Tusuk Kundai Pusaka Jilid 10

 
Jilid 10

”Anggaplah aku bukan sahabatmu, tapi sekurang-kurangnya tadi aku telah menolong jiwamu. Mengingat itu saja, pantaskah kau bersikap sedingin itu kepadaku? Kutahu kau memang tak suka menemani aku, baiklah, silahkan kau pergi sendiri!” kata Tiau-ing pula.

Teringat akan kebaikan Tiau-ing, lemaslah hati Khik-sia. Ia anggap apa yang dikatakan Tiau-

ing itu memang benar. Dari marah kini ia malah kuatir jangan-jangan Tiau-ing akan marah. Maka iapun segera minta maaf kepada nona itu.

Kini tertawalah Tiau-ing: ”Baiklah, karena kau menyatakan suka menemani aku, naiklah ke atas kuda.”

Khik-sia tertegun, serunya: ”Kau saja yang naik, biar aku berjalan.”

”Kutahu kau memang bisa berjalan, tapi rasanya tak leluasa di perjalanan menggunakan gin-

kang. Bukankah tadi kita juga naik kuda berdua? Apalagi kau bukan bangsa pemuda desa mengapa sekarang main malu-maluan?”

Ketika tampak Khik-sia masih ragu-ragu. Tiau-ing lanjutkan kata-katanya: ”Tidakkah kau ingin lekas-lekas tiba di Tiang-an? Sesampainya di sana segera kau dapat tinggalkan aku, bukankah ini yang kau harap-harapkan? Masih ada satu hal lagi, segera setelah tiba di Tiang-an, kaupun lantas dapat mencari adikmu Bwe itu!”

Khik-sia kemerah-merahan dibuatnya, sahutnya: ”Telah kukatakan, sejak saat ini kuanggap aku tak kenal padanya, mengapa kau masih mengungkat hal itu pula?  Baik, ayo, naik!” Sebenarnya walaupun mulutnya mengatakan begitu tapi dalam hatinya Khik-sia ingin lekas- lekas tiba di Tiang-an. Meskipun tak dapat berjumpa dengan Yak-bwe tapi paling tidak ia tentu dapat menyirapi kabarnya. Setitikpun ia tak mengira adanya Tiau-ing mendesaknya supaya

boncengan naik kuda itu,maksudnya tak lain hanya supaya dapat menghindari pengejaran Yak-bwe. Pada waktu keduanya boncengan, Khik-sia segera membaui bau yang harum sehingga semangatnya melayang-layang. Diam-diam ia mengeluh: ”Urusan di dunia ini memang sukar diduga-duga. Su Tiau-ing ini tidak punya hubungan apa-apa dengan aku, pun seorang dari golongan jahat, tapi bergaul begini rapat padaku. Sebaliknya sejak lahir aku dengan Yak-bwe itu sudah dipasangkan menjadi suami isteri, sekarang malah memusuhi aku.” 

Terlintas pula dalam pikirannya: ”Perangaiku kasar sehingga sering menimbulkan kesalahan paham yang menyakiti hatinya. Kalau ia sampai tinggalkan aku itulah sudah selayaknya. Ah, sekarang ia sudah punya pilihan, kelak hubungan kita hanya terbatas seperti orang yang tak kenal- mengenal.”

”Ai, kau melamun apa lagi?” tiba-tiba Su Tiau-ing menepuk bahu Khik-sia. ”Lekas pegang erat-erat kendali. Kuda ini terlampau pesat larinya, dapat tinggi loncatnya, hampir saja aku dilemparkan!”

Khik-sia tenangkan pikirannya, namun pikirannya tetap mengenangkan Yak-bwe saja:

”Meskipun aku dengan Yak-bwe tak dapat menjadi kawan hidup, tapi dalam kalbuku hanya ada dia seorang. Meskipun Tiau-ing itu baik sekali kepadaku, tapi aku tak dapat menerima hatinya.” Kemudian ia teringat akan saat-saat Yak-bwe berteriak.  Saat itu ia dalam keadaan hampir  pingsan. Masih terngiang dalam telinganya kalau Yak-bwe berteriak kaget dan lari menghampirinya seraya memanggil namanya. ”Ya, jika ia sudah melupakan aku, mengapa ia berbuat begitu? Ah, bila Tiau-ing tak menutuk jalan darahku dan cepat-cepat membawa aku lari, aku tentu dapat berbicara dengan Yak-bwe. Tapi hal itupun tak dapat mempersalahkan Tiau-ing. Ia kan tak tahu bagaimana hubunganku dengan Yak-bwe. Tindakan Tiau-ing itu semata-mata karena hendak menyelamatkan jiwaku,” pikirnya lebih lanjut.

Ah, sungguh kasihan Khik-sia. Ia sudah menelan mentah-mentah cerita yang dikarang Tiau-ing. Padahal yang nyata, Yak-bwe ketika itu hendak menolong Khik-sia tapi ditabur bwe-hoa-ciam oleh Tiau-ing.

Anak buah Leng-san-pay itu datang dari perbatasan Tibet, oleh karena itu kuda mereka adalah kuda istimewa jenis keturunan Tong-ki. Kuda putih yang dicuri Tiau-ing itu merupakan kuda pilihan yang istimewa. Larinya secepat angin hingga penunggangnya serasa terbang melalui tebaran awan.

”Toa-suheng masih dapat mengejar lari kuda ini tapi kurasa aku tak mampu,” Khik-sia menilai- nilai ilmu gin-kangnya.

Satu keuntungan lagi bagi Khik-sia adalah, meskipun lari kuda putih itu secepat angin, tapi melalui jalan besar yang penuh dengan orang-orang berjalan selama itu, kuda tersebut dapat

menyelinap dengan tangkasnya hingga tak sampai menubruk mereka. Memang orang-orang yang berada di jalananan itu sama terbeliak kaget tapi perasaan mereka hanya terbatas dari rasa heran dan kagum atas kecepatan lari binatang itu. Bahwa penunggangnya ternyata sepasang muda-mudi yang boncengan, mereka tak sempat memperhatikan lagi. Karena itu, maka selama dalam perjalanan, Khik-sia tak mengalami gangguan suatu apa.

Dalam buaian lamunan yang tak keruan itu, tahu-tahu Khik-sia sudah tiba di kaki gunung Lu- san. Setelah melalui gunung itu, kira-kira duapuluh li lagi akan tibalah sudah mereka di kota raja. Kala itu sudah lohor, dua jam kemudian baru petang hari tiba.

”Malam nanti kita akan makan di rumah makan ternama di Tiang-an. Betapalah girangnya!”” Tiau-ing membuka pembicaraan dengan tertawa.

”Kau toh bukan anak kecil, mengapa begitu rakus hanya memikirkan makan enak saja?” sahut Khik-sia dengan tertawa juga.

Sudah tentu Khik-sia tak tahu bahwa kegirangan Tiau-ing itu bukan disebabkan karena hendak makan enak melainkan karena dapat terlepas dari kejaran Yak-bwe.

Ketika hampir tiba di Tiang-an, Khik-sia juga girang sekali hatinya. Baru ia hendak bergurau dengan Tiau-ing, tiba-tiba nona itu membentaknya keras: ”Lekas putar kuda balik kembali!”

Khik-sia terkejut melihat sikap Tiau-ing yang kelihatan gugup sekali itu.  Pesat sekali lari kuda putih itu, untuk segera menghentikan dan memutar haluan tak mungkin dilakukan secara serentak.

Kira-kira sepuluhan tombak jauhnya lagi, barulah Khik-sia terkesiap kaget. Kiranya di sebelah depan sana tampak menghadang sebuah barisan pengemis. Mereka terdiri dari empat orang. Yang berdiri di tengah, Khik-sia lantas mengenalnya sebagai Hong-kay Wi Gwat. Sebelah kirinya yakni pengemis yang agak muda adalah ketua Kay-pang yang baru Ciok Ceng Yang. Sedang yang di sebelah kanan Wi Gwat adalah Ji tianglo. Tapi di sebelahnya lagi terdapat seorang pengemis tua yang Khik-sia tak mengenalnya.

”Wi lo-cianpwe, aku justru hendak mencarimu. Tak nyana kita dapat berjumpa di sini,” teriak Khik-sia dengan kegirangan.

Berbareng itu kuda Khik-sia pun tiba di hadapan kelompok jago-jago dari Kay-pang. Tiba-tiba

Wi Gwat ngangakan mulutnya. Serangkum arak menyembur keluar. Rupanya kuda putih itu tajam sekali perasaannya. Cepat ia meramkan matanya. Tapi sekalipun begitu, mukanya kena juga oleh semburan arak yang panas sekali. Kuda itu meringkik keras dan melonjak-lonjak seperti kuda binal. Seketika itu juga Tiau-ing terlempar ke tanah.

Khik-sia terkejut sekali, cepat iapun segera loncat turun dan lari menghampiri Wi Gwat,

serunya: ”Wi lo-cianpwe, harap jangan turun tangan. Aku hendak menyampaikan berita padamu.” Wi Gwat menyambar lengan Khik-sia dan seenaknya saja ia berkata: ”Siau Toan, jangan gugup, ayo minum arak dulu” – Ia membuka sumbat buli-buli araknya dan berkata pula: ”Ini adalah arak simpanan dua puluh tahun yang lalu, cobalah cium betapa wanginya. Hanya sayang buli-buliku merah tempo hari dirusakkan Ceng-ceng-ji. Buli-buli yang ini kwalitetnya masih kalah, coba buli- buliku merah itu masih, arak ini tentu lebih hebat lagi rasanya.”

Khik-sia gugup dibuatnya: ”Nanti saja minum arak masih tak terlambat ”

Pada saat itu Ciok Ceng-yang dan Ji tianglo sudah mengepung Tiau-ing dari muka belakang. Wajah nona itu menjadi pucat. Ia memandang pada Khik-sia tapi tak berani buka suara. ”Tahan dulu, jangan turun tangan. Wi lo-cianpwe, berita ini penting sekali, harap kau suka mendengarkan penuturanku lebih dulu.”

Wi Gwat si Pengemis Gila itu mengeliat lalu meneguk araknya. Kemudian tenang-tenang ia berkata: ”Berita apa, ha? Penting sekalikah? Baiklah, kau boleh katakan!”

Khik-sia cepat-cepat memberi keterangan: ”Aku sudah tahu akan tempat beradanya Ciu pangcu. Ia belum binasa tapi ditahan di sebuah tempat suku Ki. Hanya nona Su ini yang tahu akan letak tempat itu. Meskipun dahulu nona Su ini berbuat sesuatu yang kurang baik terhadap Ciu pangcu, tapi kali ini ia bersungguh hati hendak berunding dengan Kay-pang. Ia bersedia untuk melepaskan Ciu pangcu, harap lo-cianpwe sekalian jangan membikin susah dulu padanya.”

Kelopak mata Wi Gwat berbeliak, ujarnya: ”Mau berunding apa lagi?”

”Apa yang hendak ia rundingkan padamu, aku tak tahu. Silahkan tanya sendiri padanya. Wi lo- cianpwe, Ciok pangcu, hanya ia satu-satunya orang yang tahu tempat tahanan Ciu pangcu itu, harap jangan turun tangan dulu.”

Khik-sia perlu menegaskan hal itu sekali lagi karena dilihatnya saat itu Ciok Ceng-yang makin mendekati Tiau-ing. Sikapnya sudah menandakan hendak menyerang. ”Siau Toan, ai, rupanya kau belum berkenalan dengan sutitku ini, nah, biar kuperkenalkan,” Wi Gwat tertawa.

Menunjuk pada pengemis tua yang berada di sisinya, berkatalah Wi Gwat: ”Inilah sutit-ku yang bernama Ciu Ko dan inilah sute dari Gong-gong-ji yang bernama Toan Khik-sia!”

Ciu Ko tertawa: ”Sudah lama kudengar namamu. Selama aku tak berada, Ciok sute memberitahukan padaku kalau kau banyak sekali membantu pada partai kami.”

Khik-sia tertegun. Diam-diam hatinya mengulangi nama ’Ciu Ko’ sampai beberapa kali. Sekonyong-konyong ia menjerit: ”Astaga! Kau ini Ciu pangcu? Jadi kau sudah bebas?!” Ciu Ko tertawa: ”Benar, Ciu Ko memang aku ini dan aku adalah Ciu Ko. Terima kasih atas kebaikanmu hendak menolong aku.”

Khik-sia tercengang-cengang melongo. Kini barulah ia mengerti mengapa tadi Tiau-ing begitu gugup sekali suruh ia lekas-lekas putar haluan kudanya. Kiranya Ciu Ko sudah bebas, itu berarti bahwa modal Tiau-ing untuk berunding dengan kaum Kay-pang sudah lenyap. Atau lebih bagus lagi, dengan kesamplokan pada tokoh-tokoh Kay-pang saat itu, berarti Tiau-ing seperti ’ular cari pentung’.

Setelah mengucapkan terima kasihnya kepada Khik-sia, wajah Ciu Ko berubah serius. Beralih memandang kepada Tiau-ing, berserulah ketua Kay-pang dengan geramnya: ”Siluman perempuan, kau telah memikat muridku sehingga binasa.  Selembar jiwaku yang tua ini, pun hampir melayang di tanganmu. Hari ini kau berhadapan dengan aku, apakah kau masih mengharap bisa lolos? Ciok sute, lekas ringkus dia! Aku hendak mengadakan upacara sembahyangan untuk menyajikan dagingnya kepada arwah Uh-bun Jui!”

Mengapa Ciu Ko tiba-tiba sudah bebas dan berada di situ? Marilah kita mundur sejenak. Kiranya sewaktu Tiau-ing memberi perintah kepada budak kepercayaannya untuk memindahkan tempat tahanan Ciu Ko, Uh-bun Jui masih berada di tempat Su Tiau-gi. Uh-bun Jui seorang

pemuda yang cerdas.  Melihat Tiau-ing melarikan diri dengan Khik-sia secara begitu tergesa-gesa, ia duga nona itu tentu belum sempat membawa lari suhunya (Ciu Ko). Ia lantas gunakan akal, pura- pura menempel budak kepercayaan Tiau-ing itu. Dengan lagak lagunya yang merayu-rayu dapatlah ia memikat hati budak perempuan itu. Dasar Uh-bun Jui seorang pemuda cakap dan ganteng apalagi menjadi ketua Kay-pang, maka dalam waktu yang singkat saja dapatlah ia menjatuhkan hati budak itu dengan sebuah sumpah paduan kasih. Dalam keadaan begitu, tak ada alasan lagi bagi budak itu untuk tidak memberitahukan segala rahasia kepada Uh-bun Jui.

Setelah mengetahui tempat tahanan suhunya dan mendapatkan obat penawar racun dari budak itu maka pada suatu malam ia diam-diam menyelundup masuk ke dalam gua tahanan. Setelah membunuh beberapa penjaganya, akhirnya dapatlah ia membebaskan Ciu Ko.

Karena rayuan ular cantik Su Tiau-ing, Uh-bun Jui menjadi sesat pikiran. Akibatnya ia telah mencelakai suhunya dan dirinya sendiri juga kehilangan segala-galanya. Kedudukan pangcu gagal sebaliknya ia malah diusir dari Kay-pang. Kesudahannya, karena sudah tak berharga lagi, Tiau-ing telah membuangnya mentah-mentah. Nama hancur, badan binasa. Adakah dalam keadaan seperti itu ia masih ada muka melihat matahari lagi? Maka ia telah mengambil keputusan, setelah menolong suhunya ia segera akan membunuh diri. Dan Uh-bun Jui telah melaksanakan hal itu dengan konsekuen.

Seperti diketahui pengaruh Kay-pang itu amat besar.   Anak buahnya  tersebar luas di mana-  mana. Perjalanan Khik-sia dengan Tiau-ing itu, siang-siang sudah dapat diketahui oleh anak buah Kay-pang. Mereka gunakan burung dara pos untuk memberi tahu pada pos-pos yang lain. Dengan secara beranting, dapatlah berita itu disampaikan pada Wi Gwat di Tiang-an. Kebetulan pada saat itu Ciu Ko pun sudah bebas dan tiba di Tiang-an. Begitulah mereka segera siap menunggu kedatangan Khik-sia di situ.

Uh-bun Jui adalah murid kesayangan Ciu Ko.   Bahwa muridnya telah menderita kecemaran begitu hina, sudah tentu Ciu Ko dendam sekali kepada Tiau-ing. Tapi dikarenakan luka beracun dalam tubuhnya masih belum sembuh sama sekali, maka ia minta sutenya yaitu Ciok Ceng-yang yang turun tangan. Sedang Hong-kay Wi Gwat mengingat tingkat kedudukannya yang lebih tinggi, tak mau turut meringkus Tiau-ing. Adalah ketika Khik-sia masih terlongong-longong tak tahu apa yang harus dilakukan, di sana

Ciok Ceng-yang sudah bertempur dengan Tiau-ing. Pedang pusaka milik Khik-sia masih di tangan Tiau-ing. Karena terdesak, Tiau-ing keluarkan jurus-jurus yang ganas. Meskipun bagi Khik-sia ilmu permainan pedang Tiau-ing itu masih belum tinggi sekali, namun apa yang disaksikan pada saat itu, sungguh di luar dugaan Khik-sia. Ia tak mengira kalau ilmu kepandaian nona itu hebat, kini barulah ia tahu kalau dulu Tiau-ing ternyata belum mau mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Melihat permainan pedang Tiau-ing lihay sekali, ketambahan pula menggunakan po-kiam, maka dalam dua tiga puluh jurus, Ciok Ceng-yang belum dapat mengatasi. Malah Hong-kay Wi Gwat sendiri diam-diam merasa kagum dengan ilmu pedang nona itu.

Tapi bagaimanapun Ciok Ceng-yang itu adalah jago utama dari murid Kay-pang angkatan

kedua. Kepandaiannya hanya kalah setingkat dengan Wi Gwat yang menjadi paman gurunya itu. Tapi dengan suhengnya yakni Ciu Ko, ia tetap menang unggul. Menurut penilaian, sebenarnya kepandaian jago Kay-pang itu tak hanya setingkat lebih atas dari Tiau-ing. Lewat tiga puluh jurus kemudian, dapatlah sudah Ciok Ceng-yang mempelajari gerak permainan lawannya. Segera permainan tongkatnya dirubah dari bertahan kini menjadi penyerang.

Hang-liong-tiang-hwat atau ilmu tongkat menundukkan naga, adalah ilmu kebanggaan partai Kay-pang yang sakti. Apabila sudah dikembangkan, empat penjuru delapan angin diliputi oleh bayangan tongkat. Isi tidaknya serangannya sukar diduga-duga. Tampaknya menyerang dari

sebelah timur, tiba-tiba datangnya serangan itu dari sebelah barat. Dan yang lebih mengagumkan, setiap pantulan ujung tongkat itu selalu mengarah jalan darah yang berbahaya.

Ya, hanya dalam beberapa kejab saja, situasinya sudah terbalik. Kalau tadi Tiau-ing dapat menyerang dengan ganasnya, kini ia hanya dapat bertahan diri. Bahkan bertahan saja rupanya makin susah karena permainannya makin kendor. Khik-sia tetap melongo tak tahu apa yang harus diperbuat. Tiba-tiba kedengaran Tiau-ing menjerit ’aduh’. Jalan darah kian-keng-hiat di bahunya kena ditutuk ujung tongkat. Tubuh Tiau-ing hanya bergetar dua kali tapi tak sampai rubuh. Melihat itu Ciok Ceng-yang agak terkejut.

”Hm, kiranya budak siluman ini mengenal ilmu menutuk jalan darah. Nyata tak boleh dipandang ringan,” diam-diam Ciok Ceng-yang membatin. Iapun segera mengganti cara permainannya dengan ilmu tongkat ciong-chiu-hwat atau tutukan dengan tenaga berat. Tari

tongkatnya segera menimbulkan angin menderu-deru. Di tangan jago Kay-pang, tongkat bambu berubah menjadi lebih dahsyat dari tongkat besi atau baja.

Ketika mendengar teriakan mengaduh dari Tiau-ing tadi, hati Khik-sia serasa seperti ditutuk

oleh tongkat bambu Ciok Ceng-yang. Tanpa dapat dikendalikan lagi, ia segera hendak memburu untuk mencegah Ciok Ceng-yang. Tapi baru saja keinginannya itu timbul, dan belum lagi sang kaki sempat bergerak, tahu-tahu Wi Gwat sudah menariknya erat-erat.

”Siau Toan, kau bagaimana ini? Mengapa kau tak mau minum arak yang kuberikan?” dengan tertawa meringis Pengemis Gila Wi Gwat menegurnya.

Khik-sia seperti semut di atas kuali panas, sahutnya: ”Wi lo-cianpwe, nona Su ini, nona Su ini

.....”

“Nona Su ini akrab sekali dengan kau, bukan?” Wi Gwat tertawa menukasnya.

Merah padam Khik-sia dibuatnya. Tapi pada saat-saat seperti itu, ia tak dapat berbuat apa-apa kecuali mengakui dengan bersikap diam.

Tiba-tiba Wi Gwat berubah keren (serius): ”Toan hiantit, kau seharusnya mengingat bahwa ayahmu itu seorang pendekar perwira. Budak siluman itu adalah anak perempuan dari Su Su-bing

dan adik perempuan dari Su Tiau-gi. Sepak terjang mereka tidak baik, mengapa kau galang gulung dengan dia? Budak siluman itu telah mengadu-dombakan partai Kay-pang sehingga timbul perpecahan di kalangan kaum kami dan mencelakai Uh-bun Jui sampai binasa. Coba bilang, layak tidak kami menghukumnya?”

Pikir punya pikir, Khik-sia memang merasa Tiau-ing yang bersalah. Sukar baginya untuk membela nona itu.

Tiba-tiba Wi Gwat tertawa lagi: ”Di dunia ini banyak sekali gadis yang cantik dan pintar. Kau

suka yang mana, aku sanggup menjadi perantaranya. Tapi asal gadis pilihanmu itu golongan bulim, ayahnya tentu mau memandang mukaku si pengemis tua ini.”

Benar Khik-sia dibuatnya meringis. Kedua telinganya menjadi merah dan ia paksakan juga untuk berkata: ”Wi lo-cianpwe, aku bukannya mempunyai hubungan pribadi dengan nona Su ini

....”

Wi Gwat tertawa gelak-gelak: ”Apalagi tidak punya hubungan apa-apa, itu lebih baik. Duduklah dan minum arak, sebaiknya tak usah kau melihatinya.”

Sudah tentu Khik-sia tak dapat minum arak dengan tenteram. Walaupun ia anggap Su Tiau-ing yang salah, tapi setelah bergaul beberapa hari dengan nona itu, sedikit banyak ia mempunyai hubungan batin juga. Bagaimana ia disuruh berpeluk tangan melihat Su Tiau-ing diringkus dan dibuat sesaji sembahyangan?

Pada saat itu Ciok Ceng-yang sudah dapat memberi tekanan. Tongkatnya makin lama makin gencar bagaikan petir menyambar-nyambar dan badai menderu-deru.

Permainan pedang Tiau-ing sudah dibikin kocar-kacir, namun nona itu masih bertahan mati-

matian pantang menyerah. Menurut gelagat, dalam beberapa jurus lagi, kalau tidak binasa di bawah hujan tongkat, sekurang-kurangnya nona itu tentu akan terluka.

Melihat itu Khik-sia makin gugup, serunya: ”Wi lo-cianpwe, aku bersedia kau caci maki tapi kuminta kau suka mengampuni jiwanya!”

”Siau Toan, katamu kau tak punya hubungan pribadi dengannya, tapi mengapa kau mintakan ampun padanya ?”

Kegelisahan Khik-sia telah membuat kepalanya mandi keringat, urat-uratnya berkerenyotan. Tanpa menunggu Wi Gwat selesai bicara, ia segera menukasnya: ”Lepaskan ia dululah, untuk saat ini aku tak dapat menjelaskan. Aku lebih suka mewakilinya menerima hukuman, maukah?”

Kay-pang merasa berhutang budi besar kepada Khik-sia. Bahwa anak muda itu sedemikian gelisahnya, walaupun heran tapi diam-diam Wi Gwat menjadi ragu juga. Pikirnya: ”Dengan memandang muka Khik-sia, mengampuni jiwa budak siluman ini, rasanya juga tak keliwat keberatan.”

Tapi Wi Gwat itu seorang pendendam dan pemberantas kejahatan. Berpuluh tahun ia memperjuangkan cita-citanya itu dengan gigih. Walaupun dalam hati ia tergerak juga dengan permintaan Khik-sia tadi, namun mulutnya masih tak mau berganti nada, ujarnya: “Tak dapat, budak siluman itu biar bagaimana harus ditangkap.”

Kalau Khik-sia meneliti dengan kepala dingin, tentulah ia akan merasakan bahwa nada ucapan pengemis aneh itu lebih lunak dari tadi. Wi Gwat hanya mengatakan ‘ditangkap’, bukannya menghendaki jiwa Tiau-ing. Tapi dalam saat-saat seperti ketika itu, mana Khik-sia dapat menggunakan otaknya yang terang?

Dengan jurus ki-hwe-liau-thian atau mengacungkan api membakar langit, Ciok Ceng-yang ancamkan ujung tongkatnya ke lengan Tiau-ing. Karena mengandalkan kelihayan pedangnya, Tiau- ing gunakan jurus thiat-soh-heng-kiang atau rantai besi membentang di sungai, tongkat Ciok Ceng- yang hendak dipapasnya. Tiba-tiba Ciok Ceng-yang membentak supaya Tiau-ing lepaskan pedangnya. Ternyata dengan gunakan tenaga lwekang menempel, Ceng-yang lekatkan tongkatnya di batang pedang. Trang, sekali Ceng-yang geliatkan tongkatnya terlepaslah pedang Tiau-ing ke tanah. Tapi Ceng-yang tak berhasil menutuk jalan darah nona itu melainkan hanya menusuk pecah lengan bajunya saja.

”Ho, mau lari kemana? Biar kupunahkan ilmu kepandaianmu dulu!” bentak ketua Kay-pang itu sembari angkat tangan kirinya untuk mencengkeram tulang pi-peh-kut di bahu Tiau-ing.

Saat itu Khik-sia sedang dipegangi Wi Gwat. Serta melihat keadaan Tiau-ing, serentak Khik-sia segera menerjang kemuka sehingga Wi Gwat sampai keseret beberapa langkah. Lwekang yang diyakinkan Wi Gwat selama berpuluh tahun itu, bukan olah-olah hebatnya. Diseret oleh Khik-sia, seketika ia mengeluarkan reaksi. Cengkeramannya makin kuat hingga Khik-sia pun tak dapat melangkah maju lebih jauh.

Khik-sia tahu dirinya sebagai angkatan muda, sudah tentu ia tak mau menggunakan kekerasan terhadap seorang cianpwe (angkatan tua). Dan andaikata ia menggunakan kekerasan, pun belum tentu segera dapat melepaskan diri. ”Lo-cianpwe harap lepaskan!”

Tepat pada saat Khik-sia menyerukan begitu, sekonyong-konyong terdengar seseorang berseru: ”Tahan, jangan turun tangan dulu.”

Kata-kata yang pertama, kedengarannya jauh. Tapi ucapan yang terakhir kedengarannya sudah dekat, sehingga nadanya mengiang di telinga jago-jago Kay-pang.

”Hebat benar lwekang orang ini!” baru Wi Gwat membatin begitu, seekor kuda sudah melesat tiba.

Saat itu jari telunjuk Ciok Ceng-yang hampir menyentuh bahu Tiau-ing, tapi begitu mendengar

nada suara orang itu, ia tertegun. Dan ketika kuda datang, ia menjadi lebih kaget pula demi melihat penunggangnya. Buru-buru ia tarik pulang tangannya dan berseru: ”Bo tayhiap, kau juga datang.” Kiranya penunggang kuda yang datang itu adalah Bo Se-kiat.

Bo Se-kiat adalah ketua dari perserikatan penyamun atau Lok-lim-beng-cu, sudah tentu Ciok Ceng-yang mau memandangnya. Di samping itu masih ada faktor lain, kaum Kay-pang harus membayar budi padanya. Hal itu nanti akan pembaca ketahui belakangan.

Namun dalam menuruti permintaan Se-kiat itu, diam-diam Ceng-yang merasa heran juga. Tanyanya: ”Bo tayhiap, apakah kau juga akan memintakan keringanan untuk budak siluman ini?” ”Kesemuanya telah kuketahui. Kedatanganku kemari ini memang  justeru hendak menyelesaikan urusan ini dengan suhengmu,” sahut Se-kiat.

Setelah memberi hormat kepada Wi Gwat dan Ciu Ko, berkatalah Se-kiat lebih jauh: ”Nona Su

itu telah menjerumuskan Uh-bun Jui ke arah tindakan sesat mengkhianati partai, memenjarakan Ciu pangcu dan memecah belah partai Kay-pang sehingga hampir terjadi bentrokan di dalam partai.

Memang tak dapat disalahkan kalau partai Kay-pang akan memberesinya. Tapi di balik tindakannya itu menurut pendapatku, adalah karena ia mempunyai rencana hendak berserikat dengan Kay-pang guna melawan tentara negeri. Entah apakah dugaanku itu benar atau salah?” Tiau-ing terkesiap kaget, pikirnya: ”Hebat benar anak muda ini. Dia belum kenal padaku tapi dapat mengetahui isi hatiku.”

Jawab Ciu Ko: ”Hal itu, Uh-bun Jui pun pernah mengatakan padaku. Kay-pang tak mau membanggakan diri dengan nama hiap-gi (menjalankan kebenaran), tapipun tak mau bertindak sembarangan sebagai kaum perampok. Bagaimana kami dapat kerja sama dengan pengkhianat- pengkhianat yang mencelakakan negara dan menindas rakyat? Dan kami bangsa pengemis hanya menginginkan adanya tempat di mana kami dapat meminta nasi, masakan kami berani memimpikan hendak menduduki tahta singgasana?”

Tertawalah Se-kiat: ”Dunia ini memang kotor, yang mempunyai moral dia berhak hidup. Siapapun dapat menjadi raja. Pengemis menjadi raja, pun bukan suatu hal yang ajaib. Hanya, setiap orang mempunyai cita-cita sendiri. Bahwa Ciu pangcu tak menghasratkan singgasana kerajaan, baiklah, jangan kita ungkat lagi hal itu. Tapi dengan begitu, walaupun nona Su itu telah

bersalah memenjarakan Ciu pangcu, namun sekali-kali tak bermaksud mengambil jiwa Ciu pangcu. Entah dalam hal ini apakah Ciu pangcu sudi berlapang dada memberi ampun jiwanya?”

Ciu Ko merenung diam.

Se-kiat beralih tanya kepada Khik-sia: ”Kabarnya karena hendak menolong kau, nona Su telah membelakangi engkohnya, bemarkah itu?”

”Kiranya Bi toako juga tahu?” sahut Khik-sia.

”Bagaimana kau perlu minta tolong padanya, apakah dengan kepandaianmu kau kena ditawan engkohnya?” tanya Wi Gwat dengam keheranan.

”Dalam hal ini, sebenarnya ialah yang lebih dulu bersalah padaku yaitu menangkap aku, tapi kemudian melepaskan lagi. Tapi aku tetap berterima kasih padanya,” kata Khik-sia dengan sungguh-sungguh. Kemudian ia menuturkan pengalamannya.

Kini baru mengertilah Wi Gwat mengapa Khik-sia sampai mintakan ampun untuk Tiau-ing. ”Kalau begitu meskipun ia puteri Su Su-bing dan adik perempuan Su Tiau-gi, tapi sepak terjang nona Su itu berlainan dengan ayah dan kakaknya. Tahu kesesatan segera berubah, itulah baik

sekali. Adalah karena mengingat ia sudah kembali ke jalan lurus, maka barulah aku memberanikan diri untuk mintakan ampun pada Ciu pangcu. Entah apakah Ciu pangcu sudi memberi muka padaku?”

Ciu Ko menghela napas, ujarnya: ”Ya, ya, ya, adalah muridku itu sendiri yang lemah imannya hingga tersesat. Kata peribahasa 'setiap benda itu baru timbul ulatnya apabila dalam benda itu sudah rusak sendiri'. Sebenarnya tak dapat mempersalahkan siapa-siapa dan akupun juga tak berniat membalaskan sakit hatinya. Bo tayhiap, jiwaku ini adalah kau yang merebut kembali, bagaimana kau dapat menolak permintaanmu? Baiklah, biarlah selembar jiwaku ini asal nona Su itu tak mengganggu aku, akupun tak mau mengganggunya juga!”

Mengapa Ciu Ko mengatakan berhutang jiwa pada Se-kiat? Kiranya disitu memang terselip sebuah kisah. Adalah pada saat Ciu Ko dilepaskan oleh Uh-bun Jui, ternyata ia jatuh lagi di tangan seorang musuh yang lebih ganas. Musuh itu bukan lain adalah Ceng-ceng-ji. Siasat Su Tiau-ing merayu Uh-bun Jui supaya mengkhianati suhunya, Ceng-ceng-ji pun ikut serta merancangkannya. Bahkan dialah yang tampil untuk membantu Uh-bun Jui merebut kedudukan pangcu dari Kay-pang. Sudah tentu ia bukan sungguh-sungguh sayang kepada Uh-bun Jui, melainkan ada maksud tersendiri, yakni serupa dengan Tiau-ing; menggunakan Uh-bun Jui untuk menguasai Kay-pang.

Tetapi ketika tiba pada persoalan diri Ciu Ko, ia tak sependapat dengan Tiau-ing. Ceng-ceng-ji mengusulkan supaya Ciu Ko dibunuh saja agar jangan sampai menimbulkan bahaya di kemudian hari. Sebaliknya Tiau-ing tidak setuju, begitupun Uh-bun Jui berkeras mempertahankan suhunya jangan dibunuh. Oleh karena masih membutuhkan tenaga kedua orang itu, maka untuk sementara Ceng-ceng-ji terpaksa menurut.

Ketika tiba saatnya Tiau-ing melarikan diri dengan Khik-sia, ingatan Ceng-ceng-ji timbul kembali. Ia lebih pandai dari Uh-bun Jui, apa yang Uh-bun Jui pikirkan, sudah tentu iapun dapat memikirkannya juga. Ia yakin Tiau-ing tentu tak sempat membawa pergi Ciu Ko. Siasat Uh-bun Jui untuk merayu budak kepercayaan Tiau-ing, tak luput dari perhatian Ceng-ceng-ji. Memang

siang-siang Ceng-ceng-ji sudah menaruh kecurigaan pada Uh-bun Jui, maka ia selalu mengawasi gerak-gerik anak muda itu. Inilah tepat seperti apa yang dikatakan oleh sebuah pepatah 'belalang menangkap jengkerik, burung gereja sudah siap di belakangnya'. Uh-bun Jui hendak menjalankan siasat merayu, tapi di luar tahunya, Ceng-ceng-ji juga diam-diam mengintainya.

Begitulah setelah mengetahui tempat tahanan suhunya, diam-diam Uh-bun Jui segera menyelinap ke sana. Dengan cepat lenyapnya anak muda itu diketahui Ceng-ceng-ji. Ia segera

mengompes (minta keterangan paksa) pada si budak perempuan, siapa karena takut akan ancaman- ancaman segera memberitahukan letak tempat tahanan Ciu Ko.

Sehabis membebaskan suhunya dan memberikan obat penawar, Uh-bun Jui lalu menghabisi jiwanya sendiri, anak muda itu hendak menebus dosa selaku tanda kesetiaannya, tapi ia tak menduga bahwa racun di tubuh suhunya  itu sedemikian hebatnya. Meskipun sudah minum obat penawar namun tak dapat seketika sembuh. Jangankan kepandaiannya, sedang tenaganya saja masih belum normal. Saat itu sebenarnya Ciu Ko masih membutuhkan perlindungan tapi sayang, Uh-bun Jui sudah keburu bunuh diri. Betapa kedukaan Ciu Ko dapatlah dibayangkan. Baru saja ia selesai mengubur muridnya, Ceng-ceng-jipun muncul.

Ciu Ko mengambil putusan untuk adu jiwa. Ia gigit lidahnya sendiri agar dapat menghimpun seluruh tenaganya, kemudian dengan pukulan Thian-mo-ciat-te-toa-hwat ia hantam Ceng-ceng-ji

sekuat-kuatnya. Benar Ceng-ceng-ji lumpuh separuh tenaganya, tapi ia dapat menghantam kaki Ciu Ko sampai patah. Dengan marahnya Ceng-ceng-ji segera akan menghabisi jiwa ketua Kay-pang itu, tap di luar dugaan Bo Se-kiat kebetulan lewat di situ. Karena tenaganya sudah berkurang, dengan mudah dapatlah Se-kiat menghalau lawan pergi. Se-kiat mengobati kaki Ciu Ko dan malah mengantarkannya sampai tiga ratus li jauhnya. Setelah menyerahkan ketua Kay-pang itu pada seorang pemimpin cabang setempat, barulah Se-kiat minta diri.

Bahwa Se-kiat yang pernah melepas budi sedemikian besarnya, telah mintakan ampun untuk Tiau-ing, sudah tentu Ciu Ko sungkan menolaknya. Tapi baru Se-kiat hendak mengajukan permintaan itu lagi kepada Wi Gwat, jago itu cepat mendahuluinya: ”Bo tay-hiap, sudahlah, jangan membikin kami sekalian menjadi sungkan.”

Jawaban itu cukup membuat Se-kiat peringisan.

”Wi lo-cianpwe, aku rela menerima dampratan dan tetap mintakan ampun padamu,” buru-buru Khik-sia berseru.

Pengemis tua itu gelengkan kepala, sahutnya: ”Percuma saja kau minta ampun padaku. Perangai si pengemis tua ini buruk dan keras. Aku tak punya sanak kadang, tak kenal budi kecintaan!”

Tiba-tiba Tiau-ing angkat pedangnya dan berseru: ”Ah, tak usah kalian mintakan ampun aku. Bagus, pengemis tua, karena kau tak mau melepaskan aku, mari majulah!”

Wi Gwat meneguk lagi buli-buli araknya. Setelah itu dengan tenang ia menjawab: ”Apakah kau menantang aku? Uh, masakan seorang budak perempuan seperti macammu pantas menjadi lawanku?”

Ia tertawa dan semburkan arak dari mulutnya, serunya: ”Si pengemis tua itu tak kenal budi kecintaan tapi tahu memandang muka orang. Sebenarnya dosamu itu harus dihukum. Kalau aku sampai membunuhmu, rasanya cukup pantas juga. Tapi Ceng-ceng-ji sekarang bukan kawan sehaluanmu, kau kini menjadi sebatang kara, kalau kubunuh kau pun tak ada orang yang tahu, tak

ada orang yang bakal menuduh aku orang tua menghina orang muda. Ah, tidak, tidak, pengemis tua mana mau menghilangkan muka orang? Aku lebih suka tak membunuhmu!”

Kembali ia meneguk arak dan tertawa terbahak-bahak. Sebenarnya pengemis tua itu bukannya tak mau bermurah hati tetapi memang ia sengaja hendak mengocok hati Se-kiat dan Khik-sia supaya gelisah. Sebagai pengemis tua yang berwatak aneh, ia tak mau mentah-mentah memberi

ampun tanpa mengemukakan alasan yang teguh. Dan alasannya tadi memang tepat. Kini Tiau-ing menjadi sebatang kara dan karena dapat membebaskan diri dari pengaruh engkohnya dan kawan- kawan yang jahat, maka pengemis tua itu tak menganggapnya lagi sebagai musuh.

”Wi Gwat digelari sebagai Pengemis Gila dan memang tindakan dan ucapannya sukar diduga, tampaknya gila tapi tidak gila. Adalah nona Su itu memang cerdas karena dapat mengetahui perangai pengemis tua itu,” pikir Khik-sia.

”Hai, ilmu pedangmu sungguh istimewa, budak perempuan. Siapakah suhumu?” tanya Wi Gwat.

Tiau-ing tertawa: ”Untung kau tak bunuh aku, coba kau berbuat begitu, kau tentu bakal merasakan kelihaian suhuku. Jika ingin mengetahui siapa suhuku itu, silahkan tanya pada Gong- gong-ji.”

”Bah, sekalipun kau tak mau bilang masakan aku tak tahu? Suhumu tentulah itu Shin Ci-koh yang bergelar Bu-ceng-kiam.”

Tiau-ing terbeliak kaget, pikirnya: ”Kurang ajar, lihay sekali pengemis tua ini. Mengapa ia

kenal akan corak permainan suhu? Dengan melihat beberapa jurus permainanku saja, ia segera mengetahui nama suhu.”

Serentak menyahutlah ia dingin-dingin: ”Pengemis tua, kalau sudah tahu nama suhuku, ya sudah. Beliau lebih tak kenal kasihan dari kau. Jika kau bunuh aku, apakah kau kira beliau akan mengampuni jiwamu?”

Wi Gwat terbahak-bahak: ”Budak perempuan, sudah berapa tahunkah kau ikut pada suhumu?

Ia bergelar Bu-ceng-kiam, tapi hati nuraninya berbudi tak berbudi, tentang hal itu kaupun tak usah mengetahui. Pengemis tua ini tak takut ia akan membunuh aku, tapi kuatir ia nanti akan minta tolong padaku.”

Bu-ceng-kiam artinya Pedang tak berperasaan.

”Apa? Beliau akan minta tolong padamu?” teriak Tiau-ing.

Wi Gwat tetap tertawa: ”Betul, ia akan minta aku menjadi comblang, apakah itu bukannya minta tolong?”

”Ngaco belo!” bentak Tiau-ing dengan jemu.

Wi Gwat semakin terpingkal-pingkal: ”Percaya atau tidak, terserah padamu. Pengemis tua juga tak suka membuka rahasia pribadi seorang guru di depan muridnya. Baiklah, Ciu sutit, ayo kita pergi. Kalau terus bicara, mungkin orang akan memaki aku si pengemis tua ini tak senonoh.” Kerut wajah dan sikap si pengemis gila yang sesaat garang dan sesaat riang peramah itu,

membuat Su Tiau-ing meringis. Karena sudah dikenal sebagai pengemis kegila-gilaan, maka orang pun tak heran akan gerak-gerik Wi Gwat yang aneh itu. ”Pengemis tua ini lihay benar. Ucapannyapun bukannya seperti orang gila. Apakah ia benar- benar mengetahui rahasia pribadi suhu?” diam-diam Tiau-ing membatin.

Seperginya tokoh-tokoh Kay-pang, maka berhadapanlah kini Khik-sia dengan Se-kiat. Teringat akan Thiat-mo-lek, Khik-sia segera menanyakan: ”Bo toako, mengapa kau kebetulan sekali datang kemari? Thiat toako apakah datang juga?”

Se-kiat tertawa: ”Bukannya secara kebetulan, memang aku sengaja menunggu kedatangan kalian di sini. Piauko-mu itu seorang sahabat lama dari Cin Siang. Dalam pertemuan para ksatria yang diselenggarakan oleh Cin-sian itu, sudah tentu piauko-mu datang, tapi karena masih ada sedikit urusan jadi ia agak lambat. Mungkin paling lambat besok lusa ia tentu sudah tiba kemari.” Ia masih melanjutkan kata-katanya pula: ”Aku bersama Kim-kiam-ceng-long Toh Pek-ing dan kawan-kawan, sudah datang lebih dulu beberapa hari di Tiang-an. Baru beberapa hari ini aku mengikat persahabatan dengan Ciu Ko, karena informasi (berita) di kalangan Kay-pang itu cepat

sekali dilaksanakan, maka aku pun mengetahui semuanya. Siang-siang aku sudah tahu kalau kau bersama nona Su akan tiba di kemari hari ini, tahu pula aku bahwa Kay-pang hendak menangkap nona Su. Oleh karena di dalam Kay-pang cabang Tiang-an banyak sekali orangnya, maka akupun tak leluasa mencegah mereka. Maka aku terpaksa memburu kemari.”

Kini barulah Khik-sia mengerti duduk persoalannya. Diam-diam ia merasa heran: ”Bo Se-kiat tak kenal dengan Tiau-ing. Se-kiat tahu kalau Tiau-ing puteri dari Su Su-bing, tapi Se-kiat tak

menganggapnya sebagai perempuan jahat. Ini saja sudah sukar terjadi. Apalagi Se-kiat masih mau berusaha untuk menolong nona itu, sungguh luar biasa sekali. Apakah kesemuanya itu demi untuk kepentinganku?”

Setelah bahaya lewat, barulah saat itu Tiau-ing tampil kemuka. Tapi anehnya ia bukan menghaturkan terima kasih kepada Se-kiat, tapi hanya mengunjukkan jempol tangannya berseru: ”Bo tayhiap, kau sungguh berdada lapang sekali, suka bekerja tanpa memikirkan jasa, kemana- mana kau selalu mendamaikan pertengkaran. Benar-benar tak kecewa menjadi seorang pemimpin Lok-lim!”

Se-kiat tertawa: ”Konon kabarnya anak buah dari engkohmu amat patuh padamu. Setelah

kalian menderita kekalahan, kabarnya juga kau yang mengatur sehingga tak sampai seluruh anak pasukanmu ludas. Nona Su, kau juga seorang pendekar wanita.”

Tiau-ing balas tertawa: ”Kiranya kau amat perhatikan urusanku. Tapi kabar yang kau dengar itu terlampau menyanjung diriku, aku tak mempunyai kecakapan sedemikian besarnya. Adalah karena aku berbeda dengan anak gadis pada umumny yang suka bersolek saja, maka engkohku merasa jengkel padaku.”

”Oh, kukira pelarianmu itu disebabkan Khik-sia, ternyata kalian kakak beradik itu memang sudah punya perselisihan,” kata Se-kiat.

Khik-sia merah mukanya, serunya: ”Baik perangai maupun tindakan nona Su itu berlainan dengan engkohnya. Mereka saudara lain ibu. Engkohnya membunuh ayahnya dan bersimaharajalela sewenang-wenang, memang siang-siang nona Su sudah tak puas.”

Se-kiat mengangguk: ”Oh, kiranya begitu.” -- Matanya beralih kepada Tiau-ing, seperti ada sesuatu yang dipikirkan.

Kata Tiau-ing: ”Budi besar tak dibalas dengan ucapan terima kasih saja.   Bo bengcu, kelak apabila kau memerlukan tenagaku, silahkan memberi perintah. Apa yang kau kehendaki, asal tenagaku mampu, tentu akan kukerjakan.” -- Habis berkata dengan tertawa tajam ia melirik kepada Se-kiat.

Pikir Khik-sia: ”Kata-kata Tiau-ing tak keruan juntrungannya. Di satu pihak menyatakan

bersedia melakukan segala perintah Se-kiat. Hm, orang macam apakah Bo toako itu, masakan ia sudi menerima segala pemberianmu? Memang kalau suhengku yang mengatakan itu masih dapat dimengerti, tapi kau, hai Tiau-ing, mana kau mampu menandingi ilmu 'tangan kosong' yang istimewa dari suhengku?”

Tapi di luar persangkaan Khik-sia, ternyata reaksi Se-kiat itu tak terduga-duga. Sedikitpun ia (Se-kiat) tak mengunjuk rasa kurang senang mendengar ucapan Tiau-ing itu, bahkan sebaliknya malah berseri girang dan tersenyum simpul: ”Kalau begitu, lebih dulu aku menghaturkan terima kasih kepada nona.”

Begitulah percakapan dari Tiau-ing dan Se-kiat itu tampaknya seperti sepasang muda mudi yang sudah rapat hubungannya dan serasi pendiriannya. Bahwa Khik-sia 'terasing' di pojok, rupanya Tiau-ing mengerti juga. Tiba-tiba ia hentikan bicaranya dengan Se-kiat dan menghampiri ke muka Khik-sia. Menyerahkan kembali po-kiam Khik-sia, berkatalah ia: ”Terima kasih atas bantuanmu selama di perjalanan. Kutahu kau tak suka padaku, tapi aku tetap berterima kasih kepadamu.” Rupanya ucapan Tiau-ing keluar dari lubuk hati yang sesungguhnya karena nadanya agak gemetar. Sebagai reaksi secara spontan (serempak) Khik-siapun merasa sedikit rawan dengan perpisahan itu. Setelah menyambuti po-kiam, ia berkata: ”Urusan Kay-pang sudah selesai, apakah kau tak perlu kuantar sampai ke Tiang-an?”

Banyak sekali yang tengah direka dalam pikiran Tiau-ing. Mendengar pertanyaan Khik-sia itu, ia tertegun. Belum sempat ia memberi penyahutan, Se-kiat sudah mendahului bertanya: ”Oh, kiranya nona Su juga akan menghadiri Eng-hiong-tay-hwe?”

Tiau-ing tenangkan pikirannya dan tertawa: ”Ah, masakan aku layak menghadiri pertemuan Eng-hiong (ksatria) itu. Di kolong langit ini hanya kalian, kau dan Thiat-mo-lek, yang pantas disebut ksatria. Hanya karena urusan dengan Kay-panglah maka aku sampai datang kemari.

Memang aku boleh tak usah melanjutkan perjalanan ke Tiang-an, tapi karena toh sudah tiba di sini dan sudah dekat dengan Tiang-an, serentak timbullah hasratku untuk menyaksikan ramai-ramai.” ”Nona Su, kau adalah pendekar kaum wanita, mengapa begitu merendah? Tapi kau hanya seorang diri, rasanya tentu kurang leluasa. Kurasa lebih baik kau pergi bersama-sama kita saja. Di Tiang-an kita mempunyai 'sarang' (istilah kaum loklim untuk suatu 'tempat rahasia'). Tempatnya besar sekali, ada kamar-kamar untuk wanita. Kurasa kau tentu leluasa menetap di sana,” kata Se- kiat.

”Khik-sia, apakah kau tak jemu padaku?” tanya Tiau-ing.

”Dalam hal ini Bo-toako yang menjadi tuan rumah. Aku dan kau hanya sebagai tetamu saja,” sahut Khik-sia.

Tiau-ing tertawa: ”Bo-bengcu, kau tahu bahwa selama dalam perjalanan, ia (Khik-sia) selalu berusaha menghindarkan diri dari aku, mungkin takut kalau kujirat kakinya. Untung sekarang kau yang mengundang, kalau tidak, aku tentu tak berani bersama-sama dia lagi.”

”Oh, mungkin ia berusaha menjunjung tata susila. Padahal pergaulan pria-wanita kaum

persilatan itu bebas dari segala ikatan adat,” kata Se-kiat. Ia lantas berpaling memandang Khik-sia: ”Piaukomu Thiat-mo-lek memperhatikan sekali hubunganmu dengan nona Su yang satunya.

Bagaimana, apa kau sudah menemukannya?”

Lalu ia menerangkan kepada Tiau-ing: ”Ah, kebetulan sekali calon isteri Khik-sia itu tunggal she dengan kau. Sejak lahir mereka sudah dipasangkan.”

Tiau-ing sudah tahu bahwa Khik-sia mempunyai seorang kawan wanita she Su, tapi bahwasanya nona Su itu ternyata bakal isteri Khik-sia, baru sekarang Tiau-ing mengetahuinya.

Tiau-ing dan Khik-sia sama-sama gelisah. Hanya saja kegelisahan mereka itu berbeda. Kalau Tiau-ing gelisah bahwa ternyata Khik-sia sudah punya bakal kawan hidup, adalah Khik-sia resah karena menduga Yak-bwe itu sekarang sudah punya pilihan pemuda lain. Tapi Khik-sia tak mengutarakan hal itu kepada Se-kiat.

”Ya, memang aneh sekali. Secara kebetulan semalam aku mendapatkannya di hotel, sayang tak sempat menjumpainya. Oh, ya, nona Sip bersama-sama dengan ia,” kata Khik-sia pula. Ia tuturkan apa yang telah terjadi semalam. Hanya kecurigaannya terhadap Yak-bwe, tak diceritakannya.

”Tak perlu kau gelisah. Asal mereka berdua ke Tiang-an, masakan tak dapat diketahui jejaknya? Di Tiang-an kita mempunyai banyak kawan,” kata Se-kiat.

Khik-sia tahu kalau Se-kiat menghiburnya, tapi anehnya Se-kiat itu sepatahpun tak

mengucapkan tentang diri In-nio. Hubungan Se-kiat – In-nio berlainan dengan Khik-sia – Yak-bwe. Kedua anak muda yang tersebut duluan itu bukan saja belum bertunangan, pun ikatan kasih mereka belum positif. Karena Khik-sia tak suka usil dan belum kenal dengan In-nio, dan karena Se-kiat tak mengatakan apa-apa, maka iapun sungkan untuk menanyakannya.

Begitulah sambil berjalan sambil bercakap-cakap, tibalah mereka di jalan besar. Disitu tertawalah Se-kiat bertanya: ”Khik-sia, kau mau membonceng aku atau tetap bersama dengan nona Su?”

Kemerah-merahanlah wajah Khik-sia, sahutnya: ”Tiang-an sudah tak berapa jauh, tinggal dua- tiga puluh li saja. Biarlah aku lari saja.”

Se-kiat terhitung lebih tua dari Khik-sia, maka tanpa sungkan lagi ia lantas berkuda bersama- sama Tiau-ing, sedang Khik-sia mengikutinya dari belakang dengan berjalan kaki. Kalau Se-kiat dan Tiau-ing bercakap-cakap dengan riang gembira, adalah Khik-sia berdiam diri menggigit jari saja. Pikirannya melayang-layang pada Yak-bwe.

Hari pertandingan masih kurang dari dua hari. Walaupun Cin Siang telah menyatakan dalam pengumumannya bahwa jago-jago yang ikut dalam pertandingan itu takkan diusut asal-usulnya, tapi dikarenakan Khik-sia itu merupakan seorang buronan penting yang merampas kuda pemerintah, sedang Tiau-ing adalah adik dari pemberontak Su Tiau-gi, maka keduanya pun termasuk golongan buronan kelas berat.

Benar Khik-sia itu bukan seorang pemberontak seperti kedua saudara Su, tapi karena ia pernah merampas barang antaran untuk Tian Seng-su kemudian mengadu biru di gedung ciat-to-su, maka ia merupakan seorang gembong penyamun. Mengetahui tentang riwayat anak muda itu, setibanya di Tiang-an, Se-kiat menasehati agar Khik-sia jangan sembarangan keluar rumah.

Rupanya Tiau-ing mengindahkan nasehat Se-kiat itu. Setibanya di sarang, jangankan keluar rumah sedang keluar ke halaman luar saja, ia tak mau. Ia tetap menyekap diri di dalam kamarnya saja. Sebaliknya Khik-sia tak betah mengalami 'tahanan' semacam itu. Meskipun Se-kiat telah menjanjikan akan menyuruh orang untuk menyirapi jejak Yak-bwe, namun Khik-sia tetap belum tentram hatinya.

Pada hari kedua, ia tak dapat menahan diri lagi dan keluar untuk mencari berita. Memang dalam hati anak muda itu terbit perbantahan sendiri. Ia tak berani mengharap untuk berbaik kembali dengan Yak-bwe, namun suara hatinya memaksanya supaya ia menemui nona itu lagi. Sekalipun hanya melihat saja, bahkan mendengar beritanya saja, puaslah sudah rasa hatinya. Sebagai kota raja, Tiang-an itu amatlah luasnya. Luasnya tak kurang dari puluhan li,

mempunyai sembilan jalan raya dan enam buah distrik. Penduduknya penuh sesak. Untuk mencari seseorang di kota Tiang-an, adalah seperti mencari jarum di dalam laut. Namun dengan untung- untungan Khik-sia ayunkan langkahnya mencari kemana-mana, Tiap saat ia selalu memperhatikan orang yang dijumpainya di jalanan, manakala orang itu mempunyai ciri-ciri sebagai kaum

persilatan.

Tak sengaja ia telah tiba di muka sebuah lapangan.   Orang berjejal-jejal mengerumuni, genderang berbunyi riuh rendah. Sebuah bendera besar, terpancang di tengahnya, berkibar-kibar tertiup angin. Ternyata lapangan luas itu adalah tempat pertandingan silat, dimana seorang persilatan tengah menjajakan kepandaiannya untuk mencari uang. Memang hal itu sudah lazim

terdapat di dunia persilatan. Memang ada yang khusus mengadakan demonstrasi kepandaian silat sambil menjual obat-obatan, tapi ada juga yang dilakukan oleh seorang persilatan apabila ia keputusan uang di jalanan.

Khik-sia tak begitu menaruh perhatian. Tiba-tiba terdengar percakapan dari beberapa penonton yang berada di sebelahnya. Kata salah seorang: ”Ai, mungkin sekali ini lain dari yang lain. Seorang nona hendak membuka adu pertandingan silat untuk mencari jodoh!”

Kata kawannya: ”Untuk pertandingan Eng-hiong-tay-hwe besok pagi itu, rakyat tentu tak dapat masuk kemari. Tapi dengan adanya beberapa pertandingan sekarang ini, rasanya dapat menjadi obat pelipur kecele.”

”Seluruh ahli di kolong jagad berkumpul di kota raja ini. Menggunakan kesempatan itu buat cari jodoh memang jalan paling tepat. Tapi entahlah, cantik tidak barang 'hadiah'nya itu, ya?” menyeletuk kawannya yang lain.

Tertawa seoran pula: ”Perlu apa sih kau ngiler? Kau toh tak mengerti silat, sekalipun nona itu secantik bunga, kaupun tak ada harapan menyuntingnya. Perlu apa kau pusingkan ia cantik atau tidak? Sebaliknya yang kupikirkan, bagaimanakan kepandaian silat nona itu. Jika begitu keluar dalam beberapa gebrak saja sudah rubuh, bukankah akan mengurangi kesenangan tontonan ini?” Yang pertama kali membuka mulut tadi, berkata pula: ”Dengan berani membuka pertandingan sehari di muka pertandingan Eng-hiong-tay-hwe ini, tentulah nona itu tidak rendah kepandaiannya.”

Ketika Khik-sia mendongak, dilihatnya memang pada bendera itu terdapat empat buah huruf

yang berbunyi 'mencari jodoh dengan bertanding'. Pikirnya: ”Seorang nona yang betul-betul berisi, tentu tak sudi membuka pertandingan cari jodoh semacam begini. Mungkin hanya bangsa nona persilatan yang tengah keputusan bekal, untuk mencari tempat 'meneduh' ia lantas mencari jodoh. Tapi, iseng-iseng menonton juga tak apalah.”

Di tengah lapangan itu terdapat seorang gadis dan seorang lelaki tua. Rupanya mereka itu ayah dan anak. Potongan muka gadis itu menarik juga. Pada saat Khik-sia datang tadi, rupanya kata-

kata pembukaan telah diucapkan oleh orang tua itu. Dan ada seorang berseru tanya: ”Jadi tua muda, buru bagus, asal dapat mengalahkan anak perempuanmu lantas boleh mengawininya?”

”Benar, tapi hanya ada kecualiannya, ialah orang yang sudah beristeri tak boleh turut dalam pertandingan ini,” sahut pak tua.

”Bagus, aku baru berumur tiga puluh, belum beristeri. Aku mau mencoba!” belum habis pak

tua memberi keterangan, seorang lelaki berteriak menukasnya. Dia seorang lelaki bermuka brewok, suaranya keras seperti guntur.

Malah begitu tiba di tengah gelanggang, si brewok itu sudah lantas mengacungkan sepasang tinjunya dan berseru: ”Calon isteri, jika aku sampai terlalu keras memukulmu, kau harus lekas-lekas kasih tahu, ya?”

”Silahkan memukul dengan sekuat-kuatnya, kukuatir kau tak dapat memukulku,” sahut si nona. Tanpa banyak bicara, si brewok lantas ayunkan tinjunya, tapi dengan lincah dapatlah nona itu menghindarinya. Malah dengan gaya gerakan tubuh yang lemah gemulai, nona itu berputar dan sekali tangannya menyambar ke lambung, rubuhlah si brewok itu. Gegap gempita para penonton bertampik sorak karena gelinya.

”Nona itu lihay juga, bukan seperti nona penjaja silat yang kebanyakan. Gerakan kakinya entah dari aliran partai mana itu. Aku seperti pernah melihat gerakan semacam itu, tapi di mana, ya? Baiklah, kulihat lagi barang sekali dua jurus,” pikir Khik-sia.

Si brewok merangkak bangun dan berseru: ”Lihay benar, aku tak berani lagi mengambilmu sebagai isteri.”

Baru ia tinggalkan lapangan, seorang lain sudah tampil ke muka lagi. Dengan tertawa gelak- gelak, orang itu berseru: ”Aku sih tak takut mempunyai isteri galak. Ayo, jadi isteriku sajalah.” Rupanya ada seorang penonton yang kenal dengan orang yang masuk ke tengah gelanggang itu. Berkatalah penonton itu: ”Ini kan Siong suhu yang membuka rumah perguruan di pintu selatan sana. Ilmu silatnya tong-pi-kun hebat sekali. Kali ini pertandingan tentu ramai benar.”

Saat itu kedengaran si nona berkata: ”Jika bisa menangkan aku, nanti baru bicara lagi!”

Orang she Siong agak membungkuk ke bawah lalu tiba-tiba loncat menerjang dengan sepasang tangannya. Gayanya mirip benar dengan kera. Tapi bagaimana serunya ia menyerang, dalam sepuluh jurus saja iapun kena disengkelit oleh si nona sampai jatuh terlentang. 

Kini, mulailah tertarik perhatian Khik-sia. Tapi perhatiannya itu bukan karena mengagumi kepandaian si nona, melainkan aliran ilmu silat nona itu. Kalau kepandaian si nona, tetap Khik-sia pandang enteng. Yang Khik-sia herankan ialah gaya ilmu silat nona itu tak sama dengan cabang persilatan yang manapun di dunia Tiong-goan. Walaupun pertandingan itu diperuntukkan cari

jodoh hingga tak perlu sampai harus ada yang binasa, tetapi nona itu selau menggunakan jurus-jurus yang ganas, seolah-olah hal itu sudah menjadi kebiasaannya. Hanya saja jelas kelihatan oleh Khik- sia, setiap kali menghantam, nona itu hanya menggunakan satu atau dua bagian tenaganya saja.

Itulah sebabnya maka guru silat she Siong tadi, hanya tersengkelit jatuh tapi tak sampai terluka berat.

Diam-diam timbullah pertanyaan dalam hati Khik-sia: ”Murid siapakah ia itu? Mengapa makin kuperhatikan, permainannya silat itu makin serupa dengan apa yang pernah kulihatnya?”

Baru ia berpikir begitu, ada pula seorang yang tampil ke tengah gelanggang. Ia seorang sasterawan yang berumur lebih kurang 30 tahun. Dengan menggoyang-goyangkan kipasnya, bergayalah sasterawan itu dengan tutur bahasanya yang sopan-santun: ”Siau-seng (hamba) Kim Ceng-ho hendak mohon pengajaran barang beberapa jurus kepada nona.”

”Anakku, hati-hatilah. Tuan ini adalah putera Kim Ting-gak, pemimpin dari gabungan kantor piau-kiok (pengangkutan barang) di Tiang-an yang terdiri dari 13 buah piau-kiok,” kata si pak tua

memperingatkan gadisnya. Kemudian ia mintakan kelonggaran kepada si pemuda itu: ”Mohon tuan suka memberi kemurahan hati.”

Kim Ceng-ho agak terkesiap: ”Ah, tak nyana pak tua itu tahu tentang diriku.” -- Memang ia adalah putera tunggal dari Kim Ting-gak. Karena keliwat menyayang akan puteranya, maka meskipun Ceng-ho tlah diberi ilmu kepandaian warisan keluarga Kim dan umurnyapun sudah

hampir 30, tapi selama ini belum pernah ditugaskan untuk mengawal barang antaran. Mengapa kali ini Ceng-ho mau unjuk diri adalah karena tergerak hatinya melihat paras si nona yang cantik. Di samping itu iapun ingin juga untuk mengukur kepandaiannya sendiri yang selama itu belum pernah digunakan.

Kim Ting-gak termasyhur dan menggetarkan dunia persilatan. Ceng-ho tahu semua orang jeri kepada sang ayah, maka meskipun Ceng-ho itu sendiri belum pernah mengawal apa-apa, tapi semua piau-su (jago silat yang ditugaskan mengawal barang) sama mengindahkan padanya. Hal ini menyebabkan timbulnya kecongkakan Ceng-ho. Ia merasa telah mewarisi seluah kepandaian sang ayah, maka kalau ayahnya tak ada yang dapat menandingi, ia anggap iapun begitu juga. Siapa tahu bahwa di atas langit itu masih ada langit, orang yang pandai masih ada yang melebihi pandai lagi.

Adanya Kim Ting-gak selalu sukses dalam perusahaannya itu, bukan disebabkan karena ia itu lihay tiada lawannya, tetapi karena supel dan luasnya pergaulannya dalam dunia persilatan. Kalau hanya mengandal kepandaian saja, masih banyak sekali jago-jago yang lebih lihay darinya.

Tapi Kim Ceng-ho telah menafsirkan keliru. Bahwa pak tua itu mengenal dirinya  dan memohonkan kasihan untuk anaknya, telah membuat Ceng-ho kegirangan sekali. Dengan menggoyang-goyangkan kipasnya, berkatalah ia: ”Ah, jangan terlalu merendah. Puterimu cantik dan gagah, aku sangat mengaguminya. Kita nanti hanya main-main sampai batas tertentu saja, tak sampai melukai puterimu.”

Diam-diam marahlah nona itu, namun wajahnya tetap tenang. Tawar-tawar ia berkata: ”Janganlah tuan Kim berlaku sungkan. Kaki dan tangan itu tiada bermata. Jika nanti aku sampai kesalahan tangan dan melukai tuan, harap tuan jangan ambil marah.”

”Ha, sampai di mana kelihayanmu berani membuka mulut besar? Ayo, baik-baiklah kau minta pengajaran dari tuan Kim,” si pak tua mendampratnya.

Mana Ceng-ho tahu bahwa kata-kata pak tua itu sebenarnya dimaksud untuk memperingatkan si nona supaya jangan keliwat ganas terhadap Ceng-ho. Maka tertawalah ia gelak-gelak: ”Puterimu bicara dengan terus terang.   Aku ingin berkenalan dengan kepandaian puterimu. Harap nona berkelahi dengan sungguh-sungguh.”

Ia yakin tentu menang. Soalnya bagaimana ia dapat merebut kemenangan itu dengan cara yang gemilang, jangan sampai melukai tapi dapat menundukkan betul-betul nona itu.

Tapi apa nyatanya? Dalam beberapa jurus saja, Kim Ceng-ho segera terkejut sekali. Nona itu mempunyai gaya permainan yang aneh. Makin mendapat lawan yang lihay, makin ganas reaksinya. Tadi karena dua lawannya yang terdahulu hanya biasa saja kepandaiannya, maka nona itupun tak begitu kelihatan menyolok. Tapi kini berhadapan dengan Kim Ceng-ho, barulah berkembang betul- betul kepandaiannya. Tangan memukul, jari menusuk. Setiap serangannya selalu mengarah jalan darah berbahaya di tubuh Ceng-ho.

Kini baru terbukalah mata Kim Ceng-ho bahwa nona itu ternyata lebih lihay daripadanya. Ia terperanjat tapi segera menjadi gusar. Pikirnya: ”Terang kau sudah tahu aku ini siapa, tetapi malah hendak membikin malu. Bagus, karena kau tak sungkan padaku, jangan salahkan akupun berlaku kejam padamu.”

Secepat kilat ia lantas mengambil kipas yang sebenarnya diselipkan di belakang punggung.

Begitu nona itu tiba dengan pukulannya, Ceng-ho mengisar kakinya dan berputar tubuh. Tahu-tahu kipasnya sudah mengancam jalan darah lo-kion-hiat di telapak tangan si nona.

Benar kepandaian silat dari Ceng-ho itu tak menang dengan si nona. Tapi ilmu tutuk yang diwarisi dari keluarganya, memang hebat sekali. Sebagai seorang ahli, demi mengetahui gerakan Ceng-ho yang menutuk begitu cepat dan tepat pada sasarannya, diam-diam ia gentar juga. Buru- buru ia tarik pulang tangannya. Tapi setelah mendapat angin, Ceng-ho tak mau memberi hati lagi. Kipas dimainkannya dengan gencar. Dalam beberapa saat nona itu kerepotan karena tak paham akan gerak serangan orang yang begitu aneh sehingga ia terpaksa mundur beberapa langkah.

Kipas berbeda dengan pedang dan golok.  Bagi orang biasa, kalau hanya memegang sebatang kipas saja, tentu tak dapat melukai orang. Tapi ditangan seorang ahli tutuk, kipas itu dapat berubaha menjadi suatu senjata yang hebat. Ilmu tutuk pada hakekatnya harus berada dekat atau lekat pada sasarannya. Dengan tambah memakai kipas, berarti lengan tangan bertambah panjang, jadi lebih leluasa daripada hanya dengan tangan kosong saja. Apalagi kipas Ceng-ho itu rangkanya terbuat dari pada batang baja murni, jauh berlainan dengan kipas kebanyakan.

Dengan seorang nona penjual silat saja, Ceng-ho harus menggunakan kipas untuk

menghadapinya, rupanya sekalian penonton sama berseru heran malah ada yang mengejek. Semua orang tahu bahwa Ceng-ho itu adalah putera dari Kim Ting-gak yang termasyhur. Sudah tentu

Ceng-ho malu dan marah-marah.  Pikirnya: ”Untung dalam pertandingan ini, mereka berdua (pak tua dan gadisnya) tak menyebut-nyebut larangan memakai senjata. Aku tak mau pedulikan bagaimana comelan orang-orang, pokok rubuhkan dulu nona ini baru bicara lagi. Hm, aku sih tak mengharap mendapakan ia sebagai isteri, tapi urusan ini sudah berlarut sedemikian rupa, aku harus menjaga mukaku.”

Dalam berisik dengusan para penonton, Ceng-ho gencarkan serangannya. Nona itu mundur beberapa langkah. Tiba-tiba entah karena kesandung batu atau karena gugup, nona itu terhuyung- huyung dan begitu kehilangan keseimbangan badan, ia lantas tersungkur jatuh. Ceng-ho girang sekali, cepat kipas ditutukkan ke arah jalan darah ih-gi-hiat si nona, ”brak” astaga kipas pecah

menjadi dua. Ternyata nona itu sengaja gunakan siasat menjatuhkan diri. Begitu kipas menyentuh pakaiannya, secepat kilat ia lantas menghantam dan menyambarnya.

Si nona memungut pecahan kipas dan diberikan kepada Ceng-ho, katanya dengan tertawa: ”Tuan Kim, maaf beribu maaf, aku telah merusakkan kipasmu!”

Pecahlah seketika sorak-sorai pujian dari para penonton. Ceng-ho merah padam mukanya. Sungguh sayang tak ada lubang untuknya menyembunyikan diri dari adegan yang memalukan itu. Walaupun kipas itu terbuat dari lembaran baja tipis, namun dengan enak saja si nona dapat merobeknya, hal ini membuatnya melongo. Kepandaian yang dimiliki si nona itu sungguh mengejutkan orang. Seperti dikejar setan, Ceng-ho segera angkat kaki seribu di bawah tampik sorak para penonton.

Kini mau tak mau terkesiap juga hati Khik-sia. Tapi kejutnya itu bukan kagum akan kepandaian

si nona melainkan aliran ilmu silatnya. Setelah memperhatikan bagaimana dengan tangan kosong si nona menjatuhkan tiga orang penantangnya, kini barulah Khik-sia dapat menentukan bahwa aliran ilmu silat nona itu sama dengan Su Tiau-ing. Gerakan tangan kosong dari nona itu serupa dengan gerakan pedang Su Tiau-ing.

”Tiau-ing belum pernah mengatakan kalau ia mempunyai saudara seperguruan, tapi dari gaya permainan nona ini teranglah satu aliran dengan Tiau-ing. Malah dalam kemahiran, nona ini lebih unggul dari Tiau-ing. Dalam kalangan wanita persilatan angkatan muda, mungkin nona inilah yang nomor satu. Ia begitu lihay, perlu apa mengadakan pertandingan cari jodoh?” pikir Khik-sia dengan heran.

Karena mengira hanya menonton seorang nona persilatan biasa yang hendak mencari jodoh maka bermula Khik-sia tak begitu menaruh perhatian. Pikirnya, sebentar ia segera hendak pergi. Tapi setelah mendapatkan bahwa nona itu ternyata salah seorang murid dari Shin Ci-koh, ia batalkan rencananya. Akhirnya ia putuskan untuk mengikuti pertandingan itu sampai akhir dan tangguhkan rencananya untuk mencari Yak-bwe.

Setelah dapat menjatuhkan pemimpin muda dari Cap-sa-ke-piau-kiok yakni Kim Ceng-ho, tiada seorangpun yang berani tampil ke muka lagi. Pak tua berkeliling mengitari lapangan lalu berseru: ”Ksatria mana lagi yang sudi memberi pelajaran pada anakku ini?”

Entah disengaja atau tidak, mata pak tua itu tertumbuk pada Khik-sia. Khik-sia pura-pura tak tahu dan tundukkan kepala, pikirnya: ”Jika bukan dengan hadiah puterimu, mungkin aku senang untuk main-main. Aku sudah cukup banyak mendapat kesulitan, tak mau mencari gara-gara lagi.” Saat itu si nona kedengaran berseru: ”Kabarnya besok pagi itu Eng-hiong-tay-hwe akan dibuka, sudah tentu para jago dari seluruh penjuru sudah berada di kota ini, tapi mengapa seorangpun tak kelihatan batang hidungnya?”

Memang di antara penonton itu terdapat beberapa jago yang akan turut dalam pertandingan

Eng-hiong-tay-hwe besok pagi. Sudah tentu mereka merah dengan kata-kata si nona itu. Tapi pada umumnya mereka itu adalah tokoh-tokoh yang mempunyai nama. Kalau sampai dirubuhkan oleh si nona bagaimana mereka ada muka untuk turut dalam pertandingan besok? Maka walaupun marah, terpaksa mereka tak mau tampilkan diri.

Tiba-tiba terdengar seseorang berseru dalam nada yang brengsek: ”Budak perempuan, jangan omong besar. Selama hidup di dunia 40 tahun, aku belum mendapat isteri. Rupanya sekarang jodohku sudah datang!”

Dari salah sebuah sudut penonton tampak menciak ke pinggir.  Seorang lelaki bertubuh kokoh kekar menerobos masuk. Mukanya hitam seperti pantat kuali, matanya melolo menghadap ke atas, berkumis kaku dan mempunyai dua buah taring (gigi) yang menonjol keluar pada bibirnya. Buruk sekali wajah orang itu.

Si nona menyambutnya dengan tertawa menghina: ”Ah, mungkin kau salah alamat, lihat seranganku!”

Si hitam menangkis dan tertawa: ”Tidak salah lagi, kau benar-benar isteri idam-idamanku.” Si nona gunakan kelincahannya untuk melejit ke samping si Hitam. Sambil menampar ia mendamprat: ”Kau seperti katak yang menginginkan angsa alias orang yang tak tahu diri!”

Tamparan itu diarahkan ke telinga, tapi rupanya si Hitam boleh juga. Dengan lengkungkan pinggang dapatlah ia menghindari, tapi dalam pada itu ia sengaja membelakangi si nona. Dengan demikian tamparan si nona bukan mengenai telinga, melainkan kena punggungnya.

”Ha, ha, gatal sekali punggungku. Keras lagi jika mengukur, ya? Kau kecewa karena aku bermuka buruk? Ha, ha, siapa yang suruh kau bertanding cari jodoh? Aku si katak jelek ini tentu akan berhasil mendapatkan kau!” seru si Hitam tergelak-gelak.

Melihat Si Hitam kasihkan punggungnya dihantam, para penonton mengira kalau ia tentu

hendak membanyol. Tapi bagi si nona sendiri, hal itu telah menimbulkan kekagetannya. Ternyata tangannya yang mengenai punggung Si Hitam itu rasanya seperti membentur papan besi sehingga terasa kesakitan sekali. Kini barulah ia tahu bahwa Si Hitam itu memiliki ilmu lindung kim-ciong- toh.

”Aku harus menggunakan akal untuk mengalahkannya, tak boleh gunakan kekerasan,” pikirnya. Seketika ia lantas rubah gaya serangannya. Pukulannya dilancarkan secepat angin puyuh. Tapi setiap pukulan sengaja dilewatkan di sisi sasarannya, tidak dikenakan.  Makin lama gerakan nona itu makin kencang sehingga si Hitam seolah-olah seperti dikepung oleh bayangan si nona. Dalam rabuannya itu, disertai juga gerakan menutuk jalan darah. Hanya sebagaimana dengan pukulannya, pun tutukannya itu tidak dikenakan pada sasarannya.

Para penonton menjadi kagum dengan gaya permainan si nona. Mereka menghamburkan pujian dengan sorak sorai. Sebaliknya diam-diam Khik-sia menguatirkan keadaan nona itu, pikirnya: ”jika bukan pertandingan cari jodoh, apabila memang tak ungkulan lantas boleh tinggalkan gelanggang. Tapi dalam hal seperti ini ia harus berkelahi sampai kalah atau menang. Si Hitam itu lihay sekali, sekalipun dapat memukul lubang kelemahan tubuhnya, tapi dengan kepandaian si nona yang dimilikinya, rasanya sukar untuk melukai orang itu. Jika pertempuran berjalan lama, nona itu tentu akan mengalami kerugian.”

Hanya dalam beberapa kejap saja, nona itu sudah menjamah rata ke-36 jalan darah di tubuh Si Hitam. Tiba-tiba Si Hitam tertawa gelak-gelak: ”Kau hendak mencari lubang kelemahan tubuhku? Nanti kalau sudah jadi suami isteri, tentu kuberitahukan.”

Kiranya ilmu lindung kim-ciong-toh itu serupa dengan thiat-poh-san. Tentu ada satu dua bagian jalan darah yang tak dapat ditutupi dengan ilmu itu. Lubang kelemahan itu dalam istilah persilatan disebut toh-bun. Jika dapat menemukannya, sekali menutuk dengan ciong-chiu-hwat (tutukan keras), tentu rubuhlah orang itu. Dengan menjamahi seluruh jalan darah Si Hitam tadi, si nona memang hendak mencari dimana letak toh-bun itu. Tapi enak saja lagak Si Hitam itu, seolah-olah

ia tak punya lubang kelemahan sama sekali. Oleh karena itu, maka betapapun usaha si nona hendak mencarinya, tetap tak berhasil.

Diolok begitu macam oleh Si Hitam, marahlah si nona. Sekonyong-konyong ia maju merapat terus gunakan jurus ji-liong-tham-cu atau naga berebut mustika, untuk menutuk mata Si Hitam. ”Biar bagaimana masakan kau dapat melatih ilmu ki-ciong-toh sampai ke bagian matamu,” pikirnya.

Tapi diluar dugaan kali ini Si Hitam sudah siap sedia. Tiba-tiba ia ngangakan mulut, dua baris giginya yang besar-besar dan putih-putih segera menggigit ujung jari si nona. Kejut si nona bukan kepalang, buru-buru ia tarik pulang tangannya. Dengan begitu serangannya tadi pun kena dipatahkan oleh Si Hitam.

Si Hitam tertawa geli: ”Bagus, sekarang kita berkenalan lebih dekat.” --   Ia pentang kedua tangannya terus hendak memeluk tubuh si nona. Ternyata gerakannya tak kalah gesitnya dengan si nona. Benar gerak permainannya itu bukan suatu gerak yang lihay, tapi justeru gerakan ketolol- tololan itulah yang menyebabkan si nona mati kutu.

Seperti telah diterangkan, sekeliling gelanggang itu dipagari dengan penonton yang berjubal- jubal. Si nona hanya dapat main kucingan di dalam lingkungan situ karena tak berdaya untuk menerobos keluar dari pagar manusia. Dengan pentang kedua tangan seperti harimau hendak menubruk anak kambing, walaupun seketika tak dapat memperoleh hasil, tapi lama kelamaan apabila nona itu sudah kepayahan, tentulah akan kena dipeluknya.

Benar juga beberapa saat kemudian, tampaknya nona itu sudah mandi keringat. Sekali sang

kaki agak lambat, iapun segera kena ditubruk Si Hitam yang terus memeluk pinggangnya. Dengan tertawa gelak-gelak berserulah Si Hitam: ”Si katak berhasil menubruk angsa! Ayo kita menjura, menjura untuk menghadap pada bapak mertua, aduh!”

Entah apa sebabnya tiba-tiba mulut Si Hitam mengaduh kesakitan, kedua tangannya terkulai melepaskan pelukannya. Bermula si nona masih mengira kalau Si Hitam main aksi, maka segera ia memberi persen sebuah sikutan kepadanya. Di luar dugaan, Si Hitam menjerit: ”Kau, kau ganas sekali!” -- Sekali mulutnya menguak, segumpal darah segar segera muncrat dari mulutnya, orangnya pun terus terjerembab jatuh!

Memang sikutan si nona itu keras dan tepat sekali jatuhnya. Para penonton yang kebanyakan

tak mengerti ilmu silat, demi melihat si nona dapat merebut kemenangan dalam kekalahannya, sama bersorak memuji. Tapi anehnya si nona sendiri termangu-mangu, pikirnya: ”Orang lihay siapakah yang diam-diam membantu aku tadi? Ia mempunyai kepandaian begitu lihay, mengpa tak mau maju ke dalam gelanggang sendiri?”

Siapakah gerangan yang menjatuhkan Si Hitam itu? Kiranya pembaca tentu sudah dapat menebak dengan segera. Ya, benar, memang Khik-sialah yang diam-diam telah gunakan ilmu kek- gong-tiam-hwat atau menutuk jalan darah dari kejauhan, untuk menutuk jatuh Si Hitam. Kesatu, karena Khik-sia agak sebal melihat tingkah laku Si Hitam yang begitu jumawa. Kedua, karena setelah melihat bahwa nona itu tunggal seperguruan dengan Tiau-ing, diam-diam ia memang sudah bersiap untuk memberi bantuan.   Khik-sia adalah seorang ahli silat besar. Dalam beberapa jurus saja dapatlah sudah ia mengetahui di mana letak toh-bun Si Hitam itu, yakni di tempat jalan darah wi-kiong-hiat di sela ketiak belakang Si Hitam. Kebetulan sekali ketika Si Hitam memeluk si nona tadi, ia berdiri membelakangi Khik-sia, apalagi jaraknya tak begitu jauh.   Sekali lancarkan ilmu tutuk kek-gong-tiam-hwat, kenalah jaland arah wi-kiong-hiat Si Hitam. Ilmu tutukan itu jauh lebih lihay dari ilmu tutuk cong-chiu-hwat, sudah tentu Si Hitam tak kuat menahannya lagi. Tapi Khik- siapun sama sekali tak mengira bahwa si nona bakal membarengi dengan sebuah sikutan. Saat itu hawa murni Si Hitam sedang terluka akibat tutukan Khik-sia, maka begitu menerima sikutan si

nona yang tepat mengenai jalan darah suan-ki-hiat di dadanya, dengan begitu muka belakang kena digempur, pecahlah ilmu lindung kim-ciong-toh dari Si Hitam.

Terkapar di tanah, Si Hitam terus muntahkan darah. Melihat itu para penonton yang bernyali

kecil sudah lantas ketakutan. Ada salah seorang yang berseru: ”Celaka, jangan-jangan bakal terjadi perkara berdarah nih!” -- Beberapa kejap saja sudah separuh bagian dari penonton yang sama tinggalkan lapangan itu.

Rupanya si nona tadipun menjadi gugup. Buru-buru ia menghampiri dan menolongi Si Hitam sambil berseru kepada pak tua: ”Lekas ambil arak obat buat diminumkan.”

Saat itu Khik-sia pun berada di tengah para penonton hendak tinggalkan tempat itu. Tapi tiba- tiba terdengar seseorang berseru menggeledek: ”Hai, siapakah yang melukai muridku?” Seorang tua bertubuh tinggi besar dan pinggangnya agak bungkuk, masuk ke tengah gelanggang. Astaga, itulah dia si Chit-poh-tui-hun Yo Bok-lo. Khik-sia terperanjat, buru-buru ia

hentikan langkah. Bukan karena takut pada Yo Bok-lo, melainkan Khik-sia tak mau terbitkan onar di kota raja situ. Untung Yo Bok-lo tadi dari luar masuk ke dalam, coba ia dari dalam berjalan keluar, tentu berpapasan dengan Khik-sia. Setelah berhenti, Khik-sia pun lantas menyusup ke tengah rombongan penonton. Pikirnya: ”Biar kulihat bagaimana iblis itu akan bertindak? Jika ia akan membikin susah nona itu, terpaksa aku akan unjuk diri!”

Rupanya Yo Bok-lo marah besar. Setelah memeriksa sejenak kearah Si Hitam, wajah iblis tua itu mengerut keheranan. Segera ia menutuki beberapa jalan darah di tubuh sang murid untuk

menghentikan darahnya yang muntah keluar. Setelah berhenti muntah darah dengan mata mendelik Si Hitam angkat kepalanya dan berseru parau kepada suhunya: ”Suhu, harap balaskan sakit hati murid ini!”

”Siapa yang melukaimu, tahukah?” tanya Yo Bok-lo.

Pertanyaan itu membuat sekalian penonton heran. Siapa lagi yang melukai kalau bukan si nona penjual silat itu, demikian pikir mereka.

Si Hitam menerangkan tentang pertandingan dengan si nona tadi. ”Entah dengan cara bagaimana, wanita siluman itu telah pecahkan kim-ciong-toh murid,” katanya.

”Apakah dia?” tanya Yo Bok-lo dengan dingin sembari melirik tajam-tajam ke arah si nona.

Si pak tua tertawa meminta maaf dengan nada yang lemah: ”Karena kesalahan tangan, anakku telah melukai muridmu. Terimalah maafku si orang tua ini.”

Yo Bok-lo tak mempedulikan, matanya tetap melekat ke arah si nona. Sudah tentu si nona menjadi tak suka, serunya: ”Telah diterangkan kalau bertanding silat, tinju kita tak bermata. Siapa suruh muridmu masuk gelanggang? Siapa yang mati atau luka, harus menerima nasib dengan senang hati!”

Melihat Yo Bok-lo bersikap garang, rupanya si pak tua menjadi kebingungan, serunya: ”Tuan Yo, harap sudi memandang muka suhunya!”

Yo Bok-lo terkesiap: ”Ho, kiranya kau juga kenal padaku?” -- ”Siapakah suhunya?” tiba-tiba ia membentak seraya menampar si nona.

Rupanya si nona sudah berjaga-jaga.   Ia segera keluarkan ilmu ajaran suhunya yakni dalam jurus heng-hun-toan-hong atau awan melintang memotong puncak. Sambil menangkis dan menyerang yakni dengan segera memotong ia menabas lengan Yo Bok-lo, sedang tangannya kiri menyusup ke bawah tangannya kanan untuk menutuk jalan darah kiok-ti-hiat di pergelangan siku lengan orang.

Indah sekalipun jurus yang digunakan nona itu, namun tetap tak dapat menandingi kepandaian Yo Bok-lo. Belum lagi tangannya itu mengenai tubuh Yo Bok-lo, si nona merasa seperti didorong

oleh suatu tenaga maha kuat sehingga tanpa dapat dikendalikan lagi tubuhnya mencelat ke udara! Bahwasanya Yo Bok-lo sebagai seorang cian-pwe persilatan telah menyerang secara tiba-tiba pada seorang nona, telah tak diduga sama sekali oleh Khik-sia. Tapi karena ia berada di tengah- tengah penonton, maka sudah tak keburu untuk mencegahnya. Lebih kaget lagi ia ketika si nona kena dilemparkan ke udara. Ia tahu sampai dimana kepandaian Yo Bok-lo dan nona itu tentu akan amblas jiwanya.

Pada saat Khik-sia terperanjat dan hendak menobros maju, tiba-tiba dilihatnya tubuh nona itu berjumpalitan di udara dan terus melayang turun. Tiba di tanah berputar-putar seperti gasingan baru dapat berdiri tegak. Sebagai seorang ahli silat, Khik-sia cepat mengetahui bahwa nona itu selamat tak kurang suatu apa. Hanya karena tubuhnya masih diregut tenaga dorongan maka ia sengaja berputar-putar untuk menghilangkannya. Kini dapatlah Khik-sia menarik napas longgar, pikirnya: ”Kiranya iblis tua itu sengaja mau menjajal orang saja. Ia hanya gunakan tenaga dorong-tarik. Ha, membikin kaget saja.”

Terdengar Yo Bok-lo tertawa gelak-gelak: ”Ho, kiranya kau ini murid Shin Ci-koh!” -- Tiba-tiba ia berhenti tertawa dan berseru dengan keren: ”Tapi sekalipun murid Shin Ci-koh, dengan

kapandaian yang kau miliki ini, tak nanti kau mampu melukai muridku tadi!  Siapakah yang diam- diam membantumu? Ayo, lekas bilang dan kau boleh bebas. Ketahuilah bahwa bukannya aku takut kepada suhumu, tetapi penasaran harus ditumpahkan pada biang keladinya. Karena bukan kau yang berbuat maka akupun tak mau membikin perhitungan padamu!”

”Ih, aneh ini. Jadi ada orang yang diam-diam membantuku? Aku sendiri tak tahu hal itu!”

sahut si nona itu. Tapi sebenarnya iapun sudah mengetahui tentang hal itu, hanya karena ia merasa berterima kasih dengan orang itu maka ia pura-pura tak tahu agar orang itu jangan terembet. Pun dari ucapan Yo Bok-lo tadi, sebenarnya iblis itu sedikit jeri juga terhadap suhunya (Shin Ci-koh).

Kalau tidak begitu, perlu apa ia (Yo Bok-lo) mengemukakan alasan-alasan begitu?

”Rupanya iblis tua ini tak berani membikin susah padaku. Kalau penolongku tadi tak dapat diketemukan, tak nanti iblis tua itu menarik panjang urusan ini. Apalagi aku memang sungguh- sungguh tak tahu siapa penolongku itu?” pikirnya lebih lanjut.

Rupanya Yo Bok-lo setengah percaya akan keterangan nona itu, pikirnya: ”Orang itu gunakan ilmu tutuk kek-gong-tiam-hiat. Jika sebelumnya budak perempuan ini tak bersekutu dengan orang itu, masakan ia tahu siapa orangnya.”

Dengan kesimpulan itu Yo Bok-lo tak mau mengorek keterangan dari si nona lagi. Ia

melangkah maju dua tindak, matanya berkeliaran memperhatikan ke sekeliling penonton, serunya dingin-dingin: ”Plintat- plintut membokong orang secara gelap bukanlah laku seorang ksatria! Hm, sudah berani berbuat mengapa tak berani unjuk muka?”

Marahlah Khik-sia dihina begitu. Jika di lain tempat tentu ia segera maju ke muka. Tapi lapangan itu adalah tempat latihan berbaris dari kota raja. Selagi ia hampir tak kuat menahan kemarahannya, tiba-tiba terlintas dalam pikirannya pesan Se-kiat supaya jangan timbulkan gara- gara. Pikirnya: ”Benar aku tak takut pada iblis tua itu. Tapi jika bertempur di sini tentu akan ketahuan juga. Malah kalau tak kebetulan bisa merembet Bo-toako nanti. Ah, biar, biarlah aku bersabar sementara waktu. Kelak tentu masih ada kesempatan untuk menghajarnya lagi.”

Terang kalau tak terpaksa, Khik-sia tak mau berkelahi dengan Yo Bok-lo. Setelah mengetahui bahwa Yo Bok-lo sudah tahu siapa suhu dari nona itu, Khik-sia memperhitungkan tentu iblis tua itu tak berani mengganggu si nona lagi. Maka iapun mengambil putusan tinggalkan tempat itu.

Dengan pikiran itu tanpa disengaja Khik-sia sudah mengisar ke deretan muka, sedianya dari situ mudahlah ia untuk keluar. Siapa tahu tiba-tiba Yo Bok-lo berseru membentaknya: ”Bagus, kiranya kau bangsat kecil!”

Malah begitu membentak, tinjunya pun sudah dilayangkan ke arah kepala Khik-sia, bluk, bluk,

.... terdengar suara tubuh yang jatuh gedebukan.

”Celaka! Penolongku kena dipukul mati oleh iblis tua itu!” si nona tersentak kaget. Tapi baru ia menduga begitu, tiba-tiba dilihatnya ada sesosok tubuh melambung ke udara, melayang melampaui kepala para penonton. Gerakannya ringan tangkas laksana seekor burung elang

menerobos hutan. Di tengah udara orang itu berjumpalitan dan melayang turun belasan tombak jauhnya di tempat yang tiada orangnya.

Itulah Khik-sia yang kuatir akan mencelakai para penonton lantas gunakan gin-kang untuk melayang keluar. Tapi sekalipun begitu tak urung dua orang penonton terkapar jatuh karena tersambar angin pukulan si iblis tua. Yang seorang patah dua buah tulang rusuknya, yang seorang patah lengannya. Untung tak sampai mengorbankan jiwanya.

Sebenarnya si nona dan pak tua tadi sudah melihat Khik-sia di antara rombongan penonton. Memang sudah diduganya bahwa Khik-sia itu tentu bukan pemuda sembarangan. Tapi bahwasanya Khik-sia itu ternyta sedemikian lihaynya, sungguh tak diduga sama sekali oleh nona itu. Diam-

diam nona itu terperanjat dan kagum, pikirnya: ”Oh, kiranya pemuda itu yang membantu aku tadi. Tapi ia aneh juga, sudah mau membantu secara diam-diam, mengapa tak mau tampil keluar. Budi kebaikannya itu entah bagaimana aku dapat membalasnya?”

Perubahan yang terjadi di gelanggang secara begitu tiba-tiba itu, telah membuat para penonton lari berserabutan. Sebuah mata dari Yo Bok-lo tempo di luar kota Ciau-yang dulu, kena ditusuk sampai buta oleh Khik-sia. Sudah tentu kini Yo Bok-lo tak mau lepaskan musuhnya besar itu. Dia bergelar Chit-poh-tui-hun atau Tujuh langkah penyambar nyawa. Dalam jarak pendek, ilmu ginkangnya dapat menandingi Khik-sia. Baru Khik-sia berdiri tegak, Yo Bok-lo sudah memburu datang dan berkuik-kuik: ”Bangsat kecil, mau lari?”

”Siapa takut padamu?” Khik-sia balas mendamprat.

Begitu kedua tangan kedua seteru itu beradu, Khik-sia tersurut mundur selangkah, sedangkan Yo Bok-lo tergetar tubuhnya. Diam-diam iblis tua itu tersentak kaget, pikirnya: ”Baru berselang

satu tahun, kepandaian budak ini maju pesat sekali. Jika sekarang tak dapat melenyapkannya, kelak jika hendak menuntut balas tentu akan lebih sukar lagi.”

Beberapa kali ketika bertempur dulu, Khik-sia lebih unggul dalam ilmu gin-kang, tapi dalam

tenaga pukulan kalah dengan Yo Bok-lo. Tapi tadi dalam adu pukulan, Yo Bok-lo dapatkan tenaga anak muda itu sudah menyamai dirinya. Yo Bok-lo bernafsu sekali untuk membunuh lawannya.

Pukulannya dilipat-gandakan tenaganya. Sekali ia mengisar kaki, ia segera lontarkan dua buah pukulan yang dahsyat dari posisi yang tak diduga oleh Khik-sia. Pukulan kedua menyusul tapi datangnya lebih dulu dari pukulan pertama. Yang diarah ialah di bagian pinggang pada jalan darah ih-gi-hiat.

Sebagai tokoh yang dimasyhurkan sebagai Penyambar jiwa, Yo Bok-lo mempunyai tujuh buah gerakan kaki dan pukulan yang berbeda satu sama lain. Setiap jurus, merupakan pukulan maut. Jago silat yang kebanyakan, tentu tak mampu lolos dari tujuh jurus pukulannya itu. Itulah makanya ia mendapat julukan Chit-poh-tui-hun atau Tujuh-tindak-penyambar-nyawa. Dalam beberapa tahun yang terakhir ini, ia berlatih keras untuk menyempurnakan ilmu pukulannya itu. Diberinya pula tambahan beberapa gaya variasi yang lebih membingungkan lawan. Ia dapat menguasai permainannya itu menurut apa yang dikehendakinya.

Begitu menghampiri dekat tubuh Khik-sia condong ke samping seperti orang yang terkena

pukulan. Tapi entah bagaimana, tiba-tiba ia meluncur datar macam anak panah dilepaskan ke muka. Karena melengkung itu, maka pukulan Yo bok-lo luput mengenai sasaran pinggang, sebaliknya menyentuh tongkak kaki Khik-sia. Bagi Khik-sia hal itu berarti mendapat panjatan. Dengan meminjam tenaga panjatan itu, ia pun meluncur ke muka.

Yo Bok-lo terkejut. Kini baru ia menyadari bahwa sekalipun ilmu pukulannya bertambah hebat tapi ilmu gin-kang si anak mudapun bertambah lihay juga. Pukulan yang dilontarkan dalam posisi yang tak terduga-duga, pun ternyata masih dapat dihindari oleh Khik-sia.

Masih Yo Bok-lo merasa penasaran. Sebelum si anak muda sempat berdiri tegak, ia segera memburu dan menyusuli pula dengan dua buah pukulan lwekang biat-gong-ciang. Sekali ini ia tentu akan terpelanting, pikirnya.

Siapa tahu begitu Yo Bok-lo bergerak, Khik-sia pun bergerak. Sebelum tiba di tanah, ia sudah berjumpalitan di udara untuk berganti posisi. Dalam berjumpalitan itu tangannyapun sudah mencabut po-kiam. Dengan gerak pheng-pok-kin-siau atau burung alap-alap menukik awan, ia meluncur turun ke arah Yo Bok-lo.

Di tengah udara dapat berjumpalitan dan masih dapat pula mencabut pedang untuk menyerang, beberapa gerakan yang istimewa itu sekaligus dapat dilakukan dengan indahnya, sungguh tak diduga sama sekali oleh Yo Bok-lo. Kini posisinya berbalik dari menyerang berganti diserang. Sekarang giliran si iblis tua yang sibuk menangkis serangan itu.

Dengan serangan yang istimewa itu, Khik-sia dapat memaksa lawan sibuk berloncatan kian kemari untuk menghindar. Untung kepandaian iblis tua itu lebih tinggi. Segera ia gunakan ilmu selentikan tan-ci-sin-thong dan pukulan lwekang biat-gong-ciang untuk mengisarkan ujung pedang Khik-sia hingga tak sampai mengenai.  Tapi Yo Bok-lo hanya lebih unggul sedikit dari Khik-sia, jadi meskipun dapat menangkis namun dengan susah payah sekali.

Telah dikatakan di atas, bahwa tempat mereka bertempur itu adalah di muka lapangan Swan-bu- bun. Karena tempat itu besok pagi hendak dijadikan tempat pertandingan Eng-hiong-tay-hwe, maka sudah tentu diadakan penjagaan yang kuat. Inipun untuk menjagai segala kemungkinan karena pada saat itu di kota raja banyak sekali berkumpul tokoh-tokoh silat dari delapan penjuru. Siu-wi atau kwanan penjaga di situ, ada beberapa yang kenal pada Yo Bok-lo. Memang dalam pertandingan cari jodoh tadi, kawanan siu-wi itu tak mengacuhkan. Tapi kini demi mengetahui Yo Bok-lo berkelahi dengan orang, merekapun tak mau tinggal diam lagi.

Beberapa siu-wi segera lari mendatangi dan mendamprat Khik-sia: ”Bangsat kecil yang bernyali besar, berani bikin onar di Swan-bu-bun sini!”

Menurut fakta, yang membikin onar itu adalah kedua orang tadi. Jika dihukum, Yo Bok-lo pun harus ikut menerima hukuman juga. Tapi ternyata kawanan siu-wi itu hanya menuduh Khik-sia saja. Ada seorang siu-wi yang mahir menggunakan senjata rahasia sudah segera timpukkan dua batang siu-cian (passer) ke arah Khik-sia.

Sudah tentu Khik-sia tak pandang mata pada kawanan siu-wi itu. Ia yakin nanti tentu dapat mengalahkan Yo Bok-lo tapi untuk itupun harus membutuhkan waktu beratus-ratus jurus. Dan sekalipun dapat menang, pun belum tentu dapat membunuh iblis tua itu. Dalam keadaan seperti kala itu, kalau sampai kawanan tay-lwe-ko-chiu (jago-jago pengawal istana) turut keluar, tentu akan lebih berabe lagi.

Dalam pada itu passerpun sudah tiba. Khik-sia sengaja mau unjuk kepandaian, serunya: ”Kurang ajar, mengapa kau hanya membidik aku sendiri?” -- Ia menjentik dengan jari tengahnya dan terbanglah passer itu kembali. Sring, passer itu melayang melalui kain kepala si siu-wi sehingga yang tersebut belakangan itu melonjak kaget.

”Toan Khik-sia besar sungguh nyalimu, berani melukai pengawal raja?” teriak Yo Bok-lo sembari lontarkan sebuah hantaman. Tapi secepat itu pula Khik-sia melesat dan menyambar seorang wi-su terus dijorokkan ke arah Yo Bok-lo.

”Yo Bok-lo, kau berani melukai pengawal raja?” serunya dengan meniru nada Yo Bok-lo. Kesigapan anak muda itu betul-betul di luar dugaan Yo Bok-lo. Karena cepatnya gerakan anak muda itu, Yo bok-lo sampai tak keburu menghindar.   Bluk, tinjunya menjotos si wi-su. Untung kepandaian Yo Bok-lo sudah mencapai tingkat sempurna dimana segala gerakan dapat dikuasai menurut sekehendak hatinya. Sudah tentu Yo Bok-lo buru-buru menarik tangannya supaya jangan

sampai melukai si wi-su. Ia ganti pukulannya itu dengan gaya menangkap untuk menerima tubuh si wi-su yang menjorok datang itu. Adegan itu telah membuat si iblis tua meringis.

Sebaliknya di sana Khik-sia tertawa gelak-gelak: ”Ho, kau berkasih-kasihanlah dengan pengawal raja itu. Aku tak sempat untuk mengawani kalian!”

Memang dalam ilmu gin-kang, Yo Bok-lo tak menang dengan Khik-sia. Apalagi saat itu karena kagetnya, si wi-su memeluk erat-erat leher Yo Bok-lo, jadi orang she Yo itupun sungkan untuk mengentakkannya. Maka dengan melongo, ia hanya dapat mengawasi musuhnya itu lari dengan bebasnya.

Dengan lincahnya Khik-sia loncat ke atas rumah penduduk. Dalam lain kejap, di sepanjang wuwungan rumah penduduk hanya tampak sebuah sinar putih meluncur pesat. Begitu pesatnya sampai kawanan wi-su itu tak sempat melepaskan panahnya lagi.

Setelah tiba di sebuah gang kesil yang sepi, turunlah Khik-sia. Diam-diam ia merasa geli sendiri: ”Dengan kupermainkan begitu tadi, rasanya cukuplah sudah untuk meledakkan dada Yo Bok-lo!”

Sekalipun begitu tetap ia tak berani jalan di jalan besar, pikirnya: ”Dengan kegaduhan tadi, tentulah menimbulkan perhatian orang. Biar lambat asal selamat, hati-hati ada lebih baik. Hari ini

rasanya tak baik untuk mencari berita Yak-bwe, lebih baik aku pulang saja. Biar kuberitahukan dan kutanyakan pada Tiau-ing apakah nona penjual silat tadi sumoaynya.”

Tiba di pos rahasia, haripun sudah menjelang magrib. Di situ terdapat beberapa pendatang baru. Karena memikir orang yang datang kesitu tentulah kawan sendiri, maka Khik-siapun tak menaruh kecurigaan, tetapi sebaliknya orang-orang itu sama menaruh perhatian kepadanya.

Karena ingin lekas-lekas mendapatkan Tiau-ing maka Khik-sia pun terus langsung masuk ke kamarnya. Setelah tergesa-gesa membasuh muka ia lantas menuju ke tempat bagian wanita.

oooooOOOOOooooo Pada masa kerajaan Tong itu, pergaulan antara pria dan wanita tak begitu keras aturannya. Lebih-lebih dalam kalangan kaum persilatan, lazimlah sudah kalau pria dan wanita itu bergaul secara bebas. Itulah sebabnya maka berani saja Khik-sia langsung memasuki kamar wanita. Sekalipun begitu, namun Khik-sia merasa kikuk juga. Khik-sia tak tahu di mana letak kamar Tiau- ing itu.   Jika setiap kamar diketuknya tentulah akan ditertawakan orang. Diam-diam Khik-sia bersangsi.

Sarang atau tempat rahasia yang ditinggalin itu, sebenarnya merupakan sebuah gedung besar semacam kasteel dari seorang she Kau. Oleh karena anak cucunya tak dapat mempertahankan maka terpaksa gedung itu dijualnya. Luasnya beberapa bahu, dikelilingi oleh pagar tembok, mempunyai berpuluh-puluh buah kamar. Di bagian mukda dan belakang, terdapat kebun bunga. Kamar bagian wanita itu, terletak di kebun belakang. Kamar-kamarnya berserakan di antara gunung-gunungan palsu dan pohon-pohon bunga.

Di halaman bagian dalam, sunyi senyap. Karena saat itu temponya makan malam, maka mungkin mereka sama berada di dalam untuk makan. Sambil berjalan, Khik-sia mengharap dapat

berjumpa dengan orang untuk menanyakan di mana kamar Tiau-ing itu. Tetapi sampai sekian saat, belum juga ia menjumpai seseorang. Tanpa terasa tibalah ia di sebuah sudut dari kebun belakang itu.  Pikirnya: ”Yang ini rasanya tak perlu tanya orang lagi, tapi entah siapakah yang berada di dalam rumah ini?”

Pada saat itu tiba-tiba didengarnya suara tertawa orang lelaki: ”Kukira kau suka pada Khik-sia, apakah bukan begitu?”

Walaupun suara itu pelahan sekali namun dapat didengar jelas oleh Khik-sia. Itulah nada suara Se-kiat. Khik-sia terperanjat dan merasa sungkan. Se-kiat adalah seorang kakak yang dihormatinya. Sungguh tak dikiranya kalau Se-kiat berada di kamar seorang nona macam Tiau-ing

dan bercakap-cakap secara berbisik-bisik, malah membicarakan tentang dirinya (Khik-sia). Tangan Khik-sia yang sudah diulurkan hendak mengetuk daun pintu, buru-buru ditarik kembali.

Tiau-ing kembali tertawa mengikik: ”Terus terang saja, memang bermula aku agak menaruh perhatian kepada anak muda itu. Tapi setelah mengetahui pribadinya, aku merasa kecewa dan tak suka lagi.”

”Apakah bukan karena ia sudah bertunangan, kau lantas merasa kecewa?” tanya Se-kiat. ”Bertunangan atau tidak, itu bukan soal. Aku suka padanya bukan mesti harus menikah dengannya. Sayang ia bukan pahlawan yang kucita-citakan,” sahut Tiau-ing.

Se-kiat membantah: ”Dalam kalangan jago muda, kepandaian Khik-sia itu sukar dicari tandingannya. Mengapa kau katakan dia bukan pahlawan?”

”Ia tak mempunyai cita-cita besar dan angan-angan tinggi. Pendek kata, bukan batu mustika yang kemilau. Betapapun tinggi ilmu silatnya, juga tak berguna,” kata Tiau-ing.

Se-kiat berkata dengan bisik-bisik: ”Habis siapakah pahlawan yang menjadi pujaanmu?” Tiau-ing tertawa melengking, serunya: ”Mengapa bertanya lagi? Sudah tentu kaulah!” Se-kiat tertawa: ”Suatu kehormatan yang tak pantas diberikan padaku.”

Tiau-ing rendahkan suaranya sampai seperti orang berbisik-bisik hingga Khik-sia tak dapat mendengarnya. Diantaranya hanya samar-samar terdengar kata-kata nona itu: ”Kakakku masih mempunyai tiga puluh ribu pasukan berkuda Daerah suku Ki itu strategis sekali, baik

menyerang maupun bertahan Asal kau suka terima persembahanku ini berarti sudah menjadi

milikmu ..... Sudahkah kau menetapkan rencanamu? Hm, apakah kau benar-benar suka padaku atau hanya pura-pura saja?”

Se-kiat menyahut agak keras: ”Seorang lelaki, apa yang sudah dikatakan tentu selalu dipegang teguh, tak perlu ragu-ragu lagi. Tentu aku sudah mengambil putusan yang positif. Tiau-ing, kau sungguh seorang pembantuku yang berharga, aku sungguh-sungguh suka padamu!”

Khik-sia yang selama itu berdiri di luar rumah, tanpa sengaja telah mendengarkan semua pembicaraan rahasia itu. Diam-diam ia tersentak kaget dan gelagapan. Beberapa saat kemudian barulah pikirannya menjadi tenang lagi.   Kini barulah ia dapat mengadakan analisa. ”Bo toako jatuh cinta pada Tiau-ing? Apa-apaan ini, sungguh suatu hal yang tak dapat dipercayai! Bagaimana dengan nona Sip? Apakah Bo toako tidak mencintainya? Semua orang mengira kalau ia dan nona Sip itu sudah mengikat janji, bahkan Thiat-mo-lek piauko berusaha hendak merangkapkan perjodohan mereka. Apakah semua orang salah kira? Atau apakah Bo toako sudah berganti haluan mengingkari janjinya? Bo toako adalah seorang bu-lim-beng-cu yang dihormati orang, ai, mengapa ia berbuat begitu?”

Ia berhenti sejenak kemudian merenung pula: ”Apa yang dikatakan barang persembahan Su Tiau-ing tadi? Ho, apakah Bo toako kepincut dengan tiga puluh ribu pasukan berkuda dari engkohnya (Su Tiau-gi) itu, lalu hendak berserikat dengan nona itu? Tapi, ah, gerakan besar apa yang mereka hendak lakukan itu?  Apakah Bo toako mencita-citakan hendak menjadi kaisar? Ia bilang telah mengambil putusan apa saja itu? Apakah mengambil putusan memutuskan hubungannya dengan nona Sip?”

”Siapa di luar itu?” tiba-tiba terdengar Se-kiat menegur dari dalam ruangan.

Adalah karena ketegangan hatinya tadi maka tubuh Khik-sia sampai tergetar dan tanpa sengaja telah menyentuh gerendel pintu. Tapi hal itu malah kebenaran karena dengan begitu Se-kiat dan Tiau-ing mengira kalau ada orang mengetuk pintu dan mereka tak menaruh kecurigaan apa-apa. ”Aku,” sahut Khik-sia yang dalam itu diam-diam berpikir: ”Ai, hubungan pria wanita itu

memang sukar dikata. Aku yang sejak lahir sudah ditunangkan pada Yak-bwe, toh masih ruwet tak keruan, apalagi dia (Se-kiat) dengan In-nio. Nona Su Tiau-ing tak suka padaku, itu malah meringankan aku.   Perlu apa aku mengurusi dirinya lagi? Tapi Bo toako selama ini selalu membantu aku, aku tetap harus menganggapnya sebagai seorang kakak.” -- Tapi sekalipun sudah mengambil ketetapan begitu, tak urung nada suaranya masih kedengaran agak gemetar juga.

Sambil membuka pintu, berserulah Se-kiat dengan heran: ”Oh, kiranya kau. Ada apa? Mau cari aku atau nona Su?”

Dalam pada itu, Se-kiat membatin: ”Khik-sia anak ini tidak suka plintat-plintut mencuri dengar pembicaraan orang. Huh, siapa tahu karena agak lama bergaul dengan Tiau-ing, maklum antara pemuda dan pemudi yang seperjalanan, tentulah timbul rasa apa-apa.”

Dengan terus terang Khik-sia menyatakan bahwa ia hendak mencari Tiau-ing.

”Apakah aku boleh mendengarkan? Atau perlukah aku menyingkir dulu?” Se-kiat paksakan tertawa.

Tiau-ing juga terkesiap, pikirnya: ”Selama dalam perjalanan ia selalu kuatir kalau kurayu, mengapa sekarang hendak mencari aku? Apakah tingkah lakunya dulu itu hanya aksi belaka padahal hatinya tertarik padaku? Ai, sekarang sudah kasip.”

Pertanyaan Se-kiat tadi telah menimbulkan rasa enggan pada Khik-sia, dengan agak tegas ia berkata: ”Aku bukannya hendak bicara rahasia, melainkan hendak memberitahu pada nona Su tentang sebuah hal, habis itu aku segera akan pergi.”

”Apakah itu?” Tiau-ing tersenyum, ”bilanglah dan tak usah lantas buru-buru pergi.”

Khik-sia bercerita: ”Tadi siang aku telah berjumpa dengan seorang nona penjual silat. Agaknya ia adalah saudara seperguruanmu.”

Seketika berubahlah wajah Tiau-ing, serunya: ”Orangnya bagaimana? Mengapa kau tahu kalau saudara seperguruanku?”

Khik-sia segera menuturkan pengalamannya siang tadi. Mata Tiau-ing berkeliaran. Rupanya iapun merasa heran juga. Setelah merenung sejenak, berkatalah ia: ”Kalau demikian halnya, teranglah kalau suci-ku.”

”Mengapa tak pernah kau singgung?” tanya Khik-sia.   Tiba-tiba ia merasa Se-kiat memperhatikan dirinya. Merahlah wajah Khik-sia dibuatnya. Ia merasa menyesal dengan kata- katanya tadi, pikirnya” Mengapa aku begini bodoh menanyakan hal itu? Urusannya kenapa harus diceritakan padaku? Pertanyaan tadi tentu akan menimbulkan salah paham Bo toako.”

”Aku sendiri belum pernah berjumpa dengan suci itu. Hanya kutahu bahwa aku mempunyai seorang suci tapi aku belum mengenalnya. Itulah makanya aku tak sempat memikirkannya. Kepada orang yang kupikirkan sudah tentu tak kuberitahukan padamu.”

Wajar saja nona itu berbicara sambil tertawa. Pun alasannya tepat sekali. Hal itu menandakan akrabnya hubungannya dengan Khik-sia. Dan justeru sikap yang dibawakan itu telah berhasil menolong Khik-sia dari kesulitan.

”Jejakku telah ketahuan Yo Bok-lo, harap Bo toako suka meningkatkan kewaspadaan,” kata Khik-sia.

”Ya, kutahu,” sahut Se-kiat acuh tak acuh.

Khik-sia akan segera pamitan tapi tiba-tiba Tiau-ing masih mengajukan pertanyaan lagi: ”Khik- sia, tahukah kau apa sebabnya maka suci-ku itu mengadakan pertandingan cari jodoh?” ”Bagaimana aku tahu?” balas Khik-sia.

”Biarlah kutebaknya,” Se-kiat tertawa menyela, ”Nah, begini, jodoh yang hendak dicari oleh suci-mu itu bukan lain ialah kau sendiri.”

Khik-sia tak mengerti dan terkesiap tanya dalam hati: ”Apa-apaan ini. Masakan sumoay dan suci mau berjodoh?”

Sebaliknya tampak Tiau-ing mengangguk: ”Benar, memang kupikir juga demikian. Aku tak kenal padanya, tapi tetap mengenal ilmu silatnya. Ia membuka pertandingan itu sehari di muka pertandingan Eng-hiong-tay-hwe. Hal itu tentu menggemparkan publik. Lama-lama aku tentu mendengarkan dan ikut menyaksikan pertandingan itu.”

Kini barulah terbuka pikiran Khik-sia, katanya: ”Oh, kiranya ia menggunakan cara begitu.” ”Ia tentu berjumpa suhu di tengah jalan dan tahu kalau aku sudah tiba di kota raja. Memang pintar juga ia itu, gunakan cara begitu untuk memikat perhatianku,” kata Tiau-ing.

”Habis kalau tidak begitu, tak nanti ia sembarangan mengunjukkan kepandaiannya. Dan andaikata sudah bertemupun tak nanti kalian saling mengenal. Cara itu memang berbahaya tapi rasanya tepat sekali,” kata Se-kiat.

Sebagai seorang pemuda yang berhati lapang, begitu melihat Se-kiat dan Tiau-ing bercakap- cakap dengan bebas, ia pun segera tak kikuk lagi. Katanya dengan tertawa: ”Jika ada lelaki yang dapat mengalahkan dan menagih janjinya, lalu bagaimana jadinya?”

Tiau-ing balas tertawa: ”Jika benar ada pahlawan itu dan ia memang penuju, apa salahnya kalau ia menikah? Bukankah ini yang disebut ’main-main jadi sesungguhnya’?”

Nona itu bertopang dagu seolah-olah seperti ada yang dipikirkan.   Kemudian melanjutkan  berkata: ”Kembali pada persoalan tadi. Kalau toh ia tanpa menghiraukan cemoohan orang telah menggunakan cara begitu mencari aku, tentulah membawa kabar penting. Ai, ia tak tahu kalau aku tak leluasa keluar kemana-mana?”

Habis berkata serentak ia berbangkit dan menghampiri kemuka Khik-sia. Di situ ia memberi hormat kepada si anak muda, katanya: ”Khik-sia, urusan ini aku hendak minta tolong padamu.” Khik-sia balas memberi hormat dan tertawa: ”Mengapa kau begitu sungkan kepadaku?”

”Kau sudah mengetahui suci-ku, maukah kau menolongi memanggilkannya?”

Karena dirinya barusan saja diketahui orang, sebenarnya tak leluasa bagi Khik-sia keluar lagi. Tapi karena ia berdarah mulia suka membantu orang, ketambahan pula sedikit banyak ia sudah bersahabat baik dengan Tiau-ing, permintaan nona itu tak dapat ditolaknya.

”Urusan sekecil itu mengapa perlu memakai kesungkanan yang berkelebihan. Biarlah kuundangnya kemari,” sahut Khik-sia.

Alis Se-kiat tampak mengerut seperti ada yang hendak dikatakan tapi urung. Sebenarnya ia hendak mencegah Khik-sia jangan keluar lagi, tapi pada lain saat terlintas dalam pikirannya: ”Tak apalah ia pergi lagi. Dengan ginkangnya yang lihay tentulah tak sampai jatuh di tangan musuh.” Berkata Tiau-ing lagi: ”Suci-ku itu bernama Liong Seng-hiang. Jika bertemu ajaklah ia kemari saja. Pak tua itu ayah angkatnya, tak perlu diajak kemari.”

Khik-sia mengiyakan dan minta diri pada Se-kiat. Se-kiat memesannya supaya berhati-hati. ”Bo toako benar menganggap aku sebagai adiknya,” pikir Khik-sia dengan perasaan terima kasih.

Setelah melalui sebuah gunung-gunungan palsu yang terletak di depan rumah itu dan belum lagi keluar dari halaman belakang situ, samar-samar ia seperti melihat sesosok tubuh bergegas-gegas mendatangi. Begitu berpapasan, keduanya sama berseru kaget dan sama-sama berhenti. Khik-sia berteriak memanggil ’piauko’, sedang orang itu berseru ’piau-te’. Kiranya dia adalah Thiat-mo-lek. Girang Khik-sia bukan alang-kepalang, katanya: ”Piauko, kau juga datang kemari. Aku sedang mengharap-harap kau.”

Juga Thiat-mo-lek girang sekali. Tapi setelah memangil piaute-nya tadi, tiba-tiba wajahnya mengerut gelap, ujarnya: ”Khik-sia, kabarnya kau datang dengan seorang nona Su. Bukankah ia itu puterinya Su Su-beng?”

Selebar muka Khik-sia merah padam, sahutnya dengan terkait-kait: ”Piau-ko, ini, ini ”

Nyata Khik-sia sukar untuk menerangkan. Kata Thiat-mo-lek: ”Sekarang aku tak punya tempo mengurusi persoalanmu itu, baiklah untuk sementara jangan dibicarakan dulu. Sekarang jawablah dulu pertanyaanku ini. Apakah nona Su itu juga tinggal di sini? Apakah kau barusan datang dari tempatnya?”

”Ya, karena ”

”Tak usah kau terisak-isak memberi alasan, nanti kita bicarakan lagi dengan tenang. Apakah Bo Se-kiat juga sedang berada di kamar nona Su itu?” kembali Thia-mo-lek menukasnya pula.

Bahwa tiba-tiba Thiat-mo-lek menyebut diri Se-kiat, telah membuat Khik-sia terperanjat heran. Pikirnya: ”Mengapa baru datang saja toako lantas tahu tentang Se-kiat dan hendak mencarinya di kamar Tiau-ing?”

”Ya, Bo toako memang di sana,” sahutnya kemudian.

”Tak perlu mengejutkan lain orang, antarkan aku kesana. Aku hendak membicarakan suatu urusan penting dengan Se-kiat,” kata Thiat-mo-lek.

Khik-sia menganggap bahwa telat sedikit untuk mencari suci Tiau-ing, rasanya tak jadi apa. Begitulah segera ia membawa piauko-nya ke tempat Tiau-ing lagi. Tiba di sana Tiau-ing segera menegurnya: ”Hai, Khik-sia, mengapa kau kembali lagi?”

Begitu membukai pintu, nona itu segera berhadapan dengan Khik-sia dan Thiat-mo-lek. Tiau-

ing terkesima. Tidak demikian dengan Se-kiat yang walaupun kedatangan Thiat-mo-lek itu secara tiba-tiba sekali, namun dengan riang gembira ia segera keluar menyambutnya.

”Thiat toako, kebetulan sekali kau datang. Besok pagi adalah hari pertandingan, kukuatir kau terlambat datang. Ini adalah nona Su. Khik-sia datang bersama-sama dengan nona Su, jadi kita semua adalah orang sendiri,” kata Se-kiat.

Tiau-ing cepat tampil kemuka memberi hormat, ujarnya: ”Telah lama kudengar kemasyhuran nama Thiat cecu yang gagah, aku yang rendah Su Tiau-ing menyampaikan hormat.”

Thiat-mo-lek tersipu-sipu memberi isyarat agar nona itu jangan kelewat merendah diri.

Sebenarnya setelah perkenalan itu Tiau-ing hendak mengenali Thiat-mo-lek dengan rapat tapi demi melihat sikap orang yang begitu keren dan dingin tak berani ia banyak bicara lagi.

”Bo hiante, kau adalah Beng-cu, aku ada suatu urusan hendak meminta pertimbanganmu,” kata Thiat-mo-lek.

”Ai, Thiat toako, kedudukanku itu adalah berkat mengandalkan kewibawaanmu. Kitakan sudah seperti saudara, mengapa toako begitu sungkan-sungkan. Harap toako mengatakan dengan bebas,” kata Se-kiat.

Thiat-mo-lek hanya melirik, tapi tak berkata apa-apa. Se-kiat tahu apa maksudnya dan kembali menegaskan bahwa Tiau-ing itu adalah orang sendiri.

”Baik, nona Su, aku hendak pinjam tempatmu untuk bercakap-cakap sebentar dengan beng-cu. Kurasa lebih baik kubicara empat mata dengan beng-cu. Khik-sia, kau tak ada urusan, keluarlah,” kata Thiat-mo-lek.

Walaupun hanya ditujukan pada Khik-sia, tapi jelas bahwa Thiat-mo-lek pun tak menghendaki Tiau-ing turut hadir di situ.

Rupanya Tiau-ing tahu juga hal itu. Dengan cepat ia berseru: ”Thiat cecu, kau baru saja tiba, tentu belum makan. Biarlah kubuatkan hidangan untukmu.”

”Ah, tak usah repot-repot,” sahut Thiat-mo-lek.

”Apakah Thiat cecu kuatir aku tak dapat masak enak? Selama dalam perjalanan akupun sering memasakkan Khik-sia,” kata Tiau-ing dengan tertawa.

Thiat-mo-lek cepat berganti nada tegas: ”Huh, baiklah. Tetapi tak usah masak nasi. Nanti, nati

....”

”Toh, tak usah membatasi temponya. Aku memerlukan tempo agak lama juga untuk memasak. Ya, begini sajalah: bila kalian berdua sudah berunding selesai, harap suruh orang ke dapur memberitahukan padaku. Jika aku sudah siap, tentu segera akan kuhidangkan makanan,” tetap Tiau-ing membantah.

”Nona ini benar-benar tangkas dan licin. Ia tetap hendak memegang alasan itu untuk

menyingkir supaya tak kentara,” pikir Thiat-mo-lek. Ia segera mengangguk dan selaku kepantasan iapun mengucapkan terima kasih atas kesediaan si nona.

”Nah, biar kumasakkan teh dulu, segera akan kusuruh orang mengantarkan kemari,” kata Tiau- ing.

Tatkala berjalan keluar bersama Khik-sia, Tiau-ing leletkan lidahnya dan berkata: ”Piauko-mu garang benar, sampai orang sukar untuk meladeninya. Sejak masuk ke dalam ruangan, tak pernah ia berseri wajahnya.”

”Sebenarnya ia itu peramah, mungkin karena baru pertama kali berkenalan, maka kau anggap ia itu sukar diajak bergaul,” sahut Khik-sia.

”Ai, untunglah aku juga tak berminat bergaul padanya. Khik-sia, aku tetap meminta bantuanmu untuk mencarikan suci-ku itu. Hm, hari sudah larut,” kata Tiau-ing.

”Ya, segera akan kucari jejak suci-mu itu,” sahut Khik-sia.

Khik-sia menduga kebanyakan nona penjual silat itu tentu sudah pergi dari lapangan.   Tapi untuk menyirapi jejaknya, terpaksa ia harus pergi ke lapangan itu juga. Saat itu ia membelok dan menyusuri sebuah gang kecil. Dalam pada itu pikirannya mengenangkan akan peristiwa yang dialaminya hari itu. Segala sesuatu sungguh di luar dugaannya. Pikir punya pikir, tibalah ia pada adegan tentang sikap Thiat-mo-lek terhadap Tiau-ing tadi, katanya dalam hati: ”Menurut pribadi piauko, biasanya ia tak bersikap begitu dingin terhadap seorang kenalan baru. Huh, mungkin

piauko juga menganggap nona itu sebagai wanita siluman. Untung aku tak punya sedikit hubungan kasih dengan Tiau-ing. Pelahan-lahan nanti piauko tentu mengetahui keadaanku yang sebenarnya.” ”Tapi bagaimana sikap piauko bila mengetahui bahwa pemuda yang dipenujui Tiau-ing bukan

aku melainkan Se-kiat? Piauko tentu sungkan mendamprat Bo toako. Paling-paling ia hanya dapat mengasihani nasib nona sip saja,” demikian Khik-sia masih terbenam dalam dugaannya. Tetapi adakah Thiat piauko-nya itu betul-betul akan merasa kasihan kepada In-nio atau tidak, ia sendiri tak tahu. Hanya yang terang ia memang turut bersedih dengan nasib yang diderita In-nio itu.

Selagi ia melamun, tiba-tiba dari sebuah gang kecil yang terletak di samping jalan menerobos keluar seorang lelaki. Malah orang itu lantas memanggilnya dengan berbisik, ”Toan hiantit, kaukah?”

Kala itu haripun sudah gelap. Di gang situ tiada tampak seorangpun lagi. Dari sinar lampu rumah-rumah yang berada di kedua tepi gang itu, tampak bahwa orang yang menegur Khik-sia itu seorang persilatan dari pertengahan umur yang mengenakan jubah hijau, berjenggot panjang dan mendukung sebuah yok-long atau kantong obat.

Demi mengetahui siapa orang itu, girang Khik-sia tak terperikan, serunya: ”Oh, paman To, kau juga datang kemari? Tapi mengapa tak mengambil jalan besar?”

Ya, memang itu bukan lain adalah Kim-kiam-ceng-long To Peh-ing, sahabat karib dari mendiang ayah Khik-sia.

Sahut Peh-ing: ”Di jalan besar yang menuju ke lapangan Swan-bu-bun itu penuh dengan tentara, entah ada apa. Maka akupun terpaksa mengambil jalan kecil ini.”

Khik-sia terperanjat kaget, pikirnya: ”Jalan kecil ini tak dapat sampai ke sana. Kemanakah aku akan mencari berita?”

Ternyata keterangan yang diberikan To Peh-ing itu masih ada lagi. Bahkan berita yang kedua itu lebih mengejutkan Khik-sia lagi dari keterangan yang pertama tadi. Belum lagi Khik-sia menceritakan tentang keadaan dirinya, Peh-ing sudah mendahului bertanya: ”Bukankah kau tadi dari kebun bunga gedung keluarga Kau?”

Gedung keluarga Kau adalah sandi nama dari pos rahasia yang dipondoki Khik-sia itu. Maka Khik-sia telah mengangguk.

”Waktu kau keluar, apakah piauko-mu sudah tiba di sana?” cepat Peh-ing menanya pula dengan wajah kecemasan. ”Sudah, saat ini ia sedan berunding dengan Bo toako,” sahut Khik-sia.

”Apakah kau sudah berjumpa padanya?” “Sudah,” jawab Khik-sia.

“Apakah piauko-mu yang menyuruh kau keluar ini?”

“Bukan, aku sendiri ada sedikit urusan.”

Mendengar jawaban itu gemetarlah tubuh Peh-ing. Katanya dengan gugup: ”Mengapa kau tak menemani piauko-mu? Lekas balik, lekas balik! Betapa penting urusanmu itu juga harus kau pertangguhkan juga!”

Khik-sia terlongong-longong keheranan, ujarnya: ”Paman To, kau kuatir di sana kita akan ketahuan?  Tidak, tentara negeri ”

”Aku bukannya menguatirkan tentara negeri mengetahui tempat persembunyian kita itu. Ketahuilah, musuh dari luar mudah dihadapi tapi pengkhianat dari dalam sukar diketahui!” Kejut Khik-sia bukan alang-kepalang. ”Paman To, apa maksudmu?” tanyanya serentak.

To Pek-ing banting-banting kakinya berseru: ”Singkat saja kuberitahukan padamu, aku kuatir kalau piauko-mu dicelakai Bo Se-kiat!”

Seperti halilintar menyambar di tengah hari, saking kagetnya Khik-sia sampai melonjak. Jika bukan To Peh-ing yang mengatakan, ia tentu sudah mendampratnya habis-habisan. ”Mengapa Bo toako berbuat begitu?” tanyanya tak habis mengerti.

”Hati orang sukar diduga. Dan lagi sekalipun Se-kiat tak mau turunkan tangan jahatnya, namun dapat juga ia lakukan secara menggelap,” kata Peh-ing.

Khik-sia menaruh perindahan sekali kepada Se-kiat. Meskipun yang mengatakan itu adalah sahbat baik dari mendiang ayahnya, tetapi ia tak mau lekas-lekas mempercayainya.

”Memang dua harimau sukar hidup rukun. Piauko-mu itu seorang jantan yang jujur dan tegas, bukan mustahil Se-kiat dengki kepadanya. Karena meskipun Se-kiat itu seorang beng-cu yang ditaati seluruh kaum lok-lim, tetapi pada hakekatnya tak memadai piauko-mu itu.”

Khik-sia merenung dalam, pikirnya: ”Hm, jangan-jangan orang tua ini menggunakan ukuran siau-jin (orang rendah) untuk mengukur seorang kun-cu (gentleman).”

Namun tak berani Khik-sia mengatakan perasaannya itu kepada Peh-ing. Berkata pula jago tua itu: ”Bo Se-kiat itu seorang yang ambisius (gila pangkat) sekali. Memang biasanya ia mengindahkan sekali kepada piauko-mu tapi dikuatirkan apabila sudah tiba saatnya, ia tentu tak segan lagi untuk membasmi orang.”

”Apakah piauko-ku mempunyai bentrokan tajam dengan dia?” tanya Khik-sia.

”Yang kuketahui, piauko-mu telah bergegas-gegas datang kemari karena perlu mencegah Se- kiat dalam suatu hal yang hendak dikerjakannya,” sahut Peh-ing. Selanjutnya ia menyatakan sayang ia tak tahu tindakan apa yang hendak dilakukan Se-kiat itu: ”Tetapi yang nyata hal itu mengenai urusan besar dan sekarang tak ada waktu bicara banyak-banyak lagi.”

Segera Khik-sia teringat betapa sikap piauko-nya yang tampak begitu tegang ketika berhadapan dengan Se-kiat tadi.   Diam-diam ia berdebar juga. Sekalipun saat itu masih belum mau mempercayai sama sekali akan keterangan To Peh-ing, namun Thait-mo-lek itu adalah satu-satunya familinya di dunia. Kalau tak sungguh, masakan seorang tua macam Peh-ing mau bicara begitu sungguh-sungguh. Serentak ia menjadi gelisah dan mengatakan kalau hendak balik menengok keadaan piauko-nya.

”Bagus, gin-kangmu lebih cepat dari aku, lekaslah pulang. Kuharap di sana belum terjadi sesuatu,” sahut Peh-ing.

Dengan serempak, larilah Khik-sia pulang. Ketika hampir tiba, timbullah pikirannya: ”Urusan

ini belum tentu benar tidaknya, aku tak boleh gegabah sehingga ditertawai orang. Mereka berdua tengah berunding di kamar rahasia, lain orang tak boleh mengganggu. Baiklah aku bersembunyi di tempat gelap untuk melindungi piauko secara diam-diam.”

Setelah mengambil ketetapan, ia tak mau masuk dari pintu besar melainkan lompati tembok belakang dan masuk dari belakang kebun. Rumah atau paviliun yang ditempati Tiau-ing itu terletak di sudut kebun belakang. Di sebelahnya kebetulan tumbuh sebatang pohon yang lebat daunnya. Dengan gin-kangnya yang lihay dengan mudah dapatlah Khik-sia loncat ke atas dahannya yang tinggi. Dari situ melongok melalui jendela, dapatlah ia melihat keadaan dalam kamar itu dengan jelas.

Ternyata di dalam ruangan itu tampak Thiat-mo-lek sedang berdebat dengan Se-kiat. Dengan memanggul kedua tangannya Thiat-mo-lek berjalan mondar-mandir. Tahulah Khik-sia kalau hal itu merupakan adat kebiasaan sang piauko di kala memikirkan suatu persoalan yang penting.

Tiba-tiba dilihatnya sang piauko maju ke hadapan Se-kiat dan berseru keras: ”Tidak bisa!” Se-kiat terkesiap sejenak lalu bertanya: ”Mengapa tidak? Ini adalah suatu kesempatan yang jarang terjadi, mengapa harus disia-siakan? Aku sudah mempersiapkan semuanya!”

”Kau kira dengan mengirim sepasukan anak buah kita untuk menyerang istana, kita lantas berhasil menangkap kaisar itu?” balas Thiat-mo-lek.

Se-kiat tertawa: ”Besok pagi Eng-hiong-tay-hwe yang diadakan Cin Siang sudah akan dimulai. Pasukan Gi-lim-kun (pengawal raja) dan si-wi (pengawal istana) kebanyakan tentu menjaga keamanan. Dengan begitu penjagaan di istana tentu berkurang. Sekali bergerak dan berhasil, bukankah suatu hal yang mengherankan.”

”Aku pernah menjabat si-wi di istana. Istana mempunyai sembilan buah pintu besar, setiap

pintu selalu dijaga oleh lima puluh orang si-wi. Tak nanti penjagaan itu dikurangi. Selain itu masih ada sebuah regu barisan panah yang selalu meronda. Berapakah jumlahnya orang yang hendak kau kirim untuk menyerang istana itu?  Memang teorinya saja mudah. Dan lagi ”

”Ha, ha, Thiat toako,” Se-kiat memutus omongan orang dengan menertawakannya, ”anak buah yang kukirim ke istana itu mempunyai kegunaan istimewa. Dapat menerobos masuk dan menangkap raja Li Heng hidup-hidup, itulah memang yang kuharap. Tapi seandainya tak dapat, tetap kita masih berhasil. Masakan kau tak ingat akan siasat sekali tepuk mendapat beberapa?” Thiat-mo-lek kerutkan alisnya seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi baru sang mulut bergerak sudah dihentikan lagi.   ”apa siasat 'sekali tepuk mendapat beberapa' itu? Sukalah menyebutkan,” katanya sesaat kemudian.

”Sekalipun tak dapat menawan Li Heng, tapi sekurang-kurangnya kita dapat menghilangkan

Cin Siang. Sebenarnya Kaisar Li Heng tak setuju dengan tindakan Cin Siang mengadakan Eng- hiong -tay-hwe dengan mengundang tokoh-tokoh persilatan dari seluruh penjuru itu. Tetapi di hadapan kaisar, Cin Siang telah memberi jaminan, bahwa jika sampai terjadi apa-apa, ialah yang akan menanggungnya. Dari hasil Eng-hiong-tay-hwe itu ia berharap dapat memilih jago-jago untuk memperkuat pasukannya Gi-lim-kun guna menghadapi panglima-panglima perbatasan. Itulah sebabnya maka akhirnya iapun menyetujui juga rencana Cin Siang. Dengan tindakan kita itu, paling tidak Li Heng tentu kana ketakutan setengah mati. Setelah itu, ia tentu akan meminta pertanggungan jawab dari Cin Siang. Kedudukan sebagai pemimpin Gi-lim-kun, pasti tak dapat dipertahankan oleh Cin Siang lagi,” demikian Se-kiat panjang lebar menguraikan rencananya.

Kembali Thiat-mo-lek kerutkan alisnya, berkata: ”Justeru aku adalah orang yang tak mau

berbuat hal yang mencelakai seorang sahabat! Di kala Cin Siang mendapat tugas bersama pasukan Gwe-thiok-lam dari Tian Seng-su menggempur Kim-ke-nia, jika ia tidak secara diam-diam

membantu pihak kita, mungkin kita tak dapat lolos lagi. Mengapa kita membalas budi orang dengan air tuba?”

Se-kiat tertawa: ”Toako, untuk melakukan pekerjaan besar masakan harus mengingat urusan persahabatan lagi? Toako, kau berpribudi seperti kaum wanita!”

”Baik, anggap saja Cin Siang itu bukan seorang sahabat. Tapi masakan kita tak memikirkan kepentingan orang kita sendiri? Regu yang kau kirim ke istana itu, jumlahnya tentu tak dapat kelewat banyak. Di bawah hujan panah dari pasukan panah istana, apakah kau pikir dapat meloloskan diri?” balas Thiat-mo-lek dengan suara berat.

Se-kiat mengangkat bahunya: ”Toako, jika hendak menggoncangkan dunia, apa artinya kalau hanya kehilangan beberapa jiwa saja?”

”Se-kiat, kulihat hatimu sekeras baja, sayang aku tak punya cita-cita untuk 'memburu rusa' (tinggi). Kurasa lebih baik berbuat menurut kehendak alam saja, membasmi kejahatan untuk mengamankan rakyat kiranya sudah cukup. Perlu apa kita mengharapkan kedudukan raja!” kata Thiat-mo-lek. ”Sucou-ku Hong Jiam-kek telah mengalah pada Li Si-bin. Karena sekarang kerajaan Tong menjadi bu-to (lalim), panglima-panglima saling berebut daerah kekuasaan, rakyat hidup dalam kegelisahan, rasanya sudahlah tiba saatnya aku harus merebut kembali bumi yang telah diberikan kepada Li Si-bin oleh sucou-ku itu!”

Kata-kata terakhir dari Se-kiat itu telah membuat Thiat-mo-lek bungkam.   Rupanya dalam urusan itu, ia tak dapat mengambil keputusan yang positif. Kini tertawalah Se-kiat, serunya: ”Toako, tak usah bersangsi. Dalam rencanaku menyerang istana kali ini, akuun belum perlu memakai orang-orangmu. Cukup kugerakkan anak buahnya Kay Thian-hay saja. Yang kuminta, janganlah kau coba mencegahnya hingga dapat mempengaruhi moral tentara kami!”

Wajah Thiat-mo-lek mengerut gelap, ujarnya: ”Kita telah mengangkat saudara, mengapa kau adakan garis pemisahan begitu? Aku hanya hendak memperingatkan, layakkah kita lakukan gerakan itu?”

”Kalau menurut toako bagaimana, layak atau tidak?” Se-kiat mengembalikan pertanyaan. ”Se-kiat, biarlah kutanya padamu lebih dahulu. Tadi kau katakan bahwa kau telah mengatur

pengunduran diri apabila pasukanmu itu gagal. Bagaimanakah jalannya?” tanya Thiat-mo-lek pula. Se-kiat tampak meragu, tapi pada lain saat segera ia menerangkan: ”Toako, aku tak mau merahasiakan apa-apa kepadamu. Aku telah berunding dengan nona Su, setelah menyerang istana, kita segera akan tinggalkan kota Tiang-an ini. Sisa anak tentara engkohnya berada di darah suku Ki. Kesanalah kita akan mengundurkan diri.”

”Jadi kau hendak berserikat dengan Su Tiau-gi?” tanya Thiat-mo-lek. Nadanya sudah mulai berubah.

Se-kiat tertawa: ”Thiat toako, rupanya kau juga memandang rendah pada pribadiku. Masakan aku suka berserikat dengan dia?”

”Bukankah kau hendak mundur ke sana? Apakah ini bukan berarti mencari perlindungan padanya?”

”Aku akan melenyapkan Su Tiau-gi dan menguasai pasukannya berkuda yang berjumlah tiga puluh ribu! Meskipun nona Su dan Su Tiau-gi bersaudara, tapi mereka tidak takut. Dalam hal ini nona Su telah menyanggupi padaku. Setelah mendapatkan anak pasukan Su Tiau-gi, kita lantas berserikat dengan suku Ki. Dengan begitu kita dapat menciptakan siasat 'dapat maju menyerang, dapat mundur bertahan.' Turut hematku, tak sampai sepuluh tahun lagi, kita pasti berhasil.”

”Se-kiat, kau memang pandai tapi satu waktupun limbung juga,” sahut Thiat-mo-lek. ”Mengapa limbung? Toako, menurut pandanganmu tak seharusnyakah aku memberontak?” tanya Se-kiat.

Sahut Thiat-mo-lek pula: ”Dahulu ketika aku menjabat si-wi, hampir saja aku dicelakai kaisar. Dari situ aku mendapat kesan, bahwa raja tidak punya liang-sim (peri kebajikan). Kau hendak berusaha mengganti seorang raja baru, sebenarnya hal itu bukan berarti memberontak.” ”Itulah!” seru Se-kiat, ”Kalau begitu mengapa kau tak mau menjadi teman perjuanganku?” ”Karena aku harus melihat dahulu bagaimana dengan gerakan memberontak itu. Tiga puluh ribu pasukan berkuda dari Su Taiu-gi itu, sembilan puluh persen adalah suku Oh. Suku Ki itu adalah termasuk jenis suku Artar. Dalam seratus tahun yang terakhir ini, suku Tho-kwat (Artar)

menjadi musuh besar dari Tiongkok. Apakah kau tak tahu? Ketika timbul huru-hara dari An Lok- san dan Su Khik-hwat, kaisar Hian Cong yang tergila-gila pada selirnya Yang Kui-hui (Nyo Kui- hui), telah memakai lagi kawanan dorna Nyo Kok-tiong. Rajanya buto (lalim), pemerintahannya bobrok akibatnya rakyatlah yang harus memikul penderitaan besar. Ketika An dan Su mengadakan gerakan berontak, sekalipun tahu kalau kaisarnya begitu bejat, toh rakyat tetap suka membantu pemerintah (raja Hian Cong) untuk melawan pemberontak itu. Tahukah kau apa sebabnya? Jika sekarang kau mau menggunakan orang Oh guna merebut negara, dikuatirkan belum-belum sudah tak mendapat simpati rakyat kita. Se-kiat, kau adalah seorang yang cerdik. Coba kau pikir-pikir lagi!”

Suku Oh adalah sebuah suku yang tinggal di bagian utara. Dahulu disebut suku Pak-tek. Mendengar itu tertawalah Se-kiat dengan lepasnya sehingga suaranya sampai menggetarkan genteng rumah. ”Hiante, mengapa kau tertawa?” tanya Thiat-mo-lek dengan keheranan.

”Toako, kau hanya tahu satu tapi tak tahu yang kedua.  Memang An Lok-san itu sendiri adalah orang Oh. Ia tak punya kepintaran apa-apa tapi mau gegabah merebut tahta kerajaan. Kalau gagal, itulah sudah jamak. Sebaliknya aku sekarang mempunyai saudara-saudara lok-lim. Dan aku sama sekali bukang mengandalkan orang Oh, melainkan untuk sementara meminjam tenaga mereka.

Begitu kekuasaan sudah beralih ke tanganku, mengapa kuatir akan mereka? Rencanaku ini jauh bedanya dengan tindakan An Lok-san!”

Tetap Thiat-mo-lek menyanggahnya: ”Meskipun demikian, memukul Tiongkok dengan tentara asing, tetap tak sesuai!”

”Toako, ucapanmu ini agak salah. Meminjam serdadu asing untuk memukul dan orang asing memukul Tiongkok, adalah dua buah hal yang berlainan. Rasanya kau tentu paham dengan sejarah kerajaan Tong ini. Dahulu ketika Li Si-bin memulai gerakannya di Thay-goan, pernah mengirim

Lau Bun-cing untuk menyerahkan surat pada Tho-kwat Khan (raja suku Artar) yang isinya menyatakan bahwa apabila gerakannya berhasil, Khan pun akan diberi bagian. Itulah sebabnya maka suku Tho-kwat suka membantu dan akhirnya berhasillah Li Si-bin menjadi raja.

Kemudian tentang kejadian yang terakhir.  Ketika memadamkan pemberontakan An Lok-san dan Su Khik-hwat, raja Tong pun meminjam tentara Hwe-hap lalu bersama dengan para jenderal Kwe Cu-gi dan Li Kong-bik, mengadakan serangan balasan. Akhirnya barulah ia dapat merebut kembali kota raja Tiang-an, Lok-yang. Apa yang kurencanakan sekarang, Li Si-bin dan Li Heng

pun sudah pernah menjalankan juga. Kalau mereka dapat menjadi raja, masakan aku tak boleh?” panjang lebar Se-kiat mengadakan pembelaan.

”Tidak boleh! Kukatakan, kaupun hanya tahu satu tak tahu yang kedua!” bentak Thiat-mo-lek. Berubahlah seketika wajah Se-kiat namun ia coba tindas kemarahannya: ”Toako mempunyai pendapat apa?”

Jawab Thiat-mo-lek: ”Karena meminjam tentara Tho-kwat itu, maka berpuluh-puluh tahun lamanya rakyat Tiongkok tersiksa batinnya, hingga sampai sekarang tetap rakyat menganggap mereka itu sebagai suatu pasilan (penyakit). Syukur Li Si-bin itu seorang junjungan yang gagah perwira sehingga dengan kewibawaannya dapatlah ia menindas bangsa Tho-kwat itu tak sampai

merebut kerajaan. Sekalipun begitu, tak urung di perbatasan masih sering kali mendapat gangguan mereka.   Baginda Li Yen pernah mempertimbangkan untuk memindahkan kota raja. Sejak itu hingga tahun ketiga dari Ceng Koan (merk kerajaan), Li Si-bin telah mengutus Li Ceng menyerang Tho-kwat, dengan demikian barulah persengketaan perbatasan itu untuk sementara menjadi reda. Tetapi kedua pihak sama-sama menderita kerusakan besar. Kemudian setelah baginda Li Si-bin meninggal, pihak Tho -kwat kembali mengganggu perbatasan lagi hingga sampai sekarang. Pada hakekatnya kesemuanya itu terjadi dari hal mulanya. Meskipun Li Si-bin itu seorang gagah perwira tetapi karena ia meminjam tenaga asing (Tho-kwat), aku tetap menyalahkan dia!”

Thiat-molek berhenti sejenak, memandang Se-kiat lalu berkata pula: ”Mengenai sejarah yang terakhir yakni kerajaan Tong meminjam tentara Hwe-hap untuk memadamkan pemberontakan An Lok-san dan Su Khik-hwat, kuanggap lebih celaka lagi. Tentara Hwe-hap itu menduduki Tiang-an dan Lok-yang, membakar dan membunuh. Berpuluh-puluh ribu rakyat menjadi korban, rumah- rumah mereka menjadi api. Maka meskipun kerajaan Tong mendapatkan kembali kedua kota itu, namun yang diperolehnya hanyalah dua buah kota dari runtuhan puing!”

Se-kiat tak mengira Thiat-mo-lek bukan saja seorang ahli sejarah pun seoran kritikus sejarah

yang tajam. Diam-diam Se-kiat surut semangatnya dan tak dapat membantah lagi. Tapi ia seorang pemuda yang ambisius sekali. Walaupun apa yang dikatakan Thiat-mo-lek itu merupakan fakta sejarah, namun tetap ia berontak hatinya, pikirnya: ”Apakah bahaya itu benar-benar akan menimpa rakyat, itulah soal kelak. Mungkin tidak demikian. Meskipun Li Si-bin telah melakukan set

(tindakan) yang salah, namun ia tetap terpuja sebagai seorang pahlawan besar dari jamannya. Dapat melakukan suatu sejarah seperti Li Si-bin, juga hebat sekali.” -- Hatinya bimbang, sesaat tak dapat mengambil putusan.

Setelah menguraikan panjang lebar, mulut Thiat-mo-lek merasa kering. Ia menjemput cawan

teh terus diteguknya. Tiba-tiba cawan itu dibantingnya dan berteriak: ”Se-kiat, kau, kau, mengapa berbuat sekeji ini?”

Cawan pecah berhamburan sehingga Se-kiat melonjak kaget dan berseru dengan nada tertahan: ”Toako, kau, kau bilang apa?”

Kata-kata Se-kiat itu telah diputuskan oleh suara kaca jendela yang hancur berantakan dan tahu- tahu Khik-sia menerobos masuk. Tanpa bilang ba atau bu, anak muda itu lantas menusuk Se-kiat. Yang tersebut belakangan ini menghindar ke samping dan hanya lengan bajunya saja yang kena tertembus. Untung ia cepat-cepat tarik mundur tangannya hingga tak sampai terluka. Tapi laksana banteng mengamuk, Khik-sia kembali menyerang dengan pedangnya lagi.

”Khik-sia, dengarlah bicaraku!” teriak Se-kiat kembali menghindar ke samping.

Tapi mana Khik-sia mau mendengar lagi. Kembali ia mengirim serangan yang ketiga. Se-kiat buru-buru mengangkat meja untuk dihadangkan. Brak, meja itu segera terbelah menjadi dua oleh pokiam Khik-sia. Sebenarnya Se-kiat juga membekal pednag, tapi ia tak mau mencabutnya. Ia hanya menghindar saja dari serangan Khik-sia yang ganas itu.

”Khik-sia berhenti! Kau mau berhenti atau tidak?!” teriak Thiat-mo-lek.

Dengan mata merah berapi-api Khik-sia deliki Se-kiat, sahutnya: ”Apakah toako masih suruh aku mengaku, mengakui manusia berhati ”

Sebenarnya Khik-sia hendak mencaci 'manusia berhati binatang', tapi sudah keburu dibentak oleh Thiat-mo-lek: ”Tutup mulutmu!”

Khik-sia tak berani buka suara lagi. Ia berganti memandang sang toako dengan tak mengerti.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar