Peristiwa Merah Salju Jilid 05

Jilid 5

BAB 13. RAHASIA SIM SAM-NIO

Dalam kamar tidak menyulut pelita. Sim Sam-nio tengah mengenakan jubah panjang yang lebar, agaknya sedang mandi, mukanya kelihatan berlepotan darah.

"Kau ... kau terluka?" seru Be Hong-ling kejut.

Tidak menjawab pertanyaan ini, Sim Sam-nio malah balas bertanya, "Kau tahu aku barusan keluar?"

"Tak usah kuatir," ujar Be Hong-ling tertawa, "aku pun seorang perempuan, aku boleh pura- pura tidak tahu." Dia tertawa bukan lantaran dia sudah tahu rahasia orang, dia tertawa adalah karena dia beranggapan sekarang dirinya sudah besar, sudah dewasa. Menutupi rahasia orang lain memangnya suatu hal yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang sudah matang.

Sim Sam-nio tidak banyak bicara lagi, pelan-pelan dia rendam kain sari yang berlepotan darah itu ke dalam air, diawasinya kainnya yang berlepotan darah itu pelan-pelan tergenang basah ke dalam air. Mulutnya pun masih mengeluarkan bau darah, memangnya darah yang sudah terdorong sampai di tenggorokannya terus dia pertahankan sampai dia kembali ke rumah baru dia muntahkan. Hantaman kepalan Kongsun Toan memangnya bukan ringan.

Be Hong-ling sudah melompat naik ke atas pembaringan, kedua kakinya ditarik bersila. Sebelum ini selalu dia merasa kikuk dan risih serta hati-hati pula, sekarang justru berubah sembarangan, katanya tiba-tiba, "Apakah di tempatmu ini ada arak, aku ingin minum secangkir saja."

Sim Sam-nio mengerut kening, katanya, "Sejak kapan kau mulai belajar minum arak?"

"Di waktu usiamu sebesar aku dulu, masakah kau belum belajar minum?" balas tanya Be Hong- ling.

"Araknya disimpan di laci terbawah di dalam lemari itu " kata Sim Sam-nio sambil menuding sebuah lemari di pojokan sana.

"Memangnya aku sudah menduga kau pasti menyimpan arak di sini, jika aku jadi kau, bila malam tidak bisa tidur, pasti aku bangun minum arak seorang diri." "Dua hari ini, naga-naganya kau memang sudah tambah dewasa." Be Hong-ling sudah menemukan arak, dibukanya sumbat botol terus dituangnya dengan mulut beradu mulut seteguk saja, katanya tertawa,

"Memangnya aku ini sekarang sudah besar, maka kau harus memberitahu kepadaku, siapa yang kau cari waktu kau keluar tadi?"

"Kau tak usah kuatir, yang pasti bukan Yap Kay." "Memangnya siapa? Pho Ang-soat?'

Jari-jari Sim Sam-nio yang sedang mengucek kain basah dalam baskom seketika berhenti kaku, lama juga baru pelan-pelan dia berpaling menatapnya.

"Buat apa kau menatapku? Apakah karena tebakanku betul?"

Mendadak Sim Sam-nio merebut botol arak di tangannya, katanya, "Kau sudah mabuk, kenapa tidak kembali ke kamarmu tidur saja, setelah sadar kembalilah menemui aku."

Seketika Be Hong-ling menarik muka, katanya dingin, "Tidak lebih aku hanya ingin tahu dengan cara apa kau berhasil memeletnya, tentunya caramu itu cukup baik untuk menipu, kalau tidak, masakah dia bisa kepincut terhadap kau perempuan yang sudah tua ini."

Dingin sorot mata Sim Sam-nio, katanya kata demi kata, "Apakah si dia yang kau taksir? Bukan Yap Kay?"

Seolah-olah mukanya digampar dengan keras, muka Be Hong-ling yang pucat seketika berubah merah padam. Agaknya besar hasratnya menerjang maju menampar pipi Sim Sam-nio, namun saat itu juga dia mendengar langkah kaki yang mendatangi di atas papan di luar serambi sana.

Langkah kaki yang lambat dan berat, akhirnya berhenti di luar pintu, disusul seseorang berseru lirih tertahan, "Sam-nio, kau sudah bangun?" Itulah suaranya Ban-be-tong-cu.

Seketika berubah air muka Sim Sam-nio dan Be Hong-ling, lekas Sim Sam-nio memberi tanda dengan gerakan mulutnya ke arah ranjang, Be Hong-ling menggigit bibir, namun tanpa ayal tersipu-sipu dia menyusup ke dalam selimut. Seperti keadaan Sim Sam-nio yang serba hati-hati dan seolah-olah dirinya berdosa, karena dia sendiri pun mempunyai rahasia yang pantang diketahui orang.

Untung Ban-be-tong-cu tidak masuk, tanyanya pula sambil berdiri di luar pintu, "Baru bangun?"

Sim Sam-nio mengiakan "Enak tidurmu?"

"Tidak enak."

"Hayolah ikut aku ke atas mau tidak?" "Boleh saja."

Hubungan mereka sudah kental selama puluhan tahun, maka percakapan mereka pun cekak dan zakelijk.

Diam-diam Be Hong-ling merasa heran. Terang tadi dia mendengar ayahnya sudah membawa seorang perempuan, sekarang minta Sam-ik naik ke atas? Lalu siapakah perempuan yang dia bawa pulang?

Seorang diri Ban-be-tong-cu menempati tiga bilik besar di atas loteng, pertama kamar buku, sebuah lagi kamar tidur, yang lain adalah ruang rahasia, sampai sedemikian jauh Sim Sam-nio sendiri belum pernah masuk ke dalam kamar rahasianya ini.

Waktu beranjak naik ke loteng, pinggangnya masih tegak lurus, dilihatnya dari punggungnya, siapa pun takkan menyangka dia sudah seorang tua. Tanpa bersuara Sim Sam-nio mengikuti di belakangnya. Setiap kali diminta untuk naik, tidak pernah dia menolak, sikap orang tidak begitu hangat namun juga tidak begitu dingin Adakalanya sebagai perempuan normal dia pun bisa mempersembahkan pelayanan yang hangat dan memuaskan seratus persen. Memang itulah perempuan yang masih diinginkan oleh Ban-be-tong- cu. Perempuan yang terlalu merangsang dan terlalu besar nafsunya sudah tidak lagi memenuhi seleranya. Sudah tidak memadai lagi dengan kondisi badan serta usianya sekarang.

Pintu kamar di loteng tertutup rapat, Ban-be-tong-cu sengaja berhenti di luar pintu, tiba-tiba dia putar badan menatapnya, tanyanya, 'Tahukah kau untuk apa kuajak kau naik kemari?"

Sim Sam-nio tertunduk, sahutnya lembut, "Terserah apa pun yang kau inginkan tidak menjadi soal bagi aku "

"Kalau aku ingin membunuhmu?" serius nada ucapan Ban-be-tong-cu mukanya bersungguh- sungguh

Tiba-tiba timbul rasa ngeri dan hawa dingin menjalari kuduknya, baru sekarang dia sadar bila dirinya telanjang kaki.

Tiba-tiba Ban-be-tong-cu tertawa pula, "Sudah tentu aku tidak akan membunuhmu, di dalam ada orang sedang menunggumu."

"Ada orang menunggu aku? Siapa?"

Mimik tawa Ban-be-tong-cu aneh, sahutnya pelan, "Selamanya kau tidak akan menduga siapa dia." Dia membalik mendorong pintu, serasa hampir tiada keberanian Sim Sam-nio melangkah ke dalam.

0oo0

Akhirnya hari sudah terang tanah. Pelan-pelan Pho Ang-soat sedang melalap bubur hangat yang baru saja dimasaknya.

Lapat-lapat Yap Kay sudah merasakan bahwa Cui-long tidak akan pulang, dia sedang mengenakan sepatunya

Loteng kecil itu sunyi senyap tiada suara apa-apa, Kongsun Toan sedang memasukkan kepalanya ke dalam kubangan air kuda, seperti kuda kehausan dia minum air dingin sepuas- puasnya, tapi umpama seluruh air sebuah sungai pun takkan bisa membuat pikirannya sadar.

Hembusan angin pagi dari padang rumput terasa membawa bau amis yang tawar.

Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian pun sudah kembali ke rumahnya masing-masing, mereka sudah siap menuju ke pendopo besar untuk sarapan pagi. Setiap pagi seperti lazimnya mereka mesti sarapan pagi di pendopo besar, ini sudah merupakan tata tertib Ban-be-tong.

Akhirnya Sim Sam-nio membesarkan hati, melangkah masuk ke kamar Ban-be-tong-cu. Siapakah yang sedang menunggu dirinya di dalam?

Dengan memeluk kedua lututnya, Cui-long sedang duduk meringkuk di atas kursi besar yang nyaman terbuat dari kayu cendana. Kelihatannya dia amat letih dan ketakutan.

Waktu Sim Sam-nio melihat dia, kedua orang itu kelihatannya sama-sama kaget.

Dengan dingin Ban-be-tong-cu mengamati reaksi mimik mereka, katanya tiba-tiba, "Sudah tentu kalian kenal satu sama lain." Sim Sam-nio manggut-manggut.

"Sekarang dia sudah kubawa pulang, supaya selanjutnya kau tidak usah mencarinya di tengah malam buta rata." Reaksi Sim Sam-nio amat aneh, seperti sedang menerawang, hakikatnya tidak mendengarkan ucapan Ban-be-tong-cu ini. Lama berselang baru pelan-pelan dia bergerak ke hadapan dengan Ban-be-tong-cu, katanya kalem, "Kemarin malam aku memang pernah keluar."

"Aku tahu."

"Orang yang hendak kucari bukan Cui-long."

"Aku tahu," sahut Ban-be-tong-cu, dia sudah duduk, sikapnya masih tenang dan wajar, siapa pun takkan bisa membedakan perasaan hatinya dari mimik mukanya.

Sim Sam-nio menatapnya bulat-bulat, katanya kata demi kata, "Orang yang kucari adalah Pho Ang-soat!"

Ban-be-tong-cu sedang mendengarkan, sampai pun kelopak mata dan kulit daging ujung matanya sedikit pun tidak bergerak. Bukan saja sorot matanya tidak menampilkan rasa kaget dan marah, malah menampilkan perasaan simpatik dan memakluminya.

Suara Sim Sam-nio pun tenang, pelan-pelan dia melanjutkan, "Aku mencarinya, karena aku beranggapan dialah si pembunuh yang menewaskan orang-orang itu."

"Bukan dia” ujar Ban-be-tong-cu.

Sim Sam-nio manggut-manggut pelan-pelan, "Memang bukan dia, tapi sebelum aku berhasil menyelidikinya dengan gamblang, betapapun hatiku takkan bisa tenang."

"Aku mengerti."

"Dari sikapnya terhadap diriku, aku dapat menyimpulkan perempuan sejak dilahirkan memang mempunyai suatu perasaan aneh, kalau dia membenciku, maka sikap dan tindak-tanduknya terhadapku pasti berlainan."

"Aku paham!"

"Tapi terhadapku dia justru amat sungkan waktu aku ke sana, meski dia kelihatannya rada kaget waktu aku hendak berlalu, dia toh tidak coba menahanku."

"Memang dia seorang Kuncu sejati!"

"Sayang sekali, kau punya teman yang bukan Kuncu betul-betul." "O?"

Sim Sam-nio mengertak gigi, dengan mata merah tiba-tiba dia singkap pakaian bagian bawahnya. Bagian bawah yang telanjang hanya ditutupi selembar kain ini. Meski usianya sudah menanjak tiga puluh tahun, namun potongan badannya masih begitu molek, terpelihara dengan baik sekali. Dadanya montok, dua bukit berdiri kenyal, perutnya datar mengercil, sementara kedua pahanya jenjang halus dan padat, sayang sekali pada titik perempuan yang dihiasi alas subur menghitam itu, kelihatan daging-daging yang membiru hijau.

Tak tertahan Cui-long menjerit tertahan sambil menutup mulut dengan tangan dan mata terbelalak ngeri, berderai air mata Sim Sam-nio, katanya dengan suara gemetar, "Kau tahu siapa yang menghiasi badanku ini?"

Mengawasi bekas luka-luka di perut Sim Sam-nio, terpancar rasa gusar pada sorot mata Ban- be-tong-cu, lama juga dia menepekur baru bersuara, "Aku tidak ingin tahu."

Sudah tentu Sim Sam-nio cukup tahu, kalau orang tidak ingin tahu, itu berarti dia sudah tahu.

Tanpa melanjutkan persoalan ini, pelan-pelan Sim Sam-nio membetulkan pakaiannya pula, katanya rawan, "Baik juga kalau kau tidak tahu, aku hanya ingin supaya kau tahu, demi kau, apa pun aku rela melakukannya."

Perasaan gusar yang berkobar di sorot mata Ban-be-tong-cu sudah berubah menjadi derita, lama juga baru menarik napas, katanya, "Beberapa tahun ini, kau memang banyak melakukan pekerjaan untukku, juga banyak menderita." Sim Sam-nio sesenggukan pilu, tiba-tiba dia berlutut mendekam di bawah lututnya, tangisnya pecah tak terkendali lagi. Pelan Ban-be-tong-cu mengelus rambutnya yang halus, sorot matanya tertuju keluar jendela.

Angin pagi nan sepoi-sepoi menghembus datang dari padang rumput, rumput menari-nari laksana gelombang ombak samudra timbul tenggelam, sang surya baru saja terbit, cahayanya yang merah menguning menyinari gelombang rumput yang menari-nari tertiup angin, rombongan kuda tengah berderap menyongsong sinar surya.

Berkata Ban-be-tong-cu setelah menghela napas. "Semula tempat ini merupakan padang belukar, tanpa kau, mungkin aku sendiri tidak akan mampu membangun tempat ini sedemikian indah, tidak ada orang tahu betapa besar bantuanmu terhadapku."

Berkata Sim Sam-nio sesenggukan, "Asal kau tahu saja, aku pun cukup puas."

"Sudah tentu aku tahu, kau membantuku merubah tempat ini jadi sedemikian indah permai, cuma di kala aku harus kehilangan semua milikku ini, betapa rawan dan derita sanubariku."

Mendadak Sim Sam-nio mengangkat kepala, teriaknya kaget, "Kau ... kau ... apa katamu?"

Ban-be-tong-cu tidak mengawasinya lagi, katanya pelan-pelan, "Aku sedang membentangkan sebuah rahasia."

"Rahasia apa?" "Rahasia dirimu!"

"Aku ... aku punya rahasia apa?"

Semakin tebal rasa derita dalam sorot mata Ban-be-tong-cu, katanya tegas, "Sejak pertama kali kau datang kemari, aku sudah tahu siapa dirimu sebenarnya."

Bergetar sekujur badan Sim Sam-nio, seolah-olah ada dua tangan yang tidak kelihatan tiba-tiba mencekik lehernya. Napas pun serasa berhenti seketika, pelan-pelan dia bangkit berdiri, melangkah mundur setindak demi setindak, sorot matanya memancar ketakutan.

"Kau bukan she Sim," ujar Ban-be-tong-cu, "kau she Hoa!"

Seperti dipukul godam kepala Sim Sam-nio mendengar kata-kata ini. Baru saja dia berdiri, hampir saja dia terpeleset jatuh lagi.

"Gundik Pek Thian-ih yang bernama Hoa Pek-hong adalah kakak kandungmu." "Kau ... darimana kau tahu?"

"Mungkin kau tidak percaya, tapi sebelum kau datang kemari, aku sudah pernah melihatmu, aku pernah melihat kalian kakak beradik bergaul rapat dengan Pek Thian-ih. Waktu itu kau masih kecil, kakakmu sudah mengandung keturunan Pek Thian-ih."

Badan Sim Sam-nio yang gemetar tiba-tiba berhenti, seluruh badannya serasa kejang dan kaku. "Setelah Pek Thian-ih meninggal, aku pernah mencari kakak beradik itu, namun selama ini

kakakmu dapat menyembunyikan diri baik-baik, memangnya siapa bakal menduga kau justru

tahu-tahu sudah berada di sini."

Sim Sam-nio mundur pelan-pelan, akhirnya dia menemukan kursi dan duduk di situ.

Laki-laki di hadapannya inilah, selama tujuh tahun, setiap bulannya paling sedikit ada tujuh kali dia harus menemani kebutuhan orang bermain di atas ranjang, menahan elusan jari-jari tangan tak berkuku yang kasar seperti berduri, menahan bau keringatnya yang prengus. Ada kalanya seolah-olah dia merasa yang tidur di sebelahnya adalah seekor kuda yang tua. Tujuh tahun lamanya dia menahan diri, karena dia selalu berpandangan akhirnya usahanya pasi akan mendapat hasil yang memuaskan sesuai rencana, dan untuk mencapai tujuan dia sudah siaga cepat atau lambat harus mempertaruhkan imbalannya. Baru sekarang pula dia menyadari akan langkah-langkah dirinya yang salah, salah secara mengerikan, salah secara menakutkan. Tiba-tiba ia menyadari dirinya mirip seekor cacing di tangan anak kecil, dirinya sedang dan selalu dipermainkan orang.

"Aku sudah sejak lama tahu kau siapa, tapi selama ini aku tidak membongkar kedokmu, kau tahu kenapa aku harus merahasiakan hal ini?" tanya Ban-be-tong-cu.

Sim Sam-nio geleng-geleng kepala.

"Karena aku menyukaimu, dan lagi aku memang memerlukan perempuan seperti kau."

Tiba-tiba Sim Sam-nio tertawa, katanya, "Malah orang secara sukarela masuk rumah menyerahkan dirinya sendiri secara gratis." Memang dia sedang tertawa, namun tawa yang sayu dan pedih lebih menderita dari menangis. Mendadak terasa mual dan hampir muntah-muntah.

"Aku sudah lama tahu hubunganmu dengan Cui-long." "O?"

"Sesuatu yang terjadi di sini Cui-long yang menyiarkan keluar, sesuatu yang terjadi di luar, Cui- long pula yang menyampaikan kepada kau." Ban-be-tong-cu tiba-tiba tertawa, katanya lebih lanjut, "Kau gunakan orang seperti dia untuk menyampaikan berita, memangnya suatu rencana kerja yang baik sekali."

"Sayang sekali, serapi-rapi aku bekerja toh tetap sudah kau ketahui"

"Selama ini aku tidak pernah mencegah dan mengganggu kalian, soalnya aku tiada sesuatu berita rahasia yang harus disampaikan kepadamu."

"Kemungkinan kau pun ingin tahu berita di luaran dari pihakku."

"Sayang sekali Cicimu justru jauh lebih cerdik dari kau, beberapa tahun sudah berselang, aku tetap tak berhasil mencari tahu tempat tinggalnya."

"Oleh karena itu sampai detik ini dia tetap segar-bugar." "Bagaimana dengan anaknya?"

"Masih tetap hidup."

"Sekarang sudah datang kemari?" "Menurut dugaanmu bagaimana?" "Yap Kay atau Pho Ang-soat?" "Kau tidak akan bisa merabanya?"

"Meski kau tidak mau terus terang, aku pun bisa mencari akal untuk mengetahuinya." "Memangnya kenapa kau harus bertanya kepadaku."

Ban-be-tong-cu menghela napas, ujarnya, "Sebetulnya sampai detik ini aku belum ingin membongkar rahasiamu, terus terang aku tidak tega memutus hubungan kita yang sekarang."

"Sayang sekali kau dipaksa dan harus segera membongkar kedok asliku." "Ya, begitulah kenyataannya."

"Kenapa?"

"Karena hal ini tidak boleh berlarut-larut lagi."

"Kalau toh sudah berlarut sampai puluhan tahun, apa halangannya berlarut beberapa hari lagi?"

Sikap Ban-be-tong-cu amat prihatin, katanya, "Aku punya anak, beberapa ratus saudara, aku tidak tega melihat mereka mati satu per satu di hadapanku menjadi korban keganasan orang."

"Semalam berapa pula yang menjadi korban?" "Sudah cukup banyak yang menjadi korban?" "Menurut anggapanmu, siapakah pembunuhnya? Yap Kay? Pho Ang-soat?"

"Peduli siapa pembunuhnya, aku berani bersumpah kepadamu, dia pasti takkan lolos!" "Hutang uang bayar uang, hutang jiwa bayar jiwa ... begitu maksudmu?"

"Tidak salah."

Sim Sam-nio tiba-tiba tertawa dingin, tanyanya, 'Lalu bagaimana dengan dirimu?"

Sorot mata gusar Ban-be-tong-cu seketika berubah ketakutan, ketakutan yang luar biasa. Mendadak dia berjingkrak berdiri berpaling ke arah jendela, seolah tidak ingin mimik mukanya dilihat oleh Sim Sam-nio.

Pada saat itulah dari luar kedengaran suara kelintingan berdering nyaring. Ban-be-tong-cu menghela napas, ujarnya, "Cepat benar, sehari sudah berlalu, sarapan pagi sudah tiba saatnya."

"Masih bisa kau makan hari ini?"

"Itulah tata tertib yang sudah kutegakkan, paling tidak aku tidak boleh melanggarnya sendiri." Tanpa melirik lagi kepada Sim Sam-nio dengan langkah lebar dia beranjak keluar.

"Tunggu sebnetar," seru Sim Sam-nio. Ban-be-tong-cu sedang menunggu. "Masakah begini saja kau hendak berlalu?" "Kenapa tidak boleh?"

"Kau ... bagaimana keputusanmu akan diriku?" "Tidak apa-apa."

"Aku tidak mengerti maksudmu." "Aku tiada maksud apa-apa."

"Kau sudah membongkar rahasiaku, kenapa tidak kau bunuh aku?"

"Membongkar rahasiamu adalah satu persoalan, membunuh adalah persoalan lain." "Akan tetapi "

"Aku tahu sudah tentu kau tidak akan bisa menetap lagi di sini." "Kau biarkan aku pergi?"

Ban-be-tong-cu tertawa, tawa yang pedih, ujarnya pelan-pelan. "Kenapa pula aku harus melarangmu? Memangnya aku harus membunuhmu?"

Terpancar rasa kaget dan heran serta tak mengerti pada sorot mata Sim Sam-nio. Sampai detik ini. baru dia menyadari dirinya belum memahami jiwa orang, mungkin sejak permulaan dirinya memang belum bisa memahami karakternya. Tak tertahan dia bertanya pula, "Kalau kau biarkan aku pergi, kenapa pula kau bongkar rahasiaku?"

Ban-be-tong-cu tertawa pula, ujarnya tawar, "Mungkin aku hanya ingin supaya kau tahu, aku ini bukan orang pikun."

Sim Sam-nio menggigit bibir, katanya, "Atau mungkin juga lantaran kau tidak ingin aku menetap di sini pula."

"Ya, mungkin," sahut Ban-be-tong-cu. Tanpa bicara lagi tanpa menoleh dia terus turun dari loteng.

Langkah kakinya lambat dan berat kejap lain sudah terdengar tiba di bawah. Mungkin perasaan hatinya jauh lebih berat lagi. "Kenapa dia tidak membunuhku? Memangnya dia amat baik terhadapku?" terkepal kencang kedua jari-jari tangan Sim Sam-nio, akhirnya dia berkeputusan untuk tidak memikirkan persoalan ini lebih lanjut, kalau dipikir hanya menambah kedukaan saja.

Orang inilah yang sudah menipu dirinya, mempermainkan dirinya, tapi di saat orang lain hendak membunuhnya, dia justru membiarkan dirinya pergi. Mungkin bukan sengaja orang hendak menipunya, justru sebaliknya dirinya yang hendak menipunya. Peduli apa pun yang pernah dia lakukan dulu, tapi terhadap dirinya, boleh dikata orang tidak terlalu jelek, tidak menyia-nyiakan dirinya.

Tiba-tiba serasa ditusuk sembilu hulu hati Sim Sam-nio. Sebetulnya tidak pantas dia dijalari perasaan seperti ini, belum pernah terbayang olehnya dirinya bakal dijalari perasaan seperti ini.

Tapi manusia tetap manusia. Manusia pasti mempunyai perasaan, kontras dan derita.

Sementara itu Cui-long sudah berdiri menghampirinya dan berjalan ke hadapannya, katanya lembut, "Kalau dia sudah memberi jalan kepada kita, kenapa tidak segera kita berlalu?"

Sim Sam-nio menghirup napas panjang ujarnya, "Sudah tentu harus pergi, cuma ... mungkin aku memang tidak patut kemari."

0oo0

BAB 14. RINGKIK KUDA JEMPOLAN

Ban-be-tong-cu pelan-pelan duduk. Meja panjang terbentang lurus di hadapannya, mirip sebuah jalan raya yang amat panjang. Dari rawa dan genangan darah berjalan sampai di sini, bahwasanya memang dia sudah menempuh perjalanan yang amat jauh. Jauh dan menakutkan. Mulai dari sini, kemana pula dia harus pergi? Apakah harus kembali ke rawa-rawa dan ke genangan darah itu?

Pelan-pelan Ban-be-tong-cu menjulurkan tangan ke atas meja, kerut keriput kulit mukanya kelihatan lebih jelas di bawah pancaran sinar matahari pagi, lebih mendalam, lebih banyak, setiap jalur kerut keriput mukanya entah mengalami betapa besar derita dan jerih payah. Di dalamnya termasuk darah keringatnya sendiri, termasuk pula darah keringat orang lain.

Hoa-boan-thian dan Hun Cay-thian sudah menunggu di sana, duduk tenang dan diam, agaknya banyak persoalan bergejolak dalam sanubarinya.

Maka tampak dengan langkah sempoyongan Kongsun Toan beranjak dari luar, begitu masuk ruang pendopo besar ini seketika dirangsang bau arak yang memualkan. Ban-be-tong-cu tidak mengangkat kepala melihatnya, juga diam-diam saja tak menghiraukan kedatangan orang.

Terpaksa Kongsun Toan mencari tempat duduknya sendiri, duduk tertunduk, agaknya dia tahu maksud Ban-be-tong-cu.

Saat seperti ini tidak pantas dirinya mabuk-mabukan. Sungguh malu dan angkara murka pula hatinya, marah dan benci terhadap dirinya sendiri. Ingin rasanya dia mencabut golok, membelah dadanya sendiri, sehingga arak yang terbaur dalam darahnya mengalir keluar.

Suasana dalam ruang pendopo terasa tegang dan lengang. Sarapan pagi sudah tersedia, terdapat sayur-mayur yang segar, serta panggang daging sapi yang masih mengepul.

Ban-be-tong-cu tiba-tiba tersenyum, katanya, "Lumayan juga hidangan pagi ini." Hoa Boan-thian manggut-manggut. Hun Cay-thian juga manggut-manggut.

Hidangan memang lumayan, namun siapa yang ada selera untuk makan? Cuaca memang baik juga, namun hembusan angin pagi nan sepoi-sepoi agaknya membawa bau anyir darah yang menandakan firasat jelek. Kata Hun Cay-thian dengan menunduk kepala, "Rombongan pertama dari orang-orang yang disuruh meronda kemarin malam sudah "

"Laporan boleh kau sampaikan setelah makan," tukas Ban-be-tong-cu "Ya," Hun Cay-thian mengiakan.

Maka semua orang menunduk, menggares hidangan masing-masing tanpa bersuara. Daging sapi muda yang terpanggang lezat terasa getir dan kecut setelah dikunyah. Hanya Ban-be-tong-cu seorang yang melalap hidangannya dengan selera penuh. Yang dia kunyah mungkin bukan hidangannya, namun pikirannya sendiri

Segala persoalan ini tiba saatnya harus dibereskan satu per satu. Ada kalanya persoalan itu sendiri tidak akan bisa beres mengandal kekuatan dan kepandaian silat yang tinggi, maka kau harus menyelesaikannya menggunakan daya pikiran dan kecerdikanmu. Maka banyak sekali yang harus dia pikirkan, harus dia pecahkan satu per satu, segalanya serba kalut, maka perlu dikunyah pelan-pelan supaya satu per satu dapat dia cerna ke dalam perutnya.

Sebelum Ban-be-tong-cu menurunkan sumpitnya, orang lain tiada yang berani menghentikan makannya.

Akhirnya dia meletakkan sumpitnya juga.

Letak jendela itu tinggi. Cahaya matahari menyorot masuk miring, menyinari debu-debu yang menumpuk tebal di dalam ruang pendopo besar ini. Mengawasi debu yang bergulung-gulung di antara sorot sinar matahari, mendadak Ban-be-tong-cu berkata, "Kenapa hanya di tempat yang terkena sorot sinar matahari baru ada debu?"

Tiada yang menjawab, tiada orang yang bisa menjawab. Bahwasanya pertanyaan ini bukan persoalan yang harus mereka pecahkan. Pertanyaan yang lucu dan bodoh.

Pelan-pelan sorot mata Ban-be-tong-cu menyapu pandang mereka satu per satu, kembali dia tertawa, katanya, "Karena hanya di tempat yang tersorot sinar matahari saja baru kau dapat melihat debu, soalnya bila kau tidak melihat debu itu sendiri, maka sering orang menyangka bahwa debu itu bahwasanya tidak pernah ada." Pelan-pelan dia melanjutkan, "Sebetulnya peduli kau melihat atau tidak, debu itu selamanya pasti ada."

Pertanyaan bodoh, jawaban yang pintar. Namun tiada orang yang mengerti kenapa mendadak dia mengajukan persoalan ini, maka tiada satu pun di antara mereka yang memberi tanggapan.

Maka Ban-be-tong-cu lantas meneruskan pula, "Demikian pula banyak persoalan di dunia ini yang mirip dengan debu ini, mungkin dia selalu sudah melibatkan dirimu, namun kau sendiri tidak pernah melibatkannya, maka kau selalu mengira persoalan itu hakikatnya tidak pernah ada."

Ditatapnya Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian lekat-lekat, sambungnya pula, "Untunglah sorot sinar matahari selalu bersinar ke dalam, cepat atau lambat pasti akan menyorot masuk "

Dengan kepala tertunduk Hoa Boan-thian dengan mendelong mengawasi setengah mangkuk sisa buburnya, tanpa bersuara tidak menunjukkan perubahan mimik mukanya. Tapi tanpa menunjukkan perubahan mimik justru merupakan suatu sikap yang aneh juga dalam pandangan orang lain. Mendadak dia berdiri, katanya, "Rombongan pertama yang ditugaskan meronda di luar, sebagian besar adalah anak buahku, aku harus segera membereskan penguburan mereka "

"Tunggu sebentar," seru Ban-be-tong-cu. "Tongcu masih ada pesan apa?"

"Tidak ada."

"Memangnya harus menunggu apa?" "Menunggu kedatangan seseorang." "Menunggu siapa?" "Seorang yang cepat atau lambat pasti akan datang."

Akhirnya Hoa Boan-thian duduk kembali dengan gerakan kalem, namun dia bertanya juga, "Jika dia tidak datang?"

"Kita akan menunggunya terus," ujar Ban-be-tong-cu menarik muka. Waktu itu sikapnya menjadi kereng, berarti persoalan yang menyangkut pembicaraan sudah berakhir. Perdebatan sudah tidak boleh terjadi pula

Oleh karena itu semua yang hadir duduk pula, diam dan menunggu. Menunggu siapa? Untung tidak Lama kemudian mereka sudah mendengar suara lari kuda yang mendatangi dengan cepat.

Tak lama kemudian seorang laki-laki berseragam putih sudah berlari masuk memberi lapor dengan membungkuk badan, "Di luar ada orang mohon bertemu."

"Siapa?" tanya Ban-be-tong-cu. "Yap Kay," sahut laki-laki itu. "Hanya dia seorang diri?"

"Ya, hanya seorang diri."

Tiba-tiba tersimpul suatu senyuman aneh menghias muka Ban-be-tong-cu, mulutnya menggumam, "Ternyata dia betul-betul kemari, cepat benar kedatangannya." Bergegas dia berdiri, terus melangkah keluar.

Tak tahan Hoa Boan-thian bertanya, "Apakah dia yang Tongcu tunggu?"

Tidak mengakui juga tidak menyangkal, Ban-be-tong-cu malah berkata kereng, "Lebih baik kalian tetap tinggal di sini saja menunggu aku kembali Kali ini kalian tidak akan lama menunggu, karena lekas sekali aku sudah akan kembali."

Kalau Ban-be-tong-cu sudah berkata lebih baik kalian menunggu di sini, itu berarti kalian harus menunggunya sampai dia kembali. Semua orang sudah tahu dan mengerti akan maksud kata- katanya.

Mengawasi sinar matahari yang menyorot masuk dari luar jendela, Hun Cay-thian seperti sedang memikirkan persoalan sulit yang mengganjal hatinya, seolah-olah dia sedang mengunyah dan menganalisa ucapan Ban-be-tong-cu tadi.

Sementara jari-jari tangan Kongsun Toan terkepal kencang, sorot matanya merah membara mengandung darah. Hari ini melirik pun Ban-be-tong-cu tidak dan tak mau mengajak bicara dengan dirinya, kenapa sikapnya berubah sedemikian dingin? Apa sebabnya?

Hoa Boan-thian sebaliknya diam-diam sedang bertanya dalam hati, "Cara bagaimana Yap Kay bisa mendadak datang ke sini? Untuk apa kedatangannya? Darimana Ban-be-tong-cu bisa tahu bila pemuda ini bakal datang?

Benak masing-masing dirundung pikiran sendiri-sendiri, tiada seorang pun yang berhasil memecahkan pertanyaan yang berkecamuk dalam benak masing-masing. Hanya satu orang saja yang bisa memberi berbagai pertanyaan ini. Sudah tentu orang yang dimaksud bukan mereka sendiri.

Cahaya matahari cerlang-cemerlang. Yap Kay berdiri di bawah pancaran sinar matahari. Asal setiap waktu ada sinar matahari, seolah-olah dia selalu berdiri di bawah sinar matahari ini. Sekali- kali dia tidak akan pernah berdiri di tempat yang gelap teraling dari sinar matahari.

Saat itu dia sedang mendongak, mengawasi bendera besar yang melambai-lambai tertiup hembusan angin padang rumput. Begitu asyiknya dia mengawasi bendera putih ini, seolah-olah tidak menyadari bahwa Ban-be-tong-cu sudah keluar. Ban-be-tong-cu langsung mendekati, berdiri di sampingnya. Dia pun menengadah ikut mengawasi bendera putih besar itu. Di tengah bendera putih besar ini bertuliskan lima huruf besar warna merah segar berbunyi: "Kwan-tang-ban-be- tong". Tiba-tiba Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Bendera besar yang megah, entah apakah setiap hari kalian mengereknya ke atas tiang?"

"Ya, selalu berkibar," sahut Ban-be-tong-cu. Kini perhatiannya dia tumplekkan kepada Yap Kay, matanya mengawasi setiap perubahan gerak-gerik Yap Kay, begitu cermat dan seksama pengamatannya.

Akhirnya Yap Kay pun berpaling, balas mengawasinya, katanya pelan, "Untuk mengibarkan bendera seperti ini di tengah angkasa, tentunya bukan suatu hal yang gampang."

Lama Ban-be-tong-cu berdiam diri, katanya setelah menghirup napas panjang, "Ya, memang tidak gampang."

"Entah adakah persoalan yang gampang di dunia ini?" "Hanya satu."

"Membohongi diri sendiri." Yap Kay tertawa.

Ban-be-tong-cu justru tidak tertawa, katanya tawar lebih lanjut, "Untuk menipu orang memangnya suatu hal yang sulit dilaksanakan, namun untuk membohongi diri sendiri justru amat gampang."

"Akan tetapi apa hakikat dari seseorang yang harus membohongi dirinya sendiri?"

"Karena bila seseorang bisa menipu dirinya sendiri, maka hidupnya sehari-hari akan tetap riang gembira."

"Dan kau? Kau bisa tidak menipu dirimu sendiri?" "Aku tidak bisa."

"Maka hidupmu selalu tidak pernah senang."

Ban-be-tong-cu tidak menjawab, memang tidak perlu menjawab.

Mengawasi keriput kulit muka orang, sorot mata Yap Kay menampilkan belas kasihan dan simpati akan penderitaannya.

Keriput itu hasil karya lecutan cambuk yang bertubi-tubi, cambuk yang tercekam dalam sanubarinya sendiri.

0oo0

Pekarangan di dalam pagar tidak begitu luas, padang rumput di luar justru tak berujung pangkal luasnya. Kenapa manusia suka hidup mengurung diri di dalam pagar?

Tanpa berjanji secara serempak mereka bergerak memutar badan, pelan-pelan beranjak ke pintu gerbang.

Langit membiru laksana baru dicuci, cuaca cerah, hawa segar, rumput panjang melambai menari ditiup angin bergelombang, alam semesta seolah membawa suasana yang serba rawan dan memilukan.

Selepas mata memandang, Ban-be-tong-cu menghirup napas, katanya mendelu, "Sudah terlalu banyak orang-orang mati di sini."

"Mereka yang mati adalah orang-orang yang tidak patut menjadi korban."

Ban-be-tong-cu sigap berpaling, sorot matanya setajam aliran listrik, katanya, "Memangnya siapa yang patut mampus?"

"Ada orang bilang yang harus mampus adalah aku, ada pula yang beranggapan kau, maka "

"Maka bagaimana?" "Maka ada orang menyuruhku kemari membunuhmu."

Ban-be-tong-cu menghentikan langkahnya, mengawasinya lekat-lekat, mimik mukanya tidak menunjukkan rasa kejut atau keheranan. Seolah-olah hal ini sudah dalam dugaannya.

Beberapa ekor kuda yang terpencar dari rombongannya entah mendatangi darimana, Ban-be- tong-cu mendadak mencelat tinggi mencemplak ke punggung kuda, tangannya melambai kepada Yap Kay, kuda terus dikeprak dengan kencang.

Agaknya dia sudah memperhitungkan Yap Kay pasti akan mengikuti jejaknya. Ternyata Yap Kay memang mengikutinya.

Tempat itu sudah dekat di ujung langit lereng bukit itu seolah-olah sudah merupakan suatu alam yang lain dari yang lain. Yap Kay pernah datang ke tempat ini.

Setiap kali hendak membicarakan sesuatu urusan rahasia, Ban-be-tong-cu senang membawa orang ke tempat ini. Seolah-olah hanya di tempat ini saja baru dia bisa membuka belenggu pagar yang mengelilinginya.

Bekas bacokan golok Kongsun Toan masih membekas di atas batu nisan. Pelan-pelan Ban-be- tong-cu mengelus bekas-bekas bacokan ini, seperti orang yang sedang mengelus bekas bacokan golok di atas badan sendiri. Entah karena apa setiap kali dia berhadapan dengan batu nisan ini lantas menimbulkan kenangan peristiwa tragis yang dulu itu?

Lama dan lama sekali, baru dia membalik badan. Hembusan angin sampai di sini, terasa menjadi seram. Rambut kepala di ujung pelipisnya yang memutih uban terhembus angin melambai, seolah-olah kelihatan menjadi lebih tua dari usianya. Tapi kedua matanya masih begitu tajam, Yap Kay ditatapnya lekat-lekat, katanya, "Ada orang menyuruhmu membunuh aku?"

Yap Kay manggut-manggut.

"Tapi kau tidak ingin membunuhku?" "Darimana kau tahu?"

"Karena bila kau ingin membunuhku, kau tak akan memberitahu hal ini kepadaku." Yap Kay mandah tertawa, tidak mengakui dia pun menyangkal.

"Tentunya kau pun sudah tahu," ujar Ban-be-tong-cu lebih lanjut. "Untuk membunuhku bukan suatu tugas yang gampang dilaksanakan."

Yap Kay menepekur, katanya kemudian, "Kenapa tidak kau tanya kepadaku, siapakah yang menyuruh aku membunuhmu?"

"Aku tidak perlu bertanya." "Kenapa?"

"Hakikatnya selama ini aku tidak pernah memandang orang-orang itu dengan sebelah mataku," lalu dia menambahkan dengan suara lebih kalem, "banyak orang yang ingin membunuhku, tapi yang patut kuperhatikan hanya satu orang saja."

"Siapa?"

"Sebenarnya aku sendiri juga belum berkepastian orang itu sebetulnya kau? Atau Pho Ang- soat."

"Sekarang kau belum berkeputusan?"

Ban-be-tong-cu manggut-manggut, kelopak matanya mengkeret, katanya pelan-pelan, "Sebetulnya sejak permulaan aku sudah harus dapat memastikan."

"Jadi kau berpendapat kematian orang-orang itu adalah Pho Ang-soat yang membunuhnya?" "Bukan."

"Memangnya siapa kalau bukan dia?" Terpancar derita dari sorot mata Ban-be-tong-cu, pelan-pelan dia bergerak membalik, memandang lepas ke padang rumput luas nan jauh di sana. Sampai lama dia tidak menjawab pertanyaan Yap Kay, katanya kemudian dengan suara kereng, "Aku pernah berkata, tempat ini kuperoleh dari hasil jerih payah memeras keringat dan bercucuran tumpah darah, takkan ada seorang pun yang bisa merebutnya dari tanganku." Kata-kata ini bukan jawaban.

Yap Kay justru seperti sudah dapat menyimpulkan suatu makna berarti di dalam beberapa patah katanya itu, maka dia pun tak bertanya lagi.

Langit membiru, di antara warna kebiruan itu seolah-olah membawakan selingan warna abu- abu perak yang sulit dipandang, mirip benar dengan samudra.

Bendera besar yang berkibar di angkasa, dari sini kelihatannya begitu kecil dan terpencil menyendiri di angkasa sana, huruf yang terpancang di atas bendera sudah tak bisa terbaca lagi. Memang banyak urusan di dunia ini seperti itu. Jika kau merasakan sesuatu persoalan yang genting dan berat .1 kibarnya, bila kau menerawang dan menganalisanya dari sudut lain, maka kau akan mendapatkan serta menyadarinya bahwa urusan itu hakikatnya bukan suatu persoalan yang harus dipandang serius.

Lama juga tiba-tiba Ban-be-tong-cu berkata pula, "Kau tahu aku punya seorang putri."

Tak tahan hampir saja Yap Kay tertawa geli. Sudah tentu dia tahu llan-be-tong-cu punya seorang putri.

"Kau pun mengenalnya?" tanya Ban-be-tong-cu. Yap Kay manggut-manggut, sahutnya, "Aku kenal!" "Menurut pendapatmu bagaimana putriku itu?"

"Dia baik sekali," sahut Yap Kay, memangnya dia mengenalnya dengan baik sekali. Adakalanya memang dia mirip putri pingitan yang Iri lalu dimanjakan, namun nuraninya sebetulnya lembut, bijaksana dan kijik.

Lama pula Ban-be-tong-cu berdiam diri, tiba-tiba dia membalik menatap Yap Kay pula, katanya, "Apa benar kau menyukainya?"

Seketika Yap Kay menyadari dirinya tertegun melongo oleh pertanyaan ini, sungguh belum pernah terbayang olehnya Ban-be-tong-cu bakal mengajukan pertanyaan ini.

"Tentu kau merasa heran," kata Ban-be-tong-cu lebih lanjut, "kenapa aku tanyakan hal ini kepadamu?"

"Memang aku merasa sedikit heran."

"Kutanya kau, karena kuharap kau suka membawanya pergi."

Yap kay melengak, tanyanya menegas, "Membawanya pergi? Membawa kemana?" "Terserah kemana kau hendak membawanya, ke tempat yang kau sukai, kau boleh

membawanya, apa pun yang ada di sini, bila kau suka boleh membawanya." Tak tahan Yap Kay bertanya, "Kenapa kau suruh aku membawanya pergi?" "Karena ... karena dia amat menyukai kau."

Berkilat biji mata Yap Kay, katanya, "Dia menyukai aku, memangnya kami tidak boleh tetap tinggal di sini?"

Berselimut bayangan gelap pada muka Ban-be-tong-cu, katanya pelan-pelan, "Segera akan terjadi banyak peristiwa di sini, aku tidak ingin dia terlibat dalam peristiwa ini, karena pada hakikatnya dia sendiri tiada sangkut-pautnya dengan persoalan ini."

Yap Kay menatapnya bulat-bulat, tiba-tiba menghela napas, ujarnya, "Kau memang seorang ayah yang baik hati." "Kau tidak terima anjuranku?"

Tiba-tiba terunjuk mimik aneh pada sorot mata Yap Kay, pelan-pelan dia pun membalik badan memandang jauh ke padang rumput yang terbentang luas. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan Ban-be-tong-cu, lama kemudian baru bersuara pelan, "Aku pernah bilang, di sinilah rumahku, jika aku sudah kembali, maka aku tak mau pergi pula."

"Kau tidak terima?" berubah muka Ban-be-tong-cu.

"Aku tidak bisa membawanya pergi, tapi aku juga boleh berjanji kepadamu, peduli peristiwa apa pun yang terjadi di sini, dia pasti tidak akan terlibat di dalamnya," terpancar sinar terang dari matanya, dengan kalem dia melanjutkan, "Karena persoalan itu memang tidak bersangkut-paut dengan dia "

Mengawasi pemuda di hadapannya, mata Ban-be-tong-cu pun memancarkan sinar terang, tiba-tiba dia tepuk pundak orang, katanya, "Marilah kutraktir kau minum arak "

Arak tergeletak di atas meja. Arak tidak bisa menyelesaikan tekanan batin seseorang, namun arak justru bisa membantu kau menipu diri sendiri.

Kongsun Toan menggenggam cangkir emasnya, dia sendiri bingung kenapa dia harus minum arak, sekarang bahwasanya bukan saatnya bagi dia minum arak. Tapi arak ini merupakan cangkir kelima sejak tadi pagi

Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian tengah menatap kepadanya, bukan saja tidak membujuknya untuk tidak minum lagi, mereka pun tidak mengiringi dia minum. Bahwasanya mereka dengan Kongsun Toan memangnya mempunyai suatu jarak tertentu, arak yang membatasi hubungan mereka, kini jarak itu rasanya semakin jauh.

Mengawasi arak dalam cangkir emasnya, tiba-tiba terketuk sanubari Kongsun Toan, mendadak terasa olehnya betapa dirinya harus dikasihani, kini dirinya sebatangkara dan kesepian. Dia mengalirkan darah, mengucurkan keringat, berjuang selama hidup, lalu apa yang dia peroleh sekarang? Segala hasil jerih payahnya kini menjadi milik orang.

Menipu diri sendiri memangnya terdapat dua cara yang berlainan, pertama adalah menganggap diri sendiri besar, angkuh dan pongah, cara yang lain adalah diri sendiri harus dikasihani, bersimpati akan nasibnya sendiri.

Seorang anak laki-laki merunduk masuk secara diam-diam, pakaiannya yang merah menyala, kucir rambut yang hitam di tengah kepalanya, meski anak inipun putra orang lain, tapi dia amat menyukainya. Karena bocah inipun amat menyukai dirinya, mungkin hanya bocah ini yang benar- benar menyukai dirinya di seluruh dunia ini. Diulurkan tangannya memegang pundak si bocah, katanya dengan tersenyum, "Setan kecil, apakah kau hendak mencuri arak lagi?"

Bocah itu geleng-geleng kepala, tiba-tiba dia bertanya lirih, "Kau ... kenapa kau memukul Sam- ik?"

"Siapa yang bilang?" Kongsun Toan tersentak bangun.

"Sam-ik sendiri yang bilang," sahut bocah itu. "Agaknya dia pun mengadu pada ayahnya, lebih baik kau hati-hati sedikit."

Membeku muka Kongsun Toan, hatinya pun terasa dingin. Baru sekarang dia mengerti, kenapa pagi ini sikap Ban-be-tong-cu jauh berlainan terhadap dirinya, tidak seperti biasanya. Sudah tentu bukan mengerti keseluruhannya, cuma dia merasa dirinya sudah sedikit menyadari. Namun suatu pengertian yang jauh lebih celaka daripada tidak mengerti sama sekali.

Dia dorong bocah itu serta bertanya, "Dimana Sam-ik?" "Sudah keluar," sahut si bocah

Tanpa banyak bertanya lagi Kongsun Toan sudah berjingkrak terus menerjang keluar. Gerak- geriknya mirip benar dengan seekor binatang liar yang terluka. Hun Cay-thian dan Hoa Boan-thian tetap duduk di tempatnya tanpa bergerak. Karena Ban-be- tong-cu menyuruh mereka tinggal dan menunggu di sini. Maka mereka tetap akan menunggu sampai dia kembali.

Rumput padang ilalang tumbuh subur dan tinggi, bendera besar Ban-be-tong masih berkibar di kejauhan. Pasir terasa hangat. Pho Ang-soat membungkuk mencomot segenggam pasir kuning ini. Salju kadang-kadang juga bisa terasa hangat seperti ini bila salju itu berlepotan darah, dia genggam pasir itu erat-erat, butiran pasir seakan-akan sudah melesak masuk ke kulit dagingnya.

Maka dia pun melihat Sim Sam-nio, bahwasanya dia hanya melihat dua perempuan cantik yang masih asing baginya.

Mereka menunggang kuda, kuda dilarikan tergesa-gesa, demikian pula sikap mereka kelihatan gugup dan terburu-buru.

Pho Ang-soat menundukkan kepala. Selamanya dia belum biasa menatap perempuan secara lekat, hakikatnya dia belum pernah melihat Sim Sam-nio.

Tahu-tahu kedua kuda tunggangan justru berhenti di depannya. Tapi langkahnya tidak berhenti karenanya, kaki kirinya melangkah ke depan, kaki kanan dengan kaku lalu diseret maju meninggalkan jalur memanjang di atas pasir. Mukanya ditimpa sinar matahari, namun kulit mukanya kelihatan mirip ukiran dinding salju di puncak gunung es. Salju yang selamanya tidak pernah cair meski disinari cahaya matahari.

Tak nyana perempuan di punggung kuda tahu-tahu sudah melompat turun, mencegat di depannya, Pho Ang-soat tetap tidak berpaling. Dia boleh tidak usah berpaling melihat muka orang. Tapi kupingnya mau tidak mau harus mendengar ucapan orang. Tiba-tiba didengarnya perempuan di depannya berkata, "Bukankah kau begitu getol ingin melihatku?"

Seketika sekujur badan Pho Ang-soat mengejang kaku, mengejang kaku karena sekujur badannya tiba-tiba panas membara seperti dibakar. Dia memang belum pernah melihat muka Sim Sam-nio, namun sudah sering dan hapal benar dengan suaranya. Di bawah pancaran sinar matahari, suara ini ternyata masih sedemikian lembut dan hangat seperti di tempat gelap. Jari-jari tangan yang lembut dan hangat itu, bibir yang basah dan hangat itu, suatu perasaan aneh atau nafsu yang semanis madu ... semula terasa seperti berada di tempat nan jauh laksana khayalan belaka. Tapi dalam sedetik ini, segala khayalan dan segala yang diimpi-impikan mendadak berubah menjadi kenyataan.

Pho Ang-soat menggenggam kencang jari-jarinya, sekujur badannya bergetar lantaran tegang dan emosi, hampir kepala pun tak berani diangkatnya. Akan tetapi betapa besar hasrat dan keinginannya untuk melihat wajah perempuan pujaannya ini. Akhirnya dia mengangkat kepala juga, akhirnya dilihatnya kerlingan mata yang manis dan mempesona, senyuman yang menyedot sukma. Yang dilihatnya adalah Cui-long.

Orang yang berdiri di hadapannya adalah Cui-long. Dengan senyuman mekar bak bidadari orang tengah menatap dirinya. Sim Sam-nio sebaliknya seperti orang yang masih asing berdiri di kejauhan.

"Sekarang kau sudah melihatku!" ujar Cui-long lembut.

Sorot mata Pho Ang-soat yang semula dingin membeku, seketika seperti memancar cahaya cemerlang yang dipenuhi gairah yang menyala-nyala. Dalam sekejap ini, dia sudah mencurahkan seluruh perasaan hatinya, terhadap perempuan yang berdiri di hadapannya ini.

Inilah perempuan pertama yang pernah bergaul dengan dia.

Sim Sam-nio masih tetap berdiri di kejauhan tanpa beringsut dari tempatnya, matanya tidak menampilkan mimik perasaannya Karena relung hatinya hakikatnya tidak dihayati perasaan seperti dia. Tidak lebih dia hanya melakukan sesuatu yang harus dia lakukan, demi menuntut balas, apa pun yang harus dan sudah dia lakukan adalah jamak dan pantas dia lakukan. Akan tetapi segala persoalan sudah berubah sama sekali, kini dia tidak perlu meneruskan peranannya lagi. Dia pun pantang diketahui hubungan rahasia dirinya dengan Pho Ang-soat, demikian pula Pho Ang-soat sendiri harus dicegah untuk mengetahui. Mendadak dia merasa perutnya mual seperti hendak tumpah-tumpah.

Pho Ang-soat masih menatap Cui-long, dengan seluruh perhatian mengawasinya, kulit mukanya yang pucat sudah bersemu merah.

"Belum puas kau melihatku?" tanya Cui-long tertawa lebar.

Pho Ang-soat tidak menjawab, dia tidak tahu cara bagaimana harus menjawab. "Baiklah," ujar Cui-long pula, "biarlah kau pandang aku sepuas hatimu."

Perempuan yang pernah berkecimpung di dalam sarang pelacuran, memangnya mempunyai suatu cara khusus di saat dia bicara berhadapan dengan laki-laki. Gumpalan salju di puncak gunung pun bisa dibikin cair karenanya.

Tak tertahan akhirnya Sim Sam-nio bersuara, "Jangan lupa saja yang pernah kuberitahukan kepadamu tadi."

Cui-long manggut-manggut, tiba-tiba menghela napas pelan-pelan, ujarnya, "Sekarang kubiarkan kau melihatku sepuas hatimu, karena situasi sudah berubah."

"Situasi apa yang berubah?" tanya Pho Ang-soat.

"Ban-be-tong sudah " belum habis kata-kata Cui-long, sekonyong-konyong terdengar derap

lari kuda mendatangi.

Seekor kuda menerjang tiba, penunggangnya bertubuh kekar gagah laksana menara, namun gerak-geriknya selincah kelinci. Waktu kuda meringkik dengan kaki depannya terangkat tinggi, penunggangnya dengan tangkas sudah melompat turun.

Berubah hebat air muka Sim Sam-nio, dia memburu maju bersembunyi di belakang Cui-long.

Kongsun Toan ikut mengudak datang, tangannya kontan menampar muka Cui-long sambil membentak bengis, "Minggir!" Namun bentakannya tiba-tiba terputus. Telapak tangannya pun tidak berhasil menampar muka Cui-long. Sebatang golok mendadak terjulur keluar dari samping menahan tangannya yang melayang, sarung pedang hitam legam, gagang pedang pun hitam pekat. Namun jari-jari tangan yang memegangnya justru putih memucat.

Merongkol keluar otot-otot hijau di atas jidat Kongsun Toan, berpaling muka dia melotot kepada Pho Ang-soat, bentaknya beringas, "Lagi-lagi kau."

"Ya, inilah aku."

"Hari ini aku tidak ingin membunuhmu." "Hari ini aku pun tidak ingin membunuh kau."

"Kalau begitu lebih baik kalau kau menyingkir." "Aku justru senang berdiri di sini."

Kongsun Toan mengawasinya, lalu mengawasi Cui-long pula, mimiknya seperti heran, katanya, "Apakah dia ini binimu?"

"Ya," sahut Pho Ang-soat pendek.

Kongsun Toan mendadak terloroh-loroh, serunya, "Apakah kau tidak tahu bila dia ini seorang pelacur?"

Mengejang kaku sekujur badan Pho Ang-soat. Pelan-pelan dia mundur dua langkah menatap Kongsun Toan, kulit mukanya yang pucat seolah-olah mengkilap terang tembus cahaya.

Kongsun Toan masih terkial-kial, seolah-olah selama hidupnya belum pernah dia menghadapi sesuatu yang paling menggelikan.

Pho Ang-soat sedang menunggu. Jari-jari tangannya yang mencekal pedang pun seolah-olah sudah mengkilap tembus cahaya. Jalur urat nadi dan jalan darah pada otot tangannya bisa terlihat dengan jelas. Setelah loroh tawa Kongsun Toan berhenti, sepatah demi sepatah segera dia menantang, "Cabut golokmu!"

Dua patah kata saja, suaranya enteng, seenteng deru napasnya. Kata-katanya pelan, sepelan kutukan dari neraka.

Kongsun Toan seketika mengejang pula sekujur badannya, tapi biji matanya justru memancarkan sinar membara. Katanya sambil menatap Pho Ang-soat, "Apa katamu?"

"Cabut golokmu!" Pho Ang-soat mengulangi tantangannya.

Matahari sudah terik. Pasir bergulung-gulung dihembus angin di bawah terik matahari, udara cerah dan cahaya matahari nan cemerlang

kelihatan semarak, namun suasana membawa nafsu membunuh yang kejam d m sadis. Di sini, meski jiwa terus tumbuh dengan subur, namun sembarang w.iktu kemungkinan gugur pula.

Seolah-olah di alam semesta ini segala makhluk di dalamnya seolah-olah saling membunuh secara kejam, di sini tiada cinta kasih, tiada peri-kemanusiaan.

Jari-jari Kongsun Toan sudah menggenggam gagang goloknya. Golok sabit, gagang perak. Batang golok yang mengkilap dingin, kini seperti sudah btrubah membara terpanggang di atas tungku. Telapak tangannya sudah bei keringat, jidatnya pun sudah basah, sekujur badannya seolah-olah sudah menyala di bawah pancaran terik matahari.

"Cabut golokmu!"

Arak dalam darahnya seakan-akan sedang mengalir di seluruh tubuhnya. Sungguh panas sekali, serasa sukar ditahan lagi.

Pho Ang-soat tak bergeming di hadapannya, laksana gunung salju yang kokoh dan tak pernah cair sepanjang tahun. Sebongkah es yang mengkilap tembus cahaya. Terik matahari sepanas ini, sedikit pun tidak mempengaruhi dirinya. Peduli dimana pun dia berada, selalu seperti berdiri di puncak salju yang tinggi dan jauh di sana.

Deru napas Kongsun Toan seperti kurang tenteram, sampai dia sendiri pun sudah mendengar deru napas sendiri.

Seekor kadal pelan-pelan menongol keluar dari balik tumpukan pasir, pelan pelan pula merambat ke dekat kakinya.

"Cabut golokmu!"

Bendera besar berkibar di kejauhan sana, hembusan angin lalu membawa suara ringkik kuda. "Cabut golokmu!"

Butiran keringat mengalir turun lewat ujung matanya, terus melesak kedalam jambang-bauknya yang kaku sekeras jarum, akhirnya membasahi bahu dan punggungnya.

Apakah Pho Ang-soat selamanya tidak pernah berkeringat? Tangannya masih tetap dengan gayanya memegangi golok.

Sekonyong-konyong Kongsun Toan menggerung laksana singa mengamuk, golok tercabut, tangan terayun! Sinar golok sabitnya mirip bianglala cepat laksana kilat menyambar, sinar goloknya membundar. Tahu-tahumenukik balik membacok Hiat-to besar yang terletak di belakang leher Pho Ang-soat sebelah kiri.

Pho Ang-soat seperti tidak berkelit, juga tidak melawan. Mendadak dia malah menerjang maju.

Sarung golok di tangan kirinya mendadak menahan tajam golok melengkung yang membacok turun itu. Sementara goloknya sendiri pun sudah tercabut. "Clep!", tiada orang yang dapat melukiskan suara apakah itu, sampai pun Kongsun Toan sendiri pun tidak tahu suara apa yang didengarnya itu, sedikit pun dia tidak merasa sakit dan menderita, cuma tahu-tahu terasa isi perutnya mendadak seperti dipuntir dan mengkeret, serasa hampir muntah. Waktu dia menunduk, maka dilihatnya ada gagang pedang hitam yang menghiasi perutnya, gagang golok yang mengkilap. Seluruh batang golok amblas ke dalam perutnya, ketinggalan gagangnya saja. Selanjutnya dia lantas merasa seluruh kekuatan badannya sirna secara aneh dan ajaib, kedua kakinya tak kuat lagi menopang berat badannya. Dengan mengawasi gagang golok ini, pelan- pelan dia roboh terjungkal, hanya gagang golok itu saja yang dia awasi, sampai mati pun dia belum pernah melihat macam apa sebenarnya golok Pho Ang-soat kecuali gagangnya yang hitam itu.

Pasir kuning dibasahi darah hangat, Kongsun Toan rebah di genangan ceceran darahnya sendiri. Jiwanya sudah berakhir, kesulitan, penderitaan dan kesengsaraan hidup serta utang- piutangnya pun sudah berakhir seluruhnya. Tapi bencana yang bakal menimpa orang lain justru baru saja akan dimulai.

Lohor, matahari semakin terik. Di dalam cuaca seterik ini, begitu darah mengalir, lekas sekali sudah menjadi kering. Tapi keringat selamanya tidak pernah membeku.

Hun Cay-thian sedang sibuk menyeka keringatnya, sambil menyeka keringat, mulut menenggak air, agaknya dia seorang yang tidak tahan menderita.

Tidak demikian halnya dengan Hoa Boan-thian, dia justru jauh lebih bisa menahan diri.

Seekor kuda pelan-pelan berlari masuk ke dalam pekarangan besar itu. Seseorang tengkurap di punggung kuda. Seekor kadal tengah menjilati darah yang membasahi badan orang. Sebatang golok sabit yang besar terselip miring di pinggangnya, matahari menyinari rambut kepalanya yang awut-awutan. Kini dia takkan bisa berkeringat lagi.

Sekonyong-konyong, kilat menyambar, guntur pun menggelegar, hujan lebat laksana ditumpahkan dari langit.

Pendopo besar itu sudah mulai guram, air hujan masih deras bercucuran di luar emperan seperti kerai mutiara.

Air muka Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian seperti perubahan cuaca yang mendung, dingin dan gelap.

Dua laki-laki yang basah kuyup menggotong jenazah Kongsun Toan masuk ke dalam pendopo, lalu membaringkan di atas meja. Tanpa bicara apa-apa diam-diam mereka mengundurkan diri pula. Melirik pun mereka tidak berani berpaling ke arah Ban-be-tong-cu.

Ban-be-tong-cu berdiri di tempat gelap di belakang pintu angin, bila kilat menyambar baru terlihat mukanya. Tapi tiada orang yang berani melihat ke arahnya. Pelan-pelan dia duduk di depan meja, dengan kencang dia pegang tangan Kongsun Toan. Tangan yang kasar, dingin dan kaku

Dia tidak mengucurkan air mata, namun mimik wajahnya lebih pilu sedih daripada gerung tangisnya. Biji mata Kongsun Toan melotot keluar, seolah-olah sorot matanya menunjukkan rasa derita dan ketakutan sebelum ajal. Memang selama hidupnya berkecimpung di dalam suasana ketakutan, dalam kehidupan yang serba derita dan tertekan, maka selamanya wataknya menjadi berangasan dan suka marah-marah. Sayang sekali orang-orang hanya melihat lahiriahnya yang kasar dan suka marah-marah itu, tidak pernah mau menyelami lubuk hatinya yang paling dalam.

Hujan rada mereda, namun cuaca semakin gelap.

Tiba-tiba Ban-be-tong-cu berkata, "Orang ini adalah saudaraku, hanya dia inilah saudaraku yang sejati."

Entah sedang mengigau atau sedang bicara dengan Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian, namun dia melanjutkan, "Jika tiada dia, mungkin aku takkan bisa hidup sampai sekarang." Akhirnya Hun Cay-thian menarik napas panjang, katanya berduka, "Kami tahu dia seorang yang baik."

"Memang dia seorang baik, tiada orang yang lebih setia seperti dia, tiada orang yang lebih berani seperti dia, namun selama hayatnya, belum pernah dia mengalami hidup tenteram dan bahagia."

Hun Cay-thian dan Hoa Boan-thian hanya mendengar saja, kadang-kadang ikut menghela napas.

Suara Ban-be-tong-cu sudah tersendat pilu, "Dia tidak seharusnya mati, namun sekarang dia sudah mati."

"Pasti Pho Ang-soat yang membunuhnya," ujar Hun Cay-thian sengit.

Dengan mengertak gigi Ban-be-tong-cu manggut-manggut, lalu ujarnya, "Memang akulah yang salah terhadapnya, seharusnya aku menerima usulnya, membunuh orang itu lebih dulu."

"Sekarang. "

"Sekarang sudah terlambat, terlambat "

"Tapi kita lebih tak bisa melepas Pho Ang-soat pergi, kita harus menuntut balas bagi kematiannya," kata Hun Cay-thian beringas.

"Sudah tentu harus menuntut balas, cuma " mendadak Ban-be-tong-ai berseru, sambungnya

dengan bengis, "Cuma sebelum menuntut balas, masih ada urusan yang harus kuselesaikan." Berkilat sorot mata Hun Cay-thian, tanyanya ingin tahu, "Urusan apa?"

"Kau kemari, biar kujelaskan kepadamu." Hun Cay-thian segera maju mendekat.

"Aku ingin supaya kau melakukan sesuatu bagiku." "Silakan Tongcu katakan!"

"Aku ingin kau mampus!" tiba-tiba tangannya terbalik, tahu-tahu golok sabit Kongsun Toan sudah disambarnya, dimana sinar golok berkelebat, secepat kilat tahu-tahu sudah menyambar ke arah Hun Cay-thian.

Tiada orang yang dapat menggambarkan kecepatan dari sambaran golok ini, tiada orang akan menduga secara tiba-tiba dia turun tangan terhadap Hun Cay-thian. Dan anehnya, Hun Cay-thian sendiri justru seperti sudah berjaga-jaga akan serangan ini.

Dimana sinar golok berkelebat, badan Hun Cay-thian serempak

melejit naik, dengan gaya mendorong jendela memandang rembulan mega terbang, badannya bersalto ke belakang. Maka darah pun seketika beterbangan muncrat kemana-mana. Meski tinggi Ginkangnya dan cepat pula reaksinya menghadapi perubahan yang mendadak ini, sayang dia masih kalah cepat dari sambaran golok Ban-be-tong-cu. Ternyata pergelangan tangan kanannya sudah tertabas kutung oleh tabasan golok. Kutungan tangannya dengan darah berceceran jatuh ke atas lantai.

Namun Hun Cay-thian sendiri ternyata tidak terjungkal roboh. Seorang tokoh kosen dari Bu-lim yang sudah berpengalaman tempur ratusan kali sekali-kali takkan gampang dibikin roboh secara gampang.

Punggungnya membelakangi dinding, mukanya sudah pucat-pias, sorot matanya penuh diliputi rasa heran dan ketakutan. Ban-be-tong-cu tidak menyerangnya lebih lanjut, dia tetap duduk tenang di tempatnya, dengan nanar dia mengawasi ujung golok di tangannya yang berlepotan darah. Hoa Boan-thian ternyata tetap berada di tempatnya mengawasi kejadian ini dengan sikap dingin acuh tak acuh, tak kelihatan perubahan mimik mukanya. Asal golok itu bukan membacok kutung tangannya, dia tidak perlu banyak peduli.

Lama juga baru Hun Cay-thian bisa buka suara, katanya dengan mengertak gigi, "Aku tidak mengerti, aku ... sungguh aku tak mengerti."

"Kau harus tahu," dingin suara Ban-be-tong-cu. Kepalanya terangkat mengawasi lukisan rombongan kuda yang berlari di atas dinding, katanya lebih lanjut, "Tempat ini memangnya milikku, siapa pun yang ingin merebutnya dari tanganku, maka dia harus mampus!"

Lama Hun Cay-thian berdiam diri, tiba-tiba menghela napas, katanya, "Kiranya kau sudah tahu seluruhnya."

"Sudah lama aku tahu."

"Agaknya terlalu rendah penilaianku terhadap kau," Hun Cay-thian tertawa getir.

"Aku toh sudah pernah bilang, banyak urusan di dunia ini mirip dengan debu, meski sudah berada di sampingmu, namun selamanya tidak pernah kau melihatnya, demikian pula aku tidak pernah jelas mengenal dirimu."

Berkerut-kerut kulit muka Hun Cay-thian, keringat dingin bercucuran, katanya setelah tertawa getir, "Akan tetapi sinar matahari cepat Uiu lambat toh pasti menyorot masuk." Meski muka tertawa, namun mimiknya lebih jelek, lebih tersiksa dari orang yang sedang menangis.

"Sekarang kau sudah mengerti bukan?" tanya Ban-be-tong-cu. "Aku sudah mengerti," sahut Hun Cay-thian.

Sambil mengawasi orang, tiba-tiba Ban-be-tong-cu menghela napas, ujarnya, "Tidak semestinya kau mengkhianati aku, seharusnya kau sudah mengerti akan martabatku."

Tiba-tiba tersimbul senyuman aneh di muka Hun Cay-thian, katanya, "Meski aku mengkhianati kau, akan tetapi " Dia tidak menyelesaikan kata-katanya ini. Baru saja sorot matanya beralih

kepada Hoa Boan-thian, pedang Hoa Boan-thian tahu-tahu sudah menembus dadanya, memanteknya di atas dinding.

Selamanya dia takkan punya kesempatan mengeluarkan isi hati yang ingin diutarakan. Pelan- pelan Hoa Boan-thian mencabut pedangnya. Pelan-pelan Hun Cay-thian melorot jatuh.

Setiap orang cepat atau lambat pasti akan roboh juga. Meski betapapun jaya, gagah dan menyolok waktu dirinya hidup, di saat dia roboh kelihatannya tiada bedanya dengan manusia umumnya.

0oo0

BAB 15. BUNGA BETERBANGAN DI ANGKASA

Darah yang bertetesan di ujung pedang sudah membeku kering. Pelan-pelan Hoa Boan-thian membalik badan mengawasi Ban-be-tong-cu, Ban-be-tong-cu pun sedang mengawasi dia, katanya tawar, "Kau membunuhnya!"

"Karena dia mengkhianati kau." "Sekarang kau pun sudah mengerti?"

"Aku tidak mengerti, aku hanya tahu orang yang mengkhianati kau harus mati!" "Apa kau tahu cara bagaimana dia mengkhianati aku?"

"Aku ingin bisa tahu."

"Buyung Bing-cu, Loh Loh-san, mereka adalah dia yang mengundangnya.'' Muka Hoa Boan-thian menampilkan rasa kaget, teriaknya tertahan, "Bagaimana bisa dia yang mengundangnya? Memangnya apa hubungan kedua orang ini dengan dia?"

"Tidak punya hubungan apa-apa."

"Kalau tidak punya hubungan, kenapa mengundang mereka kemari? Aku tidak paham." Dua buah pertanyaan yang bodoh sekali. Biasanya Hoa Boan-thian bukan orang yang bodoh.

Tapi Ban-be-tong-cu seperti tidak memperhatikan, memangnya dia tidak biasa menjawab pertanyaan bodoh orang lain. Tapi kali ini dia justru menjawabnya.

"Justru karena mereka memang tidak punya hubungan dengan dia, maka dia mengundangnya kemari."

"Untuk apa mengundang mereka kemari?" "Untuk membunuh orang."

"Membunuh orang? Membunuh siapa?"

Ban-be-tong-cu menggenggam golok sabit katanya kalem, "Para saudara yang terbunuh dalam dua hari belakangan ini, adalah buah karya mereka."

Hoa Boan-thian berjingkat kaget, serunya, "Mereka yang membunuh? Bukan Pho Ang-soat?"

Ban-be-tong-cu geleng-geleng, sahutnya dingin, "Pho Ang-soat hanya ingin membunuh satu orang saja."

Umpama Hoa Boan-thian memang seorang bodoh, dia takkan bertanya lebih lanjut, sudah tentu dia sudah tahu siapa yang hendak dibunuh oleh Pho Ang-soat.

"Akan tetapi, mengapa Hun Cay-thian mengundang orang-orang itu untuk membunuh para saudara itu?"

"Karena dia hendak memaksa atau mendesakku meninggalkan tempat ini."

Berkerut alis Hoa Boan-thian, "Memaksamu pergi?" "Jika aku pergi, bukankah tempat ini menjadi miliknya?"

Hoa Boan-thian menghela napas, katanya, "Seharusnya dia menyadari kau bukan orang yang bisa digertak pergi begitu saja."

"Tapi dia pun tahu bahwa aku mempunyai seorang musuh lihai yang tangguh, apa yang dia lakukan tidak lain hanya supaya aku menyangka musuh besarku itu sudah meluruk datang." Terunjuk senyuman sinis di ujung bibirnya, lalu menyambung, "Memang hampir saja aku percaya waktu peristiwa itu terjadi."

"Kejadian apa pula yang membuat kau mulai curiga?"

"Meski rencananya matang dan teliti, toh dia salah memperhitungkan suatu hal." "O, hal apa?"

"Sudah tentu dia takkan menduga musuh besarku yang tulen itu meluruk datang juga bertepatan dengan kejadian malam itu."

"Memangnya suatu kejadian yang amat kebetulan." "Kedatangan Pho Ang-soat memang bukan secara kebetulan." "Bukan dia?"

"Dan lantaran dia tahu Hun Cay-thian mempunyai rencananya ini, maka dia lantas kemari hanya bila Ban-be-tong terjadi sesuatu peristiwa yang merubah susana saja, baru dia mempunyai kesempatan yang betul-betul baik " "Cara bagaimana pula dia bisa tahu akan rencana Hun Cay-thian?"

Terpancar rasa tersiksa pada sorot mata Ban-be-tong-cu, lama juga baru dia berkata, "Karena Sim Sam-nio sebenarnya adalah komplotan mereka."

Kelihatannya Hoa Boan-thian amat tercengang, katanya, "Tapi bagaimana pula Sim Sam-nio bisa tahu akan hal ini?"

"Karena Cui-long pun orang kepercayaan mereka." "Cui-long?"

"Cui-long berhasil dipelet, melalui Cui-long sebagai kusir untuk menyambung berita pulang pergi, di luar tahunya bahwa Cui-long sekaligus juga membocorkan berita itu kepada Sim Sam- nio."

Hoa Boan-thian menarik napas panjang, katanya, "Agaknya bila laki-laki terlalu mempercayai perempuan, usaha besar apa pun yang tengah dirintisnya pasti akan gagal total."

"Dia salah menilai Cui-long, dia pun salah menilai Hwi-thian-ci-cu."

"Waktu itu siapa pun takkan menduga bahwa Hwi-thian-ci-cu adalah orang yang kau undang." "Oleh karena itu maka rahasia mereka seluruhnya ketahuan oleh Hwi-thian-ci-cu."

"Oleh karena itu pula maka Hwi-thian-ci-cu harus mati."

"Benar, tentunya dia terbunuh oleh Buyung Bing-cu untuk menyumbat mulutnya." "Tapi kenapa Buyung Bing-cu sendiri akhirnya pun jadi korban?"

"Sebelum menemui ajalnya tentu Hwi-thian-ci-cu berhasil memegang suatu bukti, dan bukti itu pasti dia dapat dari badan Buyung Bing-cu."

Hoa Boan-thian manggut-manggut, dia pun teringat jari-jari Hwi-thian-ci-cu waktu itu tergenggam dengan kencang dan kaku.

"Sudah tentu Hun Cay-thian tidak pernah memperhatikan jari-jari Hwi-thian-ci-cu, karena hanya dia yang tahu siapa yang membunuh Hwi-thian-ci-cu."

"Tapi tidak pernah terpikir olehnya bahwa ada orang lain yang memperhatikan jari itu, malah bukti penting yang tergenggam oleh jari tangan itu diambilnya."

"Dia kuatir orang berhasil menyelidiki hubungan antara mereka, maka Buyung Bing-cu harus dibunuhnya untuk menutup mulutnya."

"Sungguh tak terkira ternyata dia seorang yang kejam dan culas." "Sekarang kau sudah paham seluruhnya."

"Masih ada dua hal aku kurang mengerti." "Kau boleh bertanya."

"Loh Loh-san adalah angkatan tua dari Bu-lim yang kenamaan, Buyung Bing-cu adalah putra hartawan kaya raya turun temurun, dengan kedudukan dan tingkat mereka, masakah begitu gampang terima diundang untuk diperalat orang lain?"

"Sudah lama Buyung Bing-cu mengiler dan mengimpikan dapat mengangkangi usaha besar

Ban-be-tong, dengan berbagai daya-upaya dia ingin merebutnya, seseorang bila timbul rasa tamak dan loba, maka dengan

mudah dia diperalat orang lain tanpa dia sendiri sadar bila dirinya sudah menjadi budak."

Hoa Boan-thian menggut-manggut, ujarnya, "Orang yang semakin kaya semakin kikir dan tamak, hal ini aku cukup tahu, namun ... Loh Loh-san cara bagaimana pula bisa tertarik oleh pancingan mereka?" Sebentar Ban-be-tong-cu menepekur, katanya kemudian pelan-pelan, "Bukan dia yang mengundang Loh Loh-san kemari."

"Bukan dia, memangnya siapa?"

"Memangnya Hun Cay-thian bukan biang keladi dalam rencana jangka panjang ini." "O, lalu siapa?"

"Kemarin malam, Loh Loh-san, Buyung Bing-cu, Pho Ang-soat dan Hwi-thian-ci-cu, semua menyekap diri di dalam kamar masing-masing, tapi tiga belas saudara dari istal bagian kuasamu menjadi korban."

"Waktu itu aku mengira Yap Kaylah yang turun tangan menangani mereka."

"Memangnya pembunuh itu sengaja hendak menimpakan bencana ini kepada Yap Kay, tak nyana ada orang yang membuktikan alibi Yap Kay waktu itu."

"Kau kira Hun Cay-thian pembunuhnya?" "Bukan dia."

"Kenapa bukan?"

Ban-be-tong-cu menarik muka, katanya, "Aku cukup mengenal baik ilmu silatnya, demikian pula sampai dimana taraf kepandaian tiga belas saudaranya yang menjadi korban itu, mengandal tenaganya seorang tidak begitu gampang dalam waktu sesingkat itu membereskan mereka."

Sikap Hoa Boan-thian ikut prihatin, katanya, "Maka kau mengira di belakang tabir peristiwa ini pasti ada seorang lain pula yang menjadi biang keladinya."

"Dugaanku tidak akan salah."

"Kau kira orang itulah biang keladi yang sesungguhnya?" "Benar."

"Kau tahu siapa dia?"

Ban-be-tong-cu tidak menjawab secara langsung, katanya pelan-pelan, Pertama, hubungan orang ini dengan Loh Loh-san pasti amat mendalam dan intim sekali, maka Loh Loh-san baru bisa terbujuk olehnya untuk melakukan persekongkolan ini."

Hoa Boan-thian manggut-manggut, ujarnya, "Ya, masuk akal." "Kedua, kedudukan orang ini pasti cukup tinggi di Ban-be-tong." "Darimana kau bisa menyimpulkan hal ini?"

"Karena dia mempunyai kedudukan yang tinggi, setelah berhasil memaksaku lari, baru dia bisa memegang tampuk pimpinan di Ban-be-tong."

Kembali Hoa Boan-thian tenggelam dalam alam pikirannya, akhirnya dia manggut-manggut, katanya, "Ya, masuk akal juga."

"Tentunya dia pula seorang yang biasanya amat dipatuhi oleh Hun Cay-thian, maka Hun Cay- thian baru mau diperintah olehnya."

"Masuk akal pula."

Semakin kereng sikap Ban-be-tong-cu, "Keempat sudah tentu dia pula orang yang amat dipercaya dan dijunjung sebagai pimpinannya oleh ketiga belas orang korban itu, justru karena mereka tidak bersiaga dan berjaga-jaga, maka dengan mudah jiwa mereka dihabisi tanpa mereka menyadari elmaut sedang mengintip jiwa mereka."

Tiba-tiba Hoa Boan-thian tertawa, tawa yang aneh sekali, katanya pelan-pelan, "Justru karena hubungannya intim dengan Loh Loh-san, maka di hadapan orang dia sengaja berpura-pura saling membenci dan sebal, supaya orang lain tidak pernah menduga adanya ikatan erat di antara mereka."

"Ya, begitulah."

"Kini tinggal sebuah hal masih belum sempat mengerti." "Kau masih boleh bertanya."

Hoa Boan-thian menatapnya bulat-bulat, tanyanya, "Semua kenyataan ini apakah hasil dari kesimpulan sendiri?"

"Bukan seluruhnya."

"Jadi ada orang yang membocorkan rahasia kepadamu?" "Benar!"

"Siapa orang itu?" "Cui-long."

"Lagi-lagi dia?" Hoa Boan-thian mengerut kening.

Tiba-tiba Ban-be-tong-cu tertawa, katanya tawar, "Hun Cay-thian mengira Cui-long sudah patuh dan bertekuk lutut kepadanya, demikian pula Sim Sam-nio mengira Cui-long amat setia kepadanya, di luar tahu mereka

Tak tertahan Hoa Boan-thian menukas, katanya, "Mereka semuanya salah hitung." "Mereka sama-sama salah, kesalahan itu amat menggelikan "

"Bahwasanya Cui-long adalah orangmu?" "Juga bukan."

"Lalu siapakah dia sebenarnya "

Ban-be-tong-cu balas menukas, katanya, "Kau kan tahu api profesinya?"

Terujuk rasa benci dan muak pada air muka Hoa Boan-thian, katanya dingin, "Sudah tentu aku tahu, dia adalah pelacur."

"Kapan kau pernah mendengar seorang pelacur pernah setia terhadap seseorang?"

"Benar seseorang bila dia toh rela menjual dirinya sendiri, sudah tentu tidak akan segan-segan menjual diri orang lain."

"Cuma kelihatannya dia sih bukan manusia seperti yang kau kira."

Tiba-tiba Hoa Boan-thian tertawa, ujarnya, "Soal ini jadi memben suatu pengajaran kepadaku." "Pengajaran apa?"

"Pelacur tetap pelacur, meski dia cantik rupawan laksana bidadari dia tetap adalah pelacur." "Agaknya kau jarang mengeluarkan omongan sekasar ini."

"Bukan saja hari ini terlalu banyak omong kasar, aku pun terlalu bodoh dalam bicara." "Tentunya kau sudah paham seluruh persoalannya?"

"Apakah sekarang sudah terlambat " "Agaknya memang sudah terlambat."

Hoa Boan-thian tertindak, katanya setelah menepekur beberapa saat lamanya, "Musuhmu yang sesungguhnya apa benar Pho Ang-soat?"

"Tidak akan salah!"

"Aku bisa mewakilkan kau membunuhnya." "Kau tidak akan mampu membunuhnya."

"Paling tidak aku bisa menyumbangkan sedikit tenagaku kepada kau ' "Tidak perlu."

"Sekarang Kongsun Toan dan Hun Cay-thian sudah mati, kalau kau pun membunuh aku, bukankah kedudukanmu bakal terpencil?"

"Itu urusanku sendiri."

Kembali Hoa Boan-thian menepekur agak lama, katanya kemudian dengan menghela napas, "Terhitung sudah puluhan tahun aku berkerja kepadamu."

"Enam belas tahun."

"Dalam enam belas tahun ini, aku pun pernah mengucurkan darahku bagi tempat ini, mengalirkan keringat bagi kepentinganmu."

"Daerah ini bisa sesubur, sejaya dan semakmur sekarang, memangnya bukan hasil tenaga satu orang untuk membangunnya."

"Kali ini paling-paling aku hanya ingin memaksamu menyingkir ke tempat jauh, hakikatnya tiada maksud jahat hendak membunuhmu."

"Pohon besar di tengah pekarangan itu, tentunya kau masih pernah melihatnya." Hoa Boan-thian manggut-manggut.

"Beberapa tahun belakangan ini, dia tumbuh dengan cepat dan subur, tumbuh dengan baik."

Terunjuk rasa rawan pada sorot mata Hoa Boan-thian, katanya kalem, "Waktu aku datang, pohon itu belum lagi setinggi pagar, sekarang dua orang pun takkan bisa memeluknya!"

"Tapi bila kau hendak memindahkan ke tempat lain, dia pasti akan lekas menjadi kering dan layu."

Hoa Boan-thian hanya diam sebagai jawaban.

"Demikian pula diriku, mirip dengan pohon tua itu, akarku sudah tumbuh dengan kokoh kuat di daerah ini, kalau ada orang ingin aku pergi dari sini, aku pun akan mati kering dan layu."

Terkepal kedua jari-jari Hoa Boan-thian, "Karena itu ... karena itu kau ingin aku mati."

Ban-be-tong-cu berkata sambil mengawasinya, "Kau sendiri yang bilang, siapa pun yang berkhianat terhadapku, maka dia harus mampus."

Mengawasi jari-jari tangannya yang mencekal pedang, Hoa Boan-thian menghela napas panjang, ujarnya, "Ya, memang aku pernah bilang begitu."

"Sebetulnya aku bisa memaksa kau untuk berduel dengan Pho Ang-soat." "Aku pun pasti akan menerima perintahmu."

"Tapi aku lebih senang turun tangan sendiri, sekali-kali aku tidak akan rela membiarkan orang lain membunuhmu," kata Ban-be-tong-cu tandas, "karena kau adalah kerabat Ban-be-tong, karena kau pun adalah sahabat baikku."

"Aku... aku mengerti."

"Baik sekali kalau kau mengerti."

"Sekarang aku hanya ingin bertanya sepatah kata pula." "Silakan berkata."

Mendadak Hoa Boan-thian mengangkat kepala mengawasinya, katanya bengis, "Puluhan tahun aku berjuang banting tulang, sampai sekarang apa yang berhasil kuperoleh, tidak lebih seperti budak yang harus tunduk dan kau perintah seenakmu sendiri, jika kau menjadi aku, mungkinkah kau pun akan berbuat seperti apa yang kulakukan sekarang?"

Tanpa berpikir Ban-be-tong-cu segera menjawab, "Pasti akan kulakukan, cuma " Terpancar

sinar terang setajam pisau dari biji mata Ban-be-tong-cu, "Jika perbuatanku kurang hati-hati, rahasiaku ketahuan oleh orang, kau pun akan mati dengan meram tanpa menyesal."

Hoa Boan-thian balas mengawasinya, mendadak dia mendongak dan bergelak tertawa, katanya, "Bagus, mati dengan meram tanpa menyesal apa segala, sayang sekali aku belum tentu pasti akan mati di tanganmu." Pedang panjang di tangannya segera terayun, kembang pedangnya laksana kuntum kembang beterbangan menari-nari di tengah udara, bentaknya beringas, "Asal kau dapat membunuhku, aku pun akan mati dengan tenteram."

"Baik sekali, memang itulah ucapan seorang laki-laki sejati." "Kenapa tidak segera kau bangkit dari tempat dudukmu." "Duduk di sini aku pun tetap bisa membunuhmu."

Gelak tawa Hoa Boan-thian sudah terhenti, otot-otot hijau di punggung tangannya yang mencekal pedang sudah merongkol keluar saking kencang dan tegangnya. Ban-be-tong-cu sebaliknya masih tetap duduk di tempatnya dengan adem-ayem, tenang-tenang mengawasi golok di tangannya.

Melirik pun tidak kepada Hoa Boan-thian. Seluruh darah daging sekujur badannya tiba-tiba berubah melengkung laksana besi baja.

Hoa Boan-thian menatapnya, selangkah demi selangkah mendesak maju, ujung pedangnya bergertar keras, jari-jari tangannya yang mencekal pedang mulai goyah dan lengan pun ikut gemetar. Sekonyong-konyong mulutnya menghardik, sinar pedangnya berubah laksana pelangi, seketika badannya mencelat terbang. Badan bersama pedangnya laksana kilat menerjang. keluar

jendela.

Ban-be-tong-cu menghela napas panjang, katanya, "Sayang " Baru dua patah katanya, tiba-

tiba badannya pun sudah mencelat terbang. Golok melengkung berubah laksana bianglala perak, "Ting", golok dan pedang beradu. Sinar golok tiba-tiba membundar miring terus bergerak menyisir batang pedang mengiris ke depan.

Hoa Boan-thian adalah seorang ahli pedang, betapa cepat gerak perubahan ilmu pedangnya, di jagat ini jarang ada tandingannya Tapi kali ini baru dia betul-betul menyadari segala gerak perubahannya ternyata sudah terkunci buntu dan mati kutu oleh gerakan lawan lebih dulu. Apalagi badannya sedang terapung di tengah udara, di saat tenaganya menjelang habis dan tenaga baru yang dia kerahkan belum lagi bekerja. Dalam waktu sesingkat itu, sinar golok yang menyilaukan mata tahu-tahu sudah menutup mukanya, menyumbat pernapasannya.

Tiba-tiba dia merasa dingin, dingin menakutkan. "Jika kau berani berduel dengan aku, sungguh aku bisa mengampuni jiwamu", itulah kata-kata terakhir Ban-be-tong-cu yang masih sempat dia dengar.

Kilat dan guntur sudah berhenti, namun cuaca semakin gelap.

Kembali Ban-be-tong-cu duduk tenang-tenang di tempatnya semula, kelihatannya seolah-olah amat letih, juga sedih dan risau. Di hadapannya terbaring jenazah Kongsun Toan, Hun Cay-thian dan Hoa Boan-thian.

Sebetulnya mereka bertiga adalah teman-teman karibnya yang terdekat, pembantu yang paling boleh diandalkan tenaganya, kini sudah menjadi mayat yang tak berjiwa dan tak berperasaan lagi, tak ubahnya seperti mayat-mayat orang lain yang tidak dia kenal sebelumnya.

Tapi orang yang masih hidup tidak mungkin tidak mempunyai perasaan. Memangnya siapa yang bisa mengerti perasaannya, perasaan hati orang tua yang sudah kenyang berkecimpung dalam perjuangan hidup. Sebetulnya apa saja yang pernah dia miliki? Sekarang apa pula yang masih tersisa? Darah yang berlepotan di atas dinding pun sudah kering, tetesan darah baris demi baris seperti sebuah gambar berwarna yang sengaja dibubuhkan di atas dinding.

Dua orang dengan langkah merunduk melongok ke dalam, melihat keadaan dalam pendopo besar, seketika mereka menahan napas. Ban-be-tong-cu tidak bergeming, lama kemudian baru dia berseru, "Perintahkan ke seluruh Ban-be-tong, semua saudara diharuskan berkabung dan tidak boleh makan barang berjiwa tiga hari, siapkan pula segala keperluan untuk membereskan jenazah Hoa-siangcu dan Hun-siangcu beserta Kongsun Toan.

* * *
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar