Peristiwa Bulu Merak Bab 13 : Golok Raja Langit Pemenggal Setan

Bab 13. Golok Raja Langit Pemenggal Setan

Sekali bacok tepat membelah seekor kuda menjadi dua, golok apakah itu? Tiada orang melihat. Yang jelas sinar golok melesat keluar dari dalam hutan, padahal kereta sudah berlari sejauh tiga puluhan tombak, dipandang dari sini ke arah sana, tiada bayangan orang, juga tidak terlihat adanya golok.

Pho Ang-soat menghadang di depan Co Giok-cin dan kedua anaknya, matanya menatap hutan lebat di sebelah kiri, kulit wajahnya yang pucat seolah-olah menjadi bening.

Setelah menenangkan napas, segera Yan Lam-hwi bertanya, “Kau lihat golok itu?” Pho Ang-soat menggeleng.

“Tapi kau pasti sudah tahu golok macam apakah itu?” Pho Ang-soat mengangguk

Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, “Agaknya Kongcu Gi cukup cepat menyerap berita, Biau-thian-ong ternyata sudah tiba.”

Golok milik Biau-thian-ong sudah tentu adalah Thian-ong-cam-kui-to.

Jari-jari Pho Ang-soat menggenggam kencang, katanya dingin, “Yang datang mungkin tidak sedikit.”

Pada saat itulah dari utara dan selatan jalan raya, dua kereta dilarikan sejajar mendatangi. Jalan mundur atau maju sudah tersumbat.

Di atas kereta pertama sebelah kiri yang datang dari utara, dua orang sedang duduk bersimpul menghadapi meja sedang bermain catur. Kereta kedua juga diduduki dua orang, seorang sedang membersihkan kuku, seorang lagi sedang minum arak. Agaknya keempat orang ini sedang khusuk menghadapi pekerjaan masing-masing, siapa pun tiada yang mengangkat kepala atau menoleh ke depan.

Kereta pertama yang datang dari selatan tampak beberapa perempuan di dalamnya, ada tua ada muda, ada yang senang menyulam ada yang sedang makan kwaci, ada pula yang menyisir rambut.

Perempuan yang paling tua itu ternyata bukan lain adalah Kui-gwa-po.

Di atas kereta kedua menggeletak sebuah peti mati besar dan baru, di depannya tergantung sebuah wajan raksasa yang terbuat dari tembaga, kuping gelang sebanyak empat buah dari wajan ini terpasang di empat kaki besi. Konon wajah terbesar di seluruh jagat ini adalah milik Siau-lim-si, wajan untuk memasak nasi. Maklum Hwesio Siau-lim-si banyak jumlahnya, sepanjang tahun tak pernah makan barang berjiwa, namun setiap hari mereka harus bekerja rajin, maka selera makannya pun amat besar. Umpama saja setiap Hwesio setiap makan menghabiskan lima mangkuk nasi, lima ratus Hwesio menghabiskan berapa mangkuk? Lalu untuk memberi makan sampai kenyang lima ratus Hwesio, berapa besar wajan yang harus digunakan untuk memasak nasi?

Yan Lam-hwi pernah bertamu ke Siau-lim-si, sengaja dia ingin menyaksikan wajan raksasa itu, karena dia memang seorang yang selalu tertarik akan sesuatu yang luar biasa.

Wajan tembaga di atas kereta ini ternyata tidak lebih kecil dari wajan Siau-lim-si itu. Dan anehnya di dalam wajan ternyata ada dua orang, kepala besar kuping lebar, wajahnya bundar, di atas jidatnya terdapat codet merah bekas bacokan golok yang menggelantung ke bawah, dari atas alis menggaris turun sampai ujung mulut, sehingga wajah bundar gemuk yang kelihatan jenaka dan lucu ini mendadak berubah menjadi  seram dan kejam.

Kereta dilarikan perlahan, wajah di atas kereta ternyata bergontai pergi datang, seperti mereka duduk di atas ayunan.

Mega sudah tertiup pergi, sang surya merayap makin tinggi, namun hati Yam lam-hwi justru makin tenggelam. Tapi dia harus mengunjuk tawa meski dipaksakan, gumamnya, “Tak nyana To-jing-cu ternyata tidak datang.”

“Sekali sergap tidak berhasil, harus segera mundur,” demikian kata Pho Ang-soat dingin, itulah aturan lama pihak Sing-siok-hay mereka.

Tawa Yan Lam-hwi seperti amat riang katanya, “Kecuali dia, yang pantas datang agaknya sudah tiba, yang tidak patut datang ternyata juga sudah tiba.” Mengawasi si gembrot dengan codet di mukanya dalam wajan itu dia tersenyum, katanya, “Koki Dol, kenapa kau pun datang?”

Codet di muka si gendut bergerak seperti ular. Dia sedang tertawa, tapi mimik tawanya kelihatan menjijikkan dan misterius, katanya, “Kali ini aku datang mengerjai mayat.”

“Mengerjai mayat siapa?” tanya Yan Lam-hwi.

“Mayat apa saja kukerjai!” dengan bergontai dia berdiri dan keluar dari wajan besar itu. “Kuda mati dimasukkan ke perut, orang mati dimasukkan ke layon.”

Kereta sudah berhenti seluruhnya. Yang bermain catur tetap saja main catur, yang minum arak masih memegang cangkir, yang menyisir juga tetap menyisir rambut, masing-masing masih sibuk dengan tugasnya.

Koki Dol tertawa, “Agaknya semua orang hari ini akan dapat rezeki mujur, kalian akan bisa berpesta sampai kenyang, daging kuda panca wangi yang diolah Koki Dol, tidak sembarang orang dapat menikmatinya.”

Yan Lam-hwi berkata, “Masakan keahlianmu kurasa bukan daging kuda panca wangi, betul tidak?”

“Bahan-bahan untuk membuat masakan keahlianku sukar dicari, bolehlah hari ini kalian menikmati daging kuda panca wangi saja,” sembari bicara badannya yang gendut itu tahu-tahu sudah menyelinap keluar dari bawah wajan, terus melompat turun, bagi yang tidak menyaksikan sendiri sungguh sukar percaya bahwa si gendut yang beratnya ratusan kati itu, gerak-geriknya ternyata enteng dan lincah. Dan ternyata dia juga membawa pisau, pisau pendek tapi lebar, pisau untuk merajang sayur, pisau yang biasa digunakan koki di setiap restoran.

Tak tahan Co Giok-cin bertanya, “Apa benar Koki Dol seorang koki?” “Palsu,” sahut Yan Lam-hwi. “Kenapa orang memanggilnya koki?” “Karena dia senang memasak dan suka pakai golok sayur.”

“Paling ahli dia masak apa?”

“Panggang jantung orang, dicampur saos daging panggang.”

Penebang kayu itu sudah tidak muntah lagi, baru saja dia mengangkat kepala, menegakkan badan, seketika dia berdiri menjublek pula. Tak pernah terbayang dalam benaknya bahwa tempat ini bakal ramai. Pagi tadi dia hanya makan dua bakpao hangat dengan beberapa tangkai sayur asin, semula dia menyangka isi perutnya sudah terkuras habis, tiada yang bisa dimuntahkan lagi. Tapi hanya sekejap dia melihat ke sana, tak tertahan dia memeluk perut muntah-muntah lagi, lebih keras dan banyak.

Sementara itu Koki Dol sudah mengeluarkan pisaunya membacok daging kuda, kulit daging bercampur tulangnya sekalian, dia membacok segumpal besar, seenaknya saja tangannya terayun melemparkan gumpalan daging itu ke dalam wajan besar itu.

Tangan kanan mengerjakan pisau, tangan kiri melempar daging, kedua tangannya naik turun secara cepat, gerak-geriknya cekatan dan amat mahir, kuda itu dalam sekejap telah diirisnya menjadi seratus tiga puluhan kerat daging. Daging kuda sudah berada di dalam wajan, mana bahan panca wanginya?

Darah yang berlepotan di atas pisaunya dibersihkan dengan alas sepatu Koki Dol, lalu dia melangkah balik menghampiri peti mati besar dan tebal itu. Di dalam peti mati ternyata tersimpan berbagai bahan masakan, minyak, garam, kecap, cuka, lada, jahe dan banyak lagi, tidak ketinggalan juga penyedap rasa, bahan- bahan masakan yang terpikir olehmu pasti dibawa oleh Koki Dol.

Koki Dol menggumam, “Kereta bobrok ini kebetulan untuk bahan bakar, bila kereta ini terbakar habis, yakin dagingnya juga sudah empuk, sudah matang.”

Nyo Bu-ki yang sedang main catur tiba-tiba berseru, “Bagianku jangan terlalu empuk, gigiku masih utuh.” Koki Dol berkata dengan nada tinggi, “Tosu yang beribadah juga berani makan daging?”

“Jangan kata daging kuda, daging manusia juga pernah kumakan.”

Koki Dol bergelak tertawa, katanya, “Jika Tosu ingin makan daging manusia, sebentar boleh kubikinkan, bahan-bahan sudah lengkap tersedia di sini.”

“Memangnya aku sedang menunggu, biasanya aku tidak tergesa-gesa.”

Koki Dol bergelak tawa, matanya melirik ke arah Pho Ang-soat, katanya, “Daging manusia untuk tambah darah, siapa mau makan sedikit daging orang, mukanya tanggung tidak pucat lagi.” Di tengah gelak tawanya, cukup dengan sebelah tangan dia mengangkat wajan raksasa seberat tiga ratusan kati itu bersama kaki besinya ke tengah jalan raya, lalu dengan pecahan kayu kereta dia mulai menyulut api di bawah wajan.

Lekas sekali api telah menyala, asap mengepul, kayu yang terjilat api meletup-letup lirih.

Orok di pelukan Co Giok-cin menangis, terpaksa Co Giok-cin menarik bajunya, memberi minum air teteknya.

Kongsun To yang masih memegangi cangkir arak mendadak berseru, “Waduh putihnya.” “Daging yang empuk dan gurih,” sela Koki Dol tertawa.

Kwi-gwa-po yang sedang makan kwaci mendadak menghela napas, katanya, “Orok yang harus dikasihani.”

Terasa oleh Pho Ang-soat, perutnya seperti mengkeret, tak tertahan hampir saja dia pun muntah-muntah. Otot hijau sudah merongkol di punggung tangannya yang memegang golok, agaknya sudah siap mencabut goloknya.

Tapi Yan Lam-hwi memegang pundaknya, katanya lirih, “Sekarang tidak boleh bergerak.”

Sudah tentu Pho Ang-soat juga tahu situasi sekarang belum mengizinkan dia beraksi. Beberapa orang itu kelihatan bersikap santai, padahal hati mereka juga gugup, gelisah sepeti semut di dalam kuali  yang panas, sedikit lena dan bergerak tanpa perhitungan, akibatnya pasti susah dibayangkan.

Lalu bagaimana kalau tidak beraksi? Apakah harus diam begini saja sampai mereka habis gegares daging kuda, lalu makan daging manusia.

Dengan merendahkan suaranya, Yan Lam-hwi bertanya, “Kau kenal tidak Toh Cap-jit yang punya delapan nyali dan delapan sukma?”

Pho Ang-soat geleng kepala.

“Orang ini bukan Tayhiap, bukan ksatria, tapi mempunyai jiwa pendekar melebihi para pendekar dan ksatria yang pernah kukenal. Aku sudah berjanji dengan dia untuk bertemu di kedai minum Thian-hiang-lau di kota sebelah depan, asal dapat menemukan dia, persoalan apa pun pasti dapat dibereskan, hubunganku dengan dia amat baik.”

“Itu kan urusanmu.”

“Tapi sekarang urusanku adalah urusanmu pula.” “Aku tidak mengenalnya.”

“Tapi dia mengenalmu.”

Yang main catur tetap asyik dengan permainannya, setiap orang masih tekun melakukan tugas masing- masing, hakikatnya tidak memperhatikan mereka, seolah-olah mereka sudah dianggap sebagai orang mati.

“Apakah kau ini seorang yang kenal aturan?” tanya Yan Lam-hwi. “Kadang kala saja,” sahut Pho Ang-soat. “Sekarang apakah sudah tiba saatnya kita tidak usah kenal aturan?”

“Agaknya memang demikian.”

“Bolehkah Co Giok-cin dan kedua anaknya mati di sini?” “Tidak boleh.”

Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, “Syukurlah kalau kau selalu ingat perkataanku tadi, marilah pergi.” “Pergi? Pergi bagaimana?”

“Begitu kau mendengar aku mengucap 'anjing kecil', bawalah Co Giok-cin dan kedua anaknya ke atas kereta itu, sembunyikan ke dalam peti mati, urusan selanjutnya serahkan kepadaku.” Lalu dengan tertawa Yan Lam-hwi menambahkan, “Jangan lupa kepandaianku melarikan diri nomor satu di seluruh jagat ini.”

Terkancing mulut Pho Ang-soat, sudah tentu dia maklum apa maksud Yan Lam-hwi, sekarang dia tidak punya pilihan lain. Apa pun yang akan terjadi dia harus berjuang dan berusaha supaya Co Giok-cin dan kedua anaknya tidak terjatuh ke tangan orang-orang itu.

Kereta dimana Kwi-gwa-po duduk seluruhnya berisi orang perempuan, kecuali nenek peyot ini, empat yang lain berwajah tidak jelek. Tidak jelek maksudnya ayu jelita, yang paling jelita sedang menyisir rambut, rambutnya yang panjang terurai mayang dan hitam mengkilap.

Mendadak Yan Lam-hwi berkata, “Konon dari yang tua sampai yang paling muda, Biau-thian-ong seluruh mempunyai delapan puluh bini.”

“Ya, tepat delapan puluh, dia suka angka genap,” sahut Kwi-gwa-po.

“Kabarnya peduli kemana pun dia, paling sedikit akan membawa empat lima bininya, karena sembarang waktu dia memerlukan hiburan,” kata pula Yan Lam-hwi.

“Dia memang laki-laki yang selalu fit tenaganya, maka setiap bininya pasti merasa ketiban rezeki,” ujar Kwi- gwa-po.

“Apakah kau salah satu di antaranya?”

Kwi-gwa-po menghela napas, katanya,”Aku memang ingin, sayang dia menganggap aku terlalu tua.”

“Siapa bilang kau sudah tua, menurut pandanganku, kau lebih muda sepuluh tahun dibanding nenek yang sedang menyisir rambut itu.”

Kwi-gwa-po tertawa lebar, gadis yang sedang menyisir rambut berubah air mukanya, menatapnya dengan mata melotot.

Yan Lam-hwi malah tertawa menyengir padanya, katanya, “Sebetulnya kau belum terhitung tua, kecuali Kwi-gwa-po, kau terhitung yang paling muda.”

Sekarang orang banyak sudah tahu kalau dia sengaja mencari setori, mencari kesulitan, tapi mereka tak habis mengerti, orang-orang sengaja tidak memperhatikan dia, sekarang terpaksa melirik atau menoleh ke arahnya.

Maka Yan Lam-hwi langsung menemui Koki Dol, katanya, “Kecuali membacok daging mengiris sayur, pisaumu ini apa pula gunanya?” “Untuk membunuh orang pula,” sahut Koki Dol. Codet di mukanya mulai bergerak pula, “Membunuh seorang dengan golok antik yang dihiasi mutiara dan mutu manikam, apa bedanya dengan golok sayurku ini?”

“Kurasa ada sedikit perbedaannya.” “Dimana perbedaannya?”

Yan Lam-hwi tidak menghiraukan dia, setelah memutar tubuh dia membuka tutup peti mati, mulutnya menggumam, “Eh, di sini juga ada bawang merah, ada merica, apa ada lombok?”

“Dimana perbedaannya?” teriak Koki Dol.

Yan Lam-hwi tetap tidak mempedulikan dia, katanya, “Ha, di sini memang ada lombok. Agaknya peti mati ini cukup untuk dibuat dapur.”

Semula Koki Dol mendemprok di tanah, sekarang dia berdiri, katanya, “Kenapa tidak kau jelaskan? Sebetulnya dimana letak perbedaannya?”

Akhirnya Yan Lam-hwi menoleh, katanya dengan tertawa, “Sebetulnya dimana perbedaannya aku sendiri juga tidak tahu. Aku hanya tahu supaya daging kuda panca wangi terasa sedap, harus banyak dicampur lombok.” Lalu dia mencomot segenggam lombok, menghampiri wajan besar itu, katanya pula,  “Kukira di sini tiada orang yang tidak doyan lombok, yang tidak makan lombok adalah anjing cilik.”

Saking gusar selebar muka Koki Dol yang gembrot sudah pucat-pias, pada saat itulah terdengar ringkik kuda disertai bentakan nyaring. Pho Ang-soat sudah mengangkat Co Giok-cin, Co Giok-cin memeluk  kedua anaknya, dua orang besar dan dua orok meluncur pesat merebut kereta. Co Giok cin langsung memasukkan kedua anaknya ke dalam peti mati, sementara Pho Ang-soat mengayun cambuk mengeprak kuda, pada waktu yang sama Yan Lam-hwi memegang kaki wajan, terus diangkatnya ke atas.

“Awas!” Kongsun To berseru, menimpukkan cangkir seraya berjingkrak berdiri.

Sebelum hilang suaranya, Co Giok-cin sudah melompat masuk ke dalam peti mati serta menutup rapat tutupnya dari dalam. Sementara Yan Lam-hwi mengayun wajan besar itu terus dilempar ke arah dua kereta di depan sana.

Kuah panas muncrat, daging kuda beterbangan, kuda berjingkrak kaget ketakutan, potongan daging kuda laksana hamburan senjata rahasia, sipaa pun yang terkena pasti kulit dagingnya melepuh kepanasan.

Orang-orang di atas kereta berlompatan turun sambil menutup muka dan kepala dengan kedua lengan bajunya.

Tangan kanan Pho Ang-soat memegang golok, tangan kiri mengayun cambuk, keretanya sudah  menerobos pergi lewat tengah-tengah kedua kereta yang ambruk di kedua sisi jalan.

Tubuh Siau Si-bu terapung di udara, mendadak dia bersalto, seluruh kulit daging dan otot tangan kanannya penuh dilandasi kekuatan dalamnya, pisau terbang sudah terpegang di jari-jarinya.

Di sebelah sana Nyo Bu-ki juga melambung ke atas, tangannya juga memegang gagang pedang.

Pisau Siau Si-bu sudah disambitkan, kali ini sedikitpun tidak mengeluarkan suara, timpukannya itu menggunakan setaker tenaga, yang diincar adalah punggung Pho Ang-soat. Punggung adalah sasaran paling empuk dan nyata, paling sukar dihindari.

Walau kedua kereta sudah ambruk ke pinggir, namun peluangnya juga tidak lebar. Pho Ang-soat harus mencurahkan perhatian mengendalikan kuda keretanya, supaya kereta ini tidak menabrak atau terbalik. Punggungnya juga tidak tumbuh mata, hakikatnya tidak tahu sambaran pisau yang melesat bagai kilat menyambar itu, umpama dia tahu juga tidak mampu berkelit. Umpama dia berhasil meluputkan diri dari timpukan pisau, kereta tidak terkendali lagi dan pasti menumbuk kereta yang lain.

Di saat genting itulah, goloknya mendadak menyelonong keluar dari bawah ketiak, “Ting”, sarung goloknya yang hitam gelap itu memercikkan lelatu api, pisau terbang sepanjang empat dim jatuh berkerontang di atas kereta.

Pedang Nyo Bu-ki sudah keluar dari sarungnya, dengan jurus Giok-li-jeng-so (gadis cantik menyusup benang) menyerang sambil menukik turun.

Sarung golok masih terkempit, Pho Ang-soat mencabut golok secara terbalik, dimana sinar goloknya berkelebat dia sambut kedatangan cahaya pedang, Golok dan pedang tidak beradu, namun gerak sinar golok lebih cepat lagi, ujung pedang Nyo Bu-ki sudah hampir menembus leher Pho Ang-soat, jaraknya tinggal satu dim, tapi satu dim ini justru merupakan jarak yang menentukan.

Terdengar jeritan mengalun di angkasa, darah pun berhamburan, dari udara melayang jatuh sebelah lengan orang, jari-jarinya masih memegang kencang gagang pedang, itulah Siong-bun-thi-kiam yang kuno dan antik.

Waktu badan Nyo Bu-ki melayang turun, kebetulan dia kecemplung ke dalam wajan besar itu, masih ada sisa kuah dan daging kuda yang panas. Itulah kali pertama selama hidupnya berkesempatan membunuh Pho Ang-soat, kali ini pedangnya hampir menusuk tenggorokan Pho Ang-soat, hanya terpaut satu dim saja.

Kuda meringkik panjang, kereta itu sudah dibawanya lari jauh meninggalkan kepulan asap. Cahaya pedang yang menyala bagai warna darah, terbang mendatang mencegat jalan di belakang kereta.

Pho Ang-soat tidak menoleh, dia mendengar suara batuk Yan Lam-hwi, gerak pedang Yan Lam-hwi yang mencegat para musuhnya itu jelas sudah mengerahkan seluruh kekuatannya.

Pho Ang-soat tidak berani menoleh, dia kuatir bila dirinya melihat ke belakang, pasti akan putar balik, berjuang berdampingan dengan Yan Lam-hwi sampai titik darah penghabisan. Sayang sekali ada sementara orang tidak boleh mati, pasti tidak boleh.

Malam larut, hawa dingin. Di tanah pekuburan.

Kereta itu akhirnya berhenti di tengah pekuburan. Bintang berkelap-kelip di angkasa, di tanah pekuburan yang belukar dengan batu-batu nisan berserakan, tiada tampak bayangan orang.

Mendadak seorang bangun berduduk dari dalam peti mati di atas kereta itu, rambutnya panjang menyentuh pundak, sorot matanya bening laksana air. Umpama dia ini setan, pasti setan yang paling ayu di jagat ini. Sorot matanya mengerling kian kemari, agaknya dia sedang celingukan, entah apa yang dicarinya. Yang dicari bukan setan, bukan dedemit, tapi seorang yang memegang golok.

Kemanakah Pho Ang-soat? Kenapa dia ditinggal seorang diri di sini? Sorot matanya menampilkan rasa ngeri dan takut, untunglah Pho Ang-soat sudah muncul di depannya.

Kabut mulai menyelimuti tanah pekuburan itu, tabir malam kelihatan pucat, sepucat muka Pho Ang-soat.

Walau Co Giok-cin menghela napas lega setelah melihat wajah pucat ini, namun dia kaget dan curiga, “Kenapa kita harus berada di sini?”

Tidak menjawab malah balas bertanya, “Sebutir beras, sembunyi dimana paling aman?” Co Giok-cin berpikir sejenak, sahutnya, “Sembunyi di tumpukan beras.”

“Sebuah peti mati harus disembunyikan dimana supaya tidak menarik perhatian orang.”

Akhirnya Co Giok-cin mengerti maksudnya, kalau sebutir beras sembunyi di dalam tumpukan beras, maka peti mati harus disembunyikan di tanah pekuburan. Tapi dia masih kurang jelas, tanyanya, “Kenapa kita tidak mencari Toh Cap-jit, teman Yan Lam-hwi itu?”

“Tidak boleh kita ke sana.” “Kau tidak mempercayainya?”

“Orang yang dipercaya Yan Lam-hwi aku pun mau percaya kepadanya.” “Lalu kenapa tidak mencarinya?”

“Thian-hiang-lau adalah sebuah restoran besar, Toh Cap-jit adalah seorang terkenal, kalau hendak mencarinya, dalam jangka tiga jam, Kongsun To dan kambrat-kambratnya pasti segera tahu.”

Co Giok-cin menghela napas, katanya lembut, “Sungguh tak nyana, langkah kerjamu lebih teliti dari aku.”

Pho Ang-soat menghindar dari kerlingan matanya, dari dalam bajunya dia merogoh keluar sebuah buntalan kertas minyak, katanya, “Inilah panggang ayam yang sempat kubeli di tengah jalan, tak perlu kau bagikan kepadaku, aku sudah makan.”

Tanpa bersuara Co Giok-cin menerima buntalan kertas itu serta membukanya, air matanya menetes di atas panggang ayam. Pho Ang-soat pura-pura tidak melihat, katanya, “Aku sudah memeriksa daerah sekitar sini, dalam jarak tiga li di sini tidak berpenduduk, di belakang juga tiada orang yang menguntit kita, kau harus tidur, bila terang tanah aku ingin kau melakukan sesuatu untukku.”

“Tugas apa?”

“Mencari tahu kalau malam dimana Toh Cap-jit menginap? Bila aku mencarinya, seorang pun tidak boleh tahu.”

“Jadi aku harus mencarinya?”

“Tampangku gampang menarik perhatian orang, orang yang kenal kau amat sedikit, aku sedikit menguasai tata rias.”

“Jangan kau kuatir, aku bukan perempuan lemah, aku bisa menjaga diriku sendiri.” “Kau bisa naik kuda?”

“Ya, pernah belajar sebentar.”

“Baiklah, besok pagi kau boleh berangkat dengan naik kuda, setiba di tempat yang banyak orang, segera kau lepaskan kuda ini. Di tengah jalan kau mencegat kereta, bila pulang boleh kau membeli seekor keledai.”

Sudah menjadi kebiasaan masyarakat di sebelah utara, tidak sedikit perempuan yang naik keledai. “Aku pasti dapat bekerja hati-hati, cuma kedua bocah ini...”

“Serahkan kepadaku, teteki dulu sampai kenyang baru kau berangkat, karena itu malam ini kau harus tidur.”

“Dan kau?”

“Jangan kau kuatirkan aku, bila perlu ada kalanya aku berjalan pun bisa tidur.”

Co Giok-cin menatapnya, pandangannya lembut mesra, terbayang pula rasa iba, seperti banyak persoalan ingin dia bicarakan, ingin mencurahkan hati. Namun Pho Ang-soat sudah putar tubuh, menghadapi tabir malam yang telah menyelimuti jagat raya, sekarang dia seperti sudah tidur.

Tepat tengah hari.

Kedua orok kecil itu akhirnya tertidur pulas, Co Giok-cin sudah pergi tiga jam lalu.

Pho Ang-soat duduk di tempat gelap di belakang gundukan tanah kuburan, dengan terlongong dia mengawasi tanah membukit di depan matanya, sudah lama dia tidak bergerak.

Pho Ang-soat lantas berpikir, siapa-siapa saja yang dikebumikan di kuburan ini? Di antaranya ada berapa banyak orang-orang gagah, pahlawan bangsa yang tidak ternama? Berapa banyak kaum gelandangan yang hidup terlunta-terlunta? Manusia yang hidupnya kesepian, apakah setelah mati dia tetap kesepian? Setelah dia mati adakah sesama manusia mau mengebumikan dia? Dikubur dimana? Siapa yang mampu menjawab semua pertanyaan ini? Tiada seorang pun.

Pho Ang-soat menarik napas panjang, perlahan dia bergerak berdiri, dilihatnya seekor keledai sedang menuruni tanah gundukan di kejauhan sana.

Seekor keledai yang kurus kelihatan amat letih, langkahnya bergontai seperti sudah kelaparan beberapa hari, penunggangnya adalah nyonya yang kurus dan pucat.

Dari kejauhan Pho Ang-soat sudah mengawasinya, dalam hati dia merasa puas akan tata rias buah tangannya. Akhirnya Co Giok-cin kembali dengan selamat, tiada yang mengenalnya, juga tiada yang menguntit dia.

Begitu melihat Pho Ang-soat dan kedua anaknya, matanya lantas memancarkan cahaya seperti lazimnya seorang ibu yang bijaksana dan bijak terhadap putra-putrinya, dia memburu ke arah kedua anaknya, satu per satu dia cium pipinya yang montok, lalu mengeluarkan buntalan kertas minyak, katanya, “Inilah panggang ayam dan daging sapi yang kubeli di dalam kota, kau tidak usah bagikan padaku, aku sudah makan.”

Tanpa bersuara Pho Ang-soat mengulur tangannya menerima. Waktu ujung jari Co Giok-cin menyentuh tangan Pho Ang-soat, terasa tangannya sedemikian dingin. Seorang yang kepanasan tiga jam di bawah terik matahari, kalau telapak tangannya masih terasa dingin, maka hatinya pasti dirundung persoalan, pikirannya tidak tenteram.

Co Giok-cin mengawasinya, katanya lembut, “Aku tahu kau pasti amat kuatir menungguku, akan begitu aku berhasil memperoleh berita, aku lantas pulang.”

“Jadi kau sudah mencari tahu Toh Cap-jit...”

“Tiada orang yang tahu dimana Toh Cap-jit tidur kalau malam?” tukas Co Giok-cin, “umpama ada orang tahu, dia juga tidak mau mengatakan.”

Toh Cap-jit adalah seorang yang supel, orang yang suka berkawan dengan banyak teman, maka temannya tersebar dimana-mana. “Tapi aku mendapat sebuah berita,” ucap Co Giok-cin. Pho Ang-soat dengan serius mendengarkan.

“Temannya memang banyak, tapi musuhnya juga tidak sedikit, satu di antaranya yang paling lihai bernama Ma Gun, setiap penduduk kota tiada yang tidak tahu, bahwa pada tanggal tujuh belas bulan yang akan datang, Ma Gun sudah siap membunuh Toh Cap-jit. Dan lagi agaknya dia sudah punya persiapan, kelihatannya yakin usahanya itu pasti berhasil.”

“Hari ini kalau tidak salah sudah tanggal 8,” ucap Pho Ang-soat.

Co Giok-cin mengangguk, katanya, “Maka aku pikir, dalam beberapa hari ini, dimana jejak Toh Cap-jit, pasti hanya Ma Gun saja yang tahu.”

Jika kau ingin mencari jejak seseorang, daripada mencari temannya, lebih baik kau mencari musuhnya. “Kau sudah menemui Ma Gun?”

“Aku tidak menemuinya,” ujar Co Giok-cin tertawa, “tapi kau boleh pergi mencarinya, menemuinya secara terang-terangan, tak usah takut diketahui Kongsun To dan kambrat-kambratnya, bila mereka tahu, bukan mustahil keedaan malah menguntungkan kita.” Senyumannya lembut dan juga manis.

Pho Ang-soat menatapnya sesaat, mendadak dia sadar, dia tahu apa maksudnya, sorot matanya lantas memancarkan makna memuji dan kagum.

“Restoran tersebar di kota depan itu bukan Thian-hiang-lau, tapi adalah Teng-sian-lau.” “Ma Gun sering ke sana?”

“Setiap hari dia pasti ke sana, malah setiap pagi hingga malam dia pasti di sana, karena Teng-sian-lau adalah miliknya.”

Malam telah tiba.

Pho Ang-soat meninggalkan Co Giok-cin dan anaknya di tengah tanah pekuburan, di antara gundukan tanah yang lembab, semak belukar yang lebat, gelap dan menyeramkan. Bagaimana dia tega dan lega meninggalkan mereka di sini?

Karena tempat ini terlalu sepi, belukar lebat, gelap dan jarang dijelajahi manusia, maka dia yakin tiada orang mengira mereka bersembunyi di sini, maka dia boleh berlega hati. Tapi apakah hatinya lega?

Tidak! Tapi banyak persoalan harus dia bereskan dan atur untuk mereka, supaya bisa bertahan hidup dengan tenteram dan selamat. Karena dia tahu dirinya takkan bisa selamanya mendampingi mereka.

Tiada seorang pun di dunia ini selamanya dapat mendampingi seorang yang lain. Betapapun lama pergaulan antar sesama manusia, akhir dari pertemuan atau pergaulan itu pasti berpisah. Kalau bukan berpisah untuk selamanya, maka berpisah untuk mencari jalan hidup sendiri.

Mendadak dia terkenang kepada Bing-gwat-sim.

Sejauh mana dia sudah berusaha menekan emosinya untuk tidak mengenangnya lagi, tapi di lereng nan sepi, di malam nan hening seperti ini, persoalan yang tidak ingin kau pikirkan, justru paling gampang kau pikirkan.

Karena itu bukan saja dia terkenang kepada Bing-gwat-sim, dia pun teringat kepada Yan Lam-hwi, terbayang olehnya waktu mereka berpisah. Bing-gwat-sim menatap dengan kerlingan matanya, terbayang akan suara batuk-batuk kering Yan Lam-hwi di tengah cahaya pedangnya yang merah.

Sekarang dimana mereka berada? Di ujung langit? Atau di dalam tungku? Pho Ang-soat tidak tahu, malah dia sendiri juga bingung, entah dimana sekarang dirinya berada? Di ujung langit? Atau di dalam tungku?

Golok tergenggam kencang di tangan, dia tahu goloknya itu pernah digembleng dari dalam tungku. Bukankah sekarang jiwa raganya mirip goloknya yang tergembleng di dalam tungku dulu?

*******************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar