Peristiwa Merah Salju Jilid 04

Jilid 4

BAB 10. MEMBUNUH MENGHILANGKAN SAKSI

Yap Kay berdiri di kegelapan, berdiri di bawah pancuran sinar bintang, seperti patung batu, dingin kaku seperti batu es.

Kini Be Hong-ling pun sudah melihatnya, dengan menggapai-gapai dia meronta bangun, terus menubruk ke dalam pelukannya, memeluknya kencang-kencang, pecahlah jerit tangisnya, saking senang dan haru serta ketakutan, sepatah kata pun tak kuasa diucapkan.

Yap Kay pun tidak bersuara. Dalam keadaan seperti ini, bujuk dan menghiburnya akan merupakan kata-kata yang berlebihan. Pelan-pelan dia tanggalkan jubah panjangnya untuk menutupi badan orang.

Di sebelah sana Pho Ang-soat sudah menggenggam goloknya, sekali membalik dia melotot kepada Yap Kay, sorot matanya entah marah atau amat malu. Melirik pun Yap Kay tidak hiraukan tingkah orang.

Sambil mengertak gigi Pho Ang-soat mendesis, "Aku harus membunuh kau."

Yap Kay tetap tidak menghiraukan ancaman orang. Sekonyong-konyong Pho Ang-soat mengayun goloknya menubruk maju. Kakinya yang sebelah itu memang cacad, malah kaki yang sebelah pun masih mengalirkan darah, tapi begitu dia mengembangkan ketangkasannya, sungguh tidak kalah gesit dan tangkasnya dari burung sriti, lebih beringas dari seekor serigala. Tiada orang yang bisa menggambarkan betapa tangkas dan cekatan gerak-gerik dari seorang cacad seperti dirinya. Tiada orang yang dapat melukiskan kecepatan serta perbawa sambaran goloknya!

"Aku harus membunuh kau!" tahu-tahu sinar golok sudah menyambar ke arah Yap Kay. Tak nyana Yap Kay sedikit pun tidak bergerak. Belum lagi golok mengenai sasaran, tiba-tiba sinar golok kuncup dan berhenti di tengah udara.

Sampai lama Pho Ang-soat melototkan matanya ke arah Yap Kay, tangan yang mengacungkan golok itu semakin goyah, akhirnya gemetar, mendadak dia membalik badan terus membungkuk dan muntah-muntah dengan hebatnya.

Yap Kay tetap tidak menghiraukan dia, melirik pun tidak, namun sorot matanya sudah menampilkan rasa iba dan simpati. Dia cukup memahami jiwa dan keadaan pemuda ini, tiada orang lain yang lebih paham dan menyelami jiwa pemuda ini dari dia sendiri, karena dia pun pernah mengalami gemblengan dan derita yang sama.

Be Hong-ling masih sesenggukan. Pelan-pelan dia menepuk pundaknya, katanya kalem, "Kau pulang lebih dulu."

"Kau ... kau tidak mengantar aku?" tanya Be Hong-ling. "Aku tidak bisa mengantarmu." "Kenapa?"

"Aku perlu tinggal di sini beberapa kejap lagi." "Biarlah aku pun.”

"Kau harus segera pulang, tidurlah yang nyenyak, lupakan kejadian tadi, setelah besok

Be Hong-ling menengadah mengawasi, sorot matanya memohon dan harus dikasihani, tanyanya, "Besok kau akan menengok aku?"

Mimik sorot mata Yap Kay masih aneh, lama juga baru dia berkata pelan-pelan, "Sudah tentu aku akan menengok kau."

Dengan kencang Be Hong-ling menggenggam tangannya, air mata bercucuran pula, katanya, "Umpama kau tidak menengok aku, aku pun takkan menyalahkan kau." Mendadak dia putar badan, sambil menutupi dadanya dengan kedua tangan dia berlari sekencang-kencangnya seperti gila.

Derap tapal kuda itu semakin jauh dan akhirnya tak terdengar lagi, alam semesta kembali diliputi ketenangan.

Karena muntah-muntah ini seluruh badan Pho Ang-soat seolah-olah meringkuk, napasnya masih ngos-ngosan.

Yap Kay tenang-tenang saja mengawasinya, setelah orang berhenti muntah-muntah, mendadak dia bersuara dingin, "Sekarang kau boleh membunuhku."

Dengan badan terbungkuk, Pho Ang-soat melangkah beberapa tindak, diraihnya goloknya terus menerjang ke depan. Sekaligus dia terseok-seok ke depan sampai cukup jauh baru berhenti, kini badannya sudah rada terangkat, kepalanya mendongak, selebar mukanya yang kotor kembali dibasahi air mata, keringat dan darah.

Yap Kay datang menghampiri, berdiri di belakangnya, tenang dan menunggu, katanya kemudian, "Kenapa tidak kau turun tangan?"

Gemetar pula tangan Pho Ang-soat yang mencekal golok, mendadak dia membalik badan, suaranya serak, "Kau memaksa aku?"

"Tiada yang memaksamu, kau sendiri yang memaksa dirimu, malah mendesaknya sedemikian rupa." Kata-kata ini laksana cambuk melecut keras di badan Pho Ang-soat.

Berkata Yap Kay lebih lanjut dengan lebih tenang, "Aku tahu harus melampiaskan, kini tentu kau sudah merasa nyaman, lebih baikan."

"Apa pula yang kau ketahui?"

"Aku tahu kau pasti tidak akan membunuhku." "Memangnya tidak perlu."

"Orang yang ingin kau sakiti mungkin hanya dirimu sendiri, karena kau…”

"Tutup mulutmu!" hardik Pho Ang-soat dengan sorot mata yang amat menderita.

Yap Kay menghela napas, katanya pula, "Walau kau sendiri merasa berbuat salah, tapi apa yang sudah salah itu bahwasanya bukan kesalahanmu."

"Memangnya salah siapa?"

"Seharusnya kau tahu siapa dia ... sudah tentu kau tahu."

Memicing kelopak mata Pho Ang-soat, tanyanya keras, "Siapa kau sebenarnya?" "Aku adalah aku, she Yap bernama Kay."

"Apa benar kau she Yap?" bengis suara Pho Ang-soat. "Apa kau benar she Pho?"

Keduanya beradu pandang, seolah-olah ingin meraba perasaan orang, pikiran dan nalarnya, mengorek rahasia yang terbenam di dalam sanubari masing-masing.

Cuma kalau Yap Kay selalu tenang kendor dan dingin, Pho Ang-soat sebaliknya, laksana busur yang sudah ditarik kencang. Lalu mereka tiba-tiba mendengar suatu suara yang aneh, seolah-olah derap kaki kuda yang berlari-lari di atas tanah berlumpur, seperti jagal binatang sedang memotong daging-daging korbannya.

Sebetulnya suara ini amat lirih, namun di tengah malam buta rata yang hening lelap ini, ditambah kuping mereka berdua teramat tajam. Malah hembusan angin pun sedang meniup datang dari arah sana pula.

Tiba-tiba Yap Kay membuka suara, "Aku kemari, sebetulnya bukan hendak mencarimu." "Kau mencari siapa?"

"Orang yang membunuh Hwi-thian-ci-cu." "Kau sudah tahu siapa dia?"

"Aku belum yakin, sekarang aku ingin menyusul ke sana dan menemukan dia," ringan sekali badannya melejit terus bersalto sampai beberapa tombak jauhnya, begitu menancapkan kaki dia berhenti, agaknya sedang menunggu Pho Ang-soat.

Ragu-ragu sebentar, akhirnya Pho Ang-soat mengejar juga ke sana. Yap Kay tertawa, katanya, "Aku tahu kau pasti akan ikut ke sana." "Kenapa?"

"Karena setiap peristiwa yang terjadi di sini, kemungkinan ada sangkut-pautnya dengan kau." "Kau tahu siapa aku?"

"Kau adalah kau, kau she Pho bernama Ang-soat." Angin badai melanda, suara aneh itupun berhenti.

Pho Ang-soat menutup kencang mulutnya tanpa bersuara lagi, sejak mula dia tetap bertahan dalam jarak yang sama di belakang Yap Kay. Ginkang dan gerak badannya memang aneh, lincah dan tangkas, malah kelihatannya indah pula. Di saat mengembangkan Ginkangnya, takkan ada orang yang bisa melihat bahwa kakinya itu timpang.

Yap Kay sedang memperhatikan, tiba-tiba dia menghela napas, ujarnya, "Agaknya sejak kau dilahirkan, kau sudah lantas berlatih ilmu silat."

Kaku muka Pho Ang-soat, jengeknya, "Dan kau?" "Aku lain."

"Apanya yang lain?" "Aku ini seorang jenius."

"Jenius biasanya cepat mampus."

"Dapat mati lebih cepat, bukankah suatu hal yang baik juga?"

Terpancar derita yang tak terhingga dari sorot mata Pho Ang-soat. "Aku tidak boleh mati, tak boleh matiHatinya berteriak-teriak tak henti-hentinya

Sekonyong-konyong dia mendengar Yap Kay berpekik lirih.

Di tengah hembusan angin yang kencang ini, penuh diliputi bau amisnya darah, sinar bintang yang berkelip-kelip menyoroti setumpukan mayat-mayat yang bergelimpangan. Seolah-olah jiwa di tengah padang rumput ini tiada harganya sepeser pun, laksana kerbau dan kuda Di samping tumpukan mayat-mayat ini sudah digali sebuah lubang besar, galiannya belum dalam, di samping berserak tujuh delapan pacul dan sekop. Jelas setelah membereskan jiwa orang-orang ini mereka sudah siap mengubur mayat-mayat ini di sini, namun melihat orang datang, secara tergesa-gesa mereka meninggalkannya demikian saja.

Siapakah pembunuhnya? Siapa pun tiada yang tahu.

Tetapi yang terbunuh ternyata bukan lain adalah Buyung Bing-cu beserta sembilan pemuda ahli pedang yang selalu mengikuti dirinya itu. Pedang Buyung Bing-cu sudah terlolos keluar, namun kesembilan pembantunya itu satu pun belum ada yang sempat mengeluarkan senjata, tahu-tahu jiwa sudah melayang dengan percuma

Yap Kay menghela napas, katanya seorang diri, "Pembunuhan yang cepat sekali, pembunuhan yang keji!" Jika pembunuh itu bukan seorang ahli, masakah orang dapat bekerja demikian dan begitu keji, menghabisi kesepuluh lawannya ini.

Pho Ang-soat menggenggam goloknya, agaknya dia mulai dihayati emosi pula, seolah-olah dia sudah jeri melihat orang mati, dan mengendus bau darah.

Yap Kay sebaliknya tidak peduli. Dari dalam kantong bajunya dia k luarkan secuil kain, di atas cuilan kain ini, terdapat sebuah kancing yang masih terjahit kencang. Cuilan kain berkancing ini ternyata semutu dan warna dengan pakaian yang dikenakan Buyung Bing-cu, demikian pula jenis kancingnya mirip satu sama lain.

Yap Kay menghela napas panjang, ujarnya, "Ternyata memang dia!" Pho Ang-soat mengerut kening, agaknya dia belum paham.

"Cuilan kain ini kuambil dari genggaman tangan mayat Hwi-thian-ci-cu, sampai mati dia masih tetap menggenggam kencang cuilan kain ini."

"Kenapa?"

"Karena Buyung Bing-cu adalah pembunuhnya! Tujuannya hendak memberitahu rahasia pembunuhan dirinya kepada orang lain."

"Memberitahu kepada kau? Supaya kau menuntut balas bagi dia?" "Sekali-kali bukan hendak memberitahu kepadaku."

"Lalu dia hendak memberitahu kepada siapa?' "Kuharap aku bisa tahu."

"Kenapa Buyung Bing-cu harus membunuh dia?" Yap Kay geleng-geleng kepala. "Bagaimana dia bisa berada di dalam peti mati itu?" Yap Kay geleng-geleng pula.

"Lalu siapa pula yang membunuh Buyung Bing-cu?"

Yap Kay menepekur sebentar, sahutnya, "Aku hanya tahu orang itu membunuh Buyung Bing-cu untuk menyumbat mulutnya."

"Menyumbat mulut?"

"Karena pembunuh itu tidak ingin kematian Hwi-thian-ci-cu berada di tangan Buyung Bing-cu, yang penting dia tidak ingin orang lain dapat menemukan Buyung Bing-cu "

"Kenapa?"

"Karena dia takut orang akan menyelidiki hubungannya dengan Buyung Bing-cu." "Kau tidak tahu siapa dia?"

Yap Kay tidak banyak berkata lagi, dia tenggelam dalam renungannya. Lama juga baru dia buka suara pula pelan-pelan, "Tahukah kau, tadi siang Hun Cay-thian ada mencarimu?"

"Tidak tahu." "Katanya dia mencarimu, namun setelah melihat kau, sepatah kata pun dia tidak bicara apa- apa."

"Karena yang dia cari sebetulnya bukan aku."

"Benar, yang dia cari sudah tentu bukan kau, lalu siapakah yang dia cari? Siau Piat-li? Cui-long?

Jika dia mencari kedua orang itu. kenapa dia harus membual?"

Bayu menghembus semakin kencang. Pasir kuning memenuhi angkasa, rumput-rumput mengering. Kalau langit cemerlang laksana jade hitam yang dihiasi berlian, indah semarak, bumi justru diliputi kegelapan dan kepedihan. Sayup-sayup hembusan angin membawa ringkikan kuda, sehingga menambah suasana padang rumput yang lenggang ini terasa semakin seram.

Pelan-pelan Pho Ang-soat berjalan di depan, pelan-pelan pula Yap Kay mengikut di belakangnya. Sebetulnya dia bisa memburu ke depan dan berjalan di muka, tapi tidak dia lakukan. Di antara kedua orang ini seolah-¬olah terpaut sesuatu jarak yang aneh dan tak mungkin diraba, namun seolah-olah ada suatu ikatan pula secara aneh satu sama lain.

Jauh di padang ilalang sana muncul titik-titik sinar api. Mendadak Pho Ang-soat berkata pelan- pelan, "Ada kalanya jika bukan kau membunuhku, mungkin aku yang membunuhmu."

"Ya, akan datang suatu ketika?"

Pho Ang-soat tetap tidak berpaling. Katanya sepatah demi sepatah, "Mungkin hari yang menentukan itu akan segera tiba."

"Mungkin hari yang menentukan itu selamanya takkan ada." "Kenapa?"

Yap Kay menghela napas, matanya menatap jauh ke arah titik api di ujung bumi sana, ujarnya, "Karena bukan mustahil kita bakal sama-sama mati di tangan orang lain."

Rebah di atas pembaringan, bantal sudah basah kuyup oleh air mata Be Hong-ling. Sampai sekarang sanubarinya masih belum bisa tenang, antara cinta dan benci, seolah-olah dua tangan yang kokoh kuat hampir mengoyak-ngoyak jantungnya. Yap Kay dan Pho Ang-soat. Dua orang yang berlainan dan serba aneh.

Padang rumput selama ini dalam keadaan tenang dan damai, sejak kedatangan kedua orang ini, segala urusan segera berubah menjadi suatu peristiwa besar yang amat menakutkan. Siapa pun tiada yang tahu sampai kapan perubahan ini bakal berkembang, kapan akan berakhir.

Siapakah sebetulnya kedua orang ini? Untuk apa mereka datang kemari? Teringat adegan malam itu, di bawah pancaran sinar bintang-bintang, dia rebah meringkuk dalam pelukan Yap Kay. Tangan Yap Kay begitu lembut dan manis, dia sudah siap mempersembahkan segala miliknya.

Tapi orang justru tidak mau menerimanya. Dikatakan bila dia akan pulang, mengharap dia suka tinggal, sampai pun menahannya dengan kekerasan, dia pun tidak peduli lagi. Namun dia membiarkan dirinya pergi begitu saja, kelihatannya dia licik, licin dan nakal, bejat lagi, tapi dia membiarkannya pulang tanpa mengusik seujung rambutnya.

Di suatu malam yang lain, di bawah pancaran sinar bintang-bintang yang sama, di atas tanah berpasir juga, dia justru bertemu dengan seorang laki-laki lain yang jauh berlainan. Sungguh mati belum pernah terpercik dalam ingatannya bahwa Pho Ang-soat bisa melakukan perbuatan sekasar itu. Bocah yang terlihat terasing dan sebatangkara ini, sekonyong-konyong berubah seliar dan sebuas binatang jalang.

Sebab apakah yang membuatnya berubah begitu rupa? Bila teringat akan hal ini, hulu hati Be Hong-ling seketika sakit seperti ditusuk jarum. Selama dibesarkan seusia sekarang, belum pernah dia berhadapan dengan dua laki-laki yang jauh berbeda seperti ini, namun aneh juga kedua orang ini, sama-sama sukar dapat dia lupakan, dua orang yang selama hayat di kandung badan bakal melekat dalam sanubarinya. Dia tahu kehidupan jiwanya selanjutnya bakal ikut berubah lantaran adanya kedua orang ini. Tak terasa air matanya bercucuran pula.

Di atas rumah terdengar derap langkah kaki yang berat mondar-mandir kian kemari, dia tahu itulah langkah kaki ayahnya.

Kebetulan Ban-be-tong-cu tinggal di atas kamar puterinya ini Seperti lazimnya setiap malam dia pasti akan turun dari loteng menengok putra-putrinya, namun dua malam berturut-turut seolah- olah beliau sudah lupa sama sekali akan kebiasaan ini.

Dua hari sudah dia tidak pernah tidur, derap-derap langkah yang berat ini akan terus berdentam sampai terang tanah baru berhenti.

Lapat-lapat Be Hong-ling mulai merasakan akan keganjilan sikap dan kerisauan hati serta ketakutan ayahnya, kejanggalan-kejanggalan sebelum ini belum pernah dia lihat menghinggapi ayahnya.

Namun kerisauan dan ketakutan kini mulai pula merangsang sanubarinya. Ingin dia menghibur ayahnya, demikian pula dia mengharap sang ayah bisa menghibur dirinya. Tapi Ban-be-tong-cu seorang ayah yang disiplin dan keras, meskipun amat mencintai putrinya yang satu ini, namun hubungan antara ayah dan putri seolah-olah selalu dibatasi oleh sesuatu jarak yang tak bisa didekatkan.

Bagaimana Sam-ik? Kenapa dua hari ini tidak menemui beliau?

Secara diam-diam Be Hong-ling turun dari pembaringan, dengan telanjang kaki, lalu dipakainya mantel, bercermin di depan kaca membetulkan rambutnya. "Mencari Sam-ik untuk mengobrol?

Atau masuk ke kota pula untuk mencari si dia?" Sulit dia berkeputusan, dia tahu seorang diri tak boleh berdiam lama-lama di dalam rumah. Hatinya amat gundah dan tidak tenteram.

Pada saat itulah, di keheningan suasana malam tiba-tiba didengarnya derap kaki kuda sedang mendatangi dari peternakan di luar sana. Hanya mendengar derap langkahnya saja lantas bisa membayangkan, kuda yang mendatangi pasti seekor kuda jempolan yang terpilih satu di antara ribuan ekor di antaranya, maka penunggangnya tak usah disangsikan pasti seorang jagoan, dari anak buah Ban-be-tong.

Pada tengah malam buta, jika tiada urusan genting pasti takkan ada orang yang berani mengganggu ketenteraman ayahnya Baru saja dia mengerut kening, lantas didengarnya suara ayahnya yang berwibawa, "Apakah sudah diketemukan?"

"Buyung Bing-cu sudah ditemukan," itulah suara Hun Cay-thian. "Kenapa tidak digusur kemari?"

"Dia pun sudah mampus, Ce-suhu menemukan mayatnya empat li dari sini, tubuhnya tercacah hancur oleh orang."

Sekejap hening, lalu terdengar suara lambaian baju meluncur dari jendela atas ke bawah. Tapal kuda berderap lagi menuju keluar dan hilang ditelan malam.

Sekonyong-konyong timbul perasaan ngeri dan ketakutan luar biasa pada benak Be Hong-ling, Buyung Bing-cu juga mati, dia pernah melihat pemuda perlente yang angkuh ini, kemarin dia masih kelihatan begitu pongah dan sehat, malam ini ternyata sudah jadi mayat. Demikian pula ahli-ahli kuda ayahnya, dulu waktu kecil suka mengejar dirinya menunggang kuda. Selanjutnya giliran siapa pula yang terbunuh? Yap Kay? Hun Cay-thian? Kongsun Toan atau ayahnya? Seluruh penghuni dalam tanah perdikan ini seolah-olah sudah dibayangi kematian. Dia merasa dirinya sedang gemetar, cepat-cepat dia menarik pintu, dengan telanjang kaki dia berlari keluar, papan di sepanjang serambi yang dilalui terasa dingin laksana es.

Kamar Sam-ik terletak di ujung serambi panjang ini. Pelan-pelan dia mengetuk pintu, tiada reaksi, ketukannya lebih keras, tetap tidak mendapat jawaban. Sudah selarut ini, masakah Sam-ik tidak berada dalam kamarnya? Terpaksa dia memutar ke belakang pintu, pekarangan sepi sunyi, pelita dalam kamar Sam-ik sudah padam. Sinar bintang menyinari jendela kertas yang memutih ini, dengan keras dia mendorong, daun jendela segera menjeplak terbuka. "Sam-ik!" pelan-pelan dia memanggil ke dalam. Tetap tidak terdengar penyahutan. Ternyata kamar ini kosong melompong tiada seorang pun, di dalam selimut yang terbentang itu berisi dua guling besar.

Angin malam terasa dingin menghembus dari pekarangan. Tak tahan lagi Be Hong-ling bergidik merinding. Sekonyong-konyong pula disadarinya bahwa orang-orang di sekitarnya, kecuali dirinya, semuanya mempunyai rahasia pribadi masing-masing.

Demikian pula ayahnya. Selama hidupnya ini belum pernah dia mengetahui akan pnbadi masa silam ayahnya, selamanya dia pun tidak berani bertanya.

Waktu dia angkat kepala dengan terkejut, di ambang jendela tampak sesosok bayangan, seorang raksasa, disusul ia dengar suara Kongsun Toan yang bengis, "Kembali ke kamarmu!"

Tak berani memandang orang, seluruh penghuni Ban-be-tong, siapa pun merasa takut dan jeri terhadap Kongsun Toan. Dengan menarik kencang mantelnya, segera dia menerobos keluar sambil menunduk, langsung kembali ke kamarnya, lapat-lapat didengarnya Kongsun Toan sedang tertawa dingin di luar jendela Sam-ik.

0oo0

"Blang", daun pintu dia tarik tertutup dengan keras, jantung Be Hong-ling berdebur dengan keras. Terdengar lari kuda di luar dibedal keluar dan menjauh, terus tak terdengar lagi. Dia melompat ke atas pembaringan, menarik selimut terus menyembunyikan diri di dalam selimut, badannya gemetar seperti kedinginan.

Terasa olehnya takkan lama lagi bakal terjadi suatu peristiwa besar di tempat ini, sungguh dia tidak mau melihat peristiwa itu berkembang, dia tak mau mendengarnya juga.

"... sebetulnya aku tidak patut dilahirkan di dunia ini, aku tidak patut tumbuh di dunia fana ini teringat akan kata-kata Pho Ang-soat, tak terasa air mata bercucuran membasahi mukanya. Tak tahan dia bertanya pada diri sendiri, "Kenapa aku harus dilahirkan? Kenapa aku dilahirkan dalam keluarga ini?"

Bantal Pho Ang-soat pun basah, namun dia sudah pulas dalam tidurnya. Di saat sadar dia tidak pernah menangis, dia bersumpah sejak kini takkan gampang mengalirkan air mata. Tapi air matanya bercucuran di tengah alam mimpinya. Karena kesadaran jiwanya yang suci baru bisa memerangi rasa dendam hatinya, sehingga dia sadar dan bertobat bahwa tadi dirinya sudah melakukan perbuatan terkutuk yang memalukan.

Menuntut balas, memangnya merupakan suatu tingkah-laku dari kehidupan manusia sejak dahulu kala yang turun termurun sudah menjadi tradisi tak tertulis. Seolah-olah sama tuanya dengan pertumbuhan manusia sejak zaman kuno. Meski perbuatan rendah seperti itu tidak patut dipuji, namun merupakan suatu yang serius dan gagah. Akan tetapi hari ini justru dirinya sudah menyalahi kegagahan ini.

Air matanya bercucuran di alam mimpi yang buruk, suatu mimpi yang menakutkan, terlihat dalam impiannya itu ayah bundanya bergelimang di dalam lumpur darah, meronta-ronta di alam bersalju, sedang berteriak-teriak kepadanya supaya dirinya menuntut balas sakit hatinya.

Sekonyong-konyong sebuah tangan yang halus dingin terjulur masuk ke dalam selimutnya, pelan-pelan mengelus punggungnya yang telanjang. Ingin dia berjingkrak bangun, namun dua tangan dengan hangat dan lembut menekan badannya, disusul sebuah suara merdu dan halus berbisik di pinggir telinganya, "Kau sedang berkeringat."

Seluruh otot-otot dagingnya yang mengejang seketika mengendor seperti tanggul yang bobol diterjang air bah, betapapun dia akhirnya datang juga.

Gelap sekali. Jendela sudah tertutup, kerai sudah tertarik, rumah gelap ini bagai sebuah kuburan gelapnya. Kenapa dia selalu muncul di tengah kegelapan, secara diam-diam, lalu lenyap pula di tengah kegelapan? Dia membalik hendak duduk, tapi dia menekannya pula.

"Kau hendak apa?" "Menyulut api."

"Tidak boleh pasang lentera." "Kenapa? Aku tidak boleh melihatmu?"

"Tidak boleh," sahutnya sambil menurunkan badan menekan dada orang, lalu katanya pula seperti berbisik dengan tertawa, "Tapi aku boleh berjanji kepadamu, aku bukan perempuan yang jelek, memangnya kau sendiri tidak merasakan?"

"Kenapa aku tidak boleh melihatmu?"

"Karena kalau kau tahu siapa aku, bila di tempat lain kau melihat aku, sikapmu pasti akan berubah, sekali-kali jangan sampai diketahui atau dilihat lain orang bila di antara kita ada mempunyai hubungan gelap ini."

"Akan tetapi..”

"Tapi kelak pasti akan kuberi kesempatan untuk kau melihat aku, namun setelah peristiwa itu berlalu, terserah berapa lama kelak kau ingin mengawasi aku."

Dia tidak banyak bicara lagi, sementara jari-jarinya sedang sibuk membuka kancing bajunya.

Namun perempuan itu lekas menangkap tangannya. "Jangan sembarangan bergerak." "Kenapa?"

"Aku harus lekas-lekas pulang," sahutnya menghela napas, "Barusan sudah kukatakan, aku tidak akan membiarkan orang lain tahu akan hubungan rahasia kita ini."

Pho Ang-soat menyeringai dingin dalam kegelapan.

Agaknya perempuan itu cukup tahu, dalam keadaan seperti ini bila keinginan laki-laki dicegah atau ditolak, betapapun orang akan marah atau naik pitam.

"Di sini aku sudah tahan menderita hidup selama delapan belas tahu, bertahan terus kau pun takkan bisa membayangkan derita yang kualami, kenapa aku harus bertahan, apa tujuanku?"

Suara perempuan itu menjadi serius dan kereng, "Tujuanku hanya untuk menunggu kau, menunggu kau menuntut balas. Selama hidupku ini memangnya hanya kuperuntukan pembalasan ini, belum pernah kulupakan, maka kau pun tak boleh lupa."

Tiba-tiba sekujur badan Pho Ang-soat serasa dingin kaku, keringat dingin membasahi kasur dan selimut. Memangnya dia kemari bukan untuk bersenang-senang. Bahwa perempuan ini sudi menyerahkan miliknya kepadanya, tujuannya hanya untuk menuntut balas.

"Tentunya kau tahu betapa menakutkan orang seperti Be Khong-cun itu, ditambah anak buah yang membantunya," sampai di sini dia menghela napas, lalu menyambung, "Jika sekali gempur kita tidak berhasil melumpuhkan dia, kelak mungkin selamanya takkan ada kesempatan lagi."

"Kongsun Toan, Hun Cay-thian dan Hoa Boan-thian, gabungan kekuatan mereka bertiga tidak perlu dibuat takut."

"Bukan mereka yang kumaksud, Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian hakikatnya tidak ikut campur atau tahu seluk-beluk peristiwa itu."

"Memangnya siapa yang kau maksudkan?"

"Sementara orang yang tidak berani unjuk diri, sampai detik ini aku belum berhasil menyelidiki siapa mereka sebenarnya."

"Mungkin hakikatnya tiada orang-orang lain itu." "Betapapun gagah perkasa ayah dan pamanmu kedua, hanya mengandal Be Khong-cun dan Kongsun Toan berdua, masakah berani, mengganggu usik seujung rambut mereka? Apalagi istri mereka adalah ksatria jantan pula di antara kaum hawa sampai di sini suaranya kedengaran tersendat. Pho Ang-soat sendiri tak mampu bersuara juga, lama juga baru dia melanjutkan, "Sejak ayahmu meninggal secara mengenaskan, orang-orang Kangouw memangnya amat curiga, tokoh silat mana yang mampu membunuh kedua pasang suami isteri perkasa tiada bandingannya di kolong langit ini?"

"Sudah tentu tiada orang bakal mengira bila Be Khong-cun manusia berhati serigala itu yang melakukannya," suaranya mengandung kemarahan dan dendam. "Akan tetapi kecuali Be Khong- cun dan Kongsun Toan, pasti masih ada orang lain pula, kedatanganku kemari tujuan utama adalah menyelidiki rahasia ini, sayang sekali selama ini belum pernah aku memergoki dia ada hubungan dengan tokoh silat kosen dari dunia Kangouw, sudah tentu dia sendiri pun tutup mulut serapat sumbat botol, selamanya tidak pernah menyinggung peristiwa itu."

"Tujuh delapan tahun penyelidikanmu sia-sia, memangnya sekarang kita lantas bisa berhasil menyelidiki latar belakang peristiwa itu."

"Sekarang paling tidak kita sudah mendapatkan kesempatan." "Kesempatan apa?"

"Sekarang ada orang yang sedang mengancam dia, bila dia sudah terancam dan terdesak sehingga menemui jalan buntu, sudah tentu dia akan menuntun orang-orang di belakang layar itu."

"Siapa saja yang sedang mengancam dirinya?"

Tidak menjawab dia malah berbalik bertanya, "Kemarin malam, tiga belas orang itu apakah bunuh diri?"

"Bukan?"

"Lalu kematian kuda itu?"

"Bukan aku yang membunuhnya!"

"Kalau bukan kau, lalu siapa?" "Memangnya aku pun sedang heran." "Kau tak bisa menebaknya?"

"Yap Kay maksudmu?"

"Orang ini memang serba misterius, kedatangannya di sini tentu mempunyai sesuatu tujuan, tetapi jelas bukan dia yang membunuh orang-orang dan kuda-kuda itu."

"O? Bukan dia?"

"Aku tahu kemarin malam dia berada bersama siapa."

Untung rumah itu amat gelap, tiada yang tahu akan mimik muka Pho Ang-soat, mimik mukanya amat aneh.

Pada saat itulah terdengar genting di atas kamar mereka berbunyi "Tak". Seketika berubah air muka si perempuan, katanya dengan nada berat, "Kau tetap di sini, jangan kau mengeluyur keluar." Habis kata-katanya dia dorong daun jendela terus menerobos keluar.

Pho Ang-soat melihat sesosok bayangan langsing secara remang-remang, lekas sekali orang sudah menghilang.

Empat orang sudah mabuk dan tak sadarkan diri, keempat orang ini adalah ahli-ahli mengurus kuda dari Ban-be-tong yang sudah berusia lanjut. Biasanya mereka memang sering mabuk, namun entah kenapa hari ini mereka justru jatuh pulas lebih cepat dari biasanva Menghadapi tiga belas kawan mereka yang setia mendadak mati dengan begitu mengenaskan, menghadapi peristiwa-peristiwa yang mengerikan ini terjadi dan berlangsung secara bertubi-tubi, betapa mereka takkan lekas mabuk?

Waktu orang keempat terjungkal roboh, kebetulan Yap Kay tengah menenteng pakaiannya, menyelinap masuk dari daun pintu sebelah belakang. Sejak tadi dia sudah berada di sini, barusan dia pergi ke kakus untuk buang air, bila arak terlalu banyak masuk perut, dengan sendirinya orang akan lebih sering kencing, cuma kali ini waktu dia keluar untuk kencing, keluarnya terasa sedikit lama.

Baru saja dia masuk, Siau Piat-li segera memberi kedipan isyarat kepadanya, dia langsung menghampiri. Senyuman Siau Piat-li seolah-olah mengandung arti yang mendalam, katanya tersenyum, "Ada orang minta kepadaku untuk menyampaikan sesuatu barang kepadamu."

"Cui-long maksudmu?" berkedip-kedip mata Yap Kay

Siau Piat-li pun mengedip mata, katanya, "Apakah selamanya kau ini pintar?"

"Sayang sekali setiap berhadapan dengan perempuan yang kusukai, aku ini menjadi pikun? Lalu dari tangan Siau Piat-li dia menerima sebuah lempitan kertas yang dibikin model jantung, kertas warna biru muda itu ada sebaris tulisan yang berbunyi: "Adakah kau berikan kembang mutiara kepada orang lain?".

Yap Kay memegangi kembang mutiara di depan dadanya, seolah-olah dia sudah jadi linglung.

Mengawasi pemuda di depannya ini, tiba-tiba Siau Piat-li menghela napas, ujarnya, "Jika aku dua puluh tahun lebih muda dari usiaku sekarang, pasti aku ajak kau berkelahi."

Yap Kay tertawa pula, katanya, "Peduli berapa usiamu, yakin kau bukan laki-laki yang mau berkelahi lantaran seorang perempuan "

"Agaknya kau keliru menilai diriku." "O? Masa?"

"Tahukah kau bagaimana kedua kakiku ini sampai putus?" "Karena perempuan?"

Siau Piat-li tertawa getir, ujarnya, "Setelah aku tahu bahwa perempuan itu tidak lebih hanya seekor anjing betina, namun sudah terlambat." Kembali dia tertawa lebar, katanya, "Tapi si 'dia' itu pasti bukan perempuan seperti yang kulukiskan barusan, dia jauh lebih bersih, lebih suci dari perempuan mana pun yang pernah kulihat, meskipun dia berada di tempatku, namun selamanya belum pernah dia menjual diri sendiri."

"Memangnya apakah yang dia jajakan?"

"Yang dia jajakan adalah ciri laki-laki yang tak bisa membelinya namun semakin besar hasratnya untuk membelinya."

^•"•^

Kalau kau dorong daun pintu kedua, kau akan memasuki sebuah lorong jalanan, jalanan yang lebar, kedua sisinya berderet meja dan kursi. Pada ujung lorong terdapat sebuah pintu pula. Kalau kau ketuk dan pintu tidak terbuka, maka kau harus menunggu di lorong jalanan lebar ini.

Yap Kay sedang mengetuk pintu. Lama juga baru dari balik pintu ada penyahutan, "Siapa yang mengetuk pintu?"

"Seorang tamu," sahut Yap Kay.

“Hari ini Siocia tidak menerima tamu." "Bagaimana kalau tamu yang bisa menendang pintu sampai roboh? Mau diterima tidak?" ujar Yap Kay melucu.

Terdengar tawa cekikikan semerdu kelintingan di balik pintu, katanya, "Pasti Yap-kongcu yang datang." Seorang gadis bermata besar jeli dengan tersenyum lebar membuka pintu, serunya "Ternyata benar Yap-kongcu adanya."

"Tamu yang bisa menendang pintu sampai pecah di sini apa hanya aku seorang?" tanya Yap Kay tertawa.

Nona cilik ini mengerling mata, sahutnya dengan nakal, "Masih ada satu lagi." "Siapa?"

"Keledai yang mendorong gilingan!" BAB 11. BISIKAN DI TENGAH MALAM

Dalam pekarangan kecil ini tertanam beberapa kelompok bambu kuning yang tersebar di sana- sini, kembang kuning kecil tumbuh subur di pojokan sana.

Kerai bambu sudah tergulung ke atas, seorang bidadari beralis lentik tak berpupur tak memakai gincu, dengan bertopang dagu sedang duduk di depan jendela mengawasi kedatangannya dengan mendelong. Raut mukanya mungkin tidak terhitung amat cantik, namun dia memiliki sepasang mata yang seolah-olah bisa bicara, serta mulut berbibir tipis yang pandai berkicau.

Meski dia duduk tenang-tenang di tempatnya, secara wajar sudah menampilkan gaya dan wibawa agung yang memabukkan laki-laki, jauh berlainan dengan kebanyakan perempuan yang sering kalian lihat. Seorang perempuan demikian, terhadap laki-laki siapa pun pasti sudah cukup berlebihan.

Untuk memperoleh kerlingan manisnya saja banyak laki-laki yang datang kemari, mereka akan pura-pura menjadi seorang laki-laki sejati, seorang sosiawan, seorang laki-laki sejati yang mempunyai uang banyak dan berpendidikan.

Tapi begitu mendorong pintu Yap Kay langsung masuk ke dalam, langsung merebahkan diri di atas ranjangnya, sepatu tingginya pun tidak dicopot lagi, maka tampak dua lubang besar di dasar sepatunya.

Bertaut alis lentik Cui-long, katanya, "Apa kau tidak bisa membeli sepatu baru?" "Tak bisa!"

"Tidak bisa?"

"Karena sepatu ini bisa melindungi aku." "Melindungi kau?"

Yap Kay mengangkat sepatunya, menuding lubang di sepatunya, katanya, "Kau sudah melihat kedua lubang ini? Dia bisa menggigit orang, siapa-siapa bila tak sungkan padaku, dia akan bisa menggigitnya."

Cui-long tertawa, berdiri dan segera datang menghampiri, katanya tertawa, "Aku jadi ingin tahu apakah dia bisa menggigit aku."

Kontan Yap Kay menariknya sambil berkata, "Dia tidak berani menggigit kau, tapi aku berani." Cui-long menjerit lirih, dengan aleman dia sudah rebah dalam pelukan Yap Kay.

Pintu tidak tertutup, andaikata tertutup, adegan romantis pun takkan bisa terbendung di dalam rumah. Dengan muka merah nona kecil itu berlari menyingkir, namun dalam hati, besar hasratnya untuk mengintip secara diam-diam. Burung kenari di emperan agaknya terkejut, segera dia berkicau merdu tak henti-hentinya. Di atas wuwungan rumah yang gelap itu, mendekam sesosok bayangan orang, sinar bintang-

bintang yang remang-remang menerangi potongan badannya yang ramping, kepalanya

mengenakan cadar menutupi mukanya. Dia sedang menguntit seseorang hingga tiba di tempat ini, jelas sekali dia melihat bayangan orang itu berkelebat di atap rumah yang mi

Namun begitu dia mengejar sampai di sini, bayangan orang itu sudah menghilang.

Dia tahu tempat apa di sebelah sana, namun dia tidak berani turun, tempat ini tidak akan menyambut kedatangan perempuan.

"Siapakah dia? Kenapa dia mencuri dengar pembicaraan kami di atas rumah? Lalu apakah yang sudah didengarnya?"

Kalau ada orang bisa melihat mukanya, pasti dengan jelas melihat mukanya yang diliputi gugup dan ketakutan. Sekali-kali rahasia dirinya tidak boleh diketahui orang lain, ini merupakan pantangan. Sejenak ia ragu-ragu, akhirnya dia mengertak gigi melompat turun. Dia berkeputusan untuk menyerempet bahaya.

Selama hidupnya ini, dia sudah sering melihat berbagai mimik muka laki-laki yang beraneka ragamnya, namun hanya Thian yang tahu, bila seorang laki-laki melihat perempuan memasuki sebuah sarang pelacuran, bagaimana mimik mukanya saat itu.

Mata semua orang terkesima, seolah-olah mendadak melihat seekor kambing masuk ke dalam sarang serigala. Bagi seekor serigala, bukan saja kedatangan kambing ini merupakan tantangan, malah boleh dikata suatu penghinaan.

Hanya Tuhan yang tahu perempuan yang kesetanan ini untuk apa masuk ke tempat ini, akan tetapi perempuan ini sungguh cantik luar biasa.

Seorang laki-laki jagal yang setengah mabuk matanya melotot bundar. Orang ini datang dari luar daerah kemari untuk membeli kambing, dia tidak kenal siapa perempuan ini, dia pun tidak tahu perempuan macam apakah perempuan ayu ini. Yang terang perempuan di dalam rumah ini pasti adalah pelacur, umpama bukan pelacur pastilah kira-kira setingkat dengan itu.

Dengan sempoyongan segera dia berdiri dan maju menghampiri.

Tapi orang yang duduk di sebelahnya segera menariknya. "Jangan perempuan ini." "Kenapa?" "Dia sudah punya keluarga."

"Keluarga siapa dia?" "Ban-be-tong!"

Tiga huruf nama ini seolah-olah mempunyai tenaga gaib, bola yang baru saja melembung seketika menjadi kempes lagi.

Sam-ik melangkah masuk, mukanya mengulum senyum manis, pura-pura tidak mendengar dan tidak menghiraukan bisik-bisik orang lain. Sebetulnya tidak bisa tidak dia harus mendengarkan.

Ada sementara laki-laki yang menatap dirinya, warna matanya seolah-olah sedang melihat dirinya mondar-mandir di hadapannya dengan telanjang bulat.

Untunglah Siau Piat-li segera menyapa dia, "Sim Sam-nio untuk apa kau kemari? Sungguh merupakan tamu agung!"

Langsung dia menghampiri ke sana, katanya tersenyum, "Siau-sianseng tidak menyambut kedatanganku?"

Dengan tersenyum Siau Piat-li menghela napas, ujarnya, "Sayang sekali aku tidak bisa berdiri menyambut kedatanganmu."

"Aku kemari mencari orang." "Mencari aku?" "Kalau aku hendak mencari kau, tentu datang di saat tiada orang di sini."

"Aku pasti menunggumu, yang terang aku tidak perlu takut orang mengurungi kedua kakiku lagi."

Keduanya sama-sama tertawa. Keduanya sama-sama maklum masing-masing adalah rase tua yang licin dan licik

"Cui-long ada tidak?"

"Ada, kau hendak mencari dia?" "Ehm!"

Siau Piat-li menghela napas pula, ujarnya, "Kenapa laki atau perempuan ingin menemui dia?" "Aku tidak bisa tidur, ingin mengajak ngobrol dia."

"Sayang sekali kau terlambat setindak."

Bertaut alis Sim Sam-nio, katanya, "Memangnya di dalam kamarnya malam-malam begini juga ditempati tamu?"

"Kali ini seorang tamu yang istimewa." "Apanya yang istimewa?"

"Istimewa karena dia rudin."

"Tamu yang terlalu rudin, masakah kau pun membiarkan dia masuk?"

"Sebenarnya ingin aku memperingati dia, sayang sekali berkelahi aku bukan tandingannya, lari pun kalah cepat."

"Kau tidak membohongi aku?"

"Berapa orang yang bisa membohongi kau di dunia ini?" "Siapakah orang yang kau maksud itu?"

"Yap Kay."

"Yap Kay?"

"Sudah tentu kau tidak akan mengenalnya, walaupun dia baru dua hari datang kemari, orang yang mengenalnya sudah tidak sedikit jumlahnya."

Senyum Sim Sam-nio masih begitu manis menggiurkan, namun sorot matanya sudah menampilkan hawa nafsu yang runcing tajam. Namun cepat sekali kelopak matanya yang memicing melebar pula. Dilihatnya seseorang, "Blang", mendorong pintu dengan kasar, dengan langkah lebar masuk ke rumah itu. Seorang raksasa bagai gembong iblis yang garang.

Dengan memegangi gagang goloknya Kongsun Toan berdiri di ambang pintu, mimik marah dan seringai mukanya yang bengis sungguh cukup membuat orang yang bernyali kecil berhenti napasnya. Demikianlah napas Sim Sam-nio serasa sudah berhenti.

Siau Piat-li menghela napas, ujarnya, "Orang yang harus datang tiada satu pun yang muncul, orang yang tidak harus kemari justru datang semua."

Dipunggutnya selembar kartu gadingnya, lalu pelan-pelan diraba-raba serta diletakkan kembali di atas meja, katanya pula sambil geleng-geleng kepala, "Agaknya besok pasti ada hujan badai, kalau tiada urusan lebih baik jangan keluar pintu."

Kongsun Toan tiba-tiba menghardik keras, "Kemari kau!"

Laki-laki jagal itu tiba-tiba berjingkrak bangun, teman di sebelahnya tak sempat menariknya, tahu-tahu orang sudah menerjang ke depan Kongsun Toan, katanya keras sambil menuding hidung Kongsun Toan, "Bicara terhadap perempuan mana boleh sekasar tampangmu ini, awas kau Belum habis bicara, tiba-tiba tangan Kongsun Toan melayang menggampar mukanya.

Perawakan si jagal ini cukup tinggi besar dan kekar lagi, namun badannya yang beratnya ratusan kati itu ternyata terlempar terbang oleh tempelengan sekali saja, melampaui dua meja, "Blum!", dengan keras menumbuk dinding.

Waktu badannya melorot jatuh, mulutnya berdarah, kepala pun bocor, darah bercucuran Melirik pun Kongsun Toan tidak memandang kepadanya, matanya tetap melotot kepada Sim

Sam-nio, bentaknya bengis, "Kemari!"

Kali ini Sim Sam-nio tidak bersuara lagi, sambil menunduk dia melangkah maju.

Kongsun Toan tidak banyak bicara lagi, "Blak", dia mendorong pintu hingga terbuka, katanya, "Ikut aku keluar!"

Kongsun Toan berjalan di depan, Sim Sam-nio mengikut di belakang. Langkahnya sungguh amat lebar, sedapat mungkin Sim Sam-nio mempercepat langkahnya baru bisa mengintil di belakangnya, gerakan Ginkang sekali lompat tiga tombak jauhnya tadi, kini sudah dilupakannya sama sekali.

Malam sudah semakin larut Lumpur becek di jalan raya belum kering, setiap tapak berjalan pasti meninggalkan jejak lubang yang cukup dalam. Angin menghembus dari arah padang rumput, dingin sekali.

Dengan langkah lebar Kongsun Toan menuju ke ujung jalan tanpa menoleh, mendadak dia buka suara, "Untuk apa kau keluar?"

Pucat muka Sim Sam-nio, katanya, "Aku toh bukan tawanan, sembarang waktu aku ingin keluar pun boleh."

"Kutanya kau," seru Kongsun Toan kata demi kata, "untuk apa kau keluar?" Suaranya kalem, namun setiap patah katanya membawa tekanan berat, buas dan diliputi nafsu membunuh.

Sim Sam-nio menggigit bibir, akhirnya dia menunduk dan menjawab, "Aku keluar ingin mencari orang."

"Mencari siapa?"

"Memangnya peduli apa dengan kau?"

"Urusan Be Khong-cun adalah urusan Kongsun Toan pula, tiada orang yang boleh mengingkari dia."

"Kapan aku pernah mengingkari dia?" "Barusan!" hardik Kongsun Toan bengis.

"Kalau hanya ingin mengobrol dengan perempuan terhitung mengingkari dia, jangan kau lupa aku inipun seorang perempuan, sudah biasa perempuan suka mengobrol dengan perempuan."

"Siapa yang kau cari?" "Nona Cui-long!"

"Itu bukan perempuan, dia itu pelacur!"

"Pelacur? Kau pernah melacuri dia? Kau ingin melacuri dia?"

Mendadak Kongsun Toan membalik badan, sekali melayangkan kepalannya yang gede dia hantam perut orang.

Sim Sam-nio tidak berkelit, juga tidak melawan. Mulutnya mengeluarkan suara seperti babi disembelih, seketika badannya meliuk sambil sempoyongan mundur tujuh delapan langkah, akhirnya jatuh terduduk di tanah, mulut seketika muntah-muntah, air kecut dalam perutnya pun tumpah keluar Kongsun Toan memburu maju, sekali raih dia jambak rambut orang terus dijinjingnya serta membentak beringas, "Aku pun tahu kau inipun pelacur, tapi kau pelacur ini sekarang sudah tidak bisa menjajakan diri lagi."

Sim Sam-nio mengertak gigi, sedapat mungkin dia menahan diri, namun air matanya tak tertahan telah bercucuran, katanya gemetar, "Kau ...apa yang kau inginkan?"

"Pertanyaan yang kuajukan, harus kau jawab dengan baik, tahu tidak?"

Sim Sam-nio mengertak gigi tanpa menjawab. Telapak tangan Kongsun Toan segede kapak segera menabas ke pinggangnya. Seketika badan Sim Sam-nio seperti hampir mengkeret meringkuk kesakitan, air mata bercucuran lebih deras.

"Kau tahu tidak?" hardik Kongsun Toan.

Terpaksa dengan badan bergetar Sim Sam-nio manggut-manggut "Jam berapa kau keluar?"

"Baru saja." "Langsung kemari?"

"Kau sudah bertemu dengan pelacur itu?" "Belum."

"Kenapa belum?"

"Dia sedang terima tamu."

"Kau tidak mencari orang lain? Tidak pergi ke lain tempat?" "Tidak."

"Tidak?" kembali kepalannya menghajar dengan keras, mengenai daging mengeluarkan suara yang aneh, agaknya dia senang mendengar suara seperti ini.

Tak tahan Sim Sam-nio berteriak, "Betul-betul tidak, betul-betul tidak" Kongsun Toan menatapnya dengan beringas, kepalannya terkepal. Mendadak Sim Sam-nio menubruk maju, dengan kencang dia memeluknya, serunya dengan sesenggukan keras, "Jika kau suka memukulku, pukullah aku sampai mati... bunuhlah aku saja." Dengan kedua tangannya dia memeluk leher orang, sementara kedua kakinya memiting pinggangnya.

Seketika timbul suatu perubahan pada badan Kongsun Toan, dia sendiri sudah merasakan akan perubahan ini.

Dengan merebahkan kepala di atas pundaknya, Sim Sam-nio sesenggukan lebih memilukan, ratapnya, "Aku tahu kau suka memukulku, pukullah, pukullah!”

Badannya bergerak-gerak dengan aneh dan merangsang, demikian pula kedua kaki dan pantatnya ikut bergoyang-goyang.

Kemarahan yang memancar dari sorot mata Kongsun Toan kini sudah berubah menjadi nafsu birahi, jari-jari yang terkepal kencang pun mulai mengendor. Deru napas orang tepat berada di pinggir kupingnya, di atas

Napasnya mendadak menderu-deru kasar seperti banteng kehabisan tenaga

Ini Sam-nio merintih dan mengigau, "Kau bunuh aku pun tak menjadi soal, yang terang aku tidak akan memberitahu kepada orang lain "

Kongsun Toan sudah mulai gemetar. Siapa pun takkan percaya laki-laki inipun bisa gemetar. Siapa pun takkan bisa membayangkan manusia segede dan sekekar ini macam apa tampangnya bila dia gemetar menahan emosi.

Jika kau kebetulan bisa menyaksikan, pasti kau tidak akan merasa tak mungkin malah akan merasa takut, takut sekali. Kini mimik mukanya pun tengah menampilkan derita, karena dia tahu dirinya harus menahan keinginan dan nafsu yang menyala-nyala ini. Lalu dia melayangkan lagi kepalannya memukul perut orang, seketika badan Sim Sam-nio mengejang dan kelojotan, tangan terlepas, kaki pun lemas jatuh ke tanah berlumpur, badannya meringkuk seperti cacing.

Kini tangan Kongsun Toan terkepal lagi, dengan melotot menyeramkan, tiba-tiba dia meludah ke muka orang, lalu melangkah lewat badan orang, mencari kudanya. Bukan perempuan ini yang dia benci, dia ingat dirinya sendiri, gegetun kenapa dia harus menolak tawaran menantang ini, kenapa pula dirinya tidak berani menerimanya?

Kini Sam-nio sudah menyeka air mata. Pukulan tangan Kongsun Toan laksana tanduk sapi, tempat dimana terkena pukulan, dagingnya sakit mencapai tulang sumsum, sebelum besok pagi, tempat-tempat bekas pukulan itu pasti akan menghijau besar.

Akan tetapi sedikit pun hatinya tidak merasa marah, penasaran dan mengeluh karena sekarang dia sudah tahu Kongsun Toan sekali-kali tidak akan membocorkan kejadian ini kepada siapa pun, dia tidak ingin Ban-be-tong cu mengetahui bila di waktu malam dirinya pernah keluyuran di luar. Kini yang tahu rahasia dirinya tinggal seorang lagi, orang yang mencuri dengar di atas rumah itu. Apakah Yap Kay? Dia mengharap semoga orang itu bukan Yap Kay. Karena seseorang yang dirinya sendiri mempunyai rahasia, biasanya takkan membocorkan rahasia orang lain. Sekarang dia yakin dirinya punya pegangan buat menghadapi Yap Kay.

“Apa benar kau ini Yap Kay?"

"Apa tidak boleh bila aku ini Yap Kay?"

“Tapi orang macam apakah sebenarnya Yap Kay itu?"

"Seorang laki-laki amat miskin namun juga pandai terutama menghadapi perempuan mempunyai caranya sendiri."

"Berapa banyak perempuan yang pernah kau miliki?" "Coba kau terka?"

"Perempuan-perempuan macam apa saja mereka itu?"

"Semua bukan perempuan baik-baik, tapi terhadapku cukup baik." "Dimana saja mereka berada?"

"Dimana saja ada, selama hidup aku paling takut naik ke ranjang tidur seorang diri, mirip sekali bila mau main catur seorang diri."

"Tiada orang yang mengurus kau?"  "Aku sendiri tidak bisa mengurus diriku."

"Di rumah kau tidak punya sanak-kadang lainnya?" "Rumah pun aku tidak punya."

"Lalu darimana kau kemari?" "Dari tempat aku kemari."

"Mau ke tempat yang hendak kau tuju?" "Baru sekarang ucapanmu benar."

"Selamanya kau tidak pernah membicarakan kisah hidupmu masa lalu dengan orang?" "Selamanya tidak."

"Apakah kau mempunyai banyak rahasia yang tak ingin orang tahu?"

Yap Kay duduk di sampingnya, mengawasinya, di bawah pancaran sinar pelita yang remang- remang kelihatan rada pucat dan letih. Tapi matanya masih terpentang lebar. Tiba-tiba dia berkata, "Aku hanya punya satu rahasia." Semakin membelalak biji mata Cui-long, tanyanya, "Rahasia apa?"

"Aku ini siluman rase tua yang sudah bertapa menjadi manusia hidup selama sembilan ribu tujuh ratus tahun." Lalu dia melompat turun dari pembaringan, memakai sepatunya dan mengenakan pakaian terus melangkah keluar.

Cui-long menggigit bibir, diam saja mengawasi orang keluar, mendadak sekeras-kerasnya dia pukuli bantal di sampingnya, seolah-olah dia mengharap bantal ini adalah Yap Kay.

***

BAB 12. AHLI SENJATA RAHASIA

Pekarangan kecil ini sepi lengang tak terdengar suara apa pun, loteng kecil di bagian belakang itu ada cahaya api yang menyala keluar.

Siau Piat-li sudah naik ke loteng? Apa saja yang dia dapat kerjakan bila berada di atas loteng sekecil itu? Apakah di atas loteng juga ada kartu untuk meramal? Ataukah ada perempuan yang dia rahasiakan?

Sejak mula Yap Kay sudah merasakan seorang misterius yang menarik perhatiannya, pada saat itulah tiba-tiba muncul tiga bayangan orang di atas kertas jendela.

Tiga orang.

Baru saja mereka berdiri, bayangan mereka segera lenyap tersorot oleh cahaya api. Bagaimana mungkin ada tiga orang di atas loteng kecil itu? Siapakah dua orang yang lain?

Berkilat sorot mata Yap Kay, sungguh tak kuasa dia kendalikan rasa ingin tahunya. Jarak pekarangan dan loteng itu tidak jauh, setelah mengencangkan pakaiannya, segera dia melejit terbang ke arah sana.

Bangunan loteng ini model persegi, dikelilingi pagar kayu, bentuk bangunannya mirip dengan gardu pemandangan, dengan ringan ujung kakinya menutup pagar, badannya terus bergelantung di emperan loteng. Kebetulan daun jendela yang teratas sedikit terpentang, dari sini bisa mengintip ke dalam, kebetulan dapat dilihatnya di dalam rumah tepat di tengah-tengah terdapat sebuah meja bundar. Di atas meja tersedia hidangan dan arak.

Dua orang sedang minum arak duduk berhadapan, yang menghadap kemari adalah Siau Piat-li.

Di hadapannya duduk seorang yang mengenakan pakaian perlente, jari-jari tangannya yang sedang mengangkat sumpit mengenakan tiga buah cincin yang bentuk masing-masing amat aneh. Kelihatannya mirip tiga buah bintang. Orang ini ternyata adalah seorang bungkuk.

Sinar api dalam rumah tidak begitu terang, namun hidangan dan araknya justru masakan yang paling mahal dan lezat.

Si bungkuk dengan pakaian perlente tengah mengangkat cangkir araknya dengan jari-jari tangan yang bercincin aneh itu. Cangkirnya bening hijau dan kemilau, ternyata buatan batu pualam yang terukir indah.

Siau Piat-li sedang tertawa, katanya, "Bagaimana arak ini?"

"Araknya biasa, cangkir ini masih mending," agaknya si bungkuk ini jauh lebih pintar berfoya- foya dibanding Siau Piat-li.

"Aku memang tahu kau sukar dilayani, maka sengaja kutitip orang untuk membeli anggur Persia asli ini dari selatan, tak nyana hanya mendapat pujian 'biasa' dari kau."

"Anggur Persia ada beberapa macam kwalitas, yang ini memang yang paling biasa." "Kenapa kau sendiri tidak mau membawa yang paling baik."

"Sebetulnya sudah kusiapkan, sayang sebelum aku berangkat terjadi sesuatu sehingga keberangkatanku terburu-buru dan lupa membawanya."

Naga-naganya mereka memang sudah berjanji untuk mengadakan pertemuan di sini.

Yap Kay semakin tertarik, karena sekarang dia tahu si bungkuk ini adalah Kim-pwe-tho-liong (naga bungkuk berpunggung emas) Ting Kiu adanya.

Siapa pun takkan menyangka Kim-pwe-tho-liong ternyata menyembunyikan dirinya di sini? Apalagi sudah berjanji lebih dulu dengan Siau Piat-li. Kenapa dia membawa peti-peti mati itu? Apakah dia ada intrik dengan Siau Piat-li untuk menghadapi Ban-be-tong-cu?

Diam-diam Yap Kay mengharap Siau Piat-li bertanya kepada Ting Kiu, apakah sebenarnya yang terjadi sebelum dia pergi? Tapi Siau Piat-li justru mengalihkan pokok pembicaraannya, katanya, "Waktu datangmu kali ini adakah di tengah jalan kau bertemu dengan perempuan yang amat yahud?"

"Tidak, belakangan ini perempuan yang betul-betul yahud, seolah-olah sudah semakin jarang." "Kemungkinan lantaran sekarang kau sudah mulai bosan bermain dengan perempuan." "Kabarnya di tempatmu ini ada perempuan yang hebat."

"Bukan saja hebat, boleh dikata malah dahsyat."

"Kenapa tidak kau undang dia kemari untuk menemani kita makan minum?" "Dalam dua hari ini tidak boleh."

"Kenapa?"

"Dalam dua hari ini dalam benaknya sudah ada orang lain." "Siapa?"

"Laki-laki yang mendapat perempuan seperti dia pasti akan tergerak dan tertarik, tentulah mempunyai kepandaian yang lain dari yang lain."

Ting Kiu manggut-manggut. Biasanya dia jarang mau menyetujui komentar seseorang, namun kali ini berlainan.

Tiba-tiba Siau Piat-li seperti tertawa geli, ujarnya "Tapi ada kalanya orang ini justru seperti orang goblok."

"Goblok?"

"Habis bisa tidur bergumul dalam selimut yang wangi dan hangat dia tidak mau, malah senang bersembunyi di luar terima dihembus angin malam."

Semula hati Yap Kay amat senang karena dirinya dipuji-puji. Memangnya laki-laki siapa pun bila mendengar orang lain sedang memperbincangkan kehebatan dirinya dalam bermain perempuan, hatinya tentu amat bangga dan syur. Akan tetapi kata-kata Siau Piat-li selanjutnya sungguh membuat perasaannya sangat tidak enak. Mendadak dia merasa dirinya memangnya seperti maling kecil yang baru saja ditendang keluar dari atas ranjang oleh orang.

Sementara Siau Piat-li sudah berpaling keluar ke tempat persembunyiannya, mukanya tengah berseri tawa mengawasi daun jendela dimana dia bersembunyi.

Tangan Ting Kiu yang mengenakan cincin aneh itu sudah meletakkan cangkir di atas meja, gaya dan gerakan tangannya itu amat aneh. Dia pun berpaling seraya berkata dengan tergelak- gelak, "Tuan rumah enak-enak minum arak di dalam, masakah membiarkan tamunya minum angin di luar, tuan rumahnya memang kurang genah."

Terpaksa Yap Kay membuka jendela dan melayang masuk. Waktu di luar pekarangan tadi, Yap Kay melihat tiga bayangan orang, lalu dimana bayangan orang ketiga itu? Segala perabot dalam loteng kecil ini amat sederhana, terang tak mungkin ada tempat buat bersembunyi. Maklumlah di tempat sempit ini, segala keperluan diletakkan di tempat- tempat yang strategis sehingga sembarang waktu asal kau menggerakkan tangan bisa menjamahnya dengan mudah.

Dari atas rak kayu di sebelahnya Siau Piat-li mengambil sebuah cangkir yang terbuat dari batu jade buatan zaman dinasti Han, katanya sambil tersenyum, "Aku ini orang malas, orang cacad lagi, kalau tiada keinginan tidak ingin bergerak."

Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Kalau orang malas seperti kau terlalu banyak di dunia ini, kehidupan dunia pasti jauh lebih nyaman."

"Karena komentarmu ini, kau cukup setimpal untuk mencicipi arak anggur buatan Persia ini." "Sayang sekali arak ini adalah kwalitas yang paling biasa," lalu Yap ay angkat cangkir itu ke

arah Ting Kiu, katanya lebih lanjut, "Tempo hari aku sudah bertemu dengan Ting-siansing, maaf

kalau aku kurang adat."

Ting Kiu membesi muka, katanya dingin, "Kau tidak kurang adat, juga tidak usah minta maaf segala."

Berkata pula Yap Kay, "Namun terhadap laki-laki vang amat paham mengenai seluk-beluk arak dan perempuan, selalu menaruh hormat dan salut."

Muka Ting Kiu yang pucat buruk itu mendadak berubah senang, katanya, "Siau-lopan barusan hanya salah mengucapkan kata-katanya."

"O, kata-kata apa?" tanya Yap Kay.

"Bukan saja kau pintar main perempuan, terhadap laki-laki kau pun pintar bermanis-manis mulut."

"Itupun tergantung apakah dia itu benar-benar seorang lelaki, belakangan ini laki-laki yang benar-benar sejati sudah banyak berkurang."

Tak terasa Ting Kiu tertawa geli. Laki-laki yang buruk rupa akan selalu merasa dirinya jauh lebih punya pambek sebagai laki-laki sejati dari anak muda yang ganteng, demikian pula bagi perempuan buruk yang selalu merasa dirinya lebih pintar dari perempuan cantik lainnya.

Baru sekarang Yap Kay berkesempatan menenggak habis arak dalam cangkirnya!

Suasana pertemuan tiga pihak kini mulai mengendor dan riang, dia tahu ucapan muluk-muluk yang perlu dia utarakan sudah lebih dari cukup. Lalu apa pula yang harus dia ucapkan?

Pelan-pelan Yap Kay menduduki kursi yang tinggal satu, memangnya di sini tadi tempat duduk orang ketiga itu. Cara bagaimana baru dia bisa mencari tahu orang ini? Dengan cara apa pula baru dia bisa mengorek keterangan rahasia mereka? Bukan saja dia memerlukan suatu pertanyaan yang lihai dengan cara diplomasi, malah pertanyaan inipun tidak boleh meninggalkan bekas-bekas yang mencurigakan.

Di saat Yap Kay menepekur dan menimbang-nimbang, tiba-tiba Ting Kiu berkata, "Aku tahu kau pasti punya banyak omongan yang hendak ditanyakan kepadaku." Mimik mukanya masih mengulum senyum, namun sorot matanya sedikit pun tidak merasa senang, katanya pelan-pelan, "Tentunya kau ingin tanya kepadaku, kenapa datang ke tempat ini? Kenapa mengantar peti mati sebanyak itu? Bagaimana pula bisa kenal dengan Siau-lopan? Persoalan apa pula yang sedang dirundingkan di sini?"

Yap Kay juga berseri tawa, namun sorot matanya dingin tajam, diam-diam dia menginsyafi bahwa Ting Kiu ternyata jauh lebih sukar dihadapi dari apa yang dia bayangkan sebelumnya.

"Kenapa kau tidak bertanya?" Ting Kiu bertanya. "Jika aku bertanya, apakah ada gunanya?" "Tidak."

"Oleh karena itu aku tidak bertanya."

"Tapi ada sebuah hal aku boleh memberitahu kepadamu." "O, hal apa?"

"Ada orang bilang di atas badanku dari atas sampai ke bawah setiap tempatnya ada membawa senjata rahasia, apa kau pernah mendengarnya?"

"Ya, pernah kudengar."

"Kabar yang tersiar di kalangan Kangouw biasanya kurang dapat dipercaya." "Di atas badanmu seluruhnya ada membawa senjata rahasia?"

"Tidak salah."

"Seluruhnya ada berapa macam?" "Dua puluh tiga macam."

"Setiap macamnya dibubuhi racun?"

"Hanya tiga belas saja yang beracun, soalnya ada kalanya aku perlu mendapat keterangan dari korbanku."

"Malah orang bilang, katanya sekaligus kau dapat menyambitkan tujuh macam senjata rahasia yang berlainan."

"Ya, tujuh macam!"

"Cepat benar kerja tanganmu."

"Tapi masih ada seorang yang lebih cepat dari aku." "Siapa?"

"Yaitu Siau-lopan yang duduk di sebelahmu ini."

Siau Piat-li selalu menghias mukanya dengan senyuman, katanya menghela napas, "Seorang cacad yang malas, kalau tidak berusaha belajar beberapa macam senjata rahasia, masakah dia bisa bertahan hidup."

"Benar, masuk akal."

"Dapatkah kau melihat dimana kiranya senjata rahasianya disembunyikan?" "Di dalam tongkat besinya?"

Ting Kiu menepuk meja, serunya, "Bagus, pandangan yang tajam, kecuali dalam tongkat besinya?"

"Tempat lainnya juga ada?"

"Hanya ada delapan macam, namun dalam sekejap mata dia sekaligus bisa menyambitkan sembilan macam senjata rahasia."

"Di kalangan Kangouw, tokoh yang ahli senjata rahasia kiranya tiada yang bisa lebih unggul dari kalian "

"Mungkin seorang pun tiada lagi."

"Sungguh tak nyana aku justru bisa duduk di antara dua tokoh kosen yang ahli dalam alat senjata rahasia, sungguh merupakan kebanggaan"

"Kesempatan ini memang tidak banyak, maka kuanjurkan supaya kau duduk baik-baik dan tenang-tenang saja, karena sekali kau bergerak, paling sedikit ada enam belas macam senjata rahasia yang bakal menyerangmu." Dengan menarik muka Ting Kiu menambahkan, "Aku berani bertaruh, di dunia ini pasti takkan ada orang yang bisa menghindar diri dari berondongan enam belas macam senjata rahasia ini."

"Aku percaya."

"Oleh karena itu apa pun yang kutanyakan, lebih baik kau segera menjawab dengan baik."

Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Untungnya aku ini memangnya tidak mempunyai sesuatu rahasia yang harus disembunyikan terhadap orang lain!"

"Memang lebih baik bila kau tidak punya," jengek Ting Kiu, mendadak dari lengan bajunya dikeluarkan segulung kertas terus dibeberkan di atas meja, katanya, "Kau she Yap, bernama Yap Kay."

"Ya."

"Kau termasuk shio Hou (macan)?" Yap Kay segera mengiakan.

"Tapi sejak masih orok kau sudah meninggalkan tempat ini?" "Benar."

"Sebelum empat belas tahun, kau selalu menetap di sebuah biara di puncak Ui-san?" Yap Kay manggut-manggut.

"Yang kau latih mestinya Ui-san-kiam-hoat, namun belakangan waktu kau bergelandangan di Kangouw, secara main curi kau mempelajari beberapa macam kepandian silat, waktu usia enam belas, pernah juga jadi Hwesio untuk beberapa bulan, tujuanmu hanya untuk mencuri belajar Hok- hou-kun pihak Siau-lim-pay?"

"Ya."

"Belakangan kau pun pernah mencuri sesuap nasi dalam kalangan Piau-kiok di kotaraja, setelah hutang bertumpuk-tumpuk karena kalah judi, terpaksa kau harus meninggalkan pekerjaanmu?"

"Tidak salah!"

'Di Kanglam lantaran seorang perempuan yang bernama Siau-pak-khia, kau bunuh Kay-si-sam- hiong, maka terpaksa lari kembali ke Tionggoan?"

"Tepat sekali."

"Dua tahun belakangan ini, kau hampir menjelajahi seluruh daratan selatan dan utara sungai besar, dimana-mana kau menimbulkan urusan, namun karena itu kau pun sedikit angkat nama sehingga namamu cukup terkenal."

Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Pengalaman hidupku agaknya kalian jauh lebih jelas dari aku sendiri, buat apa pula kau tanya kepadaku?"

Setajam aliran listrik pandangan Ting Kiu, tanyanya pula, "Sekarang n ku hanya tanya kau, kenapa kau harus ke tempat ini?"

"Kalau aku bilang daun jatuh kembali ke dekat akarnya, kalau di sinilah kampung kelahiranku, sudah tentu aku harus pula menengoknya, kalau aku berkata demikian, kalian mau percaya tidak?"

"Tidak percaya." "Kenapa?"

"Karena kau sudah ditakdirkan lahir menjadi gelandangan."

"Kalau aku bilang kecuali tempat setan ini, sudah tiada tempat lain untuk aku berpijak, apa kalian mau percaya?"

"Omonganmu ini masih boleh kuterima," kembali Ting Kiu membeber kertas itu lebih panjang, katanya lebih lanjut, "Uang terakhir yang kau dapatkan, bukankah hasil kemenangan kacang emas yang kau peroleh dari Lo-koan-tang itu?"

"Benar," sahut Yap Kay.

"Sekarang sekantong kacang emas itu mungkin sudah menjadi milik orang lain, apa benar?" "Aku sebal dengan kacang, meskipun kacang kapri, kacang lanjar, kacang buncis, kacang kulit

ataupun kacang emas sama saja."

Ting Kiu mengangkat kepala menatapnya, katanya, "Tiada orang lain yang mengundangmu kemari?"

"Tidak."

"Tahukah kau, kesempatan untuk mengeruk uang di tempat ini bukan gampang?" "Aku bisa melihatnya."

"Lalu cara bagaimana kau ingin hidup lebih lanjut?"

"Yang terang aku belum pernah melihat di sini ada orang mati kelaparan."

"Kalau kau tahu di tempat lain ada kesempatan untuk mendapatkan laksana tahil perak, mau ke sana?"

"Tidak mau." "Kenapa?"

"Karena bukan mustahil di tempat ini aku justru jauh bisa memperoleh lebih banyak uang." "O?"

"Aku dapat merasakan tempat seperti ini di sini lambat-laun akan memerlukan tenaga orang seperti diriku."

"Orang macam apa kau ini?"

"Seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, dan yang penting aku bisa menutup rahasia orang serapat tutup botol, jika ada orang mau membayar aku untuk melakukan sesuatu tugas, tentu aku tidak akan mengecewakan si pembayar."

Sejenak Ting Kiu menepekur, sorot matanya memancarkan sinar terang, katanya tiba-tiba, "Berapa taripmu untuk membunuh orang?"

"Itu tergantung siapa yang harus kubunuh." "Yang kumaksud tarip yang tertinggi?" "Tiga laksa."

"Baik, sekarang kuberi selaksa sebagai uang muka, setelah tugasmu selesai, sisanya kulunasi."

Seketika terpancar sinar terang dari mata Yap Kay, katanya, "Siapa yang ingin kau bunuh? Pho Ang-soat?"

"Pho Ang-soat tidak setimpal berharga tiga laksa " "Memangnya siapa yang setimpal?"

"Ban-be-tong-cu!"

Siau Piat-li duduk diam saja, seolah-olah sedang mendengar percakapan kontrak dagang dua orang yang sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan dirinya.

Bola mata Ting Kiu menyala, dengan tajam tengah menatap muka Yap Kay, tangan yang mengenakan tiga buah cincin berbintang itu kembali memperlihatkan gerakan dan gaya yang aneh. Akhirnya Yap Kay menghela napas, "Kiranya kalian yang hendak membunuh Ban-be-tong-cu, ternyata kalian."

"Kau tidak mengira?" tanya Ting Kiu dengan mata jelalatan.

"Ada dendam apa kau dengannya? Kenapa mau membunuhnya?"

"Lebih baik kalau kau mengerti, sekarang kamilah yang bertanya kepadamu, bukan kau yang mengajukan pertanyaan."

"Ya, aku mengerti."

"Ingin tidak kau mengeruk uang tiga laksa tahil?" Yap Kay tidak menjawab, juga tidak perlu menjawab, tangannya sudah terulur ke depan.

Dua puluh lembar kertas uang yang masih baru, setiap lembar berharga seribu tahil. "Lho kok dua laksa?" tanya Yap Kay.

"Ya."

"Agaknya kau memang royal." "Bukan royal, namun hati-hati." "Hati-hati?"

"Seorang diri kau takkan mampu membunuh Ban-be-tong-cu " "O, lalu?"

"Maka perlu kau mencari pembantu."

"Jadi selaksa untukku, sisanya untuk pembantuku itu?" "Tidak salah "

"Siapa yang setimpal kau bayar setinggi ini?" "Siapa tentunya kau lebih tahu."

"Kau ingin aku mencari Pho Ang-soat?" Ting Kiu diam saja sebagai jawaban.

"Bagaimana kau bisa tahu kalau aku bisa membeli dia " "Kau bukan temannya?"

"Dia tidak punya teman."

"Tiga laksa tahil cukup untuk mencari orang teman." "Kalau ada orang tidak mau menjual diri?" "Sedikitnya kau harus mencoba dulu."

"Kenapa tidak kau sendiri mencobanya?"

"Kalau kau tidak ingin memperoleh tiga laksa tahil ini, sekarang masih boleh kau kembalikan." Yap Kay tertawa senang, berdiri terus mengundurkan diri

Mendadak Siau Piat-li menyeletuk dengan tertawa, "Kenapa tidak minum dulu dua cangkir baru berangkat? Kenapa tergesa-gesa?"

Yap Kay mengacungkan uang di tangannya, katanya tertawa, "Ingin segera bisa menghabiskan selaksa tahil ini."

"Uang sudah berada di tanganmu, kenapa terburu-buru."

"Kalau sekarang tidak kuhambur-hamburkan, kelak mungkin tiada kesempatan lagi." Mengawasi bayangan orang yang menerobos keluar jendela, tiba-tiba Siau Piat-li menghela napas, "Inilah seorang pintar."

"Memangnya."

"Kau mempercayainya?" "Tidak seluruhnya?"

Siau Piat-li memicingkan mata, tanyanya, "Oleh karena itu baru kau mau teken kontrak dagang dengan dia?"

Ting Kiu tersenyum, ujarnya, "Ini suatu kontrak yang istimewa "

Seseorang bila kantong kosong, tiba-tiba memperoleh rezeki nomplok dengan mengantongi selaksa tahil uang, maka berjalan pun terasa ringan bagai terbang.

Tapi langkah Yap Kay justru kebalikannya, terasa berat. Kemungkinan lantaran dia terlalu penat dan kehabisan tenaga. Cui-long memangnya perempuan pandai yang bisa membikin laki-laki perkasa lelah kehabisan tenaga.

Kini sinar api dalam biliknya sudah padam, mungkin sudah tidur. Terbayang olehnya sebentar dia bakal tidur nyenyak di sampingnya dengan nyaman, menghirup bau wangi, mengelus-elus punggungnya yang halus telanjang itu, rangsangan ini sungguh tak kuasa Yap Kay untuk menolaknya.

Langkahnya pelan-pelan, mendorong pintu lalu melangkah masuk. Daun pintu ternyata hanya ditutupkan saja tanpa dikunci dari dalam, agaknya orang memang sedang menunggu dirinya.

Sinar bintang menyorot masuk ke dalam rumah, dia tertidur dengan seluruh badan tertutup selimut, agaknya tidurnya teramat nyenyak. Yap Kay tersenyum, segera dia maju sambil menyingkap selimut itu.

Sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat, sebatang pedang laksana seekor ular beracun tiba-tiba mematuk keluar dari balik selimut, menusuk ke arah dada Yap Kay.

Dalam keadaan demikian, jarak begitu dekat lagi, boleh dikata tiada tokoh silat mana pun yang lihai bisa meluputkan diri dari tusukan pedang ini. Tapi Yap Kay justru laksana seekor rase yang sudah lama dikejar-kejar dan hendak ditangkap oleh pemburu, setiap detik setiap waktu tak pernah lupa bersiaga dan waspada. Dalam waktu yang gawat ini pinggangnya tiba-tiba seperti putus, mendadak melengkung atau tertekuk ke belakang, maka sinar pedang menyerempet dadanya.

Sebat sekali badannya melenting seperti pegas melompat mundur, berbareng kakinya melayang menendang pergelangan tangan yang memegang pedang. Tapi tangkas sekali orang yang bersembunyi di dalam selimut itupun sudah melompat keluar, tidak merangsek lebih lanjut, dimana sinar pedangnya membundar, sekaligus dia melindungi mukanya, lalu menubruk ke arah jendela di sebelah belakang.

Yap Kay tidak mengejar, namun dia berseru dengan tertawa "Hun Cay-thian aku sudah mengenalimu, kau pergi pun tak berguna."

Orang itu sudah menerjang daun jendela sampai hancur, namun badannya seperti mobil yang mendadak direm seketika berhenti, berdiri kaku, lama juga baru dia pelan-pelan berpaling muka. Memang bukan lain Hun Cay-thian. Punggung tangannya yang memegangi gagang pedangnya dihiasi otot-otot kencang yang merongkol keluar. Sorot matanya buas dan diliputi nafsu membunuh.

"Ternyata yang sedang kau cari bukan Pho Ang-soat, juga bukan Siau Piat-li, yang kau cari ternyata Cui-long."

"Dapatkah aku kemari mencarinya?" tanya Hun Cay-thian dingin. "Sudah tentu boleh," sahut Yap kay tertawa. "Laki-laki seperti kau ini, mencari perempuan seperti dia itu, memangnya suatu hal yang jamak, entah lantaran apa kau harus mengelabui aku?"

Berkilat biji mata Hun Cay-thian, tiba-tiba dia tertawa, ujarnya, "Aku kuatir kau jelus." Yap Kay tertawa, serunya, "Yang jelas seharusnya kau, bukan aku."

^•"•^

Hun Cay-thian merenung sebentar, lalu katanya, "Dimana dia?" "Seharusnya akulah yang mengajukan pertanyaan ini kepadamu." "Kau tidak melihatnya?"

"Waktu aku berlalu, dia masih berada di sini."

"Tapi waktu aku tiba di sini, dia justru sudah tiada."

Yap Kay mengerut kening, "Mungkin pergi mencari laki-laki lain”

"Selamanya dia tak pernah mencari laki-laki, sudah berlebihan laki-laki yang mencarinya." "Nah, dalam hal ini kau tidak tahu, laki-laki yang mencari dia, sudah tentu berbeda dengan laki-

laki yang dia cari."

"Kau kira dia mencari siapa?"

"Berapa laki-laki yang patut dia cari di tempat ini?"

Berubah air muka Hun Cay-thian, mendadak dia putar badan terus menerobos keluar. Kali ini Yap Kay tidak merintangi, karena mendadak menyadari beberapa persoalan yang ingin benar dia ketahui. Tiba-tiba terasa olehnya bahwa Cui-long ternyata perempuan yang misterius, tentu perempuan ini juga menyembunyikan banyak rahasia.

Perempuan seperti dia, jika hendak mengusahakan dagang seperti ini.

banyak tempat akan lebih subur pendapatannya, tidak perlu dia memendam diri di tempat ini.

Bahwa dia terima tinggal di sini, tentu dia mempunyai suatu tujuan yang luar biasa.

Akan tetapi tujuan Hun Cay-thian mencari dia, terang jauh berbeda dengan maksud laki-laki lain yang ingin mencarinya, antara kedua orang ini, pasti terjalin suatu ikatan rahasia yang pantang diketahui orang lain.

Tiba-tiba Yap Kay menyadari lebih lanjut, setiap orang di sekitarnya seolah-olah memendam rahasia masing-masing, sudah tentu dirinya sendiri termasuk di antaranya. Kini segala rahasia dari berbagai orang-orang itu seolah-olah lambat-laun akan bakal tiba saatnya terbongkar seluruhnya.

Yap Kay menghela napas, besok masih banyak tugas yang harus dia selesaikan, akhirnya dia berkeputusan untuk tidur lebih dulu. Dia mencopot sepatu, terus menyusup ke dalam selimut dan tidur.

Lalu ditemukannya sebuah pakaian dalam yang berada di dalam selimut. Pakaian dalam perempuan yang dia copoti sendiri. Kalau dianya sudah tiada, kenapa pakaian dalamnya tertinggal di sini? Mungkinkah karena dia teramat gugup dan buru-buru, sampai pakaian dalam pun tak sempat dipakai lagi, ataukah dia diseret orang dan didesak untuk berlalu? Kenapa dia tidak meronta atau berteriak minta tolong? Yap Kay berkeputusan untuk menunggu di sini, menunggu dia pulang. Akan tetapi dia takkan pernah kembali lagi.

Hari sudah subuh, sebentar lagi fajar bakal menyingsing. Pho Ang-soat masih belum bisa tidur.

Be Hong-ling juga tidak tidur. Siau Piat-li dan Ting Kiu masih berada di loteng menikmati araknya. Kongsun Toan juga sedang minum. Di bawah loteng. Seolah-olah semua orang sedang menunggu, menunggu suatu kabar yang misterius.

Ban-be-tong-cu, Hoa Boan-thian, Loh Loh-san dan Sim Sam-nio, dimana mereka? Apakah mereka pun sedang menunggu? Malam ini terasa panjang.

Malam ini delapan belas jiwa orang kembali berkorban

Pasir beterbangan, sesaat sebelum hari terang tanah, alam semesta masih selalu diliputi tabir kegelapan berselimut kabut tebal, hawa terasa amat dingin.

Di tengah deru angin ribut ini, sayup-sayup seperti terdengar derap lari kuda.

Tujuh delapan orang duduk lemas, dengan badan terbungkuk-bungkuk di punggung kuda, semuanya mabuk, untung belum sampai terjungkal roboh. Kuda mereka memang sudah kenal jalan, maka mereka bisa pulang dengan selamat sampai di rumah.

Tukang-tukang kuda yang biasa hidup kesepian ini, sepanjang tahun harus bekerja giat banting tulang berteman binatang, kaku dan paha mereka sudah kebal karena sering tergesek kulit binatang. Sekali tempo menghibur diri ke kota, mabuk-mabukan, boleh dikata mereka sudah tidak punya tempat hiburan yang layak.

Entah siapa di antara rombongan berdelapan orang ini yang menggumam, "Besok bukan giliranku piket, malam ini seharusnya aku mencari cewek-cewek ayu untuk menghibur diri dan tidur semalam suntuk memeluk si dia."

"Siapa suruh kau selalu kantong kosong, punya sedikit uang lantas beli air kuning (maksudnya arak) untuk menuang perut."

"Kalau bayaran besok, aku pasti ingat mengirit beberapa duit."

"Kukira lebih baik kau cari kerbau betina saja untuk melampiaskan kebutuhanmu, yang terang perempuan mana yang mau kau gauli?"

Maka mereka terloroh-loroh geli dan bersorak-sorai. Siapa dapat merasakan kegetiran hidup mereka di dalam nada gelak tawa mereka. Tidak punya uang, tidak punya bini, tak punya rumah. Umpama kata mereka roboh binasa di tengah padang rumput yang liar ini juga takkan ada orang b rsedih dan mengucurkan air mata baginya. Terhitung kehidupan macam apakah ini?

Seseorang di antaranya mendadak mengempit perut kuda kencang-kencang, dengan sekeras tenaganya mengeprak kuda terus membedal ke depan dengan mulut berteriak-teriak kesetanan. Orang lain justru bergelak tertawa geli melihat kelakuannya itu.

"Siau-hek-cu agaknya sudah jadi gila."

"Sedikitnya sudah tujuh delapan bulan tidak pernah menyentuh perempuan, tempo hari yang dia gauli malah nenek-nenek yang sudah kerempeng badannya."

"Kalau perempuan seperti Cui-long dapat menemani aku tidur semalaman, mati pun aku rela." "Aku malah suka Sam-ik, badannya yang montok menggiurkan rasanya bisa kau remas keluar

air teteknya."

Sekonyong-konyong sebuah lolong jeritan berkumandang di tempat gelap sana. Siau-hek-cu yang menerjang kegelapan ke depan itu mendadak menjerit ngeri, lalu terjungkal roboh dari punggung kudanya. Kebetulan tersungkur di bawah kaki seseorang.

Seseorang bagaikan setan gentayangan tiba-tiba muncul dari tempat gelap, tangannya menenteng sebuah golok panjang melengkung peranti menjagal kuda.

Arak yang panas seketika menjadi keringat dingin "Siapa kau? Setan atau manusia?" Orang itu tertawa, ujarnya, "Masakah siapa aku kalian tidak kenal?" Dua orang yang terdepan akhirnya melihat jelas siapa dia, seketika mereka menghela napas lega, katanya mengunjuk tawa berseri, 'O, kiranya Baru saja suaranya keluar, golok jagal itu sudah memapas kutung kepalanya. Darah segar muncrat kemana-mana, sementara itu teman-temannya sudah menyusul tiba, semua orang melotot mengawasi orang ini, sorot matanya mengunjuk ketakutan dan tidak percaya. Sungguh mereka tidak habis mengerti dan hampir tidak percaya akan penglihatannya sendiri, kenapa orang ini mendadak menurunkan tangan jahatnya.

Kuda meringkik dan berjingkrak-jingkrak, orang-orang yang masih ketinggalan hidup serempak menjerit ketakutan. Beramai-ramai mereka putar haluan dan mengeprak kudanya untuk lari. Tapi laksana bayangan setan tiba-tiba orang itu sudah menubruk maju dan bergerak lincah kian kemari sambil mengerjakan goloknya. Dimana goloknya berkelebat jiwa seorang pasti melayang.

Terdengar seseorang menjerit ketakutan. "Kenapa? Sebenarnya apa tujuanmu?"

"Jangan kau salahkan aku, salah kalian sendiri yang terima diperbudak oleh Ban-be-tong-cu."

Dua orang tampak meringkuk di pinggir api unggun, sorot matanya yang redup kelelahan tengah mengawasi wajan di atas api unggun. Air di dalam wajan sudah mendidih, uap putih yang mengepul terhembus buyar ditelan kabut tebal.

Salah seorang pelan-pelan memasukkan dua kerat daging kuda yang sudah kering dan keras itu ke dalam wajan, mendadak dia tertawa, tawa rawan yang menusuk pendengaran.

"Aku dibesarkan di Kanglam, waktu kecil aku selalu bermimpi ingin mencicipi daging kuda, kini terhitung sudah bosan dengan daging yang satu ini." Dengan mengertak gigi dia melanjutkan dengan lebih sedih, "Setelah lanjut usia bila aku harus tetap makan daging kuda, lebih baik aku tinggal di neraka saja."

Temannya yang lain tidak menghiraukan ocehannya, sebelah tangannya pelan-pelan tengah merogoh ke dalam celananya. Waktu tangannya dikeluarkan telapak tangannya sudah berlepotan darah.

"Kenapa? Tergesek pecah lagi? Memangnya nasibmu yang punya kulit daging begitu tipis? Baru hari pertama kau sudah tidak kuat bertahan, besok masa kau masih kuat bertahan?"

Bahwasanya memangnya siapa yang kuat bertahan bercokol di punggung kuda berlari-lari terus selama enam jam tak henti-hentinya. Waktu mulai masih mending, tahap lima jam kemudian, pelana kudanya serasa tumbuh jarum-jarum runcing yang menusuk pantatnya.

Mengawasi telapak tangannya yang berlepotan darah, tak tahan anak muda ini menggerutu, "Loh Loh-san, kurcaci yang dilahirkan anjing, kemana sih kau menyembunyikan diri, sehingga kami harus menderita mencarimu."

"Kabarnya orang ini setan arak, bukan mustahil dia sudah terbanting mampus dari punggung kudanya."

Dalam kemah di sebelah mereka terdengar suara dengkur yang berlainan nada dan suara, air dalam wajan sudah mendidih pula.

Laki-laki yang lebih tua tengah mengumpulkan ranting-ranting kering dimasukkan ke dalam api unggun, lalu dijemputnya setangkai rantai yang lebih besar untuk mengaduk daging dalam wajan. Mendadak dari kejauhan terdengar lari kuda mendatangi. Cepat sekali seseorang menunggang kuda membedal datang dari tempat gelap.

Serempak kedua orang ini meraba gagang pedang seraya berjingkrak berdiri, bentaknya bengis bersama, "Siapa yang datang?"

"Inilah aku!" sahut seseorang di tempat gelap. Suara yang agaknya sudah amat dikenal.

Laki-laki yang lebih muda segera menjeput ranting kayu yang menyala dari api unggun terus diangkat tinggi-tinggi di atas kepala untuk menerangi. Cahaya api menyinari muka laki-laki di atas kuda. Serempak mereka tertawa berseri, sapanya, "Malam sudah larut, kau orang tua kenapa belum lagi istirahat?" "Ada urusan aku dengan kalian." "Urusan apa?"

Tidak ada jawaban, sekonyong-konyong selarik sinar golok menyambar dari atas kuda, kepala laki-laki yang lebih tua seketika terpenggal jatuh, badannya roboh ke atas api unggun menumpahkan isi wajan. Keruan laki-laki yang lebih muda berdiri melongo, saking kaget mulutnya terpentang lebar tak kuasa bersuara.

Kenapa orang ini berbuat sekeji ini terhadap mereka? Sampai mati dia masih belum mengerti.

Dengkur di dalam kemah masih terus berlangsung. Mereka memang sudah bekerja keras sehari, maka tidurnya nyenyak, umpama geledek menggelegar di pinggir kuping mereka, mereka pun takkan tersentak bangun. Kasihan adalah seseorang pertama yang dibikin terkejut dan terbangun, karena dia mendengar suara seperti tapal kuda yang menginjak lumpur, serempak melihat darah segar muncrat beterbangan dari tengah

Baru saja dia ingin minta tolong, tahu-tahu golok orang sudah membacok putus lehernya. Setengah jam lagi fajar akan menyingsing.

Yap Kay memejamkan mata rebah di dalam selimut, seolah-olah sudah pulas.

Pho Ang-soat menggayung seember air dingin, dia sedang mandi Kongsun Toan sudah kebanyakan air kata-kata, dengan langkah sempoyongan dia terseok-seok melangkah keluar, melompat naik ke punggung kudanya.

Pelita di atas loteng sudah padam.

Tinggal Be Hong-ling seorang diri masih membelalakkan mata, dia sedang menunggu dengan sabar.

Ban-be-tong-cu, Hun Cay-thian, Hoa Boan-thian, Loh Loh-san dan Sim Sam-nio?

Di saat banjir darah terjadi di padang rumput, dimanakah mereka? Dimana pula Cui-long sekarang berada?

Dengan kencang tangan Be Hong-ling memegangi selimutnya, badannya basah oleh keringat dingin. Sayup-sayup dia seperti mendengar jerit ngeri jauh di padang rumput sana, kalau dalam keadaan biasa, mungkin dia sudah lari keluar untuk menengoknya. Tapi sekarang dia sudah melihat banyak kejadian yang amat menakutkan, dia tidak berani melihatnya lagi, tidak tega untuk melihatnya.

Hawa dalam rumah amat gerah dan pengap, namun jendela pun dia tidak berani membukanya.

Rumah ini memang dibangun menyendiri dari bangunan-bangunan yang lain, namun bangunannya kokoh kuat dan besar serta luas. Kecuali dua bujang yang sudah lanjut usia, hanya terdapat mereka ayah beranak. Kongsun Toan dan Sim Sam-nio yang menempati rumah besar ini.

Mungkin karena Ban-be-tong-cu hanya mau mempercayai beberapa orang ini saja, tentunya Siau-hu-cu sekarang sudah pulas dalam impian, dua bu inang yang sudah setengah pikun, umpama sudah bangun juga seperti tertidur layaknya.

Kini dalam rumah besar ini tinggal dia seorang diri, sebatangkara di dalam kegelapan membuat dia diliputi ketakutan. Dengan mengertak gigi Be Hong-ling bangun berduduk.

Angin keras menghembus kertas jendela yang baru saja diganti, tiba-tiba sesosok bayangan orang muncul di atas kertas jendela itu. Sesosok bayangan orang yang bertubuh tinggi kurus, terang bukan ayahnya, juga pasti bukan Kongsun Toan. Terasa oleh Be Hong-ling perutnya serasa meringkuk kejang kaku.

Pedangnya tergantung di ujung ranjang.

Bayangan di atas jendela tidak bergerak, seolah-olah sedang memperhatikan suara di dalam rumah, sedang menunggu kesempatan untuk menerjang masuk. Sekeras-kerasnya Be Hong-ling mengertak gigi, pelan-pelan menggeremet mengulur tangan meraih pedang, pelan-pelan pula tanpa bersuara melolos pedang, lalu digenggamnya erat-erat.

Bayangan di jendela mulai bergerak agaknya hendak membuka jendela, keringat dingin yang keluar dari telapak tangan Be Hong-ling yang menggenggam gagang pedang sudah membuat ronce pedangnya basah kuyup. Sedapat mungkin dia mengendalikan diri, supaya tangannya tidak gemetar, lalu pelan-pelan dia himpun semangat dan mengerahkan tenaga, dipusatkan ke telapak tangan yang mencekal pedang. Dia sudah siap melompat dari tempatnya ke arah jendela terus menusukkan pedangnya.

Dalam rumah amat gelap, gerakan yang sudah dia siapkan, maka dia harap orang di luar tidak tahu akan gerak-geriknya ini. Tapi sebelum tusukannya dilancarkan, sekonyong-konyong bayangan di luar jendela itu tahu-tahu sudah lenyap.

Maka dia pun mendengar derap lari kuda yang sayup-sayup dibawa angin. Tentunya orang di luar itupun sudah tahu akan kedatangan orang, maka segera dia menyingkir.

"Akhirnya toh ada orang datang!" Be Hong-ling rebah di atas ranjang, seluruh badannya serasa runtuh seluruhnya. Baru pertama kali dia benar-benar meresapi rasa ketakutan yang tulen seperti ini.

Kemanakah orang di luar jendela tadi? Waktu dia membesarkan nyali, hendak mendorong daun jendela, derap kaki kuda sudah tiba di luar jendela. Ia dengar suara bengis ayahnya yang tertekan sedang memberi perintah, 'Jangan bersuara, ikut aku ke atas!"

Ban-be-tong-cu bukan pulang sendirian! Siapakah yang ikut dia pulang? Yang datang hanya seekor kuda, masakah Ban-be-tong-cu menunggang satu kuda dengan seorang yang lain?

Tengah dia heran dan bertanya-tanya dalam hati, sekonyong-konyong didengarnya suara rintihan perempuan yang lemah, lalu langkah kaki mereka naik ke atas loteng.

Bagaimana mungkin Ban-be-tong-cu pulang membawa seorang perempuan? Dia tahu perempuan ini terang bukan Sam-ik, suara rintihan itu kedengarannya masih genit dari suara perempuan muda.

Baru saja dia berdiri, lalu diam-diam merebahkan diri pula. Dia cukup memahami ayahnya. Semakin tegang urat syarafnya, laki-laki semakin perlu perempuan, laki-laki yang menanjak usianya, semakin perlu dihibur perempuan yang masih muda. Betapapun Sam-ik sudah rada tua.

Tiba-tiba Be Hong-ling merasa dia amat kasihan. Laki-laki bisa sembarang waktu keluar dan pulang membawa perempuan, tapi bila perempuan di tengah malam buta tiada di dalam rumah, sungguh merupakan suatu kejadian yang tak boleh dimaafkan.

Kertas jendela sudah kembali ke warna asalnya, putih menguning. Dimana orang tadi? Sudah tentu orang tidak akan menghilang begitu saja seperti setan yang ketakutan sinar matahari, dia pasti masih bersembunyi di suatu tempat yang tersembunyi, mencari kesempatan dengan kedua jari-jari tangannya yang dingin untuk mencekik leher orang.

"Sasaran pertama kemungkinan adalah aku," tiba-tiba Be Hong-ling dijalari ketakutan, untunglah ayahnya sudah pulang, fajar pun telah menyingsing.

Sebentar dia ragu-ragu, akhirnya dengan menggenggam pedang, telanjang kaki merunduk- runduk keluar, kalau tidak bisa menemukan bayangan hitam tadi, duduk atau berdiri hatinya takkan bisa tenang.

Lampu yang terpasang di serambi panjang sudah padam, masih gelap, amat sunyi.

Kakinya yang telanjang berindap-indap di papan serambi yang dingin, tujuannya hanya ingin menemukan orang itu, namun dia pun takut bila orang itu mendadak muncul di hadapannya.

Saat itu pula, didengarnya suara air dituang. Suaranya berkumandang dari kamar Sam-ik.

Apakah Sam-ik sudah pulang? Atau orang itu yang bersembunyi di sini? Detak jantung Be Hong-ling rasanya bisa mencotot keluar dari rongga dadanya. Dengan kencang dia mengertak gigi, pelan-pelan dan merunduk-runduk maju menghampiri, sekonyong- konyong papan di bawah kakinya berbunyi, "Ngek", hampir saja dia berjingkat saking kagetnya, maka dilihatnya daun pintu Sam-ik terbuka segaris. Sepasang mata yang tajam terang sedang mengawasi dirinya dari belakang pintu. Itulah mata Sam-ik.

Baru sekarang Be Hong-ling menghela napas lega, katanya lirih, "Syukurlah, terima kasih kepada langit dan bumi, akhirnya kau pulang!"

***
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar