Rahasia Mokau Kauwcu Jilid 04

 
Jilid-04

"Yang tahu rahasia ini hanya Ki Bu-bing, tapi orang yang satu ini tak kemaruk harta, maka selama puluhan tahun, belum pernah timbul ambisi atau ketamakannya untuk mengeduk harta kekayaan yang berlimpah-limpah itu."

"Memang, Ki Bu-bing adalah bayangan Siangkwan Kim- hong."

"Ilmu silatnya amat ganas, serangannya tak kenal kasihan, maka tiada orang berani mengusik padanya, apalagi jejaknya tidak menentu, umpama ada orang ingin mencarinya, selamanya takkan bisa menemukan dia."

"Umpama berhasil menemukan dia, tentu jiwanya melayang di pedangnya." timbrung Lam-hay-nio-cu.

"Tapi belakangan dia memberitahu rahasia ini pada seseorang."

"O, kepada siapa?" tanya Lam-hay-nio-cu ketarik.

"Dia memberitahu rahasia ini kepada keturunan atau darah daging Siangkwan Kim-hong satu-satunya."

"Siangkwan Siau-sian maksudmu?" "Benar, memang Siangkwan Siau-sian. Oleh karena itu bukan saja dia gadis tercantik di seluruh jagat ini, dia pula gadis yang terkaya di seluruh dunia, ditambah ilmu silat peninggalan Siangkwan Kim-hong, siapapun yang menemukan dia, bukan saja dapat menjulang tinggi menjadi manusia yang terkaya di seluruh kolong langit, kelak akan menjadi tokoh silat kosen yang tiada bandingannya, sudah tentu daya tariknya teramat besar bagi manusia yang tamak."

"Sayang dia tidak mengetahui, karena dia tidak lebih hanya seorang gadis cilik yang baru berusia tujuh delapan tahun."

"Oleh karena itu untuk melindungi dan menjaga gadis seperti ini, boleh dikata tak mungkin terlaksana."

"Mungkin saja."

"Kalau orang lain tidak mungkin melindungi dia, tapi Yap Kay pasti mungkin."

Wi Thian-bing tertawa dingin, katanya: "Umpama kata Yap Kay benar-benar tunas muda yang luar biasa bakatnya, ilmu silatnya sudah memuncak tingkat yang tiada bandingannya di seluruh jagat, hanya tenaga dia seorang, memangnya mampu menghadapi puluhan tokoh-tokoh kosen kelas wahid dari seluruh pelosok dunia ini?"

"Yang terang dia tidak hanya seorang diri." sahut Lam- hay-nio-cu tegas.

"Tidak seorang diri? Lalu dengan siapa?"

"Memang tidak sedikit yang ingin membunuh dia dan merebut Siangkwan Siau-sian, tapi demi kesetiaan dan budi pekerti, tidak sedikit pula orang-orang yang bertekad melindunginya."

"Kesetiaan dan budi pekerti masa lalu?"

"Jangan lupa dia adalah pewaris Siau-li Tham-hoa satu- satunya, dan yang pernah mendapat budi pertolongan Li Sin- hoan tidak sedikit jumlahnya."

"Peristiwa sudah berselang sekian tahun, umpama orang- orang itu belum mati, tentu sudah melupakan hutang budinya, budi lebih cepat dilupakan orang daripada dendam kesumat."

"Sedikitnya masih ada seorang yang tidak pernah melupakannya."

"Siapa?"

"Aku!", sahut Lam-hay-nio-cu.

Seluruh hadirin tersentak kaget oleh jawaban pendek dan tegas ini.

"Jikalau kalian kira aku kemari juga ingin merebut Siangkwan Siau-sian, maka meleset jauh dugaan kalian."

"Lalu apa maksudmu mengundang kami kemari?"

"Tidak lebih hanya satu permintaanku, sukalah pandang mukaku, batalkan niat kalian semula."

"Kau minta kami melepaskan Yap Kay?" "Begitulah."

"Jikalau kami tidak setuju?" "Kalau begitu bukan saja kalian lawan Yap Kay, kalianpun akan jadi musuhku, maka untuk keluar dari rumah ini, kukira bukan pekerjaan mudah."

Mendadak Wi Thian-bing terloroh-loroh, serunya: "Aku mengerti, akhirnya aku mengerti."

"Kau mengerti apa?"

Tiba-tiba terhenti loroh tawa Wi Thian-bing, katanya: "Kau minta kami membatalkan niat, hanya karena kau ingin mencaploknya sendiri, sengaja kau agulkan Yap Kay setinggi langit segagah naga, yang terang kau sudah mencari akal jahat untuk menghadapinya."

Suara Lam-hay-nio-cu berubah, katanya: "Wi-pat-ya, kau pandanglah aku."

Wi Thian-bing malah berpaling muka ke lukisan di pintu angin, katanya dingin: "Kau hendak gunakan Kou-hun-sip-tay- hoat dari Mo Kau untuk menundukkan aku, kau salah alamat."

"Aku hanya ingin memperingatkan kepadamu tiga puluh tahun yang lalu, aku pernah melepasmu tanpa kurang suatu apa."

"Benar, tiga puluh tahun yang lalu, aku hampir mampus di tanganmu."

"Waktu itu kau bersumpah berat, asal aku melihatmu lagi, perduli apapun yang kuperintahkan, kau tidak akan menolak, kalau sebaliknya kau rela terbunuh mampus dengan badan tercacah hancur lebur." sampai di sini suaranya semakin seram menggiriskan. "Apa kau masih ingat akan sumpahmu dulu itu?" "Sudah tentu aku masih ingat, hanya. "

"Hanya apa lagi?"

"Waktu itu aku bersumpah terhadap Lam-hay-nio-cu." "Aku inilah Lam-hay-nio-cu!"

"Kau bukan!" seru Wi Thian-bing geram seraya mendelik beringas, "Lam-hay-nio-cu sudah lama meninggal, kau kira aku tidak tahu?"

Bak Pek yang biasanya tenang seketika terkesima dan tersentak kaget mendengar kabar ini.

Kata Wi Thian-bing lebih lanjut: "Waktu berada di belakang gubuk rumput itu, kau tanya aku kenapa aku tidak mengenal suaramu, waktu itu juga aku sudah tahu, kau pasti bukan Lam-hay-nio-cu, maka dia tentu sudah meninggal, kalau tidak masakah aku berani kemari?"

Lama berdiam diri, akhirnya suara misterius itu berkata kalem: "Cara bagaimana kau bisa tahu?"

"Karena selamanya tak pernah kau mengajukan pertanyaan ini."

"Kenapa?"

"Karena aku tak bisa membedakan suaranya, memang hanya aku laki-laki yang pernah melihat wajah aslinya,  namun selamanya tak pernah aku mendengar sepatah katapun suaranya." tawa Wi Thian-bing amat aneh, katanya lebih lanjut: "walau kau tahu. aku adalah laki-laki yang pernah melihat wajahnya dan masih hidup sampai sekarang, namun kau tak mungkin tahu apa yang pernah terjadi antara kami berdua, karena dia takkan memberi tahu hal itu kepadamu."

Lama suara misterius itu diam, akhirnya tak tahan dia bertanya: "Kenapa?"

"Karena itu rahasia, tak ada orang di kolong langit ini yang tahu akan rahasia itu." terunjuk cahaya cemerlang di wajahnya yang berseri lebar pada muka si orang tua ini, seolah-olah kembali pada masa dulu, diliputi impian muluk- muluk di masa remajanya. Maka tercetuslah sebuah cerita yang tak ubahnya seperti dongeng jaman kuno.

"Tiga puluh tahun yang lalu, aku adalah pemuda yang suka menimbulkan gara-gara dimana aku berada. Suatu hari aku membuat onar di daerah Biau-kiang, terpaksa aku melarikan diri ke atas gunung sembunyi di dalam hutan belantara, tak kusadari aku tersesat di atas gunung belukar."

"Di Biau-san, dimana-mana kau dapat bertemu dengan ular atau binatang liar, malah di sana-sini kau bisa menghirup hawa beracun, untuk menghindari dan menyelamatkan diri dari Tho-hoa-ciang yang selalu muncul pada magrib, maka aku sembunyi dalam gua yang amat dalam."

"Gua ini adalah sarang rase, karena lapar aku berburu rase untuk mengisi perut, dan karena aku mengejar rase itulah akhirnya aku mengalami peristiwa yang selama hidup tak pernah kulupakan."

Sorot mata setajam golok tadi berubah lembut dan hangat, lalu dia lanjutkan ceritanya: "Aku kejar rase itu ke dalam sehingga mencapai ujung gua, akhirnya kutemukan di belakang dinding gunung bagian bawahnya ada sebuah jalan keluar pula yang tersembunyi."

"Setelah aku bersihkan semak-semak rotan, aku lantas keluar, tak lama kemudian kudengar suara gemerciknya air, aku menyusuri aliran sungai ke depan, aku tiba di alam terbuka dan di luar gua merupakan alam permai laksana di tempat dewata."

"Waktu itu kebetulan musim semi, ratusan kembang mekar bersama, pepohonan menghijau permai laksana permadani, air terjun mencurah ke bawah, air terasa hangat dan hawapun sejuk. Maka di bawah pancuran air yang bening laksana sebuah jambangan itu, kudapati seorang gadis sedang mandi."

Sampai di sini ceritanya berhenti, namun orang banyak tahu siapa gerangan gadis yang ditemuinya sedang mandi itu.

Pandangan mata Wi Thian-bing terpantul di tempat jauh, seolah-olah dia melihat pula lembah pegunungan nan indah permai itu, seperti menghadapi gadis rupawan yang sedang keluar dari air.

"Waktu itu diapun masih amat muda, rambutnya yang panjang terurai berwarna hitam legam, halus mengkilap, laksana benang sutra layaknya, terutama sepasang matanya yang jeli bening, selama hidupku belum pernah aku saksikan sepasang mata perempuan seindah dan seelok kedua matanya itu. Seperti orang linglung aku mengawasinya dengan kesima, seolah-olah aku sudah kehilangan kesadaran." "Semula kelihatannya dia amat gugup dan malu serta marah, namun lambat laun gejolak hatinya mulai reda, kami lantas beradu pandang tanpa bersuara. Begitulah entah berapa lamanya kami beradu pandang tanpa berkesip, tiba- tiba terkulum senyuman mekar pada mukanya, bak kuntum kembang yang paling elok di seluruh jagat ini, mekar bersama pada raut mukanya."

"Tanpa sadar aku maju menghampirinya, tak kusadari bahwa di depanku adalah jambangan, lupa bahwa aku mengenakan sepatu. Boleh dikata apapun sudah kulupakan, hanya satu keinginanku, memeluknya. "

Hadirin yang mendengarkan mengunjuk rasa iri dan kepingin, mereka lantas membayangkan adegan mesra dan hangat serta hot.

Lama sekali baru Wi Thian-bing menghela napas, melanjutkan ceritanya: "Sejak permulaan kita tidak pernah mengucapkan sepatah kata, jadi siapa nama masing-masing kami tidak pernah saling tanya. Semua kejadian berjalan secara wajar, tanpa paksaan sedikitpun, tidak kikuk-kikuk, seolah-olah Yang Maha Esa memang sudah mengatur pertemuan kami berdua di tempat yang sepi itu."

"Setelah cuaca menjadi gelap seluruhnya, waktu dia hendak pergi, baru aku tahu siapa dia sebetulnya, karena pada waktu itu aku menemukan di atas jidatnya yang tertutup rambut, terukir sekuntum kembang teratai yang hitam, itulah pertanda khas Lam-hay-nio-cu. Di saat aku kaget keheranan, tanpa sadar aku melakukan kesalahan yang akan menjadi penyesalan besar seumur hidupku. Tanpa terasa tercetus namanya dari mulutku. Seketika sikapnya berubah, wajahnya nan ayu lembut seketika dilambari nafsu membunuh yang berkobar, dia menyerangku dengan Toa- thian-mo-jiu, ilmu kepandaian yang paling menakutkan dari Mo Kau, seakan-akan dia hendak mengorek keluar jantungku."

"Aku tidak berkelit, kenyataan memang aku tidak mampu berkelit. Waktu itu aku merasa dapat mati ditangannya sungguh merupakan suatu hal yang membahagiakan hidupku. Mungkin karena sikapku ini, dia tidak tega turun tangan, sebetulnya sudah terasa olehku jari-jari tangannya yang runcing halus itu menusuk dadaku, aku sudah pejam mata menunggu ajal."

"Akan tetapi, dia menarik tangannya, waktu aku membuka mata pula, bayangannya sudah hilang. Tabir malam sudah menyelimuti lembah gunung itu, namun pemandangan lembah gunung itu tetap kelihatan indah permai, namun dia menghilang begitu saja seperti di tiup angin lalu. Seperti baru sadar dari mimpi, jikalau dadaku tidak mencucurkan darah, sungguh aku tidak percaya bahwa yang kualami itu memang kenyataan."

"Aku berlutut di atas tanah, mohon dia kembali, supaya aku dapat melihatnya sekali lagi, namun aku tahu dia tak mungkin kembali. Oleh karena itu aku lantas bersumpah, asal aku bisa bertemu sama dia pula, apapun yang dia perintahkan pasti takkan kutolak. Akan tetapi sejak hari itu, untuk selamanya aku tak pernah melihatnya lagi, selamanya tak........" suaranya semakin lirih, lalu diakhiri dengan hembusan napas panjang. Itulah cerita yang elok, memilukan dan penuh diliputi suasana khayal dan misterius. Begitu indahnya sehingga kedengarannya mirip dongeng. Tapi hadirin tahu cerita ini bukan impian, juga bukan dongeng. Asal kau mengawasi mimik perubahan muka Thi Koh dan Wi Thian-bing, maka kau akan tahu bahwa cerita ini adalah kenyataan. Raut muka Thi Koh yang semula dingin kaku dan bengis, kini berubah seperti diliputi kepedihan, kaget dan heran.

Demikian pula rona muka Sim Koh ikut berubah. Hanya patung Koan-im Posat yang membawa setangkai dahan pohon Yang-liu masih tetap tersenyum di antara kepulan asap dupa.

Entah berapa lama kemudian, Wi Thian-bing sudah tenang kembali, katanya dingin: "Oleh karena itu aku tahu Lam-hay-nio-cu sudah meninggal, akupun tahu dari Mo Kau ada semacam kepandaian bicara dari perut, dengan menggunakan patung ini, kalian ingin menggertak aku, sungguh terlalu jenaka kalian."

Sim Koh tiba-tiba berkata: "Benar, memang kami bicara meminjam patung Koan-im ini, tapi apa yang kuucapkan sama saja hasilnya."

"Hasil apa?" tanya Wi Thian-bing.

"Jikalau kau masih ingin mengincar Siangkwan Siau-sian, aku tanggung kau akan menyesal."

Wi Thian-bing tertawa gelak-gelak, katanya: "Sejak umur tiga puluh Wi-pat mengembara, selama lima enam puluh tahun berkecimpung di kalangan Kang-ouw, sampai sekarang belum pernah aku menyesal lantaran sesuatu yang pernah kulakukan." "Jadi kau bertekad merebutnya?"

"Harapanku supaya kalian membagi semangkok nasi kepada orang banyak, jangan kau monopoli sendiri."

"Baik! Mengingat hubunganmu dengan Cosuya kita dahulu, sekarang masih kuberi kesempatan kepadamu untuk keluar dengan masih hidup."

"Selanjutnya?" tanya Wi Thian-bing.

"Setelah kau keluar dari rumah ini, selanjutnya kau adalah musuh besar Lam-hay-bun kita, maka kuanjurkan lekas kau persiapkan urusan belakangmu, mungkin sembarang waktu jiwamu bisa melayang."

Tawar suara Wi Thian-bing: "Mengingat hubunganku dengan Lam-hay-nio-cu dulu, aku tidak akan menindas orang muda, apalagi terhadap kalian, hanya. "

"Hanya apa?"

"Jikalau kalian benar-benar menentang kehendakku, belum tentu kalian bisa berumur panjang." dengan tertawa dingin tiba-tiba dia mencelat bangun, katanya kepada Bak Pek: "Pertikaian kita sementara ini biarlah dianggap lunas, sejak sekarang kau lawan atau temanku, terserah kepadamu sendiri." habis bicara tanpa berpaling lagi dia beranjak keluar.

ooo)dw(ooo

Kabut tebal hawa dingin, jagat raya diliputi kepekatan malam.

Menyongsong angin malam dingin, Wi Thian-bing menghirup napas panjang, mendadak dia berseru: "Han Tin!" Han Tin selalu membuntutinya, sahutnya: "Ada!" "Tahukah kau di mana letak Biau-hiang-wan?" "Sekarang juga kita sedang ke sana."

"Turun tangan dulu lebih menguntungkan, tentunya kau pernah dengar perkataan ini."

"Tapi Yap Kay. "

"Yap Kay kenapa?"

"Sekarang Yap Kay tentu sudah bersiaga, jikalau sekarang kita menggunakan kekerasan, peduli siapa kalah atau menang, jelas kedua pihak akan mengalami rugi, bukankah pihak lain akan memungut hasilnya?"

"Siapa bilang kita hendak bentrok sama dia?" "Jadi bukan?"

"Sudah tentu tidak." terunjuk senyuman licik selicin rase di ujung mulutnya, katanya: "Secara baik-baik kita ke sana memberikan kabar, langsung bersahabat dengan dia."

Bersinar mata Han Tin, katanya tersenyum: "Karena dulu Siau-li Tham-hoa pernah menanam budi kepada kita, kedatangan kita bukan mencari setori, tapi untuk membalas budi."

"Sedikitpun tidak salah."

"Bahwa Lam-hay-nio-cu sudah meninggal, orang lain tidak perlu dibuat kuatir, kita harus menghasutnya supaya menggunakan kesempatan baik ini, turun tangan lebih dulu menyingkirkan orang-orang yang punya maksud jahat terhadapnya." "Dia orang cerdik pandai, pasti gampang diberi pengertian."

"Apalagi kita masih bisa menjadi tulang punggungnya, peduli siapa yang ingin dia bunuh, kami siap bantu dia angkat golok."

Wi Thian-bing tertawa gelak-gelak, serunya: "Bagus, kau semakin pintar dan tahu urusan, tidak sia-sia kau ku didik selama ini."

Mereka sudah memasuki hutan, hembusan angin membawa serangkum bau harum semerbak. Di tengah kabut tebal di depan sana, tiba-tiba muncul sesosok bayangan orang.

"Siapa di sana?" bentak Wi Thian-bing.

"Inilah aku!" sahut orang itu beranjak maju sambil menunduk, kiranya Sebun Cap-sha.

Seketika Wi Thian-bing menarik muka, bentaknya: "Siapa suruh kau kemari?"

"Tecu ada urusan penting yang perlu kulaporkan kepada kau orang tua," sahut Sebun Cap-sha.

"Urusan apa?"

Sebentar Sebun Cap-sha ragu-ragu, lalu maju mendekat: "Aku tahu Yap Kay. " suaranya mendadak menjadi lirih.

Terpaksa Wi Thian-bing maju mendekat.

Selama hidupnya entah berapa banyak orang yang pernah dibunuhnya, setiap waktu selalu bersiaga kuatir dibunuh orang, namun sekarang mimpipun tak terpikir olehnya, murid terkecil yang paling di sayang ini sudah mempersiapkan sebatang golok untuk menusuk ke dadanya.

Badan kedua orang sudah berhadapan dekat sekali, Wi Thian-bing menyentaknya pula: "Ada urusan apa lekas katakan!"

Terpaksa Sebun Cap-sha menjawab: "Aku ingin kau mampus!"

Mendengar kata 'mampus' baru Wi Thian-bing benar- benar tersentak kaget, namun berkelitpun sudah tidak keburu lagi. Tahu-tahu sebatang golok dingin sudah menusuk lewat jaket kulitnya amblas ke dalam dadanya. Sampai bagaimana rasanya kematian itu seperti sudah dinikmatinya. Untung pada saat-saat gawat itu mendadak Sebun Cap-sha juga menjerit ngeri dan roboh terkapar.

Golok di tangannya berkilauan berlepotan darah segar, darah Wi Thian-bing. Baru sekarang Wi Thian-bing bergetar menahan sakit, baru sekarang dia benar-benar ketakutan menghadapi ajal. Dilihatnya Sebun Cap-sha terlentang di atas salju, biji matanya melotot, kuping, hidung dan mata serta mulutnya mendadak mengucurkan darah segar berbareng, darah yang hitam kental.

Waktu Wi Thian-bing berpaling ke arah Han Tin, Han Tin berdiri terkesima saking kagetnya. Jelas kematian Sebun Cap-sha bukan hasil karyanya, lalu siapakah yang turun tangan secara gelap menolong jiwa Wi Thian-bing? Tak sempat dia memikirkan hal ini.

Di tengah kabut tebal dalam hutan, setiap jengkal mengandung hawa pembunuhan yang tebal pula. Dengan mendekap luka-luka di dadanya Wi Thian-bing banting kaki serta memberi perintah dengan suara berat: "Lekas mundur!"

Mendadak seseorang berkata: "Berdirilah, jangan bergerak, kalau racun di atas golok itu bekerja, jiwamu takkan tertolong lagi."

Suaranya merdu dan genit, maka muncullah sesosok bayangan orang bagai setan gentayangan dari kabut tebal, ternyata adalah Thi Koh.

"Barusan kaukah yang menolong aku?" tanya Wi Thian- bing terbelalak heran.

Thi Koh manggut-manggut.

"Yang suruh dia membunuhku juga kau?" tanya Wi Thian- bing pula.

Thi Koh manggut-manggut pula.

Wi Thian-bing menyurut mundur dua langkah, gemetar: "Jadi kau...........kau.........apakah kau adalah........." agaknya dia tidak berani mengatakan adalah putriku.

Ternyata Thi Koh tidak menyangkal, sorot matanya menampilkan rasa kaku, katanya kemudian: "Selama hidupnya, hanya kau laki-laki yang pernah dimilikinya."

Wi Thian-bing menyurut dua langkah lagi, sekujur badannya gemetar, selama hidupnya Lam-hay-nio-cu hanya mempunyai seorang suami yaitu dirinya. Hatinya entah sedih, haru, heran ataukah senang?

Berkaca-kaca Thi Koh, katanya: "Oleh karena itu aku tidak akan berpeluk tangan melihat jiwamu terancam." Memangnya manusia mana di dunia ini yang tega melihat ayahnya mati dibunuh orang.

Apa benar dia putri kandungnya? Hampir Wi Thian-bing tidak berani percaya, namun tidak bisa tidak dia harus percaya.

Dengan nanar dia pandang mukanya, suatu hal yang menjadi penyesalan seumur hidup adalah dia tidak punya keturunan, siapa tahu menjelang hari tuanya, mendadak muncul seorang perempuan yang mengaku sebagai anaknya, anak yang begini cantik, yang patut dibuat bangga. Tanpa terasa berlinang air matanya, terlupakan olehnya bahwa barusan dia membuat rencana untuk membunuhnya, meminjam tangan orang lain.

Darah lebih kental dari air, binatang buas seperti harimaupun tak pernah makan anaknya sendiri, apalagi manusia. Dengan gemetar, tangan Wi Thian-bing terulur, seakan-akan dia ingin mengelus kepala putrinya, meraba raut mukanya, tapi dia tidak berani. Pada saat itulah dari luar hutan menerjang masuk seseorang yang mengawasinya dengan pandangan kejut dan terkesima, ternyata Sim Koh pun menyusul datang.

Thi Koh menghela napas, katanya: "Sebetulnya kau tak usah kemari."

Dengan kencang Sim Koh gigit bibirnya, mendadak dia berkata dengan suara keras: "Kenapa tidak boleh kemari? Jikalau benar dia ayahmu, berarti kakekku pula, kenapa aku tidak boleh menemui kakekku?"

Wi Thian-bing tertegun, kiranya bukan saja dia sudah punya anak, malah sudah punya cucu. Darah sekujur badannya serasa mendidih, hampir tak tertahan ingin dia menggembor sekeras-kerasnya. Sigap sekali mendadak Sim Koh turun tangan membalikkan badan, sehingga tidak terduga sama sekali, dalam sekejap tujuh Hiat-to di dadanya sudah tertutuk.

Han Tin hanya melongo di tempatnya, sedikitpun dia tidak memberi reaksi. Melihat Sim Koh turun tangan, hendak menolongpun dia sudah tak sempat lagi. Siapa tahu Sim Koh malah membimbing Wi Thian-bing, katanya: "Golok itu sudah berlepotan darah, tentunya dia sudah keracunan, lekas gendong dia dan ikuti aku." Kiranya tutukan Hiat-to yang dia lakukan adalah untuk menolong jiwa Wi Thian-bing.

Han Tin menghela napas, apa yang dia saksikan dan dia dengar hari ini, untuk selama hidupnya takkan pernah dilupakan. Sebesar ini dia hidup, belum pernah dia alami peristiwa aneh seperti ini.

ooo)dw(ooo

Asap dupa di ruang pemujaan masih mengepul tinggi, sehingga pernapasan terasa sesak, asap tebal di dalam rumah tak ubahnya seperti kabut dingin di luar hutan.

Pelan-pelan Han Tin letakkan Wi Thian-bing di atas pembaringan. Di depan meja pemujaan terdapat beberapa kasur bundar, seorang gadis berjubah sutra dengan rambut tergelung tinggi di atas kepala duduk di kasur bundar itu, kelihatan amat cantik. Alisnya turun, mata terpejam, duduk bersimpuh tak bergerak, mirip pendeta samadhi. Di sekian banyak orang beranjak masuk, ternyata dia tidak ambil perduli seperti tidak melihat tidak mendengar. Tapi tak tertahan Han Tin berpaling mengawasinya. Laki- laki mana yang takkan keranjingan melihat perempuan  cantik duduk di depannya, kecuali dia banci. Yang nyata Han Tin adalah laki-laki sejati. Sekilas dia memandang, tak tertahan dia melirik lagi. Mendadak terasa olehnya gadis ini mirip sekali dengan seseorang.

Mirip Ting Ling. Hong-long-kun yang sudah malang melintang di Kang-ouw, kenapa mendadak bisa berubah jadi perempuan? Sudah tentu Han Tin tidak gampang percaya begitu saja, namun semakin dipandang semakin mirip, umpama perempuan ini bukan Ting Ling, pasti dia adalah adik Ting Ling.

Lalu di mana Ting Ling berada? Jikalau dia sudah dibunuh Thi Koh, masakah kakak atau adiknya bisa duduk begitu anteng di sini? Han Tin bukan seseorang yang gampang ketarik pada sesuatu, biasanya diapun tidak suka mencampuri urusan orang lain, tapi sekarang dia benar- benar merasa aneh dan ketarik. Itulah sifat manusia dan Han Tin memangnya seorang manusia.

Thi Koh dan Sim Koh sedang sibuk mengobati luka-luka Wi Thian-bing, seperti tidak memperhatikan dirinya. Tak tertahan Han Tin maju mendekat, panggilnya dengan suara lirih: "Ting Ling."

Gadis jubah sutra tiba-tiba angkat kepala melirik kepadanya, tapi seperti tidak mengenal dirinya, sahutnya geleng-geleng kepala: "Aku bukan Ting Ling."

"Lalu kau siapa?" tanya Han Tin. "Aku adalah Ting Hun-pin." Ting Hun-pin. Agaknya Han Tin pernah mendengar nama ini, bukankah Ting Hun-pin adalah kekasih Yap Kay? Bagaimana mungkin paras mukanya mirip dengan Ting Ling? Memangnya apa sangkut pautnya dengan Ting Ling?

Kini gadis jubah sutra sudah menunduk dan pejamkan matanya lagi.

Thi Koh justru sedang perhatikan gerak-geriknya. Begitu Han Tin berpaling, seketika dia bentrok dengan sorot mata Thi Koh, sinar matanya yang lebih tajam dari ujung golok. Sedapat mungkin Han Tin tenangkan diri, katanya tertawa nyengir: "Beliau sudah lolos dari bahaya, bukan?"

Thi Koh manggut-manggut, mendadak dia bertanya: "Menurut pandanganmu dia Ting Ling atau Ting Hung-pin?"

"Sukar aku mengenalnya." sahut Han Tin. Jawabannya memang jujur, dia benar-benar tidak bisa membedakan.

"Seharusnya kau bisa membedakan, siapapun harus bisa membedakan bahwa dia seratus persen adalah perempuan."

"Sekarang dia memang seorang perempuan." ujar Han Tin.

"Memangnya dulu bukan?"

"Aku hanya heran." ujar Han Tin tertawa. "kenapa Ting Ling mendadak hilang."

"Kau amat memperhatikan dia."

Han Tin meraba hidungnya yang penyok, katanya: "Dia memukul ringsek hidungku."

"Kau ingin menuntut balas?" "Tiada orang yang bisa lolos setelah dia membuat ringsek hidungku."

"Mungkinkah dia mati?"

"Kukira dia bukan laki-laki yang bisa cepat mati." "Tapi kenyataan dia sudah mampus."

"Maksudmu Ting Ling sudah mati?" "Tidak salah."

"Tapi Ting Hun-pin masih hidup."

Lama Thi Koh menatapnya, akhirnya berkata: "Kau sudah melihat jelas?"

Han Tin tertawa pula, sahutnya: "Aku tak bisa membedakan, aku hanya mereka-reka saja."

"Apa pula yang berhasil kau reka?"

"Walau Yap Kay seorang cerdik pandai, tapi terhadap kekasihnya yang asli, tentunya dia takkan berjaga-jaga atau curiga."

"Bagus sekali akalmu."

"Jikalau ada seseorang mampu membokong Yap Kay, lalu merebut Siangkwan Siau-sian dari tangannya, maka orang itu pasti adalah Ting Hun-pin."

"Bagus sekali uraianmu."

"Sayang sekali Ting Hun-pin pasti tak sudi membokong Yap Kay, oleh karena itu. "

"Karena itu bagaimana?" "Jikalau ada seseorang yang bermuka dan berperawakan mirip Ting Hun-pin, maka dia bisa menyamar jadi Ting Hun- pin, bukankah orang ini bakal menjadi alat yang paling berguna dan manjur untuk menghadapi Yap Kay?"

"Bagaimana jikalau orang itu seorang laki-laki?"

"Peduli dia laki-laki atau perempuan, tiada bedanya." sahut han Tin dengan tertawa. "kabarnya ilmu tata rias dari Lam-hay-nio-cu tiada bandingannya di seluruh jagat dan lagi punya cara untuk mengekang denyut nadi kulit daging tenggorokan orang sehingga suara orang itu berubah."

Dingin suara Thi Koh: "Tidak sedikit yang kau tahu." "Jikalau orang ini tidak mau menurut, juga tidak menjadi

soal, karena Lam-hay-nio-cu masih punya semacam cara untuk mengekang dan menguasai daya pikiran seseorang yang dinamakan Kao-hun-sip-tay-hoat."

Lama Thi Koh menatapnya lekat-lekat, katanya pelan- pelan: "Khabarnya orang-orang Kang-ouw memanggilmu Cui- cu (bor atau gurdi)."

"Ah, tidak berani aku menerimanya."

"Kabarnya peduli betapa keras batok kepala seseorang, kau tetap bisa mengebornya sampai bolong."

"Itu hanya kabar angin belaka."

"Tapi kabar angin itu agaknya bukan bualan belaka." "Umpama benar aku punya nama, betapapun aku tetap

adalah didikan Wi-pat-ya sendiri."

"Kau tak usah memperingati aku, aku tahu kau adalah orang kepercayaannya." Han Tin menghela napas lega, katanya: "Cukuplah bila Hujin mengerti akan hal ini, legalah hatiku."

"Bahwa aku membiarkan kau ikut dia kemari, sudah tentu aku tidak perlu pakai tedeng aling-aling lagi kepadamu."

"Banyak terima kasih, Hujin sudi percaya kepadaku." "Apakah kau sudah paham seluruhnya tentang persoalan

ini?"

"Ada sedikit yang belum kupahami." "Coba katakan."

"Apakah Hujin sudah memperhitungkan bahwa Ting Ling akan meluruk kemari?"

"Benar, maka aku sudah siap menunggu kedatangannya." "Tapi cara bagaimana Hujin bisa mengetahui bahwa dia

pasti datang?"

"Ada orang yang memberitahu kepadaku." "Siapakah orang itu?"

"Seorang teman."

"Teman Ting Ling atau menurut dugaan Hujin saja?" "Jikalau bukan teman Ting Ling, cara bagaimana dia bisa

tahu setiap gerak-geriknya?"

Han Tin menghela napas, katanya: "Ada kalanya seorang teman justru jauh lebih menakutkan daripada musuh besar." tiba-tiba dia bertanya pula: "Apa dulu Hujin pernah bertemu dengan Ting Hun-pin?"

"Tidak pernah." "Lalu darimana Hujin tahu bahwa paras Ting Ling mirip Ting Hun-pin?"

"Khabarnya mereka adalah saudara kembar." "O, kembar dampit."

"Menurut adat istiadat keluarga mereka, jikalau yang dilahirkan adalah kembar dampit (laki-laki dan perempuan), maka satu diantaranya harus diberikan kepada orang lain."

"Menurut adat kebiasaan suku bangsakupun demikian." "Oleh karena itu banyak orang-orang Kang-ouw tak tahu

bahwa Ting Ling sebenarnya adalah keturunan keluarga Ting

pula."

"Lalu dari mana Hujin tahu?"

"Seseorang teman memberitahu kepadaku." "Teman yang tadi kau maksudkan itu?" "Benar!"

Han Tin manggut-manggut, ujarnya: "Bahwa dia adalah teman Ting Ling, sudah tentu dia jauh lebih tahu mengenai seluk beluk Ting Ling yang tidak diketahui orang lain?"

"Apakah kau ingin tahu siapakah dia itu?" "Ya, aku ingin tahu kalau boleh." "Kenapa?"

Han Tin tertawa tawar, katanya "Karena aku tidak ingin bersahabat dengannya."

"Agaknya kau memang seorang cerdik dan teliti." "Malah aku ini adalah sebuah gurdi." "Benar, malah gurdi yang punya mata."

"Walau hidungku sudah dipukul ringsek, untung masih tajam untuk mengendus sesuatu."

"Oleh karena itu jikalau kau mau pergi ke suatu tempat dan melihat sesuatu, maka kau akan banyak memberi bantuan kepadaku."

"Silahkan kau katakan." "Kau mau pergi?"

"Umpama Hujin suruh aku menempuh gunung berapi, aku tetap akan melaksanakannya."

Thi Koh menghela napas, katanya: "Tak heran Wi-pat-ya amat percaya kepadamu, agaknya kau memang laki-laki yang setia dan dapat dipercaya."

"Bisa mendapat pujian Hujin, badan Han Tin hancur leburpun takkan menyesal."

Thi Koh tertawa berseri, katanya: "Bukan aku ingin kau pergi mengantar jiwa, aku hanya ingin kau pergi ke Biau- hiang-wan."

"Melihat keadaan Yap Kay?"

"Sekaligus boleh kau tengok keadaan gadis gede berjiwa anak-anak itu."

ooo)dw(ooo

Sesuai dengan namanya, Biau-hiang-wan diliputi harumnya kembang yang semerbak, sinar api masih menyala dan menyorot keluar dari jendela, pada kertas jendela tampak dua bayangan orang, seorang lelaki dan seorang perempuan. Bayangan Tin-cu-heng-te (saudara kembar mutiara) tidak kelihatan, tapi di atas tanah tampak menggeletak sepasang pedang yang kutung, mutiara yang menghias di gagang pedang tampak kemilau di tingkah sinar api yang menyorot dari jendela. Agaknya nasib bersaudara kembar dari kota mutiara teramat jelek.

Sekonyong-konyong daun jendela terbuka. Seorang gadis jelita dengan menggendong boneka kecil terbuat dari tanah liat berdiri di ambang jendela. Kulit mukanya nan halus putih bersemu merah, matanya bundar besar bersinar bening, bibirnya kecil merah seperti delima merekah, kelihatannya begitu lincah dan aleman. Gadis sebesar ini tapi sikap dan tindak-tanduknya tak ubahnya seperti boneka tanah liat yang digendong dalam pelukannya.

Cuma perawakan dan potongan badannya saja yang tidak mirip boneka, setiap jengkal kulit dagingnya seolah-olah memancarkan daya tarik yang hangat dan menggiurkan. Muka kanak-kanak dengan potongan gadis montok dan mempesona, walaupun satu sama lain tidak seimbang, namun secara wajar menjadikan suatu daya tarik yang luar biasa merangsang, daya tarik yang selalu menimbulkan gairah daya kelakian siapa saja yang melihatnya. Memang bukan suatu tugas gampang untuk melindungi perempuan seperti ini.

Di belakangnya ada seorang laki-laki, kelihatan masih muda, tampan dan gagah. Agaknya Yap Kay adalah pemuda yang elok dipandang, sayang dia berdiri rada jauh. Walau dari luar Han Tin dapat melihat bayangannnya, namun dia tidak jelas melihat wajah orang. Dengan menggendong boneka kecilnya, seperti ibu inang yang sedang menina-bobokkan orok kecil, Siangkwan Siau- sian bernyanyi-nyanyi kecil sambil menggoyang badan, suaranya nyaring merdu dan manis.

Terdengar Yap Kay berkata: "Di luar amat dingin, kenapa tidak lekas kau tutup jendela?"

Siangkwan Siau-sian memonyongkan mulut, sahutnya: "Popo amat gerah, Popo ingin menghirup hawa segar."

Yap Kay menghela napas, katanya: "Sudah saatnya Popo tidur."

"Tapi dia tidak bisa tidur," sahut Siangkwan Siau-sian, "semangat Popo masih begini baik."

Yap Kay tertawa getir, katanya: "Malam sudah selarut ini, masih tidak mau tidur, Popo memang anak nakal."

Siangkwan Siau-sian segera berteriak melengking: "Popo bukan anak nakal, Popo amat pintar dan anak baik." lalu diulurkan sebelah tangannya yang putih halus, menggoyang- goyang boneka di pelukannya. Dia mengelus-elus sambil mengawasinya, katanya halus: "Popo jangan menangis, memang dia orang jahat, Popo jangan nangis, Popo minum tetek ibu."

Dia buka baju di depan dadanya, seperti seorang ibu yang meneteki bayinya, dia meneteki boneka itu. Dadanya montok dan padat, matang seperti gadis dewasa umumnya.

Dari kejauhan Han Tin pasang mata, terasa jantungnya berdetak dan melonjak-lonjak hampir keluar dari rongga dadanya. Tak nyana Yap Kay memburu maju, 'Blang...' kontan dia tutup daun jendela. Terdengar suara Siangkwan Siau-sian cekikikan nakal, katanya: "Buat apa kau menarik aku? Apa kau juga minta tetek. ?"

ooo)dw(ooo

Dupa dalam tungku sudah habis, asappun sudah sirna. Wi- pat-ya rebah memejamkan mata, rona mukanya merah, seperti sudah tertidur.

Setelah habis mendengar laporan Han Tin, Thi Koh lantas bertanya: "Begitu daun jendela tertutup, kau lantas kembali?"

Han Tin tertawa kecut, katanya: "Memangnya aku harus minta air tetek?"

Terunjuk tawa geli pada sorot mata Thi Koh, katanya: "Agaknya kau cemburu dan ingin menggantikan kedudukan Yap Kay."

"Akupun simpati terhadapnya." "Kau bersimpati terhadapnya?"

"Sehari-hari menemani perempuan gede berjiwa kerdil seperti itu sungguh merupakan siksaan."

Sim Koh tiba-tiba menyelutuk: "Apa benar dia cantik?" Diam-diam Han Tin mengerling sebentar, sahutnya:

"Boleh terhitung cantik."

Tiada perempuan yang suka mendengar laki-laki memuji perempuan lain dihadapannya.

Sim Koh segera menjengek dingin "Khabarnya orang linglung biasanya memang cantik." "Ya." Han Tin mengiakan saja.

Tiba-tiba Sim Koh tertawa geli, katanya: "Untung setiap gadis cantik belum tentu linglung."

Memang, dia sendiripun seorang gadis jelita, gadis rupawan.

Tiba-tiba Thi Koh bertanya: "Apakah hanya mereka berdua yang berada di Biau-hiang-wan?"

"Dari depan sampai ke belakang dan sekitarnya sudah kuperiksa, memang tiada orang lain."

"Agaknya tiada? Atau memang tiada?"

"Memang tiada!." Sahut Han Tin setelah bimbang sebentar.

"Mungkin ada lain orang yang sudah tidur?"

"Kamar lain tiada yang menyalakan api, hawa sedingin ini, siapa yang tahan tidur di dalam kamar tanpa membuat api?"

Akhirnya Thi Koh tertawa, katanya: "Agaknya bukan saja kau pintar, kerjamu amat teliti."

Mendadak Sim  Koh menyeletuk: "Sayang hidungnya menjadi pesek."

Thi Koh kontan mendelik, katanya: "Kau toh tidak ingin kawin sama dia, perduli hidungnya pesek atau tidak."

"Memangnya laki-laki hidung pesek pasti tidak lekas kawin?" spontan Sim Koh membantah.

Thi Koh tertawa geli, katanya: "Setan cilik, ngaco-belo, tidak malu kau didengar orang." Tiba-tiba Han Tin rasakan detak jantungnya bertambah cepat. Bukan tidak pernah dia memikirkan kemungkinan ini, cuma dia memang tidak berani memikirkan. Kini kedua ibu beranak seakan-akan memberi hati kepadanya. Memangnya mereka ada persoalan pelik yang ingin dia lakukan?.

Betul juga, Thi Koh lantas bertanya: "Ilmu silatmu apa kau belajar dari Wi-pat-ya?"

"Bukan!", sahut Han Tin.

Memang dia bukan murid Wi Thian-bing, juga bukan salah satu dari Cap-sha-thay-po.

"Senjata yang kau gunakan adalah gurdi itu?" Han Tin mengiakan.

"Belum pernah kudengar tokoh-tokoh kosen mana dalam Kang-ouw yang menggunakan gurdi sebagai senjata."

"Memang, aku menggunakan sambil lalu saja."

"Apakah gurdi itu juga mempunyai jurus-jurus yang khas?"

"Tidak ada, tapi jurus ilmu senjata apapun, semuanya bisa digunakan memakai gurdi."

"Dari jawabanmu ini aku jadi berkesimpulan, ilmu silat yang pernah kau pelajari tentu amat rumit dan luas sekali."

"Memang rumit dan luas, tapi semua tidak matang."

Tiba-tiba Sim Koh cekikikan geli, katanya: "Tak nyana orang ini pandai juga berpura-pura."

Jantung Han Tin serasa hendak melonjak keluar. "Hanya beberapa tahun saja kau bekerja untuk Wi-pat- ya," kata Thi Koh, "cepat sekali kau sudah menjadi orang kepercayaannya, tentunya ilmu silatmu boleh dibanggakan."

Han Tin mengakui: "Ya, hanya lumayan saja."

"Oleh karena itu aku masih ingin minta sedikit bantuanmu."

"Silahkan katakan!"

"Tugas ini makin cepat kau laksanakan semakin baik, malam ini adalah kesempatan terbaik untuk kau turun tangan."

"Baik, malam ini nanti akan kukerjakan."

"Maka sekarang aku ingin Ting Hun-pin turun tangan."

Han Tin menepekur, katanya: "Entah Yap Kay bisa mengenalinya tidak?"

"Pasti tidak, umpama ada sedikit cirinya di bawah sinar lampu yang remang-remang, pasti tidak kentara."

"Tapi mereka sepasang kekasih, jikalau dipandang seksama beberapa kali, bukan mustahil. "

"Masakah kita bakal memberi kesempatan sehingga dia melihat jelas, asal Ting Hun-pin mendekati dia, urusan pasti berhasil dengan baik. "

Sim Koh menimbrung dengan tertawa: "Bukankah dia amat cepat turun tangan, kalau tidak masakah sekali pukul bikin hidungmu ringsek?"

Han Tin menyengir getir, namun hatinya merasa syuur. "Akan tetapi kita harus berhati-hati untuk menjaga segala kemungkinan, maka aku ingin kau mengiringi dia."

Sekilas Han Tin melengak, katanya: "Cara bagaimana aku bisa temani dia?"

"Kenapa tidak bisa?"

"Aku. aku terhitung orang apa?"

"Anggap saja sebagai pengurus di sini. Bawa dia ke Yap Kay, karena Ting Hun-pin belum pernah kemari, sudah tentu harus ada orang yang menunjuk jalan."

Han Tin manggut-manggut sambil menghela napas: "Hujin memang bisa mengatur dengan baik."

Thi Koh tertawa, katanya: "Kalau tidak bisa mengatur dengan baik, bagaimana berani menghadapi Yap Kay?"

"Sekarang hanya ada satu kekuatiranku." "Apa yang kau kuatirkan?"

"Kuatir akan pisau terbang Yap Kay." "Kau takut?"

"Yang kukuatirkan Ting Hun-pin yang satu ini tidak bisa membunuhnya sekali turun tangan, mungkin punya kesempatan balas menyerang."

Jawaban Thi Koh dingin dan meyakinkan: "Jangan lupa akupun mempunyai pisau, tiada orang bisa hidup oleh pisauku." Mendadak tangannya bergerak, "Tring..." sebilah pisau tahu-tahu jatuh di hadapan Ting Ling. Sebilah pisau kemilau warna hijau. Mata Ting Ling seketika berubah lebar, dengan mendelong kaku mengawasi pisau ini. "Ambil pisau itu dan sembunyikan di dalam lengan bajumu." Thi Koh memerintah.

Ting Ling segera menjemput pisau itu dan disembunyikan di dalam lengan baju.

"Sekarang angkat kepalamu, pandanglah orang ini." Thi Koh menuding Han Tin.

Ting Ling lantas angkat kepala, matanya mendelong mengawasi Han Tin.

"Kau kenal orang ini?"

Ting Ling manggut-manggut.

"Kau harus ikut dia. Dia akan membawamu mencari Yap Kay yang adalah laki-laki yang tidak kenal budi dan tidak setia kawan, kau dibuang secara semena-mena, mencari gadis lain di depan hidungmu, maka begitu kau berhadapan dengan dia, tusuk saja sampai mampus dengan pisaumu, lalu bawa gadis itu kemari."

"Aku pasti akan membunuhnya, serta membawa gadis itu kemari." Ting Ling mengulang perintah.

"Sekarang juga kau berangkat."

Ting Ling manggut-manggut mengulang perintah Thi Koh. Terunjuk mimik aneh pada raut mukanya, seolah-olah hambar, tapi juga seperti amat menderita.

"Kenapa tidak lekas kau pergi?" sentak Thi Koh. "Sekarang juga aku pergi." Mulut Ting Ling menjawab,

namun dia tetap bersimpuh di tempatnya tanpa bergeming. Sim Koh menghela napas, katanya: "Agaknya dia memang teramat cinta terhadap Yap Kay, urusan sudah berlarut demikian jauh, namun dia masih tidak tega membunuhnya."

Thi Koh menyeringai dingin, katanya: "Dia pasti pergi!"

Tiba-tiba dia tepuk-tepuk tangan, sebuah pintu di samping tiba-tiba terbuka sendiri, seorang melangkah masuk pelan-pelan.

Itulah laki-laki berusia tiga puluh tahun, mengenakan jubah kulit rase yang mahal, bagian luarnya ditambahi baju lengan pendek. Jelas sekali gayanya seperti orang dagang. Orang ini ternyata Hwi Hou si Rase Terbang Nyo Thian.

Mendadak muka Ting Ling berkerut ketakutan badanpun gemetar keras.

Nyo Thian mengawasinya dingin, tidak tampak mimik apa- apa pada mukanya. Sebilah pisau menancap di dadanya, bajunyapun berlepotan darah.

"Kau kenal orang ini?" tanya Thi Koh.

Ting Ling manggut-manggut, mukanya pucat dan semakin ketakutan. Sudah tentu dia kenal orang ini, karena ingatannya belum lenyap.

"Sekarang dia sudah mampus, apakah kau ingat, kaulah yang membunuhnya."

"Ya. ya, akulah yang membunuhnya."

"Sebetulnya dia teman karibmu, namun kau membunuhnya, menjadi setan dia akan membalas dendam kepadamu." "Kau..... kau yang menyuruhku membunuh dia!" bantah Ting Ling.

"Sekarang kusuruh kau pergi membunuh Yap Kay. kau

mau     pergi      tidak?" "Aku. baiklah aku pergi."

"Sekarang juga kau pergi."

"Benar, sekarang juga aku berangkat," sahut Ting Ling. Benar juga pelan-pelan dia berdiri, lalu beranjak keluar,

tapi badannya kelihatan masih gemetar.

"Tunggu di luar, tunggu Han Tin yang akan membawamu." "Aku akan menunggu di luar. Han Tin akan membawaku,

pergi membunuh Yap Kay." Sahut Ting Ling.

Setelah Ting Ling di luar pintu, baru Thi Koh berpaling dan tertawa kepada Han Tin, katanya: "Sekarang kau harus tahu, siapakah teman baiknya itu."

Han Tin hanya menyengir kecut sambil mengawasi Nyo Thian.

"Kau tidak mengenalnya?" tanya Thi Koh.

Nyo Thian berkata dingin: "Dia tidak mengenalku, dia tidak ingin bersahabat dengan aku." Tiba-tiba tangannya terbalik mencabut pisau di dadanya terus dibuang ke lantai. Baru sekarang Han Tin melihat jelas pisau itu hanya gagangnya saja.

Terdengar "Cret..." sebatang pisau tajam menjepret keluar dari gagangnya, hanya sedikit tekan saja, tajam pisau itu kembali melesak masuk ke dalam gagangnya pula, kiranya pisau ini hanya alat permainan belaka yang tidak mungkin bisa membunuh orang.

Han Tin menghela napas, katanya: "Kalau ada pisau semacam ini dalam dunia ini, tidak heran ada teman baik seperti dirimu."

"Tapi lebih baik kau selalu ingat," Thi Koh memperingatkan, "pisau semacam ini dan teman seperti itu, bukan tiada gunanya sama sekali."

ooo)dw(ooo

Setelah menyusuri ratusan pucuk pohon kembang Bwe, akhirnya sampai di Biau-hiang-wan.

Selama ini Ting Ling mengintil di belakangnya tanpa bersuara, selangkah Han Tin bertindak, selangkah pula kakinya bergerak. Jikalau Han Tin tiba-tiba berhenti, Ting Ling pun seketika berhenti.

Tiba-tiba Han Tin membalik badan sambil menatap orang: "Temanmu Sebun Cap-sha sudah mati."

"Sebun Cap-sha sudah mati" Ting Ling mengulang perkataannya.

"Kau tidak ingin tahu oleh siapa dia menemui ajalnya?" "Aku tidak ingin tahu siapa yang membunuhnya." sahut

Ting Ling.

"Tapi jika kau adalah temannya, pantas kau menuntut balas sakit hatinya."

"Kalau aku memang teman baiknya, aku harus menuntut balas sakit hatinya." Begitulah dia selalu mengulang perkataan orang yang mengajaknya bicara, cuma kau mungkin takkan tahu apakah dia benar-benar sudah memahami maksudmu.

"Orang sepintar kau akhirnya dikendalikan orang juga, sungguh aku tidak mau percaya." dengan ujung matanya dia melirik kepada Ting Ling.

Tidak terunjuk mimik apapun di muka Ting Ling.

Han Tin menghela napas, katanya: "Di depan ada sinar lampu, nah, di sanalah Biau-hiang-wan."

Ting Ling mengiakan.

"Yap Kay berada di sana. Apa benar kau tega turun tangan? Sebetulnya tak perlu kau membunuhnya."

"Ya, memang tidak perlu." sahut Ting Ling.

"Kau boleh menutuk Hiat-to nya saja, sehingga dia tidak bisa berkutik lagi."

"Aku bisa membuatnya tidak berkutik."

"Segera aku akan membawa gadis itu pergi ke tempat jauh, supaya dia tidak melihat Yap Kay lagi."

"Biar dia tidak melihat Yap Kay lagi."

"Maka selanjutnya kau bisa hidup berdampingan dengan Yap Kay."

Di lihatnya sorot mata Ting Ling tiba-tiba memancarkan sinar terang.

"Coba katakan, apakah cara ini baik?" Ting Ling seperti berpikir-pikir, katanya dengan sikap ketakutan: "Tapi aku membunuh Nyo Thian, menjadi setan diapun akan selalu mengganggu kami."

"Sebetulnya kau tidak membunuhnya dan dia belum mati." "Jelas aku telah membunuhnya." bantah Ting Ling.

Han Tin keluarkan pisau mainan itu, katanya: "Dengan pisau ini kau membunuhnya."

Ting Ling manggut-manggut.

"Pisau ini hanya mainan yang tidak bisa membunuh orang, coba kau lihat.........." dengan tersenyum dia angkat pisau itu terus menusuk ke dada sendiri. Senyum yang menghiasi mukanya seketika kaku.

Tadi hanya sedikit tekan, tajam pisau menyurut masuk ke dalam. Tapi sekarang batang pisau yang tajam ternyata tidak mau menyurut masuk pula. Sedikit dia gunakan tenaga, ujung pisau sudah menusuk melukai kulit dagingnya. Walau tidak dalam namun darah sudah bercucuran.

"Kelihatan darah menyumbat tenggorokan, pasti mati tak bisa di tolong.". Ingat akan pepatah ini, seketika sekujur tubuh Han Tin dingin.

Tiba-tiba di dengarnya seseorang berkata dingin: "Lebih baik kau berdiri tidak bergerak, bila racun menjalar pasti melayang jiwamu."

Han Tin tidak berani bergerak, dia sudah mendengar suara Sim Koh. Betul juga dilihatnya Sim Koh melangkah dari hutan, di belakangnya ada seseorang ternyata Nyo Thian. Dengan dingin Sim Koh mengawasinya, katanya: "Pisau itu adalah pisau iblis, walau tak bisa membunuh orang lain, tapi pasti bikin kau mampus."

Nyo Thian menyeringai dingin, jengeknya: "Kalau di dunia ada manusia seperti tampangmu, maka ada pula pisau seperti itu."

Sim Koh berseri tawa, katanya: "Sedikitpun tidak salah, pisau macam ini memang khusus untuk menghadapi orang seperti kau."

Tersendat perkataan Han Tin di tenggorokan: "Aku......aku hanya. "

Sim Koh menarik muka, dengusnya: "Kau hanya ingin menjual dan mengkhianati kita, maka kau harus mampus!"

"Harap nona suka pandang muka Wi-pat-ya, ampunilah jiwaku sekali ini."

"Kau masih ingin hidup?"

Han Tin manggut-manggut, keringat dingin gemerobyos. "Baik," ujar Sim Koh, "kau harus berdiri dengan baik di

sini, jangan bergerak, kepalapun jangan bergeming, bila aku merasa senang, mungkin aku datang menolongmu."

"Entah kapan nona baru senang hati?"

"Wah, susah dikatakan, biasanya aku periang, tapi begitu melihat orang seperti kau, bukan mustahil aku bisa marah- marah lagi."

Han Tin kertak gigi, sungguh gemasnya bukan main, ingin rasanya dia pukul ringsek hidung si gadis kurang ajar ini. Sayangnya umpama dia mampu berbuat demikian, dia toh tidak berani bergerak, ujung jaripun tidak berani bergerak.

Sim Koh tiba-tiba mengelus mukanya, katanya lembut: "Sebetulnya aku ingin kawin denganmu, sayang hanya sedikit ujian begini saja kau tidak mampu mengatasi, sungguh bikin aku kecewa." setelah menghela napas, kedua pipi Han Tin dia jewer pulang pergi, lalu menamparnya puluhan kali.

Hampir tak tertahan Han Tin hendak muntah-muntah darah, namun sedapat mungkin dia pertahankan.

Agaknya Sim Koh amat puas, katanya sambil berpaling kepada Nyo Thian: "Sekarang boleh kau pergi bawa nona Ting itu."

Nyo Thian mengiakan.

Sim Koh tersenyum, katanya menambahkan: "Aku tahu kau pasti tidak kenal budi pekerti seperti dia ini, ya tidak?"

"Sedikitnya aku tidak segoblok dia." sahut Nyo Thian.

Tiba-tiba Han Tin merasa dirinya memang benar-benar bodoh, sungguh ingin rasanya dia bentur kepalanya biar pecah dan mampus saja.

Ting Ling masih mengawasinya, mukanya tidak tampak berubah.

Nyo Thian menepuk pundaknya, katanya: "Ikut aku!"

Ting Ling lantas mengintil di belakangnya. Nyo Thian maju selangkah, Ting Ling ikut maju selangkah, lekas sekali kedua orang ini sudah keluar dari hutan kembang Bwe.

ooo)dw(ooo Sinar api masih menyorot keluar dari jendela, Nyo Thian sedang mengetuk pintu.

"Siapa?" pertanyaan dari dalam.

"Cayhe Nyo Thian, pengurus tempat ini."

"Apakah pengurus Nyo tidak tahu waktu apa sekarang?" orang di dalam menegur tanpa sungkan-sungkan.

"Sudah tentu Cayhe tahu sekarang waktu apa, soalnya ada seorang tamu, begitu besar keinginannya dan tergesa- gesa ingin bertemu dengan Yap Kongcu."

"Siapa ingin mencari aku?"

"Seorang nona she Ting, Ting Hun-pin."

Baru habis keterangannya, pintu lantas terbuka.

"Yang membuka pintu pasti Yap Kay," demikian sebelumnya Nyo Thian sudah membisiki Ting Ling. Cahaya lampu dari dalam kebetulan menyorot mukanya.

Seorang pemuda berparas tampan dengan dandanan sederhana membuka pintu, seketika dia berdiri menjublek di ambang pintu, mimiknya heran, kaget dan senang: "Benarkah kau?"

Bersambung ke Jilid-5 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar