Rahasia Mokau Kauwcu Jilid 06

 
Jilid-06

Nyo Thian tersenyum, katanya: "Karena manusia dalam dunia ini sudah terlalu berdesakan."

"Agaknya hanya kau seorang saja yang menjadi kawan dekatku dalam dunia ini."

"Memangnya aku ini kan rase, rase yang bisa terbang malah." ujar Nyo Thian.

"Julukanmu agaknya tidak akan meleset dari kenyataan." "Orang boleh salah mengambil nama, tapi julukan tidak

akan keliru."

"Agaknya kau memang seekor rase." puji Siangkwan Siau- sian.

Tiba-tiba Siangkwan Siau-sian bertanya: "Bagaimana dengan Han Tin?"

"Tentunya masih berdiri di dalam hutan, menunggu Sim Koh untuk menolongnya." "Tentu hatinya sudah terbakar saking gugup." ujar Siangkwan Siau-sian. "kenapa tidak lekas kau tolong membebaskan deritanya?"

"Tak perlu aku susah-susah, lama-lama dia akan bebas sendiri."

"Tapi kau harus lekas bantu dia supaya tidak menderita terlalu lama? Apa sih jeleknya seseorang ada kalanya berbuat baik?"

"Kau ingin aku pergi membantunya?"

"Aku ingin kau pergi, aku senang orang yang suka berbuat baik."

"Sebetulnya aku membatasi diriku sendiri, sehari hanya boleh membunuh satu orang, agaknya hari ini aku harus melanggar pantanganku sendiri." ujar Nyo Thian.

Waktu Nyo Thian keluar, fajar sudah menyingsing.

Ganti berganti Siangkwan Siau-sian mengawasi Bak Pek, Wi Thian-bing, Sim Koh, Thi Koh yang rebah di lantai, wajahnya mengulum senyum manis, gumamnya: "Agaknya tempat ini sudah cukup lebar dan terbuka. "

Sinar terang sudah kelihatan di luar jendela. Malam sudah berganti pagi.

Siangkwan Siau-sian membungkukkan badan, menggoyang badan Yap Kay pelan-pelan, katanya lembut: "Hari sudah terang tanah, kau pemalas ini kenapa tidak lekas bangun?"

Yap Kay merintih sekali, pelan-pelan dia membuka mata, pandangannya kosong dan nanar, seperti hendak meronta bangun, namun dia jatuh pula. Sekujur badannya lemas lunglai, sedikitpun tak mampu mengerahkan tenaga.

Terpancar rasa prihatin dari sorot mata Siangkwan Siau- sian, katanya: "Kau tidak enak badan?"

Yap Kay manggut-manggut, sahutnya tertawa getir: "Agaknya aku jatuh sakit."

"Sakit apa?" tanya Siangkwan Siau-sian. "Sakit goblok!" sahut Yap Kay.

"Apa goblok juga penyakit?"

"Bukan saja penyakit, malah penyakit kronis yang berbahaya." ujar Yap Kay, "Tahukah kau cara bagaimana nenek moyang anjing beruang mampus?"

Siangkwan Siau-sian geleng-geleng. "Mati lantaran goblok."

"Mana mungkin orang mati lantaran goblok"

"Sebetulnya aku sendiri tidak percaya, baru sekarang aku tahu, orang-orang dalam dunia yang mati lantaran goblok ternyata tidak sedikit jumlahnya."

"Kau takut, kaupun bakal mati lantaran penyakit goblok?" "Penyakitku sekarang sudah cukup parah."

"Sebetulnya kau ini tidak goblok, hanya hatimu terlalu lemah."

"Kalau hatiku tidak lemah, memangnya aku sudi menggendong boneka orang?"

"Itu bukan boneka, itu adalah Popoku, Popoku sayang." "Agaknya dia tidak sayang, dia bisa gigit orang malah."

"Yang terang dia ingin menggigitmu sampai mati, kalau tidak sebelum kau mati lantaran penyakit goblokmu, kau sudah mampus keracunan."

"Jadi waktu kau serahkan kepadaku, kau sudah membuka kunci rahasianya?"

"Aku hanya membuka separo saja."

"Begitu aku melihat Ting Hun-pin roboh, karena gugup dan jari tangan sedikit menggunakan senjata, maka kunci rahasianya lantas terbuka seluruhnya." ujar Yap Kay.

"Walau dia sedikit membuat kau kesakitan, tapi kau membantingnya juga." katanya sambil menuding ke lantai. "coba lihat, kau sudah membantingnya sampai hancur."

Yap Kay tidak melihat ke arah boneka yang sudah hancur. Sebaliknya matanya tertuju ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan itu, katanya menghela napas: "Agaknya memang tidak malu kau jadi putri Siangkwan Kim-hong dan Lim Sian-ji."

"Lambat laun kau akan menyadari, masih banyak kebaikanku."

"Kini hanya sepatah kata yang ingin kutanya kepadamu." "Boleh kau tanya sesuka hatimu"

"Kau ini manusia atau bukan?"

Sedikitpun tak berubah muka Siangkwan Siau-sian, sahutnya tersenyum: "Sudah tentu aku manusia, malah perempuan, perempuan cantik molek lagi." "Sayangnya menurut pandanganku kau tidak mirip manusia, kalau manusia dia takkan melakukan semua ini."

"Melakukan apa?"

"Kau ingin mencelakai aku, hal ini sudah kumaklumi, karena kau ingin menuntut balas, karena secara kebetulan pula aku adalah murid Siau Li Tham-hoa."

"Ya, memang kebetulan sekali." ujar Siangkwan Siau-sian menghela napas.

"Tapi orang-orang ini tiada bermusuhan, tidak dendam kepadamu, kenapa kau bunuh mereka?"

"Karena satu benda!" "Benda apa?"

"Coba lihat, apakah ini?" dia merogoh keluar sebuah benda kuning kemilau.

"Itu seketip uang." kata Yap Kay. "Ya, tapi uang apa?"

"Uang mas!"

"Bisakah kau membaca huruf-huruf di atas uang ini?"

Sudah tentu Yap Kay bisa membacanya. Di atas uang ada tulisan yang berbunyi "Memerintah setan menjadi malaikat".

Waktu sinar surya menyorot masuk ke dalam rumah, kebetulan menyinari uang mas di tangan Siangkwan Siau- sian. Sinar mata Siangkwan Siau-sian pun seterang kemilau uang mas ini, katanya: "Uang bisa memerintah setan, bisa mengendalikan  malaikat.  Pelan-pelan  kau  akan  menyadari, bahwa tiada sesuatu benda di dalam dunia ini yang lebih baik daripada uang."

Bergetar perasaan Yap Kay, serunya: "Inilah pertanda khas dari Kim cie-pang dulu?"

Siangkwan Siau-sian manggut-manggut, ujarnya: "Kim- cie-pang didirikan Siangkwan Kim-hong, kebetulan aku adalah putrinya Siangkwan Kim-hong. Walaupun Siangkwan Kim-hong sudah mati, namun aku belum mati."

"Maka kau hendak membangkitkan Kim-cie-pang dari  liang kubur?"

"Yang terang aku tidak akan berpeluk tangan melihat keruntuhan total Kim-cie-pang."

"Sudah lama kau merencanakan hal ini?"

"Bukan saja sudah lama, bahkan rencanaku amat baik." "Sampai Nyo Thian pun kau peralat?"

"Memangnya dia itu seekor rase, rase yang bisa terbang."

"Bukan saja bisa terbang, diapun bisa menggigit orang, terutama menggigit teman sendiri."

"Untung aku bukan temannya." "Lalu, kau pernah apa dengan dia?"

"Aku adalah majikannya. Aku adalah Pangcu-nya."

"Kau sudah mengangkat diri sebagai Kim-cie-pang Pangcu?"

"Usaha yang diwariskan sang ayah, apa tidak setimpal putrinya yang menerimanya?" "Kecuali Nyo Thian, berapa pula anak buahmu?"

"Yang kecil-kecil atau pekerja kasar tak terhitung jumlahnya, yang besar-besar saja sih, baru ada lima."

"Lima orang saja?"

"Menurut susunan organisasi Kim-cie-pang, seharusnya ada dua Hu-hoat besar dan empat Tong-cu."

"Kenapa dulu aku tidak pernah dengar tentang ketentuan ini?"

"Memang, ketentuan ini baru saja ditegakkan." "Siapa yang menentukan?"

"Aku!", sahut Siangkwan Siau-sian, "empat Tongcu sudah kuperoleh, Nyo Thian adalah salah satu di antaranya."

"Lalu siapa pula tiga Tongcu yang lain?"

Senyum Siangkwan Siau-sian penuh arti, katanya: "Kelak kau akan mengerti."

"Sekarang aku tak bisa menebaknya?" "Mimpipun kau tidak akan menduganya." "Lalu siapa pula ke dua Huhoat?"

"Huhoat berarti pembantu di kanan-kiriku, untuk ini tentunya aku tidak boleh serampangan."

"Maka kau baru memperoleh satu saja."

"Sekarang aku memang sedang mencari seseorang lain." "Siapa yang kau penujui?"

"Kau!" Yap Kay tertawa besar.

"Bukan aku sedang berkelakar dengan kau, asal kau mau menerima, kau adalah Huhoat nomor satu dari Kim-cie- pang."

"Kalau aku menerima, apa kau mau percaya?"

"Ya, aku tidak akan percaya kepadamu." jawaban Siangkwan Siau-sian terus terang. Ditatapnya Yap Kay lekat-lekat, katanya menghela napas: "Memang kelihatannya kau bukan laki-laki yang bisa dipercaya oleh perempuan."

"Maka terpaksa kau hendak membunuhku?" "Tidak perlu tergesa-gesa membunuhmu."

"Sebaliknya aku ingin mati secepatnya, soalnya bila tenagaku pulih, sekali tangkap kau berhasil kubekuk, terus ku banting hancur seperti bonekamu itu, apa tidak runyam jadinya?"

"Memang runyam juga, tapi untungnya tenagamu takkan pulih secara mendadak. Jarum yang menusuk perutmu ada tercampur obat bius."

"Obat bius?"

"Obat bius yang cukup membuat orang kehilangan tenaga saja, asal sekaligus kau mampu menghabiskan lima kati arak, baru kadar biusnya akan hilang sendirinya."

"Obat bius ini tentu bikinan setan arak, kebetulan aku inilah setan araknya."

"Yang tidak kebetulan, di daerah sekitar sini tiada orang yang jual arak." "Kau memang bukan tuan rumah yang baik, masakah arak untuk suguhan tamupun tidak sedia?"

"Kau harus tahu, biasanya aku menyuguh air tetek kepada tamu-tamuku."

"Sayang, aku bukan boneka."

"Siapa bilang kau bukan, selanjutnya kau akan kupandang sebagai bonekaku."

Kalau orang tertawa riang dan jenaka, sebaliknya merinding bulu kuduk Yap Kay. Jikalau dirinya sampai jadi boneka dan minum tetek gadis ini, rasanya tentu lebih tersiksa daripada terenggut jiwanya.

Untunglah pada saat itu dia melihat Nyo Thian melangkah masuk. Air mukanya lesu dan jelek, mirip suami yang cemburu melihat bininya kencan dengan laki-laki lain.

Bertaut alis Siangkwan Siau-sian, segera dia berpaling dengan tertawa manis, katanya: "Kelihatannya kau belum membunuh orang. Setelah membunuh orang biasanya kau riang hati."

"Sungguh hatiku tidak bisa riang." "Kenapa?"

"Karena aku tak membunuh orang." "Lalu di mana Han Tin?"

"Entahlah, Han Tin hilang!"

"Manusia segede itu masakah hilang tanpa bekas?" "Bekas kakinya memang ada." "Kau sudah memeriksa dan mengikuti jejaknya?" "Setelah keluar hutan, jejak kakinya tiba-tiba hilang."

"Dia sudah keracunan, sedikit bergerak saja racun bekerja dan jiwanya tamat."

"Tapi kenyataan dia menghilang. Agaknya penilaian kita keliru terhadapnya."

"Tentunya dia sudah merasakan keganjilan urusan ini, maka sengaja pura-pura keracunan, sehingga orang lain tidak memperhatikan dia, sudah tentu dengan leluasa dia mengundurkan diri."

"Jangan lupa julukannya adalah gurdi."

"Hanya dua cara untuk menghadapi orang seperti dia," kata Siangkwan Siau-sian, "kalau tidak bisa merangkulnya ke pihak kita, terpaksa harus dibunuh secepatnya."

"Tapi dia sudah pergi dan entah kemana?"

"Jangan kuatir, kan masih ada aku. Tugasmu sekarang menjaga Yap Kay di sini. Tunggu sampai aku kembali, nanti kubelikan gula-gula."

ooo)dw(ooo

Nyo Thian duduk-duduk di hadapan Yap Kay.

"Sejak umur tiga tahun, aku sudah tidak pernah makan gula-gula," ujar Yap Kay membuka kesunyian, "sekarang aku hanya ingin minum arak."

"Apa benar kau ingin minum arak?"

"Kecuali minum arak, apa pula yang dapat kulakukan?" Nyo Thian seperti mempertimbangkan, mendadak dia berdiri, katanya: "Baiklah! Kucarikan arak, tapi kau tunggu saja di sini, jangan berusaha lari lho!"

Yap Kay mengantar punggung orang keluar, sorot  matanya bercahaya. Timbullah setitik harapan.

Cepat sekali Nyo Thian sudah kembali, tangannya menjinjing sebuah ceret besar dari tembaga, bobotnya amat berat. Umpama ceret besar ini tidak terisi penuh, sedikitnya dia sudah membawa lima enam kati arak.

"Eh, ternyata kau tidak lari." sapa Nyo Thian. "Aku tahu diriku takkan lolos."

"Bagus sekali!" ujar Nyo Thian seraya meletakkan ceret itu di atas lantai.

Yap Kay tidak mampu berdiri, terpaksa dia memohon: "Tolong kau angsurkan kemari."

"Lebih baik jarakmu lebih jauh dari aku." ujar Nyo Thian.

Yap Kay menghela napas, terpaksa dia meronta merangkak maju terus ulurkan mulutnya ke mulut ceret serta menyedot sekuatnya. Tapi hanya sekumur tegukan, air mukanya lantas berubah, serunya: "Ini bukan arak, kenapa kau menipu aku?"

"Karena aku ingin lihat apa macammu di waktu merangkak di tanah."

Ujung jari Yap Kay terasa dingin, ingin rasanya dia menubruk Nyo Thian serta menuang seluruh air dingin seceret besar itu ke dalam perutnya. Nyo Thian tertawa dingin, katanya: "Memang ini hanya air kuning melulu, bahwa aku tidak meloloh air kencing untuk kau minum sudah merupakan keberuntungan."

Yap Kay menghela napas, katanya: "Sebetulnya aku tidak jelek, kenapa kau membenciku?"

"Selamanya aku tidak suka boneka."

"O, jadi kau cemburu?" Yap Kay mengerti dibuatnya, "apa benar kau menyukai Siangkwan Siau-sian, memangnya kau belum mengerti perempuan macam apa dia sebenarnya?"

Kedutan ujung mata Nyo Thian, kelopak matanya memicing, kedua jari-jarinya mengepal kencang, desisnya mengancam: "Aku hanya mengerti satu hal, sekali lagi kau buka mulut, biar ku rontokkan seluruh gigi dalam congormu."

Yap Kay angkat pundak, dia menghela napas. Seluruh mulut terasa getir, dia ingin benar lekas minum arak sepuasnya.

Habis mengancam dengan marah-marah, Nyo Thian berdiri mendorong daun jendela terbuka. Angin dingin segera meniup masuk ke dalam.

Baru saja Nyo Thian menarik napas panjang, tiba-tiba didengarnya seseorang berkata dingin di belakangnya: "Kau mencari aku?"

Han Tin, si gurdi, tahu-tahu sudah berada di belakangnya. Tanpa berpaling badan Nyo Thian tiba-tiba melambung ke atas, di tengah udara badannya bersalto menempel atap rumah. Dia tidak melihat Han Tin. Tahu-tahu kumandang suara orang dari luar pintu: "Ginkang bagus, memang tidak malu kau dijuluki rase terbang." suara Han Tin.

Sigap sekali Nyo Thian membalikkan tangan, tahu-tahu dia lolos tombak berantai yang membelit di pinggangnya. Di atap rumah dia melesat satu tombak, lalu menempel dinding, seperti seekor cecak dia melorot turun ke belakang pintu. Sekonyong-konyong tombak berantai yang kemilau perak itu terayun terus menerjang keluar. Tiada orang di luar pintu.

Terdengar di belakangnya orang berkata pula: "Nah, aku di sini!" ternyata Han Tin sudah berputar masuk dari luar, melayang masuk dari jendela, berada di belakangnya pula.

Rantai perak lemas di tangan Nyo Thian diayun dengan landasan lwekangnya yang hebat menjadi kaku lempang, langsung menusuk ke tenggorokan Han Tin.

Tak nyana ilmu silat Han Tin ternyata puluhan kali lebih menakutkan dari apa yang pernah dia bayangkan. Sekali bergerak dengan kecepatan luar biasa tahu-tahu dia sudah menangkap ujung tombaknya. Sungguh tidak pernah terpikir oleh Nyo Thian, orang ini mampu menangkap ujung tombaknya. Seketika dia kerahkan tenaganya menyendal sekuatnya untuk merebut kembali senjatanya.

Tak terduga, Han Tin tiba-tiba lepaskan ujung tombaknya. Keruan Nyo Thian tergetar mundur oleh tenaga sendalan sendiri sampai terhuyung mundur. Laksana kilat Han Tin menubruk maju, sekali jarinya terulur, dia telah tutuk Hian-ki-hiat di dada orang.

Kejadian berlangsung dalam waktu singkat. Yap Kay menghela napas, diapun tak pernah mengira, laki-laki yang pernah dia pukul hidungnya sampai ringsek ini ternyata membekal ilmu silat begitu tinggi.

'Blaang...' badan Nyo Thian terbanting keras di lantai. Han Tin tidak perdulikan dia lagi, cepat dia membalik badan menarik Yap Kay, katanya dengan berat: "Kau bisa berdiri tidak?"

Yap Kay meraba-raba kepalanya, tanyanya dengan tertawa getir: "Apa benar kau hendak menolong aku?"

Membesi muka Han Tin, tanpa bersuara dia jinjing badan Yap Kay, terus dikempitnya, katanya: "Kau ikut aku dulu."

"Masih ada Ting Hun-pin." pinta Yap Kay.

Han Tin mengerut kening, katanya: "Kau masih ingin bawa dia?"

"Tadi ada orang bilang, ciriku yang terbesar adalah hatiku lemah."

"Kenyataan kakimu sekarang memang lemah." jengek Han Tin.

"Untung hanya tertutuk Hiat-to nya saja, asal kau membuka Hiat-to nya, toh sudah cukup." lekas dia menambahkan dengan tertawa: "Cuma jangan kau turun tangan seberat Nyo Thian tadi, aku tidak ingin punya bini yang sudah mati."

ooo)dw(ooo

Ruang di bawah tanah itu lembab dan gelap, terutama dinginnya tak tertahan. Untung di ujung kamar terdapat sebuah dipan, di atas dipan terdapat kemul tebal. Setelah rebah di atas dipan, baru Yap Kay merasa lega, dia tahu dirinya takkan menjadi boneka orang.

Dengan mengawasi Han Tin tiba-tiba dia bertanya: "Bagaimana rasa hidungmu sekarang?"

"Masih sakit!"

Yap Kay tertawa getir, katanya: "Kalau hidungku masih sakit, aku tidak akan menolong orang yang membuat hidungku ringsek."

Han Tin menjawab: "Mungkin karena hatiku terlalu lemah."

Tiba-tiba Yap Kay bertanya pula: "Aku pernah melihat tokoh-tokoh Bu-lim masa kini yang paling top, semuanya boleh terhitung puncak persilatan, tapi satu di antaranya yang paling berilmu paling tinggi, tahukah kau siapa dia?"

"Aku bukan?" sahut Han Tin. "Agaknya kau tidak sungkan."

"Ya, selamanya aku berlaku jujur." "Maka aku heran."

"Heran karena aku jujur?"

"Banyak persoalan yang harus dibuat heran." ujar Yap Kay.

"Boleh kau katakan satu persatu." ujar Han Tin.

Ting Hun-pin datang menghampiri, lalu duduk menggelendot di samping Yap Kay, tangan Yap Kay dipegangnya, diapun pasang kuping. "Khabarnya kau terkena racun yang bisa mematikan bila kau bergerak, kenyataan kau bergerak dan jiwamu masih segar bugar."

"Racun apapun toh ada obat penawarnya."

"Jadi racun dari Mo Kau pun dapat kau tawarkan?" "Yang terang aku tetap hidup!"

"Maka aku lebih heran," ujar Yap Kay, "kenapa kehidupanmu kurang baik."

"Kenapa hidupku kurang baik?"

"Orang seperti dirimu, seharusnya bisa hidup lebih senang dan terawat."

Han Tin menepekur, katanya: "Maksudmu, aku tidak pantas mencari sesuap nasi di bawah Wi Thian-bing?"

Yap Kay mengiakan, katanya: "Wi Thian-bing bukan majikan yang baik, tidak pantas kau merendahkan derajatmu, apalagi terima kugenjot hidungmu di tempatnya itu."

Han Tin menepekur lagi, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Ada omongan yang perlu dia pikirkan, apakah pantas dia utarakan?

"Kau mandah ku genjot, karena kau tidak ingin pamer kepandaian aslimu di hadapan orang banyak."

Han Tin akhirnya menghela napas, katanya: "Aku punya alasan."

"Aku tahu, alasan itu pula yang menjadi sebab." "Aku sedang menyembunyikan diri dari tuntutan balas orang. Musuhku pasti takkan menduga aku berada di rumah Wi Thian-bing."

"Jadi nama aslimu bukan Han Tin? Siapa musuhmu itu?" "Seseorang yang amat menakutkan."

"Aku maklum, orang seperti kau harus main sembunyi, sudah tentu dia amat menakutkan."

"Kukira kau sudah mengerti, kenapa aku menolongmu?"

"Kau ingin aku membantumu menghadapi musuhmu itu?" "Aku tahu, kau adalah teman yang berguna, kau adalah

orang yang tegas membedakan antara budi dan dendam." "Akupun tidak ingin sungkan-sungkan lagi." ujar Yap kay.

"Seseorang yang tegas membedakan budi dan dendam, untuk membalas budi pertolongan jiwanya, ada kalanya dia rela melakukan apapun."

"Sedikitnya kau harus menjelaskan kepadaku, tugas apa yang harus kulakukan?"

"Kelak pasti akan kukatakan kepadamu, sekarang. ",

tiba-tiba dia merubah pokok pembicaraan, "luka-lukamu kelihatannya tidak berat, kenapa berdiripun tidak bisa?"

"Karena aku belum minum arak." "Sekarang juga kau ingin minum?"

"Setelah minum, mungkin hatiku semakin lemah, namun kakiku tidak lemah lagi."

"Arak bisa mengobati luka-lukamu?" "Luka-lukaku ini memang agak istimewa."

Baru sekarang Ting Hun-pin menyeletuk dengan tertawa: "Aku percaya, kebanyakan setan arak rela menderita luka- luka seperti yang kau alami ini."

"Baik, sekarang juga aku pergi cari arak."

"Araknya jangan kepalang tanggung." pinta Yap Kay. "Benar,  nyamikannyapun  jangan  sedikit."  timbrung Ting

Hun-pin, "lebih baik kalau kau tolong carikan juga pakaian

laki-laki, aku jadi sebal melihat pakaiannya yang serba kedodoran ini."

Han Tin menyapu pandang ke arahnya, katanya tawar: "Keadaanmu toh tidak lebih baik dari dia."

Seketika merah muka Ting Hun-pin, baru sekarang dia sadar, dirinyapun mengenakan pakaian laki-laki.

ooo)dw(ooo

Han Tin sudah pergi.

Hanya ada sebuah pintu dalam kamar di bawah tanah ini. Bagian atas adalah salah satu dari taman Leng-hiang-wan. Han Tin berpendapat, Siangkwan Siau-sian pasti takkan mengira mereka masih tetap berada di Leng-hiang-wan. Yap Kay pun sependapat. Tempat yang menyolok, biasanya memang tidak diperhatikan orang, memang itulah salah satu ciri dari manusia.

Entah berapa lamanya mereka mengobrol memperbincangkan pengalaman akhir-akhir ini, lalu dengan cekikikan Ting Hun-pin memeluk leher Yap Kay, katanya lembut: "Bicaralah terus terang, kapan kau hendak mempersunting aku?"

"Di saat kau tidak cemburu saja." sahut Yap kay.

"Bodoh! Kalau perempuan tidak cemburu, dia bukan perempuan. Memangnya hal ini kau tidak tahu?"

Tiba-tiba seseorang menyeletuk: "Ya! Dia hanya tahu membunuh orang."

Pintu kamar di bawah tanah ini berada di bagian atas dan suara orang ini terdengar dari atas. Waktu Han Tin berlalu tadi, mereka terlalu asyik bercumbu rayu sehingga lupa memalang pintu dari dalam, kini untuk menutupnya sudah terlambat. Habis suaranya, orang itupun sudah melangkah masuk.

Semula Ting Hun-pin amat kaget, namun lekas sekali dia sudah menghela napas lega, yang datang jelas bukan Siangkwan Siau-sian, yang datang adalah seorang laki-laki.

Orang takkan senang melihat laki-laki ini, laki-laki yang menyerupai mayat hidup. Mukanya kaku dingin dan memutih kapur, tulang pipinya tinggi, hidungnya bengkok seperti patuk elang, badannya kurus lencir seperti genter (tiang bambu), tinggal kulit pembungkus tulang. Sorot matanya memancar kuning kemilau. Badannya yang jangkung menggunakan jubah panjang kedodoran, warna merah yang penuh disulami kembang Botan. Yang luar biasa adalah lengannya yang berkepanjangan, kedua tangannya terselubung di dalamnya.

Siapapun melihat orang macam ini pasti kaget, sebaliknya Ting Hun-pin malah menghela napas. Menurut pendapatnya orang ini tidak lebih menakutkan dari gadis boneka Siangkwan Siau-sian yang elok itu.

Waktu Yap Kay melihat orang ini beranjak turun, hatinya seketika tenggelam seperti batu kecemplung air. Melihat gaya orang lantas ia tahu bahwa Ting Hun-pin bukan tandingan orang ini. Dirinya juga dalam keadaan lemah, dipukul bocah belasan tahunpun ia tak mampu membalas.

Ting Hun-pin berjingkrak bangun menyambut kedatangan orang itu, semprotnya: "Kau ini apa-apaan, tanpa permisi lantas main terjang masuk ke kamar orang, kau tahu aturan tidak?"

"Aku memang tidak tahu aturan, "sahut orang itu dingin, "akupun hanya tahu membunuh, tapi aku masih belum mampu mengungkuli dia."

Yap Kay tertawa getir, katanya: "Ah, kau terlalu merendah."

"Barusan kuhitung, dari muka sampai belakang luar dalam seluruhnya sudah mati delapan puluh tiga orang. Murid- murid keluarga Bak, anak buah Thi Koh dan seluruh pekerja di dalam Leng-hiang-wan ini, ternyata tiada satupun yang ketinggalan hidup."

Berkata orang itu dengan menyeringai sadis: "Dalam semalam sekaligus membunuh delapan puluh tiga jiwa, sungguh suatu kerja berat dan keberanian luar biasa. "

"Kau kira akulah yang membunuh mereka?" tanya Yap Kay.

"Yang jelas mereka sudah mati, hanya kau saja yang tinggal hidup." "Bukan aku saja yang masih hidup." "Aku yakin hanya kau saja seorang."

"Lho, lalu kemana Siangkwan Siau-sian?" tanya Ting Hun- pin.

"Memangnya aku ingin tanya kalian, di mana dia sekarang?"

Ting Hun-pin naik pitam, serunya: "Semula dia bersama kami, soalnya kami tertipu mentah-mentah olehnya."

Orang itu menyeringai sadis.

"Dia pula yang membunuh orang-orang itu. "

"Kenapa kalian tidak dibunuhnya sekalian?" tukas orang itu.

"Karena Han Tin menolong kami." "Mana Han Tin?"

"Pergi cari arak."

"Waktu Siangkwan Siau-sian membunuh orang, kalian mengawasi saja di sampingnya?"

"Karena Hiatto ku tertutuk tak bisa berkutik."

"Dan kau?" tanya orang itu berpaling kepada Yap Kay.

Ting Hun-pin menyela: "Diapun terbokong, seluruh badannya lemas lunglai, tidak bisa........." sampai di sini baru dia sadar mulutnya yang usil telah terlepas omong.

Biji mata orang itu seketika bersinar, katanya sinis seraya melotot kepada Yap Kay: "Apa benar kau tidak mampu mengerahkan tenaga sedikitpun?" Yap Kay hanya tertawa meringis. Mendadak dia sadar, untuk mencegah perempuan jangan cerewet jauh lebih sukar daripada mengajar unta menyusupkan benang ke lubang jarum.

Kata orang itu tandas dengan menatapnya lekat-lekat: "Apa benar kau tidak punya tenaga? Baik, biar kubunuh saja sekarang."

Sebelum orang bertindak, Ting Hun-pin sudah menghardik dan menubruk maju lebih dulu. Ilmu silatnya memang tidak lemah, Toh-bing-kim-ling (Kelinting emas pencabut nyawa) memang tidak dia bawa serta, namun tubrukan dengan setaker tenaga ini bukan sembarang orang kuat menghadapinya.

Tak nyana, orang itu cukup mengebaskan lengan bajunya saja yang panjang, segulung angin kencang seketika menerpa maju menggetar pergi Ting Hun-pin sampai menumbuk tembok dengan keras. Kejap lain, jari tangan orang itu sudah terulur dari dalam lengan bajunya, cepat bagai kilat mencengkeram ke tenggorokan Yap Kay.

Tangan itu ternyata berwarna merah, merah darah, Ang- mo-jiu (Tangan iblis merah). Siapapun bila tercengkeram oleh tangan iblis ini, jiwanya pasti melayang.

Yap Kay sudah tentu tidak mandah diserang dan mau terima ajal begitu saja, sedapat mungkin dia kerahkan seluruh tenaganya yang ada mendoyongkan badan ke belakang. Tanpa punya tenaga sudah tentu dia tidak berani menangkis atau melawan.

Tak nyana tahu-tahu badannya melambung tinggi ke atas. Entah bagaimana dan dari mana datangnya, tahu-tahu tenaganya sudah pulih. Begitu dia mundur, badannya segera terbang mepet tembok meluncur pelan-pelan.

Agaknya Ang-mo-jiu tidak berani mengejar dengan serangan ganasnya. Dengan dingin dia pandang orang, katanya menyeringai: "Katamu kau tidak punya tenaga, lalu darimana tenagamu itu?"

Yap Kay tertawa kecut, sahutnya: "Aku sendiripun tidak tahu."

Hal ini memang kenyataan, namun jawabannya ini takkan dipercaya oleh siapapun.

Tiba-tiba terdengar sebuah suara berkata dingin di luar pintu: "Apakah kau hanya tahu membunuh orang?"

Yang datang kali ini juga bukan Siangkwan Siau-sian. Pendatang adalah seseorang berbaju hitam, berperawakan jangkung tapi kekar dan gagah. Di punggungnya menggendong sebatang pedang panjang. Pedang yang hitam, pakaiannya hitam, mukanya legam, sepasang matanya berkilat cemerlang. Memang orang ini berperawakan tinggi besar, namun badannya tidak tambun. Selintas pandang orang ini laksana seekor elang raksasa, lincah cekatan, gagah keras, sadis, diliputi kekuatan liar dan buas.

Waktu Ang-mo-jiu angkat kepala, dia melihat pedang panjang di punggung orang, kelopak matanya seketika memicing. Mata laki-laki baju hitam yang cemerlang sedang mengawasi tangan merah itu, itu tangan yang tidak mirip tangan manusia umumnya, yang berdaging dan bertulang. Hanya dalam neraka saja orang baru melihat tangan seperti itu. Lambat-lambat namun pasti, kelopak mata laki-laki baju hitampun semakin menyipit, suaranya mantap tandas: "Ih- me-gao?"

Ih-me-gao manggut-manggut, katanya pelan-pelan: "Iblis hijau nangis siang, iblis merah nangis malam, langit dan bumi sama-sama nangis, matahari dan rembulan takkan keluar."

"Aku tahu kau siapa." kata laki-laki baju hitam tawar. "Akupun tahu kau siapa." jengek Ih-me-gao, "kau dari

keluarga Kwe di Siong-yang." "Ya, akulah Kwe Ting!"

"Siong-yang-thi-kiam (Pedang besi dari Siong-yang), tak terhitung banyaknya membunuh orang, tapi tentu takkan bisa mengungkuli orang ini." demikian kata Ih-me-gao sinis.

"Yap Kay maksudmu?"

"O, kaupun tahu siapa dia?"

"Dalam semalam dia beruntun membunuh delapan puluh tiga jiwa, memang bukan kerja ringan."

"Tapi dia sendiri menyangkalnya." Kwe Ting menyeringai dingin.

"Menurut katanya pembunuhnya adalah Siangkwan Siau- sian."

"Siangkwan Siau-sian seorang pikun, gadis boneka yang berjiwa kanak-kanak, memangnya orang pikun bisa membunuh orang?", demikian bantah Kwe Ting. "Katanya jiwanyapun hampir melayang di renggut Siangkwan Siau-sian, karena dia tidak punya tenaga sedikitpun."

"Kelihatannya dia tidak mirip orang yang terluka."

"Katanya dia masih hidup berkat pertolongan Han Tin." "Menurut apa yang ku tahu, justru Han Tin lah yang

dibokong orang."

"Katanya pula Han Tin tak di sini, karena sedang pergi mencari arak."

"Sekarang bukan saatnya orang minum arak."

Yap Kay menghela napas, memang diapun tidak mengerti jawabannya tadi tak mungkin dipercaya orang. Tapi Ting Hun-pin segera berseru: "Kalian hanya tahu Han Tin terbokong orang, Siangkwan Siau-sian datang bersama- sama kami."

Kwe Ting menatapnya lekat-lekat, pelan-pelan dia manggut.

"Lalu siapa yang memberitahu semua hal ini kepadamu?", tanya Ting Hun-pin.

"Seseorang yang beruntung belum mati." "Nyo Thian maksudmu."

Kwe Ting diam saja.

"Darimana kau yakin bahwa apa yang dikatakannya itu kenyataan?"

"Nyo Thian adalah temanku." Ting Hun-pin menyeringai dingin: "Kau punya teman seperti itu, sungguh beruntung."

Ih-me-gao menyeletuk: "Walau dia bukan temanku, akupun percaya!"

"Kenapa?", tanya Ting Hun-pin.

"Kenyataan di depan mata, tidak bisa tidak aku harus percaya."

"Kenyataan apa?"

"Kalian bunuh semua orang yang tahu seluk beluk persoalan ini, lalu menyembunyikan Siangkwan Siau-sian untuk menimpakan bencana kepada orang lain, bukankah harta terpendam milik Kim-cie-pang itu bakal terjatuh ke tangan kalian?"

Ting Hun-pin berjingkrak kaget. Mendadak dia sadar bahwa analisa orang memang masuk akal.

Kwe Ting tetap menatapnya, katanya: "Jikalau ada orang yang dapat membuktikan omonganmu, aku mau percaya."

"Untung ada seseorang yang masih bisa membuktikan kebenaran omonganku." kata Ting Hun-pin girang.

"Han Tin maksudmu?", tanya Kwe Ting, "dia sedang keluar mencari arak untuk kalian?"

Ting Hun-pin mengiyakan.

"Kalau hanya mencari arak, sebentar dia pasti kembali.

Baik, aku tunggu di sini."

"Apa benar kau ingin menunggunya?", tanya Ih-me-gao. "Barusan sudah kukatakan." "Menunggu bantuan mereka datang untuk menggasak kami di sini?", semprot Ih-me-gao.

Kwe Ting menarik muka, katanya dingin: "Kau adalah kau, aku adalah aku, bukan kami."

Tatapan biji mata Ih-me-gao dingin seram seperti nyala api setan, katanya: "Memangnya kau tidak sudi berdampingan dengan aku?"

Kwe Ting tertawa dingin, maksud dari tertawa dingin adalah membenarkan.

"Dulu Siong-yang-thi-kiam tercantum nomor empat di dalam daftar senjata, memang boleh dihitung sebagai Enghiong yang luar biasa, hanya sayang. "

Kwe Ting seketika menarik muka, tanyanya: "Sayang apanya?"

"Sayang kau bukan Kwe Siong-yang, mayat Kwe Siong- yang sudah jadi abu."

Muka Kwe Ting yang legam tiba-tiba membesi hijau. "Orang mati itu sama saja, jangan lupa, perduli dia ahli

pedang yang kenamaan, setelah mampus tak ubahnya seperti mayat-mayat manusia lainnya, akhirnya berubah membusuk juga."

Terkepal jari-jari Kwe Ting, katanya sepatah demi sepatah: "Lebih baik kau tidak melupakan satu hal."

"Hal apa?"

"Kwe Siong-yang memang sudah mati, tapi Siong-yang- thi-kiam belum mati." "Memangnya Siong-yang-thi-kiam masih ingin membela pembunuh ini untuk menghadapi aku?"

Kwe Ting tidak bicara lagi.

"Kwe Siong-yang ajal ditangan Ki Bu-bing, ilmu silat Ki Bu-bing hasil didikan Siangkwan Kim-hong." demikian sinis suara Ih-me-gao, "jikalau kau keturunan keluarga Kwe yang berbakti, kau harus bergabung dengan aku menghadapi Yap Kay, lalu dari buku pelajaran silat peninggalan Siangkwan Kim-hong, menemukan di mana letak kelemahan ilmu silat mereka, untuk menentukan siapa menang dan asor melawan Ki Bu-bing, menuntut balas demi kegagahan Kwe Siong-yang di alam baka."

Sayang sedikitpun Kwe Ting tidak terpengaruh oleh sahutannya.

Ih-me-gao memperhatikan perubahan mimik mukanya, katanya pula: "Bagaimana maksudmu?"

"Baik sekali!"

"Kau menerima uluran tanganku?"

"Hm. ," Kwe Ting hanya menggeram dalam mulut.

"Asal kau mau bergabung dengan aku," kata Ih-me-gao sambil tertawa besar, "jangan kata hanya Yap Kay seorang, seluruh tokoh-tokoh silat di kolong langit ini memangnya siapa yang berani menentang kita?"

Kwe Ting membalik tangan memegang gagang pedangnya. Tawa  Ih-me-gao tiba-tiba sirap,  dengan nanar dia tatap

Yap  Kay,   katanya  menyeringai:   "Tempat   ini  tiada  jalan

keluar lainnya, agaknya ajalmu memang sudah tiba." Lekas Ting Hun-pin berlari mendekati Yap Kay dan menggelendot di sampingnya. Yap Kay berdiri diam saja, tidak bersuara, tidak bergeming, sorot matanya seperti mengandung tawa sinis yang aneh.

Ih-me-gao menatap tangannya, katanya datar: "Kau hadapi dia, setelah membunuh cewek ini, baru kubantu kau."

Kembali Kwe Ting hanya bersuara dalam mulut.

"Awas! Pisau terbangnya." Ih-me-gao memperingatkan. "Kaupun harus hati-hati," sahut Kwe Ting, "hati-hati

dengan pedangku."

Ih-me-gao melengak, tanyanya: "Apa? Awas pedangmu?"

Kwe Ting mengiakan. Sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat, tahu-tahu pedangnya bergerak laksana kilat menusuk ke dada Ih-me-gao. Samberan pedang tidak sama seperti samberan kilat karena batang pedang yang satu ini serba hitam legam tanpa memancarkan cahaya, namun hawa pedangnya yang dingin tajam menyedot sukma orang melebihi renggutan halilintar. Itulah Siong-yang-thi-kiam. Tiada Siong-yang-thi-kiam yang ke dua, inilah satu-satunya pedang hitam legam di kolong langit.

Begitu pedang terlolos, seketika Ih-me-gao merasakan hawa pedang yang menyedot sukmanya sudah menyambar tiba di ujung alisnya. Keruan tak terbilang rasa kejutnya, dengan murka dia menggerung keras, berbareng Ang-mo-jiu laksana panah darah melesat keluar.

Dulu Ceng-mo-jiu terdaftar nomor sembilan dalam daftar senjata karya Pek Siau-seng, yang benar kekuatan dan perbawanya tidak lebih asor dari Pian-sin-coa-pian yang tercantum nomor enam dan Kim-kong-thi-koay yang tercantum nomor tujuh. Yang terang karena senjata ini terlalu ganas dan sesat, maka Pek Siau-seng sengaja menilainya rada rendah.

Apalagi Ang-mo-jiu yang satu ini buatannya jauh lebih halus, lebih hebat dari Ceng-mo-jiu, jurus tipunyapun jauh lebih telengas dan aneh, banyak ragamnya lagi.

Tampak cahaya merah menyala berkelebat, malah membawa deru angin keras yang berbau amis memualkan.

Kwe Ting menghadapi dengan tawa dingin seraya mundur dua langkah, mendadak kakinya dijejak sehingga badannya melambung ke tengah udara seraya bersuit nyaring. Pedang besinya seketika berubah menjadi bianglala panjang yang mewarnai udara jadi hitam gelap. Ternyata badan dan pedangnya sudah bersatu padu. Memang inilah jurus-jurus mematikan yang paling dahsyat dari Siong-yang-thi-kiam. Boleh dikata sudah mendekati keampuhan yang tiada taranya, tiada sesuatu benda yang disentuhnya takkan hancur lebur.

Maka terdengarlah 'ting..." sekali dan pendek, tahu-tahu Ang-mo-jiu sudah terketuk hancur lebur tak berbekas lagi, kelihatan seperti ditaburi hujan darah yang memenuhi angkasa.

Suitan Kwe Ting tidak menjadi sirap begitu saja, tahu- tahu badannya membalik ke samping, lembayung hitam yang memanjang itu tiba-tiba berubah menjadi bintik-bintik sinar yang tak terhitung banyaknya. Maka hujan darah yang bertebaran di tengah angkasa itu seketika tertekan turun ke bawah, demikian pula seluruh badan Ih-me-gao tahu-tahu sudah terkurung di dalam hawa pedang yang hebat itu.

Perduli ke arah manapun dia berkelit, jelas takkan bisa menyelamatkan diri lagi. Pada saat itulah, suitan tiba-tiba sirap, hawa pedangnya kuncup, badan Kwe Ting melayang turun dengan enteng tanpa mengeluarkan suara, pedang besinyapun sudah masuk ke dalam sarung.

Sedang Ih-me-gao berdiri dengan ke dua tangan lurus ke bawah, pandangannya terlongong dengan badan mengejang, mukanya yang aneh dan serba menakutkan itu basah kuyup oleh keringat dingin yang gemerobyos.

Sesaat lamanya Kwe Ting mengawasinya dingin, katanya sepatah demi sepatah: "Kau ingin bergabung dengan aku? Kau belum setimpal!"

Ih-me-gao kertak gigi, sahutnya: "Kenapa tidak kau tusuk mampus jiwaku saja?"

"Kaupun tidak setimpal kubunuh!" "Lalu apa kehendakmu?"

"Lekas menggelinding pergi!"

Ih-me-gao menyengir tawa dingin, katanya: "Kalau aku pergi begini saja, akan datang satu ketika kau akan menyesal setelah kasep." dia tidak lari, dengan langkah pelan-pelan dia beranjak keluar lewat hadapan Kwe Ting.

Ang-mo-jiu yang sudah hancur lebur berserakan di atas lantai, mirip benar dengan noda-noda darah yang berceceran. Pelan-pelan Kwe Ting memutar badan menghadapi Yap Kay. Dilihatnya Yap Kay sedang tersenyum. Seketika dia menarik muka, katanya dingin: "Agaknya kau tabah sekali!"

Yap Kay manggut-manggut. Inilah jawabannya.

"Kau tidak takut aku bergabung sama dia membunuhmu?" "Aku tahu!," sahut yap Kay menyimpang dari pertanyaan

orang.

"Kau tahu apa?"

"Aku tahu pewaris Siong-yang-thi-kiam, pasti tidak akan sudi bergabung dengan orang macam dia, meski menghadapi persoalan pelik apapun."

Dengan tajam Kwe Ting mengawasinya, sorot matanya memancarkan mimik yang aneh, lama sekali baru pelan-pelan dia berkata: "Kwe Siong-yang adalah saudaraku tertua."

"Memang ada abang tentu ada pula adiknya." demikian puji Yap Kay.

"Betapa gagah dan besar jiwanya, sayang sekali gugur di tangan Ki Bu-bing." ujar Kwe Ting dengan gemas dan penasaran.

Yap Kay menghela napas, katanya: "Peristiwa itu merupakan penyesalan terbesar pula bagi Siau-li Tham-hoa selama hidupnya."

Semula Kwe Siong-yang dan Siau-li Tham-hoa adalah musuh, karena masing-masing pihak menghormati dan mengagumi musuhnya, dari musuh mereka menjadi kawan karib yang sejajar dan sederajat. Selama hidup mereka saling hormat menghormati. Untuk menepati janji undangan Li Sin-hoan, akhirnya Kwe Siong-yang gugur oleh tusukan pedang Ki Bu-bing. Walaupun peristiwa itu merupakan tragedi yang mengerikan, namun merupakan kisah yang patut dipuji pula.

"Apa yang dikatakan Ih-me-gao memang tidak salah, kedatanganku memang untuk memiliki Pit-kip peninggalan Siangkwan Kim-hong." Kwe Ting berterus terang.

"Aku tahu," jawaban Yap Kay tegas dan tandas.

"Oleh karena itu aku tetap akan menunggu Han Tin. Seharusnya aku tidak perlu percaya akan obrolanmu, namun untuk sementara ini biarlah aku percaya, karena kau adalah murid pewaris Li Sin-hoan satu-satunya."

Yap Kay menghela napas, ujarnya: "Yang terang beliau orang tua tidak benar-benar mengangkatku sebagai ahli warisnya, demikian pula ilmu silatnya aku belum memperoleh ajaran seper-sepuluh perbendaharaan ilmu silatnya."

"Tapi sudah jelas bahwa dia menurunkan kepandaian menimpuk pisau terbang itu kepadamu."

Yap Kay diam saja, dia mengakui hal ini.

"Di waktu engkohku masih hidup, cita-citanya yang terbesar adalah bertanding dan menentukan siapa menang dan siapa asor dengan Siau-li si pisau terbang," demikian Kwe Ting seperti berkisah, "dalam duel di hutan flamboyan di luar Hin-in-ceng, akhirnya dia kalah oleh Siau-li si pisau terbang."

"Yang terang duel kali itu merupakan pertempuran yang tak pernah terjadi sejak jaman dahulu kala dan takkan pernah terjadi pada masa yang akan datang, membuka lembaran baru sejarah persilatan."

Dalam duel itu sebetulnya Li Sin-hoan memperoleh tiga kali kesempatan untuk menyerang Kwe Siong-yang, sehingga orang terkalahkan dan bukan mustahil mati, namun dia tidak pernah turun tangan. Belakangan pisau Li Sin-hoan sendiripun tertabas kutung, bukan mustahil pula Kwe Siong- yang bisa menusuknya mampus, tapi Kwe Siong-yang pun tidak menurunkan tangan kejinya, malah secara sukarela dia mengaku kalah.

"Orang-orang seperti mereka," demikian ujar Yap Kay, "baru boleh dipandang sebagai laki-laki sejati, baru tidak malu mereka diagulkan sebagai Enghiong tulen."

"Cuma bagaimana juga, Siong-yang-thi-kiam kenyataan sudah terkalahkan oleh Li Sin-hoan." Kwe Ting mengawasinya lekat-lekat, matanya memancar terang, katanya kereng: "Khabarnya belakangan ini ada pula yang membuat buku daftar senjata, dan pisau terbangmu dicantumkan paling atas, diagulkan nomor satu di seluruh kolong langit."

Yap Kay tertawa getir. Diapun dengar kabar ini. Sejak dia mendengar ini, dalam hati dia lantas tahu bahwa banyak kesukaran akan selalu melibatkan dirinya di dalam kancah kehidupan yang menegangkan jiwa.

Jelas takkan ada tokoh-tokoh Bu-lim yang rela direndahkan derajatnya di bawah urutan orang lain, dan karena julukan yang mungkin berlebihan itu, tentu menimbulkan banyak pertempuran duel adu kekuatan, entah berapa banyak jiwa akan berkorban, betapa banyak darah akan berceceran.

Kwe Ting berkata: "Oleh karena itu perduli apa yang kau ucapkan benar atau tidak, setelah persoalan ini selesai, aku tetap akan minta bertanding dengan aku untuk menentukan menang dan kalah. Boleh buktikan Siong-yang-thi-kiam apakah masih di bawah pisau terbang."

Yap Kay tertawa getir saja. Ting Hun-pin malah tidak sabar lagi, katanya: "Lebih baik kalau kau mengerti satu hal, pisaunya diagulkan nomor satu di seluruh jagat lantaran pisaunya sering menolong entah berapa banyak jiwa  manusia, bukan karena banyak membunuh orang."

Kwe Ting manggut-manggut, ujarnya: "Ya, akupun pernah dengar."

"Oleh karena itu jikalau kau ingin mengungkuli dia, maka pergilah kau menolong jiwa manusia, bukan main bunuh sesuka hatimu."

Kwe Ting menarik muka, katanya dingin: "Jikalau aku membunuhnya, berarti aku sudah mengungkuli dia."

"Kau salah, umpama benar kau bisa membunuhnya, selamanya jangan harap kau bisa mengalahkannya."

Kwe Ting tertawa dingin. Maksud tawa dingin adalah menyangkal dan tidak percaya.

Ting Hun-pin jadi sengit, jengeknya dingin: "Jangan kau kira kau sudah mengalahkan Ang-mo-jiu sudah anggap dirimu jempolan, memang Ang-mo-jiu lebih jahat dan telengas dari Ceng-mo-jiu, namun dia tetap bukan tandingan Ceng-mo-jiu, karena Ih-me-gao tidak punya pambek dan jiwa besar, dia tidak punya watak."

Kwe Ting bersuara dalam tenggorokan, dia sedang pasang kuping.

"Memang kelihatannya dia congkak dan tinggi hati, yang benar hanya mulutnya saja yang pintar mengoceh dan bermanis-manis muka. Seorang kerdil yang menggunakan setiap kesempatan untuk menguntungkan diri sendiri. Untuk hal ini jelas dia sudah bukan tandingan Ceng-mo-jiu."

Kwe Ting mendengarkan sambil mengawasi muka orang, biji matanya mengunjuk sorot aneh.

"Sejak dahulu kala, seorang tokoh Bu-lim yang sejati berdikari dan tak tergoyahkan, tidak mau dan tidak pernah terpengaruh oleh keadaan atau seseorang. Bilamana seseorang tidak mempunyai watak dan pendirian, memangnya cara bagaimana dia bisa meyakinkan ilmu silat yang luar biasa?"

Kwe Ting tertawa dingin, katanya: "Ucapanmu memang beralasan. Sayang, ocehanmu terlalu banyak." lalu dia membalik badan membelakangi mereka menghadap ke dinding, melirikpun tidak memandang kepada Ting Hun-pin.

Ting Hun-pin malah tertawa, katanya: "Agaknya orang ini punya wataknya tersendiri."

"Memang dia punya watak." ujar Yap Kay tersenyum. "Sayang,  dia  tidak  bisa  membedakan  salah  dan benar,

tidak tahu baik atau jahat, celakanya Nyo Thian si keparat

itu dipandangnya sebagai teman baik." Yap Kay menghela napas gegetun, katanya: "Bukankah sebelum peristiwa ini, akupun pandang Nyo Thian sebagai teman sendiri?"

"Oleh karena itu sekarang kau ketiban nasib jelek."

Sebetulnya Kwe Ting sudah berkeputusan tidak akan mendengarkan ocehan mereka, kini dia berpaling, katanya: "Nyo Thian bukan teman baikmu?"

Terpaksa Yap Kay mengakui: "Dia bukan." "Dia menjual kalian?"

Yap Kay terpaksa harus mengakui juga.

"Dia sekongkol dengan Siangkwan Siau-sian menjual kalian?"

"Kelihatannya dia sudah kepincut kepati-pati oleh Siangkwan Siau-sian."

"Tapi kalian yang semula melindungi Siangkwan Siau-sian, juga terpincut olehnya bukan?"

"Mereka hendak membangun Kim-cie-pang pula, Nyo Thian sudah menjadi Tongcu Kim-cie-pang."

"Maka mereka harus memberantas habis semua orang- orang yang kemungkinan menentang usaha mereka untuk membangun Kim-cie-pang kembali?" Kwe Ting menegas.

Ting Hun-pin menghela napas, ujarnya: "Akhirnya kau mengerti juga."

"Jikalau Kim-cie-pang bangkit kembali, akupun pasti akan menentang mereka." demikian Kwe Ting nyatakan pendiriannya. "Oleh karena itu, dia mengundangmu kemari, jelas mengandung maksud tidak baik."

"Sekarang aku sudah di sini, kenapa mereka tidak turun tangan terhadapku? Memangnya mereka sudah tahu bahwa kalian ditolong oleh Han Tin? Sengaja dia atur sedemikian rupa sehingga akulah yang berhadapan dengan kalian? Ataukah Han Tin pun adalah anggota Kim-cie-pang? Sengaja dia menolong kalian kemari untuk menghadapi aku?"

Ting Hun-pin tidak mampu memberi jawaban. Jalan pikirannya tidak sedemikian luas, baru sekarang dia teringat bahwa hal itu bukan mustahil.

Yap Kay tiba-tiba menghela napas, katanya: "Bagaimanapun juga Han Tin adalah penolong yang menyelamatkan jiwaku."

"Dia punya alasan untuk menolong kalian?" tanya Kwe Ting.

"Sudah tentu ada." sahut Yap Kay.

"Adakah dia punya alasan mengkhianati kalian?" "Tidak pernah dan tidak akan kupikirkan ke arah itu."

"Agaknya kau adalah orang yang tegas membedakan budi dan dendam."

"Ada orang pernah bilang demikian." sahut Yap Kay getir. "Jikalau benar Han Tin teman kalian, tentu sekarang dia

sudah kembali."

"Bukan di setiap tempat pasti bisa mencari arak." sahut Yap Kay. "Tapi menurut apa yang ku tahu, di tempat ini pasti terdapat gudang arak di bawah tanah."

"Mungkin Siangkwan Siau-sian sudah hancurkan gudang arak itu."

"Kenapa?"

"Karena hanya arak yang bisa menawarkan racun yang mengeram dalam tubuhku."

"Sekarang belum minum arak, tapi racun dalam badanmu sudah tawar sendiri."

Yap Kay tak mampu menjelaskan.

"Semua keterangan yang kau berikan bukan saja membual, malah satu sama lain serba kontras, anak umur tiga tahunpun takkan percaya akan obrolanmu."

Yap Kay tak ingin berdebat, memang dia tidak bisa berdebat.

Kwe Ting mengawasinya, tiba-tiba dia menghela napas, katanya: "Tapi entah kenapa aku justru percaya."

Bersinar sorot mata Ting Hun-pin, katanya tertawa: "Memang aku tahu kau orang yang gampang mengerti."

Kwe Ting tiba-tiba jadi kereng, katanya: "Mungkin justru aku ini orang yang sukar diberi pengertian, mana aku mau percaya begini saja?"

"Kau tak usah kuatir, kami pasti takkan bikin kau kecewa."

"Sebaliknya jikalau kau tidak bisa menemukan Siangkwan Siau-sian, Nyo Thian dan han Tin, aku justru bisa membuat kalian menyesal. Aku beri waktu tiga puluh enam jam untuk kalian mencarinya." tanpa memberi kesempatan Ting Hun- pin bersuara, segera dia menambahkan: "Tiga hari  kemudian, aku akan kembali pula mencari kalian. Demi kebaikan kalian sendiri, aku harap kalian bisa temukan orang-orang itu."

"Waktu tiga hari, kukira lebih dari cukup."

Kwe Ting melangkah keluar, tapi tiba-tiba dia berpaling, katanya: "Masih ada sebuah hal, aku perlu beritahu kepada kalian. Bahwa orang-orang yang ingin membuat perhitungan dengan kalian bukan hanya aku seorang, belum tentu mereka mau percaya obrolan kalian, oleh karena itu dalam dua hari ini kalian harus lebih waspada."

Yap Kay bertanya: "Kecuali kau dan Ih-me-gao, masih ada siapa lagi?"

Kwe Ting menepekur, tiba-tiba dia balas bertanya: "Pernahkah kau berburu rase?"

Yap Kay manggut-manggut.

Sorot mata Kwe Ting tertuju ke tempat jauh, katanya pelan-pelan: "Musim berburu rase paling baik kalau di bulan sembilan."

"Bulan sembilan?" tanya Ting Hun-pin menegas.

"Waktu itu musim rontok, hawa panas dan sejuk, padang rumput nan liar dan luas, bila ada seekor rase muncul, beberapa ekor burung elang akan mengintainya dari tengah udara, maka begitu burung elang terbang di angkasa, maka rase itu jelas akan jadi mangsanya." "Buat apa kau ngelantur ke persoalan ini, sekarang bukan bulan sembilan." sela Ting Hun-pin.

"Tapi sekarang justru tiba musimnya berburu rase, maka beberapa rombongan elang sudah mulai terbang." demikian Kwe Ting seperti mengigau dengan kata-katanya, sorot matanya cemerlang, seolah-olah dia sudah melihat beberapa ekor elang yang gagah dan galak sedang terbang berputar- putar di atas kota Tiang-an.

Akhirnya Ting Hun-pin mengerti juga, katanya: "Apakah kita ini kau ibaratkan sebagai rase itu?"

Kwe Ting tidak menjawab. Tanpa berpaling dia beranjak keluar.

Mengantar bayangan punggung orang yang menghilang di balik pintu, Ting Hun-pin terlongong sekian lamanya, gumamnya: "Sebetulnya orang ini teman kita atau justru musuh bebuyutan."

Yap Kay diam saja, seakan-akan dia tidak tahu cara bagaimana harus menjawab.

"Eh!", Ting Hun-pin menyikutnya, "apa sih yang kau pikirkan?"

"Tidak pikir apa-apa." sahut Yap Kay ," aku hanya ingin makan tapak beruang yang gemuk dan berminyak."

"Dan apalagi?" tanya Ting Hun-pin dengan gigit bibir. (Bersambung ke Jilid-7
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar