentu hal ini tak enak dia jelaskan seterangnya.

Tapi Yap Kay bertanya: "Waktu itu dimanakah kau berada?"

"Berada di dalam pekarangan di belakang warung nasi Laras Hati itulah."

Warung nasi Laras hati juga merupakan sebuah penginapan, di sanalah Yap Kay menginap, bukan saja, di sana ada koki yang paling pandai masak, di sana juga kau bisa merasakan ranjang yang empuk, hangat dan menyegarkan.

Yap Kay geleng-geleng sambil menghela napas, ujarnya: "Tak nyana kalian berada di pekarangan di belakangku, aku malah cari kemari."

Tosu perempuan ini menutup mulutnya kencang, agaknya walau matipun tak mau buka mulut lagi. Dia tahu sekali dirinya kelepasan omong, umpama sekarang tidak mau bicarapun sudah terlambat.

"Ada sebuah pertanyaan ingin kuajukan, boleh kau tidak usah menjawabnya." kata Yap Kay.

Tosu perempuan itu tetap bungkam.

"Tapi kalau kau tidak mau bicara, terpaksa ku tinggal kau di sini supaya orang berkedok itu kemari lagi."

Seketika terunjuk rasa kaget dan takut pada muka si tosu perempuan, segera dia bersuara: "Baiklah aku bilang."

"Nona yang kalian bawa itu apakah diapun berada di pekarangan yang sama?"

Walau tosu perempuan tidak menjawab, itu berarti mengakui kebenaran ini.

"Baiklah, tiada halangannya kita mengadakan transaksi dagang, kau bawa aku mencari dia, maka akupun mengantarmu pulang!"

Tosu perempuan tidak menolak atau menentang, agaknya rasa takutnya terhadap orang berkedok itu jauh melebihi rasa takutnya terhadap persoalan apapun yang pernah dihadapinya. Matipun dia tidak mau ditinggalkan di tempat ini.

Siapakah orang berkedok itu? Kenapa memaksanya meniup seruling di sini? Apa dia tahu Yap Kay hendak kemari mencari Giok-siau, maka sengaja menggunakan cara ini untuk memberi penuntun jalan? Lalu untuk apa pula dia berbuat demikian? Apakah dia mempunyai tujuan lain?. Semua pertanyaan ini sudah tentu Yap Kay mampu menjawabnya, maka akhirnya dia bertanya: "Orang macam apakah sebenarnya orang berkedok itu?"

"Dia bukan manusia, boleh dikata dia setan, setan jahat!"

Menyinggung orang berkedok itu sekujur badannya kembali gemetar.

Agaknya begitu turun tangan, orang itu lantas berhasil membekuknya, sehingga sama sekali dia tidak mampu melawan sedikitpun, padahal sebagai murid Tang-hay-giok- siau, ilmu silatnya tentu tidak lemah.

Yap Kay mengawasi Kwe Ting, katanya setelah menghela napas: "Apa yang kau katakan memang tidak salah. Walau sekarang bukan bulan sembilan, namun kawanan elang sudah terbang berombongan, malah semuanya sudah terbang kemari."

ooo)dw(ooo

Kemul, seprei dan bantal guling awut-awutan. Di atas bantal masih ketinggalan beberapa utas rambut Ting Hun- pin. Sekembali ke tempat ini, hati Yap Kay lantas cekot- cekot seperti ditusuk sembilu. Bagaimana keadaannya? Mungkinkah Tang-hay-giok-siau sudah ?. Yap Kay tidak

berani membayangkan.

Mengawasi keadaan ranjang yang awut-awutan, terpancar mimik aneh pada sorot mata Kwe Ting. Tapi dia tidak perlu memandang ke dua kalinya, seakan-akan sanubarinya terketuk berat dan sakit. Baru sekarang dia benar-benar tahu dan mengerti apa hubungan Yap Kay dengan Ting Hun- pin. (Bersambung ke Jilid-8 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar