Jilid 10
BAB 28. DITEMANI WANITA
Tanggal 14 bulan 9. Cuaca cerah. Magrib. Di pinggir jalan raya terdapat sebuah warung teh. Tidak semua warung wedang di pinggir jalan menjual teh, ada juga yang menjual arak. Soalnya teh dapat kau minta dengan gratis, sebaliknya arak harus kau beli.
Di dalam warung teh ini menyediakan empat macam arak, semuanya arak yang bermutu rendah dengan harga yang murah, malah kebanyakan arak-arak keras yang membakar tenggorokan.
Kecuali arak, sudah tentu warung ini menyediakan juga makanan lain dan kue-kue, ada tahu, telur asin, bakpau dan kacang.
Sekeliling warung ini dipagari pepohonan yang rindang, di bawah pohon-pohon ini ditata meja dan bangku-bangku panjang, banyak orang yang berjajar duduk di bangku-bangku panjang ini, menaikkan kaki, minum arak mengunyah kacang.
Dengan mendelong Pho Ang-soat sedang mengawasi orang-orang yang menguliti kacang, sedang mengunyahnya dengan lahap.
Ada orang yang makan kacang, untuk mengiringi minum arak dengan tahu dan emping, ada pula orang yang makan kacang dan bakpau. Mereka makan dengan lahapnya seolah-olah makan kacang dan tahu sudah menjadi kebiasaan mereka sehari-hari.
Tapi Pho Ang-soat terima tahu menolak kacang. Seolah-olah kacang hanya boleh dipandang tidak boleh dimakan.
Tak tertahan Cui-long bertanya dengan suara lirih. "Kau masih memikirkan orang itu?" Pho Ang-soat tutup mulut.
"Lantaran dia suka makan kacang, maka kau tidak mau makan?" Pho Ang-soat tetap membungkam.
"Aku tahu " ujar Cui-long menghela napas.
"Kau tahu apa?" tanya Pho Ang-soat.
"Di saat penyakitmu kumat, kau tidak sudi dilihat orang lain, tapi dia justru kebetulan datang menyaksikan keadaanmu, oleh karena itu kau membencinya."
Pho Ang-soat membungkam lagi, mulutnya terkancing kencang, sekencang jari-jarinya menggenggam goloknya. Kecuali dirinya, di sini jarang ada orang membawa senjata. Mungkin karena goloknya itu, maka banyak orang menyingkir mencari tempat yang jauh dari mereka. Cui-long menghela napas pula, katanya, "Tanggal 15 bulan 9 di Pek-hun-ceng. Kenapa dia minta kita pergi ke Pek-hun-ceng pada tanggal 15 bulan 9 itu? Sungguh aku tidak habis mengerti. "
"Banyak urusan yang tidak kau mengerti. "
"Tapi tidak bisa tidak aku harus memikirkannya." "Memikirkan apa?"
"Dia ingin kita datang, tentu mempunyai maksud tertentu, maka aku lebih tidak mengerti kenapa kau justru mau ke sana."
"Tiada orang yang ingin kau ke sana," ujar Pho Ang-soat.
Cui-long menundukkan kepala, menggigit bibir tidak bicara lagi. Dia tidak bisa bicara dan tidak bebas bicara.
0oo0
Di pinggir jalan raya di luar warung teh ini, berhenti beberapa buah kereta dan gerobak yang ditarik oleh beberapa ekor keledai. Orang-orang yang mampir melepaskan lelah, menghilangkan dahaga dan lapar, kebanyakan adalah pekerja-pekerja yang banyak mengeluarkan tenaga kasar, kecuali gegares nyamikan dan arak di dalam warung ini, selama hidup mereka boleh dikata jarang pernah menikmati kesenangan hidup, berfoya-foya.
Setelah beberapa cangkir arak keras itu masuk ke dalam perut, dunia ini seolah-olah sudah berubah menjadi lebih elok dan permai.
Seorang pemuda yang bertubuh kekar sehat, berkulit hitam, baru saja keluar dari dalam warung, dengan senyum lebar dia memberi salam kepada beberapa teman sejawatnya, setelah duduk dia berseru memanggil pemilik warung dan berpesan, "Ong-liong-cu (Ong si tuli), sediakan lima kati arak, sepuluh butir telur asin, hari ini aku yang mentraktir kawan-kawan."
Ong-liong-cu sebetulnya tidak tuli, cuma kalau ada orang menagih hutang kepadanya, dia lantas pura-pura tuli. Dengan melirik acuh tak acuh, dia mengawasi pemuda hitam itu, katanya dingin, "Kau bocah ini sudah gila."
Anak muda itu melotot, serunya, "Siapa bilang aku gila?" "Kalau tidak gila untuk apa kau main traktir segala?"
Anak muda itu segera tertawa lebar, katanya, "Hari ini aku mendapat rezeki bertemu dengan seorang tamu yang ringan tangan." Sengaja dia tertawa penuh arti, sambungnya, "Kalau kusinggung nama orang ini, memang dia sudah amat tenar dan dikenal banyak orang."
Semua yang hadir dalam warung menjadi tertarik dan bertanya bersama, "Siapa orang itu?"
Anak muda itu tertawa pula, katanya geleng-geleng, "Kalau kusebut namanya, belum tentu kalian pernah mendengarnya."
"Apa-apaan ucapanmu ini?"
"Kalau namanya tenar dikenal banyak orang, kenapa kita tidak pernah mendengar?" "Karena kalian belum setimpal."
"Kita tidak setimpal, memangnya kau setimpal?"
"Jika aku tidak punya saudara misan bekerja di dalam Piaukiok, aku pun tidak pernah mendengar nama besarnya."
"Sudahlah jangan kau jual mahal, sebetulnya she apa dan siapa nama orang itu?"
Anak muda itu mengangkat kakinya dulu, baru menjawab, "Dia she Lok, bernama Siau-ka." Sebetulnya Pho Ang-soat sudah berdiri hendak membayar terus tinggal pergi, tiba-tiba dia duduk kembali ke tempatnya. Untung orang banyak tiada yang memperhatikan dirinya, tiba-tiba dia berebut bertanya, "Kerja apa Lok Siau-ka itu?"
"Seorang pembunuh." Sengaja dia rendahkan suaranya menjadi lirih, tapi suaranya cukup jelas didengar orang banyak.
"Pembunuh?"
"Arti dari pembunuh adalah asal kau mau membayar kepadanya, dia mau membunuh siapa saja yang ingin kau bunuh, kabarnya setiap kali dia membunuh orang, paling sedikit menerima selaksa tahil perak."
Terbelalak mata semua hadirin, hampir saja napas pun terasa sesak.
"Cong-piauthau dari Piaukiok dimana saudara misanku bekerja, sudah ajal oleh pedangnya." "Maksudmu adalah Ting-toaya yang setengah tahun lalu dikebumikan itu?"
"Waktu dia dikebumikan bukankah kalian juga ikut bekerja, setiap orang malah mendapat persen lima tahil perak bukan."
"Ya, pendapatan kita hari itu memang paling besar."
"Oleh karena itu tentunya kalian bisa merasakan juga, di kala hidupnya tentu dia seorang yang bukan sembarangan, tapi begitu dia kebentur Lok-toaya ini, belum lagi goloknya sempat dicabut, tahu-tahu tenggorokannya sudah berlubang terhujam pedang orang."
"Darimana kau tahu begini jelas?"
"Saudara misanku sendiri yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri, begitu pulang dia lantas menceritakan peristiwa itu serta menggambarkan orang macam apa Lok-toaya itu kepadaku, maka hari ini aku lantas mengenalnya. Bukan aku mengenali orangnya, tapi aku mengenali pedangnya."
"Apa keistimewaan pedangnya itu?"
"Pedangnya tidak pakai sarung, kelihatannya mirip besi rongsok yang tidak terpakai lagi, tapi saudara misanku itu memberitahu, selama hidupnya belum pernah dia melihat pedang yang begitu menakutkan seperti itu."
Semua orang menghela napas dan saling pandang dengan rasa kejut, tapi banyak di antara mereka yang masih sangsi. "Sekali membunuh orang mendapat bayaran selaksa tahil, memangnya dia sudi menunggang keretamu yang bobrok?"
"Soalnya tapal kudanya kebetulan rusak, aku kebetulan lewat di jalan itu, dari Ceng-ho-tin di depan sana sampai di Pek-hun-ceng dalam jarak yang begini dekat, dia membayarkan dua puluh tahil perak."
"Agaknya rezekimu memang hari ini," semua heran dan mengiri, "kalau tidak mau ditraktir, sia- sia kita berada di sini, kalau kita tidak menghabiskan lima-enam tahil perak, masakah bocah ini bisa tidur setelah pulang ke rumah."
Sekonyong-konyong seseorang ikut menyeletuk, "Mau mentraktir juga arus mengundang aku." 0oo0
Sejak tadi orang ini rebah di bawah pohon rindang di belakang sana, rebah di atas tanah menggunakan topi rumput besar yang sudah rusak menutupi mukanya. Bukan saja topinya sudah rusak, sampai pun pakaiannya sudah butut banyak tambalan dan kotor, agaknya arak pun tidak mampu dibelinya, maka dia terima rebah di sana.
Ada orang yang mengerut kening, katanya, "Mengundangmu, kenapa harus mengundangmu?" Anak muda yang punya uang itu malah tertawa, katanya, "Di empat penjuru lautan adalah saudara, ketambahan seorang tidak menjadi soal, saudara ini agaknya memang ingin minum arak, hayolah silakan duduk!"
Orang itu berkata dingin, "Walau aku minum arakmu, tapi aku bukan temanmu, kau harus ingat akan hal ini."
Topi rumput dia dorong ke belakang kepalanya, lalu berdiri dengan kekemalas-malasanan, ternyata perawakannya besar, badannya kekar dan kuat setinggi delapan kaki, pundaknya dua kali lebar orang biasa, kedua tangannya yang gede selebar kipas lurus semampai di pundaknya, hampir menyentuh lututnya, tulang pipinya menonjol keluar, alisnya yang tebal dan panjang mirip sapu lidi, bibir besar mulut lebar.
Walau pakaiannya kotor dan rombeng, tapi begitu dia berdiri, sikapnya amat gagah, dandanan garang, siapa pun takut melihatnya. Sebetulnya ada orang yang hendak menghajarnya, kenapa ikut-ikutan ditraktir sebagai temannya. Kini tiada orang yang berani banyak mulut lagi.
Kebetulan Ong-liong-cu keluar membawa lima kati arak dan sepuluh butir telur asin, orang gede itu langsung memapak maju. "Ini bagianku," katanya seolah-olah perintah, cekak-aos dan tegas.
Tampak orang mencomot dua butir telur terus dijejalkan ke dalam mulut, hanya beberapa kali kunyah lantas tertelan ke dalam mulut. Makan dua butir telur minum seteguk arak, dalam sekejap saja sepuluh butir telur dan lima kati arak digaresnya habis.
Semua orang mendelong mengawasi tingkah-laku orang, biji matanya seperti hampir melompat keluar.
Setelah menghabiskan tegukan araknya yang terakhir, baru orang ini merasa puas dan menarik napas, dengan kemalas-malasan dia mengelus perutnya, katanya, "Siapkan sekali lagi seperti yang barusan ini."
"Satu kali lagi?" teriak Ong-liong-cu kaget.
Orang gede itu menarik muka, bentaknya berngis, "Kau tidak mendengar ucapanku?"
Bentakannya ini laksana geledek mengguntur di tengah angkasa, sampai kuping si tuli pun hampir pecah tergetar oleh suaranya. Kebetulan anak muda itu duduk di sebelahnya, saking terkejut dia sampai berjingkrak jatuh dari atas bangku.
Sekali raih laki-laki gede itu mengulurkan telapak tangan segede kipas itu menjinjing punggung bajunya, seperti menjinjing seekor ayam, katanya menyeringai, "Kau takut apa? takut mentraktir?" Mending kalau dia tidak tertawa, begitu menyeringai tawa, mulutnya seperti orang mewek hampir sobek sampai ke pinggir telinganya, kelihatannya mirip setan penjaga kelenteng yang bengis dan jahat.
Saking ketakutan anak muda itu sampai pucat mukanya, sahutnya tergagap, "Aku "Kalau kau tidak mau mentraktir, biar aku saja yang mentraktir!" Sekali rogoh dia lantas
mengeluarkan sekeping uang perak, itulah Toa-goan-po yang bernilai lima puluh tahil. Keruan
mata anak muda melotot.
Berkata pula laki-laki gede itu, "Uang perak ini bakal jadi milikmu, tapi besok pagi-pagi, kau harus menungguku di sini, bawa aku ke Pek-hun-ceng, jika kau sampai membuat urusanku gagal, batok kepalamu akan menjadi persis uang perak ini." Begitu dia kerahkan tenaga meremas dengan jari-jarinya, uang perak di tangannya itu diremasnya gepeng.
Baru saja anak muda itu berdiri tegak, saking terkesima kaget dia terpeleset jatuh lagi.
Laki-laki gede itu tergelak-gelak dengan menengadah, dia lempar uang itu ke depan anak muda itu, tanpa berpaling terus tinggal pergi. Dia pergi pelan-pelan, tapi setiap langkah kakinya sejauh empat-lima tombak, sekejap saja bayangannya sudah menghilang ditelan tabir malam. Terdengar suara serak dari nyanyiannya yang lantang memilukan, tapi orang yang mendengar akan mengkirik juga.
"Tanggal 15 bulan 9 bulan purnama,
Darah bakal mengalir di saat bulan purnama,
Darah orang-orang gagah yang takkan habis-habisnya mengalir. Batok kepala musuh tak habis dibunuh....
Suara nyanyian tetap berkumandang semakin jauh dan lama kelamaan hilang ditelan angin lalu.
Lama Pho Ang-soat berdiri menjublek, tiba-tiba dia menghela napas dengan menengadah, katanya, "Bagus sekali, batok kepala musuh yang tak habis dibunuh."
0oo0
Subuh.
Langit di ufuk timur sudah mulai memancarkan cahaya remang-remang, alam semesta masih tenggelam dalam kesunyian dan makhluk-makhluk berjiwa masih nyenyak tertidur.
Warung teh itu sudah kosong tidak kelihatan seorang pun, Ong-liong-cu tidak menetap di dalam warungnya, di depan warung berhenti kereta si pemuda di bawah pohon, si bocah meringkuk di dalam keretanya Kuatir dirinya datang terlambat, mungkin laki-laki gede yang galak dan beringas itu benar-benar bisa menggencet gepeng kepalanya.
Angin pagi terasa dingin menyusup tulang, sayup-sayup dari kejauhan terdengar kokok ayam jantan yang bersahutan.
Tampak seseorang tengah memecah kesunyian, menerjang hawa dingin pada hari yang masih remang-remang ini, kaki kiri melangkah setapak, kaki kanan lalu diseretnya ke depan. Seorang perempuan yang berperawakan semampai dan montok dengan menjinjing buntalan mengikut di belakangnya dengan menundukkan kepala.
Daun pohon bergoyang-gontai terhembus angin seperti menyambut kedatangan mereka, kabut pagi baru mulai berkembang dan lambat-laun sirna tertimpa cahaya terang. Kabut terasa dingin pula.
0oo0
Pho Ang-soat berhenti di depan warung teh, dia berpaling mengawasi Cui-long.
Raut muka Cui-long pucat, meski dia mengencangkan pakaiannya, tapi dia masih gemetar saking dinginnya. Di tengah kabut yang remang-remang, dia kelihatan amat letih dan kurus.
Pho Ang-soat mengawasinya diam-diam, sorot matanya yang dingin lambat-laun berubah hangat lembut, tak tahan akhirnya dia menghela napas, tanyanya, "Kau sudah letih?"
"Seharusnya kau yang letih, seharusnya kau tidur barang sejenak." "Aku tidak bisa tidur, tapi kau "
"Kau tidak bisa tidur, aku mana bisa tidur?"
Pho Ang-soat maju mendekat, menarik tangannya, tangan yang digenggamnya terasa dingin halus. "Sebelum aku menemukan Be Khong-cun, aku tidak akan pulang, tiada muka aku pulang ke rumah."
"Aku tahu," sahut Cui-long pendek.
"Karena itu aku hanya membuatmu ikut menderita bersama aku."
Cui-long mengangkat kepala menatapnya lekat-lekat, katanya halus, "Kau harus tahu, aku tidak gentar menderita, derita apa pun dapat kurasakan." Ditariknya tangan Pho Ang-soat, telapak tangannya dia tempelkan di mukanya, katanya lirih, "Asal kau bersikap sedikit baik kepadaku, jangan menghinaku, umpama aku harus mati, aku pun rela." Pho Ang-soat menarik napas segar, katanya, "Memang aku yang salah terhadap kau, aku sudah tahu, oleh karena itu meski hari itu kau benar-benar tinggal pergi, aku tidak akan menyalahkan kau."
"Tapi cara bagaimana aku bisa pergi? Umpama kau mengusirku dengan menghajar pakai cemeti, aku pun tidak akan pergi."
Pho Ang-soat tiba-tiba tertawa lebar. Senyumannya laksana bongkahan salju yang tersorot sinar matahari, kelihatannya mengkilat kemilauan dan cemerlang.
Mengawasi senyuman orang, Cui-long seperti termangu dan menjublek, lama sekali baru dia menghela napas, katanya, "Tahukah kau apa yang paling kusenangi?"
Pho Ang-soat geleng-geleng kepala.
"Aku paling suka melihat kau tertawa tapi kau justru jarang mau tertawa."
Pho Ang-soat berkata halus, "Aku akan sering tertawa kepadamu, cuma sekarang "
"Sekarang belum saatnya kau tertawa?"
Pho Ang-soat manggut-manggut, tiba-tiba dia merubah pokok pembicaraan, "Kenapa orang itu tidak datang?" Seolah-olah dia ingin selalu menyembunyikan perasaan hatinya supaya orang selalu menganggap dirinya seorang yang kaku dan dingin.
Cui-long menghela napas dengan kecewa, katanya, "Jangan kuatir, kukira dia pasti datang." "Menurut pendapatmu, orang macam apa dia sebenarnya?"
"Kukira dia pasti musuh besar Lok Siau-ka, setelah tahu Lok Siau-ka berada di Pek-hun-ceng, masakah dia tidak akan menyusulnya ke sana?"
Pho Ang-soat mengangkat kepala, matanya memandang jauh ke alam yang masih tertutup kabut tebal, mulutnya menggumam, "Hari ini sudah tanggal 15 bulan 9, sebetulnya peristiwa apa yang bakal terjadi? "
Angin pagi sepoi-sepoi, sayup-sayup tiba-tiba terdengar kumandang nyanyian yang mendatangi semakin dekat dan keras.
"Darah orang-orang gagah takkan berhenti mengalir, Kepala musuh tak habis dibunuh,
Kepala boleh terpenggal, darah boleh mengalir, Dendam kesumat tiada akhir.....
0oo0
Di tengah kesunyian pagi nan dingin ini. kedengarannya nyanyian ini amat merawankan hati. "Dia datang!" kata Cui-long. "Ya, tepat pada waktunya."
"Perlukah kita menyembunyikan diri dulu?" tanya Cui-long. "Selamanya aku tidak lari, tidak pernah menyembunyikan diri pula."
Terdengar seeorang bergelak tawa di kejauhan, serunya, "Bagus, sungguh laki-laki sejati yang tidak pernah lari dan tidak sudi bersembunyi."
Cui-long tertawa getir, katanya lirih, "Tajam benar kuping orang ini."
Belum habis kata-katanya, tampak laki-laki gede ini sudah melangkah mendatangi, cepat sekali orang sudah tiba di depan mereka, topi rumput yang bolong itu masih dipakai di atas kepalanya, kini tangannya ketambahan sebuah holo (buli-buli) berisi arak, katanya sambil mengawasi Pho Ang-soat, "Ternyata memang kau, memang sudah kuduga kau pasti akan menungguku di sini."
"Kau tahu?" "Kalau aku tidak tahu, siapa yang tahu?"
0oo0
Sambil menengadah dia dekatkan mulut buli-buli ke mulutnya terus menenggaknya beberapa teguk, tiba-tiba dia menarik muka dan membentak bengis, "Aku sudah berada di sini, kenapa kau tidak lekas turun tangan?"
"Turun tangan?"
"Sudah tentu menyerang dengan golokmu?" "Kenapa harus menyerang dengan golok?" "Untuk memenggal batok kepalaku." "Kenapa aku harus memenggal kepalamu?"
"Orang she Si malang melintang di dunia, betapa banyak manusia yang kubunuh, memangnya siapa yang tidak menginginkan batok kepalaku ini?"
"Aku tiada niat!" ujar Pho Ang-soat.
Laki-laki gede itu tertegun. "Bahwasanya aku tidak kenal kau."
"Musuh orang she Si tersebar di segala pelosok dunia, mereka yang kenal diriku sudah kubunuh bersih, yang bisa meluruk kemari hendak membunuh aku memangnya mereka yang belum kukenal."
"Jadi kau selalu menunggu orang datang untuk membunuh kau?" "Tidak salah!"
"Sayang sekali, kali ini kau pasti kecewa."
"Bukankah kau menungguku di sini untuk membunuhku?"
"Aku sudah bersumpah untuk membunuh orang, aku tidak perlu menunggu." "Tidak perlu menunggu?"
"Aku sudah pernah menunggu sekali." "Waktu itu kau tertipu?"
"Waktu itu aku memang tidak perlu menunggu."
Laki-laki gede itu tiba-tiba menghela napas, ujarnya, "Memang tidak salah ucapanmu, kesempatan untuk membunuh orang memang hanya sekejap mata saja dan terus berlalu, kalau menyia-nyiakan kesempatan baik itu memang harus disayangkan, oleh karena itu sekali-kali jangan kau menunggu kesempatan untuk menunggu musuh."
"Oleh karena itu bila kau musuhku, kemarin malam aku sudah membunuh kau." "Oleh karena itu aku bukan musuhmu?"
"Bukan."
Laki-laki gede itu tergelak-gelak, ujarnya, "Agaknya nasibku masih baik, agaknya menjadi musuhmu bukan suatu hal yang harus dibuat gembira."
"Ya, memang bukan." "Kalau menjadi temanmu?" "Aku tidak punya teman."
"Hah, sampai pun Si Toa-han juga tidak setimpal menjadi temanmu?" "Si Toa-han?" "Aku inilah Si Toa-han (Si si gede)." "Aku tetap tidak mengenalmu."
"Kau tidak ingin kenal dengan aku?" "Aku tidak ingin."
"Wah susah, bukan saja tidak ingin batok kepalaku, juga tidak mau jadi temanku, jarang kulihat laki-laki macammu ini."
"Memangnya jarang ditemukan." "Lalu apa yang kau inginkan?"
"Hanya ingin mengikuti keretamu, pergi ke Pek-hun-ceng." "Begitu saja?"
"Ya, begitu saja."
"Baik, silakan naik kereta." "Aku tidak naik kereta."
Si Toa-han melengak, tanyanya, "Kenapa tidak mau naik kereta?" "Karena aku tidak punya lima puluh tahil untuk membayar ongkosnya." "Jadi kau hendak mengintil di belakang kereta saja?"
"Kau boleh naik keretamu, aku akan jalan kaki saja, memangnya kita tiada sangkut-paut."
Si Toa-han mengawasi mukanya yang pucat, goloknya yang hitam gelap, tak tahan dia menghela napas, ujarnya, "Kau memang orang aneh, malah lebih aneh dari aku."
Memang Si Toa-han sendiri pun seorang aneh.
0oo0
BAB 29. WANITA CANTIK BERHATI BERBISA
Cuaca sudah terang benderang. Sang surya yang baru terbit laksana golok membelah kabut tebal yang halus laksana kain paris yang halus lembut, kehidupan jiwa di jagat raya mulai siuman dan bekerja kembali.
Si anak muda kusir kereta itu masih belum bangun dari dengkurnya.
Si Toa-han maju mendekat dengan langkah lebar, sekali raih dia jinjing badan orang serta berseru keras, "Lekas bangun, hayo berangkat ke Pek-hun-ceng."
Anak muda itu kucek-kucek matanya yang masih sepat, katanya mengunjuk tawa, "Toaya silakan naik ke atas kereta."
"Toaya tidak naik kereta."
Anak muda itu tercengang, tanyanya, "Kenapa tidak naik kereta?" "Karena Toaya senang!" sahut Si Toa-han.
0oo0
Masih amat muda usia anak muda ini, tapi dia sudah tujuh tahun melakukan pekerjaan ini sehari-hari, selama ini belum pernah dia kebentur dengan laki-laki seaneh ini. Uang sudah dibayar untuk ongkos perjalanan naik kereta, tapi dia malah rela berjalan di belakang kereta.
Tapi asal orang yang mengeluarkan uang suka begitu, umpama dia merangkak di belakang kereta, tiada orang yang mempedulikan dirinya. Meski dalam hati si anak muda merasa heran dan tidak mengerti, tapi dia pun tidak ambil peduli lagi. Begitulah segera dia jalankan keretanya di depan, di belakang kereta ikut berjalan tiga orang, laki-laki gede laksana malaikat galak, seorang timpang yang bermuka pucat, orang ketiga adalah perempuan muda yang cantik manis.
Rombongan aneh yang berjalan berjajar seperti mereka, tidak heran bila menimbulkan perhatian dan menjadi pandangan aneh orang-orang di pinggir jalan. Tapi Si Toa-han beranjak sambil membusungkan dada, bagaimana orang memandang dirinya, sedikit pun dia tidak ambil di hati.
Sebaliknya pikiran Pho Ang-soat amat kalut, aku berjalan menurut arahku sendiri, hakikatnya dia tidak pernah melirik kepada orang lain
Demikian pula Cui-long seolah-olah tidak melihat orang lain, di depan Pho Ang-soat bahwasanya tidak pernah dia melirik orang lain.
Anak muda yang pegang kendali di atas kereta diam-diam menggerutu, sungguh dia tidak habis mengerti kenapa ketiga orang ini hendak menuju ke Pek-hun-ceng. Pek-hun-ceng bukan tempat yang harus didatangi oleh orang-orang aneh seperti mereka.
Sebetulnya tempat apakah Pek-hun-ceng itu?
Setelah menenggak araknya, tiba-tiba Si Toa-han memburu beberapa langkah ke depan mendekati kereta seraya berteriak, "Kita bukan hendak buru-buru melawat orang mati, apa tidak bisa kau perlambat jalan keretamu?"
"Bisa, sudah tentu bisa," sahut si anak muda menyengir tawa. Kalau yang menyewa kereta tidak terburu-buru, sudah tentu dia lebih tidak tergesa-gesa.
Akhirnya Si Toa-han kendorkan langkah kakinya, katanya, "Pek-hun-ceng tidak jauh dari sini, yang terang dalam satu hari kita bisa tiba di sana " Ucapannya ini agaknya dia tujukan kepada Pho Ang-soat, tapi Pho Ang-soat anggap seperti tidak mendengar.
Akhirnya Si Toa-han sejajar dengannya, tanyanya, "Entah untuk apa kau hendak pergi ke Pek- hun-ceng?"
Pho Ang-soat tetap bungkam seperti tidak mendengar. "Kau kenal Wan Chiu-hun?" tanya Si Toa-han.
"Siapa itu Wan Chiu-hun?" akhirnya Pho Ang-soat balas bertanya. "Wan Chiu-hun adalah Cengcu Pek-hun-ceng."
"Aku tidak kenal."
Si Toa-han tertawa, ujarnya, "Dengan Si Toa-han saja kau tidak kenal, sudah tentu tidak kenal siapa sebenarnya Wan Chiu-hun itu."
"Kau kenal dia?"
"Bagaimana aku bisa kenal dengan si kolot tua itu?" Lama Pho Ang-soat berdiam diri, tiba-tiba bertanya, "Kau hanya kenal Lok Siau-ka?"
"Darimana kau tahu aku hanya kenal dia?" tiba-tiba Si Toa-han geleng-geleng kepala, sambungnya, "Sudah tentu kau tahu, siapa pun akan menduga bahwa aku ke sana memang hendak mencarinya."
"Untuk apa kau cari dia?"
"Tidak untuk apa-apa, cuma ingin mengiris batok kepalanya, sekali tendang memasukkan mayatnya ke dalam selokan."
"Jadi dia musuhmu?"
"Sebetulnya bukan," ujar Si Toa-han, setelah menenggak araknya, dia menambahkan, "Sebetulnya dia adalah teman baikku." "Teman baik?"
Si Toa-han mengertak gigi, katanya, "Ada kalanya seorang teman lebih menakutkan dari seorang musuh, terutama teman seperti dia itu."
"Kau pernah ditipu olehnya?"
"Seluruh harta milik keluargaku telah kuserahkan kepadanya, tapi dia malah tinggal minggat, membawa semua harta dan perempuanku."
Pho Ang-soat mengerut kening, katanya, "Kelihatannya dia bukan orang seperti apa yang kau tuduhkan."
"Justru karena tampangnya tidak mirip orang jahat, maka aku mau percaya kepadanya." "Ada kalanya teman memang jauh lebih menakutkan dari seorang musuh," Pho Ang-soat
menegas.
"Selamanya kau tidak punya teman?" "Tidak."
Si Toa-han menghela napas, kembali dia menenggak arak sepuasnya.
Lama sekali tiba-tiba Pho Ang-soat buka suara, "Sebetulnya kau tidak usah mengiringi aku berjalan."
"Memang tidak perlu, sebetulnya kita bisa naik kereta bersama."
Pho Ang-soat tidak banyak komentar. Setelah menempuh perjalanan beberapa jauh, tiba-tiba Si Toa-han angsurkan buli-buli araknya sambil berkata, "Kau minum arak?"
"Aku tidak pernah minum arak " "Selamanya tidak pernah minum arak?" "Sejak lahir tidak pernah."
"Berjudi?"
"Selamanya tidak pernah berjudi dengan uang." "Apa yang suka kau lakukan?"
"Apa pun tidak suka."
"Bila seseorang tidak mempunyai sesuatu kesenangan, apa faedahnya hidup?" "Memangnya aku hidup bukan untuk kesenangan."
"Lalu untuk apa kau hidup?" "Untuk membalas dendam "
Mengawasi muka orang yang pucat, timbul rasa ngeri pada lubuk hatinya, katanya tertawa getir, "Agaknya menjadi musuhmu memang bukan suatu hal yang menyenangkan."
Pho Ang-soat menunduk mengawasi goloknya, mulutnya terkancing Bercahaya sorot mata Si Toa-han, katanya mencari tahu, "Apa kau juga kenal Lok Siau-ka?"
"Aku hanya pernah melihatnya." "Bagaimana kau bisa melihatnya?" "Dia hendak membunuhku." "Akhirnya bagaimana?"
"Akhirnya dia tinggal pergi malah " "Kau biarkan dia pergi?" "Aku memang tidak bermaksud membunuhnya ... yang ingin kubunuh hanya seorang." "Musuhmu?"
Pho Ang-soat manggut-manggut. "Musuhmu hanya satu orang?" "Sekarang aku hanya tahu satu saja."
"Agaknya nasibku lebih baik dari kau." Setelah menenggak araknya, mulutnya bernyanyi-nyanyi kecil melagukan nyanyian yang merawankan hati itu.
Tiba-tiba Pho Ang-soat menghela napas, katanya, "Sebetulnya nasibmu lebih baik dari aku." "Kenapa?"
"Kalau ada musuh banyak yang bisa kau bunuh, sungguh merupakan uatu hal yang menggembirakan, sayang aku " sorot matanya memancarkan derita yang tidak terperikan,
katanya rawan, "Sayang sekali musuh satu-satunya yang kucari itupun tidak bisa kutemukan " "Siapakah musuhmu yang satu itu?"
"Kau tidak perlu tahu."
"Bukan mustahil aku bisa bantu kau menemukan dia." Pho Ang-soat ragu-ragu, dia mempertimbangkan sekian lamanya. Akhirnya berkata, "Dia she Be."
"Be apa?"
"Be Khong-cun."
"Majikan Ban-be-tong?" tanya Si Toa-han terbelalak. "Kau kenal dia?"
Si Toa-han geleng-geleng kepala, tidak menjawab dia malah menggumam, "Tak heran kau hendak meluruk ke Pek-hun-ceng."
"Ada hubungan apa Pek-hun-ceng dengan Ban-be-tong?" "Sebetulnya tidak ada hubungan apa-apa."
"Sekarang ada?"
"Memangnya kau tidak tahu hari apa sekarang?" "Darimana aku bisa tahu?"
"Jadi kau tidak menerima undangan?" "Undangan apa?"
"Undangan pernikahan!"
"Siapa yang menyebar undangan ini?"
"Sudah tentu Pek-hun-ceng, hari ini adalah hari pernikahan Siau-cengcu mereka," tutur Si Toa- han. "Aku sendiri tidak kenal dia, tapi mempelai perempuannya, kau tentu mengenalnya."
"Siapa mempelai perempuannya?"
"Ialah putri Be Khong-cun, kabarnya bernama Be Hong-ling." Seketika berubah roman muka Pho Ang-soat.
"Kuduga Be Khong-cun pasti juga hadir di dalam pernikahan putrinya di Pek-hun-ceng." Belum habis dia berkata, tahu-tahu Pho Ang-soat sudah melesat ke depan, melompat naik ke atas kereta.
Begitu ilmu Ginkangnya dikembangkan, gerak-geriknya secepat anak panah, lincah dan cekatan, sekali-kali orang tidak akan menyangka bila dia adalah seorang timpang. Mengawasi gerak-geriknya, sorot mata Si Toa-han mengandung perhatian yang serius, sesaat kemudian dia baru menghela napas, seraya berseru memuji, "Memang hebat Ginkangnya." Saat itu Pho Ang-soat sudah menerjang ke depan kereta, sekali raih dia sambar cemeti di tangan anak muda itu, "Tar!", dengan keras dia melecut pantat kuda. Setiap kali mendengar kabar atau jejak Be Khong-cun, seketika dia lupa segalanya.
Kereta itu dibedal kencang sebentar saja sudah pergi jauh meninggalkan kepulan debu panjang di belakangnya, Si Toa-han dan Cui-long berdua ditinggal pergi begitu saja.
Cui-long menundukkan kepala, tak tertahan air mata sudah hampir bercucuran.
Mendadak Si Toa-han tertawa mengawasinya, katanya, "Jangan kuatir, dia tidak akan meninggalkan kau seorang diri." Sembari bicara tiba-tiba dia gerakkan kakinya melangkah lebar enam-tujuh langkah mengejar di belakang kereta, dimana tangannya diulur, dia menarik bagasi kereta.
Kuda yang menarik kereta seketika meringkik panjang dan berdiri dengan kedua kaki belakangnya, secara kekerasan kereta yang berlari kencang ini berhasil dia tahan dan tarik secara mentah-mentah, setengah langkah pun tidak bisa maju lagi.
Si Toa-han berpaling kepada Cui-long, katanya tertawa, "Silakan naik "
Cui-long akhirnya mengangkat kepala tersenyum kepadanya, waktu lewat di samping orang, tiba-tiba dia berkata lirih, "Tidak pantas perempuan itu meninggalkan kau lari ikut Lok Siau-ka, kau adalah seorang Kuncu."
Si Toa-han menghela napas, ujarnya, "Sayang sekali pada zaman seperti ini, Kuncu di hadapan perempuan sudah tidak lagi terpandang."
0oo0
Cuaca sudah terang berderang. Sang Surya sudah menyinari segala penjuru dunia. Hari ini adalah tanggal 15 bulan 9.
0oo0
Jalan raya yang menuju ke Pek-hun-ceng penuh sesak dengan hilir mudiknya kendaraan kereta dan kuda-kuda yang ditunggangi anak-anak muda yang berpakaian perlente.
Biasanya kuda untuk menarik kereta memang bukan kuda yang dapat berlari cepat, tapi karena dihajar dan dipecut, sekarang dia sudah kerahkan setaker tenaganya.
Pho Ang-soat sudah mengembalikan cemeti kepada si anak muda dan duduk kembali di belakang, tangannya menggenggam kencang gagang goloknya. Memang kedua tangannya itu tidak cocok untuk memegang kendali.
"Kenapa tidak kau menyimpan tenaga untuk menghadapi Ban-be-long-cu!" Pho Ang-soat diam-diam saja, mukanya yang pucat bersemu hijau mengkilap. Cui-long duduk di sampingnya, mengawasinya dengan sorot kuatir dan masgul
Sementara Si Toa-han masih sibuk menenggak araknya, gumamnya, 'Aku mengharap Lok Siau- ka dan Be Khong-cun sama-sama berada di sini
"Kalau begitu kurangilah minummu," kata Pho Ang-soat. "Kenapa?"
"Ikan yang mabuk takkan bisa membunuh orang, terutama melawan orang seperti Lok Siau- ka."
"Apakah sebelum membunuh orang hanya boleh makan kacang?" Sedikitnya kacang lebih baik daripada arak."
"Dalam hal apa kacang lebih baik dari arak." "Dalam hal apa saja lebih baik." Bila mulut seseorang sedang mengunyah, memang membikin semangat orang kendor, sebaliknya kacang memang makanan yang menambah vitamin dan menyehatkan badan, menambah tenaga dan gairah orang.
Mata Si Toa-han melotot, seperti marah, namun dia menghela napas, katanya, "Agaknya kita memang harus makan kacang, naga-naganya kita terlalu tegang sendiri."
Anak muda yang pegang kendali tiba-tiba berpaling ke belakang, katanya tertawa, "Sekarang kita sudah menuju ke arah Pek-hun-ceng dari sini sudah terlihat perkampungan Pek-hun-ceng di depan sana."
Si Toa-han mengulurkan leher memandang ke tempat jauh. Katanya kemudian dengan mengerut kening, "Agaknya Pek-hun-ceng merupakan perkampungan yang tidak kecil!"
"Keluarga Wan adalah keluarga terkaya dan berkuasa di daerah ini, setiap kali menyinggung tuan muda keluarga Wan, delapan ratus li sekitar daerah ini tiada yang tidak mengenalnya."
Si Toa-han segera mendelik, bentaknya bengis, "Toayamu justru tidak tahu barang macam apa tuan muda dari keluarga Wan itu."
Melihat dirinya dipelototi, seketika kuncup nyali si anak muda, selanjutnya dia tidak berani banyak mulut lagi.
Tatkala itu kereta sudah memasuki jalan pegunungan, kedua sisi jalan dipagari pepohonan yang rindang, jarang kelihatan bayangan orang di sepanjang jalan ini. Tamu yang diundang agaknya sudah berkumpul semua di Pek-hun-ceng.
"Apakah Be Khong-cun betul-betul berada di sini?" Pho Ang-soat bertanya-tanya dalam hati, otot hijau di punggung tangannya sampai merongkol keluar, maklumlah kalau dia tidak pegang kencang gagang goloknya, jari-jarinya mungkin bisa gemetar.
Diam-diam Cui-long memegang tangannya, katanya halus, "Kalau dia berada di sini, takkan bisa lolos, kenapa kau tegang dan gugup?"
Kelihatannya Pho Ang-soat seperti tidak mendengar ucapannya, matanya melotot memandang lurus ke depan, mengawasi golok di tangannya.
Si Toa-han pun sedang mengawasi goloknya itu, golok yang bergagang hitam dan bersarung hitam pula. Itulah golok biasa yang tiada bedanya dengan golok umumnya, tapi bila golok ini tergenggam di jari-jari Pho Ang-soat, maka golok itu rasanya seperti membawa kegaiban.
Dengan menghela napas, Si Toa-han bertanya, "Bolehkah aku melihat golokmu?" "Tidak boleh."
"Kenapa?"
"Tiada orang yang pernah melihat golokku." "Kalau aku ingin melihatnya?"
"Kalau begitu harus ada orang yang mampus, kau atau aku!" Sedikit berubah rona muka Si Toa-han, katanya dengan tertawa, "Pedang Lok Siau-ka sebaliknya tidak takut dilihat orang, pedangnya itu memang tidak punya sarung."
"Sembarang waktu boleh kau melihat golokku." Sorot matanya seperti memandang ke tempat jauh, katanya lebih lanjut dengan tandas, "Sebetulnya golok ini memang selalu membawa sebal dan sial, siapa saja yang pernah melihatnya pasti tertimpa malang."
Berubah pula air muka Si Toa-han, ingin bertanya lagi, tapi pada saat itu pula kereta tiba-tiba berhenti. Begitu dia berpaling, maka dilihatnya sesuatu benda kecil berkilauan disorot sinar matahari, itulah sebutir kacang. Kacang yang sudah dikuliti melayang di tengah udara. Kacang itu melayang jatuh, masuk ke dalam mulut Lok Siau-ka. Dengan kemalas-malasan Lok Siau-ka berdiri di tengah jalan, pedangnya pun berkilauan ditimpa sinar matahari. Kontan Si Toa-han berjingkrak bangun, atap kereta sampai disundulnya pecah berhamburan.
Lok Siau-ka menghela napas, katanya, "Untung kereta ini tidak kuat, kalau tidak, bukankah kepalamu yang bocor dan berlubang?"
Bengis suara Si Toa-han, "Bukankah kau memang ingin kepalamu bocor?"
"Coba kau pikir-pikir dulu, keadaan itu memang tidak jelek, kau tuang arak ke dalam lubang kepalamu, memang lebih enak dan gampang daripada kau tuang arakmu ke dalam mulut."
Si Toa-han berjingkrak gusar, serunya, "Masih berani kau membanyol di hadapanku? Masih berani kau menemui aku?"
"Kenapa aku tidak berani? Memangnya aku sedang menunggumu disini." "Kau tahu kalau aku hendak kemari?"
"Banyak orang sedang heran, kenapa kau tidak duduk di atas kereta, aku sebaliknya tidak heran, umpama kau gendong kereta ini di punggungmu, aku tidak akan heran," ujar Lok Siau-ka tertawa, "Memangnya orang seperti tampangmu apa saja yang bisa melakukan?"
"Dan kau? Kerja apa pula di dunia ini yang pantang kau lakukan?" "Pekerjaan orang goblok aku tidak sudi melakukan."
"Sudah tentu kau tidak goblok, aku inilah yang goblok, ternyata aku memandang laki-laki seperti tampangmu sebagai teman baik."
"Memangnya aku adalah teman baikmu."
"Kau ini temanku? Mana delapan puluh ribu uang perak yang kuserahkan kepadamu?" "Sudah kugunakan."
"Apa?" Si Toa-han berjingkrak. "Kau gunakan sampai habis?"
"Kita toh teman baik, sebagai teman memang tidak perlu memandang harta milik siapa punya, kenapa uangmu tidak boleh kugunakan?"
"Kau ... cara bagaimana kau gunakan uang sebanyak itu?" "Kuberikan kepada orang."
"Kau berikan kepada siapa?"
"Sebagian besar kuberikan kepada rakyat jelata yang mengungsi dari banjir sungai Huang-ho, sebagian lagi kuberikan kepada para yatim piatu dan janda-janda yang suaminya kau bunuh." Tanpa memberi kesempatan Si loa-han bicara, lekas dia menyambung, "Uang itu asal-usulnya tidak genah, tapi aku menggunakannya secara gamblang demi kepentingan masyarakat lagi, untuk ini pantas kalau kau berterima kasih kepadaku."
Si Toa-han menjublek sampai lama, tiba-tiba dia bertanya dengan keras, "Lalu perempuanku, memangnya juga kau berikan kepada orang lain?"
"Perempuanmu sih tidak kuberikan kepada orang." "Lalu dimana dia sekarang?"
"Aku sudah membunuhnya."
Si Toa-han berjingkrak gusar, teriaknya, "Apa? Kau membunuhnya?"
"Aku membunuh orang memangnya bukan kejadian yang harus dibuat heran, kenapa kau ribut tak keruan?"
"Kau ... kenapa kau membunuhnya?" "Karena dia ingin mencuri orang."
"Hah, mencuri orang, mencuri laki-laki? Siapa dia?" "Aku!"
Si Toa-han melongo dan melenggong
Kata Lok Siau-ka, "Walau dia hendak mencuri hatiku, tapi dia tidak berhasil, tapi aku tidak berani tanggung laki-laki lain semua seperti diriku, aku pun tidak berani tanggung kalau perempuanmu itu tidak akan mencuri laki-laki lain, oleh karena itu terpaksa kubunuh dia, hanya dengan cara ini aku bisa menolong kesulitanmu."
"Memangnya kau tidak bisa menggunakan cara lain?"
"Cara lain aku tidak bisa, aku hanya bisa membunuh orang."
Si Toa-han menjublek lagi sekian lamanya, mendadak dia terbahak-bahak dengan menengadah, serunya, "Bagus, bagus sekali kau membunuhnya?"
"Memangnya tepat aku membunuhnya."
"Setiap kali membunuh kau memang menyenangkan hati orang juga." "Menghamburkan uang aku pun bisa menyenangkan hati orang."
"Benar, memang menyenangkan, mau tidak mau aku harus mengagumi dan memuji kau." "Memang aku tahu kau pasti akan kagum dan memuji aku."
"Arakku ini lumayan, nah minumlah."
"Kacangku inipun enak, kebetulan untuk teman minum."
Keduanya tertawa terbahak-bahak berhadapan, yang satu menarik pundak, yang lain menggengam kencang tangannya.
Anak muda kusir kereta itu sampai melongo dan terkesima mengawasi tingkah-laku mereka, belum pernah selama hidup dia melihat dua orang teman seaneh dan selucu ini.
Tiba-tiba Si Toa-han bertanya pula, "Tapi kenapa tidak kau tunggu aku pulang terus tinggal pergi?"
"Aku buru-buru hendak membunuh orang." "Membunuh siapa?"
"Orang yang barusan berada dalam keretamu."
"Barusan? " waktu Si Toa-han berpaling, baru sekarang dia melihat Pho Ang soat yang tadi di
atas kereta kini sudah tidak kelihatan bayangannya, tinggal Cui-long seorang yang masih duduk, tapi sekarang tidak tertunduk lagi, malah dengan tajam dia mengawasi Lok Siau-ka. "Mana laki- lakimu?" tanya Si Toa-han.
"Dia bukan laki-lakiku, karena dia tidak pernah memandang aku ini perempuannya, boleh dikata selama ini dia tidak memandang aku sebagai manusia."
"Mungkin kau salah menilainya," kata Si Toa-han
"Aku tidak salah selamanya aku tidak akan keliru menilai seorang laki-laki." Waktu bicara
matanya tetap mengawasi Lok Siau-ka, tiba-tiba dia menyeringai dingin, katanya pula, "Sekarang akhirnya aku bisa melihat juga laki-laki macam apa kau sebenarnya."
"Aku laki-laki macam apa?"
"Laki-laki yang tidak punya nyali, laki-laki penakut." Lok Siau-ka mandah tertawa.
"Jika kau punya keberanian, kenapa kau tidak berani mengawini Be Hong-ling?" "Kenapa aku harus mengawini dia?"
"Karena aku tahu dia pergi ikut kau." "Kau tahu?"
"Aku melihat dia pergi mengejar kau, aku tahu dia pasti berhasil menyandakmu." "Agaknya tidak sedikit urusan yang kau ketahui."
"Sayang sekali sedikit sekali urusan yang diketahuinya, maka dia jatuh hati kepadamu." "Kau kira dia memang mencintai aku?"
"Kalau tidak mencintai kau. buat apa dia mengejarmu."
"Mungkin hanya karena dia ingin aku membunuh orang bagi kesenangan hatinya."
"Laki-laki membunuh orang demi seorang perempuan bukan suatu kejadian yang harus dibuat heran, memangnya kau tidak pernah membunuh orang?"
"Apakah kau pun ingin aku membunuh Pho Ang-soat?" "Kau berani melaksanakan?"
Lok Siau-ka tertawa dingin.
"Justru karena kau tidak berani, maka kau mencari jalan memberikan dia kepada orang lain." "Kau kira aku yang tidak sudi mengawini dia?"
"Jika dia mengejarmu tanpa menghiraukan segalanya, bagaimana mungkin tidak mau kawin dengan kau?"
"Dalam hal ini sudah tentu ada kisahnya." "Kisah apa?"
"Aku membawanya ke Pek-hun-ceng, dia bertemu dengan Siau Wan,tiba-tiba dia merasa Siau Wan lebih baik dari aku, maka dia lantas jatuh hati kepada Siau Wan, aku ditendangnya pergi." Sampai di sini Lok Siau-ka menghela napas, katanya dengan menyengir kecut, "Cerita ini tidak berbelit-belit dan tidak perlu dibuat heran, tidak jarang terjadi peristiwa seperti ini "
"Kenapa kau membawanya ke Pek-hun-ceng?" "Karena aku sering pergi datang ke tempat itu."
"Mungkin kau hanya ingin berusaha membebaskan diri dari kuntitannya, maka sengaja kau membawanya ke sini, sengaja kau memberi peluang kepadanya untuk bertemu dengan Siau Wan."
"O, menurut rekaanmu begitu."
"Karena sebenarnya kau takut berhadapan dengan Pho Ang-soat, takut pedangmu tidak lebih cepat dari goloknya."
"O, kau kira aku takut mati "
"Tapi sekarang tentunya kau tidak perlu takut kepadanya lagi, karena dia pasti tidak akan mencarimu, sekarang sedikit pun kau tiada sangkut-paulnya dengan orang-orang Ban-be-tong."
"Memangnya sejak mula aku tiada hubungan apa-apa dengan mereka." "Tapi sekarang Pek-hun-ceng sudah terikat besanan dengan Ban-be-long” "Bukankah perjodohan ini memang setimpal?"
"Dan lagi dia tentu tidak tahu bahwa kaulah yang membawa Be Hong ling kemari." "Memang tidak banyak persoalan yang dia ketahui."
"Oleh karena itu dia pun merasa Wan Chiu-hun adalah salah satu dari musuh-musuhnya." "Ya, kemungkinan." "Maka kemungkinan sekarang dia sudah membunuh Wan Chiu-hun." "Memang mungkin."
"Sedikit pun kau tidak ambil perhatian?"
"Kenapa aku harus memperhatikannya? Peduli dia yang membunuh Wan Chiu hun atau Wan Chiu hun yang membunuhnya, memang apa sangkut-pautnya dengan diriku?"
"Lalu apa yang menjadi perhatianmu?"
"Aku hanya memperhatikan diriku sendiri." sahut Lok Siau-ka tertawa. "Seperti juga kau, kapan kau pernah memperhatikan orang lain?"
Cui-long menggigit bibir, katanya pelan-pelan, "Tapi aku sungguh amat memperhatikannya." "Memperhatikan Pho Ang-soat?"
"Kau tidak percaya?" tiba-tiba biji matanya yang elok itu berlinang air mata, katanya pilu, "Sudah tentu kau tidak percaya, ada kalanya aku sendiri pun tidak percaya, kenapa aku bisa berubah amat memperhatikan dirinya."
"Di kala air mata berlinang, keadaanmu sungguh amat mempesonakan, sayang sekali aku hanya suka perempuan yang bisa tertawa, bukan yang suka menangis."
Cui-long mengkertak gigi, tiba-tiba dia menubruk turun dari atas kereta entah kapan dia sudah mengeluarkan sebilah pisau, langsung dia menusuk ke dada orang. Tapi cepat sekali tangannya sudah kena ditangkap.
Lok Siau-ka tersenyum, dengan kencang dia pegang tangan orang, katanya, "Membunuh orang sebetulnya tidak usah kau menggunakan pisau, perempuan seperti kau, kenapa harus menggunakan pisau untuk membunuh orang?"
"Ting", pisau itu jatuh ke atas tanah. Cui-long tiba-tiba menjatuhkan diri ke dalam pelukannya, pecah tangisnya tergerung-gerung. Barusan dia hendak membunuhnya, tapi kini dia rebah di dada orang, seolah-olah sudah menyerahkan seluruh raganya kepadanya. Karena Lok Siau-ka kenyataan lebih kuat lebih perkasa dari dirinya. Perempuan memang hanya menghormati dan mengagumi laki-laki yang lebih kuat, lebih perkasa dari dirinya.
Dari samping Si Toa-han mengawasi mereka dingin-dingin saja, tiba-tiba tertawa, ujarnya, "Barusan agaknya dia ingin benar membunuhmu."
"Memang kenyataan." "Tapi sekarang "
"Sekarang dia sudah tahu takkan bisa membunuhku." "Oleh karena itu dia sekarang sudah siap untuk kau garap!” "Apa? Garap?"
"Masakah kau tidak tahu apa yang kumaksud dengan 'Garap' ?" Sudah tentu Lok Siau-ka tahu. Setiap laki-laki pasti tahu.
"Begitulah perempuan, kalau dia tidak berhasil menggarapmu, kau boleh segera menggarapnya."
Lok Siau-ka menunduk mengawasi Cui-long dalam pelukannya.
Jelas Cui-long sudah mendengar seluruh percakapan mereka, tapi sedikit pun dia tidak memperlihatkan reaksi apa-apa. Badannya terasa lembut, gemulai dan hangat.
Berkata pula Si Toa-han dengan tertawa, "Pho Ang-soat adalah bocah yang belum tahu main asmara, perempuan ini agaknya hanya bisa dilayani oleh laki-laki setaraf kita ini." Lok Siau-ka tiba-tiba berkata dingin, "Memang dia sebetulnya adalah pelacur." Mendadak kedua tangannya merenggut payudaranya, meremasnya dengan keras. Tapi Cui-long tetap diam saja tidak menunjukkan reaksi apa-apa.
Mengawasi muka orang, sorot mata Lok Siau-ka tiba-tiba menampilkan rasa muak dan benci, sekali renggut dia jambak rambutnya, sebelah tangan yang lain pulang pergi menempeleng pipinya. Kulit mukanya yang pucat itu seketika merah bertapak jari-jari tangan, darah meleleh dari ujung bibirnya.
Akan tetapi sorot matanya malah bersinar terang, mengawasi Lok Siau-ka, mendadak dia tertawa lebar, serunya, "Ternyata kau adalah "
Lok Siau-ka tidak memberi kesempatan mulutnya mengoceh, kembali telapak tangannya melayang menampar mulutnya. Cui-long kontan terlempar jatuh dan terguling ke bawah kereta, meringkuk lemas tak bergerak lagi.
Si Toa-han menarik napas, katanya, "Tidak pantas kau memukulnya, kau harus "
"Seharusnya aku telah merenggut jiwanya."
"Kenapa? Karena dia mencuri laki-laki lain? Tapi Pho Ang-soat kan bukan temanmu, apalagi dia sendiri memangnya seorang pelacur "
"Pelacur tidak pantas dibunuh, di dunia ini masih ada perempuan yang lebih rendah martabatnya dari pelacur."
"Perempuan macam apa?" "Pelacur pembawaan sejak lahir."
"Memangnya kau mengharap perempuan di seluruh dunia ini semuanya harus perawan ting- ting?"
"Buat apa kita berdiri di sini hanya mengobrol soal perempuan?" "Kita harus kemana?"
"Melihat orang membunuh orang," sikapnya menjadi bergairah, dia merasa melihat membunuh orang lebih baik daripada melihat perempuan.
"Membunuh orang? Siapa membunuh orang?"
"Kecuali Pho Ang-soat, siapa pula yang membunuh orang patut kita tonton?" sahut Lok Siau-ka tertawa. "Tentunya kau pun ingin melihat betapa cepat gerakan golok Pho Ang-soat itu."
Kini muka Si Toa-han yang menampilkan mimik aneh, katanya tersenyum, "Aku cuma mengharap dia jangan salah membunuh orang."
0oo0
BAB 30. JAGO PEDANG PELINDUNG BUNGA
Lok Siau-ka dan Si Toa-han sudah pergi, Cui-long masih meringkuk di bawah kereta, lemas tak bergerak.
Kusir kereta sejak tadi menyembunyikan diri di belakang kereta, mukanya pucat-pias karena ketakutan melihat adegan tadi, setelah melongo sekian lamanya baru bergegas dia maju menghampiri serta berjongkok menarik Cui-long keluar dari kolong kereta. Dia mengira Cui-long pasti amat marah, penasaran dan tersiksa.
Siapa tahu dia justru sedang tertawa. Selebar mukanya sudah merah menghijau karena tamparan keras tadi, darah masih meleleh dari ujung bibirnya, tapi sorot matanya penuh mengandung cemooh dan ejekan
Anak muda itu melenggong. Tiba-tiba Cui-long berkata, "Tahukah kau kenapa dia memukulku?" Anak muda itu geleng-geleng kepala.
"Karena dia sedang marah terhadap dirinya sendiri."
Si anak muda lebih tidak mengerti, tanyanya, "Kenapa marah kepada dirinya sendiri?"
"Dia amat gegetun karena dirinya bukan laki-laki jantan, meski aku ini seorang perempuan, tapi dia hanya bisa melihat aku saja."
Si anak muda tetap tidak mengerti.
"Sekarang baru aku tahu, dia tidak lebih hanya seekor cacing." "Cacing?"
"Kau belum pernah melihat cacing?" "Sudah tentu aku pernah lihat." "Bagaimana rupa cacing itu?"
"Lemas, dingin dan licin serta menjijik” "Bukankah cacing tidak bisa keras?" "Selamanya takkan bisa jadi keras."
"Nah, oleh karena itu dia adalah Cacing, di hadapan perempuan selama hidupnya anunya itu tidak akan bisa menegang keras."
Baru sekarang anak muda itu paham duduk persoalannya. "Dia memang pelacur pembawaan sejak lahirnya", teringat akan makian ini, serta melihat tubuh orang yang montok dan menggiurkan, mukanya nan molek ... jantung si anak muda menjadi berdegup keras, tiba-tiba dia memberanikan diri katanya megap-megap, "Aku ... aku bukan cacing."
Cui-long tertawa manis. Waktu dia tertawa, sorot matanya malah menampilkan rasa duka dan derita, katanya halus, "Menurut pandanganmu aku ini perempuan macam apa?"
Dengan muka merah si anak muda mengawasinya, katanya tergagap, "Kau ... kau ... kau adalah perempuan yang amat cantik."
"Dan apa lagi?"
"Dan lagi ... dan lagi kau amat baik, baik " sungguh tak habis terpikir dalam benaknya
dengan kata-kata muluk apa dia harus memuji.
"Apakah kau hendak meninggalkan aku seorang diri di sini?"
"Sudah tentu tidak," sahut si anak muda dengan suara keras. "Aku bukan laki-laki keparat seperti dia itu."
"Jadi laki-laki yang meninggalkan aku begitu saja adalah keparat?" "Bukan saja keparat, dia memang bedebah, laki-laki pikun."
Mengawasi orang, lama kelamaan berlinang air mata Cui-long, lama sekali baru dia ulur tangannya pelan-pelan. Jarinya nan lembut dan runcing halus. Mengawasi jari-jari tangan yang putih halus laksana salju ini, si anak muda sampai terpesona.
"Lekas papah aku naik ke atas kereta," kata Cui-long
"Mau mau pergi kemana?" tanya si anak muda kebingungan
"Terserah mau kemana, asal kau yang membawaku pergi," kata Cui-long lembut, habis kata- katanya tak tertahan air mata pun bercucuran.
^"^ "Apa benar hari ini keluarga mereka yang ada kerja?"
"Sudah tentu benar, kalau tidak, masakah mereka mengundang tamu begini banyak." "Tapi kenapa muka semua hadirin tiada yang kelihatan riang gembira? Kelihatannya seperti
melayat orang meninggal."
"Dalam hal ini tentu ada sebabnya." "Sebab apa?"
"Sebetulnya hal itu merupakan rahasia, tapi sekarang sudah tidak bisa mengelabui kau lagi." "Sebetulnya kenapa?"
"Orang-orang yang diundang semuanya sudah hadir hanya masih kurang seorang lagi." "Siapa?"
"Seorang yang amat penting." "Siapakah sebenarnya?"
"Mempelai laki-laki. Dua hari yang lalu dia pergi ke kota, hadir dalam undangan pernikahan orang, sebetulnya hari itu juga dia sudah pulang, tapi sampai sekarang dia justru masih belum kelihatan bayangannya "
"Kenapa?"
"Tiada yang tahu."
"Lalu dimana dia sekarang? Pergi kemana?"
"Tiada orang pernah melihatnya, mendadak dia menghilang." "Aneh "
"Memang aneh."
0oo0
Melihat para undangan dalam perjamuan pernikahan ini merengut dan menarik kening, semuanya seperti tegang dan tidak sabar, sungguh merupakan suatu kejadian yang tidak boleh dianggap aneh dan menarik.
Tapi Yap Kay justru tertarik oleh kejadian aneh ini. Seolah-olah dia seperti memperoleh suatu pengalaman yang jarang terjadi dan sulit didapat, memang perjamuan pernikahan dalam suasana seperti sekarang jarang terlihat.
Dengan seksama dia memperhatikan setiap orang yang lewat dari depannya, dia tengah mereka-reka, entah berapa banyak di antaranya tengah kebat-kebit dan menguatirkan bagi keluarga Wan? Ada raut muka orang yang amat serius, ada yang masgul, tapi mungkin karena perut mereka lapar dan ingin lekas-lekas makan minum dari hidangan yang disediakan. Mungkin pula ada yang sedang menyesal, terasa kado yang mereka sumbangkan nilainya terlalu besar, terlalu banyak, tak setimpal dengan imbalan.
Akhirnya Yap Kay tertawa.
Ting Hun-pin duduk di sebelahnya, katanya berbisik, "Kau tidak pantas tertawa." "Kenapa?"
"Setiap hadirin sekarang sudah tahu bahwa mempelai laki-laki hilang, kalau kau tertawa, bukankah kau seolah-olah sedang merestui kejadian ini."
"Bagaimana pun tertawa kan lebih baik dari menangis, betapa pun mereka hari ini mengadakan pesta pernikahan, bukan melayat orang mati."
"Jangan kau mengeluarkan kata-kata yang tidak genah lagi." "Tidak bisa." "Apanya tidak bisa?"
"Karena kalau aku tidak bicara, kau sendiri juga akan bicara."
Ting Hun-pin sudah menarik muka, kelihatan sedang marah, sebetulnya hatinya malah amat senang. Karena dia sudah meresapi benar-benar bahwa Yap Kay jauh berbeda dengan laki-laki umumnya, dan yang terang laki-laki pujaannya ini tidak hilang.
0oo0
Hari sudah lohor.
Walau mempelai pria belum ada kabar, tapi tamu-tamu yang hadir kan tidak boleh menunggu terlalu lama dengan perut kosong. Maka perjamuan cepat sekali sudah dihidangkan, oleh karena itu semangat hadirin kelihatannya rada pulih dalam kegembiraan.
Ting Hun-pin malah mengerut kening, katanya, "Para kakakku yang jempolan itu kenapa tiada yang kelihatan?"
"Apa mereka mau datang?" "Mereka berjanji hendak datang."
"Kau juga mengharap mereka datang?"
Ting Hun-pin manggut-manggut, katanya menahan geli, "Ingin aku melihat bagaimana sikap cecongor Lok Siau-ka bila berhadapan dengan mereka "
"Kalau benar Lok Siau-ka berhasil membunuh mereka semua?" "Kenapa kau memandang rendah anggota keluarga Ting kami?" "Karena anggota keluarga Ting juga memandang rendah diriku."
"Ya hanya keluarga Be saja yang memandang tinggi pribadimu sampai putra dan putrinya dipasrahkan kepadamu."
Yap Kay mendadak menghela napas, ujarnya, "Kalau tahu Be Hong-ling bakal menikah, tentu Siau-hou-cu akan kubawa kemari."
Sekarang Siau-hou-cu sudah dia tinggalkan di rumah seorang sahabatnya. Seorang sahabat yang mempunyai peternakan besar, mereka suami isteri sejak lama sudah menginginkan punya anak, begitu melihat Siau-hou-cu, senang mereka bukan main seperti ketiban rezeki.
Memang Yap Kay punya banyak teman, teman yang beraneka ragam, dari tingkat tinggi sampai tingkat terendah, teman-teman yang mempunyai obyek kerja yang berlainan pula. Memang wataknya yang supel dan suka berteman, sehingga teman-temannya pun senang bergaul dengannya.
Ting Hun-pin melotot katanya tiba-tiba dengan dingin.. "Kenapa menghela napas? Apakah karena nona Be menikah dengan orang lain, maka hatimu sedih dan mendelu."
"Yang terang nona Ting yang ayu ini toh belum menikah dengan laki-laki lain, buat apa aku bersedih?"
Tak tahan Ting Hun-pin tertawa, katanya lirih, "Kalau kau tidak segera ke rumah meminang aku, akan datang suatu hari aku pasti menikah dengan orang lain."
"Kalau begitu aku akan ” sampai di sini dia merandek dan tidak meneruskan kata-katanya,
karena saat itu juga dia melihat Pho Ang-soat.
0oo0
Pho Ang-soat tetap menggenggam goloknya, pelan-pelan dia melangkah ke dalam ruang perjamuan yang besar dan luas ini. Di dalam ruang perjamuan penuh sesak berjubel para tamu, tapi sikap dan tindak-tanduknya seolah-olah sedang berjalan di padang ilalang yang semak dan belukar. Dalam pandangan matanya seolah-olah tiada orang lain.
Tapi perhatian hadirin seketika tertuju kepadanya, setiap orang tiba-tiba merasa ruang perjamuan yang panas dan gerah ini seketika menjadi dingin. Pemuda timpang yang bermuka pucat ini seolah-olah membawa hawa membunuh yang tajam laksana pisau.
Yap Kay pun merasakan hal ini, katanya pelan-pelan sambil mengerut alis, "Kenapa dia pun ke sini?"
"Bukan mustahil Lok Siau-ka yang mencarinya kemari?"
"Kenapa dia sengaja mencari kita dan membawa kemari? Aku sendiri sebenarnya juga merasa heran," sampai di sini tiba-tiba dia berhenti bicara, karena Pho Ang-soat saat itu juga sudah melihat mereka, sorot matanya seolah-olah dilapisi es.
Dengan tersenyum Yap Kay segera berdiri, selamanya dia menganggap Pho Ang-soat sebagai teman sendiri. Tapi lekas sekali Pho Ang-soat sudah melengos ke arah lain tanpa melirik pun kepadanya, pelan-pelan dia maju terus melewati orang-orang yang memagari jalanan, kulit mukanya seolah-olah sudah dilapisi es.
Tapi jari-jari tangannya yang memegang golok malah gemetar, meski kencang pegangan tangannya, tak urung gemetar juga tangan dan badannya kalau langkahnya pelan sebaliknya napasnya menderu kencang.
Ting Hun-pin geleng-geleng kepala, katanya, "Lagaknya dia bukan hendak mencicipi perjamuan."
"Memangnya dia tidak ingin melalap hidangan." "Memangnya apa maksud kedatangannya?" "Sudah tentu hendak membunuh orang " "Membunuh siapa?"
"Dia sudah berada di sini, sudah tentu orang yang punya tempat ini yang hendak dibunuhnya." Suaranya kalem, tapi bernada berat dan prihatin.
Selama berkumpul, belum pernah Ting Hun-pin melihat sikap dan mimiknya ini, tanyanya, "Apakah dia hendak membunuh Wan "
Semakin serius sikap Yap Kay, pelan-pelan dia manggut-manggut. "Membunuhnya di sini?
Sekarang juga membunuhnya?"
"Selamanya dia tidak pernah menunggu untuk membunuh orang." "Kau tidak berusaha mencegahnya?"
"Tiada orang yang kuasa merintangi dia membunuh orang." Sorot matanya tiba-tiba berubah setajam golok, hanya orang-orang yang dibekali dendam kesumat saja yang punya sorot mata begitu menakutkan.
Ting Hun-pin kalau melihat sorot matanya ini, mungkin bisa tidak mengenalnya lagi, karena saat itu seolah-olah dia mendadak berubah menjadi bentuk manusia yang lain.
Tapi Ting Hun-pin hanya mengawasi golok di tangan Pho Ang-soat, katanya menghela napas, "Agaknya pesta perjamuan hari ini bakal berubah menjadi bencana "
0oo0
Muka yang pucat, goloknya yang hitam.
Hati orang ini seperti juga adanya warna hitam dan putih ini, penuh dirundung pertentangan dan kontradiksi. Apakah itu kehidupan? Apa pula kematian itu? Mungkin dia tidak tahu. Dia hanya tahu membalas sakit hati. hanya tahu adanya dendam.
0oo0
Pelan-pelan Pho Ang-soat menyusuri pagar manusia yang mengawasinya dengan pandangan ngeri, maju terus. Di ujung tengah ruang perjamuan sana tergantung secarik kertas warna emas yang bertuliskan "Hi" dilingkari hiasan kain sutra merah.
Warna merah tanda bahagia, melambangkan kesenangan dan suasana gembira. Tapi darah juga merah.
Seorang nyonya pertengahan umur yang sanggul kepalanya penuh ditaburi perhiasan tengah membawa sebuah cangkir berisi teh, entah apa yang sedang dipercakapkan dengan temannya secara bisik-bisik. Mendadak waktu dia berpaling, dilihatnya Pho Ang-soat yang mendatangi, Cangkir teh di tangannya tiba-tiba terlepas jatuh.
Pho Ang-soat melirik pun tidak kepadanya, tapi golok di tangannya tahu-tahu sudah terulur ke depan, kelihatannya gerak-geriknya biasa saja, tidak cepat, tapi cangkir yang melayang jatuh ternyata tepat jatuh di atas pedangnya. Air teh dalam cangkir sedikit pun tidak tercecer tumpah.
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Golok yang cepat sekali " "Memang amat cepat," Ting Hun-pin ikut kagum.
Pelan-pelan Pho Ang-soat mengangkat tangannya, dia angsurkan kembali cangkir di ujung pedangnya ke hadapan nyonya itu. Ingin tertawa, tapi kulit mukanya serasa kaku, terpaksa nyonya itu menyengir dan berkata dengan suara dipaksakan, "Terima kasih!" Tangannya sudah diulurkan hendak mengambil cangkir itu, tapi tangannya gemetar hebat
Sekonyong-konyong dari samping terulur sebuah tangan menyambut cangkir itu. Sebuah tangan yang tenang dan tabah. Mengawasi tangan ini akhirnya Pho Ang-soat mengangkat kepala, maka dilihatnya orang yang mengambil cangkir itu.
Seorang laki-laki pertengahan umur yang berpakaian serba mewah, bermuka bersih dan bercahaya, meski rambut di pinggir kedua keningnya sudah memutih. Kelihatannya masih gagah dan dan kekar, tindak-tanduknya masih menarik perhatian kaum perempuan.
Sebetulnya sukar menilai berapa sebenarnya usianya. Jari-jari tangannya pun terpelihara dengan baik amat bertenaga. Bukan saja amat kokoh memegang golok atau pedang, agaknya jari- jarinya itupun ahli dalam menggunakan senjata rahasia.
Pho Ang-soat menatapnya, tiba-tiba bertanya, "Kau Wan Chiu-hun?"
Orang itu tersenyum sambil geleng-geleng kepala, sahutnya, "Cayhe Liu Tang-lay." "Mana Wan Chiu-hun?"
"Sebentar dia akan keluar." "Baik. aku menunggunya." "Untuk apa tuan mencarinya?"
Pho Ang-soat tidak mau menjawab. Sorot matanya tertuju ke tempat jauh, dalam pandangannya sudah tidak terlihat lagi adanya Liu Tang-lay yang berdiri di depan matanya.
Ternyata Liu Tang-lay juga bersikap acuh tak acuh, dengan tersenyum dia kembalikan cangkir teh itu kepada nyonya perlente itu, katanya, "Tehnya sudah dingin, biarlah kucarikan secangkir yang lain untuk gantinya."
Nyonya itu tertawa berseri sambil menunduk, sahutnya, "Banyak terima kasih." Berhadapan dengan Liu Tang-lay, perasaan tertekan tadi terasa mengendor sama sekali. Ting Hun-pin juga sedang mengawasi Liu Tang-lay, katanya, "Apakah dia itu Hou-hoa-kiam- khek Liu Tang-lay?" Hou-hoa-kiam-khek artinya ahli pedang pelindung kembang, yang diartikan kembang tentunya perempuan-perempuan cantik
Yap Kay tertawa, ujarnya, "Ada juga orang yang menamakan Toh-bing-kiam-khek." Toh-bing- kiam-khek berarti tokoh pedang pencabut nyawa.
"Bukankah dia termasuk saudara ipar Wan Chiu-hun?"
"Bukan saja mereka famili, mereka pun mengangkat saudara " "Kabarnya orang ini amat menarik perhatian kaum perempuan." "O, begitukah yang kau dengar "
"Kulihat sikapnya memang lembut dan sopan terhadap perempuan, kau harus belajar banyak kepadanya."
"Memang aku harus banyak belajar kepadanya, kabarnya di rumah dia punya sembilan gundik, entah berapa lagi gendak-gendaknya di luaran, mungkin tak terhitung banyaknya."
Ting Hun-pin melotot, katanya dengan menggigit bibir, "Kenapa kau tidak belajar yang baik- baik." Tiba-tiba mukanya jadi merah karena disadari dalam ruang besar yang sepi ini hanya mereka berdua saja yang masih bersenda-gurau dan bicara, maka tidak sedikit hadirin yang berpaling ke arah mereka.
Memang hadirin belum ada yang tahu apa maksud kedatangan pemuda bermuka pucat ini tapi samar-samar mereka sudah mendapat firasat jelek, seolah-olah suatu bencana bakal terjadi.
Pada saat itulah semua hadirin melihat seseorang menerjang keluar dari pintu belakang, seorang perempuan yang berpakaian mewah serba merah dengan mahkota berada di atas kepalanya. Perempuan ini adalah mempelai perempuan Be Hong-ling.
Mempelai pria hilang dan tidak diketahui arah parannya, tiba-tiba mempelai perempuan berlari keluar seorang diri, seketika mata hadirin terbelalak, mulut pun melongo, serasa bernapas pun sesak.
0oo0
Pakaian pengantin yang dipakai Be Hong-ling amat menyolok, entah potongan atau warnanya, tapi raut mukanya ternyata amat pucat. Dia langsung menerjang ke depan Pho Ang-soat, teriaknya dengan suara bergetar, "Kau! Ternyata kau!"
Pho Ang-soat hanya meliriknya sekilas, seolah-olah sebelum ini belum pernah dia melihat perempuan di depannya ini.
Be Hong-ling melotot, biji matanya merah membara desisnya, "Mana Wan Ceng-hong?" "Wan Ceng-hong siapa?" bertaut alis Pho Ang-soat.
"Bukankah kau sudah membunuhnya? Ada orang melihat kalian "
Akhirnya Pho Ang-soat mengerti, jadi tuan muda pemilik perkampungan ini adalah mempelai pria, dan mempelai pria ini adalah pemuda berpedang yang berhadapan dengan dirinya di kota Tiang-an itu.
Sekarang dia pun sudah melihat Peng Liat. Sudah tentu Peng Liat juga menjadi tamu dalam pesta perjamuan ini, bukan mustahil Peng Liatlah yang memberi tahu hal itu kepada mereka.
"Sebetulnya aku memang bisa membunuhnya," ujar Pho Ang-soat tawar.
Bergetar badan Be Hong-ling, mendadak dia berteriak kalap, "Pasti kaulah yang membunuhnya, kalau tidak, kenapa dia tidak datang, kau ... kau ... kenapa kau selalu menyakiti aku, kau "
Suaranya serak dan tersendat, air mata pun bercucuran. Di dalam lengan bajunya sudah menyembunyikan sebatang pedang pendek, mendadak dia menubruk maju, laksana kilat menyambar pedang pendek di tangannya menusuk ke dada Pho Ang-soat. Serangannya ini amat keji dan penuh dendam, rasanya ingin sekali dia tusuk tamatkan riwayat Pho Ang-soat.
Dengan dingin Pho Ang-soat mengawasinya, tiba-tiba sarung pedangnya terangkat melintang terus mengetuk. Kontan Be Hong-ling tergentak mundur, seketika pinggangnya meliuk dan muntah-muntah dengan kerasnya. Tapi tangannya masih mencekal pedang pendek itu kencang- kencang.
"Sebetulnya bisa aku membunuh kau," jengek Pho Ang-soat dingin.
Be Hong-ling berusaha menegakkan badan dengan napas tersengal-sengal, tiba-tiba dia memekik keras, kembali dia menubruk maju sambil mengayun pedang. Agaknya kali ini dia sudah mengerahkan setaker tenaganya. Tapi dari samping seseorang dengan ringan menarik lengan bajunya, seluruh kekuatannya yang menerjang ke depan seketika sirna tanpa bekas. Itulah ilmu Su-nio-boat-jian-kin dari aliran Lwekeh, suatu kepandaian peranti digunakan untuk meminjam tenaga lawan.
Tidak banyak orang yang pernah meyakinkan kepandaian dari aliran Lwekeh ini, maka lebih jarang tokoh-tokoh yang benar-benar mahir dan lihai menggunakan ilmu kepandaian ini. Meski ada, paling sedikit harus mempunyai landasan Lwekang dua-tiga puluh tahun. Oleh karena itu orang ini tentu seorang kakek, seorang tua yang punya wibawa.
Pakaian orang ini tidak kalah perlente dan mewah, sikapnya lebih gagah berwibawa dan serius dari Liu Tang-lay, sepasang matanya menyorotkan cahaya terang, dengan bengis dia menatap Pho Ang-soat, bentaknya, "Apa kau tidak tahu bila dia seorang perempuan?"
Pho Ang-soat tutup mulut.
Semakin gusar dan beringas si orang tua, serunya, "Walau dia bukan apa-apaku, aku tidak akan membiarkan kau bertindak kasar terhadap perempuan."
"Jadi dia adalah menantumu?" tiba-tiba Pho Ang-soat buka suara. "Benar," sahut si orang tua.
"Jadi kau inilah Wan Chiu-hun?" "Tidak salah."
"Aku tidak membunuh putramu."
Dengan tajam Wan Chiu-hun mengawasinya, akhirnya dia manggut-manggut, katanya, "Agaknya kau bukan laki-laki yang pandai membual."
"Tapi kemungkinan aku akan membunuhmu," ujar Pho Ang-soat kalem.
Sekilas Wan Chiu-hun melenggong, tiba-tiba dia terbahak-bahak Biasanya dia jarang tertawa lebar, bahwa sekarang dia terbahak-bahak, karena di dalam benaknya mendadak dibayangi ketakutan yang benar-benar mengetuk sanubarinya. Katanya dengan tertawa lebar. "Katamu kau hendak membunuhku? Berani kau di sini mengucapkan kata-kata seperti ini?"
"Barusan sudah kukatakan, kini aku ada sebuah pertanyaan ingin bertanya kepadamu." "Kau boleh bertanya."
"Sembilan belas tahun yang lalu, apakah kau pun berada di luar Bwe-hoa-am di Loh-sia-san?"
Tawa Wan Chiu-hun tiba-tiba berhenti seperti mulutnya mendadak tersumbat sesuatu, sorot matanya seketika memancarkan ketakutan dan ngeri, raut mukanya yang kereng berwibawa seketika berkerut-kerut berubah bentuk. Teriaknya tertahan, "Kau adalah Pek ... pernah apa kau dengan Pek-tayhiap?"
Mendapat pertanyaan balasan ini, muka Pho Ang-soat yang pucat seketika merah padam, badannya mulai gemetar. Anehnya tangan yang semula gemetar kini malah tenang dan mantap. "Aku adalah putranya!" mulutnya mendesis. Habis mendengar jawaban ini, jiwa Wan Chiu-hun pun melayanglah.
Golok Pho Ang-soat tiba-tiba menyambar keluar. Membunuh orang dia tidak pernah membuang-buang waktu.
0oo0
Sinar golok berkelebat, semua hadirin hanya melihat berkelebatnya selarik sinar perak, tiada seorang pun yang melihat jelas bentuk goloknya. Demikian pula Wan Chiu-hun sendiri tidak melihatnya. Tahu-tahu sinar perak atau ujung golok itu sudah amblas tembus ke dalam dadanya.
Semua kegaduhan seketika sirap dan suasana menjadi hening lelap, segala gerakan pun berhenti seluruhnya. Sesaat kemudian baru terdengar tenggorokan Wan Chiu-hun berbunyi "krok- krok" seperti suara katak. Matanya terbelalak mengawasi Pho Ang-soat, sorot matanya mengandung heran, tidak mengerti, ketakutan, duka lara dan curiga. Dia tidak percaya bahwa sambaran golok Pho Ang-soat ternyata begitu cepat. Lebih tidak dipercaya lagi bahwa Pho Ang- soat benar-benar tega membunuh dirinya.
Dengan melotot Wan Chiu-hun mengawasi muka orang yang pucat, tiba-tiba dia meronta mundur melepaskan badannya dari tusukan golok orang. Maka terjungkallah badannya. Darah menyembur keluar membasahi badan, berceceran di atas lantai. Biji matanya sudah melotot, dengan sisa tenaga dan napasnya yang terakhir dia paksakan diri berkata, "Malam itu aku tidak berada di luar Bwe-hoa-am!" Habis kata-katanya, melayang juga jiwanya.
Golok itu sudah kembali di dalam sarungnya, golok yang masih berlepotan darah.
Sekonyong-konyong didengarnya di belakang sebuah suara dingin yang tajam berkata, "Kau salah orang!"
Kuping Pho Ang-soat seolah-olah pekak dan mendengung mendengar kata-kata ini, meski tidak keras orang bicara, tapi bagi pendengaran Pho Ang-soat laksana bunyi guntur menggelegar di pinggir kupingnya. Lama sekali baru dia pelan-pelan membalik badan.
Liu Tang-lay berdiri di depannya, mukanya pucat beringas, matanya setajam golok, katanya pelan, "Malam itu, dia memang tidak berada di Bwe-hoa-am."
"Kau tahu?" tanya Pho Ang-soat mengertak gigi. "Hanya aku yang tahu."
Berkerut-kerut muka Liu Tang-lay karena emosi dan tertekan batinnya, katanya lebih lanjut, "Malam itu, kebetulan istrinya pun meninggal karena susah melahirkan, dari malam sampai pagi dia terus berjaga di pinggir pembaringan, setengah langkah pun tidak pernah berpisah sampai istrinya ajal."
Terasa oleh Pho Ang-soat, seolah-olah dada sendiri pun terhujam oleh golok tajam, seluruh badan menjadi dingin dan basah kuyup
"Tapi dia tahu jelas peristiwa berdarah di luar Bwe-hoa-am itu." "Dia ... bagaimana dia bisa tahu?"
"Karena aku memberitahu rahasia itu kepadanya."
Setiap patah kata jawaban ini laksana martil yang mengetuk batok kepalanya.
"Akulah salah seorang dari sekian banyak orang yang berusaha membunuh ayahmu pada malam itu di luar Bwe-hoa-am," kata Liu Tang-lay dengan menekan perasaan sedihnya, lalu dia berpaling mengawasi jenazah Wan Chiu-hun, katanya rawan, "Bukan saja dia familiku, dia pun teman yang paling baik, sejak kecil kita hidup bersama, di antara kita selamanya tiada perbedaan tiada rahasia apa pun."
"Oleh karena itu kau tuturkan peristiwa itu kepadanya?"
"Tapi tidak pernah terpikir olehku bahwa aku malah mencelakai jiwanya." Kata-kata ini laksana sebatang jarum menusuk ke hulu hati Pho Ang-soat.
Berkata Liu Tang-lay lebih lanjut, "Setelah mendengar penuturanku, dia pernah memarahi aku, dikatakan tidak pantas aku demi seorang perempuan sampai melakukan perbuatan yang memalukan itu, tapi aku maklum akan maksud baiknya, karena dia tidak tahu betapa besar cinta kasihku terhadap perempuan itu."
"Kau jadi pembunuh gelap, hanya ... hanya karena seorang perempuan?" tanya Pho Ang-soat. "Benar, untuk seorang perempuan, dia bernama Kiat-ji, semula menjadi milikku, tapi
mengandal kekuasaan dan harta bendanya, Pek Thian-ih merebutnya dari tanganku." "Kau bohong!" hardik Pho Ang-soat kalap.
"Aku bohong?" Liu Tang-lay terloroh-loroh menengadah, "Buat apa aku harus bohong? Memangnya kau belum tahu orang macam apa sebenarnya ayahmu itu? Boleh kuberitahu kepadamu, dia adalah se "
Pho Ang-soat mendadak menggerung keras, sinar goloknya yang kemilau kembali berkelebat keluar dari sarungnya. Dada Liu Tang-kay sudah mengucurkan darah, namun roman mukanya masih menampilkan senyuman hina dan penuh kebencian.
"Sepatah kata lagi kau berani membusukkan nama beliau, kau akan mampus pelan-pelan!" "Wan-loji sudah mati lantaran aku, memang aku sudah tidak ingin hidup lagi, bagaimana pun
kematianku tidak menjadi soal."
"Oleh karena itu kau memfitnah dengan mulutmu yang kotor."
"Kapan saja kau boleh membunuh aku, terserah cara apa yang ingin kau gunakan, tapi kau harus percaya bahwa apa yang kuucapkan adalah benar dan nyata."
Bergetar badan Pho Ang-soat, tiba-tiba dia putar badan, tahu-tahu dia lolos sebatang pedang dari pinggang seorang yang berdiri di belakangnya terus dilempar kepadanya.
Liu Tang-lay menangkap pedang itu. "Sekarang kau sudah bersenjata." "Ya, aku sudah bersenjata."
"Kenapa tidak segera turun tangan, memangnya kau hanya berani membunuh orang bila kau menutupi mukamu dengan kedok?"
Dengan nanar Liu Tang-lay mengawasi pedang di tangannya, mulutnya menggumam, "Memang aku pantas membunuhmu, supaya kau tidak kesalahan membunuh orang lain, tapi darah sudah banjir menjadi aliran, aliran darah sudah panjang dan jauh " Tiba-tiba dia
mengayun tangan, pedang di tangannya berkelebat menjadi tabir cahaya kemilau. Gerakan pedangnya lincah, enteng dan dahsyat. Gerak sasarannya tepat, perubahan jurus tipunya aneh dan cepat luar biasa.
Hou-hoa-kiam-khek memang salah satu tokoh pedang yang paling kenamaan pada zaman itu, ketenarannya memang tidak bernama kosong. Karena dia harus menebus ketenaran ini dengan darah orang banyak. Akan tetapi hari ini dia harus menebus kebesaran namanya dengan darahnya sendiri
Lekas sekali gugusan tabir cahaya terang dari kemilaunya batang pedang telah kuncup. Tahu- tahu golok sudah menghujam ke dadanya.
Dengan senyum sinis dia tetap mengawasi Pho Ang-soat, katanya dengan napas tersengal- sengal, "Memang golok cepat yang tiada bandingannya di dunia, sayang sekali betapa pun cepat golok itu, kenyataan tidak akan mungkin dipungkiri." Habis kata-katanya badannya segera tersungkur roboh.
0oo0