Peristiwa Bulu Merak Bab 22 : Kongcu Gi

 
Bab 22. Kongcu Gi

Orang macam apakah Kongcu Gi sebenarnya? Apakah tangannya memegang pedang? Pho Ang-soat tidak menoleh, juga tidak bergeming. Dia tidak boleh bergerak.

Karena dia sudah merasakan adanya hawa membunuh yang kuat tak terlawankan, tiada lubang yang bisa dimasukinya. Maka bila dia bergerak, entah dengan gerak apa, kemungkinan lawan akan memperoleh kesempatan untuk turun tangan. Umpama gerakkan mengejang dari urat daging di badannya sekalipun, juga kemungkinan akan mengundang kesalahan yang fatal.

Walaupun dia tahu manusia macam Kongcu Gi pasti takkan sudi menyerang lawan dari belakang, tapi dia tidak bisa tidak harus bersiaga.

Mendadak Kongcu Gi tertawa, nada tawanya pun sopan dan ramah, katanya, “Memang tidak malu sebagai jago kosen tiada bandingan di kolong langit.”

Pho Ang-soat mempertahankan ketenangan, dia tetap bersikap kalem dan diam.

Coh-hujin mengedipkan kedua matanya, katanya, “Bergeming pun tidak, darimana kau bisa menilai bahwa dia seorang kosen?”

“Justru karena dia tidak bergeming, maka dia adalah orang kosen yang tiada bandingan di dunia ini.” “Apakah tidak bergerak lebih sukar dari bergerak?”, tanya Coh-hujin.

“Jauh lebih sukar.” “Aku tidak mengerti.”

“Kau harus tahu, kalau kau menjadi Pho Ang-soat, mendadak tahu aku sudah berada di belakangmu, lalu bagaimana reaksimu?”

“Aku pasti amat kaget.” “Kaget jelas akan mengurangi kesiap siagaan, maka dia pasti akan bergerak.” “Ya, memang.”

“Begitu kau bergerak, maka kau pasti mati.” “Lho, kenapa?”

“Karena hakikatnya kau tidak tahu dari arah mana aku akan turun tangan, oleh karena itu kemana pun kau bergerak, kau akan melakukan kesalahan yang mengundang kematian.”

“Seorang lawan seperti dirimu, bila mendadak berada di belakang orang, siapa pun orang itu pasti akan merasa tegang, umpama dia tidak bergerak, kulit daging di punggungnya juga pasti akan mengejang.”

“Tapi dia tidak. Walau aku sudah lama berdiri di belakangnya, sekujur badannya tiada menunjukkan perubahan apa-apa.”

Akhirnya Coh-hujin menghela napas, katanya, “Sekarang aku betul-betul paham, tidak bergerak memang lebih sukar daripada bergerak.”

Jika kau tahu ada musuh setangguh Kongcu Gi berdiri di belakangmu, sekujur badanmu masih longgar dan tiada perubahan sedikitpun, maka urat syarafmu pasti lebih dingin daripada salju.

Mendadak Coh-hujin bertanya pula, “Dia tidak bergerak, apakah kau tidak punya peluang untuk menyerangnya?”

“Tidak bergerak berarti bergerak, titik terakhir dari segala perubahan gerak itu adalah tidak bergerak.”

“Terlalu banyak lubang kelemahan, akhirnya berubah tiada lubang kelemahan, karena bila sekujur badan seperti sudah kosong, hampa tanpa isi, maka kau takkan tahu darimana kau harus turun tangan.”

Kongcu Gi tertawa, katanya, “Aku yakin akhirnya kau pasti tahu akan hal ini.”

“Aku juga tahu kau pasti takkan turun tangan, kalau kau mau membunuhnya dari belakang, banyak peluang lebih baik daripada kesempatan yang kau peroleh sekarang ini,” dengan tersenyum dia melanjutkan, “karena tujuanmu bukan ingin membunuhnya, tapi mengalahkan dia.”

Mendadak Kongcu Gi menghela napas, katanya, “Untuk membunuhnya gampang, mau mengalahkan dia jauh lebih sukar.”

Akhirnya dia beranjak ke depan lewat samping Pho Ang-soat…..

*******************

Langkahnya tenang, enteng dan mantap.

Hanya sekejap itu, mendadak Pho Ang-soat merasa dirinya seperti bebas merdeka, keringat dingin ternyata sudah membasahi sekujur badan. Hal ini tidak boleh diketahui oleh Kongcu Gi, maka mendadak dia berkata, “Kenapa kesempatan baik kau abaikan, malah mencari kesulitan?”

Tajam suara Kongcu Gi, “Karena kau adalah Pho Ang-soat dan aku adalah Kongcu Gi.”

Sekarang akhirnya Kongcu Gi berhadapan dengan Pho Ang-soat, namun Pho Ang-soat tetap belum melihat wajahnya yang asli.

Dipandang dari arah punggung, gaya dan perawakannya kelihatan tegap dan gagah, tiada lubang sasaran untuk diserang. Tapi dia justru mengenakan topeng hijau yang beringas, seram dan jelek.

Dingin suara Pho Ang-soat, “Ternyata Kongcu Gi adalah seorang yang tidak berani memperlihatkan tampang aslinya di depan orang.”

Coh-hujin menimbrung, “Kau keliru lagi.” Pho Ang-soat menyeringai dingin.

“Yang kau lihat sekarang adalah wajah asli dari Kongcu Gi,” ucap Coh-hujin. “Tapi yang kulihat tak lain adalah sebuah topeng belaka.” “Memangnya aku tidak mengenakan topeng di mukaku? Memangnya sejak dilahirkan kau sudah berwatak dingin kaku dengan muka pucat seperti itu? Apakah itu bukan kedok mukamu?”

Terkatup pula mulut Pho Ang-soat.

“Sebetulnya kau mengerti, bagaimanapun tampangnya tidak penting, cukup asal kau tahu dia adalah Kongcu Gi, hal inilah yang terpenting.”

Ini memang kenyataan, Pho Ang-soat pun tak bisa tidak harus mengakui, karena dia tidak bisa tidak bertanya kepada diri sendiri.

Keadaanku sekarang, sebetulnya apakah wajah asliku? Lalu seperti apa sebetulnya wajah asliku?

Tawar suara Kongcu Gi, “Aku tidak ingin melihat wajah aslimu, cukup asal aku tahu bahwa kau adalah Pho Ang-soat.”

Pho Ang-soat menatapnya lekat-lekat, cukup lama kemudian baru dia berkata tandas, “Sekarang kau sudah tahu kalau aku adalah Pho

Ang-soat, aku tahu kau adalah Kongcu Gi.”

“Karena itu ada satu hal harus kami bereskan sekarang.” “Soal apa?”

“Di antara kami berdua, hanya ada satu orang boleh tetap hidup.” Walau suaranya berubah dingin kaku, tapi nadanya masih sopan, agaknya terlalu percaya kepada diri sendiri, “Siapa kuat, maka dia akan tetap hidup.”

“Kelihatannya hanya ada satu cara untuk membereskan persoalan ini.”

“Betul, hanya ada satu cara, sejak dulu memang hanya ada satu cara.” Dia mengawasi golok di tangan  Pho Ang-soat, “Oleh karena itu dengan tanganku sendiri aku harus mengalahkan engkau.”

“Kalau sebaliknya, maka kau rela mati.”

Mendadak sorot mata Kongcu Gi menampilkan perasaan sedih yang memilukan, katanya, “Ya, kalau sebaliknya, maka aku harus mampus.”

“Aku tidak paham,” ujar Pho Ang-soat.

“Kau harus mengerti, aku tidak ingin orang lain membunuhmu, karena aku ingin membuktikan bahwa aku lebih kuat dari kau. Aku harus menjadi manusia terkuat di dunia, kalau gagal aku rela mati.” Suaranya bernada menyindir dan mencemooh, “Bu-lim seumpama sebuah kerajaan yang berdiri tunggal,  hanya boleh ada satu raja yang berkuasa, kalau bukan aku adalah kau.”

“Kali ini, kukira kau yang salah.”

“Aku tidak salah, banyak persoalan dapat dibuktikan, kecuali aku, kau adalah orang yang memiliki kungfu tertangguh di dunia ini.” Mendadak dia membalik tubuh menghadap gambar lukisan besar yang tergantung di atas dinding, perlahan dia melanjutkan, “Kau dapat masuk ke rumah ini dengan tetap segar bugar, bukan suatu kejadian kebetulan, bukan kenyataan yang mudah dilakukan, juga bukan nasibmu mujur.”

“Ya, memang bukan,” ucap Coh-hujin menghela napas.

Orang atau tokoh-tokoh yang tergambar dalam lukisan itu cukup banyak, setiap orangnya dilukis dengan hidup dan bagus, yang digambar seperti petilan-petilan cerita.

Di setiap petilan cerita pasti terdapat seorang yang sama, orang itu adalah Pho Ang-soat. Begitu dia berhadapan dengan gambar lukisan itu, maka pandangan pertama lantas melihat dirinya.

Cuaca mendung, sebuah kota kecil di pinggir perbatasan, di tengah jalan raya ada dua orang sedang bertempur sengit. Kedua orang berpakaian putih laksana salju, tangan mereka memegang sebatang pedang merah laksana darah, seorang memegang golok hitam legam. 

“Tentu kau masih ingat, itulah di Hong-hong-kip,” kata Kongcu Gi.

Sudah tentu Pho Ang-soat ingat, waktu itu Hong-hong-kip belum berubah jadi kota mati, waktu itulah pertama kali dia bertemu dengan Yan Lam-hwi.

“Dalam pertarungan itu kau mengalahkan Yan Lam-hwi,” kata Kongcu Gi. Pada gambar kedua Hong-hong-kip sudah menjadi kota mati, di tengah kepulan asap tebal, dua orang tampak berlutut di depan Pho Ang-soat.

“Dalam pertarungan itu, kau mengalahkan Ngo-heng-siang-sat,” ucap Kongcu Gi pula.

Maka beruntun adalah kejadian ular beracun di bawah pelana, roti kering beracun dari Kwi-gwa-po, arak beracun dari Bing-gwat-lou. Di dalam kebun keluarga Ni yang sudah belukar, seorang pemuda  bertelanjang kaki pelan-pelan roboh di bawah goloknya.

“Sebetulnya Toa Lui adalah jagoan lihai yang jarang didapat di Kangouw, ilmu goloknya diyakinkan dari hidupnya yang menderita, walau perbuatannya belakangan agak congkak dan berlebihan, aku tetap tak habis pikir sekali tabas kau membunuhnya.”

“Ilmu golok untuk membunuh orang memang hanya sekali tabas belaka.”

“Betul, otak bergerak secara reflek, tangan pun bergerak belakangan mengenai sasaran lebih dulu, dengan tidak berubah untuk menghadapi laksaan perubahan, maka sejurus serangan golok memang sudah lebih dari cukup.”

Bukan saja jurus golok itu sudah melampaui segala gerak persoalan dari tipu dan jurus yang ada, dia pun sudah melampaui bentuk, gaya dan batas kecepatan.

Coh-hujin berkata, “Yang membuatku lebih tidak menduga adalah, ternyata kau masih mampu melarikan diri dari kamar batu bawah tanah di perkampungan merak itu.”

Khong-jiok-san-ceng sudah berubah menjadi puing-puing, kini Coh Giok-cin muncul dalam lukisan.

Thian-ong-cam-kui-to membelah kuda yang sedang berlari kencang, sang koki gendut yang sedang mengiris daging kuda. Bing-gwat-sim dan Coh Giok-cin diantar masuk ke kamar batu di bawah tanah  dalam Khong-jiok-sang-ceng. Kongsun To muncul, Coh Giok-cin melahirkan putra-putrinya di dalam kamar bawah tanah itu Melihat sampai di sini, kaki tangan Pho Ang-soat menjadi berkeringat dingin.

Coh-hujin berkata, “Dia merupakan seutas tali, sebetulnya kami ingin memakainya untuk mengikat kau, jika dalam hatimu selalu merindukan dia dan kedua orok itu, maka tanganmu berarti sudah kami belenggu.”

Seorang yang kedua tangannya terbelenggu, sudah tentu tidak setimpal Kongcu Gi turun tangan sendiri.

Coh-hujin menghela napas, katanya, “Tapi kami kembali merasa di luar dugaan, dalam keadaan seperti itu, kau masih mampu membunuh Thian-ong-cam-kui-to.”

Jari-jari Pho Ang-soat menggenggam kencang, desisnya, “Waktu itu kalian sudah siap membiarkan dia memperlihatkan kedok aslinya, kenapa masih membiarkannya membunuh Toh Cap-jit?”

“Karena kami masih ingin memperalat dia melakukan tugas terakhir.”

“Kalian ingin menggunakan kedua anaknya itu untuk memaksa aku menyerahkan Thian-te-kiau-ceng Im- yang-toa-pi-bu?”

Coh-hujin manggut-manggut, katanya, “Sampai saat itu baru kami percaya Im-yang-toa-pi-bu hakikatnya tidak terjatuh di tanganmu, karena kami tahu untuk mempertahankan hidup kedua bocah itu, kau rela mengorbankan segala milikmu.”

Setelah menghela napas, dia berkata pula, “Hanya sayangnya walau kau sudah berhasil meyakinkan Tay- ih-hiat-hoat, ternyata kau tidak mati di tangannya, lebih disayangkan lagi, kau tidak tega membunuhnya.”

*******************

Maka di atas gambar muncullah gadis yang mengenakan kembang melati itu, dengan sendok dia tengah memasukkan kuah ayam ke dalam mulut Pho Ang-soat. Nenek bungkuk di sebelahnya sedang menyembelih ayam, Siau Thing gadis yang berkalung kembang melati sedang membeli arak di warung kecil di pojok jalan, pemilik warung yang gendut dengan perutnya yang buncit sedang menyeringai tawa penuh nafsu sambil mengawasi dadanya. Tapi dirinya sedang mabuk dan telentang di dalam kamar yang biasa dipakai berbuat mesum itu, seolah-olah sudah terbiasa dengan kehidupan yang serba kotor dan rendah itu. Coh-hujin berkata, “Waktu itu kami mengira kau sudah tamat, umpama kau masih bisa membunuh orang, paling kau hanyalah algojo yang sudah edan, tak perlu dan tidak setimpal Kongcu menghadapimu.”

Yang akan dihadapi Kongcu Gi adalah jago kuat nomor satu di Bu-lim.

“Jika kau bukan orang terkuat nomor satu dalam Bu-lim, umpama kau mampus di selokan, kami juga tidak akan peduli, oleh karena itu kami sudah siap mencari orang untuk membunuhmu.”

“Sayang sekali orang yang dapat membunuhku tidak banyak,” ucap Pho Ang-soat. “Paling tidak kami tahu ada satu.”

“Siapa?” “Kau sendiri.”

Segera terbayang oleh Pho Ang-soat akan suara jerit keputus-asaan, suara yang mampu meruntuhkan semangat juang kehidupan yang menyeluruh. Siapa pun takkan menyangka dalam keadaan seperti itu, ternyata dia masih punya keberanian untuk bertahan hidup. Mungkin lantaran bekal keberanian itulah maka dia tetap hidup sampai sekarang. Jika dia sendiri dapat mengalahkan dirinya, kenapa Kongcu Gi harus turun tangan?

Kongcu Gi berkata, “Karena itu sekarang pasti kau sudah mengerti, kau bisa hidup dan berada di sini, pasti bukan bernasib mujur.”

Pho Ang-soat bertanya lagi, “Kau berbuat demikian, hanya karena kau harus membuktikan bahwa kau  lebih kuat dari aku?”

“Betul,” ucap Kongcu Gi, rona matanya mendadak menampilkan rasa sedih, tapi juga mengandung cemoohan, “Karena hanya orang yang terkuat saja dapat menikmati semua itu, jika kau dapat mengalahkan aku, segala itu akan menjadi milikmu.”

“Segalanya?” Pho Ang-soat menegas.

“Segalanya, maksudnya adalah seluruh yang ada, di antaranya bukan saja termasuk harta benda atau kekayaan, kebesaran nama dan kekuasaan, malah termasuk pula diriku.” Lalu dia tertawa, tawa yang manis lembut, “Asal kau dapat mengalahkan dia, aku pun akan menjadi milikmu.”

Ketika daun pintu itu didorong terbuka, di luar adalah sebuah lorong panjang, bagai lorong yang tak berujung pangkal.

Kongcu Gi mendorong pintu, lalu melangkah keluar, di ambang pintu dia membalik badan, “Silakan ikut aku.”

Ternyata Coh-hujin tidak ikut keluar bersama Pho Ang-soat, sekarang mereka sudah tiba di ujung lorong. Di sana mereka dihadang sebuah pintu terbuat dari kayu yang berukir indah dan berat, di balik pintu adalah sebuah ruangan besar dan luas, ada sebuah panggung batu besar dan luas, di empat sudut panggung  batu berdiri sebuah obor besar.

Pelan-pelan Kongcu Gi melangkah ke atas, berdiri di tengah panggung, “Di sinilah tempat kita berduel.” “Bagus sekali,” ucap Pho Ang-soat.

Panggung yang rata dan mengkilap, cahaya obor yang benderang, dimana pun berdiri, ke arah mana pun menghadap sama saja. Keadaan lengang dalam ruang besar ini, angin pun tiada, persiapan untuk turun tangan dan kecepatan serangan, pasti takkan terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya. Agaknya Kongcu Gi tidak ingin memungut sedikitpun keuntungan dalam duel ini, entah itu tempat, waktu, situasi dan kondisi. Memang tidak mudah untuk mempersiapkan gelanggang pertarungan yang serba komplit.

Tiga buah kursi besar dan lebar yang empuk menyegarkan masing-masing berada di kedua sisi panggung, jaraknya dengan pinggir panggung batu ada tujuh kaki.

“Waktu kita bertanding, hanya boleh enam orang menonton, mereka adalah saksi atau wasit pertandingan ini, maka kau boleh bebas memilih tiga di antaranya.”

“Tidak usah,” seru Pho Ang-soat segera.

“Duel dua orang jago silat, kalah menang sering terletak pada suatu kejadian yang tak berarti, kalau ada teman sendiri ikut menyaksikan dan memperhatikan dari samping betapapun akan melegakan perasaan, hati lebih mantap, kenapa kau mengabaikan hakmu ini?”  “Karena aku tidak punya teman.”

Kongcu Gi menatapnya, katanya, “Lebih baik kau tetap menggunakan hakmu ini di antara orang-orang yang kuundang, kalau ada yang membuatmu merasa tidak tenteram, kau bebas menolak kehadirannya.”

“Bagus sekali,” ujar Pho Ang-soat.

“Kau sudah bercapai lelah sekian hari, semangat dan kondisi badanmu pasti teramat lelah, tidak jadi soal kau beristirahat secukupnya di tempat ini, karena itu kapan duel ini akan dilakukan juga kuserahkan kepadamu untuk menentukan.”

Pho Ang-soat ragu-ragu, katanya, “Besok, saat seperti sekarang bagaimana?” “Boleh saja.”

“Baik besok aku kemari lagi.”

“Kau tak usah pergi, di sini aku sudah menyiapkan tempat tinggal dan pakaianmu, kau boleh tinggal dengan tenteram dan memulihkan kondisimu, pasti tiada orang berani mengganggumu, jika kau memerlukan apa-apa, kami pun siap melakukan kepadamu, tanggung beres.”

“Kelihatannya duel kali ini seperti amat adil,” ucap Pho Ang-soat. “Pasti adil.” “Peti matiku tentu sudah kau siapkan juga.”

Ternyata Kongcu Gi tidak menyangkal, “Peti mati itu terbuat dari kayu yang paling baik, sengaja kubeli dari Liu-ciu, kalau kau ingin memeriksanya, aku akan mengantarmu.”

“Kau sudah memeriksanya?” “Ya, sudah kuperiksa.”

“Kau amat puas?” “Puas sekali.” “Cukuplah.”

Reaksi Kongcu Gi amat tawar, katanya, “Sekarang mungkin kau hanya ingin melihat ranjangmu.” “Ya, benar.”

Kain korden dari kain sari yang tersulam indah dengan warna yang serasi menutupi cahaya matahari sehingga kamar itu terasa remang-remang temaram seperti di waktu magrib.

Di luar kembali terdengar suara sumbang, pendek dan kerap dari pedang yang tercabut dari sarungnya, sekarang Pho Ang-soat sudah sadar sesadar-sadarnya.

Tadi dia pulas, tidur nyenyak. Dia terjaga bukan karena suara pedang tercabut, tapi dia mendadak terjaga karena di dalam kamarnya mendadak sudah bertambah satu orang…..

*******************

Bayangan seorang yang bertubuh semampai, berdiri setengah melintang di pinggir jendela, membelakangi dirinya, dibungkus jubah sutranya yang lembut ketat, lapat-lapat kelihatan pinggangnya yang ramping, pinggulnya padat, kedua pahanya yang jenjang lurus.

Dia tahu Pho Ang-soat sudah bangun, namun tidak menoleh, perlahan dia menghela napas, lalu bersuara dengan sendu, “Sehari telah berlalu pula, dari hari ke hari, tanpa terasa setahun telah lampau, kehidupan seperti ini entah sampai kapan baru akan berakhir.” Suaranya yang merdu dengan perawakan tubuh yang menggiurkan, namun justru mendatangkan perasaan sebal.

Pho Ang-soat tidak memberi reaksi.

Coh-hujin berkata pula perlahan, “Mungkin kau beranggapan aku tidak pantas kemari, apa pun aku adalah isterinya, tapi kehidupan seperti ini sungguh sudah bosan, amat kesal, maka ...”

“Maka kau mengharap aku dapat mengalahkan dia?”, tanya Pho Ang-soat. “Betul. Aku memang berdoa semoga kau dapat mengalahkan dia, sekian tahun ini hanya kau saja yang punya kesempatan dan kemampuan untuk mengalahkan dia, setelah kau mengalahkan dia, maka kehidupanku pasti akan berubah.”

“Bagi yang menang akan mendapatkan segalanya?” “Ya, segala yang dimilikinya.”

“Isterinya pun tidak terkecuali?” “Betul.”

Mendadak Pho Ang-soat tertawa dingin, katanya, “Walaupun kau bukan isteri yang baik, sebetulnya tak perlu ia menyerempet bahaya.”

“Tapi dia ingin membuktikan bahwa dia lebih kuat dari kau.”

“Dibuktikan untuk siapa? Memangnya di sini masih ada seorang lain yang memegang nasib hidupnya? Maka dia berbuat demikian, karena tiada jalan lain yang bisa dia tempuh?”

Coh-hujin mendadak membalik, menatapnya lekat-lekat, sorot matanya yang bundar cemerlang seindah zamrud menampilkan rasa kaget dan heran, agak lama baru dia menghela napas, katanya, “Bagaimana kau punya pikiran demikian?”

“Kalau kau menjadi aku, bagaimana kau akan berpikir?”

“Yang pasti aku tidak akan ngawur seperti apa yang kau duga, akan kutumplekkan seluruh perhatian untuk berusaha mengalahkan dia,” dengan langkah lembut dia menghampiri, pinggangnya meliuk-liuk, kerlingan matanya seperti air bening mengalir, “Walau aku tidak terhitung isteri yang baik, tapi aku ini perempuan baik, yakin kau pun bisa menilai.”

“Aku tidak bisa menilaimu,” ujar Pho Ang-soat.

Perlahan Coh-hujin menghela napas, katanya, “Sekarang boleh kau saksikan lebih teliti.” Sehabis perkataannya, maka jubah sutra panjang yang menutupi tubuhnya sudah melorot jatuh.

Napas Pho Ang-soat terhenti, tidak bisa tidak harus mengakui bahwa tubuh bugil yang polos ini amat  mulus dan sempurna, selama hidup belum pernah dia menyaksikan tubuh perempuan seelok ini.

Isteri seorang kaya raya, punya kekuasaan besar, cantik molek dan anggun, mendadak telanjang bulat di hadapannya, daya tarik dan rangsangannya sungguh sukar dilawan.

Dia berdiri tenang sambil pasang gaya di depan ranjang, menatapnya lekat-lekat, “Asal kau dapat mengalahkan dia, semua ini akan menjadi milikmu, tapi sekarang belum.” Kedua tangannya mengelus paha terus merambat naik ke perut serta meremas payudara sendiri!

Wajah Pho Ang-soat yang pucat kelihatan merah. Dia tahu perubahan telah terjadi di atas tubuhnya, dia tahu Coh-hujin tentu sudah memperhatikan perubahan dirinya.

Suasana tenang di magrib nan indah ini, di kamar serba mewah ini seperti diliputi bau wangi yang teruar dari badannya yang polos memabukkan. Betapapun Pho Ang-soat adalah laki-laki, laki-laki jantan, laki-laki normal.

Coh-hujin sudah memungut bajunya, beranjak keluar selincah burung walet, tiba-tiba dia membalik di luar pintu sembari tertawa, katanya, “Sekarang aku belum menjadi milikmu, tapi kalau kau perlu, aku bisa mencarikan orang lain untuk menemani kau.”

Pho Ang-soat mengepal kedua tinjunya, mendadak dia bertanya, “Apakah Coh Giok-cin ada di sini?” Coh-hujin mengangguk.

“Suruhlah dia kemari sekarang juga.”

Coh-hujin menatapnya dengan terbelalak kaget, seperti mimpi pun tak menduga bahwa dia akan mengajukan permintaan ini.

“Tadi kau bilang, setiap permintaanku kalian pasti akan menyiapkan.”

Coh-hujin tertawa pula, tawa yang mengandung makna misterius, katanya, “Kenapa kau memilih dia? Kenapa kau tidak memilih Bing-gwat-sim?”

Badan Pho Ang-soat mengejang mendadak. “Kau tidak menduga bahwa dia belum mati?” “Aku ...”

“Dia pun di sini, apakah aku perlu membawanya kemari?” mendadak Coh-hujin menarik muka, suaranya menjadi dingin, “Aku tahu kau tidak mau menerimanya, yang kau inginkan adalah Coh Giok-cin, biasanya yang kau sukai adalah perempuan galak, bejat dan rendah.” 

“Biang”, daun pintu ditutup dengan sentakan keras. Kali ini waktu dia pergi kepalanya tidak menoleh lagi. Kenapa mendadak dia berubah begitu emosi? Hanya karena Pho Ang-soat ingin mencari Coh Giok-cin?

Seorang perempuan cantik yang licin dan dingin umumnya takkan marah hanya karena urusan sekecil ini.

*******************

Pho Ang-soat masih rebah diam di atas ranjang, suara sumbang, pendek dan kerap dari pedang yang tercabut itu masih terus terdengar. Untuk duel kali ini orang lain sudah mempertaruhkan imbalan sebesar ini, jika dirinya risau dan gundah hanya karena perempuan, bukankah dia ini terlalu goblok? Tapi tidak bisa tidak dia tetap harus memikirkan Bing-gwat-sim, kalau betul dia belum mati dan jatuh di tangan orang- orang seperti ini, jelas nasibnya teramat mengenaskan. Teringat akan hal ini, baru dia sadar kenapa sudah sekian lama dirinya tidak pernah memikirkan dia.

Seseorang memang selalu akan berusaha menyingkir dari kenyataan hidup ini bila menghadapi penyesalan yang terukir dalam relung hatinya.

Tanpa terasa malam makin larut, dalam rumah menjadi gelap, di luar terdengar suara ketukan pintu. “Siapa di luar?”

“Inilah nona Coh, nona Coh Giok-cin,” itulah suara seorang dayang cilik, ketika daun pintu terbuka, muncul dua dayang cilik yang masing-masing memegang sebuah lampion hijau dan merah sambil membimbing Coh Giok-cin masuk.

Dia berdandan dan bersolek secantik bidadari, gelung rambutnya yang hitam mengkilap dihiasi bunga mutiara, baju luarnya yang bermodel pakaian ratu terurai panjang menyentuh lantai terseret di belakang, selintas pandang keadaannya agak mirip si cantik Ong Cau-kun yang berangkat menunaikan tugas keluar perbatasan sebagai juri damai negaranya.

Sekarang jelas dia tidak perlu berpura-pura lemah dan bersikap harus dikasihani, dengan tatapan dingin dia mengawasi Pho Ang-soat, wajahnya tidak menampilkan perasaan apa-apa.

Kedua dayang cilik itu menaruh lampion di tempat gantungan, sambil tertawa cekikikan, mereka mengundurkan diri sambil menutup mulut.

Mendadak Coh Giok-cin berkata dingin, “Kaukah yang mencari aku?” Pho Ang-soat mengangguk. “Ingin menuntut balas?”

“Aku mengundangmu kemari, karena ada beberapa persoalan ingin kutanya kepadamu.” “Dan sekarang?”

“Sekarang aku sudah tidak ingin bertanya, boleh kau silakan pergi.” “Kau tidak ingin membalas?”

“Tidak.”

“Kau juga tidak ingin aku naik ranjang?”

Pho Ang-soat menutup mulut, dia tidak menyalahkan, bahwa Coh Giok-cin mengeluarkan  perkataan begitu, memang bukan persoalan yang patut dibuat kaget.

Seorang perempuan seperti dirinya, jika insaf dengan aksinya, sudah tak mampu melukai atau merugikan orang lain, maka dia akan mengucapkan kata-kata yang menyinggung untuk melukai hatinya. Kalau dia harus mencelakai orang lain, mungkin lantaran dia harus melindungi diri sendiri, mempertahankan hidup. Maka Pho Ang-soat tidak menyalahkan dia, hanya mendadak dia merasa amat penat, mengharap supaya dia lekas pergi, selamanya tidak berjumpa lagi. Mendadak disadarinya bahwa segala urusan tetek-bengek tiada artinya, tidak penting, yang paling penting adalah duel besok pagi itu.

Pemenang akan memiliki segalanya, dia harus mengalahkan orang yang sampai sekarang masih berlatih mencabut pedang, hanya mengalahkan orang yang satu ini, baru dia akan berhasil membongkar seluruh rahasia yang terselubung di sini, baru dia akan berjumpa pula dengan Bing-gwat-sim.

Tapi Coh Giok-cin justru tetap berdiri di sana, menatapnya, sorot matanya mengandung keperihan dan kebencian, katanya, “Kalau kau tidak ambil peduli dan tidak memperhatikan diriku lagi, kenapa kau mengundangku kemari?”

“Anggaplah aku tidak patut mengundangmu kemari, sekarang kau tetap boleh pergi.” “Sekarang aku sudah tidak utuh lagi.”

“Dalam hal apa kau tidak utuh?”

“Tidak utuh, tidak utuh lagi seolah-olah dia tidak mendengar pertanyaan Pho Ang-soat, mulutnya masih mengigaukan perkataan itu, entah berapa kali dia mengulangnya, jelas air mata sudah meleleh di pipinya.

Di saat air mata menyentuh hidung, Coh Giok-cin pun tersungkur roboh. Pakaiannya yang serba merah tersingkap lebar, hingga tertampaklah warna darah yang segar. Itulah warna darah yang sesungguhnya.

Darah segar berlepotan di sekujur badannya yang bugil, dari leher hingga di ujung kaki boleh dikata tiada tempat yang utuh, kulit dagingnya seperti disayat-sayat.

Kontan Pho Ang-soat mencelat bangun, hatinya seketika tenggelam.

Coh Giok-cin mengertak gigi, desisnya penuh iba, “Sekarang tentu kau mengerti, kenapa keadaanku tidak utuh lagi...”

“Karena aku mengundangmu kemari, maka dia menyiksamu begini rupa?”

Coh Giok-cin tertawa meringis, “Sebetulnya kau sudah harus tahu, walau dia tidak memberi kesempatan kepadamu untuk menyentuhnya, tapi dia tidak rela membiarkan perempuan lain kau sentuh, karena Tawanya lebih menyedihkan dari isak tangis, dia masih ingin bicara, namun suaranya sudah tidak mampu dilontarkan.

“Kenapa? Kenapa?” Pho Ang-soat masih bertanya sambil menggoncang badannya.

Coh Giok-cin hanya tersenyum, pelan-pelan pelupuk matanya terpejam. Mendadak serangkum bau obat yang tebal menyampuk hidung dari pakaiannya yang tersingkap. Coh Giok-cin memang mati tenang, dia tidak menderita atau kesakitan, karena sekujur badannya sudah dipolesi obat bius sehingga pati rasa oleh Coh-hujin.

Kenapa Coh-hujin berbuat demikian? Apa betul hanya karena tidak ingin Pho Ang-soat menyentuh perempuan lain?

Padahal belum ada setengah hari dia bertemu dengan Pho Ang-soat, kenapa sudah timbul rasa cemburu yang menggila dan sadis?

Orang yang tidak punya cinta, kenapa bisa jelus? Orang yang baru bertemu setengah hari, mungkinkah jatuh cinta?

Pelan-pelan Pho Ang-soat berdiri, beranjak pula pelan-pelan, perlahan mendorong pintu. Jika pintu sudah digembok dari luar, bila daun pintu terbuat dari papan besi, dia pun takkan merasa kaget atau di luar dugaan. Untuk menghadapi segala kemungkinan, hatinya sudah mempersiapkan diri. Peduli dalam situasi dan kondisi apa pun, peduli terjadi peristiwa apa, dia sudah berani menghadapinya, siap melawannya.

Tak nyana sedikit dorong, daun pintu lantas terpentang. Di luar tiada orang, dalam lorong yang panjang itupun tiada bayangan manusia, hanya suara pedang tercabut itu masih terus berlangsung.

Dia menyusuri lorong panjang menuju ke arah datangnya suara, lorong ini berbelok-belok, antara rumah yang satu dengan rumah yang lain jaraknya amat jauh, entah berapa kali dia putar sana balik sini, baru dia melihat sebuah pintu.

Suasana hening di belakang pintu, tiada suara manusia, juga tiada suara pedang dicabut, dia mendorong pintu lalu melangkah masuk. Ternyata dia kembali ke kamarnya tadi, dari sini dia keluar. Coh Giok-cin yang terluka dalam genangan darah sudah tidak kelihatan lagi. Dalam kamar masih tetap hening dan sepi, walau seseorang telah tiada, namun meja penuh hidangan.

Sekarang memang tiba saatnya makan malam, ada enam macam hidangan, semua masih panas mengepulkan asap sedap, sepiring bakpau dan sebakul nasi putih, seguci arak yang belum terbuka segelnya.

Sekarang sebetulnya dia memerlukan minum seteguk arak, tapi dia malah beranjak keluar. Lorong yang sama, dalam suasana yang sepi pula. Tapi gaya langkahnya sudah berbeda. Semula dia berjalan lambat, sekarang beranjak lebih cepat, kalau tadi dia selalu membelok ke kiri, sekarang dia membelok ke kanan.

Suara pedang tercabut tak pernah berhenti, entah berapa kali pula dia membelok akhirnya dia dihadang sebuah pintu, di balik pintu tenang dan sunyi tanpa sedikit suara.

Daun pintu yang ada di sini, bentuk ukirannya ternyata serba mirip, padahal waktu dia keluar daun pintu tidak dirapatkan. Sekarang pintu ini ternyata tertutup rapat.

Dia mendorong pintu serta melangkah masuk, dia sudah berulang kali memperingatkan diri sendiri harus tabah dan berani, harus tenang dan kepala dingin.

Tapi begitu dia memasuki pintu, betapapun hatinya masih mendelu, karena dia melihat hidangan yang penuh di atas meja. Ternyata dia kembali ke kamar darimana tadi dia keluar, masakan masih panas dan mengepul, malah kelihatannya lebih panas dari tadi.

Di bawah guci tertindih secarik kertas, gaya tulisannya amat indah, jelas adalah tulisan tangan perempuan.

“Sebetulnya Bing-gwat (bulan terang) tiada maksud, kenapa harus mencari rembulan? Sekedar minum dapat menyenyakkan tidur, boleh silakan makan minum sekedarnya.”

Pho Ang-soat duduk.

Dia harus memaksa dirinya duduk, karena dia sudah menyadari, kemana dan bagaimana pun dia berjalan, akhirnya sama saja. Dia akan tetap balik ke tempat ini, tetap akan melihat hidangan panas yang memenuhi meja ini.

Dia ingin memaksa dirinya untuk makan meski sedikit, tapi begitu dia menjamah sumpit, seketika dia merasakan adanya sesuatu yang ganjil, sesuatu yang berbeda.

Tadi hidangan enam macam masakan yang tersedia di atas meja sudah dikenalnya baik, sepiring daging tupai masak ikan pedas, sepiring lagi tulang babi saos tomat. Walau hanya sekilas dia melihatnya, tapi masih segar dalam ingatannya, karena terhadap hidangan serba kecut adalah paling digemarinya.

Di atas meja ini terdapat enam macam hidangan, tapi semuanya masakan vegetaris, masakan yang pantang daging, kalau tadi sebakul nasi, sekarang adalah sepanci bubur merah.

Baru sekarang disadarinya bahwa kamar ini bukan kamar yang di tempatinya tadi. Tapi bentuk setiap kamar di sini satu dengan yang lain ternyata amat mirip, demikian pula perabot dan pajangannya juga sama. Pho Ang-soat sendiri sampai tidak bisa membedakan, lalu timbul pertanyaan, kamar tempat tinggalnya tadi yang satu ini atau kamar yang lain tadi?

Bantal guling dan selimut serta sprei ranjang tampak kalut, jelas tadi pernah ditiduri orang, lalu siapakah yang barusan tidur di atas ranjang ini, dirinya atau orang lain? Kalau bukan dirinya, lalu siapa?

Di tempat yang aneh serta misterius ini sebetulnya dihuni orang-orang macam apa saja…?

*******************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar