Rahasia Mokau Kauwcu Jilid 01

 
Jilid-01

Hujan salju berlarut panjang, pagi itu udara tampak cerah, namun hawa tetap dingin, salju bertumpuk tebal dan mengeras menjadi es. Jalan raya itu masih sepi belum kelihatan orang berjalan, setiap pintu dan jendela rumah- rumah sepanjang jalan raya ini masih tertutup, alam semesta seakan-akan diliputi keheningan yang menegangkan serta bau membunuh.

Dengan mengenakan mantel kulit rase tebal, Tong Thong- san duduk di atas kursi besar yang dilembari kulit harimau di ujung jalan raya, matanya memandang lurus ke jalan raya di hadapannya nan sunyi beku, dalam hati dia bersorak gembira. Dia amat puas karena perintahnya dilaksanakan dengan baik.

Jalan raya ini tertutup untuk penduduk, kini dia jadikan sebagai medan laga, dalam jangka setengah jam, dia sudah siap mencuci tumpukan salju yang mengeras itu dengan cucuran darah Lo Toh dari Sek-ek.

Detik-detik yang ditunggu menjelang datang, jika ada orang, perduli siapa dia beranjak di jalan raya ini, maka orang itu harus dibunuh, meski hanya kakinya saja yang menginjak jalan raya ini, maka kaki itu harus dipotong.

Kota ini miliknya, siapapun jangan harap bercokol di tanah kekuasaannya, demikian pula Lo Toh dari Sek-ek pun. Kecuali Wi-pat-tay-ya, siapapun jangan harap bisa menghalangi kemauannya.

Puluhan laki-laki tegap berpakaian ketat siap-siaga, berdiri jajar di belakangnya, tangan lurus, muka beringas diliputi hawa membunuh. Di kanan kiri Tong Thong-san terdapat dua kursi besar pula. Seorang pemuda bermuka pucat, bersifat congkak dan dingin, duduk bermalas-malasan di kursi kiri, tubuhnya berselimut kulit bulu panjang warna kelabu, harganya ribuan tahil emas, jari kelingkingnya menggantol sebilah pedang panjang yang dihiasi jamrut dan permata kemilau, bersarung hitam, pedang di obat-abitkan. Pemuda ini merasa tugas yang harus dia selesaikan terlalu membosankan, karena dia merasa kurang setimpal turun tangan terhadap lawan sejenis Lo Toh dari Sek-ek ini.

Orang di sebelah kanan berusia lebih muda, dengan sebatang Yan-ling-to yang kemilau, dia sibuk membersihkan kuku jarinya. Kelihatan dia pura-pura tenang, namun wajahnya yang menampilkan watak kanak-kanak kelihatan merah lantaran tegang dan emosi.

Tong Thong-san memahami perasaan pemuda ini. Waktu pertama kali dia menjalankan tugas yang diperintahkan Wi- pat-tay-ya dulu, demikian pula keadaannya. Tapi dia tahu kalau pemuda ini berjajar nomor dua belas di antara Cap- sha-thay-po dalam perguruan Wi-pat-tay-ya. Yan-ling-to yang selalu dibawanya itu pasti takkan mengecewakan orang.

Memang Cap-sha-thay-po asuhan Wi-pat-tay-ya selama ini belum pernah mengecewakan orang.

ooo)dw(ooo

Tiba-tiba seekor anjing kurus berlari mencawat ekor dari ujung lorong di bawah tembok sana melintas jalan raya. Pemuda bermuka tahi lalat mengawasi anjing yang berlari di jalan itu, wajahnya menampilkan mimik aneh, pelan-pelan tangan kiri merogoh ke saku, mendadak tangannya terayun ke depan. Sinar putih pelan berkelebat secepat kilat, tahu- tahu anjing itu mampus terpantek di jalan raya. Sebilah golok pendek kecil menembus tenggorokannya, darahnya mengalir membasahi salju, kelihatan merah menyolok.

Menyala semangat Tong Thong-san, dia berseru memuji: "Bagus, cepat benar Cap Ji-te turun tangan." Pemuda itu amat puas akan buah karyanya, katanya angkuh: "Tong Lo-toa sudah memberi perintah, perduli manusia atau anjing, asal keluyuran di jalan raya ini, aku Toan Cap-ji pasti akan merenggut jiwanya."

Tong Thong-san mendongak tertawa gelak-gelak, serunya: "Ada Sin Su-te dan Cap Ji-long yang gagah perkasa di sini, jangan hanya seorang Lo Toh saja, umpama sekaligus datang sepuluh, kitapun tak perlu takut."

Sin-su justru menanggapi dengan sikap dingin: "Hari ini tiada giliranku turun tangan.". Pedang yang kontal-kantil di ujung jari kelingkingnya tiba-tiba berhenti, demikian pula gelak tawa Tong Thong-san sirap seketika.

Dari ujung jalan sebelah sana, muncul serombongan orang dengan melangkah cepat mendatangi. Jumlahnya tiga puluhan orang, semua mengenakan seragam hitam, baju pendek celana kencang, kakinya mengenakan sepatu tinggi, langkah mereka berderap serempak di atas salju. Yang terdepan adalah seorang laki-laki bermata besar beralis tebal, kulit mukanya gosong dan tebal serta ulet. Dia inilah laki-laki gagah nomor satu dari Sek-ek, Toa-gan (Si Mata Besar) Lo Toh.

Melihat orang ini, kulit muka Tong Thong-san mengejang dan kedutan, kelopak matanya mengerut bergetar. Seorang pemuda berpedang tiba-tiba lari ke belakangnya, berdiri tegak memegang gagang pedang. Maka terdengarlah pedang golok terlolos serta busur dan anak panah yang siap dibidikkan. Suasana menjadi tegang, kecuali suara langkah yang makin dekat, alam semesta ini seolah-olah sudah beku dan lengang. Lekas sekali rombongan serba hitam itu sudah dekat, sekonyong-konyong sebuah pintu kecil sempit di pinggir jalan sana menjeblak, empat belas orang berpakaian serba putih beruntun keluar, menyongsong kedatangan Lo Toh dari Sek-ek, satu diantaranya tampil bicara dengan suara pelan, entah apa yang dibicarakan, tapi Lo Toh berdiri tegak tanpa bergerak, juga tidak memberi reaksi.

Kejap lain rombongan serba putih ini menghampiri Tong Thong-san. Baru sekarang Tong Thong-san sempat perhatikan orang ini mengenakan pakaian tipis dari kaci putih. Di punggung mereka menggendong tikar, tangannya menjinjing pentung, semua mengenakan sepatu rumput.

Hawa sedingin ini, tapi orang-orang ini tidak kelihatan kedinginan, padahal kaki tangan mereka sudah merah biru karena hampir beku, raut muka mereka sudah membesi hijau pucat seperti mayat hidup, kelihatannya seram menakutkan.

Waktu mereka tiba di pinggir bangkai anjing, malah seorang berjongkok menurunkan gulungan tikar serta menggulung bangkai anjing di dalamnya serta diikatnya kencang di ujung tongkatnya, lalu tersipu mengejar kawan- kawannya.

Air muka Toan-cap-ji sudah berubah, tangan kirinya merogoh ke dalam baju, dia siap menimpukkan golok pendeknya pula. Namun Tong Thong-san mencegah dengan kerlingan mata, katanya menekan suara: "Kelihatannya orang-orang ini agak aneh, lebih baik kita cari tahu dulu maksud kedatangan mereka". Toan-cap-ji tertawa dingin, jengeknya: "Umpama benar mereka aneh, setelah menjadi mayat tentu tak aneh lagi." meski mulut membantah, namun dia urung turun tangan.

Maka berserulah Tong Thong-san dengan suara rendah: "Tong Yang!."

Pemuda seragam ketat menyoren pedang di belakangnya segera mengiakan.

"Sebentar kau maju dan jajal kepandaian mereka, kalau kurang beres, harus segera mundur, jangan lama-lama melayani mereka".

Bercahaya biji mata Tong Yang, sahutnya: "Tecu mengerti."

Tampak laki-laki baju putih yang tampil bicara tadi mengulap tangan, rombongan itu segera berhenti setombak jauhnya. Laki-laki ini bermuka lonjong seperti muka kuda, mukanya penuh berewok, berkulit ungu, ke dua biji matanya sipit panjang, tulang pipinya tinggi, mulutnya besar dan lebar seperti hampir mencapai kupingnya, dan dandanannya tidak beda dengan rombongan lain, tapi sekilas pandang orang sudah tahu bahwa dia adalah pemimpin rombongan ini.

Dengan tatapan tajam Tong Thong-san awasi muka orang, mendadak bertanya: "Siapa nama besar tuan?"

"Bak Pek.", sahut orang itu. "Datang dari mana?"

"Dari Ceng-seng" "Untuk apa kemari?" "Semoga pertumpahan darah dapat dicegah dan damailah abadi", sahut Bak Pek dingin.

Mendadak Tong Thong-san terloroh-loroh, serunya: "Jadi saudara hendak memisah perkelahian?"

"Begitulah maksud baik kami"

"Memangnya kau mampu dan setimpal jadi pemisah?" Muka Bak Pek tidak menampilkan perasaan apa-apa,

agaknya dia ogah bicara lagi.

Tong Yang sebaliknya sudah amat gatal, segera ia maju ke depan, bentaknya bengis: "Mau memisah gampang, kau tanya dulu pedang di tanganku ini mau dipisah tidak?". "Sreng...", tiba-tiba tangannya terbalik, pedang sudah terlolos dari serangkanya.

Jangan kata meladeni, melirikpun Bak Pek tidak kepadanya, dari belakangnya tampil seorang anak laki-laki serba putih bertubuh kecil, usia orang ini baru empat lima belas tahun, jadi masih bocah. Keruan Tong Yang mengerut alis, tanyanya: "Kau, setan cilik ini mau apa-apa?"

Muka bocah baju putih dingin kaku tidak berperasaan, sahutnya tawar: "Mau tanya apakah pedangmu mau dipisah tidak?"

"Kau yang mau tanya?", Tong Yang gusar.

"Kau pakai pedang", ujar bocah baju putih, "kebetulan akupun pakai pedang."

Mendadak Tong Yang terbahak-bahak seperti orang gila, serunya: "Bagus, biar ku singkirkan kau lebih dulu, bicara belakangan.", di tengah gelak tawanya, tahu-tahu pedangnya menusuk ke depan laksana ular beracun memagut, yang diincar ulu hati bocah baju putih.

Bocah baju putih pentang kedua tangannya, dari dalam pentung pendek, dia mencabut sebilah pedang tipis sempit. Tampak jelas oleh Tong Yang tusukan pedang dengan tipu Tok-coa-toh-sin (ular beracun menjulurkan lidah) secara telak menusuk ulu hati orang, namun bocah ini tidak berkelit atau menangkis, matanyapun tidak berkesip. "Cras...", pedang di tangan Tong Yang menghujam ke ulu hatinya. Darah segar muncrat beterbangan, namun saat itu juga pedang di tangan si bocah baju putih bergerak dengan tipu yang sama. "Bles...", dengan telak menusuk di ulu hati Tong Yang.

Sekonyong-konyong seluruh gerakan berhenti, deru napasnyapun tertahan. Gebrakan ini berlangsung amat cepat pula. Air muka hadirin berubah hebat, sungguh mereka  tidak percaya akan akhir dari pertempuran ini. Bagai air mancur darah masih bercucuran membasahi salju.

Muka si bocah baju putih tetap kaku dingin tak berubah, namun kedua biji matanya melotot keluar seperti mata ikan mas, menatap ke arah Tong Yang, sorot matanya melontarkan ejekan menghina dan mencemoohkan.

Sebaliknya kulit muka Tong Yang kelihatan tegang, berkerut-kerut seperti orang menahan sakit, sorot matanya menampilkan rasa heran, marah dan takut. Sampai ajal dia tidak percaya, dalam dunia ini ada bocah senekad ini, berani mati tanpa berkesip. Lebih tak nyana bahwa kejadian tragis ini justru menimpa dirinya. Sudah tentu matipun dia penasaran. Keduanya masih beradu pandang, lambat laun sorot mata kedua orang makin pudar, kosong dan tak bercahaya lagi, lalu keduanya terjungkal roboh.

Seorang laki-laki baju putih muncul dari rombongan belakang, dia turunkan gulungan tikar, lalu dibungkusnya mayat bocah itu serta diikat dengan tali panjang serta digantung di ujung tongkatnya, pelan-pelan dia balik ke dalam barisannya. Muka orang ini tetap dingin dan kaku seperti temannya yang membereskan bangkai anjing tadi.

ooo)dw(ooo

Angin kencang tiba-tiba menghembus datang dari kejauhan, hawa terasa lebih dingin. Tapi semua laki-laki yang berdiri di belakang Tong Thong-san mencucurkan keringat dingin, telapak tanganpun basah kuyup.

Bak Pek menatap Tong Thong-san, katanya tawar: "Apakah tuan sudah mau damai?"

Toan-cap-ji tiba-tiba melompat ke depan, bentaknya bengis: "Kau tanya dulu golokku. "

Seorang laki-laki baju putih kembali tampil dari belakang Bak Pek, katanya: "Biar aku yang tanya."

"Kaupun menggunakan golok?", tanya Toan-cap-ji. "Benar", sahut laki-laki baju putih. Begitu tangannya

terkembang, dari tongkat pendeknya dia keluarkan sebilah golok.

Baru sekarang Toan-cap-ji sempat perhatikan, tongkat pendek yang mereka bawa beraneka bentuknya, ada yang lebar, tipis, ada yang bundar atau gepeng, jelas di dalamnya menyimpan berbagai senjata yang berlainan. Kalau lawan menggunakan pedang, mereka menghadapi dengan pedang, demikian pula kalau musuh pakai golok, merekapun gunakan golok.

Toan-cap-ji tertawa dingin, jengeknya: "Baik, kau lihat golokku ini", tubuhnya bergerak setengah lingkar, tahu-tahu Yan-ling-to menyambar dengan suara menderu kencang membabat ke pundak kiri laki-laki baju putih. Ternyata laki- laki baju putih tidak berkelit tidak menghindar, golok di tangannya berbareng bergerak dengan jurus Li-pik-hoa-san (berdiri membelah gunung Hoa-san), goloknyapun membabat pundak kiri Toan-cap-ji.

Tapi tingkat kepandaian Toan-cap-ji lebih tinggi dari Tong Yang, kelihatannya jurus serangannya sudah dilancarkan sepenuhnya, namun laksana kuda berhenti di ambang jurang, badan berputar kaki menggeser sekaligus tajam goloknya ikut berputar balik, dari gerak delapan penjuru yang mengandung serangan golok, mendadak berubah terbalik memukul genta mas, sinar goloknya yang kemilau laksana bianglala membelah dada laki-laki baju putih. Tak nyana laki-laki baju putihpun laksana menghentikan kuda di ambang jurang, dari gerakan delapan penjuru mengandung serangan, golok berubah terbalik memukul genta mas. Walau gerakannya sedikit terlambat, tapi jikalau Toan-cap-ji tidak lekas merubah gerakannya, umpama dia membelah lawannya, jiwa sendiripun takkan selamat.

Kalau laki-laki baju putih tidak hiraukan mati hidupnya, dia justru masih ingin hidup. Waktu melancarkan serangannya ini, sebelumnya sudah siaga menghadapi segala perubahan. Mendadak mulutnya bersiul nyaring, kedua tangan terkembang dan menggetar, badannya melambung ke tengah udara, waktu menukik turun, goloknya membacok leher laki-laki baju putih dari kiri. Kali ini dia menyerang dari atas, jelas kedudukannya lebih menguntungkan, seluruh badan laki-laki baju putih sudah terkurung di dalam sinar goloknya, bukan saja tak mampu merubah permainan, untuk menyelamatkan diripun tak mungkin lagi. Tapi orang baju putih memang tidak mau berkelit. Di kala golok Toan-cap-ji membabat leher, golok lawanpun menusuk lambung Toan- cap-ji.

Golok tiga kaki itu amblas seluruhnya, tinggal gagangnya yang masih terpegang. Keruan Toan-cap-ji memekik bagai guntur menggelegar, badannya yang kekar meluncur tegak bagai roket yang meninggalkan landasan setinggi dua tombak. Darah segar muncrat bagaikan hujan lebat, membasahi sekujur badan laki-laki baju putih. Mukanya tetap dingin kaku tak berperasaan. Setelah Toan-cap-ji terbanting jatuh dari tengah udara, baru dia ikut terjungkal roboh.

Keruan berubah hebat muka Tong Thong-san, bergegas dia melompat bangun, bentaknya beringas: "Ilmu silat macam apa itu?".

"Memangnya ini bukan ilmu silat", sahut Bak Pek tawar. "Lalu terhitung apa?"

"Hanya sebagai peringatan belaka." "Peringatan?" "Peringatan ini memberitahu kepada kita, jikalau kau bertekad membunuh orang, orangpun akan membunuhmu"

Sin Su tertawa dingin: "Kukira belum tentu", jengeknya.

Dia tetap menggantol ujung pedangnya dengan jari kelingking, pelan-pelan dia maju sehingga ujung pedangnya terseret di atas salju, mengeluarkan suara gemerincing. Raut mukanya yang pucat seperti bercahaya, demikian pula sorot matanya bersinar tajam, katanya dingin: "Jikalau aku ingin membunuh, jangan harap kau bisa membunuhku."

"Kukira belum tentu." seorang laki-laki baju putih lain tampil ke depan. Habis bicara orang itu sudah berada di depan Sin Su, gerak-geriknya lincah dan cekatan.

"Belum tentu?," Sin Su menegas.

"Betapapun ketat dan ganasnya ilmu pedang, pasti dapat dipatahkan."

"Tapi ilmu pedang pembunuh takkan ada orang yang bisa mematahkan."

"Ada semacam orang." "Orang macam apa?."

"Orang yang tidak takut mati."

"Jadi kau ini orang yang tidak takut mati?."

"Apa senangnya hidup, kenapa harus takut mati?." "Jadi kau hidup hanya untuk mati?."

"Ya, mungkin demikian."

"Kalau demikian, biarlah ku tamatkan riwayatmu.". Pedang tiba-tiba keluar dari serangka, dalam sekejap beruntun menusuk tujuh kali. Deru angin seperti bambu pecah. Sinar pedang bagaikan kilat. Tampak udara diliputi bintik-bintik kemilau yang bertebaran, sehingga orang sukar membedakan dan menentukan posisi yang akan di arah.

Laki-laki baju putih tidak ingin berdebat, maka dia tidak menghindar, dia berdiri diam di tempatnya tanpa bergeming, menunggu dengan tenang. Memang dia sudah siap gugur, perduli dari arah mana pedang lawan menusuk dirinya, dia tidak perduli lagi.

Tujuh kali Sin Su melancarkan tusukan, laki-laki baju putih bergerakpun tidak, gerak pedang Sin Su amat cepat dan tangkas, sekali menyerang terus ditarik balik, tujuh kali tusukan pedang hanya serangan gertak sambel belaka, mendadak kaki bergerak di permukaan salju, tahu-tahu bayangan sudah meluncur ke belakang laki-laki baju putih. Sebelumnya sudah dia perhitungkan, kedudukan mematikan lawan amat menguntungkan dirinya, jelas betapapun lihay seorang tokoh silat, takkan mungkin turun tangan pada sudut yang mematikan.

Untuk membunuh lawan, maka sedikit kesempatanpun pantang memberi peluang kepadanya sehingga diri sendiri yang terbunuh malah. Maka tusukan gertak sambel terakhir menjadi tusukan yang sesungguhnya, sinar pedang laksana kilat menusuk ke punggung laki-laki baju putih.

Terdengar "Cras...." ujung pedang yang tajam itu berbunyi masuk ke dalam kulit daging. Sin Su merasakan ujung pedang amblas menyentuh tulang di badan lawan. Tapi pada saat itu pula, dia melihat tusukan pedangnya tidak amblas di punggung orang, namun menusuk dada. Karena pada saat tusukan hampir mengenai sasaran, tiba-tiba laki- laki baju putih membalikkan badan, dengan dadanya dia sambut tusukan pedang Sin Su.

Takkan ada orang menduga kejadian ini, siapapun takkan mau menggunakan badan sendiri untuk menahan tusukan pedang. Tapi kenyataan laki-laki baju putih ini pakai badan sendiri sebagai tameng. Keruan berubah muka Sin Su, sekuatnya dia menarik pedang, sayang ujung pedang terjepit di sela-sela tulang iga lawan dengan kencang. Waktu dia menarik pedangnya, pedang laki-laki baju putih juga sudah menusuk dirinya tanpa bersuara sedikitpun, tak ubahnya seperti seorang gadis yang gemulai lembut menancapkan sekuntum kembang mekar ke dalam botol, maka pedang itu amblas ke dadanya.

Rasa sakit tidak terasakan lagi olehnya, hanya dadanya tiba-tiba dingin, kejap lain sekujur badan menjadi dingin kaku.

ooo)dw(ooo

Bagai kelopak kembang merah berhamburan darah muncrat dari luka-luka mereka. Berdiri berhadapan, kau pandang aku, aku pandang kau. Laki-laki baju putih tidak mengunjuk perasaan apa-apa, sebaliknya muka Sin Su berkerut kaget dan ketakutan. Walau ilmu pedangnya jauh- jauh lebih tinggi, meski serangannya jauh lebih lihay dari Tong Yang, namun akhirnya gugur bersama.

Babak ini berakhir begitu saja. Tong Thong-san berjingkrak berdiri, namun selekasnya dia meloso jatuh duduk pula dengan lemas, selebar mukanya pucat pias. Bukan dia tidak pernah melihat orang dibunuh, tapi selamanya tak pernah terpikir olehnya, membunuh orang ternyata begini ganas dan mengenaskan, begitu menakutkan. Membunuh dan dibunuh sama-sama keji dan menakutkan.

Bak Pek menatapnya lekat-lekat, katanya dingin: "Jikalau kau ingin membunuh orang, orang lainpun akan membunuhmu pula, pelajaran ini tentu sudah dapat kau insyafi sekarang."

Pelan-pelan Tong Thong-san manggut-manggut, sepatah katapun tak bicara, karena tiada yang perlu dia katakan.

"Oleh karena itu, kaupun harus mengerti," demikian ujar Bak Pek lebih lanjut, "membunuh dan dibunuh sama-sama menderita."

Tong Thong-san percaya dan mengakui, menghadapi kenyataan ini terpaksa dia harus percaya.

"Lalu kenapa kamu masih ingin membunuh orang?", tanya Bak Pek.

Terkepal kencang tinju Tong Thong-san, katanya tiba- tiba: "Aku hanya ingin tahu, kalian bertindak demikian apa maksudnya?"

"Tiada maksud apa-apa!"

"Apakah Lo Toh yang memanggil kalian kemari?" "Bukan, aku tidak kenal kau, akupun tidak kenal Lo Toh" "Tapi, kalian tidak segan-segan berkorban bagi mereka"

"Bukan, kami rela gugur demi kepentingannya, kita mau mati, supaya orang lain hidup", dipandangnya mayat-mayat yang bergelimpangan, lalu berkata pula: "Ketiga orang ini memang sudah mati, tapi puluhan jiwa orang lain akan bertahan hidup lantaran kematian mereka, apalagi sebetulnya mereka tak perlu mati."

Tong Thong-san menatapnya dengan kaget, katanya: "Apa benar kalian dari Ceng-seng?"

"Kau tidak percaya?"

Tong Thong-san memang tak percaya, dia menduga orang-orang ini datang dari neraka. Tidaklah pantas dalam dunia fana ini ada manusia seperti mereka.

"Kau sudah terima?" "Terima apa?"

"Merobah banjir darah menjadi damai tentram."

Mendadak Tong Thong-san menghela napas, katanya: "Sayang sekali umpama aku mau terima toh tak berguna."

"Kenapa?"

"Karena masih ada seorang lain yang tak mau terima." "Siapa?"

"Wi-pat-tay-ya."

"Boleh kau suruh dia mencari aku." "Kemana mencarimu?"

Sorot mata Bak Pek yang dingin terjun ke tempat jauh, lama sekali baru dia berkata pelan-pelan: "Di dalam kota Tiang-an, kembang Bwe di dalam Leng-hiang-wan, tentu sekarang sudah mekar. "

ooo)dw(ooo Jikalau hati Wi-pat-tay-ya sedang riang, selalu mengulum senyum, menepuk pundakmu, mengucapkan kata-kata lucu yang dia anggap jenaka dan menyenangkan. Tapi bila dia sedang marah, diapun berubah seperti orang-orang marah lainnya. Raut mukanya yang bersemu merah bercahaya, mendadak berubah bengis laksana singa yang kelaparan. Sorot matanya mencorong buas, berubah sekasar dan seliar singa yang mengamuk setiap waktu, dia bisa mencakar orang yang membuatnya murka, dikoyak dan disayat-sayat hancur lebur, lalu ditelannya bulat-bulat.

Sekarang dia sedang marah.

Tong Thong-san berdiri di depannya dengan mengerut alis. Orang gagah dari Bu-lim yang menjagoi belahan dunia ini sekarang berdiri tak ubahnya seperti anak kambing berhadapan dengan harimau, bernapaspun ketakutan.

Biji mata Wi-pat-tay-ya yang beringas merah berdarah tengah mendelik kepadanya, katanya dengan kertak gigi: "Katamu bedebah yang dipelihara lonte itu bernama Ban Pek?"

Tong Thong-san mengiakan dengan menunduk. "Katamu dia datang dari Ceng-seng?"

Kembali Tong Thong-san mengiakan, suaranya lirih. "Kecuali itu, kau tidak tahu apa-apa?"

Semakin rendah kepala Tong Thong-san, kembali dia mengiakan.

Wi-pat-tay-ya menggerung seperti singa murka, dampratnya: "Bedebah yang dipelihara lonte itu membunuh dua muridku, namun asal-usulnya saja kau tidak mengetahuinya, masih ada muka kau kemari menemui aku, kenapa tidak kau mampus saja!"

Mendadak dia melompat berdiri dari kursi menerjang maju, sekali raih dia renggut baju di depan Tong Thong-san, sekali tarik pula pakaiannya dia robek menjadi dua. Di susul telapak tangannya melayang pulang pergi, dia tampar muka Tong Thong-san bolak-balik tujuh delapan belas kali. Darah sudah meleleh dari ujung mulut Tong Thong-san, tapi kelihatannya dia tidak merasa sakit, juga tidak merasa marah atau penasaran, sebaliknya mengunjuk mimik senang dan tentram lega. Karena dia tahu bila Wi-pat-tay-ya menghajarnya dengan kejam, memakinya semakin garang, itu pertanda bahwa orang menganggapnya sebagai orang sendiri, dan itu berarti pula bahwa jiwanya dipungut kembali. Sebaliknya bila sikap Wi-pat-tay-ya sopan santun dan lemah lembut kepadamu, jangan harap jiwamu dapat bertahan hari ini.

Setelah tamparan pulang-pergi, Wi-pat-tay-ya masih menambahkan sekali tendang lagi pada perutnya, sehingga dia menungging kesakitan, namun Tong Thong-san sedikitpun tidak mengeluh atau berani banyak tingkah, padahal darah bercucuran dari mulut dan hidungnya, keringat dingin gemerobyos membuatnya tele-tele.

Akhirnya Wi-pat-tay-ya menghela napas, serunya murka sambil mendelik: "Tahukah kau, Siau-su-cu (maksudnya Sin Su) dan lain-lain kuperintahkan untuk bantu kau membunuh orang?"

"Aku tahu", tersipu-sipu Tong Thong-san menjawab. "Kini mereka justru terbunuh orang, dan kau masih segar bugar berlompatan kehadapanku. Kau ini terhitung barang apa?"

"Aku ke sini bukan barang, tapi aku harus kembali ke sini."

"Kau bedebah, kau berani kembali? Memangnya kau tidak bisa mencawat ekor lari ke tempat jauh, supaya aku orang tua tidak marah melihat congormu?"

"Aku juga tahu kau orang tua pasti marah, oleh karena itu terserah kau orang tua, mau hajar atau mau bunuh, aku tidak akan banyak komentar, tapi jikalau aku harus mengkhianati kau orang tua atau melarikan diri, matipun aku tidak sudi."

Lama Wi-pat-tay-ya mendelik, mendadak tertawa terbahak-bahak, serunya: "Bagus, punya pambek!.", lalu diulur kedua tangannya memeluk pundak Tong Thong-san, katanya lantang: "Coba kalian lihat, inilah putraku yang sejati, kalian harus belajar dan meniru padanya, memangnya kenapa harus takut berbuat salah? Memangnya nenek- moyang siapa yang tidak pernah berbuat salah selama hidupnya, sampai aku Wi Thian-bing juga pernah berbuat salah, apalagi orang lain."

Begitu dia tertawa, perasaan tertekan puluhan orang yang hadir dalam ruang pendopo itu menjadi lega dan longgar.

Berkata Wi Thian-bing: "Diantara kalin siapa yang tahu barang apa sebenarnya bedebah yang bernama Ban Pek itu?". Jelas ucapannya ditujukan kepada seluruh hadirin, namun sorot matanya hanya menatap ke muka seorang saja. Orang ini bermuka putih, dua jalur jenggot kambing menghias dagunya, kelihatannya sopan santun, lemah lembut dan ramah tamah pula. Orang yang tidak mengenalnya, takkan tahu bahwa pemuda pelajar ini ternyata adalah tokoh penting yang paling lihay di antara sekian banyak murid-murid Wi-pat-tay-ya, golongan hitam atau aliran putih ketakutan bila mendengar nama julukannya Thi-cui-cu Han Tin.

Pemuda pelajar ini memang mirip Thi-cui-cu (bor besi), betapapun keras kerangka milikmu, dia tetap bisa mengebormu sampai bolong. Tapi selintas pandang orang akan mengira dia seorang supel, suka bersahabat dan bersikap lembut, wajahnya selalu dihiasi senyum manis yang tentram damai, namun bicarapun kalem dan tenang serta mantap.

Setelah pasti tiada orang lain yang menjawab pertanyaan ini, baru dia bersuara pelan-pelan: "Beberapa tahun yang lalu, terdapat satu keluarga she Bak. Karena menghindari bencana, maka mereka lari dan menyembunyikan diri ke Ceng-seng-san. Bak Pek adalah salah satu anggota keluarga she Bak itu."

Wi Thian-bing tertawa pula, matanya mengerling ke empat penjuru, katanya tertawa gelak-gelak: "Memangnya sering kukatakan, kejadian dalam dunia ini tiada yang tidak diketahui bocah ini."

Han Tin tersenyum, ujarnya: "Tapi aku tidak tahu di tempat mana mereka menyembunyikan diri di Ceng-seng-san itu, selama beberapa tahun ini, belum pernah ada orang yang menemukan tempat persembunyian mereka, namun setiap tiga atau lima tahun, mereka pasti keluar sekali berombongan."

"Untuk apa mereka keluar?", tanya Wi Thian-bing. "Mencampuri urusan orang lain.", sahut Han Tin.

Seketika Wi Thian-bing menarik muka, selamanya dia paling benci pada orang yang suka usil mencampuri urusan orang lain.

"Mereka dipaksa mencampuri urusan orang lain," demikian Han Tin melanjutkan uraiannya. "Karena mereka mengagulkan sebagai keturunan Bak Ti. Anak murid keluarga Bak turun temurun tidak diperbolehkan menjadi pertapa yang mengasingkan diri hanya mengurus diri sendiri belaka."

Berkerut alis Wi Thian-bing, katanya: "Barang apa pula Bak Ti itu?"

"Bak Ti bukan barang, diapun seorang manusia," sahut Han Tin tawar.

Wi Thian-bing malah tertawa mendengar penjelasan itu, seperti kebanyakan orang yang dipanggil tay-ya (tuan besar), ada kalanya diapun senang bila ada orang mendebat dan membantah omongannya.

Han Tin berkata lebih lanjut: "Bak Ti adalah Bak Cu, keluarga Bak memangnya sering mempersulit generasi mendatang, sampaipun jiwa seseorang takkan gentar menghadapi kobaran api atau lautan golok, oleh karena itu keturunan keluarga Bak dilarang menjadi orang pengasingan, tapi mereka diharuskan menjadi Gi-su (manusia berani mati)." Han Tin tertawa, sahutnya: "Gi-su ada terbagi beberapa macam. Ada semacam Gi-su, apa yang dilakukan kelihatan gagah perwira, tapi Bak Pek bergerak secara sembunyi- sembunyi, agaknya dia mempunyai maksud tertentu."

"Jadi, kau golongkan Bak Pek pada Gi-su macam ini?" "Kelihatannya begitu."

"Gi-su semacam ini gampang dihadapi." "Dihadapi bagaimana?"

"Bunuh satu kurang satu." "Mereka tak boleh dibunuh" "Kenapa tidak boleh dibunuh?"

"Seperti Kuncu (sosiawan), peduli Gi-su itu tulen atau palsu, dia tak boleh dibunuh."

Wi Thian-bing tertawa tergelak-gelak, katanya: "Benar, jikalau kau membunuh mereka, pasti ada orang mengatakan kau ini seorang yang tak berbudi, tidak kenal cinta kasih  dan tidak tahu diri."

"Oleh karena itu mereka tidak boleh dibunuh."

"Memang tidak boleh, siapa bilang hendak membunuh mereka, biar kubunuh dia lebih dulu."

"Apa lagi bukan kerja gampang untuk memberantas mereka"

"Memang bedebah itu boleh juga" "Sosok dari orang-orang itu mungkin tidak menakutkan, yang harus ditakuti adalah jago-jago berani mati yang dipimpinnya itu."

"Jago-jago berani mati? Apa maksudnya?", tanya Wi Thian-bing tidak mengerti.

"Maksudnya bahwa orang-orang itu setiap waktu siap berkorban demi kepentingannya."

"Memangnya mereka tidak ingin hidup?"

"Orang yang tidak pikirkan mati hidup sendiri justru merupakan musuh yang paling menakutkan. Ilmu silat yang berani mati adalah ilmu silat yang paling menakutkan pula."

Wi Thian-bing diam saja, dia menunggu penjelasan lebih lanjut.

"Karena sekali tabas kau membunuhnya, diapun akan membunuhmu dengan sekali tabasan pula."

Agaknya Wi Thian-bing kurang puas akan penjelasan ini, alisnya berkerut.

Lekas Han Tin menambahkan: "Walau kau lebih cepat turun tangan dari dia, tapi dikala kau membunuhnya, dia masih sempat membalas membunuhmu, karena begitu golokmu membacok, hakikatnya dia tidak berkelit, juga tidak berusaha menghindar, oleh karena itu pada saat golokmu membacok badannya, dia masih punya waktu untuk membunuhmu."

Tiba-tiba Wi Thian-bing maju mendekat, dengan keras dia tepuk pundak orang, katanya: "Uraian bagus! Uraian masuk di akal." Han Tin mengawasinya saja tanpa bersuara, sekilas pandang, dia sudah mengerti maksudnya.

Kalau bukan musuh yang harus diberantas, maka dia termasuk kawan sendiri, harus dirangkul. Ini bukan saja merupakan prinsip bagi Wi Thian-bing, sejak jaman dahulu kala, seluruh keluarga besar atau pentolan Bu-lim berkuasa mempunyai prinsip yang seperti ini. Bagi  orang-orang seperti mereka, prinsip ini jelas jitu dan tak terkalahkan.

"Tong Lotoa pernah bilang," Han Tin berkata lebih lanjut, "mereka hendak pergi ke kota Tiang-an."

Wi Thian-bing manggut-manggut, katanya: "Kabarnya Leng-hiang-wan adalah sebuah tempat bagus, sejak lama aku sudah ingin berkunjung ke sana."

"Leng-hiang-wan merupakan sebidang tanah luas beberapa hektar, di dalam taman tertanam laksaan pucuk kembang Bwe, sekarang sedang musimnya kembang Bwe mekar, karena itu. '

"Oleh karena itu bagaimana?", Wi Thian-bing menegas. "Kalau Bak Pek bisa berada di sana, kenapa kita tidak

bisa ke sana pula?"

"Sudah tentu kita harus ke sana."

"Kalau mau ke sana, lebih baik seluruh tempat itu kita sewa dan monopoli sendiri."

"Akal bagus."

"Begitu Bak Pek ke sana, kita mengundangnya secara sopan, biar dia saksikan orang macam apa sebenarnya Wi- pat-tay-ya, jikalau dia bukan orang pikun, selanjutnya tentu takkan berani bertingkah di hadapan kita."

"Apakah dia orang pikun?" "Tentunya bukan. "

Wi Thian-bing tepuk tangan sambil tertawa gelak-gelak, serunya: "Bagus, akal bagus."

ooo)dw(ooo

Tong Thong-san bersama Han Tin beranjak di serambi panjang yang sunyi sepi itu, memangnya sudah lama mereka sebagai teman kental, namun sudah beberapa tahun ini tak pernah bertemu lagi karena kesibukan tugas masing-masing.

Tiba-tiba Tong Thong-san menghentikan langkahnya, katanya sambil menatap Han Tin: "Ada sebuah hal aku selalu merasa heran."

"Soal apa?," tanya Han Tin.

"Kenapa setiap patah kata yang kau ucapkan Lo-ya-cu selalu anggap akal bagus?"

Han Tin tertawa, ujarnya: "Karena hal itu merupakan maksud tujuannya pula. Aku hanya mewakilkan dia mengemukakan di hadapan umum saja."

"Kalau benar memang maksudnya sendiri, kenapa harus kau yang mengutarakan?"

"Sudah berapa lama kau bekerja bagi Lo-ya-cu?" "Sudah puluhan tahun."

"Menurut pendapatmu, orang macam apa dia sebenarnya?" Tong Thong-san ragu-ragu, akhirnya balas bertanya: "Menurut pendapatmu sendiri?"

"Kukira kau tentu anggap dia seorang kasar, ceroboh, ugal-ugalan, seorang yang selamanya tidak pernah menggunakan otak."

"Memangnya dia bukan manusia seperti yang kau lukiskan?", tanya Tong Thong-san.

"Dulu sewaktu Tiong-goan-pat-kiat menjagoi dunia,  semua orang beranggapan Lau-sam adalah orang yang paling cerdik pandai, Li jit-ya adalah orang yang paling lihay, dan Wi pat-ya adalah orang yang paling gegabah dan sembrono."

"Pernah juga kudengar cerita ini."

Han Tin tertawa, katanya: "Tapi Lau-sam yang paling cerdik pandai dan Li jit-ya yang paling lihay sudah almarhum, justru Wi pat-ya yang berangasan masih hidup segar bugar."

Tiba-tiba Tong Thong-san tertawa, mendadak dia mengerti kemana juntrungan kata-kata Han Tin.

Hanya seorang yang pandai berpura-pura sembrono, berangasan dan gegabah saja, justru merupakan orang yang paling cerdik dan lihay.

Tiba-tiba Tong Thong-san menghela napas, katanya: "Sayangnya pura-pura gegabah juga bukan suatu hal yang gampang dilakukan."

"Memangnya sulit, kecuali kau seorang pemain sandiwara yang ulung." "Agaknya kau justru tak pandai berpura-pura dan bermuka-muka."

"Umpama sekarang aku benar-benar berpura-pura bodoh, aku tetap bisa melakukannya."

"Kenapa...?"

"Karena seorang gegabah selalu didampingi seorang cerdik pandai, peranan yang kulakukan sekarang adalah tokoh cerdik, pandai dan lihay itu."

"Oleh karena itu, setiap patah kata yang kau ucapkan, Lo- ya-cu selalu anggap akal bagus."

"Oleh karena itu, yang dibenci orang tetap adalah kau pula, bukan Lo-ya-cu."

Han Tin manggut-manggut, ujarnya: "Oleh karena itu sekarang kau harus sadar, kenapa seorang cerdik pandai biasanya lebih cepat mati."

Tong Thong-san tiba-tiba tertawa, katanya: "Tapi masih ada semacam orang yang mati lebih cepat dari orang-orang cerdik dan lihay."

"Orang macam apa?"

"Orang-orang yang melawan Lo-ya-cu."

Han Tin tertawa, ujarnya: "Oleh karena itu aku selalu bersimpati kepada orang-orang seperti itu, untuk mempertahankan hidup memangnya suatu hal yang teramat sulit bagi mereka."

ooo)dw(ooo Pang Lak tengah melintasi gang kecil sempit yang dipenuhi tumpukan salju, dari kejauhan sudah kelihatan kembang-kembang Bwe yang sedang mekar semarak di dalam Leng-hiang-wan.

"Pergi kau ke Tiang-an, borong seluruh Leng-hiang-wan, tamu-tamu yang semula sudah menetap di sana usir semua, peduli mati atau hidup, semua harus keluar dari sana."

Itulah perintah Wi pat-ya, perintah yang paling khas dari Wi pat-ya.

Bila kau di utus melaksanakan tugas, maka kau harus menunaikan tugas itu dengan baik dan sukses, tak boleh gagal. Cara apa dan bagaimana kau bekerja boleh kau halalkan, dia tidak peduli kesulitan apa yang kau hadapi dalam menyelesaikan tugasmu, dia lebih tak mau ambil tahu. Seluruh kesulitan harus kau atasi sendiri, jikalau kau tak kuat mengatasinya, maka kau tidak setimpal menjadi murid Wi pat-ya.

Sekarang Pang Lak sedang menunaikan tugas yang dibebankan pada dirinya. Biasanya dia seorang yang paling teliti dan cermat di dalam menjalankan tugas apapun.

Setelah keluar dari gang sempit ini, tibalah dia di muka pintu kamar salah satu dari Leng-hiang-wan. Pengurus yang piket biasanya berada di dalam kamar ini, diam-diam dia berdoa semoga pengurus yang piket sekarang adalah seorang pandai yang tahu diri dan bisa melihat gelagat. Semua cerdik pandai tahu bahwa perintah atau permintaan Wi pat-ya tidak boleh di tolak.

ooo)dw(ooo Orang yang piket dalam Leng-hiang-wan hari ini adalah seorang laki-laki berusia tiga puluhan lebih, agaknya memang tidak begitu pintar, namun jelas tidak bodoh.

"Cayhe Nyo Kan, terserah Kongcu hendak menikmati kembang atau mau minum arak, atau ingin dolan beberapa hari di sini, silahkan memberi perintah saja." demikian pengurus yang piket memperkenalkan diri serta menyambut kedatangan Pang Lak.

Jawaban Pang Lak pendek, tegas dan langsung: "Kita akan borong seluruh taman ini"

Nyo Kan melengak, merasa amat di luar dugaan, namun dia tetap tersenyum, katanya: "Di sini seluruhnya ada dua puluh satu pekarangan, empat belas bangunan gedung berloteng, tujuh aula, dua puluh delapan kamar kembang, dua ratusan kamar tamu, apa Kongcu ingin memborongnya semua?"

"Begitulah maksudku." ujar Pang Lak.

Sekilas Nyo Kan termenung dan bimbang, katanya: "Berapa banyak orang yang hendak di undang Kongcu?"

"Umpama seorang yang ku undang, tetap akan kuborong seluruhnya."

Seketika Nyo Kan unjuk rasa tidak senang, katanya dengan sikap menjadi dingin: "Itu tergantung orang macam apa yang hendak berkunjung kemari."

"Yang akan datang adalah Wi pat-ya."

Tersirap jantung Nyo Kan, serunya: "Wi pat-ya, Wi-pat- tay-ya dari Po-ting-hu?" Pang Lak manggut-manggut, hatinya amat puas dan bangga, betapapun ketenarannya dan kebesaran nama Wi pat-ya cukup menggetarkan nyali orang, tak sedikit orang yang mengenalnya.

Mengawasinya, tiba-tiba sorot mata Nyo Kan mengunjuk senyuman yang licik dan licin, katanya: "Perintah Wi pat-ya sebetulnya Cayhe tidak berani membangkang, hanya.......barusan datang juga seorang tamu yang berkata hendak memborong seluruh taman ini, malah dia berani membayar tarip tinggi seribu tahil perak seharinya. Cayhe belum berani menerimanya, sekarang jikalau aku menerima permintaan Kongcu, cara bagaimana aku harus memberi pertanggungan jawab kepada orang itu?"

Berkerut alis Pang lak, tanyanya: "Dimana sekarang orang itu?"

Nyo Kan tidak menjawab dengan mulut, namun sorot matanya lewat pundaknya tertuju ke arah jauh di belakangnya. Waktu Pang Lak putar badan, maka dilihatnya seraut wajah yang hijau bersemu putih, seraut wajah yang tidak menunjukkan sedikit perasaanpun.

Seseorang tengah berdiri di belakangnya memojok di kamar sana, badannya mengenakan pakaian serba putih yang terbuat dari kaci tipis, di punggungnya menggendong segulung tikar, tangannya memegang tongkat pendek.  Waktu Pang Lak masuk tadi tidak melihat orang ini, kini orang inipun seperti tidak melihat kehadirannya, sepasang biji matanya yang dingin bening sedikitpun tidak menampilkan perasaan apa-apa, seolah-olah menatap ke tempat nan jauh. Seolah-olah semua manusia, segala urusan dalam dunia ini, tiada satupun yang terpandang dalam matanya, yang diperhatikan agaknya hanya udara kosong di tempat nan jauh dan tidak menentu itu, hanya di sana baru dia benar- benar berhasil mendapatkan suatu tempat yang tenang dan tentram.

Hanya sekilas Pang Lak melihatnya, terus putar badan lagi. Dia sudah tahu siapa laki-laki jubah putih ini, maka dia tidak perlu mengawasinya secermat mungkin, diapun tidak ingin bicara sama dia.

Sorot mata Nyo Kan masih memancarkan tawa hina dan mencemooh. Tiba-tiba Pang Lak berkata: "Kau sedang berdagang, bukan?"

"Memangnya Cayhe berdagang." sahut Nyo Kan. "Lalu apa tujuan orang berdagang?."

"Tentunya mencari untung."

"Baik, aku berani membayar seribu lima ratus tahil perak sehari, disamping kuberi seribu tahil untuk persenmu sendiri.", demikian Pang Lak main diplomasi. Dia tahu bicara dengan seorang pedagang jauh lebih gampang daripada seorang yang tidak perdulikan mati hidup jiwanya sendiri. Selama bertahun-tahun bekerja bagi Wi-pat-ya, dia sudah berpengalaman untuk cara bagaimana memberi keputusan dan memilih jalan yang terbaik dalam menempuh keberanian kerjanya.

Nyo Kan ternyata ketarik dan mulai bimbang. Tiba-tiba terdengar laki-laki jubah putih bersuara: "Akupun menawar seribu lima ratus tahil ditambah ini." Terasa oleh Pang Lak dari belakang ada sejalur angin menyambar seperti tabasan golok dingin, tak tahan dia berpaling ke belakang. Ternyata laki-laki jubah putih sudah melolos sebilah golok pendek dari tongkatnya, sekali gerakan membalik tahu-tahu golok pendek itu mengiris sekerat daging di pahanya sendiri. Pelan-pelan dia taruh kulit daging hasil irisannya itu di atas meja. Darah bercucuran, namun air mukanya tetap dingin beku, agaknya sedikitpun tidak merasa sakit.

Pang Lak mengawasinya, terasa ujung matanya bergidik. Lama sekali baru dia berkata dengan kalem: "Tarip setinggi ini akupun mampu membayarnya."

Sekilas sinar mata dingin laki-laki jubah putih mengerling kepadanya, lalu memandang canang ke depan nan jauh. Pelan-pelan Pang Lak keluarkan sebilah pisau, diapun mengiris sekerat daging di pahanya sendiri. Dia mengiris pelan-pelan, amat hati-hati dan teliti. Perduli apapun yang dia kerjakan, biasanya memang teliti dan seksama.

Bahwa kulit daging sendiri diiris tentunya sakit bukan buatan, namun perintah Wi-pat-ya jikalau tidak terlaksana, maka siksaan yang dia alami jauh lebih menderita. Agaknya putusan dan jalan yang dia tempuh memang tepat atau mungkin memang dia tiada kesempatan atau tiada peluang main pilih segala.

Dua kerat daging paha yang berlepotan darah ditaruh di atas meja. Jantung Nyo Kan sudah berdegup, seluruh badan merasa lemas. Sekilas laki-laki jubah putih melirik kepada Pang Lak, tiba-tiba golok pendeknya berkelebat, tahu-tahu dia tabas sebuah kupingnya sendiri.

Terasa oleh Pang Lak lengannya sendiri sudah kaku dan gemetar. Dia pernah memotong kuping orang, waktu itu dia merasa senang dan terhibur meski dia tahu caranya itu agak keji, tapi memotong kuping sendiri merupakan suatu hal yang lain.

Sebetulnya dia bisa main pisaunya untuk bunuh laki-laki jubah putih ini, namun peringatan Han Tin selalu terngiang di dalam benaknya. 'Walau kau turun tangan cepat, namun di kalau kau berhasil membunuhnya, diapun masih sempat membalas membunuhmu.' Setiap orang yang cermat dan hati-hati selalu sayang pada jiwa raganya sendiri dan Pang Lak adalah orang yang paling teliti. Pelan-pelan dia angkat kepalanya, lalu dipotongnya sebelah kupingnya, gerak- geriknya pelan-pelan dan hati-hati.

Pundak laki-laki jubah putih sudah berlepotan darah, sorot matanya yang semula kosong tak berperasaan, kini tiba-tiba menampilkan rasa senang nan buas, seolah-olah dia sendiri yang memotong kuping Pang Lak ini.

Dua kuping yang terpotong terletak di atas tanah. Nyo Kan sudah tak kuasa berdiri lagi.

Mengawasi darah segar yang bertetesan dari kuping Pang Lak, laki-laki jubah putih berkata dingin: "Apakah kau masih berani menawar setinggi ini?", mendadak dia ayunkan golok pendeknya pula, membacok pergelangan tangan kirinya. Hati Pang Lak serasa ikut terayun mengikuti samberan golok orang. Pada saat itu mendadak terasa angin menghembus lalu, hembusan angin yang membawa serangkum bau wangi aneh. Disusul ujung matanya lantas melihat bayangan seorang. Seorang perempuan. Terkesima mata Pang Lak, belum pernah dia melihat perempuan secantik ini selama hidupnya. Bayangan orang melayang tiba, seolah-olah dibawa hembusan angin lalu.

Waktu laki-laki jubah putih melihat gadis ini, tahu-tahu dia merasa sikut tangan kanannya yang memegang golok tersanggah oleh lengan orang. Orang tengah tersenyum manis kepadanya, tawa nan hangat dan genit, demikian pula suaranya merdu dan manis mesra.

"Golok membacok daging orang rasanya sakit sekali." "Ini bukan kulit dagingmu," jengek laki-laki jubah putih.

Gadis cantik itu berkata lembut: "Walau bukan badanku sendiri, hatikupun ikut sakit!". Jari-jarinya nan runcing halus tiba-tiba mengebas seperti seorang kekasih yang memetik sekuntum kembang dari vas kembang. Sekonyong- konyong laki-laki jubah putih merasa golok di tangannya sudah berpindah ke tangan orang. Golok cepat yang terbikin dari baja murni, tipis dan tajam luar biasa.

Jari-jarinya begitu runcing dan lembut, hanya sekali potes dan telikung seperti gadis ayu memetik kembang, terdengar "Pletak...!", golok cepat tipis terbuat dari baja murni itu tahu-tahu sudah dia tekan putus dengan enteng.

"Apalagi tempat ini sudah kuborong seluruhnya, buat apa kalian masih bersitegang di sini?" demikian katanya lebih lanjut. Sembari bicara tahu-tahu potongan ujung golok yang terbuat dari baja murni itu dia jepit dengan dua jari terus diangsurkan ke mulutnya, pelan-pelan dikunyah terus ditelannya mentah-mentah. Maka tampak wajahnya nan cantik seketika menampilkan rasa senang dan puas, seolah- olah baru saja dia mengulum dan menikmati sebutir gula- gula yang enak sekali.

Pang Lak melenggong. Hampir dia tidak berani akan penglihatan matanya sendiri, sampaipun sorot mata laki-laki jubah putihpun menyorotkan rasa kaget dan ketakutan. Mana mungkin dalam dunia ini terjadi peristiwa seaneh ini, ilmu silat atau Lweekang yang menakutkan? Memangnya dia tidak takut, besi baja yang tajam itu mengkoyak isi perutnya?.

Kembali gadis ayu itu memotes sekeping golok baja itu serta dimasukkan ke mulut pula terus ditelan, katanya perlahan sambil menghela napas: "Golokmu ini memang bagus, bukan saja terbuat dari baja murni yang berkwalitet tinggi, gemblengannya cukup matang, jauh lebih enak dan lezat dari golok yang kumakan kemarin."

"Setiap hari kau makan golok?", tak tahan Pang lak bertanya.

"Makanku tidak banyak, setiap hari hanya tiga batang, ketahuilah pedang dan golok mirip pula ikan dan daging, kalau terlalu banyak kau makan, perutmu bisa mules dan mangsur-mangsur."

Pang Lak mengawasinya dengan mendelong, jarang dia bersikap linglung di hadapan gadis secantik ini, namun sekarang agaknya tidak kuasa menguasai perasaannya sendiri.

Gadis cantik itu belum mengawasi dirinya, katanya pula: "Sebaliknya pisau di tanganmu itu rasanya tentu tidak enak lagi."

"Kenapa?", tanya Pang Lak.

Gadis itu tertawa cekikikan, katanya tawar: "Dengan pisau itu sudah terlalu banyak orang yang kau bunuh, bau anyirnya darah sudah terlalu tebal."

Sekilas laki-laki baju putih melirik kepada si gadis, tiba- tiba dia putar badan lalu melangkah pergi dengan cepat. Dia tidak takut mati, namun jikalau suruh dia memotong golok baja dan menelannya bulat-bulat, jelas dia takkan mampu melakukannya. Takkan ada dalam dunia ini yang bisa melakukannya, bahwasanya kejadian ini memang luar biasa.

Kembali gadis itu tertawa, katanya: "Agaknya dia tidak ingin rebutan dengan aku, lalu kau. ?"

Pang Lak tak bersuara, hakekatnya dia tidak bisa berbicara lagi.

"Seorang laki-laki sejati, perduli apapun yang dia perebutkan dengan perempuan, umpama akhirnya menang, juga tidak boleh dibanggakan, coba katakan benar tidak?"

Akhirnya Pang Lak menghela napas, katanya: "Harap tanya siapakah nama besar nona yang harum, supaya Cayhe kembali bisa membuat laporan."

Gadis itu menghela napas, katanya: "Akupun hanya seorang suruhan, tiada gunanya kau tanya namaku." Gadis secantik bak bidadari ini, berkepandaian silat tinggi lagi, kiranya hanyalah budak atau pelayan orang. Memangnya orang macam apa pula majikannya?.

"Boleh kau kembali dan beritahu kepada Wi-pat-ya, katakan bahwa tempat ini sudah diborong seluruhnya oleh Lam-hay-nio-cu. Jikalau dia orang tua ada waktu, boleh silahkan kemari untuk bermain beberapa hari."

"Lam-hay-nio-cu.", mulut Pang Lak mendesis.

Gadis ayu itu manggut-manggut, katanya: "Lam-hay-nio- cu adalah majikanku, pulanglah dan laporkan kepada Wi-pat- ya, dia pasti tahu."

ooo)dw(ooo

Di kala Wi-pat-ya marah dan senang bagaikan langit dan bumi perbedaannya dan ini sudah terlalu sering disaksikan oleh banyak orang. Namun selama ini belum pernah mereka melihat Wi-pat-ya sedemikian tegang, begitu keheranan dan kuatir, sampai kulit mukanya yang selalu bercahaya itu berubah membesi hijau.

"Lam-hay-nio-cu. Apakah benar dia belum mati?" kedua jari-jarinya terkepal, suaranyapun mengandung rasa heran dan tegang, malah seolah-olah mengandung rasa ketakutan dan ngeri.

Tiada orang yang berani berisik meski hanya helaan  napas panjang. Tiada yang menduga bahwa masih ada seseorang dalam dunia ini yang masih mampu membuat Wi- pat-ya takut dan bersitegang leher begitu rupa.

Melotot biji mata Wi Thian-bing, serunya: "Apakah kalian tahu orang macam apa sebenarnya Lam-hay-nio-cu itu?." Pertanyaan ditujukan kepada seluruh hadirin, namun matanya dengan tajam menatap Han Tin. Tapi kali ini Han Tin diam saja tak kuasa menjawab. Keruan Wi Thian-bing gusar serta menghampirinya dan merenggut bajunya, bentaknya beringas: "Lam-hay-nio-cu pun tidak kau ketahui? Memangnya apa pula yang kau ketahui?."

Muka Han Tin tiba-tiba berubah tidak menunjukkan perasaan seperti muka orang-orang jubah putih itu, sepasang matanyapun seperti memandang ke tempat jauh.

Lama Wi Thian-bing menatapnya lekat-lekat, rasa gusarnya pelan-pelan mereda, jari-jarinya yang merenggut baju orang mulai mengendor dan lepas. Mendadak dia menghela napas panjang, katanya: "Memang tak bisa salahkan kau, usiamu masih amat muda, di kala Lam-hay-nio- cu hidup digdaya malang melintang di dunia ini, mungkin kau belum dilahirkan." tiba-tiba dia membusungkan dadanya pula, suaranya lebih keras: "Tapi aku justru pernah melihatnya. Dalam kolong langit ini, yang pernah melihat wajah aslinya mungkin kecuali aku Wi Thian-bing, pasti takkan ada orang kedua." kulit mukanya kembali merah bercahaya, bisa melihat wajah asli Lam-hay-nio-cu seolah- olah merupakan kebanggaan terbesar selama hidupnya.

Dalam hati semua hadirin tengah bertanya-tanya: "Siapakah sebenarnya Lam-hay-nio-cu? Bagaimana pula tampang mukanya?". Sudah tentu tiada orang yang berani mengutarakan hal ini, di hadapan Wi-pat-ya semua orang hanya boleh menjawab, dilarang mengajukan pertanyaan, Wi-pat-ya tidak suka berhadapan dengan orang ceriwis. Tiba-tiba Wi Thian-bing berkata pula lebih keras: "Lam- hay-nio-cu adalah Jian-bin-koan-im (Koan-im seribu muka), itu berarti dia punya seribu tangan, seribu pasang mata dan punya seribu muka." Mendadak dia bertanya kepada Pang Lak: "Perempuan yang kau temui itu bagaimana pula tampangnya?"

"Gadis itu kelihatannya cukup lumayan." "Cukup lumayan atau teramat cantik?"

"Ya, cantik sekali." Sahut Pang Lak tertunduk. "Berapa usianya menurut taksiranmu?"

Semakin rendah kepala Pang Lak, dia mendadak menyadari bahwa dirinya ternyata tidak dapat menaksir berapa usia gadis itu sebenarnya. Waktu pertama kali dia melihatnya, terasa meski gadis itu masih muda belia, tapi sedikitpun sudah berusia enam likuran. Tapi belakangan setelah berhadapan langsung dan bicara, terasa pula orang adalah nona cilik seusia empat lima belasan. Tapi waktu dia menegasi dua kali pandang pula, dilihatnya di ujung mata orang seperti sudah berkeriput, jadi usianya sekitar tiga puluhan lebih!. Kini setelah dipikir dan dibayangkan, dengan kepandaian memutus golok dan menelan golok tajam itu, jikalau membekal latihan Lweekang selama empat lima puluhan tahun secara tekun dan giat, masakah dia memiliki kekebalan ilmu yang begitu tinggi?.

Wi Thian-bing berkata: "Kau tidak bisa menaksir berapa usianya?"

Dari menunduk Pang Lak membungkuk badan malah, mulutnya terkancing. Mendadak Wi Thian-bing tepuk tangan, serunya: "Gadis itu sendiri mustahil adalah Jian-bin-koan-im."

Tak tahan Pang Lak bersuara: "Jikalau sudah ada tiga empat puluhan tahun dia mengasingkan diri, bukankah sekarang dia sudah patut menjadi nenek renta?".

Wi Thian-bing tertawa dingin, katanya: "Waktu dia berusia tujuh belasan, pernah ada orang menganggapnya seorang nenek tua, dua tiga puluh tahun kemudian, ada orang mengatakan dia seorang nona mungil yang lincah malah."

(Bersambung ke Jilid-2) 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar