Peristiwa Bulu Merak Bab 11 : Dimana-Mana Terang Bulan

Bab 11. Dimana-Mana Terang Bulan

Larut malam, jagat raya gelap gulita.

Malam ini tiada rembulan (Bing-gwat), apakah Bing-gwat telah mati malam ini?

Yan Lam-hwi membedal kudanya, Pho Ang-soat justru duduk diam di sampingnya. Kereta yang bagus, kabin kereta yang berat. “Kenapa kita harus naik kereta.”

“Karena kita punya kereta.”

“Kudanya sudah letih, kuda yang sudah lelah tak kuat ditunggangi dua orang, tapi masih kuat menarik kereta.”

“Karena kereta pakai roda?” “Betul.”

“Kita juga punya kaki, kenapa tidak lari?”

“Karena kita juga sudah lelah, tenaga kita harus dipertahankan.” “Dipertahankan untuk membunuh orang?” “Asal ada orang yang patut dibunuh, tidak asal bunuh orang.” Merak memang sudah mati.

Khong-jiok-san-ceng bukan lagi Khong-jiok-san-ceng yang dulu. Malam kelam masih dihiasi beberapa kerlipan bintang yang jarang-jarang, sinar bintang itulah yang menyinari puing-puing itu, kelihatannya sunyi dan seram.

Kuda yang dilarikan kencang sejauh ratusan li akhirnya roboh.

Kamar batu di bawah tanah itu sudah kosong, tidak dihuni seorang pun, kosong melompong, barang- barang yang bisa bergerak di sini seluruhnya telah diangkut.

Cahaya api tanpa bergerak, karena tangan Yan Lam-hwi yang memegang obor gemetar. Konon di waktu Merak mati. Bing-gwat-sim pun akan mengiringnya tenggelam.

Yan Lam-hwi mengertak gigi, katanya, “Bagaimana mereka bisa tahu? Darimana tahu kalau orangnya ada di sini?”

Tangan Pho Ang-soat yang memegang golok tidak gemetar, kulit mukanya justru kedutan, wajah yang pucat merah membara, merah yang aneh, merah menakutkan.

“Waktu kita kemari, di belakang pasti tidak ada yang menguntit, siapakah...” “Keluar,” mendadak Pho Ang-soat meraung.

“Kau suruh aku keluar,” Yan Lam-hwi terbeliak.

Pho Ang-soat tidak bicara lagi, ujung mulutnya sudah berkerut-merut.

Yan Lam-hwi mengawasinya dengan kaget, mundur selangkah demi selangkah.

Pho Ang-soat sudah terkapar, begitu roboh sekujur badannya lantas mengejang dan menggelepar seperti dihajar cambuk yang tidak kelihatan, menghajar dan menghajar terus, karena kesakitan, tubuhnya itu sudah meringkel dan meronta seperti cacing kepanasan, seperti udang kering, tenggorokannya mengeluarkan gerangan rendah seperti binatang buas yang sekarat sebelum ajal, “Aku salah, akulah yang salah…”

Sebelah tangannya mencengkeram dan mencakar tanah, bagai seorang yang hampir mati tenggelam berusaha menangkap sebatang kayu terapung yang hakikatnya tidak ada. Tanah itu dilapisi batu, kukunya pecah, tangannya sudah mulai mengeluarkan darah. Tangannya yang satu lagi tetap memegang kencang goloknya, golok masih tetap golok, golok tidak kenal balas kasihan, maka golok itu abadi.

Yan Lam-hwi tahu dia pasti pantang keadaannya yang menderita dan penyakit anehnya ini diketahui orang lain. Tapi Yan Lam-hwi tidak keluar, karena dia tahu, walau golok masih tetap golok, namun Pho Ang-soat dalam keadaan seperti ini bukan lagi Pho Ang-soat biasanya.

Sekarang siapa pun yang masuk kemari, sekali bacok dengan mudah dapat membunuhnya. Kenapa yang Maha Kuasa harus menyiksanya sedemikian rupa? Kenapa manusia seperti dia harus mengidap penyakit seaneh ini?

Sekuat Yan Lam-hwi menekan emosinya supaya air mata tidak meleleh.

Obor sudah padam, karena dia tidak tega menyaksikan keadaannya. Tangannya sudah menggenggam pedang di bawah bajunya.

Lubang di atas dinding itu kelihatannya seperti mata tunggal binatang buas yang jahat di kegelapan seperti dalam dongeng. Dia bersumpah, sekarang siapa pun yang berani menerjang masuk dari lubang itu, maka dia harus mampus di bawah pedangnya, dia yakin dapat melakukan hal ini.

Tiada orang masuk dari lubang itu, namun di tengah kegelapan mendadak terbit sinar api. Darimana datangnya sinar api?

Yan Lam-hwi mendadak menoleh, bara sekarang dilihatnya pintu besi yang terkunci tiga belas itu entah sejak kapan tanpa mengeluarkan suara telah merenggang. Sinar api menyorot masuk dari luar pintu, perlahan pintu terbuka lebar, maka muncullah lima orang.

Dua orang mengangkat dua obor berdiri di luar pintu, tiga orang yang lain beranjak masuk dengan langkah lebar. Orang pertama pergelangan kanannya dibalut kain putih, dengan kain sutra menggantungnya di depan dada, tangan kiri memegang terbalik sebatang Hou-sing-kiam, sorot matanya memancarkan dendam dan kebencian. Seorang di sebelahnya mengenakan jubah Tosu dan bertopi keagamaan, langkahnya mantap dan tegap, jelas hatinya dilembari keyakinan. Orang terakhir mukanya dihiasi codet bekas bacokan, ujung mulutnya mengulum senyum, namun kelihatannya culas dan kejam.

Serasa tenggelam hati Yan Lam-hwi, rasa getir dan pahit bergolak dalam perutnya seperti hendak muntah.

Seharusnya dia ingat orang lain tidak mungkin bisa membuka tiga belas kunci di pintu besi itu, namun Kongsun To pasti bisa, jadi lubang di atas dinding itu bukan lagi jalan keluar masuk satu-satunya di kamar batu ini. Mereka tidak memikirkan hal ini, mereka terlalu terburu-buru oleh keyakinan sehingga melalaikan titik kelemahan ini, melakukan kesalahan yang amat fatal.

Mendadak Kongsun To mengulur sebelah tangannya, pelan-pelan membuka telapak tangannya, maka tampak Khong-jiok-ling yang mengkilap kuning itu di telapak tangannya. Khong-jiok-ling terjatuh di tangannya, bagaimana dengan Bing-gwat-sim? Sekuatnya Yan Lam-hwi menahan diri supaya tidak muntah.

Kongsun To tersenyum, katanya, “Tidak pantas kalian suruh dia memegang Am-gi ini menghadap ke lubang di atas dinding, kami manusia bukan tikus, bukan saja tidak bisa membuat lubang, juga tidak akan menerobos dari lubang.” Tawanya amat riang, lalu melanjutkan, “Jika dia tumplekkan seluruh perhatiannya menghadap ke lubang, mungkin tidak mudah bagi kami untuk masuk kemari.”

Tak tahan Yan Lam-hwi menghela napas, katanya menyesal, “Aku yang salah.” “Kau memang salah, seharusnya kau sudah membunuhku,” jengek Kongsun To.

Nyo Bu-ki berkata tawar, “Karena itu selanjutnya kau harus selalu ingat nasehatku. Jika ingin membunuh orang harus tanpa pantangan.”

“Kenapa kau memberi nasehat kepadanya malah, kalau dia punya kesempatan lagi, bukankah aku bakal mampus.”

“Apa mungkin dia memperoleh kesempatan kedua?” sinis suara Nyo Bu-ki. “Tidak, pasti tidak.”

Nyo Bu-Ki menggeleng kepala, katanya, “Sekarang orang yang bisa dia bunuh hanyalah dirinya sendiri, tapi dia juga masih bisa membunuh Pho Ang-soat.”

Kongsun To berkata, “Pho Ang-soat bagian Tio Ping, dia bergerak saja tidak bisa.”

Yan Lam-hwi mengawasi mereka, terasa suara mereka seperti berkumandang di tempat yang jauh. Seharusnya dia memusatkan seluruh perhatian dan tenaga untuk menghadapi mereka. Dia harus tahu detik-detik kritis yang menentukan mati hidup ini, musuh jelas tidak akan memberi kelonggaran dan mengampuni jiwanya, dia sendiri juga tidak boleh mundur, tidak boleh menyerah. Umpama ada kesempatan mundur, dia pasti tidak akan mau mundur.

Mendadak dia justru merasa amat lelah, apakah lantaran dia sendiri insyaf bahwa kemampuannya sendiri jelas bukan tandingan kedua lawan tangguh ini?

Bing-gwat-sim sudah tenggelam, malaikat golok yang tidak pernah kalah kini juga sudah roboh, rebah dalam keadaan sekarat, adakah harapan yang dapat diraihnya?

Kongsun To sedang bertanya pada Tio Ping, “Siapakah yang memotong tanganmu?” “Pho Ang-soat,” desis Tio Ping penuh dendam.

“Ingin tidak kau menuntut balas?” “Ingin sekali.”

“Dengan cara apa kau ingin menghadapinya?” “Aku punya caraku sendiri?”

“Kenapa sekarang tidak lekas kau turun tangan? Memangnya kau tidak tahu bahwa sekarang adalah kesempatan paling baik?” desak Kongsun To.

Nyo Bu-Ki berkata, “Kesempatan hanya datang sekali dan tidak akan terulang selamanya, bila Pho Ang- soat sudah siuman dan sadar berarti kau sudah terlambat bertindak.” “Sekarang kau tidak perlu kuatir terhadap Yan Lam-hwi,” Kongsun To menghasut. “Kenapa?” Tio Ping percaya.

“Karena bila dia berani bergerak, Pho Ang-soat akan segera berubah jadi merak,” ujar Kongsun To. “Jadi merak?”

“Bulu merak sebumbung penuh ini peduli menancap di badan siapa saja, maka orang itu akan segera menjadi merak, merak yang mati tentunya.”

Tio Ping tertawa, ujarnya, “Tapi aku tidak ingin dia lekas mati.” “Ya, aku pun demikian.”

Mendadak Tio Ping meletakkan Hou-sing-kiam di tangannya terus menerjang maju, sekali jambak dia renggut rambut Pho Ang-soat, dengan lutut terangkat dia hajar jidat orang, menyusul telapak tangannya terayun membacok tengkuknya, begitu kepala Pho Ang-soat terkulai, kaki Tio Ping pun menendang Pho Ang-soat, bentaknya bengis, “Buka matamu dan lihat siapa aku.”

Otot hijau di atas jidat Pho Ang-soat tampak merongkol, bukan saja dia tidak bisa melawan, napasnya pun megap-megap.

Tio Ping menyeringai dingin, “Kau memotong tanganku, dengan tanganku ini akan kucekik putus lehermu.” Otot hijau di jidat Yan Lam-hwi juga merongkol, keadaannya juga hampir susah bernapas.

Kongsun To menyeringai sadis katanya, “Kenapa tidak kau tolong temanmu? Apakah kau ingin berdiri saja menonton kematiannya?”

Yan Lam-hwi tidak bergerak.

Yan Lam-hwi tahu kalau dia bergerak, Pho Ang-soat akan lebih cepat mati. Tapi dia tidak boleh tidak harus bertindak.

Dengan sebelah tangannya yang utuh Tio Ping sedang menghajar muka Pho Ang-soat pergi datang, agaknya tidak akan segera mencabut jiwanya, tapi penghinaan ini akan terasa lebih menyiksa daripada mati.

Yan Lam-hwi menggenggam pedang di balik bajunya, keringat mengucur di mukanya, mendadak dia berkata, “Umpama kalian bisa membunuh dia, belum tentu mampu membunuhku.”

“Apa kehendakmu?”

“Kalian harus membebaskan dia.” “Dan kau?”

“Biar aku yang mati.”

“Bukan saja kami ingin kau pun mampus, dia pun tidak boleh hidup.” “Kalau mau membunuh orang, tanpa pantangan,” jengek Nyo Bu-ki.

Lenyap seringai sadis Kongsun To, mendadak dia menghardik, “Tio Ping, bunuh dia sekarang juga.” Tio Ping mengertak gigi, seluruh tenaga dia kerahkan ke sikunya.

Pada saat itulah mendadak sinar golok berkelebat. Itulah golok Pho Ang-soat, golok yang tiada bandingan di kolong langit.

Mereka mengira adu otak kali ini mereka pasti menang, karena mereka melupakan satu hal. Tangan Pho Ang-soat masih menggenggam kencang goloknya.

Pada saat yang hampir sama, Yan Lam-hwi juga mendadak menyayun tangan, cahaya pedang yang merah menyala langsung mengulung ke arah Kongsun To.

Pedang Nyo Bu-Ki juga sudah keluar dari sarung, cara dia mencabut pedang sangat mahir dan lincah, serangannya telak dan manjur, pedangnya menusuk sasaran mematikan di tubuh Yan Lam-hwi. Umpama Yan Lam-hwi dapat membunuh Kongsun To dengan pedangnya, dia sendiri juga pasti mati di bawah  pedang Nyo Bu-ki. Terpaksa dia harus membalikkan pedang menyelamatkan jiwa sendiri.

Sigap sekali Kongsun To, setelah lolos dari tabir cahaya pedang yang lebat bagai hujan darah, dia melambung ke udara bersalto beberapa kali kemudian meluncur keluar pintu. Pedang panjang Nyo Bu-ki dituntun keluar, badan bergerak mengikuti gerak pedang, dia pun ikut melesat keluar.

Sudah tentu Yan Lam-hwi tidak membiarkan musuh merat, baru saja dia bergerak hendak mengudak keluar, mendadak didengarnya sebuah jeritan disusul bentakan bengis, “Sambut.”

Sesosok bayangan orang menubruk terbang ke dalam, rambut awut-awutan, mukanya berlepotan darah, siapa lagi kalau bukan Co Giok-cin.

Walau pedang Yan Lam-hwi secepat kilat, pandangannya pun tajam, baru saja pedangnya menusuk, segera dia kendorkan tenaga menarik tangan.

Setengah menjerit Co Giok-cin sudah menubruk badannya.

“Biang”, pintu besi tebal itupun tertutup rapat. Di luar segera terdengar suara “klik, klik, klik” beruntun, tiga belas kunci telah dikunci seluruhnya, kecuali Kongsun To, tiada orang di dunia ini yang mampu membuka pintu besi itu.

Yan Lam-hwi membanting kaki, tidak menghiraukan Co Giok-cin yang roboh di tanah, dia membalik tubuh terus menerobos ke lubang dinding.

“Jagalah nona Co, akan kupenggal kepala Kongsun To dan kuserahkan kepadamu,” katanya.

Kalau golok Pho Ang-soat sudah keluar sarung, apa pula yang perlu dia kuatirkan di sini. Sekarang hanya satu tekadnya, membunuh orang, membunuh orang yang membunuh.

Darah masih menetes dari ujung golok.

Tio Ping terkapar di bawah goloknya, Co Giok-cin rebah di sampingnya, asal dia mengangkat kepala, akan melihat darah yang menetes di ujung goloknya. Darah segar menetes di atas batu, muncrat menjadi ceceran yang menggiriskan.

Pho Ang-soat berdiri tidak bergerak, mengawasi darah menetes di ujung goloknya, kali ini golok ternyata tidak langsung kembali ke sarungnya.

Co Giok-cin meronta bangun dan duduk di sampingnya, matanya lengang mengawasi goloknya. Sungguh sangat besar keinginannya untuk melihat dimanakah letak kemujizatan golok ini? Waktu gokok ini membunuh orang, seolah sudah diberi tuah oleh para malaikat di langit, tapi juga seperti pernah dikutuk oleh para iblis di neraka.

Tapi dia kecewa, batang pedang yang panjang sempit sedikit melengkung, mata golok yang tajam dan mengkilap dengan jalur lekukan darah yang tidak begitu dalam, kecuali gagang goloknya yang hitam, bentuk dari golok ini kelihatannya tiada beda dengan golok umumnya.

Co Giok-Cin menghela napas, katanya, “Bagaimanapun juga, akhirnya aku toh melihat golokmu. Apakah aku harus berterima kasih kepada orang yang mati di bawah golokmu ini?” Perkataannya kelam dan perlahan, seperti sedang menggumam sendiri.

Dia hanya ingin supaya Pho Ang-soat maklum, apa yang ingin dia lakukan, pasti bisa dilaksanakan dengan baik. Tapi setelah dia melontarkan kata-katanya, segera dia sadar bahwa dirinya telah berbuat salah, karena dia sudah melihat mata Pho Ang-soat.

Sebelum ini sepasang mata ini kelihatannya amat lelah, amat berduka, sekarang ternyata berubah lebih tajam dan dingin dari mata pisau. Tanpa sadar Co Giok-cin menurut mundur, tanyanya dengan suara memelas, “Ada yang salah dengan ucapankanku?”

Pho Ang-soat menatapnya, seperti harimau kumbang menatap mangsanya, setiap saat akan menerkamnya. Tapi setelah semua merah di mukanya sirna, dia hanya menghela napas, katanya, “Kita salah semua, kesalahanku lebih menakutkan dari kau, kenapa aku harus menyalahkanmu?”

“Kau pun salah?” Co Giok-cin memancing keterangan. “Kau salah omong, aku salah membunuh orang.”

Co Giok-cin mengawasi mayat di tanah, “Kau tidak pantas membunuhnya? Bukankah dia hendak membunuhmu?”

“Kalau dia benar ingin membunuh, yang menggeletak jadi mayat sekarang adalah aku.” Kepalanya tertunduk, sorot matanya diliputi duka dan sesal. “Dia tidak membunuhmu, apakah membalas budi kebaikanmu, karena tempo hari kau tidak membunuh dia?” Pho Ang-soat menggeleng.

Jelas ini bukan jawaban, peduli tangan siapa pun bila kau potong, cara yang tepat untuk membalas budi kebaikan orang itu terhadapmu adalah memotong buntung tanganmu. Mungkin ini hanya suatu perasaan terima kasih yang ganjil, terima kasih kepadamu lantaran kau telah membuatnya sadar dan meresapi sesuatu yang sebelum ini tidak atau belum pernah dia pikirkan, berterima kasih kepadamu karena telah mempertahankan gengsi, harga dirinya.

Pho Ang-soat dapat meresapi perasaan hatinya, namun tak kuasa dia utarakan, sering terjadi adanya ikatan batin yang aneh dan ruwet, namun siapa pun sukar menjelaskan dimana anehnya, bagaimana pula ruwetnya.

Darah di ujung golok sudah kering.

Mendadak Pho Ang-soat berkata, “Inilah yang pertama, juga yang terakhir.”

“Aku tahu,” ucap Co Giok-cin. “Pertama kali ini kau salah membunuh orang, juga yang terakhir.” “Kau keliru lagi, orang yang sering membunuh orang, setiap saat mungkin saja salah membunuh.” “Jadi maksudmu ...”

“Inilah pertama kali kau melihat golokku, juga yang terakhir,” ucap Pho Ang-soat tegas. Golok akhirnya masuk ke sarung.

Co Giok-cin memberanikan diri berkata dengan tertawa, “Golok itu tidak bagus, tidak lebih hanyalah sebatang golok biasa saja.”

Pho Ang-soat tidak ingin bicara lagi, baru saja membalik tubuh, mukanya yang pucat mendadak berkerut dan kedutan lagi, “Bagaimana kau bisa melihat golokku?”

Co Gok-cin segera menjawab, “Golokmu berada di depan mataku, aku toh tidak buta kenapa tidak bisa melihatnya?” Jawaban yang masuk akal, tapi dia melupakan satu hal.

Kamar batu ini hakikatnya gelap gulita, tiada setitik sinar api pun, gelap pekat.

Sejak umur lima tahun Pho Ang-soat sudah mulai latihan golok, kamar gelap yang rapat, pengap dan panas, sinar dupa yang menyala berkelap-kelip, berhari-hari hingga bertahun-tahun. Dia giat berlatih sepuluh tahun baru bisa melihat semut yang merambat di kamar gelap, sekarang walaupun dia melihat jelas wajah Co Giok-cin, karena dia pernah latihan, maka dia pun tahu hal ini jelas bukan pekerjaan yang gampang. Lalu bagaimana mungkin Co Giok-cin bisa melihat goloknya? Tanpa terasa tangan Pho Ang- soat menggenggam kencang goloknya.

Mendadak Co Giok-cin tertawa, katanya, “Mungkin belum pernah kau pikir, ada sementara orang sejak lahir sudah dibekali mata malam.”

“Dan kau satu di antaranya?”

“Bukan saja mataku dapat melihat di tempat gelap, aku pun bisa menembus rongga dada orang melihat apa isi hatinya,” senyumannya berubah pudar. “Sekarang dalam hatimu tentu sedang berpikir, aku ini bukan Co Giok-cin asli, sudah tentu kau tidak menganggap aku ini siluman, tapi kemungkinan adalah mata- mata Kongsun To, bukan mustahil pula seorang pembunuh perempuan yang lihai dan terkenal, kemungkinan besar pula Bing-gwat-sim telah aku jual, karena tiada orang tahu kami  berdua bersembunyi di sini.”

Pho Ang-soat diam saja, berarti sependapat.

Co Giok-cin mengawasinya, matanya berkaca-kaca, katanya, “Kenapa kau selalu tidak percaya kepadaku? Kenapa?”

Lama Pho Ang-soat berdiam diri, katanya, “Mungkin kau tidak pantas sepandai ini.”

“Kenapa tidak pantas? Lagi-lagi seperti Jiu Cui-jing, mana bisa mencari bini yang bodoh untuk melahirkan keturunannya?”

Terkatup mulut Pho Ang-soat. Sebaliknya Co Giok-cin tak berhenti bicara, “Anak yang kulahirkan pasti juga pintar, oleh karena itu aku tidak ingin begitu dia lahir sudah tidak punya ayah, aku tidak bisa membuatnya merana dan menderita, penuh penyesalan seumur hidupnya kelak.”

Muka Pho Ang-soat kedutan pula. Dia maklum pula apa maksud perkataannya, karena sejak dilahirkan dia pun tidak pernah punya ayah. Seorang bocah pandai yang tidak punya ayah itu sudah merupakan tragedi, setelah dia tumbuh dewasa pasti akan membuat orang lain melakukan banyak peristiwa tragis. Karena dendam dan kebencian yang bersemayam dalam sanubarinya jauh lebih besar dari rasa kasih sayang.

Akhirnya Pho Ang menghela napas, katanya, “Kau bisa mencari seorang ayah untuk anakmu.” “Aku sudah menemukan.”

“Siapa?”

“Engkau.”

Kamar batu itu makin gelap, di tempat gelap pekat ini jawaban itu kedengarannya berkumadang di tempat yang teramat jauh.

“Hanya kau yang setimpal menjadi ayah anakku, hanya kau mampu melindungi bocah ini hingga tumbuh dewasa, kecuali kau tiada orang lain lagi yang setimpal.”

Pho Ang-soat berdiri kaku ditelan kegelapan, terasa setiap jengkal kulit dagingnya seperti mengeras kaku.

Ternyata Co Giok-cin melakukian tindakan yang amat mengejutkan sanubarinya pula, mendadak dia meraih Hou-sing-kiam milik Tio Ping, katanya, “Kalau kau menolak, lebih baik anak dalam kandunganku ini mati dalam perut.”

“Sekarang?” pekik Pho Ang-soat tertahan.

“Ya, sekarang juga, karena aku sudah merasakan dia akan segera lahir,” walau dia berusaha menahan diri, namun wajahnya sudah kelihatan pucat dan berkerut-kerut menahan sakit.

Derita seorang perempuan di kala melahirkan, memang merupakan salah satu derita yang tidak mungkin ditahan dalam kehidupan manusia.

Pho Ang-soat lebih kaget, serunya, “Tapi kau pernah bilang, kandunganmu baru tujuh bulan, kan belum genap.”

Co Giok-cin tertawa getir dengan menahan napas, katanya, “Anak biasanya memang nakal dan tidak mau mendengar nasehat, apalagi anak yang masih dalam kandungan, bila dia mau lahir, siapa pun takkan bisa mencegahnya.” Tawa getirnya berubah menjadi seringai kesakitan, namun diliputi rasa hangat dan kasih sayang ibunda yang sukar dilukiskan. Dengan suara perlahan dia menyambung, “Mungkin karena dia ingin lekas melihat dunia atau mungkin juga aku diguncangkan oleh orang-orang itu, maka ”

Dia tidak kuat meneruskan ucapannya, rasa sakit yang bergelombang di perutnya membuatnya merinding dan menggelepar. Tangannya masih memegang kencang Hou-sing-kiam, seperti Pho Ang-soat waktu menggenggam goloknya tadi. Agaknya dia sudah bertekad bulat.

Pho Ang-soat tergagap, “Aku aku boleh menjadi ayah angkatnya.” Seolah-olah dia sudah mengerahkan

seluruh tenaga dan keberaniannya melontarkan kata-kata itu, suaranya pun serak. “Ayah angkat tidak bisa mewakili ayah, jelas tidak bisa?”

“Lalu apa kehendakmu?”

“Aku ingin supaya kau mempersunting aku jadi istrimu. Anakku baru resmi menjadi anakmu,” rasa sakit merangsang pula. Dengan mengertak gigi dia unjuk tawa dipaksakan. “Jika kau tidak setuju, aku juga tidak akan menyalahkan kau, cuma aku mohon kau kubur mayat kami di pekuburan Khong-jiok-sian-ceng.”

Apakah ini pesan terakhir? Jika Pho Ang-soat menolak lamarannya, dia akan segera mati?

Pho Ang-soat tertegun, dia sering berhadapan dengan musuh yang paling menakutkan, menghadapi bahaya besar yang hampir merenggut nyawanya, tapi belum pernah dia mengalami kesulitan seperti sekarang.

Kematian Jiu Cui-jing boleh dikata lantaran dirinya, Co Giok-cin boleh dianggap sebagai istri Jiu Cui-jing. Tapi dilihat dari sudut lain, bahwa kematian Jiu Cui-jing juga lantaran dirinya hingga Khong-jiok-san-ceng yang sudah berdiri selama hampir empat ratus tahun hancur-lebur dalam sekejap, kini Jiu Cui-jing hanya meninggalkan satu keturunan, apa pun pengorbanannya adalah pantas kalau dia melindungi Co Giok-cin, biarlah dia melahirkan secara wajar dan lancar, melindunginya hingga bocah tumbuh dewasa. Mungkinkah dia menolaknya?

Gelombang sakit semakin sering dan pendek, rasa sakit itu juga makin parah, mata tajam Hou-sing-kiam sudah mengiris robek baju luarnya.

Akhirnya Pho Ang-soat mengambil keputusan yang menyiksa hatinya, “Baiklah, aku terima.” “Kau bersedia manjadi suamiku.”

“Ya, aku mau menjadi suamimu.”

Apakah tetap keputusannya? Tiada orang dapat memastikan, dia sendiri pun tidak bisa, namun dalam keadaan seperti itu dia sudah tidak punya pilihan lain.

Dengus napas, rintihan dan jerit kesakitan ... mendadak seluruhnya berhenti, menjadi hening lelap seperti tiada kehidupan.

Selanjutnya meledaklah tangisan nyaring dan merdu dari jabang bayi yang memecah kesunyian, membawa kehidapan baru di jagat raya ini.

Tangan Pho Ang-soat berlepotan darah, namun darah kehidupan. Kali ini dia membawa dengan tangannya, membawa kehidupan, bukan kematian, kehidupan yang menyala.

Mengawasi tangan sendiri, terasa hatinya pun melonjak-lonjak menyambut kehidupan baru yang baru tumbuh.

Mayat Tio Ping masih di pinggir, dia mati di bawah golok Pho Ang-soat, hanya dalam sekejap dia sudah merenggut jiwa orang. Tapi sekarang tumbuh pula jiwa baru, jiwa segar yang lebih bergairah. Derita dan duka-lara seketika sirna setelah pecahnya tangis jabang bayi. Bau darah yang penuh dosa tadi, sekarang sudah tercuci oleh darah kehidupan yang baru.

Dalam jangka yang pendek ini, dia mengantar jiwa seorang mangkat, namun lekas sekali menyambut pula datangnya nyawa baru di dunia ini.

Pengalaman serba aneh ini membawa reaksi yang keras dan segar dalam sanubarinya sehingga jiwanya sendiri juga jelas menampakkan perubahan, berubah lebih semangat, hidup dan bergairah. Karena dia sudah mengalami suatu pencurian darah seumpama seekor merak yang sudah mengalami pencurian api dan memporeleh kehidupannya yang baru untuk kedua kalinya. Walau pengalaman ini cukup menyiksa, namun merupakan proses pertumbuhan jiwa dan nyawa, merupakan syarat yang paling mahal, tak ternilai dan tidak boleh kurang. Karena itulah kehidupan manusia.

Patah tumbuh hilang berganti, yang tua mati yang muda tumbuh, begitulah kehidupan. Sampai detik ini baru Pho Ang-soat terhitung paham, baru mengerti akan pengalamannya yang baru ini, meresapi betul- betul.

Mendengarkan tangis nyaring serta jiwa kecil yang meronta di tangannya, mendadak dia merasakan ketenangan jiwa dan rasa gembira yang selama ini belum pernah dia rasakan. Akhirnya dia sadar bahwa keputusannya memang benar, tiada persoalan apa pun di dunia ini yang lebih penting dari lahirnya jiwa. Makna kehidupan seseorang, bukankah merupakan penyambung kehidupan jiwa di mayapada ini?

Dengan suaranya yang lemah Co Giok-cin bertanya, “Lelaki atau perempuan?”

“Lelaki juga perempuan,” sahut Pho Ang-soat, suaranya terdengar gembira, nadanya aneh. “Kuhaturkan selamat kepadamu, kau melahirkan sepasang bayi dampit.”

Co Giok-cin menghela napas puas dan lega, wajahnya yang lelah kelihatan rona bahagia, katanya dengan tersenyum, “Aku pun harus memberi selamat kepadamu, jangan lupa kau adalah ayah mereka.” Ingin dia mengulur tangan membopong putra-putrinya, namun kondisinya masih terlalu lemah, tangan pun tak mampu diangkatnya.

Pada saat itulah terdengar suara gemuruh disertai getaran dahsyat seperti gunung ambruk, batu sebesar gajah berdentam memukul lantai kamar batu ini, pecahan batu laksana anak panah muncrat kemana-mana dari lubang dinding, satu-satunya jalan untuk keluar ternyata sudah tersumbat rapat dari luar.

Hampir tidak tahan Pho Ang-soat akan meraung keras. Bayi baru lahir, jiwanya yang baru sedang tumbuh, apakah mereka harus ikut menyambut datangnya kematian…..

*******************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar