Postingan

 
Jilid 14

Sebaliknya Se-kiat tak marah malah tertawa geli: ”Oh, kiranya nona Kay sudah menjadi permaisuri? Kiong-hi, kiong-hi! Kay toako, jangan sampai melukai adikmu, ya!”

”Baiklah, bengcu, aku hanya akan meringkus budak yang tak tahu adat ini,” sahut Thian-hau. Memang kepandaian Thian-hau lebih tinggi daripada adiknya. Tapi jika hendak meringkusnya, bukanlah semudah seperti apa yang diucapkan.

”Aku tak takut padanya! Dinda Thian-sian, jangan kuatir. Setelah kuberesi bengcu ini, aku tentu membantumu!” teriak Tomulun.

”Kau mau memberesi aku? Ah, tak mudah, kawan!” Se-kiat tertawa gelak-gelak. Pada saat itu

ia sudah menemukan siasat untuk menawan Tomulun. Ketika Tomulun menusuk sekuat-kuatnya, Se-kiat lekatkan ujung pedangnya ke tombak, terus menariknya pelahan-lahan. Seperti disedot magnit, Tomulun menjorok ke muka dan hampir saja terjerembab. Buru-buru ia perbaiki kuda-kuda kakinya. ”Kau gunakan ilmu apa itu? Aku tak pernah melihat ilmu semacam itu!”

”Justeru aku hendak mempertunjukkan ilmu itu supaya matamu terbuka,” sahut Se-kiat.

Dengan siasat menindas kekuatan lawan, walaupun Tomulun menusuk kalang-kabut, tetapi tetap tak mengenai. Dan karena mengobral tenaga, putera raja Ki itu kehabisan tenaga dan mandi keringat.

Itulah saat yang dinanti-nantikan Se-kiat. Beberapa jenak kemudian, napas Tomulun pun tersengal-sengal hampir putus dan tampaknya ia tak dapat bertahan lagi. Sekonyong-konyong

muncul seorang pemuda dan seorang pemudi terus menyerang maju. Mereka bukan lain In-nio dan Bik-hu. Karena Bik-hu mengenakan pakaian thaubak dan In-nio memakai pakaian anak buah Tiau- ing, maka anak buah Se-kiat mengira kedua pemuda itu sebagai kawannya sendiri dan dibiarkan saja.

Mendengar belakangnya disambar angin senjata, Se-kiat mengisar tubuh dan terhindar dari serangan Bik-hu. Namun pedang Se-kiat itu tetap melekat pada batang tombak Tomulun. Kehabisan napas dan ditindas dengan lwekang Se-kiat, Tomulun rasakan tombaknya itu berat sekali. Hampir saja ia tak kuat mengikuti dibawa berputar dua kali oleh Se-kiat.

Melihat putera raja Ki itu sudah tak kuat mempertahankan tombaknya lagi, In-nio cepat gunakan jurus kim-ciam-to-kiap. Trang, ia berhasil mencongkel pedang Se-kiat terlepas dari tombak.

Timulun seperti terlepas dari beban berat. Namun walaupun napas tersengal-sengal ia tak mau mundur. In-nio segera membentaknya: ”Ai, cici Kay kewalahan melawan engkohnya, mengapa kau tak membantunya.”

”Orang she Bo, hari ini pertempuran kita belum selesai, lain hari kita sambung lagi!” seru anak raja itu. Memang ia mengerti bahwa kepandaian Se-kiat lebih unggul tetapi tak tahu ia dimana

letak keistimewaan dari kepandaian lawannya. Oleh karena itu walaupun terdesak, ia tetap pantang menyerah.

Sambil lintangkan pedang di dada, Se-kiat menghela napas: ”In-nio, apakah kita tak dapat menghindari pertempuran?”

”Terserah padamu.   Pui sute, mari kita pergi,” In-nio mengajak Bik-hu. Sikap In-nio itu menandaskan, jika tak diserang, iapun tak mau menyerang orang. Asal Se-kiat tak mengganggu, iapun akan pergi tanpak banyak rewel.

”Se-kiat, jangan lupa ia anak perempuan Sip Hong!” teriak Tiau-ing.

Timbul pikiran Se-kiat: ”Jika saat ini In-nio bebas, lain hari Sip Hong tentu menyerbu kemari

dan aku terpaksa harus angkat senjata. Ai, kalau sampai bertempur dengan tentara negeri tentu kesulitan makin besar.”

Dengan pemikiran itu, Se-kiat lari mengejar lagi.

Walaupun pasukan Tomulun sudah bergabung dengan pasukan wanita dari Kay Thian-sian, tetapi tetap masih kalah banyak dengan anak buah Se-kiat. Memang tak sedikit rintangan yang diberikan oleh pasukan wanita, tetapi dalam waktu singkat Se-kiat berhasil juga mengejar In-nio dan Bik-hu. Dengan jurus pek-hong-koan-jit (bianglala menutup matahari) tampaknya Se-kiat menusuk In-nio, tapi di tengah jalan tiba-tiba dibelokkan arahnya untuk menyerang Bik-hu. Tring, Bik-hu berusaha menangkis, tapi begitu berbentur, pedangnya kena dilekat oleh pedang Se-kiat. Dan begitu Se-kiat menyingkirkan pedang Bik-hu ke samping, tangan kirinya segera menyambar tulang pundak anak muda itu.

In-nio cepat-cepat kiblatkan pedang. Sekaligus ia lancarkan beberapa jurus serangan yang indah: giok-li-tho-soh, biau-ciat-lian-hoan, toa-bok-ko-yan dan tiang-ho-lok-jit. Se-kiat terpaksa lepaskan Bik-hu untuk menghalau serangan In-nio. Diam-diam Se-kiat iri hati dan cemburu melihat In-nio bertempur bahu membahu dengan Bik-hu. Pikirnya dengan gemas: ”Huh, karena kau melindungi budak itu, terpaksa kaupun takkan kulepaskan.”

Dengan lwekang istimewa, ia menabas pedang In-nio dan Bik-hu. Setelah pedang mereka tersisih, ia gentakkan ujung pedang untuk menusuk pundak si nona.

Bik-hu menggembor keras. Dengan jurus tok-biat-hoa-san (membelah gunung Hoa-san), ia gunakan pedang seperti orang menggunakan golok untuk membacok kepala Se-kiat. Ilmu permainan ini, adalah ciptaan dari suhengnya, Thiat-mo-lek. Dahsyatnya bukan kepalang.

Benar kepandaian Se-kiat lebih tinggi dari lawan, tetapi tetap ia tak berani menyepelekan. Terpaksa ia lepaskan In-nio untuk menyambut pedang Bik-hu. Se-kiat salurkan lwekang ke ujung pedangnya, dengan gerak ya-ja-tham-hay, ia lilit-balikkan pedang lawan supaya hilang kedahsyatannya. Dengan cara itu, berhasillah dia memecahkan permainan tok-biat-hoa-san.

Se-kiat tak mau kepalang tanggung. Selagi tubuh lawan masih groggy  (sempoyongan), ia hendak menusuk ke jalan darahnya. Tetapi lagi-lagi In-nio sudah menyerangnya. Melihat In-nio dan Bik-hu saling tolong, cemburu Se-kiat makin besar. Cemburu itu berubah menjadi kebencian. Ia kepingin sekali tabas dapat membinasakan Bik-hu, kemudian menawan In-nio hidup-hidup.

Maka permainan pedangnyapun makin gencar.

Karena Bik-hu dan In-nio tunggal seperguruan maka walaupun tak berjanji lebih dulu, mereka dapat juga isi mengisi, saling menolong pihak yang terancam bahaya. Mereka dapat bermain dengan serasi sekali. Bik-hu dengan ilmu pedang gaya keras, menangkis serangan Se-kiat dari sebelah muka. Sedang In-nio dengan ilmu pedang tangkas dan gemulai, menyerang lawan dari

samping. Betapa Se-kiat hendak bermain keras, namun tak dapat berbuat apa-apa terhadap mereka. Saat itu Tiau-ing pun datang dengan berkuda: ”Sip toasiocia, apakah aku lambat melayanimu?

Mengapa kau begini buru-buru pergi? Aku hendak mengundang kau minum arak perkawinan!” ”Wut,” ia lontarkan sebuah jaring yang disebut Kim-hun-to (kantong awan emas). Terbuat daripada kawat baja halus dan dipasangi dengan kait yang banyak sekali. Jaring itu mempunyai daya guna istimewa untuk menangkap orang.

Bik-hu dan In-nio terperanjat. Mereka tengah terlibat dalam serangan pedang Se-kiat. Kalau menangkis senjata jaring tentu akan termakan pedang Se-kiat. Tetapi kalau melayani Se-kiat tentu akan terjaring.   Dalam saat-saat yang berbahaya itu, tiba-tiba In-nio mendapat akal. Ia bersuit keras. Sekonyong-konyong kuda yang dinaiki Tiau-ing itu melonjak ke atas terus mencongklang ke muka. Karena tak keburu memegang kendali, Tiau-ing terlempat jatuh.

Ternyata kuda itu adalah kuda In-nio pemberian dari Cin Siang. Waktu Se-kiat merampas kedua kuda Bik-hu dan In-nio, yang satu diberikan pada Tiau-ing, dan yang satu diberikan pada Shin Ci- koh. Tetapi karena kuda yang dipakai Shin Ci-koh terluka, maka ditinggal di kandang kuda. Dan celakanya, baru pertama kali itulah Tiau-ing menaiki kuda tersebut. Kuda yang sudah terlatih baik itu, begitu mendengar suitan In-nio segera lemparkan Tiau-ing dan lari menghampiri In-nio.

”Sute, lekas naik kuda!” teriak In-nio dengan girang. Waktu Bik-hu menangkis serangan Se-

kiat, In-nio pun sudah mencemplak kuda dan menerjang Se-kiat. Pada saat Se-kiat menghindar ke samping, Bik-hu cepat-cepat loncat ke atas kuda.

Kopiah dan pakaian temantennya rusak kumal, membuat Tiau-ing marah sekali. Ia ganti kuda dan lari mengejar. In-nio duduk beradu punggung dengan Bik-hu. In-nio yang menghadap ke

muka memegang kendali. Bik-hu yang menghadap ke belakang menolak serangan musuh. Tetapi meski kuda sakti, karena dinaiki dua orang dan dikepung musuh, maka jalannya pun lambat. Dalam waktu singkat dapat dikejar Tiau-ing. Segera nona itu menusuk Bik-hu dengan tombak. Bertempur di atas kuda, memang lebih leluasa menggunakan senjata panjang. Pedang Bik-hu hanya kurang lebih satu meter panjangnya hingga sukar untuk menusuk Tiau-ing. Kebalikannya tombak Tiau-ing panjangnya dua tombak, dapat dibuat menusuk orang maupun kuda Bik-hu.

Setelah beberapa gebrak, Bik-hu tak mampu menjaga kudanya. Untung yang tertusuk bagian kendalinya.

”Kurang ajar, biar kutangkap wanita siluman itu. Suci, tunggulah aku di muka!” Bik-hu gusar

sekali. Dan menggunakan kesempatan selagi Tiau-ing belum sempat mencabut tombaknya, Bik-hu sudah enjot tubuhnya melayang ke kuda Tiau-ing. Sudah tentu Tiau-ing terkejut sekali dan cepat- cepat sapukan tombaknya.

”Turun!” bentak Bik-hu yang setelah berhasil mencengkeram tombak Tiau-ing terus didorong

ke muka. Krak, tombak patah menjadi dua dan Tiau-ing terpelanting jatuh. Tetapi ia pandai sekali naik kuda. Dalam jatuhnya ia masih dapat kaitkan ujung sepatunya pada kendali. Ketika tubuhnya menggelantung ke bawah ia sudah mencabut pedang pendek. Begitu ia geliatkan tubuhnya ke atas, ia memegang kendali dan membabat jari Bik-hu.

Kalau saat itu Bik-hu mau timpukkan pedangnya, Tiau-ing pasti amblas jiwanya. Tapi ia bermaksud hendak menawan Tiau-ing untuk dijadikan barang tanggungan. Maka ia gunakan ilmu gong-chiu-jip-peh-jiu (merebut senjata) untuk merampas pedang Tiau-ing. Karena tubuh Tiau-ing masih belum sempat duduk, dalam beberapa gerakan saja, pedangnya kena dibikin jatuh Bik-hu. Bik-hu meneruskan gerakannya untuk menangkap lawan, tapi tiba-tiba ia merasa ada pedang menyambar, kalau tak lekas menarik pulang tangannya, tentu akan terpapas kutung. Cepat ia lengkungkan tubuh untuk menghindar.

Kiranya yang menyerang itu adalah Se-kiat. Ia pun juga sudah tukar kuda dan tepat pada saatnya dapat menolong Tiau-ing. Ketika Bik-hu menghindar, Se-kiat sudah meraih Tiau-ing untuk dipindahkan ke atas kudanya. Satu-satunya keuntungan yang diperoleh Bik-hu ialah dapat menggondol pergi kuda Tiau-ing.

Beberapa kali menderita kekalahan, membuat Tiau-ing marah besar: ”Jika kedua orang itu tak ditawan, aku belum puas!” ia uring-uringan dan mendesak Se-kiat supaya mengejar.

Sekonyong-konyong seorang opsir berpangkat Ki-pay-koan mencongklang tiba dan melapor: ”Raja Yan-ong sudah menerobos keluar lembah!”

Yan-ong adalah Su Tiau-gi. Menggunakan kesempatan dimana pasukan Tomulun dan Kay Thian-sian mengamuk tentara musuh (Se-kiat), Tiau-gi pimpin pasukan berkuda yang setia kepadanya untukmembuka jalan darah dan berhasil keluar dari kepungan.

”Tiau-ing, lekas pimpin pasukanmu wanita menggabung dengan barisan depan. Tangkap engkohmu. Kedua orang itu, serahkan saja padaku!” Se-kiat terkejut.

Sebenarnya Tiau-ing kesal sekali kepada In-nio dan Bik-hu. Tetapi karena hubungannya dengan Tiau-gi sudah putus, ia lebih memberatkan engkohnya daripada In-nio. Memang, jika dibandingkan dengan In-nio dan Bik-hu, Tiau-gi itu lebih merupakan musuh besar bagi Tiau-ing. Melepas In-nio dan Bik-hu, paling-paling akibatnya hanya akan berhadapan dengan tentara negeri. Tetapi jika Tiau-gi sampai lepas, bahayanya di kemudian hari lebih besar.

Terpaksa Tiau-ing tahan kemengkalan hatinya dan menurut perintah Se-kiat. Setelah berganti dengan lain kuda, ia segera mengejar engkohnya.

Saat itu In-nio tengah dikepung oleh sepasukan berkuda. Bik-hu pun sedang mati-matian menerobos keluar. Keduanya belum dapat bergabung. Se-kiat menimang tindakannya: ”Walaupun anak she Pui itu menjemukan, tapi In-nio lebih penting,” pikirnya. Sekalipun begitu, ia sulit melaksanakan. Ia tak mau melukai In-nio tapipun tak dapat melepaskan nona itu. Namun tetap ia congklangkan kudanya ke tempat In-nio.

Sekonyong-konyong terdengar sebuah suitan panjang.  Datangnya dari gunung di sebelah belakang. Begitu nyaring suitan itu. Genderang dan gemerincing senjata di medan pertempuran tak dapat menyirap kumandang suitan itu. Anehnya walaupun nadanya keras tapi agak getar.

Se-kiat kerutkan dahi.  Ia tahu suitan itu dari Shin Ci-koh.  Dan sebagai seorang ahli lwekang, cepat ia mengetahui bahwa Shin Ci-koh menderita luka dalam. Untung tak berapa berat. Memang Se-kiat sudah mengetahui tentang gerakan anak murid Leng-ciu-pay (di bawah pimpinan Ceng- bing-cu) mencari balas pada Shin Ci-koh. Bahkan dengan Ceng-cing-cu, Se-kiat ada perjanjian juga. Selama Ceng-bing-cu tak mengganggu usik pada gerakan Se-kiat, Se-kiat pun tak mengganggu usik pada gerakan Se-kiat. Kini Shin Ci-koh memberi tanda suitan untuk meminta bantuan muridnya (Tiau-ing). Tetapi Tiau-ing sudah pergi mengejar engkohnya jadi tak mendengar tanda suitan itu.

”Shin Ci-koh sombong sekali. Jika masih dapat bertahan, mana ia mau minta bantuan. Bagaimanapun ia adalah suhu Tiau-ing. Jika tak kukirim orang menolongnya, kalau sampai kejadian apa-apa, bukankah aku tak enak pada Tiau-ing? Apalagi Shin Ci-koh itu pernah membantu padaku,” pikir Se-kiat.

”Urusan di sini menyangkut ketentuan berhasil atau gagalnya gerakanku. Aku tak boleh tinggalkan tempat ini.  Satu-satunya orang yang dapat kukirim kesana adalah Kay Thian-hau. Tetapi jika kukirim ia kesana, tentu dapat mempengaruhi jalannya pertempuran di sini. Ah, sudahlah, sudah. Memang sedianya aku sudah tak mau ikut campur. Biarkan ia (Shin Ci-koh) mati atau hidup, aku tak peduli. Pun aku tak usah bentrok dengan kaum Leng-ciu-pay. Tentang Tiau-

ing, karena ia sudah sehati dengan aku, masakan ia dapat mempersalahkan aku?” pada lain saat ia bantah sendiri pikirannya tadi.

Setelah mengambil keputusan, ia pun lantas keprak kudanya mengejar In-nio. ”In-nio, percuma kau melawan. Lebih baik kau kembali lagi. Asal kau lepaskan pedangmu, akupun tak nanti menyusahkan kau,” teriaknya.

Sebagai jawaban In-nio membabat dua orang liaulo (anak buah) Se-kiat. Ia tertawa mengejek: ”Bo Se-kiat, aku lebih suka mati di bawah pedangmu daripada menyerah!”

Se-kiat menghela napas:” In-nio, tak nyana kita akan saling berhadapan sebagai musuh!”

Habis berkata Se-kiat lantas putar pedangnya. Selagi In-nio hendak menangkis, tiba-tiba datang dua penunggang kuda yang memegat Se-kiat. Ai, kedua orang itu bukan lain adalah Tomulun dan kekasihnya si nona 'manis' Kay Thian-sian. Setelah mengalahkan Thian-hau, mereka buru-buru menolong In-nio. Tomulun luar biasa tenaganya. Sekali putar tombaknya, pengepung-pengepung In-nio itu menjadi kocar-kacir.

”Bagus, aku memang justeru hendak menangkap kau!” teriak Se-kiat.

”Elok, elok, aku memang hendak mengadu kejantanan dengan kau!” Tomulun balas berteriak dan malah sudah mendahului menusuk dengan jurus kiau-liong-no-hay (naga mengaduk lautan). Se-kiat menangkis dengan jurus in-hou-kui-san atau memancing harimau tinggalkan gunung.

Walaupun dapat menghapus tenaga kedasyhatan lawan, namun tak urung tangannya sakit juga.

Bertempur naik kuda, jauh bedanya dengan di atas tanah. Banyak sekali ilmu pukulan yang

indah-indah tak dapat digunakan. Sebaliknya Tomulun mendapat keuntungan dari tenaganya yang besar. Meskipun ia tetap tak dapat mengalahkan lawan, tetapi Se-kiatpun tak mudah mengalahkannya.

”Cici Sip, lekas pergi. Bo Se-kiat seorang yang tak kenal kasih tak punya budi, jangan hiraukan lagi padanya!” teriak Kay Thian-sian.

Waktu melihat Tomulun masih dapat bertahan, legalah hati In-nio. Tapi ia cemas ketika melihat Bik-hu senin-kemis napasnya menerjang kepungan musuh. Setelah mempertimbangkan bahwa Thian-sian dan Tomulun dapat menghadapi Se-kiat, ia segera berseru: ”Terima kasih, cici Kay.

Sampai berjumpa lagi lain hari.” -- Ia segera keprak kudanya menerjang ke arah Bik-hu.

Benar juga Se-kiat dapat lepaskan diri dari libatan Tomulun. Ia hanya melongo saja melihat In- nio menuju ke tempat Bik-hu. Marahlah ia, serunya: ”Kay toako, suruh Yau-kau-chiu (pasukan kait) menangkap nona itu, tetapi jangan sampai melukai.”

Ia gunakan lwekang Coan-im-jip-bi memberi perintah. Tiada seorang pun yang mendengar kecuali Kay Thian-hau seorang.

Ketika In-nio menerjang, kebetulan ia berpapasan dengan pasukan kait. Untung kudanya itu sudah terlatih baik, sehingga dapat menghindarkan diri dari serangan pasukan itu. Dengan susah payah ia dapat meloloskan diri.

”Koko, apa kau tak kenal pada nona Sip? Bo Se-kiat itu manusia tanpa budi buta kasih. Dia mensia-siakan nona Sip. Mengapa kau membelanya mati-matian. Jika kau tak melepaskan nona Sip, jangan salahkan aku sebagai adik berbalik muka padamu?” teriak Thian-sian. Pasukan wanitanya, walaupun jumlahnya kecil, tetapi persenjataannya lengkap, masing-masing membawa golok bian-to yang tipis. Mereka merupakan bujang-bujang kepercayaan Thian-sian.

Begitu menyerang, pertempuran dengan pasukan kait segera pecah. Pasukan wanita itu berlindung dengan perisai rotan dan membabat kait musuh dengan goloknya yang tajam. Engkoh dan adik kembali bertempur.

Pasukan Tomulun digabung dengan pasukan Thian-sian paling banyak hanya lima enam ribu jumlahnya. Sedang anak buah Se-kiat ditambah dengan taklukan pasukan Su Tiau-gi jumlahnya lebih dari lima enam puluh ribu orang. Jadi sepuluh kali lipat dari anak buah Tomulun – Thian-sian. Se-kiat segera memecah barisannya menjadi empat pasukan. Sayap kiri mengacip, sayap kanan menerjang. Dalam beberapa kejap saja, pasukan Tomulun dan pasukan wanita Thian-sian menjadi tercerai. Satu sama lain tak dapat memberi bantuan.

Pada saat Tomulun sudah tak sanggup melawan lagi, sekonyong-konyong terdengar suara genderang berbunyi dan serangan musuh. Debu mengepul tinggi, panji-panji berkibaran. Ribuan pasukan, menerjang ke dalam medan pertempuran. Kiranya raja suku Ki telah memimpin pasukannya menyerang. Memang raja pribumi itu sebenarnya tak puas dengan tindakan Se-kiat yang sebagai tetamu berani menghina tuan rumah. Demi mendengar puteranya (Tomulun) dikepung, marahlah raja itu. Segera ia kerahkan pasukan untuk menolong puteranya dan sekalian untuk mengenyahkan Se-kiat dari negeri situ.

Anak pasukan Raja Ki itu memang garang, apalagi mereka kenal baik dengan keadaan

setempat. Begitu menerjang, mereka segerap pecah diri menyerang kemana-mana. Setiap tempat yang didatangi, pasukan Se-kiat tentu kocar-kacir. Tentara taklukan dari Su Tiau-gi, sebenarnya tiada punya nafsu berperang. Kesempatan itu digunakan mereka untuk lempar senjata dan berebutan melarikan diri.

Melihat ayahnya datang, hati Tomulun besar lagi. Diapun lantas memutar tombaknya membuka jalan darah untuk menggabung diri dengan pasukan ayahnya.

Sebenarnya Se-kiat ingin menghindari jangan sampai bentrok dengan raja Ki. Tetapi dalam keadaan seperti itu, ia tak sempat lagi memberi penjelasan secara damai. Pada lain kejab, pasukan raja Ki yang menyerang dari luar, dapat menggabung diri dengan Tomulun yang menerjang dari dalam. Rencana Se-kiat untuk menawan Tomulun hidup-hidup, menjadi buyar.

Marahlah Se-kiat. Direbutnya bendera dari tangan seorang anak buah.  Ia sendiri yang memegang pucuk komando. Anak buahnya menjadi inti pasukan, dan tentara taklukan Su Tiau-gi menjadi pasukan bantuan. Ia susun barisan kuat untuk menahan terjangan musuh. Walaupun mereka terdiri dari kawanan liau-lo (anak buah penyamun) tapi mereka cukup terlatih dalam peperangan. Di bawah komando Se-kiat yang pandai ilmu perang, mereka menjadi benteng pertahanan yang kokoh juga.

Anak pasukan suku Ki, biasa dilatih perang secara individu (perseorangan). Seorang tentara suku Ki dapat menghdapi dua orang anak buah Se-kiat. Tetapi pasukan Ki itu tak mengerti cara

mengatur barisan untuk menyerang atau bertahan. Setelah disusun Se-kiat seratus anak buahnya saja cukup kuat untuk menahan serangan tiga ratus tentara Ki. Hanya sayang tentara taklukan dari Su Taiu-gi itu sudah pecah nyalinya. Se-kiat tak dapat lagi mengendalikan mereka. Maka sekalipun situasi agak mendingan, Se-kiat tak mampu balas melakukan offensif (serangan), karena ia hanya mengandal inti pasukan bekas liau-lo tadi. Pertempuran menjadi berimbang.

Tiba-tiba Se-kait mengambil putusan untuk tinggalkan daerah Tho-ko-poh. Begitulah ia segera memberi komando untuk menerjang kepungan musuh. Pertempuran dahsyat segera terjadi lagi. In-nio dengan mengandalkan kelincahan kudanya, dapat leluasa mencari jalan keluar. Tetapi dalam medan pertempuran yang sedemikian kacaunya itu, tak mungkin ia dapat mencari Bik-hu. ”Ilmu kepandaian Pui sute lebih tinggi dari aku, Se-kiatpun tiada sempat lagi menangkapnya.

Kupercaya ia tentu dapat lolos dari kepungan,” pikir In-nio.

Anak pasukan Se-kiat berhasil membobol sebuah ujung tembok kota.  In-nio cepat keprak kudanya untuk menerobos keluar mendahului pasukan Se-kiat. Tetapi di sebelah muka masih ada pasukan wanita Tiau-ing yang tengah mengejar Su Tiau-gi. Saat itu In-nio sudah capek sekali. Ia tak mau bertempur dengan Tiau-ing lagi. Ia belokkan kudanya menyusur jalan kecil di pegunungan. Berkat kudanya yang lihay, tak berapa lama ia berhasil tinggalkan pasukan Se-kiat jauh di belakang.

Hutan yang sunyi, matahari yang menjelang silam dengan sinarnya keemas-emasan, menghidangkan suatu pemandangan yang sejuk nyaman. Jauh sekali bedanya suasana di medan pertempuran yang menyeramkan. In-nio merasa seperti habis mengalami sebuah impian ngeri. 

Dari atas gunung memandang ke bawah, daerah Tho-ko-poh masih sayup-sayup kelihatan tapi suara genderang sudah tiada kedengaran lagi. Bau amis yang terbawa oleh kesiur angin, masih terasa sepoi-sepoi. Dari situ dapat dibayangkan betapa dahsyatnya pertempuran itu.

In-nio menghela napas. Teringat akan pengalamannya selama beberapa hari ini, hatinya merasa kecewa. Dari sikap Se-kiat yang lupa budi tinggalkan kecintaan sampai pada sikap Bik-hu yang tulus ikhlas mengunjukkan rasa cinta dalam caranya sendiri. Benar-benar kedua anak muda itu seperti bumi dan langit bedanya. In-nio pilu tetapi dalam kepiluannya itu ia mendapat getaran bahagia juga.

”Entah apakah Pui sute dapat lolos dari bahaya? Dan setelah lolos, kapankah kita dapat berjumpa lagi?” In-nio bertanya-tanya dalam hati.  Selagi ia terbenam dalam pelbagai kenangan suka duka, sekonyong-konyong terdengar derap kaki kuda mencongklang keras. Dari larinya, tahulah In-nio kuda itu tentu bukan kuda sembarangan.

”Apakah Pui sute?” In-nio terkejut dan berpaling. Dan kejutnya makin besar demi kuda yang mencongklang itu kuda putih Ciau-ya-say-cu kepunyaan Bik-hu. Tetapi penunggan bukan Bik-hu melainkan seorang wanita yang rambutnya terurai masai dan tubuhnya berlumuran darah.

Tanpa diperintah lagi, karena melihat kawannya datang, kuda In-nio itu lantas lari menyambut. Kini In-ni makin jelas bahwa yang datang itu bukan lain adalah Bu-ceng-kiam Shin Ci-koh!

Kalau In-nio terkejut, Shin Ci-koh pun tak kurang kagetnya. Tetapi belum saling berhadapan, Shin Ci-koh sudah jatuh dari kudanya.

Kiranya ia habis bertempur mati-matian dengan orang Leng-ciu-pay. Kaum Leng-ciu-pay mahir menggunakan racun. Betapa tinggi lwekang Shin Ci-koh, namun karena pertempuran berjalan lama, iapun tak kuat terus menerus menutup pernapasannya. Meski dapat membunuh enam belas orang, tapi iapun menyedot beberapa tok-hun (puder racun) yang ditebarkan orang Leng-ciu-pay.

Shin Ci-koh coba kerahkan lwekang untuk menolak racun, tapi dikarenakan ia harus melawan serangan musuh, akhirnya ia terluka berat. Mati-matian ia membuka jalan darah. Berkat kuda Ciau-ya-say-cu kepunyaan Bik-hu yang dirampas Se-kiat kemudian diberikan padanya, barulah ia dapat lolos dari kepungan musuh. Kuatir di jalan besar kesampokan musuh, serupa halnya dengan In-nio, iapun mengambil jalan hutan. Dan secara kebetulan, ia berpapasan dengan In-nio.

Shin Ci-koh kehabisan tenaga dan lukanyapun belum keburu dibalut. Melihat In-nio, ia terkejut sekali dan spontan lemah lunglailah persendiannya. Sampai mencekal tali kendali saja ia tak kuat. Ia jatuh ngelupruk di tanah.

”Baik, kalau mau menuntut balas, silahkan! Aku lebih suka mati di tanganmu daripada dihina Ceng-bing-cu!” wanita itu deliki mata dan menghela napas.

In-nio terkseiap. Buru-buru ia turun dari kudanya dan mengangkat Shin Ci-koh. ”Mengapa kau tak bunuh aku?” teriak wanita itu dengan napas tersengal-sengal.

”Walaupun wanpwe ini bukan kaum hiapgi, namun tahu juga wanpwe akan kewajiban menolong sesama manusia yang sedang menderita kesusahan. Sekali-kali wanpwe tak mau 'menindih tangga' pada orang yang sudah jatuh,” kata In-nio sembari merawat luka Shin Ci-koh. Selain luka dalam pun Shin Ci-koh menderita luka luar yang cukup banyak. Yang paling berat ialah di bagian tulang punggung dan perut. Darah masih mengucur keluar.

”Tempel obat luka kim-jong-yok dan silahkan pergi. Di sini bukan tempat yang aman, jangan sampai kau terlibat dengan urusanku,” kata Shin Ci-koh.

”Soal menghadapi musuh, biarlah kita bicarakan lagi nanti. Sekarang apakah lo-cianpwe membekal kim-jong-yok?” tanya In-nio.

”Apa kau tak membawa?” Shin Ci-koh terkejut. Kim-jong-yok atau obat pelumur luka, sebenarnya setiap orang persilatan tentu membekal. Tapi karena Shin Ci-koh disergap secara mendadak oleh orang Leng-ciu-pay, maka ia tak sempat lagi membawa obat itu.

”Celaka, kim-jong-yok kepunyaanku siang-siang, siang-siang sudah ,” In-nio menjadi

gelisah.

”Kim-jong-yokmu dirampas Tiau-ing?” tukas Shin Ci-koh.

Sebenarnya In-nio tak mau memberitahukan hal itu karena mungkin menusuk perasaan Shin Ci- koh. Tapi karena Shin Ci-koh sudah mendahului mengatakan, In-nio terpaksa mengangguk: ”Tetapi hal itu tak dapat mempersalahkan murid lo-cianpwe. Karena aku menjadi orang tawanannya, sudah tentu ia harus menggeledah badanku.”

Shin Ci-koh menghela napas: ”Ah, tak nyana murid yang paling kumanjakan, pada saat aku dalam bahaya, ia tak datang menolong sebaliknya kau yang merawati aku dengan tekun. Aku, sungguh menyesal ”

In-nio tak dapat mencari kata-kata untuk menghiburinya.

”Apakah kau mengerti ilmu menutuk jalan darah? Itu mudah dipelajari. Biar kuajarkan

padamu. Salurkan lwekang ke arah ujung jari dan tutuklah dulu jalan darahku di bagian sin-thian- hiat, kemudian di bagian leng-cong-hiat. Setelah menutuk harus segera mengurutnya. Apakah kau dapat mengurut?” tanya Shin Ci-koh.

In-nio mengatakan dapat. Memang walaupun ilmu menutuk supaya menghentikan keluarnya darah itu tampaknya sederhana tetapi harus mengerti ilmu ketabiban juga. Di bagian mana yang luka, harus di bagian mana yang ditutuk. Ini memang penting. Pengertian In-nio dalam hal itu tidak banyak maka iapun tak berani gegabah. Tentang ilmu mengurut, barang siapa yang belajar ilmu menutuk jalan darah, tentu sekalian belajar ilmu mengurut.

In-nio cepat mengerti apa yang diajarkan Shin Ci-koh. Sayang karena habis bertempur setengah harian, tenaga In-nio pun lemah. Dengan susah payah ia berusaha mengerahkan lwekang ke ujung jari. Habis melakukan penutukan, ia capai sekali.

”Bawalah kudaku itu dan pergilah lekas. Jangan mengurusi aku lagi,” kata Shin Ci-koh. Ternyata walaupun lukanya luar sudah berhenti mengalirkan darah, tetapi luka dalamnya tetap masih payah. Dan itu mengandalkan tenaganya sendiri untuk melakukan pengobatan dengan lwekang.   Berhasil atau tidak, terserah pada nasib. Kalau orang Leng-ciu-pay tidak berhasil mengejarnya, ia tentu selamat. Tapi kalau mereka tiba di situ, ia pasti celaka.

Shin ci-koh menyuruh In-nio membawa kuda Ciau-ya-say-cu-ma itu, agar In-nio dapat berganti kuda di tenagh jalan. Dengan membawa dua ekor kuda istimewa, In-nio kemungkinan besar pasti dapat meloloskan diri.

Tetapi In-no tak mau. Diangkatnya Shin Ci-koh ke atas punggung kuda, ujarnya: ”Kita bersama-sama pergi!”

”Tidak, aku sudah tak dapat berjalan jauh lagi,” kata Shin Ci-koh.

”Aku tahu. Tetapi di sebelah muka sana ada sebuah biara rusak. Di sana kita meneduh sementara,” In-nio tak mau banyak bicara terus melarikan kuda membawa Shin Ci-koh ke biara tua yang terletak di atas gunung.

”Biara itu oleh penduduk setempat dan kaum pemburu disebut Yok-ong-bio atau biara Raja

Obat. Karena bertahun-tahun daerah Tho-ko-poh selalu perang, kawanan pemburu yang tinggal di atas gunung itupun dipanggil masuk dinas tentara juga. Sebagian yang tak mau, melarikan diri ke daerah yang lebih dalam. Karena tiada yang merawat lagi, biara itupun rusak tak terurus.

Setelah membersihkan galagasi dan sarang laba-laba yang memenuhi ruangan biara, In-nio menempatkan Shin ci-koh di situ. Kemudian ia keluar lagi mencari makanan. Tapi karena kuatir Shin Ci-koh didatangi musuh, In-nio pun tak berani pergi jauh. Untung pada saat itu adalah saat di mana burung-burung sama pulang ke sarangnya. In-nio tak bertenaga lagi untuk berburu binatang hutan, maka ia terpaksa menimpuk burung dengan batu. Setelah berhasil mendapatkan dua ekor burung dan memetik beberapa buah-buahan yang ia tak tahu namanya pokok asal kira-kira dapat dimakan, ia lantas kembali ke biara.

Shin Ci-koh yang tengah menjalankan penyaluran lwekang sampai ubun-ubun kepalanya mengepul asap tipis, demi melihat kedatangan In-nio segera menghela napas: ”Nona Sip, aku sudah tidak berguna lagi. Lebih baik kau lekas-lekas tinggalkan tempat ini.”

Setelah menjalankan penyaluran lwekang, ia dapatkan lwekangnya terluka parah. Luka yang tak mungkin diobati dengan kepandaiannya sendiri. Paling-paling ia hnaya dapat bertahan untuk sementara waktu saja.

”Telah kupetikkan beberapa buah-buahan hutan. Coba lihat apakah dapat dimakan?” In-nio bertanya tanpa menghiraukan anjuran Shin Ci-koh.

Waktu melihat buah-buahan itu, Shin Ci-koh terkejut girang. Ternyata buah-buahan hutan itu dapat digunakan sebagai obat pemulih urat-urat dan penghilang gangguan darah. Ini justeru yang

diperlukan. Setelah makan beberapa biji, semangat Shin Ci-koh tambah baik. Iapun duduk bersila lagi untuk menyalurkan lwekang. Tetapi lewat beberapa jenak, ia membuka mata dan menghela napas pula: ”Ah, tetap tak berguna. Lukaku sangat parah. Hawa cin-gi hanya dapat menyalur sedikit-sedikit. Paling tidak harus memerlukan tujuh delapan hari baru aku dapat pulih seperti sediakala. Tetapi Ceng-beng-cu tentu tahu kalau aku menderita luka berat. Dia tentu melakukan pengejaran di daerah gunung ini. Masakan kau mau menempuh bahaya merawati lukaku selama tujuh delapan hari itu? Nona Sip, lekas pergilah. Aku hanya akan minta tolong sebuah hal padamu yakni supaya memberitahukan pada Gong-gong-ji tentang musuh-musuhku itu. Minta dia supaya membasmi seluruh kawanan Leng-ciu-pay sampai habis!”

Teringat akan kekasihnya Gong-gong-ji, walaupun mulut mengucapkan kata-kata keras, tetapi hatinya pilu dan tak kuasa lagi ia menahan air matanya.

Diam-diam In-nio girang mengetahui Shin Ci-koh tak berbahaya jiwanya: ”Harap lo-cianpwe

tenang-tenang mengobati luka. Taruh kata musuh datang kemari, tetapi sute-ku juga dapat mencari aku kemari, Begitu lukamu agak baikan dan sute-ku datang, kita akan pergi bersama-sama.”

Shin Ci-koh menarik napas: ”Dalam hidupku hanya kenal kekerasan membunuh orang. Hari ini baru aku tahu betul kemuliaan hiag-gi (kaum persilatan yang menjalankan kebaikan). Nona Sip, kau bukan saja penolongku, pun juga guruku yang baik dan sahabatku yang mulia!”

”Ah, kata-kata lo-cianpwe ini memukul diriku. Aku hanya melakukan dharma yang seharusnya dilakukan manusia hidup. Mana aku pantas disejajarkan dengan kaum hiap-gi?” In-nio mengucapkan kata-kata merendah.

”Sute-mu itu juga baik orangnya, jauh lebih baik dari Se-kiat. Hm, kaupun lebih menang ratusan kali dari muridku itu,” kata Shin Ci-koh.

Belum In-nio membuka mulut tiba-tiba terdengar derap kaki orang mendatangi. Shin Ci-koh tersirap kaget, buru-buru ia membisiki In-nio: ”Mungkin Ceng-bing-cu yang datang. Lekas sembunyikan dirimu.”

Cepat sekali tindakan orang itu. Baru In-nio hendak melongok keluar, pintu sudah terpental ditendangnya. Dan begitu melangkah masuk biara, orang itu sudah berteriak: ”Siapa yang berada di dalam?”

Suaranya amat menusuk telinga. In-nio terkejut. Ketika mengawasi, ternyata yang datang itu adalah Ceng-ceng-ji.

Karena dikejar suhengnya (Gong-gong-ji), Ceng-ceng-ji keputusan jalan. Dalam putus asa, ia terpaksa hendak menggabung saja pada Su Tiau-gi. Ia sudah mendengar berita tentang persekutuan Tiau-gi dengan Se-kiat. Se-kiat seorang pemimpin loklim dan mempunyai backing pulau Hu-song-

to. Kalau ia (Ceng-ceng-ji) berhamba padanya, tentu akan terlindung. Ia memang tak punya hubungan dengan Se-kiat. Tapi dengan mengandalkan pengaruh Tiau-gi, ia percaya Se-kiat tentu sungkan menolaknya. Sama sekali ia tak tahu bahwa kini Tiau-gi dan Se-kiat itu sudah pecah.

Merasa wajahnya yang aneh seperti kunyuk itu mudah dikenal orang persilatan, maka Ceng- ceng-ji melakukan perjalanan pada waktu malam. Dengan begitu ia dapat menghindar mata orang yang tentu akan melapor pada suhengnya. Dan yang dipilihnya ialah jalanan gunung dan hutan yang sepi-sepi. Demi melihat di luar biara terdapat dua ekor kuda dan di bagian dapur ada asap mengepul (karena In-nio memanggang burung), Ceng-ceng-ji singgah. Tanpa disangka-sangka ia berjumpa dengan In-nio dan Shin Ci-koh.

Ceng-ceng-ji lebih sukar dihadapi daripada Ceng-beng-cu. Kalau In-nio terperanjat adalah Shin Ci-koh sudah berteriak: ”Bagus, kukira siapa, ternyata kaulah kunyuk! Kau masih hutang padaku sebuah tamparan. Kebetulan sekali kau datang, ayo kemari membayar hutangmu itu!”

Melihat siapa yang berada disitu, kejut Ceng-ceng-ji lebih besar dari Shin Ci-koh. Mengetahui kelihayan wanita yang pernah menempeleng mukanya tempo hari, Ceng-ceng-ji cepat angkat kaki seribu. Memang hebat ilmu ginkangnya, sekali melesat sudah lenyap dari pemandangan.

”Bibi, bagus, kau menggebah Ceng-ceng-ji sampai lari terkencing-kencing!” In-nio tertawa geli dan bertepuk tangan.

Wajah Shin Ci-koh pucat. Pada lain saat ia muntahkan segumpal darah segar.

”Bibi, bagaimana keadaanmu?” tanya In-nio dengan cemas. Kini ia memanggil dengan sebutan 'bibi' kepada Shin Ci-koh.

Shin Ci-koh menghembus napasnya dan berkata: ”Itu hanya dapat menggertaknya sementara waktu. Ceng-ceng-ji seorang ahli silat jempol. Setelah kagetnya reda, ia tentu dapat mengaetahui keadaan diriku. Sebelum ia datang,lekaslah kau lari!”

Ternyata karena kuatir Ceng-ceng-ji mengetahui keadaan dirinya, Shin ci-koh mengempo sisa tenaganya untuk menggertak. Ini menggoyangkan perkakas dalamnya. Maka habis berteriak, iapun lantas menyembur darah.

In-nio tetap tak mau pergi. Pikirnya: ”Belum tentu Ceng-ceng-ji itu akan kembali. Andaikata kembali, akupun sanggup menghadapinya.”

Keputusan In-nio itu semata-mata terdorong oleh rasa hiap-gi. Ia sadar kalau bukan tandingan Ceng-ceng-ji, tapi biar bagaimanapun juga, tetap ia tak mau tinggalkan Shin Ci-koh seorang diri dalam keadaan terluka.

Apa yang diduga Shin Ci-koh itu ternyata tepat. Setelah lari agak jauh dan kejutnya reda, Ceng- ceng-ji curiga. Batinnya: ”Shin Ci-koh berlumuran darah. Benar noda darah itu mungkin berasal dari korban yang dibunuhnya, tetapi jika tak terluka, ia tentu sudah mengejar aku. Mengapa sekarang tidak? Pula, nada suaranya tadipun agak gemetar. Ha, jika ia benar-benar terluka, inilah kesempatan sebaik-baiknya bagiku untuk membalasnya.”

Pada saat Shin Ci-koh menganjurkan In-nio supaya lari, tiba-tiba pintu mendebur keras, sebua kerikil jatuh ke lantai. Ternyata Ceng-ceng-ji kembali lagi. Namun karena masih kuatir, ia timpukkan sebuah kerikil untuk menyelidiki keadaan. Itulah cara orang persilatan bertanya jalan untuk mencari tahu keadaan. Jika ada reaksi, ia tak mau turun tangan.

Bedanya, Ceng-ceng-ji hendak mencari tahu apakah Shin Ci-koh terluka atau tidak. Jika ShinCi-koh mengejar, iapaun segera akan lari sekencang-kencangnya.

Shin Ci-koh tertawa gelak-gelak, serunya: ”Kunyuk kecil, tak perlu kau timpuk batu.

Masuklah, Suhengmu menunggu di sini. Dia barusan mengambilkan air untukku, sebentar tentu datang.”

Ceng-ceng-ji terperanjat. Buru-buru ia loncat bersembunyi di atas pohon. Dari situ ia meninjau keadaan sekelilingnya.

Dalam pada itu Shin Ci-koh mendorong In-nio dan mendesaknya supaya melarikan diri. Tetapi sebaliknya, In-nio malah menyahut: ”Baik, kita bersama-sama lari.”

Dalam anggapan In-nio, meskipun Shin Ci-koh parah lukanya, tetapi tentu masih kuat bertahan naik kuda. Sekalipun dengan begitu lukanya makin bertambah berat, namun masih jauh lebih baik daripada jatuh di tangan si kunyuk Ceng-ceng-ji.

Di luar dugaan karena kelewat bernafsu mendorong, Shin Ci-koh memaksa gunakan tenaga.

Bukan In-nio yang kena didorong, sebaliknya ia sendiri yang jatuh terjungkal. In-nio cepat-cepat hendak mengangkatnya tetapi pada saat itu Ceng-ceng-jipun suda masuk dengan tertawa terbahak- bahak. Rupanya Ceng-ceng-ji sudah tahu kalau ditipu Shin Ci-koh. 

Seperti kucing menerkam tikus, dengan tergelak-gelak Ceng-ceng-ji berseru: 'Kau adalah bakal susoh-ku. Suheng tidak ada, kaupun serupa. Baiklah, karena memandang muka suhengku, akupun takmau membikin susah padamu. Tetapi hutan tetap hutang, harus dibayar. Akupun tak mau meminta bunganya, cukup membayar sebuah tamparan atas hutangmu menampar aku.”

Dengan bergaya sepeti hendak menampar, selangkah demi selangkah Ceng-ceng-ji maju menghampiri Shin Ci-koh. Ia hendak balas menghinanya. Sret. In-nio segera mencabut pedangnya dan dengan jurus Giok-li-tho-soh ia menabas Ceng-

ceng-ji. Yang diserang hanya ganda tertawa saja, serunya: ”Oho, bukankah kau ini anak perempuan Sip Hong? Bagus, ayahmu memimpin pasukan hendak menyerang Bo Se-kiat, tentunya Bo Se-kiat sudah tak mau padamu lagi. Biar kuhaturkan kau kepadanya selaku hadiah. Nah, rebah dulu di pinggir sana!”

Dengan kebutan lengan saja, Ceng-ceng-ji menyingkirkan ujung pedang In-nio, kemudian maju merapat menutuk jalan darah si nona. Memang siang-siang ia sudah mendengar berita tentang perkawinan Se-Kiat dengan Tiau-ing. Iapun tahu juga bahwa In-nio itu adalah bekas kekasih Se- kiat. Kuatir kalau Se-kiat masih tak dapat melupakan In-nio, Ceng-ceng-jipun tak berani melukainya sungguh-sungguh. Ia hanya hendak menutuk jalan darah supaya si nona lemas dan rubuh saja. Setelah Shin Ci-koh diselesaikan, ia segera akan membawa In-nio pergi.

Siapa tahu dalam beberapa hari ini, selama bersama-sama Bik-hu, In-nio banyak mendapat pelajaran ilmu pedang. In-nio cepat menarik pedang dan membabat tangan Ceng-ceng-ji. Ceng- ceng-ji memang kelewat memandang rendah. Jalan darah tidakkena ditutuk, sebaliknya hampir saja jari tangannya terpapas kutung. Untung ia lekas-lekas tarik kembali tangannya.

”Budak hina yang tak tahu mati. Betapa tinggi kepandaianmu, berani melawan aku? Jika sampai membuat marahku, mukamu tentu akan kucakar, biar seumur hidup kau tak laku kawin!” bentaknya dengan marah.

”Hebat benar kau, menghina seorang anak perempuan!” Shin Ci-koh menyindirnya.

Ceng-ceng-ji putar tubuh menghadap ke tempat Shin Ci-koh: ”Baik, karena kau mengatakan begitu, biarlah kutamparmu dulu baru nanti memberesi budak perempuanitu. Kau seorang tokoh yang terkenal lama, tentu tak dapat mengatakan aku menghinamu!”

In-nio tetap berlaku tenang sekali. Dihina lawan, ia tak marah. Ia tahu kepandaian Ceng-ceng- ji itu jauh lebih atas, orangnyapun kejam sekali. In-nio telah bertekad bulat untuk mengadu jiwa

dan untuk itu ia harus bersikap tenang. Ia tetap mainkan pedangnya untuk melibat jangan sampai Ceng-ceng-ji lolos.

Jika di tempat pertempuran yang agak lebar, tentu Ceng-ceng-ji sudah dari tadi dapat lolos. Tetapi ruangan biara itu sempit sekali. Waktu Ceng-ceng-ji hendak menyelinap dari samping In- nio, In-nio cepat gunakan ilmu pedang Hui-hoa-ciu-tiap (bungan terbang mengejar kupu-kupu). Ilmu pedang itu hasil ciptaan suhunya, Biau Hui sin-ni. Mengutamakan kelincahan dan ketangkasan, paling cocok untuk kaum wanita. Karena memandang rendah lawan, sejak mulai bertempur Ceng-ceng-ji hanya gunakan tangan kosong saja. Dan selangjutnya pun ia tak sempat lagi mencabut pedang. Ia menjadi keripuhan juga. Tak lagi ia mampu lolos.

Hanya saja Ceng-ceng-ji kini sudah berhati-hati. Kalau In-nio mengharap dapat menusuknya, itulah seperti orang mendaki langit sukarnya. Enam kali enam jurus atau sama dengan tiga puluh enam serangan telah dilancarkan,namun ujung baju Ceng-ceng-ji saja In-nio tak mampu menyentuhnya.

Pada saat In-nio menyelesaikan ke-36 jurusnya dan hendak berganti permainan baru, Ceng- ceng-ji sudah sempat mencabut pedangnya dan membentak: ”Jika kau tak tahu selatan, jangan salahkan aku berlaku ganas!” -- Dan pedangnya dikiblatkan dalam setengah lingkaran, ujgung menusuk dada, batangnya memapas pedang si nona dan tangkainya disodokkan ke lambung. Sekaligus tiga serangan telah membuat In-nio kelabakan sekali.

Shin Ci-koh diam-diam telah mengambil keputusan.  Asal tubuhnya tersentu jari Ceng-ceng-ji, iapun hendak bunuh diri dengan jalan memutus urat nadi. Waktu melihat In-nio berjuang mati- matian utnuk melindunginya, diam-diam ia berterima kasih sekali dan terharu. Dua titik ari mata mengalir di celah pipi. Ia bergelar Bu-ceng-kiam atau Pedang Tak Kenal Kasihan. Sekalipun gelaran itu hanya gelaran kosong karena pada kenyataannya ia sekali-kali bukan manusia yang tak

punya perasaan kasihan, namun sejak dewasa sekalipun dalam keadaan yang bagaimana sedihnya, ia tak pernah mengucurkan air mata. Sejak keluar ke dunia persilatan, baru pertama kali itu ia menghamburkan air mata.

In-nio kewalahan menangkis ketiga serangan Ceng-ceng-ji. Pada saat ia akan termakan pedang lawan, tiba-tiba Shin Ci-koh berteriak memberi petunjuk: ”Jalan ke Hun-wi, kemudian Li-hong, gunakan jurus hian-niau-hoa-sat!”

Hun-wi dan Li-hong adalah nama posisi kaki. Saat itu Ceng-ceng-ji tengah menuju ke posisi

Hun-wi untuk menyerang. Jika In-nio menuju ke Hun-wi juga, berarti akan mengantar jiwa. Tetapi ia sudah tak berdaya. Begitu mendengar petunjuk Shin Ci-koh, iapun laksanakan tanpa reserve. Keduanya bergerak dengan cepat. Baru Ceng-ceng-ji tinggalkan Hun-wi menuju ke Kian-wi, posisinya tepat berada di sisi In-nio. In-nio cepat gunakan jurus Hian-niau-hoa-sat dan ternyata hasilnya mengagumkan sekali. Tusukan Ceng-ceng-ji luput, sebaliknya ujung pedang In-nio dapat membabat lengan lawan. Ceng-ceng-ji kaget dan buru-buru geliatkan pinggangnya dan maju selangkah. Tetapi belum lagi kakinya berdiri tegak, ujung pedang In-nio sudah menyambut ke dadanya. Kiranya sesuai dengan petunjuk Shin Ci-koh, dari posisi Hun-wi In-nio mengisar ke Li- hong. Dan ini justeru tempat di mana Ceng-ceng-ji hendak beralih. Ceng-ceng-ji kempiskan dada dan terlolos dari lubang jarum. Sekalipun begitu tak urung ujung bajunya kena terpapas.

”Sayang, sayang!” Shin Ci-koh menghela napas. Ia adalah tokoh ilmu pedang utama pada

jaman itu. Kepandaiannya ilmu pedang sejajar dengan Mo Kia lojin dan Biau Hui sin-ni. Pernah ia menguji kepandaian dengan Gong-gong-ji, maka ia cukup paham akan ilmu pedang ”Wan-kong- kiam-hwat” Gong-gong-ji. Dengan begitu ia sudah dapat menduga lebih dulu tentang gerakan Ceng-ceng-ji tadi.   Sayang tenanga In-nio tak mencukupi syarat. Walaupun sudah mendapat petunjuk Shin Ci-koh, namun paling banyak ia hanya dapat membabat ujung baju Ceng-ceng-ji saja tapi tak dapat melukainya.

Sekalipun begitu, inisiatif kini dipegang oleh In-nio. Setiap gerakan Ceng-ceng-ji selalu dipatahkan oleh In-nio yang menerima petunjuk dari Shin Ci-koh.

Lama kelamaan marah juga Ceng-ceng-ji, teriaknya: ”Shin Ci-koh, kau keluarlah!”

Shin Ci-koh tak ambil pusing dan tetap memberi petunjuk pada In-nio. In-nio tertawa

mengejek: ”Terhadap aku saja kau tak mampu mengalahkan, mana berharga bertanding dengan Shin lo-cianpwe?”

Dalam pertempuran, jangan sekali-kali marah. Justeru In-nio hendak membuat supaya Ceng- ceng-ji marah. Sambil mengejek pedang in-nio digelincirkan ke lambung orang. Jika Ceng-ceng-ji tak cepat menghindar, tulang iganya tentu remuk.

Ceng-ceng-ji tahu juga akan siasat In-nio. Ia tindas kemarahannya dan menghadapi In-nio dengan hati-hati. Tiba-tiba ia mendapat siasat. Bahunya tampak digerakkan.

”Jalan ke Kian-hong dan gunakan jurus Kim-ciam-lo-kiap!” cepat Shin Ci-koh sudah lantas meneriaki.

Di luar dugaan, Ceng-ceng-ji berdiam diri sehingga In-nio menusuk angin. Shin Ci-koh hendak memberi petunjuk lagi tapi sudah terlambat. Trang. Ceng-ceng-ji sudah berhasil mementahkan pedang In-nio dan cret, menyusul tangannyapun sudah mencengkeram bahu si nona. Asal jari Ceng-ceng-ji sedikit ditekankan lagi, tulang pi-peh-kut bahu In-nio tentu remuk. Dan In-nio pasti akan menjadi invalid selama-lamanya.

Dalam detik-detik yang berbahaya itu dimana In-nio sendiri sudah tak berdaya, sekonyong- konyong Ceng-ceng-ji tarik pulang tangannya dan memaki: ”Kurang ajar, siapa yang membokong dari belakang itu?”

In-nio gelagapan mendongak ke muka dan berserulah ia dengan girang: ”Khik-sia, kau datang!” ”Cici In, aku juga datang!” tiba-tiba terdengar juga sebuah suara melengking nyaring.

Menyusul masuklah Yak-bwe.

Khik-sia dan Yak-bwe memang datang hendak mencari In-nio. Karena sudah seperti saudara kandung, sejak berpisah dengan In-nio, Yak-bwe selalu memikirkan saja. Kebetulan Thiat-mo-lek bermaksud hendak mengirim surat kepada Se-kiat. Surat yang berisi nasihat terakhir supaya Se-kiat kembali ke jalan yang benar.  Untuk itu Thiat-mo-lek memerlukan seorang untuk membawa suratnya. Tahu akan isi hati Yak-bwe, Khik-sia sengaja tawarkan diri kepada Thiat sukonya untuk mengirim surat itu. Demikianlah dengan membawa Yak-bwe, Khik-sia segera berangkat ke Yu-ciu.

Mereka tak menduga sama sekali bahwa In-nio sudah menyelundup masuk ke Tho-ko-poh untuk menemui Se-kiat. Mereka hanya menduga tentu akan berjumpa dengan In-nio di Yu-ciu

karena nona itu ikut pada ayahnya yang memimpin tentara untuk menindas pemberontakan di Yu- ciu.

Sebenarnya Thiat-mo-lek tak setuju Khik-sia pergi.  Ia tahu bagaimana perangai sutenya itu. Mungkin di Yu-ciu nanti akan bentrok dengan Se-kiat. Tapi Thiat-mo-lek tiada lain pilihan lagi karena selain Khik-sia siapa yang mampu melakukan tugas sebagai kurir begitu. Setelah Khik-sia berangkat, Thiat-mo-lek ajak Toh Peh-ing, Shin Thian-hiong dan kawan-kawan menuju ke gunung Hok-gu-san. Di sana ia hendak membereskan segala perpecahan di kalangan loklim akibat tindakan Se-kiat.

Dengan naik kuda pemberian Cin Siang yang dapat naik gunung melintasi sungai seperti di

tanah datar, Khik-sia dan Yak-bwe dapat menempuh perjalanan dengan lancar. Hari itu mereka tiba hanya kurang 30-an li dari Tho-ko-poh. Pertama-tama yang mereka jumpai ialah tentara-tentara yang kalah perang dan meloloskan diri dari Tho-ko-poh. Khik-sia tahu peperangan sudah dimulai, maka ia tak mau mengambil jalan besar, melainkan memilih jalan kecil di pegunungan. Ketika melalui biara rusak, didengarnya suara senjata beradu. Dan yang membuat mereka terkejut ialah dua ekor kuda yang tertambat di muka biara. Teranga itulah kuda In-nio dan Bik-hu yang diterima dari Cin Siang tempo hari. Bergegas-gegas Khik-sia dan Yak-bwe loncat turun dan masuk ke dalam biara.

Ilmu ginkang Khik-sia itu hanya di sebelah bawah suhengnya (Gong-gong-ji). Tetapi lebih unggul dari Ceng-ceng-ji. Ceng-ceng-ji yang tumpahkan perhatian menghadapi In-nio sudah tak

mengetahui akan kedatangan Khik-sia. Baru setlah Khik-sia turun tangan, Ceng-ceng-ji tahu kalau ada pendatang baru. Tapi iapun tak meyangka kalau yang datang itu Khik-sia. Ia hanya menyangka orang itu tentu lihay. Ini dapat dilihat dari kebutan lengan baju yang meneribit angin keras.

Seorang persilatan yang tengah bertempur, paling takut kalau ada orang membokong dari belakang. Demikian juga Ceng-ceng-ji. Belum tangannya menekan tulang pundak In-nio, lebih dulu ia berpaling ke belakang untuk melihat siapa penyerangnya tadi dan astaga ....

”Siapa yang membokongmu? Hm, kau hendak menghina seorang wanita yang terluka, sungguh nista sekali. Dengan perbuatanmu itu kau amsih berani menyingung-nyinggung tentang Eng-hiong dan Ho-han?” Khik-sia tertawa sinis.

Yak-bwe maju merangkul In-nio dan saat itu barulah In-nio tersadar serta merasa ngeri teringat pertempuran tadi. ”Khik-sia, kau pelintir tulang pundak si kunyuk tua itu, untuk memuaskan penasaran cici In,” teriak Yak-bwe.

Ceng-ceng-ji merah padam mukanya. Teriaknya dengan gusar: ”Khik-sia, kau benar-benar tak memandang mata pada orang tua. Biar bagaimana aku ini suhengmu, mengapa kau berani menghina aku di depan umum?!”

Shin Ci-koh menertawakan: ”Bagus, sungguh bagus sekali Ceng-ceng-ji, kau tak berjumpa dengan suheng, bertemu dengan sute pun serupa juga!”

”Tutup mulutmu!” bentak Khik-sia kepada Ceng-ceng-ji, ”beberapa kali kau hendak mengambil jiwaku, mengapa masih berani mengaku suheng?”

”Kurang ajar!” Ceng-ceng-ji balas membentak: ”Aku adalah suhengmu.   Aku berhak mengajarmu, masakan aku hendak mengambil jiwamu sungguh-sungguh? Mengingat kau masih

muda kurang pengalaman, akupun tak mau mengimbangi kekurangajaranmu. Baik, jika kau masih tidak terima, silahkan mengadu pada toa-suheng, sekarang biar kucari toa-suheng supaya datang kemari.”

Ceng-ceng-ji main gertak dengan suara keras tapi sebenarnya hatinya jeri terhadap sutenya itu. Ia merasa tak menang jika berkelahi dengan Khik-sia. Apalagi ada Yak-bwe dan In-nio di situ. Maka sengaja ia gunakan lidah untuk mencari alasan buat angkat kaki.

”Tak usah kau capekan diri mencari toa-suhengmu. Gong-gong-ji memang justeru hendak mencarimu. Dia sudah berjanji padaku, beberapa hari lagi akan datang kemari. Kau temani saja sutemu tinggal di sini beberapa hari ini,” Shin Ci-koh tertawa mengejek.

Makin mengingat perbuatan Ceng-ceng-ji, makin meluap kemarahan Khik-sia. Ia cabut pedangnya dan membentaknya: ”Ceng-ceng-ji, kau masih ada muka menyebut dirimu sebagai murid perguruan kami? Kau mengkhianati ajaran perguruan, menceburkan diri dalam kalangan

jahat, bertindak salah dan mengumbar kejahatan. Sunio telah memberi perintah kepada toa-suheng supaya memengal kepalamu. Karena masih mengingat persaudaraan, beberapa kali toa-suheng bermurah hati tak tega membunuhmu. Hal ini, jangan kira aku tak tahu. Mengapa kau masih berani gunakan nama toa-suheng untuk menggertak aku? Baik, karena memandang muka toa- suheng, aku pun takkan mengambil jiwamu. Kau bikin cacd dirimu sendiri sajalah!”

Dunia persilatan mengenal sebuah peraturan. Murid yang melanggar peraturan perguruannya diberi kebebasan dari hukuman mati tapi diharuskan membikin cacad dirinya sendiri agar seluruh kepandaiannya hilang. Itulah sebabnya maka Khik-sia meminta cara itu.

Saking malunya Ceng-ceng-ji menjadi marah. Ia memaki keras-keras: ”Kau mengandalkan perlindungan sunio untuk jual kesombongan? Hm, sekalipun aku dianggap melanggar peraturan perguruan pun bukan kau yang berhak menghukum!”

Pedang ceng-kim-kiam bergerak seolah-olah hendak menyerang Khik-sia, tapi sekonyong- konyong Ceng-ceng-ji balikkan tangannya untuk menangkap Yak-bwe. Licik benar Ceng-ceng-ji. Tahu kalau tak bakal menang melawan Khik-sia, maka ia gunakan siasat licik, selagi orang tak bersiaga ia hendak meringkus Yak-bwe sebagai brang tanggungan untuk menekan Khik-sia.

Karena mempunyai rencana begitu, siang-siang Ceng-ceng-ji sudah memperhitungkan jarah Yak-bwe. Maka meskipun hanya dengan balikkan tangan ke belakang dengan tanpa melihat,

sebenarnya ia tentu akan berhasil menangkap Yak-bwe. Tapi di luar perhitungannya, ternyata Shin Ci-koh sejak tadi selalu mengikuti gerak-gerik Ceng-ceng-ji saja.

Begitu Ceng-ceng-ji mengangkat pedang pura-pura hendak menyerang Khik-sia, Shin Ci-koh sudah mengetahui siasatnya. Dan cepat-cepat ia meneriaki Yak-bwe: ”Nona Su, lekas menyingkir!”

Bret, baju Yak-bwe kena dijambret robek oleh Ceng-ceng-ji. Untung Yak-bwe sudah keburu menyingkir hingga tak kena dicengkeram. Ceng-ceng-ji hendak mengejar dengan lain cengkeraman tapi Khik-sia sudah mendahului loncat membacok.  Tadi karena kurang pengalaman, ia kena diingusi sehingga Yak-bwe hampir saja jadi korban.

Serangan yang dilancarkan Khik-sia dengan kemarahan itu disebut jrusu Liong-bun-song-long.

Di dalam gerak mengandung lain gerak. Tebaran sinar pedang benar-benar seperti gelombang ombak laut yang mendampar bertubi-tubi. Getaran ujung pedangnya menerbitkan angin menderu- deru.

”Baru sebulan tak ketmu, mengapa kepandaian anak itu sedemikian pesatnya?” diam-diam Ceng-ceng-ji mengeluh dalam hati.

Keduanya bergerak secara cepat. Ceng-ceng-ji menang pengalaman, tapi Khik-sia menang kepandaian. Pada saat ujung pedang Khik-sia hampri mengenai, Ceng-ceng-ji baru balikkan tangannya menangkis dengan jurus Kim-tiau-tian-ki (burung alap-alap pentang sayang). Trang, begitu kedua pedang saling beradu, Ceng-ceng-ji tekankan pedangnya dan dengan meminjam tenaga Khik-sia, ia buang tubuhnya ke belakang sampai satu tombak lebih. Maksudnya hendak melarikan diri.

”Hai, hendak lari kemana kau?” teriak Khik-sia sambil loncat menusuk ulu punggung Ceng- ceng-ji.

Meskipun berhasil mematahkan serangan Khik-sia tadi, tapi tak urung tangan Ceng-ceng-ji terasa sakit juga. Kali ini ia tak berani adu kekerasan lagi. Ia mengisar ke samping dan dengan

gerak tipuan, ia dapat menghindari serangan. Namun saat itu Khik-sia sudah menjaga di ambang pintu.

”Karena mengingat seperguruan, kau tak sampai hati turun tangan. Apa kau kira aku sungguh takut padamu?” seru Ceng-ceng-ji.

Khik-sia tertawa dingin: ”Mengapa tempo hari tak tampak kau mengingat saudara seperguruan?”

Justeru itulah yang dinanti-nantikan Ceng-ceng-ji. Ia memang hendak memancaing supaya Khik-sia bicara. Sekonyong-konyong ia menusuk dan menutuk tujuh bagian jalan darah di tubuh Khik-sia.

Tadi Khik-sia sudah termakan tipunya. Kali ini mana ia dapat diingusi lagi? Walaupun mulutnya bicara tapi matanya tetap memperhatikan tangan Ceng-ceng-ji. Begitu lawan bergerak, iapun lantas bergerak.   Dan yang digunakan juga jurus permainan menusuk jalan darah. Tetapi yang digunakan Khik-sia itu bukan tusukan tujuh jaland arah, melainkan tutukan sembilan jalan darah. Dibanding dengan ilmu tutukan Ceng-ceng-ji lebih unggul setingkat.

Ilmu menusuk jalan darah dari ilmu pedang Wan-kong-kiam-hwat memang istimewa sekali.

Bagian yang paling sempurna dari ilmu pedang tersebut ialah menusuk sembilan jalan darah. Dulu hanya Gong-gong-ji seorang yang dapat memainkan. Sudah tentu Ceng-ceng-ji terbeliak kaget. Ia tak menyangka sama sekali kalau Khik-sia pun bisa. Tring, tring, tring, ia dapat menangkis yang tujuh, tapi yang dua dengan susah payah baru ia dapat meloloskan diri. Kedua saudara seperguruan itu karena tahu akan kepandaian masing-masing, untuk beberapa saat masih belum ada yang menang atau kalah. Tapi yang nyata, baik dalam ilmu lwekang dan ilmu pedang, Khik-sia lebih unggul setingkat dari Ceng-ceng-ji. Dalam pertempuran itu, Ceng-ceng-ji selalu di pihak bertahan.

Melihat Khik-sia lebih unggul, barulah Yak-bwe lega dan perhatiannya kini dicurahkan pada Shin Ci-koh. Tahu bahwa Shin Ci-koh itu suhu Tiau-ing, sebenarnya Yak-bwe tak punya kesan baik. Tapi karena tadi Shin Ci-koh telah memberi peringatan sehingga ia dapat terlepas dari sergapan Ceng-ceng-ji, Yak-bwe pun menghaturkan terima kasih kepada wanita itu.

”Muridku berbuat curang kepadamu, walaupun kau tak memaki aku, tapi aku sudah merasa malu sendiri,” Shin Ci-koh menghela napas.

Sesaat Yak-bwe heran, pikirnya: ”Wanita ini biasanya ganas dan sombong, mengapa sekarang mendadak sontak berubah perangainya?”

Baru In-nio hendak membuka mulut, tiba-tiba terdengar derap kaki orang datang. Ternyata

yang datangitu dua orang thau-to (imam). Yang seorang tua dan yang satu muda. Wajah mereka mengunjukkan sebagai orang suku Oh. Thau-to yang muda itu tinggi kurus perawakannya, mengenakan jubah warna hijau, matanya berkilat-kilat tajam sekali. In-nio segera mengenali thau- to itu sebagai Ceng-bing-cu murid ahli waris dari partai Leng-ciu-pay yang telah memimpin anak buahnya mengepung Shin Ci-koh. Thau-to tua itu tak dikenalnya. Tetapi dari wajahnya yang merah kemilau dan sepasang matanya yang berapi-api serta perawakannya yang luar biasa tingginya, tentulah juga seorang kosen yang tinggi lwekangnya. kemunginan lebih sakti dari Ceng- bing-cu.

Wajah Shin Ci-koh berubah seketika. Tetapi pada lain saat ia tertawa gelak-gelak: ”Oh, kiranya Leng Ciu siangjin datang, maaf, aku lalai menyambut. Aku merasa beruntung karena hari ini dapat bertemu dengan dua angkatan dari partaimu!”

Munculnya Ceng-bing-cu saja cukup membuat In-nio terkejut apalagi mendengar bahwa thau-to tua itu ternyata Leng Ciu siangjin, suhu dari Ceng-bing-cu. Diam-diam ia mengeluh dalam hati. Baru pihaknya tambah dua tenaga (Khik-sia dan Yak-bwe), kini pihak lawan datang juga dua tokoh kuat.

Sebaliknya kini giliran Ceng-ceng-ji yang girang setengah mati, serunya tergopoh-gopoh:

”Ceng-bing toheng, sebenarnya aku sudah akan menangkap wanita siluman itu untuk kuserahkan padamu, tetapi sute-ku yang kurang ajar ini selalu merintangi aku. Ah, aku merasa malu!”

Ceng-ceng-ji belum kenal leng Ciu siangjin. Tetapi dengan Ceng-bing-cu ia sudah bersahabat karib ialah ketika sama-sama membantu Su Tiau-gi tempo hari. Iapun mengetahui juga tentang permusuhan antara Ceng-bing-cu dengan Shin Ci-koh. Sebaliknya, Ceng-bing-cu tidak tahu kalau Ceng-ceng-ji pun mendendam pada Shin Ci-koh. Ia kira Ceng-ceng-ji itu benar-benar hendak membantunya menangkap Shin Ci-koh. Sudah tentu ia berterima kasih.

Khik-sia tak menghiraukan sama sekali akan kedatangan kedua tokoh Leng-ciu-pay itu. Memang Khik-sia itu bagaikan anak kambing yang tak takut pada harimau. Melihat kesempatan dimana Ceng-ceng-ji terpencar pikirannya karena bicara tadi, Khik-sia perhebat serangannya.

Bunuh dulu Ceng-ceng-ji baru nanti menggempur benggolan Leng-ciu-pau, demikian pikirnya. Cret, Ceng-ceng-ji termakan sebuah tusukan. Tetapi tusukan Khik-sia itu bukan dimaksud untuk mengambil jiwa, melainkan untuk menusuk jalan darah saja. Ceng-ceng-ji sudah banyak

pengalaman. Waktu merasa hawa pedang menyusup ke dalam urat, buru-buru ia empos semangat dan kempiskan dadanya. Tusukan Khik-sia tidak tepat mengenai jalan drahnya melainkan di sebelah jalan darah Yang-koh-hiat lambung kiri. Hanya sedikit kulitnya yang terluka. Berbareng saat itu Ceng-bing-cu berkata: ”Memberi buah tho akan dibalas dengan buah li. Terima kasih atas bantuanmu. Akupun akan membantumu membersihkan pengacamu!”

Khik-sia baru berganti gerak hendak menusuk jalan darah Ceng-ceng-ji, tahu-tahu Ceng-bing-cu sudah berada di belakang dan menampar punggungnya dengan Toa-chiu-in, sebuah pukulan beracun. Apabila kena urat punggung Khik-sia pasti terluka kena racun.

Tampaknya Khik-sia seperti tak berjaga-jaga, tetapi sebenarnya ia selalu memperhatikan keadaan di sekeliling situ. Waktu tangan Ceng-bing-cu sudah akan 'in' (mencap) punggungnya,

tanpa menoleh Khik-sia sabatkan pedangnya ke belakang. Ceng-bing-cu terkejut bukan kepalang. Ia mengira tadi tentu berhasil mencuri kesempatan karena terang Khik-sia sedang gerakkan pedangnya menusuk Ceng-ceng-ji. Siapa tahu ternyata permainan Khik-sia mencapai tingkat sedemikian rupa, hingga dapat merubah gerakan tangannya pada setiap waktu dan keadaan yang bagaimanapun jua.

”Tahan!” pada saat dimana tangan Ceng-bingcu pasti kutung, tiba-tiba Leng Ciu siangjin berteriak sembari kebutkan lengan bajunya. Sedemikian hebat kebutan ketua Leng-ciu-pay, sehingga pedang Khik-sia yang tajamnya luar biasa tak mampu menusuk lengan baju thau-to tua

itu, bahkan orangnya (Khik-sia) sendiri tersurut tiga langkah. Setelah berputar-putar tubuh, baru ia dapat berdiri tegak.

Bukan main kejut Khik-sia. Ilmu lwekang bagian 'sia' (hapus atau memindah), Khik-sia dapat

juga menggunakan. Tetapi apa yang dipertunjukkan Leng Ciu siangjin tadi hebatnya bukan tertara. Khik-sia belum pernah mendengar dan menyaksikan. Jika tidak mengalami sendiri, tentu ia tak percaya hal itu.

Di lain pihak, Leng Ciu siangjin sendiri juga tak kurang kagetnya. Kebutannya hanya dapat mengundurkan si anak muda sampai tiga langkah, sungguh di luar dugaan. Pikirnya: ”Bocah ini paling banyak baru 20-an tahun umurnya, mengapa begitu lihay?  Jika tadi ia menusuk tiga kali berturut-turut, aku tentu tak mampu gunakan lwekang 'sia', terpaksa aku harus melawannya.” ”Urusanku dengan partaimu, tiada sangkut pautnya dengan lain orang,” kedengaran Shin Ci-koh mendengus dingin, ”muridmu kesatu Ceng-bing-cu telah tak mengindahkan aku kemudian kuberinya hajaran. Setelah itu dua kali anak muridmua menyerang aku. Ada dua puluh tiga orang yang meninggal. Mereka semua akulah yang membunuhnya. Jika kau hendak menuntut balas, harap pada aku saja!”

Leng Ciu siangjin mendengus, ia tertawa dingin: ”Shin Ci-koh, kau juga tak memandang mata padaku. Kau anggap aku ini orang bagaimana?”

”Benar, siangjin memang golongan cianpwe persilatan, mana mau mencelakai orang yang sedang terluka?” buru-buru In-nio mengumpaknya. Menyaksikan kepandaian Leng Ciu siangjin tadi, In-nio insyaf bahwa sekalipun ia bertiga dengan Khik-sia dan Yak-bwe maju berbareng, pun takkan menang. Maka cepat ia gunakan ucapan Leng Ciu siangjin untuk memukulnya.

Shin Ci-koh tetap masih duduk bersila.   Sedikitpun tiada perubahan pada seri mukanya. Ia menyeletuk: ”Leng Ciu siangjin, kunasehatikan jika hendak membikin permbalasan, lebih baik sekarang juga. Inilah saat yang paling tepat untuk melakukan permbalasan. Kalau selewatnya hari ini, dikuatirkan tak mudah kau hendak mengalahkan aku!”

Seru Ceng-bing-cu: ”Wanita siluman itu sudah terluka. Suhu, jika kau enggan turun tangan, biarlah aku saja yang menindaknya!”

”Ngaco, mundur!” bentak Leng Ciu siangjin. Sekonyong-konyong ia tertawa gelak-gelak. Terpaksa Ceng-bing-cu mundur sambil meringis.

”Shin Ci-koh, apakah kau kira aku tak tahu isi hatimu? Kau paling takut kalah di tanganku dan ditertawai orang. Maka kau sengaja mendesak aku supaya bertindak sekarang. Sekarang kau sedang luka parah, jika kubunuhmu tentu orang tak menyohorkan kepandaianku!”

Habis berkata ia merogoh keluar dua buah pil, ditaruhkan di telapak tangan lalu dihembusnya dengan mulut. Dua butir pil itu 'terbang' ke pangkuan Shin Ci-koh.

”Dua butir pil itu, satu untuk memunahkan racun, satunya untuk mengobati luka. Setelah kau sembuh betul, baru aku bertanding padamu agar kau mati tidak penasaran!” seru Leng Ciu siangjin dingin. ”Kau kira aku tak sanggup mengobati lukaku sendiri? Aku tak sudi menerima budimu!” sahut Shin Ci-koh.

Kembali Leng Ciu tertawa keras: ”Gelranmu Bu-ceng-kiam, akupun tak mau melepas budi padamu! Karena lukamu masih belum sembuh, aku enggan membunuhmu maka kuberimu obat.

Itu sekali-kali bukan suatu kebaikan melainkan supaya lekas-lekas dapat kuambil jiwamu. Memang kutahu kau dapat mengobati sendiri, tapi palging tidak harus makan waktu sampai 7-8 hari. Mana aku mempunyai tempo menunggumu? Setelah makan pilku itu, paling lambat besok pagi siang, kau tentu sudah sembuh. Besok malam pada waktu begini, kita bertemu lagi di sini. Kita keluarkan kepandaian masing-masing untuk menentukan kejantanan. Hm, hm, pada waktu itu, sekali bertanding jangan harap aku suka mengampunimu! Bagaimana, apa kau tetap tak mau minum pil itu? Atau apakah kau sudah tahu dan merasa kepandaianmu tak menang dari aku? Begitu lukamu sembuh, kau tentu mati di tanganku. Kalah tetap kalah, mati tetap mati. Tak perlu cari alasan apa- apalagi!”

Saking marahnya Shin Ci-koh terus sekali telan kedua pil itu. Serunya: ”Besok malam aku

tentu menunggumu di sini. Surat undangan dari Raja Akhirat, entah akan diberikan kepada siapa nanti?”

Leng Ciu siangjin tertawa keras: ”Waktumu hanya sehari saja, harap kau bereskan semua pesanmu, maaf aku tak dapat mengawani lebih lama.” -- Ketua Leng-ciu-pay itu lantas memimpin Ceng-bing-cu pergi. Ceng-ceng-ji pun gunakan kesempatan itu untuk ngintil mereka.

Perubahan yang datangnya secara mendadak itu, sungguh di luar dugaan.  Pikir Khik-sia: ”Leng Ciu siangjin sungguh seorang benggolan yang sakti, meskipun jahat, dia tak mau mencelakai orang yang terluka. Sungguh tak mengecewakan gengsinya sebagai ketua sebuah partai persilatan.”

Tiba-tiba wajah Shin Ci-koh berubah gelap dan mendekap perut merintih-rintih. Yak-bwe

terkejut sekali, serunya: ”Jangan-jangan siluman tua itu menipumu dengan obat racun? Ai, Shin lo- cianpwe, kau kelewat percaya padanya!”

Tiba-tiba Shin Ci-koh muntahkan segumpal darah kental. Katanya dengan wajah bersungguh: ”Leng Ciu lo-koay tidak bohong, obat pilnya itu manjur sekali. Darah kental yang kusemburkan

ini, adalah racun yang berada di tubuhku. Rupanya tak usah sampai besok pagi, aku sudah sembuh sama sekali!”

”Shin lo-cianpwe, apakah kau yakin dapat menangkan dia?” In-nio merasa cemas.

Dengan angkuh Shin Ci-koh menyahut: ”Siluman tua itu juga belum tentu dapat menangkan aku!”

Namun sekali mulutnya mengatakan begitu, tapi terang kata-katanya itu bernada kurang yakin untuk menangkan pertempuran besok malam. Memandang kepada Khik-sia, berkatalah ia: ”Besok kalau aku bertempur melawan Leng Ciu lokoay, dia membunuh aku atau aku membunuhnya, bukanlah suatu hal yang mustahil. Jika aku yang tak beruntung, harap kau sampaikan pada toa- suhengmu.”

”Aku telah membunuh dua puluh tiga murid Leng-ciu-pay. Sekalipun aku nanti mati di tangan Leng Ciu siangjin, tetap aku masih untung. Gong-gong-ji tentu membalaskan sakit hatiku. Khik- sia, tolong kau wakili aku menasihati dia, jangan sampai dia menuntut balas! Dia harus menurut

nasihatku. Nasihat yang merupakan permintaanku kepadanya yangterakhir,” kata Shin Ci-koh pula. Heran In-nio mendengarnya. Pertama ia berjumpa denganShin Ci-koh, iamasih merupakan seorang wanita yang ganas tak kenal kasihan, bermulut tajam dan minta padanya (In-nio) menyampaikan surat kepada gong-gong-ji supaya Gong-gong-ji membunuh habis semua orang Leng-ciu-pay. Apa yang didengarnya kini, jauh sekali bedanya. Shin Ci-koh minta Khik-sia supaya menasihati Gong-gong-ji jangan menuntut balas. Hanya terpaut satu jam saja, ternyata wanita itu telah mengalami perubahan batin yang luar biasa besarnya.

Shin Ci-koh kini alihkan pandangannya kepada In-nio dan berkata dengan lembut: ”Nona Sip, aku terkena pengaruhmu. Aku pernah mencelakai kau, kebalikannya kau berkorban untuk menolong aku. Sungguh aku mersa malu sendiri. Dahulu aku selalu membalas setiap sakit hati,

menumpas setiap penghinaan. Tetapi balas membalas itu, ternyata tiada baik akibatnya. Sesakti- saktinya kepandaian seseorang, toh pada suatu hari ia akan jatuh juga. Diriku ini menjadi sebuah contoh. Aku tak ingin Gong-gong-ji terjerumus dalam perjalanan hidupku yang lampau. Memang aku pernah menginginkan supaya Gong-gong-ji membalaskan sakit hatiku, tetapi itu keluar dari pikiranku yang terlalu mementingkan diriku sendiri.”

Diam-diam hati In-nio girang, pikirnya: ”Terhadap siapa harus membalas, terhadapa siapa harus tak menuntut balas. Sebenarnya tak boleh dicampur-adukkan. Tak nyana Shin Ci-koh dapat mengeluarkan kta-kata yang begitu berharga. Rupanya ia sudah memperoleh kesadaran batin.” lalu Ci-koh berplaing dan berkata kepada Khik-sia: ”Suhengmu itu berwatak berandalan, tidak

suka dikekang. Jauh lebih jelek dari aku. Aku sungguh tak tega. Kasih tahu padanya, dalam hatiku hanya da dia seorang tetapi akupun tak menghendaki karena diriku dia lantas tak kawin seumur

hidup. Dia terlalu tak pedulikan dirinya sendiri. Harus ada seorang isteri bijaksana yang membantunya.”

Mendengar uraian kata-kata Shin Ci-koh yang penuh mengandung petuah itu, ketiga anak muda itu sama menghela napas terharu. Mereka tak kira bahwa seorang wanita yang terkenal ganas, ternyata penuh dengan budi kehalusan seorang wanita.

”Harap cianpwe jangan kuatir. Belum tentu kau kalah dengan Leng Ciu lokoay. Dan kitapun tak mau tinggal diam melihati saja,” kata Khik-sia.

Shin Ci-koh tertawa rawan. Baru ia mau bicara, Yak-bwe sudah mendahului: ”Shin lo-cianpwe, bukankah sekarang kau sudah sembuh, mengapa tak tinggalkan tempat ini saja? Kupersembahkan kudaku untukmu. Kuda yang sehari dapat menempuh seribu li. Tak nanti Leng Ciu lokoay mampu mengejarmu. Setelah mendapatkan Gong-gong-ji, siapa yang berani mengganggumu?”

Alis Shin Ci-koh menjengkit, ujarnya: ”Walaupun aku tak ingin mengikat permusuhan dengan

Leng Ciu lokoay, namun akuun tak mau unjuk kelemahan. Aku sudah berjanji padanya, mana dapat mengingkari? Dia memberi obat padaku, berarti dia mempercayai aku. Jika aku tak pegang kepercayaan, mana aku masih punya muka hidup di dunia persilatan lagi? Melarikan diri, tak usah dikemukakan lagi!  Bukan saja begitu, pun besok malam dalam pertempuran itu, kalian sekali-kali tak boleh memberi bantuan!”

Yak-bwe menjadi malu sendiri. Namun diam-diam ia mengagumi Shin Ci-koh, pikirnya:

”Sungguh tak kecewa ia menjadi tokoh ternama. Dalam keadaan yang berbahaya sekalipun, ia tetap tak berubah pendiriannya.”

”Terima kasih atas perhatianmu semua. Tetapi kuharap tak usah meresahkan diriku. Maaf, sekarang aku masih perlu bersemedhi sebentar. Silahkan kalian bercakap-cakap dengan kawan lama.”

Khik-sia tundukkan kepala merenung. Yak-bwe menarik In-nio ke samping dan menanyakan tentang diri Bik-hu. Selama sibuk merawati Shin Ci-koh, In-nio memang tak sempat lagi memikirkan diri sutenya itu. Mendengar pertanyaan Yak-bwe, ia mendongak ke langit. Dilihatnya rembulan sudah tinggi. Sudah tengah malam.

”Akupun justeru sedang menunggu!” kata In-nio.

”Dia berada di mana? Mengapa kau seorang diri ke Yu-ciu? Dan bagaimana kau bisa berjumpa dengan Shin lo-cianpwe? Apakah kau berjanji dengan Pui suheng untuk bertemu di sini?” demikian Yak-bwe berturut-turut mengajukan pertanyaan. Ia mengira Bik-hu masih dalam ketentaraan.

In-nio menghela napas: ”Ceritanya amat panjang. Tapi lebih dulu aku hendak bertanya, bagaimana kalian berdua bisa datang kemari?”

”Pertama, hendak mencarimu. Kedua, karena Khik-sia disuruh Thiat-mo-lek mengantarkan surat kepada Se-kiat.”

”Apakah di tengah jalan tadi kamu berjumpa tentara-tentara yang kalah?” tanya In-nio. ”Karena ada dua pihak, yang bermusuhan saling bertempur. Kami tak mau terlibat dalam

urusan mereka, maka menghindari dan memilih jalan kecil saja. Mengapa mereka itu?” Yak-bwe balas bertanya.

”Su Tiau-gi dan adiknya bertempur sendiri. Raja Ki mengusir Se-kiat dari Tho-ko-poh, maka terjadi perang tanding yang gempar. Bik-hu dan aku tercerai berai,” In-nio menerangkan singkat. ”Oh, kiranya kau datang bersama Pui suheng? Aku tak tahu bilakah Beng Kong sudah menyambut Liang Hong?” Yak-bwe berseru girang. Beng Kong dan Liang Hong adalah sepasang suami isteri yang terkenal dalam sejarah. Mereka sependirian dan seperjuangan. Merahlah muka In-nio, dampratnya: ”Aku berkata tentang urusan serius, sebaliknya kau menggoda semaunya.”

Yak-bwe membisiki ke dekat telinga In-nio: ”Jejaka kawin perawan menikah, adalah urusan serius nomor satu di dunia. Emas seribu kati mudah didapat, tetapi kawan yang sehati sukar

ditemukan.   Dengan sudah mendapatkan kawan sehati, apakah kau tak layak bergirang? Bagus, bagus, ah, supaya kau tidak menjadi marah, silahkan kau katakan urusanmu yang serius itu. Aku tak mau menanyakan urusanmu pribadi.”

”Berbicara tentang urusan serius itu, artinya sia-sia saja Khik-sia memberikan surat Thiat-mo- lek itu kepada Se-kiat,” kata In-nio.

”Lho, mengapa? Apakah aku boleh turut mendengarkan?” Khik-sia menghampiri. ”Justeru memang hendak kudengarkan padamu,” sahut In-nio yang lalu memulai

keterangannya. ”Akulah yang lebih dulu datang ke Yu-ciu, kemudian Bik-hu baru menyusul. Benar memang aku sudah berjumpa dengan Se-kiat tetapi dalam statusku sebagai tawanan Tiau- ing.”

”Hai, kau menjadi tawanan Su Tiau-ing?” Khik-sia berseru kaget. Yak-bwe meliriknya dan mendengus: ”Huh, herankah? Apa yang tak dilakukan wanita siluman itu?”

In-nio menuturkan semua yang dialaminya. Waktu mendengar sampai pada hal Se-kiat hendak membujuk In-nio tapi kemudian ditolak tegas-tegas sehingga sampai bertempur, Khik-sia tak dapat menahan kemarahannya lagi: ”Tak nyana Se-kiat berubah menjadi manusia begitu!”

”Eh, kau jadi menemuinya, tidak?” tegur Yak-bwe.

”Mengingat persahabatan yang dulu, Thiat piauko hendak menasihatinya lagi untuk yang penghabisan kali. Karena piauko sudah mempercayakan surat itu kepadaku, berhasil atau tidak aku harus tetap menyampaikan surat ini kepadanya,” sahut Khik-sia.

In-nio mengangguk: ”Benar, tiada jeleknya mencoba sekali lagi. Ah, diharap setelah tentaranya mengalami kekalahan, ia mau mendengar nasihat Thiat cecu.”

Yak-bwe paling mengetahui pribadi In-nio.  Waktu In-nio menceritakan bagaimana Bik-hu menempuh bahaya menolong dirinya tadi, samar-samar Yak-bwe sudah dapat melihat adanya setitik kasih dalam hati In-nio kepada pemuda itu. Maka iapun tak begitu curiga akan kata-kata In-nio yang terakhir mengenai diri Se-kiat. Tapi ia berkata kepada diri sendiri, andaikata dirinya yang diperlakukan begitu oleh Se-kiat, tentu ia tak sudi lagi mengenalnya.

”Khik-sia, pergi pun baik. Menyerahkan surat itu nomor dua, yang penting kau harus menyirapi

di mana Bik-hu itu dan ajaklah kemari! Karena tak melihat cici In, dia tentu gelisah juga,” katanya. Sengaja ia kemukakan diri Bik-hu pada saat In-nio membicarakan Se-kiat. Untuk mencegah supaya In-nio jangan melantur lebih jauh.

Siapa tahu In-nio pun justeru mempunyai maksud begitu. Namun ia masih meragu, ujarnya: ”Walaupun memang baik juga Khik-sia pergi itu, tetapi bagaimana Shin lo-cianpwe ”

Tiba-tiba Shin Ci-koh kedengaran tertawa: ”Nona Sip, kau berpisah dengan sutemu dalam pertempuran itu, akupun turut memikiri juga. Kalian tak perlu meresahkan diriku.   Leng Ciu  lokoay mengatakan besok malam baru datang tentu besok malam. Tak nanti dia mencelakai aku sebelum lukaku sembuh. Tentang Ceng-ceng-ji, tanpa beserta Leng Ciu lokoay, tak nanti ia berani datang kemari! Kini tenagaku sudah pulih lima puluh persen, taruh kata ia (Ceng-ceng-ji) datang, akupun dapat mengatasinya. Pasukan Se-kiat kemarin malam baru menerobos keluar dari kepungan. Sute nona Sip itu mungkin berada di muka pasukan. Karena tak melihat nona Sip, ia tentu masih mencarinya, tentu belum pergi jauh. Urusan tak boleh ayal-ayalan. Toan siauhiap, jika hendak mencari mereka, sekarang juga kau harus berangkat.”

”Baik, berhasil menemukan mereka atau tidak, besok malam aku tentu balik kemari. Malam hari tak leluasa naik kuda, kutinggalkan untuk Shin lo-cianpwe, siapa tahu lo-cianpwe memerlukannya,” kata Khik-sia.

Karena tahu gin-kang Khik-sia itu tak kalah cepat dengan lari kuda, Shin Ci-kohpun

membiarkan saja. Katanya: ”Terima kasih atas kebaikanmu. Kau tak keburu balik kemari pun tak mengapa. Toh aku tetap akan bertempur seorang diri dengan lokoay itu.” Waktu In-nio dan Yak-bwe mengantar Khik-sia sampai keluar pintu, Yak-bwe tiba-tiba tertawa: ”Dalam memberikan surat kepada Se-kiat nanti, siapa tahu kau akan berkesempatan menjumpai nona Su-mu itu. Sayang sekarang ia sudah menjadi pengantin Se-kiat.”

”Bah, siapa yang masih mengenangkan nona siluman itu?” Khik-sia mendengus.

Sekalipun mulut mengatakan begitu tapi tak urung dalam perjalanan, Khik-sia juga teringat

akan Tiau-ing. Teringat selama berjalan ribuan li bersama nona itu. Ini bukan karena ia masih ada 'apa-apa' dengan nona itu, melainkan karena Tiau-ing dengan gaya yang lincah merangsang itu, meninggalkan banyak kesan padanya.

”Keris dan kerangka, adalah dwitunggal yang tak dapat dipisahkan. Tiau-ing dan Se-kiat itu benar-benar sejoli yang paling tepat!” pikirnya. Terkenang akan kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan Tiau-ing tempo hari, diam-diam Khik-sia mendongkol tapi pun geli. ”Sekarang kalau bertemu aku tak kuatir dirayu lagi. Tapi ah, lebih baik jangan berjumpa saja.”

Tiba di kaki gunung dan masuk ke dalam sebuah lembah, hari pun sudah menejelang terang tanah. Melalui tepi sebuah hutan, tiba-tiba ia mendengar suara orang yang berisik. Khik-sia menghampiri dan tampak tiga lelaki beralis tebal serta berpakaian opsir kerajaan Wi-yan (Su Tiau- gi) tengah bertengkar. Karena kepingin tahu, Khik-sia diam-diam mencuri dengar. Dengan gin- kangnya yang lihay, gerakannya tak mengeluarkan suara sama sekali hingga ketiga opsir itu tak mengetahui.

Salah seorang berkata: ”Ia musuh dari cukong (junjungan) kita. Jika kita serahkan kepada cukong, tentu kita mendapat hadiah besar.”

kata yang seorang: ”Keadaan cukong dalam bahaya, mana kau masih mengharap hadiah dari dia? Turut pendapatku, lebih baik kita serahkan pada Bo Se-kiat saja. Bo Se-kiat baik terhadap orang.”

Orang yang kesatu berkata pula: ”Hm, Bo Se-kiat gentleman palsu. Mana memperlakukan orang dengan baik? Apakah bukan pura-pura saja? Kau jangan percaya pada mulut siluma kecil

itu. Karena jatuh ke tangan kita, sudah tentu ia menurut apa saja. Begitu kita antarkan ia pulang, ia tentu berbalik muka kepadamu. Saat itu jangan lagi harta atau pangkat, sekalipun mangkuk nasi saja mungkin kau sekar mendapat.”

Khik-sia terkejut. Dari pembicaraan, terang mereka itu telah menawan orang. Mereka sedang berunding, hendak menyerahkan pada Su Tiau-gi atau pada Bo Se-kiat. ”Mereka menyebut-nyebut 'siluman kecil', apakah bukan seorang wanita?  Ha, apakah bukan ”

Baru Khik-sia berpikir begitu, tiba-tiba kedengaran orang yang ketiga tertawa gelak-gelak. Yang dua bertanya: ”Toako, apa yang kau tertawakan?”

Opsir ketiga itu menyahut: ”Aku menertawakan kalian yang begitu tolol. Bakpao sudah berada di mulut masakan diberikan orang lagi. Benar-benar kalian bernyali tikus!”

”Kalau menurut pendapatmu, bagaimana?” tanya kedua orang tadi.

”Su Tiau-gi, Bo Se-kiat, kedua-duaya tak boleh dipercaya. Memang Su Tiau-gi kini seperti

'patung Po-sat menyeberangi sungai' (berbahaya), Bo Se-kiat yang dienyahkan raja Ki, pun menjadi seperti 'anjing orang yang kematian keluarganya' (ngenas). Perlu apa kita berhamba pada mereka? Turut pendapatku, lebih baik kita pergi jauh dan mendirikan 'usaha' sendiri. Wanita kecil itu, kita jadikan isteri cecu (pemimping begal).”

”Bagus, tetapi jadi isteri siapa? Kita bertiga sudah seperti saudara, jangan sampai hubungan kita retak hanya karena siluman kecil itu,” kata kedua orang kawannya.

Kata opsir tadi: ”Aku ada sebuah cara. Kita adakan undian, siapa yang baik peruntungannya. Samte, coba kau patahkan ranting kayu ini menjadi tiga. Yang satu panjang, yang dua pendek. Yang mendapat kutungan panjang, akan memperisterikannya. Baik, jite, kau ambil dululah.” Begitulah opsir yang dua orang itu segera mengambil masing-masing sebatang kutungan ranting.   Sekonyong-konyong opsir yang dipanggil toako tadi turun tangan. Secepat kilat dia

membacok kedua kawannya tadi. ”Ha, ha, akulah yang menjadi toako. Kalian berani berebut isteri dengan aku, terpaksa aku bertindak!”

Selagi opsir itu tertawa kegirangan karena sudah memberesi kedua saingannya, tiba-tiba

sesosok tubuh melesat ke hadapannya dan membentaknya: ”Siapa yang hendak kau ambil isteri itu? Wanita itukah?”

Ternyata bayangan itu bukan lain Khik-sia adanya. Dan saat itu juga seorang wanita kedengaran berteriak: ”Khik-sia, tolonglah aku!”

Itulah Su Tiau-ing! Khik-sia berpaling dan dapatkan Tiau-ing tegak bersandar pada sebatang pohon siong. Mata mereka saling beradu. Tadi Khik-sia sudah membayangkan tentang perjumpaannya dengan Tiau-ing. Bahwa ternyata ia bakal berjumpa dalam keadaan seperti itu, membuat Khik-sia terlongong-longong. Si opsir menggunakan kesempatan itu untuk membacok Khik-sia.

Khik-sia gelagapan ketika tubuhnya  tersentuh dengan logam dingin. Bagi seorang ahli silat,

dalam saat-saat yang berbahaya, tentu akan mengadakan reaksi cepat untuk menghindar. Begitupun dalam saat yang fatal itu. Khik-sia turunkan bahunya dan condong ke sebelah kiri. Brat, bajunya terpapas rompal, jaraknya hanya  terpisah seujung rambut dari lengannya. Ternyata tenaga hantaman golok si opsir itu telah dihapus oleh kekuatan lwekang Khik-sia. Memang cepat sekali gerakan golok itu, tapi setelah mengenai baju, daya tenaganyapun sudah habis.

Opsit itu adalah salah seorang dari empat jagoan yang mengawal Su Tiau-gi. Ilmu

kepandaiannya tinggi juga. Bacokannya luput, ia maju dua langkah untuk mengjaga keseimbangan badannya yang condong ke muka. Dan menyusul ia lantas membacok Khik-sia lagi. Bahkan sekaligus ia lancarkan tiga buah serangan. Semuanya mengarah jalan darah maut dari tubuh Khik- sia. Itulah yang disebut jurus Liong-bun-song-long dari ilmu permainan golok Toan-bun-to.

Indahnya bukan buatan.

Tetapi saat itu Khik-sia sudah berjaga-jaga. Dan marahlah demi melihat keganasan orang itu. Bentaknya: ”Pemberianmu kukembalikan, rasakanlah sendiri golokmu ini!”

Menghindari ujung golok, ia mendekap gigir golok dengan kedua jari dan sekali dorong, ia

pinjam tenaga untuk memukul. Golok itu secepat kilat terputar dan berbalik menghantam kepala si opsir. Cret, bluk kepala opsir itu terbelah menjadi dua dan tubuhnyapun seperti batang pisang

rubuh ke tanah.

Berbareng dengan itu kedengaran lengking jeritan wanita. Ternyata Tiau-ing yang menjerit dan terus rubuh ke tanah. Khik-sia agak bersangsi, tapi akhirnya mau juga ia mengangkat nona itu. ”Aku hampir mati terkejut. Khik-sia, apakah kau tak terluka?” tegur Tiau-ing.

”Aku tak kena apa-apa. Hai, lukamu, lukamu ” Khik-sia tak dapat melanjutkan kata-katanya

karena Tiau-ing sudah menelungkupi dadanya. Ternyata Tiau-ing berlumuran darah hingga pakaian Khik-siapun kelumuran juga.

Bermula Tiau-ing pimpin pasukan wanita mengejar engkohnya. Tomulun pun memimpin pasukan suku Ki untuk mengejarnya (Tiau-ing). Tiau-gi balas menyerang dan terjadilah pertempuran di malam hari yang dahsyat. Tiau-ing terkena dua batang leng-cian (panah pendek) dan kuda tunggangannyapun terkena sebatang pisau. Kuda itu binal dan lari sekuatnya.

Dalam pertempuran malam gelap yang kacau balau itu, setiap orang tak mengenal mana lawan mana kawan lagi. Tiau-ing terluka, pun anak buahnya tak tahu. Begitu ia dilarikan kudanya, juga tiada anak buahnya yang mengawalnya. Kuda Tiau-ing mencongklang ke sebuah lembah buntu dan tak terduga-duga berjumpa dengan ketiga opsir bawahan Su Tiau-gi tadi. Ketiga opsir itu juga loloskan diri dari pertempuran yang kacau itu. Mereka hendak bersembunyi di lembah situ, setelah pertempuran selesai, mereka akan melihat gelagat dulu untuk menentukan pilihannya.

Mereka bertiga adalah orang kepercayaan Su Tiau-gi, sudah tentu kenal sekali dengan Tiau-ing. Sesaat mereka tak dapat mengambil putusan. Lebih dulu meringkus si nona, baru nanti berunding lagi. Demikian keputusan mereka. Opsir yang menyerang Khik-sia itu, memang tinggi ilmu silatnya.  Tapi ia jahat dan licin. Ingin ia memonopoli Tiau-ign sendiri, maka dibunuhnya kedua kawannya secara licik. Tapi ternyata ia pun mati sendiri di tangan Khik-sia.

Sebenarnya Khik-sia jemu dengan Tiau-ing. Tapi mengingat nona itu terluka berlumuran darah, tak sampai hati Khik-sia untuk mendorongnya.

”Khik-sia, tolong laukan sebuah kebaikan untukku.  Tusuklah aku supaya segera mati!   Dari sorot matamu, kutahu kau benci padaku. Perlu apa aku merintih minta kasihanmu? Kalau sudah membunuh aku, tentu kemarahanmu reda dan akupun tak banyak menderita kesakitan lagi!” ”Jika hatiku seperti kau, tentu tadi-tadi aku sudah tak mempedulikanmu lagi!” Khik-sia mendengus dingin.

Wajah Tiau-ing mengerut tawa dan berubahlah nada cakapnya: ”Khik-sia, aku merasa salah kepadamu. Tetapi akupun pernah berbuat baik juga. Khik-sia, janganlah hanya mengingat kejahatanku saja, pun seharusnya kau memikir mengapa aku berbuat tak baik kepadamu itu. Sebenarnya aku selalu hendak bersama kau, bersama kau ”

”Tutup mulut! Jika kau masih mengatakan hal-hal yang berguna itu, aku terpaksa melemparkan kau di sini!” bentak Khik-sia.

Tiau-ing menyeringai: ”Baik, aku takkan mengomong lagi. Hanya mendengar bicaramu, menurut putusanmu!”

”Kau pernah menolong jiwaku. Akupun pernah menolong jiwamu juga. Jika kali ini aku menolongmu lagi, kaulah yang lebih untung. Ganjalan hati dan budi pada wakut yang lampu, baik jangan diungkat lagi. Kini kau menjadi isteri Se-kiat, mari kuantarkan pulang kepada suamimu,” kata Khik-sia.

Rasa girang dan mendongkol tercampur dalam hati Tiau-ing. Girang karena mendapat pertolongan, mendongkol karena Khik-sia begitu getas tak berkecintaan. Meskipun menolong, tapi ia merasa dihina juga. Khik-sia tak memperdulikan anggapan Tiau-ing. Yang penting ia hendak menolong. Maka segera ditutuknya jalan darah Tiau-ing supaya berhenti mengalirkan darah, lalu dilumuri obat.

Tiau-ing mendapat itga buah luka. Lengan, perut dan punggungnya. Untuk melumurkan obat, Khik-sia harus membuka pakaian nona itu. Sudah tentu ia bersangsi. Tapi pada lain saat tampillah kesatriannya: ”Seorang ksatria selalu bertindak dengan terang dan jujur. Karena aku sudah meluluskan menolongnya, mengapa ragu-ragu?”

Sekalipun begitu tak mau ia membuka pakaian, melainkan merobeknya di bagian yang terluka

dan melumurinya obat. Karena pakaiannya ada empat lima bagian yang robek, malu juga Tiau-ing. Obat Khik-sia manjur sekali. Begitu dilumurkan, darahpun berhenti.  Khik-sia segera membuka jalan darahnya. Ujarnya: ”Kau tidurlah dulu, biar kucari kereta.”

Kata Tiau-ing: ”Penduduk desa di sekeliling tempat ini sudah pindah semua. Untuk mendapatkan kereta, kecuali merampas ke dalam kubu tentara, sekalipun kepandaianmu tinggi jangan harap bisa mendapatkan di lain tempat. Jika kau tinggalkan aku di sini, bagaimana nanti apabila ada musuh datang?”

Khik-sia anggap pernyataan Tiau-ing itu betul juga. Apa boleh buat, terpaksa ia membawa juga nona itu. Pikirnya: ”Aku hendak menyampaikan surat kepada Bo Se-kiat. Jika sekalian mengantar isterinya, berarti sekali tepuk dua lalat. Dengan mengolong isterinya itu, mau tak mau ia tentu berterima kasih kepadaku. Siapa tahu ia suka mendengar nasihatku.”

Segera ia memanggul nona itu dan dengan gunakan gi-kang ia lari sepanjang jalan besar. Tak berapa lama, ia berpapasan dengan sebuah pasukan berkuda, yakni gabungan anak buah Tomulun dan pasukan wanita dari Kay Thian-sian.

Sebagai kongcu (puteri) dari raja Wi Yan, sudah tentu setiap orang kenal pada Tiau-ing. Melihat sang puteri dipanggul seorang lelaki, gemparlah sekalian anak tentara. Pertempuran di daerah Tho- ko-poh kali ini, boleh dikatakan Tiau-ing lah yang menjadi biang keladinya. Karena bentrok

dengan engkohnya, mereka telah menjadikan daerah kediaman suku Ki itu sebuah medan peperangan. Tentara suku Ki tak senang pada Tiau-ing. Saat itu mereka menertawakan dan mendampratnya: ”Ho, apakah itu bukan memperlainya Bo Se-kiat? Baru kemarin ia menikah, sekarang sudah lari ikut lain lelaki.”

”Eh, rupanya tidak begitu. Jangan-jangan bocah laki itu yang menyerobotnya,” kata seorang lain.

Ada sementara tentara Ki yang kenal pada Khik-sia, berseru: ”Ai, apa bocah lai itu bukannya

yang tempo hari sudah melarikannya? Rupanya mereka berdua sudah sekongkolan, mana dituduh menyerobot? Lihatlah, siluman perempuan itu memeluknya kencang-kencang. Ai, mesra sekali!” Ada pula yang menyelutuk: ”Tak peduli perempuan itu diserobot atau suka rela melarikan diri dengan lain lekaki, tapi yang nyata Se-kiat telah menerima pembalasan yang setimpal. Se-kiat bermaksud hendak merampas daerah kita, kini isterinya diserobot orang lebih dulu. Ha ha, ini namanya 'siapa menanam tentu memetik hasilnya'.”

Anak buah pasukan wanita Kay Thian-sian, hampir semua benci pada Tiau-ing. Mereka sama mendekap mulut tertawa mengejek. Walaupun tak leluasa mendamprat tapi cemooh tertawa mereka itu lebih menyakitkan telinga.

Khik-sia berdada lapang. Ia hanya memikirkan menolong orang, lain tidak. Ia tak menyangka kalau perbuatannya itu dicemoohkan orang. Bermula panas juga ia mendengar cemooh ejekan mereka itu. Tapi pada lain saat, rasa ksatrianya lebih tampil. Ia tak mau meladeni mulut mereka yang iseng itu dan terus cepatkan larinya. Iapun siapkan pedang, menjaga kemungkinan apabila anak tentara hendak mengganggunya.

Benar juga nona 'manis' Thian-sian keprak kudanya ke muka dan tertawa gelak-gelak: ”Hai,

bocah laki, apa kau dirayu lupa daratan oleh perempuan siluman itu? Tidakkah kau melihat bentuk pakaiannya? Dia kan masih memakai pakaian pengantin! Hm, ternyata di dunia masih terdapat seorang perempuan yang begitu tak tahu malu dan seorang lelaki tolol yang begitu tak kenal selatan!”

Tiau-ing membisiki telinga Khik-sia: ”Khik-sia, bunuh perempuan jelek itu dan rampas kudanya!”

Thian-sian tak kenal Khik-sia. Sebaliknya Khik-sia pernah mendengar In-nio bercerita tentang diri Thian-sian. Begitu melihat wajahnya yang jelek, ia segera mengenalinya sebagai panglima

wanita berwajah jelek tapi berhati baik. Tak mau ia menempurnya. Begitu Thian-sian menerjang, Khik-sia segera melesat dari samping kuda si nona. Karena serangannya luput, Thian-sian tak keburu menarik pulang tangannya. Orang dan kudanya menerjang ke muka. 

”Tinggalkan perempuan siluma itu dankau nanti bebas! Jika tidak, kita tentu bertempur lagi!” bentak Tomulun seraya putar tombaknya.

Tempo hari Tomulun pernah kalah dengan Khik-sia. Anak raja itu mengagumi kepandaian

Khik-sia, itulah maka ia suka melepaskannya. Tapi demi dilihatnya Khik-sia masih bersikap seperti yang sudah-sudah, yakni mati-matian melindungi Tiau-ing, timbullah kecurigaan Tomulun bahwa Khik-sia tentu mempunyai hubungan tak layak dengan Tiau-ing.

Thian-sian putar kudanya dan berseru: ”Ging-kang bocah itu hebat sekali, hati-hati, jangan lepaskan dia!”

Tomulun ajukan kudanya dan dengan mainkan tombak ia membentak: ”Jika tak menyerahkan orang, jangan menyesal kalau tombakku tak bermata. Aku bukan bermaksud hendak mencelakai kau, tetapi perempuan siluman itu harus kutangkap!”

Khik-sia tetap tak mau berhenti, bahkan ia putar pedangnya dengan seru. Tring, tring, tring, tanah penuh dengan kutungan golok, tombak dan pedang tetapi tiada satupun dari anak buah Tomulun yang terluka. Khik-sia hanya memapas senjata tak mau melukai orang.

Tomulun mengejar, teriaknya: ”Apakah kau betul-betul sayang pada perempuan siluman itu?” ”Budak itu sudah lupa daratan. Rela mati asal mendapat paras cantik. Yang penting, tangkap saja perempuan siluman itu. Tak usah banyak bicara dengan budak itu,” seru Thian-sian.

Rupanya Thian-sian tahu kalau Tomulun itu segan bertempur dengan Khiks-ia. Maka iapun lantas mendesaknya. Ia paling benci Tiau-ing. Sudah tentu tak mau lepaskan kesempatan yang baik itu.

Tomulun kertek gigi dan membentak: ”Lihat tombak!” - Ia kaburkan kudanya dan menombak Khik-sia. Tombak yang panjangnya setombak lebih itu, menimbulkan angin keras.

Khik-sia putar diri untuk menghadapi Tomulun supaya Tiau-ing lebih aman. Begitu ujung

tombak hampir tiba di dadanya, ia lantas tempelkan pedangnya pelahan-lahan. Tombak Tomulun menurun ke bawah. Tomulun kerahkan tenaganya untuk mengangkat tekanan pedang Khik-sia.

Inilah yang ditunggu Khik-sia. Ia biarkan pedangnya dijungkirkan ke atas, lalu dengan meminjam tenaga congkelan itu, ia enjot tubuhnya melambung ke udara dan melayang sampai beberapa tombak jauhnya. Sambil dengan sebelah tangan menddekap tubuh Tiau-ing supaya jangan sampai jatuh, Khik-sia berjumpalitan dengan jurus Kek-cu-hoan-sim (burung merpati membalik tubuh).

Dalam posisi kaki di atas kepala di bawah, ia menukik turun seperti burung garuda meyambar. Jatuhnya tept ke arah seorang tentara berkuda. Ia congkel tentara itu sampai terguling ke tanah, kemudian ia hinggap di atas punggung kuda dan mengepraknya lari.

Baik anak buah Tomulun maupun pasukan wanita Kay Thian-sian sama melongo. Belum pernah mereka menyaksikan kepandaian yang begitu luar biasa. Setelah Khik-sia mencapai

setengah li, barulah kawanan tentara itu gelagapan. Mereka berteriak-teriak sembari lepaskan anak panah. Tetapi mana dapat mengenai? Memang ada beberapa batang panah yang hendak menyusup ke punggung Khik-sia tapi semua kena ditangkis jatuh oleh si anak muda.

Tomulun menghela napas: ”Ah, perempuan siluman itu benar-benar lihay. Meskipun sudah menjadi isteri Bo Se-kiat, ia masih dapat membuat seorang anak muda gagah menjual jiwa untuknya. Terang tadi anak muda itu tak mau melukai anak buah kita. Baiklah, biarkan dia pergi tak usah dikejar.”

Memang karena ditusuk pantatnya, kuda Khik-sia lari pesat. Tapi setelah lari beberapa saat, kuda itupun letih, mulutnya berbuih. Maklum bukan kuda sakti semacam kuda pemberian Cin Siang.

”Tiau-ing, apa kau sudah agak baik? Akan kurampaskan seekor kuda untukmu,” kata Khik-sia. Tiau-ing paksakan membuka mata dan dengan terengah-engah ia minta Khik-sia memeluknya kencang-kencang karena ia tak kuat duduk. Sebenarnya Khik-sia mengharap, setelah darahnya berhenti keluar, semangat Tiau-ing lebih kuat dan dapat naik kuda sendiri. Tetapi karena nona itu bertingkah sedemikian rupa, Khik-sia pun mengira lukanya tentu makin berat. Terpaksa ia dudukkan nona itu di muka. Dengan sebelah tangan memegang kendali dan sebelah tangan memeluk pinggang Tiau-ing, Khik-sia larikan kudanya.

Meskipun hati Khik-sia bersih tak mempunyai pikiran apa-apa namun karena duduk merapat di belakang seorang wanita cantik yang harum baunya, mau takmau berdebar juga hatinya, mukanya merah padam. Tapi ada lain macam bau yang membuat Khik-sia muak. Ialah walaupun darah pada luka Tiau-ing itu sudah tak keluar lagi, tapi dari luka-luka itu masih tetap mengalir air darah. Bau wangi tercampur bau amis, menjadi semacam bebauan aneh yang amat menusuk hidung. Khik-sia muak tapi kasihan juga.

”Ah, hari ini ia cukup menderita. Menolong orang harus sampai selesai. Aku sudah berjanji menolongnya. Sebelum bertemu Se-kiat aku harus menjaganya hati-hati.” Diam-diam Khik-sia mendamprat dirinya sendiri yang mempunyai rasa muak. Meskipun dengan naik kuda secara boncengan itu tak sedap dipandang umum, namun daripada menyuruh nona itu naik kuda sendiri dengan resiko mungkin akan jatuh, lebih baik ia memakai cara boncengan saja.

”Jalanlah di sebelah kiri jalanan ini, ai, mengapa kuda ini seperti tak bisa lari?” kata Tiau-ing dengan suara masih tersengal-sengal.

Jalan di bagian tengah akan menjurus ke kota Lu-liong, yakni lini (garis) yang akan ditempuh

Sip Hong dalam penyerangannya nanti. Jalanan bagian kiri, menuju ke kota Leng-bu. Merupakan lini yang akan dibuat jalan oleh Li Kong-pik dengan tentaranya nanti. Itulah maka Tiau-ing dapat menentukan bahwa Se-kiat tentu mengambil jalan yang membelok ke kiri itu. Khik-sia buru-buru hendak mengejar jalan, tapi kudanya sudah letih apalagi dinaiki dua orang. Makin lama makin lambat jalannya.

Selama dalam perjalanan itu, Khik-sia berpapasan dengan bermacam anak pasukan.  Mereka adalah tentara-tentara yang kalah perang. Ada yang termasuk anak buah Su Tiau-gi. Ada juga anak buah Se-kiat yang kececer di belakang dengan rombongannya. Di samping itu terdapat juga laskar rakyat suku Ki yang berbondong-bondong menuju ke kota Tho-ko-poh karena didengarnya terjadi pertempuran.

Khik-sia tak menghiraukan orang-orang itu.   Ia merampas kuda tentara pelarian itu untuk berganti tunggangan. Selama itu ia harus beberapa kali berganti kuda. Tak kurang dari belasan

ekor kuda yang ia rampas. Ketika mencapai 70-an li lebih, haripun sudah lohor (lewat tengah hari). Khik-sia gelisah. Ia teringat akan pertempuran Shin Ci-koh dengan Leng Ciu siangjin malam nanti. Ia sudah berjanji pada Shin Ci-koh, akan balik.

”Kalau sampai tak berhasil mengejar Se-kiat, bagaimana ini? Aku tak dapat menelantarkan Tiau-ing begini saja, tetapi aku tentu ingkar janji terhadap Shin lo-cianpwe. Yak-bwe dan cici In tentu gelisah memikirkan diriku,” pikirnya.

Teringat pada Yak-bwe, bercekatlah hati Khik-sia. Kalau Yak-bwe tahu perbuatannya saat itu,

tentu akan marah-marah. Paling tidak sepuluh hari atau setengah bulan tentu tak mau biara padanya (Khik-sia). Tapi ia tak berani membohongi tunangannya itu. Nantipun ia akan menceritakan terus terang.

Tengah pikiran Khik-sia gelisah, tiba-tiba di sebelah muka tampak segulung debu mengepul. Jauh di padang rumput sana tampak suatu pasukan besar sedang bergerak. Khik-sia girang dan cepat keprak kudanya.

”Apakah di sebelah muka terdapat Bo Se-kiat?” teriaknya. Ia gunakan lwekang suara Coan-im-

jip-bi. Di tempat lapangan, suaranya dapat disampaikan 5-6 li jauhnya. Ia tak mau memanggil 'Bo toako' lagi. Pun tak suka menyebut 'Bo bengcu'. Langsung saja ia memanggil nama Bo Se-kiat.

Ia harap Se-kiat akan lekas-lekas keluar.  Setelah menyerahkan surat dan meminta balasan, terus ia kembali ke biara rusak. Kalau ia dapat berjumpa dengan Se-kiat sendiri, itu lebih cepat selesainya. Tak usah melalui liku-liku peraturan ketentaraan di mana orang harus mendaftarkan diri dulu bila hendak bertemu pada seorang pembesar.

Ia larikan kudanya terus. Kira-kira satu li jauhnya dari pasukan besar itu, barulah ia melihat Bo Se-kiat diiring beberapa pengawal, berkuda menyongsong datang. Buru-buru Khik-sia turunkan Tiau-ing. Berbareng itu Se-kiatpun sudah tiba dan loncat turun dari kudanya. Demi melihat pakaian Tiau-ing compang-camping dan tubuh berlumuran darah, wajah Se-kiat mengerut gelap. Khik-sia tercengang.  Pikirnya: ”Se-kiat tampak kurang senang, ai, apakah, apakah kurang

ajar, apakah dia curiga padaku?”

Belum lagi ia sempat membuka mulut memberi keterangan, Tiau-ing sudah melengking dan lari kepada Se-kiat.

”Ing-moay, ini, ini, bagaimana?” tanya Se-kiat dengan getar.

Tiau-ing menelengkupi dada Se-kiat dan menangis tersedu-sedu: ”Dia, dia, dia menghina aku!” Karena berkata dengan isak tangis, suara Tiau-ing pun takjelas. Namun Khik-sia dapat mendengarnya dengan terang, seterang melihat burung merpati putih terbang di siang hari. Kejutnya bukan kepalang sehingga ternganga mulutnya.

”Nona Su, aku, kau kata apa?” tergopoh-gopoh ia menegur.

Mata Tiau-ing membalik seperti orang hendak menumpahkan kemarahan, dan sesaat pingsanlah ia dalam pelukan Se-kiat. Ternyata nona itu marah sekali atas sikap yang begitu dingin dari Khik- sia. Ia tak dapat melihat seorang pemuda yang pernah 'diincar' bersikap begitu dingin kepadanya. Ia anggap itu suatu penghinaan. Tadi sewaktu di hutan ditolong Khik-sia, timbullah seketika bekas-

bekas cinta lama yang mengeram dalam hatinya kepada anak muda itu. Ia hendak 'menghangatkan' api asmara itu, tetapi disemprot Khik-sia. Khik-sia menganggap ia harus berlaku tegas dan jujur terhadap seorang wanita yang sudah bersuami. Siapa tahu hal itu telah menyinggung perasaan Tiau-ing. Akibatnya, budi dibalas dengan badi. Budi pertolongan Khik-sia, bukan saja tak diterimakasihi bahkan dibalasnya dengn kebencian yang menyala-nyala. Ia memutar balik urusan dan mengadu pada suaminya.

Pingsannya Tiau-ing itu memang bukan pura-pura. Selama dalam perjalanan naik kuda dengan mengandung luka-luka itu, memang napasnya sudah terhimpit. Ditambah pula dengan kemarahan dan kebenciannya terhadap sikap Khik-sia. Dan sakit hati itu dirasakan lebih hebat dari sakit luka di tubuhnya. Maka setelah mengucapkan beberapa patah kata kepada Se-kiat, iapun tak kuat lagi. Wajah Se-kiat makin gelap. Tiau-ing diserahkan pada salah seorang tentara wanita dan ia lantas mencabut pedang. Bentaknya: ”Khik-sia, kau bangsat kecil yang kelewat menghina aku!” - Sang kaki mengisar maju, pedang cepat menusuk Khik-sia.

Cengang Khik-sia masih belum tenang. Begitu pedang melayang tiba, baru ai gelagapan dan menghindar. Bret, leher bajunya tertusuk bolong namun ia dapat menghindar juga.

Khik-sia tak nyana sama sekali bahwa pertolongannya bakal mendapat balasan yang sedemikian keji. Sesaat tak tahulah ia bagaimana harus bertindak. Sebaliknya Se-kiat, sekali turun tangan terus menyerang berturut-turut. Setiap serangannya selalu menggunakan jurus berbahaya.

Bahwa orang yang belajar silat, pokoh utama ialah untuk membela diri. Maka karena didesak begitu rupa, mau tak mau Khik-sia curahkan perhatian untuk menghindar. Konsentrasi pikirannyapun mulai pulih. Tahu ia apa yang dihadapinya itu.

Setelah menghindar, berserulah ia: ”Bo Se-kiat, dengarlah. Isterimu itu terluka. Aku bertemu di tengah jalan. Dengan baik-baik kuantarkan kemari!”

Se-kiat kertek gigi dan mendampratnya: ”Untung ia belum mati dan masih dapat bicara membuka kebohonganmu!”

Cret, kembali ia sambarkan pedangnya dengan ganas.  Sekali tabas hendak mengambil jiwa orang. Poan-liong-yau-poh atau naga melingkar melilit kaki, demikian Khik-sia bergerak seraya mencabut pedang.   Saat itu pedang Se-kiat sudah hampir mencium punggungnya. Dengan sebat Khik-sia menyabat ke belakang dan tepat sekali dapat menangkisnya. Terlambat sedikit saja, walaupun gin-kangnya lihay, tapi tentu akan kena juga.

Marahlah Khik-sia: ”Kau hanya mendengar omongan isterimu saja tapi tak mempedulikan keteranganku!”

Se-kiat tertawa mengejek: ”Siapa percaya obrolanmu? Apakah isteriku sudi merayumu?” Dalam tukar bicara itu, Khik-sia sudah menghindari tiga buah serangan. Serunya: ”Bo Se-kiat, kau betul-betul gelap pikiran. Jika aku menggoda isterimu, masakan aku berani mencari kau kemari? Karena ia terluka, siapa yang menolong kalau bukan aku?”

Se-kiat terkesiap namun pedangnya tetap menyerang, bentaknya: ”Bangsat, jangan ngoceh tak keruan. Jika tak kubasmi nyawamu tentu tak dapat mencuci bersih hinaanmu!”

Se-kiat seorang yang cerdas.   Mana ia tak dapat menimbang penjelasan Khik-sia tadi? Tapi justeru makin menimbang, makin besar rasa terhina dan cemburunya! Ia anggap keterangan Khik- sia yang mengatakan bahwa Tiau-ing lah yang merayu, menandakan bahwa isterinya itu masih belum dapat melupakan Khik-sia. Dan karena maksudnya tak tercapai maka Tiau-ing telah berbalik mendakwa Khik-sia. Se-kiat tahu juga hal itu. Namun karena ia tak dapat meninggalkan Tiau-ing, untuk menjaga kehormatanya, ia harus melenyapkan Khik-sia.

Karena Se-kiat tetap menutup telinga dan menyerang ganas, akhirnya marah juga Khik-sia. Serunya: ”Thiat toako akan menyerahkan surat padamu. Lihat dulu surat itu, baru kita bicara lagi! Jika kau tak mau insyaf dan tetap akan bersama dengan perempuan siluman itu, terserah padamu kalau mau berkelahi. Akupun sedia melayani!”

Khik-sia gunakan gerak kek-cu-hoan-sim atau burung merpati membalik tubuh, untuk buang tubuhnya sampai tiga tombak ke belakang. Ia keluarkan surat dan dorongkan tangan kiri dalam pukulan biat-gong-ciang, surat itu melayang kepada Se-kiat. Tetapi tanpa melihatnya, Se-kiat bolang-balingkan pedangnya dalam jurus Pat-hong-hong-ih (hujan angin dari delapan penjuru) dan surat itupun hancur berkeping-keping bertebaran dibawa angin.

”Heh, apa kata Thiat-mo-lek kalau bukan mengulangi lagu lama yang menjemukan itu. Aku tak memerlukannya. Toan Khik-sia, mengingat sekelumit persahabatan kita yang lalu, silahkan kau bunuh diri sendiri. Agar aku tak perlu mencincang tubuhmu!” Se-kiat tertawa dingin.

Saking marahnya mulut Khik-sia sampai berbuih, bentaknya: ”Se-kiat, kau tahu malu atau tidak? Yang harus bunuh diri adalah kau sendiri!”

”Apa kau masih akan bertanding lawan aku? Baik, terimalah kematianmu!”

Khik-sia tak dapat mengendalikan diri lagi dan menusuk. Tetapi sekali tangkis, Se-kiat dapat membuat Khik-sia terhuyung-huyung. Hampir saja ia termakan tusukan Se-kiat.

Khik-sia terkejut. Cepat ia tenangkan diri. Tapi secepat itu, Se-kiatpun sudah menusuk dada

Khik-sia. Tring, Khik-sia gunakan jurus Heng-hun-toan-hong untuk menangkis dan pedang Se-kiat pun gempil sedikit. Keduanya sama-sama tergetar tubuhnya.

Se-kiat terkejut, pikirnya: ”Kepandaiannya maju pesat sekali.” - Dahulu ketika diadakan pertandingan memilih lok-lim-beng-cu di gunung Kim-ke-nia, kedua anak muda itu pernah bertempur.   Memang kala itu Khik-sia lebih kalah setingkat. Tetapi dia sedang dalam masa

pertumbuhan, maka tenaganyapun lebih cepat bertambah kuat dari Se-kiat. Dalam pertempuran kali ini, tenaga mereka pun sudah berimbang. Bahkan Khik-sia menang set karena memakai pedang pusaka.

Tengah pertempuran berlangsung seru, kawanan thau-bak bawahan Se-kiat yang berjumlah belasana orang dan kawanan baju kuning pun tiba. Para thau-bak itu sudah kenal pada Khik-sia. Mereka kaget dan heran melihat Se-kiat bertempur lawan Khik-sia.

Seorang thau-bak yang sudah agak tua, maju memberi nasihat: ”Harap bengcu jangan umbar kemarahan. Kita harus bertindak menurut pertimbangan. Walaupun kita berbeda tujuan dengan Thiat cecu dari Kim-ke-nia, tetapi kita sama-sama satu sumber.”

Dan ada juga yang menasihati Khik-sia: ”Toan hengte, harap kau minta maaf pada bengcu. Entah kesalahan apa yang kau lakukan terhadap bengcu. Tetapi saling bunuh itu kurang baik. Setelah kau minta maaf, kamipun dapat membantu menyelesaikan urusan.”

Rupanya mereka tadi telah melihat Tiau-ing dipayang dua orang tentara wanita. Sedikit banyak mereka dapat menerka apa yang terjadi. Di dunia persilatan, mempermainkan isteri orang merupakan pantangan yang paling besar. Apalagi isteri dari Lok-lim-beng-cu. Tetapi orang-orang itu cukup mengenal Khik-sia sebagai pemuda yang lurus. Walaupun menilik keadaan Tiau-ing tadi, Khik-sia patut dicurigai, tetapi mereka tetap masih sangsi. Sebagian yang tahu akan mentalitet Tiau-ing, tak menyangsikan lagi kejujuran Khik-sia. Dengan pertimbangan bahwa Khik-sia itu seorang pemuda gagah yang lurus hati dan menjadi sute dari seorang tokoh loklim (Thiat-mo-lek) yang sangat diindahi, mereka segera berusaha untuk melerai.

Tetapi mana Khik-sia mau disuruh minta maaf? Ujarnya: ”Se-kiat yang salah! Perempuan siluman itu menyembur fitnah, dan dia tak mau menerima keteranganku terus mau membunuh aku saja. Jika disuruh minta maaf, seharusnya Se-kiat yang melakukan lebih dulu.”

Khik-sia masih muda umurnya. Sekali marah, ia tak ingat tempat lagi.   Tiau-ing dicacinya sebagai 'perempuan siluman'. Suatu hinaan yang hanya sesuai untuk seorang wanita yang cabul. Sudah tentu Se-kiat marah sekali.

”Ini adalah urusanku dengan bangsat itu. Tak usah kamu turut campur. Barisan pengawal dari Hu-song-to tetap tinggal di sini, yang lain boleh pulang. Beritahukan pada sekalian saudara, tak boleh keluar kemah tanpa ijin,” Se-kiat mengenyahkan kawanan thau-bak itu. Diam-diam ia sudah merencanakan, pada suatu kesempatan ia tentu harus melenyapkan beberapa thau-bak yang pro Khik-sia itu.

Kawanan thau-bak itu saling berpandangan satu sama lain. Mereka tak sadar kalau menyalahi perasaan Se-kiat dan menimbulkan kebencian bengcu itu. Dan karena melihat Khik-sia tetap membangkang, mereka anggap percuma saja melerai. Maka merekapun segera tinggalkan tempat itu. Kini yang tinggal hanya delapan orang baju kuning (pengawal Se-kiat dari Hu-song-to).

Mereka memencar diri di delapan penjuru tetapi tak mau menyerang Khik-sia.

Sekonyong-konyong permainan pedang Se-kiat berubah. Ia berganti dengan ilmu pedang Loan- bi-hong-kiam-hwat (ilmu pedang angin lesus). Ujung pedang selalu mengarah jalan darah berbahaya dari tiga bagian tubuh Khik-sia. Kiranya Se-kiat mencemaskan gin-kang Khik-sia yang tinggi, maka yang terutama ia hendak melukai kaki anak muda itu supaya jangan sampai bisa melarikan diri.

Khik-sia unggul dalam senjatanya. Se-kiat lebih menang sedikit dalam tenaga kepandaian. Jika

ko-chiu bertempur, baik tidaknya senjata yang mereka gunakan itu memegang peranan besar. Yang bersenjata pedang pusaka, sudah tentu lebih enak. Tetapi sekali-sekali bukan yang menentukan kemenangan. Ilmu pedang yang dimainkan Se-kiat itu, adalah ilmu pusaka dari Hu-song-to yang

tak pernah diajarkan pada orang luar. Sekali dikeluarkan, Se-kiat segera menang angin.

Khik-sia mengandalkan ilmu gin-kangnya untuk berlincahan mengikuti srangan lawan. Dalam beberapa kejap, ia sudah menghindari tiga puluh enam jurus serangan Se-kait. Seklaipun Se-kiat tak mampu menusuknya, namun Khik-sia pun tak mampu keluar dari lingkaran pedang lawan.

Melihat Se-kiat tumpahkan permainannya agar Khik-sia jangan sampai lolos, diam-diam marahlah Khik-sia. Ia mengambil putusan untuk mengadu jiwa. Namun keduanya sama-sama mempunyai keistimewaan sendiri. Tanpa terasa, mereka telah bertempur sampai 100-an jurus dengan tetap belum ada yang kalah atau menang.

Khik-sia mendongak dan dapatkan matahari sudah condong ke barat. Ia terkejut, pikirnya: ”Menilik naga-naganya, pertempuran ini tentu akan berlangsung sampai seribu jurus. Dengan begitu bukankah akan menelantarkan janji pada Shin lo-cianpwe?” Pikirnya lebih lanjut: ”Se-kiat rupanya hendak mengurung aku, tapi aku justeru hendak pergi dari sini dulu baru nanti kupertimbangkan lagi. Apalagi di sini daerah kekuasaannya. Sekalipun mungkin ia sungkan suruh anak buahnya membantu, tetapi kalau pertempuran berjalan kelewat

lama, akulah yang menderita kerugian. Kalau hari ini aku sukar mendapat kemenangn, perlu apa aku melibatkan diri dalam pertempuran.”

Tetapi Khik-sia sudah terkurung dalam lingkaran pedang. Mau lolospun tak mudah. Khik-sia tenangkan dirinya. Terhadap ilmu pedang Se-kiat, sedikit banyak ia sudah dapat mengetahui. Sekonyong-konyong ia rubah permainannya. Pedang diputar melingkar seperti orang main golok.

Dengan jurus Lui-tian-kiau-hong ia bacok kepala Se-kiat kemudian membabat dua kali. Sekali

gerak dua serangan. Dahsyatnya bukan kepalang. Se-kiat terkejut dan terdesak mundur sampai dua langkah.

Ternyata permainan yang digunakan Khik-sia itu, bukan asli ilmu pelajaran dari perguruannya, melainkan ilmu pedang ciptaan Thiat-mo-lek yang dinamakan Hok-mo-kiam (ilmu pedang iblis mengeram). Pada waktu Thiat-mo-lek bertempur dengan Se-kiat dalam perebutan lok-lim-beng-cu tempo hari, Thiat-mo-lek sengaja mengalah. Padahal ilmu pedang ciptaannya itu adalah justeru penunduk dari ilmu pedang Se-kiat. Sebenarnya ilmu pedang ciptaan Thiat-mo-lek itu bukan lebih lihay dari ilmu pedang perguruan Khik-sia. Melainkan karena ilmu pedang Thiat-mo-lek itu mengambil kelihayan (keistimewaan) dari permainan golok dan pedang. Tetapi pun ada syaratnya ialah harus dimainkan oleh orang yang memiliki lwekang tinggi. Jika lwekangnya kalah dengan lawan, tentu sukar untuk mengalahkan lawan.

Dalam pertempuran yang berlangsung lama itu, tiba-tiba Khik-sia teringat akan ilmu pedang

yang dimainkan Thiat-mo-lek tempo dulu. Sekalipun ia tahu kalau tenaganya masih kalah dengan Se-kiat, namun ia dapat menutup kekurangan itu dengan pedang pusakanya. Akhirnya ia ambil putusan untuk mencobanya juga.

Pedang pusakan memang bukan faktor yang menentukan kemenangan. Tetapipun membahayakan juga. Se-kiat segera mengenali permainan Khik-sia itu adalah ilmu pedang yang pernah dimainkan Thiat-mo-lek dahulu. Kuatir pedangnya akan terpapas kutung oleh pokiam Khik- sia pula karena teringat bahwa tempo dulu pernah dikalahkan Thiat-mo-lek dengan ilmu permainan itu, tergetarlah hati Se-kiat. Dan karena hatinya jeri, iapun kena didesak mundur sampai dua langkah.

Sebenarnya Khik-sia bisa ilmu itu hanya karena melihat saja, Thiat-mo-lek tidak mengajarkan padanya. Karena itu permainannyapun kurang sempurna. Jika saja Se-kiat tidak kuncup nyalinya, belum tentu Khik-sia dapat menang.

Setelah berhasil mengundurkan Se-kiat, Khik-sia segera enjot tubuhnya lolos dari lingkaran pedang Se-kait. Tetapi sebelum kakinya menginjak bumi, dua orang baju kuning sudah menghadangnya: ”Bangsat kecil, hendak lari kemana kau?” - Secepat kilat pedang merekapun sudah lantas menusuk.

Tetapi Khik-sia tangkas sekali. Mendengar sambaran pedang, tumitnya menginjak tanah dan dengan jurus heng-hun-toan-ma atau awan melintang memotong puncak, ia balikkan tangan menghantam. Tapi ia tak bermaksud melukai orang maka yang dipapas hanya pedang mereka saja. Setelah dapat memapas kutung, Khik-sia terus hendak menerobos keluar.

Kedua orang baju kuning itupun tidak lemah. Berbareng pada saat itu, ujung pedang dari salah seorang membentur pedang Khik-sia, sementara baju kuning satunya menyerang maju dalam jurus Hi-si-hun-kim. Ujung pedang menusuk lutut Khik-sia.  Jurus ini adalah serangan untuk menolong diri dari bahaya. Khik-sia menyambut mereka dengan tak kurang istimewanya. Untuk pedang yang coba menekan pedangnya, ia babat kutung lagi. Sedang untuk si penyerang yang menusuk lututnya, ia tendang lututnya. Kedua orang baju kuning itu terpaksa mundur dua langkah. Tapi pada saat itu Se-kiatpun sudah selesai tiba.

”Se-kiat, hari ini aku benar-benar menyaksikan kegaranganmu sebagai lok-lim-beng-cu. Masih ada berapa lagi orangmu? Mengapa tak suruh mereka maju semua?” Khik-sia tertawa mengejek. Se-kiat balas mengejek tertawa: ”Bukankah kau mengatakan hendak bertempur mati-matian padaku? Mengapa belum ketahuan kalah menangnya, kau sudah mau lari terbirit-birit? Mereka hanya kutugaskan menahan tetamu saja, sekali-kali takkan mengeroyokmu. Mari, mari, kita bertempur sampai tiga ratus jurus lagi. Asal kau tak lari, mereka pun takkan turun tangan.”

Kedua baju kunging itupun tak bergerak lagi. Mereka berdiri bahu membahu dengan saling silangkan pedangnya. Memberi hormat kepada Khik-sia, berkatalah mereka: ”Harap Toan siauhiap suka tinggal!”

Marah Khik-sia tak terkira. Ia ingin menggasak Se-kiat. Tetapi demi teringat akan janjinya kepada Shin Ci-koh dan Yak-bwe, In-nio yang menunggu kedatangannya, amarahnyapun reda. ”Ya, ya. Thiat toako berulang kali memperingatkan aku, tidak boleh marah kalau berhadapan dengan musuh. Huh, jangan samapi aku termakan tipu Se-kiat!” pikirnya.

Selagi Se-kiat belum dekat, secepat kilat Khik-sia berputar tubuh dan lari ke jurusan lain, serunya: ”Jika mau bertanding sampai ada yang kalah, mari ikut aku ke gunung sana!” ”Apakah di sini tidak sama saja, perlu apa ke lain tempat?”  Se-kiat menertawakan. Dan

berbareng itu kedengaran dua orang baju kuning sudah menyerang Khik-sia: ”Harap tinggal di sini saja!”

Kedelapan Ui-ih-jin (baju kuning) itu menduduki delapan jurusan. Setiap akali Khik-sia hendak menerobos di sela-sela mereka, dengan spontan mereka tentu akan menutup. Khik-sia tak berdaya menerobos keluar walaupun gin-kangnya tinggi.

”Hm, kukuatir kalian tak mampu menahan aku!” Khik-sia mengejek serta menabas. Kedua orang baju kuning acungkan pedangnya. Begitu pedang saling melekat, Khik-sia menggembor

keras dan maju dua langkah. Namun kedua orang itu meskipun mundur, pedangnya tetap bertahan mati-matian.

Kiranya Khik-sia telah adu lwekang dengan kedua Ui-ih-jin itu. Jika lwekang Khik-sia tak mampu menindih lawan, sekalipun mempunyai pokiam juga tak berguna karena tak dapat mengutungkan pedang orang.

Kedelapan orang baju kuning itu adalah pengawal dari pemimpin pulau Hu-song-to.  Mereka sudah mendapat gemblengan ilmu lwekang dari Bo Jong-long. Meskipun tidak selihay lwekang Bo Se-kiat dan Khik-sia, namun karena dua orang maju berbareng, maka untuk beberapa saat Khik- siapun sukar mengalahkan.

Khik-sia kerahkan lwekang Hian-kang untuk mematahkan pedang kedua lawannya. Tiba-tiba kedua orang itu tertawa mengejek: 'Toan siauhiap lihay sekali! Tetapi dengan menggunakan ilmu lwekang Hu-song-to untuk membunuh kami, entah bagaimana bila kelak siauhiap bertemu muka dengan To-cu kami?”

Memang Khik-sia pernah mendapat bimbingan dari ketua Hu-song-to (Bo Jong-long) tentang ilmu lwekang mereka. Ia tahu juga tentang inti rahasia ilmu itu. Karena terburu-buru hendak

meloloskan diri, Khik-siapun lantas gunakan Siau-bu-siang-sin-kang, sebuah tenaga lwekang yang paling mudah untuk memecahkan lwekang lawan. Dan Sian-bu-siang-sin-kang itu justeru merupakan lwekang yang paling istimewa dari kaum Hu-song-to.

Khik-sia terkejut sendiri dan kemerah-merahan mukanya. Lwekang Siau-bu-siang-sin-kang itu ternyata merajai sekali. Kalau menggunakan tenaga penuh, bukan melainkan pedang lawan saja yang akan putus, pun orangnya juga akan menderita luka dalam yang parah.

Khik-sia hanya membenci Se-kiat seorang. Sekalipun begitu ia masih tak sampai hati untuk membunuhnya. Adalah karena Se-kiat mendesaknya begitu rupa, terpaksa Khik-sia mengadu jiwa juga. Kawanan baju kuning itu hanya urusan dari Hu-song-to, mereka hanya mendengar perintah Se-kiat saja. Sudah tentu Khik-sia lebih-lebih takmau melukai mereka. Buru-buru Khik-sia menarik kembali pedangnya. Karena lwekang sudah mencapai tingkat sedemikian rupa, dapat disalurkan-ditarik menurut sekehendak hati. Tidak demikian dengan kedua baju kuning itu.

Mereka tak mampu menguasai gerak lwekangnya seperti Khik-sia. Karena lwekang mereka masih tetap menyalur, Khik-sia menderita kerugian. Ia terhuyung-huyung beberapa tindak dan hampir- hampir rubuh.

Sret, Se-kiat datangn dengan menusuk: 'Oho, tak nanti kau mampu lolos. Lebih baik bertempur lagi.  Apa yang kau bisa, keluarkanlah semua. Sekalipun kau gunakan ilmu dari pamanku (Bo Jong-long), akupun takkan mengejekmu.” ”Ilmu dari perguruanku tak nanti lebih rendah dari kaummu!” Khik-sia berseru marah. Sekali putar pedang, ia menyerang sembilan jalan darah di tubuh Se-kiat.

Se-kiat lintangkan pedang untuk melindungi diri. Ia bersikap bertahan tak mau menyerang.

Pedang keduanya dalam beberapa kejap saja sudah saling berbentur sembilan kali. Tapi karena cepatnya gerakan mereka, benturan itupun hanya ringan saja dan karenanya pedang Se-kiatpun tak sampai putus.

”Ilmu menusuk jalan darah dari Wan-kong-kiam-hwat benar-benar lihay! Sayang kau berhadapan dengan aku, tak mudah mencapai maksudmu!” kembali Se-kiat tertawa mengejek. Khik-sia terubur-buru dan marah. Pula tadi ia sudah menderita sedikit ketika adu lwekang dengan kedua baju kuning. Sebenarnya memang lwekang Khik-sia lebih rendah sedikit dari Se- kiat. Ia menyerang dengan kalap dan ini lebih menghamburkan tenaga lwekangnya.

Tiba-tiba Se-kiat membentak: ”Kau tak dapat melukai aku, maaf, aku yang akan melukai kau!” Cret, pedang Se-kiat menyambar dengan dahsyat. Khik-sia yang sudah kehabisan tenaga, tak kuat menangkis. Ia cepat menghindar tapi tak urung ujung bajunya tertusuk berlubang, lengannya tergurat luka sepanjang tiga dim.

Se-kiat hendak melanjutkan keganasannya tapi sekonyong-konyong terdengar suara orang memaki dengan melengking: ”Kurang ajar! Bo Se-kiat, kau berani mengganggu sute-ku!”

Se-kiat terperanjat. Tampak segulung asap putih meluncur cepat sekali. Walaupun belum melihat jelas orangnya, tapi manusia yang dapat berlari secepat angin pada jaman itu, siapa lagi kalau bukan Gong-gong-ji.

Karena bar pertama kali itu datang di Tiong-goan, kedelapan pengawal baju kuning dari pulau Hu-song-to, tak kenal akan kelihayan Gong-gong-ji. Gong-gong-ji menerobos dari jurusan barat-

laut, ialah justeru jurusan yang hendak diterobos Khik-sia tadi. Penjaganya juga kedua baju kuning yang adu lwekang dengan Khik-sia itu. Begitu ada angin menyambar, merekapun cepat menutup jalan. Jurus yang digunakanpun serupa seperti yang mereka lakukan terhadap Khik-sia.

Gong-gong-ji bersuit dan tring, tring, pedang kedua baju kuning itupun kutung menjadi dua. Itu bukan karena lwekang Gong-gong-ji jauh lebih tinggi dari Khik-sia. Tapi soalnya, Gong-gong-ji bergerak lebih cepat. Sebelum pedang kedua baju kuning itu merapat dan lwekangnyapun belum menyalur, sudah didahului oleh Gong-gong-ji.

”Jelas tidak? Ini sekali-kali bukan ilmu kepandaian dari Hu-song-to!” Gong-gong-ji menertawakan. Tetapi kedua jagoan Hu-song-to itu sudah lari terbirit-birit. Tiba-tiba mereka rasakan kepalanya silir sekali. Dikiranya kalau Gong-gong-ji mengejar. Mereka berpaling dan legalah hati mereka karena Gong-gong-ji ternyata tidak mengejar. Saat itu baru mereka berani

meraba kepala .... astaga, kepala mereka sudah gundul kelimis! Mereka terkejut dan Gong-gong-ji tertawa terbahak-bahak.

Puas tertawa, Gong-gong-ji melesat ke muka Se-kait dan membentaknya: ”Kau berani mengejek ilmu pedang kaumku?” - Wut-wut, wut, pedang berhamburan mengarah ke sembilan jalan darah Se- kiat. Jurusnya serupa dengan yang dimainkan Khik-sia, tetapi perbawanya jauh lebih hebat, seperti petir menyambar-nyambar.

Se-kiat menutup tubuhnya  dengan lingkaran pedang. Memang ilmu pedang Hu-song-to mempunyai keistimewaan tersendiri. Pedangnya seolah-olah merupakan segulung sabuk kumala. Sedemikian rapatnya hingga air hujan pun tak dapat menembus. Tring, tring, tring, suara benda tajam berdering-dering dan dalam sekejap itu kedua pedang mereka sudah berbentur sampai sembilan kali. Se-kiat tangannya kesemutan, tapi Gong-gong-ji pun tak mampu menusuk jalan darah lawannya.

Kalau Se-kiat sudah menahan napas sedemikian rupa, ternyata serangan Gong-gong-ji itu hanya merupakan serangan kosong yang demonstratif. Dan gerak permainannyapun masih berlangsung. Membarengi kaki Se-kiat agak miring karena serangan bertubi-tubi tadi, Gong-gong-ji tiba-tiba menampar dengan sebelah tangannya. ”Bo Se-kiat, kau berani menghina sute-ku, terimalah sebuah tamparanku!”

Khik-sia geli dalam hati: ”Shin Ci-koh paling suka menampar orang. Sekarang toa-suheng juga ketularan.” - Karena Gong-gong-ji sudah turun tangan, iapun lantas menyimpan pedang dan minggir ke samping.

Sebenarnya Se-kiat tak pernah tinggalkan kewaspadaan. Tapi dikarenakan gerakan Gong-gong- ji terlampau cepatnya, iapun tak sempat lagi menghindar. Untung kebetulan saat itu Khik-sia

menyisih ke samping. Sekali meleset ia lantas loncat melampaui tempat yang dipakai Khik-sia tadi. Berbareng itu, kedua orang baju kuning tadipun sudah menusuk punggung Gong-gong-ji.

Bret, sekalipun Se-kiat dapat menghindar cepat, namun tak urung bajunya kena terjamah tangan Gong-gong-ji sehingga robek dowak-dowak. Bahkan kulitnyapun kena tercakar, sakitnya bukan kepalang. Untungnya Se-kiat tak usah menerima malu dipersen tamparan.

Hoa-poh-hwe-sim atau menggelincir balikkan tubuh, adalah gerakan Gong-gong-ji ketika ujung pedang kedua orang baju kuning hnaya  kurang setengah dim dari punggungnya. Secepat kilat Gong-gong-ji kiblatkan pedangnya ke belakang, kedua pedang jagoan Hu-song-to itu terpental. Dengan gusar Se-kiat bersuit keras. Kedelapan jagoan Hu-song-to itupun mundur ke tempatnya masing-masing tapi lebih mempersempit lingkarannya. Mereka hendak mengepung Gong-gong-ji rapat-rapat.

Gong-gong-ji melirik dan dapatkan baju Khik-sia terlumur sedikit darah. Menandakan kalau

Khik-sia terluka. Gong-gong-ji sudah banyak pengalaman bertempur. Meskipun dalam kemarahan, pikirannya masih terang.   Pikirnya: ”Toan sute terluka. Di sini tempat kekuasaan Se-kiat, tak leluasa untuk bertempur. Kedelapan jago baju kuning itupun bukan lemah. Jika mereka sampai sempat menyusun barisan, tentu sukar untuk lolos.”

Memang kedelapan orang berbaju kuning dari Hu-song-to itu sedang bergerak dalam barisan Pat-tin-tho. Sebuah barisan dalam formasi delapan pintu yang diciptakan oleh Khong Beng, ahli strategi militer yang termasyhur pada jaman Sam Kok. Jika barisan itu sudah selesai disusun, betapa lihay Gong-gong-ji sekalipun, tak urung tentu kedua pihak akan terluka.

Gong-gong-ji memang tak tahu ilmu barisan. Tapi ia kaya pengalaman dan cerdas sekali. Segera ia meneriaki Khik-sia: ”Sute, ikutlah aku!” - Ia melesat memburu Se-kiat.

Karena masih belum hilang kejutnya, Se-kiat tak berani menangkis. Buru-buru ia menyusup ke dalam Seng-bun (pintu hidup). Tapi baru ia hendak menggerakkan barisan, Gong-gong-ji sudah menyerbu. Se-kiat berputar masuk ke Gui-bun dan Siang-bun, Si-bun (pintu buka, pintu luka dan pintu mati). Kedua orang baju kuning tadi menyerang dari dua samping, maksudnya supaya Gong- gong-ji masuk ke dalam barisan. Tetapi Gong-gong-ji tak mau diakali. Sekali gerakkan pedang ia tabas kutung senjata penjaga Seng-bun, terus menerjang keluar. Khik-sia pun segera mengikuti suhengnya.

Suheng dan sute itu gunakan gin-kang istimewa. Hanya dalam waktu senyulut dupa saja, mereka sudah jauh tinggalkan pasukan Se-kiat. Setelah berlari kurang lebih sejam, mataharipun

sudah terbenam di ufuk barat. Saat itu barulah Gong-gong-ji hentikan larinya. Ia menanyakan luka Khik-sia.

Luka di lengan Khik-sia itu hanya luka luar. Sekalipun banyak mengeluarkan darah tapi tak membahayakan. Setelah melumuri obat, Khik-sia menerangkan kalau lukanya tak berarti. ”Baik, nanti setelah malam gelap, kita menyelundup ke dalam kemah dan mengambil batang kepala Bo Se-kiat,” kata Gong-gong-ji.

”Hutan Se-kiat itu besok kita perhitungkan lagi. Sekarang masih ada urusan teramat penting yang memerlukan tenaga suheng,” sahut Khik-sia.

Gong-gong-ji kerutkan alis: ”Urusan apakah yang lebih penting dari mengambil kepala Bo Se- kiat?”

”Shin lo-cianpwe tengah menunggu kedatanganmu.”

”Oh, Shin Ci-koh?” tiba-tiba Gong-gong-ji berseru tawa, ”Ya, aku telah bertunangan dengan Ci- koh. Kau boleh memanggilnya susoh. Terus terang saja, adalah karena aku berjanji akan bertemu

dengan ia di Tho-ko-poh maka saat ini aku berada di sini. Kau tentu sudah berjumpa padanya kalau tidak masa tahu ia menunggu aku? Ya, kutahu ia menunggu kedatanganku, tapi toh aku sudah berada di sini, lambat atau cepat tentu akan menemuinya juga. Sekarang biarkan ia menunggu sedikit lama, biar kuambilkan dulu batang kepala Bo Se-kiat supaya hatimu lega.”

Dalam umur 40-an tahun lebih, Gong-gong-ji baru bertunangan. Khik-sia adalah orang pertama yang mendengar berita girang itu. Pada waktu memberitahukan hal itu, Gong-gong-ji girang tapipun malu dalam hati. Ia tak mau dianggap lebih mementingkan isteri dari sute. Maka ia berkeras hendak membunuh Se-kiat dulu baru nanti menemui tunangannya.

Tergopoh-gopoh Khik-sia berkata: ”Suheng, kau belum menjelaskan semua. Shin susoh saat

ini sedang berada dalam kesulitan. Ia menunggu kedatanganmu bukan untuk bertemu biasa, tetapi untuk menolongnya!”

Gong-gong-ji belalakkan matanya dan berseru: ”Ia mendapatkan kesulitan apa? Siapa yang berani mengganggunya? Apakah ia tak dapat mengatasi sendiri?”

”Leng Ciu siangjin! Mereka sudah berjanji akan bertempur malam ini di halaman biara rusak yang terletak di gunung itu,” sahut Khik-sia.

”Oho, kiranya siluman tua itu! Sudah 20-an tahun lokoay itu tak pernah turun dari gunungnya. Mengapa Ci-koh bisa bentrok dengan dia?”

oooooOOOOOooooo

Selama berkecimpung di dunia persilatan, Shin Ci-koh sudah banyak membunuh orang. Tentang terlibatnya permusuhan dengan anak murid Leng-ciu-pay, ia tak pernah menceritakan kepada Gong-gong-ji. Ini disebabkan karena ia berhati tinggi berwatak sombong. Ia akan

menghadapi sendiri musuh-musuhnya itu. Tak mau ia mengandalkan pengaruh Gong-gong-ji. Ini dapat ditertawakan orang.

”Aku sendiri juga tak jelas. Mungkin karena gara-gara Ceng-bing-cu. In-nio melihat Ceng-

bing-cu memimpin anak buahnya (sute-sutenya) muncul di Tho-ko-poh dan mengepung Shin lo ...

susoh,” kata Khik-sia.

Gong-gong-ji yang cukup kenal akan pribadi Ceng-bing-cu, marah seketika: ”Ya, kutahu.

Ceng-bing-cu itu mempunyai biji mata tapi tak dapat melihat gunung Thay-san. Ia berani kurang ajar terhadap susohmu!”

Mendongak ke langit, Khik-sia dapatkan rembulan sudah mulai muncul. ”Celaka, kukuatir saat ini mereka sudah mulai bertempur!” serunya kaget. Gong-gong-ji segera ajak sutenya segera

berangkat. Sembari berjalan, Gong-gong-ji menanyakan kejadian di Tho-ko-poh, tentang Se-kiat yang tinggalkan Tho-ko-poh dan berkelahi dengan Khik-sia.

”Sute, jangan gelisah. Benar Shin Ci-koh tak dapat menangkan Leng Ciu lokoay, tapi paling tidak ia tentu dapat melayani sampai 300-an jurus!”

Walaupun berlari sambil beromong-omong, tapi karena gin-kang kedua saudara seperguruan itu sudah tinggi, sedikitpun tak mengurangkan kecepatan lari mereka. Waktu mendengar penuturan Khik-sia bahwa Ceng-ceng-ji pernah membantu Ceng-bing-cu, marahlah Gong-gong-ji: ”Kali ini aku tak mau memberi ampun lagi, tentu kubeset urat nadinya dan kukuliti kulitnya!”

Dan waktu Khik-sia menceritakan tentang Leng Ciu siangjin memberi pil kepada Shin Ci-koh, Gong-gong-ji menghela napas dan mengeluh: ”Celaka! Celaka!”

Khik-sia terkesiap dan menanyakan apa sebabnya. Sahut Gong-gong-ji: ”Bagaimana keras kepala Ci-koh itu, aku sudah cukup paham. Sekalipun tak menerima pil dari Leng Ciu lokoay, ia

pun tentu tak mau menerima bantuanku. Lebih-lebih setelah menerima obat itu. Menurut peraturan kaum persilatan, aku tak berhak untuk membantu lagi.”

”Peduli apa dengan peraturan persilatan begitu!” bantah Khik-sia. Gong-gong-ji berdiam diri. Beberapa saat kemudian baru ia mengatakan: ”Ya, kita bicarakan lagi kalau sudah tiba di sana.” Memang menilik kedudukan Gong-gong-ji dalam dunia persilatan, dia tentu tak mau dicemoohkan orang. Khik-sia boleh melanggar peraturan persilatan, tetapi tidak Gong-gong-ji. Tiba di kaki gunung, rembulan sudah banyak hampir di tengah.

”Apakah pertempuran mereka sudah dimulai?” tanya Gong-gong-ji.

Khik-sia mengatakan bahwa menurut apa yang dikatakan Leng Ciu siangjin, dia akan datang pada jam 10 malam. Gong-gong-ji menghela napas longgar. ”Ah, kalau begitu, pertempuran baru berjalan satu jam. Ci-koh tentu belum sampai kalah.”

Gong-gong-ji sudah mengambil keputusan. Apabila tiba saatnya, ia tentu berusaha menolong. Ya, meskipun ia tak mau turut mengeroyok, tapi ia percaya tentu dapat menyelamatkan tunangannya.

Baru mereka bercakap begitu, tiba-tiba di puncak gunung terdengar orang tertawa keras dan berseru: ”Bagus, orang yang mengantar jiwa sudah datang!”

Seketika terdengar suara gemuruh dari batu-batu gunung yang bergelundungan ke bawah.

Tampak berpuluh-puluh orang berseliweran sibuk menggelundungkan batu dan menimpukkan batu- batu kecil. Mereka ternyata barisan pendam yang akan memegat Gong-gong-ji.

”Bagus, apakah dengan cara licik itu mereka mampu menghalangi aku?” Gong-gong-ji marah sekali. Dengan gunakan gin-kang yang istimewa, ia lari mendaki. Memang tiada sebuah batupun yang dapat mengenai tubuhnya tapi karena harus berlincahan menghindar kian kemari, temponya pun jadi panjang. Khik-sia karena mendapat luka tusukan, gerakannya loncat agak terpengaruh. Beberapa kali hampir saja terkena batu, untung lwekangnya masih penuh. Batu yang tak mungkin dielakkan, dihantamnya saja dengan tinju.

Mendaki sampai setengah gunung, Gong-gong-ji menjemput beberapa batu dan berteriak:

”Datang tidak diberi sambutan, itu kurang sopan. Kalian juga harus menerima sambutanku ini!”

Di tangannya, batu-batu itu berubah menjadi suatu senjata rahasia yang hebat. Dari atas puncak segera terdengar suara jeritan mengaduh dari beberapa orang yang kena timpukan. Dan yang tak kena, pun segera lari menyingkir. Bayang-bayang orang yang berkumpul di puncak tadi, pun bubar,

Karena tiada rintangan lagi, Gong-gong-ji dan Khik-sia dapat lebih cepat larinya. Dalam

beberapa kejap, ketawa Gong-gong-ji sudah terdengar di atas puncak. Diantara kawanan penyerang yang serabutan melarikan diri itu, tiba-tiba Khik-sia menunjuk pada seorang yang agak bongkok punggungnya: ”Bangsat itu adalah Ceng-bing-cu!”

Kiranya kawanan orang yang menggelundung batu-batu itu adalah anak murid Leng-ciu-pay

yang dipimpin Ceng-bing-cu. Waktu Leng Ciu siangjin bertempur dengan Shin Ci-koh, anak murid Leng-ciu-pay tahu kalau tak boleh membantu. Ceng-bing-cu cerdik tapi licik orangnya. Meskipun tak berani masuk ke dalam biara, tetap ia mengatur penjagaan kuat di sekitar tempat situ.

Dari seorang anak buahnya, Ceng-bing-cu mendapat keterangan tentang kepergian Khik-sia

pada pagi itu. Ia segera mengadakan analisa. Hanya ada dua kemungkinan: Pertama, Khik-sia jeri terhadap Leng Ciu siangjin maka tak mau turut campur dalam urusan itu. Tetapi dari keterangan Ceng-ceng-ji, Ceng-bing-cu tahu bahwa Khik-sia itu tunangan Yak-bwe. Kalau si nona tetap tinggal di biara, Khik-sia tentu bukan melarikan diri. Dan dari mulut Ceng-ceng-ji didapat keterangan bahwa Khik-sia itu tak jeri terhadap suhu mereka (Leng Ciu siangjin).

Jika begitu, tinggal kemungkinan yang kedua. Ialah, Khik-sia turun gunung karena hendak mencari bala bantuan. Dengan kesimpulan itu, Ceng-bing-cu segera siapkan sute-sutenya untuk menunggu. Begitu Khik-sia masuk ke mulut lembah, apakah ia membawa tenaga bantuan atau tidak, tetap harus dibunuh mati.

Rencana itu sebenarnya berasal dari Ceng-ceng-ji. Dan bermula Ceng-ceng-jiupun hendak membantu usaha Ceng-bing-cu menghancurkan Khik-sia. Tapi entah bagaimana, tiba-tiba ia merubah niatannya dan tak ikut serta. Dan karena sudah banyak jumlahnya, Ceng-bing-cupun tak mempedulikan Ceng-ceng-ji jadi turut atau tidak.   Dia tetap langsungkan rencana itu. Rencana jahat itu sama sekali tak diketahui suhunya, Leng Ciu siangjin.

Dengan barisan penggempur yang disiapkan itu Ceng-bing-cu mengira tentu dapat  membinasakan Khik-sia. Siapa tahu, ia justeru kesampokan dengan seorang tokoh yang lihay gin- kangnya seperti Gong-gong-ji. Selembar bulu tubuh Gong-gong-ji tak rontok, sebaliknya barisan pendam dari Leng-ciu-pay itu banyak yang benjol kepala dan bubar melarikan diri sendiri.

Setelah ditunjuki diri Ceng-bing-cu, Gong-gong-ji segera melesat. Dengan beberapa loncatan saja ia sudah dapat mengejar Ceng-bing-cu. Tetapi Ceng-bing-cu itu murid kepala dari Leng Ciu

siangjin. Kepandaiannya juga tinggi. Dalam keadaan terdesak, ia menjadi kalap. Sret, ia menabas ke belakang.

Namun biar bagaimanpun juga, kepandaian Ceng-bing-cu itu masih kalah jauh dengan Gong- gong-ji. Gong-gong-ji tak perlu memakai pedang. Cukup dengan tangan kosong yang menggunakan gerak Gong-chiu-jip-peh-jim (tangan kosong merampas senjata musuh), ia sudah  dapat merebut pedang Ceng-bing-cu dan mencengkeram tulang pundaknya.

”Dengan memandang muka suhuku, ampunilah aku,” semangat Ceng-bing-cu serasa terbang dan dengan tersipu-sipu ia berseru. Minta ampun tapi dengan mengancam.

Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak, serunya: ”Leng Ciu siangjin juga seorang pendiri sebuah partai persilatan. Mengapa mempunyai murid yang tak tahu malu seperti kau? Aku paling benci kepada manusia yang temaha hidup takut mati. Justeru karena kau merintih minta hidup, aku

bahkan akan membunuhmu!” - Sekali kelima jarinya dikeraskan, Ceng-bing-cu pun segera berkuik- kuik seperti babi hendak disembelih.

Tiba-tiba Gong-gong-ji mendapat akal. Ia kendorkan cengkeramannya dan tertawa: ”Melihat kau begitu kasihan sekali, terpaksa kuampuni jiwamu anjing. Tetapi kau harus menurut kata- kataku.

Ceng-bing-cu mana berani membantah lagi. Dengan tersipu-sipu ia mengiakan. ”Baik, kalau begitu ayo ikut aku,” kata Gong-gong-ji yang segera menjinjing Ceng-bing-cu seperti orang menjinjing ayam saja.

Sebelum mencapai biara rusak itu, lebih dulu harus melintasi sebuah bukit. Karena ada rintangan barisan pelempar batu tadi, Gong-gong-ji dan Khik-sia terlambat sampai lewat tengah

malam. Walaupun sudah mempunyai rencana, namun Gong-gong-ji mencemaskan juga keadaan Shin Ci-koh yang sudah bertempur selama dua jam. Iapun segera tambah gas lari sepesat angin.

Turunnya Khik-sia dari gunung kali ini, hendak mengurus dua buah hal. Tetapi semuanya

gagal. Bik-hu tak berhasil ditemukan, pun surat dari Thiat-mo-lek kepada Se-kiat itu tiada buahnya sama sekali malah menambah permusuhan dengan Se-kiat. Meskipun ada juga lain hasil ialah bertemu dengan Gong-gong-ji, tetapi ia merasa telah menderita kerugian besar. Kerugian itu berupa hinaan moral yang difitnahkan oleh Tiau-ing. Benar ia tetap tak bersalah, tapi ia merasa telah melanggar pesan Yak-bwe.

”Karena aku kembali begini telat, Yak-bwe tentu gelisah sekali. Ah, entah ia dapat menerima penjelasanku atau tidak?” ia mengeluh dalam hati.

Khik-sia hanya memikir sampai di situ, tetapi keadaan di biara ternyata jauh lebih hebat dari apa yang dikiranya. Bukan saja Shin Ci-koh, pun Yak-bwe juga terancam jiwanya dan tengah mengharap-harap kedatangan Khik-sia.

Kiranya setelah minum pil dari Leng Ciu siangjin, berselang sehari semalam, luka dalam Shin

Ci-koh sudah pulih seperti sediakala. In-nio dan Yak-bwe lega hatinya. Tetapi ketika malam tiba dan Khik-sia belum kelihatan muncul, Yak-bwe dan In-nio gelisah sekali. Bahkan kecemasan In- nio lebih besar dari Yak-bwe karena memikirkan keadaan Bik-hu juga.

Rembulan muncul dan pelahan-lahan mulai naik tinggi. Meskipun dirinya juga seorang iblis wanita yang telah banyak mengganas jiwa orang, tapi diam-diam Shin Ci-koh tergetar juga hatinya saat itu. Yang akan dihadapinya nanti, seorang tokoh persilatan kelas satu. Ini bukan main-main. Selagi mereka terbenam dalam keresahan masing-masing, tiba-tiba terdengar ketawa seorang tua: ”Shin Ci-koh, kau sungguh-sungguh pegang janji. Tidak mau pergi dan tetap berada di sini.” ”Justeru aku kuatir kalau kau tidak datang, sehingga aku tak sempat membalas pemberian obat tadi,” Shin Ci-koh berseru angkuh.

Ternyata Leng Ciu siangjin datang seorang diri. Memandang kepada Shin Ci-koh, gembong Leng-ciu-pay itu tertawa: ”Karena saat ini kau sudah sembuh, kalau nanti kalah di tanganku, tentu kau tak dapat cari alasan lagi. Dengan tujuan itulah maka kuberimu obat penawar luka, agar kau mati tiada penasaran. Dan untuk itu tak usah kau membilang terima kasih lagi.”

”Tahukah kau bagaimana caraku hendak membalas kebaikanmu itu?” tanya Shin Ci-koh.

Leng Ciu siangjin kesima, serunya: ”Cara apa yang hendak kau lakukan itu? Silahkan bilang!”

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar