Peristiwa Bulu Merak Bab 23 : Kakek Misterius

 
Bab 23. Kakek Misterius

Di belakang kamar, di ujung sana terdapat sebuah kamar pula, di dalam terdengar suara air gemericik. Tak tahan Pho Ang-soat ingin menengoknya ke sana. Pintunya setengah tertutup, hanya sekilas dia melongok, darah panas sekujur badannya seketika mendidih ke pucuk kepalanya.

Kamar belakang itu ternyata adalah sebuah kamar mandi yang dibangun dalam bentuk mewah, juga air dalam bak mandi ternyata masih mengepul panas, di sekitar bak mandi didirikan pagar berukir, di atas pagar itulah bergantung seperangkat jubah putih yang lebar. Seorang berdiri membelakangi dirinya, berdiri di dalam bak mandi, kulit badannya yang putih halus dan mulus laksana sutra, pinggangnya ramping kecil, pinggulnya padat besar dan buah dadanya kelihatan montok membukit, pahanya nan jenjang lurus dengan tumit yang menggiurkan, laksana patung pualam yang diukir amat sempurna.

Pho Ang-soat tak melihat wajahnya, bagian dadanya pun hanya terlihat sedikit, tapi tampak jelas rambut kepalanya yang biasa terurai panjang itu ternyata tak ketinggalan barang selembar pun, kepalanya sudah gundul plontos, bekas selomotan dupa yang menghitam di atas kepalanya kelihatan jelas. Perempuan cantik yang sedang mandi ini ternyata adalah seorang Nikoh.

Bukan Pho Ang-soat tidak pernah melihat perempuan, bukan tak pernah dia melihat perempuan bugil. Tapi Nikoh yang telanjang bulat, ternyata jauh berbeda. Betapa indah perawakan perempuan cantik ini, walau membuatnya terpesona, namun dia tidak berani melihatnya dua kali.

Segera dia berlari keluar, cukup lama jantungnya masih berdebar-debar, setelah jauh dia beranjak baru perasaannya tenang kembali. Dalam hati lantas timbul suatu gejolak pikiran yang aneh.

“Apakah tidak mungkin Nikoh tadi adalah Bing-gwat-sim?” hal ini memang bukan mustahil.

Setelah mengalami berbagai pukulan lahir batin, merasakan kegetiran hidup, bukan mustahil Bing-gwat- sim mencukur rambut menjadi Nikoh.

Tapi Pho Ang-soat tidak berani kembali menyelidiki hal ini.

Pada saat itulah, dia melihat sebuah pintu lagi, pintu yang mirip dengan ukiran, juga kelihatannya hanya dirapatkan saja. Apakah kamar ini tempat tinggalnya semula, susah dia memastikan.

Bukan mustahil dalam kamar inilah Bing-gwat-sim tinggal atau bukan mustahil pula tempat tinggal Coh- hujin yang berhati kejam sejahat ular.

Setelah berada di sini, sudah tentu harus masuk melihatnya. Dia mengetuk pintu, tiada reaksi, perlahan dia mendorong sedikit serta mengintip ke dalam, di dalam ternyata juga terdapat hidangan sepenuh meja.

Saat itu memang waktu makan malam, manusia macam apa pun tiba saatnya memang harus makan. Bau kecut manis dari hidangan di atas meja tercium hidungnya, enam masakan di atas meja dua di antaranya adalah kegemarannya. Setelah berputar-kayun kian kemari, akhirnya kembali ke tempat semula.

Baru saja dia merasa lega, di saat tangannya siap mendorong pintu melangkah masuk, “Biang” daun pintu mendadak tertutup rapat.

Suara perempuan yang dingin berkumandang dari dalam pintu, “Siapa yang berdiri di luar pintu sambil longak-longok seperti panca-longok? Lekas enyah.”

Melonjak jantung Pho Ang-soat, dia kenal suara itu adalah suara Bing-gwat-sim, tak tahan dia bertanya, “Bing-gwat-sim, kaukah?”

Sesaat kemudian, setelah dia menyebut nama sendiri, dia mengira Bing-gwat-sim akan membuka pintu. Tak nyana jawabannya ternyata bernada dingin, “Aku tidak kenal siapa kau, lekas enyah!”

Apakah dia sedang takut dan bingung? Ataukah dibelenggu orang, maka tak berani menerima kedatangannya? Mendadak Pho Ang-soat menggedor pintu, daun pintu yang berukir itu ternyata diterjangnya jebol. Langsung dia menerjang ke dalam, seorang berdiri di depan ranjang sedang mengawasinya dingin, tapi dia bukan Bing-gwat-sim, melainkan Coh-hujin.

*******************

Kelihatannya dia baru keluar dari kamar mandi, badannya yang bugil kelihatan basah dan hanya dibalut secarik handuk, hingga sebagian besar tubuhnya yang menggiurkan amat mempesona terpampang jelas.

Pho Ang-soat menjublek.

Coh-hujin berkata dingin, “Tidak pantas kau main terjang sekasar ini? Kau harus tahu sekarang aku adalah bini orang.” Suaranya kedengarannya mirip dengan suara Bing-gwat-sim.

Pho Ang-soat menatapnya tajam, seolah-olah dia ingin menemukan sesuatu rahasia pada wajahnya. “Aku sudah mengirim Coh Giok-cin ke tempatmu, kenapa kau masih mencariku kemari?” “Karena kau adalah orang yang kucari, kau adalah Bing-gwat-sim.”

Dalam kamar tiada suara, rona muka Coh-hujin juga tidak berubah, seperti dia mengenakan kedok. Mungkin yang terlihat sekarang adalah wajahnya yang asli tapi mungkin juga bukan, tapi semua ini sudah tidak penting.

Karena Pho Ang-soat sekarang sudah mengerti, bagaimanapun tampangnya sudah tidak penting, yang penting adalah dirinya tahu bahwa dia adalah Bing-gwat-sim, hal itulah yang dianggapnya cukup penting. Dia berdiri tak bergerak di depan ranjang, entah berapa lama kemudian dia menarik napas panjang, katanya, “Kau keliru.”

“Kenapa keliru?”

“Di dunia ini hakikatnya tiada seorang yang bernama Bing-gwat-sim, bahwasanya Bing-gwat memang tidak punya hati.”

“Betul,” Pho Ang-soat sependapat. Bing-gwat yang punya hati, memang mirip mawar yang tak berduri, hal itu hanya akan muncul di dalam dongeng belaka.

Coh-hujin berkata, “Mungkin dulu kau pernah melihat Bing-gwat-sim di suatu tempat lain, tapi orang itu seperti juga kekasihmu dahulu yang bernama Jwe Long, sekarang sudah tiada lagi.”

Cinta abadi yang tak terlupakan, luka derita yang abadi pula, mungkin dia tahu bahwa dirinya tak berani menghadapi wajah itu, maka sengaja dia menyamar sedemikian rupa, supaya dirinya tak dapat membongkar kedoknya lagi. Bila berada di tempat terbuka, dimana ada sinar matahari, sengaja dia mengenakan topeng dengan wajah tertawa lebar itu, lalu mendadak dia menghilang, demikian pula Bing- gwat-sim pun lenyap tak keruan parannya, seolah-olah dia tak pernah hidup di dunia ini.

“Sayang sekali kau melakukan satu kesalahan.” “Kesalahan apa?”

“Kau tidak pantas membunuh Coh Giok-cin.”

Orang yang tidak punya cinta, bagaimana bisa punya rasa jelus? Orang yang baru bertemu setengah hari, mana mungkin bisa jatuh cinta?

Wajah Pho Ang-soat yang pucat mulai bersemu merah, katanya, “Kau membunuhnya karena kau amat membenci aku.”

Sikapnya yang semula anggun dan berwibawa itupun mendadak sirna, sorot matanya menampilkan cahaya kebencian dan dendam Seorang yang tidak punya cinta, mana mungkin bisa membenci?

“Bing-gwat-sim ajal lantaran kau, kau justru tidak pernah menyinggungnya. Coh Giok-cin berulang kali berusaha mencelakaimu, kau justru selalu merindukan dia.” Perkataan ini tidak terucapkan olehnya, sekarang memang tidak perlu diucapkan.

Mendadak dia berseru lantang, “Betul, aku membencimu, maka aku ingin kau mampus.” Lalu dia membalik tubuh menerjang ke kamar belakang, “Byur”, air muncrat, seseorang seperti terjun ke dalam air.

Ketika Pho Ang-soat masuk ke sana untuk memeriksa, di bak mandi tiada orang, kamar itupun kosong melompong.

Suara “Srak-srek” pedang tercabut itu masih berkumandang, kedengarannya berada di luar jendela, tapi bila kain korden tersingkap, daun jendela dibuka, bagian luarnya ternyata dihadang tembok tinggi, hanya ada beberapa lubang angin saja. Mengintip keluar dari lubang lubang kecil ini, di luar nampak gelap, entah tempat apa.

Kemana dia? Darimana dia? Jelas dalam kamar kecil ini ada jalan rahasia, namun Pho Ang-soat sudah malas mencarinya. Dia sudah menemukan orang yang ingin dicarinya, juga sudah tahu kenapa dia membunuh Coh Giok-cin.

Maka yang dapat dia lakukan sekarang hanyalah menunggu, menunggu duel yang akan terjadi besok pagi.

Menunggu di sini memang tiada bedanya, tapi dia tidak mau menetap di sini, dia mendorong pintu dan beranjak keluar, suara mencabut pedang itu kedengarannya lebih dekat di lorong panjang ini.

Kenapa harus menunggu sampai besok? Kalau cepat atau lambat duel itu akan diadakan, urusan harus dibereskan, bukankah lebih cepat beres lebih baik, lebih melegakan. Coh-hujin pasti melakukan aksi untuk mengacau pikirannya, supaya hatinya risau, gundah dan gelisah, pikiran tidak tenang. Padahal dirinya tak pernah berbuat salah, walau dia sendiri yang melenyapkan jejak, walau di antara mereka tiada pernah melakukan perjalanan bersama, tapi dia tak pernah mau peduli  segala alasan itu.

Seorang perempuan bila dia ingin membenci seorang lelaki, kapan saja dia bisa mencari ratusan alasan. Di antara persoalan itu, walau banyak yang tak bisa dijelaskan, susah diperoleh jawabannya, kenapa sekarang harus dipikirkan lagi?

Jika dikalahkan oleh Kongcu Gi, sudah tentu persoalan itu dia boleh tidak usah ambil perhatian, terhadap persoalan apa pun, mati adalah jawaban yang paling tepat.

Pada saat itulah dia menemukan pintu lagi, suara pedang tercabut terdengar di belakang pintu.

Kali ini dia benar-benar yakin, suara pedang tercabut pasti berada di dalam pintu. Waktu dia mengulur tangan mendorong pintu, begitu menyentuh daun pintu, seketika dia tahu daun pintu di sini terbuat dari papan besi.

Pintu terpalang dari dalam, didorong tak terbuka, diterjang juga tidak jebol, diketuk juga tidak dibuka.

Di saat dia sudah putus asa dan hendak tinggal pergi, mendadak dilihatnya gelang tembaga yang tergantung di atas pintu ternyata mengkilap terang, jelas gelang ini sering dipegang tangan manusia sehingga mengkilap bercahaya.

Gelang tembaga bukan payudara perempuan, juga bukan barang mainan. Jika tanpa sebab atau alasan, siapa pun takkan sering memegang, apalagi bermain gelang pintu.

Tak lama kemudian Pho Ang-soat sudah menemukan jawabannya. Gelang tembaga ini ternyata bisa diputar ke kanan dan kiri, belasan kali dia mencobanya, maka jawabannya ketemu, pintu besi itu segera terbuka.

Suara pedang tercabut seketika berhenti.

Ketika dia masuk ke dalam pintu, dia tidak menemukan orang yang mencabut pedang, namun dia menghadapi simpanan barang harta besar yang belum pernah dilihatnya selama hidup…..

*******************

Mutiara, zamrud, mata kucing, mutu manikam, kristal air dan berbagai batu permata termasuk berlian, bertumpuk dan bersusun menggunung di dalam kamar ini. Harta dalam ruangan yang besar dan luasnya sukar dibayangkan oleh siapa pun.

Mutu manikam sebanyak ini, ternyata seperti tak berharga sepeser pun oleh pemiliknya. Maka satu peti wadah perhiasan pun tiada di dalam kamar ini, harta benda serba antik dan tak ternilai harganya itu berserakan di lantai, seperti tumpukan sampah yang berkilauan, bertumpuk berkelompok dimana-mana.

Di ujung kamar terdapat sebuah almari besi, daun pintunya digembok dengan gembok besar, entah apa yang tersimpan di dalamnya? Mungkinkah jauh lebih berharga dari mutu manikam yang berserakan itu?

Untuk membuka almari harus membuka gemboknya, untuk membuka gembok harus ada kunci. Tapi ada sementara orang di dunia ini tanpa pakai kunci juga bisa membuka gembok.

Memang tidak banyak ahli kunci demikian, tapi juga tidak sedikit.

Tapi gembok yang satu ini ternyata dibuat sedemikian bagus, jelas dibuat oleh tangan yang betul-betul ahli, pencipta kunci gembok ini pernah mengagulkan diri, orang yang mampu membuka gemboknya itu tanpa menggunakan kunci, di dunia ini tidak akan lebih dari tiga orang.

Karena dia hanya tahu ada tiga Biau-jiu-sin-tho (maling sakti) di dunia ini yang terkenal di luar tahunya, di dunia ini masih ada orang keempat lagi. Dan orang keempat ini adalah Pho Ang-soat.

Tanpa banyak susah-payah, cepat sekali dia sudah berhasil membuka almari besi ini. Di dalam almari tersimpan sebilah pedang dan sejilid buku catatan. Sebatang pedang merah segar, semerah darah segar. Mata Pho Ang-soat memicing, sudah tentu dia kenal baik bahwa itulah pedang mawar Yan Lam-hwi. “Pedang utuh manusia hidup, pedang hancur pemiliknya mampus”, pedang berada di sini, dikemanakan orangnya?

Buku catatan itu sudah rusak dan terlalu lama, jelas seseorang sering membuka lembaran buku ini, buku catatan yang sudah butut dan luntur warnanya, kenapa sedemikian berharga sampai harus disimpan di dalam almari besi.

Sekenanya dia membuka selembar, maka jawaban pun terpampang di depan mata. Dalam lembar ini tertulis:

- Tanggal delapan besar bulan dua, Ong Hong Cong-piauthau Seng-to Piaukiok mohon bertemu, melalaikan tugas upeti terputus, Kongcu kurang senang. Tanggal dua puluh sembilan bulan dua, Ong Hong mati di bawah kuda.

- Tanggal sembilan belas bulan dua jikongcu Lamkiong Ou dari keluarga besar Lamkiong yang sudah turun temurun mohon bertemu, melalaikan tata tertib, tutur katanya tidak sopan. Tanggal dua puluh sembilan bulan dua, Lamkiong Ou mendadak mati setelah minum arak.

- Peng Kui ahli waris Ngo-hou-toan-bun-to menghadap tanggal dua puluh satu bulan dua, tidak becus menunaikan tugas, membocorkan rahasia. Tanggal dua puluh dua bulan dua, Peng Kui bunuh diri.

Hanya melihat beberapa baris tulisan itu, tangan Pho Ang-soat sudah dingin.

Di hadapan Kongcu Gi, peduli kesalahan apa pun yang kau lakukan, ringan atau berat putusan hukumnya sama, yaitu mati.

Hanya mati secara menyeluruh dapat membereskan segala persoalan. Kongcu Gi tidak memberi peluang kepada siapa saja untuk melakukan kesalahan kedua, sudah pasti orang itupun tak diberi kesempatan untuk menuntut balas.

Buku catatan ini merupakan lambang kekuasaannya, lambang kekuatan yang berkuasa untuk menentukan mati hidup seseorang. Kekuasaan seperti ini sudah tentu jauh lebih menyentuh hati siapa saja dibanding harta benda yang tak bernilai itu.

Asal kau bisa menang dalam duel ini, segalanya akan menjadi milikmu, termasuk seluruh kekayaan, kebesaran dan nama, demikian pula kekuasaan. Orang-orang gagah, para enghiong betapa jerih payah mereka bertempur di medan laga, meski tulang-tulang menggunung, mereka tidak pernah gentar, darah mengalir bagai sungai, lalu apa tujuan mereka? Memangnya siapa kuat melawan daya tarik seperti ini?

Pho Ang-soat menghela napas panjang, waktu dia mengangkat kepala, mendadak dilihatnya sepasang mata tengah mengawasi dirinya dari dalam almari. Semula dalam almari ini hanya tersimpan sebatang pedang dan sejilid buku, tapi sekarang tahu-tahu muncul lagi sepasang mata yang lebih tajam dari pisau.

Almari besi berbentuk kotak persegi, tinggi empat kaki, mendadak berubah gelap dan dalam, begitu dalamnya hingga tak terlihat dasarnya. Sepasang mata ini tengah mengawasinya dari tempat yang gelap itu.

Tanpa sadar Pho Ang-soat menyurut dua langkah, telapak tangannya sudah basah oleh keringat dingin. Sudah tentu dia tahu, di balik almari besi sebelah sana tentu juga terdapat sebuah pintu, di luar pintu ada seseorang. Ketika daun pintu di balik sana terbuka, maka orang inipun muncul.

Tapi secara mendadak dia melihat sepasang mata di tempat gelap ini, betapapun dia terkejut dibuatnya. Maka dia pun melihat raut muka orang itu, wajah yang penuh diliputi kerut-merut, rambut dan jenggotnya sudah putih, seorang tua yang sudah kenyang menelan pengalaman hidup. Tapi sepasang matanya itu tampak masih muda, sorot matanya mengandung kecerdikan yang luar biasa serta daya hidup yang amat kuat.

Orang tua itu sedang tersenyum, katanya, “Aku tahu kau punya mata malam (dapat melihat di tengah gelap), tentu kau sudah melihat aku adalah orang tua.”

Pho Ang-soat mengangguk, tanpa bersuara.

“Pertama kali ini kau melihatku, pertama kali pula aku melihatmu,” kata orang tua. Tawanya terasa ganjil, perlahan dia berkata pula, “Aku hanya mengharap inilah yang terakhir pula.”

“Kau pun mengharap aku mengalahkan Kongcu Gi?” “Paling tidak aku tidak mengharap kau mati.” “Kalau aku hidup apa faedahnya untuk dirimu?”

“Tiada faedahnya, aku hanya mengharap duel ini dapat dilangsungkan secara adil.” “Secara adil?”

“Hanya seorang yang betul-betul kuat mencapai kemenangan, baru duel ini boleh dianggap adil,” senyumannya sirna, mukanya yang sudah tua penuh keriput mendadak berubah serius berwibawa, hanya seorang yang biasa suka menggunakan pengaruh dan kekuasaannya saja yang bisa menunjukkan mimik dan sikap demikian. Perlahan dia melanjutkan, “Bagi yang kuat akan memiliki segalanya, hal ini sudah  menjadi hukum alam, kejadian jamak, hanya seorang yang betul-betul kuat baru setimpal dia memiliki segalanya itu.”

Dengan pandangan kaget Pho Ang-soat mengawasi perubahan mimik orang, tak tahan dia bertanya, “Kau beranggapan aku lebih kuat dari dia?”

“Paling tidak kau adalah calon satu-satunya yang dapat mengalahkan dia, tapi sekarang kau terlalu tegang, terlalu lemah.”

Pho Ang-soat membenarkan pendapat orang, sebetulnya dia memang berusaha supaya dirinya tenang  dan tenteram, tapi dia tidak mampu melakukannya.

“Sekarang masih ada delapan jam menjelang duelmu itu, kalau selama ini kau tidak bisa membuat dirimu longgar, bebas dan mengendorkan urat syaraf, maka besok mayatmu akan menggeletak dingin.”

Sebelum Pho Ang-soat berbicara dia sudah melanjutkan, “Keluar dari sini, ke kanan membelok tiga kali, di kamar sebelah kiri ada seorang perempuan rebah di atas ranjang sedang menunggumu.”

“Siapa dia?” tanya Pho Ang-soat.

“Tak perlu kau tanya siapa dia, tak usah kau tahu kenapa dia menunggumu,” sampai di sini suaranya berubah kaku dingin dan tajam, “laki-laki seperti dirimu adalah pantas kalau menganggap perempuan di seluruh dunia ini sebagai alat pelampias belaka.”

“Alat pelampias?” Pho Ang-soat bingung.

“Dia itulah alat pelampias nafsu untuk melonggarkan urat syaraf dan mengendorkan pikiran tegangmu.” Pho Ang-soat diam.

“Kalau kau tidak mau berbuat demikian, setelah keluar pintu kau boleh belok kiri tiga kali, di sana kau akan menemukan sebuah rumah.”

“Ada apa di dalam rumah itu?” “Peti mati.”

Pho Ang-soat menggenggam kencang goloknya, katanya, “Siapa kau sebetulnya, berdasar apa kau memerintah aku?”

Orang tua itu tertawa lagi, tawa yang ganjil dan misterius. Bila senyuman itu tersimpul di wajahnya, maka wajah itupun lenyap ditelan kegelapan, seperti tak pernah muncul.

Menginjak tumpukan perhiasan mutu manikam yang berserakan dan menggunung itu, Pho Ang-soat beranjak keluar pintu tanpa menoleh lagi. Tumpukan harta yang tak ternilai itu dalam pandangannya seperti sampah busuk belaka.

Begitu berada di luar pintu, dia lantas membelok ke kiri tiga kali, setelah dia membelok dia menemukan sebuah pintu. Sebuah kamar kosong, di dalamnya hanya ada sebuah peti mati, peti mati yang terbuat dari kayu yang berkwalitas tinggi, panjang lebar dan tingginya seperti sudah diukur persis untuk perawakan Pho Ang-soat.

Di atas peti menggeletak seperangkat pakaian hitam, ukurannya ternyata cocok dengan potongan badannya. Ternyata peti dan pakaian ini memang disediakan untuk dirinya, setiap urusan sudah disediakan dan disiapkan dengan rapi.

Jelas bukan pertama kali mereka melakukan tugas ini, malah dia bisa membayangkan setelah dia mati, di dalam buku catatan itu juga akan ditambah tulisan baru ....

Tanggal berapa bulan berapa Pho Ang-soat datang menghadap, terlalu tegang dan kelelahan, pongah dan goblok. Kongcu Gi kegirangan. Tanggal sekian bulan sekian, Pho Ang-soat mati di bawah pedangnya. Sudah tentu catatan di dalam buku itu tidak bisa melihatnya, bagi yang bisa membacanya tentu hatinya girang.

Peti mati itu terasa dingin dan keras, catnya yang masih baru mengkilap di kegelapan. Mendadak dia membalik tubuh terus berlari keluar, kembali ke dalam gudang harta itu, di dalam berkumandang pula “Srak, srek” dari pedang dicabut dari sarungnya. Tapi dia tidak berhenti, langsung dia membelok ke kanan tiga kali, langsung dia mendorong daun pintu di sebelah kiri.

Di balik pintu gelap-gulita, tiada yang bisa terlihat, namun hidungnya mengendus bau harum. Dia melangkah masuk, lalu menutup pintu. Dia tahu dimana letak ranjang, sekarang dia sudah mendengar detak jantungnya sendiri.

Apa betul di atas ranjang ada orang? Siapa dia? Seorang yang hidup dan segar bugar mana boleh dijadikan alat, tapi dia insyaf perkataan orang tua itu memang benar dan dia memang amat membutuhkan. Bila seseorang ingin mengendorkan urat syaraf yang terlalu tegang, memang cara itulah yang paling manjur.

Kamar ini sunyi senyap, akhirnya dia mendengar suara napas seorang lain. Suara napas yang perlahan teratur, selembut hembusan angin lalu di musim semi.

Tak tahan dia bertanya, “Siapa kau? Kenapa kau menungguku?” Tiada jawaban.

Terpaksa dia maju menghampiri, ranjang berkasur empuk dan hangat, dia mengulur tangan, terasa badan yang halus dan mulus, selembut sutra nan hangat menggairahkan. Ternyata dia sudah telanjang bulat. Di kala tangannya menyentuh perutnya yang datar dan lembut, jantungnya berdetak keras, napas pun mulai memburu. Dia bertanya pula, “Kau tahu siapa aku?”

Tetap tiada jawaban, tapi sebuah tangan telah menggenggamnya.

Terlalu lama lepas dari pergaulan ranjang, nafsu yang sudah lama terkekang dan belum pernah terlampias menjadikan perasaannya terlalu

sensitif, betapapun dia adalah lelaki normal yang baru menanjak setengah umur.

Perubahan terjadi pada tubuhnya, napas yang tersengal sudah mulai berubah menjadi rintihan lembut, rintihan yang merangsang birahinya. Mendadak Pho Ang-soat seperti tenggelam di dalam hiburan yang menyenangkan, kenikmatan yang hangat. Badannya yang empuk, dadanya yang kenyal sehangat sinar mentari pagi di tengah padang rumput yang menyinari embun yang menguap, bukan saja menerima juga memberi, saling isi.

Tenggelam dalam kenikmatan, seolah-olah dia terbayang saat pertama kali menikmati surga dunia seperti ini dulu. Waktu itu juga dalam kamar yang gelap, perempuan lawan mainnya juga sudah matang dan berpengalaman, juga mendambakan kesenangan yang tiada taranya.

Tapi dia memberikan kenikmatan ini bukan lantaran cinta, tapi adalah untuk membuatnya menjadi seorang laki-laki. Karena saat itu adalah menjelang dia menuntut balas.

Hari kedua waktu dia bangun, ternyata memang terasa kondisinya jauh lebih fit, lebih bergairah dari sebelumnya, daya tahannya lebih tebal dan kuat. Manusia memang serba aneh, setelah terlampias, ada kalanya malah membuat orang lebih padat, lebih kuat.

Padang rumput yang lembab basah sedang bergerak, bergesek dan menggelinjang lembut. Pho Ang-soat mengulur tangan, mendadak dirasakan perempuan telanjang bulat ini membungkus kepalanya dengan secarik kain halus. Kenapa dia membalut kepalanya?

Mungkin dia tidak boleh menjambak rambutnya, atau mungkin kuatir rambutnya yang panjang mengganggu jalannya adegan yang merangsang ini? Atau hakikatnya dia memang tidak punya rambut?

Terbayang tubuh mulus di dalam bak mandi itu, terbayang rasa dosa dalam benaknya. Tapi rasa dosa itu sekarang justru menimbulkan kejutan pada gerakannya yang makin keras. Maka dia tenggelam dalam  kenikmatan lahiriah yang sudah lama belum pernah dirasakan, nafsu birahi yang terlampias. Akhirnya sekujur badannya lunglai, perasaan longgar, tiada ketegangan lagi…..

******************* Akhirnya dia bangun.

Sekian tahun belum pernah dia tidur sepulas dan sesegar ini, begitu bangun, di sampingnya sudah tiada orang. Bantal di sebelahnya masih terasa harum, kenikmatan yang dirasakan semalam sekarang sudah tak bisa ditemukan lagi laksana sebuah impian di musim semi.

Dalam kamar ternyata sudah ada pelita, di atas meja sudah disediakan sarapan. Di atas pagar di pinggir bak mandi masih tergantung jubah putih yang longgar dan besar. Mungkinkah perempuan yang semalam

... dia melarang dirinya memikirkan lebih lanjut, setengah jam lamanya dia berendam di dalam bak mandi yang hangat airnya, setelah gegares hidangan yang tersedia, maka kondisinya sekarang sudah amat fit, kesegaran yang tercapai dari kenikmatan, sekarang dia sudah mempunyai segala kekuatan untuk menghadapi segala tantangan.

Pada saat itulah, pintu terbuka, Coh-hujin berdiri di depan pintu, dingin tatapan matanya, sorot matanya yang jeli bening mengandung cemoohan, katanya dingin, “Kau sudah siap?”

Pho Ang-soat manggut-manggut. “Baik,” ujar Coh-hujin. “Ikut aku.”

Suara mencabut pedang sudah berhenti, lorong panjang ini dicekam keheningan laksana di sebuah pekuburan.

Coh-hujin berjalan di depan, pinggangnya begitu lemas, pinggulnya seperti menggoda birahinya, gayanya yang mempesona memang cukup memabukkan.

Tapi dalam pandangan Pho Ang-soat sekarang, dia tidak lebih cuma seorang perempuan biasa, tiada perbedaan dengan perempuan kebanyakan di dunia ini. Karena sekarang dia sudah tenang dan mantap, setenang pisau, sekokoh batu gunung. Dia memang perlu ketenangan.

Kongcu Gi menunggu dirinya di balik sebuah pintu di depan, mungkin pintu inilah yang terakhir dapat dia masuki selama hidup ini.

Coh-hujin berhenti, lalu membalik badan mengawasinya, mendadak tertawa dan berkata, “Sekarang kalau kau ingin melarikan diri, aku bisa memberikan petunjuk lewat jalan mana kau akan bisa lolos.” Tawanya agung dan anggun, suaranya merdu nyaring dan lembut.

Tapi Pho Ang-soat sudah tidak melihat dan mendengarnya, dia mendorong pintu lalu melangkah lurus ke dalam, gaya jalannya masih tetap kaku dan jelek. Tapi tiada suatu kejadian apa pun di dunia ini yang mampu menghentikan langkahnya.

Sudah tentu dia masih memegang goloknya. Tangan yang memucat karena menggenggam terlalu keras, golok yang hitam legam.

Tangan Kongcu Gi tidak memegang pedang, pedang di atas panggung tak jauh di pinggirnya. Pedang  yang merah segar, merah darah. Dia berdiri miring menggelendot di panggung batu, mukanya masih mengenakan topeng hijau, sorot matanya yang dingin, jauh lebih menakutkan.

Pho Ang-soat justru seperti tidak melihat, bukan saja tidak melihat orangnya, juga tidak melihat pedangnya. Mereka sudah mencapai lupa segalanya.

Itulah tuntutan paling rendah terhadap diri sendiri, tiada mati hidup, tiada menang kalah, tiada orang, tiada aku. Ini bukan saja taraf tertinggi bagi seseorang menjadi manusia, juga taraf tertinggi yang harus dicapai oleh setiap insan persilatan.

Hanya di waktu lahir batin bersih dan suci, seseorang baru bisa menggunakan ilmu golok yang melampaui segalanya. Bukan saja harus melampaui bentuk, juga harus dapat melampaui batas waktu. Apakah benar dia dapat melakukan hal ini?”

Obor menyala besar dan benderang.

Topeng tembaga hijau yang dipakai Kongcu Gi kelihatan mengkilap ditimpa cahaya obor, seolah-olah juga punya nyawa, karena mimik dan sikap mukanya kelihatan selalu berubah. Tapi sorot matanya justru teramat dingin, mendadak dia bertanya, “Apakah kau sudah berkeputusan untuk mengabaikannya?”

“Mengabaikan apa?” tanya Pho Ang-soat. “Mengabaikan hakmu memilih saksi,” ucap Kongcu Gi. Pho Ang-soat diam sekian lamanya, akhirnya berkata perlahan, “Aku hanya ingin mencari seorang.” “Siapa?”

“Seorang tua di dalam almari besi.”

Sorot mata Kongcu Gi seketika menampilkan perubahan yang ganjil, namun cepat sekali sudah pulih  dingin dan kaku, katanya, “Aku tidak tahu siapa yang kau maksud?”

Sebetulnya jelas dia tahu, tapi Pho Ang-soat tidak ingin mencari keributan, katanya tandas, “Baiklah, kalau begitu kuabaikan.”

Kongcu Gi seperti merasa lega, katanya, “Kalau demikian, terpaksa keenam saksi ini akulah yang memilih.” “Boleh saja.”

“Orang pertama adalah aku, kau menentang tidak?” kata Coh-hujin. Pho Ang-soat geleng kepala.

“Orang kedua adalah Tan-toalopan,” ujar Kongcu Gi.

Di luar pintu seorang segera berteriak, “Silakan Tan-toalopan.”

Dapat menjadi saksi dalam duel ini, sudah tentu harus seorang yang betul-betul mempunyai asal-usul dan kedudukan, padahal orang yang setimpal untuk jadi saksi tidak banyak. Tapi Tan-toalopan yang satu ini justru kelihatan awam, seorang laki-laki yang lamban dan kelihatan bodoh, raut mukanya yang bundar gemuk walau selalu mengulum senyum ramah, namun senyumannya tak urung menampilkan rasa takut hatinya.

Kongcu Gi berkata, “Tentunya kau kenal baik dengan Tan-toalopan ini.” “O, ya,” pendek suara Pho Ang-soat.

“Tan-toalopan yang satu ini juga kenal kau.”

Tan-toalopan segera mengunjuk seri tawanya, katanya, “Aku kenal, setahun yang lalu kami sudah bertemu di Hong-hong-kip.”

Kota mati yang sudah usang dan serba kotor serta bobrok, merek warung yang sudah luntur warnanya masih melambai ditiup angin.

Arak tua simpanan bertahun-tahun khusus bikinan warung arak Tan yang terkenal.

Sudah tentu Pho Ang-soat kenal orang gendut ini, tapi dia seperti tidak mendengar dan tidak melihatnya. Ternyata Kongcu Gi juga tak acuh, tanyanya tawar kepada Tan-toalopan, “Kalian kenal baik?”

“Kenal baik sih tidak, hanya pernah bertemu sekali saja,” sahut Tan-toalopan. “Hanya pernah melihat sekali, tapi kau sudah mengingatnya.”

Tan-toalopan tampak bimbang, katanya, “Karena sejak tuan ini berkunjung ke warungku, perusahaan lantas bangkrut, Hong-hong-kip juga hancur lebur, aku ... aku Seolah-olah tenggorokannya mendadak menjadi kering dan gatal, maka dia terbatuk-batuk, makin lama batuknya makin keras dan sesak hingga otot hijau merongkol di jidatnya, air mata pun meleleh dari ujung matanya.

Untung Kongcu Gi sudah mengulap tangan, katanya, “Silakan duduk.”

Coh-hujin segera maju membimbingnya, katanya lembut, “Mari duduk di sana, selama gunung tetap menghijau, jangan kuatir kehabisan kayu bakar, kejadian yang sudah lampau, tak usah kau taruh dalam hati.”

“Aku tidak ... tidak akan ...” sebelum habis dia bicara, mendadak Tan-toalopan sudah menangis tergerung- gerung.

Dua jago paling top yang tiada tandingan di dunia masa itu akan berduel, yang menjadi saksi malah menangis tergerung-gerung, jarang ada kejadian seperti ini.

Kongcu Gi tidak memperlihatkan perubahan sikap, katanya, “Bukan saja Tan-toalopan berwatak jujur, sederhana dan dermawan, dia pun banyak pengalaman dan luas pengetahuan, sebagai saksi dia Cukup setimpal dan jarang ditemukan orang seperti dia.” “Ya,” Pho Ang-soat mengiakan. Suaranya tenang dan datar, seperti hal ini memang sudah jamak.

Ternyata Kongcu Gi juga tidak menampilkan rasa kecewa, katanya, “Saksi ketiga adalah majikan Cong-tin- kek Ni Po-hong, Ni-losiansing.”

Seorang petugas di luar pintu segera tarik suara lagi, “Ni-losiansing, persilakan.”

Seorang tua berjubah sutra dengan corak warna yang mewah beranjak masuk sambil membusung dada, sorot matanya penuh diliputi kebencian dan dendam.

Memang siapa saja bila melihat pembunuh putra dan putrinya berdiri di depan mata, tapi tanpa bersuara atau komentar lantas duduk, memang kejadian yang sukar dilakukan orang lain.

Ni Po-hong sudah duduk di kursinya, duduk di sebelah Tan-toalopan yang masih bercucuran air mata, masih mendelik ke arah Pho Ang-soat.

Kongcu Gi berkata, “Ni-losiansing adalah Bu-lim Cianpwe, bukan saja pandai menilai pusaka, dia pun pandai menilai orang.”

“Aku tahu,” ujar Pho Ang-soat.

“Bisa menarik Ni-losiansing untuk menjadi saksi duel kami sungguh merupakan kehormatan dan kebanggaan bagi kami.”

“Betul.”

“Tiga orang saksi yang kuundang ini, tiada yang kau tentang?” Pho Ang-soat geleng kepala.

“Duel antara dua jago kosen, sedikit kesalahan berakibat fatal, oleh karena itu perasaan hati pun tidak boleh terpengaruh sedikitpun.”

“Aku tahu,” ucap Pho Ang-soat. “Mereka tidak akan mempengaruhi dirimu?” “Tidak.”

Kongcu Gi menatapnya, sorot matanya tidak menampilkan rasa kecewa.

Demikian pula rona muka Pho Ang-soat tidak memperlihatkan perubahan. Peduli ketiga orang itu adalah musuh besarnya atau kekasihnya, mereka menangis atau tertawa, persetan, tiada sangkut-pautnya dengan dirinya, karena dia tidak ambil peduli, tidak mendengar juga tidak melihat. Apakah duel kali ini adil atau tidak, dia juga tidak peduli, dia tidak ambil perhatian.

Dari kejauhan Coh-hujin mengawasinya, demikian juga Ni Po-hong dan Tan-toalopan juga sedang menatapnya, sikap dan mimik mereka tampak aneh dan lucu, entah kaget dan heran, atau karena takut dan ngeri? Atau mungkin juga kagum?

Kongcu Gi ternyata masih bersikap wajar, katanya, “Orang keempat adalah Ji-gi Taysu dari Kui-hoa-san.” Maka petugas di luar pintu kembali tarik suara, “Ji-gi Taysu persilakan.”

Melihat orang ini beranjak masuk pelan-pelan, rona muka Pho Ang-soat berubah seketika, seumpama sebuah tanggul besar yang kokoh mendadak jebol diterjang air bah…..

*******************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar