Rahasia Mokau Kauwcu Jilid 05

 
Jilid-05

Ting Ling menutuk kepala, sahutnya: "Ya, aku!"

Yap Kay tertawa besar, saking riang dia berjingkrak maju serta memeluknya, serunya: "Kau tidak marah lagi kepadaku?" "Aku tidak marah lagi kepadamu." sahut Ting Ling.

Dia balas memeluk Yap Kay, namun jarinya langsung menutuk Giok-sim-hiat di belakang batok kepala Yap Kay.

Yap Kay menjerit kaget sambil lepas tangan mendorongnya, dengan pandangan terbelalak dia pandang Ting Ling.

Terdengar Ting Ling berkata: "Tidak pantas lantaran perempuan jahat itu kau meninggalkan aku."

Yap Kay menghela napas. Pelan-pelan dia roboh terkapar di atas tanah. Orang yang dianggap paling sudah dilayani oleh kaum persilatan sekarang roboh tak berkutik. Sekonyong-konyong persoalan berakhir begitu saja.

Nyo Thian menjublek di samping, agaknya diapun kaget, seakan-akan tidak menduga bila urusan bisa berjalan lancar dan berakhir dengan begini mudah. Sebetulnya semua orang tidak perlu bersitegang leher lantaran urusan ini.

Kepala Ting Ling tertunduk mengawasi Yap Kay yang roboh di tanah, mukanya menunjuk perasaan hambar dan mendelu. Pada saat itulah dari dalam rumah menerjang keluar seorang gadis yang cantik luar biasa, kedua tangannya menggendong boneka tanah liat.

Melihat Yap Kay rebah di tanah, sepasang matanya yang jeli indah seketika memancar marah, kaget dan heran, mendadak dia berteriak: "Kalian sudah membunuhnya, dia orang baik, kenapa kalian membunuhnya?"

Tak tahan Nyo Thian bertanya: "Kau inikah Siangkwan Siau-sian?" Siangkwan Siau-sian manggut-manggut, sahutnya: "Kau membunuhnya, tentu kau orang jahat!"

Ting Ling mendadak berteriak: "Kaulah perempuan jahat!" sembari berteriak mendadak dia menerjang maju dengan kapal, seakan-akan hendak mencekik lehernya.

Tahu-tahu tangannya dipegang orang, ternyata Thi Koh telah menangkap dan menyeretnya ke samping: "Tugasmu sudah selesai, tentu kau sudah letih, kenapa tidak tidur saja?"

Sorot mata Ting Ling mendelong, kaku pula, pelan-pelan dia manggut, katanya: "Aku sudah letih, aku hendak tidur saja."

Betul juga, segera dia merebahkan diri di atas tanah bersalju, seolah-olah dia rebah diri di atas ranjang yang empuk.

Dengan kaget Siangkwan Siau-sian mengawasinya serta berteriak: "Aku bukan perempuan jahat, aku adalah anak manja, kau inilah perempuan jahat, maka kau sekarang harus mati."

Thi Koh berkata lembut: "Benar, memang dia perempuan jahat, Yap Kay pun laki-laki jahat."

"Tidak! Yap Kay orang baik." bantah Siangkwan Siau-sian. "Dia bukan orang baik, dia selalu melarang kau meneteki

Popo, benar tidak?"

Siangkwan Siau-sian berpikir sebentar, katanya: "Ya, dia selalu melarang aku meneteki Popo." Thi Koh menatap matanya, katanya: "Sekarang Popo tentu amat lapar."

"Benar! Popo memang kelaparan. Popo jangan menangis, nih, mama beri tetek kepadamu."

Benar-benar dia membuka baju di depan dadanya, maka menongollah bukit tandus nan halus putih laksana salju dengan hiasan putih merah dipucuknya.

Napas Nyo Thian menjadi sesak, jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat.

Thi Koh menghela napas, katanya dengan sorot mata senang: "Agaknya tidak mirip anak-anak berusia tujuh tahun lagi."

Sim Koh tertawa dingin, ejeknya: "Tergantung ke mana arah pandanganmu tertuju."

Thi Koh cekikikan geli.

"Coba kau lihat sepasang bukit dadanya yang montok, aku tidak percaya gadis sebesar ini belum pernah disentuh laki- laki."

Bibirnya tergigit kencang, sorot matanya cemburu. Gadis manapun bila melihat sepasang payudara Siangkwan Siau- sian, siapa yang takkan merasa iri?.

Pelan-pelan Thi Koh mendekati Siangkwan Siau-sian, katanya sambil memeluk pundaknya: "Popomu bagus benar?"

Terunjuk senyum mekar jenaka pada raut muka Siangkwan Siau-sian, katanya: "Memangnya Popo adalah anak baik." "Bolehkah aku coba menggendongnya sebentar?" tanya Thi Koh.

Sekilas Siangkwan Siau-sian ragu-ragu, katanya kemudian: "Tapi kau harus hati-hati, jangan memeluknya kencang-kencang, Popo amat takut sakit"

"Aku tahu," sahut Thi Koh tertawa, "akupun punya seorang Popo."

Sesaat Siangkwan Siau-sian bimbang, akhirnya dia serahkan bonekanya.

Begitu menerima boneka itu, Thi Koh segera melangkah pergi.

Keruan Siangkwan Siau-sian berteriak-teriak: "Kenapa kau bawa Popoku pergi? Kau......kau. perempuan jahat."

Begitulah kedua orang ini jadi saling kejar.

Nyo Thian tetap menjublek, seperti kaget keheranan, namun seperti simpati juga.

Mendelik mata Sim Koh, katanya dingin: "Nona besar yang meneteki sudah pergi, apalagi yang kau lamunkan di sini?"

Nyo Thian tertawa dipaksa, katanya: "Aku........aku hanya merasa urusan ini berakhir dengan gampang sekali."

"Perduli urusan rumit apapun, jikalau sebelumnya sudah direncanakan lebih dulu, waktu kau turun tangan, tentu jauh lebih gampang."

"Ya, rencana ini memang rapi dan baik sekali." puji Nyo Thian. Tiba-tiba Sim Koh berseri sambil mengawasinya, katanya: "Sebetulnya payudaraku jauh lebih indah dari dia punya, kau percaya tidak?"

Nyo Thian seketika menggeleng, katanya tergagap dengan muka merah: "Aku....aku. "

Sim Koh mengerling genit, katanya tertawa: "Kelak akan kuberi kesempatan kepadamu untuk melihatnya sepuas- puasnya, waktu itu kau pasti percaya."

Jantung Nyo Thian berdebur kencang seperti gelombang lautan.

"Sekarang kau bawa pulang orang she Yap ini." "Bagaimana dengan nona nona Ting ini?"

"Dia akan ikut aku pulang," ujar Sim Koh. Lalu dengan keras dia tendang pantat Ting Ling, katanya tertawa sambil berpaling kepada Nyo Thian: "Asal kau mau menjadi anak jinak, mama kelak akan memberi air tetek kepadamu."

ooo)dw(ooo

Thi Koh langsung berlari ke dalam ruang pemujaan. Siangkwan Siau-sian pun mengejar masuk, serunya merengek: "Serahkan Popo kepadaku, lekas kembali!"

"Duduklah dengan tenang, kalau tidak Popo tidak kukembalikan."

Terpaksa Siangkwan Siau-sian duduk di atas sebuah kasur bundar.

"Ada beberapa patah kata ingin aku tanya kepadamu, kaupun harus menjawab dengan baik." Siangkwan Siau-sian manggut-manggut. "Siapa namamu?"

"Siangkwan Siau-sian." "Siapa bapakmu?"

"Bapak adalah malaikat. Selamanya belum pernah aku melihatnya."

"Lalu ibumu?"

"Ibu sedang tidur." "Tidur di mana?"

"Di dalam kotak kayu panjang dan besar, sudah lama dia tidur di sana." terunjuk kedukaan pada muka Siangkwan Siau-sian, katanya pula: "Katanya lekas sekali dia akan bangun, tapi sampai sekarang dia belum bangun juga."

"Setelah ibumu tidur lalu kau ikut siapa?"

"Aku lantas ikut paman yang bisa terbang, ibu suruh aku panggil dia Hwi-siok-siok."

"Lalu bagaimana?"

"Belakangan Hwi-siok-siok mencari Yap Kay, suruh aku ikut dia."

Terpancar rasa puas pada sorot mata Thi Koh, katanya: "Hwi-siok-siok itu tentu amat baik kepadamu, bukan?"

"Dia amat senang dan sayang kepadaku, baik sekali kepadaku."

"Bukankah dia memberi banyak mainan kepadamu?" "Dia membelikan sepatu dan pakaian baru, lalu membelikan mainan dan barang lain yang baik."

"Bukankah masih ada seorang paman bertangan satu?

Apakah dia juga memberi banyak mainan kepadamu?"

"Paman bertangan satu?" Siangkwan Siau-sian mengerut kening.

"Masakah kau tidak mengenalnya lagi? Dai selalu mengenakan pakaian kuning, tampangnya amat garang?"

Siangkwan Siau-sian tiba-tiba tepuk tangan seraya berjingkrak, serunya: "Ya, teringat aku sekarang, pada suatu hari dia

***********************

Hal 13 - 14 hilang

***********************

"Jikalau kau tidak memberitahu kepadaku, biar Popo ku banting mati saja."

Berubah muka Siangkwan Siau-sian, teriaknya keras: "Tidak boleh kau banting mati Popoku, dia adalah anak baik."

"Aku tahu Popo memang anak bagus dan sayang, tapi asal ku banting ke lantai, selanjutnya kau tidak akan menemukan dia lagi, tiada orang yang temani kau main-main."

Siangkwan Siau-sian hampir menangis, katanya merengek: "Jangan, aku mohon kepadamu. "

"Tiada gunanya kau minta kepadaku, kecuali kau mau memberitahu nama tempat itu kepadaku."

"Asal aku memberitahu, Popo lantas kau kembalikan?" "Malah kau akan kubelikan banyak mainan dan pakaian baru, kue-kue enak yang paling kau sukai."

"Baiklah, ku beritahu  kepadamu.  Tempat  itu  berada  di. "

Belum lagi Siangkwan Siau-sian sempat menyebutkan tempat itu, mendadak Thi Koh menukas: "Nanti dulu, tunggu sebentar."

"Kenapa?"

"Karena tempat itu kau hanya boleh memberitahu kepadaku saja, sekali-kali tak boleh didengar orang lain."

Terdengar seorang batuk-batuk kecil di luar pintu, tampak Nyo Thian melangkah masuk sambil mengempit Yap Kay. Sim Koh beriring melangkah masuk, di belakangnya adalah Ting Ling.

Thi Koh menarik muka, bentaknya beringas: "Siapa suruh kau membawa mereka kembali?"

"Tidak di bawa pulang, memangnya mau diapakan?" "Memangnya kau tidak bisa bunuh mereka?" "Keduanya dibunuh?"

"Siapa yang masih ingin kau tinggalkan?" "Sekarang juga dibunuh bagaimana?" "Baik, sekarang juga bunuh!"

Yap Kay meringkuk di tanah, kelihatannya seperti orang mati, Ting Ling memang masih hidup, namun pandangan matanya mendelong kaku, orang bilang hendak membunuh dia, dia seperti tidak mendengar. Sim Koh menghela napas, katanya: "Laki-laki sebagus ini, sungguh aku tidak tega membunuhnya."

"Nyo Thian menyahut dingin: "Aku tega!"

Sim Koh meliriknya, katanya tertawa genit: "Kau cemburu?"

"Buat apa aku cemburu dengan orang mati?" "Baik! Nah, golok ini kuberikan kepadamu." 'Klontang. ' sebilah golok jatuh di lantai.

Nyo Thian membungkuk mengambilnya, dipandangnya Ting Ling lekat-lekat, katanya tertawa dingin: "Kau pernah membunuhku sekali, sekarang akupun akan membunuhmu sekali, hutang piutang ini terhitung lunas, tak perlu kau menebusnya di lain penitisan."

Ting Ling mengawasi golok di tangannya, sedikitpun dia tidak memperlihatkan reaksi apa-apa. Terpancar nafsu membunuh pada sorot mata Nyo Thian, kontan dia ayun goloknya membacok.

"Tunggu dulu!" sekonyong-konyong seseorang berseru mencegah.

Lekas Nyo Thian tarik tangannya, dengan mengerut kening dia berpaling, ternyata yang menyerukan dia berhenti adalah Wi Thian-bing. Entah kapan Wi Thian-bing sudah siuman, pelan-pelan dia merangkak bangun dan duduk di pembaringan.

"Kenapa kau suruh dia menunggu?" tanya Thi Koh mengerut alis. "Apa kau pasti hendak membunuh ke dua orang ini?" kata Wi Thian-bing.

"Ya, harus dibunuh."

"Di sini juga membunuhnya." "Di tempat ini juga."

"Di dalam ruang pemujaan yang ini boleh membunuh orang?"

"Yang kita punya memangnya dewa pembunuh."

Wi Thian-bing menghela napas, katanya: "Aku tahu kau tidak akan membiarkan Yap Kay hidup, tapi orang she Ting ini...?"

"Kau ingin mempertahankan jiwanya?"

"Tak ubahnya dia seorang yang cacat, buat apa pula kau harus merenggut jiwanya?"

"Apakah Wi-pat-ya menjadi laki-laki welas asih yang kenal kasihan?" jengek Nyo Thian, "kau ingin mengajaknya pulang dijadikan putra pungutmu?"

"Kau ini siapa?" damprat Wi-pat-ya, "berani kurang ajar di hadapanku!"

"Aku hanya memperingatkan kau." sahut Nyo Thian, "supaya kau tidak kecewa."

"Kecewa? Kenapa harus kecewa?"

"Nona ini jelas takkan bisa melahirkan anak." "Kau kira aku tidak tahu siapa dia?"

"Kalau tahu kenapa kau mempertahankan jiwanya?" "Setelah usiamu mencapai umurku sekarang, kau akan tahu, orang yang tak usah dibunuh, lebih baik jangan kau bunuh." setelah menghela napas, dia meneruskan: "Di waktu muda banyak membunuh orang, setelah usia lanjut kau akan menyesal seumur hidup."

Nyo Thian menyeringai dingin, katanya: "Sejak kapan hati Wi-pat-ya berubah begini lemah?"

"Barusan." "Barusan?"

"Seseorang setelah tahu dirinya punya keturunan, hatinya pasti berubah banyak."

Thi Koh tiba-tiba tertawa sinis, jengeknya: "Kau sudah punya anak? Kau kira aku benar-benar adalah anakmu?"

"Masa kau bukan anakku?" Wi Thian-bing menegas dengan mata terbelalak.

"Selama hidup Lam-hay-nio-cu, entah berapa banyak laki- laki yang pernah dipermainkan, sayang dia justru tidak pernah melahirkan anak."

"Dan kau siapa?"

"Bukan anaknya, juga bukan kadangnya." "Kau. siapa kau sebetulnya?"

"Iblis langit tak berbentuk, kesaktian tiada taranya,

naik ke langit masuk ke bumi, hanya akulah yang berkuasa." Seketika berubah muka Wi Thian-bing, serunya: "Kau anak Mo Kau?"

"Supaya Wi-pat-ya tahu," demikian timbrung Sim Koh, "dia salah satu Sam-kong-cu di bawah Su-thay-thian-ong dari Mo Kau."

Pucat pias muka Wi Thian-bing, mulutnya gemetar tak kuasa bicara lagi.

Kata Thi Koh: "Lam-hay-nio-cu adalah murid pengkhianat Mo Kau, dia beranggapan dirinya bisa menandingi kaucu kita, maka sengaja aku masuk ke dalam perguruannya, kupelajari ilmu-ilmu iblisnya, setelah tamat, baru ku bunuh dia dengan ilmu yang ku pelajari dari dirinya."

Sim Koh menyeletuk: "Itulah yang dinamakan, 'hutang darah bayar darah' dari Mo Kau kita, Sin-liong-bu-siang- tay-hoat."

Pucat pasi muka Wi Thian-bing, mulutnya mengigau: "Ternyata kau bukan putriku....... ternyata......" berulang kali dia mengguman, akhirnya menjublek seperti orang pikun. Kejadian ini sungguh merupakan pukulan batin yang dahsyat, sungguh lebih parah dari tusukan golok di ulu hatinya.

Sim Koh berkata pula: "Tadi sengaja kami menolongmu, karena kematianmu pada waktu itu tiada manfaatnya bagi kami."

"Tapi sekarang Han Tin sudah tahu bahwa aku adalah putrimu, jikalau sang ayah mati secara mengenaskan, maka harta kekayaannya sewajarnya diwariskan kepada putrinya." demikian kata Thi Koh. Kembali Sim Koh meneruskan: "Tapi setelah kita berhasil mengeduk kekayaanmu dan Siangkwan Kim Hong, segala persiapan kita sudah sempurna, tinggal tunggu waktu untuk bergerak."

Wi Thian-bing masih mengigau, sekonyong-konyong dia menjerit keras serta muntah darah, lalu badannya tersungkur roboh.

Melirikpun Thi Koh tidak mengawasinya, katanya dingin: "Nyo Thian, apalagi yang kau tunggu?"

Nyo Thian sudah pucat ketakutan, sejak dulu dia sudah mendengar kekejaman Mo Kau, sekarang dia mengalami dan menyaksikan sendiri. Golok iblis yang kemilau di tangannya teracung tinggi, untuk kedua kalinya dia ayunkan goloknya.

Ting Ling masih berdiri tanpa bergerak sedikitpun, bukan saja tidak tahu takut, diapun tidak berusaha berkelit.

Untunglah pada detik-detik yang menentukan itu, tiba- tiba di luar rumah terdengar jeritan orang yang  mengerikan. Suaranya melengking keras dan ramai seperti dipekikkan oleh mirip beberapa ekor serigala kelaparan yang sekaligus digorok lehernya.

Tangan Nyo Thian yang terangkat sampai bergetar dan tergantung di tengah udara, hampir saja golok terlepas dari cekalannya.

Sim Koh tiba-tiba putar badan menarik pintu.

Seorang berseragam putih berdiri kaku di depan pintu, jubahnya yang putih berlepotan darah, punggungnya menggendong tikar, tangannya menjinjing tongkat pendek. Ternyata Bak Pek datang. Bukan saja tidak kaget Sim Koh malah tertawa menyambutnya: "Kau sudah datang, kenapa berdiri di luar pintu, silahkan masuk duduk di dalam."

"Berdiri kurasa lebih baik."

"Kau kemari memangnya hanya ingin berdiri di luar pintu?"

"Aku kemari juga bukan lantaran Siangkwan Siau-sian." "Khabarnya hidup kalian di Ceng-seng-san juga

memerlukan perongkosan yang cukup besar, sekarang kalian kekurangan uang."

"Kita punya asal usul."

Sim Koh mengedip mata seraya tersenyum genit, katanya: "Lalu memangnya kau kemari lantaran aku?"

Sikap Bak Pek tenang dingin, sedikitpun tidak terpengaruh oleh sikap genit gadis molek ini, katanya: "Aku datang bukan lantaran perempuan."

"Bukan karena perempuan? Kau........ suka main dengan laki-laki?"

"Aku kemari lantaran Yap kay." "Kau menyukainya?"

"Aku suka membunuhnya."

"Kau ada permusuhan dengan dia?" "Permusuhan sedalam lautan."

"Dia membunuh bapakmu, atau merebut binimu?" "Bak Pek menarik muka, "Aku minta kalian serahkan dia supaya kubawa pulang."

"Memangnya kami hendak membunuhnya, kau, kau ingin turun tangan tidak jadi soal, hanya. "

"Hanya bagaimana?"

"Cara bagaimana aku tahu kau hendak membunuhnya?

Bukan mustahil kau hendak menolongnya malah."

Sebentar Bak Pek menepekur, katanya: "Aku bisa turun tangan di hadapan kalian."

Thi Koh tiba-tiba menyeletuk: "Baik, berikan golok supaya dia turun tangan."

Nyo Thian lantas lemparkan golok di tangannya, 'Klontang. ' jatuh di depan kaki Bak Pek.

Bak Pek menjungkitnya dengan ujung kaki, terus disambar dengan tangan, pelan-pelan dia melangkah masuk, matanya menatap Yap Kay, tiba-tiba golok ditangannya menusuk.

Gerak tusukannya amat cepat dan mendadak. Tapi tusukannya tidak kepada Yap Kay, sebaliknya golok berkelebat menusuk Thi Koh.

Agaknya Thi Koh tidak menduga cara licik dan keji ini, sehingga tidak sempat berkelit lagi. Tahu-tahu golok di tangan Bak Pek sudah menusuk ulu hatinya. Akan tetapi rona muka Thi Koh sedikitpun tidak berubah, yang berubah malah muka Bak Pek.

Dalam detik-detik yang menentukan itu tiba-tiba terasa olehnya ujung golok di tangannya ini ternyata bergerak hidup, begitu ujung golok mengenai sasaran, tahu-tahu menyurut amblas dan mundur masuk ke gagang malah.

Kejadian berlangsung cepat, tahu-tahu terdengar 'Blum.." suatu ledakan yang cukup keras, tiga bintik sinar terang melesat keluar dari ujung belakang gagang golok yang terpegang di tangannya, semua mengenai dada Bak Pek dengan telak. Seketika badannya bergetar, biji matanya melotot, raut mukanya yang semula kaku dingin berubah ngeri ketakutan dan tidak percaya akan kenyataan yang dihadapinya.

Dingin Thi Koh mengawasinya, katanya: "Itulah golok iblis, golok iblis takkan membunuh majikannya."

Kiranya waktu golok terlempar di lantai, di tengah suara kelontangan tadi sekaligus telah merubah alat pegas yang terpasang di dalam gagangnya.

Muka Bak Pek dari pucat menjadi merah pada, tiba-tiba kembali menjadi putih laksana kapur, katanya mendesis seraya kertak gigi: "Tidak jadi soal kau membunuhku, majikanku takkan melepasmu."

Bertaut alis Thi Koh, tanyanya: "Kau masih punya majikan? Siapa majikanmu?"

Tenggorokan Bak Pek mengeluarkan suara 'krok..krok...' seperti hendak bicara, tapi tak kuasa mengeluarkan omongan, mendadak dia menggerung bagai harimau gila menubruk ke arah Thi Koh.

Thi Koh tetap tidak bergeming di tempatnya. Seakan- akan jari-jari Bak Pek sudah hampir mencekik lehernya, tapi badannya malah tersungkur roboh tak berkutik lagi. Thi Koh menghela napas, katanya: "Agaknya orang-orang di sini sudah mampus seluruhnya."

"Tinggal Yap Kay dan Ting Hun-pin dua orang saja." kata Sim Koh.

"Kenapa kita tidak membunuh mereka secara berpasang saja?" Nyo Thian mengusulkan.

"Jikalau kau turun tangan tanpa ayal-ayalan, bukankah sekarang mereka tidak tersiksa lagi." Sim Koh mencemoohnya.

Tiba-tiba Nyo Thian mengeluarkan sebatang golok dari lengan bajunya, katanya: "Kali ini biar kubunuh dia lebih dulu."

"Tunggu sebentar." tiba-tiba seseorang membentak, tapi yang bersuara kali ini adalah Thi Koh.

"Kenapa harus tunggu lagi?" tanya Nyo Thian tidak mengerti.

"Bak Pek datang karena dia, malah berani mengorbankan jiwa sendiri untuk membawanya pulang."

Sim Koh menyeletuk: "Jikalau benar dia ada permusuhan dengan Yap Kay, sebetulnya bisa turun tangan di sini."

"Namun dia bertekad untuk membawa Yap Kay pergi." bantah Thi Koh.

"Kenapa dia harus berbuat demikian?" tanya Sim Koh. "Bak Pek bukan orang pikun, sudah tentu ada maksud dan

latar belakangnya." "Memangnya Yap Kay sendiri membawa rahasia apa?" berputar biji mata Sim Koh.

"Baik, biar aku menggeledahnya."

Nyo Thian lantas menimbrung: "Dia seorang laki-laki, biarlah aku saja yang menggeledahnya."

"Memangnya laki-laki tidak boleh ku geledah?" bantah Sim Koh, "aku justru senang menggeledah badan laki-laki, terutama laki-laki setampan ini."

Nyo Thian menggigit bibir, mulutnya terkancing.

Sim Koh cekikikan senang, katanya: "Kalau kau cemburu, tunggu sebentar, nanti giliranmu ku geledah badanmu.".

Dengan tertawa genit dia membungkuk badan, tangan terulur membuka kancing baju di depan dada Yap Kay. Tapi baru saja tangannya menyentuh dada orang, tiba-tiba dia menjerit kaget, tangan ditarik balik seperti tergigit ular beracun.

Thi Koh mengerut alis, katanya: "Ada apa berteriak- teriak, memangnya kau belum pernah menyentuh laki-laki?"

Terunjuk rasa heran dan tak mengerti pada rona muka Sim Koh, sahutnya: "Tapi, dia adalah perempuan. "

"Perempuan?" tersirap darah Thi-koh: "Maksudmu Yap Kay yang ini adalah perempuan?"

"Ya, seratus persen perempuan, buah dadanya malah lebih montok dan lebih besar dari Siangkwan Siau-sian punya." Berkilat biji mata Thi Koh, katanya tertawa dingin: "Ting Hun-pin adalah laki-laki, Yap Kay malah jadi perempuan, sungguh kejadian yang menyenangkan."

Sim Koh rebut pisau di tangan Nyo Thian terus membacok.

Pisau panjang ini berkilauan, terang gaman yang amat tajam, untuk memotong tangan orang, tentu segampang potong sayur.

Tak nyana pada saat itu pula, Yap Kay yang semula rebah terkulai tak bergerak, mendadak balik badan, tahu-tahu kakinya melayang menendang perut Sim Koh.

Sudah tentu Sim Koh tersirap dan mencelat mundur, kebetulan dia mundur ke depan Nyo Thian.

Sejak tadi Nyo Thian memang sedang menunggu dirinya, secepat kilat tangan kanannya menutuk lima Hiat-to di punggungnya berbareng tangan kiri melingkar memeluk pinggangnya.

Seketika berubah air muka Thi Koh.

Nyo Thian menyeringai, ancamnya: "Lebih baik kalau kau tidak sembarang bergerak, kalau tidak biar kubunuh dulu putri kesayanganmu ini."

Thi Koh benar-benar tidak berani bergerak. Memang, dia bukan orang yang mau sembarang bertindak.

Sementara itu dilihatnya Yap Kay tengah merangkak berdiri sambil berseri tawa, tawa manis dan elok.

"Kau. kau memang perempuan?" tanya Thi Koh.

"Benar, perempuan tulen yang tak boleh ditawar lagi." "Kau bukan Yap Kay?" tanya Thi Koh tak mengerti.

Yap Kay yang ini tertawa, katanya: "Yap Kay sudah tentu adalah laki-laki sejati, laki-laki tulen, masakah mungkin aku ini Yap Kay?"

"Kau siapa?" "Ting Hun-pin"

"O, jadi kau inilah Ting Hun-pin." mimik mukanya seperti baru saja digigit orang.

Ting Hun-pin berdiri tak bergeming di tempatnya dengan tersenyum simpul.

Ting Hun-pin menghampiri, katanya dengan tertawa: "Kau sedikitpun tidak mirip dengan aku, bukankah aku lebih cantik dari tampangmu?"

Memang di antara mereka tiada yang mirip.

Tak tahan Thi Koh bertanya pula: "Jikalau kau ini Ting Hun-pin, lalu di mana Yap Kay?"

"Sejak tadi Yap Kay sudah berada di sini." sahut Ting Hun-pin.

"Sejak tadi dia sudah berada di sini?"

"Malah sejak tadi sudah berada di hadapanmu." "Apakah Nyo Thian?" tanya Thi Koh.

"Nyo Thian adalah Nyo Thian, dia bukan Yap Kay."

Rasanya hampir gila Thi Koh dibuatnya, teriaknya: "Siapakah sebenarnya Yap Kay?" "Aku inilah!" terdengar seseorang menjawab dengan suara kalem.

"Siapakah sebenarnya Yap Kay itu?"

Ting Ling menjawab: "Aku inilah. Aku inilah Yap Kay." mimiknya yang linglung seperti terpengaruh sihir dan pandangannya yang hampa, mendadak lenyap tak berbekas lagi, dalam waktu sekejap mendadak sudah berubah menjadi orang lain.

Thi Koh mengawasinya, mimik kagetnya sudah tidak kentara lagi, tiada menunjukkan perasaan apa-apa. Sekujur badannya seperti sudah mengejang kaku, sekeras kayu, dia juga merasakan dirinya tak ubahnya seperti sebatang kayu. Selama hidupnya belum pernah dia mengalami peristiwa yang benar-benar membuatnya kaget kelewat batas.

Ting Hun-pin tertawa cekikikan, dari dalam bajunya dia keluarkan secarik sapu tangan sutra putih, dilemparkan kepada Yap Kay seraya berkata: "Lekas bersihkan pupur dan gincu di mukamu itu, aku muak melihat tampangmu."

"Kau muak?" tanya Yap Kay tertawa. "tapi banyak orang justru anggap aku teramat cantik."

"Cantik kentut!" cemooh Ting Hun-pin.

"Jikalau tidak cantik, masakah ada orang anggap aku mirip Ting Hun-pin?"

Tak tahan Ting Hun-pin cekikikan geli, katanya: "Kalau rupaku mirip keadaanmu sekarang, sejak lama aku sudah menumbuk kepalaku sampai pecah." "Jikalau aku benar-benar mirip kau, tahukah kau  apa yang akan kulakukan?" tanya Yap Kay.

Ting Hun-pin membusungkan dada, katanya: "Aku begini memangnya tidak baik?"

"Bukannya tidak baik, cuma dadamu membusung terlalu tinggi, maka orang segera mengetahui penyamaranmu."

Seketika merah muka Ting Hun-pin, tiba-tiba dia ulur tangan membuka kancing baju Sim Koh.

Sejak tadi kepala Sim Koh tertunduk, seperti empas- empis, tak tahan dia berjingkrak kaget, serunya: "Apa yang ingin kau lakukan?"

"Tidak apa-apa, tadi kau hendak menggeledah badanku, sekarang aku malah yang hendak menggeledah badanmu, aku ini selamanya tidak mau dirugikan."

"Kalau mau geledah, tiba giliranku untuk menggeledahnya." pinta Nyo Thian.

"Tapi dia seorang perempuan."

"Kenapa perempuan tidak boleh ku geledah? Aku justru senang menggeledah perempuan, terutama perempuan yang cantik dan montok."

Ting Hun-pin tertawa besar. Nyo Thian-pun ikut terloroh-loroh senang. Memang mereka pantas tertawa riang, karena sandiwara yang mereka lakukan sungguh amat baik dan sukses sekali.

Mimik Thi Koh seperti hendak menangis, tapi air matanya sudah kering. Siangkwan Siau-sian sudah merebut boneka dari tangannya, katanya: "Popo sayang, sayang Popo, ibu takkan biarkan kau direbut orang jahat."

Perhatiannya hanya tertuju kepada bonekanya itu,  apapun yang terjadi, bukan saja dia tak perduli, memangnya dia tidak bisa turut campur. Bukankah anak-anak sering menganggap khayalannya selalu menjadi kenyataan?

Tapi khayalan Thi Koh justru sudah lenyap tak berbekas seperti asap yang tertiup angin lalu. Semula dia mengira semua orang sudah masuk ke dalam muslihat dan tipu dayanya, sekarang baru dia insyaf bahwasanya dirinyalah yang sudah masuk perangkap Yap Kay, bukankah  khayalannya mirip boneka di tangan gadis yang linglung ini?

Tak tahan akhirnya dia menghela napas, katanya sambil mengawasi Yap Kay: "Baru sekarang aku mau percaya."

"Kau percaya apa?" tanya Yap Kay.

"Aku percaya bahwa kau memang orang yang paling sukar dilayani dan paling ditakuti di kolong langit ini."

"Aku mengakui," ujar Yap Kay menghela napas, "aku memang bukan kuncu."

"Berani mengakui bahwa dirinya bukan kuncu, juga bukan suatu hal yang gampang." kata Thi Koh.

"Berani mengakui kekalahannya pun tidak gampang." ujar Yap Kay.

"Kau sudah tahu bahwa kita beberapa rombongan orang menunggumu di sini?"

Yap Kay manggut-manggut. "Maka kau bersekongkol dengan Nyo Thian, suruh dia sengaja bekerja bagi aku, supaya aku beranggapan bahwa Ting Ling adalah saudara kembar Ting Hun-pin, lalu membantu aku mengajukan usul dan akal segala, suruh aku menyalin Ting Ling menjadi Ting Hun-pin. Lalu kau muncul sebagai Ting Ling dan sengaja menyerahkan diri untuk kutangkap?"

"Yang benar aku ini memang Ting Ling!"

"Lho? Kau ini Yap Kay atau Ting Ling?" Thi Koh semakin bingung.

"Aku ini Yap Kay alias Ting Ling." Thi Koh semakin tidak mengerti.

"Ting Ling adalah salah satu nama yang dulu kupakai waktu kelana di Kang-ouw." demikian Yap Kay menerangkan.

Thi Koh paham, katanya tertawa getir: "Seluruhnya berapa nama yang pernah kau pakai?"

"Tidak banyak."

"Semua nama yang pernah kau pakai, seluruhnya tenar?" "Agaknya nasibku memang mujur."

"Agaknya aku memang tidak pantas memilih lawan seperti kau ini."

"Kau salah pilih," sela Ting Hun-pin, "tapi aku tidak salah pilih." Sorot matanya yang jeli bening diliputi rasa hormat dan kasih mesra.

"Apakah selamanya kau tidak pernah bertengkar dengan dia?" tanya Thi Koh. "Siapa bilang tidak pernah, entah berapa kali aku bertengkar dengannya," sahut Ting Hun-pin, lalu dengan muka merah dia menambahkan: "Tapi tiga hari setelah kami bertengkar, ternyata aku sudah tidak betah, merindukan dia mencarinya."

"Seharusnya sudah kuduga akan hal ini." ujar Thi Koh. "Apa yang kau duga?"

"Laki-laki seperti kekasihmu ini tidak banyak, jikalau aku jadi kau, akupun takkan tega purikan dengannya."

"Oleh karena itu aku selalu menjaga dan mengawasinya, supaya orang lain tidak sempat main-main terhadapnya." suara tawanya kedengarannya seperti suara rase.

"Apapun yang telah terjadi, mimpipun tak pernah kuduga bahwa kaulah yang menyaru jadi Yap Kay"

"Walau Yap Kay tiada di sini, yang benar harus selalu ada orang yang melindungi Siau-sian, kalau aku yang melindungi dia, bukankah cara yang paling aman?"

"Benar, memang cara yang paling aman," puji Thi Koh, "karena kau yang melindungi dan mengawasinya, bukan saja orang lain tidak mampu mengusiknya, Yap Kay pun takkan bisa menyentuhnya."

"Bahwasanya Yap Kay tak mungkin punya maksud terhadapnya."

"Agaknya kau amat yakin?"

"Selalu aku punya keyakinan teguh, maka siapapun jangan harap mengadu domba." Terpaksa Thi Koh berpaling kepada Yap Kay, katanya: "Sungguh aku tidak menyangka Kou-hun-sip-tay-hoat yang kugunakan ternyata tidak berguna sedikitpun terhadapmu."

"Memang tiada gunanya."

"Seharusnya aku sudah dapat menduganya." "Menduga apa?"

"Khabarnya ibumu dulu juga dari Mo Kau kita, tapi lantaran laki-laki she Pek, dua puluh tahun yang lalu dia berani mengkhianati Mo kau."

Terunjuk sorot derita dari pandangan Yap Kay, agaknya dia tidak senang mendengar orang menyinggung persoalan ini.

Oleh karena itu, Thi Koh justru mengungkatnya: "Di dalam Mo Kau ada Su-toa-thian-ong dan Su-toa-kongcu, ibumu adalah salah satu di antaranya, akupun satu diantaranya, oleh karena itu seharusnya kau memanggilku kokoh (bibi)."

"Dan kau ingin membunuhku, tentunya itupun salah satu dari sebab musabab itu." ujar Yap Kay.

Thi Koh pun menarik muka, katanya sinis: "Aku tidak menyangkal, murid-murid dari Mo Kau, tiada satupun yang bisa lolos dari hukum undang-undang perguruan."

"Ah, masa?" Yap Kay tidak percaya.

"Bukan saja orang yang bersangkutan selalu dikejar hukuman berat itu, sampaipun keturunannya takkan terhindar pula."

"Aku harap kau suka memahami satu hal." "Coba katakan!"

"Ibuku sudah bukan anggota Mo Kau lagi, sejak lama beliau sudah tiada sangkut pautnya dengan kalian."

"Siapapun sekali dia masuk anggota Mo Kau, selama hidupnya dia tetap menjadi warga Mo Kau, hubungan tali temali ini selamanya tak pernah putus."

Tawar suara Yap Kay: "Kalau kau seorang pintar, sekarang tidak pantas kau berkata demikian."

"Kenapa?"

"Sekarang agaknya kau harus menunggu hukuman apa yang akan ku jatuhkan kepadamu."

"Maksudku hanya ingin supaya kau mengerti, "debat Thi Koh, "di dalam aliran darahmu ada pula darah kita, asal kau suka berpaling dan kembali ke haribaan kita, sembarang waktu kita akan menyambutmu dengan tangan terbuka."

"Aku akan selalu ingat hal ini." ujar Yap Kay.

"Yang terang dia tidak akan sudi kembali." sela Ting Hun- pin.

"Kalau begitu kalian akan menyesal di kelak kemudian hari," kata Thi Koh, "ketahuilah, akhir-akhir ini di puncak Sin-san, Mo Kau sudah menegakkan ajarannya dan membangun kembali kekuatannya. Salah satu hasil keputusan dari pertemuan Su-thoa-thian-ong dan Su-thoa- kongcu adalah menghukum berat setiap murid-murid murtad."

"Oleh karena itu, kau memperingati aku supaya hati- hati." "Selama lima puluh tahu terakhir ini, hanya ada lima murid-murid murtad dalam Mo Kau, empat diantaranya sudah mampus."

"Jadi ketambahan aku semuanya lima?" "Tidak Salah! Kau adalah yang ke lima."

"Sayang sekali, aku masih segar bugar dan takkan gampang dibuat mati."

"Kau dapat lolos untuk yang pertama dan belum tentu lolos untuk yang kedua, ketiga dan seterusnya, sehari kau belum mampus, setiap detik setiap saat kau harus waspada, maka jangan harap di dalam mengarungi kehidupan sebagai manusia ini, kau bisa hidup tentram dan damai."

"Aku cukup tahu!", ujar Yap Kay. "Kau tidak perduli?"

"Aku amat perduli, akupun amat takut."

"Kalau begitu, lekaslah ku bawa Siangkwan Siau-sian dan ikut aku pulang, tebuslah dosa dan hukumanmu dengan jasa- jasa baik."

Yap Kay menyengir tawa.

"Apa yang kukatakan bukan lelucon yang menggelikan." "Akupun  amat  takut  bila  ada  anjing  menggigitku,  tapi

memangnya aku harus jadi anjing, makan tahi dan minum  air

seni?"

Ting Hun-pin terpingkal-pingkal, saking geli sampai ia memeluk perut dan terbungkuk-bungkuk.

Sebaliknya selembar muka Thi Koh membesi hijau. "Sejak pertama aku tahu kalian mengatur tipu daya hendak menghadapi aku, tapi apa yang dilakukan sekarang bukan maksudku hendak menghadapi kalian."

Thi Koh melengak keheranan.

"Jikalau untuk menghadapi kalian, hakekatnya aku tidak perlu membuang banyak tenaga."

"Sudah tentu kaupun tahu bahwa Wi Thian-bing dan Bak Pek hendak menghadapimu, oleh karena itu kau sengaja memberi peluang kepada kami hingga berhasil, dan mereka dipaksa untuk bentrok dengan kami, semua pihak saling cakar dan bunuh, kau akan memungut keuntungannya."

Yap Kay geleng-geleng kepala sambil menghela napas, ujarnya: "Kalau hanya untuk menghadapi Wi Thian-bing dan Bak Pek, aku lebih tidak perlu memeras keringat."

"Memangnya kau kira gampang menyuruhnya menyaru jadi perempuan?" sela Ting Hun-pin tertawa.

"Lalu untuk menghadapi siapa kau melakukan semua ini?" tanya Thi Koh.

"Menghadapi seseorang yang lain. Orang ini jauh lebih menakutkan daripada kalian digabung menjadi satu."

Thi Koh menyeringai dingin, dia tidak percaya.

"Kami kemari sebetulnya kalian tidak mungkin tahu," kata Yap Kay pula.

Mau tidak mau Thi Koh harus mengakui hal ini.

"Tapi orang ini justru sudah tahu sebelumnya, oleh karena itu dia sengaja menyebarkan berita di luar supaya kalian meluruk kemari mencariku." "Beberapa bulan yang lalu, memang kita menerima sepucuk surat tanpa diketahui siapa pengirimnya," demikian tutur Thi Koh, "yang tertulis di dalam surat adalah rahasiamu dengan Siangkwan Siau-sian. Kalau tiada surat itu, hakekatnya kita tidak punya maksud mengerjai kau."

"Kalian menerima surat kaleng yang aneh, memangnya tidak merasa heran?"

"Soalnya dia menjelaskan dalam suratnya bahwa kau adalah musuhnya, tujuan surat itu hanya ingin meminjam tangan kita untut menuntut balas sakit hatinya."

"Alasan yang masuk di akal." ujar Yap Kay.

"Setelah kita selidiki, ternyata apa yang ditulis dalam surat memang tidak bohong, oleh karena itu baru kami berkeputusan untuk turun tangan." demikian Thi Koh menjelaskan lebih lanjut, katanya: "Apa kau tidak tahu siapa penulis surat itu?"

"Untuk menebaknya pun tidak bisa." sahut Yap Kay. "Gerak-gerikmu diketahui begitu jelas, tapi kalian tidak

tahu siapa dia sebenarnya?"

"Justru karena itulah maka kurasa amat menakutkan." ujar Yap Kay, "kukira setelah kalian berhasil, dia akan muncul sendirinya."

"Maka kau selalu menunggunya. Sayangnya secara tidak sengaja kami membongkar rahasiamu, maka kau tidak sempat menunggu perkembangan lebih lanjut." "Agaknya dia memang tidak suka berhadapan langsung dengan aku, kalau tidak mengapa harus berlarut sedemikian jauh?"

Tiba-tiba Thi Koh tertawa, katanya: "Kenapa tidak segera kau tinggal pergi saja?"

"Memangnya aku harus pergi demikian saja?"

"Kalau tidak pergi begini saja, memangnya kau hendak membunuhku lebih dulu?"

Yap Kay tersenyum, katanya: "Apakah orang-orang Mo Kau tidak boleh dibunuh?"

"Terserah kepadamu sendiri, yang terang aku berani tanggung, siapapun yang mencari gara-gara dengan Mo Kau, dia takkan memperoleh ahsil yang baik dan kau akan menyesal seumur hidup."

Yap Kay hanya menyengir saja.

"Perlu ku peringatkan kepadamu," kata Thi Koh lebih lanjut, "Li Sin-hoan pun tidak berani bermusuhan dengan Mo Kau, apalagi kau. Jangan lupa kau membawa gadis boneka yang masih hijau, kalau terjadi apa-apa atas dirinya, kau takkan bisa memberikan pertanggungan jawab."

Tak tahan Yap Kay melirik ke arah Siangkwan Siau-sian.

Saat mana Siangkwan Siau-sian sedang menggendong bonekanya dan menepuk-nepuknya seperti menana-bobokkan orok kecil. Kini dia angkat kepala sambil tertawa berseri, katanya: "Popo sudah tidur, tadi kau menolongnya, sekarang kau boleh membopongnya. Bukankah sudah lama kau tidak pernah menggendongnya?" Yap Kay pelototkan matanya, katanya: "Dia ngompol tidak?"

"Popo anak sayang, dia tidak ngompol." sahut Siangkwan Siau-sian.

Dengan langkah riang dan lincah dia datang menghampiri, pelan-pelan dan hati-hati dia angsurkan bonekanya kepada Yap Kay.

Terpaksa Yap Kay menerimanya, katanya tertawa getir: "Biar aku membopongnya sebentar saja, biasanya aku gampang bosan."

Siangkwan Siau-sian menarik tangan Ting Hun-pin, katanya tertawa: "Setelah dia, kaupun boleh membopongnya."

Lekas Ting Hun-pin geleng-geleng kepala, katanya: "Kemarin aku sudah membopongnya, pekerjaan yang meringankan hati tidak boleh dilakukan setiap hari, seperti juga orang makan gula-gula. "

Tiba-tiba suaranya terputus, rona mukanya berubah, matanya melotot kaget mengawasi Siangkwan Siau-sian, teriaknya tertahan: "Kau................." baru sepatah kata tercetus dari mulutnya, seketika dia tersungkur jatuh.

Pada saat yang sama, dari dalam perut boneka berbunyi 'Plok. ' rona muka Yap Kay seketika berubah, mendadak dia

menjengking seperti orang kesakitan yang dipukul perutnya. Kedua tangannya terlepas, sehingga boneka tanah liat yang dipegangnya terlepas jatuh dan 'pyaaarrr...' hancur berantakan. Sebuah benda bundar kemilau ketika menggelundung keluar dari dalam pecahan boneka itu, kiranya itulah sebuah kepelan baja yang dibuat sedemikian bagusnya dengan pegas-pegasnya yang kuat.

Kedua tangan Yap Kay masih memeluk perutnya, saking sakit keringat dingin berketes-ketes, ingin bicara mulut hanya megap-megap.

Siangkwan Siau-sian memonyongkan mulut, katanya: "Coba lihat, kau banting hancur Popoku, tak heran perutmu kesakitan."

Yap Kay mengawasinya, sorot matanya mengandung takut dan keheranan. Mendadak dia menggerung: "Kau......" belum banyak ucapannya dia sudah roboh tersungkur.

Thi Koh pun berubah air mukanya, perubahan yang beruntun ini sungguh amat mengejutkan hatinya.

Hanya Nyo Thian saja yang berdiri adem-ayem mengulum senyum simpul, sebelah tangannya masih memeluk Sim Koh.

Sekilas Thi Koh melotot kepadanya, lalu dia berpaling mengawasi Siangkwan Siau-sian.

Siangkwan Siau-sian sedang berseri tawa, tawa yang manis dan genit, sikapnya yang linglung kekanak-kanakan tadi sudah tak berbekas lagi dimukanya.

"O, kau! Kiranya kau!" ujar Thi Koh menghela napas. "Kaupun tak mengira bukan?" tanya Siangkwan Siau-sian. "Sungguh, mimpipun tak pernah kukira."

"Kaupun mengagumi aku?" "Tak mungkin aku tidak mengagumi kecerdikanmu."

Siangkwan Siau-sian tepuk tangan gembira: "Tak nyana ada juga orang yang mengagumi aku, sungguh senang ke pati-pati."

"Yap Kay juga pasti mengagumimu." ujar Thi Koh, "sepenuh hati dia melindungi kau, tak nyana bahwasanya kau tidak perlu dilindungi, dengan seksama dia berusaha mencari biang keladi orang yang hendak mencelakainya, tak nyana orang yang dicari-carinya adalah kau sendiri." setelah menghela napas dia berkata pula: "Yap Kay, Yap Kay, kau kira dirimu pintar, anggap dirimu jempolan, yang benar seujung jari orangpun kau bukan apa-apanya."

Siangkwan Siau-sian cekikikan, ujarnya: "Apa kau sudah lupa aku ini putrinya siapa?"

"Sejak mula seharusnya aku ingat......" sahut Thi Koh getir.

Memang putri keturunan Siangkwan Kim-hong dengan Lim Sian-ji mana mungkin seorang linglung.

Tabir malam mulai menghilang, sinar lampu menjadi guram. Sinar mata Siangkwan Siau-sian malah menyala, siapapun yang melihat dirinya sekarang, takkan percaya bahwa gadis gede yang semula dianggap seperti boneka ini adalah gadis linglung yang berjiwa kanak-kanak.

"Agaknya Ah Hwi pun kau kelabui."

"Memang laki-laki dilahirkan untuk ditipu oleh perempuan." "Mereka kira kau ini linglung, orang pikun, justru kebalikannya yang pikun bukan kau, tentunya dalam pandanganmu, mereka itulah baru benar-benar orang pikun."

"Laki-laki yang tidak pikun memang sedikit jumlahnya," ujar Siangkwan Siau-sian.

"Nyo Thian bukan?" "Sudah tentu dia bukan."

"Hanya kau yang tahu rahasianya?"

"Seorang gadis harus punya laki-laki yang menjadi sandarannya, kalau tidak bukankah dia akan selalu kesepian?"

"Lalu siapa yang menulis surat itu? Kau atau dia?"

"Sudah tentu dia yang menulis, tulisannya lebih elok dari tulisanku."

"Agaknya rencanamu memang sempurna, tak heran Yap Kay sendiripun kau kelabui."

"Untuk mengelabui dia memang bukan kerja yang gampang."

"Sayang sekali kau masih salah melakukan satu hal." "Hal apa?"

"Seharusnya pihak kita tidak perlu kau jebloskan ke dalam pertikaian ini." ujar Thi Koh, "sudah kukatakan perduli siapapun, bila berani cari gara-gara dengan Mo Kau, dia tidak akan memperoleh manfaat apa-apa, malah bukan mustahil bencana akan selalu mengintainya. Demikian pula keadaanmu." "Siapa bilang aku hendak mencari permusuhan dengan kalian? Hakekatnya aku tiada maksud ini."

"Tapi kau..."

Siangkwan Siau-sian menukas: "Tahukah kau Kaucu kalian yang baru saja menduduki jabatannya ada mengikat janji dengan seseorang?"

Seketika berubah muka Thi Koh, sudah tentu dia tahu, namun tak pernah terpikir olehnya bahwa Siangkwan Siau- sian pun mengetahui hal ini, bahwasanya hal itu amat rahasia.

Siangkwan Siau-sian tertawa, katanya: "Tahukah kau siapakah orang yang mengikat janji dengan Kaucu kalian yang baru itu?"

Tiba-tiba bersinar biji mata Thi Koh, katanya: "Memangnya orang itu adalah kau?"

"Seharusnya kau bisa menduganya," ujar Siangkwan Siau- sian, "toh kau tahu bahwa Kaucu kalian adalah tokoh yang cerdik pandai dan cendekia, lihay lagi. Jikalau sebelumnya kita tiada ikatan janji, memangnya dia sudi hanya karena sepucuk surat kaleng mengerahkan begitu banyak tenaga dan menghabiskan banyak energi?"

"Apa dia tahu bahwa surat itu adalah tulisanmu?"

"Hal itu kulaksanakan setelah kita berunding cukup masak, mana mungkin dia tidak tahu."

Thi Koh tertawa sekarang, katanya: "Setiap langkah kerjamu seolah-olah orang lain takkan pernah menduganya." "Kalau aku bukan orang seperti yang kau bayangkan, masakah Kaucu kalian sudi berserikat dan mengikat janji segala dengan aku?"

Tak tahan Sim Koh yang masih lemas tertutuk dipeluk Nyo Thian itu menyeletuk: "Kalau kau adalah serikat kita, kenapa tidak segera kau bebaskan aku?"

"Wah, ya, hampir saja kulupakan!" ujar Siangkwan Siau- sian, "Nyo Thian, kenapa tidak segera kau bebaskan Hiat-to nona ini?"

Nyo Thian mengiyakan. Dengan senyum dia tepukkan telapak tangannya.

Mendadak Sim Koh menjerit mengerikan, darah menyembur dari mulutnya, badannya bergetar keras terus menjengking, ternyata tulang punggungnya tertepuk patah mentah-mentah.

Siangkwan Siau-sian mengerut alis, katanya: "Aku hanya suruh kau membuka Hiat-to nya, kenapa kau gunakan tenaga sekeras itu?"

"Bukankah aku sudah membuka Hiat-to nya?" "Tapi dia kau pukul mampus."

Tawar jawaban Nyo Thian: "Tugasku hanya membuka Hiat-to nya, peduli dia hidup atau mati."

Siangkwan Siau-sian tersenyum ewa, katanya: "Alasanmu memang masuk di akal."

Belum habis dia bicara, tiba-tiba Thi Koh melambung ke atas terus jumpalitan keluar, menerjang ke arah pintu. Sayang sekali sebelum dia melayang keluar, jalannya sudah buntu dicegat Siangkwan Siau-sian. Terpaksa dia beratkan badan melorot turun di tengah jalan. Tanpa membuang waktu, dengan kertak gigi sekali renggut dia tarik rambut kepalanya, sigap sekali jari-jari tangannya membalik melolos sebilah pisau melengkung. Di mana pisau berkelebat, bukan menyerang Siangkwan Siau-sian, tapi malah menusuk ke pundak sendiri.

Tak nyana lengan baju Siangkwan Siau-sian terayun dan dari dalam lengan bajunya terbang seutas selendang sutra laksana ular sakti saja membelit pergelangan tangannya sehingga orang tak bisa berkutik lagi.

Beringas muka Thi Koh, sentaknya: "Aku ingin matipun tidak boleh?"

"Sudah tentu kau boleh mampus, tapi aku tak ingin kau mampus di tanganmu sendiri."

"Aku toh tidak akan membunuhmu."

"Aku tahu, tapi kau hendak menggunakan Sin-to-hoat- hiat (golok sakti berubah darah) dari Mo-hiat-tay-hoat untuk menghadapiku. Waktu darahmu muncrat, asal setetes saja menyentuh badanku, aku bisa mati, kan lebih baik kalau aku kau gorok saja dengan pisaumu?"

"Kau juga tahu Mo-hiat-tay-hoat?"

"Tidak banyak yang kutahu, tapi sepuluh ilmu sakti Mo Kau jelas kuketahui."

Tiba-tiba Thi Koh pentang mulutnya, seperti hendak menggigit putus lidahnya. Tapi dagunya tiba-tiba dijepit, sakitnya luar biasa. Gerak-gerik Siangkwan Siau-sian seakan lebih cepat dari jalan pikirannya. Gemetar dingin sekujur badan Thi Koh.

"Tadi sudah kukatakan, sepuluh ilmu sakti dari Mo Kau kalian tiada gunanya kau paparkan di hadapanku, malah aku bisa mendemonstrasikan dua macam diantaranya di hadapanmu." tiba-tiba dia lepaskan dagu Thi Koh, merebut pisau melengkung di tangan orang, terus diangsurkan ke dalam mulutnya, seperti makan pisang saja nikmatnya dia gerogoti ujung pisau melengkung itu dan ditelan bulat-bulat. Lau dengan tersenyum dia berkata pula: "Kau saksikan sendiri, Kiau-thi-tay-hoat kalian bukankah akupun bisa menggunakan?"

Mencotot biji mata Thi Koh saking ngeri dan ketakutan, suaranya serak: "Kau.......... apa yang sebenarnya kau inginkan?"

"Seharusnya kau tahu sendiri, kenapa masih tanya kepadaku?"

"Kau adalah serikat Kaucu, kenapa kau tega turun tangan sekeji ini kepada kami?"

"Justru karena aku serikatnya, maka dia tidak akan menduga aku tega turun tangan keji terhadapmu, aku lebih leluasa dan boleh lega hati membunuh kalian." lalu dengan tersenyum sadis dia menambahkan: "Kau pernah bilang, mimpipun orang tidak pernah menduga akan tindakan kami."

Belum habis dia bicara, tangannya tiba-tiba bergerak, pisau melengkung yang tersisa separo tahu-tahu menghunjam tenggorokan Thi Koh. Melotot besar biji mata Thi Koh, tak sempat mengeluarkan sepatah kata, pelan-pelan dia terjungkal roboh.

Dengan mendelong Siangkwan Siau-sian mengawasi badan orang roboh, katanya menghela napas: "Selamanya tak pernah terasa olehnya bahwa membunuh orang adalah kerja yang tak menggembirakan, kenapa banyak orang justru senang membunuh orang?"

(Bersambung ke Jilid-6 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar