Peristiwa Bulu Merak Bab 06 : Sebelum Duel

 
Bab 06. Sebelum Duel

Pho Ang-soat.

Usia: Sekitar tiga puluh tujuh tahun.

Ciri: Kaki kanan timpang, golok tak pernah lepas dari tangan.

Kungfu: Tanpa guru atau aliran mana pun, merupakan aliran tersendiri. Gamannya golok, serangannya bagai kilat, di kalangan Kangouw diakui sebagai golok kilat nomor satu.

Riwayat: Kelahiran kurang jelas, sejak dilahirkan diasuh oleh Pek-hong Kongcu dari Mo-kau, maka dia mahir cara membunuh, menggunakan racun dan senjata gelap, sejauh ini masih bujangan, empat penjuru lautan adalah rumahnya, berkelana ke seluruh dunia.

Sifat: Kaku dingin dan nyentrik, malang melintang seorang diri.

Bahan-bahan yang ditulis Toh Lui di atas secarik kertas dia sodorkan ke hadapan Ibu jari, wajahnya tidak memperlihatkan perubahan perasaan.

“Kau sudah membacanya?” tanya Ibu jari. “Ehm, sudah,” sahut Toh Lui.

Ibu jari menghela napas, katanya, “Aku tahu, kau tidak akan puas dengan keterangan yang kudapat ini,  tapi bahan itu saja yang dapat kami peroleh, maklum tiada seorang lain pun yang bisa tahu lebih banyak dari bahan-bahan yang kami dapatkan ini.”

“Bagus sekali.”

Ibu jari mengedipkan mata, tanyanya memancing, “Berguna tidak bahan-bahan itu untukmu?” “Tidak.”

“Sedikitpun tidak berguna?”

Toh Lui mengangguk, berdiri lalu mondar-mandir sekejap, lalu duduk pula, katanya dingin, “Masih ada dua hal yang paling penting.”

“Ah, masa betul?” seru Ibu jari.

“Dulu pernah dia tertipu oleh seorang perempuan, sehingga nasibnya begitu mengenaskan.” “Siapakah perempuan itu?” “Seorang pelacur bernama Jui Nong,” sahut Toh Lui.

Ibu jari menghela napas, katanya, “Selalu aku merasa heran, kenapa lelaki yang pintar selalu tertipu oleh pelacur?”

Merak tiba-tiba menyela, “Karena lelaki yang pintar hanya menyukai perempuan yang cerdik, perempuan yang cerdik kebanyakan suka jadi pelacur.”

Toh Lui menjengek, “Kukira dia ini pasti pernah tertipu juga oleh pelacur.”

Berubah air muka Merak, namun dia masih bisa tertawa, tanya, “Apa pula hal kedua yang tidak lengkap dalam data itu?”

“Dia mengidap penyakit,” ujar Toh Lui. “Penyakit apa?”

“Penyakit ayan.”

Bersinar mata Ibu jari, katanya, “Bila penyakitnya itu kumat, apakah dia juga bergelimpangan dan mengejang serta berbuih mulutnya?”

“Ya, penyakit ayan hanya satu macam,” ucap Toh Lui.

Ibu jari menghela napas gegetun, katanya, “Seorang timpang yang berpenyakit ayan ternyata mampu meyakinkan golok kilat yang tiada bandingannya di jagat ini.”

Toh Lui berkata, “Dia pernah menggembleng diri, konon sedikitnya empat jam waktu yang digunakan untuk berlatih golok, sejak berusia lima tahun setiap hari sedikitnya dia mencabut goloknya sebanyak dua belas ribu kali.”

Ibu jari menyengir kuda, katanya, “Sungguh tak nyana kau lebih jelas tentang seluk-beluknya daripada kami.”

Tawar suara Toh Lui, “Setiap tokoh yang tercantum di dalam daftar nama tokoh tersohor sudah kuketahui seluk-beluk mereka dengan jelas, karena aku sudah menghabiskan lima bulan untuk mencari bahan-bahan tentang mereka, lima bulan aku menyelidiki dan menyelami seluk-beluknya.”

“Jerih payahmu untuk menyelidiki riwayat Pho Ang-soat aku yakin lebih besar daripada yang lain.” Toh Lui mengakui.

“Apa hasil jerih payahmu itu?” tanya Ibu jari.

“Golok itu tidak pernah terlepas karena golok itulah gamannya. Paling sedikit sudah dua puluh tahun dia menggunakan golok itu sehingga golok itu seolah-olah sudah menjadi salah satu anggota badannya, sedemikian lincah dan leluasa dia menggunakan golok itu, jauh lebih leluasa dari jari orang lain menggunakan jari-jari tangan sendiri,” demikian ucap Toh Lui.

“Tapi aku tahu,” ujar Ibu jari, “golok yang dia gunakan itu tidak terlalu bagus.”

“Golok yang dapat membunuh manusia pasti adalah golok baik,” Toh Lui menegaskan.

Bagi Pho Ang-soat golok itu bukan lagi sebatang golok biasa, karena antara golok dan jiwanya itu senyawa, sudah punya ikatan batin yang tidak mungkin dirasakan dan diselami orang lain. Walau Toh Lui tidak menjelaskan hal ini lebih jauh, tapi Ibu jari sudah maklum apa yang dimaksud.

Sejak tadi Merak menepekur, katanya tiba-tiba, “Jikalau kita bisa mendapatkan goloknya itu ...” “Tiada manusia yang mampu memegang goloknya itu,” ujar Toh Lui.

“Segala sesuatu di dunia ini pasti ada kecualinya,” Merak tertawa. “Tapi untuk yang satu ini tidak ada,” Toh Lui menjawab tegas.

Merak tidak mendebatnya lagi, tanyanya malah, “Kapan penyakitnya itu sering kumat?” “Bila amarah dan rasa pilu hatinya tidak terbendung lagi, penyakitnya akan kumat.” “Jika kau bisa turun tangan di saat penyakitnya itu kumat ”

Toh Lui menarik muka, katanya menjengek dingin, “Memangnya kau kira aku ini orang apa!” Merak tertawa tergelak, katanya, “Aku tahu kau tidak sudi melakukan hal serendah itu, tapi apa salahnya kita suruh orang lain melakukannya, umpamanya kita mencari seorang untuk membuatnya marah supaya dia...”

Toh Lui berjingkrak berdiri, katanya dingin, “Aku hanya ingin supaya kalian tahu akan satu hal.” Merak pasang kuping, Ibu jari juga siap mendengarkan.

“Inilah duel antara aku dan dia, duel antara dua lelaki jantan, lelaki sejati, siapa pun yang akan menang atau kalah dalam duel ini tiada sangkut-pautnya dengan orang lain.”

Mendadak Ibu jari bertanya, “Apa tiada sangkut-pautnya dengan Kongcu?” Tangan Toh Lui yang memegang golok mendadak mencengkeram kencang.

Ibu jari segera mendesak, “Bila kau belum melupakan Kongcu, maka kau harus melakukan satu hal.” “Satu hal apa?” Toh Lui menegas.

“Biarkan dia menunggu, menunggu lebih lama beberapa kejap, biar menunggu hingga hatinya risau dan pikiran ruwet baru kau muncul,” dengan tersenyum lalu menambahkan, “dalam duel ini kau akan menang atau bakal mampus memang tiada sangkut-pautnya dengan kami, kami pun tidak ambil peduli, namun  kami tidak ingin mengubur jenazahmu.”

Tengah hari di taman bobrok keluarga Ni.

Cahaya mentari tepat menyinari atap gardu, di luar gardu berdiri seseorang dengan sebilah golok hitam, sarung yang legam.

Perlahan Pho Ang-soat menyusuri jalanan kecil di dalam taman yang sudah ditumbuhi rumput liar, tangannya menggenggam kencang gagang golok. Cat gardu sudah luntur dan banyak yang mengelupas, namun paya-paya kembang di pinggir sana masih utuh, di siang hari bolong yang benderang ini kelihatan masih kokoh dan semarak.

Tempat ini dahulu memang punya masa depan yang cemerlang, masa jaya dan semarak, kenapa sekarang berubah menjadi belukar dan tidak terurus?

Sepasang burung walet terbang dari tempat jauh, hinggap di atas pohon tak jauh di luar gardu, seolah-olah sedang mencari dan berusaha menemukan impian lama yang masih menjadi kenangan terukir dalam kalbu. Sayang sekali pohon ini masih tumbuh subur, namun keadaan sekelilingnya sudah banyak berubah, walet datang pergi pula, entah berapa kali dia pulang-pergi? Pohon subur itu tidak bisa bersuara, pohon itu tidak kenal cinta kasih, tidak tahu apa artinya belas kasihan.

Mendadak Pho Ang-soat merasakan jantungnya sakit. Sejak lama dia sudah mempelajari sifat pohon yang diam, kalem dan meyakinkan, namun dia selalu bertanya-tanya kapan baru dia bisa belajar pada sifat pohon yang tidak kenal belas kasihan.

Walet itu terbang jauh pula. Darimanakah walet itu kemari? Taman ini sudah telantar, lalu milik siapakah taman ini?

Pho Ang-soat berdiri menjublek, seolah-olah dia sudah lupa akan kehidupan dirinya. Dimana? Dan darimana? Hal Ini tak sempat dipikirnya pula, karena mendadak dia mendengar seseorang sedang tertawa, tawa cekikikan genit yang merdu nyaring laksana kicau burung kenari, berkumandang dari semak rumput yang tumbuh tinggi.

Seorang anak perempuan mendadak berdiri di semak rumput yang tinggit itu, mengawasi Pho Ang-soat sambil tertawa manis cekikikan. Begitu elok senyuman, wajahnya lebih cantik lagi, rambutnya yang  panjang terurai mayang hitam legam dan mengkilap selembut sutra.

Rambut yang terurai mayang ternyata tidak disisir, dia biarkan begitu saja rambutnya yang panjang menjuntai lemas dan tersebar di kedua pundaknya. Gadis rupawan ini ternyata juga tidak bersolek, seenaknya saja dia mengenakan seperangkat jubah panjang, entah terbuat dari kain apa, yang terang bukan sutra juga bukan satin, justru mirip rambutnya yang panjang.

Mengawasi Pho Ang-soat, sorot matanya ternyata mengandung senyum lebar dan ramah, katanya mendadak, “Tidak kau tanya kenapa aku tertawa?”

Pho Ang-soat diam saja, tidak bertanya. “Aku geli melihatmu,” senyumannya makin manis. “Melihat kau berdiri di sini, aku jadi geli, karena kau mirip seorang pikun, seorang linglung.”

Pho Ang-soat tidak bersuara.

“Kau juga tidak tanya siapakah aku?”

“Siapa kau?” ternyata Pho Ang-soat bertanya, sebetulnya dia tidak ingin bertanya. Tak nyana baru saja dia ingin bertanya, anak perempuan itu sudah melompat dan bersorak.

“Memangnya aku sedang menunggu pertanyaanmu ini,” waktu dia melompat, garangnya seperti seekor kucing yang marah, “Tahukah kau, tanah dimana kau sekarang berdiri milik siapa? Berdasarkan apa kau berani mondar-mandir seenak udelmu di tanah ini?”

Pho Ang-soat menatapnya dingin, menunggu ocehannya lebih lanjut.

“Tempat ini milik keluarga Ni,” dengan jari telunjuknya menuding hidung sendiri, “aku inilah nona kedua dari keluarga Ni, bila aku mau, sembarang waktu bisa saja mengusirmu.”

Terpaksa Pho Ang-soat hanya bungkam, seorang keluyuran di rumah orang, mendadak kepergok oleh tuan rumah, apa pula yang bisa dia katakan.

Ni-jisiocia melototinya dengan gemas, mendadak dia tertawa, tertawa manis, “Tapi aku tentu tidak akan mengusirmu, karena Matanya berkedip-kedip, “Karena aku menyukaimu.”

Pho Ang-soat hanya mendengarkan.

Boleh saja kau tidak menyukai orang lain, tapi tak dapat melarang orang lain menyukaimu.

Tapi cepat Ni-jisiocia telah berubah hatinya, “Aku bilang aku menyukaimu, sebenarnya hanya omong kosong saja.” Setelah menghela napas, lanjutnya, “Aku tidak segera mengusirmu karena aku tahu aku bukan tandinganmu.”

Tak tertahan Pho Ang-soat bertanya, “Kau tahu diriku?” “Sudah tentu tahu.”

“Apa saja yang kau ketahui?”

“Bukan saja aku tahu kau mahir kungfu, aku juga tahu siapa namamu? Pokoknya jelas deh,” dengan menggendong kedua tangan, dia melangkah keluar dari semak rumput dengan sikap angkuh, matanya plirak-plirik mengawasi Pho Ang-soat dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas.

“Orang lain bilang kau ini makhluk aneh, tapi pendapatku sebaliknya, bukan saja kau ini tidak aneh, malah tampangmu cukup ganteng.”

Perlahan Pho Ang-soat memutar badan berjalan ke arah gardu yang disinari matahari, tiba-tiba dia bertanya, “Hanya kau seorang di tempat ini?”

“Kalau seorang diri memangnya kenapa?” bantahnya dengan mata berputar, “apa kau berani menganiaya aku?”

“Biasanya kau tidak berada di sini?”

“Kenapa seorang diri aku harus berada di tempat seperti sarang setan ini?”

Mendadak Pho Ang-soat menoleh, katanya menatap tajam, “Sekarang kenapa tidak lekas kau menyingkir?”

Ni-jisiocia berjingkrak dan berteriak, “Ini kan rumahku, terserah aku mau di sini atau mau pergi, memangnya perlu aku runduk kepada orang lain?”

Kembali Pho Ang-soat bungkam.

Ni-jisiocia melotot gusar sambil bertolak pinggang, namun kejap lain mendadak dia tertawa sendiri, katanya, “Sebetulnya tidak pantas aku bertengkar dengan kau, kalau baru permulaan aku sudah  bertengkar dengan kau, bagaimana kelak?”

Kelak? Tahukah kau ada sementara orang yang tidak punya kelak?

Perlahan langkah Pho Ang-soat waktu menaiki undakan, pandangannya tertuju ke tempat jauh walau sinar mentari menimpa wajahnya, wajahnya masih kelihatan pucat sekali. Hanya satu harapannya, yaitu semoga Toh Lui lekas datang.

Tapi Ni-jisiocia bertanya lagi, “Aku tahu kau bernama Pho Ang-soat, kenapa tidak kau tanya siapa namaku?”

Karena Pho Ang-soat diam saja, terpaksa dia memperkenalkan diri sendiri, “Aku bernama Ni Hwi.” Mendadak dia melompati pagar dan berdiri di depan Pho Ang-soat, lalu ucapnya agak aseran, “Ayahku memberi nama Hwi berarti cerdik, karena sejak kecil aku paling pintar dan banyak akal.”

Pho Ang-soat tidak menghiraukan ocehannya.

“Kau tidak percaya?” tangannya bertolak pinggang, sanggulnya hampir menyentuh hidung Pho Ang-soat, “Bukan saja aku tahu apa maksudmu datang kemari, aku malah tahu siapa yang sedang kau tungggu di sini. Kau kemari pasti ingin mengadu jiwa dengan seorang, melihat rona mukamu, aku lantas dapat menebaknya.”

“Ah, masa?”

“Ya, karena kau membawa hawa membunuh.”

Bocah cilik centil yang cerewet ini apa benar tahu apa artinya hawa membunuh?

“Aku juga tahu yang sedang kau tunggu pasti Toh Lui,” nada Ni Hwi seperti yakin bahwa ucapannya pasti betul. “Karena dalam lingkungan ratusan li di daerah ini, orang yang mampu dan setimpal berduel dengan Pho Ang-soat hanya Toh Lui seorang saja.”

Memang tidak sedikit yang diketahui cewek cilik ini.

Mengawasi mata orang yang lincah, Pho Ang-soat bertanya dingin, “Kalau kau tahu, seharusnya kau lekas pergi.” Nadanya tetap dingin, tapi tatapan matanya tidak sedingin biasanya, bentuk matanya seolah-olah telah berubah lembut dan hangat.

Ni Hwi tertawa, katanya lembut, “Apakah kau sudah mulai memperhatikan aku?”

Pho Ang-soat menarik muka, katanya, “Aku suruh kau pergi karena aku membunuh orang bukan untuk ditonton.”

Ni Hwi mencibir bibir, katanya, “Umpama kau mau mengusirku juga tidak perlu tergesa-gesa. Toh Lui tidak akan datang lebih dini.”

Pho Ang-soat mengangkat kepala, mentari tepat di tengah angkasa.

“Dia pasti berbuat seenaknya supaya kau menunggu, menunggu dan menunggu sehingga hatimu risau, semakin risau hatimu, kesempatannya menggorok lehermu menjadi lebih besar.” Dengan tertawa dia berkata pula, “Ini termasuk strategi perang, jagoan tukang berkelahi seperti dirimu seharusnya sudah  memikirkan hal ini.”

Tapi mendadak dia menggeleng, lalu melanjutkan, “Tapi kau pasti tidak mau memikirkan hal ini, karena kau seorang Kungcu, laki-laki sejati, aku bukan, maka boleh aku memberi sebuah akal kepadamu, cara yang tepat untuk menghadapi musuh serendah dia.”

Cara apa? Pho Ang-soat tidak bertanya, namun dia juga tidak pantang mendengar.

“Kalau dia ingin kau menunggu, maka kau pun bisa membuat dia menunggu,” Ni Hwi berkata.

Gigit menggigit, dengan cara orang memperlakukan dirimu, maka kau pun bisa menggunakan cara itu untuk memperlakukan orang itu. Itulah cara yang paling kuno, cara kuno umumnya amat manjur.

Ni Hwi berkata pula, “Marilah kita bertamasya di taman ini atau boleh juga kita bermain catur, sambil  minum dua poci arak supaya dia menunggumu di sini, menunggumu sampai mampus saking gelisah.”

Pho Ang-soat tidak memberi reaksi.

“Akan kubawa kau ke tempat kami menyimpan arak, bila nasib kita lagi mujur, bukan mustahil dapat menemukan seguci Li-ji-ang peninggalan bibi waktu dia menikah dahulu,” agaknya minatnya terlalu besar minum arak, sebelum Pho Ang-soat memberi reaksi, dia sudah mengulur tangan menarik lengannya, lengan tangan yang memegang golok.

Tiada orang bisa menyentuh tangannya itu. Jari-jarinya yang halus baru saja menyentuh tangannya, mendadak terasa ada suatu tenaga besar yang aneh menggetar pergi jari tangannya. Begitu hebat arus getaran tenaga itu sehingga tubuhnya melenting seperti digontok, ingin berdiri juga tidak kuasa lagi, akhirnya dia jatuh terduduk, pantatnya terbanting cukup keras.

Kali ini mulutnya ternyata tidak ribut karena matanya merah dan berkaca-kaca, suaranya terisak, “Aku hanya ingin bersahabat dengan kau, ingin melakukan sesuatu, kenapa kau bersikap sekasar ini terhadapku.” Punggung tangannya mengucek-ngucek hidung seperti akan pecah tangisnya.

Kelihatannya dia memang seperti anak perempuan yang harus dikasihani, aleman tapi juga jenaka.

Pho Ang-soat tidak mengawasinya, melirik pun tidak, namun suaranya dingin, “Bangun, dalam rumput ada ular.”

Ni Hwi makin memelas, katanya, “Tulang seluruh badanku seperti remuk, bagaimana aku bisa berdiri.” Dengan tangan mengucek hidung dan mata, ia melanjutkan, “Biarlah aku digigit ular di sini saja.”

Wajah Pho Ang-soat yang pucat tetap tidak berubah, tapi dia sudah beranjak menghampiri. Dia tahu tenaga yang dia salurkan tadi, bukan seluruhnya tenaga yang tersalur dari badannya, karena tangannya memegang golok, dari batang goloknya itupun bisa mengeluarkan kekuatan, golok itu berada di tangannya, golok itu seperti memiliki jiwa, ada sukmanya, ada jiwa pasti ada tenaga, tenaga terpendam untuk menunjang jimat.

Perbawa kekuatannya itu boleh dikata sudah hampir mirip dengan Kiam-khi (hawa pedang) yang amat menakutkan, hawa pedang yang tak mungkin ditahan atau dilawan apa pun. Memang pantas bila dia tidak menggunakan tenaga itu untuk menghadapi cewek jenaka ini.

Ni Hwi duduk meronta-ronta di atas rumput, kedua tangannya menutup muka, jari-jari tangan yang halus dan putih. Akhirnya Pho Ang-soat mengulur tangan menariknya, tangan yang tidak memegang golok. Ternyata Ni Hwi tidak melawan, juga tidak menyingkir, tangannya terasa empuk hangat.

Sudah lama Pho Ang-soat tidak menyentuh tangan seorang perempuan. Dia menekan hawa nafsu jauh lebih tuntas dari setiap padri saleh yang suci, menderita dalam ajaran agamanya. Akan tetapi dia adalah lelaki, laki-laki tulen, laki-laki yang belum tua.

Seperti anak domba yang penurut dia merangkak bangun sambil merintih perlahan, waktu Pho Ang-soat hendak membimbingnya, tiba-tiba dia menjatuhkan diri ke dalam pelukannya malah, badannya yang montok padat lebih hangat, lebih menggairahkan, lebih empuk.

Pho Ang-soat merasakan jantungnya berdebar kencang, sudah tentu Ni Hwi juga merasakan detak jantungnya yang memburu. Anehnya pada sekejap itulah, mendadak timbul suatu firasat yang aneh. Terasa adanya nafsu membunuh, firasatnya memang tajam, pada saat itulah Ni Hwi telah mencabut sebilah pisau, pisau panjang tujuh dim, langsung ditusukkan ke lambung samping bawah ketiaknya.

Wajah nan molek jenaka mirip cewek kecil yang mungil, namun serangan yang dilancarkan jauh lebih jahat dari pagutan ular beracun. Sayang tusukannya gagal, pisaunya menusuk angin.

Entah bagaimana mendadak tubuh Pho Ang-soat mengkeret, jelas dan yakin bahwa pisau tajamnya itu sudah menusuk ke perut orang, namun kenyataannya hanya menyerempet pinggir kulitnya. Sedetik itu

pula Ni Hwi juga menyadari bahwa tusukan pisaunya gagal, maka kakinya menjejak, tubuhnya pun sudah melejit ke atas. Seperti ular berbisa yang sembarang waktu mampu melenting ke udara dari semak rumput, baru saja tubuhnya melejit di tengah udara sudah bersalto. Sekali bersalto disusul salto yang kedua, ujung kakinya sudah menutul atap gardu. Begitu ujung kakinya meminjam tenaga, tubuhnya sudah melambung pula ke belakang, kini sudah berada di pucuk pohon sejauh lima tombak.

Sebetulnya Ni Hwi ingin menyingkir lebih jauh, tapi karena Pho Ang-soat tidak mengejar, maka dia tidak berlari lebih jauh, dengan sebelah kakinya dia berdiri di pucuk sebatang dahan yang memantul enteng, mulutnya ternyata masih menerocos bagai burung berkicau.

Ginkangnya memang tinggi, cara dia memaki orang juga tidak rendah.

“Baru sekarang aku tahu kenapa cewekmu dulu itu meninggalkan engkau, karena hakikatnya kau bukan laki-laki, bukan saja kakimu cacad, jiwamu ternyata juga tidak normal,” caci-makinya tidak kasar, namun setiap patah katanya laksana jarum yang menusuk ke hulu hati Pho Ang-soat.

Wajah Pho Ang-soat yang merah mendadak bersemu merah, warna merah yang ganjil, jari-jari tangannya tergenggam kencang. Hampir saja dia mencabut golok, tapi dia tidak bergerak, karena mendadak dia menyadari derita batinnya sekarang tidak lagi separah dan seberat apa yang dipikirnya. Setiap senyumannya, setiap tetas air matanya, setiap limpahan cinta dan setiap patah katanya yang bohong, sudah terukir dalam sanubarinya. Segala perasaan itu sudah lama terpendam dalam sanubarinya. Hingga dia berhadapan dengan Bing-gwat-sim, seluruh derita yang terbenam dalam kenangan itu kembali terpampang di depan matanya secara hidup-hidup. Maka pukulan batin yang dideritanya pada saat itu, pasti takkan bisa dibayangkan, tak bisa diresapi oleh siapa pun dan satu hal yang tidak terduga adalah setelah mengalami siksa derita ini, penderitaan batinnya malah menjadi tawar, penderitaan yang semula tidak berani dipikirkan, dibayangkan atau dihadapi sekarang sudah dapat ditantangnya dengan tabah.

Penderitaan manusia memang mirip borok yang sudah membusuk, bila kau diamkan saja borok itu makin parah, makin membusuk. Bila kau tega mengoreknya dengan pisau sehingga darah dan nanah meleleh keluar, bukan mustahil dia malah akan segera sembuh.

Waktu Pho Ang-soat mengangkat kepala, keadaannya sudah pulih seperti sedia kala, tenang, mantap dan dingin.

Ni Hwi masih berpantul di pucuk pohon, pandangannya tampak kaget dan heran, Pho Ang-soat tidak mencabut goloknya, suaranya terdengar tawar, “Pergilah kau.”

Sang surya sudah doyong ke barat, bayangan gardu itu sudah terpeta di atas tanah berumput liar.

Pho Ang-soat tidak bergerak, gayanya pun tidak berubah. Dia tetap berdiri di tempat semula, bayangannya makin panjang dan panjang, Pho Ang-soat tetap tidak bergerak, orangnya tidak bergerak, hatinya pun tidak tergerak.

Bila seseorang sudah biasa hidup dalam kesunyian seorang diri, maka menunggu dan menunggu itu baginya sudah bukan suatu penderitaan, suatu hal yang tidak perlu dirisaukan. Untuk menunggu golok tercabut pertama kali, dia sudah menunggu tujuh belas tahun, padahal pertama kali dia mencabut golok dahulu, hakikatnya tiada faedahnya, tidak punya arti dan tidak membawa akibat apa pun. Selama tujuh belas tahun dia menunggu hanya untuk membunuh, ya, membunuh demi menuntut balas kematian ayah bundanya.

Akan tetapi setelah dia mencabut golok, baru dia sadar bahwa dirinya hakikatnya bukan keturunan keluarga itu, bahwasanya tiada sangkut-pautnya dengan persoalan dan pertikaian itu. Ini bukan melulu merupakan suatu sindiran pedas. Bagi siapa pun, sindiran seperti ini terlampau tajam, terlampau keji. Tapi Pho Ang-soat telah mengalami dan menerima sebab akibatnya, karena dia dipaksa harus menerima tempaan hidup ini. Maka selanjutnya dia pun belajar bertahan, berhasil menahan sabar.

Bila Toh Lui maklum akan hal ini, mungkin dia tidak akan membiarkan Pho Ang-soat menunggu terlalu lama. Bila kau ingin aku menunggu, bukanlah kau sendiri juga sedang menunggu.

Banyak persoalan di dunia ini memang mirip dua mata pedang yang sama tajamnya, bila kau ingin melukai orang lain, sering kali kau sendiri pun bisa terluka. Celakanya luka-luka yang kau derita kemungkinan justru lebih berat dari lawanmu.

Perlahan Pho Ang-soat menghembuskan napas dari mulutnya, terasa hati tenang, dada lapang, pikiran jernih.

Sekarang jam sudah menunjukkan angka tiga.

Gubuk yang lembab itu terletak di ujung gang yang gelap, pemiliknya semula adalah seorang tua kikir yang berpenyakitan, konon setelah mayatnya membusuk baru diketahui orang.

Sekarang Merak justru menyewa rumah ini, bukan karena dia pun kikir. Padahal dia cukup mampu menginap di hotel kelas satu, namun dia rela tinggal di tempat yang jorok ini. Merak, julukan ini sebetulnya juga suatu sindiran bagi dirinya, Karena pribadinya bukan seorang yang berharga untuk disanjung dan dikagumi seperti indahnya bulu merak yang sedang mekar, sebaliknya dia justru lebih mirip seekor kelelawar yang takut dan tak berani terkena sinar matahari.

Waktu Ibu jari berjalan masuk, dia sedang rebah di atas dipan yang keras dan dingin. Sebuah jendela kecil satu-satunya yang ada dari bilik ini sudah dipaku kencang dan dipalang selembar papan sehingga bilik ini bukan saja lembab dan guram, juga berbau apek mirip liang kelelawar yang busuk.

Begitu duduk Ibu jari lantas menghela napas, tak pernah dia mau tahu kenapa Merak mau dan sudi tinggal di tempat seperti ini.

Jangankan menoleh, melirik pun tidak, Merak tidak menyambut kehadirannya. Setelah dengus napasnya mulai mereda baru dia bertanya, “Mana Toh Lui?” “Dia masih menunggu,” sahut Ibu jari.

“Waktu berpisah dengan aku tadi kira-kira sudah jam tiga, berapa lama lagi dia ingin Pho Ang-soat menunggunya?” kata Merak.

“Sudah kuberitahu kepadanya, paling cepat jam 4 baru boleh dia berangkat,” ujar Ibu jari.

Ujung mulut Merak menampilkan senyuman sadis, katanya, “Berdiri beberapa jam di tempat seperti sarang setan itu rasanya pasti juga cukup menyiksa batinnya.”

Ibu jari justru mengerut kening, katanya, “Aku justru menguatirkan satu hal.” “Hal apa?”

“Walau Pho Ang-soat sedang menunggu, Toh Lui sendiri juga sedang menunggu, aku justru kuatir dia lebih tidak bisa menahan emosi daripada Pho Ang-soat.”

“Jika dia mampus di bawah golok Pho Ang-soat. Apakah kau menderita rugi?” “Tidak.”

“Lalu apa yang kau harus kau kuatirkan?”

Ibu jari tertawa, dengan ujung lengan bajunya dia menyeka keringat, katanya pula, “Masih ada sebuah berita baik ingin kusampaikan kepadamu.”

Merak diam saja, dia sedang mendengarkan.

“Yan Lam-hwi memang betul keracunan, malah racunnya amat jahat.” “Darimana kau peroleh berita ini?”

“Kubeli dengan harga lima ratus tahil perak.”

Mencorong mata Merak, katanya, “Berita senilai lima ratus tahil perak umumnya memang patut dipercaya.” “Karena itu setiap saat boleh kita pergi membunuhnya.”

“Sekarang juga kita boleh berangkat.” Saat itu tepat menunjukan jam tiga sore.

Meski lewat lohor, tapi cahaya mentari masih terasa terik, musim semi akan segera berlalu, musim panas sudah di ambang pintu.

Pho Ang-soat paling benci musim panas, musim panas umumnya milik anak-anak, sejak pagi hari mereka bertelanjang mandi di sungai atau di empang, berguling dan bergelut di tanah rumput, menangkap kupu- kupu, bermain kucing-kucingan. Bila malam tiba, duduk berkerumun di bawah barak sambil makan semangka yang sudah direndam di dalam sumur, mendengar cerita orang-orang tua tentang kaum pendekar menangkap setan, mengantongi kunang-kunang sebanyak mungkin untuk ditukar dengan beberapa biji permen.

Musim panas laksana emas, masa keemasan di waktu anak-anak, selalu diliputi kegembiraan, tidak pernah tahu apa artinya duka dan lara.

Pho Ang-soat justru tidak pernah mengalami kehidupan yang senang dan gembira di musim panas, sehari pun tak pernah menjadi miliknya untuk hidup dalam ketenteraman. Dalam kenangannya, musim panas hanya cucuran keringat atau darah, kalau tidak bersembunyi di dalam hutan dengan pepohonan pendek, tentu berlatih mencabut golok, maka dia pasti berada di tengah padang rumput di bawah terik matahari bersiap mencabut goloknya.

Mencabut golok, sekali dua kali, mencabut dan mencabut lagi, tak pernah berhenti, gerakan yang aneh, gerakan sederhana ini ternyata menjadi salah satu segi kehidupannya, segi kejiwaan yang paling penting.

Kapan pula gogok akan dicabut? Golok itu perlambang kematian. Di saat golok tercabut, saat itulah kematian tiba. Bila goloknya tercabut pula, siapa pula yang akan ajal? Pho Ang-soat menunduk, menatap jari-jari tangan sendiri yang memegang golok, jari-jari yang pucat dan dingin, golok itu lebih dingin, tangan makin putih, golok makin legam.

Jam tiga sore pun tiba…..

******************* 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar