Tusuk Kundai Pusaka Jilid 15

 
Jilid 15

”Maksud dan tujuanmu memberi obat itu, akupun sudah tahu juga. Tetapi budi kebaikan tetap budi kebaikan.   Dan aku sudah menerima kebaikanmu, mana aku takkan membalasnya? Nanti apabila bertempur, tak nanti aku membikin kecewa harapanmu. Biarlah kau tentu menderita kekalahan yang betul-betul memuaskan hatimu. Akupun hendak mengatakan lebih dulu. Pedangku ini tak kenal akan budi kasih lagi.   Namun masih dapat kuberi ampun jiwamu. Tetapi setelah lukamu sembuh, masih kau tetap tak terima dan menantang berkelahi, akupun takkan sungkan lagi untuk mengambil kepalamu.”

Leng Ciu tergelak-gelak, serunya: ”Sungguh tak kecewa kau diberi gelar Bu-ceng-kiam.

Pedangmu tak kenal ampun dan mulutmupun tak mau kalah. Bagus, bagus, memang begitulah maksudku. Keluarkan seluruh kebisaanmu. Hanya kukuatir, pedangmu tak dapat berbuat apa-apa terhadap aku. Jika masih hendak meninggalkan pesan apa-apa, silahkan menyelesaikan sekarang juga.”

”Siapa yang akan kalah dan menang. Siapa yang akan mati atau hidup, lihat saja nanti. Anak muridmu tidak tampak hadir, tentunya kau sudah mengatur beres pesan-pesanmu. Baiklah, mari kita mulai sekarang!”

Setiap kali adu bicara, Shin Ci-koh tentu tak mau mengalah. Leng Ciu siangjin tertawa keras: ”Semalam kemana saja perginya anak muda itu?”

”Kau toh bertempur dengan aku, ada sangkut pautnya apa dengan anak muda she Toan itu?” seru Shin Ci-koh.

”Memang tak ada sangkut pautnya. Hanya kulihat kepandaiannya boleh juga. Beberapa jurus permainan pedangnya boleh ditandingkan dengan jago pilihan. Benar, memang aku tantang kau berkelahi sampai mati, kau boleh undang bantuan, aku tetap menghadapi seorang diri. Kalau memang ada bala bantuan, silahkan maju berbareng. Atau mau bergiliran maju, juga boleh.

Adanya aku datang seorang diri agar kau jangan cemas. Eh, aku kepingin menjajal kepandaian anak muda itu.”

Shin Ci-koh anggap Siangjin itu angkuh sekali.   Ia mendampratnya: ”Main keroyok, itu keistimewaan anak muridmu. Selama hidup aku selalu bergerak seorang diri, masa sudi mencontoh kelakuan partaimu Leng-ciu-pay? Kalau mau menempur anak muda itu, besok malam sajalah.”

Karena malu, muka Leng Ciu siangjin berubah gelap: ”Anak muridku termasuk Wanpwe

(angkatan muda). Memang tak seharusnya mereka mengeroyok kau. Tapi kau menangkan mereka pun takkan ternama. Dan lagi jika sifatmu tak ganas, masakan mereka akan menggempurmu.

Sekalipun mereka salah, tapi dengan membunuh mereka sampai sekian banyak, kau tetap bersalah!” ”Aku tak sudi banyak omong tentang kelakuan anak muridmu yang manis-manis itu. Toh saat

ini kita akan bertempur sampai mati. Memang anak muridmu telah kubunuh, kalau kau mau menuntut balas, silahkanlah!” sahut Shin Ci-koh.

”Baik, kau sudah membunuh dua puluh tiga muridku. Jangan menyesal, aku hendak pinjam pedangmu bu-ceng-kiam untuk membuat dua puluh tiga lubang tusukan di tubuhmu!” Leng Ciu siangjin marah benar.

Shin Ci-koh serentak mencabut pedangnya: ”Kalau mampu, silahkan mengambil pedang ini. Ayolah!”

Walaupun tak tertahan lagi kemarahannya namun Leng Ciu tak mau kehilangan gengsinya

sebagai seorang guru besar. Tertawalah ia: ”Shin Ci-koh, meskipun tingkat angkatan kita sama, tapi aku lebih tua duapuluh tahun. Aku tak mau cari enak, aku akan mengalah sampai tiga jurus!”

Shin Ci-koh kiblatkan pedangnya dalam tiga buah tusukan. Tapi bukan ditujukan pada Leng Ciu siangjin melainkan ke udara. Setelah itu berkatalah ia: ”Telah kulakukan permintaanmu menyerang tiga kali. Sekarang giliranku untuk melihat kepandaianmu!”

”Shin Ci-koh, berapa tingginya kepandaianmu berani mempermainkan aku?” Leng Ciu

berteriak nyaring, seraya kebutkan kebutkan lengan baju ke arah Shin Ci-koh. Ujungnya seperti pedang yang memapas tangan orang.

Shin Ci-koh putar tubuhnya dalam gerak Poan-liong-yau-poh atau naga melingkar-lingkar kemudian dengan jurus Liu-sing-kam-gwat, ia pantulkan ujung pedangnya ketiga jurusan jalan darah pek-hay-hiat di kiri, thian-tho-hiat di kanan dan suah-ki-hiat di tengah. Kesemuanya terletak di dada orang, merupakan segitiga.

Permainan pedang Shin Ci-koh itu dibanding dengan ilmu pedang Wan-kong-kiam dari Gong- gong-ji, masing-masing mempunyai keindahan sendiri-sendiri. Benar Wan-kong-kiam sekali gerak dapat menusuk sembilan buah jalan darah, tapi kesemuanya itu pada garis yang merata, baik mendatar maupun melintang. Tidak demikian dengan gerak pedang Shin Ci-koh. Meskipun jumlah tusukannya tidak banyak, tapi arahnya berlainan, kanan-kiri atas dan bawah.

”Hebat!” mau tak mau Leng Ciu siangjin memuji juga. Ia kebutkan lengan bajunya untuk menyampok tusukan kanan dan kiri. Tapi untuk yang tengah, ia tak keburu menolak lagi. Brat....

ujung pedang Shin Ci-koh menggurat, meninggalkan bekas guratan tapi tak sampai merobekkan baju.

Ternyata dalam saat-saat yang berbahaya itu, Leng Ciu dapat menyedot dadanya ke belakang. Begitu ujung pedang melekat pada baju, ia terus hembuskan lwekangnya untuk menolak, Shin ci- koh terkejut dan buru-buru hendak menarik pulang pedangnya tapi sudah terlambat, Leng Ciu siangjin sudah mengebutkan lengan bajunya. Shin Ci-koh coba berusaha untuk miringkan tubuhnya kian kemari namun tak urung mukanya terasa panas kesakitan akibat sambaran angin kebutan lawan.

Keduanya sama terkejut dan tak berani memandang rendah lawan. Dengan kepandaian yang lebih unggul setingkat, Leng Ciu siangjin menjalan taktik tenang. Ia selalu mendahului penyerangan tapi tak mau menyerang dengan gencar. Dalam lingkaran seluas tiga tombak, angin pukulannya tetap dapat menguasai lawan. Kemana saja Shin Ci-koh hendak menusuk, tetap tertolak. Diam-diam Shin Ci-koh mengeluh. Kalau pertempuran berjalan lama, terang ia yang akan kalah. Cepat ia rubah taktik. Ia mainkan pedangnya sedemikian rupa sehingga ujung pedangnya pecah menjadi beberapa belas sinar.   Suatu hal yang membuat Leng Ciu leletkan lidah juga. Ia kerahkan latihannya berpuluh tahun untuk menutup dirinya. Setiap kali ujung pedang Shin Ci-koh menusuk tentu akan terbentur dengan dinding baja. Serangan Shin Ci-koh tertahan pada jarak setengah meteran.

”Oho, kepandaianmu hanya begini sajalah?” tiba-tiba Leng Ciu siangjin berseru. Dari bertahan, ia berganti menyerang. Anginnya menderu-deru hingga tubuh Shin Ci-koh terombang-ambing seperti perahu di lautan.

Shin Ci-koh murka. Ia rubah lagi permainan pedangnya, kemudian tertawa mengejek: ”Aha, kepandaianmu juga hanya begini sajalah!” -- Tangan kirinya mencabut kebut hud-tim. Dengan demikian ia memakai dua senjata. Dengan gerak permainannya yang istimewa dimana kalau melambung ke udara seperti gerak burung elang dan kalau mendak ke bawah laksana lebah mengerumun, dapatlah ia menahan serangan lawan.

Bukan saja ilmu pedangnya istimewa, pun ilmu permainan kebut yang disebut Thian-kon-bud- kian-se-cap-liok-si, juga luar biasa. Bulu kebut itu dapat dirubah menjadi ujung-ujung jarum yang

menusuk jalan darah orang. Dan dapat juga dikencangkan menjadi semacam senjata poan-boan-pit. Pokok, dapat digunakan untuk menyerang dalam segala cara.

Leng Ciu siangjin melayani dengan hati-hati. Kebutan lengan bajunya disertai gerakan jari yang melancarkan hawa dingin. Ternyata ia menggunakan ilmu jahat yang disebut Hian-im-ci (jari negatif). Khusus memancarkan hawa dingin untuk menyerang jalan darah lawan. Sudah tentu jari berangin dingin itu jauh lebih sukar dihadapi dari kebut Shin Ci-koh.

Sebagai ahli lwekang, sudah tentu Shin Ci-koh dapat menutup jalan darahnya dari serangan angin dingin.   Tapi hanya untuk sementara waktu. Jika pertempuran berlarut lama, tentu sukar bertahan lagi.

”Baik, aku akan mengadu jiwa padamu, lokoay!” akhirnya Shin Ci-koh nekad. Ia putar

kebutnya dan bolang-balingkan pedangnya mendatar. Leng Ciu siangjin segera terbungkus dalam jaring sinar.

”Wanita siluman ini benar-benar tak kecewa bergelar Bu-ceng-kiam,” mau tak mau Leng Ciu memuji dalam hati.

Pertempuran hebat itu membuat In-nio dan Yak-bwe terlongong-longong. Mereka menyingkir di ujung biara, namun tubuh mereka masih terasa menggigil tersambar angin dingin Leng Ciu siangjin.

”Leng Ciu lokoay itu benar lihay, tapi kukira Shin lo-cianpwe dapat memenangkannya,” setelah menyalurkan lwekang untuk menahan hawa dingin, Yak-bwe membisiki In-nio. Memang pada saat itu Shin Ci-koh tengah melancarkan serangan yang hebat. Tapi In-nio yang lebih banyak pengalaman, dapat melihat kelemahan Shin Ci-koh. Belum lagi ia memberi bantahan kepada Yak-bwe, disana gerakan pedang Shin Ci-koh mulai lambat, seperti terpancang sesuatu.

Tenaganya makin kurang lancar.

Memang benar dugaan In-nio itu. Karena tak dapat bertahan lama menutup jalan darah, ketika Ci-koh hendak ganti napas, hawa dingin dari jari Leng Ciu segera menyusup ke dalam pori kulit.

Dengan lwekangnya yang tinggi, dapatlah jago wanita itu menghalau hawa jahat itu, tapi tak urung karena lambat laun hawa dingin yang masuk itu makin banyak, gerakan Shin Ci-koh pun terpengaruh juga.

”Orang menunggu sampai kaku, Khik-sia mengapa tak muncul,” Yak-bwe menggerutu. Tapi

baru ia mengucap begitu, tiba-tiba di luar ada suara tindakan orang. Ia duga tentu Khik-sia, maka girangnnya bukan kepalang. Ia ulurkan kepala untuk melongok.

Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa gelak-gelak yang menusuk telinga: ”Datang, sudah datang! Kalian berdua budak perempuan harus turut aku!” -- Ah, yang muncul ternyata bukan Khik-sia, tetapi Ceng-ceng-ji.

Adalah karena mengetahui bahwa Khik-sia turun gunung, maka beranilah ia datang lagi ke biara situ. Maksudnya hendak menangkap kedua nona itu untuk diserahkan pada Se-kiat.

Secepat suaranya terdengar secepat itu pula Ceng-ceng-ji sudah melesat masuk dan menyerang In-nio – Yak-bwe. Untuk In-nio yang diketahui lebih lihay ia babat dengan pedang. Sedang untuk Yak-bwe cukup ia tusuk jalan darahnya dengan jari tangan kiri.

Tapi taksirannya itu meleset. Selama sebulan bersama Khik-sia, kepandaian Yak-bwe maju pesat sekali hingga berimbang dengan In-nio. Cepat ia menyambut jari Ceng-ceng-ji dengan pedangnya. Ceng-ceng-ji kaget dan ganti tusukannya untuk menyelentik. Dan karena ia harus

gunakan tujuh bagian lwekangnya, permainan pedangnyapun agak lemah. Sekali tangkis, dapatlah In-nio menolaknya.

”Ho, Leng Ciu Siangjin, bukankah kau tantang aku bertempur satu lawan satu? Sebenarnya aku tak melarang kau mengajak koncomu kemari. Tapi perlu apa kau mengumbar suara besar hanya datang seorang diri?” tiba-tiba Shin Ci-koh melengking tertawa.

Leng Ciu terkesiap, serunya: ”Sahabat Ceng-ceng-ji itu bukankah sute dari Gong-gong-ji? Masakah kau tak kenal? Mengapa kau anggap dia bala bantuanku?”

”Memang kunyuk kecil itu bukan anak muridmu. Dia tak berguna apa-apa. Tapi tetap dia lebih unggul dari murid-muridmu. Hm, jika tak kau suruh, mana dia berani datang kemari?” sahut Shin Ci-koh.

Ceng-ceng-ji terpaksa hentikan serangannya dan berseru: ”Leng Ciu cianpwe, harap dengarkan keteranganku. Aku memang mempunyai sedikit permusuhan dengan kedua budak itu. Oleh karena tunggu besok pagi dikuatirkan mereka sudah pergi maka terpaksa sekarang aku hendak meringkus mereka. Sekali-kali tak bermaksud mengganggu cianpwe.”

Dengan menyebut ’cianpwe’ itu, Ceng-ceng-ji menyanjung tinggi Leng Ciu, dengan harapan siangjin itu akan membantunya, sekurang-kurangnya tidak mengusirnya.

”Tu, dengar tidak Shin Ci-koh? Mereka mempunyai permusuhan sendiri dan kita pun mempunyai perhitungan sendiri. Mana aku dapat melarang Ceng-ceng0ji datang kemari?” seru Leng Ciu.

”Jadi, benarkah kau tak mengundang kunyuk itu?” Shin Ci-koh menegas.

”Sudah tentu tidak! Mana aku sudi cari bantuan. Sudah, jangan banyak rewel, lihat pukulan!” Shin Ci-koh tak mau menangkis, sebaliknya ia berputar diri dan menusuk Ceng-ceng-ji,

serunya: ”Aku tak senang ketenangan kita diganggu orang. Karena kau tak mengundang, biarlah kuusirnya kunyuk ini!”

Sama sekali Ceng-ceng-ji tak mengira kalau di bawah serangan Leng Ciu, Shin Ci-koh berani menyerang dirinya. Buru-buru ia menangkis. Leng Ciu siangjin terpaksa tarik pulang serangannya tadi karena kedudukannya sebagai ketua partai tak mengijinkan ia mengeroyok orang. Dan ini memang telah diperhitungkan Shin Ci-koh, makanya berani saja ia menyerang Ceng-ceng-ji. Sekali pukul dua lalat. Pertama, ia dapat menolong kedua nona. Kedua, ia dapat kesempatan untuk mengenyahkan hawa dingin Hian-im-ci yang menyusup dalam tubuhnya. Sambil bertempur, ia kerahkan lwekang untuk mengusir hawa dingin itu.

Cepat sekali mereka sudah bertempur sampai 20-an jurus. Hebat sekalipun ilmu pedang Wan- kong-kiam itu tapi karena Ceng-ceng-ji belum sempurna latihannya, maka tetap kalah dengan Shin Ci-koh. Apalagi Shin Ci-koh memakai pedang, sedang tempo hari ketika bertempur di lapangan kotaraja, dengan tangan kosong saja ia dapat menampar muka Ceng-ceng-ji. Untung Ceng-ceng-ji tinggi gin-kangnya dan Shin Ci-koh gunakan sebagian lwekangnya untuk membersihkan hawa dingin beracun, dengan begitu pertempuran berlangsung panjang. Tapi setelah lewat jurus ke-21, runtuhlah perlawanan Ceng-ceng-ji. Ia mandi keringat dan napasnya senin kemis.

Ceng-ceng-ji masih belum mau melarikan diri. Matanya memandang Leng Ciu untuk meminta bantuan. Tapi siangjin itu diam saja hingga Ceng-ceng-ji makin kelabakan.

Pada saat ujung pedang Shin Ci-koh hendak bersarang ke tubuh Ceng-ceng-ji, sekonyong- konyong Leng Ciu kebutkan lengan baju untuk menyampok pedang Shin Ci-koh, sedang dengan tangan kiri ia mendorong Ceng-ceng-ji sampai terlempar keluar pintu.

”Bukankah kau hendak bertempur dengan aku? Nah, sekarang sudah kulempar pergi orang itu!” - seru Leng Ciu kemudian meneriaki Ceng-ceng-ji: ”Ceng-ceng toyu, carilah lain tempat yang agak jauh dari sini. Kalau kau hendak bertempur dengan kedua nona itu, aku takkan membantu siapa-siapa.”

”Baik, ayo kita mulai lagi!” seru Shin Ci-koh. Tapi Leng Ciu bukannya menyerang sebaliknya berputar diri ke samping kedua nona.

”Hai, Leng Cu lokoay, kau mau apa? Cis, tak malu menghina orang muda!” Shin Ci-koh berteriak kaget tapi sudah kasip. Leng Ciu siangjin sudah melemparkan kedua nona itu keluar. ”Sudah kukatakan tak mau membantu pihak manapun. Karena Ceng-ceng-ji keluar, kedua nona itupun tak boleh tinggal di sini!”

Memang Leng Ciu tak melukai mereka. Dengan tenaga kebutan yang istimewam ia lemparkan

In-nio dan Yak-bwe keluar, tapi selembar rambut kedua nona itu tak ada yang rontok. Shin Ci-koh mau memburu keluar tapi Leng Ciu sudah menghadang di ambang pintu:”Sekarang sudah tak ada orang, kau masih punya alasan apa? Mau lari? Jangan harap!”

”Huh, kau toh belum mampu menangkan aku, mengapa bermulut besar!” damprat Shin Ci-koh yang terus menyerang lagi. Karena memikiri keselamatan In-nio dan Yak-bwe, pikirannya gelisah dan cepat sekali ia terdesak. Tapi dikarenakan tadi ia sudah berhasil mengeluarkan hawa racun dingin, maka dapatlah ia bertahan diri.

”Oho, kalian juga dilempar keluar, ha, ha, sekarang tiada orang yang melindungi kalian lagi!”

Ceng-ceng-ji tertawa cengar-cengir sembari enjot tubuhnya melayang melewati kepala kedua nona. Ia turun di muka pintu. Maksudnya mencegah jangan sampai kedua nona itu lari ke dalam biara.

Setelah itu barulah ia mulai menyerang.

In-nio tahu bahwa Ceng-ceng-ji itu lebih tinggi ilmu gin-kangnya. Untuk lari, terang tak mungkin. Maka ia ambil putusan mengadu jiwa. Begitulah bahu-membahu dengan Yak-bwe, mereka serang Ceng-ceng-ji dari dua jurusan. Kepandaian mereka jauh lebih maju dari dahulu.

Apalagi akhir-akhir ini mereka telah sama-sama menyakinkan ilmu pedang Hui-hoa-cui-yap-kiam- hwat (ilmu pedang bunga gugur mengusir kupu) dari Biau Hui sin-ni. Dengan menyerang bersama, ilmu pedang itu lebih berbahaya lagi.

Meskipun Ceng-ceng-ji mempunyai kepandaian 'sekali tusuk dapat menyerang tujuh buah jalan darah', namun dalam waktu yang singkat hendak mengalahkan mereka, juga tak mungkin. Tapi bagaimanapun kepandaian Ceng-ceng-ji tetap mainkan pedangnya. Ini untuk menghabiskan lwekang kedua lawannya.

In-nio dan Yak-bwe gunakan permainan lincah. Namun tak urung mereka tak dapat

menghindari benturan pedang Ceng-ceng-ji. Setiap kali berbenturan, tangan mereka terasa sakit sekali. Makin lama lwekang mereka makin lemah. In-nio yang lebih kuat lwekangnya, hanya mandi keringat saja. Tapi Yak-bwe yang agak lemah lwekangnya, sudah merasa pusing matanya

berkunang-kunang dan napas terengah-engah. Permainan pedangnyapun mulai kacau. Dan Ceng- ceng-ji yang mengetahui hal itu, cepat menghantamnya. Trang, pedang Yak-bwe mencelat ke udara. Ceng-ceng-ji maju mendekati. Ia rangsangkan kelima jarinya untuk mencengkeram tulang pi-peh di bahu si nona. Maksudnya hendak menghancurkan kepandaian Yak-bwe.

Tiba-tiba telinganya terngiang suara makian Gong-gong-ji: ”Ho, lagi-lagi kau bangsat yang hendak membikin onar di sini! Kurang ajar, kali ini tak kuberi ampun, hendak kubeset kulitmu!” Sebenarnya Gong-gong-ji masih terpisah sebuah puncak, bagaimana juga tak nanti ia mampu datang. Maka digunakannyalah lwekang Coan-im-jip-bi. Hal itu diketahui juga oleh Ceng-ceng-ji. Kalau mau ia masih ada waktu untuk meneruskan rencananya terhadap Yak-bwe. Tapi ia paling takut kepada suheng itu. Nyalinya pecah dan tangannyapun gemetar sehingga Yak-bwe sempat loncat menghindar pergi dan In-nio maju menusuknya.

Dalam beberapa kejap saja, Gong-gong-ji dan Khik-siapun makin dekat. Melihat mereka, Ceng-ceng-ji segera tinggalkan kedua nona dan lari sipat kuping.

Memang cepat sekali gerakan Gong-gong-ji dan Khik-sia itu. Selagi Yak-bwe belum sempat berdiri tegak dalam groginya (terhuyung-huyung) tadi, Khik-sia sudah muncul dan menyambuti Yak-bwe: ”Adik Bwe, kau, kau mengapa?”

”Tak apa-apa, hanya bajuku kena dikoyak kunyuk itu, tapi tak sampai terluka. Mengapa baru sekarang kau datang? Mana Pui suheng?” sahut Yak-bwe.

”Pui suheng belum ketemu. Aku, aku ”

”Ah, hal itu nanti saja dibicarakan. Kalian lekas-lekas masuk ke dalam. Shin lo-cianpwe dalam bahaya!” In-nio cepat menukas

Gong-gong-ji anggap menolong Shin Ci-koh lebih penting dari menangkap Ceng-ceng-ji yang dibencinya itu. Apalagi ia membawa seorang tawanan (Ceng-bing-cu), dikuatirkan makan waktu lama untuk mengejar sute itu. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dapatlah ia mendengarkan bahwa Shin Ci-koh memang dalam bahaya. Cepat ia menjinjing tubuh Ceng-bing-cu dan melangkah masuk. Khik-sia hendak ikut tapi dicegah: ”Kalian tak usah turut masuk. Aku mempunyai tipu bagus untuk menghadapi lokoay itu.”

Mendengar itu legalah hati Khik-sia, karena tadi ia kuatir kalau-kalau suhengnya itu akan melanggar peraturan dunia persilatan.

Shin Ci-koh sudah tak kuat bertempur. Tapi demi mendengar suara Gong-gong-ji, bangunlah

lagi semangatnya. Kebalikannya Leng Ciu menjadi keder namun ia pura-pura mengejek: ”Shin Ci- koh, itu bala bantuanmu datang. Apa kau mau beristirahat dulu? Aku tak takut kalian gunakan siasat bergilir.”

Tepat pada saat itu Gong-gong-ji masuk membawa Ceng-bing-cu, serunya: ”Masih ada seorang lagi.   Bukankah ini murid kepala dari Leng-ciu-pay? Aku menyaksikan pertempuran dengan muridmu, jangan kuatir apa-apa!”

”Bagus, bagus! Kedua pihak mempunyai pendukung. Adil, adil sekali. Lebih baik lagi kalau

jadi saksi, siapa yang kalah atau menang tak bisa cari alasan lagi,” Shin Ci-koh tertawa. Kemudian ia suruh Gong-gong-ji duduk di ujung ruangan.

Gong-gong-ji mengiakan. Sedang Ceng-bing-cu demi melihat suhunya, maluya bukan

kepalang. Namun tiada lain jalan kecuali berseru meratap: ”Suhu, tolonglah aku!” - Tapi secepat itu Gong-gong sudah menekan tulang bahunya sehingga Ceng-bing-cu berkuik-kuik seperti babi. ”Mengapa berkaok-kaok tak keruan?  Apa kau tak tahu peraturan bulim? Bukankah suhumu sedang bertempur, mengapa kau berteriak? Ayo, duduk yang baik di sana!” bentak Gong-gong-ji. ”Kurang ajar! Mengapa kau menghina muridku, Gong-gong-ji?” Leng Ciu siangjin murka

sekali.

Gong-gong-ji lemparkan Ceng-bing-cu ke tanah, lalu menantang Leng Ciu: ”Tahukah kau apa perbuatan muridmu yang manis ini? Sebenarnya aku tak mau mengganggu pikiranmu, nanti setelah pertempuran selesai baru kuberitahukan. Tapi karena kau menuduh aku menghina muridmu, terpaksa aku memprotes. Ceng-bing-cu, bilanglah. Kamu sendiri yang main keroyokan atau aku yang menghina murid Leng-ciu-pay? Hm, kau bilang tidak?”

Sekali jari tengah Gong-gong-ji menekan punggung, Ceng-bing-cu merasa seperti dicocoki  ribuan jarum. Sakit dan gatal sekali, melebihi segala macam racun. Ia masih mengharap pertolongan suhunya. Tapi Leng Ciu siangjin sedang bertempur dengan Shin Ci-koh, tak sempat. Selain itu memang Leng Ciu tahu bahwa kepandaian Gong-gong-ji memang mengatur siasat. Kalalu ia sampai menyerang dulu berarti termakan tipu Gong-gong-ji. Yang melanggar peraturan dunia persilatan bukan Gong-gong-ji, tetapi ia sendiri.

Leng Ciu siangjin benar-benar meringis. Mau menolong, musuhnya berat. Tidak menolong, ia merasa terhina sekali karena murid kesayangannya diperlakukan begitu rupa. Tiba-tiba muridnya yang manis Ceng-bing-cu itu meratap: ”Gong-gong cianpwe, ya aku bilang aku bilang. Memang aku yang salah, ampunilah aku!”

”Bicara dengan berlututlah! Karena kau menyesal, akupun suka memaafkan. Tetapi kau harus mendamprat dirimu sebagai pertanda betul-betul kau sudah bertobat,” seru Gong-gong-ji. Sekali ia kebutkan lengan baju, bluk.   Ceng-bing-cu pun jatuh berlutut. Sakitnya makin hebat, tubuhnya seperti digigiti ular. Pikirannya pada saat itu hanya tertuju supaya bebas dari kesakitan.

”Ya, ya, akulah yang salah! Aku mengajak saudara-saudara seperguruan hendak mencelakai

kau dan Toan siauhiap. Aku seorang busuk, orang jahat. Harap kau orang tua suka mengampuni aku seorang rendah ini!” Ceng-bing-cu meratap-ratap.

Mendengar murid calon penggantinya bernyali seperti tikus, hampir saja Leng Ciu siangjin pingsan. Ketika ia hendak menggempur Gong-gong-ji, tiba-tiba Shin Ci-koh membentaknya: ”Leng Ciu lokoay, awas serangan!” - Pedang disambarkan ke atas kepala orang dalam jurus Sam- hoan-tho-gwat yang hebat sekali.

Leng Ciu siangjin terpaksa kendalikan amarahnya untuk menghadapi serangan Shin Ci-koh. Ia menangkis dengan sebuah hantaman.

”Bagus, Ceng-bing-cu, kau sudah memaki dirimu dengan bagus. Tetapi terangkanlah duduk perkaranya yang jelas dan kutuklah dirimu yanglebih keras lagi. Mengingat kau sungguh-sungguh menyesal, tentu kuampuni.”

Ceng-bing-cu tak pedulikan segala apa. Segera ia menuturkan bagaimana ia pimpin anak murid Leng-ciu-pay menggelundungkan batu dari puncak gunung untuk mencelakai Gong-gong-ji dan Khik-sia.

”Leng Ciu lokoay, itu dengar tidak? Apa kau masih menuduh aku yang menghina anak

muridmu? Untung aku dan Toan sute dapat mengatasi dan memang anak muridmu tak becus apa- apa. Ha, ha, mereka sendiri yang kehilangan beberapa jiwa, sedang aku dan Toan-sute tak kena apa-apa. Ceng-bing-cu, kau merasa menyesal atau tidak mengorban beberapa sutemu itu?”

”Aku bukan manusia, aku kutu busuk, kantong nasi. Mencelakai orang sebaliknya mencelakai diri sendiri. Aku sungguh-sungguh menyesal sekali!” sahut Ceng-bing-cu. Untuk mendapat kebebasan, Ceng-bing-cu tak segan-segan lagi memaki dirinya habis-habisan.

Leng Ciu siangjin tak sudi mendengarkan tapi ia malu menutup telinganya. Makian Ceng-bing-

cu itu sepatah demi sepatah seperti pisau yang menusuk ulu hatinya. Ia benci kepada Ceng-bing-cu dan berduka karena beberapa anak muridnya terbunuh. Maunya hendak menenangkan hati tapi pikirannya kacau balau. Akibatnya, permainan menjadi kacau tak menurut rel lagi. Pada hal racun dingin Hian-im-ci itu dilancarkan dengan lwekang. Dan karena lwekangnya terganggu akibat kekacauan pikirannya itu, walaupun gerakan jarinya masih menerbitkan angin tetapi sudah tak mengandung racun dingin lagi.

”Tubuhku kepanasan, mengapa angin-dingin dari jarimu itu tak meniup lagi?” Shin Ci-koh mengejek.

Diam-diam Gong-gong-ji memuji kepandaian Leng Ciu siangjin yang walaupun pikirannya sudah kacau namun masih dapat melayani Shin Ci-koh. Untuk mempercepat kekalahannya, kembali ia menanyai Ceng-bing-cu: ”Bagaimana kau berbuat salah terhadap Shin lo-cianpwe? Lekas ceritakan!”

Sebenarnya Gong-gong-ji tak tahu urusan Ceng-bing-cu dengan Shin Ci-koh. Tapi dalam perintahnya itu, ia sudah menuduh kalau Ceng-bing-cu bersalah. Dihadapan Shin Ci-koh, sudah tentu Ceng-bing-cu tak berani berdusta lagi.

”Ya, memang aku punya mata tapi tak dapat melihat gunung Thaysan. Ketika berjumpa di tengah jalan, aku terpikat dengan parasnya. Diam-diam kukuntitnya naik ke gunung dan ... kugodanya. Akhirnya aku dilabrak!” ”Manusia rendah, lekas tampar mukamu sendiri agar tak perlu kuturun tangan,” bentak Gong- gong-ji dengan marahnya.

Plak, plak, tergopoh-gopoh Ceng-bing-cu melakukan perintah. Ia menampar kedua pipinya sendiri.

Bahwa Shin lo-cianpwe tak seketika mencabut nyawamu adalah karena hendak memberi muka kepada suhumu. Mengapa kau tak insyaf? Coba bilanglah, apakah perbuatanmu mengajak sute- sutemu membalas pada Shin lo-cianpwe itu bukan melulu untuk kepentingan pribadimu?” tanya Gong-gong-ji pula.

Selama Gong-gong-ji tak memerintah berhenti, Ceng-bing-cu terus-menerus menampar mukanya seraya memaki diri sendiri: ”Ya, memang aku bukan manusia, aku binatang. Shin lo- cianpwe amat murah hati memberi ampun padaku. Adalah karena dihajar Shin lo-cianpwe, aku mendendam. Dengan alasan menerima undangan Su Tiau-gi agar dapat mengharumkan nama perguruan, kuajak para sute turun gunung, kemudian kusuruh mereka mengeroyok Shin lo- cianpwe!”

Setiap tamparan yang dilakukan Ceng-bing-cu, dirasakan Leng Ciu siangjin seperti pipinya

yang ditampar. Marah, malu dan seperti mau meledak rasanya dada siangjin itu. Setitikpun ia tak mimpi bahwa murid kesayangannya itu sedemikian tak bergunanya sampai mengorbankan beberapa puluh murid Leng-ciu-pay. Memikirkan kesemuanya itu, Leng Ciu seperti hendak menyusup ke dalam bumi saja apabila ada lubangnya. Karena bukankah dengan peristiwa Ceng-bing-cu itu, partai Leng-ciu-pay akan kehilangan pamornya? Apakah Leng-ciu-pay masih ada muka untuk berdiri di dunia persilatan lagi?

Dalam pertempuran, orang dilarang keras mengumbar kemarahan sehingga mengganggu ketenangan pikirannya. Leng Ciu siangjin tahu juga hal itu. Namun dalam saat seperti yang dihadapinya itu, bagaimana ia dapat mengingat pantangan itu lagi. Sekuat-kuat imannya, tetap ia tak tahan lagi melihat adegan yang menyiksa batinnya itu. Akibatnya ia tak dapat mengendalikan lwekangnya lagi.

”Kena!” sekonyong-konyong Shin Ci-koh menusuk bahu kanan lawan. Cret, darah muncrat.

Masih mending Shin Ci-koh tak mau berlaku ganas. Coba ia susupkan lagi pedangnya sedikit lebih dalam, tulang Pi-Peh-kut Leng Ciu siangjin tentu kena.  Akibatnya siangjin itu tentu menjadi seorang cacat selama-lamanya. Tapi Shin Ci-koh tak mau berbuat begitu dan cepat tarik keluar pedangnya.

Leng Ciu terkejut dan marah. Cepat ia bersiap menghadapi serangan Shin Ci-koh tapi ternyata wanita itu mendongak tertawa keras. Dilemparnya pedangnya ke tanah lalu berseru nyaring: ”Leng Ciu lokoay, kali ini aku memberi ampun padamu, ini sebagai balas budimu. Setelah lukamu sembuh, apabila kau hendak bertanding lagi, aku pun tetap sedia melayani. Nah, sekarang kita sama-sama tak menanggung budi. Aku takkan membunuhmu. Jika mau pergi, silahkanlah!” Seorang yang berkedudukan seperti Leng Ciu, jangankan terluka sampai tak berdaya, sedangkan kalah sejurus saja dalam pertandingan, ia tentu sudah angkat kaki karena malu.

Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak. Tangannya yang menekan punggung Ceng-bing-cupun dikendorkan, ujarnya: ”Bagus, kau sudah memaki dirimu habis-habisan. Akupun sudah tak marah lagi dan mengampunimu. Silahkan kau pulang bersama suhumu serta para sutemu. Ha, ha, pandai menampar muka dan pintar memaki diri sendiri, di dalam dunia kepartaian silat sungguh jarang ada!”

Terluka kemudian dihina begitu rupa, tak kuatlah Leng Ciu siangjin. Huak, ia muntahkan segumpal darah segar.   Ceng-bing-cu merasa menyesal. Tak berani ia memandang suhunya. Dengan nada gemetar ia berseru memanggil: ”Suhu!”

”Binatang!  Kau masih ada muka memanggil aku suhu ini!” Leng Ciu mendamprat seraya

menghantam. Walaupun sebelah tangannya terluka, tapi tenaganya masih cukup kuat untuk menghancurkan batu. Seketika itu juga ia hantam batok kepala Ceng-bing-cu sampai hancur lebur......

”Ah, sudahlah. Shin Ci-koh, aku tak berniat membalas tusukan pedang ini. Hanya kuharap janganlah mengikuti jejakku, menerima murid yang tak berguna!” nada Leng Ciu amat rawan. Pertanda luka hatinya jauh lebih parah dari luka tusukan pedang itu.

Leng Ciu siangjin sudah ngeloyor pergi namun kata-katanya itu tetap menggurat di hati Shin Ci- koh. Shin Ci-koh tersayat hatinya. Bukankah Su Tiau-ing murid yang disayanginya itu juga setali tiga uang dengan kelakuan Ceng-bing-cu?

Shin Ci-koh menang bertempur tapi menderita perasaannya. Nasibnya serupa dengan Leng Ciu siangjin. Yak-bwe dan In-nio saling menghaturkan selamat kepada Shin Ci-koh atas kemenangannya itu. Tetapi Shin Ci-koh mengatakan bahwa kemenangan itu adalah berkat tipu daya dari suhengnya Khik-sia alias Gong-gong-ji. Kemudian ia bertanya kepada Khik-sia mengapa begitu terlambat datangnya. Sejak terpengaruh dengan pribadi In-nio, mulailah Shin Ci-koh menaruh perhatian pada urusan orang. Tak lagi ia sedingin seperti yang lalu.

Khik-sia bersangsi. Gong-gong-ji cepat menyanggupi: ”Ci-koh, dia takut kalau kau marahi.” ”Apa ia berjumpa dengan Tiau-ing? Apa saja yang dilakukan budak perempuan itu?” Shin Ci- koh tergetar hatinya.

Gong-gong-ji memberi isyarat mata kepada Khik-sia, ujarnya: ”Sute, apakah kau sudah mengatakan pada nona Su?”

”Sudah, Yak-bwe tak apa-apa padaku,” Khik-sia girang sekali.

”Hus, kau memang tak tahu hati seorang gadis. Tahu kedatanganmu saja, Yak-bwe sudah girang, mana ia sempat mendampratmu,” In-nio yang berada di sisi Khik-sia menegurnya bisik- bisik.

Memang waktu menceritakan pengalamannya kepada Yak-bwe, Khik-sia kuatir kalau tunangannya akan mengambul lagi. Tapi kali ini jalan pikiran Yak-bwe berlainan. Justeru karena Khik-sia mendapat pelajaran pahit dari Tiau-ing, Yak-bwe lega hatinya. Ia tak kuatir Khik-sia akan kecantol dengan nona itu lagi.

”Eh, apa yang sebenarnya terjadi, bilanglah! Tak nanti aku mengeloni muridku!” akhirnya Shin Ci-koh buka suara.

Karena Khik-sia sungkan, maka Gong-gong-jilah yang berkata: ”Tak apa-apa, hanya setelah Khik-sia menolongi muridmu yang manis itu, malah disemprot basah kuyub olehnya!”

Ia lantas menuturkan pengalaman Khik-sia. Marah Shin Ci-koh bukan kepalang, di samping kecewa sekali. Ia menghela napas: ”Kecewa aku mencintainya. Tak nyana setipis itu moralnya. Setali tiga uang dengan kwalitet Ceng-bing-cu. Ai, sudahlah, anggap saja aku tak pernah punya murid semacam itu. Biar kelak kurusakkan ilmu kepandaiannya agar jangan sampai ditertawai Leng Ciu siangjin.”

”Ah, kiranya tak perlu Shin lo-cianpwe memakan hati. Turut pendapatku ia berbuat begitu

karena cintanya tak dibalas oleh Khik-sia. Toh Khik-sia tak kurang suatu apa. Dan kini nona Su itu sudah menikah dengan Se-kiat. Mungkin mereka akan hidup rukun sampai tua,” Yak-bwe menghiburi.

Shin Ci-koh adalah seorang wanita yang berwatak dua, ya baik ya jahat. Meskipun ia marah terhadap Tiau-ing tapi dalam hati kecilnya masih ada setitik kecintaan. Setelah amarahnya reda, ia membenarkan juga kata-kata Yak-bwe tadi. Kalau Khik-sia tak menampik cintanya Tiau-ing, Tiau- ing tentu tak kalap begitu macam. Diam-diam ia merasa, andaikata dahulu Gong-gong-ji berbuat seperti Khik-sia terhadap Tiau-ing, tentu sudah akan dibunuhnya.

”Baik, jika kelak ia masih tak merubah kesalahannya, tentu akan kubikin invalid,” akhirnya ia memberi pernyataan.

Untuk mengalihkan permbicaraan Gong-gong-ji menegur Yak-bwe: ”Ai, nona Su, jangan memanggil Shin Ci-koh sebagai lo-cianpwe. Aku dan Khik-sia kan suheng dan sute.”

Yak-bwe tersipu-sipu, tapi cepat ia tertawa: ”Selamat susoh, maafkan kekhilafanku. Cici In, kita seangkatan, kau pun harus mengganti sebutan terhadap susohku.”

Shin Ci-koh diam-diam girang tapi ia pura-pura menggerutu pada Gong-gong-ji: ”Ai, mukamu memang tebal benar. Kita toh belum kawin, mengapa kau suruh mereka memanggil susoh padaku!”

”Toh hanya soal waktu saja. Lebih dulu saling tahu sebutan masing-masing toh tak mengapa,” Gong-gong-ji tertawa. ”Kapan suheng melangsungkan pernikahan jangan lupa memberitahukan kami. Tapi ai suheng, kau gemar mengembara tak menentu tinggalnya. Kau mencari kami itu mudah, sebaliknya jika kami hendak mencarimu wah susah sekali,” Khik-sia turut menggoda.

”Tapi mungkin aku yang lebih dulu akan meminum arak pernikahanmu dengan nona Su,” Gong-gong-ji tertawa.

”Suheng, kita bicara soal serius, mengapa suheng mengolok-olok. Kami masih muda, masakan terburu-buru,” seru Khik-sia.

”Aku toh juga serius. Aku hendak menyelesaikan suatu pertanggungan jawab dulu, baru menikah. Setelah menikah aku tak mau keluar ke dunia persilatan lagi,” sahut Gong-gong-ji. ”Aku tak percaya kau bisa berangan-angan begitu,” Shin Ci-koh tertawa ewah.

Atas pertanyaan Khik-sia, ternyata pertanggungan jawab yang hendak diselesaikan Gong-gong- ji itu ialah tentang diri Ceng-ceng-ji. ”Akan kuminta pedang Kim-ceng-kiam untuk kukembalikan

pada Coh Ping-gwan. Kemudian kuselesaikan pesan mendiang subo. Sudah bertahun-tahun kuberi kelonggaran padanya (Ceng-ceng-ji), sekarang tak bisa terus-menerus begitu.”

Katanya lebih lanjut: ”Kalian tak perlu tunggu aku karena kalian sudah dijodohkan sejak masih dalam kandungan. Jangan ditunda lama-lama. Terus terang, aku menyesal karena sudah mensia- siakan waktu mudaku selama 20-an tahun. Ah, tapi nasi sudah menjadi bubur. Maka sekarang akupun tak mau menunda lama-lama.”

Diantara yang mendengari percakapan kedua saudara, adalah In-nio yang paling rawan. Shin Ci-koh menghiburinya supaya jangan berkecil hati. Pui Bik-hu tentu akan dapat berjumpa lagi. ”Kalau Khik-sia tak ketemu, terang dia sudah tak berada di sini. Kupikir akan menemui ayah

untuk mengatur persiapan. Rasanya tentara ayah tentu sudah dalam perjalanan,” kata In-nio dan Yak-bwe nyatakan mau ikut.

Saat itu sudah jan 3 pagi. Shin Ci-koh tak mau tidur. Selaku pembalas budi, ia mengajarkan beberapa ilmu pedang kepada In-nio. Karena sudah mempunyai dasar, dalam waktu sejam saja, In- nio sudah dapat mempelajarinya.

Tak lama kemudian haripun terang tanah. Mereka berlima pecah dalam dua rombongan dan turun gunung. Mereka berpisah di kaki gunung. Gong-gong-ji dan Shin Ci-koh mengejar jejak Ceng-ceng-ji. In-nio, Khik-sia dan Yak-bwe hendak menyonsong tentara negeri yang dikepalai Sip Hong. Dalam kesempatan itu Shin Ci-koh mengembalikan kuda Cian-li-ma Bik-hu kepada In-nio. Pada hari kedua ketika menyusur jalanan, tiba-tiba mereka melihat sebuah pasukan besar tengah mendatangi. Benderanya bertuliskan huruf Sip In-nio girang sekali tapi heran juga mengapa ayahnya secepat itu sudah datang. Menurut perhitungan, seharusnya dua hari kemudian baru datang.

In-nio keprak kudanya menyongsong. Pertama-tama ia bertemu dengan dua orang panglima ayahnya. Cepat-cepat ia menanyakan diri ayahnya.

Seorang opsir muda larikan kudanya menyambut, serunya: ”Suci, kau sudah pulang!”

Opsir muda itu bukan lain ialah pemuda yang dipikiri siang malam oleh In-nio, yakni Pui Bik- hu. Girang In-nio sampai tak dapat berkata-kata.

”Ayahmu cemas sekali karena kau tak kembali. Dia mengirim beberapa mata-mata untuk menyirapi keadaanmu di Tho-ko-poh,” Bik-hu berkata dengan bisik-bisik.

”Mana ayahku sekarang?” tanya In-nio.

”Berada di barisan belakang. Barisan ini termasuk bagian perintis. Ayahmu menempatkan aku dalam barisan ini,” kata Bik-hu.

Saat itu Khik-sia dan Yak-bwe pun tiba. Mereka mengucapkan selamat kepada Bik-hu atas kenaikan pangkat itu: ”Pui suheng, kau naik pangkat. Ini berarti dobel keberuntungan jatuh di depan pintu,” Yak-bwe tertawa.

”Apa keberuntungan yang kedua itu?” tanya Khik-sia.

”Hal itu bahkan yang nomor satu. Naik pangkat hanya nomor dua. Bukankah mereka kini berjumpa lagi? Inilah peristiwa yang bahagia. Tuh lihat, muka Pui suheng menjadi merah,” Yak- bwe menggoda.

”Sudahlah jangan mengolok orang. Apakah kalian ada lain urusan penting?” tegur Bik-hu. ”Kami berdua hanya menemani cici In saja untuk mencarimu. Karena tak melihatmu, cici In sampai tak doyan makan tak dapat tidur,” sahut Yak-bwe.

”Kami bertiga tak ada urusan lain.   Tapi kemana saja kau selama ini? Mengapa tak kau

laporkan tentang keadaan Tho-ko-poh pada ayah? Su Tiau-gi dan Bo Se-kiat sudah lolos dari Tho- ko-poh. Rasanya pasukan negeri tak perlu kesana lagi,” kata In-nio.

”Kalau kalian senggang, ayo ikut aku saja. Aku diperintahkan untuk mengejar Su Tiau-gi. Dia lari ke arah Poa-yang. Disana Li Kong-pik dengan pasukan besar sudah siap menunggu untuk

mencegatnya. Tugas tentara penting sekali. Aku diberi waktu besok pagi harus sudah tiba di Poa- yang. Kita berjalan sambil bercakap-cakap,” Bik-hu menerangkan.

Selama dalam perjalanan itu, In-nio dan Bik-hu saling menceritakan pengalamannya. Kiranya waktu lolos dari pertempuran di Tho-ko-poh, Bik-hu juga menderita luka ringan. Karena tak dapat menemukan In-nio, Bik-hu segera kembali kepada pasukan Sip Hong. Ia duga nona itu tentu juga pulang.

”Eh, bagaimana dengan lukamu? Lukanya di bagian mana?” tanya In-nio.

Bik-hu tertawa: ”Aku kena sebatang panah dari perempuan siluman itu (Tiau-ing), tapi tak berbahaya dan sekarang sudah sembuh. Akupun balas memanahnya. Kuduga lukanya tentu lebih berat.”

Katanya lebih jauh: ”Tiba di dalam pasukan, ternyata ayahmu sudah mengetahui apa yang

terjadi di Tho-ko-poh. Pun dia menerima berita dari Li Kong-pik yang menyatakan bahwa Su Tiau- gi lari ke Poa-yang. Segera aku dinaikkan pangkat menjadi Sian-hong (operasi atau perintis). Aku diperintahkan membawa tiga ribu pasukan berkuda menuju ke Poa-yang untuk menggabung pada Li goanswe menghancurkan Su Tiau-gi. Aku merasa malu, karena pulang dengan terluka dan tak berjasa apa-apa tapi dinaikkan pangkat.”

”Ah, tak usah kau rendah hati. Jika tiada kau, aku tentu sudah mati kelelap di dalam penjara air,” In-nio tertawa.

Teringat akan pengalaman mereka di dalam kamar penjara air, dimana dalam menghadapi maut itu mereka saling mencurahkan isi hati, tergetarlah hati mereka. In-nio memandang pemuda itu dengan penuh arti. Bik-hu berkata dengan bisik-bisik: ”Aku harus berterima kasih kepada perempuan siluman itu.  Jika ia tak menjebloskan kita di dalam penjara air, aku, aku, ”

”Sekarang kau adalah pemimpin dari tiga ribu pasukan berkuda. Dalam ketentaraan, pasukan perintis itu penting sekali. Jangan sampai kau kehilangan semangat,” In-nio tertawa memutusnya. Bik-hu menyatakan bahwa bagaimanapun rasanya Su Tiau-gi tentu sukar meloloskan diri lagi.

Sementara Yak-bwe menyatakan bahwa Su Tiau-gi itu memang tak berbahaya. Yang paling berbahaya adalah Bo Se-kiat.

”Kupercaya Sip ciangkun tentu sudah dapat memperhitungkan kemana mengacirnya Se-kiat,” sahut Bik-hu.

In-nio menyatakan bahwa kehancuran Su Tiau-gi itu psikologis mengandung arti besar. Karena hancurnya Su Tiau-gi berarti ludesnya pemberontakan gerakan pemberontak An Lok-san dan Su Khik-hwat.

Bik-hu membenarkan, katanya: ”Memang di kota Poa-yang masih terdapat seorang menteri

lama dari Su Su-bing. Namanya Li Hoay-sian. Jika Su Tiau-gi sampai dapat bergabung dengannya, tentara pemerintah tentu mengalami kesulitan besar.”

”Aku sih tak tahu urusan militer.   Aku hanya benci pada Se-kiat. Ingin kuhajar mampus manusia itu,” Yak-bwe tertawa.

”Bagaimana dengan Su Tiau-ing? Apa kau tak benci padanya juga?” tanya In-nio. Yak-bwe melirik ke arah Khik-sia, ujarnya: ”Sekarang aku malah kasihan padanya.”

Hari kedua pada waktu siang tepat, bahkan sebelum batas waktu yang diberikan, Bik-hu dengan pasukannya telah tiba di kota Poa-yang. Mereka siap menghadapi pertempuran tapi di luar dugaan mereka melihat sebuah pemandangan ngeri. Di atas tembok kota yang tinggi, terpancang sebuah kepala orang yang masih berlumuran darah. Kepala itu bukan lain adalah batang kepala Su Tiau-gi. ”Ah, kepala pemberontak sudah binasa. Sia-sia kita datang kemari,” kata Bik-hu.

”Ih, kemungkinan ada sesuatu yang tak beres,” tiba-tiba In-nio kerutkan dahinya. Atas pertanyaan Bik-hu, In-nio menerangkan: ”Opsir bermuka brewok yang berada di atas pos pintu kota itu seperti Li Hoay-sian, orang kepercayaan Su Su-bing.”

Memang karena sering ikut pada ayahnya berperang, banyaklah pengalaman In-nio. Ayahnya pernah bertempur dengan Li Hoay-sian maka ia kenal dengan orang itu.

”Tapi dia memakai seragam opsir pemerintah. Dan kepala Su Tiau-gi itu terang bukan palsu,” bantah Bik-hu.

Dalam pada itu pintu kota sudah dibuka. Seorang opsir berpangkat Ki-pay-koan (ordonans) menyambut keluar. Ia mempersilahkan jenderal Li Kong-pik masuk ke dalam kota. Karena Leng- ciam (lencana pertandaan) yang dibawa opsir itu memang tulen, maka Bik-hu pun tak sangsi lagi dan segera membawa pasukannya masuk kota.

Dari opsir Ki-pay-koan itu didapat keterangan bahwa memang Su Tiau-gi telah datang menggabung pada Li Hoay-sian. Li Hoay-sian menyambutnya dengan sebuah perjamuan. Tapi diam-diam ia sudah bersekongkol dengan Li Kong-pik. Tengah makan minum, Su Tiau-gi ditangkap dan dihukum potong kepala.

Pun untuk menghormat kedatangan pasukan Bik-hu, Li Hoay-sian mengadakan sebuah perjamuan.

”Aku ini sahabat berkelahi dari ayahmu. Untuk menebus kedosaanku yang lalu aku hendak menjadi menteri kerajaan yang setia. Kuharap nona suka menyampaikan hal ini kepada ayahmu,” kata Li Hoay-sian kepada In-nio.

In-nio tahu bahwa Li Hoay-sian itu seorang oportunis alias plin-plan. Tapi karena sudah

membunuh Su Tiau-gi maka berjasa juga. Ia mengucap beberapa patah kata merendah dan berjanji akan mengatakan kepada ayahnya.

Setelah beristirahat seperlunya, Bik-hu menghadap panglima Li Kong-pik. Karena ayahnya wakil panglima dan kenal baik dengan Li Kong-pik, maka In-nio pun ikut menghadap juga.

Panglima itu menyambut kedatangan mereka dengan gembira.

”Kali ini kami sudah siap-siap bertempur, tapi sayang kaum pemberontak sudah dilenyapkan. Dengan begitu sedikitpun kami tak berjasa apa-apa. Atas pemberian arak selamat dari goanswe (panglima), kami sungguh malu sendiri,” kata Bik-hu.  Li Kong-pik tertawa gelak-gelak. ”Mengapa goanswe tertawa? Apakah perkataanku salah?” Bik-hu heran.

”Seorang tentara masakan mengeluh tak ada kesempatan berperang? Malam ini tidurlah baik- baik. Besok pagi akan kukirim kau ke medan pertempuran. Apakah kau tak tahu kalau jenderalmu sudah mempunyai rencana?” kata Li Kong-pik.

Kalau In-nio coba-coba menerka adalah Bik-hu yang sudah lantas menanyakan hal itu: ”Rencana apa? Akan bertempur dengan siapa?”

Sahut panglima Li dengan wajah serius: ”Kuundang kalian kemari, pertama untuk merayakan

arak kemenangan. Kedua, untuk mengantar keberangkatan. Sekarang kuberitahukan tentang berita yang kuterima dari Sip ciangkun. Su Tiau-gi sudah meninggal tapi dia masih mempunyai seorang adik perrempuan yang dengan membawa tentara serta seorang penjahat besar bernama ”

”Bernama Bo Se-kiat,” Bik-hu meneruskan.

**********

”Ya, benar, kabarnya Bo Se-kiat sudah menikah dengan adik perempuan Su Tiau-gi itu. Mereka mempunyai anak buah sejumlah 4-5 puluh ribu. Jauh lebih besar dari Su Tiau-gi dengan sisa pasukann,” kata Li Kong-pik.

”Apakah sudah diketahui jejak Bo Se-kiat?” tanya Bik-hu.

”Benar, mereka lari ke arah utara. Semalam Sip ciangkung sudah gerakkan pasukannya, merubah rencana perjalanan semula untuk mencegat mereka di Coat-liong-koh. Menurut perhitungan, besok pagi tentu sudah bertemu. Sip ciangkun kirim orang memberitahu padaku. Kurencanakan untuk mengirim sebuah pasukan berkuda bersama kau ke Coat-liong-koh untuk menyergap musuh dari belakang,” kata Li Kong-pik.

Kiranya Sip ciangkun memang telah mengatur siasat. Dari mata-mata ia mendapat tahu kalau Bo Se-kiat mengambil jalan ke utara. Tetapi ia (Sip Hong) pura-pura berangkatkan pasukannya ke Poa-yang, agar Se-kiat tidak menaruh kecurigaan.

”Taktik militer harus selalu secara mendadak di luar dugaan musuh. Rahasia militer harus dijaga rapat. Maka tak mengherankan kalau kau sendiri tak mengetahui tentang rencana

panglimamu. Ini bukan karena takut kau membocorkan tetapi kalau kau tahu bahwa kepergianmu ke Poa-yang sini hanya gerakan tipu kosong, kau tentu tak serius menjalankan tugas. Bisa juga kau buru-buru mempercepat perjalanan. Kalau sampai diantara anak buah tentara ada yang berkhianat dan membocorkan pada musuh, tentu musuh akan dapat lolos lagi,” Li Kong-pik menyudahi penjelasannya.

Pulang ke dalam kemah, Bik-hu memberitahukan hal itu kepada Khik-sia dan Yak-bwe yang menjadi girang mendengarnya. Tapi dalam pada itu, Khik-sia mempunyai pemikiran sendiri: ”Ah, anak buah Se-kiat terdiri dari kawan-kawan Lok-lim. Kali ini mereka tertipu. Kalau sampai mengantarkan jiwa, bukankah kasihan. Aku akan berusaha untuk memberi jalan hidup pada mereka.”

Keesokan harinya sebelum terang tanah, Bik-hu berangkat bersama pasukan berkuda. Karena mereka mengambil jalan singkat yang hanya 60-an li jauhnya, sebelum petang hari mereka sudah tiba di lembah. Ternyata pertempuran telah pecah antara pasukan Sip Hong lawan anak buah Se- kiat. Pertempuran berlangsung dahsyat.

Sip Hong gunakan taktik Tiang-coa-tin (barisan ular panjang). Kalau diserang kepalanya,

ekornya menggempur. Kalau bagian ekor yang diserang, kepalanya menggempur. Kalau tengah atau bagian badan yang diserang, kepala dan ekornya berbareng menerjang. Tiap 300 serdadu menjadi satu pasukan. Setiap pasukan dipecah lagi jadi tiga lapisan. Lapisan muka terdiri dari 150 tentara darat bersenjata tombak dan khik. Tugasnya untuk menyambut barisan pelopor dari musuh. Lapisan tengah terdiri dari 50 tentara yang tugasnya khusus untuk menggerantol (mengait) kaki kuda musuh. Lapisan belakang terdiri dari 100 tentara panah. Tugasnya untuk melepaskan anak panah ke barisan musuh agar dapat melindungi lapisan muka maju menerjang. Disamping pasukan itu, masih ada sebuah pasukan berkuda yang mengapit kanan kiri pasukan itu secara mobil.

Meskipun pihak Bo Se-kiat juga mempunyai 500-an anak buah, tapi sebagian besar adalah

bekas tentara Su Tiau-gi yang sudah pecah nyalinya. Dalam beberapa kali pertempuran, mereka selalu dikalahkan oleh tentara pemerintah. Untung anak buah Se-kiat yang berasal dari kawanan Lok-lim itu, tinggi sekali daya tempurnya. Se-kiat mengatur barisannya secara horisontal. Mundur sama mundur, maju sama maju. Berulang kali tentara negeri hendak membobolkan pertahanan mereka, tetapi tetap gagal. Namun diambil secara keseluruhannya, tentara negeri berada di pihak unggul. Jika bekas tentara Su Tiau-gi itu sudah dihancurkan, kawanan Lok-lim pengawal Se-kiat itu tentu mudah diatasi.

Melihat gelagat tak menguntungkan, Se-kiat ajak Tiau-ing dan pengawalnya pasukan berkuda serta kedelapan jago dari Hu-song-to, membuka jalan darah. Mereka menerjang ke arah bendera Sip Hong. Asal dapat menghancurkan bagian tengah yang merupakan komando, atau dapat menahan Sip Hong, barisan ular panjang tentu berantakan sendiri.

Pada saat Bik-hu dan kawan-kawan terjun dalam medan pertempuran, tepat pada waktu Se-kiat dan pasukannya menerjang ke bagian tengah. Mereka berkepandaian tinggi. Hujan anak panah yang dilancarkan tentara negeri, kena disapu jatuh semua. Hanya dua orang Hong-ih-jin (baju kuning dari pulau Hu-song-to) yang terluka, tapi pun tak mau mundur.

”Hola, Se-kiat, kita bertemu lagi. Maukah kau bertempur dengan aku sampai tiga ratus jurus lagi?” seru Khik-sia. Ia kepit perut kudanya. Kuda meringkik dan menerjang ke muka barisan Se-

kiat. Ia merebut sebatang busur dari seorang tentara panah. Sret, sret, beruntun ia lepaskan empat anak panah. Dua untuk Se-kiat dan dua pada Tiau-ing.

Dua batang anak panah mengaung di sisi rambut Tiau-ing. Yang sebatang tepat mengenai anting-antingnya hingga jatuh. Khik-sia masih berlaku murah. Tak mau mengambil jiwanya dan hanya membikin kaget saja. Tapi itupun sudah untuk membuat Tiau-ing jatuh dari kudanya.

Melihat Khik-sia memanahnya, Tiau-ing terkejut, marah dan berduka. Belum anak panah mengenai tubuhnya, ia sudah jatuh dari kudanya sendiri. Se-kiat putar pedangnya. Ia dapat memukul jatuh kedua anak panah dari Khik-sia walaupun tangannya terasa sakit juga. Tapi yang membuatnya kaget sekali adalah ketika melihat isterinya jatuh. Cepat ia menyambar tubuh wanita itu. Tetapi kuda Tiau-ing kena terpanah mati oleh tentara negeri.

Kejadian itu cukup mematahkan semangat Se-kiat. Apalagi dilihatnya bagian tengah dari

barisan Tiang-coa-tin itu kuat sekali, sedang di antara kedelapan pengawalnya sudah ada tiga orang yang terluka, ditambah pula dengan kedatangan Khik-sia berempat. Ia (Se-kiat) memperhitungkan, sukar untuk merebut bendera musuh.

Saat itu tiga ribu pasukan berkuda yang dipimpin Bik-hu menyerbu dari belakang. Pasukan Se-

kiat sudah kehilangan komandonya hingga kena dipecah belah oleh tentara negeri. Pasukan Se-kiat kalut, tidak ada koordinasi satu sama lain lagi. Sampai pada saat itu, Se-kiat pecah nyalinya betul- betul. Dengan memboncengkan Tiau-ing ia ajak kedelapan pengawalnya berputar balik menerjang keluar.

Khik-sia tak mau mengejar melainkan masuk ke dalam perkemahan menghadap Sip Hong.

”Hiantit, kau bersama Bik-hu dan In-nio sudah datang?” Sip Hong girang sekali.

Khik-sia mengiakan dan hendak membawa In-nio kesitu tapi Sip Hong mencegahnya: ”Tak usahlah. Saat ini belum waktunya kami berdua ayah dan anak bertemu. Akan kuberimu seregu pasukan berkuda.   Bantulah Bik-hu menjaga mulut lembah. Musuh sudah kalut, ini kesempatan

bagus bagi kita. Sekalipun tak dapat memusnahkan mereka, tapi sekurang-kurangnya mereka tentu akan hancur berantakan.”

”Sip ciangkun, maaf atas kelancanganku ini,” kata Khik-sia. ”Ehm kau ada usul apa? Bilanglah, tak perlu sungkan-sungkan.”

”Pikirku hendak mohon ciangkun memberi dia sebuah jalan hidup.”

”Aku justeru hendak memusnahkan mereka sebaiknya  kau berpendapat begitu. Rupanya kau hendak mengunjukkan welas asih seorang wanita di tengah medan peperangan?” tegur Sip Hong. ”Meskipun saat ini suatu kesempatan bagi ciangkun mendirikan pahala, tapi dalam membasmi, tiga ribu musuh itu apakah pihak kita juga takkan menderita kerugian beratus-ratus jiwa? Jika kelewat mendesak mereka, mereka tentu akan melawan mati-matian. Dan ini bukankah akan mengorbankan banyak jiwa? Menurut pendapatku, yang penting kita dapat mencerai beraikan musuh, mematahkan semangat mereka. Dalam hal ini aku bersedia menerima ejekan ciangkun

sebagai wanita yang mengunjukkan welas asih di medan peperangan. Daripada membayar pahala dengan ribuan jiwa, rasanya lebih baik.”

Sebenarnya Sip Hong itu luas sekali pengalamannya. Tapi ia masih tak dapat lepas dari ambisinya mencari pahala. Ucapan Khik-sia tadi seperti air dingin mengguyur kepalanya. Setelah terlongong beberapa saat, barulah ia berkata: ”Membayar pahala dengan ribuan jiwa? Hm, apakah kau anggap aku Sip Hong ini manusia yang haus darah, algojo yang mementingkan keuntungan diri sendiri?”

”Siautit tidak berani bermaksud begitu,” buru-buru Khik-sia meminta maaf.

”Baik, tapi kuminta kau dapat melaksanakan cara-cara untuk mencerai beraikan musuh. Nah, akupun tak mau mengucurkan banyak darah dan menurut usulmu itu. Kuserahkan bendera komando kepadamu, kau boleh mewakili aku memberi komando,” kata Sip Hong.

Khik-sia menyambuti bendera itu terus mengundurkan diri. Dengan suara nyaring ia berseru kepada pasukan Se-kiat: ”Hai, dengarlah. Su Tiau-gi sudah binasa. Li Hoay-sian menerima titah kerajaan untuk menerima anak buahnya. Siapa yang suka menyerah, diampuni. Yang mau mengundurkan diri dari ketentaraan boleh datang ke Poa-yang menerima uang pesangon.” Sembilah puluh persen dari anak buah Su Tiau-gi sudah tak punya nafsu bertempur lagi.

Mendengar itu mereka berturut-turut melemparkan senjatanya dan menyerah. Tapi anak buah Se- kiat masih tak goyah pendiriannya.

Se-kiat yang sudah kembali ke tengah barisannya, ajukan kudanya dan tertawa mengejek: ”Toan Khik-sia, ha, ha, tak kira mukamu begitu tebal mau berhamba pada tentara negeri? Baik, karena kau menginginkan pangkat dan kekayaan, menakluk pada kerajaan, menjual saudara-saudara Lok- lim maka marilah. Saudara-saudaraku semua adalah lelaki jantan tak nanti sudi menyerah padamu!”

Kelompok Lok-lim paling mengutamakan keperwiraan. Ucapan Se-kiat itu dimaksud untuk membakar hati anak buahnya. Dan ternyata berhasil. Beberapa orang berturut-turut memaki Khik- sia.

Khik-sia kendalikan kemarahannya. Dengan gunakan lwekang ia berseru keras menindas hamun makian orang-orang itu: ”Bo Se-kiat, kau menipu saudara-saudara lok-lim untuk menjual jiwa padamu. Apa maksudnya? Bukankah karena kau hendak menduduki tahta kerajaan? Kalau

kau cakap dan bijaksana, itu sih tak mengapa. Tapi ternyata kau kawin dengan perempuan siluman itu, mau mengundang suku Oh menyerang Tiong-goan. Coba pikir, bagaimana rakyat akan tunduk padamu? Dan para hohan yang sadar mana sudi berkorban untukmu? Ya, memang saudara-saudara yang berada di sini ini golongan hohan semua. Adalah karena mereka tergolong hohan, mereka mengerti akan peraturan menjadi penyamun. Kau hendak menyesatkan mereka, tapi mana mereka mau mengikuti jejakmu?”

Memang di kalangan lok-lim yang menggabung pada Se-kiat itu, sudah lama ada yang tak puas kepada Se-kiat. Tetapi karena kebanyakan mereka itu terpaksa menjadi penyamun karena tak mau tunduk pada kerajaan, maka walaupun ucapan Khik-sia tadi diakui kebenarannya namun tiada seorang pun dari mereka yang melemparkan senjatanya.

Merah muka Se-kiat. Ia tertawa nyaring: ”Kau tuduh aku menyesatkan mereka? Tetapi coba kau tanya dirimu sendiri hendak kemana kau mengajak mereka itu? Berhamba pada kerajaan,

apakah jalan yang benar?” sebenarnya Se-kiat kuatir kalau anak buahnya terpengaruh dengan kata- kata Khik-sia tadi. Maka ia bangkitkan lagi rasa kebencian mereka terhadap Khik-sia.

OooooOOOOOooooo

”Tutup mulutmu!” bentak Khik-sia yang tiba-tiba mencabut bendera pemberian Sip Hong dan berteriak nyaring: ”Sama sekali aku tak bermaksud menyuruh saudara-saudara menakluk. Aku sendiripun bukan manusia yang temaha pangkat kekayaan. Jika kelak aku Toan Khik-sia sampai menjabat dalam pemerintahan, saudara-saudara boleh membelah tubuhku dan mengorek ulu hatiku!”

Habis itu ia keprak kudanya ke muka seraya melambaikan bendera: ”Goan-swe memberi perintah supaya saudara-saudara yang menjaga mulut lembah memberi jalan lepaskan mereka. Kecuali diserang, siapapun tak boleh turun tangan!”

Kawanan tentara terbeliak. Namun perintah harus ditaati. Dan ada baiknya juga untuk menghindari pertumpahan darah. Mereka segera melakukan perintah.

Tadi Se-kiat mengadakan usaha terakhir untuk menjebolkan kepungan musuh. Tapi kini kepungan itu serta merta sudah terbuka sendiri. Ini sungguh di luar dugaannya.  Nyata pihak pemerintah sengaja hendak mengasih jalan lolos. Bagi Se-kiat sebaiknya hal itu malah runyam. Ia

tahu sekeluarnya dari kepungan, anak buahnya tentu tak mau mendengar perintahnya lagi. Ia bakal menjadi seorang pemimpin Loklim yang tak punya kewibawaan lagi. Daripada begitu ia lebih suka mengadu jiwa untuk membuka jalan darah, agar anak buahnya tetap setia kepadanya.

Tetapi dalam keadaan dan tempat seperti saat itu, siapa lagi yang sudi mendengar komandonya? Bagaikan air bah, mereka melanda menerobos keluar dari mulut lembah. Marah Se-kiat bukan kepalang. Dengan menggerung keras, ia serbukan kudanya ke muka Khik-sia dan menyerangnya. ”Ha, dikasih jalan keluar kau tak mau. Baik, karena ingin bertempur, terpaksa aku harus menemanimu,” teriak Khik-sia. Dengan jurus Lat-biat-hoa-san, ia menangkis. Tring, tubuh Se-kiat tergetar, kudanya pun menyurut beberapa langkah.

Khik-sia tak mau memberi hati. Setelah memperingatkan lawan supaya berjaga-jaga, ia menyerang tiga kali. Se-kiat kelabakan menangkis. Hampir saja ia terjatuh dari kudanya. Khik-sia menang angin. Tapi kemenangannya itu bukan disebabkan karena ia lebih sakti tapi karena berkat keunggulan kudanya dan karena Se-kiat sudah lelah bertempur sebelumnya.

Kedelapan pengawalnya dari pulau Hu-song-to coba hendak maju menolong. Tapi mereka disambut oleh Bik-hu, In-nio dan Yak-bwe. Seperti telah diterangkan, diantara kedelapan jago Hu- song-to itu... Walaupun ketambahan dengan Su Tiau-ing namun mereka tetap berat menghadapi Bik-hu bertiga dengan In-nio dan Yak-bwe. Tiga ribu pasukan berkuda melihat pemimpinnya tarung, tanpa diperintah lagi terus maju menyerbu.

Melihat itu Se-kiat diam-diam mengeluh. Ia tak kira bahwa pada hari itu ia harus menyerahkan jiwanya kepada Khik-sia. Se-kiat dan kudanya sudah lelah sekali. Rupanya kelemahan itu diketahui juga oleh Khik-sia yang terus maju menerjangnya. Belum lagi Se-kiat sempat putar kepala kudanya, Khik-sia sudah menusuk punggungnya. Tring, sekonyong-konyong dalam detik-

detik yang berbahaya itu, Tiau-ing keprak kudanya menangkis seraya berseru dengan nada gemetar: ”Bagus, Khik-sia, bunuhlah saja aku!”

Khik-sia jauh lebih lihay dari Tiau-ing.   Apalagi pedangnya sebuah po-kiam. Asal ia mau

tambahi tenaga, pedang Tiau-ing tentu terpapas kutung dan orangnya terluka. Tapi demi tertumbuk akan wajah Tiau-ing yang berlinang air mata itu, luluhlah hati Khik-sia. Tiau-ing tetap dapat menguasai pedangnya. Kesempatan itu tak disia-siakan Se-kiat yang secepat menabas pedang Khik-sia terus putar kudanya lari. Tiau-ing mengikutinya.

”Se-kiat, selama gunung masih menghijau, masakan kita kuatir tak dapat mencari kayu,” katanya.

Sebenarnya Se-kiat berpambek ksatria. Tapi demi Tiau-ing masih setia padanya dan bahkan menghibur dengan kata-kata bersemangat, lemaslah hatinya. ”Ah, benar. Selama masih hidup masakan tak dapat melakukan pembalasan. Tiau-ing masih setia padaku. Aku harus memenuhi kewajiban untuk melindungi seorang isteri,” pikirnya.

Padahal Tiau-ing bersikap begitu karena sudah putus jalan. Ia insyaf bahwa Khik-sia tak nanti sudi kepadanya lagi. Satu-satunya tiang sandaran hanyalah Se-kiat.

Se-kiat bersuit memanggil kedelapan pengawalnya kemudian diajak lolos. Bik-hu, In-nio dan Yak-bwe hendak mengejar tapi dicegah Khik-sia: ”Tak boleh kita melanggar janji. Kalau dia mau lari, biarkanlah!”

Bik-hu menurut dan perintahkan pasukannya mundur. Dengan demikian dapatlah Se-kiat dan kawan-kawan keluar dari mulut lembah.

”Ah, sayang, sayang! Khik-sia, kau sia-siakan kesempatan membalas sakit hati!” seru Yak-bwe. Bermula Khik-sia kuatir kalau dituduh masih ada kenangan terhadap Tiau-ing. Bahwa ternyata Yak-bwe tak mengungkat hal itu, Khik-sia pun girang sekali. Sahutnya: ”Membalas sakit hati adalah urusan kecil. Tetapi mentaati janji adalah lebih penting. Karena sudah ada perintah, maka tak boleh kita hanya memikirkan soal sentimen terhadap Se-kiat seorang. Apalagi Thiat-toako memang tak berniat untuk membunuh Se-kiat.”

In-nio setuju dengan pernyataan Khik-sia. Demikianlah mereka berempat segera kembali ke perkemahan panglima untuk menghadap Sip Hong. Jenderal itu memerintahkan untuk membersihkan medan pertempuran dan memeriksa anak buahnya yang luka-luka. Setelah para penjaga kemah ditugaskan semua, barulah ia menerima kedatangan Khik-sia berempat. Walaupun memperoleh kemenangan tetapi wajahnya tetap tak mengunjuk seri kegirangan. In-nio memberi hormat kepada ayahnya.

”Hai, mengapa kau berani berdusta kepada ayahmu? Bilang menjenguk rumah tapi ternyata diam-diam pergi ke Tho-ko-poh!” tegur Sip Hong.

”Tapi kepergian cici In kali ini juga ada faedahnya.  Ia dapat menyelidiki keadaan musuh dan berhasil menarik seorang panglima wanita yang menjadi orang sebawahan Se-kiat. Wanita itu banyak sekali membantu tentara negerti kemudian ia menikah dengan putera raja suku Ki. Kali ini jiga raja suku Ki tak kerahkan tentaranya untuk mengusir Se-kiat dari Tho-ko-poh, mungkin tentara negara juga tak mudah menyerbu musuh. Paman Sip, mengingat jasa-jasa cici In, rasanya tak perlu kau mendampratnya lagi!” kata Yak-bwe. 

Sebenarnya ia sudah mengetahui hal itu dari Bik-hu. Setelah memaki sekedarnya, hatinya pun lemas lagi, ujarnya: ”Untung kali ini ada Pui hiantit yang berani menempuh bahaya masuk ke Tho- ko-poh sehingga kau tertolong. Jika tidak, entah bagaimana jadinya. Lain kali jangan berani bertindak gegabah!”

Setelah menghaturkan maaf, berkatalah In-nio: ”Aku merasa girang sekali kali ini ayah dapat menyelesaikan pemberontakan tanpa banyak mengucurkan darah. Besok pagi aku dan adik Bwe hendak pulang ke selatan. Kali ini aku sungguh-sungguh akan menjenguk mamah.”

Sip Hong memberi persetujuan.

”Yah, kau sudah kelewat lama berdinas dalam ketentaraan. Seharusnya minta pensiun saja, melewatkan hari tua di rumah dengan tenteram,” kata In-nio.

”Jika selamat tak kejadian suatu apa, tentu aku senang untuk pensiun di rumah,” sahut Sip Hong.

”Kau sudah berjasa besar sekali, masakan pemerintah masih mempersalahkan apalagi?” tanya Yak-bwe heran.

”Dikuatirkan peristiwa hari ini, tak dapat dimaafkan baginya. Kawanan menteri kerajaan yang hendak menyingkirkan aku, tentu takkan mensia-siakan kesempatan ini!” jawab Sip Hong.

”O, apakah soal melepaskan Bo Se-kiat itu ” baru In-nio hendak meminta penjelasan kepada

ayahnya, jenderal itu sudah menukasnya: ”Toan hiantit, jangan kuatir. Urusan hari ini aku tetap berterima kasih kepadamu. Kaulah yang menggugah hati nuraniku untuk mengurangi kedosaanku mengorbankan jiwa. Sekalipun untuk itu aku harus menerima hukuman, tapi aku tetap takkan mempersalahkan kau.”

”Walaupun ciangkun lepaskan mereka, tapi anak buah Bo Se-kiat kurasa tentu tak mau mengikut Se-kiat lagi. Dengan begitu kita dapat menghapus bahaya tanpa mengorbankan jiwa. Daripada dibunuh, mereka tentu masih akan tetap mendendam, lebih baik kita memakai cara melepas budi,” sahut Khik-sia.

Sip Hong mengatakan mudah-mudahan pihak kerajaan terdapat orang-orang yang mempunyai pandangan seperti itu. Tiba-tiba Bik-hu melangkah maju, katanya: ”Sip ciangkun, terima kasih atas pengangkatan ciangkun kepadaku. Tapi karena sekarang pemberontakan sudah ditindas, aku tak berhasrat masuk dalam tentara dan ijinkanlah aku pulang ke kampung. Maaf, jika aku mempunyai kesalahan selama ini.”

”Hai, kau mempunyai karir yang gilang-gemilang di kemudian hari. Mengapa hendak undurkan diri?” Sip Hong terkejut.

”Ini.... ini ”

”Yah, luluskanlah permintaannya,” cepat In-nio memotong kata-kata Bik-hu.

Sip Hong sejenak memandang kepada puterinya. Ia seperti tersadar. Katanya dengan tertawa: ”In-nio, apakah kau menginginkan Pui sutemu mengantarkan kau pulang? Kau belum menghaturkan terima kasih kepada sutemu, mengapa hendak merepotinya lagi?”

Yak-bwe tertawa geli: ”Paman Sip, mengapa kau khilaf?” ”Khilaf bagaimana?”

”Mereka berdua mana perlu berterima kasih lagi?” sahut Yak-bwe.

Merah padam wajah In-nio. Ia tundukkan kepala. Sip Hong tertawa gelak-gelak: ”Oh, benar, benar. Aku memang limbung. Pui hiantit, aku hanya mempunyai seorang puteri. Perangai In-nio

itu agak keras, dalam segala hal ia turut kemauannya sendiri. Ia agak membandel. Apakah kau tak menolaknya?”

”Aha, mana ada ayah blak-blakan mengatakan keburukan dari puterinya?” Yak-bwe tertawa. Bik-hu memuja dan mencintai In-nio. Tapi tahu bahwa sucinya itu juga menyambut cintanya, namun ia tetapi masih tak berani meminangnya. Bahwa saat itu ayah In-nio terang-terangan mengijinkan perjodohan mereka, hampir saja Bik-hu tak dapat menguasai kegirangan hatinya. Dengan tangan dan nada gemetar ia berkata: ”Paman ”

”Hai, Pui suheng, mengapa kau juga limbung?” teriak Yak-bwe.

Bik-hu jatuhkan diri berlutut di hadapan Sip Hong: ”Ayah mertua yang mulia, terimalah hormat menantu. Memang dalam segala apa cici In-nio lebih pandai dari aku. Apa yang ayah katakan tadi, sebaliknya adalah sifat-sifat kebaikannya. Aku seringkali mendapat nasihat darinya. Aku kuatir akulah yang tak sembabat menjadi pasangannya.”

Bik-hu seorang pemuda jujur. Apa yang hatinya memikir, mulutnyapun mengatakan. Khik-sia masih dapat menguasai diri tapi Yak-bwe sudah tertawa terpingkal-pingkal: ”Ho, jadi selain mau mengambil isteri, kau juga memerlukan seorang guru? Selamat cici In kuucapkan padamu. Kau boleh tak usah kuatir suamimu berani menghina padamu!”

Pun Sip Hong tertawa gelak-gelak, serunya: ”Kalau begitu, kau suka menerimanya. In-nio, kau bagaimana?”

Wajah In-nio makin membara. Ia tahu kalau ayahnya sengaja hendak menggodanya. Maka iapun berlutut, serunya: ”Terserah bagaimana keputusan ayah.”

Kembali jenderal itu terbahak-bahak.  Ia menarik In-nio dan Bik-hu ke dekatnya dan berkata: ”Bik-hu, kalian berdua sudah saling setuju. Kuserahkan In-nio kepadamu. Antarkanlah pulang dulu menjumpai mamah mertuamu. Jika tak diijinkan, aku tetap akan minta cuti pulang ke kampung untuk menyelesaikan pernikahanmu.”

Lega sekali hati Sip Hong setelah menyelesaikant tugas kewajibannya sebagai seorang ayah. Keresahan hatinya tentang peristiwa Se-kiat tadi, lenyap seketika.

”Akupun tak temaha pada pangkat dan kekayaan. Bik-hu, aku takkan memaksa jika kau

keberatan masuk tentara. Semasa muda akupun juga bercita-cita menjadi pendekar kelana. Kalian setelah menikah, terserah akan menuntut penghidupan apa,” kata jenderal itu kepada anak menantunya. Bik-hu menghaturkan terima kasih.

Tengah mereka bicara, datanglah seorang petugas menghadap Sip Hong menerangkan bahwa ada seorang kelana persilatan mohon hendak menghadap. Sip Hong perintahkan membawa orang itu datang. Waktu petugas itu hendak mengundurkan diri

”Anak tentara yang terluka hamba tak tahu jumlahnya. Tapi opsir-opsir yang terluka hanya belasan orang. Kelana itu hebat betul, setelah diberi obatnya opsir-opsir itupun tak menderita sakit lagi. Kemudian orang itu membagi-bagikan obat pada seluruh perkemahan kita,” jawab petugas itu.

Sip Hong segera suruh memanggil kelana itu.  Khik-sia menanyakan siapa kelana itu.  Dijawab oleh Sip Hong kalau kelana itu sebenarnya hendak mencari Khik-sia. ”Dia bukan lain ialah sahabat dari mendiang ayahmu yaitu Toh Peh-ing,” kata Sip Hong. Sudah tentu Khik-sia girang sekali. ”Tapi ada urusan apa ia mencari aku?” tanya Khik-sia.

”Meskipun aku kenal padanya, tapi status kita berlainan maka akupun tak leluasa menanyai. Waktu hari ini aku menggempur Bo Se-kiat, dia (Toh Peh-ing) menyatakan kalau tak mau membantu perang melainkan hendak merawat serdadu-serdadu yang terluka saja. Maka kutempatkan ia di bagian perawatan. Dan dia memang banyak memberi bantuan dalam hal itu. Selama dua hari ini ia sibuk meramu obat-obatan,” Sip Hong menerangkan.

Khik-sia tahu keberatan Toh Peh-ing. Memang sebagai kaum loklim, Toh Peh-ing tentu segan menumpas sesama kaum loklim. Khik-sia menduga kedatangan paman Toh itu tentu atas perintah Thiat toakonya. Entah telah terjadi peristiwa apa saja dengan Thiat-mo-lek. Dalam pada itu Kim- kiam-ceng-long Toh Peh-ing pun datang seraya memberi salam terima kasih kepada Sip Hong. ”Ai, mengapa Toh tayhiap begitu merendah,” Sip Hong tersipu-sipu membalas hormat.

”Terima kasih atas kemurahan hati ciangkun yang telah membuka jalan hidup hingga tak sampai mengorbankan banyak jiwa,” kata Peh -ing.

”Ah, itu Khik-sia yang mengusulkan, aku tak berani menerima pujian.”

Setelah Khik-sia dan kawan-kawan memberi hormat kepada jago tua itu, berkatalah Peh-ing: ”Dari tindakan Bo Se-kiat yang tetap mengadakan perlawanan itu, rupanya ia tak menghiraukan surat Thiat cecu dan rupanya kau telah menerima hinaan!”

”Jangankan menghiraukan, melihatpun ia tak sudi,” kata Khik-sia yang lalu menuturkan pengalamannya. Toh Peh-ing menghela napas, ”Memang telah diduga kalau Bo Se-kiat tentu menolak nasehat Thiat cecu, itulah sebabnya maka aku disuruh kemari mencarimu.”

Atas pertanyaan Khik-sia, Toh Peh-ing menjelaskan: ”Dengan menggabung pada Su Tiau-gi, walaupun Bo Se-kiat dapat mengelabuhi Kay Thian-hau, Nyo Toa-ko-cu dan sementara saudara- saudara, tapi banyak sekali cecu yang tak puas kepadanya. Kini dua orang lo-cianpwe dari kalangan loklim yakni Thiat-pi-kim-to Tang Kiam-ho dan lo-cecu dari gunung Hok-gu-san bermaksud hendak menghapuskan kedudukan Bo Se-kiat sebagai lok-lim-beng-cu.”

”Apakah itu tak berarti harus mengadakan rapat besar kaum loklim lagi?” tanya Khik-sia. 'Ya, benar. Tang lo-cianpwe dan kawan-kawan menghendaki Thiat-mo-lek yang

menyelenggarakan rapat itu dan mengirim undangannya. Tempat rapat ditetapkan di Hiong-ki-goan gunung Hok-gu-san. Soal ini hanya menunggu persetujuan Thiat-toako saja.”

”Lalu bagaimana maksud Thiat-piauko?” tanya Khik-sia pula.

”Itulah maka ia suruh aku mencarimu kemari. Pertama untuk memperoleh kabar. Jika Bo Se- kiat mau menerima nasihat Thiat cecu, usul Tang lo-cianpwe dan kawan-kawan itu ditiadakan. Thiat cecu sedia menghaturkan maaf kepada para cecu.”

”Thiat piauko benar-benar murah hati kepada Bo Se-kiat. Sayang orang itu gelap pikirannya,” kata Khik-sia.

”Thiat cecu sudah menunaikan kewajibannya terhadap seorang sahabat. Tapi bukan berarti ia memanjakannya. Ia sudah menduga klau Bo Se-kiat tentu keras kepala maka rapat kaum loklim tetap dipersiapkan. Sekalipun nanti Se-kiat menyesal dan mengakui kesalahannya, ia harus menyatakan di hadapan orang banyak, baru nanti boleh meneruskan memangku kedudukan bengcu.”

”Bagus, itulah tepat. Tetapi menurut pandanganku, Se-kiat tak nanti mau mengakui kesalahannya,” kata Khik-sia.

”Itu urusannya sendiri. Rapat kaum loklim tetap akan diadakan. Dalam rangka itulah maka aku disuruh memanggilmu pulang untuk membantu mempersiapkan rapat itu. Ia mengharap juga agar suhengmu juga hadir nanti.”

”Mengapa?” seru Khik-sia.

”Karena Thiat cecu sendiri enggan menjabat bengcu dan hendak menyerahkan kedudukan itu kepada Gong-gong-ji.”

”Toa-suheng itu biasa hidup bebas, takkan mau ia menerima kedudukan itu.”

”Hal itu boleh kau rundingkan sendiri dengan piaukomu. Aku sendiripun mengharap kali ini Thiat cecu jangan menolak lagi. Dia adalah harapan semua saudara.”

Sebagai ”jenderal pelepas gerombolan penjahat”, Sip Hong merasa runyam. Ia girang Se-kiat didepak keluar oleh kaum loklim, tapi ia cemas karena dengan diangkatnya Thiat-mo-lek menjadi bengcu baru, kaum lok-lim tentu akan lebih kuat pengaruhnya. Ia sebenarnya masih setia kepada kerajaan Tong, tapi ia merasa tiada kemampuan. Akhirnya ia ambil putusan untuk segera letakkan jabatan dan kembali ke kampung halaman saja. Dengan begitu ia dapat terhindar dari segala kesulitan di kemudian hari.

Keesokan harinya, Sip Hong kumpulkan pasukannya, setelah menggabungkan diri dengan pasukan Li Kong-pik terus akan pulang ke kotaraja. Toh Peh-ing, Khik-sia, Pui Bik-hu dan In-nio serta Yak-bwe juga bersama-sama pulangke selatan.

Dengan kuda pilihan, tengah hari mereka berlima tiba di sebuah kota. Walaupun masih membawa bekal makanan, tapi karena perjalanan di padang rumput itu jarang bersua dengan perumahan rakyat, maka mereka pun singgah juga kekota itu untuk menambah bekal ransum. Tetapi ternyata kota itu sepi sekali.  Hanya ada beberapa orang yang melongok dari jendela. Begitu melihat rombongan Toh Peh-ing dan kawan-kawan, mereka lantas memukul genderang dan berteriak-teriak: ”Perampok datang lagi!”

Beberapa orang yang berada di jalanan, segera bersembunyi. Pintu rumah sama ditutup. Ada yang bersembunyi di dalam rumah ada juga yang lari keluar tunggang langgang.

Peh-ing heran dan turun dari kudanya. Ada sebuah toko yang tak keburu menutup pintu dimasuki Peh-ing. Pemiliknya seorang tua yang buru-buru berlutut dan meratap: ”Harap tay-ong berlaku murah. Kemarin tokoku sudah digeranyang. Memang tak punya barang apa-apa.”

Toh Peh-ing menerangkan kalau dia bukan perampok. Sebaliknya pak tua itu malah gemetar:

”Kalau begitu tuan ini tentara negeri?”

”Bukan, kami adalah pelancong yang kebetulan lalu di sini dan hendak membeli makanan,” kata Peh-ing.

Pemilik warung itu agak lega hatinya: ”Kemarin pun banyak serdadu yang lalu di sini. Tapi

kami tak dapat membedakan mereka itu serdadu atau kawanan perampok. Yang nyata mereka itu mengambil semua bahan makanan di sini. Ai, untung mereka hanya merampas itu saja.”

Atas pertanyaan Peh-ing, pemilik toko itu menerangkan bahwa kalau perampok tentu merampas bahan makanan tapi kalau tentara kerajaan tentu sering menganiaya orang. ”Sebenarnya kami memerlukan makanan tapi karena kalian sendiri menderita, terpaksa kami pun tak berani mengganggu lagi,” akhirnya Peh-ing ajak rombongannya meneruskan perjalanan. ”Tentu anak buah Se-kiat yang berbuat sehina itu, membikin malu nama kaum loklim,” Khik-sia menggerutu.

”Tak dapat dipersalahkan. Habis kalau tak ada pimpinan perut kosong tentu sukar dikendalikan lagi. Mereka hanya merampas makanan, itu sudah cukup baik,” kata In-nio.

Peh-ing merenung beberapa saat, katanya: ”Saudara-saudara yang kalah perang itu harus dipikirkan penempatannya. Kalau tidak, tentu merupakan bahaya bagi rakyat. Dan kalau mereka terpencar tentu mudah dibasmi tentara negeri.”

Kira-kira seperjalanan empat lima puluh li, mereka kesamplotan dengan sejumlah tiga empat

ratus rombongan laskar yang kalah perang. Ternyata mereka kenal pada Toh peh-ing dan Khik-sia. Begitu Peh-ing turun dari kuda, orang-orang itupun segera mengerumuninya. Peh-ing menanyakan keterangan pada sementara thaubak yang dikenalnya. Ternyata apa yang diduga memang benar. Se-kiat sudah kehilangan kepercayaan dari orang-orang loklim yang turut dalam gerakannya.

Sebagian besar orang-orang itu sudah benci pada Se-kiat. Mereka tak mau mendengar perintahnya lagi. Kuatir kalau terbit pemberontakan, Se-kiat tak berani berjalan bersama mereka. Ia bersama sejumlah kecil orang kepercayaannya larikan kudanya lebih dahulu. 

”Mana Kay Thian-hau?” tanya Peh-ing.

Thaubak itu menghela napas: ”Dia tak mau berpisah dengan Se-kiat. Sebenarnya kami tak anti pada Kay Thian-hau, bahkan hendak mengangkatnya sebagai pemimpin kami. Tanpa pemimpin, kami bertindak sendiri-sendiri, sukar mencari makanan dan takut dikejar tentara negeri. Perjalanan ke Tiong-goan terpisah jarak ribuan li. Kami kehilangan daya dan putus asa.”

Peh-ing memberi peringatan: ”Merampas makanan, tak kutentang. Tetapi harus melindungi jiwa rakyat. Rakyat yang miskin tak boleh dirampas makanannya. Kira-kira seratusan li dari sini

adalah kota Leng-bu, gudang ransum dari kerajaan. Kita boleh mengambilnya, mungkin masih ada kelebihan untuk dibagikan kepada rakyat yang menderita.”

”Merampas dari yang kaya untuk menolong pada yang miskin, kita cukup mengerti. Tapi dikarenakan tiada pemimpin, kawan-kawan kita sering kehilangan disiplin, merampas yang dapat dirampas. Merampas yang kaya saja sukar apa lagi menggempur gudang pemerintah. Toh thocu dan Toan siauhiap, kuminta kalian suka memimpin kami,” sahut thaubak itu.

Setelah berpikir sejenak, Khik-sia meminta Toh Peh-ing tinggal untuk memimpin mereka, sementara ia hendak melaporkan itu kepada Thiat-mo-lek supaya segera mengirim orang menyambut.

”Bagus, setuju. Toh thocu, kau tentu menjadi pemimpin yang hebat,” terdengar rombongan kaum loklim itu berseru girang. Karena tak sampai hati melihat sesama kaum loklim sampai

terlantar, mau juga Peh-ing menerimanya. Segera ia suruh beberapa laskar berkuda untuk mencari kontak dengan sisa-sisa rombongan kawannya yang tercerai berai. Setelah dapat mengumpulkan mereka, Toh Peh-ing segera akan mengajaknya pulang ke selatan.

Sedang Khik-sia dan Bik-hu berempat segera teruskan perjalanan. Di sepanjang jalan mereka berpapasan dengan banyak kelompok laskar loklim. Kepada mereka, Khik-sia memberitahukan tentang penggabungan Toh Peh-ing. Mereka supaya tetap tinggal di masing-masing pos nanti akan disampir oleh Toh Peh-ing. Khik-sia berempat pun mengunjungi daerah orang Han, tetapi tak berjumpa dengan rombongan Se-kiat.

Kuda mereka pesat sekali. Tak sampai sepuluh hari, tibalah sudah mereka di tapal batas Holam. Kalau ke timur menuju ke Gui-pok, kalau ke barat sampai ke gunung Hok-gu-san. Mereka pecah jadi dua rombongan. In-nio dengan diantar Bik-hu hendak pulang ke Gui-pok. Khik-sia dan Yak- bwe hendak ke Hok-gu-san.

Yak-bwe berat sekali berpisah dengan In-nio.  Ia mengantar sampai jauh sekali.  Akhirnya In- nio menyuruh mereka balik dengan menjanjikan setelah menjenguk ibu nanti sepuluh hari lagi ia

juga akan ke Hok-gu-san. Ia berniat ajak Bik-hu menyaksikan rapat besar kaum gagah atau Eng- hiong-tay-hwe.

Demikian kedua pasangan anak muda itu saling berpisah. Pada hari itu Khik-sia dan Yak-bwe tiba di Sin-yap, sebuah dusun yang berada di daerah kaki gunung Hok-gu-san. Luas pegunungan Hok-gu-san yang ribuan li itu, harus ditempuh paling tidak tiga hari. Karena tak terburu-buru, mereka naik kuda pelahan-lahan sambil menikmati pemandangan alam yang permai.

Di tepi jalan terdapat sebuah warung minum.   Membelakangi gunung, menghadap sungai. Sungguh indah sekali letaknya. Khik-sia ajak masuk untuk minum. Yak-bwe girang sekali. Kuda ditambatkan dan masuklah mereka ke dalam warung itu. Di dalam warung tiada tampak lain tetamu lagi. Khik-sia memesan dua kati arak dan beberapa sayuran. Selagi menikmati hidangan, tiba-tiba matanya tertumbuk akan sebuah pemandangan yang mengejutkan.

Pada pilar batu terdapat sebuah bekas tapak tangan yang masuk sampai 3 inci dalamnya. Anehnya telapak tangan itu kecil sekali, tak mirip dengan telapak tangan orang dewasa. ”Hebat benar lwekang orang itu tapi masakan seorang anak kecil?” pikir Khik-sia.

Rupanya Yak-bwe melihat juga, katanya dengan bisik-bisik: ”Tokoh persilatan sakti tentu tak

mau sembarangan mengunjukkan kepandaiannya di tempat sesunyi ini jika tiada maksudnya. Tentu ada ceritanya yang menarik!”

”Ah, tak perlu kita main tebak. Panggil pemilik warung tentu kita akan mendapat keterangan,” Khik-sia tertawa.

Pengurus warung yang mendengar pembicaraan mereka, tanpa dipanggil, sudah menghampiri datang: ”Tuan tentu heran dengan telapak tangan di pilar batu itu, bukan?”

”Ya, memang. Bagaimana ceritanya?” tanya Khik-sia.

”Memang banyak sudah pengunjung yang heran dengan hal itu. He,he, bukankah tuan hendak tambah pesan hidangan lagi?” tanya tukang warung itu.

Yak-bwe mengiakan tetapi ia minta sepinggan buah-buahan segar. Ia memberi uang, kelebihannya boleh diambil pengurus warung itu. Dengan girang pengurus warung itu menerima uang perak Yak-bwe kemudian ia mulai bercerita.

”Coba terka siapakah yang melekatkan telapak tangannya itu?” ia memulai dengan sebuah pertanyaan.

”Jika dapat menerka, tak perlu kusuruh kau bercerita lagi,” Yak-bwe menyahut ketawa. ”Kalau kukatakan tentu tak dipercaya orang. Telapak tangan ini adalah dari seorang wanita!” Mendengar itu khik-sia dan Yak-bwe tersentak kaget. Khik-sia menduga jangan-jangan kepunyaan Biau Hui sin-ni atau Shin Ci-koh.

”Masih muda sekali wanita itu, cantik sekali serupa dengan nona ini,” pelayan itu menunjuk Yak-bwe. Yak-bwe tertawa dan menyuruhnya lekas-lekas menuturkan.

Khik-sia tak percaya kalau Su Tiau-ing yang melakukan. Karena teranga kepandaian orang itu jauh melebihi dirinya (Khik-sia) sendiri.

”Baik, aku segera berceritalah. Peristiwanya baru saja terjadi kemarin ketika seorang pemuda yang gagah usianya sebaya dengan tuan. Mengenakan mantel kulit rusa dan sepertinya menyelip pedang di pinggang.”

Yak-bwe merasa sebal dan hendak menyuruhnya bercerita ringkas, tapi karena tadi sudah terlanjurnya suruh dia bercerita yang jelas, terpaksa dibiarkan saja. Sedang Khik-sia pun mendesak supaya orang itu meneruskan ceritanya.

”Kemudian datanglah seorang gadis. Belum sempat kutanya mau pesan apa, nona itu sudah menghampiri kemuka pemuda tadi dan melengking: ”Hai, orang she Coh, apa masih kenal padaku?” - Nona itu garang benar. Belum si pemuda sempat menyahut, nona itu sudah memukulnya!” kata pengurus warung pula.

”Hai, orang she Coh? Dia kena terpukul atau tidak?” seru Khik-sia.

”Tidak, pemuda she Coh itu rupanya  bisa ilmu sihir. Entah bagaimana tahu-tahu ia 'terbang' bersama kursinya dan melayang jatuh di muka pilar ini. Tangannya masih mencekal sebuah cawan, arak di dalamnya setetespun tak ada yang tumpah.”

Sebagai seorang ahli silat tahulah Khik-sia kalau pemuda itu meminjam tenaga pukulan orang untuk pindah tempat. Sudah tentu tak lupa pemuda itu menyalurkan lwekangnya untuk melindungi diri dari pukulan si nona.

”Kalau begitu kepandaian pemuda she Coh itu tak di bawah si nona. Tapi mengapa ia tak mau balas memukul?” tanya Yak-bwe.

”Dia balas juga tapi bukan dengan pukulan melainkan dengan menghaturkan arak,” kata si tukang warung.

”Oh, jadi mereka sudah kenal?” tanya Yak-bwe.

”Entahlah.  Tetapi pemuda itu benar-benar menghaturkan arak pada si nona seraya berseru : 'Aku tak pernah menyalahi nona, mengapa nona mendesak aku begini rupa? Tentu salah paham.

Silahkan nona minum secawan arak dulu agar kemarahan nona reda, kemudian baru bicara.' - Dan habis berkata, cawan pemuda itu terbang melayang ke arah si nona. Setitikpun araknya tak menetes.”

Yak-bwe memuji sikap si pemuda yang cukup sabar.

”Nona itu tak mau menerima suguhan arak.  Dan terjadilah hal yang ajaib.   Cawan arak itu berhenti di hadapan si nona, begitu mulut si nona meniup, cawan itu terbang melalui kepala si nona dan prak ... pecahlah cawan itu, araknya menumpah tepat di atas kepalaku. Celaka, arak itu panas sehingga kepala dan mukaku kicat-kicat kepanasan.”

”Semangatku serasa terbang,” kata pengurus warung itu pula, ”aku termangu-mangu seperti patung. Pada saat itu kedengaran si nona memaki : 'Apanya yang salah paham? Karena kau ini putera pertama dari keluarga Coh di Ceng-ciu, otomatis menjadi musuhku. Hm, apakah kau masih berani mengolok-olok aku?' - wut, brak kursi tempat duduk pemuda itu pecah berantakan.

Tetapi si pemuda sudah lebih dulu loncat menyingkir. Selembar rambutnya pun tak ada yang rontok.”

Diam-diam Khik-sia membatin ilmu ginkang pemuda itu tak di bawah dia.

”Selagi aku terlongong-longong, nona itu sudah menyerbu si pemuda,” kata pengurus warung.

”Ho, kali ini mereka tentu bertempur sungguh,” rupanya Yak-bwe tertarik hatinya.

”Nona itu galak benar tetapi si pemuda tetap tak mau membalas. Ia berputar-putar di belakang

pilar batu. Serangan si nona makin gencar. Tiba-tiba terdengar suara tamparan dahsyat. Ternyata si nona telah menghantam pilar ini dan meninggalkan bekas telapak tangannya.”

”Lalu bagaimana?” tanya Yak-bwe.

”Kemudian, heh, lalu bubar,” jawab si pengurus warung. ”Lho, mengapa bubar?” Yak-bwe heran.

”Setelah memukul pilar batu, rupanya tangan nona itu kesakitan. Ia terlongong-longong. Kesempatan itu digunakan si pemuda untuk menyelinap pergi. Sesaat kemudian baru si nona mengejar. Karena mereka pergi, bukankah cerita ini sudah bubar? Bubarnya cerita juga amblasnya bayaran arakku.”

”Bayaran arak apa?” tanya Yak-bwe.

”Pemuda itu meminum tiga ratus kati arak, makan seekor ayam panggang dan dua kati dendeng sapi. Dia tak seperti tuan yang membayar uang lebih dulu. Dan nona itupun menghancurkan sebuah kursiku. Bukankah aku harus menggigit jari atas kerugian itu?”

Yak-bwe tak sudi mengganti kerugian itu karena tak puas dengan cerita si pengurus warung yang tak berujung pangkal itu. Sebaliknya Khik-sia merasa kasihan dan memberinya sekeping perak selaku ganti kerugian. Si pengurus warung pura-pura menolak tapi Khik-sia mendesaknya supaya menerima karena ia hendak bertanya lagi.

”Bukankah pada alis pemuda itu terdapat sebuah tahi lalat yang menonjol?” tanyanya. Pengurus warung arak terkesiap, serunya: ”Benar, mengapa kau tahu? Apakah sahabatmu?” ”Aku kenal padanya. Maka akulah yang mengganti kerugianmu,” kata Khik-sia. Kemudian ia berbangkit dan memeriksa bekas telapak tangan yang terdapat pada pilar.

Mendengar pembicaraan Khik-sia, samar-samar Yak-bwe dapat menerka juga. Tapi karena sudah ditanyai Khik-sia, ia pun tak leluasa mencari keterangan lagi.

”Ini tenaga pukulan istimewa. Aneh, partai Siau-lim-si tak pernah menerima seorang murid wanita, mengapa nona itu dapat memiliki pukulan lwekang kaum agama? Tetapi kepandaiannya masih belum sempurna betul. Lihatlah, pangkal tangannya melekat ke dalam tapi bagian jarinya hanya masuk sedikit. Sekalipun begitu, tak mudah mencari seorang wanita yang berkepandaian sedemikian hebatnya,” kata Khik-sia. Mendengar Khik-sia dapat menilai kepandaian si nona, diam-diam pengurus warung itu terkejut dan berubah wajahnya. ”Kalau begitu, kepandaian tuan ini tak kalah dengan si nona lihay itu. Kukira dia seorang anak pembesar, siapa tahu seorang jagoan, huh, jangan-jangan bangsa perampok.”

Tengah Khik-sia memeriksa bekas telapak tangan itu, sekonyong-konyong dua ekor kudanya yang ditambatkan pada sebatang pohon di luar, meringkik keras. Khik-sia cepat berpaling dan terkejutlah ia. Ternyata ada dua orang lelaki sedang memotong tali kendali kudanya.

”Kurang ajar! Penjahat yang bernyali besar!” makinya seraya menampar meja. Dengan meminjam gerakan itu, tubuhnya melesat keluar.   Tapi sudah terlambat. Kedua orang itu sudah menceplak kuda.   Salah seorang ayunkan tangannya. Sebuah benda berkilap melayang ke arah meja kasar. Kiranya sekeping perak.

”Kemarin nona kami merusakkan perkakas warungmu. Perak itu pemberian nona untuk mengganti kerugian!” teriak orang itu.

Sementara kawannya yang seorang tertawa berseru: ”Budak kecil semacam kau tak pantas naik kuda sebagus ini. Kamipun tak mau menggasak kudamu mentah-mentah. Nih, kepingan perak ini selaku uang pembeli kudamu!” - Ia pun melemparkan sekeping perak kepada Khik-sia.

”Kurang ajar!   Siapa sudi uangmu?” bentak Khik-sia.   Sekali kebutkan lengan bajunya, kepingan perak itu berputar-putar melayang kembali kepada pengirimnya. Ketika menyanggapi, tangan orang itu terasa kesakitan. Kejutnya bukan kepalang. Cepat ia keprak kudanya lari.

Kedua ekor kuda itu sudah terlatih. Mereka sudah kenal akan tuannya, siapapun tak dapat menaikinya. Tetapi entah bagaimana, rupanya kedua orang itu mempunyai ilmu istimewa sehingga kedua kuda itu menurut saja.

Khik-sia gusar sekali. Ia gunakan pat-paoh-kam-sian untuk mengejar. Ketika berpaling bukan kepalang kaget kedua orang itu demi dilihatnya Khik-sia mengejar sedemikian rapatnya, hanya terpisah beberapa tombak di belakang.

”Budak kecil, karena kau emoh uang, baiklah kuberi thi-lian-cu saja!” kedua orang itu ayunkan tangannya. Dua belas batang senjata rahasia thi-lian-cu melayang ke arah Khik-sia.

Ilmu menimpuk mereka cukup lihay. Tapi karena yang ditimpuk seorang ahli silat macam Khik-sia, maka hasilnya pun malah runyam. ”Kukembalikan kirimanmu!” sekali Khik-sia lontarkan pukulan Biat-gong-ciang, kedua belas thi-lian-cu itupun melayang kembali kepada

pemiliknya. Tapi tak dapat mengenai karena kuda yang membawa mereka itu luar biasa cepatnya. Ilmu ginkang pat-poh-kam-sian Khik-sia itu dalam jarak beberapa li memang ampuh sekali.

Jika bukan kuda istimewa pemberian dari Cin Siang, tentu tadi-tadi sudah terkejar. Apalagi tadi Khik-sia harus kendorkan langkah karena menangkis serangan senjata tajam. Beberapa detik kehentian itu cukup memisahkan jarak mereka jauh sekali. Dan dalam beberapa kejap pula, kedua kuda itu pun sudah tak kelihatan bayangannya lagi. Terpaksa Khik-sia kendorkan larinya. Dalam pada itu tampak Yak-bwe berlarian mendatangi dengan napas terengah-engah.

Khik-sia tertawa masam: ”Karena tak berhasil mengejar, lebih baik kita berjalan pelahan-lahan saja.”

”Keparat sekali manusia itu!   Khik-sia, biar bagaimana juga kau harus berusaha merebut kembali kuda itu. Kuda itu pemberian Cin Siang, kalau sampai kena dicuri orang, bagaimana kita ada muka untuk bertemu dengan Cin Siang nanti?” Yak-bwe bersungut-sungut jengkel sekali. ”Pulangkan napasmu dulu. Biar si setan hilang, sarangnya tentu kedapatan. Asal sudah mengetahui sarangnya, masakan setan-setan itu dapat lari,” Khik-sia menghiburi tunangannya. ”Ya, ya, kita harus membikin perhitungan dengan majikan mereka. Bukankah mereka tadi

sudah memperkenalkan diri sebagai orangnya si nona yang meninggalkan bekas telapak tangannya di pilar batu?”

”Siapa nona itu, kita tak kenal sama sekali. Kita perlu cari seorang dulu untuk mencari keterangan,” ujar Khik-sia.

”Eh, apakah pemuda she Coh itu bukan Coh Ping-gwan?” tanya Yak-bwe.

Khik-sia mengiakan. Yak-bwe menanyakan bagaimana hubungan Khik-sia dengan pemuda itu dan bagaimana pula riwayatnya. ”Perkenalanku dengannya terjadi ketika di dalam Eng-hiong-tay-hwe yang diadakan Cin Siang. Setelah itu tak pernah berjumpa lagi. Tapi sekalipun baru berkenalan tapi bukan kenalan biasa. Seperti Thiat-toako, Coh Ping-gwan itu juga dicap sebagai pemberontak. Kurasa dia juga seorang sahabat yang menjunjung keadilan. Sayang aku tak jelas dengan dirinya,” sahut Khik-sia.

Memang pada waktu diumumkan nama-nama dari 10 tokoh pemberontak, Coh Ping-gwan termasuk daftar yang terakhir. Tetapi dia masih asing di kalangan loklim, maka orang pun tak tahu perbuatannya yang dianggap memberontak itu. Baru setelah orang she Coh itu bertemu dengan Shin Ci-koh dan Gong-gong-ji, tahulah Khik-sia kalau pemuda itu sudah kenal pada suhengnya.

Bahkan ternyata pedang Kim-ceng-toan-kiam yang biasa dipakai Ceng-ceng-ji itu ternyata milik Coh Ping-gwan. Tapi pengertian Khik-sia pun hanya terbatas sampai di situ saja. Bagaimana tentang pribadi dan gerak-gerik Coh Ping-gwan, sama sekali ia tak mengetahui.

”Kalau begitu baik kita bantu pada Coh Ping-gwan saja, untuk memberantas pencuri wanita itu. Tapi entah dimana kita dapat menjumpai orang she Coh itu?” kata Yak-bwe.

”Kalau dia muncul di sini terang kalau hendak hadir dalam pertemuan di Hok-gu-san. Baik kita langsung menuju ke Hok-gu-san saja. Setelah mejumpai Thiat piauko baru kita berunding lagi. Taruh kata orang she Coh itu tak datang ke Hok-gu-san, pun kita dapat menanyakan keterangan pada orang-orang gagah yang hadir dalam pertemuan itu,” kata Khik-sia.

Yak-bwe setuju. Mereka menuju ke Hok-gu-san. Tapi baru berjalan tak berapa lama tiba-tiba Yak-bwe berseru: ”Khik-sia, kau lebih banyak pengalaman dari aku, apakah kau dapat meneliti?” ”Meneliti apa?”

”Bahwa kedua pencuri kuda itu agaknya bukan suku Han.” ”Bagaimana kau tahu?” tanya Khik-sia.

”Sekarang kan sudah permulaan musim panas, mengapa mereka berdua masih mengenakan kopiah bulu. Ini bukan cara suku Han yang tinggal di sini. Kulihat kalau bukan suku Oh, mereka tentu orang dari Se-gwa (luar perbatasan),” kata Yak-bwe.

Memang integrasi antara suku Oh dan Han di daerah situ sudah sedemikian rupa hingga sukar untuk membedakan. Tapi dalam adat kebiasaan, masing-masing masih memegang teguh kebudayaannya sendiri.

Khik-sia memuji luasnya pengalaman sang calon isteri. ”Memang aku juga melihat suatu kecurigaan ” katanya.

Yak-bwe girang dipuji tunangannya. Sengaja ia hendak mempamerkan kecerdikannya, ujarnya: ”Eh, jangan kau katakan dulu, biar aku yang menguraikan pendapatku. Coba saja apakah pandangan kita berdua ini bersamaan?”

Khik-sia mengiakan.

”Kedua pencuri kuda itu mahir sekali naik kuda.  Gerak-geriknya kasar. Dua ciri ini cukup mengunjukkan bahwa mereka itu tentu suku Oh yang menuntut penghidupan sebagai penggembala.”

Khik-sia tertawa: ”Benar, akupun berpendapat demikian. Hanya sayang kau bukan seorang pria

....”

”Apa?” Yak-bwe terbeliak kaget.

Khik-sia tertawa: ”Jika kau seorang pria, baru boleh mengatakan kata-kata 'pandangan sesama enghiong itu tentu bersamaan'.”

”Oh, jadi kau hendak mengolok-olok aku? Tapi kau sendiri menganggap sebagai enghiong, apakah tak malu?” Yak-bwe bersungut-sungut.

Khik-sia menyabarkan sang tunangan, toh hanya sekedar kelakar saja, perlu apa marah-marah. Begitulah mereka melanjutkan perjalanan lagi sembari bercakap-cakap.

”Jika kedua pencuri itu benar orang Oh, urusan menjadi runyam. Entah apa hubungan Coh Ping-gwan dengan nona itu. Tapi jika bertemu dengan nona itu, jangan turun tangan dulu. Kita

harus menyelidiki asal-usulnya,” Khik-sia mengutarakan pikirannya. Yak-bwe dapat menerimanya. Pada petang hari, mereka sudah memasuki daerah gunung. Khik-sia mengusulkan, karena perjalanan selanjutnya sukar terdapat rumah penduduk, mengingat hari sudah gelap dan letih berjalan, lebih baik mencari sebuah goa untuk beristirahat. Yak-bwe setuju malah ia lantas keluarkan ilmu ginkang istimewa yang kemarin lusa baru saja dipelajarinya dari Khik-sia. Khik-sia banyak memberi petunjuk yang berharga.

Malam itu tak berbintang. Tapi berkat ginkang dan sepasang matanya yang dapat melihat terang di waktu malam, Khik-sia berlari di muka untuk mencari jalan. Yak-bwe amat gembira dan tak terasa tibalah mereka di sebuah puncak yang gelap.

”Sudah letih?” tanya Khik-sia. Sebenarnya ginkang itu tak perlu menggunakan tenaga banyak. Yak-bwe menyahut belum lelah dan mengajak terus berlari saja sampai terang tanah.

Tiba-tiba Khik-sia melihat di atas puncak seperti ada bayangan bergerak. Ia terkejut dan membisiki Yak-bwe: ”Awas, di sebelah muka ada orang, biar kutinjaunya dulu.” - Ia gunakan ginkang tinggi menyusup ke dalam hutan.

Sekonyong-konyong dua sosok tubuh loncat keluar dari semak rumput. Salah seorang mengucapkan beberapapatah perkataan yang tak dimengerti Khik-sia. Malam gelap sehingga tak dapat melihat wajah mereka. Hanya dari kopiah kulit yang dipakainya itu Khik-sia menduga tentu orang suku Oh.

Karena Khik-sia tak menyahut, kedua orang itu sabatkan dua batang belati yang berkilau-kilau matanya. Waktu Khik-sia tak dapat menyahut teguran mereka yang diucapkan dengan bahasa daerah, kedua orang itu segera memastikan bahwa Khik-sia bukan kawan mereka.

Setangkas-tangkasnya mereka menimpuk, masih tak memadai kepandaian Khik-sia. Sekali berkelit, dua batang belati itu melayang lewat sisinya dan jatuh di tempat kosong. Khik-sia pun lantas maju mendekat, berdiri di tengah mereka dan mementang sepasang tangannya. Dalam kegelapan malam, mudah sekali Khik-sia meringkus mereka. Karena hendak menanyai keterangan maka Khik-sia tak mau menutuk jalan darah mereka.

Tapi dia lupa bahwa kedua orang itu tidak hanya sendiri. Padahal mereka membawa banyak

kawan yang bersembunyi. Baru hendak menanyai kedua orang itupun sudah bersuit keras. Secepat itu jauga dari atas gunung terdengar suara gemuruh dan munculnya beratus-ratus pelita. Kiranya mereka memang bersembunyi di atas gunung. Jumlahnya berpuluh-puluh orang. Waktu bersembunyi itu, pelita-pelita teng mereka diselubungi dengan kain hitam.

Untung kedua orang yang diringkus Khik-sia itu termasuk penyuluh atau ceculuk yang memberi warta. Jaraknya dengan rombongan kawan-kawannya masih berpuluh-puluh tombak. Jadi mereka masih belum mengetahui Khik-sia. Cepat-cepat Khik-sia menutuk jalan darah kedua orang itu. ”Mana? Dimana?” tepat pada saat itu terdengar mereka berseru dengan berisik sekali.

”Apakah bangsat she Coh itu lagi?” - ”Hai, mengapa suitan berhenti? Oh, celaka, kedua kawan kita tentu dicelakai bangsat itu!”

Dalam kehirukan itu tiba-tiba terdengar bentakan seorang wanita: ”Jangan ribut saja, lekas cari!”

Khik-sia terkesiap, pikirnya: ”Wanita itu tentu pemimpin mereka.” - Baru ia hendak unjukkan

diri, tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring dan seruan orang: ”Benar, memang aku Coh Ping-gwan yang datang! Heh, heh, tanpa memasang barisan pendam akupun tetap datang. Aku hendak bertanya, mengapa nona selalu hendak membikin susah padaku?”

Suara itu datangnya dari arah lain. Dan perhatian rombongan orang-orang itu segera beralih ke sana. Saat itu Yak-bwe sudah tiba di dekat Khik-sia dan dengan berbisik-bisik menanyakan keterangan. Khik-sia memperingatkan jangan bergerak dulu tapi tunggu saja nanti. Habis berkata, ia lantas menggandeng tangan sang tunangan untuk dibawa loncat ke atas pohon tinggi. Dari situ dapat melihat jelas apa yang terjadi di sebelah bawah.

Di atas sebuah batu karang, tampak seorang suku Han loncat turun.  Batu karang itu tak kurang dari belasan tombak tingginya. Gerakan melayang turun dari pemuda itu indah sekali. Ya, memang dia adalah Coh Ping-gwan. Diam-diam Khik-sia memuji ginkang orang she Coh itu. Pun rombongan orang-orang itu terkejut, sampai terlongong-longong melihat kepandaian Coh Ping- gwan.

Diam-diam nona pemimpin rombongan itu menghela napas: ”Seorang pemuda yang cakap dan gagah, ilmu kepandaiannya jarang terdapat di dunia persilatan. Sayang dia itu anak dari musuhku.” Begitu ujung kaki Coh Ping-gwan baru menyentuh bumi, dua orang rombongan suku Oh itu sudah menyerang. Yang satu dari kanan, yang satu dari kiri. Kedua penyerang itu bertubuh tinggi besar. Masing-masing mencekal thiat-jui (martil besi).

Dalam situasi yang berbahaya itu, Coh Ping-gwan keluarkan kepandaiannya istimewa. Dia tak mau menghindar melainkan kebutkan lengan bajunya dengan gerak Su-chi-hwat-cian-kim atau empat tail tenaga mengeluarkan seribu kati. Bum, kedua martil penyerangnya saling berhantam

sendiri. Sementara Coh Ping-gwan menerobos keluar dari tengah-tengah sela kedua penyerangnya. Tenaga kedua penyerang itu besar sekali. Oleh karenanya besar juga goncangan yang diderita akibat benturan martil itu.  Suaranya melengking tajam sekali sampai memekakkan telinga.  Pada lain saat kedua orang itupun menjerit keras, kedua martilnya mencelat ke udara.

Coh Ping-gwan melangkah kemuka dengan lenggangnya. Ia tertawa nyaring: ”Aku toh belum selesai bicara dengan nonamu, mengapa kalian buru-buru hendak menyerang aku?”

Coh Ping-gwan menghampiri ke muka si nona. Tiada seorang pun yang berani menghadang. Mereka terlongong oleh sikap dan nada seruan Coh Ping-gwan yang sedemikian berwibawa. Diam-diam tergerak hati nona itu, pikirnya: ”Di dalam menghadapi bahaya apa saja, dia selalu tenang, seperti semasa kecilnya. Tadi waktu kedua saudara Wi menghantamnya dengan martil, hatiku terkejut sekali.   Eh, bukankah aku hendak membalas sakit hati padanya? Mengapa aku merasa sayang? Tidak, aku harus keraskan hatiku!”

Tenang-tenang Coh Ping-gwan memberi hormat kepada si nona: ”Kupikir aku tak pernah kesalahan pada nona, mengapa nona selalu hendak maukan jiwaku saja? Sudilah nona menerangkan agar bila aku mati tidak berada dalam kegelapan?”

Nona itu menggigit bibir, katanya dengan dingin: ”Coh Ping-gwa, tidakkah kau kenal padaku?”

- Sudah dua kali ia berkata demikian pada Coh Ping-gwan.

Coh Ping-gwan heran dan melirik tajam pada si nona. Ah, samar-samar sudah pernah melihat, tapi lupa ia. Akhirnya berkatalah ia: ”Maaf, ingatanku memang jelek.”

Wajah si nona bertebar merah ketika dipandang si pemuda. Tiba-tiba ia berganti nada kekanak- kanakan: ”Aku tak mau kau tukari dengan giok. Kedua mustika ini kuberikan padamu. Lihatlah, mutiara ini mempunyai tujuh warna, indah tidak? Tetapi di dalam rumahku, benda ini tak berharga.”

Sekalian orang yang berada di sekitar situ (termasuk Khik-sia yang bersembunyi di atas pohon0, tak mengerti apa arti ucapan si nona itu. Dan nona itu tak memegang giok atau suatu mutiara. ”Ha, kau si Ni kecil?” tiba-tiba Coh Ping-gwan berteriak kaget.

”Ya, sekarang sudah teringat atau belum?” si nona mengangguk.

Peristiwa itu terjadi pada 15 tahun yang lalu. Ketika itu ayah Coh Ping-gwan yaitu Coh Thong-

kok menjadi To-liat-su (wakil) dari gubernur Anse yang berkedudukan di Sutho, sebuah negeri kecil di wilayah Segak (Tibet).   Kala itu Coh Ping-gwan baru berumur 10-an tahun lebih. Dia ikut ayahnya ke Sutho.

Di negeri Sutho ada seorang raja Yu-hian-ong yang merangkap menjadi panglima perang. Dia bernama U-bun Hu-wi, mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Hong-ni. Umurnya lebih muda dari Coh Ping-gwan, baru 5-6 tahun. Sutho termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Tong. Dengan menjabat sebagai To-liat-su, berarti Coh Thong-kok itu yang dipertuan di negeri Sutho.

Sering harus berhubungan dengan U-bun Hu-wi.

U-bun Hong-ni mungil dan lincah. Coh Ping-gwan menganggapnya sebagai adik sendiri, acap kali mengajaknya bermain-main. Sutho banyak menghasilkan batu permata. Tetapi kulit kerang hanya terdapat di tepi laut. Hong-ni belum pernah melihatnya. Mendengar cerita Coh Ping-gwan betapa indah kulit kerang itu, Hong-ni mau menukarkan permatanya dengan kulit kerang. Tetapi

Coh Ping-gwan tak mau menerima permata dan hanya memberikan kulit kerang secara cuma-cuma kepada Hong-ni untuk dibuat main-main. Ucapan si nona tadi, adalah menirukan kata Coh Ping- gwan ketika dahulu bicara dengan Hong-ni.

Coh Ping-gwan hanya tinggal satu tahun di Sutho, kemudian pergi dan tak pernah berjumpa lagi dengan Hong-ni. Jika Hong-ni tak mengungkat kejadian di waktu kecil itu, tentu dia tak teringat lagi akan nona cantik yang dihadapinya itu.

Dengan menggigit bibir, Hong-ni berkata pula: ”Sekarang sudah jelas, belum?” ”Jelas apa? Di waktu kecil akupun tak pernah menghina padamu. Malah aku pernah memberi dua buah kulit kerang padamu.”

U-bun Hong-ni menyahut tawar: ”Siapa yang ingin bergurau padamu? Jawablah, mana ayahmu?”

”Sudah meninggal pada 10 tahun yang lalu.”

”Tepat, ayahmu sudah meninggal, siapa yang harus kucari kalau bukan kau? Bukankah ada pepatah mengatakan: hutang ayah, anak yang bayar? Hari ini aku hendak menagih hutang ayahmu pada kau!”

Coh Ping-gwan terkesiap, ujarnya: ”Apa artinya ini?”

Nada Hong-ni berubah tajam: ”Masih belum jelas? Coba ingat-ingatlah, bagaimana kalian tinggalkan Sutho?”

Peristiwa 15 tahun yang lampau, terbayang lagi. Kala itu malam yang tak berbintang tak berembulan.   Tiba-tiba ayah Hong-ni U-bun Hu-wi membawa pasukan menyerang gedung kediaman ayah Coh Ping-gwan. Dalam pertempuran malam yang gelap itu, Coh Ping-gwan dan ayahnya beruntung dapat meloloskan diri. Ketika terang tanah dan memcacahkan pasukannya, dari tiga ribu serdadu Tong, hanya tinggal beberapa puluh saja. Kemudian baru diketahui kalau pemberontakan itu digerakkan oleh tentara pendudukan Hwe-ki yang berada di Sutho. Pengaruh Hwe-ki makin luas menimbulkan clash dengan tentara Tong. Adalah suku Hwe-ki ini yang menghasut negara-negara di Segak untuk memberontak pada kerajaan Tong. Kejadian di Sutho itu, merupakan salah satu pencetusan. Salah satu unsur tentara yang menyerang kediaman wakil gubernur An-se di Sutho itu, adalah pasukan berkuda dari Hwe-ki.

Sejak peristiwa itu, Sutho menjadi negara bagian Hwe-ki. Ayah Coh Ping-gwan pulang ke negerinya memohon hukuman. Ia mengajukan permohonan supaya pemerintah mengirimkan pasukan untuk menghancurkan Hwe-ki. Tetapi kerajaan Tong pada saat itu sedang kacau, pemberontakan An Lok-san dan Su Khik-hwat timbul. Pemerintahan goncang dan terpaksa minta damai dengan bangsa Hwe-ki. Sejak itu pamor kerajaan Tong merosot.

Akibat dari politik damai dengan Hwe-ki itu, ayah Coh Ping-gwan dijadikan kambing hitam. Dengan tuduhan 'tidak bijaksana mengatur pemerintahan', dia dipecat dan terpaksa pulang ke kampung. Beberapa tahun kemudian karena sakit kemudian meninggal.

Teringat akan kejadian yang lampau itu mendidihlan darah Coh Ping-gwan, serunya: ”Jadi kau hendak mengusik peristiwa itu? Ayahku telah kehilangan hampir seluruh pasukannya, apa yang hendak kau tagih lagi?”

”Kau hanya tahu kerugian pihakmu, tetapi apakah kau tahu juga berapa kerugian di pihak kami?” Hong-ni marah.

Coh Ping-gwan menghela napas: ”Memang kalau diingat berapa banyak korban yang jatuh dari kedua pihak, kita merasa sedih. Tetapi hal itu tak dapat mempersalahkan ayahmu.”

Hong-ni makin marah: ”Kau masih menyalahkan ayahku? Apa harganya jiwa pasukanmu itu? Mereka mati seribu atau sepuluh ribu masih tak menyamai nilai ayahku seorang!”

”Apa? Ayahmu ...!” Coh Ping-gwan terperanjat.

”Masih berlagak pilon menanyakan ayahku? Pada malam pertempuran itu juga ayahku dibunuh oleh ayahmu!”

Coh Ping-gwan kesima. Ia baru mengetahui sekarang. Ujarnya: ”Sampai pada saat meninggalnya, ayahku tak mengetahui kalau keliru membunuh ayahmu. Sudah tentu dalam pertempuran di malam gelap, tentu banyak korban. Dan belum tentu ayahmu terbunuh oleh ayahku.”

”Ayahmu adalah pemimpin pasukan. Ia sendiri yang membunuh atau bukan, hutang jiwa itu tetap kutagih padanya!”

Marahlah Coh Ping-gwan. Terang yang menyerang lebih dulu itu ayah Hong-ni, mengapa menyalahkan orang? Tapi pada lain saat, ia memikir lebih panjang. Pertama, mengingat nona itu sudah sebatang kara, negaranya senasib dengan kerajaan Tong yang ditindas bangsa Hwe-ki.

Kedua, mengingat bahwa mereka berdua adalah kawan bermain semasa kecil. Lebih baik menghindar dari permusuhan. ”Sebenarnya hubungan kita berdua erat sekali. Kesemuanya itu adalah gara-gara bangsa Hwe- ki ”

”Aku tak menyinggung urusan negara. Entah siapa yang benar dan salah. Yang kuurus ialah bahwa setiap penasaran dan hutang itu harus ada yang bertanggung jawab,” tukas Hong-ni. ”Baiklah, karena kau anggap ayahku itu sebagai musuhmu. Karena beliau sudah meninggal, aku bersedia pergi ke negerimu dan menghaturkan maaf di depan makam ayahmu. Membunuh orang hanya menambah kedosaan saja. Rasanya kaupun dapat terlepas dari penasaranmu.” ”Tidak bisa! Ayahmu sudah meninggal kan kau masih ada! Aku sudah bersumpah di hadapan kuburan ayahku, biar bagaimanapun tak dapat mengampuni kau!”

Watak bangsa Sutho itu memang keras dan berani.  Sakit hati orang tua, anak harus membalaskan. Jika tidak, tentu diasingkan oleh handai taulannya.  U-bun Hu-wi tak punya anak laki, kewajiban itu jatuh pada diri Hong-ni. Menuruti adat kebiasaan bangsanya, Hong-ni melakukan juga upacara mengucurkan darah dalam arak di hadapan kuburan ayahnya. Kala itu ia baru berusia enam tahun. Sehari-hari ia menerima pelajaran bagaimana harus membalas sakit hati ayahnya. Maka betapa Coh Ping-gwan mengemukakan dalih alasan, tetap ditolaknya.

Kesabaran ada batasnya. Karena ditolak getas akhirnya timbullah keangkuhan hati Coh Ping- gwan. Tertawalah ia dingin-dingin: ”Kalau begitu tetap meminta ganti jiwa padaku? Tetapi entah kepada siapa aku harus meminta ganti kerugian jiwa-jiwa serdadu Tong itu?”

Hong-ni terkesiap, tapi ia tetap keras kepala: ”Aku tak peduli hal itu. Kutahu hanya 'hutang ayah anaklah yang harus membayar'!”

Coh Ping-gwan mendongak tertawa keras: ”Baik, karena kau tuli dengan alasan-alasan, maka kunyatakan sejelas-jelasnya. Untuk hutang jiwa yang belum ketahuan kebenarannya itu, aku tak ingin mewakili ayah membayarnya. Tapi jika kau mempunyai kepandaian, silahkan kau mengambilnya secara kekerasan!”

Hong-ni kerutkan alis. Pada saat ia hendak memberi komando pada anak buahnya supaya meringkus Coh Ping-gwan, tiba-tiba seorang perwira bangsa Han menerobos kemuka, serunya: ”Nona U-bun, aku menerima titah supaya datang kemari untuk menjalankan perintahmu, ijinkan aku membaktikan tenaga, menangkap orang yang kau kehendaki itu.”

Panas telinga Coh Ping-gwan. Ia deliki mata memandang perwira itu. Kiranya orang itu adalah Bu Wi-yang, bekas pemimpin barisan pengawal istana.

”Eh, Bu Wi-yang, kau tahu malu, tidak?” tegurnya dengan tertawa mengejek. ”Malu apa?” sahut Bu Wi-yang.

”Urusanku dengan nona ini bukan urusan sulit. Kau toh perwira dari kerajaan Tong, mengapa merendahkan dirimu sebagai hamba seorang nona lain suku? Kau tak malu itu memang hakmu karena mukamu tebal. Tapi perbuatanmu itu benar-benar menghina negara!”

”Hm, menghina negara? Kau tahu apa, aku justeru mengemban tugas kerajaan!” ”Hi, aneh! Coba katakan aku melanggar pasal mana dari hukum negara!”

”Kau menghina seorang Siang-kok hujin, itulah dosa besar.”

Siang-kok hujin artinya isteri pangeran. Coh Ping-gwan melirik Hong-ni lalu berkata: ”Oh, maaf, maaf, aku tidak tahu kalau nona ini seorang wanita bangsawan agung.”

Hong-ni tersipu-sipu dan buru-buru menyahut: ”Aku tiada bermaksud minta bantuan pada negerimu untuk melakukan pembalasan sakit hati. Hal ini adalah tindakan pamanku yang berunding dengan Wi toa-cong-koan. Congkoan (jenderal) itu lantas menyuruh Bu ciangkun ini membantu aku. Hm, Bu ciangkun, aku hendak menyelesaikan urusan ini secara kaum persilatan.

Tak ingin menerima bantuanmu. Biarlah kuselesaikan dengan Coh siangkong sendiri, tak perlu kau bantu.”

Kiranya setelah bangsa Hwe-ki menjajah Sutho, ibu dari Hong-ni menyerah pada Hwe-ki. Pada waktu itu tentara Hwe-ki mengirim tentara bantu kerajaan Tong menindas pemberontakan Su Khik- hwat, paman Hong-ni (adik ibunya) turut dalam pasukan itu. Menjabat sebagai Co-ciangkun.

Kemudian diangkat menjadi menteri koordinator urusan tentara ke Tiang-an.

Kerajaan Tong makin lemah.   Banyak panglima-panglima di perbatasan yang menyatakan berdiri sendiri. Perintah kerajaan tak dihiraukan lagi. Untuk mendapat bantuan dari tentara Hwe- ki, pemerintah Tong bersikap manis sekali kepada mereka. Bahkan terhadap seorang jenderal suku Sutho yang menakluk pada Hwe-ki, pemerintah Tong pun mengindahkan sekali.

Sejak peristiwa Eng-hiong-tay-hwe yang diselenggarakan Cin Siang itu, atas pengaduan puteri Tiang Lok (adik baginda Tong), maka pangkat Bu Wi-yang diturunkan sampai tiga tingkat. Kini ia hanya menjadi seorang si-wi biasa. Maka demi mendengar kesempatan itu, ia segera mengajukan permohonan pada Congkoan supaya dikirim membantu U-bun Hong-ni menangkap musuhnya.

Dan untuk menangkap Coh Ping-gwan seorang, ia sanggup mengerjakan seorang diri tak perlu mengerahkan pasukan besar. Cong-koan lalu meluruskan dengan pesan supaya pembantuan itu atas nama Bu Wi-yang perseorangan. Karena memang memerlukan seorang pembantu penunjuk jalan, Hong-ni menerima bantuan itu.

Maka Wi-yang hendak menggunakan kesempatan itu untuk mendekati pada bangsawan Hwe-ki (Hong-ni), agar ia mendapat pahala dan dinaikkan pangkat lagi. Waktu Hong-ni mendapat bantuan, ia kelabakan. ”Hal ini berbeda dengan peristiwa balas sakit hati di kalangan persilatan. Dia hanya seorang rakyat jelata, ijinkanlah siapkoan (aku) menangkapnya sebagai tanda penghormatan terhadap tetamu agung,” serunya.

”Baik, karena peraturan kerajaan Tong sedemikian, silahkan kau menangkapnya lebih dulu.

Tapi aku ada syarat. Jika kau gagal, aku tak mau menghiraukan peraturan lagi!” akhirnya Hong-ni mengalah.

Yang dipikirkan Bu Wi-yang hanyalah hadiah pangkat dari cong-koan. Ucapan si nona tadi sedikitpun tak diperhatikan, segera ia melolos cambuknya yang panjang itu.

”Heh, pesakitan negara, lekas menyerah daripada kubekuk kau,” serunya.

Kini tersadarlah Coh Ping-gwan. Kiranya untuk mengambil hati bangsa Hwe-ki, pemerintah Tong telah menghapus jasa-jasa ayahnya untuk diganti dengan kedosaan. Dan karena ayahnya

sudah meninggal, maka kini ia anaknyalah yang hendak dijadikan kambing sembelihan. Serentak bangkitlah keperwiraan anak muda itu.

”Keluarga Coh tak pernah berdosa pada kerajaan. Aku menolak perintahmu yang semena- menanya itu. Aku tak peduli kau menjalankan perintah kerajaan atau tidak. Nih, makanlah dulu golokku!” serunya dengan nyaring.

”Membangkang? Kau hendak berontak!” teriak Bu Wi-yang sembari menyabat dengan piannya. Tapi sudah disambut oleh golok Gan-leng-to Coh Ping-gwan. Sebagai bekas Su-wi

thong-leng (pemimpin pengawal istana), memang kepandaian Bu Wi-yang cukup tinggi. Kebutan piannya tadi memancarkan tiga gelombang sinar. Susul menyusul sebagai damparan gelombang. Seketika tubuh Coh Ping-gwan terkurung oleh sinar pian.

Tetapi ternyata kepandaian Coh Ping-gwan itu lebih unggul setingkat. Jurus yang digunakan Sam-yo-gui-thay itu juga mempunyai 3 buah serangan. Indahnya bukan kepalang. Tar, punggung

goloknya dapat membuyarkan lingkaran sinar pian. Sampai-sampai pian Bu Wi-yang itu terdampar lempeng dan tenaganya lenyap. Dan sekali balikkan tangan, kembali golok Coh Ping-gwan dapat menghancurkan lingkar serangan pian yang kedua. Dua jurus gerakan Coh Ping-gwan yang ketiga, berhasil memapas sebuah jari tangan Bu Wi-yang.

Sebenarnya kepandaian Bu Wi-yang cukup untuk dibuat melayani sampai beberapa jurus. Dikarenakan ia terburu-buru hendak menang sebaliknya malah menderita kerugian yang membuatnya meringis kesakitan. Dan sebelum semangatnya yang hilang itu pulih, tiba-tiba Coh Ping-gwan berseru 'lepas', goloknya membabat. Mau tak mau Bu Wi-yang terpaksa lepaskan piannya juga.

”Bu ciangkun, kau sudah melakukan kewajibanmu. Aku sudah menerima bantuanmu. Terima kasih atas jerih payahmu menunjukkan jalan. Sekarang musuh sudah kuketemukan, silahkan kau pulang!” tiba-tiba Hong-ni berseru sembari loncat menghalangi golok Coh Ping-gwan.

Dengan menahan rasa malu, Bu Wi-yang ngacir pergi. Sampaipun tianpian yang paling disayanginya itu, tak dihiraukan lagi.

Coh Ping-gwan hentikan pengejarannya. Lintangkan golok ke dada, ia berkata: ”Siau-ni, musuhmu itu seharusnya bangsa Hwe-ki. Jika kau hendak menuntut balas padaku itu tidak pada tempatnya. Maaf, aku tak dapat melaksanakan cita-citamu menjadi anak berbakti!” Karena pikirannya sudah diracuni dengan ajaran bahwa yang membunuh ayahnya itu adalah

Coh Ping-gwan, maka saat itu ia tak dapat menerima jelas pernyataan Coh Ping-gwan. Cepat pada saat Coh Ping-gwan selesai bicara, pedang Hong-nipun sudah menusuknya. ”Dengan musuh ayahku, aku tak dapat hidup bersama di satu kolong langit. Kau boleh memberi seribu satu alasan, tapi aku tetap tak dapat melepaskan kau. Untuk kebaikanmu memperlakukan aku begitu baik semasa kecil, kuberi kelonggaran agar kau bunuh diri sendiri! Kau kubebaskan dari cincangan!” Menghindari tusukan, Coh Ping-gwan tertawa bebas: ”Siau-ni, bukannya aku takut padamu.

Aku hanya menyatakan kebenaran. Jika kau tak mau mendengar, berarti memaksa aku harus bertempur padamu!”

Sret, sret, sret, Hong-ni tebaskan pedangnya ke atas, tengah dan bawah. Yang diarah semua bagian yang berbahaya dari tubuh si anak muda. Coh Ping-gwan gunakan tangan kosong untuk merebut senjata si nona. Ia berputar tubuh, balikkan tangan menyambar lengan Hong-ni yang mencekal pedang itu. Tetapi ternyata gerakan si nona tak kalah lincahnya. Begitu tusukannya lewat di sisi iga lawan, nona itu miringkan tubuhnya dan lontarkan dua buah serangan istimewa.

Pedangnya itu terus dibabatkan balik, sedang tangannya kiri menghantam si anak muda. Blak, mereka beradu pukulan. Hong-ni terputar-putar dan tersurut sampai tiga langkah.

Sebaliknya baju Coh Ping-gwan pun robek sampai lima inci lebarnya. Diam-diam keduanya sama- sama terkesiap. Selagi Hong-ni tersurut mundur lagi, Coh Ping-gwan cepat-cepat mencabut goloknya yang disarungkan tadi. Tapi pada saat Coh Ping-gwan cepat-cepat mencabut goloknya yang disarungkan tadi. Hong-ni pun sudah mendahului menyerangnya. Kali ini ia gunakan jurus Giok-li-tho-soh, menusuk tangan bawah.

Coh Ping-gwan berseru memuji ketangkasan si nona. Cepat ia gunakan jurus Tiang-bo-lok-jit. Sesaat Hong-ni bingung menghadapi. Kalau tak merubah jurusnya, pedangnya tentu kena terpukul jatuh. Tapi kalau hendak merubah gerakannya, terang tentu didahului lawan. Akhirnya Hong-ni mengambil putusan. Ia tetap tak merubah jurusnya tetapi bahkan menambahinya dengan sebuah hantaman.

Blak, Coh Ping-gwan menangkis. Tapi kali ini yang tersurut mundur sampai tiga langkah bukan si nona, melainkan dia sendiri. Mendapat hati, Hong-ni mendahuluinya dengan serangan yang gencar.

Benturan tadi membuat Coh Ping-gwan heran. Pikir punya pikir, akhirnya diketahui juga. ”Ah, tadi yang pertama dia belum mengeluarkan tenaganya sungguh-sungguh,” demikian kesimpulannya.

Tapi kesimpulannya itu ternyata kurang tepat. Tadi waktu yang pertama kali adu tenaga, karena kuatir si nona tak sanggup menahan, ia sudah gunakan hanya enam tujuh bagian tenaganya saja. Ia tak mau dibunuh si nona tapi pun tak sampai hati membunuhnya.

Ternyata Hong-ni pun mempunyai pertentangan dalam batinnya. Ia menyakinkan ilmu pukulan Kim-kong-ciang. Kuatir si anak muda tak kuat menerima, ia hanya gunakan dua tiga bagian

tenaganya. Kesudahannya, dia harus menderita tersurut mundur sampai tiga langkah. Kini tahulah ia bahwa tenaga Coh Ping-gwan itu lebih unggul. Maka dalam adu tenaga yang kedua kalinya, ia gunakan sembilan bagian tenaganya. Dan celakanya Coh Ping-gwan tetap masih menggunakan enam tujuh bagian tenaganya. Akibatnya, dialah yang menelan kerugian.

Pertempuran berlangsung dengan makin seru. Berulang kali Coh Ping-gwan berusaha menghindari kekerasan. Tapi lama kelamaan ia terpaksa harus bertempur sungguh-sungguh juga.

Setelah bertanding sampai beberapa jurus, keduanya saling mengagumi kepandaian masing-masing.

”Kepandaiannya ternyata lebih unggul dari aku. Jika aku hendak membalas sakit hati seorang diri, dikuatirkan tak mampu,” diam-diam Hong-ni menimang dalam hati. ”Sayang dia anak dari musuhku!”

Pun Coh Ping-gwan juga mengagumi kepandaian si nona yang walaupun lebih muda 4 tahun

tapi kepandaiannya berimbang. ”Sayang ia berkeras kepala menganggap aku sebagai musuhnya,” ia menghela napas.

U-bun Hong-ni menyerang dengan tenaga penuh.   Ia gunakan taktik kilat sehingga untuk beberapa saat Coh Ping-gwan sibuk sekali. Hanya dapat menangkis tak mampu balas menyerang. Tapi biar bagaimana juga, karena ia lebih unggul kepandaiannya dan lebih banyak pengalamannya, setelah empat lima puluh jurus dapatlah ia mengetahui gerak serangan si nona. Dari berimbang, perlahan-lahan Coh Ping-gwan berbalik menang angin. Dalam suatu serangan, Coh Ping-gwan memapas sembari menutuk jalan darah beng-bun dengan tangan kiri. Ia sudah menduga Hong-ni tentu akan bergerak dalam jurus Kim-cian-to-liap. Dugaannya itu ternyata benar. Sebelum Hong-ni sempat bergerak dalam jurus itu, ia sudah mendahului merubah tabasannya ke atas, sedang kedua jari kirinya menutuk lengan si nona.

”Tring” terdengar benturan tajam dan letikan api. Pedang Hong-ni terbuat dari bahan baja

putih, sedang golok Coh Ping-gwan adalah golok pusaka dari Toh Hok-wi, bekas Suma dari kota Kiu-seng.   Pedang Hong-ni terpapas rombal. Tapi itu hanya kerugian sedikit, yang lebih hebat adalah kerugian yang dideritanya akibat tutukan jari Coh Ping-gwan itu. Seketika tangannya terasa kesemutan. Untung tak tepat kenanya, coba tidak ia tentu tak dapat bergerak lagi.

Coh Ping-gwan susuli lagi dengan sebuah tebasan. Wing, sebuah tusuk kundai kumala di rambut Hong-ni terpapas kutung!

”Maaf, apakah dendama sudah dapat dianggap selesai?” serunya. Ia tak mau menyerang lagi dan berhenti.   Sebenarnya kalau mau, ia dapat mengambil jiwa Hong-ni. Menurut peraturan persilatan, pembebasan itu berarti 'membayar jiwa'. Pihak yang menuntut balas, tak boleh melanjutkan tuntutannya lagi. Tapi jika tetap berkeras hendak membalas, pun boleh. Asal, setelah membunuh musuhnya, ia harus bunuh diri juga.

Wajah Hong-ni pucat lesi. Mundur beberapa langkah langkah, iamenuding dengan pedang

Ceng-kong-kiam: ”Aku sudah bersumpah darah di hadapan makan ayah, sakit hati ayah tak boleh tidak harus diimpas. Ya, sudahlah, setelah membunuhmu akupun hendak bunuh diri!”

Tudingan pedang Hong-ni tadi merupakan komando. Tujuh orang pengikutnya segera mengepung Coh Ping-gwan. Mereka adalah bu-su (ahli silat) dari Sutho dan Hwe-ki. Senjatanya beraneka warna dan posisinyapun berpencaran tujuh tempat. Mereka mulai menyerang.

”Bagus, karena kalian main keroyok, jangan salahkan golokku tak bermata!” teriak Coh Ping-

gwan yang cepat berputar dan menabas seorang busu. Rencananya setelah dapat melukai barang seorang dua orang orang musuh, ia hendak menerobos dari kepungan.

Tetapi di luar dugaan barisan mereka yang disebut Ceng-hoan-su-hiong-tin itu luar biasa

geraknya. Sewaktu ditabas, Bu-su yang bersenjata khik (tombak yang ujungnya memakai sangkur) itu sudah berubah posisinya. Sebagai gantinya dua orang Bu-su tampil menangkis golok Coh Ping- gwan. Mereka bersenjata Ceng-tong-kian dan Lian-cu-jui (bandringan martil) Keduanya termasuk jenis senjata berat. Tenaga mereka kuat sekali, bahkan Bu-su yang bersenjata Lian-cu-jui itu lincah sekali.

Coh Ping-gwan kerahkan tenaga mendesak mundur Bu-su yang bersenjata Ceng-tong-kian, kemudian menangkis Lian-cu-jui. Ia berhasil dapat memapas bandringan sampai terpotong separuh, tapi ia pun rasakan tangannya sakit kesemutan.

Wut, ia putar tubuhnya untuk menghindari tusukan tombak dari lain Bu-su yang menyerang lambung kirinya. ”Lepas!” ia membentak dan secepat kilat, menyambar ujung khik hendak ditariknya tapi dua Bu-su yang masing-masing memegang tombak dan kampak, sudah menyerangnya. Terpaksa Coh Ping-gwan putar goloknya dalam jurus Ya-can-pat-bong. Kapak dan tombak dapat dipentalkan. Karena menangkis itu, ia belum berhasil merebut senjata yang dipegangnya tadi.

Coh Ping-gwan membacok lengan pemegang khik itu tapi sekonyong-konyong sinar pedang berkiblat dan menusuk tangannya. Penyerangnya itu bukan lain ialah U-bun Hong-ni sendiri. Coh Ping-gwan cukup mengetahui kepandaian si nona. Terpaksa ia lepaskan khik dan menangkis serangan pedang, lalu menangkis pula pukulan si nona.

Sebenarnya kepandaian Hong-ni tak terpaut jauh dari Coh Ping-gwan. Dengan dibantu oleh ketujuh Bu-su itu, sudah tentu Coh Ping-gwan keteter. Barisan Ceng-hoan-su-hiong-tin itu menurut formasi Pat-kwa, empat menghadap ke muka dan empat orang dari jurusan samping. Mereka bergerak-gerak silang menyilang. Sedang Hong-ni menempati posisi yang disebut Kian-wi. Dari situ ia dapat memberi bantuan pada saat-saat yang diperlukan. Jelas bagi Coh Ping-gwan, bahwa sukar sekali ia hendak membobolkan barisan itu. Lingkaran kepungan lawan bahkan makin lama makin menyempit. Coh Ping-gwan terpaksa kerahkan seluruh kepandaian untuk bertempur mati-matian.

Barisan Ceng-hoan-su-hiong-tin makin menelenkup kecil. Coh Ping-gwan mainkan golok Gan- leng-tonya dengan jurus-jurus yang berbahaya. Dua pihak sama-sama sukar untuk mengalahkan lawan.

”Tidak bisa menangkap hidup, matipun boleh!” akhirnya Hong-ni berteriak keras. Dengan komando itu ketujuh Bu-su tampak menyerang seru.

Sepasang mata Coh Ping-gwan merah membara memandang Hong-ni. Ia benar-benar heran dan mendongkol terhadap nona yang tak dapat dikasih mengerti itu. Beberapa kali Ping-gwan hendak lancarkan serangan yang dapat menyebabkan hancur bersama, tapi setiap kali ia teringat akan nasib yang sudah sebatang kara dari nona itu, hatinyapun lemas kembali.

Manusia adalah makhluk yang berperasaan. Apalagi Hong-ni seorang wanita. Ia merasa juga kalau dipandang dengan penuh kebencian oleh Ping-gwan. Teringat bagaimana kasih sayang mereka berdua sama-sama bermain di waktu kecil, diam-diam timbul juga kemenyesalan Hong-ni, batinnya: ”Bukan karena aku berhati kejam hendak membunuhmu, tetapi nasiblah yang mengatur kita dalam keadaan begini sehingga ayahmu membunuh ayahku. Ah, aku telah mengikrarkan sumpah di hadapan makam ayahku, bagaimana aku dapat memberi ampun padamu!”

Memang pada waktu mula-mula ia hendak melepaskan pemuda itu, tapi akhirnya ia keraskan hati dan menghindar dari sorot mata Ping-gwan. Ia tetap tak mau memberi hati dan menyerang gencar.

Khik-sia mengetahui jelas keadaan Ping-gwan. Ia harus turun tangan. ”Bwe-moay, tunggu kau di muka sana!” bisiknya.

”Mengapa aku tak boleh membantumu?” tanya Yak-bwe.

”Musuh berjumlah lebih banyak. Aku hendak membantu Coh Ping-gwan keluar dari barisan itu. Sekali-kali tidak memusuhi lawan,” sahut Khik-sia. Maksudnya ia sendiri sudah cukup melepaskan Coh Ping-gwan.

”Kau seorang diri, ini ” masih Yak-bwe menguatirkan diri sang tunangan karena barisan

sedemikian hebatnya.

Khik-sia tersenyum dan menghiburi calon isterinya bahwa ia tentu dapat mengatasi. Karena keadaan mendesak, iapun segera bersuit nyaring dan melayang turun. Sebenarnya kepandaian Khik-sia tak terpaut banyak dengan Coh Ping-gwan. Tapi mengapa ia yakin dapat membobol barisan itu? Inilah disebabkan karena dahulu ia pernah mengalami dikepung barisan Pat-tin-tho oleh kedelapan pengikut Se-kiat dari pulau Hu-song-to, kemudian ditolong oleh Gong-gong-ji.

Barisan Ceng-hoan-su-hiong-tin dari U-bun Hong-ni itupun menurut dasar-dasar dari Pat-bun-seng- khik (delapan pintu mati-hidup). Ada beberapa bagian yang sama dengan Pat-tin-tho. Tapi dalam keindahannya bahkan kalah dengan Pat-tin-tho.

Tadi selama bersembunyi di atas pohon, Khik-sia memperhatikan juga gerak-gerik Ceng-hoan- su-hiong-tin dan mengertilah ia. Dengan bersuit nyaring itu ia hendak menarik perhatian musuh agar dapatlah Yak-bwe menyelinap pergi dengan diam-diam. Dan dengan gerak yang luar biasa cepatnya Khik-sia pun sudah menyusup masuk ke dalam barisan.

Memang serupa dengan pandangan Ping-gwan, pun Khik-sia mengetahui bahwa Bu-su yang bersenjata khik itulah yang paling lemah sendiri. Maka pertama turun tangan, bu-su itulah yang diganyangnya lebih dulu. Begitu cepat Khik-sia bergerak sehingga sebelum kedua Bu-su yang berada di kanan-kirinya sempat menghalangi, tangan Bu-su yang bersenjata khik tadi sudah kena tertusuk pedang Khik-sia. Khik terlempar dari tangannya, kebetulan mencelat ke lain Bu-su yang buru-buru menangkisnya hingga senjata khik itu mencelat ke bawah gunung. Tapi karena menangkis itu, Busu tersebut kena dibacok bahunya oleh golok Coh Ping-gwan dan terbukalah Seng-bun atau pintu hidup. Dua Bu-su segera menyerangnya dari dua samping. Khik-sia deliki mata. Ia kenal kedua Bu-su itu sebagai orang yang mencuri kudanya.

”Kembalikan kudaku atau kuambil jiwamu!” bentak Khik-sia sambil membabat dengan jurus Heng-hun-toan-hong (awan melintang memutus puncak). Cepat sekali gerakan Khik-sia, tring, tring, golok dan kapak dari kedua bu-su itu sudah kena dipapas kutung.

Waktu Khik-sia hendak menusuk jalan darah mereka, tiba-tiba U-bun Hong-ni membacok dari belakang.   Tapi Khik-sia lebih sebat. Ia mendahului berkisar ke posisi 'khun' dan menggasak seorang Bu-su. Jurus itu disebut Kian-gun-ya-wi atau dunia berputar tempat. Gerakan itu telah membuat barisan Ceng-hoan-su-hiong-tin pecah berantakan.

Bu-su yang kena dilanggar Khik-sia sampai jungkir balik itu menutupi jalan bagi Hong-ni yang hendak maju menyerang. Khik-sia mainkan pedangnya dalam jurus Tok-biat-hoa-san atau menabas gunung Hoa-san. Sebenarnya jurus itu adalah permainan golok dan Khik-sia pun memainkan pedangnya sebagai golok, hebatnya bukan kepalang! Sekalipun Hong-ni memiliki tenaga Kim- kong-ciang-lat, namun ia tetap seorang wanita. Sudah tentu dalam hal tenaga kalah dengan Khik- sia. Waktu pedang mereka berbentur, Hong-ni rasakan tangannya sakit sekali. Ternyata telapak tangannya sampai merah.

”Pedang hebat, tenaga hebat! Sambut lagilah ini!” habis memuji si nona, Khik-sia menabasnya lagi.

U-bun Hong-ni tahu kepandaian pemuda ini lebih hebat dari Coh Ping-gwan. Ia tak berani berayal dan curahkan seluruh kepandaiannya menyambuti.

”Toan-heng, harap bermurah hati!” tiba-tiba Coh Ping-gwan meneriakinya.

Ilmu pedang Khik-sia telah mencapai sedemikian rupa hingga dapat dikuasai menurut

sekehendak hatinya. Ia cepat kendalikan tabasannya sehingga ketika beradu, Hong-ni tetap dapat menguasai pedangnya. Tapi secepat itu juga Khik-sia sudah menusuk pergelangan tangan si nona dan membentaknya: ”Lepas!”

Benturan pertama sudah memecahkan telapak tangan Hong-ni, benturan kedua membuatnya hampir tak kuat lagi mencekal pedangnya. Bahwa tahu-tahu ujung pedang lawan mengancam pergelangan tangannya  membuat ia terperanjat sekali. Cepat ia timpukkan pedangnya ke arah Khik-sia, berputar tubuh terus lari.

”Bagus!” mau tak mau Khik-sia memuji juga kelihayan Hong-ni yang dalam saat-saat

berbahaya masih dapat melakukan serangan yang berbahaya. Ia menyambuti pedang dengan tangan kiri.

”Orangmu telah mencuri dua ekor kudaku. Jika menghendaki pedang pusakamu ini, antarkanlah kedua kuda itu ke Liong-gan-ce di gunung Hok-gu-san, kita saling tukar!” teriaknya. Kemudian ia ajak Coh Ping-gwan meneruskan perjalanan.

Ketika berhenti, Hong-ni marah-marah. Dengan membawa sekian banyak orang ke Tiong-goan bukan saja ia gagal mencari balas malah pedang pusakanya kena dirampas seorang pemuda tak terkenal.   ”Kejar!” akhirnya ia memberi komando kepada orangnya. Tapi mana mereka mampu mengejar gin-kang Khik-sia? Khik-sia sengaja minta Coh Ping-gwan lari lebih dahulu, ia sendiri berputar-putar untuk menyesatkan perhatian anak buah Hong-ni.

Setelah memperhitungkan Coh Ping-gwan tentu sudah jauh beberapa li, akhirnya ia baru  berseru mengejek: ”Maaf nona U-bun, aku tak dapat menemani kalian lagi. Dalam sepuluh hari ini kutunggu kedatanganmu di Hok-gu-san. Setiap saat kau boleh datang ke sana dan carilah Toan Khik-sia. Nanti kita saling tukar pedang dengan kuda.” -- Habis mengucap, ia melesat dan menghilang dari pemandangan.

Malam itu gelap gulita. Setelah lari beberapa saat, Khik-sia berteriak memanggil nama Coh Ping-gwan tapi tiada penyahutan. Sebagai jawaban terdengarlah kilat gemuruh memancarkan

cahaya dan menyusul turunlah hujan. Khik-sia cemas hatinya. Coh Ping-gwan yang gin-kangnya cukup tinggi, masih dapat mengatasi jalanan gunung yang licin kena air, tapi bagaimana dengan Yak-bwe?

Ia segera percepat larinya untuk menyusul Yak-bwe. Tiba-tiba di antara kiblat cahaya kilat, samar-samar, ia melihat sesosok bayangan yang dengan cepat sudah menghilang lagi.

”Coh toako, akulah!” teriaknya. Karena gin-kang orang itu hebat, ia kira tentu Coh Ping-gwan. Tapi sampai dua kali ia ulang teriakannya, tetap tiada sambutan apa-apa.

”Eh, apakah mataku lamur? Hm, mungkin seekor kera,” pikirnya. Tiba-tiba terdengar teriakan Yak-bwe: ”Khik-sia, kau? Aku di sini.” Girang sekali Khik-sia.  Ia memburu ke arah suara itu.  Ternyata Yak-bwe meneduh di sebuah lubang dari dua buah batu yang melekat. Lubang itu cukup besar untuk tempat meneduh dua orang. ”Hai, bajumu basah kuyub!” kata si nona, ia minta Khik-sia melepas baju kemudian diperasnya

lalu dijemur di atas batu.

”Apa kau tak melihat Coh Ping-gwan?” tanya Khik-sia.

”Tidak, tetapi aku telah melihat dua orang lagi. Coba terka, siapa?”

”Mendengar ucapanmu, terang mereka itu orang yang sudah kukenalnya,” jawab Khik-sia. ”Bukan saja kenal pun sahabatmu yang karib,” Yak-bwe tertawa, ”mereka sepasang laki perempuan. Yang laki Bo Se-kiat, yang perempuan sahabatmu Su Tiau-ing.”

Khik-sia tersentak kaget: ”Mengapa mereka juga menempuh perjalanan di malam hari? Apakah mereka tak mengetahui kau?”

”Sudah tentu aku berusaha supaya jangan diketahui mereka. Ah, memang berbahaya sekali. Mereka melalui di sisi tempat ini. Jika mereka mempunyai pikiran hendak meneduh di bawah lubang batu ini, aku tentu jatuh ke tangan mereka.”

”Begini gelap, bagaimana kau tahu mereka?” tanya Khik-sia.

”Kudengar perempuan siluman itu menjerit karena hampir tergelincir. Ia meneriaki Se-kiat.” Khik-sia menduga bayangan yang dilihatnya tadi tentu Se-kiat. Tapi mengapa hanya seorang diri? Kemana Su Tiau-ing?

”Eh, Khik-sia, mengapa kau menghunus pedang?” tegur Yak-bwe.

”Coba lihatlah, bagus tidak pedang ini.” Khik-sia memberikan pedang dari Hong-ni itu kepada bakal isterinya. Karena pedang itu tak ada sarungnya, terpaksa Khik-sia mencekalnya saja.

Tring, pedang itu mendering tajam ketika jari Yak-bwe menjentiknya. Dan ketika dipapaskan

ke batu, batu itupun rompal. Yak-bwe memuji-muji pedang itu dan menanyakan dari mana Khik-sia memperolehnya. Khik-sia segera menuturkan pertempuran tadi. Sambil memain-mainkan pedang itu, Yak-bwe berkata: ”Pedang dan kuda sama-sama kusayang. Kalau nona itu tak mau menukarkan kuda, ya, biarlah.”

”Sebelum diambil yang punya, kau boleh menggunakan pedang itu. Kuda kita itu pemberian Cin Siang, kita harus mengambilnya kembali. Jika kuatir tak punya pedang pusaka, pakailah pedangku ini,” kata Khik-sia.

”Ai, aku hanya berkata iseng saja, mengapa kau masukkan di hati? Pedang yang kau pakai atau aku, toh sama saja.  Khik-sia, kita toh takkan berpisah lagi, milikmu adalah milikku juga.” Bahagia sekali hati Khik-sia mendengar ucapan itu: ”Ya, nanti kalau berjumpa dengan Thiat toako, akan kuminta supaya dia mengurus pernikahan kita. Biar tiap hari aku mendampingi kau.” ”Fui, hendak kemana kau? Apakah kalau tak menikah tak boleh berkumpul dan harus berpisah?”

Demikian kedua tunangan itu bercakap-cakap dengan gembira sehingga tahu-tahu hujanpun berhenti.   Ternyata sudah terang tanah. Khik-sia ajak tunangannya berangkat lagi. Ia masih memikirkan Coh Ping-gwan tapi Yak-bwe menyatakan Coh Ping-gwan itu lebih tua dari Khik-sia, pikirannyapun lebih matang. Tentu dapat membawa dirinya tak sampai ada apa-apa lagi.

Khik-sia mengetahui kepandaian Coh Ping-gwan itu tak di bawahnya. Andaikata kesampokan dengan Bo Se-kiat, pun masih dapat melarikan diri. Begitulah mereka segera arahkan langkahnya menuju ke Hok-gu-san.

Sekarang mari kita ikuti jejak Coh Ping-gwan. Setelah berlari beberapa lama, ia dapatkan Khik-

sia belum menyusul dan hujanpun turun. Ia terkenang peristiwa lima belas tahun yang lalu, dimana pada malam gelap dan turun hujan seperti saat itu, ia bersama ayahnya meloloskan diri dari serangan musuh. Ia mendongkol terhadap Hong-ni yang setelah dewasa malah berubah perangainya menjadi seorang nona yang keras kepala.

Coh Ping-gwan basah kuyub pakaiannya, ketika ia hendak mencari tempat meneduh sekonyong-konyong sesosok tubuh muncul di sebelah mukanya. Buru-buru Coh Ping-gwan menegurnya: ”Apakah Toan-heng itu?”

Sebagai penyahutan bayangan itu maju menusuk dengan pedang. Coh Ping-gwan terperanjat. Cepat ia menghindar, namun tak urung ujung bajunya kena tertusuk juga. Kini baru diketahuinya bahwa yang datang itu adalah Ceng-ceng-ji. Pedang yang dibuat menusuknya itu justeru pedang Kim-ceng-toan-kiam kepunyaan keluarga  Coh.   Dahulu pedang itu dicuri Gong-gong-ji dan diberikan kepada Ceng-ceng-ji. Adalah karena hendak mencari pedang peninggalan keluarganya itu sampai Coh Ping-gwan bertempur dengan Gong-gong-ji. Tapi kesudahannya mereka menjadi sahabat.

”Bagus, kiranya kau kunyuk tua! Cis, tak tahu malu. Aku justeru hendak mencari kau untuk membikin perhitungan!” amarah Coh Ping-gwan meluap demi melihat pedangnya.

Ceng-ceng-ji tertawa mengejek: ”Benar, memang kudengar kau hendak mencari aku maka aku sengaja menemui kau agar kau tak perlu pergi kemana-mana.”

Ia menutup kata-katanya dengan sebuah tabasan. Tapi Coh Ping-gwan sudah bersiap. Setelah menghindar, ia lantas mencabut golok Gan-leng-to dan balas membacok. Trang, senjata beradu dan orangnya masing-masing tersurut tiga langkah.

”Kunyuk yang tak punya malu, kau berani memakai pedang curian untuk menyerang yang empunya!”

”Apa itu sih yang disebut pemilik? Hanya orang yang mempunyai kepandaian layak memakainya. Terang keluargamu tak becus menjaga hingga dapat dicuri suhengku Gong-gong-ji. Mengapa kau mempersalahkan aku? Bukankah pedang ini sebenarnya milik dari Toh Hok-wi? 

Baiklah, jika kau hendak meminta kembali pedang ini, silahkan kalau mampu!”

Mereka bertanya jawab sambil serang menyerang.  Dalam bicara itu mereka sudah bertemput tiga empat puluh jurus. Permainan pedang Ceng-ceng-ji cepat dan lincah, selalu mendahului menyerang. Permainan golok Coh Ping-gwan tenang dan mantap. Meskipun gin-kangnya sedikit

kalah dengan lawan tapi tak mengakibatkan apa-apa. Dia menang tenaga dan napas karena lebih muda usianya. Maka betapa Ceng-ceng-ji ngotot hendak menyerangnya, tetap dapat ditangkis Coh Ping-gwan.

Sekonyong-konyong Ceng-ceng-ji berputar tubuh dan lari sambil melambaikan tangannya: ”Mari, mari, kita cari tempat yang lebih luas. Apa kau berani ikut aku?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar