Peristiwa Bulu Merak Bab 01 : Di Ujung Langit

 
Bab 01. Di Ujung Langit

“Jauhkah ujung langit?” “Tidak jauh!”

“Manusia berada di ujung langit, mana mungkin ujung langit jauh?” “Apa warna bulan purnama?”

“Biru. Sebiru lautan.”

“Bulan purnama berada dimana?”

“Berada dalam hatinya, hatinya adalah bulan purnama.” “Bagaimana dengan goloknya?”

“Golok berada dalam genggamannya!” “Golok seperti apakah itu?”

“Goloknya begitu luas, begitu sunyi bagai ujung langit, begitu suci, begitu murung bagai bulan purnama, terkadang sewaktu goloknya menyambar, seolah yang ada hanya kekosongan!” “Kekosongan?”

“Kosong, halus, melayang seolah ada seolah tak ada, seakan tak berwujud namun seakan berada dimana pun.”

“Tapi goloknya seperti tak terlampau cepat.”

“Golok yang tak cepat mana mungkin bisa tiada tandingan di kolong langit?” “Karena kecepatan goloknya telah melampaui batas kecepatan yang pernah ada!” “Bagaimana dengan manusianya?”

“Manusianya seperti belum kembali, tapi perasaannya telah hancur-lebur.” “Berada dimana jalan kembalinya?”

“Jalan kembali berada di depan mata.” “Dia tidak melihatnya?”

“Dia memang tidak melihat.” “Karena itu tidak menemukannya?”

“Walaupun sekarang tidak menemukan, cepat atau lambat suatu pasti akan menemukannya!” “Pasti dapat menemukan?”

“Pasti!” 
*****

Magrib telah mendatang. Pho Ang-soat berdiri dibawah cahaya mentari kemuning yang hampir terbenam diperaduannya. Hanya dia seorang yang berada dipancaran cahaya mentari, seolah-olah tinggal dia seorang saja yang ketinggalan hidup di mayapada ini.

Tanah tegalan belukar sepanjang ribuan li, karena kesunyian yang mencekam ini sehingga terasa rona mentaripun telah berubah, berubah menjadi warna kelabu yang hampa dan telantar.

Demikian pula orangnya. Tangannya menggengam sebilah golok. Tangan yang memucat putih, golok yang hitam legam. Bukankah warna putih dan hitam itu perlambang kehidupan yang mendekati kematian? Bukankah kematian itu terasa hampa dan kesuyian yang kelewat batas?

Sorot mata nan lengang bola mata yang hampa dan kesepian, seolah-olah dia sudah melihat bayangan kematian, apakah kematian itu sendiri sudah berada didepan matanya?

Pho Ang-soat berjalan kedepan. Langkahnya perlahan, namun tidak pernah berhenti, umpama kematian sedang menanti disebelah depan dia juga tidak akan pernah berhenti. Gayanya berjalan memang aneh juga lucu, kaki kiri melangkah dulu setapak kedepan, kaki kanan lalu diseretnya maju mendekat, setiap langkahnya kelihatan amat susah dan berat. Tapi jalanan yang pernah ditempuhnya tak terukur panjangnnya, namun setiap langkah adalah hasil dari gerakkan kedua kakinya.

Berjalan dengan cara demikian, entah kapan baru dia akan berhenti. Pho Ang-soat sendiri tidak tahu, hakikatnya dia tidak mau dan tidak pernah memikirkannya. Sekarang dia sudah berjalan sampai disini. Bagaimana didepan? Apa betul didepan ada kematian?

Memang benar, tatapan matanya sudah menandakan bayangan kematian itu, apa yang digenggam ditangannya juga kematian, karena goloknya itu perlambang kematian. Golok hitam, gagangnya juga legam, demikian pula serangkanya juga hitam. Kalau golok ini perlambang kematian, golok ini justru adalah jiwanya pula.

*******************

Cuaca makin guram, memandang jauh ke depan sudah kelihatan bentuk sebuah bayangan kota yang samar-samar. Dia tahu itulah Hong-hong-kip, kota kecil yang cukup makmur ditengah tanh belukar diluar perbatasan. Pho Ang-soat tahu letak dari Hong-hong-kip ini, karena kota itulah tempat dimana bayangan kematian sedang dicarinya. Tapi dia tidak tahu, bahwa Hong-hong-kip sekarang sudah mati, sudah runtuh sudah sepi.

Jalan raya dalam kota kecil ini tidak panjang, tidak lebar, namun ada puluhana toko dan warung berderet disepanjang jalan raya itu. Tidak sedikit kota-kota kecil seperti ini dalam dunia, keadaannya seperti itu juga, bobrok dan reyot, warung yang jorok, harga barang yang murah, keluarga sederhana dengan yang jujur dan bajik.

Sekarang keadaan sudah berbeda, karena Hong-hong-kip walau ada warung dan toko, namun sudah tiada penghuni, seorang manusiapun tidak terlihat dalam kota ini.

Pintu atau jendela rumah-rumah disepanjang jalan raya ini ada yang terbuka ada pula yang tertutup rapat, namun semuanya sudah kotor berdebu dan lapuk, luar dalam rumah bertumpuk selapis debu tebal, gelagasi malah sudah menghias berbagai pelosok rumah-rumah itu.

Seekor kucing hitam terkejut oleh derap langkah yang mendatangi, kucing ini bergerak lamban dan malas, tidak selincah dan cekatan seperti kucing umumnya yang kelaparan, dengan dengus napasnya yang berat dia beranjak menyebrang jalan, bentuknya sudah tidak mirip seekor kucing lumrah.

Kelaparan memang mampu merubah bentuk segalanya? Mungkinkah kucing kering itulah satu-satunya jiwa yang ketinggalan hidup dalam kota kecil ini?

Hati mulai dingin jari-jari tangan Pho Ang-soat juga mulai dingin, lebih dingin dari mata golok yang dipegangnya.

Kini dia sudah berdiri ditengah jalan raya, menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Tapi dia masih belum bisa percaya, tidak berani percaya dan tidak tega untuk percaya. Bencana apakah yang menimpa tempat ini? Bagaimana pula terjadinya bencana itu? Angin menghembus lalu, papan merek dari sebuah toko melambai dengan suaranya berkeriut ditiup angin, lapat-lapat masih kelihatan bekas tulisannya yang sudah luntur oleh hujan dan terik matahari. “Warung tua keluarga Tan, arak wangi simpanan lama.” Semula merek warung ini adalah reklame termegah dikota kecil ini, namun sekarang sudah luntur dan kropos kayunya, tak ubahnya gigi orang tua yang sudah ompong.

Ternyata keadaan warung arak itu sendiri jauh lebih menyedihkan dari papan reklame yang terpampang didepan pintu. Pho Ang-soat berdiri diam tak bergerak, matanya canang mengawasi papan reklame yang terombang-ambing ditiup angin, bila angin berhenti menghembus, baru dia beranjak perlahan, mendorong pintu melangkah masuk kewarung arak ini, tak ubahnya memasuki sebuah kuburan morat-marit setelah dikeduk oleh kawanan perampok.

Dulu Pho Ang-soat pernah datang ketempat ini. Arak tempat ini meski tidak terlalu enak, tapi juga tidak jelek, jelas tidak menyerupai cuka, tempat ini dahulu juga tidak mirip kuburan.

Setahun yang lalu tepat. Setahun yang lalu, warung arak ini yang ramai dalam kota kecil ini, pedagang atau pelancongan yang hilir-mudik keutara atau keselatan pulang pergi pasti melewati Hong-hong-kip, bila masuk kekota kecil ini siapapun pasti mampir dikedai arak ini minum beberapa cawan baru melanjutkan perjalanan.

Bila air kata-kata sudah masuk perut, mulutpun akan ngobrol panjang lebar, adalah pantas kalau kedai  arak ini menjadi ramai dan ribut, manusia mana yang tidak suka berada ditempat yang ramai.

Karena itu kedai arak ini merupakan rumah terbesar disepanjang jalan raya ini, tidak sedikit orang yang menjamu para sahabatnya dengan hidangan paling mahal menurut ukuran tarip dikota kecil ini maka pemilik kedai selalu berseri tawa menyambut langganannya.

Tapi pemilik kedai yang biasanya murah senyum itu kini tidak kelihatan, meja-meja yang semula bersih mengkilap kini berdebu, guci dan mangkok berserakan dilantai semuanya sudah pecah dan hancur, bau wangi arak yang merangsang semangat berganti bau apek, bau busuk yang memualkan.

Percakapan dan kelakar yang ramai disertai gebrakan meja para tamu dan penjudi yang mujur diruang depan, sementara bendo yang merajang daging dan sayur-sayuran didapur, bunyi daging yang digoreng diatas wajan yang mendidih minyaknya, kini sudah tidak terdengar pula, bila angin  lalu menghembus santer menimbulkan suara “ber”, kedengaran seperti getaran sayap kelelawar yang terbang dari neraka.

Hari sudah petang.

Perlahan Pho Ang-soat beranjak kesana, menuju kepojokan, membelakangi dinding menghadap kepintu, perlahan dia berduduk. Setahun lalu waktu dia datang ketempat ini, juga duduk disini. Tapi tempat ini sekarang sudah mirip kuburan, tempat yang sudah tidak meninggalkan kesan dan patut ditinggali lagi. Tapi kenapa justru dia duduk ditempat lama? Apa dia ingin mengenang masa lalu? Atau sedang menunggu?

Jikalau sedang mengenang masa lalu, lalu apa yang terjadi setahun lalu sehingga patut dia mengenangnya? Umpama menunggu, apa pula yang sedang dinantikan? Apakah kematian? Ya, memang kematian.

*******************

Malam akhirnya menyelimuti alam semesta. Tiada lampu tidak ada lilin, tidak ada api hanya ada kegelapan. Dia membenci kegelapan, sayang kegelapan itu mirip kematian, siapapun takkan bisa menghindarinya. Kalau kegelapan sudah tiba, bagaimana dengan kematian?

Dia duduk tak bergeming, tangannya tetap menggenggam goloknya, mungkin dia masih bisa melihat tangannya yang pucat, namun takkan bisa melihat goloknya lagi. Golok yang hitam sudah terlebur didalam kegelapan. Apakah goloknya itu juga merupakan kegelapan itu? Apakah setiap kali goloknya terayun, siapapun takkan mampu menghindarinya?

Kegelapan yang membeku diam, keheningan yang mencekam, dari jauh sayup-sayup terdengar irama musik yang kalem mengalun terbawa angin. Dalam keadaan seperti ini, situasi yang mencengkam, irama musik itu kedengarannya seperti lagu-lagu dewa yang kumandang dari langit.

Begitu mendengar irama musik ini, sorot mata yang semula hampa, mendadak seperti mengunjuk suatu mimik yang ganjil, peduli mimik ganjil serupa apa, yang jelas mimik itu bukan membayangkan rasa senang atau riang. Irama musik makin keras dan dekat, ditengah alunan musik itu, terdengar pula sebuah kereta yang mendatangi. Kecuali dirinya, apa benar masih ada orang lain yang sengaja menuju kekota kecil yang  sudah hancur ini? Sorot matanya sudah pulih sedia kala, kaku dingin, tanpa ekspresi, tapi genggaman jari- jarinya digagang golok ternyata lebih kencang.

Mungkinkah dia sudah tahu siapa yang bakal datang? Apakah orang ini yang sedang dia tunggu? Apakah orang itu pula jelmaan dari kematian itu?

Apakah itu lagu dewa? Tiada manusia pernah mendengarnya. Tapi bila seorang mendengar sehingga sanubarinya terbuai, malah jiwa raganya seperti terbaur didalam irama musik itu, maka mereka akan beranggapan musik itulah lagu dewa.

Tapi Pho Ang-soat tidak terpengaruh lagu ini, dia tidak terlena atau terbaur didalamnya. Dia masih tetap duduk tenang ditempatnya, mendengar dengan tenang. Mendadak delapan lelaki baju hitam perawakan kekar melangkah cepat dan lebar masuk kedalam kedai, setiap orang membawa sebuah keranjang bambu besar, dalam keranjang berisi berbagai macam barang yang aneh-aneh, diantaranya termasuk sapu, kemoceng dan kain untuk membersihkan.

Jangan kata menyapa, melirikpun tiada yang memandang kearah Pho Ang-soat, begitu memasuki kedai, mereka lantas sibuk bekerja, tiada yang bicara, tanpa komando, tapi kedai arak ini telah mereka bersihkan dengan rapi. Bukan saja cekatan, merekapun bekerja tekun dan rajin. Seperti kejadian ajaib saja, kedai yang berdebu dan morat-marit, dalam sekejap, telah dibikin bersih, rajin seperti serba baru.

Bila kedelapan lelaki itu usai bekerja dan mundur keluar pintu serta berdiri jajar diambang pintu, muncul empat gadis jelita berpakaian kembang, mereka juga membawa keranjang bambu, cuma bentuknya berbeda, lebih kecil dan enteng. Mereka menata kembang, mengeluarkan arak, piring, mangkok dan berbagai hidangan lezat serta mengisi cangkir dengan arak.

Kecuali pojokan dimana Pho Ang-soat sedang duduk, setiap pelosok kedai arak ini telah dibersihkan, dinding dihiasi lukisan, kerai kerang menjuntai dipintu, meja juga sudah diberi taplak, sampai lantaipun digelari babut merah menjurus panjang keluar pintu. 

Maka muncul pula rombongan pemain musik yang terdiri dari gadis-gadis jelita sambil menari lenggang- lenggok mereka memetik harpa, meniup seruling, menabuh kecapi, begitu gemulai mereka memasuki kedai pula. Ditengah alunan musik merdu itu mendadak terdengar suara kentong ditabuh sekali, ternyata kentongan pertama sudah tiba, dari lubang jendela memandang jauh keluar, tampak seorang berbaju putih sedang memeluk kentongan, bagai bayangan setan berdiri menyepi ditengah kegelapan. Dari mana pula datangnya tukang kentong ini? Bukankah dia sedang memberi peringatan kepada orang yang menghadapi kematian? Lalu siapa yang dia peringati?

Ketika kentongan berbunyi, maka gadis-gadis jelita itupun mulai menyanyi pula sambil menari. Sebelum nyanyian berakhir, ditengah gerak gemulai gadis-gadis jelita itu, tampak Yan Lam-hwi sedang beranjak masuk, waktu dia memasuki kedai arak ini, keadaannya seperti orang mabuk…..

*******************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar