Tusuk Kundai Pusaka Jilid 12

 
Jilid 12

Shin Ci-koh paling menjunjung nama. Begitu bertempur, entah dengan kawan atau lawan, ia

tentu harus menang. Begitu ia pergencar serangannya, Co Ping-gwan menjadi kewalahan. Untung dalam saat-saat Ping-gwan akan menderita kekalahan itu, tiba-tiba terdengar gelak tertawa seorang tua: ”Shin Ci-koh, mengapa kau gunakan Bu-ceng-kiam terhadap seorang anak muda? Apakah tak takut ditertawai orang? Ai, ai, ai sudahlah jangan bertempur. Pengemis tua hendak mengundang kau minum arak!”

Itulah Wi Gwat. Ia pinjam tongkat bambu Ciok Ceng-yang dan sekali disodokkan, terpisahlah golok Co Ping-gwan dengan pedang Shin Ci-koh. Ini bukan berarti bahwa kepandaian Wi Gwat jauh lebih lihay dari kedua orang itu. Tetapi dikarenakan kepandaian Shin Ci-koh tak terpaut banyak dengan Co Ping-gwan. Wi Gwat dapat mencari ’timing’ dan gunakan tenaga dengan tepat. Maka sekali gerak, ia berhasil pisahkan mereka tanpa melukai.

Melihat si pengemis tua, terpaksa Shin Ci-koh mau mengalah. Apalagi si pengemis gila itu berkata dengan tepat, dapat menjunjung gengsi Shin Ci-koh. Amarah Shin Ci-koh menurun dan setelah menyimpan pedang ia berkata: ”Bukannya aku menghina kaum muda tetapi karena dia hendak merintangi urusanku.”

Wi Gwat mendorong Co Ping-gwan ke samping, ujarnya: ”Benar, urusan Shin Ci-koh hanya

aku si pengemis tua ini yang dapat mengetahui. Kau budak kecil, jangan mengganggu kita bicara.” Co Ping-gwan tahu kalau ditolong Wi Gwat, maka ia pun buru-buru undurkan diri menggabung pada Khik-sia.

”Pengemis tua, mengapa kau juga ikut-ikutan menggerecoki aku? Mana aku senggang minum arak dengan kau?” seru Shin Ci-koh dengan agak kurang senang.

Wi Gwat tertawa: ”Kalau kau tak mau minum arak, seharusnya kau undang aku minum arakmu!”

”Pengemis tua, jangan ngaco, aku benar-benar tak punya tempo menemanimu. Mau minum arak, silahkan minum sendiri saja. Maaf, aku mau pergi,” Shin Ci-koh mau pergi tapi dicekal tangannya oleh Wi Gwat.

”Ha, ha, apa kau belum mengerti? Yang kumaksudkan, kau supaya undang aku minum arak kegiranganmu. Tak perlu kau menemani aku. Ketahuilah, karena berkelahi aku bersahabat dengan Gong-gong-ji. Perangaiku sama dengan dia. Dia tak mau mendengarkan perkataan orang, tetapi perkataan pengemis tua ini, ha, ha, ia tak berani tak mendengarkan. Ci-koh, urusanmu dengan Gong-gong-ji serahkan saja padaku. Pengemis tua ini paling senang menjadi comblang!”

Walaupun Shin Ci-koh itu berlainan dengan wanita biasa, ialah tak mau sungkan-sungkan mengaku senang pada orang, tapi tak urung pada saat itu ia merah juga. Batinnya: ”Beberapa kali Gong-gong-ji selalu menyingkir dari aku. Tetapi kutahu bukannya ia sama sekali tak suka padaku. Melainkan ia memang sudah biasa hidup bebas, takut kalau sudah menikah akan terikat. Ah, rupanya ia tak tahu bahwa sekarang perangaiku sudah berubah.”

Kiranya pada dua puluh tahun yang lalu, Gong-gong-ji sudah kenal dengan Shin Ci-koh.

Mereka saling mencocoki. Shin Ci-koh suka sekali kepada Gong-gong-ji. Gong-gong-ji pun mengagumi kepandaian Shin Ci-koh. Sebenarnya mereka dapat menjadi pasangan suami-isteri yang ideal. Tetapi Shin Ci-koh tak setuju dengan cara hidup Gong-gong-ji yang digelari sebagai Biau-chiu-sin-thou atau Pencuri Sakti. Ia anggap nama itu tidak baik. Gong-gong-ji pun takut akan watak Shin Ci-koh yang keras. Segala apa harus menurut perintahnya. Kalau sudah menjadi suami isteri, Gong-gong-ji kuatir akan diikat kebebasannya. Itulah sebabnya maka ia tak mau membicarakan soal pernikahan.

Setelah Gong-gong-ji biasa hidup bebas menurut sekehendak hatinya, rasa takut kawin dengan Shin Ci-koh itu makin mendalam. Akhirnya ia hapus sama sekali pikiran itu.

Pun dengan bertambahnya usia Shin Ci-koh makin kepingin mempunyai rumah tangga. Karena sudah kelewat umur belum menikah, pikirannya agak terganggu. Untuk melampiaskan kegelisahannya itu, seringkali ia mengganas. Dan karena keganasannya itu makin terkenal di dunia persilatan dan makin ditakuti orang pula. Semakin ditakuti orang, ia merasa makin terasing. Makin terasing, ia makin merasa kesepian. Makin kesepian, makin ia berusaha keras untuk mengejar Gong-gong-ji. Dengan begitu terjadilah hal yang lucu. Yang satu kepingin sekali berumah tangga, yang satu takut kawin. Untuk menghindarkan diri dari kejaran Shin Ci-koh, Gong-gong-ji berusaha agar jangan sampai berjumpa. Begitu mencium ’bau angin’ Shin Ci-koh ia sudah lari kalang kabut.

Shin Ci-koh berpikir lebih lanjut: ”Kabarnya ia sudah banting stir ke jalan yang lurus. Tidak

mau ugal-ugalan mencuri lagi. Sebenarnya kalau hanya sekali tempo ia berbuat begitu, akupun tak keberatan. Tapi soalnya ialah bagaimana ia dapat mengetahui pendirianku sekarang ini? Ah, dalam hal ini memang harus ada orang perantaranya.”

Membayangkan hal itu, merahlah wajahna. Ia berkata dengan pelahan: ”Wi lo-cianpwe, karena kau sudah mengetahui urusan kami berdua, maka akupun tak mau menutup lagi. Lebih dulu aku menghaturkan terima kasih padamu. Asal separuh hidupku dapat mempunyai kawan hidup, tak nanti ayahku kehabisan arak.”

Wi Gwat tertawa gelak-gelak: ”Bagus, bagus, biar aku menjadi ayah-angkatmu. Sebagai ayah- angkat sudah tentu aku akan berusaha mati-matian untuk kepentinganmu. Baik, sekarang juga aku hendak mendapatkan Gong-gong-ji. Hai, tapi sekarang ia sedang ada urusan penting, terpaksa harus menunggu dulu.”

Shin Ci-koh mendongak ke muka. Tampak Gong-gong-ji sedang menyusup ke dalam barisan pasukan Bu Wi-yang. Gerakannya luar biasa gesitnya. Menerjang sebuah pasukan besar, seperti masuk ke dalam hutan yang kosong saja. Di bawah sabetan pedang dan tombak, sehelai bulunya pun tak rontok. Secepat kilat ia sudah tiba di samping Bu Wi-yang.

Wajah Gong-gong-ji memang luar biasa. Bu Wi-yang segera mengenali, walaupun terkejut tapi diam-diam ia membatin: ”Mau apa Gong-gong-ji ini? Masakan ia dapat mengapa-apakan aku di tengah barisan besar?”

Baru ia berpikir, begitu tubuh Gong-gong-ji sudah melayang datang. Buru-buru ia gunakan jurus liong-coa-ci-to, cepat ia tusukkan sepasang kait kepada bayangan hitam itu. Aduh .....

terdengar jeritan dan darah muncrat. Dada penyerangnya itu berlubang, tubuhnya terkulai. Ada segumpal dagingnya yang masih melekat di kait.

Bu Wi-yang tak menyangka sama sekali Gong-gong-ji ternyata begitu tak punya guna. Tapi ketika ia memandang dengan seksama, menjeritlah ia: ”Celaka!”

Sepasang kaitnya belum sempat ditarik keluar dari tubuh orang tadi, tahu-tahu Gong-gong-ji

sudah mencekal pergelangan tangannya. Jangankan ia memang kalah tangguh dengan Gong-gong- ji, sekalipun andaikata menang, tapi kalau dikuasai pergelangan tangannya, tentu tak dapat berkutik lagi.

Mengapa Gong-gong-ji dapat hidup lagi? Bukan, sebenarnya yang tertusuk kait Bu Wi-yang tadi bukan Gong-gong-ji. Waktu menyerbu dengan gerak cepat tadi, Gong-gong-ji menyambar

seorang tentara terus dibuat menerjang Bu Wi-yang. Karena perawakan Gong-gong-ji pendek kecil maka ia dapat tertutup dengan ’perisai’ istimewa tadi. Bu Wi-yang salah melihat dan kena diakali. Hal ini disebabkan karena memang gerakan Gong-gong-ji luar biasa cepatnya sehingga Gong-gong- ji dengan opsir itu tampaknya seperti satu orang. Dan kedua kalinya, karena Bu Wi-yang kelewat tegang. Begitu ada orang menyerang, terus saja ia tusuk.

Coba Bu Wi-yang berlaku tenang, walaupun kepandaian memang kalah dengan Gong-gong-ji, tapi sekurang-kurangnya ia masih dapat melayani sampai 10-an jurus juga.

Begitu mencekal tangan Bu Wi-yang, Gong-gong-ji lantas melemparkannya ke udara.  Dan secepat itu juga Gong-gong-ji melayang menyusulnya, melampaui kepala kawanan tentara. Begitu Bu Wi-yang melayang turun, Gong-gong-ji sudah menyambutinya, terus mencengkeram jalan darahnya. Saat itu mereka sudah berada di luar pagar kepungan barisan tentara.

”Gong-gong-ji, kau bukan orang Lok-lim dan tak ada sangkut pautnya dengan kawanan pemberontak. Kau bebas pergi kemana-mana, mengapa cari kesulitan? Lekas lepaskan Bu tayjin!” teriak Yo Bok-lo.

Tadi ia bersama Bu Wi-yang.  Ketika melihat Bu Wi-yang ditangkap, ia cepat memburu tapi terlambat. Bu Wi-yang sudah diringkus Gong-gong-ji. Yo Bok-lo bergelar Chit-poh-tui-hun atau tujuh langkah mengejar jiwa. Meskipun ginkangnya tak selihat Gong-gong-ji, tapi dalam jarak pendek, ia hampir dapat menyamai kecepatan Gong-gong-ji. Pada saat Gong-gong-ji menyambuti Bu Wi-yang tadi, Yo Bok-lo pun sudah kira-kira tiga tombak di belakang Gong-gong-ji.

Gong-gong-ji tertawa dingin: ”Justeru aku ingin tahu apa kesulitan itu?” – Tanpa berpaling lagi ia menjinjing Bu Wi-yang dan pergi.

Yo Bok-lo sebenarnya jeri juga kepada Gong-gong-ji. Tapi untuk menolong bu Wi-yang,

terpaksa ia bertindak juga. Kuatir tak dapat mengejar, lebih dulu Yo Bok-lo lepaskan pukulan biat- gong-ciang ke punggung Gong-gong-ji.

”Bangsat, mau lari kemana kau? Aku hendak menempurmu sampai mati, sambutlah seranganku!” tiba-tiba Thiat-mo-lek menghadang maju. Kini Gong-gong-ji dapat tertawa lepas, serunya: ”Yo bok-lo, bukan aku yang mendapat kesusahan sebaliknya kau sendiri. Karena sudah ada yang hendak membalaskan hutangmu memukul aku, akupun tak mau turun tangan.”

Pukulan biat-gong-ciang tadi dilontarkan Yo Bok-lo dengan sekuat tenaganya. Tapi sedikitpun tak dapat melukai Gong-gong-ji. Malah Gong-gong-ji dapat pinjam tenaga pukulan itu untuk mempercepat larinya. Ketawanya masih berkumandang, tapi orangnya sudah lenyap dalam gundukan manusia.

Bu Wi-yang tertawan dan Ceng-ceng-ji pun sudah bersembunyi karena ketakutan melihat suhengnya. Kini tinggal Yo Bok-lo seorang diri. Untung Thiat-mo-lek tetap berlaku sportif, sebelum menyerang memberi peringatan dulu. Dalam keadaan terpencil, kuncuplah nyali Yo Bok- lo. Sebagai penyambutan dari tantangan Thiat-mo-lek, ia melesat dan melarikan diri masuk ke dalam barisannya.

Wi Gwat, Khik-sia, kedua saudara Tok-ko dan lain-lain sudah menerjang. Wi Gwat juga memimpin anak buah Kay-pang menggempur anak tentara. Melihat Wi Gwat, Yo Bok-lo putar haluan dan lari sipat kuping.

”Bangsat, kau masih hendak berlindung dalam barisanmu? Kemana kegaranganmu?” teriak Thiat-mo-lek.

Yo Bok-lo lari mati-matian.  Tiba-tiba ada orang menghadangnya. Dengan mencekal pedang

dan mata melotot, orang itu tertawa mengejeknya: ”Bangsat Yo, Toan Khik-sia sudah menunggumu di sini.”

Yo Bok-lo buntu jalannya. Dari muka dan belakang dikejar musuh. Sekonyong-konyong ia berputar ke belakang dan tertawa gelak-gelak: ”Thiat-mo-lek, kau mau mengandalkan jumlah banyak untuk mengalahkan aku?”

”Khik-sia, jangan campur tangan,” seru Thiat-mo-lek yang sebat sekali, sudah melesat ke muka Yo Bok-lo. ”Bangsat tua, hari ini aku hendak membalaskan sakit hati ayah. Siapa saja tak boleh membantu. Pendek kata kalau belum mati tidak boleh bubar. Darah mengalir baru berhenti!”

Khik-sia lintangkan pedangnya untuk menjaga kemungkinan Yo Bok-lo melarikan diri. Ia mengeluarkan ancaman: ”Siapa yang akan membantu akan kuhajar. Siapa yang hendak melarikan dirim juga akan kubacok! Bangsat Yo, asal kau dapat menyelamatkan batang kepalamu dari pedang Thiat toako, maka aku pun takkan menghadangmu!”

”Baik, aku hendak minta pelajaran ilmu pedangmu yang tiada bandingannya di dunia,” akhirnya Yo Bok-lo tabahkan hatinya.

Tapi di luar dugaan Thiat-mo-lek malah menyimpan pedangnya. Serunya: ”Dahulu kau melukai ayahku dengan pukulan secara menggelap. Sekarang akupun hendak membalas kau dengan pukulan agar kau dapat mati dengan puas!” – Artinya, Thiat-mo-lek akan menghadapi Yo Bok-lo dengan tangan kosong.

Sebenarnya Yo bok-lo jeri terhadap Thiat-mo-lek. Mendengar ucapan itu, diam-diam ia girang. Pikirnya: ”Kalau kau pakai pedang, aku tentu kalah. Tapi karena kau sendiri mengatakan tak mau pakai pedang dan hanya dengan sepasang tangan kosong, itu salahmu sendiri.”

Namun ia masih belum percaya dan menegas lagi: ”Artinya kita bertempur satu lawan satu dengan tangan kosong, bukan?”

”Dengan tangan kosong menentukan mati-hidup!” sahut Thit-mo-lek dengan tegas.

”Bagus, aku memang menghendaki janjimu itu.  Ucapan seorang ksatria ” ”Laksana kuda dicambuk!” sahut Thiat-mo-lek.

”Ah, mana dia dapat digolongkan seorang ksatria,” Khik-sia menyeletuk.

Yo Bok-lo tertawa keras: ”Jangan kelewat memandang rendah orang, bocah! Thiat-mo-lek, hari ini raja akhirat akan mengundang tetamu.   Entah siapa yang akan diundang, kau atau aku. Nih, terimalah pukulanku!”

Yo Bok-lo sengaja bersikap garang untuk membesarkan nyalinya. Namun nada tertawanya yang tergetar, tak dapat menutupi ketakutan hatinya. Dalam ketakutannya, ia memukul sekuat- kuatnya.

Krak. Thiat-mo-lek menangkis. Yang berbunyi bukan kepalan beradu melainkan hanya angin pukulannya. Sekalipun begitu, suaranya sudah memekakkan telinga. Tubuh Yo Bok-lo menjulang ke atas. Dua buah jari tangan kirinya menusuk sepasang mata orang, tangan kanannya menabas kaki. Dua tangan menyerang dari atas dan bawah, gayanya mirip dengan Hek-hou-ciang (pukulan macan mendekam) dari Siau-lim-pay. Tetapi tenaganya kuat sekali, jauh lebih lihay dari pukulan Siau-lim-pay itu.

Yo Bok-lo tahu kalau lwekangnya kalah dengan lawan. Maka ia gunakan siasat hendak mencuplik biji mata Thiat-mo-lek. Thiat-mo-lek mendak ke bawah dan gunakan jari tengah untuk menutuk telapak tangan lawan. Di situ terdapat jalan darah lo-kiong-hiat. Yo Bok-lo paling-paling hanya dapat meremukkan tulang bahu Thiat-mo-lek, tapi sekali jalan darah lo-kiong-hiat itu kena ditutuk, hancurlah jiwa Yo Bok-lo.

Gelar Yo Bok-lo ialah Chit-poh-tui-hun. Ia lincah dan cepat sekali menghadapi setiap

perubahan. Ia enjot tubuhnya berjumpalitan di udara dan melayang turun di belakang lawan. Jalan darah thian-ku-hiat di punggung Thiat-mo-lek, cepat dihantamnya.

Thiat-mo-lek mahir dalam ilmu thing-hong-pian-ki (mendengar suara membedakan senjata).

Begitu terasa angin menyambar dari belakang, cepat ia putar tubuh dan hantamkan kedua tangannya ke perut orang.  Yo Bok-lo telusupkan tangan kiri ke bawah siku lengan kanannya untuk menutuk siku lengan Thiat-mo-lek. Tapi Thiat-mo-lek sudah memperhitungkan hal itu. Ia maju selangkah

dan menyambar iga Yo Bok-lo. Walaupun tak kena tapi Yo Bok-lo sudah mengucurkan keringat dingin.

Tiba-tiba Thiat-mo-lek menggembor keras. Tangannya dikepalkan dan menghantam dengan gerak heng-sim-bak-hou. Kerasnya bagai pukul besi menghancurkan batu. Yo Bok-lo tak berani menyambuti. Ia enjot tubuhnya melayang sampai satu tombak lebih dan meluncur turun, secepat kilat Yo Bok-lo sudah putar tubuh hingga pukulan lawan tak mengenainya.

Khik-sia menahan nafas melihat jalannya pertempuran itu. Pikirnya:”Thiat toako tak mau adu

ilmu pedang, padahal ia tentu menang dengan senjata. Tapi toako memilih tangan kosong, ini tentu kurang leluasa.”

Kembali saat itu Thiat-mo-lek dan Yo Bok-lo bertempur dengan seru. Mereka dahulu mendahului untuk menindas lawan. Ilmu tangan kosong Yo Bok-lo benar-benar luar biasa, sukar diduga perubahannya. Tetapi gerak cepat pukulan yang dilancarkan Thiat-mo-lek itu, walaupun

gayanya seperti orang main pedang, namun cepatnya bukan kepalang. Ilmu pukulan Thiat-mo-lek yang keras dan cepat itu, dapat juga mengimbangi permainan lawan.

”Bilakah Thiat-mo-lek menciptakan ilmu pukulan kilat itu?” diam-diam Khik-sia heran sendiri.

Yo Bok-lo sakti dalam ilmu pukulan tangan kosong. Dan Thiat-mo-lek sengaja hendak mengalahkannya dengan ilmu pukulan tangan kosong juga. Maka siang-siang ia sudah berusaha menciptakan sebuah ilmu pukulan untuk menandinginya. Ia menggabungkan ilmu pedang sakti dari Mo Kia lojin dan Toan Kui-ciang (ayak Khik-sia), dirubah dan dilebur menjadi sebuah ilmu pukulan tangan kosong.

Saat itu adalah yang pertama kali Thiat-mo-lek gunakan ilmu pukulan ciptaannya itu. Maka

sudah pada tempatnya kalau Khik-sia merasa terkejut. Bahkan Yo Bok-lo sendiri, seorang ahli ilmu silat tangan kosong, setelah melayani beberapa jurus, merasa kagum dan gentar.

Walaupun terdesak namun posisi kaki Yo Bok-lo tetap teratur rapi menurut formasi pat-kwa dan ngo-heng. Berpuluh tahun lamanya Yo Bok-lo meyakinkan ilmu pukulannya itu, sehingga untuk beberapa waktu Thiat-mo-lek pun tad dapat berbuat apa-apa. Namun Thiat-mo-lek yang mempunyai tenaga pembawaan yang kuat, apalagi ia dalam usia di masa orang sedang gagah- gagahnya, tetap dapat mengatasi lawan. Benar ia tak semahir Yo Bok-lo dalam ilmu pat-kwa dan ngo-heng, namun ia menang kuat dengan Yo Bok-lo.

Setelah lewat belasan jurus, siapa kuat siapa lemah, mulai kelihatan. Di dalam kurungan hujan pukulan Thiat-mo-lek, gerakan Yo Bok-lo pun mulai tak lancar. Chit-si-ciang-hwat atau tujuh jurus pukulan, adalah ilmu pukulan yang mengangkat nama Yo Bok-lo. Tapi pukulan sudah habis dimainkan, bukan jiwa lawan yang ‘diburu’, sebaliknya malah ia yang didesak tak dapat bernafas. “Gelaranmu Chit-poh-tui-hun, dan sekarang kau sudah bergerak sampai tujuh langkah. Baiklah, karena kau tak mampu memburu jiwaku, akulah yang akan mengejar jiwamu!” Thiat-mo-lek tertawa sinis. Habis berkata, ia memukulkan kedua tangannya ke muka. Dahsyatnya seperti gunung rubuh.

”Bagus, aku akan mengadu jiwa dengan kau!” terpaksa Yo Bpk-lo menggarangkan suaranya dan merapatkan sepasang tangannya untuk kemudian dipentang ke kanan dan ke kiri. Dia keluarkan jurus terakhir yang paling ganas Im-yang-siang-jong-ciang.

Thiat-mo-lek tabaskan tangannya dari samping. Jari tengahnya ditonjolkan seperti orang menabas.   Dan memang ia gunakan jurus ilmu pedang heng-kiang-hui-to atau terbang melintasi sungai. Jari itu berubah menjadi semacam ujung pedang.

Sebenarnya waktu menggunakan Im-yang-siang-jong-ciang tadi, Yo Bok-lo harus berganti

posisi kaki agar dapat merubah gerak penyerangannya menjadi pertahanan. Tapi ternyata begitu Thiat-mo-lek mainkan habis serangannya, tenaga Yo Bok-lo pun sudah habis. Kakinya terhuyung hingga keliru menginjak posisi lain. Ini berarti dari seng-bun (pintu hidup), ia melangkah masuk si- bun ( pintu mati). Dan justru karena itu ia berputar ke hadapan Thiat-mo-lek atau berarti ia memberikan dirinya disambar pukulan dan ditabas jari Thiat-mo-lek . Jari Thiat-mo-lek berhasil menghancurkan gi-kang (tenaga luar) Yo Bok-lo, sedang pukulannya telah membuat Yo Bok-lo terpental sampai beberapa tombak jauhnya.

Yo Bok-lo yang remuk tulangnya masih coba hendak berbangkit, tapi Thiat-mo-lek sudah tiba di hadapannya dan mencengkeram sang korban. Dengan berlinang-linang air mata, berserulah ksatria itu: ”Yah, hari ini anak telah membalaskan sakit hatimu.”

Ia cabut pedangnya dan mengutungi kepala Yo Bok-lo, dimasukkan ke dalam kantong kulit. ”Selamat toako, akhirnya kau dapat membunuh bangsat tua ini!” Khik-sia menghampiri. ”Meskipun sakit hati telah terbalas, namun untuk lolos dari kepungan musuh, bukannya mudah.

Karena gara-garaku telah merembet saudara-saudara, hatiku sungguh tak enak,” kata Thiat-mo-lek. ”Hai, toako, lihatlah!” tiba-tiba Khik-sia berseru kaget. Dan saat itu barisan tentara pun gempar.

Ternyata Gong-gong-ji dengan menjinjing Bu Wi-yang, tiba di bawah guat-ping-thay (panggung inspeksi). Sekali loncat, Gong-gong-ji sudah melayang ke atas panggung itu.

“Seorang panglima boleh dibunuh tak boleh dihina. Gong-gong-ji, kalau berani bunuhlah aku dengan segera!” teriak Bu Wi-yang dengan nafas sengal-sengal.

Gong-gong-ji meletakkan tubuh jenderal itu, sahutnya: ”Siapa yang mau membunuhmu? Aku hendak mengantarkan sengci (perintah raja) padamu!”

Mulut Bu Wi-yang ternganga dan berkata dengan gelagapan: ”Apa? Kau membawa sengci?” Tiba-tiba Gong-gong-ji kerutkan wajah dan mengeluarkan secarik kertas. Serunya: ”Bu Wi- yang, mengapa tak lekas-lekas berlutut menyambut?”

Ia rentang kertas itu di muka Bu Wi-yang. Astaga! Benar juga surat itu memakai stempel dari

Li Heng, baginda kaisar yang sekarang. ”Aneh, mengapa baginda memberi sengci kepada Gong- gong-ji? Aneh, mustahil dipercaya,” diam-diam Wi-yang membatin.

Namun percaya atau tidak, buktinya surat itu memakai stempel Kaisar. Mau tak mau ia terpaksa berlutut juga dan ulurkan sepasang tangannya menyambuti sengci itu dengan khidmat.

Sengci itu berbunyi demikian: ”Thiat-mo-lek, Bo Se-kit, Toh Peh-ing, Toan Khik-sia, Co Ping- gwan dan lain-lain sepuluh orang itu, perjalanan hidupnya tidak baik, beberapa kali melanggar

undang-undang. Seharusnya ditangkap dan dihukum setimpal. Tetapi mengingat mereka masih ada hasrat untuk mengabdi pada kerajaan, maka mereka telah datang dalam pertandingan besar ini.

Namun untuk memakai orang, pemerintah tak mau sembarangan. Oleh karena mereka yang tersebut di atas itu masih belum membuat jasa untuk menebus kedosaannya, maka belum dapat diterima. Kesepuluh orang itu harus lekas diusir dari lapangan ini, tak boleh turut dalam pertandingan. Orang gagah lain-lainnya boleh tinggal terus, menunggu pengumuman.”

Dalam sengci itu walaupun Thiat-mo-lek dan kawan-kawan sebagai rakyat yang sering

melanggar undang-undang, tetapi dosanya tidak dianggap berat. Dan yang penting mereka itu atk dianggap sebagai ”pemberontak”. Hukumannya hanyalah, mengusir mereka dari lapangan situ. ”Bukankah ini serupa dengan yang dikehendaki Thiat-mo-lek?” tanya Bu Wi-yang dalam hati.

Dia seorang yang cermat. Makin membaca makin curiga.

Pikirnya lebih lanjut: ”Masakan baginda akan meniadakan perintahnya kepada kita? Dan lagi dalam urusan yang begini penting, mengapa tak dibubuhi cap kerajaan dari kumala dan melainkan memakai stempel baginda saja?”

Memang sengci itu hanya memakai stempel baginda. Li Hing gemar sekali membubuhi stempel namanya pada lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan. Tapi jika mengenai urusan negara yang resmi, ia jarang menggunakan stempel itu. Memang ada kalanya, dalam surat rahasia yang menyangkut urusan pribadi, setempo ia menggunakan stempel namanya itu.

”Sengci yang kau bawa ini, tulen atau palsu?” akhirnya Bu Wi-yang bertanya dengan ragu. Gong-gong-ji membisiki ke dekat telinganya: ”Stempel yang digunakan kaisar itu tulen!

Dengan melaksanakan sengci ini, tanggung kau dapat mempertahankan kedudukanmu. Kalau tidak jiwamu pasti tak terjamin, mengerti?”

Seketika teranglah pikiran Bu Wi-yang. Ya, sengci itu palsu tetapi memakai stempel asli.

Pikirnya: “Gong-gong-ji memang termasyhur sebagai pencuri sakti. Apa yang lain orang tak dapat, ia mampu mengerjakan. Tapi tak peduli sengci ini palsu atau tulen, apa yang dikatakan Gong-gong- ji itu memang benar. Meskipun sengci palsu, tetapi karena memakai stempel tulen, kelak apabila diselidiki, aku mempunyai pegangan kuat. Paling-paling aku hanya disalahkan karena kurang teliti memeriksa sengci saja.  Hukumannya hanya potong gaji.  Tetapi jika kubongkar rahasia sengci ini di depan umum, Gong-gong-ji itu setan yang tak takut pada siapa juga. Apakah jiwaku dapat lolos dari tangannya?”

Secepat kilat Bu Wi-yang memutuskan, jiwanya yang paling penting. Dan ia mengambil

putusan, baik sengci itu palsu atau tulen, dia akan menerimanya. Begitu dengan mengangkat sengci itu tinggi-tinggi, ia mengangguk tiga kali ke arah istana. Barisan tentara heran melihat gerak-gerik jenderal itu.

Setelah menjalan penghormatan seperlunya, Bu Wi-yang tampil ke muka panggung dan merentang sengci. Mulailah ia berseru nyaring: ”Berhenti semua, dengarkan sengci!”

Waktu Bu Wi-yang membaca sampai pada kalimat Thiat-mo-lek dan kawan-kawan harus diusir

dari lapangan, tak boleh ikut dalam pertandingan, gegap-gempitalah suara orang bersorak di bawah panggung. Thiat-mo-lek dan Khik-sia saling berpandangan dengan tertawa: ”Suhengmu itu benar- benar luar biasa. Masakan sengci pun dapat ia curi. Jika saat ini kita tak berlalu, mau tunggu kapan lagi?” bisik Thiat-mo-lek.

Dalam pertempuran tadi, baik pihak tentara negeri maupun pihak orang gagah, sama-sama menderita kerugian. Menghadapi rombongan Thiat-mo-lek yang sudah mendapat kebebasan itu, terpaksa Bu Wi-yang, Ceng-ceng-ji dan kaki tangannya, terpaksa hentikan rintangannya.

”Ah, tak usah kalian usir, memang aku sendiri mau pergi!” teriak Thiat-mo-lek.

Dengan terjadinya insiden dalam Eng-hiong-tay-hwe itu, sebagian besar orang gagah yang hadir sudah tak mempunyai kegembiraan lagi. Apalagi penyelenggara pertandingan – Cin Siang – ditangkap. Semua orang sudah tak bernafsu untuk ikut dalam pertandingan lagi. Ya, walaupun sengci meminta yang lain-lain supaya tetap tinggal. Maka begitu Thiat-mo-lek dan kawan-kawan angkat kaki, sebagian besar orang gagah itu pun sama mengikutinya pergi. Eng-hiong-tay-hwe yang disiapkan dalam waktu yang lama, akhirnya dalam beberapa kejap saja berantakan .....

Gelombang yang satu surut, gelombang yang lain datang. Tentara di dalam lapangan sudah hentikan serangannya, sebaliknya pasukan Gi-lim-kun yang bertugas menjaga pintu besar, tak mau membuka pintu. Ternyata pasukan Gi-lim-kun sudah kompak dan Bu Wi-yang tak berdaya menguasai mereka lagi.

Setelah Cin Siang ditangkap, Poan Ting-wan yang menjabat sebagai Hou-ya-to-wi otomatis mengcover pimpinan Gi-lim-kun. Pimpinan Poan Ting-wan itu dapat diterima dan disambut baik oleh anak buah Gi-lim-kun. Sebagai seorang yang berpengalaman, sekali lihat tahulah dia bahwa sengci itu tentu palsu.

”Celaka, menilik gelagatnya Bu tayjin itu tentu menerima tekanan.  Siapa yang tahu sengci itu palsu atau tulen? Masih ingatkah kalian apa yang dikatakan Bu tayjin tadi? Di perintahkan kita menjaga keras pintu ini, tak boleh lepaskan orang. Atau nanti kita bakal menambah dosa Cin thong-leng. Tadi karena melihat Toh Hok-wi hendak lepaskan musuh, Bu tayjin telah memanahnya mati.   Sekarang keadaannya bukankah seperti Toh Hok-wi juga? Turut pendapatku, lebih baik jangan membuka pintu. Kita kirim seorang kawan untuk meminta keterangan pada Tiong-su-sim (sekretariat kerajaan). Jika sengci itu memang dikeluarkan baginda, rasanya masih belum terlambat kita buka pintu,” katanya.

Seperti telah dikatakan di bagian atas, pasukan Gi-lim-kun pecah menjadi dua blok. Yang satu mendukung pernyataan Cin siang supaya jangan bermusuhan dengan kawanan orang gagah. Blok kedua cenderung pada pendirian: untuk menebus dosa pemimpin mereka (Cin Siang), mereka harus membuat jasa membantu pemerintah menangkap pemberontak. Kedua pihak sama-sama untuk kepentingan Cin Siang, hanya caranya berbeda. Saat itu kedua blok itupun sudah mulai ramai berdebat tentang sengci.  Tetapi blok yang kedua itu, dipimpin oleh Poan Ting-wan sendiri.  Ia pandai mengemukakan pendiriannya maka pengikutnya bertambah banyak dan menang angin.

Namun blok yang cenderung untuk membuka pintu juga mempunyai alasan yang teguh: ”Kalau sengci itu tulen dan kita berayal membuka pintu, apakah tidak akan mencelakai kita semua?” Kedua-duanya sama mempunyai alasan kuat, sehingga belum dapat diputuskan. Mereka tetap siapkan busur dan pintu tetap belum dibuka. Ada sementara anak buah Toh Hok-wi, karena sakit hati pemimpinnya dibunuh Bu Wi-yang, saat itu menyusup ke dalam barisan dan berteriak-teriak: ”Bu Wi-yang terang ditekan pemberontak yang memalsu sengci. Jika dia berani memaksa buka pintu, panah saja biar, mampus, habis perkara!”

Wajah Bu Wi-yang pucat seketika. Dengan suara parau ia berseru: ”Sengci ini asli, sengci ini asli!”

Tetapi anak tentara tak mau percaya, mereka tetap berdebat beramai. Karena yang mengetahui palsu tulennya stempel senci itu hanyalah Cin Siang dan Ut-ti Pak. Anak buah Gi-lim-kun itu, satu pun tak ada yang pernah melihat cap kaisar atau cap kerajaan. Apalagi Bu Wi-yang tak dapat memperlihatkan sengci itu satu persatu kepada anak tentara yang mempunyai kecurigaan itu.

Dalam keadaan serba sulit itu, tiba-tiba Gong-gong-ji lepaskan Bu Wi-yan terus lari menuju ke muka barisan Gi-lim-kun. Disitu ia berseru lantang: ”Aku masih mempunyai sebuah sengci khusus untuk Gi-lim-kun. Bukankah kalian hendak mengetahui berita tentang Cin thongleng kalian? Nah, diamlah!”

Banyak dari anak buah Gi-lim-kun yang kenal pada Gong-gong-ji. Tahu bahwa Gong-gong-ji

itu pencuri nomor satu di dunia. Sudah tentu mereka makin tak percaya pada perkataannya. Tetapi karena anak buah Gi-lim-kun itu amat memikirkan keadaan Cin Siang, begitu mendengar tentang berita pemimpinnya itu, mereka terpaksa diam mendengarkan juga.

”Cin Siang dan Ut-ti Pak telah dibebaskan oleh baginda dan Eng-hiong-tay-hwe ini tetap dipimpin oleh Cin Siang. Sekarang Cin tayjin masih menghadap Baginda di istana, belum dapat segera datang kemari. Baginda telah mengeluarkan sengci, suruh kalian menurut perintah Cin tayjin!” teriak Gong-gong-ji.

Anak buah Gi-lim-kun yang belum kenal siapa Gong-gong-ji itu, sama bersorak girang: ”Bagus, bagus!”

Tetapi anak buah yang sudah kenal Gong-gong-ji, menolak: ”Kami tak percaya segala sengci. Sekalipun ada sengci yang dibubuhi cap kaisar, tetapi siapa berani memastikan kalau bukan kau yang mencurinya?”

Bu Wi-yang terkesiap, pikirnya: ”Anak buah Gi-lim-kun itu benar-benar lihay dan luas pandangannya. Apa yang  kupikir mereka pun dapat menyangkanya. Ah, rupanya hari ini aku sudah ditakdirkan mati. Tidak di tangan Gong-gong-ji tentu di bawah hujan panah Gi-lim-kun!” Tetapi biasanya orang tentu suka mendengar berita yang girang.  Meskipun anak buah Gi-lim- kun itu curiga, namun mereka diam-diam mengharap supaya sengci itu tulen saja. Salah seorang

segera berseru: ”Kecuali sengci, apakah kau membawa bukti lain lagi? Menilik ucapanmu, rupanya kau sudah berjumpa dengan Cin thongleng.   Apakah kau membawa suratnya? Kami cukup mengenali tulisannya.”

Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak: ”Memang telah kuduga bahwa kalian tentu tak mau percaya pada sengci, maka akupun segan memperlihatkan padamu. Tentang surat dari Cin thongleng, aku sih tak membawa, tetapi ”

”Tetapi apa?” karena tak sabar lagi anak buah Gi-lim-kun berebutan berteriak. Tiba-tiba Gong-gong-ji mencabut sebatang ”kim-kiam” dan dimain-mainkan di hadapan Gi-lim- kun, serunya: ”Lihatlah sejelas-jelasnya! Apakah kalian kenal senjata milik siapa ini?”

Cin Siang mempunyai dua buah pusaka: seekor kuda bulu kuning dan sebatang kim-cong-kian. Kuda tak selamanya dibawa, tapi senjata tentu dibawa bareng kemana ia pergi.

”Hai, itulah kim-kian pusaka Cin thongleng!” serentak gemparlah anak buah Gi-lim-kun berseru.

Gong-gong-ji tertawa keras: ”Kalian sudah melihat jelas? Sudah mau mempercayai omonganku? Pikirlah. Cin tayjin saat ini sedang menunggu untuk menghadap baginda, mana ia ada waktu menulis surat untuk kubawa? Waktu aku bertemu padanya, ia lantas menarik aku,

ujarnya: ’Bagus Gong-gong-ji, kebetulan sekali kau datang. Larilah secepat-cepatny, bawalah kim- kianku ini selaku bukti. Bahwa baginda telah membebaskan aku dari kedosaan. Suruh anak buahku itu mendengar perintah sengci, jangan sekali-kali membikin susah kawan-kawanku lama itu’.”

Stempel kaisar mungkin aku Gong-gong-ji berani mencuri, tetapi kim-kian Cin tayjin mana aku berani turun tangan? Taruh kata aku berani mencarinya, pun tak nanti mampu. Bagaimana, kalian percaya tidak? Mau tidak membuka pintu?”

Gi-lim-kun menjunjung sekali pada Cin Siang dan mengindahkannya.  Kata-kata Gong-gong-ji itu dapat mengetuk hati anak buah Gi-lim-kun. Sebagian besar berpendapat begini: ”Benar, Cin

thongleng memang tiada yang menandingi. Walaupun Gong-gong-ji termasyhur sebagai pencuri sakti di kolong jagad tetap tak nanti dapat mengambil senjata Cin thongleng.”

Di samping itu, banyak anak buah Gi-lim-kun yang tahu betapa baik hubungan Thiat-mo-lek dengan Cin Siang. Malah ada beberapa orang Gi-lim-kun yang dahulu bekas kawan kerja Thiat- mo-lek. Pintarnya Gong-gong-ji merangkai cerita menyebabkan juga beberapa opsir Gi-lim-kun yang cermat, menjadi ragu-ragu juga, jangan-jangan Cin Siang memang memesan begitu. Adanya beberapa faktor itu, menyebabkan keterangan Gong-gong-ji mendapat sambutan baik.

Anak tentara merupakan suatu kesatuan. Mereka mudah sekali memberi reaksi pada sesuatu hal. Mendengar ’berita baik’ dan melihat senjata kim-kian Cin Siang seketika mereka berjingkrak- jingkrak kegirangan. Ada yang berseru: ”Benar, memang sebenarnya Cin thongleng hendak mengikat persahabatan dengan orang-orang gagah di seluruh negeri, itulah perbuatan kawanan

dorna yang hendak mengacaukan Eng-hiong-tay-hwe ini dengan mengadakan gerakan menangkap pemberontak.” – Yang lain berkata: ”Thiat-to-wi (Thiat-mo-lek pernah menjabat sebagai Hou-ya-to- wi) dahulu baik sekali kepada kita. Sekalipun ada sengci, tak seharusnya kita membikin susah padanya. Apalagi dia seorang sahabat baik dari Cin thongleng.”

”Kali ini tentu tak salah lagi. Buka pintu, buka pintu!” Akhirnya anak buah Gi-lim-kun serempak sama berseru.

Poan Ting-wan yang lebih berpengalaman dan lebih dapat berpikir tenang, mengetahui juga

bahwa dalam keterangan Gong-gong-ji itu terdapat beberapa kelemahan. Tetapi karena anak buah Gi-lim-kun seluruhnya sudah setuju membuka pintu iapun tak dapat menghalanginya lagi. Maka pada saat itu sudah ada beberapa anak buah Gi-lim-kun memalu rantai besi ke enam pintu. Khik-sia girang dan menghampiri toakonya. ”Mari kita jalan, toako.”

Tetapi bukannya mengiyakan, sebaliknya Thiat-mo-lek malah mendampratnya: ”Tidak! Kita harus mengalah pada lain-lain saudara dulu. Memikirkan lain orang dulu baru memikirkan diri sendiri. Petuah ayahmu di masa hidupnya, apa kau sudah lupa?”

Khik-sia merah mukanya dan mengiyakan. Begitu pintu terbuka maka berebutanlah sekalian orang-orang gagah keluar.

Waktu Gong-gong-ji melihat Wi Gwat dan Shin Ci-koh sedang menghampiri kepadanya, buru-

buru ia hendak menyusup masuk ke dalam gelombang manusia itu. Tetapi tiba-tiba sebuah tangan menghadang dan menariknya. Itulah Thiat-mo-lek.

”Gong-gong cianpwe, apa kau takut tak dapat lari keluar? Sutemupun berada di sini. Dalam peristiwa hari ini, aku sungguh berterima kasih sekali padamu.”

Dalam pada itu Khik-sia pun datang memberi hormat kepada suhengnya itu. Gong-gong-ji

akrab sekali dengan Thiat-mo-lek dan Khik-sia adalah sute yang paling dikasihinya. Sudah tentu ia tak dapat berkutik lagi.

”Gong-gong cianpwe, bagaimana caramu mendapatkan kim-kian itu? Bagaimana keadaan Cin Siang dan Ut-ti Pak?” tanya Thiat-mo-lek.

Gong-gong-ji membisikinya: ”Urusan ini dapat mengelabuhi lain orang, kecuali kau. Ya, sudah tentu kucurinya.”

”Bagaimana kau dapt menemui Cin toako,” tanya Thiat-mo-lek pula.

“Ada seseorang memberitahukan padaku bahwa kereta pesakitan itu belum tiba di istana, maka buru-buru kukejar.”

“Jadi, kau rampas kereta itu? Apa Cin toako setuju?”

Gong-gong-ji tertawa: ”Kupaksa pengawal untuk membelokkan arah tujuan kereta pesakitan. Sekarang Cin Siang sudah berada di dalam rumahnya sendiri. Untuk mencuri kim-kian Cin Siang, aku harus menerima dua buah pukulannya. Untung kulitku tebal sekali.”

Kedatangan Gong-gong-ji ke kotaraja Tiang-an itu ternyata karena hendak menyelidiki kedua sutenya. Seorang dengan wajahnya yang aneh itu ia enggan menggabungkan diri masuk ke dalam lapangan. Ia hanya akan mengetahui tempat beradanya kedua sutenya, kemudian akan menemuinya sendiri-sendiri. Ada dua hal yang hendak ia lakukan. Pertama, ia hendak memberi jeweran pada Ceng-ceng-ji. Kedua, hendak menurunkan ilmu kepandaian baru kepada Khik-sia. Ilmu silat itu ia ciptakan sendiri, sejak ia berpisahan dengan Khik-sia selama beberapa tahun ini.

Hari itu ia menunggu di sebuah the-koan (kedai minum) di dekat lapangan. Begitu kedua

sutenya keluar, ia akan mengikuti mereka. Diluar dugaan, ia berjumpa dengan dua orang kenalan, ialah Liong Seng-hiang, si nona penjual silat yang menjadi murid kepala Shin Ci-koh, dan ayah angkat si nona.

Setelah memberi laporan pada suhunya, Liong Seng-hian mengharap suhunya akan dapat menolong sumoay, Khik-sia dan lain-lain keluar dari lapangan sebelum pintu besi ditutup. Tetapi sampai menjelang siang hari, sang suhu tetap belum tampak keluar. Ia sendiri tak berani mendekati lapangan, tetapi ia dapat menduga bahwa pintu gerbang tentu sudah ditutup dan di dalam lapangan sudah berlangsung gerakan menangkap ’pemberontak’. Liong Seng-hiang dan ayah angkatnya sibuk, terpaksa mereka beristirahat dulu di sebuah the-koan itu agar dapat menyirapi berita-berita.

Bahwa di situ mereka dapat berjumpa dengan Gong-gong-ji, girang mereka seperti mendapat lotere.

Benar Gong-gong-ji itu selalu berusaha untuk menghindarkan diri dari Shin Ci-koh, tetapi

dengan wanita itu ia pernah mempunyai ikatan hati yang dalam, yang sampai saat itu tak dapat ia lupakan. Ia ajak Liong Seng-hiang ke tempat sepi untuk menanyakan tentang keadaan suhunya. Apa yang diceritakan Liong Seng-hiang, membuatnya terkejut sekali.

Di dalam daftar Sepuluh Pemberontak itu, terdapat seorang sute dan dua sahabat karib Gong- gong-ji (Thiat-mo-lek dan Co Ping-gwan). Sudah tentu ia tak dapat berpeluk tangan lagi. Tetapi pintu besi sudah tertutup, betapa lihay kepandaiannya, tetap tak dapat menembus masuk. Selagi ia putar otak cari akal, kebetulan kereta pesakitan yang membawa Cin Siang dan Ut-ti Pak, didorong keluar dan lalu didekatnya.

Gong-gong-ji cerdas sekali. Begitu melihat hal itu, segera ia dapat menduga tentang sebab ditangkapnya Cin Siang dan Ut-ti Pak. Dan secepat itu pula ia mendapat pikiran. Dikuntitnya

kereta itu. Tiba di tempat yang sepi, ia segera loncat ke atas kereta dan menguasai kedua opsir yang mengawal.

Tetapi betapapun Gong-gong-ji membujuk dan menjamin Cin Siang tentu dapat terlolos dari bahaya, namun Cin Siang tak mau mempercayainya. Demikianlah keduanya bertempur di atas kereta. Untung karena mendongkol terhadap tindakan sewenang-wenang dari kerajaan, Ut-ti Pak tak mau mengeroyok Gong-gong-ji.

Karena hampir setengah hari diborgol, gerakan Cin Siang tak selincah Gong-gong-ji. Pada saat ia putuskan borgolan tangannya, Gong-gong-jipun secepat kilat sudah menutuk jalan darahnya. Tapi sekalipun begitu, ia masih tetap harus menerima dua buah tinju Cin Siang, baru dapat membuatnya tak berdaya. Ut-ti Pak pun sekalian ditutuknya juga.

Gong-gong-ji gunakan ilmu tutuk ciong-chiu-hwat (keras). Ia perkirakan dalam dua jam jalan

darah itu tentu sudah dapat terbuka sendiri. Maka ia tak mau buang tempo. Dirampasnya kim-kian Cing Siang lalu perintahkan Liong Seng-hiang dan ayah angkatnya mendorong kereta ke rumah Cin Siang. Setelah itu Gong-gong-ji bergegas-gegas menuju ke istana.

Dengan ginkangnya yang lihay, walaupun di tengah hari bolong, dapat juga Gong-gong-ji

masuk ke istana. Di sebuah kamar dari salah seorang selir, dapatlah Gong-gong-ji menjumpai Li Hing. Bermula Gong-gong-ji hendak paksa kaisar itu menulis surat pembebasan untuk Sepuluh Pemberontak dan merehabilitar kedudukan Cin Siang dan Ut-ti Pak. Tetapi di luar dugaan, Li Hing itu bernyali kecilm melihat wajah Gong-gong-ji yang aneh, pingsanlah ia seketika.  Gong-gong-ji tak dapat berbuat apa, terpaksa ia hanya mengambil stempel kaisar itu. Tanpa memikirkan lagi

apakah sengci itu harus dicap kerajaan atau cukup hanya dengan stempel kaisar saja, ia terus ngacir pergi. Ia mencari seorang tukang tulis yang berada di pinggir jalan. Dengan diancam hendak dibunuh tetapi pun diberi sekeping emas, ia paksa tukang tulis itu membuat sebuah ’sengci’. Sengci palsu inilah yang menimbulkan kecurigaan Bu Wi-yang, namun ia terpaksa mengindahkan juga.

Singkat jelas Gong-gong-ji menuturkan petualangannya itu kepada Thiat-mo-lek. Thiat-mo-lek geli tapi pun kuatir juga, ujarnya: ”Urusan ini hanya dapat bertahan untuk sementara, akhirnya toh

akan ketahuan juga. Kalau sampai ketahuan bukankah akan lebih memberatkan dosa Cin Siang dan Ut-ti Pak?”

”Jangan kuatir! Kaisar itu takut mati, masakan ia tak kuatir nanti aku mencarinya lagi?” enak saja Gong-gong-ji menyahut dengan tertawa.

”Thiat toako, mereka sudah keluar semua, tapi aneh mengapa Toh siok-siok tak kelihatan?” kata Khik-sia.

Thiat-mo-lek menyuruhnya segera mencari mereka. Tiba-tiba Gong-gong-ji berseru: ”Hai, itu si Ceng-ceng-ji juga disitu. Aku hendak menghukum suteku yang murtad itu.”

Benarkah Gong-gong-ji akan menghukum sutenya? Tidak! Yang benar saat itu ia melihat Wi Gwat dan Shin Ci-koh mendatangi, maka dengan alasan menangkap Ceng-ceng-ji, ia lantas menyingkir pergi.

”Ha, Gong-gong-ji, sahabat lama datang, mengapa kau mau mengumpet?” Wi Gwat sudah menegurnya dengan tertawa gelak-gelak.

Wi Gwat menghadang Gong-gong-ji dan Shin Ci-koh pun tiba di sampingnya, wanita itu tertawa: ”Telah kutampar muka Ceng-ceng-ji, tak usah kau menghukumnya lagi.” Karena ’dikepung’ oleh beberapa orang, terpaksa Gong-gong-ji menjumpai Shin Ci-koh.

”Gong-gong-ji, kau benar-benar giat berusaha untuk kepentingan sahabat,” kembali Shin Ci-koh tertawa.

Gong-gong-ji membeliakkan mata, serunya: ”Bagaimana, apakah menurut anggapanmu aku tak seharusnya membantu sahabat?”

Shin Ci-koh tersenyum: ”Perangaimu masih pemarah seperti dahulu. Aku toh belum menghabiskan kata-kataku.   Kau giat membantu sahabat, itu untuk kebaikanmu juga. Memberi selamat saja belum sempat mengapa aku harus menyalahkan kau? Tetapi aku sungguh tak mengerti, mengapa kau selalu melupakan seorang sahabatmu?”

”Siapa?” tanya Gong-gong-ji.

”Apa. Aku ini bukan sahabatmu?  Bertahun-tahun ini kau mondar-mandir dari selatan ke utara untuk mencuri ’kangtau’ (obyek), hanya saja tak pernah mencari aku! Tahukah kau, betapa susah payahku mencarimu?” Shin Ci-koh gunakan lwekang sakti untuk men’streamline’kan (mempersatukan sekecil mungkin) suaranya, hingga Gong-gong-ji seorang yang dapat mendengar, lain-lain orang tidak.

Merahlah wajah Gong-gong-ji. Tanpa merasa ia berjalan bahu-membahu dengan Shin Ci-koh, tinggalkan Thiat-mo-lek dan Wi Gwat. Diam-diam Wi Gwat geli dan yakin pencomblangannya tentu berhasil.

Sekarang mulailah ‘cair’ ketakutan Gong-gong-ji terhadap Shin Ci-koh. Diam-diam ia menyesal dahulu telah salah sangka kepada wanita itu.

“Berpuluh tahun kita berpisah, tapi tampaknya kau masih seperti dulu,” Gong-gong-ji memulai pembicaraannya.

“Aku sih hampir berumur 40 tahun. Ketika aku berjumpa padamu, waktu itu aku baru berumur 18 tahun. Ah, dalam sekejap mata saja sudah 20-an tahun,” jawab Shin Ci-koh.

Gong-gong-ji tertawa: ”Ya, memang hari cepat sekali jalannya. Waktu itu kau masih memelihara kuncir. Tetapi wajahmu sekarang tak banyak berubah seperti dulu. Dalam pandanganku, kau masih tetap serupa si nona kecil yang nakal dahulu itu. Ci-koh, aku pun tak dapat melupakan kau. Hanya rupanya nasib belum mengijinkan hingga aku tak dapat menjumpaimu.”

Gong-gong-ji bukan saja hebat dalam hal muslihat, tapi ternyata pun seorang ahli merayu.

Kata-katanya itu sebagian memang benar, tapi sebagian salah. Bahwa ia tak dapat melupakan Shin Ci-koh itu memang sungguh. Tapi bahwa ’nasib belum mengijinkan bertemu’ itu tidak benar.

Bukan nasib, tetapi dia sendiri memang yang ketakutan bertemu Shin Ci-koh.

”Berapa kodi tahun (20 tahun) manusia dapat mengenyam dalam hidupnya? Kau mau suruh aku tunggu lagi 20 tahun baru kau mau menjumpai aku?”

Pengakuan Shin Ci-koh itu membuat hati Gong-gong-ji tergerak juga. Tapi kalau membayangkan bahwa begitu menikah, tentu bakal dikekang kebebasannya, Gong-gong-ji bersangsi lagi.

Tiba-tiba Shin Ci-koh tertawa: ”Gong-gong-ji, kau manusia yang tak takut pada segala setan belang tapi ternyata takut pada sesuatu.”

”Apa yang kutakuti?” tanya Gong-gong-ji.

”Kau sudah tahu sendiri, mengapa perlu bertanya. Sebenarnya yang kau takuti belum tentu menakutkan seperti yang kau bayangkan!” berkata sampai di situ, sepasang pipi Shin Ci-koh bersemu merah. Matanya berlinang-linang penuh dengan air mata asmara. Gong-gong-ji tahu juga arti sikap kekasihnya itu.

Sekarang mari kita tinggalkan dulu sepasang kekasih tua yang sedang berkasih-kasihan itu. Berturut-turut muncullah Wi Gwat, Tok-ko U dan adiknya, Lu Hong-jin dan adik, In-nio, Yak-bwe, Bik-hu dan lain-lain, tetapi hanya Toh Peh-ing yang tetap belum kelihatan. Tak berapa lama Khik- sia datang dan mencarinya kemana-mana, namun Toh Peh-ing tetap tak diketemukan.

Selagi Thiat-mo-lek dan kawan-kawan kebingungan, tiba-tiba seekor kuda lari menyusur jalur jalanan di tengah lapangan. Penunggangnya seorang thaykam (orang kebiri). Ia menuju ke arah Poan Ting-wan dan berseru keras: ”Siapa suruh kalian buka pintu? Lekas tutup lagi!”

Ting-wan terkejut, serunya: ”Ada, ada sengci ”

”Tolol, itu sengci palsu!” thaykam itu membentaknya keras-keras.

Poan Ting-wan merah mukanya. Ia congkel rantai besi dengan tombaknya dan pintu besi yang ribuan kati beratnya itupun tertutup lagi. Opsir penjaga pintu pintu lainnya, pun berbuat demikian. Seketika enam buah pintu gerbang, tertutup lagi!

Para orang gagah yang masih ketinggalan di dalam lapangan hanya tinggal dua tiga bagian, sebagian besar sudah sama keluar. Di antara yang tertutup di dalam itu, terdapat sebagian anak buah Ceng-ceng-ji. Thiat-mo-lek dan kawan-kawan pun masih belum keluar. 

Gong-gong-ji marah dan hendak meringkus si thaykam (orang kebiri). Tetapi pasukan Gi-lim- kun sudah melindunginya dengan cepat.

”Gong-gong cianpwe, jangan terlalu mengumbar kemarahan. Gi-lim-kun hanya melakukan perintah, mengapa harus menempur mati-matian?”

Bu Wi-yang yang sudah kembali ke dalam pasukannya segera unjuk kegarangan: ”Bagus, kalian kawanan pemberontak berani membuat amanat palsu tentuk tak dapat diberi ampun lagi!” Sambil lempar sebatang belati beracun, Gong-gong-ji membentaknya: ”Bu Wi-yang, kalau berani kemarilah!” – Jaraknya lebih dari 100-an langkah dan dipagari pula oleh pasukan Gi-lim-

kun, namun ketika belati itu meluncur turun dari udara, arahnya tepat ke batok kepala Bu Wi-yang. Bu Wi-yang buru-buru indungkan sepasang kaitnya ke atas kepala. Trang, sebuah gigi dari kait kirinya putus terbabat belati. Belati masih menggelincir ke samping, menyusup dada seorang pengawal, masih pula menggurat lengan seorang pengawal lagi. Pengawal pertama mati seketika, pengawal kedua menjerit kesakitan dan menggeletak ke tanah. Wajahnya berwarna hitam, mata, hidung, telinga dan mulutnya mengluarkan darah.

Bu Wi-yang copot nyalinya. Buru-buru ia ngacir ke belakang barisan. Poan Ting-wan memberi komando dengan gerakan panji dan menyerbulah pasukan Gi-lim-kun kepada rombongan Thiat-mo-lek.

”Sesama saudara mengapa saling gontok-gontokan?” seru Thiat-mo-lek. Ia terpaksa putar pedangnya. Dalam sekejap saja ia dapat memecahkan belasan theng-pay dan mengutungkan berpuluh tombak lawan. Tapi ia tetap membatasi diri. Senjata dan alat pelindung diri theng-pay hancur namun tiada seorang pun dari anak buah Gi-lim-kun itu yang terluka.

Pasukan Gi-lim-kun tahu bahwa kegagahan Thiat-mo-lek itu tidak di bawah pemimpin mereka

(Cin Siang). Apalagi mengingat hubungan mereka dengan Thiat-mo-lek dahulu, maka mereka pun hanya mengepung dari jarak beberapa tombak saja, tak mau mendesak rapat.

Melihat situasi menguntungkan pihaknya, Bu Wi-yang segera ajak barisan pengawalnya untuk meninjau pertempuran. Ia memberi perintah supaya Gi-lim-kun lepaskan anak panah.

”Awas, kalau orangku ada satu saja yang terluka, aku tentu minta ganti jiwa seratus orangmu!” Gong-gong-ji memberi peringatan.

Pasukan Gi-lim-kun sudah  menyaksikan kelihayan tokoh itu dan tahu apa yang diucapkan itu tentu dijalankan sungguh. Disebabkan oleh rasa jeri mereka terhadap Gong-gong-ji dan Thiat-mo- lek serta rasa memandang rendah pada pribadi Bu Wi-yang, maka anak buah Gi-lim-kun itupun tak mau melakukan perintah Bu Wi-yang. Sekalipun begitu mereka tak mau kendorkan kepungannya. Bu Wi-yang mendongkol sekali, tetapi tak dapat berbuat apa-apa.

Selagi kedua pihak dalam keadaan stand-by (bersiap), tiba-tiba terdengar suara genderang dan teriakan orang: ”Tiang Lok kong-cu datang!”

Pintu tengah terbuka dan masuklah dua rombongan pengawal istana diiringi sebuah kereta kerajaan. Pelopor barisan kehormatan itu, seorang opsir yang menunggang kuda tegar. Begitu masuk ke lapangan, berserulah ia: ”Bu Wi-yang, Poan Ting-wan, lekas menghadap tuan puteri!” Kedatangan rombongan puteri Tiang Lok kongcu itu, menggemparkan suasana lapangan. ”Apakah puteri juga ingin menyaksikan pertandingan? Tapi mengapa tak memberitahukan lebih dahulu?” pikir Bu Wi-yang.

Puteri Tiang Lok adalah puteri bungsu dari baginda Tong Hian-cong, jadi adik perempuan dari baginda Li Heng yang sekarang ini.   Ketika baginda Hian-cong masih memerintah, pendekar pedang wanita nomor satu Sun Toa-nio pernah masuk ke istana dan memberi pelajaran ilmu pedang pada puteri Tiang Lok. Dan sejak itu puteri berguru pada pendekar wanita itu.

Pada masa pemberontakan An Lok-sian dan Su Khik-hwat, Li Heng mengganti ayahandanya.

Ia mencarikan suami untuk adik perempuannya itu. Tetapi sayang hu-ma (menantu raja) itu tak berumur panjang dan sejak itu puteri Tiang Lok menjadi janda muda. Puteri Tiang Lok sering tinggal di istana. Karena adiknya itu pandai ilmu surat dan silat dalam banyak hal Li heng tentu mendengar advisnya.

Dalam sejarah kerajaan Tong, urusan pemerintahan dikuasai oleh puteri raja, bukan hal yang baru. (Misalnya puteri dari ratu Bu Cek-thian yang bernama Thay Ping kong-cu juga bertahun-

tahun memegang tampuk pemerintahan). Sekalipun puteri Tiang Lok tak berbuat seperti Thay Ping kongcu tersebut, namun sampai dimana pengaruh dan kekuasaan dalam istana, semua menteri sama-sama mengetahui.  Bu Wi-yang dan Toh Hok-wi juga paling jeri berhadapan dengan puteri itu.

Tidak demikian dengan Thiat-mo-lek. Ia mempunyai kenangan yang tak dapat dilupakan

dengan tuan puteri itu. Sepuluh tahun yang lalu, ketika ia masih menjabat sebagai si-wi (pengawal istana), ia bergaul intim sekali dengan puteri itu. Tiang Lok kongcu menganggapnya sebagai orang kepercayaan dan Thiat-mo-lek pun dapat membatasi dirinya. Jika dalam negeri tak terjadi peristiwa yang menggoncangkan, tentu baginda Hian-cong sudah mengangkat Thiat-mo-lek sebagai menantunya.

”Adakah puteri datang karena aku?” pikir Thiat-mo-lek. Pada saat itu Bu Wi-yang dan Poan Ting-wan sudah berlutut di hadapan kereta. Ketika kain pintu kereta tersingkap, ternyata benar Tiang Lok kongcu.

”Kalian sungguh bernyali besar. Mengapa tak menurut sengci?” begitu membuka mulut Tiang Lok kongcu sudah mendamprat mereka. ”Sengci yang mana?” Bu Wi-yang dan Poan Ting-wan tercengang.

”Sengci yang menyatakan bahwa selama dalam pertandingan tak boleh melakukan penangkapan. Mengapa kalian berbuat semaunya sendiri? Baginda suruh Gong-gong-ji yang membawa sengci itu, apakah belum dibacakan pada kalian?”

”Jadi sengci itu tulen?” Bu Wi-yang berseru kaget.

”Budak bernyali besar, siapakah yang berani memalsu tulisan dan cap baginda? Tampar mulutmu!” bentak Tiang Lok kongcu.

Bu Wi-yang benar-benar diselubungi keheranan. Terang sengci itu palsu, tetapi mana ia berani berdebat dengan puteri? Tetapi pada lain kejap, ia mendapat pikiran: ”Tadi karena hendak menyelamatkan jiwa, aku sudah mengakui sengci Gong-gong-ji. Untuk itu terang aku bakal menerima hukuman. Tak nyana sekarang kongcu menyatakan kalau sengci itu tulen. Ah, tak peduli bagaimana, itu persoalan kongcu sendiri, tapi yang nyata hal itu menguntungkan aku. Kalau dipersalahkan, baginda tentu bukan melainkan menghukum aku sendiri, pun kongcu juga. Asal aku dapat menjaga jangan sampai diturunkan pangkat, apa sakitnya kutampar mukaku sendiri?”

Plak, plok, ia menampar mukanya sendiri sampai beberapa puluh kali, selaku menurut perintah kongcu.

Gong-gong-ji heran, tapi pun geli.  Batinnya: ”Sungguh di luar dugaan sekali.   Aku telah melakukan kebohongan besar, kongcu malah membenarkan kebohongan itu. Ha, ha, cap baginda memang tulen, tapi tulisan baginda itu sebenarnya palsu. Kongcu tentu tak tahu kalau tulisan itu kusuruh buatkan oleh seorang juru tulis pinggir jalan.”

Poan Ting-wan lebih serius, ia memberanikan diri bertanya: ”Hatur beritahu pada kongcu, tadi

Ong kongkong juga datang membawa sengci saat ini ia masih ada di sini. Apakah kongcu tak mau menanyainya?”

Thaykam yang disebut Ong Kong-kong itu tercengang. Tersipu-sipu ia tampil menghadap:

”Sengcu yang hamba bawa tadi itu, seperti seperti berlainan.” ”Apanya yang lain?” tanya Tiang Lok kongcu.

”Tujuannya tidak ada perubahan ialah maih menitahkan Bu Wi-yang melaksanakan sengci semula.  Itu, itu, itu Gong-gong-ji ”

Orang kebiri itu tak berani menyatakan apa-apa karena tadi puteri sudah mengatakan bahwa sengci yang dibawa Gong-gong-ji itu tulen. Ia takut kalau disuruh menampar mulut seperti Bu Wi- yang tadi.

”Kasih lihat sengcimu itu padaku!” tukas Tiang Lok kongcu.

Ong thaykam terbeliak kaget, buru-buru ia berkata: ”Baginda hanya menitahkan aku secara lisan, tidak memakai tulisan.”

Ternyata karena ketakutan digertak Gong-gong-ji, baginda Li Heng sampai pingsan. Ketika ia ditolong oleh hamba sahaya, barulah ia mengetahui kalau capnya hilang. Ia gusar sekali dan segera menitahkan Ong thaykam yang menjadi kepala orang kebiri untuk menyiarkan perintahnya. Saking keburu nafsu dan capnya hilang, maka ia hanya memberi perintah dengan lisan saja. Bu Wi-yang dan Poan Ting-wan mau percaya karena sudah kenal dengan kepala thaykam itu.

”Hm, hampir setengah harian mengatakan sengci, kiranya tidak ada buktinya  sama sekali. Dengan begitu kau hendak memalsu sengci, terang kau diperalat kaum durna untuk mengacaukan kewibawaan kerajaan. Kerajaan hendak mencari orang pandai dan panglima gagah, tetapi kau menghendaki kerajaan kehilangan kepercayaan kepada sekalian orang gagah di seluruh dunia!” Diberondong dengan tumpukan kesalahan oleh Tiang Lok kongcu, pucatlah wajah thaykam itu.

Buru-buru ia berkata: ”Kongcu, wan ”

Sebenarnya ia hendak mengatakan Wan-ong (penasaran) untuk meminta keadilan, tapi sudah dibentak Tiang Lok yang memerintahkan pengawalnya supaya menyeret thaykam itu ke dalam istana. Opsir kepala barisan kehormatan secepat kilat sudah menutuk jalan darah thaykam itu hingga tak dapat berkutik lagi.

Terus dimasukkan ke dalam kereta pesakitan dan didorong pergi. Khik-sia kagum atas kelihayan ilmu tutuk opsir itu. Anak buah Gi-lim-kun yang tak tahu tentang ilmu tutuk hanya mengira thaykam itu saking takutnya sampai jatuh pingsan sendiri. ”Gi-lim-kun, mundur dan buka pintu!” akhirnya Poan Ting-wan berseru. Karena memang

segan bermusuhan dengan Thiat-mo-lek, pasukan Gi-lim-kun itu serentak mundur dengan gembira. ”Siapakah yang bernama Thiat-mo-lek? Kongcu akan bicara,” tiba-tiba si opsir kepala barisan kehormatan menghampiri.

Thiat-mo-lek yang tercengang mengetahui kesudahan yang tak diduga-duga itu gelagapan. Tapi diam-diam ia seperti kenal dengan wajah dan suara opsir itu. Tetapi ia tak ingat siapa.

Gong-gong-ji membisiki telinga Thiat-mo-lek dan menyerahkan sebuah barang: ”Karena

kongcu telah menolong kita akupun takkan membikin susah padanya. Tolong kau berikan benda ini padanya.”

Sudah 10-an tahun Thiat-mo-lek tak berjumpa dengan puteri itu. Walaupun ia tak berani

memikirkan sesuatu yang jauh, namun ia tak dapat melupakan persahabatan mereka. Pelahan-lahan ia melangkah ke samping kereta. Pada saat itu puteri Tiang Lok pun menyingkap kain pintu dan tengah memandangnya. Thiat-mo-lek buru-buru menghaturkan terima kasih atas bantuan puteri itu. ”Ai, mengapa kau begitu sungkan kepadaku?  Budimu melindungi kami hijrah ke Sechwan, aku belum sempat menghaturkan terima kasih,”  Tiang Lok kongcu tertawa. Untuk itu Thiat-mo-lek mengatakan hanya melakukan tugas jabatannya sebagai si-wi.

”Berbicara tentang peristiwa yang lampau, adalah pihak keluargaku yang menyakiti hatimu. Apakah kau tak membenci?” tanya kongcu.

”Semoga dirgahayu dengan kerajaan! Apa yang diderita Thiat-mo-lek hanya soal kecil. Atas budi kecintaan kongcu, aku merasa berhutang terima kasih.”

”Sekarang Nyo Kok-tiong dan adik perempuannya sudah binasa dan ayahanda baginda Han- cong sudah wafat. Apakah kau suka mengabdi kepada kerajaan lagi?”

Thiat-mo-lek menghaturkan terima kasih tetapi ia menyatakan tak suka. Wajah kongcu tampak mengerut gelap. Sampai beberapa jenak baru ia bertanya: ”Kalau begitu kau hendak pergi lagi?”

Thiat-mo-lek mengiyakan: ”Ya, apakah masih ada pertanyaan lagi yang kongcu hendak ajukan?”

Puteri raja itu terdiam seperti memikirkan sesuatu. Kemudian tanyanya: ”Dimana isterimu?”

”Ia berada di desa.”

”Sudah berapa anakmu sekarang?”

”Dua orang, satu laki-laki satu perempuan. Yang laki berumur 7 tahun, yang perempuan 5 tahun.”

Tiang Lok kongcu menghela nafas: ”Tempo berjalan cepat sekali. Anakmu sudah begitu besar. Kau lebih bahagia dari aku. Aku mempunyai suami, tetapi siang-siang sudah meninggal. Aku tak punya keturunan, hidupku sepi sekali.”

Thiat-mo-lek merasa pilu juga. Ia memandang ke muka. Tampak puteri raja itu lebih kurus tapi lebih cantik dari dulu. Terkenang akan masa yang lampau, hati Thiat-mo-lek menjadi gundah. Sampai beberapa saat ia tak berkata.

”Putera puterimu itu tentu menyenangkan sekali. Kelak apabila kau mengajaknya kemari, bawalah kepadaku. Hm, aku belum kenal dengan isterimu. Lebih baik kau ajak mereka pindah ke

Tiang-an saja. Penghidupan berkelana yang kau tuntut selama ini, bukan jalan yang tenteram,” kata kongcu. Ucapan itu mengandung arti, supaya Thiat-mo-lek pindah ke kota raja sehingga dapatlah mereka sering-sering berjumpa.

Thiat-mo-lek tertawa rawan. Ia mengatakan bahwa dirinya masih dalam status sebagai orang buronan negara mana dapat pindah ke kota raja.

”Aku telah mengatur semuanya. Jasamu terhadap raja dahulu, kerajaan belum memberi hadiah,” kata Tiang Lok. Tetapi Thiat-mo-lek menyatakan ia tak menginginkan pemberian apa- apa.

”Kutahu kau tentu tak menginginkan pangkat, akupnun tak berani memaksa.  Tetapi bagaimanapun kerajaan tetap akan membalas jasamu. Karena itu aku telah memohonkan kim-pay (piagam) bebas dari hukuman mati untukmu. Kim-pay ini, selayaknya kau harus menerima.”

Thiat-mo-lek menimbang bahwa dengan memiliki kim-pay itu, ia dapat terbebas dari berbagai kesulitan, pun keluarganya juga terhindar dari rongrongan pembesar setempat. Maka iapun menerimanya.

”Dengan menyimpan kim-pay itu, keluargamu dapat pindah ke kotaraja sini,” kata Tiang Lok kongcu.

”Terima kasih kongcu. Aku pun hendak menghaturkan sebuah bingkisan kepada kongcu,” kata Thiat-mo-lek.

”Oh, kau juga mau memberi tanda mata padaku?”

”Tetapi barang itu bukan milikku sendiri, harap kongcu jangan sesalkan aku.” kata Thiat-mo- lek.

Tiang Lok kongcu heran, tapi begitu menerimanya barulah ia mengerti kalau cap milik baginda yang dicuri Gong-gong-ji. Kongcu agak kecewa, tapi iapun lega juga karena benda itu amat berharga sekali bagi engkohnya.

”Baik, dengan menyerahkan benda ini membuktikan bahwa kau tak mengandung maksud memberontak. Nanti di hadapan koko, akan kukatakan hal ini.”

”Harap kongcu suka menyampaikan ucapan terima kasih Thiat-mo-lek kepada baginda, pula harap kongcu baik-baik menjaga diri.”

”Oh, kau hendak pergi? Kau ”

”Apakah kongcu hendak memberi pesan lagi?”

Puteri raja itu menatap Thiat-mo-lek sejenak. Lama baru ia menghela nafas dan berkata: ”Baik, pergilah, akupun juga hendak kembali ke istana!”

Setelah rombongan puteri keluar, maka Thiat-mo-lek segera ajak rombongannya keluar dari lapangan. Dalam ramai-ramai itu tiada seorang pun kawannya yang terluka, tetapi kurang satu yakni Kim-kian-deng-long Toh Peh-ing. Thiat-mo-lek menghibur kawan-kawannya, mungkin Toh Peh-ing sudah keluar lebih dulu. Dalam pada itu Gong-gong-ji mengajak rombongannya untuk menjenguk Cin Siang dan Ut-ti Pak.

Tiba-tiba opsir yang memimpin barisan kehormatan puteri Tiang Lok tadi larikan kudanya mendatangi, serunya: ”Atas perintah kongcu, aku ditugaskan mengantar kalian.”

”Kami semua sudah biasa jalan sendiri tak perlu diantar!” Gong-gong-ji kurang senang. ”Aku sudah tahu kalian bisa jalan sendiri, tapi perintah kongcu mana aku berani melanggarnya?” sahut si opsir.

Walaupun tak senang, tapi mereka terpaksa menerima. Setelah berjalan beberapa waktu, Gong- gong-ji merasa tak enak kalau ketahuan akan berkunjung ke tempat tinggal Cin Siang. Maka disuruhnyalah opsir itu pulang. Saat itu mereka sudah jauh dari lapangan tadi.

”Belum sampai di tempat tujuan, biarpun kau usir, aku tetap mengikut,” kata si opsir.

Dari jengkel Gong-gong-ji menjadi marah: ”Tempat tujuan apa? Kau mau mengantar sampai di mana?”

Wajah opsir itu membengis: ”Kemana kalian pergi, walaupun sudah keluar dari kota Tiang-an, aku tetap mengikut!”

”Kurang ajar! Aku belum pernah tahu orang mengantar secara begitu! Pendek kata kau mau kembali tidak? Apa minta kuusir sungguh?” bentak Gong-gong-ji.

Thiat-mo-lek buru-buru hadangkan lengannya menengahi mereka: ”Siapakah sebenarnya saudara ini?”

Makin memperhatikan makin Thiat-mo-lek seperti tak asing dengan opsir itu. Ia teringat akan seseorang tetapi belum berani memastikan. Opsir itu tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba ia mengusap wajah dengan lengan bajunya dan dengan nada suara berganti berserulah ia: ”Aha, akhirnya Thiat ceculah yang bermata tajam!”

”Toh sioksiok!” seketika menjeritlah Khik-sia.

Ya, memang opsir itu bukan lain ialah Toh Peh-ing sendiri.  Kiranya ia mahir dalam obat-obatan dan menyaru. Dalam golak pertempuran tadi ia segera mendapat akal untuk meloloskan diri. Diringkusnya salah seorang opsir bawahan Bu Wi-yang lalu dilucuti pakaiannya. Dengan memakai pakaian itu dan memake-up wajanya, berubahlan ia menjadi seorang opsir kerajaan. Karena orang lagi bertempur mati-matian maka tiada seorang pun yang memperhatikan dia. Dengan pura-pura membawa perintah dari Bu Wi-yang supaya keluar meminta bala bantuan, dapatlah ia keluar dari salah satu pintu gerbang. Saat itu Cin Siang sudah dibawa pergi tapi Gong-gong-ji belum datang.

Peh-ing tahu hubungan Thiat-mo-lek dengan Tiang Lok kongcu. Segera ia menghadap puteri

itu untuk memohon bantuan. Kongcu terkejut dan terus menghadap ke kakandanya. Li Heng sudah mengutus thaykam untuk menyampaikan sengci ke lapangan. Raja itu masih marah-marah.

”Koko, set yang kau jalankan itu salah,” kata Tiang Lok dengan banting-banting kaki. Baginda Li heng tercengang heran.

”Gong-gong-ji itu dapat muncul lenyap sekehendak hatinya. Mampukah para pengawal istana mencegahnya?” tanya puteri.

”Akan kutambah jumlah si-wi. Sekalipun Gong-gong-ji mampu menyelundup ke dalam istana, tapi tak mungkin ia dapat membunuh aku,” kata Li Heng.

”Aha, apa guna hidup selalu dalam ketakutan begitu? Apalagi bahaya bukan hanya berasal dari Gong-gong-ji seorang.   Kau tentu sudah tahu bagaimana  kegagahan Thiat-mo-lek itu. Apabila pasukan Gi-lim-kun sampai tak dapat menangkapnya dan ia dapat lolos, bukankah akan merupakan bahaya pada kerajaan? Pula masih ada Cin Siang dan Ut-ti Pak dua orang menteri kerajaan yang selalu setia.”

”Sekarang kau mendengarkan bujukan Bu Wi-yang untuk menangkapnya. Kelak siapakah yang akan membantumu melindungi kerajaan? Dalam segala hal kita harus pandai memikirkan segalanya. Bahwa Thiat-mo-lek telah menceburkan diri di kalangan lok-lim, andaikata benar, yang menerima akibat langsung adalah wilayah Gui-pok yang jauh dari kota raja, bukan kota Tiang-an ini. Sekarang kalau kau menitahkan untuk menangkapnya, apabila ia sampai memberontak di kota raja ini, dan berserikat dengan Cin Siang serta Ut-ti Pak, bayangkanlah betapa akibatnya. Gong- gong-ji seorang saja sudah sukar dihadapi, apalagi masih ditambah dengan Thiat-mo-lek, Cin Siang dan Ut-ti Pak. Apakah kerajaan kita dapat dipertahankan?”

Mendengar uraian adiknya, Li Heng kucurkan keringat dingin, ujarnya: ”Karena rangsangan amarah, aku sampai tak memikir panjang. Kurang ajar Bu Wi-yang itu, ia menganjurkan aku mengeluarkan sengci. Habis bagaimana sekarang?”

Kongcu tertawa: ”Satu-sstunya cara ialah mengeluarkan sengci lagi untuk mengikat hati Thiat- mo-lek serta mengangkat Cin Siang dalam kedudukan yang lebih tinggi. Serahkan saja padaku, tanggung beres. Tetapi terpaksa harus sedikit menyiksa Ong thaykam.”

Li Heng setuju dan segeralah Tiang Lok kongcu meminjam kereta baginda menuju ke lapangan.

Ia suruh Toh Peh-ing menjadi opsir yang mengepalai barisan pengawalnya. Demikianlah atas jasa Toh Peh-ing, rombongan orang gagah dapat diselamatkan.

Mendengar cerita Toh Peh-ing, semua orang tertawa geli. Tempat tinggal Cin Siang di kaki gunung Li-san, ialah di luar kota sebelah barat. Di muka rumahnya terdapat sebuah hutan pohon siong. Ketika rombongan Thiat-mo-lek tiba, dilihatnya kereta pesakitan masih berada di dalam hutan. Liong Seng-hiang dan ayah angkatnya masih menjaga di situ. Nona itu buru-buru menyambut kedatangan Gong-gong-ji.

Atas pertanyaan Gong-gong-ji, Liong Seng-hiang menerangkan bahwa Cin Siang sudah diantar pulang. Waktu ditanya mengapa nona itu tak masuk ke dalam rumah Cin Siang, Liong Seng-hiang menyebut: ”Aku takut dimakinya.”

Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak. Dua opsir pengawal kereta pesakitan masih tak dapat

berkutik segera dibuka jalan darahnya dan disuruh membawa kereta pulang. Karena mereka masih lemas, Liong Seng-hiang disuruh mengantar.

”Suhu, mengapa Su sumoay tak kelihatan?” tanya Liong Seng-hiang pada Shin Ci-koh.

”Entah, aku sendiri heran.” Ia memandang Khik-sia dan bertanya: “Benarkah begitu? Dengan siapa ia lari?”

”Kabarnya dengan pemimpin baru dari perserikatan Loklim. Ini Khik-sia yang bilang, aku

sendiri juga tak tahu benar tidaknya? Kau tentu sudah paham perangai sumoaymu itu. Mungkin ia marah pada Khik-sia,” jawab Shin Ci-koh. Karena hatinya riang, wanita itu lincah sekali bicaranya. Ia baru tersipu-sipu ketika semua orang memandangnya. Buru-buru ia tertawa dan suruh muridnya itu melakukan apa yang diperintahkan Gong-gong-ji. Kemudian berpaling pada Gong-gong-ji, Shin Ci-koh tertawa: ”Ai, sekarang giliran diriku yang menjadi sasaran perhatian orang muda-muda itu.” Sekalian orang, terutama In-nio, heran mendengar keterangan Shin Ci-koh tadi. Pikir In-nio: ”Yang dikatakan pemimpin Loklim baru itu, apakah bukan Bo Se-kiat? Mengapa Se-kiat dapat bersama seorang gadis siluman?”

Di hadapan orang banyak In-nio sungkan mengutarakan isi hatinya.  Sedang para orang gagah itu karena tidak begitu anti akan pergaulan bebas pria dan wanita, pun tak mau membicarakan hal itu lebih jauh.

Ketika Thiat-mo-lek hendak mengetuk pintu gedung Cin Siang, Gong-gong-ji mencegahnya, ”Jangan bikin kaget tuan rumah.” Ia mengguratkan belatinya di lubang pintu lalu mendorongnya. Walaupun jadi pemimpin Gi-lim-kun tapi Cin Siang tak mau diberi pengawal. Ia hanya memelihara dua bujang tua untuk menjaga pintu. Melihat sekian banyak orang menerobos masuk, bujang tua itu ketakutan. Gong-gong-ji buru-buru mengatakan kalau yang datang itu kawan Cin Siang semua. Pada saat itu Cin Siang dan Ut-ti Pak tengah menyalurkan darah untuk membuka jalan darahnya yang tertutuk. Ketika mendengar suara Gong-gong-ji, seketika panglima itu loncat dengan marahnya dan menghantamnya: ”Gong-gong-ji, kau cukup menyiksa diriku!”

Gong-gong-ji menghindar ke belakang Thiat-mo-lek sembari berseru: ”Bukannya berterima kasih sebaliknya mengapa memukul aku?”

Thiat-mo-lek menghadang Cin Siang: ”Toako, jangan keliru menyalahkan orang baik. Adanya Gong-gong-ji cianpwe merampas kereta pesakitan karena tak ingin melihat toako menderita.” ”Tindakan kalian itu apakah tidak membenarkan tuduhan bahwa aku hendak memberontak?

Mo-lek, kau dan aku adalah terikat persaudaraan, tetapi kuminta ku lekas tinggalkan kotaraja ini. Aku rela menyerahkan jiwa pada putusan baginda. Jangan membawa aku pada kedosaan berani melawan raja!”

Gong-gong-ji tertawa mengejeknya: ”Segala apa pernah kusaksikan, hanya belum pernah melihat seorang menteri setia yang setolol kau ini!”

Cin Siang marah, Thiat-mo-lek didorongnya terus hendak memukul Gong-gong-ji lagi.  Tiba- tiba Ut-ti Pak menyelutuk: ”Toako, mengapa kita tak membawa keluarga kita pergi dari kota raja ini? Dengan begitu bukankah kita tak menyalahi raja? Dengan tenaga yang kita miliki, kiranya

dapatlah kita hidup sebagai petani. Apakah ini tidak lebih enak daripada terima hukuman baginda?” Gong-gong-ji sengaja membikin panas hati Cin Siang. Ia bertepuk tangan memuji Ut-ti Pak:

”Itulah yang betul! Cin thongleng, kiranya tak perlu kau meluki sawah, nanti kuajarkan kau beberapa ilmu istimewa untuk hidup. Siang memeriksa rumah-rumah, malam menerobos pintunya. Tanggung takkan habis kau makan seumur hidup. Mau minta apa, ada semua. Puluhan kali lebih nikmat daripada menjadi panglima Liong-ki-to-wi!”

”Ah, Gong-gong cianpwe hanya bergurau saja. Biarlah kuterangkan duduknya perkara yang sesungguhnya. Kami datang hendak menyampaikan kabar girang padamu, toako,” buru-buru Thiat- mo-lek berkata.

”Berita girang apa? Mo-lek, apakah kau juga hendak berolok-olok padaku,” Cin Siang makin gusar.

”Sungguh mati, memang berita yang mengirangkan benar-benar. Baginda telah mengeluarkan sengci membebaskan kita dari kedosaan. Kau dan Ut-ti toako malah mungkin akan dinaikkan pangkat,” kata Thiat-mo-lek dengan serius.

Tetapi mana Cin Siang mau percaya. Ia menarik Ut-ti Pak untuk mendampratnya: “Kau juga

tak mau mendengar kataku? Turun temurun kita adalah menteri kerajaan yang setia. Bukan saja tak boleh memberontak pada kerajaan, pun tak boleh melarikan diri dari hukuman baginda. Sudah, jangan ngaco belo, ayo ikut aku menyerahkan diri pada baginda.”

”Cin toako harap dengarkan dulu omonganku baru nanti silahkan pergi,” cegah Thiat-mo-lek. Selagi mereka saling tarik menarik, tiba-tiba di luar pintu terdengar orang berseru nyaring: ”Utusan baginda datang, diperintahkan Cin Siang dan Ut-ti Pak menyambut sengci!”

Cin Siang menghela nafas: ”Ah, kita terlambat setindak, baginda telah menjatuhkan hukuman. Ya! Mo-lek, harap kalian sembunyi di belakang dulu, jangan sampai gaduh.”

”Baiklah, dengan memandang mukamu, aku tak mau menyerobot sengci ini,” Gong-gong-ji tertawa. Sedangkan Thiat-mo-lek pun turut menghaturkan selamat pada Cin Siang dengan datangnya sengci itu.

Setelah menyiapkan meja penyambutan, Cin Siang dan Ut-ti Pak berlutut menanti sengci. Ut-ti Pak berbisik-bisik: ”Toako, kau sih sudah punyai keturunan, matipun tak apa. Tapi aku, jangankan anak, sedang istri saja masih belum punya!”

Cin Siang deliki mata kepada saudaranya itu. Saat itu utusan baginda sudah melangkah masuk, maka terpaksa Cin Siang tak jadi mendamprat Ut-ti Pak. Kedengaran utusan itu membacakan sengci: ”Karena Cin Siang dan Ut-ti Pak setia kepada kerajaan, maka selain direhabilitir ke dalam pangkatnya semula pun Cin Siang dianugerahi pangkat Tin-kok-kong dan Ut-ti Pak menjadi Ceng- kok-kong. Demikianlah!”

Kejut dan girang Cin Siang dan Ut-ti Pak bukan kepalang. Mereka menyambuti sengci dengan mengucapkan terima kasih. Cin Siang minta tolong kepada sang utusan supaya menyampaikan rasa terima kasih mereka yang tak terhingga kepada baginda.

Setelah utusan itu berlalu, Ut-ti Pak menyelutuk: ”Cin toako, bahwa adanya kemalangan yang menimpa diri kita berubah menjadi keberkahan, daripada berterima kasih kepada baginda adalah lebih tepat kalau berterima kasih kepada Gong-gong-ji.”

Gong-gong-ji tertawa gelak-gelak dan muncul bersama Thiat-mo-lek dan kawan-kawan. ”Cin

Siang, apakah kau masih hendak memukul aku lagi? Jika kau menghendaki, aku pun tak keberatan menemanimu bermain-main barang dua tiga ratus jurus.”

”Hai, Gong-gong-ji, kau ini memang ...! Bagaimanakah cara kau atur kesemuanya ini?” seru Ut-ti Pak.

Cin Siang malu-malu menyesal. Seumur hidup ini hanya tunduk pada raja, belum pernah kepada lain orang. Tapi saat itu ia terpaksa menghaturkan terima kasih kepada Gong-gong-ji. Gong-gong-ji menuturkan apa yang telah terjadi dan menambahkan kalau hendak berterima kasih, berterima kasihlah kepada Thiat-mo-lek dan Tiang Lok kongcu.

Ut-ti Pak tergelak-gelak: ”Ha, kalian adalah penolongku semua.  Besok aku segera mencari isteri saja. Paling sedikit aku harus punya dua orang anak. Satu akan kusuruh mengaku ayah

angkat pada Thiat-mo-lek, dan yang satu biar dijadikan puteri angkatnya Gong-gong-ji. Ai, sayang tampangku begini macam, siapakah yang suka menikah padaku?”

Sekalian orang gelu mendengar kelakar itu. Dan berkatalah Gong-gong-ji sejenak kemudian: ”Karena Cin thongleng tak mau memukul aku lagi, terpaksa aku tak dapat menemani lama-lama disini. Coh hengte, biar kucarikan pedangmu kim-ceng-kiam itu sekarang.”

”Bagus, karena kau menangkap Ceng-ceng-ji, biarlah aku menjadi pembantumu. Cemg-ceng-ji kali ini masih berhutan sebuah tamparan padaku. Hai, Gong-gong-ji, jangan lari keras-keras, tunggulah aku!” seru Shin Ci-koh.

Setelah Gong-gong-ji, Coh Ping-gwan dan Shin Ci-koh pergi, tertawalah pengemis gila Wi

Gwat: ”Menilik gelagatnya, mereka tak memerlukan aku jadi comblang lagi. Aku pengemis tua ini pun harus berlalu juga. Cin thongleng, terima kasih atas bantuanmu yang banyak memberi fasilitas pada kaumku Kay-pang di kota Tiang-an.”

Singkatnya saja dengan dibekali arak simpanan Cin Siang dan diantar sampai pintu luar oleh sekalian orang gagah, maka tokoh Kay-pang itupun segera ajak Ciu Ko dan Ciok Ceng-yang berlalu. Setelah itu Tok-ko U dan adiknya, Lu Hong-jun dan adiknya, juga minta diri. Khik-sia dan Yak-bwe mewakili Cin Siang mengantar mereka sampai di luar pintu.

Ketika Khik-sia dan Yak-bwe masuk kembali, berkatalah Thiat-mo-lek dengan tertawa: “Kita tengah membicarakan urusanmu.”

Ut-ti Pak mengepal tangan Khik-sia dan tertawa: “Ha, kiranya kau putera kenalanku lama. Semasa ayahmu masih hidup, aku pernah bertempur padanya. Benar aku menderita kekalahan tetapi aku kagum padanya.”

”Di kolong dunia ini banyak orang yang berilmu silat tinggi. Tapi yang benar-benar pantas menerima sebutan ”taihiap” (pendekar besar), kalau pada generasi yang dulu, hanyalah ayahmu almarhum dan Lam Ci-hun. Pada generasi sekarang, kecuali hanya Thiat hengte, maka pilihanku hanya jatuh pada dirimu.”

Khik-sia mengucapkan beberapa kata merendah. Kemudian Cin Siang berpaling ke arah Yak- bwe, ujarnya: ”Nona Su, sebenarnya kita ini bukan orang luar. Seharusnya aku memanggilmu sumoay, tahukah kau?”

Yak-bwe heran. Ilmu silat Cin Siang itu berasal dari warisan keluarganya, mengapa ada

hubungan saudara seperguruan dengannya. Cin Siang segera menerangkan bahwa ketika kecilnya ia pernah belajar surat pada ayah Yak-bwe yang itu waktu menjadi pegawai kerajaan. Cin Siang memuji-muji kepribadian mendiang ayah Yak-bwe. Seorang menteri kerajaan yang jujur dan konsekuen. Benar hanya seorang pegawai bun (sipil), tapi keperwiraannya itu dapat digolongkan sebagai pahlawan.

Yak-bwe girang dan sedih. Girang karena almarhum ayahnya mendapat penghargaan orang tapi bersedih karena sejak dilahirkan belum pernah melihat wajah ayahnya itu.

Untuk merayakan perisitiwa yang menggirangkan itu maka Cin Siang pun menjami mereka. Mendapat sambutan yang supel dan ramah tamah dari tuan rumah, Thiat-mo-lek dan kawan-kawan itu tak merasa kikuk lagi walaupun berhadapan dengan seorang menteri kerajaan yang berpangkat tinggi.

Tetapi di antara mereka, hanya seorang yang sejak tadi tak mau bicara dan tampak murung. Dia adalah In-nio. Cin Siang dan Ut-ti Pak coba menghiburnya dengan berjanji takkan memberitahukan kejadian yang dilakukan In-nio kepada ayahnya. Malah Ut-ti Pak mengajaknya sama-sama minum arak. In-nio terpaksa menurut namun hatinya tetap gelisah.

Dalam pembicaraan selanjutnya, Cin Siang telah menasihati agar Thiat-mo-lek jangan sampai kelebuh dalam dunia Loklim. Thiat-mo-lek menyatakan bahwa sekalipun menceburkan diri dalam dunia Loklim tapi ia berjanji takkan merugikan kepentingan negara. Ia akan bekerja keras untuk membela kepentingan rakyat yang tertindas.

”Memang pernyataan Thiat hengte itu tepat. Jika bukan karena keturunan menteri kerajaan, aku pun lebih suka menjadi begal saja. Cin toako, kurasa Thiat hengte itu lebih bahagia daripada kita,” Ut-ti Pak menyeletuk.

Pengaruh arah mulai merangsang pikiran Cin Siang. Ia menyatakan bahwa ucapan Thiat-mo- lek itu memang benar. Tapi sekalipun begitu, tidak pada tempatnya kalau seorang yang berkedudukan seperti ia dan Ut-ti Pak menyatakan dukungannya.

”Ut-ti jiko, kau sudah minum banyak, jangan banyak bicara yang tidak-tidak, lebih-lebih tak

perlu membicarakan urusan negara. Baiklah kita menceritakan tentang saudara-saudara kita saja,” akhirnya Thiat-mo-lek mengalihkan pembicaraan.

Ut-ti Pak mengiyakan dan ia memulai dengan pernyataan bahwa ia memang sedang memikirkan saudaranya (adik) Ut-ti Lam yang diutus kerajaan mengadakan inspeksi tentara ke Lociu.

”Oh, ya, aku hendak menanyakan padamu tentang seseorang,” kata Ut-ti Pak.

”Siapa?” tanya Thiat-mo-lek.

”Ada seorang pendekar muda bernama Bo Se-kiat. Kenalkah kau?”

”Bukan sekedar kenal saja tapi kenal baik sekali. Mengapa kau tanyakan dirinya?” kata Thiat- mo-lek.

”Sebenarnya ocehanku tadi, adalah kata-kata Bo Se-kiat kepada saudaraku itu. Saudaraku

kagum sekali kepada pemuda itu,” sahut Ut-ti Pak. Selanjutnya ia menanyakan lagi mengapa dalam lapangan tadi, Bo Se-kiat tak kelihatan hadir.

”Semalam ia sudah tinggalkan kotaraja ini,” kata Thiat-mo-lek. Ut-ti Pak menyatakan sayang tak dapat berjumpa dengan pemuda yang dipuji setinggi langit oleh Ut-ti Lam.

Thiat-mo-lek terdiam sejenak, kemudian berkata: ”Jiko, kau bersama adikmu memang orang

yang berhati blak-blakan. Tetapi menurut hematku, meskipun Bo Se-kiat itu seorang ksatria, tetapi sebaiknya kalian tak usah berhubungan padanya.”

Sejak membicarakan diri Se-kiat, In-nio mendengarkan dengan bersemangat. Dan ketika Thiat- mo-lek mengucapkan kata-katanya itu, makin berdebarlah hati nona itu.

”Mengapa?” Ut-ti Pak deliki matanya.

”Se-kiat adalah pemimpin Loklim yang baru dilantik,” sahut Thiat-mo-lek.

”Amboi, kau sendiri juga kepala penyamun!” teriak Ut-ti Pak.

“Tetapi tindakanku berbeda dengan tindakannya. Dia tak bercita-cita akan menjadi penyamun seumur hidup.”

”Itu kan bagus!” seru Ut-ti Pak.

”Memang bagus, karena emohnya menjadi pemimpin penyamun itu lantaran berhasrat menjadi raja!  Itu sih tak apa, tetapi, tetapi ”

”Hai, kalian banyak minum tentu!” seru Cin Siang.

”Benar, toako, karena sudah berjanji tak membicarakan urusan negara akupun tak mau melanjutkan kata-kataku. Ya, memang sudah cukup minum ini, dan sekarang aku terpaksa akan minta diri untuk melanjutkan perjalanan lagi,” kata Thiat-mo-lek. Walaupun ia sudah putus

hubungan dengan Se-kiat, namun ia masih mengharap pada suatu hari dapat menasihati anak muda itu lagi. Maka iapun tak mau memburuk-burukkan Se-kiat di hadapan Cin Siang.

Cin Siang cukup mengenal perangai Thiat-mo-lek.   Mengingat batas-batas kedudukannya dengan Thiat-mo-lek, iapun kuatir jangan-jangan Thiat-mo-lek melantur, membicarakan hal-hal yang bertentangan dengan kerajaan. Oleh karena itu, iapun tak mau bertanya lagi tentang diri Se- kiat.

”Thiat hengte, kita kan baru saja berjumpa mengapa kau terburu-buru hendak pergi?” Ut-ti Pak mencegahnya. Tetapi Thiat-mo-lek tetap hendak pergi.

”Di dunia tiada perjamuan yang tak berakhir. Bahwa saat ini kita dapat berjumpa, itulah sudah suatu kebahagiaan yang tak terduga-duga. Jika aku kelewat lama di sini, dikuatirkan kurang enak bagi kalian. Apalagi hari sudah petang, aku harus lekas-lekas meneruskan perjalanan lagi,” katanya.

Cin Siang menghela nafas: ”Thiat hengte, kita sudah saling mengetahui isi hati kita. Walaupun berbeda jalannya, tapi tujuan kita sama, ialah mengabdi pada negara. Tetapi aku hendak menghaturkan sebuah tanda mata, harap kau suka menerima.”

”Ai, mengapa toako begitu sungkan? Bukankah kita ini kenalan kental?” Thiat-mo-lek heran. Ternyata tanda mata yang hendak diserahkan Cin Siang itu ialah kuda untuk dipakai rombongan Thiat-mo-lek. Thiat-mo-lek girang menerimanya. Setelah memilihkan enam ekor kuda bagus, Cin Siang menyerahkan juga sebuah lengcian (lencana) pada Thiat-mo-lek: ”Pintu kota sebelah barat dijaga oleh Gi-lim-kun. Dengan mengunjukkan lengcian-ku ini, dapatlah kau terhindar dari macam-macam kesulitan.”

Setelah saling mengucapkan selamat berpisah, akhirnya berangkatlah Thiat-mo-lek beserta rombongannya. Benar juga, berkat leng-cian dari Cin Siang itu, dengan mudah mereka dapat keluar dari pintu kota. Thiat-mo-lek berhenti sejenak untuk memandang ke arah kota Tiang-an.

Petualangan yang dialaminya selama berada di kotaraja itu, membuatnya terkenang.

”Dengan kuda bagus dari Cin Siang ini, sebelum petang mungkin kita dapat menempuh ratusan li,” kata Toh Peh-ing.

”Khik-sia, kudaku dan kudamu sama-sama bagusnya. Ayo, kita bertanding siapa yang dapat balap lebih cepat,” tiba-tiba In-nio menantang Khik-sia.

Bermula Khik-sia terkesiap tapi pada lain kejab tahulah ia maksud nona itu. ”Baik, kita lihat siapa yang lebih dahulu dapat mencapai gunung di sebelah muka itu.”

Tar, begitu cambuk digentarkan, tanpa dipukulkan ke punggungnya, kedua ekor kuda yang sudah terlatih itu segera mencongklang seperti terbang.

”Anak muda memang suka agulkan diri. Ki ta lihat saja mereka bertanding, tak usah mengganggu kesenangan mereka,” kata Thiat-mo-lek tertawa. Bik-hu yang sedianya hendak mengikuti In-nio, batalkan maksudnya.

”Dalam hati In-nio hanya terukir pemuda itu. Sekalipun aku di sampingnya, juga ia tetap tak gembira,” akhirnya ia menghibur kekecewaan hatinya.

”Ah, Pui-heng, perlu apa kita capaikan diri. Toh tak perlu terburu-buru menempuh perjalanan, lebih baik kita berkuda pelahan-lahan saja,” Yak-bwe menghibur pemuda yang patah hati itu. Mereka terpecah dalam tiga rombongan. In-nio balapan dengan Khik-sia, Thiat-mo-lek berjalan dengan Toh Peh-ing dan Yak-bwe bersama Bik-hu pelahan-lahan berkuda di belakang.

”Cici In tentu hendak menanyakan tentang Bo Se-kiat. Kau tentu mendengar juga pembicaraan Thiat toako dengan Cin Siang tadi? Sebenarnya tak perlu bertanya lagi, toh sudah jelas Se-kiat itu bukan orang baik, sayang ci In belum putus arang, akan menanyakan lagi sampai jelas. Tapi ada baiknya juga, setelah tahu tentu akan mengambil putusan yang tegas,” Yak-bwe mulai ajak bicara Bik-hu. ”Memang pada satu saat nanti ia akan berduka, Pui suheng, kau harus pandai menghiburnya.”

Bik-hu menghela nafas: ”Masakan aku dapat memadai dengan seorang pemimpin Loklim?” ”Kau salah menilai cici In. Sejak kecil aku bergaul padanya dan jelas bagaimana perangainya.

Sekali-kali tidak karena Se-kiat itu seorang lok-lim-beng-cu, ci In lantas jatuh hati. Ia kenal dan menaruh hati pada Se-kiat sebelum pemuda itu diangkat menjadi lok-lim-beng-cu. Memang semua orang, termasuk Thiat toako yang luas pengalamannya, telah salah menilai pemuda itu hingga rela menyerahkan kedudukan bengcu kepadanya. Maka tak dapatlah kita mempersalahkan ci In,” bantah Yak-bwe.

Bik-hu menghela nafas: ”Ya, memang aku salah omong, tetapi, tetapi ”

”Tetapi apa?” tukas Yak-bwe, ”Kau takut dipandang rendah oleh ci In? Turut penglihatanku,

kau lebih kuat dari Se-kiat. Meskipun dalam ilmu silat kau kalah, tetapi peribudimu lebih menang. Memang pandai sekali Se-kiat itu mainkan peranannya ’ksatria’, dalam beberapa tindakannya aku dapat mengambil kesimpulan. Sayang ci In yang lebih cerdik dari aku, karena dorongan hati sampai kena dibutakan. Tapi dengan adanya peristiwa ini, ia tentu akan tersadar. Pui suheng, janganlah putus asa!”

Bik-hu diam-diam mencintai In-nio. Hanya karena merasa bahwa In-nio tak menaruh perhatian padanya, iapun tahu diri. Kini setelah mendengar penjelasan Yak-bwe, timbullah setitik harapan dalam hatinya. Ia menghaturkan terima kasih kepada nona itu.

”Pui suheng, mungkin kau hanya memandang aku ini seorang budak yang nakal dan tak tahu

bahwa akupun pernah mengalami penderitaan yang pahit. Coba tidak ada ci In yang menghibur dan membangkitkan semangatku, dikuatirkan aku sudah putus asa dan masuk menjadi nikoh,” kata Yak- bwe. Tapi sekalipun mulut mengatakan begitu tapi hatinya diam-diam mengakui bahwa Bik-hu memang lebih menderita daripada ia. Love-affair antara ia dengan Khik-sia hanya bergolak karena salah mengerti.   Sebaliknya love-affair antara Bik-hu, In-nio dan Se-kiat, betul-betul merupakan cinta segitiga sepihak.

Tiba di kaki gunung, sebelah muka sana, tampak dua titik benda hitam. Dan berkatalah Yak- bwe: ”Itulah mereka! Rupanya mereka sudah bicara lama, mari kita kejar!”

Tadi ketika Khik-sia dan In-nio congklangkan kudanya, dalam beberapa waktu saja sudah jauh. Ketika berpaling ke belakang dan dapatkan Thiat-mo-lek jauh sekali ketinggalan di belakang maka Khik-siapun tahan kudanya.

”Ci In, terima kasih atas pertolonganmu pada Yak-bwe,” kata Khik-sia.

”Ah, asal kalian sudah berbaik kembali akupun turut girang,” sahut In-nio.

”Ci In, budimu itu tentu akan mendapat balasan baik. Sekiranya kau mempunyai urusan, jangalah kau simpan di hati saja.”

Seketika pucatlah wajah In-nio, ujarnya: ”Khik-sia, harap kau jangan mengelabuhi aku. Mengapa Se-kiat cekcok dengan Thiat piaukomu?”

”Tidak apa-apa, hanya disebabkan karena tujuan mereka berbeda. Se-kiat mempunyai ambisi menjadi raja, sedang piaukoku lebih suka jadi penyamun budiman.”

”Tapi kalian pernah mengatakan bahwa Se-kiat pergi bersama dengan seorang nona. Bagaimana itu?”

Karena sudah tak dapat dirahasiakan lagi, terpaksa Khik-sia menuturkan: ”Ya, memang benar. Kawan Se-kiat ialah murid dari Shin Ci-koh.”

”Siapa wanita itu?” In-nio menegas.

”Namanya Su Tiau-ing, anak perempuan dari Su Su-bing dan adik dari Su Tiau-gi.”

“Oh begitu. Apakah bukan nona Su yang pernah bersama kau tempo hari?” Khik-sia merah mukanya, ujarnya: ”Benar, akupun hampir kena perangkapnya.”

”Toh sudah tahu kalau anak perempuan Su Su-bing mengapa kau bergaul dengan ia?” ”Ah, hal itu panjang ceritanya .....” Khik-sia lalu menuturkan dari permulaan sampai pada waktu Thiat-mo-lek diracuni Tiau-ing. ”Oh, aku mengerti sekarang. Se-kiat hendak pinjam sisa tentara dari engkoh nona itu,” kata In- nio. Dalam hati In-nio masih menganggap Se-kiat itu belum seratus persen jahat, karena menentang tindakan Tiau-ing meracuni Thiat-mo-lek.

Khik-sia mengira, begitu mendengar kisah Se-kiat, In-nio tentu akan sedih, mungkin menjerit

kalap dan pingsan. Tetapi ternyata tidak. Jangankan menangis, sedang menghela nafas saja tidak. In-nio hanya tampak mengatupkan bibirnya kencang-kencang dan wajahnya agak lebih pucat dari biasanya. Dalam ketenangannya yang dingin itu, dapatlah orang merasakan gejolak hatinya yang laksana menahan gelombang samudera.

Khik-sia yang sedianya sudah siap dengan kata-kata menghibur, terpaksa beralih dengan pertanyaan: ”Cici In, kau, kau kenapa?”

”Tidak apa-apa, terima kasih atas pemberitahuanmu. Hm, itu mereka sudah menyusul,” sahut In-nio.

Waktu Thiat-mo-lek dan rombongan datang, diam-diam ia memuji ketabahan In-nio.  Tidak demikian dengan Yak-bwe yang sudah mengerti perangai In-nio. Demi melihat sinar mata In-nio, pilulah hati Yak-bwe. Ia tahu kalau In-nio berlaku gagah untuk menutupi hatinya yang menderita. ”Kalau ia dapat mengeluarkan perasaan hatinya, itu sih malah baik. Habis hujan tentu terang. Tapi ia menyimpan kedukaan, ini malah berbahaya. Ai, entah apa yang sedang dipikirkan itu,” Yak-bwe membatin.

”Kuda kalian pesat sekali larinya. Tadi cuaca buruk, kukira akan hujan dan ternyata tidak, malah terang. Kita dapat melanjutkan perjalanan terus,” kata Thiat-mo-lek.

”Ya, memang tadi mendung, untung datangnya cepat, perginya pun cepat,” In-nio cepat menanggapi.

”Tetapi aku lebih suka kalau jadi hujan, habis hujan barulah udara bersih sungguh-sungguh, kalau tidak awan itu sewaktu-waktu dapat datang lagi. Tidak hari ini, pun besok pagi,” Yak-bwe turut-turutan.

”Ai, mengapa cuaca saja dipersoalkan begitu serius? Hari ini hujan atau besok pagi yang hujan, apa bedanya? Kalau kehujanan, sebaiknya kita lekas-lekas meneruskan perjalanan saja,” Khik-sia menyelutuk tertawa.

”Benar, benar, kau amat pintar. Hanya maju terus, jangan takut. Kalau kehujanan, di sebelah muka tentu ada tempat meneduh,” kata Yak-bwe yang tetap menggunakan kata-kata bertalaran (tidak secara langsung).

”Tak usah kau katakan memang di sebelah muka itu ialah kota. Kita dapat mencari penginapan di sana,” kata Khik-sia.

”Ya, Pui suheng, kuminta kau yang mencari penginapan itu sekarang,” kata Yak-bwe.

”Kita toh bisa sama-sama ke sana, mengapa harus merepoti Pui suheng?” bantah Khik-sia. ”Mana kau tahu? Pui suheng dapat menggunakan insting,” jawab Yak-bwe. Insting ialah perasaan halus atau getaran halus dari hati.

”Cari penginapan saja mengapa perlu pakai insting? Makin lama makin aneh kata-kata Yak- bwe ini,” batin Khik-sia.

Ternyata Yak-bwe dan In-nio sudah larikan kudanya lebih dahulu. Bik-hu mengikuti dari

belakang. Tampaknya ia hendak menyusul di samping mereka, tapi ragu-ragu. Hanya matanya saja yang memandang lekat-lekat pada In-nio. Melihat itu tersadarlah Khik-sia, pikirnya: ”Oh, kiranya mereka tadi bukan membicarakan cuaca melainkan tentang urusan orang. Ah, tolol benar aku ini.”

In-nio tetap congklangkan kudanya pesat-pesat, sehingga Yak-bwe tak sempat mengajaknya bicara. Akhirnya sebelum petang mereka sudah masuk ke kota Pah-koan. Di kota itu kebetulan terdapat pasukan negeri yang berjumlah besar. Untuk menghindari kemungkinan timbulnya kesulitan, Thiat-mo-lek hendak ajak kawan-kawannya mengitari saja kota itu, tak perlu masuk. ”Ai, jangan-jangan ayahku berada di sini!” tiba-tiba In-nio berkata.   Ketika Thiat-mo-lek mengikuti arah yang ditunjuk si nona, ternyata pada sebuah bendera besar, tertulis sebuah huruf ’Sip’.

”Mengapa paman Sip membawa begitu banyak tentara. Bukankah ia hanya mengajak beberapa pengikut saja?” tanya Yak-bwe. Tapi In-nio menyatakan bahwa di antara panglima-panglima kerajaan yang memakai she Sip itu, hanya ayahnya seorang.

Begitu tiba di kota, dua orang opsir menghampiri dan menegur In-nio: ”Hai, Sip kongcu,

kiranya benar kau. Mengapa kau datang kemari? Silakan lekas menemui ayahmu di dalam kubu.” Kiranya kedua opsir itu memang pengawal Sip Hong yang lama. Karena sering menyaru jadi pemuda, maka kedua opsir itu memanggilnya dengan sebutan ’kongcu’. Dan ini In-nio sendiri yang memesannya.

”Mengapa ayah berada di sini dengan sekian banyak tentara? Satupun aku tak kenal, rasanya bukan anak buah kita yang dahulu,” kata In-nio. Opsir itu mempersilahkan In-nio beritanya sendiri pada ayahnya.

Mengira kalau opsir itu curiga, maka In-nio segera memperkenalkan: ”Semua orang ini adalah sahabatku. Dan Su kongcu ini masakan kau lupa?”

Kedua opsir itu segera mengenali Yak-bwe: ”Ai, kenal, kenal. Apakah Sik ciangkun baik-baik saja?”

Yang diketahuinya, Yak-bwe itu adalah puteri dari Sik Ko, panglima daerah Lo-ciu, yang kedudukannya lebih tinggi dari Sip Hong. Merekapun mengira mungkin karena takut diketahui orang maka Yak-bwe telah berganti dengan she Su.

Yak-bwe menyahut dengan sembarangan saja.  Dan setelah mengetahui rombongan Thiat-mo- lek itu sahabat In-nio, kedua opsir itu mempersilahkan mereka beristirahat ke dalam kubu. Thiat- mo-lek kenal dengan Sip Hong. Tapi kini karena kedudukannya berubah (dari si-wi menjadi penyamun), maka diam-diam ia agak gentar juga. Tapi ia hibur dirinya dan menganggap Sip Hong tentu serupa pribadinya dengan Cin Siang. Malah kepada Khik-sia ia mengatakan juga bahwa Sip Hong itu adalah kawan baik dari mendiang ayah pemuda itu.

Mendapat laporan, Sip Hong segera keluar menyambut. Tapi begitu melihat Thiat-mo-lek dan Khik-sia, ia terperanjat dan menyurut mundur. Ia mengajak mereka masuk ke dalam kubu.

”Ai, Thiat tayhiap, angin apakah yang membawa kau kemari? Berpisah 10 tahun, aku sungguh terkenang padamu. Dahulu atas bantuanmu bersama Toan tayhiap sehingga menyelamatkan keluargaku, aku belum menghaturkan terima kasih,” kata panglima itu.

“Dahulu ketika di Tiang-an akupun mendapat pertolonganmu dan belum menghaturkan terima kasih. Sama-sama mendapat budi, tak usah kita ungkat lagilah,” sahut Thiat-mo-lek. Sebelum menjawab pertanyaan Sip Hong lebih lanjut, terlebih dulu Thiat-mo-lek memperkenalkan Khik-sia dan Yak-bwe. Tapi ternyata Sip Hong sudah kenal.

”Toan seheng, kuucapkan selamat padamu karena sudah bersatu lagi dengan nona Su,” kata panglima itu.

Setelah diperkenalkan juga dengan Bik-hu, maka bertanyalah Sip Hong, ”Kalian datang ke Tiang-an mengapa tak menemui aku? Bilakah kau tiba di kotaraja itu?”

”Kemarin lusa, tapi ayah sudah pulang. Kukira ayah tentu kembali ke Lu-ciu, tidak nyana kalau masih di sini,” jawab In-nio.

”Pemerintah menugaskan aku memimpin pasuka ke Yuciu. Setelah suasana di Yuciu aman kembali, barulah aku pulang ke Lu-ciu,” kata Sip Hong.

”Mengapa ke Yuciu?” tanya In-nio.   Tetapi sampai lama ayahnya tak menyahut. Buru-buru Thiat-mo-lek menumpangi bahwa itu adalah urusan negara, tak perlu dibicarakan.

Sip Hong tertawa: ”Ah, kita kan orang sendiri, tiada halangan kuberitahukan. Aku ditugaskan ke Yuciu untuk menumpas Su Tiau-gi.”

”Menumpas Su Tiau-gi?” In-nio mengulangi dengan terkejut.

”Ya, Su Tiau-gi itu adalah puteranya Su Su-bing. Tahun yang lalu ia kena dikalahkan Li Kong-

pik dan melarikan diri ke Yuciu menggabung pada raja Ki untuk melawan lagi. Karenanya kerajaan cepat-cepat hendak menumpasnya supaya ia jangan sampai tumbuh sayap. Li Kong-pik diangkat menjadi panglima besar. Kemudian Kwik Leng-kong (Kwik Cu-gi) mengusulkan aku menjadi

wakil panglimanya. Tentara yang kubawa ini adalah pemberian dari Kwik lengkong. Kwik Leng- kong sudah lanjut usianya dan diberi gelar raja muda Pun-yang-ong. Mengingat usianya, baginda tak mengijinkan ia keluar perang lagi.”

”Oh, kiranya begitu. Aku ingin turut perag ayah!” kata In-nio. Sip Hong tertawa: ”Ai, kau ini memang anak perempuan yang gemar perang. Suruh tinggal di rumah, tidak kerasan. Baiklah, kau boleh ikut.” – Tiba-tiba panglima itu teringat sesuatu dan bertanya: ”Bilakah kau pergi dari Tiang-an?”

”ya, ini hari. Setelah makan siang di rumah Cin Siang, barulah kami berangkat. Cin Siang telah menghadiahkan beberapa ekor kuda bagus pada kami,” kata In-nio.

”Bukankah hari ini pembukaan Eng-hiong-tay-hwe yang diselenggarakan oleh Cin Siang? Mengapa ia sempat menemani kalian makan?”

In-nio tertawa: ”Eng-hiong-tay-hwe itu sudah kacau-balau dan sekarang sudah berantakan!” Sip Hong terkejut dan buru-buru menanyakan apa sebabnya. In-nio berjanji mau menceritakan asal ayahnya tak menyesalinya. Dengan geleng-geleng kepala, akhirnya Sip Hong terpaksa meluluskan.

Habis mendengar penuturan puterinya, Sip Hong menghela nafas: ”Bu Wi-yang, Toh Hok-wi

dan kawan-kawan itu memang pengacau. Thiat tayhiap, jasamu melindungi raja hijrah dari kotaraja dahulu, besar sekali. Sungguh tak kira, pemerintah sekarang menganggapmu sebagai pemberontak. Untung ada Tiang Lok kongcu. Karena kejadian itu berakhir menyenangkan, rasanya tak perlu kau terlalu membenci kerajaan.”

”Jika aku berniat memberontak tentu sudah memberontak. Jangan kuatir Sip ciangkun. Paling- paling aku hanya menyusahkan para Ciat-to-su macam Tiang Seng-su dan Sik Ko itu saja.

Merugikan kepentingan negara, aku masih belum sampai hati. Ah, karena hari sudah petang, akupun hendak minta diri,” kata Thiat-mo-lek.

”Masakan sudah begini malam, mau pergi?” tanya Sip Hong. Thiat-mo-lek tertawa dan menerangkan bahwa ia sudah biasa jalan malam. Dan lagi rasanya tidaklah baik bagi Sip Hong nanti apabila Thiat-mo-lek yang terkenal sebagai pemimpin Lok-lim, menginap di situ.

Akhirnya terpaksa Sip Hong melepas sang tetamu pergi: ”Su titli, apakah kau juga akan pergi?” tanyanya.

”Khik-sia dan Thiat toako adalah serupa, tidak leluasa tinggal di perkemahan tentara,” sahut Yak-bwe.

Sip Hong tertawa gelak-gelak: ”Ai, ya, kau memang seharusnya mengikuti suami, tolol aku ini.” Yak-bwe merah mukanya. Tiba-tiba ia berkata: ”Harap paman Sip jangan menertawakan. Aku hendak mewakili seseorang mengajukan permohonan padamu.”

”Tentang apa?” tanya Sip Hong. Ia duga orang yang dimaksudkan itu tentulah Khik-sia.

”Pui suheng mempunyai cita-cita hendak masuk tentara. Mohon paman suka menerimanya,” kata Yak-bwe.

”Ai, mana ” Bik-hu tersengat kaget.

”Kau sendiri pernah mengatakan padaku. Ingat ketika pertama kali berjumpa dengan ci In, bukankah kau pernah mengatakan bahwa cita-citamu ialah hendak memimpin angkatan bersenjata? Cici In menyanggupi, setiba di Tiang-an akan membawamu menghadap paman Sip. Ya, walaupun tidak di Tiang-an, toh akhirnya bertemu juga di sini. Paman Sip bukan orang luar, kau sungkan bicara, aku yang mewakili kau,” buru-buru Yak-bwe memutus omongannya. Kemudian ia berkata lagi kepada Sip Hong: ”Pui suheng ini berasal dari keluarga terhormat. Dia baru saja menyelesaikan pelajaran silat, ingin mengabdikan diri pada negara. Dia belum pernah menjadi penyamun, harap paman suka memakainya! Ilmu silatnya lebih unggul dari aku atau ci In!”

Mulut Yak-bwe nereces seperti mercon berbunyi hingga orang tak dapat menyelanya. Dan bik-

hu sendiri akhirnya mengerti kemana tujuan nona itu. Ya, hanya dengan masuk menjadi anak buah Sip Hong, barulah ia dapat selalu dekat dengan In-nio. Akhirnya terpaksa ia membenarkan apa yang dikatakan Yak-bwe itu.

”Ih, aneh, bukankah ia selalu menyatakan tak suka menjadi pegawai kerajaan? Mengapa tiba- tiba berganti haluan? Hm, setan cilik yak-bwe itu memang lihay mulutnya sampai aku tak dapat membantahnya. Tapi perlu apa ia mengajukan permohonan begitu? Toh nyata belum ada persepakatan dengan Bik-hu. Hm, Yak-bwe tentu menghendaki supaya Bik-hu menemani aku,” diam-diam In-nio menilai dalam hati.

In-nio sebenarnya seorang nona yang cerdik. Hanya karena membabi buta menumpahkan pikiran pada Se-kiat seorang, ia sudah tak mengetahui kalau diam-diam Bik-hu mencintainya. Kini setelah mendengarkan pembicaraan tadi, dan merenungkannya, ia memandang Bik-hu. Dari sikap dan kerut wajah pemuda itu, tahulah In-nio apa yang terkandung dalam hati pemuda itu.

”Belajar silat dengan tujuan mengabdi pada negara, sungguh utama sekali. Sudah tentu aku akan menerima dengan tangan terbuka. Memang kali ini aku membutuhkan pembantu-pembantu yang berilmu tinggi. Jangan lagi kau ini sute dari puteriku, sekalipun bukan, akupun tetap akan menerima dengan senang hati,” kata Sip Hong dengan gembira.

Demikian akhirnya Thiat-mo-lek dan kawan-kawan pamit. Sip Hong suruh puterinya masuk ke dalam berganti pakaian dan ia sendiri ajak Bik-hu mengantar Thiat-mo-lek sampai di luar perkemahan. Ketika berjalan kembali ke kemahnya, hampir dekat pada kemah panglima, tiba-tiba Sip hong hentikan langkahnya dan tertawa: ”Pui hiantit, kau tak usah masuk kemari, silahkan kau ke markas menjumpai Lau congpeng. Kau belum mendirikan pahala, untuk sementara menjadi anak buahnya dengan pangkat siaukoan (pangkat tentara yang rendah). Kelah apabila aku sudah berjasa, tentu akan kunaikkan.”

Bik-hu merah mukanya. Tersadarlah ia bahwa dirinya sekarang menjadi seorang tentara kerucuk, mana boleh sembarangan masuk ke dalam kemah puteri panglima?

Agar Bik-hu jangan malu, kembali Sip Hong memberi penjelasan: ”kau adalah sute dari

puteriku, kuanggap kau sebagai keponakanku sendiri. Sebenarnya memang tak usah ada pantangan apa-apa. Tetapi kau baru saja masuk menjadi tentara, belum berjasa. Jika aku kelewat memperlakukan kau secara istimewa, kelak apabila aku hendak menaikkan pangkatmu, dikuatirkan orang akan menuduh aku menjalankan ’famili sistem’. Ini memang lumrah terjadi, mengertikah?” ”Siautit mengerti. Selanjutnya aku akan mematuhi peraturan tentara,” sahut Bik-hu.

Sip Hong tertawa: ”Ah, tak perlu begitu bengis. Setiap waktu kau bebas tugas, bolehlah kau datang menjumpai aku. Satu bulan datang satu dua kali, orang luar tentu tak mengatakan yang tidak-tidak.”

Sip Hong suruh seorang anak buahnya membawa Bik-hu ke markas Lau congpeng. Ia pesan supaya orang itu banyak-banyak memberi petunjuk pada Bik-hu tentang tata-tertib ketentaraan. Diam-diam Sip Hong geli: ”Bik-hu ini seorang pemuda yang polos. Selama dalam perjalanan dengan In-nio itu mereka tentu sudah akrab sekali. Buktinya ia sampai lupa akan masuk ke dalam kubuku.”

Ternyata In-nio sudah berganti pakaian wanita dan tengah duduk merenung. Ia baru terkejut demi mendengar langkah ayahnya: ”Yah, kau sudah kembali?”

Sip Hong tertawa: ”In-nio kau sedang memikiri apa?” ”Tidak memikiri apa-apa.”

”Kau tidak memikiri tetapi sebaliknya aku memikiri,” kata ayahnya. ”Apa saja, yah?”

”Kau membanggakan dirimu pintar, nah, sekarang coba saja kau tebak.”

”Apa bukan memikiri tentang kekuatan Su Tiau-gi yang berserikat dengan raja suku Ki itu?” ”Su Tiau-gi seorang panglima yang kalah dan tentaranyapun hanya tinggal remukan, apanya yang dipikiri? Tentang diri faja suku Ki itu, Kwik lengkong telah memberikan padaku surat

panggilan yang menyerukan supaya raja-raja (kepala) suku itu takluk pada kerajaan. Kepala-kepala sukuk di daerah perbatasan, paling mengindahkan pada Kwik lengkong. Adalah karena ada orang yang sengaja menyiarkan berita bohong yang mengatakan Kwik lengkong sudah meninggal, barulah kepala-kepala suku Hwe, Hoan dan Ki mulai bergerak. Begitu kuserahkan surat seruan Kwik lengkong itu, tentulah kepala suku Ki takkan mau membantu Su Tiau-gi lagi. Bukannya hendak membanggakan diri, tapi dalam tiga bulan, aku tentu dapat menindas pemberontak itu,” kata Sip Hong.

”Habis, apa yang ayah pikiri?”

“Yang kupikiri ialah yang kau pikirkan itu!”

Sepasang pipi In-nio bersemu merah: ”Yah, aku tak mengerti apa maksudmu.”

”In, sekarang kau sudah berumur 20 tahun. Apakah selama kau berkelana di dunia persilatan itu, telah menjumpai pemuda yang kau penujui?” ”Yah, kau tak berputera lelaki. Aku sedia menjalankan kewajiban seorang putera, takkan menikah seumur hidup agar dapat merawatmu.”

”Itu ucapan kanak-kanak. Justeru karena aku tak punya anak lelaki, aku memerlukan seorang menantu. Mana kau boleh tak menikah. Aku berniat hendak mencarikan seorang pemuda yang ideal. Apakah di dalam hatimu sudah terdapat pemuda semacam itu?”

Pilu hati In-nio, diam-diam ia menelan air matanya. Tapi ia paksakan tertawa: ”Yah, kau sering mengatakan bahwa aku ini menyamai seorang lelaki. Biarlah aku menjalan kedudukan itu, apakah tidak serupa? Mengapa aku harus cari pasangan? Yah, aku tak ingin menikah dan tak pernah berjumpa dengan pemuda yang baik.”

Ia tak mengatakan pemuda yang mencocoki, melainkan pemuda yang baik. Ini adalah kenyataan hidupnya. Tapi mana ayahnya tahu apa yang diderita puterinya itu.

”Dunia begini luasnya, mana tiada pemuda yang baik? Apakah Khik-sia itu bukan pemuda baik?” tanya Sip Hong.

”Itu rejeki adik Bwe yang besar. Apakah kau suruh aku merebutnya?”

”Jangan menyimpang kelewat jauh dari pokok pembicaraan. Aku kan hanya menyebut contohnya saja. Pemuda baik di dunia ini sudah tentu bukan hanya Khik-sia seorang saja!” ”Sayang selama ini aku belum pernah berjumpa. Yah, sudahlah jangan membicarakan hal itu lagilah,” akhirnya In-nio hendak menyingkat jalan.

”Bagaimana dengan sutemu Bik-hu itu? Bukankah ia sebaya dengan umurmu? Kulihat dia juga tiada celanya. Apakah sedikitpun kau tak punya perasaan kepadanya?” Sip Hong tetap tak mau.

Merah muka In-nio dan berserulah ia dengan kurang senang: ”Apakah ayah tergila-gila dengan menantu? Kukatakan, aku belum mempunyai ingatan kawin. Jika ayah keberatan memelihara diriku, baiklah aku pergi saja.”

Akhinya Sip Hong terpaksa mengalah, katanya: ”Ya, sudahlah, sekarang belum ada ingatan,

baik tunggu dua tahun lagi. Akupun masih tak rela berpisah dengan kau. Tak mau kawinya sudah, perlu apa merajuk seperti anak kecil?”

”Yah, apakah kau sungguh-sungguh cinta padaku dan tak tega berpisah?” In-nio tertawa.

”Kau bukan saja seorang anak perempuan yang baik, pun merupakan seorang pembantuku yang baik.  Aku tengah memikirkan ”

”Apa lagi, yah?”

”Dalam sejarah permulaan kerajaan ini, juga terdapat panglima wanita. Kupikir kau boleh membentuk suatu pasukan wanita. Kau suka tidak?”

”Itulah cita-citaku sejak beberapa tahun. Jika dapat terlaksana, sudah tentu aku girang sekali. Tetapi ”

”Tetapi apa?” Sip Hong menegas.

”Tadi aku merencanakan besok pagi akan meninggalkan tempat ini saja.”

”Mengapa? Kau kan suka berperang, mengapa mendadak sontak akan pergi? Kau adalah puteriku, semua anak buah tentara tahu. Siapa yang berani tak mengindahkan padamu? Tinggal dalam perkemahan tentara, juga tak apa-apa.”

”Bukan karena hal itu. Terus terang, memang aku juga mempunyai pemikiran,” jawab In-nio. ”Oh, tentang apa?”

”Meskipun gemar berperang, tapi akupun juga sudah rindu pada mamah. Sudah lama aku pergi, aku hendak pulang menjenguk mamah. Karena kepergian ayah kali ini kemungkinan besar tentu berhasil, maka akupun dapat pulang dengan lega. Tentang pasukan wanita tadi, baiklah ayah membentuknya dulu. Begitu sudah menjenguk mamah, aku tentu cepat-cepat kembali sini lagi untuk memimpinnya.”

Sip Hong sendiripun terkenang akan isterinya. Maka ia menyetujui bahkan memuji kebaktian puterinya itu.

”Ya, besok pagi-pagi aku akan segera pergi. Harap jangan kasih tahu Pui Bik-hu.”

”Kenapa?”

”Tidak kenapa-kenapa. Aku hanya tak ingin ia mengetahui kepergianku ini.” ”Itu toh bukan rahasia, mengapa perlu mengelabuhi sutemu?”

”Aku tak ingin dia tahu, itu sudah cukup, mengapa urusan begini saja dibesar-besarkan? Yah, kau selalu mengolok aku,” In-nio mulai meradang.

”Ah, hati anak perempuan paling sukar diduga. Baiklah, aku pun takkan menegas lagi, terserah padamu saja,” akhirnya Sip Hong mengalah. Dalam pada itu ia membatin: ”Rupanya Bik-hu itu menaruh hati pada In-nio. Tetapi entahlah apa In-nio membalasnya atau tidak. Kalau ia suka kepada pemuda itu, mengapa kepergiannya tak boleh diberitahukan? Kalau ia tak suka, mengapa tampaknya ia begitu sungguh-sungguh hendak mengelabuhi pemuda itu? Huh, agaknya dalam urusan ini tentu terselip apa-apa.”

Sejak kepergian In-nio, memang dalam beberapa hari itu Bik-hu tak melihatnya. Ia gelisah tapi tak berani menghadap ke kubu Sip Hong. Bertanya pada orang, pun ia merasa sungkan.

Beberapa hari kemudian, ia benar-benar tak dapat menahan kegelisahannya, pagi-pagi sebelum berlatih baris atau malam hari sehabis appel, dia tentu mondar-mandir di sekitar perkemahan Sip Hong. Hal itu menimbulkan kecurigaan tiongkun (pangkat tentara yang menjadi pengawal panglima). Coba tiongkun itu belum tahu kalau Bik-hu, walaupun berpangkat kecil tetapi dihargai sekali oleh Sip Hong, tentu siang-siang pemuda itu sudah ditangkapnya. Namun lama-kelamaan, tiongkun itu melapor juga pada Sip Hong. Sebagai seorang tua, tahulah Sip Hong apa sebabnya. Ia pesan tiongkun itu membiarkan saja, jangan mengganggu anak muda itu. Tahulah Sip Hong sekarang, bahwa Bik-hu memang jatuh hati pada In-nio.

Pada suatu hari, appel malam bubar sedikit pagi dari biasanya. Haripun masih belum petang sekali. Dengan naik kuda, Sip Hong mengadakan inspeksi berkeliling untuk mengetahui situasi daerah kota itu. Memang demikianlah kewajiban seorang panglima perang.

Tiba-tiba di depan sebuah kubu, tampak seekor kuda putih mulus tengah meringkik. Sip Hong terkesiap: ”Seekor kuda ciau-ya-say-cu yang bagus! Siapakah pemiliknya? Mengapa aku sampai tak tahu kalau di dalam pasukan terdapat kuda sehebat itu?”

Kiranya kubu itu adalah markas dari Lau congpeng, pemimpin pasukan. Congpeng itu tersipu- sipu menyambut kedatangan Sip Hong. Atas pertanyaannya, Lau congpeng menerangkan bahwa kuda bagus itu adalah milik dari Pui Bik-hu, ialah siaukoan yang goanswe (panglima) masukkan

itu. Memang hebat sekali kuda tunggangannya itu. Turut pendapat Lau congpeng, tidak tepat kalau pemuda itu hanya diangkat menjadi siaukoan saja.

Sip Hong tergerak hatinya dan tertawa: ”Memang kutahu ia mempunyai kepandaian. Tapi

sebelum membuat pahala, tak selayaknya dinaikkan pangkat. Besok mudah, sekarang panggillah ia kemari.”

”Apakah kudamu ini pemberian dari Cin Siang?” tanyanya kepada Bik-hu.

”Benar, karena beberapa hari ini tak diumbar, lantas ngamuk,” kata Bik-hu.

”Naikilah kudamu dan mari kita balapan dengan kudaku 'cian-liong-ki' ini,” tiba-tiba Sip Hong memberi perintah. Bik-hu menyatakan tak berani tapi didesak oleh Sip Hong, akhirnya mau jugalah ia. Kebetulan, Bik-hu dapat menggunakan kesempatan itu untuk mengorek keterangan tentang In-nio.

Kuda tungganggan Sip Hong yang berbulu merah itu, juga seekor kuda pilihan. Sehari dapat

lari sampai seribu li, baik mendaki gunung maupun melintasi sungai, seperti berjalan di tanah datar saja. Tapi hanya beberapa waktu saja, kuda ciau-ya-say-cu milik Bik-hu sudah dapat mengejarnya. Sip Hong tak henti-hentinya memuji Cin Siang yang mempunyai koleksi kuda bagus-bagus. ”Sekiranya Sip ciangkun suka ”

”Cia-liongki ini sudah biasa kunaiki, jadi sudah kenal akan tabiat masing-masing. Di dalam peperangan, yang penting mempunyai kuda yang mengerti perangai penunggangnya. Memang kecepatan lari itu penting, tapi lebih penting lagi mengenal watak tuannya. Pakailah sendiri ciau- ya-say-cu itu, aku lebih suka pakai kudaku ini,” tukas Sip Hong.

Saat itu mereka sudah 10-an li jauhnya, di sebuah padang rumput yang tiada lain orang kecuali mereka berdua. Disitulah barulah Sip Hong lambatkan kudanya dan berkata: ”Kita berdua perlahan saja. Kabarnya kau ini keponakan dari Biau Hui sin-ni dan pernah berguru pada Mo Kia lojin. Kau memperoleh ilmu pedang dari dua aliran, suci-mu pun kagum padamu. Sebenarnya siang-siang aku hendak meminta pelajaran padamu, sayang aku selalu sibuk dengan urusan dinas saja.”

”Sip ciangkun seorang ahli pedang yang ternama, mana aku dapat mengimbangi?” Bik-hu merendah. Tetapi Sip Hong mengatakan janganlah anak muda itu merendah diri. Dengan terus terang ia mengatakan juga bahwa sering-sering ia meminta pelajaran ilmu pedang pada puterinya. Melihat panglima itu ternyata seorang ramah, rasa kikuk Bik-hu pun mulai berkurang.  Kalau semula ia hanya menjawab apa yang ditanyakan saja, lama-kelamaan berani juga ia bicara dengan bebas. Dalam membicarakan tentang ilmu pedang, sebagai seorang ahli, walaupun tanpa bertanding dapat juga Sip Hong menarik kesimpulan bahwa ilmu pedang anak muda itu memang tinggi, lebih unggul dari In-nio.

”Sebenarnya aku ini berasal dari desa. Hanya karena kebenaran ada rejeki, barulah aku dapat

naik menjadi panglima. Padahal semasa muda, aku bercita-cita menjadi yu-hiap (pendekar kelana). Dalam segala hal puteriku itu tidak turun aku, kecuali dalam hal gemar berkelana di dunia persilatan ia benar-benar seperti aku.   Sekarang aku hendak bertanya. Selama kau mengadakan perjalan ribuan li bersama ia, apakah ada peristiwa yang menggoncangkan atau yang menggembirakan?” Terpaksa Bik-hu menceritakan sesuatu, misalnya waktu bentrok dengan anak murid partai Leng- san-pay, bertemu dan salah paham dengan Khik-sia di hotel dan sebagainya. Tetapi tentang hubungan Se-kiat dengan In-nio tak mau ia menceritakan.

Diam-diam Sip Hong membatin: ”Ah, kalau begitu hubungannya dengan In-nio erat sekali,

pernah bersama-sama menghadapi bahaya. Apalagi mereka saudara seperguruan, jika dijodohkan itulah tepat sekali. Tapi entah bagaimana pendirian In-nio. Anehnya sudah bergaul begitu rapat tapi mengapa waktu pergi In-nio tak mau memberitahu padanya?”

Melihat panglima itu merenung, diam-diam Bik-hu berdebar-debar hatinya. Ia menyangka jenderal itu tentu mempunyai dugaan yang tidak-tidak kepada dirinya selama berkelana dengan In- nio itu. Bik-hu merah mukanya.

Tiba-tiba Sip Hong mengangkat kepala dan memandangnya dengan tersenyum: ”Pui hiantit, katanya dalam beberapa hari ini kau selalu mondar-mandir di dekat perkemahanku. Apakah kau ingin menjumpai aku?”

Gerak-geriknya diketahui, merahlah muka Bik-hu.  Ia terbata-bata menyahut: ”Ini, ini ”

”Kalau tak ingin berjumpa padaku, tentu ingin ketemu suci-mu, bukan?” Sip Hong menggodanya.

Muka Bik-hu makin padam. Akhirnya ia tabahkan nyalinya: ”Dalam beberapa hari ini cici In

tak kelihatan keluar. Entah, entah apakah ia tak enak badan? Aku, aku ingin menjenguk tapi kuatir melanggar peraturan.”

Sip Hong tertawa menerangkan bahwa In-nio tidak sakit tapi sebenarnya sudah tak berada di perkemahan situ. Mendengar itu Bik-hu terkejut dan menegas.

”Ya, benar, hari kedua setelah kalian datang, ia lantas pulang menjenguk mamahnya.”

Bik-hu terlongong, wajahnya berubah dan berkata: ”Jadi In suci pulang menjenguk ibunya?” Kalau Bik-hu nadanya mengandung keheranan, pun Sip Hong juga heran, tegurnya: ”Apakah kau mengira ia pergi ke lain tempat?”

Bik-hu telah membayangkan sesuatu kemungkinan, tapi belum lagi ia dapat merangkai kata- kata, tiba-tiba Sip Hong sudah berseru: ”Hai, tiga ekor kuda di sebelah muka itu walaupun tak sebagus kudamu tapi juga tak kalah dengan kudaku. Aneh, siapa saja mereka itu?”

Ketika Bik-hu memandang kemuka, ternyata ketiga penunggang kuda yang dikatakan itu makin dekat. Jelas ketiga penunggangnya itu terdiri dari oh-ceng (paderi dari luar daerah). Bik-hu terbeliak kaget, ujarnya: ”Menilik dandanannya mereka itu seperti murid Leng-san-pay. Ya, benar, paderi berpakaian merah yang berada di depan itu adalah murid kedua dari Leng Ciu siangjin.” ”Apakah yang kau ceritakan pernah bentrok dengan kau itu?” tanya Sip Hong.

”Ya, Ceng-cing-cu toa-suheng dari Leng-san-pay pernah menerima undangan Su Tiau-gi. Ketiga orang itu mungkin juga bangsa durna,” kata Bik-hu.

Saat itu ketiga paderipun sudah tiba. Demi melihat Bik-hu, si paderi jubah merah juga terperanjat dan berseru: ”Hai, kau juga berada di sini, budak kecil? Mana Shin Ci-koh siluman perempuan itu?” ”Siapa kalian itu?” bentak Sip Hong.

Demi melihat Sip Hong bersikap gagah dan mengenakan pakaian jenderal, bertanyalah paderi itu: ”Apakah kau ini Sip Hong?”

”Kurang ajar! Mau turun atau tidak!” bentak Sip Hong.

Hoang-ceng (paderi) itu tertawa: ”Ha, kiranya benar. Sip tay-ciangkun. Di dalam ketentaraan,

aku tak berani. Tapi sekarang aku memang hendak berlaku kurang ajar padamu!” -- Ia lambarkan tangan dan berseru kepada kedua kawannya: ”Kalian membekuk budak itu, aku menangkap kambing gemuk ini!”

Hoan-ceng itu terlalu membanggakan dirinya pandai ilmu silat. Ia anggap Sip Hong itu

meskipun seorang panglima ternama tetapi hanya pandai dalam urusan ketentaraan, paling-paling mahir memanah dan naik kuda.   Maka saat itulah ia harus menangkapnya. Di luar dugaan, Sip Hong itu bukan jenderal sembarang jenderal.   Dalam ilmu pedang ia lihay sekali. Sekali ia sentakkan kudanya sebelum musuh datang, kuda Sip Hong sudah menerjang maju.

Paderi itu lepaskan jubahnya terus diputar ke arah Sip Hong, serunya: ”Ha, ha, ha, Sip tay- ciangkun, kau masuk perangkap, jangan heran kalau aku nanti menangkapmu semudah menuntun kambing!”

Belum habis tertawanya, terdengar suara ”Bret”, ujung tombak Sip Hong menyusup jubah. Si paderi buru-buru putar jubahnya untuk menyingkirkan ancaman tombak dan secepat itu pula sudah membarengi dengan sebuah pukulan.

Dalam gebrak pertama itu si paderi menderita kerugian besar karena jubahnya berlubang. Tapi Sip Hongpun terkejut juga. Dengan jubah yang berlubang masih si paderi dapat mementalkan tombak.

Pada saat si paderi lontarkan pukulan, kedudukan Sip Hong berada di bawah angin (angin

meniup ke arahnya). Tiba-tiba ia mencium bau angin amis. Sip Hong segera tahu kalau ia sedang diancam dengan tok-ciang (pukulan beracun). Buru-buru ia gentakkan kudanya untuk berkisar ke posisi 'atas angin' (angin meniup ke arah lawan). Kuda tunggangannya cek-liong-cun, seekor kuda yang terlatih baik, Sip Hong dapat mengendalikan menurut sekehendak hatinya. Begitu berkisar pada posisi 'atas angin', ia lantas kirim tiga buah tusukan pedang.

Karena berganti posisi, si paderi agak sulit. Kalau lepaskan tok-ciang dikuatirkan racunnya akan membalik mengenai dirinya sendiri. Memang bertempur di atas kuda, tidak seperti di atas

tanah datar. Di atas tanah gerakan orang lebih bebas dan cekat. Tetapi tidak demikian di atas kuda. Sekali kuda meloncat, jaraknya sudah terpisah beberapa tombak. Jika tak dapat menduduki posisi 'atas angin' percuma saja hendak melepaskan senjata beracun. 

Dalam beberapa kejap saja mereka sudah bertempur belasan jurus. Sip Hong agak jeri terhadap pukulan beracun musuh. Setiap tusukan pedangnya luput atau ditangkis, cepat-cepat ia lantas congklangkan kudanya menyingkir. Karena itu, pertandingan tetap berjalan seri.

Tetapi ketika si paderi sempat melirik ke partai lain, dilihatnya kedua sutenya didesak sampai 'montang-manting' oleh Bik-hu. Diam-diam paderi itu gelisah, pikirnya: ”Jika aku tak lekas menangkap Sip Hong, kalau budak itu menang lebih dulu, tentu akan membantu Sip Hong. Aku pasti kalah.”

Tiba-tiba ia teringat bahwa untuk menjatuhkan orang, harus lebih dulu merubuhkan kudanya. Setelah mengambil ketetapan ia segera menimpukkan jarum bwe-hoa-ciam. Sebenarnya jarum itu lembut sekali, apalagi menempuh angin, tentu sukar sekali melayangnya. Batang jarum berlubang di tengahnya, terisi bubuk beracun. Benar karena kegesitan kuda cek-liong-cun, Sip Hong dan kudanya itu tak terkena bwe-hoa-ciam. Tetapi pupur beracun dalam jarum itu bertebaran kemana- mana. Karena tak biasa, begitu mencium tebaran pupur, kuda itu tiba-tiba meringkik keras dan binal. Sip Hong dilemparkan ke udara. Melihat itu si paderi putar kudanya terus menerjang dan lemparkan jubahnya untuk menangkap lawan hidup-hidup.

Tepat pada saat itu, ialah ketika si paderi taburkan bwe-hoa-ciam tadi, kedua sute paderi itu telah menderita kekalahan. Dalam bertempur tadi, Bik-hu selalu pasang mata dan telinga. Demi

melihat Sip Hong dalam bahaya ia segera lancarkan serangan dahsyat. Cret, ia menusuk seorang lawannya jauh terjungkal. Paderi yang satunya hendak melarikan diri tapi kalah cepat dengan kuda Bik-hu. Sekali ulurkan tangan, Bik-hu dapat mencengkeram punggung si paderi itu dan menawannya hidup-hidup.

Pada saat Bik-hu menawan lawannya, saat itu si paderi jubah merah tengah lemparkan jubahnya untuk menangkap Sip Hong yang masih berada di tengah udara. Secepat kilat Bik-hu menggembor keras dan lemparkan tawanannya ke arah jubah si paderi. Memang si paderi berhasil menjaring orang, tapi bukan Sip Hong melainkan sutenya sendiri. Karena berisi benda berat, jubah si paderi itupun jatuh ke tanah. Dan sebelum si paderi tersadar dari kejutnya, Bik-hu pun sudah menusuk.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar