Tusuk Kundai Pusaka Jilid 09

 
Jilid 09

Yak-bwe tertawa mengikik dan sandarkan diripada tubuh In-nio. Bisiknya: “Siapakah Yang

suruh kau menjadi ciciku? Aku sudah tak punya sanak kadang lagi, kalau tak minta tolong padamu habis minta tolong siapa?"

“Ucapanmu Yang menyajat hati itu, mau tak mengurus pun terpaksa harus mengurus. Baik, bangunlah," kata In-nio. Ia mengatur rambut Yak-bwe Yang terurai, kemudian berkata pula:

„Dalam pertengahan bulan ini, Cin Siang akan menjelenggarakan rapat besar kaum enghiong. Tentunya kau sudah mengetahui hal itu. Turut pendapatku, Khik-sia tentu akan datang untuk melihat-lihat. Taruh kata ia tak datang, pun disana kita tentu dapat bertemu dengan kawan- kawannya Yang bisa memberi keterangan."

“Kau artikan kita akan pergi juga? Tapi aku pernah bertempur dengan tentara negeri. Walaupun Cin Siang telah mengumumkan takkan menangkap orang-orang Yang pernah melanggar hukum, tapi kitapun tak boleh mempercajainya seratus persen. Dan jangan lupa, bahwa kita ini anak perempuan. ya, meskipun kita dapat menyaru sebagai anak lelaki dengan bagas, tapi ditempat dimana kaum persilatan Yang kasar sama berkumpul, rasanya gerak gerik kita tetap tak leluasa juga," bantah Yak- bwe.

In-nio menertawakan: “Tak usah banyak kekuatiran. Hal itu telah kupikirkan semua. Aku dapat menjaminmu Ayahku sekarang sedang pergi ke Gui-pok. Nah, akan kuambil cap kebesarannya dan kucapkan pada sepucuk surat keterangan. Kita akan menyaru jadi opsir sebawahannya Yang ditugaskan mengurus suatu pekerjaan ke Tiang-an. Siapa Yang berani mengganggu-usik pada kita lagi? Di Tiang-an, ayah mempunyai sebuah pesanggrahan. Kita tak perlu tinggal dihotel, tapi bermalam dipesanggrahan itu saja. Dengan selalu menjauhi kawanan orang persilatan itu, masakan kita takut apa lagi."

Yak-bwe kegirangan dan menjetujui rencana itu.

“Jika berjumpa dengan Khik-sia, aku dapat memberi penjelasan padanya. Juga terhadap urusanmu dengan Tok-ko Ing, karena akupun kenal dengan kakak beradik she Lu, biarlah ku¬minta bantuan Lu Hong-jiu untuk menyampaikan halmu kepada Tok-ko Ing. Dengan demikian, dapatlah urusanmu itu dibebaskan."

Yak-bwe makin girang dibuatnya. Mulutnya tak henti-hentinya menghaturkan terima kasih.

„Tahukah kau mengapa ayahku pergi ke Gui-pok?" tanya In-nio. “Bagaimana aku tahu?" sahut Yak-bwe.

“Ialah untuk urusanmu juga. Setelah kotak emas Tian pehpeh kauambil, ia menjad: ketakutan setengah mati. Bukan saja ia batalkan pernikahanmu itu. pun ia berjanji takkan mengganggu wilayah Lu-ciu lagi. Ia menyalakan mau menjadi serekat ayah angkatmu. Kepergian ayahku ke Gui- pok itu, ialah hendak menjadi orang perantara mereka. Ha, adik Bwe, kau sungguh hebat. Peristiwa kau merampas cap kebesaran Tian Pehpeh itu, kelak tentu bakal menjadi buah tutur Yang indah," kata In-nio.

”Jangan keliwat memuji setinggi langit," Yak-bwe tertawa, tentang kepandaian, aku tak nempil

padamu. Ilmu permainanmu hui hoa-cu-tiap tadi, sampai membuat aku mengiler benar. Beberapa tahun aku belajar ilmu pedang, tetap tak mampu bermain sedemikian sempurnanya. Cici. dimasa kecil kau sering memberi petunjuk padaku, sekarang aku hendak minta petunjukmu lagi."

Suasana pertemuan dan pembicaraan dgn In-nio itu, telah memberi banyak kegembiraan pada Yak- bwe. Karena hari masih belum' gelap, ia lantas cabut pedangnya dan mainkan ilmu pedang hui-hoa- cu-tiap. la minta In-nio memberi petunjuk dibagian Yang masih kurang baik. Baru bermain sampai 10-an jurus lebih, tiba-tiba terdengar orang berseru: “Ilmu pedang Yang bagus!"

Cepat-cepat Yak-bwe hentikan permainannya. Dilihatnya di dalam taman muncul seorang pemuda. Dan pemuda Itu, astaga kiranya sipemuda desa Yang dijumpainya dirumah makan itu.

Pemuda itu tertawa berkata: “Orang hidup tentu sering berjumpa. Sungguh tak nyana disini kita saling berjumpa lagi."

Yak-bwe dekki mata dan membentaknya: “Mengapa kau berani masuk kedalam taman Ini?" “Tadi ketika diluar pagar, kudengar suaramu. Mengingat bahwa kau telah memberi persen aku setahil perak, ya. walaupun uang itu telah kuberikan pada pak pengemis, tapi aku tetap meiasa

menerima sesuatu dari kau. Karena belum meniatakan terima kasih, maka aku masuk kemari. He, mengapa kau sekarang berubah menjadi seorang nona?"

Walaupun Ya k bwe masih hijau pengalamannia, tapi pada saat itu, ia pun dapat merasa tingkah laku pemuda desa Itu bukan pemuda biasa. Cepat ia menghaturkan maaf: “Tadi karena hilaf, aku telah memandang rendah padamu, maafkanlah. Tapi mengapa kau kenal akan ilmu pedang Yang kumainkan tadi?"

Tertawalah sipemuda itu: “Kau memberi persen perak, tetapi malah m'nta maaf, ini aku tak berani menerimanya. Ha. ha, aku hanya bahu mencangkul sawah saja, tak mengerti apa itu ilmu pedang atau ilmu golok" “Tapi mengapa kau berseru memuji?" tanya Yak-bwe.

“Karena selama hidup aku belum pernah melihat seorang nona bermain, pedang. Saking heran, tanpa terasa aku berseru memuji"," sahut sipemuda.

Melihat orang berlagak pilon, Yak-bwe menjad: kuranp senang: “Aku sudah minta maaf, tapi kau tetap hendak mengolok-olok ." Ia mendamprat dalam hati.

“Kau lancang masuk kemari, tetapi kubiarkan saja. Kau pun jangan mengurusi urusanku," ia menyelutuk. Kata-kata itu berarti menyuruh orang pergi.

Tapi rupanya pemuda itu bandel sekali. Bukannya pergi, sebaliknya ia malah beringsut-ngsut menghampiri Yak-bwe. serunya: “Ih, kata-katamu itu membingungkan aku. Bilakah aku menaurus: urusan nona?"

Penyaruannya telah diketahui oleh sipemuda, Yak-bwe sudah kurang senang, tapi ia tak leluasa menjelaskan bahwa Yang dimaksud dengan urusan itu, ialah tentang hal itu. Sesaat hatinya bingung-bingung jengkel, tapi belum ia sempat meluapkan kejengkelannya itu, sipemuda itu sudah mengoceh seorang diri: “Sebenarnya, orang Yang suka usil mengurusi urusan, juga bukannya tak baik. Tadi dirumah makan, jika tak ada orang Yang suka usilan, kurasa ah, nona ah. belum tentu menang dengan si imam busuk dan sikepala gundul itu."

Tergerak hati Yak-bwe, diam-diam ia membatm: "Apakah diam-diam dia Yang membantu aku? Mengapa aku tak merasa sama sekali?"

Baru ia menimang begitu, tiba-tiba In-nio kedengaran memaki seraya mencabut pedangnya: “Berani lancang masuk kedalam tamanku, kau sungguh tak punya aturan sekali, ini rasakan pedangku!'' Berbareng dengan berkumandangnya kata-kata, orangnyapun sudah menyerang sipemuda dengan jurus giok-hi-joan-soh atau bidadari menyusup tali. Kejadian itu amat mengejutkan Yak-bwe. In-nio biasanya lebih sabar dari ia. Mengapa tanpa berkata sepatah pun jua, ia lantas menyerang orang.

Bahkan serangannya itu menggunakan jurus Yang berbahaya.

Benar Yak-bwe tak senang dengan pemuda itu, tapi ia belum sampai hati untuk menghajarnya sampai binasa. Tanpa terasa ia Segera berseru mencegah: “Cici, cici, kau "

Belum seruannya selesai, In-nio sudah lancarkan tiga kali serangan, sehingga Yak-bwe tak dapat meneruskan seruannya lagi. Ti¬ga serangan berantai dari In-nio itu dengan indahnya telah dihindari oleh sipemuda. Jelas tampak oleh Yak-bwe, bahwa pemuda itu takkan terancam jiwanya. Diam- diam ia membatin: “Kiranya orang ini lihay sekali dan hendak mengolok-olok kita." Pada lain saat

ia berpikir lagi: “Biasanya ci In itu sabar, tentu ada sebabnya ia sampai bertindak keras." Yak-bwe ambil putusan akan melihat dari samping dulu. Tak mau ia mencegah In-nio lagi.

Dilihatnya setiap kali pedang In-nio menyambar, pemuda itu hanya menghindari dengan gerak langkah beringsut-ngsut . Beberapa kali pedang In-nio tampaknya sudahberhasil menusuk, tapi dalam jarak hanya seujung rambut saja selalu dapat dihindari oleh sipemuda.

“Kau berani menghina aku, ayo, loloslah senjatamu!" bentak In-nio. Habis berseru, tiba-tiba ia gantikan serangannya dengan jurus hong-biau-lok-hoa (angin meniup bunga berguguran). Jurus itu terdiri dari 7 buah serangan berturut-turut Yang sukar diduga isi kosongnya.

Laksana bunga gugur, sinar pedang berhamburan jatuh menyilaukan kegelapan malam. Jurus itu merupakan timpalan dari ilmu permainan pedang hui-hoa-cu-tiap (bunga bertebar mengejar sang kupu-kupu). Diam-diam Yak-bwe malu pada dirinya sendiri. Ia pentang mata Lebar-lebar untuk melihat bagaimana sipemuda hendak melayaninya. “Aduh, celaka!" teriak pemuda itu. Tiba-tiba ia tergelincir jatuh.

Tapi baru Yak-bwe terkesiap kaget, dilihatnya pemuda itu dua kali berputaran ditanah, kemudian loncat berjumpalitan dan jaraknya dengan ujung pedang In-nio hanya sejari saja. Sepintas pandang, ia seperti terpontang-panting tapi sebenarnya ia telah mainkan gerak cui-pat-sian atau Delapan dewa mabuk, Yang indah sekali.

Sebenarnya Yak-bwe jemu dengan, pemuda itu, tapi menyaksi-kan permainannya Yang sedemikian luar biasanya, mau tak mau ia berteriak memuji juga.

In-nio juga tak kurang tangkasnya. Begitu tusukannya me¬nemui tempat kosong, ia sudah susuk lagi dengan lain serangan. Rupanya pemuda itu tahu juga akan llhaynya ilmu pedang In-nio. Ja merasa jika melajani dengan tangan kosong, lama-lama tentu akan menderita juga ahirnya. Ketika In-nio kembangkan serangannya Yang kedua, tiba-tiba pemuda itu berseru: “Karena tak dapat mengganti pedang dengan golok, terpaksa aku hendak gunakan kaju untuk melajani. Maaf, aku hendak merusak sebatang dahan pohon liu kepunyaanmu."

Dalam berkata-kata itu,ia sudah memotes sebatang dahan liu, terus dimainkan. Dalam rangsangan pedang In-nio, daun-daun pada dahan pohon Yang dipakai sebagai sendiata oleh pemuda itu, berhamburan jatuh. Dalam sekcjab saja dahan itu sudah bersih menjadi sebatang tongkat. Anehnya, hanya daunnya saja Yang terkupas hilang, sedang batangnya tetap tak kena terpaKsa pedang In-nio. Kini pemuda itu mulai kembangkan permainannya. Dahan liu dimainkan dalam jurus permainan pedang. Ditangan sipemuda, dahan kaju itu berobah menjadi senjata Yang hebat perbawa-nya.

Belum In-nio menghabiskan 7 jurus serangan berantainya, sudah kena disiak kesamping oleh dahan liu sipemuda.

Diam-diam heranlah Yak-bwe. Bahwa kepandaian pemuda itu lebih tinggi dari In-nio, itulah sudah terang. Tapi Yang lebih mengagumkan lagi, jurus permainan pedang dengan menggunakan dahan pohoa itu, juga luar biasa anehnya. Sampai sekian lama memperhatikan barulah Yak-bwe teringat, bahwa permainan pedang kayu sipemuda itu serupa dengan pertandingan pedang antara Thiat-mo- lek dengan Bo Se-kiat digunung Kim-ke-nia tempo hari.

Permainan ilmu pedang itu mengutamakan tenaga lwekang Yang tinggi baru dapat dikembangkan dengan baik. Walaupun hvekan pemuda itu cukup lihay, tapi terang kalau masih kalah dengan Thiet-mo-lek. Tempo hari Thiat-mo-lek gunakan pedang Yang berat, sedang pemuda itu kini gunakan dahan pohon Yang enteng untuk melawan pedang In-nio Yang berat. Ini juga bukan suatu hal Yang mudah. Oleh karena itu walaupun In-nio kalah dalam hal lwekang, tapi ia mendapat kemurahan dalam hal senjata. Permainan Yang d!imaiinikan In-nio, adalah ilmu pedang Yang paling diandalkan. Untuk menghadapi permainan pedang kayu dari sipemuda, ia memerluka waktu

Yang agak lama. Begitulah Berselang beberapa saat, kira-kira setelah 20-an jurus lewat, pemuda itu mulai kendor permainannya. Berangsur-angur mulailah ia kalah angin.

Diam-diam Yak-hwe girang: “Kali ini rupanya ci In tentu akan memberi hajaran pada orang itu." Tapi kegirangannya itu mendadak berobah menjadi kekagetan ketika sekonyong-konyong dalam sebuah gerak menyongsong kemuka, dahan kayu sipemuda itu berhasil mendorong pedang In-nio kesamping. Kiranya gerak tamparan dari sipemuda itu juga menggunakan salah sebuah jurus dari ilmu pedang hui-hoa-cu-tiap.

“Bagusi" In-nio berseru seraya geliatkan pedangnya untuk lolos dari libatan dahan liu. Sret, sret, pedangnya berkilat kian kemari aksana kupu-kupu menari diantara bunga atau burung kenari menjusup kebawah daun. Isi kosongnya serangan itu sukar diduga sekali. Memang itulah jurus Yang disebut tiap-bu-ing-hui atau kupu-kupu menari burung kenari terbang. Sambil memuji, pemuda itu putar dahan pohonnya berganti jurus ceng lo-siau-san, dahan liu dikiblatkan dan kakinya berlincahan. Gerakannya sungguh mirip dengan suasana Yang dilukiskan dalam sajak ceng-lo-siau-san-boh-liu-ing atau goyangkan kipas menangkap kunang-kunang: Indah sekali, ia pecahkan serangan In-nio.

Jurus tiap-bu-ing-hui itu tak mengutamakan tenaga kekuatan. Dan memang Biau Hui Sin-ni telah menciptakannya kusus untuk wanita. Setiap gerakannya disesuaikan dengan keindahan gerak badan, maka bila dimainkan tak ubah seperti orang menari.

Pemuda Yang mengenakan dandanan Seperti pemuda desa itu, dengan dahan kaju ikut menari-nari untuk menghalau serangan, sudah tentu gerakannya lucu sekali. Tapi dikarenakan luar biasanya jurus Yang dimainkan itu, maka dari merasa geli sebaliknja Yak-bwe malah mengikuti dengan penuh, perhatian.

Pada waktu pertempuran mencapai klimaksnya, tampak bunga-bunga bertebaran gugur, suatu hal Yang lebih menyemarakkan suasana pertandingan. Pada lain saat pemuda itu juga menggunakan permainan ilmu pedang Yang serupa dengan In-nio. Pada saat itudah segera terdapat keseimbangan kekuatan. Dahan liu dimainkan tepat seperti sebatang pedang. Sedemikian mahir pemuda itu memainkannya sehingga dapat mengembangkan inti keindahan ilmu pedang, jari lemah gemulai laksana ujung tangkai itu, sigap beringas bagai burung hong kaget. Setiap jurus penuh mengandung perobahan-perobahan Yang sukar diduga.

Yak-bwe tersensam sekali, ia begitu terpesona sekali ia sampai lupa soal kaiah menangnya. Pikirnya: “Kiranya ilmu pedang dari suhu itu, mempunyai banyak perobahan Yang indah." Setelah mengikuti sekian lama, tiba-tiba ia seperti disadarkan: “Aneh, mengapa pemuda itu mengerti akan ilmu pedang itu? Rupanya malah ia lebih faham dari ci In."

Tiba-tiba pemuda itu tindihkan dahan pohonnya kepinggir pedang dan tertawa: “Tak perlu bertempur terus, ya?"

In-nio tarik kembali pedangnya. “Apakah Pui suheng?" tegurnya.

Pemuda itu lemparkan dahan kayunya dan lalu memberi hormat: “Ya, memang benar, harap sute berdua memaafkan."

Heran Yak-bwe dibuatnia, pikirnya: “Bilakah suhu menerima se¬orang murid lelaki? Ha, suheng dari mana ini?

In-nio segera melambainya supaya datang, katanya: “Pui suheng ini, adalah tit-Ci (keponakan) dari suhu. Dia adalah murid dari Mo Kia lojin."

Memang Yak-bwe tak begitu tahu tentang asal usul suhunya ketika belum menjadi nikoh (rahib). Kiranya Biau Hui Sinni itu orang she Pui. Ia mempunyai seorang adik lelaki Yang sudah meninggal. Adiknya itu mempunyai anak lelaki Yang bernama Pui Bik-hu. Biau Hui kasihan pada anak itu. Selain diserahkan pada Mo Kia Lojin untuk belajar silat, ia sendiripun menurunkan kepandaiannya kepada keponakannya itu. In-nio tahu akan hal itu karena ia lama bergaul dengan suhunya. Itulah sebabnya maka In-nio tahu tentang urusan itu, sebaliknya Yak-bwe tidak. “Apakah suhu baik-baik saja?" tanya In-nio.

“Bulan Yang lalu beliau telah genap berusia 80 tahun Beliau ambil putusan akan menutup pintu meyakinkan pelajaran agama, selanjutnya tak mau keluar kedunia persilatan lagi. Beliau menitipkan sepucuk surat padaku supaya diberikan padamu," jawab Bik-hu. In-nio melihat tulisan pada sampul itu benar buah tangan suhunya. Setelah memberi hormat, barulah ia membukanya. Trrnyata isi surat itu jalah hendak memperkenalkan Bik-hu kepada In-nio, Dika takan bahwa Bik-hu itu masih hijau baru saja menyelesaikan pelajaran silatnya dan hendak terjun kedunia persilatan. Oleh karena itu, sukalah In-nio memimpinnya dan menganggapnya sebagai adik dsb.

Surat itu diberikan kepada Yak-bwe juga dan tertawalah In-nio:

“Ah. suhu terlalu sungkan. Kita kan seperti orang serumah, masakan perlu pelajaran khusus?" Waktu melihat dalam surat itu tertera hari dan tanggal lahir Bik-hu, tahulah Yak-bwe? kalau pemuda itu lebih muda beberapa bulan dari In-nio, tetapi lebih tua setahun lebih dari ia. Diam-diam Yak-bwe geli diibuatnya, pikirnya: “Ai, suhu memang banyak ini itu. Cukup mengatakan Pui Bik-

hu ini pernah sute dan ci In itu sucinya. kan sudah jelas. Perlu apa menerangkan hari lahir, se¬perti orang hendak mencari hari untuk perjodoan."

Memang Yak-bwe tak tahu kalau Biau Hui sin-ni itu justeru bermaksud begitu. Bik-hu itu adalah keponakannya sendiri, sudah tentu ia mengharap agar anak itu mendapat jodoh yang baik. Dua orang anak muridnya, Yak-bwe sudah ditunangkan pada Khik-sia, tinggal In-nio Yang masih bebas. Ini sudah diketahuinya. Menurut penilaiannya, In-nio itu lebih masak pikirannya, perangainyapun mencocoki seleranya (Biau Hui). Oleh karena itu ia mempunyai minat untuk menjodokan Bik-hu dengan In-nio. Hanya saja, Biau Hui pun tahu juga akan soal pernikahan. Pernikahan harus dida¬sarkan rasa saling suka pada kedua fihak. Jika ia menggunakan kedudukannya sebagai suhu

menjodokan mereka, dikuatirkan In-nio tak senahg dan mengatakan suhunya itu hendak

menggunakan pengaruh untuk memaksanya. Maka dari itu, dalam surat iapun tak mau menjelaskan, melainkan titipkan keponakannya itu kepada In-nio. Maksudnya tak lain tak bukan, agar supaya kedua anak muda itu bisa berkenalan dari dekat dan dapat mengembangkan rasa suka mereka.

In-nio seorang nona yang berhati lapang. Hatinya sudah terisi oleh Bo Se-kiat. Dalam membaca surat itu, walaupun agak merasa aneh atas sikap suhunya Yang begitu sungkan, tapi ia tak dapat meraba maksud suhunya itu.

“Pui sute, kau memiliki ilmu kepandaian dari dua aliran. Aku sebagai suci sungguh merasa malu sekali. Kelak aku tentu akan minta petujuk-petunjuk dari kau. Ucapan suhu itu seharusnya ditukar- balik, baru benar," katanya dengan tertawa.

Yak-bwe pun tertawa Kau kan masih punya toa-suheng Thiat-mo-lek, masakan takut tak ada

orang Yang merawatimu?"

Muka Bik-hu agak tersipu merah, sahutnya: , Markas Kim-ke-nia dari Thiat suheng sudah

dihancurkan tenteta negeri, untuk mencarinya sungguh tak mudah. Maka paling baik kudatang kemari menemui suci berdua dulu."

Kiranya ia sudah tahu maksud dari bibinya (Biau Hui sin-ni). Adanya ia tak mau unjukkan diri

dulu; dan bertempur dengan In-nio, adalah karena ia hendak menjajal sampai dimana ilmu sifat In- nio Itu. Adakah nona itu layak menjadi pasangannya atau tidak.

“Ai, Pui suheng, kau pandai bicara. Sebenarnya kau kan hendak berkuojung pada ci In, mengapa diriku turut terbawa-bawa? Masakan kau dapat meramalkan bahwa. Hari ini aku juga datang kemari? Apa lagi aku ini bukan sucimu," Yak-bwe tertawa.

Bik-hu tertawa gelak-gelak, ujarnya: “Kalau begitu aku harus minta maaf padamu. Tadi ketika dirumah arak aku belum mengetahui kalau kau ini sumoayku. Perbuatanku tadi juga kurang pantas, membuat kau marah." “Pui suheng, sekarang aku sedikit jelas. Pertempuran Yang kumenangkan itu, tentulah karena mendapat bantuanmu secara diam-diam, bukan?" kata Yak bwe pula.

Bik-hu ganda tertawa: “Begitu kau turun tangan, aku segera tahu kalau kau ini tentu murid bibiku. Dan ketika habis menjengkelit kedua bangsat itu kau loncat kebawah, sebenarnya aku hendak menjelaskan padamu. Tapi karena kulihat kau sedang kegirangan maka akupun tak mau mengganggumu."

Yak-bwe kemerah-merahan wayahnya. Demi In-nio mengetahui peristiwanya, ia tertawa geli juga.

“Su sumoay, mengapa kau mengikat permusuhan dengan kaum Leng-san-pay?" tanya Bik-hu. Pertanyaan itu diajukan oleh Bik-hu karena ia mendengar juga percakapan antara kedua iman dan hweshio itu. Ia kira mereka ten¬tu benar hendak menangkap Yak-bwe.

“Aku sendiri juga tak tahu," sahut Yak-bwe. “Hm, apakah Leng-san-pay itu? Pui suheng, rasannya

kau tentu mengetahui tentang mereka itu."

“Aku baru saja keluar didunia kang-ouw. Orang Yang kukenal sedikit sekali. Aku tak tafiu asal usul kedua orang itu. Hanya saja, pernah kudengar dari suhu tentang kaum Leng-san-pay itu. Kau telah menggasak mereka, selanjutnya harus berhati-hati". kata Bik-hu.

“Apa? Apakah mereka itu tak dapat diganggu? Kulihat, walau kepandaian mereka itu lebih unggul setingkat dari aku, tapi rasanya tak begitu berlebih-lebihan, "Yak-bwe kurang puas.

“Dari pembicaraan hweshio itu, menunjukkan kalau ia anak murid Leng-san-pay. Benar dia itu biasa saja kepandaiannya, tapi suhunya Yang bernama Leng Ciu sangjin itu, benar-benar tak boleh dibuat main-main, “ kata- Bik-hu. Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan pula: “Leng-san-pay adalah salah satu anak cabang dari partai agama Ang-Kau di Se-ik (Tibet). Ketuanya, Leng Ciu Siangjin, itu seorang suku Han. Murid-murid yang diterimanya campur baur, ada suku peribumi ada suku Han, ada kaum paderi dari Thian Hui-kong, Kabarnya Leng Ciu siangjin itu adalah suheng dari Tian Hui-liong, seorang tokoh persilatan Yang termasyhur pada zamannya. Karena tak dapat melaksanakan cita-cita d daerah Tiong-goan, maka ia lantas,kabur kedaerah Se-ik, mencukur rambut menjadi paderi dan mendirikan sebuah partai."

In-nio terbeliak kaget, serunya: “Apakah Tian Hui-Liong itu bu¬kan suami dari Tian toanio, ayah dari Tian Goan-siu?"

Bik-hu mengangguk “ “Benar, pada masa itu tokoh-tokoh partai Ceng-pay (baik) telah mengepung Tian Hui-Liong, suhu dan bibiku juga turut. Dan dengan ikut sertanya juga Hong git Wi Gwat, se- gak-sin-liong Hong –hu Ko dll , barulah dapat mengalahkan orang She Tian itu.”

“Apalagi Leng Ciu siangjin itu suheng dari Tian Hui Liong, tentunya lebih hebat lagi......

Tetapi Leng-san-pay itu jauh sekali didaerah Se-ik. Dan Yak-bwe itu seorang nona tak ternama Yang baru keluar didunia persilatan. Sudah tentu ia tak kenal mengenal dengan orang-orang Leng- san-pay, tetapi mengapa dapat terikat permusuhan? Baik Bik-hu, In-nio bahkan Yak-bwe sendiri tak tahu sebabnya.

“Ah, tak usah kita hiraukan hal itu lagi. Pui suheng, hendak kemana kau?" kata In-nio. “Maksudku hendak ke Tiang-an untuk ikut dalam Eng-hiong-tay-hwenya Cin Siang. Ya, agar menambah pengalaman. In saci, apakah kalian juga berminat kesana?” kata yang ditanya

“Ya, Memang tadi aku dan Su Sumoay sedang merunding tentang kepergian kami ke Tiang-an. Kebetulan Pui Sute juga setujuan, jadi kita boleh bersama-sama kesana,” Katanya. Maksud Yak-bwe ke Tiang-an itu ialah hendak menyirapi diri Khik-Sia. Sebenarnya ia tidak suka pergi bersama Bik-hu itu, tapi karena In-Nio sudah meluluskan apalagi Bik-hu itu masih saudara seperguruan, maka iapun tak enak untuk membantah.

Begitulah malam itu itu Bik-hu menginap di rumah In-Nio, Keesokan harinya, mereka segera berangkat. In-nio dan Yak-bwe menyaru menjadi opsir tentara. Karena menganggap dalam pakaian sebagai pemuda desa itu, Bik-hu tak layak berjalan bersama mereka, maka In-nio minta Bik-hu menyaru menjadi seorang bu-koan pengawal. Dan mengajarinya juga sedikit tentang hal yang patut diketahui dan tingkah laku dari seorang anak tentara.

“Ho, selama ini aku selalu mengikuti suhu menjadi kacung pelayannya, kini tak nyana naik pangkat setinggi langit begini, menjadi anak militer. Tapi, ah, jadi seorang anak militer itu begini berabe, lebih baik jadi seorang kacung penggosok kaca sajan, “Bik-hu tertawa geli.

Kini barulah Yak-bwe mengerti bahwa adanya pemuda itu mengenakan pakaian -sebagai orang desa, bukan tak ada sebabnya. Ternyata Bik-hu selama itu, ikut pada suhunya Mo Kia tojin mengerjakan pekerjaan tersebut (gosok kaca).

Setelah membuat surat dinas yang hendak dihaturkan kepada pihak kerajaan dan memberi sabuk lencana pada Bik-hu, maka In-nio segera ajak kedua sumoay dan sutenya itu berangkat ke Tiang-an. Dalam perjalanan itu, mereka bercakap-cakap tentang cerita-cerita dan peristiwa-peristiwa didunia bulim. In-nio dapatkan, walaupun Bik-hu itu baru pertama keluar dari perguruan, tapi apa yang diketahui tentang keadaan, diluaran. tak kalah dengan ia.

Kiranya Mo Kia lojin itu berlainan sekali caranya memberi pelajaran pada muridnya. Bukannya menyuruh murid tinggal di Gunung belajar silat seperti lazimnya guru-guru lain, tetapi suruh muridnya itu memikul pikulan dan ikut padanya menjelajahi kota dan desa-desa . (Gosok kaca, adalah sebuah mata pencaharian, pada jaman dahulu. Pada jaman dulu, orang memakai tong Kia (kaca tembaga) bukan kaca gelas, maka lewat beberapa waktu, tentu harus digosok sampai mengkilap). Itulah sebabnya maka pengalaman dan pengetahuan Bik-hu,cukup banyak.

Diam-diam In-Nio menertawai suhunya. Bukan ia yang pantas mengurus Bik-hu, sebaliknya Bik-hu lah yang tepat mengurusnya. Tapi In-Nio hanya mengira kalau suhunya itu keliwat sayang pada kponakannya, maka keponakannya itu dikatakan sebagai anak kecil yang tak tahu apa-apa, haru diurusi orang. Ini menandakan bahwa sampai saat itu, In-Nio tetap belum mengetahui maksud yang sebenarnya terkandung dalam hati Biau Hui Sin-ni itu.

Karena berkendaraan kuda, dalam tujuh hari saja,. tibalah sudah mereka dikota Hin-peng, sebuah kota yang ramai. Dari Hin-peng ke Tiang-an, kalau naik kuda hanya memerlukan wak¬tu dua hari saja. Karena saat itu sudah menjelang petang, mereka bertiga lalu menginap disebuah hotel yang besar di Hin-Peng.

Tiba dimuka pintu hotel, tiba-tiba Yak-bwe mendengus heran, uh, dari mana datangnya dua ekor kuda Yang begitu bagus u!"

Ketika memandang, In-nio dapatkan pada tempat penambat kuda Yang terletak dihalaman hotel itu, sudah penuh dengan belasan ekor kuda. Diantaranya terdapat dua ekor kuda Yang menjolok mata. Yang seekor berbulu merah api, Yang seekor putih seperti salju. Sekali pandang, dapatlah diketahui bahwa Kedua binatang itu termasuk kuda bagus Yang mahal harganya.

“Itulah kuda ternama dari jenis keturunan Gong-ki. Yang dirampas oleh Bo Se-kiat tempo hari, juga sama dengan kuda itu. Aku pernah menunggangi, tapi kurasa, tetap tak mampu me¬nandingi ketegangan kedua ekor itu, “Yak-bwe berbisik-bisik. In-nio terkesiap kaget, pikirnya: “Apakah ada bangsa tay-lweko-Ciu disini?" Tay-lwe-ko-Ciu artinya jagoan istana Yang lihay.

Setelah menambatkan kudanya. ln-nio berindap-indap menghampiri kedua ekor kuda bagus itu. Setiap kuda yang dipersembahkan untuk raja, tentu dicap pertandaan. Tapi kedua ekor kuda itu lak punya noda sama sekali, apalagi cap.

Kuda itu perasa sekali. Begitu ada orang datang dan orang itu selalu mengimcarnya saja, iapun lantas beringas dan meringkik keras. Kakinya diangkat terus hendak disepakkan In-nio. In-nio cepat-cepat meniyingkir. Berbareng itu, terdengar orang miembentaknya!: “Hai, apa kau mau cari mampus, berani mengganggu kuda tuanmu!"

Dari ambang pintu hotel, seorang melongok keluar, tangan menuding mulut memaki, wayahnya aneh sekali mirip dengan tokoh Ti-pat-kay dalam dongeng Se Yu. Hidungnya mendongak seperti hidung babi, dahi rata dan rambut berwarna kuning diikat dengan Kim-hoan (gelang emas), mirip dengan bangsa thau-to (paderi) daerah Se-ik. Barangsiapa melihatnya tentu akan merasa muak. Yak-bwe tak dapat kendalikan kemarahannya lagi, ia segera balas mendamprat: “Kurang ajar, apakah lihat saja tak boleh, mengapa mulutmu memaki-maki?"

In-nio cepat menyetopnya. Ia tertawa menghaturkan maaf. “Harap taysu jangan marah. Karena selama ini belum pernah melihat kuda sebagus itu, maka tak kusengaja melihatnya beberapa saat." Melihat In-nio dan yak-bwe dalam dandanan sebagai seorang opsir apalagi ln-nio memuji kudanya serta menghaturkan maaf, redalah kemarahan paderi itu. Tapi terhadap Yak-bwe ia masih mendongkol, matanya berkilat-kilat memandangnya.

Ketika keduanya masih saling pencerengan (memandang dengan sorot bermusuhan), muncul pula seseoramg Yang terus menarik thau-to itu, kata orang itu dengun tertawa: “Wah, tak sembarangan kedua tayjin itu mengagumi kuda kami, suheng, seharusnya kau bergirang."

Orang iiu memberi isyarat mata kepada si thau-to. Si thauto tertegun, Tiba-tiba ia berobah kegirangan dan angkat tangan memberi hormat: “Maaf, aku memang berangasan sehingga tak tahu kalau tayjin berdua.

Kawan si thauto itu ternyata juga orang Se-ik, tapi mengenakan dandanan sebagai orang biasa. Hidung besar seperti singa, mulut lebar macam harimau, sepintas pandang tampaknya lebih gagah dari si thauto tadi. Ciri Yang menonjol pada orang itu jalan sepasang kelopak matanya menjusun kedalam. pertanda kalau dia seorang yang licin. Setelah memandang tajam-tajam kepada In-nio dan Yak-bwe, ia segera menyampaikan salam perkenalan: ...Siapakah nama tayjin berdua Yang mulai dan hendak menuju kemana saja?"

Yak-bwe hendak mendampratnya tapi cepat-cepat In-nio menariknya. Dengan sembarangan saja, ln-nio memberikan, nama palsu kepada orang itu.

“Oh, kiranya tayjin berdua juga akan, menuju ke Tiang-an. Beberapa hari lagi, di Tiang-an bakal ada Eng-hiong-tay-hwe. Beruntung kita tentu dapat kesempatan, melihatnya" kata orang itu. “Benar? Maafkan, k&mi sedang melakukan tugas, lak dapat bicara banyak-banyak", “tawar-tawar saja In-nio memutuskan pembicarann.

Terbentur tembok, orang itu meringis dan ngeloyor pergi. Ketika In-nio, Yak-bwe dan Bik-hu masuk kedalam ruangan dalam, dilihatnya si thauto tadi kembali ribut mulut dengan ciang-kui (pengurus). Ciang-kui itu kelihatan meminta maaf: „Maaf, kamar kelas satu sudah ditempati orang.

Tapi kamar Yang kusedediakan untuk taysu itu, juga menghadap kearah selatan. Dibanding dengan kamar kelas satu juga tak banyak bedanya. Baiklah taysu menginap disitu satu malam ini." “Ngaco!” bentak thauto itu, “Mengapa kau tak berikan ka¬mar kelas satu itu padaku? Hm, kalau ada orangnya suruhlah dia pindah!"'

Tampak kerut wayah ciang-kui itu menampil kesukaran, ujarnya,: “Tetamu itu lebih dulu datangnya."

“Tapi peduli dia datang lebih dulu atau belakangan, kau berani membantah perintah?" bentak paderi itu dengan murkanya.

Tiba-Tiba kedengaran nada seorang gadis melengking: “Sungguh dilarang terdapat manusia Yang begitu kurang ajar!"

Sekalian orang Yang berada disitu. terkesiap dan mencari" datangnya suara itu. Seorang nona Yang amat cantik, sudah tegak dihadapan thauto itu. Thauto itu melongo karena tak menyangka banwa Yang tinggal dikamar kelas satu itu temjata seorang nona jelita. Begitu kesima, ia melihat

kecantikan Yang gemilang dari gadis itu, sehingga tak dapat marah-marah lagi.

“Hm, dengan alasan apa kau hendak mengusir aku dari kamar itu?" tegur nona itu.

Thauto itu seperti terkancing mulutnya. Coba Yang berhadapan seorang lelaki, tentu sudah dilabraknya. Tapi Yang berdiri dihadapannya itu seorang jelita Yang molek. Sebesar-besar tinjunya namun masih nyalinya tak sebesar itu untuk menjatuhkan pu¬kulannya"

Seiorang hidung besar, kawan dari thauto itu, memandang dengan tak berkesiap kearah jelita itu.

Pada lain saat ia menghampiri sithauto dan mengucapkan beberapa patah kata. Mungkin Yang diucapkan itu bahasa daerah Se-ik, jadi tiada seorangpun Yang mengerti.

Jelita itu makin meradang, ia mendengus dan menantang: “Hm, kalian kasak kusuk apa itu? Kalau mau berkelahi, sitohkan maju!"

Sihidung besar tertawa: “Ah, nona salah mengerti. Aku menasehati suhengku untuk menghaturkan maaf padamu."

Sithauto agak terkesiap, wayahnya mengerunjut aneh. Tapi rupanya ia tak berani membantah perintah sutenya. Benar juga ia lantas memberi hormat kepada nona itu: “Masakan, ada orang lelaki hendak minta kamar yang dipakai wanita? Tadi karena tak tahu kalau kamar ini sudah dipakai nona, maka aku telah mengucapkan kata-kata kasar, harap nona maafkan." Diam-diam Yak-bwe geli dibuatnya, pikirnya: “Sepasang suheng dan sute ini, serasi sekali. Yang satu baik Yang satu jahat.

Rupanya sithauto itu sudah biasa minta maaf pada orang."

Setelah orang menghaturkan maaf, kemarahan jelita itu sudah berkurang, tapi masih mendongkol, la hanya ganda tertawa saja, dan tanpa membalas hormat sithauto ia lantas kembali masuk kedalam kamamja. Sambil .melangkah masuk, mululnya menjomel panjang pendek: “Mau main-main

dengan aku, ya? Hm, kurang ajar benar!"

Kamar nona itu terletak diujung gang. Waktu ia melangkah masuk, dan menjingkap tirai, kebetulan Yak-bwepun mengawasi kesitu. Samar-samar ia seperti melihat ada bayangan orang lelaki Yang pernah dikenalnya. Tapi karena jaraknya amat jauh dan gang itu gelap, apalagi begitu masuk sinona lantas menutup pula kamarnya, maka Yak-bwepun tak dapat melihat dengan jeias.

Hanya saja kedengaran lelaki itu rupanya tengah menasehati siinona, maka Yak-bwepun buru-buru pasang telinga. Pembicaraan. Yang bagian muka dilakukan dengan pelahan sekali hingga tak kedengaran jelas. Tapi pada ahirnya, karena silelaki agaknya marah, kata-katanyapun agak keras, jadi demikian 'mereka sudah tak mau cari setori, maka kaupun janganlah cari perkara lagi." Dari pcmbicaraan itu jelaslah kiranya bahwa sinona bermaksud hendak melanjutkan persetoriannya dengan thauto tadi, tapi silaki anggap tak perlu karena urusan toh sudah selesai sampai disitu.

Waktu dapat menangkap nada suara orang lelaki itu, terbeliaklah Yak-bwe. Ya, tak salah lagi, itulah nada suara Khik-sia. Sudah berulang kali ia bertengkar dengar. Khik-sia, maka ia pun tak asing lagi akan nada anak muda itu. Jangan lagi Kata-kata Khik-sia Yang diucapkan terahir itu, dapat didengarnya jelas. sekalipun hanya samar-samar saja, n,amun ia tetap akan dapat membedakannya sebagai nada suara pemuda itu.

Sekalipun begitu, Yak-bwe belum berani yakin seratus persen. ia menimang-nimang dalam, hati: “Masakan dia itu Khik-sia? Masakan dia berada dalam kamar dengan, seorang wanita? Apakah lain orang yang suaranya sama dengan dia? Tapi mengapa begitu persis sekali?"

In-nio tidak ikut pasang telinga, jadi ia tak mendengar suara. “pembicaraan Khik-sia tadi. Melihat Yak-hwe terbengong-bengong seperti orang Yang kehilangan semangat, ia segera menertawakannya: “Nona itu sungguh cantik sekali. Tidakkah kau kesima melihatnya? Ah, sayang

ia sudah bersuami. Kalau kau kurang ajar memandangnya dengan, lekat awas, suaminya tentu akan membikin perhitungan padamu. Sudahlah, jangan melamun, bereskan dulu kamar kita Baru. In-nio. hendak menghampiri ciang-kui (pengurus hotel), sihidung besar sudah mendahului. Sambil berdiri disebelah ciang-kui, sihidung besar tertawa cekikikan dan berbisik-bisik: “Siapakah nama nona itu tadi? Pemuda itu apanya? Tahukah kau?"

“Peraturan hotel ini ialah, asal membayar saja siapapun boleh menginap. Dan kita tak berhak untuk menanyai ketera¬ngan tentang pekerjaan dari tiap-tiap tetamu. Pertanyaanmu tadi, maaf, aku tak dapat mengetahui, “sahut Ciang-kui.

“Masakan nama mereka saja kau tak tahu?” tanya sihidung besar.

“Nona itu Yang mencatatkan nama padaku, tapi sipemuda tak turut datang," kata ciangkui.

„Tu diai, justeru Yang kutanyakan memang lama nona itu. Sipemuda tak begitu perlu bagiku/'ujar sihidung besar.

“Karena aku berasal dari daerah Se-ik. mungkin kau tak begitu d jelas tentang adat istiadat didaerah Tiong-tho (Tiongkok) sin:. Apabila seorang nona tak lebih dulu mengatakan namanya, kita tak leluasa bertanya padanya."

Sihidung besar kerutkan dahi, tiba-tiba ia merogoh keluar sebuah pundi uang, ujarnya: .”Cukup kauketahui she sinona itu saja, uang ini akan menjadi milikmu."

Pundi uang tak kurang dari sepuluh tail beratnya. Seketika berkilatlah mata siciangkui. Ia garuk- garuk kepala, tiba-tiba berkata: “Ah, teringat aku sekarang. Kudengar pemuda itu memanggil sinona, ah, apa itu oh, ja, nona Su."

Sithouto berteriak, matanya dipentang lebar-lebar, kerut wajahnya menampil kaget-kaget girang. Buru-buru sihidung besar menyikutnya.

“Bagus, uang ini untukmulah!" katanya dengan tertawa. Setelah memberikan uang pada ciangkui, ia lantas ajak suhengnya masuk kembali kekamarnya.

Melihat sihidung besar menjogok uang kepada ciang-kui untuk menanyakan tenteng she dari sinona tadi, heranlah In-nio dibuatnya. Tapi ia tak mempunyai dugaan lebih panjang . Berbeda dengan

Yak-bwe, Yang selain terperanjat pun terlintas dalam pikirannya akan peristiwa diwarung arak tempo hari dimana si iman mengoceh tentang diri Khik-sia.

“Ah sungguh kebetulan sekali. Nona itu orang she Su dan tempo hari imam itu mengatakan kalau Khik-sia mempunyai kawan akrab seorang nona. Apakah bukan nona itu Yang dimaksudkan? Tapi imam itu mengatakan kalau Khik-sia tak senang kepada sahabatnya wanita itu, tetapi mengapa sekarang ia tinggal sekamar dengan nona itu? “Damikian Yak-bwe menimang-nimang dalam hati. Makin memikir makin melantur tak keruan. Ia tak dapat menemukan jawabam Yang positip.

Waktu In-nio pesan kamar, ciangkui menjadi gugup dibuatnya. Karena melihat In-nio dan Yak-bwe mengenakan pakaian opsir, ciangkui itu ketakutan. Buru-buru ia memberi hormat dan menerangkan bahwa hanya tinggal dua buah kamar Yang masih kosong, entah in-nio suka menempatinya tidak. “Sungguh kebenaran, memang kita menghendaki dua buah kamar. Asal bersih, sudahlah. Kami bukan seperti paderi dari Se-ik itu, kalau tidak kamar kelas satu tidak mau," sahut In-nio.

Belum pernah ciangkui itu berjumpa dengan seorang pembesar militer Yang seramah itu.

Girangnya bukan main. Tersipu-sipu ia mengantar In-no dan Yak-bwe masuk. In-nio dan Yak-bwe satu kamar, sedang Bik-hu satu kamar. Lagi-lagi terjadi hal Yang kebetulan. Ka¬mar mereka hanya terpisah satu kamar dengan sinona dan pemuda tadi.

Setelah ciang-kui pergi, maka Bik-hu menghampiri ketempat In-nio, katanya: “Gerak gerik kedua orang Se-ik itu aneh sekali. Malam ini kita harus waspada."

“Ja, memang kulihat mereka itu bukan orang baik. Tapi kita dalam penyaruan setega: opsir tentara, rasanya mereka tentu tak berani mengganggu kita."

Bik-hu mengiakan. Setelah omong-omong beberapa saat, ia lantas kembali kedalam kamarnya sendiri Rupanya Yak-bwe mempunyai banyak pertanyaan, dalam hati. Setelah makan malam, hampir jam satu tengah malam tetap ia tak dapat tidur dan berdiri bersandar dimuka jendela.

Beberapa kali In-nio mengeceknya tidur, namun Yek-bwe tetap membisu tak mau menyahut. “Ai, siapa lagi Yang kaupikirkan?" tanya In-nio.

Yak-bwe seperti tenggelam dalam lamunannya Tampaknya ia tak mengacuhkan pertanyaan In-nio itu. Saat itu diluar halaman turun hujan rintik-rintik. Angin malam berembus membawa hawa dingin. Dihalaman terdapat sebatang pohon gotong (sejenis jambu). Daun-daunnya sedang berguguran memenuhi halaman. Awan gelap menutup rembulan, melain pekat pukau, sang angin mengantar hujan gerimis.

Yak-bwe merasa rawan hatinya. Tiba-tiba kedengaran ia merintih: “Ah, laut nan bebas lepas, ujung langit bagai bertetangga." Meskipun nadanya pelahan sekali, tapi karena diantar dengan basa- dalam, dendang rintihan kalbu Yak-bwe itu kedengarannya nyaring tajam bagai dering kelinting.

In-nio tertawa dan mengguncang-guncang tubuhnya, serunya: “Oho, kiranya kau sedang melepas rindu disini. Sayang Khik-sia tak berada ddsebelah sini hingga mensia-siakan kiriman suara hatimu. Sudahlah, jangan melamun yang tidak-tidak, apakah tak kuatir mengganggu orang tidur?"

Sudah tentu In-nio tak tahu bahwa sebenarnya memang Yak-bwe itu sengaja hendak mengganggu orang, tidur. Ia berharap Khik-sia mendengarkan suaranya. Tapi dalam batin Yak-bwe timbul kontradiksi (pertentangan) sendiri. Sebentar ia mengharap Khik-sia bisa mendengar dan datang.

Tapi sebentar ia harap orang didalam kamar sebelah itu bukan Khik-sia saja dan mudah-mudan Khik-sia itu tidak berada dihotel situ.

“Laut merupakan kesatuan ujung langit saling bertetangga. Hebat benar dua baris syair Yang dirangkai oleh Ong Pok itu. Karena hatimu sudah bersatu dengan Khik-sia, walaupun orangnya berada diujung langit, niamun seperti dekat dihati, itu kan tak perlu gelisah lagi. Ayoh, tidur sajalah."

Ia menarik tubuh Yak-bwe untuk disuruh masuk. Tapi ketika Yak-bwe berputar menghadapinya, temyata ujung mata nona itu mengembang dua titik air mata. In-nio merasa kasihan tapipun geli juga. “Kau memang mencamaskan hal Yang tak perlu dicemaskan. Kaku terus-terusan begitu, kukuatir kau akan menjadi senewen nanti," ujar In-nio.

In-nio hanya bermaksud berolok-olok saja, siapa tahu kata-katanya itu menyentuh perastean Yak- bwe sehingga menambah kedukaannya. Yak-bwe mengheki napas, katanya dengan sayu: “Ci In, mana kau tahu. Dalam keadaan seperti malam ini, dua baris syair tadi harus ditafsirkan sebaliknya, baru benar.

Jika dia beruar berada didekat sini, dia bukan orang yang menjadi tambatan hatiku."

Tak tahu In-nio kerena tujuan kata-kata Yak-bwe itu. Ujarnya; “Apakah kau sakit? Kedua baris sajak tadi hanya tamsil perumpamaan saja, mengapa pikiranmu kacau balau dan mengira kalau Khik-sia betul berada didekat sini?"

Yak-bwe menggigit bibirnya: “Ci In, aku bukan mengigau tak keruan, tapi jangan-jangan memang Khik-sia berada disini."

In-nio tersentak kaget, serunya: “Apa katamu? Mengapa dia berada disini?

Ucapan ln-nio itu telah diputus dengan dering suara dua batang pedang beradu. Menjusul terdengar Bik-hu berseru: “Mau apa kau, hai, bangsat kecil!"

Mendengar itu pucatlah wayah Yak-hwe, In-nio dengan sebat mencabut pedang, mendorong jendela terus loncat keluar. Terpisah sebuah rumah, tampak ada dua sosok bayangan sedang bertem¬pur diatas genting. yang menghadap kearah sini, terang adalah Pui Bik-hu. Sedang lawannya karena berdiri membelakangi, tak jelas siapa orangnya tapi rasanya In-no seperti sudah pernah tahu.

Tring, tring. sinar pedang berkelebatan dan Bik-hu kena didesak mundur oleh lawannya. Karena habis hujan, gentingpun licin dan hampir saja Bik-hu tcrgelincir. Tapt lawannya itu bukannya mendesak, melainkan hentikan serangannya, berputar tubuh terus melesat pergi.

Waktu melihat jurus serangan yang dilontarkan orang itu. In-nio terkesiap kaget. Siapa lagi dia kalau bukan Toan Khik-sia? Membayangkan hal itu, In-nio tegak terpaku.

Mengapa Khik-sia dapat bertempur dengan Bik-hu. Hal itu ternyata terjadi secara kebetulan. Kamar yang ditempati Khik-sia Itu termasuk kamar besar, dibagian tengahnya terdapat sebuah pintu. Khik- sia tahu juga kalau kedua orang Se-ik tadi bukan orang baik. Meskipun sudah memarahi Tiau-ing, tapi ia sendiri tetap berjaga-jaga. Sampai tengah malam ia tak tidur melainkan duduk bersemadhi diatas ranjangnya. Lewat tengah malam, tiba-tiba ia mendengar dendang suara Yak-bwe.

Terperanjat ia, terus loncat keluar memburu arah suara itu.

Disana Bik-hupun juga menaruh kecurigaan terhadap kedua orang Se-ik tadi. Untuk menjagai sesuatu kemungkinan, siang-siang ia sudah mendekam diatas wuwungan. Begitu tampak Khik-sia loncat keluar dengan gerakan yang sebat sekali!, kuatir kalau tak dapat mengatasi, Bik-hu segera turun tangan lebih dulu. Begitu Khik-sia tiba didekatnya, ia segera menerjangnya dengan sebuah tabasan. Karena ilmu pedang Bik-hu itu berasal dari dua aliran, maka hebatnya bukan terkata.

Hampir saja Khik-sia termakan. Terpaksa iapun segera mencabut pedang dan melayaninya. Begitu bertempur, keduanya sama tersentak kaget. Masing-masing sama mengagumi kepandaian lawan. Tapi Khik-sia ternyata lebih unggul setingkat. Dalam jurus yang ketujuh ia herhasil mendesak Bik- hu yang terpaksa mundur dan hampir saja tergelincir tadi.

Karena gerak geriknya diketahui orang, Khik-sia menjadi tak enak. Pikirnya: “Kalau sampai ramai- ramai, tak baik dilihat orang. Dengan dilihat orang. Sekalipun bertemu dengan Yak-bwe, tapi tak leluasa untuk bicara. Dan masih belum dapat dipastikan, apakah yang bersenanjung tadi Yak-bwe atau bukan. Ah, lebih baik kukembali kedalam kamar dulu, besok pagi biar kutemui mereka lagi." Tapi lain Khik-sia lain Bik-hu. Kalau yang tersebut duluan hendak menyingkir, Yang tersebut belakangan itu sebailiknya malah ngotot. Sejak keluar dari perguruan, baru pertama kali itu Bik-hu menderita kekalahan. Hal itulah Yang membuatnya penasaran. Apalagi saat itu In-niopun tampak keluar melihat. Dihadapan sang suci itu, lebih-lebih ia tak mau kehilangan muka. Maka segera ia membentak karas: “Hai bangsat kecil, apa maksudmu mengintip kemari? Kalau tak mau bilang terus terang, jangan harap ngacir pergi!"

Sekali enjot kakinya, ia terus loncat menerjang dengan gerak eng-ki-tiang-gong atau burung garuda melayang diudara. selagi ma¬sih melayang diudara ujung pedangnya sudah menusuk.

Seragan itu telah membuat Khik-sia marah. Ia tak kenal siapa Bik-hu itu dan apa hubungannya

dengan Yak-bwe. Sudah tentu ia segan memberitahukan tentang keluarnya dari kamar tadi. Seketika ia menegur: “Ah, rupanya saudara suka usilan. Karena sau¬dara keliwat mendesak, apa boleh buat aku terpaksa melayani!"

Lintangkan pedang, ia tangkis serangan Bik-hu. Kali ini ia gunakan 8-9 bagian tenaga iwekangnya. Tubuh Bik-hu hanya tergetar tapi tak sampai jatuh. Cepat pemuda itu (Bik-hu) menjusul: dengan jurus serangan kedua yakni hi-siang-cian-te ? atau ikan menyelundup kedasar. Memang dalam hal lwekang, ia kalah dengan Khik-sia Tapi ilmu pedang yang dimainkan Ialah ilmu pedang istimewa warisan diri Biau Hui sin-ni. Ilmu pedang itu mengutamakan pokok dengan kelemasan menundukkan kekerasan, meminjam tenaga pukulan lawan untuk memukul lawan. Dengan kekalahannya yang tadi, kini Bik-hu makin berhati-hati. Saat itu mereka berdua bertempur diatas wuwungan rumah yang tak begitu licin seperti diatas genting atap:. Dengan begitu dapatlah ia mengatur keseimbangan kakinya lebih stabil. Tapi setelah berlangsung tiga jurus, kembali Bik-hu kalah angin. Hanya saja tidak serancu tadi, kini keadaan lebih baikan, dapat bertahan dapat pula menjerang.

“Pui sute, berhentilah, itu orang sendiri" tiba-tiba In-nio berseru.

Bik-hu tertegun, cepat ia menghindar kesamping. Khik-sia merasa kenal dengan nada suara itu, tapi pikirannya tak sampai pada dugaan kalau In-nio. Selagi ia hendak bertanya, sekonyong-konyong terdengar letusan. Dari kamar sebelah sana terpantiar sinar api. 

Dalam pancaran api itu tampak Su Tiau-ing loncat keatas genting dan bertempur dengan si thau-to. Gerakan thau-to itu gesit sekali, tapi kena diuga ia kecipratan dengan letikan api hingga ada beberapa bagian kulitnya yang terbakar.

......Siluman perempuanyang tak kenal selatan. Disuruh minum arak manis tidak mau minta arak kecut, bahkan kurang ajar berani membakar hud-ya!" dengan marah-marah sitiau-to berseru seraya mencabut golok dan menahas Su Tiau-ing.

Kiranya memang paderi itu hendak menculik Su Tiau-ing. Kebetulan saat itu Khik-sia sedang keluar hendak mencari Yak-bwe, jadi: dengan leluasa dapatlah thau-to itu menghampiri kamar Su Tiau-ing. Ia lak mau membikin kaget orang, maka dilubanginya kertas jendela, kemudian meniupkan dupa hius ke-bing-ngo-ko-hom-hun-hiang kedalam kamar.

Tapi ternyata Su Tiau-ing itu juga tangkas sekali. Begitu mencium bau yang mencurigakan, ia segera bertindak. Kim-ciam-liat-yan-tin atau jarum emas peluru api. segera ditimpukkan. Kim-cian liat-yan-tan itu btrbentiik oval (bujur lonjong) dplamnya terisi obat pelsdak dan beberapa batang diarum bwe-hoa-ciam Yang hahiis. Untung tahu-to itu memiliki ilmu lindung kim-ciong-toh. Cukup melindungi bagian mukanya saja, diarum-arum hwe-hoa-ciam itu tak dapat menembus bagian tubuhnya. Tapi sekalipun begitu, bahan peledaknya meletus dan membakar juga kulitnya. Dari dering adu senjata. tadi, dengan kepandaiannya yang tajam dapatkah Khik-sia mengetahui bahwa Su Tiau-ing kalah unggul Sewaktu api muncrat tadi, Su Tiau- ingpun segera dapat melihat Khik-sia. Cepat ia meneriakinya: Khik-siia, lekas kemarilah!"

Dalam saat seperti itu, Khik-sia tak sempat untuk mengamati siapa In-nio itu, karena ia harus menolong Su Tiau-ing lebih dahulu. Tapi selagi Khik,-siia loncat ketempat Su Tiau-ing, hidungnya tiba-tiba tersampok dengan angin yang berbau amis. Temjata sihidung besar, yakni kawan dari sithauto, sejak tadi sudah bersembunyi ditempat gelap. Begitu Khik-sia hendak membantu Su Tiai- ing, iapun cepat menerjang keluar dengan sebuah hantaman.

Dari angin yang amis itu, tahulah Khik-siai kalau sepasang tangan orang itu beracun. Marahlah ia dibuatnya. Ia ambil putusan hendak memberinya pengajaran. Setelah menutup jalan darah. Khik-sia kerahkan Iwekangnya dan menangkis pukulan beracun orang itu.

Tar dua buah tinju saling beradu keras. Racun yang terdapat ditelapak tangan sihidung besar itu

tak dapat menembus tubuh Khik-sia, sebaliknya malah kena dipentalkan kembali. Hidung besar itu coba gunakan ilmu Cian-kin-lui untuk menahan tubuhnya, namun tetiap terhuyung-huyung hendak rubuh.

Tiba-tiba saat itu Su Tiau-ing menjerit "aduh”, seperti orang yang terluka.Khik-siapun tak mau terlibat dengan sihidung besar itu lebih lama lagi. Cepat ia dorongkan tangannya kemuka hingga sihidung besar itu sempoyongan tersurut mundur Sampai keujung pahon. Untung kakinya dapat mengait tiang rusuk, hingga tak sampai terpelanting jatuh.

Jeritan Su Tiau-ing tadi ternyata dapat menolong jiwa sihidung besar yang sudah diambang pintu ahirat. Karena jeritan itu maka Khik-sia lantas tinggalkan sihidung, besar untuk menghampiri ketempat Su Tiau-ing. Coba tidak begitu, tentu ia sudah memberi hajaran lagi pada hidung besair itu. Memang kepandaian hidung besar itu tetap kalah dengan Khik-sia. Racun yang sudah dikerahkan ditelapak tangannya tadi kena ditampar balik oleh pukulan Khik-sia. Itu masih untung kalau hanya begitu saja, coba racun itu mengalir balik kedalam tubuh terus menyerang jantungnya, dia pasti akan melayang jiwanya.

Khik-sia telah menghantam sekuat-kuatnya tadi, tapi ternyata tak dapat menggulingkan si

hidung besar. Hal ini membuatnya heran juga. Ternyata walaupun si thau-to itu pernah suheng, tapi kepandaiannya kalah dengan sutenya si hidung besar itu. Saat itu si thau-to rasakan belakang batok kepalanya tersambar angin, buru-buru ia hantamkan goloknya ke belakang. Tapi Khik-sia sudah mengisar, dengan jurus Kwan-ping-hong-in atau Kwan Ping mempersembahkan cap. Tangan kiri dibuat menyanggah siku orang, sedang tangan kanan dibuat mencengkeram pundaknya. Tapi pada saat-saat yang berbahaya bagi si thau-to itu, untung si hidung besr keburu datang. Secepat kilat orang itu segera menghantam punggung Khik-sia. Karena gangguan itu, Khik-sia terpaksa alihkan tangan kanannya untuk menyambut serangan si hidung besar. Terlepas dari ancaman, si thauto berputar-putar beberapa kali, baru ia berdiri tegak. Sebaliknya dalam adu pukulan dengan si hidung besar itu, Khik-sia menderita sedikit kekalahan dan terpaksa mundur tiga langkah.

Perangai thau-to itu amat berangasan sekali. Selama mengembara, baru malam itu ia menderita kekalahan di tangan Khik-sia. Saking marahnya, ia sampai berkaok-kaok seperti babi hendak disembelih. Dan tanpa memperhitungkan bahwa tadi baru saja lolos dari lubang jarum, segera ia maju menyerang lagi.

”Tiau-ing, apakah kau terluka?” tanya Khik-sia.

”Tak mengapalah. Tapi hinaan itu, sukar ditebus. Khik-sia, hajarlah mereka!”

Kuatir Khik-sia tak mau meluluskan, Su Tiau-ing kembali menguatkan alasannya: ”Mereka yang hendak mengganggu aku, bukan aku yang mencari perkara.”

”Baik, kembalilah ke dalam kamar. Aku dapat mengurus mereka, tak perlu kau turut campur urusan di sini,” sahut Khik-sia.

Khik-sia berganti siasat bertempurnya. Seketika delapan penjuru penuh dengan bayangannya. Kedua lawannya itu segera merasa seperti didera oleh angin yang menampar ke mukanya. Kiranya Khik-sia telah mengombinasikan ilmu gin-kang dengan pukulan yang penuh dengan variasi perubahan. Ia mengurung mereka rapat-rapat, begitu ada kesempatan terus hendak menangkapnya hidup-hidup.

Sebetulnya jika kedua orang Se-ik itu bersatu menghadapi Khik-sia, rasanya kekuatan mereka tak di bawah lawan. Tapi dikarenakan Khik-sia menggunakan ilmu gin-kang yang luar biasa

pesatnya, ditambah dengan cuaca malam yang gelap dan genting yang licin karena habis tersiram hujan, mereka menjadi panik dan tak dapat mengembangkan cara bertempur secara bersama.

Dikocok pergi datang oleh arus serangan Khik-sia yang bertubi-tubi datangnya dari empat penjuru, dalam beberapa saat saja, mereka berdua sudah kepayahan sampai matanya berkunang-kunang dan beberapa kali hampir saja menghantam kawan sendiri.

Sewaktu Khik-sia menegur Bik-hu tadi, In-nio tak ragu lagi. Tanpa terasa ia berseru: ”Hai, kiranya benar Toan Khik-sia! Yak-bwe, Yak-bwe, kemarilah lekas!”

”Toan Khik-sia? Ha, mengapa tadi-tadi kau tak mengatakan?” Bik-hu menanggapi dengan terperanjat.

Sebaliknya Yak-bwe hanya tertawa dingin: ”Ci In, tak peduli dia itu siapa, tapi orang macam begitu aku tak sudi menghiraukan lagi!”

Kiranya sejak tadi Yak-bwe pun diam-diam pun sudah datang ke tempat ramai-ramai situ. Jelas didengarnya pembicaraan Khik-sia dengan Su Tiau-ing yang penuh dengan kemesraan itu. Rasa cemburu telah melahirkan kemarahan yang menyala-nyala di hati Yak-bwe.

Pada saat itu Khik-sia tengah melancarkan jurus suan-kian-coan-gun atau berputar-putar mengelilingi dunia.   Ia menyusup dan siakkan kedua tangannya ke arah kedua lawannya itu. Tangan kiri menampar muka si hidung besar, begitu sang kaki mengisar, tangan kanannya segera menyambar tulang pi-peh di bahu si thau-to. Kalau serangan tangan kiri tadi hanya menggunakan tiga bagian tenaganya, adalah serangan tangan kanannya itu menggunakan tujuh bagian tenaganya. Maksudnya tak lain tak bukan ialah hendak mematahkan musuh yang lebih lebih lemah, yakni si thau-to.

Sebenarnya rencana itu sudah mendekati berhasil atau tiba-tiba ia mendengar suara Yak-bwe yang menyahut seruan In-nio tadi. Dalam hari-hari yang terakhir ini, siang malam Khik-sia selalu memikirkan Yak-bwe saja. Bahwa pada saat itu ternyata Yak-bwe berada di tempat situ dan mengeluarkan kata-kata yang begitu sinis, telah membuat Khik-sia tergetar hatinya. Pikirannya buyar dan kuda-kuda kakinya pun menjadi kacau.

Kembali kemenangan yang sudah di depan mata itu menjadi buyar. Sebaliknya bagi si hidung besar itulah suatu kesempatan yang sebagus-bagusnya. Baru mulut Khik-sia berseru memanggil 'Adik Yak-bwe ', si hidung besar cepat mengirim sebuah tutukan berat ke arah jalan darah ji-khi-

hiat di pinggang Khik-sia.  Khik-sia menggerung keras dan terus menghantam.  Tapi ketika ia hendak mengejar si hidung besar ternyata gerak langkahnya sudah tak tetap lagi. Malah pada lain saat tiba-tiba matanya terasa berkunang-kunang. Sekali sang kaki menginjkan tempat yang kosong, iapun segera terguling jatuh ke bawah.

Si thau-to cepat mengeluarkan sebuah hui-jui (besi bandringan). Tapi baru ia hendak menimpukkan ke punggung Khik-sia, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang membentaknya: ”Bangsat, jangan kurang ajar!” -- Aum senjata menyambar belakang batok kepalanya.

Si thau-to cepat tangkiskan goloknya ke belakang. Tangkisannya itu tepat membentur pedang

dari penyerangnya. Dan penyerangnya itu bukan lain adalah Yak-bwe. Ternyata walaupun marah, tapi dalam batinnya Yak-bwe tetap mencintai Khik-sia. Dan karena cintanya itu maka setiap kali ia sampai salah paham. Begitu melihat Khik-sia kena sodokan si hidung besar, ia tahu kalau anak pemuda itu bakal celaka. Buru-buru ia maju hendak menolongi tapi ternyata tetap terlambat. Khik- sia sudah terguling rubuh dan tak sempat melihat Yak-bwe.

Tapi pertolongan Yak-bwe itu juga tak sia-sia. Karena harus menangkis ke belakang, timpukkan si thau-to menjadi mencong. Hui-juinya tak mengenai Khik-sia melainkan jatuh ke tanah. Thau-to dari Se-ik itu bertenaga besar. Dalam adu senjata tadi, Yak-bwe rasakan tangannya kesemutan. Tapi demi mengingat keselamatan Khik-sia, Yak-bwe tak menghiraukan kesakitannya itu. Dengan tahankan sakit, ia cepat kembangkan permainan pedang Hui-hoat-cui-tiap atau kembang beterbangan mengejar kupu-kupu. Menusuk ke kiri, menabas ke kanan. Serangan yang satu belum selesai sudah disusul dengan serangan yang berikutnya, sehinggai thau-to itu menjadi keripuhan.

Karena terus dicecer dengan serangan gencar, akhirnya marah jugalah thau-to itu, bentaknya: ”Jangan mengandalkan sebagai pembesar lantas mau mengganggu orang agama. Sekalipun raja, kami pun tak peduli!”

Dengan gencarnya, thau-to itu segera mengirim beberapa bacokan. Selagi Yak-bwe tak kuat bertahan, In-nio pun datang.   Kepandaian In-nio lebih tinggi setingkat dari Yak-bwe. Dengan mendapat bantuan In-nio, berhasillah kedua nona itu untuk mengatasi kegarangan si thau-to. Di partai sana si hidung besar sedang menghampiri Su Tiau-ing. Dengan cengar-cengir, ia tertawa: ”Nona Su, tak nanti kau mampu lolos. Apakah kau sungguh-sungguh menampik arak wangi dan minta arak kecut? Ah, lebih baik kau serta merta ikut padaku saja.”

Marahlah Bik-hu mendengar kekurang-ajaran orang itu, dampratnya: ”Kau mengandalkan apa berani menghina nona Su? Masih ada aku di sisi yang akan memberantasmu!”

Si hidung besar itu masih terpisah agak jauh dengan Su Tiau-ing. Bahwa di tengah jalan ia dihadang dan dimaki Bik-hu, hal ini membuatnya marah bukan kepalang. Tanpa berkata apa-apa, ia segera mengirim tabasan pedang.

Mengapa Bik-hu hendak membela Su Tiau-ing? Ah, ternyata ia sudah salah paham. Dikiranya

si hidung besar menyebut 'nona Su' itu adalah Yak-bwe yang dimaksudkan. Bik-hu tahu kalau Yak- bwe adalah calon isteri dari Khik-sia. Bahwa tadi ia telah kesalahan berkelahi dengan Khik-sia itu, sudah membuatnya menyesal. Maka kali ini waktu si hidung besar hendak menangkap 'nona su', ia timbul pikirannya hendak menebus dosa.  Pikirnya: ”Tadi Khik-sia hendak menjenguk bakal isterinya dan aku gegabah menyerangnya. Sungguh tak pantas tindakanku tadi. Sekarang aku harus melindungi Su sumoay dari gangguan orang. Orang hidung besar inilah yang melukai Khik- sia, jika aku dapat membalaskan kelak aku tentu ada muka berjumpa dengan Khik-sia.”

Dengan keputusan 'mendirikan jasa untuk menebus dosa' itu, pula untuk unjuk kegagahan di hadapan In-nio, maka ia segera menerjang si hidung besar itu dengan serangan pedang yang gencar.

Dalam penilaian, kepandaian si hidung besar itu lebih unggul setingkat dari Bik-hu. Tapi tadi ia habis adu pukulan dengan Khik-sia dan ketika ia memberi tutukan pada Khik-sia telah kena digetarkan oleh tenaga sin-kang dari tubuh Khik-sia sehingga tenaga dalamnya terluka sedikit. Maka dalam pertempuran dengan Bik-hu itu, ia hanya dapat bertahan saja atau berarti kalah angin dengan Bik-hu.

Mendapat pelajaran ilmu pedang dari dua tokoh yang kenamaan, permainan Bik-hu memang

cukup mematahkan nyali lawan. Ia kembangkan permainannya sedemikian rupa, sebentar gunakan jurus-jurus yang keras, sebentar mainkan jurus-jurus yang mengutamakan kelemasan. Dua corak permainan pedang dikombinasikan silih berganti dalam jurus-jurus yang penuh dengan perubahan yang sukar diduga, telah membuat si hidung besar kelabakan setengah mati. Sekalipun ia menyakinkan sepasang pukulan tangan beracun, tapi tak berdaya dilancarkan sehingga tak berguna sama sekali.

”Kau pernah apa dengan budak perempuan itu? Mengapa kau begitu membelanya mati-matian? Hm, kau tahu aku ini siapa?”

”Tak peduli kau ini siapa, tapi jangan coba menghina pada kami!” bentak Bik-hu.

”Pernahkah kau mendengar kebesaran nama Leng Ciu siang-jin? Tahukah kau akan kelihayan partai Leng-sian-pay?” kembali si hidung besar tertawa mengejek.

Bik-hu hanya mendengus tak acuh, sahutnya: ”Kutahu partaimu Leng-sian-pay itu mempunyai pengikut banyak dan pengaruh besar. Dengan mengandalkan perlindungan dari Leng Ciu siang-jin, kalian lantas malang melintang melakukan kejahatan. Hm, sampai di mana kepandaian dari anak buah Leng-sian-pay itu, dulu ketika di Gui-pok aku sudah pernah mengujinya!”

Memang sejak tadi Bik-hu sudah menduga kalau kedua orang itu tentu anak buah Leng-san-pay. Ternyata dugaannya itu benar. Hal ini menyebabkan ia tak berani ayal. Dengan menggunakan posisinya yang menguntungkan itu, ia menyerang lebih hebat. Pikirnya: ”Ya, memang kaum Leng- san-pay itu tak boleh dimusuhi. Tapi sekali sudah terlanjur bentrok, satu-satunya jalan ialah harus bertempur mati-matian.”

Karena gelap, si hidung besar itu tak dapat melihat wajah Bik-hu. Tapi demi mendengar mulut Bik-hu mendengus, iapun membentaknya: ”Apa katamu?”

Bik-hu sudah terlanjur kerangsokan setan, iapun balas menghardiknya: ”Aku sedang menantikan sampai dimana kelihayanmu tahu!”

Sret, sret, sret, tiga kali ia lancarkan serangan pedangnya dengan hebat. Si hidung besar makin kelabakan sampai napasnya tersengal-sengal dan tak dapat membuka mulut untuk bicara lagi. Sementara di sana, In-nio dan Yak-bwe pun telah berhasil menindas si thauto. Menghadapi serangan pedang dari kedua nona yang datangnya bertubi-tubi itu, si thau-to hanya dapat membela diri tak mampu balas menyerang lagi. Dalam suatu kesempatan, Yak-bwe melirik ke arah tempat Khik-sia. Ternyata tunangannya lenyap dan ketika memandang ke sekeliling penjuru ternyata si nona tadipun tak kelihatan bayangannya lagi. Tentu nona itu diam-diam telah ngacir pergi.

Yak-bwe makin meluap marahnya, pikirnya: ”Aku menghadang musuhmu, tapi kau diam-diam mengurusi kecintaanmu.”

Yang dimaksud dengan 'kau', ialah Su Tiau-ing.   Berbareng pada saat itu, terdengarlah suara kuda meringkik. Suaranya ngeri, seperti kuda yang dipersakiti. Mendengar itu, si thau-to melonjak

dan menggembor keras. Yak-bwe gunakan kesempatan itu untuk mengirimkan tusukan dan berhasil melukai bahunya. Darah segera mengucur dari bahu thau-to itu. Masih untung tusukan Yak-bwe

itu agak mencong sedikit sehingga masih terpisah setengah dim dengan tulang pundak korbanya. Tapi suara ringkikan kuda itupun menggelisahkan hati Yak-bwe juga.

Rupanya In-nio tahu isi hati Yak-bwe, tertawalah ia: ”Yak-bwe, lekas tengok Khik-sia sana!” Melihat si thau-to sudah terluka, Yak-bwe percaya kalau In-nio dapat mengatasi, maka setelah menghaturkan terima kasih pada cicinya itu, ia segera loncat keluar dari gelanggang, terus melayang turun. Ketika tiba di lapangan yang berada di muka pintu hotel, dilihatnya nona tadi

tengah memeluk Khik-sia hendak naik ke atas kuda, yaitu kuda putih kepunyaan kedua orang Se-ik tadi.

”Tunggu!” cepat Yak-bwe meneriaki. Tapi belum seruannya habis, nona itu tampak ayunkan tangannya menimpuk ke arah Yak-bwe.

Yak-bwe tahu bahaya. Sembari putar pedang untuk melindungi tubuhnya, ia menghindar ke samping. Kembang api itu tak sampai mengenainya dan beberapa batang jarum bwe-hoa-ciam pun kena dipukul jatuh. Tapi dengan gangguan itu, Yak-bwe tak berdaya untuk mencegah Su Tiau-ing yang saat itu sudah melarikan kuda putih dengan menggondol Khik-sia.

Yak-bwe marah sekali.  Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya: ”Kedua ekor kuda orang Se-ik itu kuda pilihan semua. Setelah dibawa lari seekor, masih ada seekor lagi. Benar kuda putih itu lebih hebat, tapi dengan membawa dua orang, tentu dapat kususul.”

Setelah mengambil ketetapan Yak-bwe terus menghampiri istal kuda dan hendak melepaskan

tali ikatan kuda itu. Tiba-tiba kuda bulu merah itu meringis kesakitan. Suaranya makin lama makin lemah. Melihat Yak-bwe datang, binatang itu lantas menyepak-nyepakkan kakinya, tapi tampaknya lemah tak bertenaga. Sebelum dapat menyepak Yak-bwe, kuda itu sudah rubuh sendiri.

Yak-bwe cepat menyulut korek api. Astaga, ternyata kelopak mata kuda itu complong tak berbiji mata lagi. Malah darahnya masih bercucuran keluar. Kiranya biji mata kuda itu telah dikorek orang, paha kakinya juga luka tergurat-gurat senjata tajam sehingga sampai kelihatan

tulangnya. Yak-bwe kaget dan gusar: ”Hm, siluman perempuan yang ganas sekali. Mengapa Khik- sia bersama dengan ia?” kata Yak-bwe dengan geram.

Apa boleh buat Yak-bwe tak dapat mengejar. Ia kembali ke kamarnya. Ternyata kamar yang ditempai Khik-sia itu terdapat dua buah ruangan. Salah sebuah ruangan, masih belum padam lampunya. Ketika melihat di situ, Yak-bwe tertarik hatinya. Segera ia masuk ke dalam. Di situ barulah ia mengetahui kalau kamar besar itu dipisah dengan sebuah pintu tengah. Di bawah jendela yang terdapat pelitanya tadi, terdapat sebuah meja yang letaknya persis di muka ranjang. Di atas merja itu dilihatnya ada beberapa tulisan huruf 'Bwe' dengan air teh.

Dahulu ketika di kamar Tian Seng-su, ia pernah melihat tulisan Khik-sia pada surat ancaman yang ditujukan pada ciat-to-su itu. Maka sekali lihat, tahulah ia bahwa tulisan air teh pada meja itu adalah buah tangan Khik-sia. Ia duga ketika Khik-sia coret-coret di meja itu tentulah si nona kawannya itu (Su Tiau-ing) tak berada di situ. Kalau tidak, masakan Khik-sia sampai lupa diri (melamun) begitu rupa.

Seketika timbullah pertanyaan dalam hati Yak-bwe: ”Ah, ia selalu mengenangkan diriku

sedemikian rupa, tapi mengapa bergaul begitu akrab dengan nona itu? Apakah terdapat apa-apa di dalamnya?”

Memikir sampai pada hal itu, redalah amarah. Adalah ketika Yak-bwe sedang menimang- nimang dalam kamar, di atas rumah pertempuran telah mencapai klimaks yang menentukan.

Dengan gunakan seluruh tenaganya, si hidung besar lontarkan sebuah pukulan sehingga sekektika itu timbullah desus angin yang berbau amis. Bik-hu merasa mau muntah, karena kuatir kena pukulan beracun, buru-buru ia sedikit mengisar sehingga gerakan pedangnya pun agak kendor. Si hidung besar mendapat kesempatan bernapas lalu buru-buru bertanya: ”Apa katamu tadi? Kau pernah bertempur dengan anak murid Leng-san-pay di Gui-pok?”

”Ya, apa kau hendak menuntut balas bagi mereka? Yang melukai mereka adalah aku, bukan nona Su.”

”Kau keliru, berhentilah!” teriak si hidung besar.

Bik-hu berada di tempat gelap. Kuatir kalau orang hendak membokongnya dengan pukulan beracun, ia tak berani hentikan serangannya. Tapi ia merasa bersangsi juga dengan kata-kata si hidung besar itu. Maka ia hanya batasi serangannya dngan bertahan diri saja dan tak menyerang untuk memberi kesempatan bicara pada orang.

Berkata si hidung besar: ”Suteku itu juga keliru, ia hanya hendak menangkap budak perempuan she Su itu saja.”

”Huh, beberapa kali kalian selalu hendak menyusahkan nona Su, mengapa mengatakan aku keliru?” Bik-hu mendampratnya.

Sret, kembali ia lancarkan serangan. Karena si hidung besar itu sudah kehabisan tenaga, tak

dapat ia menangkis. Lengan kirinya termakan ujung pedang sampai terluka panjang. Cepat-cepat si hidung besar itu loncat keluar beberapa langkah. Sebenarnya ia marah sekali dengan Bik-hu, tapi karena tenaganya sudah habis dan kuatir kalau Bik-hu menyerang lagi, terpaksa ia telan kemarahannya dan segera berseru: ”Ya, kami yang salah. Aku sudah tahu sekarang. Bukankah kawanmu perempuan yang menyaru lelaki itu juga orang she Su?”

Sambil bolang-balingkan pedangnya, Bik-hu maju menghampiri dan membentaknya:

”Bagaimana? Apakah dengan menyaru lelaki itu ia menyalahi kau?”

Dengan menelan kemarahan, si hidung besar menyahut: ”Kawanmu perempuan itu bukan budak she Su yang kami maukan, jelaskah kau? Kami salah paham, kaupun salah wessel!”

Bik-hu tertegun, pikirnya: ”Kalau begitu benar-benar salah paham.” -- Baru ia berpikir begitu,

si hidung besar menggunakan kesempatan itu untuk loncat dua tombak jauhnya dengan gerak kim- li-joan-bo atau ikan lehi menyusup ombak. Setelah terlolos dari lingkaran ancaman pedang Bik-hu, ia berada di sebelah In-nio. Sekonyong-konyong ia menghantam In-nio.

Walaupun tenaga si hidung besar itu sudah berkurang sampai separuh tapi serangan mendadak itu tak diduga sama sekali oleh In-nio. Hampir saja In-nio celaka dengan pukulan beracun. Tapi untung gin-kang atau ilmu meringankan tubuh dari In-nio itu hebat. Begitu membau angin amis, segera ia loncat ke samping. Tapi sekalipun begitu, tak urung kepalanya terasa pusing, mata berkunang-kunang dan tubuhnya terhuyung-huyung mau rubuh.

Melihat itu, buru-buru Bik-hu menghampiri, sebaliknya si hidung besarpun sudah lantas loncat turun dan melarikan diri. Bik-hu tak sempat mengejarnya karena perlu menolong In-nio, ia tanya: ”Suci, bagaimana keadaanmu?”

In-nio menghembus napas, sahutnya: ”Tak apa, tidak kena racun.”

Saat itu dari kejauhan terdengar suara si thau-to berseru: ”Bagus, budak kecil, kau berani cari perkara dengan Leng-san-pay, lihat saja nanti!”

In-nio tertawa getir, ujarnya: ”Ah, tak nyana secara sembrono kita telah mengikat permusuhan dengan orang Leng-san-pay.” ”Tapi bukan kita yang bersalah. Jikalau sudah dianggap bermusuhan terserahlah pada mereka,” bantah Bik-hu.

In-nio tertawa: ”Kesalahan ini terjadi secara kebetulan sekali. Ayo, kita tengok apakah Su sumoay kita itu sudah dapat mencari si nona Su itu.”

Ketika loncat turun, In-nio melihat penerangan di kamar kelas satu yang ditempati Khik-sia tadi masih belum padam.   Dari kertas jendela tampak bayangan seorang gadis. Tahu kalau gadis itu tentu Yak-bwe, In-nio mengira kalau Khik-sia tentu dibawa Yak-bwe ke dalam kamarnya, pikirnya: ”Bagus, sekarang kita sudah berkumpul lagi, tetapi mana si nona she Su itu?”

In-nio tak mau mengganggu Yak-bwe, tapi baru ia hendak menyingkir ternyata Yak-bwe sudah mengetahui dan memanggilnya masuk. Bik-hu pun hendak ikut masuk tapi dicegah oleh Yak-bwe: ”Pui suheng, tolong kau jaga di luar dulu, barangkali masih ada musuh yang akan datang.”

Bik-hu tertegun, pikirnya: ”Ah, aku ini benar-benar tolol. Toh Khik-sia sudah di dalam, mengapa aku terburu-buru hendak menjumpainya.”

Kiranya Bik-hupun berpendapat bahwa Khik-sia telah ditolong dan dibawa masuk ke kamar oleh Yak-bwe, maka tadi ia buru-buru hendak menjumpainya dan menghaturkan maaf atas

perbuatannya tadi. Siapa tahu ternyata Yak-bwe hendak bicara empat mata dengan In-nio maka ia cegah Bik-hu turut masuk.

”Mana Khik-sia?” demikian kata-kata pertama meluncur dari mulut In-nio ketika ia masuk ke dalam kamar dan tak melihat anak muda itu.

Yak-bwe kerutkan alis dan berkata dengan geram: ”Nona siluman itu telah melarikannya!”

In-nio tersentak kaget, serunya: ”Ai, celaka, mengapa kau mendekam di dalam kamar saja?” Setelah mendengar derap kaki Bik-hu sudah jauh, barulah Yak-bwe membisiki In-nio supaya datang dekat kepadanya.

Ketika In-nio lihat tulisan 'bwe' dengan air teh di atas meja, ia tertawalah: ”Ha, jangan kuatir, hatinya hanya terisi kau, nona siluman itu tak nanti dapat merampasnya!”

Wajah Yak-bwe menjadi merah dadu. Ia hapus tulisan air teh itu, katanya: ”Tak mengerti aku, kalau toh hatinya tetap padaku, mengapa ia bergaul rapat dengan nona siluman itu? Ya, kawan seperjalanan dan tinggal sekamar?”

In-nio tertawa: ”Kau sendiri toh juga menginap beberapa malam di rumah keluarga Tok-ko?” Dari merah dadu wajah Yak-bwe menjadi merah bara, serunya dengan sengit: ”Kemana tujuan kata-katamu itu? Aku berbuat secara terang-terangan, ya, batang pohon yang lurus tak takut mempunyai bayangan yang doyong!”

”Jika ada orang yang mencurigai kau, kau marah tidak?” tanya In-nio.

”Jika ada orang semacam itu, dia adalah orang yang bermentalitet rendah, tapi coba-coba hendak menilai orang lain,” sahut Yak-bwe dengan murka.

”Itulah! Jika lain orang mencurigaimu, kau katakan dia itu orang yang rendah mentaliteitnya, tapi mengapa kau seenaknya sendiri menuduh Khik-sia yang bukan-bukan?”

Kini tersadarlah Yak-bwe, katanya: ”Oh, kiranya kau mengukur diriku untuk menilai dia.” ”Bukankah kedua perbandingan itu tak berbeda?” tanya In-nio.

Setelah merenung sejenak, berkuranglah cemburu Yak-bwe, namun tetap ia membantah: ”Masalahnya memang sama, tapi orangnya berlainan. Tok-ko U seorang kun-cu, seperti langit dengan bumi bedanya dengan siluman perempuan kawan Khik-sia itu. Ia mengangkat Khik-sia dinaikkan kuda, kusuruh berhenti, bukannya menurut malah melepaskan senjata rahasia padaku!” -- Ia lalu menceritakan kejadian tadi.

”Bukankah Khik-sia masih tak ingat diri?” tanya In-nio. ”Tampaknya begitulah,” kata Yak-bwe.

”Kalau begitu si nona siluman itu yang salah, bukan Khik-sia,” kata In-nio. Katanya lebih jauh: ”Ucapanmu tadi memang tepat, 'batang pohon yang lurus tak takut mempunyai bayangan yang condong'.  Asalkan Khik-sia itu seorang kun-cu sejati, itu sudah cukup.  Memang urusan di dunia itu sering-sering di luar dugaan dan sukar dimengerti orang. Misalnya kau beristirahat merawat lukamu di rumah Tok-ko U itu, adalah salah sebuah contoh. Masakan kau tahu hal-hal yang sebenarnya dalam hubungan Khik-sia dengan nona siluman itu? Turut pendapatku, Khik-sia hanya mencurahkan hatinya kepadamu, maka seharusnya kau pun harus menaruh kepercayaan padanya.” Setelah mendapat penjelasan dari In-nio, walaupun masih menaruh sedikit keraguan, namun kemarahan Yak-bwe sudah reda. Sebagai gantinya, kini ia malah menaruh kekuatiran akan keselamatan Khik-sia.

”Entah bagaimana lukanya itu, berat atau tidak, ya? Di dalam tangan siluman perempuan itu, aku sungguh tak tega. Ah, mengapa ia bergaul dengan bangsa perempuan siluman begitu?” katanya.

In-nio tertawa: ”Jika tak tega, satu-satunya jalan hanyalah kalau kau lekas-lekas mengejarnya ke Tiang-an. Temui Khik-sia dan tanyalah padanya dengan jelas. Karena mereka menginap di hotel ini, tentulah tujuan mereka akan ke Tiang-an untuk hadir dalam pertemuan Eng-hiong-tay-hwe.

Lwekang Khik-sia cukup tinggi, rasanya dengan hanya sedikit luka itu tentu takkan sampai membahayakan jiwanya.”

”Tapi aku tetap merasa heran. Jelas kulihat habis terpukul oleh si hidung besar, ia masih punya tenaga untuk balas memukul. Tapi anehnya, ketika dipondong oleh siluman perempuan itu, ia hanya terpaut sepeminum teh lamanya, tapi ia malah dalam keadaan pingsan,” kata Yak-bwe. ”Oh, itu mudah saja. Ketika Khik-sia terluka, si nona siluman lantas menutuk jalan darahnya sekali,” sahut In-nio.

”Ganas benar siluman perempuan itu. Entah apakah ia hendak mencelakai Khik-sia?”

In-nio tertawa lagi: ”Jangan kuatir, nona siluman itu takut kau nanti merampas Khik-sia dan sebaliknya kau kuatir ia akan teledor merawat Khik-sia.”

Yak-bwe sedih sekali hatinya. Ia kuatir jangan-jangan Khik-sia akan jatuh dalam buaian si nona siluman tapi sebaliknya iapun berharap semoga nona siluman itu merawat Khik-sia dengan baik. ”Siapa? Lekas unjukkan diri!” tiba-tiba In-nio dan Yak-bwe dikejutkan oleh teriakan Bik-hu

yang berada di luar kamar.

Dengan sebat kedua nona itu melesat keluar. Dilihatnya Bik-hu itu sudah meringkus seseorang. Orang itu meratap minta ampun: ”Akulah. Tay-ong ampunilah jiwaku!”

In-nio tertawa cekikikan sebaliknya Yak-bwe lantas menegur: ”Pui suheng, mengapa kau ringkus pengurus hotel?”

Kiranya ramai-ramai di atas rumah tadi telah membangunkan para tetamu yang menginap di

hotel situ. Mereka kira kalau kedatangan kawanan perampok, maka mereka sangat ketakutan dan sama bersembunyi dan tak berani bersuara. Sebenarnya ciang-kui itu juga ketakutan, tapi sebagai pemilik dari hotel itu, setelah suara ribut-ribut tadi berhenti, ia beranikan diri keluar melihat-lihat.

Tahu-tahu ia diringkus Bik-hu.

Setelah mengetahui kekeliruannya, Bik-hupun geli juga, segera dilepaskannya ciang-kui itu, katanya: ”Aku bukan perampok, perampoknya sudah kuhajar lari.”

”Tetamu yang menempati kamar kelas satu ini mengejar penjahat. Mereka adalah kedua orang Se-ik itu. Karena mungkin tetamu di kamar kelas satu itu tak kembali lagi, maka bagaimana dengan uang rekening mereka, apakah sudah dibayar?” nyeletuk Yak-bwe.

Rasa takut si ciang-kui menjadi berkurang, ujarnya: ”Memang kedua orang Se-ik itu buas

sikapnya, telah kuketahui mereka bukan orang baik, dan ternyata benar bangsa perampok. Banyak terima kasih atas bantuan tay-jin sekalian yang telah melindungi hotel ini. Tetamu di kamar kelas satu ini, sungguh baik sekali. Rekeningnya sudah dibayar oleh si nona, malah kembalinya masih belum kuberikan padanya.”

Ciang-kui itu menyulur korek. Dilihatnya atap rumah terdapat beberapa lubang. Ia mengeluh panjang pendek.

”Yak-bwe, simpanan uangmu bolehlah digunakan,” kata In-nio.

Yak-bwe menerangkan bahwa kim-tau (emas perongkol) yang dibekalnya, tinggal tak seberapa jumlahnya karena sebagian besar sudah ditukarkan dengan perak. Ia mengambil dua biji kim-tau dan seuntai perak yang beratnya  10 tahil, katanya: ”Ini emas murni, jangan takut. Selain ini kutambahi pula dengan seuntai perak, nah, cukup tidak untuk membikin betul kerusakan atap rumahmu ini?”

Yak-bwe tak tahu nilai uang, sekali ambil dikeluarkannya emas dan perak. Hal itu membuat ciang-kui melonjak kaget.  Tetapi sebagai pengusaha hotel yang terletak di kota yang menuju ke kota raja, hotelnya itu tergolong hotel kelas satu, banyak kaum saudagar dan orang hartawan yang menginap di situ. Oleh karena itu, pengalamannya luas. Sekali lihat, tahulah ia kalau kim-tau itu memang emas murni.   Pikirnya: ”Untuk membikin betul kerusakan atap yang rusak itu, seuntai perak itu sudah cukup banyak, apalagi ditambah dengan dua biji emas, ah, aku benar-benar ketimpa rejeki besar dari langit!”

Dengan berseri-seri girang, disambutinya pemberian Yak-bwe itu dengan ucapan terima kasih yang tak terhingga.

Saat itu sudah hampir terang tanah. In-nio segera ajak Yak-bwe lekas berangkat. Yak-bwe amat bersyukur sekali terhadap cici In-nio nya yang selalu memikirkan kepentingannya itu. Demikian mereka segera tinggalkan hotel itu. Selama dalam perjalanan menuju ke Tiang-an, Yak-bwe tampak bermuram durja.

Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Khik-sia. Memang apa yang diduga In-nio itu tak meleset.   Ketika Khik-sia jatuh dari atas genteng, Su Tiau-ing segera menolongnya. Dalam kesempatan itu, Tiau-ing menutuk jalan darah Khik-sia supaya pingsan. Setelah itu ia segera mencuri kuda putih milik si thau-to untuk melarikan Khik-sia.

Kuda putih itu memang bukan sembarang kuda. Dalam beberapa kejap saja, binatang itu sudah lari sampai empat-lima puluh li.   Saat itupun baru terang tanah. Pikir Tiau-ing: ”Rasanya tak mungkin budak perempuan itu mampu mengejar lagi. Hm, dengan kubawa Khik-sia, budak perempuan itu tentu kelabakan.”

Di sebelah muka tampak sebuah hutan. Di situlah Tiau-ing menurunkan Khik-sia dan dibawa masuk ke dalam hutan, lalu dibukan jalan darahnya yang tertutuk.

Begitu membuka mata, dalam keadaan yang masih limbung, Khik-sia segera menarik tangan Tiau-ing, serunya: ”Adik Bwe, adik Bwe!”

Tiau-ing melengking tertawa, serunya: ”Maafkan, aku bukan adik Bwe-mu itu. Lihatlah aku ini siapa?”

Khik-sia tenang semangatnya, barulah ia ketahui kalau yang dihadapannya itu Su Tiau-ing.

Dengan tersipu-sipu merah mukanya, ia segera lepaskan cekalannya: ”Mengapa aku berada di sini? Apakah di sini hanya ada kau sendiri?”

”Dengan siapa lagi, huh? Kau kira adik Bwe itu akan ikut kemari?” sahut Tiau-ing.

”Tadi karena mendengar suaranya, hatiku tergetar maka sampai jatuh ke bawah. Saat itu kulihat ia lari menghampiri kepadaku. Mengapa, apakah kau tak melihat dia?”

”Dia, dia, apakah si 'dia' yang kau maksudkan itu adalah orang banci yang kau sebut 'adik Bwe' itu?” teriak Tiau-ing.

Karena kepingin tahu bagaimana keadaan Yak-bwe, terpaksa Khik-sia sabarkan diri, ujarnya: ”Ya, benar. Dia adalah nona Su yang pernah kukatakan padamu. Dan yang satu adalah taci misannya, nona Sip. Mereka berdua sering berkelana di dunia persilatan dan gemar menyaru

menjadi orang lelaki. Ketika aku terluka, bagaimana dengan mereka? Mengapa dalam saat-saat yang genting itu, kau tutuk jalan darahku?”

Tertawalah Su Tiau-ing: ”Kau benar-benar tak mau berpikir. Setelah menderita luka beracun, apakah pikiranmu masih sadar? Apalagi ketika itu musuh segera memburu, kecuali membawamu lari bagaimana aku harus bertindak? Kututuk jalan darahmu supaya kau dapat tidur jangan merasakan kesakitan lagi. Hm, tak kira sebaliknya kau malah menyesali aku.”

Khik-sia seorang ahli silat. Saat itu diam-diam ia salurkan darahnya. Didapatinya Su Tiau-ing telah gunakan ilmu tutuk yang lihay untuk mencegah menjalarnya racun, yaitu dengan menutuk

jalan darah di bagian dada. Cara tutukan itu memang dapat mencegah mengalirnya racun ke bagian jantung, tapi orang yang ditutuk tak sampai menderita akibat apa-apa.

Khik-sia haturkan terima kasih kepada Tiau-ing, namun dalam hatinya tetap timbul pertanyaan: ”Oh, kiranya ilmu silat Tiau-ing itu jauh dari apa yang kuduga. Ternyata ia mahir juga dalam ilmu tutuk.”

”Kalau begitu apakah nona Su dan nona Sip itu sudah bertempur dengan musuh kita? Dia, ya, apakah dia tak mengejarnya?” tanya Khik-sia. Dari pertanyaan itu teranglah kalau Khik-sia menaruh perhatian khusus terhadap Yak-bwe.

Tiba-tiba Tiau-ing menghela napas, ujarnya: ”Sayang, kasihmu yang kau tumpahkan secara mati-matian kepadanya itu, telah dianggap sepi olehnya. Dia telah memakimu, tahu tidak kau?” ”Ya, kudengar juga. Tapi pada saat aku terluka, jelas kulihat ia lari menghampiri ke tempatku,” sahut Khik-sia.

Tiau-ing tertawa ejek: ”Benar, ia memang menghampiri, tapi tahukah kau apa tujuannya?” ”Apa tujuannya itu?” tanya Khik-sia dengan serentak.

”Ia datang karena hendak menimpukkan sebatang bwe-hoa-ciam padamu!” Khik-sia terhentak kaget: ”Benarkah itu?”

”Apakah aku pernah berbohong padamu?” sahut Tiau-ing dengan yakin. Lalu melanjutkan ceritanya pula: ”Untung saat itu aku sudah mengangkatmu ke atas kuda, ya, kuda milik si thau-to yang kucuri. Dengan begitu bwe-hoa-ciam tak kena dan iapun tak dapat mengejar kita.”

Khik-sia tergoyah pikirannya, namunia masih kurang percaya, pikirnya: ”Apakah ia masih mendendam padaku?” -- Pikirannya segera melayang kembali ke gedung keluarga Tok-ko. Ya, ketika itu Yak-bwe dan kakak beradik Tok-ko telah mengerubuti dirinya. Renungan itu telah menambah besar kesangsian Khik-sia terhadap Yak-bwe.

Kembali Tiau-ing menghela napas dalam, ujarnya: ”Ah, aku sungguh turut prihatin padamu. Coba pikirkan, ia bersikap begitu kepadamu, apa katamu jika kelak kau berjumpa padanya?” Sebenarnya Khik-sia sudah gundah hatinya dengan keterangan itu. Dengan ditambahi bumbu yang begitu 'sedap' sekali, makin tersedulah hati Khik-sia dalam lautan kepiluan.

Demi melihat Khik-sia tertegun seperti patung dan pucat lesi, terkejutlah Tiau-ing. Buru-buru ia menghiburnya: ”Khik-sia, jangan berduka, lapangkanlah hatimu.”

Tadi karena kuatir Khik-sia masih terkenang akan Yak-bwe, maka ia telah merangkai cerita untuk meretakkan perhubungan antara pemuda itu dengan Yak-bwe. Tapi demi melihat Khik-sia

seperti orang yang kehilangan semangat diam-diam Tiau-ing menyesal, pikirnya: ”Celaka, sungguh tak kira kalau sedemikian besar kasihnya kepada nona Su itu. Omonganku malah sebaliknya telah membikin sedih hatinya. Saat ini ia masih menderita luka, jangan sampai perasaannya tergoncang.”

Terbit pertentangan dalam batin Tiau-ing. Sebenarnya dia hendak menceritakan saja kejadian yang sebenarnya, tapi lain perasaannya lagi menguasai batinnya, jangan-jangan setelah Khik-sia mengerti duduk perkara yang sebenarnya lalu tak mau memperdulikan dia (Tiau-ing) lagi. Hatinya bimbang tak dapat mengambil putusan.

Sebenarnya searuh bagian yang terakhir dari cerita Tiau-ing tadi, Khik-sia tak menaruh perhatian karena saat itu pikirannya melayang-layang: ”Ya, benarlah, memang Yak-bwe masih mendendam padaku. Apalagi kini ia telah punya pilihan lain, apabila kelak bertemu padanya, apakah yang akan kukatakan lagi?”

Huak, tiba-tiba ia menguak dan muntah darah. Luapan kesedihannya telah menggelorakan darahnya. Tiau-ing menjadi sibuk sekali, pikirnya dengan keraskan hati: ”Lebih baik ia benci padaku, asal jiwanya tertolong. Karena keadaan menjadi begini rupa, lebih baik kukatakan padanya sajalah.”

Ia menghampiri perlahan-lahan menarik tangan Khik-sia. Dengan suara lembut yang gemetar, ia berkata: ”Khik-sia, janganlah berduka. Dengarkanlah keteranganku ”

Tiba-tiba Khik-sia mengangkat kepalanya dan menukas: ”Benar, kata-katamu itu memang benar, tak usah kau menasehati lagi aku sudah dapat mengerti sendiri. Kuharap semoga ia berbahagia, agar hatikupun menjadi tenteram. Sejak saat ini, tak mau aku cari kesusahan lagi. Baiklah, anggap saja aku tak pernah berkenalan dengannya.”

Setelah muntahkan darah, perasaan hati Khik-sia terasa longgar. Apalagi setelah pikiranna dibulatkan, pikirannyapun menjadi tenteram. Sudah tentu Su Tiau-ing menjadi girang tak terhingga, pikirnya: ”Untung aku belum terlanjur menceritakan hal yang sebenarnya.”

”Ya, jangan putus asa. Dunia bukan sedaun kelor, bukan hanya ada seorang nona Su itu saja. Karena ia tak cinta padamu, mengapa kau menyiksa dirimu sendiri? Kesehatan badanmu, adalah yang terpenting. Nanti setelah lukamu sembuh, kita bicarakan lagi. Aku mempunyai obat penawar racun, tapi entah dapat digunakan atau tidak,” kata Su Tiau-ing. Tapi Khik-sia menolak dengan mengatakan bahwa lukanya keracunan itu tak berat jadi tak perlu obat penawar. Segera ia duduk bersila untuk menyalurkan lwekang.  Racun itu berasal dari luka yang terdapat pada jalan darah lau-kiong-hiat di telapak tangannya. Tapi setelah ditutuk oleh Tiau- ing, racun itu hanya sampai di siku lengannya saja. Begitu jalan darahnya dibuka, racun itupun menjalar naik lagi, tapi untung belum mencapai ke bagian bahu. Dengan ilmu lwekangnya yang tinggi, dalam beberapa saat saja yang setelah ubun-ubun kepala Khik-sia mengeluarkan asap, dapat mengalirkan racun itu ke bawah lagi. Lewat sepenyulut dupa, racun itu dapat dihalau sampai ke telapak tangan pula.

Kala itu sudah fajar. Mataharipun mulai pancarkan sinarnya di antara lebatan daun pohon yang rindang. Hawa pagi sejuk nyaman dan perasaan hati Tiau-ing pun menjadi riang gembira.

Pikirnya: ”Ya, sebentar lagi, racun tentu sudah dapat diusirnya. Setelah lukanya sembuh baru nanti dengan pelahan-lahan akan kuhibur luka hatinya.”

Tiba-tiba kegirangannya itu dipecahkan oleh derap kaki kuda yang gemuruh suaranya. Rupanya ada belasan ekor kuda yang berlarian datang. Ah, lagi-lagi datang gangguan .....

Su Tiau-ing terkejut, pikirnya: ”Khik-sia sedang berkutetan menyelesaikan penyaluran lwekangnya. Kalau yang datang itu musuh, bagaimana nanti?”

Tepat pada pikirannya membayangkan hal itu, sekelompok orang menyusup masuk ke dalam hutan dan mengepung Khik-sia dan Tiau-ing. Ketika mengawasi, Tiau-ing dapatkan pengepung- pengepungnya itu tak kurang dari tiga belas orang banyaknya. Dan astaga, si thau-to si hidung

besar juga ada. Kiranya kedua orang itu telah mengajak kambrat-kambratnya untuk mengejar Tiau- ing.

Seorang paderi yang memakai jubah warna merah kedengaran berkata: ”Apakah nona itu adik perempuan dari Su Tiau-gi? Apa kau tak keliru?”

”Kali ini pasti tak keliru!” sahut si hidung besar.

”Siapa anak muda itu?” tanya paderi itu pula.

”Entahlah, tapi ia lihay sekali. Untung telah kuberinya sebuah hantaman hingga ia tak dapat berlari lagi,” sahut si hidung besar dengan bangga.

Si paderi hanya mendengus, ujarnya: ”Hm, sekali keluar kalian sudah mencemarkan kewibawaan partai Leng-san-pay, tapi masih berani buka mulut.”

Dampratan itu telah membuat si hidung besar dan si thau-to menjadi merah padam dan tak berani bercuwit lagi.

”Kutahu siapa anak muda itu. Dia bernama Toan Khik-sia, sute dari Gong-gong-ji,” kata salah seorang rombongan pendatang itu, yakni seorang hweshio yang berdaun telinga besar. Hweshio inilah yang ketika di warung arak di Gui-pok telah keliru menyangka Su Yak-bwe sebagai Su Tiau- ing.

Leng-san-pay telah mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mengejar jejak Su Tiau-ing. Dan kebetulanlah mereka berjumpa di tempat situ. Setelah mendapat hajaran, si hidung besar dan si thau-to melarikan diri. Di tengah jalan mereka berpapasan dengan rombongan gerombolannya. Si hidung besar dan si thau-to segera diajak untuk mengejar Tiau-ing.

Demi mendengar keterangan tentang diri Khik-sia, si paderi itu tampak tertegun, ujarnya: ”Oh, kiranya sute dari Gong-gong-ji. Baiklah, jangan hiraukan dia, cukup asal meringkus budak perempuan itu saja.”

Dari kata-katanya itu teranglah kalau paderi jubah merah itu menaruh perindahan terhadap Gong-gong-ji.

”Tapi bagaimana dengan kedua budak perempuan yang menyaru jadi opsir di hotel itu?” tanya si hweshio telinga besar.

Kembali si paderi jubah merah mendengus: ”Karena membikin ribut-ribut di Gui-pok, kau tentu mendapat pil pahit dari kedua nona itu, bukan?”

Hweshio telinga besar itu menyahut dengan berbisik: ”Ji-suheng, memang telah kuakui bahwa aku telah keliru menyangka orang. Tapi tadi jit-suheng mengatakan bahwa kemungkinan kedua anak perempuan itu adalah kawan dari budak perempuan ini. Apalagi apabila sampai teruwar bahwa anak buah Leng-san-pay dihajar oleh dua anak perempuan, bukankah memalukan?” Dikili begitu, akhirnya si paderi jubah merah itu mau juga meluluskan: ”Baiklah, kau kembali untuk mencegat mereka. Hm, jika bukan memandang nama baik partai kita, masakan aku sudi mengurusi urusanmu yang tak berguna itu?”

Rupanya rombongan pengepung-pengepung dari Leng-san-pay itu, menganggap Khik-sia dan Tiau-ing sebagai ikan yang sudah masuk ke dalam jaring. Mereka tak mau buru-buru turun tangan. Paderi jubah merah itu adalah murid kedua dari Leng Ciu siangjin. Karena toa-suhengnya tak mau keluar, maka terpaksalah ia sebagai suheng yang kedua, memimpin rombongan. Setelah cukup memberi dampratan pada sute-sutenya, barulah ia mulai mengurusi Su Tiau-ing.

”Nona Su, aku telah menerima perintah dari kakakmu dan raja suku Ki untuk mengantarkan kau pulang. Harap nona suka menurut saja. Kalau sampai kita didesak turun tangan, ah, sungguh tak menyedapkan pandangan,” katanya.

Sejak mengetahui siapa pengepung-pengepungnya itu, diam-diam Su Tiau-ing sudah merancang siasat untuk menghadapi mereka. Tiba-tiba ia tertawa: ”Oh, kiranya kalian adalah anak murid Leng-san-pay? Kalau begitu, kita ini bukan orang luar. Suhuku Shin Ci-koh dan Leng Ciu siangjin adalah sahabat.”

Ucapan itu telah membuat anak murid Leng-san-pay  gelagapan.   Ada beberapa orang yang saling berbisik mengatakan kalau Tiau-ing itu tak boleh dibuat main-main. Gerak-gerik mereka itu tak luput dari pengawasan Tiau-ing. Pikirnya: ”Dengan Gong-gong-ji saja kalian tak berani, apalagi dengan suhuku, masakan kalian tak lekas ngacir.”

Di luar dugaan si paderi jubah merah tadi mengerut gelap, katanya: ”Memang telah kuketahui siapa suhumu itu, tapi jangan harap dapat menakuti aku!”

Jawaban itu telah membuat Tiau-ing terbeliak kaget. Tapi ia teguhkan nyalinya dan tertawa dingin: ”Baiklah, siapa yang berani turun tangan silahkan maju! Tapi asal suhuku mengetahui, jangan harap kalian ada yang bisa hidup lagi!”

Masih Tiau-ing coba menggunakan nama suhunya untuk menggertak mereka. Dan memang ada beberapa anggota rombongan yang ketakutan.

Tapi si paderi jubah merah itu cepat memberantas ketakutan sute-sutenya: ”Urusan itu seluruhnya menjadi pertanggungan jawab toa-suheng kita. Ayo, jangan takut meringkusnya!” Karena tadi di hotel si hidung besar dan si thau-to telah mendapat hinaan dari Khik-sia dan

Tiau-ing, kemudian mendapat dampratan dari ji-suhengnya pula, maka mereka hendak unjuk pahala untuk menebus dosa. Serempak kedua orang itu loncat maju menerjang Tiau-ing.

Tiau-ing cepat mencabut pedang Khik-sia dan menghadang di muka anak muda itu.

”Nona Su, tadi dengan tak sengaja kami telah melukai kekasihmu itu. Janganlah nona coba melindunginya lagi tapi ikutlah pulang dengan kami,” kata si hidung besar.

Dari jarak tiga meteran, si hidung besar itu telah dorongkan kedua tangannya ke arah Tiau-ing. Seketika Tiau-ing seperti terdampar oleh angin kuat hingga tubuhnya terhuyung-huyung menyurut mundur dua langkah dan berada di belakang Khik-sia.

Tertawalah si hidung besar dengan ejeknya: ”Tak nanti kau dapat melindunginya, pun dia tak nanti dapat melindungimu.”

Memutar ke samping Khik-sia, ia lantas menyambar Tiau-ing. Berbareng pada saat itu, si thau- topun ikut nimbrung menerjangnya. Tapi dia itu seorang yang berangasan. Walaupun ji-suhengnya sudah memerintahkan supaya hanya meringkus Tiau-ing saja, tapi karena tadi ia mendapat hajaran dari Khik-sia, maka sekarangpun ia hendak membalasnya.

”Hai, budak kecil, enyahlah kau!” serunya sembari mengirim sebuah tendangan pada Khik-sia. Tetapi untuk itu sebaliknya ia harus membayar mahal. Seperti telah diterangkan, saat itu Khik-

sia sedang memusatkan seluruh lwekangnya untuk mengeluarkan racun yang mengeram di telapak tangannya. Tendang thau-to itu seperti mengenai sebuah bola karet saja yang mempunyai tenaga mementalkan. Karena tendangan itu dilakukan keras, maka makin keras juga reaksi pentalannya. Thau-to itu menjerit keras dan laksana sebuah satelit, tubuhnya terpelanting ke udara dan meluncur melalui atas kepala Khik-sia.

Justru pada saat itu si hidung besar sedang ulurkan tangannya menyambar Tiau-ing. Tubuh si thau-to melayang dan tepat menubruk badan si hidung besar. Blek, kedua-duanya sama terjungkal jatuh dan bergelundungan beberapa meter. Kejadian itu telah mengejutkan rombongan anak murid Leng-san-pay.

”Bagus, budak kecil, kita tak mau mengurusi kau, tapi sebaliknya kau berani cari perkara pada kami. Ayo, ringkus juga budak itu!” teriak si paderi jubah merah.

Ia mempelopori dengan sebuah terjangan dan pukulan biat-gong-cian kepada Khik-sia. Tubuh Khik-sia bergoyang, tapi tetap bersila. Pikirnya: ”Paderi ini lebih lihay dari si hidung besar.

Pukulannya saja sudah sedemikian hebat.”

Ia empos lagi semangatnya untuk mengusir racun yang sudah terdesak di ujung jari tengahnya. Dalam lain kejab saja racun itu tentu sudah dapat disalurkan keluar, tapi jika sampai berkelahi tentu akan menggagalkan usahnya mengusir racun.

Sekalipun tak kepalang kejut si paderi demi melihat pukulan biat-gong-ciangnya tak dapat mengapa-apakan Khik-sia, pikirnya: ”Karena toa-suheng yang menanggung urusan ini, aku tak peduli jika sampai mengikat permusuhan dengan Gong-gong-ji.”

Karena ia berkepandaian tinggi maka dapatlah ia mengetahui usaha Khik-sia menyalurkan

lwekang menghalau racun itu sudah mencapai saat-saat yang menentukan dan karenanya tak dapat menggerakkan tubuh. Seketika timbullah pikirannya:

”Ayo, hujani ia dengan bacokan!” serunya kepada para sutenya.

Sudah tentu kawanan sute itu tak berani membangkang. Secepat menghunus golok mereka segera menerjang Khik-sia. Tapi ketika tubuh Khik-sia terancam hujan golok, sekonyong-konyong terdengar suara bentakan: ”Ayo, siapa yang berani turun tangan!” – Nadanya melengking nyaring tapi cukup lantang dan menandakan dari seorang wanita.

Aneh untuk dikata, suara seruan itu bagaikan jarum yang menusuk anak telinga orang, hingga

orang-orang sama tergetar hatinya. Otomatis mereka hentikan langkahnya. Ternyata di samping Su Tiau-ing telah muncul seorang wanita kira-kira berumur 30-an tahun. Rambutnya diikat dengan gelang emas, alisnya panjang dan bahunya menyanggul sebatang hud-tim (kebut pertapaan).

Dandanan wanita itu terang bukan orang biasa tapipun bukan bangsa nikoh (rahib). Wajahnya cantik tapi sinar matanya memancarkan sorot dingin yang menyebabkan orang tak berani memandangnya. Ya, aneh benar wanita itu hingga sukar orang menduga keadaan dirinya.

Setelah sapukan matanya sejenak, berserulah wanita cantik itu dengan dingin: ”Ah, kiranya serombongan anak emas dari Leng Ciu lo-koay. Hm, apakah hanya ini saja? Mana toa-suhengmu Ceng-bing-cu?”

Bermula anak murid Leng-san-pay itu kesima melihat kecantikan wanita itu, maka untuk

beberapa saat mereka tak mempunyai rasa permusuhan. Tapi demi membuka mulut si wanita cantik itu lantas menghina suhu mereka sebagai ”lokoay” atau makhluk tua aneh, maka marahlah rombongan murid Leng-san-pay itu. Tapi ketika mereka hendak bertindak, kembali mereka dikejutkan oleh kata-kata terakhir dari wanita cantik itu.

Kiranya Ceng-bing-cu itu adalah murid paling disayang oleh Leng Ciu siangjin. Ceng-bing-cu

telah mendapatkan tujuh bagian dari kepandaian suhunya. Dalam beberapa tahun yang terakhir ini, Leng Ciu siangjin sudah mengundurkan diri. Segala urusan partai Leng-san-pay diwakili oleh

Ceng-bing-cu. Karena itu maka sekalian anak murid Leng-san-pay jeri dan mengindahkan sekali terhadap toa-suhengnya itu.

Berserulah si paderi jubah merah: ”Siapa kau ini? Apakah kenal dengan toa-suheng kami? Kami diperintah toa-suheng untuk mengambil budak perempuan ini.”

Dalam pada ji-suheng (si paderi jubah merah) mereka berkata itu, para anak murid Leng-san- pay itu saling berkata kasak-kusuk sendiri. Ada yang bilang kalau wanita aneh itu dari golongan

jahat. Ada pula yang mengatakan jangan-jangan wanita itu adalah kekasih dari toa-suheng mereka. Mendengar itu ada yang lantas memperingatkan supaya jangan ngerasani (mengatakan di belakang orangnya) toa-suhengnya.

Kiranya toa-suheng mereka itu gemar dengan paras cantik. Banyaklah ’sahabat-sahabat’ wanitanya dari golongan jahat. Hal itu diketahui oleh para sutenya. Walaupun rombongan anak murid Leng-san-pay itu kasak-kusuk dengan suara pelahan namun rupanya tajam sekali pendengaran wanita cantik itu. Segera wajah wanita itu berubah gelap. Pada saat itu Tiau-ing sudah hilang kejutnya dan berkatalah ia: “Suhu, dengan mengandalkan pengaruh Leng Ciu lokoay, bukan saja mereka menghina padaku pun tak memandang mata juga kepada suhu!   Telah kukatakan nama suhu kepada mereka, tapi apa kata mereka? Mereka mengatakan suhu sebagai wanita siluman dan menantang suhu tentu tak berani mencabut selembar bulu dari anak murid Leng-san-pay!”

Kata-kata Tiau-ing itu telah mengejutkan kawanan anak murid Leng-san-pay. Kini baru tahulah mereka kalau wanita cantik itu kiranya Shin Ci-koh, iblis wanita yang namanya setenar Leng Ciu siangjin di daerah utara. Gerak-gerik Shin Ci-koh itu amat misterius, muncul lenyapnya sukar diduga-duga. Barang siapa berani menyalahinya, jangan harap bisa hidup. Oleh karena itu walaupun tak terhitung jumlah korban yang dibunuhnya sehingga namanya cukup memecahkan nyali setiap orang persilatan, namun tak seorangpun yang dapat menerangkan bagaimana wajah wanita iblis itu. Shin Ci-koh tak punya barang seorang sahabatpun jua. Setiap orang yang menjadi musuhnya tentu sudah dilenyapkan. Karena keganasannya itu, timbullah cerita di kalangan kaum persilatan, bahwa wanita iblis itu tentu berwajah seperti burung kukukbeluk yang menyeramkan.

Maka sungguh di luar dugaan rombongan anak murid Leng-san-pay bahwa ternyata iblis wanita itu ternyata seorang wanita cantik yang masih tak begitu tua usianya.

”Ayo, semua maju!” teriak si paderi jubah merah memberi komando kepada sute-sutenya. Ia tahu Shin Ci-koh itu ganas sekali, tak nanti ia dapat lolos dengan selamat. Maka daripada mati konyol lebih baik adu jiwa saja. Ia memperhitungkan betapapun lihay Shin Ci-koh itu tapi kalau dikeroyok sekian banyak orang tentulah dapat dihalau juga.

Plak, tiba-tiba terdengar suara tamparan. Ternyata salah seorang murid Leng-san-pay sudah ditampar pipinya oleh Shin Ci-koh. Tamparan itu cepat dan tak terduga-duga datangnya hingga orang yang ditampar itu tak dapat berbuat apa-apa. Yang dilihat hanya sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu pipinya sudah panas kesakitan. Matanya gelap, mulutnya mengerang tertahan dan berbareng dengan muncratnya darah rubuhlah ia tak bernyawa lagi. Orang yang menjadi korban itu bukan lain ialah orang yang mengatakan bahwa Shin Cik-koh itu adalah gula-gula dari toa- suhengnya (Ceng-bing-cu).

Menyusul cepat sekali Shin Ci-koh sudah ayunkan pula hud-timnya. Plak, kembali seorang

anak murid Leng-san-pay  hancur batok kepalanya. Si hidung besar maju dan lancarkan pukulan beracun.

”Pukulanmu yang beracun ini telah mencelakai banyak orang, nah, sekarang biar kau nikmati sendiri betapa rasanya racun itu!”

Segera Shin Ci-koh kebutkan hud-timnya, tahu-tahu si hidung besr rasakan ujung siku

lengannya seperti tertusuk jarum. Tanpa dapat ditahan lagi, tangannya membengkok dan plak, ia memukul dirinya sendiri. Seketika itu juga rubuhlah ia.

Shin Ci-koh tarikan hud-timnya. Ditingkah dengan ketawanya yang bernada dingin, beberapa murid Leng-san-pay silih berganti rubuh ke tanah. Lemah gemulai tampaknya gerakan hud-tim itu, tapi dengan saluran lwekang tinggi, hud-tim itu dapat berubah menjadi keras dan lunak. Sesaat kencang menjadi pangkal untai, sesaat buyar seperti tebaran ijuk. Apabila kencang (kempal), merupakan seperti thiat-pit (pit besi) yang dapat ditutukkan ke batok kepala, sedang apabila lepas bertebaran dapat digunakan sebagai jarum-jarum yang menusuk jalan darah. Maka orang-orang yang menjadi korbannya itu kalau tidak batok kepalanya pecah berhamburan tentulah jalan darahnya yang tertusuk. Jika batok kepalanya hancur, tentu seketika binasa. Tapi jikalau jalan darahnya tertusuk, tentu akan menderita siksaan yang ngeri, mati tidak hidup tidak. Satu-satunya yang dapat dilakukan oleh korban itu, hanyalah mengerang-erang kesakitan dengan rintihan yang mengenaskan.

Kawanan anak murid Leng-san-pay itu biasa merajalela dengan segala kecongkakannya. Tapi sekali berjumpa dengan seorang iblis wanita macam Shin Ci-koh, keganasan mereka itu ternyata masih kalah jauh. Dalam pertempuran maut itu, bergelimpangan tubuh-tubuh kawanan anak murid Leng-san-pay itu, ada yang tewas, ada yang terluka dan ada yang berusaha untuk melarikan diri.

Sebagai murid kedua dari Leng Ciu siangjin, si paderi jubah merah itu tak tega melihat para sutenya didera begitu hebat.   Dengan besarkan nyali, terpaksa ia maju menyerang. Kalau dibandingkan dengan kawanan sutenya itu, sudah tentu kepandaiannya jauh lebih tinggi. Setelah lepaskan jubahnya, ia segera gunakan jubah itu untuk menghantam Shin Ci-koh.

Wut. Wut, terdengarlah suara benda menderu dan tahu-tahu sebelum ia sempat mengetahui jubahnya itu terasa berat sekali dan tertekan ke bawah. Buru-buru ia kerahkan tenaganya untuk mengangkat ke atas. Bluk, bluk, terdengarlah dua sosok tubuh berjatuhan dari lipatan jubahnya itu. Dan berbareng itu terdengarlah dua buah jeritan ngeri. Kiranya Shin Ci-koh menyambar dua orang anak murid Leng-san-pay terus dilemparkan ke arah si paderi. Diayun-gontaikan oleh permainan jubahnya, sudah tentu kedua sutenya itu tak bernyawa lagi.

”Kau punya mata tapi tak ada gundunya, perlu apa?” Shin Ci-koh tertawa mengejek.

Baru si paderi jubah merah berhasil mengibarkan jubahnya ke atas, sebelum ia sempat berjaga- jaga, tahu-tahu kedua matanya terasa seperti disusupi jarum, sakitnya sampai menusuk ke ulu hati. Seketika itu benda di sekelilingnya menjadi gelap gulita. Ternyata ia sudah buta. Buru-buru bolang-balingkan jubahnya terus melarikan diri sekencang-kencangnya.

Shin Ci-koh mengejar. Sekali kebutkan hud-tim, belasan lembar bulu kebut itu melayang menyusup ke punggung empat lima anak murid yang melarikan diri bersama si paderi. Segera mereka bergulingan di tanah dan menjerit ngeri. Tapi si paderi yang sudah buta matanya itu, tak mendapat persen bulu kebut lagi.

Tertawalah Shin Ci-koh: ”Hari ini aku melanggar peraturan, sengaja mengampuni jiwamu agar kau dapat pulang memberi kabar. Katakan pada Leng Ciu lokoay, lekas serahkan Ceng-bing-cu padaku. Kalau tidak aku akan datang sendiri mengorek biji mata Ceng-bing-cu kemudian membeset kulitnya.”

Mengapa Shin Ci-koh sangat membenci Ceng-bing-cu? Kiranya disitu terdapat persoalannya. Sebenarnya Shin Ci-koh itu sudah berumur 40-an tahun, tapi dasar orang cantik, tampaknya seperti masih belum mencapai umur 30 tahun. Apabila orang baru mengenalnya tentu tak mengira kalau ia adalah seorang iblis wanita yang termasyhur ganas. Pada suatu hari berpapasanlah Ceng-bing-cu dengan Shin Ci-koh di tengah jalan. Dasar orang bermata keranjang dan belum kenal siapa Shin Ci-koh itu, maka Ceng-bing-cu sudah coba untuk menggodanya. Dalam marahnya Shin Ci-koh lantas menghajarnya. Untung karena memandang muka Leng Ciu siangjin, maka Shin Ci-koh memberinya ampun.

Sudah tentu Ceng-bing-cu tak dapat melupakan hinaan itu. Tapi ia tak berani menceritakan kepada suhunya. Setelah merawat lukanya dan pulang ke gunung ia tetap menyimpan rahasia itu untuk menunggu kesempatan menuntut balas.

Beberapa tahun kemudian, barulah kesempatan itu tiba. Kesempatan itu ada hubungannya dengan diri Su Tiau-ing. Seperti telah diketahui, setelah kalah perang, Su Tiau-gi dan adiknya menggabungkan diri pada raja pribumi suku Ki. Raja itu hanya mempunyai seorang putera, ialah Chomulun yang pernah dipecundangi oleh Khik-sia tempo hari. Chomulun jatuh hati pada Su Tiau- ing. Beberapa kali ia ajukan lamaran, tapi selalu ditolak oleh Tiau-ing. Sampai akhirnya terjadilah peristiwa dimana Tiau-ing telah membelakangi engkohnya dan melarikan diri dengan Khik-sia.

Kejadian itu telah menggoncangkan hati Chomulun. Pertama, kecongkakkannya telah dihancurkan oleh Khik-sia. Kedua kali gadis yang dirinduinya dilarikan oleh Khik-sia. Sudah tentu ia kelabakan seperti kebakaran jenggot. Dengan murkanya ia mendesak Tiau-gi supaya mencari adiknya sampai dapat, kalau tidak ia akan mengusir Tiau-gi.

Su Tiau-gi menjadi sibuk juga. Pikir punya pikir, tetap ia tak berdaya. Akhirnya ia minta advis kepada Ceng-ceng-ji. Ternyata Ceng-ceng-ji juga jeri berhadapan dengan Khik-sia. Tapi ia teringat kepada Ceng-bing-cu yang gemar paras cantik itu. Diusulkannya kepada Su Tiau-gi untuk minta bantuan pada Ceng-bing-cu. Su Tiau-gi menerima baik dan atas nama ia dengan raja suku Ki, ia mengirim utusan untuk minta bantuan pada Leng-san-pay dengan membawa sejumlah bingkisan berharga.

Setelah mendapat keterangan bahwa Su Tiau-ing itu adalah murid kesayangan dari Shin Ci-koh, timbullah suatu rencana pada Ceng-bing-cu. Dengan menggunakan kesempatan itu ia hendak mengadu domba suhunya dengan Shin Ci-koh. Waktu ia memberitahukan kepada suhunya tak disinggung-singgungkan bahwa Su Tiau-ing itu adalah murid dari Shin Ci-koh. Ia hanya mengatakan bahwa Su Tiau-gi dan raja suku Ki minta bantuan supaya menangkapkan seseorang. Ceng-bing-cu tahu bahwa Leng Ciu siangjin itu mempunyai ambisi (hasrat) untuk menguasai dunia persilatan Tiong-goan. Ini menjadi bahan untuk mengobarkan hati suhunya. Dikatakannya bahwa Su Tiau-gi itu kelak tentu akan berhasil dalam usahanya besar. Apabila Leng-san-pay membantunya, kelak apa bila Su Tiau-gi berhasil menjadi raja, Leng-san-pay tentu akan diberi prioritas untuk menguasai dunia persilatan Tiong-goan.

Karena usianya yang sudah lanjut, pikiran Leng Ciu siangjin itu sudah tak terang lagi. Segala apa ia hanya menurut apa yang direncanakan oleh murid kepala itu. Akhirnya ia memutuskan supaya mengatur pengejaran.

Sebenarnya Ceng-bing-cu sudah memperhitungkan bahwa nantinya Shin Ci-koh tentu akan tampil campur tangan. Tapi justru memang itulah yang dikehendakinya agar iblis wanita itu bentrok dengan Leng Ciu siangjin. Tentang kematian dari belasan anak murid Leng-san-pay itu, sama sekali tak dihiraukan oleh Ceng-bing-cu.  Malah hal itu merupakan umpan.  Apabila Shin Ci-

koh membunuh anak murid Leng-san-pay, kala itu sekalipun tahu bahwa pembunuhnya adalah Shin Ci-koh, namun Leng Ciu siangjin tentu pantang mundur dan tentu akan menggempur Shin Ci-koh.

Pengerahan anak buah Leng-san-pay secara besar-besaran untuk mencari jejak Su Tiau-ing,

telah menggerakkan hati Shin Ci-koh. Dan seperti yang sudah diperhitungkan Ceng-bing-cu, benar juga iblis wanita itu muncul dan membasmi sekawanan anak murid Leng-san-pay. Dalam pertempuran itu selain si paderi jubah merah yang buta matanya, dua belas orang anak murid Leng- san-pay telah binasa di tangan Shin Ci-koh.

Berselang beberapa jenak, suasana hutan yang menjadi gelanggang pertumpahan darah itu kembali menjadi tenang. Beberapa korban yang tadi masih merintih-rintih kesakitan, kini sudah putus jiwanya. Mayat bergelimpangan di sana-sini, hawa busuk bertebaran dibawa angin.

Pemandangan pada saat itu, sungguh mengerikan. Sampaipun Khik-sia yang menganggap kematian kawanan anak murid Leng-san-pay itu memang sudah selayaknya, namun hatinya tetap tergetar dengan apa yang disaksikan itu. Pikirnya: ”Suhu dari Su Tiau-ing ini memang sakti sekali, tapi kelewat ganas. Sungguh tak kira, seorang wanita yang sedemikian cantiknya, ternyata seorang iblis yang suka menghirup darah manusia.”

Tiba-tiba ia teringat akan peristiwa ketika Su Tiau-ing menggebah pergi toa-suhengnya (Gong- gong-ji).   Cukup dengan menyebutkan nama suhunya, Su Tiau-ing telah membikin Gong-gong-ji lari ketakutan. Diam-diam ia merasa heran dan bertanya dalam hati: ”Benar kepandaian suhu Tiau- ing itu jarang terdapat di dunia persilatan, tapi rasanya juga tak melebihi toa-suheng. Tapi mengapa toa-suheng begitu ketakutan mendengar namanya saja? Dan toa-suheng itu biasanya berhati tinggi tak takut pada siapapun juga. Heran, mengapa ia jeri terhadap iblis wanita ini?”

Saat itu Khik-sia dengan gunakan lwekang yang tinggi telah dapat melokalisir (mengumpulkan) racun di tubuhnya dan disalurkan ke ujung jari tengah. Sekali jari tengahnya digetarkan, racun yang sudah kental menjadi sebesar biji kedele mengucur keluar dari lubang lukanya. Tepat pada saat itu, Shin Ci-koh pun berpaling. Melihat perbuatan Khik-sia, diam-diam ia merasa kagum juga.

Su Tiau-ing cepat mengeluarkan sapu tangan. Tapi ketika hendak membalut luka Khik-sia, anak muda itu sudah menolaknya dan terus angkat kaki.

”Hai, hendak kemana kau?” teriak Tiau-ing.

Sahut Khik-sia dengan tawar: ”Suhumu sudah datang, tak perlu kutemani kau lagi. Tentang urusan Kay-pang, kelak apabila aku sudah tiba di Tiang-an tentu kukabarkan padamu.”

”Hai, kau ini bicara sungguh-sungguh atau main-main?” seru Tiau-ing dengan sibuknya.

Sekali tubuh Khik-sia bergerak, ia sudah melesat beberapa tombak jauhnya. Baru ia hendak menyahut, tiba-tiba terdengar sambaran angin. Ternyata Shin Ci-koh menyerang punggunnya dan mendamprat: ”Budak kecil yang tak tahu adat. Telah kutolong menghalaukan musuh, sepatahpun kau tak mengucapkan terima kasih.”

Bret, dalam pada ia berkata-kata itu, tangannya sudah menyentuh bahu Khik-sia. Tapi Khik-sia sudah meluncur pergi, yang  kena disambar hanyalah bajunya saja hingga robek. Ia berpaling ke belakang dan dilihatnya Tiau-ing berseru kepada suhunya dengan cemas: ”Suhu, dia adalah Gong

....” ”Aku sudah tahu kalau dia sute dari Gong-gong-ji. Ilmu gin-kangnya juga hampir menyamai suhengnya itu,” tukas Shin Ci-koh.

Sebenarnya jika Khik-sia keluarkan seluruh ilmu gin-kangnya, dalam jarak sepuluh li, mungkin

Shin Ci-koh masih dapat mengejarnya, tapi selewatnya jarak itu tentu tak mampu menyusulnya lagi. Khik-sia tahu juga akan hal itu. Sebenarnya ia bisa menyingkir saja tapi setelah mendengar dampratan Shin Ci-koh tadi, ia merasa dirinya memang kurang pantas. Walaupun tak senang kepada iblis wanita itu, tapi terpaksa ia berhenti juga dan memberi hormat: ”Baiklah, dengan ini aku menghaturkan terima kasih padamu.”

”Jangan buru-buru pergi dulu,” kata Shin Ci-koh. Kemudian ia bertanya kepada Su Tiau-ing: ”Pernah janji apa dia kepadamu?”

”Ia pernah meluluskan mengawani aku ke Tiang-an,” sahut Tiau-ing yang kemudian menuturkan tentang urusan Kay-pang.

Berkata Shin ci-koh tawar-tawar kepada Khik-sia: ”Dalam hal ini kaulah yang salah. Kaum persilatan paling menjunjung janji, mengapa kau lantas mau pergi seenakmu sendiri saja? Hm, kau kira aku tak dapat menghadangmu? Hm, mengapa kau dengan suhengmu itu setali tiga uang?

Tanpa menyerahkan tanggung jawab lantas mau ngacir pergi?”

Khik-sia memang mempunyai sifat ksatria. Bukan karena takut dengan gertakan Shin Ci-koh yang menggunakan alasan kuat itu. Terutama ketika wanita itu menyebut-nyebut nama toa- suhengnya, tertariklah hati Khik-sia.

”Benar, memang aku telah berjanji bersama kau ke Tiang-an, tapi dari sini ke kota itu hanya dua hari perjalanan saja. Kamu berdua suhu dan murid saling berjumpa, tentunya mempunyai banyak hal yang akan dibicarakan. Aku hanya orang luar, jika mengikuti perjalananmu, bukankah hanya akan menimbulkan kejemuanmu saja? Itulah makanya aku akan pergi ke Tiang-an lebih dulu dan menunggu kalian di sana. Tentang pertentanganmu dengan kaum Kay-pang, setelah aku tiba di Tiang-an tentulah aku akan berusaha untuk mencari penyelesaiannya. Ini bukan berarti aku hendak mengingkari janji,” bantah Khik-sia.

Shin Ci-koh tertawa, tegurnya: ”Ing-ji, apakah kau benci kepadanya?”

Wajah Tiau-ing kemerah-merahan: ”Suhu, kau, kau tentu sudah mengerti sendiri. Aku, aku tak mau mengatakan.”

Kembali Shin Ci-koh tertawa: ”Benar, jika kau benci padanya, tak nanti kau suruh dia mengantarmu ke Tiang-an. Hanya saja, aku tak suka dengan budak itu.”

Tiau-ing terbeliak, tapi ia tak berani bersuara, melainkan mencuri lihat ke arah suhunya. Dilihatnya wajah sang suhu tak menampilkan kemarahan, maka bingung ia memikirkan apakah suhunya itu berkata sungguh-sungguh atau hanya bergurau saja.

”Baik, tapi mengapa kau tahan aku?” demikian Khik-sia hendak mengejek Shin Ci-koh. Tapi

belum sempat ia mengutarakan, Shin Ci-koh sudah mendahuluinya: ”Aku benci padanya karena dia sute dari Gong-gong-ji. Kubenci padanya karena ia serupa dengan suhengnya itu. Tapi karena bukan aku yang minta ditemani, asal kau tak benci padanya, tak apalah.” 

”Oh, bukankah suhu juga akan pergi ke Tiang-an?” tanya Su Tiau-ing.

”Apa itu Eng-hiong-tay-hwe dari Cin Siang, masih belum masuk hitunganku. Aku tak berminat melihatnya,” sahut Shin Ci-koh tawar-tawar.

Tiau-ing menjunjung suhunya: ”Ya, benar, memang siapakah yang berani bertepuk dada di hadapan suhu?”

”Bukan begitu, soalnya memang selama ini aku belum pernah berjumpa dengan seorang gagah sejati. Misalnya, Gong-gong-ji itu, bermula kuanggap ia sebagai seorang ksatria, siapa nyana nyalinya kecil sekali. Oh, berbicara tentang Gong-gong-ji, aku memang masih akan mencarinya untuk melampiaskan kemarahanku.”

Khik-sia senantiasa mengindahkan sekali kepada toa-suhengnya. Maka marahlah ia ketika mendengar Shin Ci-koh menghina toa-suhengnya itu: ”Apa buktinya kalau toa-suhengku bernyali kecil. Apakah kau mempunyai dendam kepadanya?”

Sebenarnya Khik-sia masih mempunyai beberapa patah kata yang hendak dikatakan kepada Shin Ci-koh, ialah: ”Tentang dendammu kepada suhengku itu, jika kau tak dapat mencarinya, akulah yang akan mewakilinya.” – Tapi ia pikir, ucapan itu berarti menantang pada Shin Ci-koh. Meskipun Khik-sia tak takut kepada wanita iblis itu, tapi mengingat bahwa tadi ia telah memberi pertolongan, maka sungkanlah ia untuk menentangnya. Ia hendak pertimbangkan hal itu apabila sudah mendapat jawaban dari wanita itu.

Melihat Khik-sia bicara begitu getas, diam-diam cemaslah Tiau-ing. Tapi di luar dugaan, dari marah sebaliknya suhunya itu malah menghela nafas, ujarnya: ”Meskipun kau sutenya, tapi urusannya tak dapat kau wakili, pun tak boleh kau turut campur. Kalau bukannya bernyali kecil,

mengapa suhengmu selalu menghindari aku saja? Tapi bagaimanapun juga tak nanti seumur hidup ia dapat menghindarkan diri, dalam hal itu tak usah kau menguatirkan aku!”

Pikir Khik-sia: ”Uh, kalau kau tak mampu mencari suhengku, itulah urusanmu sendiri, perlu apa aku menguatirkan kau?” – Ia rasa ucapan Shin Ci-koh itu agak aneh, tapi yang nyata nadanya tak mengandung permusuhan terhadap Gong-gong-ji.

Tiba-tiba wajah Shin ci-koh mengerut, ujarnya: ”Tak usah membicarakan suhengmu lagi dan sekarang tentang urusanmu saja. Kau telah mendengar jelas, pertama aku tak berniat ke Tiang-an maka aku pun segera berpisah dengan Tiau-ing lagi. Dan aku pun tak ada omongan apa-apa dengannya. Kedua: aku benci padamu, tapi Tiau-ing tidak. Ia masih menghendaki kau menemaninya ke Tiang-an. Kau sudah meluluskan, sekarang apa kau menyesal?”

Khik-sia tak dapat berbuat apa-apa lagi, sahutnya: ”Karena kau tak menuju ke Tiang-an, biarlah aku yang mengantarkan nona Su kesana.”

Di udara terdengar suara berkaok-kaok. Ternyata beberapa burung elang karena melihat beberapa sosok mayat di tanah, lantas mau melayang turun.

”Kurang ajar!” seru Shin Ci-koh seraya kibaskan hud-tim ke atas.  Beberapa lembar bulu hud-  tim bertebaran di udara. Beberapa ekor burung elang itu sama berhamburan jatuh ke bumi. Kemudian menatap Khik-sia dengan sikap mengancam, berkatalah wanita iblis itu: ”Eh, budak kecil, kau harus memperlakukan muridku baik-baik. Jika kau berani menghinanya, sekalipun kau punya sepasang sayap, tapi jangan harap dapat lolos dari tanganku.” – Habis berkata, wanita itu lantas angkat kaki.

Perut Khik-sia menjadi keras karena menahan kemarahan, pikirnya: ”Kepandaian wanita ini

juga bukan yang nomor satu, tapi garangnya tiada bandingannya. Mungkin suhengku itu jeri akan kegarangannya, hanya karena ia seorang wanita maka suheng segan cari perkara padanya.” ”Ayo, jalan!” karena kemengkalannya belum reda, maka Khik-sia secara dingin segera

menyuruh Tiau-ing diajak berangkat.

Sambil putar tubuh, dengan nada yang tak kurang dinginnya Tiau-ing menyahut: ”Jalanlah sendiri!”

”Eh, aneh. Bukankah tadi kau mendamprat aku karena tak mau menemanimu, mengapa sekarang suruh aku pergi?” tegur Khik-sia.

Mata Tiau-ing menjadi merah: ”Khik-sia, sekarang barulah aku tahu. Ternyata kau tak suka padaku!”

Khik-sia kerutkan alis: ”Mengapa kau katakan begitu?”

Tiau-ing tertawa: ”Jika bukan benci padaku, mengapa kau selalu hendak kau tinggalkan aku? Benar memang kita bukan sanak bukan kadang, tapi rasanya setelah bergaul beberapa hari ini, apakah tak pantas disebut sebagai sahabat?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar