Kilas Balik Merah Salju Jilid 04

 
Habis berkata Yap Kay segera berlalu dengan senyum di kulum, dia yakin mimik muka Pho Ang- soat saat ini pasti tak sedap dipandang. Bagi orang itu, persoalan apa pun boleh dibuat bahan gurauan kecuali masalah yang berhubungan dengan laki perempuan. Memandang bayangan punggung Yap Kay yang menghilang di balik pintu, Pho Ang-soat menghela napas panjang, gumamnya, "Kau keliru besar, bila aku tak bisa menghadapi gurauan semacam ini, mana mungkin aku bisa hidup hingga kini?"

"Kau pun keliru," tiba-tiba wajah Yap Kay muncul kembali di depan pintu, "apakah kau tidak merasa bahwa gundukan tanah itu merupakan kunci dari semua rahasia yang ada?"

Santap malam diselenggarakan di ruang utama Ban be tong.

Ada sembilan orang duduk mengelilingi sebuah meja bundar, sementara dua-tiga puluhan orang berdiri di sekitarnya untuk melayani kebutuhan tamu.

Hidangan yang tersaji di meja pun tidak terlalu banyak, paling hanya tujuh-delapan macam masakan.

Tentu saja semua masakan yang disajikan adalah hidangan khas luar perbatasan, semuanya lezat, tapi yang paling menarik perhatian Yap Kay adalah sekuali kuah panas yang diletakkan persis di tengah meja.

Dalam kuali itu hanya ada daging ayam kampung yang dipotong ditambah arak keras dari pinggiran kota, ketika dicampur di atas tungku, uap panas yang mengepul segera menyebarkan bau arak yang sangat keras.

"Hidangan macam apa ini?" tanya Yap Kay setelah mencicipi sesuap kuah ayam arak itu.

"Inilah hidangan paling tersohor di pinggiran kota," jawab Be Khong-cun sambil tertawa, "orang menyebutnya ayam masak arak."

"Ayam masak arak? Wah, cocok benar nama masakan ini."

Kemudian setelah mengambil semangkuk dan menyuap, kembali tanyanya, "Kau bilang hidangan ini tersohor di pinggiran kota, kenapa waktu aku datang dulu tak pernah mencicipinya?"

"Sudah berapa lama kau tak pernah berkunjung lagi ke sini?" tiba-tiba Hoa Boan-thian bertanya.

"Mungkin sepuluh tahun."

"Tak heran kau belum pernah mencicipinya," seru Hoa boan-thian sambil tertawa, "hidangan ini baru tercipta tujuh tahun lalu, diciptakan tanpa sengaja oleh Sam-lopan."

"Tujuh tahun berselang?" "Tahun itu musim dingin terasa luar biasa dinginnya, biar sudah makan apa pun badan belum terasa hangat, tentu saja minum arak bisa menghangatkan badan, tapi kalau kebanyakan bisa mabuk," kata Be Khong- cun dengan bangga, "oleh sebab itu aku pun mulai berpikir, bila kucampur arak keras dengan ayam, selain tak memabukkan, juga dapat membuat tubuh terasa hangat?" "Maka kau pun mencobanya?"

"Betul, sejak saat itulah muncul hidangan baru yang kunamakan ayam masak arak."

"Sayang sekali hidangan yang begini lezat tak bisa dinikmati oleh Buyung-kongcu," kata Yap Kay hambar, "aneh, kenapa tidak kulihat Buyung

Bing-cu? Apakah dia tidak diundang dalam perjamuan ini?"

Kongsun Toan yang selama ini hanya membungkam tiba-tiba berkata, "Sore tadi dia harus buru-buru pulang karena mendapat surat penting,"

"Semisal dia hadir di sini, dapat kupastikan dia pun akan memuji kelezatan hidangan ini," kata Yap Kay lagi sambil melirik ke arah Pho Ang-soat sekejap.

Paras muka Pho Ang-soat sama sekali tak mengunjuk perubahan apa pun, dia bersantap dengan wajah dingin, hanya saja ujung matanya beberapa kali seperti sengaja tak sengaja melirik ke arah Be Khong-cun.

Dalam pada itu, Be Khong-cun pun sedang menatap wajah Kongsun Toan dengan penuh amarah.

"Mengapa kau tidak segera melaporkan kejadian ini kepadaku?" tegurnya keras.

"Saat itu kebetulan Sam-lopan sedang tidur siang," sahut Kongsun Toan sambil menunduk kepala, "aku sendiri pun kebetulan sedang repot sekali, hingga masalah ini jadi kelupaan."

"Aku harap kejadian seperti ini jangan terulang lagi."

"Pasti tak akan terulang."

Sekali lagi Be Khong-cun melirik ke arah Kongsun Toan, setelah itu baru mengangkat cawannya dan berkata kepada semua orang sambil tersenyum, "Biarpun berkurang dengan seorang Buyung Bing-cu, aku percaya ini tak sampai mengurangi kegembiraan kalian."

"Terhadap diriku memang sama sekali tak berpengaruh," kata Loh Loh-san tertawa, "usiaku sudah tua, apa lagi yang bisa kuperebutkan?"

"Biarpun orang muda lebih tampan dan gagah, sayang mereka belum mapan!" tiba-tiba Pek Ih- ling berkata sambil tertawa.

"Oh, begitu rupanya!" sinar berkilat kembali mencorong dari balik mata Loh Loh-san.

"Wah, itu berarti kaum muda harus lebih giat bekerja, " sela Yap Kay sambil tertawa, "kalau tidak, beberapa tahun kemudian bila semua nona punya pikiran seperti Pek-siocia, kami bisa mati mengenaskan."

"Memang sudah seharusnya begitu, anak muda zaman sekarang selain ingin menang sendiri dan bertindak semena-mena, nyaris tak ada kelebihan lain." "Tapi bila kaum muda tidak cari menang sendiri, jadi apa dunia persilatan saat ini?" kata Yap Kay sambil tertawa, "bukankah begitu?"

"Biar muda, biar tua, semuanya memiliki kebaikan dan kelebihan masing-masing," sela Be Khong-cun sambil mengangkat cawan araknya, "mari kita bersulang satu cawan!"

Begitu mendengar bersulang, tentu saja Loh Loh-san yang paling gembira, tapi sayang takaran minum orang ini sangat cetek, baru beberapa cawan air kata-kata yang pindah ke dalam perutnya, ia sudah mabuk berat.

Pada saat itulah tiba-tiba mereka mendengar suara seruling berkumandang memecah keheningan.

Irama seruling itu lembut dan indah, nadanya halus sedap didengar, tanpa terasa semua orang terperana dibuatnya, semua orang dibuat terbuai dan mabuk kepayang.

Dengan mata yang setengah meram Loh Loh- san mengalihkan pandangan matanya ke arah pintu, menyusul irama seruling yang merdu merayu itu, dari balik kegelapan muncul dua orang, dua orang kerdil.

Ya, benar-benar dua orang kerdil.

Yang seorang adalah seorang kakek kecil sementara yang lain adalah nenek kerdil, mereka mempunyai wajah yang kecil, hidung yang kecil, mulut yang kecil dan seruling kemala putih yang kecil pula. Yap Kay belum pernah menjumpai manusia yang begitu kerdil, bagian mana pun dari tubuh mereka memiliki bentuk yang jauh lebih kecil.

Walau begitu, bentuk tubuh mereka sempurna, sedikit pun tidak nampak lucu atau jelek.

Si kakek kerdil memiliki wajah yang ramah dengan rambut telah beruban, sementara si nenek memiliki wajah halus, lembut dan amat anggun, sepasang tangannya yang memegang seruling kelihatan begitu halus dan putih, tak ubahnya seperti seruling yang dipegang. 

Siapa pun mau tak mau pasti akan mengakui bahwa mereka berdua adalah pasangan serasi, pasangan ideal.

Tak ada orang yang bersuara, begitu juga dengan Yap Kay, barang siapa mendengar irama seruling itu dari kemudian menyaksikan bentuk badan mereka berdua, dapat dipastikan akan termangu dan terperangah dibuatnya.

Hanya Pek Ih-ling terkecuali, begitu menyaksikan kedua orang itu berjalan masuk, sekulum senyuman gembira segera tersungging di ujung bibirnya.

"Lo-siansing, Lo-thaythay, kenapa kalian pun datang kemari?"

"Tentu saja kami harus kemari," jawab si kakek kerdil sambil tertawa, "masalah ini adalah masalah besarmu, bagaimana mungkin kami tidak ikut kemari?" Masalah besar? Masalah besar bagi Pek Ih-ling?

Apakah mereka berdua pun datang kemari lantaran Pek Ih-ling sedang mencari calon suami? Apakah si kakek kerdil pun ingin turut serta dalam kompetisi ini?

Tiba-tiba Be Khong-cun berdiri, dengan sikap sangat menghormat menjura kepada kakek kerdil itu.

Seolah terperanjat oleh penghormatan itu, si kakek segera berkata, "Aku tak lebih hanya seorang kakek biasa yang tidak berguna, buat apa kau memberi penghormatan yang begitu besar kepadaku?"

"Setelah berjumpa Hong-locianpwe, mana berani aku bersikap kurang sopan?" sahut Be Khong-cun dengan sikap lebih menghormat.

Tiba-tiba mencorong sinar tajam dari balik mata Yap Kay, ditatapnya kakek kerdil itu dengan terperanjat.

"Hong-locianpwe?" gumam Yap Kay dengan nada terkesiap, "apakah kau adalah Hong-loyacu yang berjuluk Jian li hui hun, ban li cui gwe, sin kiau bu im tui hong siu (seribu li terbang di awan, selaksa li menangkap rembulan, kakek tanpa bayangan pengejar angin)?"

Sambil tersenyum kakek kerdil itu manggut- manggut.

Kembali Yap Kay memandang ke arah nenek yang memegang seruling kemala itu, kemudian ujarnya lagi, "Hong siu gwe po (kakek angin nenek rembulan) selamanya tak pernah berpisah, berarti nenek adalah

Gwe-popo si nenek rembulan yang nama besarnya telah tersohor di Seantero jagad"

"Tak kusangka anak muda ini meski masih kecil umurnya namun memiliki pengetahuan yang luas," puji Gwe-popo sambil tersenyum ramah.

"Cianpwe berdua bukannya menikmati hari tua di loteng Poan-gwe-siu-lau, mau apa mendatangi tempat terpencil yang sepi dan jauh dari keramaian ini?" kata Be Khong-cun sambil tertawa.

"Apa tujuan Sam-lopan mengumpulkan orang di sini malam ini? Bukankah karena masalah perkawinan Pek-siocia, " tegur Tui hong siu sambil tertawa.

"Darimana kalian bisa tahu?" tanya Be Khong- cun agak melengak.

"Tentu saja kami tahu" suara tawa Tui hong siu semakin riang, "mana mungkin kami tidak mengetahui persoalan seperti ini? Bukan begitu Pek-siocia?"

"Ah, tak kusangka masalahku bisa mengusik kehadiran kalian berdua," seru Pek Ih-ling tertawa.

"Anak Ling, jadi kau kenal baik kedua Locianpwe ini?" tegur Be Khong-cun terperanjat. "Dia adalah teman bermain catur Ong-supek, ketika masih tinggal serumah, mereka bahkan sering mengajari aku bermain catur."

"Teman bermain catur? Padahal kami tak lebih hanya orang bawahannya," Gwe-popo menerangkan sambil tertawa.

Orang bawahan? Tokoh maha sakti seperti mereka pun masih menjadi bawahan orang lain? Lalu manusia macam apa tokoh yang dipanggil Ong-supek itu? Malaikat seperti apa Ong-supek itu hingga sanggup memiliki bawahan seperti kakek pengejar angin dan nenek rembulan?

Yap Kay benar-benar terperangah dibuatnya, bukan hanya dia, Pho Ang-soat yang selama ini membungkam pun ikut tergerak hatinya.

"Apakah Ong-supek yang menyuruh kalian datang kemari?" terdengar Pek Ih-ling bertanya sambil tertawa ringan.

"Selain dia, siapa lagi yang bisa menyuruh aku si tua bangka melakukan perjalanan jauh?" omel Tui hong siu, "tapi seandainya dia tidak menyuruh pun, kami tetap akan kemari, siapa suruh kau adalah kesayangan kami."

"Sejak kepergianmu, kami seperti kehilangan sesuatu," kata Gwe-popo pula sambil tertawa, "tiap hari mereka berdua berkerut kening saja, sampai main catur pun tak pernah konsentrasi, yang lebih parah lagi, walau sedang main catur namun mereka seperti sedang berlomba menghela napas." "Ah, bukankah kau pun sama saja, tiap hari hanya bersembunyi dalam kamar, seruling enggan ditiup, sepasang mata merah melulu."

Biarpun usia kedua orang ini sudah mencapai seratus tahun, namun cara mereka bicara tak ubahnya seperti dua anak kecil, membuat siapa pun yang mendengar jadi geli dan tertawa.

Tapi Yap Kay tahu dengan pasti bahwa kedua orang ini bukan terhitung orang yang menggelikan atau menawan, jauh sebelum orang tua Yap Kay mulai pacaran, kedua orang itu sudah merupakan tokoh menakutkan di Bu-lim.

Tui hong siu terkenal karena keras kepala, sementara Gwe-popo tersohor karena tindak- tanduknya yang semau hati, tentu saja yang paling menakutkan adalah ilmu silat yang mereka miliki.

Bila watak semau hati Gwe-popo mulai kambuh, biar dia menginginkan rembulan di angkasa pun nenek itu pasti akan berusaha mendapatkannya, sementara Tui hong siu bila menganggap  kau harus mati, maka biarpun bersembunyi di kolong ranjang sang kaisar pun jangan harap nyawamu bisa selamat.

Kemunculan mereka berdua yang tiba-tiba, apalagi hubungannya yang begitu akrab dengan Pek Ih-ling membuat Yap Kay merasa bahwa persoalan ini makin lama semakin menarik.

Kelihatannya Gwe-popo pun merasa Yap Kay adalah orang yang menarik, sepasang matanya yang kecil mengawasi terus gerak-geriknya sambil tersenyum.

Selama hidup Yap Kay tak pernah merasa rikuh bila diawasi seorang wanita, tapi sekarang, seandainya di tanah ada lubang, dijamin dia pasti akan segera menerobos masuk untuk bersembunyi.

Tui hong siu sedang mengawasi juga sekeliling ruangan, sinar matanya yang tajam mengamati wajah setiap orang tanpa berkedip, tapi akhirnya berhenti pada wajah Yap Kay.

Belum lagi Yap Kay melakukan sesuatu, mendadak terdengar Gwe-popo berkata, "Siau ling ji, di antara beberapa orang lelaki yang berada di sini sekarang, bukankah sudah ada seorang yang bisa menjadi calon suamimu?"

"Aku...." paras muka Pek Ih-ling kontan berubah merah jengah, bahkan ia tertunduk dengan tersipu-sipu.

"Tua bangka, coba lihat, ternyata ada saatnya juga paras muka Siau ling ji kita berubah merah padam," goda Gwe-popo lagi.

"Ah, dia kan anak perempuan, masakah harus meniru kau, kulit badan yang tak bakal robek biarpun diledakkan!"

"Apa? Kau menuduh kulit mukaku tebal seperti badak?" "Maksudku, kau adalah seorang perempuan cantik, biasanya perempuan cantik tak bakal merah padam wajahnya."

Ternyata bukan anak muda saja yang suka mendengar ucapan menjilat pantat, tak heran Gwe-popo berseri wajahnya lantaran girang.

Menggunakan kesempatan itu Tui hong -siu berpaling ke arah Pek ih-ling sambil membuat muka setan, dua orang itu pun tertawa terkekeh- kekeh.

Yap Kay ikut tertawa, tertawa melihat Gwe- popo sebenarnya mengetahui tingkah-laku kedua orang itu, tapi berlagak bodoh.

Memang itulah yang dilakukan mereka suami istri, terkadang mata harus melotot, terkadang harus setengah terpejam, saling mengalah memang bukan tindakan bodoh.

Tak disangkal Gwe-popo sangat memahami teori itu, karena itulah meski melihat namun dia tetap berlagak seolah tidak melihat.

Beberapa saat kemudian baru dia mendongakkan kepala sambil berkata, "Siau ling ji, peduli siapa pun calon yang bakal kau pilih, dia harus lulus dulu dari kami berdua."

Kemudian setelah tertawa lebar, lanjutnya, "Tapi kalian tak usah kuatir, kami tak bakal menyusahkan dirimu, tentu saja asal kau berhasil lolos dari tiga ujian." "Tiga ujian? Ujian apa?" seru Pek Ih-ling panik bercampur kaget.

"Ujian pertama harus tampan dan gagah penampilannya," kata Gwe-popo sambil tertawa, "sementara ujian kedua, dia harus dijajal dulu kehebatan ilmu silatnya oleh si tua bangka."

Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas, kembali nenek itu menambahkan, "Sedang ujian ketiga, tentu saja aku si nenek yang akan melakukannya."

"Apa yang akan kau lakukan pada ujian ketiga?"

"Pemeriksaan badan."

"Periksaan badan?" Pek Ih-ling tertegun, "bagaimana caramu memeriksa?"

"Bugil, tentu saja harus bugil! Kalau tidak, bagaimana aku bisa melakukan pemeriksaan?"

"Bugil," kali ini Pek Ih-ling benar-benar amat terperanjat, "suruh dia melucuti semua pakaian dan membiarkan kau memeriksanya?"

"Tentu saja."

"Tapi... sesudah dia telanjang bulat, dengan... dengan cara apa kau hendak memeriksanya?" tanya Pek Ih-ling tergagap.

"Akan kuperiksa seinci demi seinci, kalau tidak, bagaimana aku bisa tahu dia berpenyakit atau tidak?" Seorang lelaki dewasa yang telah melucuti semua pakaiannya hingga bugil harus diperiksa seluruh badannya oleh seorang perempuan, sekalipun usia perempuan itu sudah lewat setengah abad pun, dia masih tetap seorang perempuan, bagaimana pun pasti akan rikuh dan malu.

Begitu Gwe-popo selesai bicara, semua yang hadir terperanjat, khususnya Yap Kay, karena sorot mata Gwe-popo yang menatapnya seakan telah berubah menjadi sepasang tangan yang sedang melucuti pakaiannya satu per satu.

Dia seolah-olah sudah memastikan bahwa Yap Kay yang bakal menjadi suami Pek Ih-ling, oleh karenanya sorot mata yang terpancar penuh selidik.

Dengan susah-payah akhirnya Yap Kay berhasil juga lolos dari sergapan mata Gwe-popo, baru saja dia menghembuskan napas lega, terdengar Gwe-popo sudah bertanya kepada Pek Ih-ling, "Siau-ling-ji, calonmu yang mana?"

Pek Ih-ling menundukkan kepala, mukanya merah, ia duduk di pojokan dengan perasaan serba kikuk, tapi senyum kegirangan mulai tersungging di ujung bibirnya, senyuman itu persis seperti senyum kemenangan seekor rase kecil yang baru saja berhasil mencuri seekor ayam gemuk.

Sebenarnya siapa yang dia sukai? Siapa yang bakal dipilihnya sebagai calon pendamping? Semua hadirin memandang ke arahnya, bahkan Pho Ang-soat yang biasanya membisu tanpa bicara pun tak kuasa ikut melihat, siapa gerangan lelaki yang bakal dipilihnya.

Loh Loh-san yang selama ini mabuk berat pun tiba-tiba jadi sadar kembali, dengan sorot mata penuh harapan dia mengawasi nona itu.

Melihat Pek Ih-ling tidak bersuara, sekali lagi Gwe-popo bertanya, "Ayo, cepat katakan Siau- ling-ji!"

Kepala Pek Ih-ling tertunduk semakin rendah, pipinya semakin merah, sampai lama sekali baru dia mengiakan dengan suara yang jauh lebih lembut daripada suara nyamuk.

Tapi begitu dia bersuara, kontan jantung Loh Loh-san nyaris melompat keluar, sekujur badannya jadi lemas tak bertenaga, hampir saja tubuhnya roboh ke kolong ranjang.

"Siapa sebenarnya?" teriak Gwe-popo, "yang berkepentingan tidak gelisah, malah penonton yang panik. Tentunya kau harus mengatakan bukan?"

Be Khong-cun yang selama  ini hanya menonton sambil tersenyum tiba-tiba ikut buka suara, "Kenapa  anak Ling ragu-ragu menjawab, mungkin aku mengetahui sedikit alasannya."

"Apa alasannya?" tanya Gwe-popo. "Dia kuatir calon yang dipenujui menampik permintaannya." "Siapa yang bakal menampik?"

"Andaikata ada yang menampik?" "Kalau ada yang berani menampik, akan

kubunuh orang itu," seru Tui hong siu sambil menarik kembali senyumannya, kemudian sambil menatap wajah semua orang satu per satu, lanjutnya, "Aku rasa kalian semua sudah mendengar perkataanku dengan jelas bukan?"

Dengan kondisi yang begitu menarik, dengan tulang punggung yang begitu kuat, apalagi si nona pun cantik jelita, siapa yang bakal menampik tawaran itu?

Yap Kay tahu ada seseorang pasti akan menampik, sebab dia sudah melihat orang itu telah bangkit.

Dengan wajah dingin Pho Ang-soat bangkit berdiri, kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata pun beranjak pergi dari situ.

"Mau apa kau?" bentak Gwe-popo dengan wajah berubah.

Walaupun Pho Ang-soat menghentikan langkah kakinya, namun dia sama sekali tidak berpaling, hanya sahutnya ketus, "Hari sudah malam."

Habis berkata, kembali ia melangkahkan kakinya yang bebal dan lamban berjalan menuju ke pintu.

Baru saja sorot mata Gwe-popo mencorong tajam, tiba-tiba tubuh Tui hong siu telah tiba di depan pintu dan menghadang jalan pergi Pho Ang-soat.

Malam memang sudah kelam, saat itu pun sudah waktunya untuk tidur, tapi berarti pula dia telah menolak lamaran itu.

Sekalipun Pho Ang-soat tak menjelaskan maksud ucapannya, tapi setiap orang memahami arti ucapan itu, terlebih Tui hong siu.

Setelah menghadang di depan pintu, dengan sorot matanya yang berkilat, meski tak setajam sorot mata Gwe-popo, namun telah dipenuhi hawa napsu membunuh, dia mengawasi lawan tanpa berkedip.

Karena pintu terhadang, terpaksa Pho Ang-soat menghentikan langkah, sinar matanya yang selalu tampak sayu dan kesepian, balas menatap wajah Tui hong siu.

Suasana dalam gedung pun seketika menjadi hening, kalau semula semua orang merasakan kegembiraan maka dalam waktu singkat hawa napsu membunuh seakan sudah menyelimuti seluruh ruangan.

Berada dalam keadaan seperti ini, mestinya Be Khong-cun sebagai tuan rumah harus segera turun tangan melerai, tapi Yap Kay lihat orang itu masih tetap duduk sambil tertawa, sama sekali tak ada niat untuk menghalangi.

Pho Ang-soat masih berdiri tak bergerak, tapi otot hijau di tangan kirinya sudah merongkol, dari balik matanya yang dingin, hambar dan kesepian kembali terlintas perasaan pilu yang mendalam.

Dengan sorot mata penuh Yiapsu membunuh Tui hong siu segera menegur, "Jadi kau ingin tidur?"

"Benar!" jawaban Pho Ang-soat singkat. "Ingin tidur berarti menampik permintaan?" Kali ini Pho Ang-soat tidak menjawab.

Terkadang tidak menjawab berarti mengakuinya.

Tui hong siu bukan orang bodoh, oleh sebab itu bukan cuma sorot matanya saja ryang mengandung hawa membunuh, bahkan seluruh tubuhnya telah diselimuti hawa membunuh yang tak berwujud.

Di tengah ketegangan yang mencekam seluruh ruangan, tiba-tiba Yap Kay bertindak, dengan senyum menghiasi wajahnya ia berjalan menghampiri Tui hong siu serta Pho Ang-soat, kemudian ujarnya, "Masalah perkawinan adalah masalah besar, aku percaya Pek-siocia pun belum tentu bisa mengambil keputusan. Kini malam sudah makin larut, apa salahnya kalau kita beristirahat dulu semalam, kemudian besok pagi masalah ini baru diputuskan Pek-siocia sendiri?"

Tui hong siu berpaling mengawasi Yap Kay, bukan wajahnya yang diperhatikan, tapi posisi yang ditempati pemuda itu, setelah memandangnya sejenak tiba-tiba ia tertawa tergelak, "Bagus, bagus sekali, ternyata anak muda ini banyak latahnya."

"Tidak berani."

Jangan dilihat Yap Kay hanya berdiri sembarangan di tempat itu, justru posisi yang ditempatinya sekarang amat strategis, bukan saja dia telah menghalangi arah serangan Tui hong siu, bahkan bisa mencegah Gwe-popo melancarkan serangan bantuan pula.

Begitu melihat pemuda itu tampil, perasaan kecewa melintas di wajah Gwe-popo, mendadak dia menghela napas dan berdiri.

"Orang masih muda, kenapa jalan pikirannya belum terbuka?" ujar nenek rembulan sambil menghela napas, "tidak heran umur orang zaman sekarang rata-rata pendek."

Biarpun dia hanya berdiri, namun bagi jago yang pengalaman dapat dilihat dia telah membuka kembali posisi yang semula dihambat Yap Kay.

Begitu nenek itu bergerak, Yap Kay sama sekali tak berkutik, tapi jari telunjuk, ibu jari serta jari tengah tangan kirinya disentilkan sebanyak tiga kali.

Hanya tiga gerakan, tapi cukup membuat Gwe- popo tercengang.

Jangan dilihat tiga gerakan sentilan itu amat sederhana, padahal ancaman yang ditimbulkan justru jauh lebih hebat daripada tusukan maut seorang jago pedang.

Pertarungan tanpa wujud semacam ini tentu saja bukan setiap orang dapat merasakan, hanya jago-jago seperti Tui hong siu dan Gwe-popo saja yang sadar, betapa dahsyat dan menakutkan serangan itu.

Tiba-tiba saja keempat orang itu seperti orang yang tertotok jalan darahnya, sama sekali tak berkutik.

Bukan hanya orangnya, bahkan sang angin pun seolah turut  tak bergerak, suasana tegang dan serius segera mencekam seluruh ruangan, kecuali keempat   orang itu, meski  orang lain tak  ikut dalam pertarungan, namun mereka ikut merasa keletihan yang  luar biasa, seakan mereka pun baru saja ikut bertempur ratusan gebrakan,  peluh dingin nyaris membasahi seluruh pakaian mereka.

Entah berapa lama sudah situasi bertahan semacam ini, saat itulah mendadak terdengar Pek Ih-ling menghela napas sambil bangkit.

"Hong-kongkong, Gwe-popo, kalau kalian begitu terus, aku... aku akan....

"Kau mau apa?" tanya Gwe-popo. "Aku mau mati saja"

"Jangan mati," teriak Tui-hong-siu dengan gelisah, "kalau kau mati, bagaimana pertanggung jawaban kami terhadapnya?" Yang dimaksudkan sebagai dia tentu saja Ong- supek yang pernah disebut Pek Ih-ling.

"Lantas buat apa kalian memaksa orang terus menerus, seakan aku... aku sudah tak laku kawin saja," seru Pek Ih-ling manja.

"Lalu apa yang harus kami lakukan?" "Sekarang malam sudah larut, lagi pula kalian

berdua baru datang dari tempat jauh, apa

salahnya kita beristirahat dulu, sementara urusan lain dibicarakan lagi besok?"

Be Khong-cun yang selama ini membungkam tiba-tiba ikut buka suara, katanya, "Benar, silakan Locianpwe berdua beristirahat dulu, kalau ada persoalan lebih baik besok saja kita bicarakan lagi!"

Sinar rembulan malam ini nampak cerah dan terang, secerah sinar rembulan di wilayah Kanglam.

Kanglam berada jauh di sana, begitu pula dengan bulan purnama, bedanya kau bisa melihat rembulan asal mau mendongakkan kepala, tapi bagaimana dengan wilayah Kanglam?

Oh Sam tumbuh dewasa di wilayah Kanglam, tapi sudah belasan tahun ia tinggal di daerah pinggiran kota.

Selama belasan tahun belum pernah ia balik ke wilayah Kanglam walau satu kali pun, setiap kali sedang mabuk berat, setiap kali dia bermimpi di tengah malam buta, ia selalu teringat dan terkenang kampung halamannya.

Sampai kapan baru ia bisa kembali ke kampung halaman? Sampai kapan baru bisa bertemu ayah dan ibu? Mengapa seorang pengembara selalu begitu jauh meninggalkan kampung halamannya?

Malam ini Sam-lopan dari Ban be tong telah menghadiahkan lima puluh guci arak untuk bawahannya. Oh Sam dan beberapa orang rekan akrabnya mengusulkan untuk 'bermain' di rumah makan Siang ki-lau di kota kecil seusai menenggak habis isi guci.

Oleh sebab itulah mereka berlima muncul di tengah perjalanan. Biarpun masih musim panas, namun hembusan angin di tengah malam terasa jauh lebih dingin daripada udara di musim salju.

Tapi Oh Sam berlima sedikit pun tidak merasa kedinginan, mereka membiarkan baju bagian dada terbuka lebar, mungkin karena pengaruh arak? Atau karena hangatnya suasana di Siang ki- lau?

Di bawah cahaya rembulan yang terang, dari balik kegelapan di ujung jalan, tiba-tiba mereka melihat ada seseorang berdiri menunggu.

Orang itu mengenakan pakaian ringkas berwarna hitam, tapi air mukanya justru putih pucat bagaikan mayat.

Apakah dia pun anggota Ban be tong? Oh Sam memperhatikan orang itu, dia ingin tahu siapa gerangan orang itu agar besok punya bahan cerita untuk mengolok-oloknya.

Oh Sam berlima melanjutkan kembali langkahnya, tapi belum jauh bertindak, tiba-tiba mereka lihat orang itu tidak sama sekali tak bergerak, orang itu masih tetap berdiri di tengah jalan bagaikan patung.

Sesungguhnya selisih jarak antara kedua belah pihak tidaklah terlalu jauh, karena itu dalam waktu singkat Oh Sam sekalian telah tiba di hadapan orang itu.

"He, siapa kau? Mengapa seorang diri berdiri di sini?"

Kata berikut sudah tak sanggup dilanjutkan lagi oleh Oh Sam karena saat ini dia sudah dapat melihat dengan jelas siapa gerangan orang yang berdiri di hadapannya.

Orang itu mengenakan pakaian ketat berwarna hitam, wajahnya putih pucat bagai mayat, ternyata dia bukan lain adalah Hwi thian ci cu yang semalam telah digigit sampai mati oleh setan pengisap darah.

Bukankah dia sudah mati terbunuh? Bukankah mayatnya sudah dikubur? Bahkan Oh Sam sendiri yang melakukannya, kenapa sekarang bisa muncul di sini? Jangan-jangan ....

Mendadak hati Oh Sam bergidik, bulu kuduknya berdiri, dia jadi teringat sebuah dongeng. Konon orang yang mati digigit setan pengisap darah, pada malam keesokannya akan berubah juga menjadi setan pengisap darah.

Membayangkan dongeng itu, tak kuasa lagi bulu kuduk Oh Sam berlima berdiri, perasaan ngeri, takut segera terpancar keluar dari mata mereka, ditatapnya wajah Hwi thian ci cu tanpa berkedip.

Pada saat itulah mereka lihat Hwi thian ci cu mulai mementang mulut, darah segar meleleh keluar dari sisi bibirnya, sementara dua buah gigi taringnya yang lebih panjang dari jari tangan membiaskan cahaya berkilauan di bawah timpaan sinar rembulan.

Mengikuti melelehnya darah segar, dari balik tenggorokan Hwi -thian ci cu berkumandang suara tertawanya yang menakutkan.

Orang pertama yang teringat untuk kabur tentu saja adalah Oh Sam, beruntung sepasang kakinya masih mau mengikuti perintah, dia kabur dengan begitu cepatnya.

Di saat dia sedang berlarian itulah lamat-lamat terdengar empat kali jeritan ngeri yang memilukan, tampaknya keempat orang rekannya yang tertinggal telah menjadi korban santapan setan pengisap darah itu.

Oh Sam tak berani berpaling, dia kuatir setan pengisap darah itu tahu-tahu muncul di belakang tubuhnya. Saat itulah mendadak ia mendengar suara aneh berkumandang dari atas kepalanya, suara itu mirip suara burung besar yang sedang mengebaskan sayapnya yang lebar.

Tak tahan lagi dia segera mendongakkan kepala, ternyata bukan seekor burung yang berada di atas kepalanya, melainkan Hwi thian ci cu sedang mementang sepasang tangannya, tangan itu mirip bentangan sayap kelelawar raksasa yang sedang menerkam ke arahnya.

Kontan Oh Sam merasakan kakinya lemas, "Bruk!", ia jatuh terduduk di tanah.

Dengan cepat Hwi thian ci cu melayang turun, persis turun di hadapannya.

Oh Sam masih sempat menyaksikan mimik muka Hwi thian ci cu yang menyeramkan, dia pun menyaksikan sepasang gigi taringnya yang tajam kian lama kian bertambah dekat dengan tengkuknya, menyusul kemudian ia merasa kesakitan yang luar biasa timbul dari leher sebelah kiri.

Menyusul rasa sakit  itu, dia pun merasa cairan darah dalam tubuhnya mengalir cepat dan menyembur keluar melalui mulut  luka di leher  sebelah  kirinya,

lambat-laun dia  merasa kakinya lemas, kemudian  menyusul badannya, tangannya... tubuhnya seolah sebuah kantung kulit yang mulai mengempis. Tak lama kemudian seluruh tubuh Oh Sam terkapar lemas di tanah, kulit badannya mulai berkerut kencang, mukanya yang makin memucat akhirnya berubah jadi hitam keabu-abuan, seluruh cairan darah di tubuhnya telah terisap habis.

Hwi thian ci cu melepas mayat Oh Sam yang layu, kemudian mendongakkan kepala sambil berpekik nyaring, ceceran darah masih meleleh keluar dari ujung bibirnya.

Kemudian bagaikan seekor kelelawar raksasa, dia melayang ke udara dan meluncur ke balik kegelapan malam.

***

"Mana goloknya?" "Goloknya tak nampak." "Kenapa?"

"Sebab setelah mendengar suara golok, golok itu pun tak terlihat."

"Suara golok?"

"Betul, begitu mendengar suara golok, sang korban pun segera tewas." "Oleh sebab itu hanya terdengar suara golok, tapi tidak terlihat goloknya?"

"Benar."

Sekembali ke kamarnya semalam dan berbaring di atas ranjang, Yap Kay baru merasa punggungnya telah basah kuyup oleh keringat dingin.

Membayangkan kembali situasi tegang yang dialaminya dalam gedung tadi, andaikata Pek Ih- ling tidak melerai secara tiba-tiba, Yap Kay tak bisa membayangkan bagaimana hasil pertarungan itu?

Semenjak lima puluh tahun berselang Tui hong siu maupun Gwe-popo sudah terhitung jagoan nomor wahid di kolong langit, biarpun usianya sekarang bertambah tua, namun kehebatan ilmu silat bukan bisa dibatasi dengan meningkatnya umur seseorang.

Lagipula pada jidat Tui hong siu maupun Gwe- popo secara lamat-lamat terlihat cahaya merah, gejala semacam itu baru akan muncul jika tenaga dalam telah dilatih hingga mencapai puncak kesempurnaan.

Dari situasi tadi, posisinya ketika berada dalam gedung itu jauh lebih unggul dari siapa pun, tapi Yap Kay menyadari, kecuali dia bisa melancarkan serangan lebih dulu, begitu turun tangan menggunakan pisau terbang ajaran Siau-li si pisau terbang, ....kalau tidak, lima puluh gebrakan kemudian ia pasti akan menderita kekalahan.

Dari sikap Be Khong-cun semalam, tampaknya dia pun tidak kenal Tui hong siu maupun Gwe- popo, dia pun tidak mengetahui hubungan akrab Pek Ih-ling dengan mereka berdua.

Dari pembicaraan Tui-hong-siu, dia pun mendapat tahu bahwa selama beberapa tahun terakhir Pek Ih-ling hidup bersama mereka, dia pun tinggal dengan seorang yang disebut Ong- supek.

Dari sini dapat diketahui bahwa Pek Ih-ling bukanlah Be Hong-ling. Yap Kay yakin, mustahil gadis itu adalah putri tunggal Pek Thian-ih.

Jangankan Tui hong siu serta Gwe-popo, mungkin orang yang disebut Ong-supek pun tidak mengetahui asal-usul gadis itu.

Lalu siapakah dia? Bila bisa diketahui asal- usulnya, bisa jadi dia pun dapat mengungkap rahasia di balik sepak terjang Ban be tong kali ini.

Tapi, tidak gampang untuk menguak tabir rahasia semacam ini, bila rahasia Pek Ih-ling merupakan kunci semua rahasia itu, maka orang yang melindungi gerak-gerik gadis itu pasti akan bekerja lebih ketat.

Bisa jadi dia harus membayar dengan harga yang tak ternilai agar bisa mengungkap semua rahasia itu.

Matahari telah terbit di ufuk timur. Sang surya ibarat gadis perawan yang baru mendusin dari tidur, membuka sepasang matanya dengan sayup dan mengawasi kekasih yang berada di sisi pembaringan dengan pandangan lembut.

Langit di sebelah barat masih remang-remang gelap, masih tertutup warna kelabu, secercah cahaya fajar mulai memancar keluar, menyinari kamar tidur Yap Kay.

Semalaman ia tak bisa memejamkan mata, otaknya dipenuhi peristiwa yang terjadi semalam, walau sudah semalam begadang, namun tak terasa mengantuk sedikit pun, sebaliknya ia justru kelihatan gembira dan bersemangat.

Begitu melompat bangun dari ranjang, dia melakukan enam-tujuh puluh gerakan aneh, bagaikan tak punya tulang saja dia melakukan berbagai tekukan yang aneh dan tak masuk akal.

Setelah berbaring semalaman tanpa selimut, keempat anggota badannya sudah hampir membeku kaku saking kedinginan.

Selasai berolah raga, dengan penuh semangat dia membuka pintu kamar, menyongsong datangnya sinar matahari pagi.

Angin fajar berhembus lembut menggoyang dedaunan, embun pagi meleleh ke bawah membasahi permukaan tanah.

Yap Kay berjalan menyusuri pepohonan, menyongsong datangnya sinar pagi, tanpa terasa ia berjalan menuju ke arah rimba lebat. Yap Kay berjalan dan berjalan terus, dengan langkah perlahan tapi pasti menembus hutan, menuju ke bagian dalam rimbunnya pepohonan.

Tak lama kemudian dari kejauhan ia sudah melihat sebuah gundukan tanah perbukitan, gundukan tanah yang tidak terlalu besar.

Begitu sederhana bentuk gundukan tanah itu, mungkinkah tempat inilah yang dikisahkan Pho Ang-soat dengan segala kejadian aneh dan misterius itu?

Dengan perasaan sangsi Yap Kay mulai berjalan mengitari gundukan tanah itu, memeriksa dan mengamati dengan seksama sekeliling tempat itu, namun tak ada yang ditemukan, bahkan sesuatu yang aneh pun tidak dijumpai di situ.

Ia mencoba meraba permukaan tanah, mengambil segenggam tanah, meski terasa agak lembab namun tanah di situ tak beda jauh dengan tanah di tempat lain, bahkan sewaktu diendus pun tidak dijumpai bau lain.

Yap Kay mulai menepekur, berpikir tiada hentinya, perasaan sangsi mulai muncul pada wajahnya.

"Jangan-jangan aku salah tempat?"

Tidak mungkin, tidak mungkin salah, Yap Kay coba membantah dugaan itu.

Sekali lagi dia amati gundukan tanah itu dengan seksama, heran, mengapa tidak ditemukan pemandangan seperti apa yang dikisahkan Pho Ang-soat? Atau kedatangannya tidak tepat waktu? Apakah dia pun harus mendatangi tempat itu di saat fajar hampir menyingsing? Atau mungkin gundukan tanah itu bagaikan seorang gadis perawan, malu bertemu orang di pagi hari dan hanya muncul di tengah malam?

Teringat akan gadis pemalu, tanpa terasa Yap Kay terbayang So Ming-ming, cewek berbaju putih yang nampak kesepian itu.

Baru saja sekulum senyuman tersungging di ujung bibirnya, Yap Kay segera mendengar suara gadis itu.

"Tak kusangka kau pun tahu di tempat ini terdapat gundukan kecil," tiba-tiba So  Ming- ming muncul dari balik  pepohonan yang lebat, "terlebih tak kusangka kau pun sangat tertarik dengan gundukan tanah itu."

Baru teringat akan seseorang, ternyata orang itu segera muncul di depan mata, kejadian seperti ini benar-benar merupakan kejadian yang menyenangkan.

"Lalu darimana kau tahu di tempat ini terdapat gundukan tanah?" Yap Kay balik bertanya sambil tertawa, "apakah kau pun tertarik juga dengan gundukan tanah ini?"

"Tentu saja sangat tertarik, sejak kecil aku sudah terpesona oleh cerita mengenai gundukan tanah perbukitan ini." "Cerita tentang gundukan tanah?" Yap Kay langsung merasakan semangatnya bangkit kembali, "maukah kau bercerita padaku, siapa tahu aku pun bakal kesemsem?"

"Boleh saja aku bercerita, tapi dengan cara apa kau hendak membalas budi ini?" suara tawa So Ming-ming semakin mempesona.

"Bagaimana kalau aku traktir makan sampai kenyang atau mengajakmu pesiar ke wilayah Kanglam?"

"Ke Kanglam?"

Sebetulnya Kanglam hanya terdiri dari dua huruf, namun begitu mendengar nama itu, dari balik mata So Ming-ming memancarkan sinar aneh.

Melihat   keanehan di  wajah  nona itu, kembali Yap Kay berkata, "Orang yang belum pernah datang ke Kanglam pasti ingin sekali pergi ke  sana,  tapi bila sudah berada di Kanglam,    kau pasti akan merindukan pinggiran kota."

Tiba-tiba sinar mata Yap Kay pun memancarkan sinar kelesuan dan kemurungan.

Apakah dia sedang rindu kampung halamannya? Apakah dia sedang membayangkan suasana Kanglam?

Kanglam memang berada dalam alam impiannya, impian yang dipenuhi kemurungan dan kesedihan seorang pengembara. "Apakah kampung halamanmu adalah Kanglam?" suara So Ming-ming terdengar begitu sayu dan sendu, seolah hembusan angin yang terkirim dari wilayah Kanglam.

"Ya, aku dibesarkan di Kanglam." "Lalu dimana kampung halamanmu?" Dimana? Tentu saja di pinggiran kota.

Pinggiran kota adalah kampung halaman Yap Kay, pinggiran kota adalah tempat kelahirannya.

Di pinggiran kota itulah semua impiannya berada, sayang hanya semua impian buruk.

Biarpun impian buruk telah berlalu, namun pinggiran kota masih seperti sedia kala, bagaimana dengan manusianya? Pek Thian-ih suami istri, orang tua Yap Kay... mereka... mereka telah ....

Tiba-tiba ia menggeleng kepala, seolah hendak membuang jauh semua impian buruk itu, tak lama kemudian sekulum senyuman kembali menghiasi wajahnya.

"Sebagai seorang pengembara, empat samudra adalah rumahku, kemana aku mengembara, di situlah rumahku," kata Yap Kay sambil tertawa, "kembali ke masalah pokok, coba kau ceritakan gundukan tanah itu!"

"Menurut dongeng, zaman dahulu kala di pinggiran jagad, di bagian terujung dari dunia ini terdapat sebuah puncak gunung yang tingginya mencapai langit," So Ming-ming mulai bercerita, suaranya seolah  datang  dari puncak  bukit itu, "di atas puncak  gunung itu bukan saja terdapat salju abadi yang tak pernah mencair, di sana pun hidup seekor makhluk aneh yang sangat langka, bahkan terdapat pula siluman iblis yang jauh lebih menakutkan daripada setan bengis."

"Kau maksudkan puncak Cu mu lang ma?" tanya Yap Kay.

"Benar, siluman iblis yang tinggal di puncak gunung itu konon adalah roh jahat yang berusia ribuan tahun, bukan saja dia dapat menempel pada benda apa pun, bahkan dapat pula berwujud sebagai manusia."

Sorot matanya yang penuh kemurungan tiba- tiba memancarkan cahaya yang sangat aneh, seolah dia sedang mengawasi suatu tempat di kejauhan sana yang penuh diselimuti kemisteriusan dan keanehan.

Kelihatannya Yap Kay ikut terpengaruh oleh mimik wajah gadis itu.

"Di saat roh jahat berusia seribu tahun itu tampil dalam wujud manusia, dia pun mendatangi wilayah gunung dan menguasai semua manusia yang hidup di sana," kata So Ming-ming lebih lanjut, "setelah diperbudak hampir seratus tahun lamanya, muncullah seorang bintang penolong yang membebaskan mereka dari perbudakan, orang itu adalah utusan dari dewa."

"Utusan dari dewa?" "Begitu tiba di tempat itu, utusan dewa pun bertempur sengit melawan roh jahat berusia seribu tahun itu selama tujuh kali tujuh empat puluh sembilan hari, akhirnya dengan mengandalkan bokor sakti, dia berhasil mengunci roh jahat itu di dalam gundukan tanah perbukitan ini."

"Oh, hanya dikurung? Bukan dibunuh?" Yap Kay bertanya.

"Roh jahat berusia seribu tahun tak dapat dibunuh, dia hanya terkunci di dalam bokor sakti. Sebelum pergi meninggalkan tempat itu, utusan dewa sempat berpesan wanti-wanti kepada semua orang yang tinggal di situ, katanya gundukan tanah ini tidak boleh digali, kalau tidak, maka roh jahat itu bakal melarikan diri."

"Berarti hingga sekarang roh jahat berusia seribu tahun itu masih terkurung di dalam gundukan tanah perbukitan ini?" tanya Yap Kay sambil mengamati gundukan tanah di hadapannya, "sudah berapa lama roh jahat itu terkurung di sini? Lebih dari seratus tahun?"

"Seratus tahun? Roh jahat itu sudah empat ratus lima puluh enam tahun terkurung di sini."

"Empat ratus lima puluh enam tahun?" Yap Kay tercengang bercampur kaget, "heran, kau bisa mengingatnya begitu jelas?"

"Sudah kuhitung," tiba-tiba So Ming-ming tertawa geli, "sewaktu masih kecil dulu, kakekku pernah memberitahu, tahun pertama sewaktu roh jahat itu tertangkap adalah tahun kemunculan komet yang keenam."

"Kemunculan komet yang keenam?" "Kemunculan pada tahun ini adalah

kemunculan yang ketujuh, bukankah bintang itu muncul setiap tujuh puluh enam tahun satu kali? Berarti sudah empat ratus lima puluh enam tahun."

"Keenam kali? Komet?" Yap Kay termenung sambil memeras otak, selang sesaat kemudian ia bertanya lagi, "Kalau begitu tahukah kau sejak tahun pertama kemunculan roh jahat itu hingga tahun pertama ia dikurung oleh utusan dewa, semuanya selisih berapa tahun? Apakah tahun kemunculannya persis pada tahun pertama kemunculan komet?"

"Entahlah, aku kurang jelas," So Ming-ming menggeleng, "aku hanya tahu di saat kemunculan roh jahat itu, di atas langit pernah muncul gejala yang sangat aneh."

"Gejala aneh?"

Gejala aneh seperti apa? Apakah gejala adanya bintang berekor yang menyapu jagad? Lamat- lamat Yap Kay masih ingat, zaman kuno orang menyebut komet sebagai 'bintang sapu', ini disebabkan bintang itu mempunyai ekor yang sangat panjang menyerupai sebuah sapu, bahkan setiap kali kemunculannya selalu membawa ketidak beruntungan bagi umat manusia. Ketidak beruntungan seperti apa yang bakal dibawa bintang itu tahun ini? Apakah hidupnya kembali orang-orang yang telah mati? Atau seperti dongeng kuno, munculnya roh jahat yang akan mengacau dunia?

Benarkah di dalam gundukan tanah perbukitan itu terdapat roh jahat dari zaman kuno? Benarkah roh jahat itu masih hidup?

Cahaya matahari yang terik menyelinap melalui celah-celah ranting pepohonan, membuat bayangan dedaunan terpampang persis di atas gundukan tanah.

Berdiri berhadapan dengan gundukan tanah itu, Yap Kay benar-benar tidak percaya akan kebenaran dongeng itu.

Seandainya di dunia ini benar-benar terdapat roh jahat berusia seribu tahun, lalu buat apa orang persilatan melatih diri dengan berbagai ilmu silat sakti dan hebat? Buat apa pula orang saling gontok mencari nama dan kedudukan? Sehebat apa pun kungfu yang kau miliki, betapa besarnya kekuasaan yang kau miliki, mampukah melawan cengkeraman iblis roh jahat berusia seribu tahun?

Menghadapi dongeng yang penuh misteri itu, untuk sesaat Yap Kay tak tahu harus mempercayainya atau tidak? Untuk sesaat dia bimbang, ragu dan penuh tanda tanya.

Mendadak So Ming-ming menatapnya dengan sorot mata yang sayu, "Kelihatannya kau meragukan omonganku?" "Bukan meragukan, tapi aku benar-benar sulit mempercayainya," sahut Yap Kay tertawa getir, "apa yang kau kisahkan sesungguhnya hanya dongeng belaka, kalau belum pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana mungkin aku bisa mempercayai semua itu sebagai kejadian sebenarnya?"

Tiba-tiba So Ming-ming tersenyum misterius, katanya, "Kau ingin membuktikan benar tidaknya? Bukankah teka-teki itu berada dalam gundukan tanah ini, asal kita gali, bukankah semuanya akan jelas?"

"Menggalinya?"

So Ming-ming kembali mengangguk.

Sekali lagi Yap Kay mengalihkan pandangan matanya ke atas gundukan itu, setelah lama termenung baru ia berkata, "Rasanya itulah satu- satunya jalan untuk menyingkap tabir rahasia ini."

Ditatapnya So Ming-ming sekejap, kemudian lanjutnya, "Apakah kau tidak kuatir jika di dalamnya benar-benar bersembunyi roh jahat berusia seribu tahun?"

"Aku tak mau berpikir begitu banyak" kata Yap Kay penuh semangat, "sejak kecil aku selalu berharap datangnya hari seperti ini. "

"Tapi bagaimana menggalinya? Pakai tangan?"

Bisa saja menggali dengan tangan, tapi yang jelas bakal membuang banyak waktu, beruntung So Ming-ming telah menyiapkan alat untuk menggali, dari balik rimbunnya pepohonan dia mengeluarkan dua buah cangkul.

Melihat dia telah menyiapkan dua buah cangkul, tanpa terasa Yap Kay tertawa getir, serunya, "Ternyata kau sudah siap sejak awal, juga yakin aku bakal membantumu menggali."

So Ming-ming tidak menjawab, dia hanya tertawa ringan sembari menyerahkan sebuah cangkul kepada Yap Kay, maka mereka berdua pun mulai menggali tanah.

Di antara bayangan pepohonan yang bergoyang, cangkul kedua orang itu naik turun tiada hentinya, keringat sudah membasahi tubuh mereka, menetes pula di atas permukaan tanah yang lembab.

Makin menggali, paras So Ming-ming makin memperlihatkan kegembiraan yang meluap. Sinar kegembiraan yang berbaur dengan gejolak emosi yang aneh, membuat gadis itu nampak semakin menarik.

Dia menggali jauh lebih semangat ketimbang Yap Kay, tampaknya dongeng kuno sudah begitu mengakar dalam hatinya hingga mulai tumbuh benih baru, keinginannya untuk menguak tabir rahasia roh jahat berusia seribu tahun terasa jauh lebih bernapsu ketimbang Yap Kay.

Tentu saja Yap Kay pun ingin sekali mengetahui rahasia gundukan tanah itu, namun tujuannya sangat berbeda dengan gadis itu, jika benar seperti apa yang dikatakan Pho Ang-soat, dari balik gundukan tanah itu dapat memancarkan kumpulan cahaya yang bisa berubah bentuk jadi orang, maka dalam gundukan tanah itu sudah pasti terdapat penjelasan yang masuk akal atau telah dilengkapi dengan suatu peralatan yang masuk akal.

Hal itulah yang sangat ingin diketahui Yap Kay, sebab setiap peristiwa yang dijumpainya belakangan ini nyaris tak satu pun dapat dijelaskan dengan akal sehat, benarkah dari balik gundukan tanah yang bersahaja, gundukan tanah yang bisa dijumpai dimana pun, benar-benar tersembunyi roh jahat berumur seribu tahun?

Benarkah dari situ dapat pula memancarkan cahaya yang bisa berubah bentuk menjadi manusia?

Saat itu tengah hari sudah menjelang, sinar matahari sedang memancar dengan teriknya, angin gunung pun terasa berhembus sangat kencang, sedemikian kencang dan tajam bagaikan pisau yang menyayat kulit.

Tak selang lama kemudian, gundukan tanah itu sudah digali hingga rata dengan permukaan tanah dan muncullan lantai yang terbuat dari batu hijau. Batu lantai itu sama sekali tidak berwarna putih, melainkan berwarna hijau lumut, seakan-akan di masa silam di tempat itu pernah berceceran darah segar.

"Wah, kelihatannya roh jahat berumur seribu tahun itu sudah tertindih hingga berubah jadi sepotong batu hijau," olok Yap Kay sambil tertawa.

"Bukan berubah jadi potongan batu, tapi tertindih di bawah batu hijau itu," sahut So Ming- ming sambil tertawa pula.

Ketika memegang batu hijau itu, tak kuasa Yap Kay dan So Ming-ming saling berpandangan sekejap.

Seandainya di bawah tanah benar-benar terkurung roh jahat berusia seribu tahun, maka batu hijau itulah tombol pembuka ruang rahasia. Tak heran mereka berdua nampak sedikit ragu kendati rasa ingin tahu yang kuat menguasai perasaan mereka.

Menyaksikan begitu bergairahnya So Ming- ming, akhirnya Yap Kay berbisik, "Mari kita singkirkan batu itu!"

Sambil memperkuat kuda-kuda, kedua orang itu menghimpun tenaga dalam dan segera mengangkat batu hijau itu, ternyata batu hijau yang mereka sangka ringan, kenyataan beratnya bukan kepalang.

Paras muka So Ming-ming yang sudah memerah kini berubah semakin merah padam. Terpaksa Yap Kay harus menambah kekuatan tenaga dalamnya untuk membantu.

Akhirnya diiringi suara bentakan keras, batu hijau itu terangkat dan bergeser ke samping. Tak ada asap putih, tak ada kumpulan cahaya, bahkan tak ada suara aneh, hanya bau busuk yang luar biasa berhembus keluar dari balik liang itu.

"Wah, bau sekali!" teriak So Ming-ming sambil menutup hidung dan mundur dua langkah.

Yap Kay sendiri mesti tidak ikut menutup hidung, tak urung ia berkerut kening juga. Sesudah mengusir hawa busuk dari hadapannya, cepat dia melongok ke dalam gua, tapi begitu melihat, alisnya berkerut kencang.

So Ming-ming segera maju mendekat dan ikut melongok ke dalam gua, tapi segera teriaknya, "Aneh, tak ada apa-apanya!"

Ternyata setelah batu hijau itu disingkirkan, gua di bawahnya tidak dijumpai apa pun kecuali sebuah gua setinggi tubuh manusia, jangankan roh jahat berusia seribu tahun, gerombolan semut pun tak nampak seekor pun.

"Bagaimana mungkin bisa begini?" teriak So Ming-ming sambil membelalakkan mata, cahaya gairah yang semula menghiasi wajahnya seketika hilang tak berbekas.

"Jangan-jangan roh jahat itu tak kuasa menahan sabar hingga diam-diam sudah melarikan diri?" goda Yap Kay sambil tertawa.

"Ai, sudah mengorbankan begitu banyak tenaga, ternyata tidak ada hasil yang bisa diperoleh," keluh So Ming-ming dengan kesal, ia merasa kecewa sekali. "Biarpun tak ada sesuatu yang bisa dilihat, paling tidak kita bisa makan."

"Bisa makan? Makan apa?" tanya So Ming-ming melengak. "Tentu saja makan nasi!"

Sebelum hidangan yang dipesan diantar ke meja, So Ming-ming memperhatikan sekejap ruangan rumah makan itu, kemudian bertanya kepada Yap Kay, "Kenapa kau tidak mengajakku bersantap di rumah makan milik Cihuku? Siang- ki-lau tersedia aneka hidangan, kenapa kau bukannya bersantap di sana?"

"Ah, pertama, mau apa saja di situ, kita harus turun tangan sendiri, kelewat merepotkan," sahut Yap Kay, "kedua, bila Siau-siansing melihat kau datang bersamaku, kujamin dia pasti akan menuduhku sebagai si hidung bangor, terus yang ketiga. "

"Masih ada yang ketiga?"

"Betul, di sini jauh dari orang-orang yang kenal denganmu," kata Yap Kay tertawa, "jadi aku bisa melolohmu hingga mabuk."

"Melolohku sampai mabuk?" perasaan tercengang bercampur kaget melintas di wajah So Ming-ming, jangankan orang dewasa, anak kecil usia tiga tahun pun pasti tahu bahwa saat itu dia sedang berlagak, "kenapa kau ingin melolohku hingga mabuk?"

"Bila seorang lelaki ingin meloloh seorang wanita hingga mabuk, biasanya terdapat beratus macam dalih, tapi aku berani menjamin, dari berapa ratus dalih yang ada, tak satu pun yang bisa menangkan dalih yang akan kukemukakan."

"Dalih apa itu?"

"Sampai waktunya kau pasti akan tahu dengan sendirinya," suara tawa Yap Kay kelihatan begitu misterius.

Sebetulnya So Ming-ming ingin bertanya lagi, kebetulan pelayan datang mengantar arak dan hidangan, terpaksa ia menghentikan kata- katanya.

Menanti pelayan berlalu, baru dia berkata, "Kalau tidak kau katakan, aku tidak mau minum"

"Hanya ada satu cara bila kau ingin mengetahuinya." "Cara apa itu?"

"Minum saja dulu," sahut Yap Kay tertawa, "hanya dengan minum arak lebih dulu baru kau akan tahu apa dalih yang akan kukemukakan."

Arak masih ada dalam guci, cawan masih ada di tangan, namun orangnya sudah tergeletak di atas meja.

Sudah hampir satu jam lamanya mereka menenggak susu macan, namun belum ada pertanda mabuk di wajah masing-masing, khususnya So Ming-ming, gadis itu malah terlihat makin meneguk sinar kesepian terpancar makin tebal.

Begitu dia mulai meneguk cawan yang pertama, Yap Kay segera mengetahui bahwa bukan pekerjaan gampang untuk meloloh gadis itu hingga mabuk, bahkan asal dia sendiri bisa bertahan tidak mabuk pun sudah hebat.

Setiap  meneguk secawan arak,  sayur sesuap segera mengikuti, itulah cara So Ming-ming  meneguk air kata-kata, belum sampai satu jam paling tidak ia sudah menghabiskan tiga puluhan cawan arak.

Tiga puluh cawan arak dengan tiga puluh suap masakan, Yap Kay benar-benar sangsi bagaimana mungkin sayur dan arak itu bisa muat dalam perut So Ming-ming, padahal tubuhnya kurus ceking, tak nyana mempunyai takaran minum dan makan yang luar biasa besarnya.

Bagi Yap Kay, minum arak mungkin bukan masalah baginya, tapi kalau disuruh bersantap, dia hanya bisa memegang perut sendiri sambil menggeleng kepala dan menghela napas berulang kali.

"Kenapa kau menghela napas?" tanya So Ming- ming.

"Aku betul-betul seorang lelaki bodoh," ujar Yap Kay, "ternyata aku meloloh seorang perempuan yang tumbuh dewasa sembari tidur."

Kemudian setelah menghela napas lagi, tambahnya, "Bukankah sama artinya aku sedang mencari penyakit buat diri sendiri?"

Kontan saja So Ming-ming tertawa cekikikan sehabis mendengar kata-katanya itu, tegurnya, "Baru minum satu jam, masa kau sudah tak sanggup meneguk lebih banyak?" "Kalau suruh aku makan hidangan, lebih baik aku menyerah saja," sahut Yap Kay tertawa, "tapi soal arak? Jangankan baru satu jam, tiga jam lagi pun bukan masalah."

Dia mendongakkan kepala memandang gadis itu, kemudian tambahnya, "Bagaimana dengan kau sendiri?"

So Ming-ming tidak segera menjawab, dia tertawa lebih dulu lalu meneguk habis secawan arak, setelah memenuhi kembali cawannya yang kosong baru dia berkata, "Tahukah kau, sejak usia berapa aku mulai minum arak?"

"Lima belas tahun."

"Keliru, tiga belas tahun. Ketika usiaku baru mencapai tiga belas tahun, sudah banyak orang ingin melolohku sampai mabuk."

"Bagaimana akhirnya? Berapa kali kau berhasil diloloh hingga mabuk?"

Asal kau seorang lelaki, kau pasti ingin mengetahui jawaban dari pertanyaan ini.

"Kalau dibilang aku tak pernah mabuk gara- gara diloloh, jelas jawaban itu bohong, menipu orang," kata So Ming-ming sambil tertawa, "hanya satu kali."

"Satu kali," Yap Kay menggeleng sambil menghela napas, "satu kali pun sudah luar biasa."

Tentu saja So Ming-ming mengetahui apa yang dimaksud Yap Kay, setelah tertawa katanya lagi, "Kali itu adalah saat Ciciku menikah, aku diloloh Ciciku hingga mabuk."

"Cicimu yang meloloh?" "Betul."

"Kalau takaran minummu saja sudah cukup membuat orang mati lantaran kaget, berarti kehebatan Cicimu cukup membuat setan pun ketakutan?"

"Sesungguhnya Ciciku memang sudah tersohor sebagai jagoan arak dari Lhasa."

"Lhasa? Kau maksudkan kota suci orang Tibet?" "Memangnya masih ada kota Lhasa lainnya?" "Jadi kau dan Cicimu dilahirkan di kota Lhasa?"

"Selain dilahirkan, kami pun dibesarkan di sana," So Ming-ming menerangkan, "kami dua bersaudara dijamin memang ayam kampung dari Lhasa."

"Ayam kampung?" sekali lagi Yap Kay dibuat melengak.

"Itu perumpamaan," kembali So Ming-ming menerangkan sambil tertawa, "orang-orang yang lahir dan dibesarkan di kota Lhasa biasanya dipanggil ayam kampung."

Langit bersambungan dengan bumi, sejauh mata memandang hanya pasir kuning yang beterbangan di angkasa.

Jarang ada makanan dan hidangan yang disajikan di pinggiran kota lolos dari sergapan pasir, setiap suap hidangan yang kau makan sama artinya dengan kau melahap sesuap pasir. Memang itulah salah satu ciri khas kehidupan di pinggiran.

Masih untung daun jendela yang ada di rumah makan bakmi dimana Yap Kay sedang bersantap saat ini dilapisi dengan kertas tebal, oleh sebab itu sedikit sekali pasir kuning yang tercampur dalam hidangan mereka.

Jendela dengan kertas tebal selain bisa digunakan untuk menahan hembusan pasir, dapat juga mengurangi teriknya panas matahari, hanya saja udara jadi terasa lebih lembab.

Kalau tiada hembusan angin, tentu hawa panas tak bisa terusir.

Banyak sekali kejadian seperti itu berlangsung di dunia ini, ada sisi untung pasti ada sisi rugi, oleh karena itulah sebagai manusia janganlah kelewat pelit dan hitungan.

Yap Kay berulang kali menyeka peluh yang membasahi jidatnya, lalu dengan kipas berusaha mendinginkan badannya yang terasa gerah.

Entah karena sebagai 'ayam kampung' sudah terbiasa dengan udara di situ atau karena sebab lain, So Ming-ming bukan saja tidak berkeringat, malah wajahnya tak nampak merah, napas pun tak terlihat terengah-engah.

"Tampaknya kau memang benar-benar ayam kampung dari wilayah Kanglam," olok So Ming- ming sambil tertawa, "padahal saat ini musim panas baru tiba, baru begini sudah kepayahan, apalagi kalau musim panas sudah datang, apa jadinya kau?"

"Apa lagi? Tentu saja mencari tempat untuk berteduh," sahut Yap Kay sambil tertawa, "atau paling sebagian besar waktuku kugunakan untuk berendam dalam air."

Baru saja So Ming-ming ingin tertawa, mendadak terdengar suara seorang bocah perempuan berkumandang dari luar pintu.

"Jangan kuatir, sampai waktunya siapa tahu orang itu sudah tidak berada di tempat jorok seperti ini."

Begitu suara itu bergema, tahu-tahu So Ming- ming sudah melihat seorang nenek kerdil sudah berdiri tepat di hadapannya.

Tentu saja Yap Kay tahu siapa gerangan orang ini, tapi dia betul tak habis mengerti mengapa Gwe-popo bisa muncul pula di sana?

So Ming-ming tidak kenal nenek kecil mungil itu, selama hidup belum pernah ia bersua dengan seorang nenek yang sedemikian aneh, bahkan diapun tidak mengira bakal bertemu dengan seorang macam begini.

Nenek kecil mungil itu bukan cuma kelihatan sangat tua bahkan luar biasa mini, ada beberapa bagian tubuhnya kelihatan jauh lebih tua dari siapa pun, ada pula beberapa bagian tubuhnya yang nampak jauh lebih kecil dan mini ketimbang siapa pun. Nenek itu benar-benar sangat tua dan mini, tapi kulit wajahnya justru lebih halus dan lembut ketimbang wajah seorang bayi, selain putih juga terasa begitu halus dan lembut, semu merah di antara putih dan empuk bagaikan tahu, apalagi suaranya, bukan saja merdu dan halus, bahkan lebih manja dari suara gadis remaja.

So Ming-ming memandang nenek yang serba luar biasa ini, hampir saja dia tertawa geli, sebab si nenek sedang menggunakan matanya yang lembut untuk memandang Yap Kay.

Padahal sejak berusia tiga-empat belas tahun Yap Kay sudah terbiasa diawasi orang, khususnya oleh kaum gadis. Sampai berumur tiga puluh satu tahun, dia masih sering diawasi orang, diawasi berbagai jenis perempuan. Jadi sebetulnya dia sudah terbiasa ditatap orang.

Tapi sejak ditatap si nenek semalam, entah mengapa tiba-tiba ia merasa rikuh sekali.

Apalagi sekarang, ia mulai merasa tak leluasa dengan tatapan si nenek itu, pipinya terasa mulai panas dan memerah.

"Apa yang kau pandang?" akhirnya tak tahan Yap Kay bertanya.

"Aku sedang memandangmu," jawab si nenek. Yap Kay sengaja menghela napas panjang,

katanya, "Aku sudah tua bangka, buat apa

melihatku?" Gwe-popo tak mau kalah, dia pun sengaja menghela napas sambil menyahut, "Aku pun sudah nenek-nenek, kalau bukan memandang kakek tua, siapa pula yang kupandang?"

Sebetulnya So Ming-ming tak ingin tertawa, apa mau dikata ia justru tak kuasa menahan rasa gelinya lagi, secara tiba-tiba ia merasa bahwa si nenek betul-betul seorang yang menarik.

"Baik-baikkah kau!" sapa So Ming-ming kemudian.

"Aku sangat baik, begitu baik sampai tak terkirakan."

"Siapa namamu? Mau apa datang kemari?" "Aku bukan bermarga siapa, kemari pun tak

ada urusan apa-apa," sahut Gwe-popo, "aku kemari lantaran satu urusan yang sama sekali tak berarti."

"Urusan apa?"

"Coba saja kau tebak," sahut Gwe-popo lagi sambil memutar biji matanya, "asal tebakanmu betul, aku akan menyembahmu sebanyak tiga ribu enam ratus kali."

"Buat apa kau menyembah begitu banyak?

Tentu kau akan lelah!" So Ming-ming menggeleng, "aku bertanya justru lantaran aku tak bisa menebak apa maksudmu datang kemari." "Tentu saja kau tak mampu menebak, selama hidup jangan harap kau bisa menebaknya."

"Kalau memang begitu, kenapa tidak segera kau terangkan?"

"Biarpun sudah kukatakan pun belum tentu kau percaya."

"Coba katakan."

"Baik, akan kukatakan," tiba-tiba Gwe-popo berpaling ke arah Yap Kay, kemudian melanjutkan, "aku datang kemari lantaran aku ingin menelanjangi kau dan memandang setiap jengkal badanmu dengan seksama."

Kontan So Ming-ming tergelak, mula-mula dia terperangah tapi kemudian rasa geli mengalahkan perasaan tercengangnya, selama hidup belum pernah ia mendengar ocehan sekonyol itu, bahkan mimpi pun tak mengira bakal mendengar lelucon semacam ini.

Yap Kay betul-betul tak mampu tertawa.

Sebetulnya dia masih bisa tertawa, dalam keadaan biasa dia bakal tertawa keras mendengar ucapan semacam itu, sekarang ia terbungkam, benar-benar tak mampu tertawa lagi, sebab dia kelewat memahami tabiat Gwe-popo.

Dia sangat memahami tabiatnya yang bertindak sesuka hati. Kalau Tui hong siu tersohor karena keras kepala, maka Gwe-popo terkenal karena tindak-tanduknya yang liar. Teringat akan hal ini, Yap Kay tak sanggup tertawa lagi, namun dia masih mencoba memaksakan diri menampilkan sekulum senyuman.

Masih mendingan jika dia tidak tertawa, begitu tersenyum maka wajahnya kelihatan jelek hingga menyerupai orang sedang menangis

"Jangan kau perlihatkan mimik muka seperti itu," buru-buru Gwe-popo mencela dengan penuh rasa sayang, "sikap semacam itu bisa membuat wajahmu berkerut dan cepat tua."

"Ai... aku lebih suka kulit wajahku saat ini berubah jadi tua dan jelek, seperti wajah kakek berusia sembilan puluh tahun," gumam Yap Kay sambil tertawa getir.

Tiba-tiba So Ming-ming menarik kembali senyumannya, dengan sikap yang lebih serius tanyanya kepada Gwe-popo, "Jadi kau benar- benar akan menelanjangi dia dan menikmati tubuh bugilnya? Sekarang juga? Di tempat ini?"

"Apa salahnya kulakukan sekarang?

Memangnya kurang cocok?"

"Jelas tidak boleh dan tidak cocok," teriak Yap Kay gelisah.

"Kenapa?"

"Bukankah Siau-ling-ji belum menunjuk calon suaminya, mana boleh kau telanjangi aku lebih dulu?" protes Yap Kay, "lagi pula sudah dia katakan kau tak boleh melakukannya di siang hari bolong, apalagi di depan umum."

"Baiklah, aku pasti akan membuat kau bugil dengan perasaan ikhlas!" kata Gwe-popo kemudian.

Begitu selesai berkata, seperti sewaktu masuk tadi, tahu-tahu Gwe-popo sudah lenyap dari pandangan mata. Coba seandainya tidak tersisa bau harum tubuhnya, So Ming-ming pasti mengira dia sedang mabuk berat.

Kini Yap Kay bisa menghembuskan napas lega, perasaan tegang pun berangsur mengendor, berulang kali dia meneguk arak untuk meredakan hatinya yang berdebar.

"Dia benar-benar akan melucuti pakaianmu hingga telanjang?" tanya So Ming-ming kemudian selesai meneguk arak.

"Jika kau sudah tahu siapa nenek itu, pertanyaan ini pasti tak akan kau ajukan."

"Lalu siapakah dia?"

"Pernah kau dengar nama besar Tui hong siu?" "Tui hong siu? Belum pernah!"

"Nama Gwe-popo?"

Kembali So Ming-ming menggeleng,

"Aku hanya tahu seorang lelaki bernama Yap Kay, ternyata dia hanya setan bernyali kecil, baru ada seorang nenek ingin menelanjangi dia, ternyata dia sudah ketakutan setengah mati." Kalau manusia seperti Tui hong siu dan Gwe- popo pun sama sekali tidak diketahui olehnya, bagaimana mungkin nona itu bisa memahami perasaan takut Yap Kay? Oleh sebab itu Yap Kay enggan memberi penjelasan lebih lanjut, dia hanya tertawa getir, hanya meneguk araknya secawan demi secawan.

Tampaknya So Ming-ming tak berniat menyudahi pertanyaannya, kembali ia berkata, "Siapa pula Siau ling-ji itu? Apakah dia seorang perempuan? Masih muda? Atau sudah nenek- nenek?"

Yap Kay mengerti, bila tidak ia ceritakan kisah pengalamannya semalam, jangan harap kehidupannya di masa datang bisa dilewatkan dengan tenteram, maka secara ringkas dia pun mengisahkan kembali kejadian semalam.

So Ming-ming termenung sambil melamun selesai mendengar penuturan Yap Kay, dia seakan terjerumus dalam pemikiran yang serius, biar cawan arak di tangan namun tak sekali pun diteguk isinya, sementara sorot matanya memandang ke tempat jauh dengan termangu.

Yap Kay tercengang melihat sikapnya itu, bukankah peristiwa yang berlangsung semalam sama sekali tak ada hubungan atau sangkut-paut dengan dirinya? Bahkan semua orang yang hadir semalam pun tak ada sangkut-pautnya, kenapa sikapnya tiba-tiba berubah jadi sangat aneh? Begitulah, untuk sesaat mereka berdua hanya membungkam dan masing-masing terjerumus dalam pemikiran sendiri-sendiri.

Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya terdengar So Ming-ming menghembuskan napas panjang, lalu berkata, "Mungkinkah orang yang dipanggil Ong-supek adalah tua bangka aneh itu?"

"Tua bangka aneh? Tua bangka aneh yang mana? Kau kenal orang itu?" tanya Yap Kay.

Perlahan-lahan So Ming-ming menarik kembali sorot matanya dan meneguk habis isi cawannya, tapi suaranya seolah masih tertinggal di tempat jauh, ujarnya, "Di dalam kota Lhasa terdapat sebuah istana yang bernama istana Potala, kurang lebih seratus lima puluh li dari istana Potala ada sebuah bukit yang bernama Cagopoli, di atas bukit inilah terdapat sebuah tempat yang disebut kebun monyet."

Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas, kembali gadis itu melanjutkan, "Pemilik kebun monyet adalah seorang kakek yang aneh, dia sudah berumur seratus tahun, dari marga Ong.

Anak-anak yang tinggal di Lhasa biasa memanggilnya sebagai Ong-supek."

"Kebun monyet? Ong-supek?" wajah Yap Kay mulai berseri, "apakah orang tua yang bernama Ong-supek ini amat suka dengan monyet?"

"Bukan hanya suka, bahkan nyaris suka setengah mati, sukanya mendekati gila," So Ming- ming menerangkan sambil tertawa, "di dalam kebunnya paling tidak terdapat seribu ekor monyet, monyet jenis apa pun terdapat di situ, bahkan terdapat sejenis monyet yang mimpi pun tak pernah kau bayangkan."
Terima Kasih atas dukungan dan saluran donasinya🙏

Halo, Enghiong semua. Bantuannya telah saya salurkan langsung ke ybs, mudah-mudahan penyakitnya cepat diangkat oleh yang maha kuasa🙏

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar