Tusuk Kundai Pusaka Jilid 07

 
Jilid 07

”Jika kau tetap membandel, aku terpaksa ambil tindakan keras!” seru Khik-sia.

Sret,sret, sret, tiga kali ia bolang-balingkan pedang untuk mendesak mundur nona itu. Ia menyerang dengan gencar.

”Lepaskan golokmu!” tiba-tiba ia membentak.  Ia yakin lawan tentu sudah tak dapat bertahan lagi. Siapa tahu nona itu malah maju selangkah. Sebenarnya Khik-sia memang tak bermaksud mengambil jiwa si nona. Permainan pedang Khik-sia telah mencapai tingkat sedemikian rupa hingga dapat dilancarkan dan dihentikan menurut sekehendak hatinya. Tadi ia miringkan ujung

pedangnya untuk menutuk siku si nona supaya lepaskan goloknya. Tapi tak nyana, nona itu hanya tertawa mengejek seraya berseru: ”Jangan kesusu, bung!....” Sepasang goloknya dilingkarkan dan dengan tenaga lwekang lunak, ia menarik pedang Khik-sia ke samping.

Kiranya walaupun tenaga nona itu kalah dengan Khik-sia, tapi ilmu kepandaiannya tak di bawah Khik-sia.   Di samping itu matanya amat celi sekali dan pikirannya tajam pula. Begitu melihat gerakan Khik-sia, ia segera mengetahui kalau anak muda itu takkan mengambil jiwanya. Itulah sebabnya maka ia sengaja maju selangkah untuk menggeser pedang Khik-sia ke samping. Dengan begitu tenaga Khik-sia berkurang separuh.  Begitulah nona itu telah berhasil kembangkan ilmu golok dengan lwekang lunak untuk menundukkan kekerasan lawan. Sudah tentu dalam hal itu, cara si nona mengambil ’timing’ (waktu) yang tepat, adalah faktor yang menentukan. Diam-diam Khik-sia merasa kagum juga.

Kalau di sini ia masih belum merebut kemenangan adalah di partai sana Hong-kay Wi Wat

sudah mulai menang angin. Dengan ngacirnya Ceng-ceng-ji karena ketakutan digertak Khik-sia, lawan Wi Wat hanya tinggal Pok Yang-kau dan Liu Bun-siong. Sekalipun Wi Wat tadi kena tertutuk, tapi lwekang Pok Yang-kau pun menderita besar, maka meskipun ditambah dengan seorang Liu Bun-siong, tetap Wi Wat dapat mengatasinya.

Di saat Bun-siong tusukkan pedangnya kemuka Wi Wat, tiba-tiba yang tersebut belakangan ini menggembor keras sehingga saking kagetnya Bun-siong sampai tergetar dan tusukannyapun menemui tempat kosong. Dan secepat kilat Wi Wat segera merebut pedang lawan seraya menendang musuhnya yang satu (Pok Yang-kau) sampai terjungkir balik.

Wi Wat seorang pembenci kejahatan. Benar Pok Yang-kau da Liu Bun-siong itu benggolan- benggolan penjahat, tapi keduanya mempunyai ciri-ciri kejahatan yang berlainan. Kalau Pok Yang- kau hanya malang melintang mengandalkan kekuatannya, adalah Liu Bun-siong itu termasyhur sebagai tukang ’petik bunga’ alias pengrusak kaum wanita. Diantara kedua orang itu, Wi Wat lebih benci kepada Bun-siong. Pedang yang dirampasnya tadi segera ditimpukkan kepada orang she Liu itu. Sebenarnya ilmu ginkang Liu Bun-siong cukup lihay dan lagi saat itu ia sudah menyingkir sampai belasan tindak. Namun tak urung ia tetap termakan pedang timpukan Wi Wat juga. Ujung pedang dari punggung menembus sampai ke dada.

Poh Yang-kau cerdik sekali. Pada saat Wi Wat tengah mengincar jiwa Bun-siong, ia gunakan kesempatan itu untuk loncat bangun terus menyusup dalam rombongan para pengemis.

Ciok Ceng-yang pun juga sudah dapat merobohkan Han Ciat. Sedang saat itu tongkat kekuasaan jatuh di atas altar batu. Di situ Ma tianglo dan Ji tianglo tengah berebutan mengambilnya. Melihat itu, Uh-bun Jui hendak loncat membantu Ma tianglo. Tapi Ceng-yang datang.   Ma tianglo dan Uh-bun Jui tak berani menyerangnya. Mereka putar tubuh terus ngacir. Ceng-yang pun segera mengambil tongkat kekuasaan dari partai Kay-pang tersebut.

Bintang penolong yang diharapkan Uh-bun Jui, si nona pemimpin barisan wanita baju merah, ternyata saat itu tampak keripuhan menghadapi serangan Khik-sia.

Dengan geramnya Uh-bun Jui berseru sengit: “Urusan besar telah dirusakkan bangsat kecil itu. Nona Su, aku telah menelantarkan maksudmu yang baik.”

Sahut nona itu dengan hati besar: ”Selama gunung masih menghijau, masa takut tak mendapat kayu bakar. Kalah menang bukan soal. Kekalahan sementara waktu tak jadi apalah.”

Ia lancarkan sebuah serangan kosong, kemudian mundur dari gelanggang. Tapi rupanya ia

masih belum puas karena tiba-tiba ia menoleh dan berseru kepada Khik-sia: ”Hai, siapa kau? Harap beritahukan namamu!”

Tiba-tiba dari bawah altar batu, ada seorang menyahut: ”Bangsat kecil itu adalah Toan Khik- sia!”

Kiranya orang yang membuka rahasia Khik-sia itu, bukan lain adalah Ping-tat, jago yang patah tulang lengannya karena dipelintir Khik-sia tadi. Sebenarnya ia tak kenal dengan Khik-sia. Tapi ia kenal lama dengan Ceng-ceng-ji. Tentang ilmu kepandaian Ceng-ceng-ji, ia cukup paham. Tapi ia perhatikan bahwa gerakan Khik-sia itu, serupa benar dengan Ceng-ceng-ji. Ia tahu bahwa sahabatnya itu (Ceng-ceng-ji) mempunyai seorang suheng dan seorang sute. Pengemis muda yang memelintir tangannya tadi jauh lebih muda dari Ceng-ceng-ji. Sudah tentu bukan suheng dari

Ceng-ceng-ji, melainkan sutenya.

Ping-tat merasa tak dapat membalas sendiri, maka ia hendak gunakan siasat ’pinjam pisau membunuh orang’. Ia harap setelah mengetahui nama Toan Khik-sia, nona itu akan mencari balas. Meskipun ilmu silat nona itu tak memadai Khik-sia, tapi ia mempunyai ’backing’  (andalan) kuat serta mempunyai anak buah banyak. Jadi kemungkinan besar tentu dapat membalas. Dan benar juga di kemudian hari Khik-sia akan mendapat beberapa kesulitan dari nona itu. Tapi karena belum sampai waktunya, baiklah kita pertangguhkan dulu.

Demi mendengar nama Khik-sia, nona itu tercengang. Pada lain saat ia tertawa: ”Oh, kiranya Toan siauhiap, sungguh tak bernama kosong! Walaupun aku kalah, tapi puaslah!”

Dengan putar sepasang goloknya, ia lindungi Uh-bun Jui. Dengan diikuti oleh barisan wanita merah dan anak buah Uh-bun Jui, mereka menerobos pergi. Ciok Ceng-yang tak mau menimbulkan pertumpahan darah besar. Buru-buru ia acungkan tongkat untuk anggota-anggota Kay-pang yang hendak mengejar mereka.

Khik-sia menghapus arang di mukanya dan menjumpai Hong-kay Wi Wat.

Jago tua dari Kay-pang itu tertawa riang: ”Sungguh tak kecewa menjadi putera Toan tayhiap. Ayahmu tentu akan tersenyum gembira di alam baka.”

Ciok Ceng-yang dan Ji tianglo pun menghampiri untuk menghaturkan terima kasih kepada Khik-sia.

”Sayang Uh-bun Jui dan Ma tianglo dapat lolos. Kukira kematian Ciu pangcu kita tentu ada

sangkut pautnya dengan mereka berdua. Entah siasat apa yang mereka rancang itu?” kata Ji tianglo. Kata Wi Wat: ”Mereka tentu pergi ke Tiang-an untuk mengacau Eng-hiong-tay-hwe yang diselenggarakan Cin Siang. Sebenarnya aku tak berhasrat hadir, tapi berhubung ada urusan ini, terpaksa aku harus ke sana.”

Ciok Ceng-yang segera menuturkan hasil penyelidikannya ke Tiang-an. Kiranya Thio Kam-lok menganiaya Wi hiangcu itu terjadi pada tengah malam. Tempatnya diatur di paseban dalam dari hun-tho (anak cabang) Kay-pang di Tiang-an. Rencana itu telah diatur Thio Kam-lok sedemikian rupa. Siangnya ia cari-cari alasan merobek surat untuk Wi hiangcu. Ia percaya rencananya itu pasti takkan ketahuan orang. Tapi tak nyana, seorang anak buah Kay-pang telah tak sengaja mempergokinya. Pengemis itu menjadi pencuri dan dikejar alat negara. Ia tahu dirinya tak dapat berdiam di Tiang-an lagi. Maka malam-malam ia pergi ke tempat Wi hiangcu. Maksudnya, hendak minta perlindungan dari hiangcu itu. Ia hendak serahkan barang curiannya itu kepada Wi hiangcu dengan permintaan supaya dikembalikan kepada pemiliknya. Secara kebetulan sekali, ia mengetahui rencana keji dari Thio Kam-lok.

Pengemis pencuri itu sembunyi di dalam tumpukan genteng di bawah jendela.  Mengetahui apa yang terjadi di dalam ruangan, kejutnya bukan kepalang. Ia tak berani keluar dari tempat persembunyiannya, pun setelah peristiwa itu ia tetap tak berani bicara pada lain orang. Baru setelah Ciok Ceng-yang datang membuat penyelidikan, karena yakin Ceng-yang pasti dapat melindungi dirinya, pengemis itu berani membuka rahasia.

”Tampaknya penganiayaan terhadap Wi hiangcu dan suhengku itu, adalah dua buah perkara. Tapi besar kemungkinannya mempunyai hubungan satu sama lain,” kata Ceng-yang.

”Betul! Wi hiangcu itu adalah pengikut setia dari Ciu pangcu. Pengkhianat-pengkhianat itu menganggap jika tak melenyapkan Wi hiangcu, tentulah sukar buat Uh-bun Jui merangkai cerita sandiwaranya,” kata Ji tianglo.

”Apakah kau meragukan kalau Ciu pangcu tak datang ke Tiang-an?” tanya Lok-san, Lwe-san- tong-hiang-cu.

”Kupikir makin mencurigakan. Hm, siapa tahu jangan-jangan suheng masih hidup di dunia,” tiba-tiba Ceng-yang berseru.

Katanya lebih lanjut: ”Pada hakekatnya Cin Siang belum berjumpa dengan suheng. Menilik kedudukan dan pribadinya, kupercaya ia tak berdusta. Waktu kubikin penyelidikan di Tiang-an, anak buah Kay-pang di Tiang-an juga tak pernah bertemu dengan Ciu pangcu.”

Ji tianglo menyeletuk: ”Ya, memang aku sudah menyangsikan. Dengan lancar sekali Uh-bun Jui menuturkan tentang peristiwa dicelakainya Ciu pangcu, tapi tak ada saksinya sama sekali.

Paling-paling mengatakan Thio Kam-lok yang menyaksikan. Tetapi kini setelah nyata Thio Kam- lok lah yang membunuh Wi hiangcu, cerita Uh-bun Jui tadi tak dapat dipercaya lagi. Turut pendapatku, 90 persen tentulah Uh-bun Jui itu bersekongkol dengan Thio Kam-lok. Dengan membunuh Wi hiangcu, tak ada orang lagi yang menyangsikan keterangan Uh-bun Jui. Tetapi setiap kebohongan itu tentu bakal ketahuan.”

Ciok Ceng-yang melanjutkan kata-katanya lagi: ”Jika peristiwa terbunuhnya suheng itu hanya karangan saja, menilik bahwa suheng belum datang ke Tiang-an, maka sekalipun Uh-bu Jui begitu bernafsu merebut kedudukan pangcu, tapi belum tentu ia berani membunuh suhunya.”

Ji tianglo mengangguk, ujarnya: ”Mudah-mudahan begitulah. Ditinjau dari peristiwa hari ini,

rasanya Uh-bun Jui tentu mempunyai backing (penunjang) yang kuat. Jika tidak, masakan ia berani berbuat begitu.”

”Siapakah nona yang membawa barisan wanita tadi? Tampaknya baik sekali hubungannya dengan Uh-bun Jui. Apakah kalian tahu?” tanya Ceng-yang.

Para Tiang-lo dan Hiang-cu saling berpandangan. Tapi tak seorangpun dari mereka yang mengetahui.

”Budak busuk itu jahat benar, biar kuselidiki asal-usulnya. Tapi sekarang ini, baik kita jangan hiraukan ia dulu, masih ada lain urusan yang lebih penting,” kata Wi Wat.

Ji tianglo menyetujui: ”Ya, benar, sekarang kedudukan pangcu jangan diberikan pada Uh-bun

Jui. Wi susiok, pengangkatan pangcu baru, tak boleh ditunda-tunda lebih lama. Harap kau orang tua yang memutuskan, sekalian harap membatalkan pengangkatan Uh-bun Jui tadi.”

”Ceng-yang, kau adalah orang satu-satunya yang diharapkan oleh seluruh anggota Kay-pang. Kau sajalah yang menjabat pangcu, jangan menolak lagi,” kata Wi Wat.

”Hidup matinya Ciu suheng masih belum ketahuan, masakan aku lantas menduduki jabatan itu?” bantah Ceng-yang.

Jawab Wi Wat dengan tandas: ”Negeri tak boleh satu haripun tak ada kepalanya, begitu pula dalam partai kita tak boleh sehari tak punya pemimpin. Banyak nian pekerjaan yang harus kita selesaikan, untuk itu kita harus punya pemimpin. Jika keadaan suhengmu belum jelas dan kau sungkan menjadi pangcu, biarlah untuk sementara kau menjabat sebagai wakil pangcu saja.”

Wi Wat bergelar Hong-kay atau Pengemis Gila, tapi apa yang ia ucapkan tadi benar-benar jitu sekali. Ciok Ceng-yang tak dapat menolak lagi. Begitulah Wi Wat segera mengadakan persidangan anggota lagi dan mengumumkan tentang hal itu.  Oleh karena golongan yang anti Ceng-yang saat itu sudah ikut pada Uh-bun Jui, maka pengangkatan itu telah disambut dengan persetujuan aklamasi atau suara bulat.

Setelah urusan partai selesai, berkatalah Wi Wat kepada Khik-sia: ”Toan siauhiap, pengemis tua masih hendak minta bantuanmu untuk sebuah urusan.”

Khik-sia tersipu-sipu mengiakan dan minta pengemis tua itu mengatakan.

”Sungguh memalukan sekali bahwa dalam partaiku telah muncul seorang pengkhianat semacam Uh-bun Jui itu. Dia bersekongkol dengan kawanan durjana hendak mengacaukan rapat dari Cin

Siang. Apa maksud yang mereka rencanakan itu, sekarangmasih belum jelas. Tapi bagaimanapun, rencana mereka itu bukan bermaksud baik, kita harus menjaganya. Sekarang aku si pengemis tua ini masih belum dapat berangkat. Kau mempunyai ilmu gin-kang yang  tinggi, apakah suka mewakili aku berangkat ke Tiang-an lebih dulu untuk memberitahukan Cin Siang?”

Khik-sia berpikir sejenak, berkata: ”Aku sanggup mengerjakan perintah lo-cianpwe itu, tapi akupun mempunyai sebuah hal yang akan mohon bantuan lo-cianpwe juga.” ”Katakanlah,” kata Wi Wat.

”Tentulah lo-cianpwe sudah mengetahui tentang peristiwa tentara negeri menggempur gunung Kim-ke-nia. Toako-ku Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat membawa anak buahnya menuju ke Ho-se. Di sana mereka tengah menyusun kekuatan lagi. Aku mendapat perintah dari Thiat toako untuk mencari seseorang. Orang itu telah kutemukan, tapi menolak kuajak pulang. Terpaksa sekarang aku hendak pulang melapor pada Thiat toako.”

Oleh karena Wi Wat tak tahu bahwa 'orang' yang dicari Khik-sia itu ternyata seorang nona yang bakal menjadi isterinya, maka bertanyalah pengemis tua itu: ”Siapakah orang itu? Apakah penting sekali?”

”Dia bukan orang persilatan, melainkan seorang seorang sahabatku yang baik,” sahut Khik-

sia dengan terputus-putus.

”Oh, tahulah aku. Kalian sekarang sedang giat mengumpulkan orang gagah. Tentulah hendak minta orang itu masuk ke dalam perserikatan kalian,” seru Wi Wat.

Pengemis Gila itu tak mau minta penjelasan apakah sahabat Khik-sia itu pria atau wanita. Dengan sembarangan saja, ia menduga-duga semaunya.

Khik-sia berduka, ia tertawa getir: ”Bagaimana pendirian orang itu, telah kuketahui jelas. Tak nanti ia mau bergabung pada kita.  Tapi tak apalah ”

Hong-kay Wi Wat itu sudah tua, tapi suka ceriwis. Cepat ia memberi komentar: ”Betul, toakomu Thiat-mo-lek itu luas sekali pergaulannya. Jika ia mau bergerak, tentulah dengan mudah akan mendapat sambutan baik dari orang gagah di empat penjuru. Kurang satu orang itu, tak jadi apa.”

”Benar, lo-cianpwe. Tetapi jika aku tak lekas-lekas pulang tentulah Thiat toako amat

mengharap-harap. Oleh karena itu, hendak kumohon kepada lo-cianpwe agar menyuruh seorang anak murid Kay-pang memberitahukan kepada Thiat toako bahwa aku sedang pergi ke Tiang-an. Selain itu, meskipun Kim-ke-nia diserang oleh tentara Gi-lim-kun, tapi hubungan pribadi toako dengan Cin Siang itu tetap baik. Dalam hal ini harap Thiat toako mengetahuinya.”

Wi Wat tertawa: ”Thiat-mo-lek memimpin kaum enghiong.  Pun Bo Se-kiat itu juga seorang loklim bengcu yang baru. Tak usah kau katakan, akupun sebenarnya hendak melaporkan hal itu

kepada mereka. Nah, baiklah kita sama-sama membagi laporan. Karena waktunya rapat di Tiang- an itu sudah mendesak, maka baiklah kau lekas-lekas berangkat.”

Begitulah setelah saling menetapkan rencana pembagian tugas, Khik-sia segera berangkat ke Tiang-an. Dengan gunakan gin-kang, pada hari pertama Khik-sia dapat menempuh jarak 300-an li lebih. Hari kedua ia sudah tiba di Gui-cia (sekarang propinsi Ho-pak). Tiba-tiba ia berpapasan dengan suatu rombongan rakyat yang terdiri dari laki perempuan, tua muda dan besar kecil. Dari wajah dan dandanan serta keadaan, teranglah mereka itu tengah mengungsi.

Waktu Khik-sia menanyakan, pak tua yang menjadi pemimpin rombongan itu menyahut dengan heran: ”Engkoh kecil, apakah kau tak tahu bahwa Su Tiau-gi telah menderita kekalahan.

Pasukannya yang kalah itu kini mundur ke Pok-yap.  Di mana tempat yang dilalui, mereka merampok rakyat. Mengapa kau hendak kesana? Kau masih begini muda, baik ketemu tentara negeri maupun tentara perampok, kau tentu dipaksa turut mereka.”

Yang dikatakan 'Su Tiau-gi' oleh pak tua itu, adalah putera dari Su Su-bing, itu jenderal dari An Lok-san. Setelah An Lok-san dibunuh oleh anaknya sendiri, An Ging-hi, maka anak buah An Lok- san menjadi terpecah belah. Panglima Kwe Cu-gi dari kerajaan Tong-tiau dengan mudah dapat membasmi mereka. Untuk sementara waktu, Su Su-bing menakluk pada kerajaan Tong. Tapi tak lama kemudian ia dapat menyusun kekuatan lagi, dan berontak. Setelah berhasil mengalahkan tentara gabungan dari 9 Ciat-to-su (panglima perbatasan), ia mulai menyerang Lok-yang.

Su Su-bing dapat membunuh An Ging-hi dan lalu mengangkat diri menjadi kaisar Tay Yan hongte. Tapi tak lama kemudian, ia dibunuh oleh puteranya sendiri yakni Su Tiau-gi. Kerajaan Tong-tiau memerintahkan Li Kong-pik mengganti kedudukan Kwe Cu-gi untuk memukul Su Tiau- gi. Akhirnya pada permulaan tahun kerajaan Po-ging atau tahun 762 Masehi, Li Kong-pik berhasil masuk ke Lok-yang dan mengejar tentara Su Tiau-gi. Su Tiau-gi membawa sisa anak buahnya

menuju ke daerah Pok-yap dengan maksud hendak menggabung pada suku He. Rombongan rakyat dipimpin oleh pak tua itu adalah rakyat di daerah yang mengungsi karena takut dirampok tentara Su Tiau-gi.

Khik-sia sendiri adalah seorang anak yang menjadi sebatang kara karena akibat peperangan. Teringat akan kematian sang ayah di medan pertempuran dan ibunya yang akibat melarikan diri lalu menderita luka dan akhirnya juga meninggal, diam-diam Khik-sia menjadi ngeri. Ngeri karena peperangan atau huru-hara itu sampai sekarang masih belum padam.

”Engkoh kecil, kembalilah saja. Di sebelah depan sana sudah kosong semua,” kata pak tua itu pula.

Khik-sia menghaturkan terima kasih: ”Terima kasih, lo-tio. Tapi aku mempunyai urusan penting, terpaksa harus kesana. Terserahlah pada nasib.”

Karena Khik-sia tak mau mendengar nasihatnya, pak tua itu hanya menghela napas panjang.

Dan Khik-sia lalu meneruskan perjalanan pula. Belum berapa jauh, di sebelah depan tampak debu mengepul tinggi. Benar juga ia berpapasan dengan sepasukan tentara pecundang. Di dalam pasukan itu terdapat belasan buah kereta. Mereka membawa panji-panji, tapi keadaan pasukan tiu tak mirip dengan susunan tentara lagi.

Ketika Khik-sia sedang pertimbangkan baik tidaknya ia menghindar dari pasukan perampok itu, tiba-tiba terdengar suara orang menggembor keras. Seorang tua yang bertubuh tinggi besar menyerbu ke tengah pasukan itu dan membentak keras-keras: ”Siapa yang sayang jiwanya, harus lekas-lekas pergi. Tinggalkan kereta pesakitan!”

Khik-sia tersentak kaget. Pikirnya: ”Siapakah orang tua itu? Mengapa seorang diri ia berani menyerbu kawanan 'serigala'? Dari suara bentakannya itu, terang ia memiliki lwekang tinggi, tidak di bawah Hong-kay Wi Wat. Tapi sayang, ia sudah terluka dalam.”

Orang tua gagah itu bersenjatakan sebatang tongkat besi. Trang, ia hantam golok seorang opsir sampai mencelat ke udara. Dan ketika tongkat besinya melayang turun, seorang opsir lain yang tak keburu menangkis dengan senjatanya lung-ya-pang, telah terhantam remuk. Melihat opsirnya mati, kawanan tentara perampok itu sama lari kalang-kabut.

Dari rombongan pasukan itu tampil dua orang, tapi mereka tak berpakaian opsir. Serempak keduanya berseru: ”Hai, Hong-hu Ko, jiwamu sudah berada di ujung rambut, mengapa masih berani merampas kereta pesakitan? Baiklah, jika kau ingin lekas-lekas menghadap raja akhirat, biarlah kami bantu!”

Orang tua yang dipanggil Hong-hu Ko itu tak menyahut dengan mulut melainkan dengan

pukulan tongkat besinya. Kedua orang tadi ternyata bukan jago lemah, tapi toh mereka hanya kuat bertahan sampai 10-an jurus saja, sudah lantas kalah. Orang tua she Hong-hu itupun tak dapat mengejar mereka. Setelah anak buah pasukan itu bubar, ia lantas berusaha membuka kereta pesakitan. Kereta pesakitan itu merupakan sebuah kerangkeng yang ditutup besi rapat-rapat.

Sebenarnya harus mencari kuncinya dulu, tapi rupanya orang tua itu tak sabar lagi. Bruk, ia hantamkan tongkat besinya ke kerangkeng besi sehingga tutup kerangkeng itu berlubang. Jago tua itu menjenguk ke dalamnya, tapi segera ia berseru: ”Bukan!” -- Ia lantas berganti sasaran kerangkeng yang kedua.

Melihat kekuatan orang tua itu, diam-diam Khik-sia terkejut sekali. Tiba-tiba ia teringat:

”Astaga! Kiranya tokoh yang kedudukannya sejajar dengan Hong-kay Wi Wat, ialah Se-gak-sin- liong (Naga Sakti gunung barat) Hong-hu Ko locianpwe. Tapi siapakah yang dapat melukai tokoh semacam orang tua ini? Dan mengapa ia hendak merampas kereta pesakitan?”

Khik-sia belum pernah berjumpa dengan Hong-hu Ko, tapi sudah mendengar kemasyhuran namanya. Kiranya Hong-hu Ko itu selain bersahabat baik dengan mendiang ayak Khik-sia juga pernah menerima budi dari bibi Khik-sia yang bernama He leng-siang itu (He Leng-siang adalah isteri dari Lam Ce-hun. Sejak umur 10 tahun, Khik-sia lantas ikut pada bibinya itu – pen).

Khik-sia menimang dalam hati: ”Meskipun lo-cianpwe itu mampu menandingi kawanan tentara perampok, tapi setelah kutahu kalau dia, masakan aku tinggal diam tak mau memberi bantuan?” Pada saat itu Hong-hu Ko sudah menghantam terbukan 7 buah kereta pesakitan, tapi tetap belum mendapatkan orang yang dicarinya.

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda yang mendatangi dengan gemuruh sekali. Penunggang

kuda yang paling depan sendiri, seorang tua yang berwajah jelek keja, tubuhnya kekar dan matanya hanya tinggal satu. Astaga! Khik-sia tersirap kaget. Itulah Chit-poh-tui-hun Yo Bok-lo!

Iblik itu tertawa nyaring: ”Hai, Hong-hu Ko, nyawamu sendiri sudah di ujung rambut, masih mau menolong orang? Mari biar kuantarmu ke akhirat!”

Wut, iblis itu loncat dari kudanya. Dengan gerak can-liong-chiu atau gerak menabas naga, ia berjumpalitan di udara terus menghantam lawan. Hong-hu Ko menyambutnya dengan jurus ki- hwe-liau-thian atau mengangkat api membakar langit. Tongkat diarahkan ke dada Yo bok-lo. Brak, pukulan iblis she Yo tadi telah berhasil mementalkan tongkat Hong-hu Ko ke samping.

Sebenarnya ilmu kepandaian Hong-hu Ko tak kalah dengan Yo Bok-lo.  Tapi karena sebelumnya  ia sudah terluka dalam lebih dulu, kemudian mengamuk menghantami kerangkeng besi, tenaganya

berkurang banyak sekali. Maka dalam adu kekuatan yang pertama itu, Yo Bok-lo lah yang menang angin.

Iblis she Yo itu, tak mau memberi hati. Baru kakinya turun ke bumi, ia sudah enjot lagi menerjang. Hong-hu Ko membabat ke arah kaki, tapi sebagai iblis yang bergelar Chit-poh-tui-hun (tujuh langkah mengejar nyawa), Yo Bok-lo itu lihay sekali kakinya. Tendangannya tadi ternyata hanya pancingan, begitu Hon-hu Ko menghantam, dengan berdiri di sebelah kaki ia putar tubuh ke samping Hong-hu Ko. Di situ secepat kilat ia menyambar tong-kut orang. Dengan meminjam tenaga Hong-hu Ko dan tenaganya sendiri, begitu ia mencengkeram tongkat, terus membentak keras: ”Lepaskan!”

Hong-hu Ko kena diselomoti, terang ia tentu tak dapat mempertahankan tongkatnya lagi. Tapi sekonyong-konyong terdengar suara orang membentak: ”Lepaskan!” - Sesosok tubuh melayang datang terus menusuk jalan darah li-yan-hiat di punggung telapak tangan Yo Bok-lo.

Itulah Toan Khik-sia.  Ia datang tepat pada waktunya.  Yo Bok-lo segera mengenali musuhnya besar itu. Sebuah matanya buta karena tusukan anak muda itu. Walaupun bencinya kepada anak muda itu menyusup sampai ke tulang, namun kedatangan Khik-sia secara begitu mendadak itu, membuatnya tergetar juga. Tinggalkan tongkat, ia berganti sasaran untuk menangkis tusukan Khik- sia. Ilmu kim-na-chin atau merebut senjata dengan tangan kosong dari iblis itu, sudah mencapai tingkat tinggi. Tetapi karena anak muda itu lihay ilmu gin-kangnya, tambahan pula menggunakan pedang pusaka, maka Yo Bok-lo tak berdaya untuk merapatinya. Malah dalam serangan tiga kali berturut-turut, iblis itu dipaksa mundur tiga langkah.

Hong-hu Ko tak kenal pada Khik-sia. Melihat anak semuda itu dapat melayani seorang jago

kolotan seperti Yo Bok-lo, ia merasa heran juga. Ia berniat memberi bantuan kepada anak muda itu, tapi ia dapatkan tenaganya habis. Pikirannya cepat bekerja dan akhirnya ia ambil putusan, lebih menolong orang yang dicarinya itu dulu.

Dengan kertek gigi, ia gunakan sisa tenaganya untuk menghantam kereta pesakitan. Namun sudah dua buah kereta yang dirusaknya, tetap orang yang hendak ditolongnya itu tak kelihatan. Pada saat itu, anak buah Yo Bok-lo yang mengikut di belakangnya tadi pun sudah tiba. Dua orang opsir penunggang kuda, loncat turun. Yang seorang mencekal ruyung cui-mo-pian, yang

seorang seorang membekal sam-ciat-kun atau tongka tiga ruas. Cepat mereka menyerang Khik-sia, tapi dengan sigapnya Khik-sia menghindari cambukan pian untuk kemudian membabat sam-ciat- kun.

”Hati-hati!” saking terkejutnya Hong-hu Ko berteriak memperingatkan Khik-sia.

Tapi pedang Khik-sia itu bukan sembarang pedang. Trang, terdengar bunyi mendering dan

tahu-tahu tongkat sam-ciat-kun sudah kutung sebuah ruasnya. Tiba-tiba tampak sebuah sinar putih berkelebat. Ternyata bagian tengah dari sam-ciat-kun itu berlubang dan di dalam lubang itu dipasangi senjata rahasia hu-ku-ting atau paku pembusuk tulang yang amat beracun sekali.

Paku beracun itu mendadak keluarnya  dan tidak diduga sama sekali oleh Khik-sia.  Jaraknya pun amat dekat sekali. Syukur tadi Hong-hu Ko sudah meneriakinya lebih dulu. Dalam saat-saat

yang berbahaya itu, Khik-sia unjukkan kepandaian gin-kangnya yang istimewa. Ia buang tubuhnya mendatar seraya putar pedangnya menyampok paku itu. Yang sebuah kena ditampar jatuh yang dua buah menyambar di bawah kakinya. Sedikitpun ia tak terluka.

Tapi di sebelahkanya masih ada Yo Bok-lo. Laksana harimau buas yang siap menerkam sang korban, pada saat Khik-sia tengah menghindar dari serangan paku tadi, iblis itu segera lontarkan sebuah hantaman dahsyat. Tubuh Khik-sia masih terapung di udara jadi sukar untuk menghindar. Hong-hu Ko berseru keras. Cepat ia timpukkan tongkat besinya, kemudian menyusuli menghantam. Opsir yang bersenjata ruyung cui-mo-pian hendak menyerbu, tapi kena timpukan tongkat Hong-hu Ko. Seketika kepala pecah, otaknya berlumuran keluar dan jiwanya melayang.

Hong-hu Ko gunakan sisa tenaga untuk adu pukulan dengan pukulan biat gong-ciang dari Yo

Bok-lo. Begitu kuat Hong-hu Ko menghantam, sampai mulutnya mendengus keras. Plak, Yo Bok- lo tersurut mundur sampai beberapa tindak. Tetapi anehnya, Hong-hu Ko tampaknya masih tegak berdiri tak apa-apa.

Sesaat Khik-sia turun ke tanah, begitu ia memandang ke arah Hong-hu Ko, kejutnya bukan kepalang. Ternyata jago tua itu wajahnya pucat seperti kertas, sepasang matanya merah. Khik-sia tak mau merangsang Yo Bok-lo lagi, melainkan perlu menolong Hong-hu Ko dulu.

Huak mulut Hong-hu Ko menguak muntah darah. Ternyata jago tua itu sudah kerahkan

seluruh tenaganya untuk menghantam. Benar Yo Bok-lo kena dihantam mundur, tapi jago tua yang sudah terluka dalam itu, kini makin bertambah parah lukanya. Ia kehabisan tenaga betul-betul.

Melihat kesempatan itu, opsir yang bersenjata sam-ciat-kun tadi cepat timpukkan dua buah paku hu-kut-ting lagi ke arah Hong-hu Ko. Tapi kali ini Khik-sia sudah siap siaga tak nanti ia kena dibokong. Cepat ia melejit ke muka untuk melindungi Hong-hu Ko, kemudian putar pedangnya untuk menyampok jatuh hu-kut-ting.

Pada saat itu Yo Bok-lo sudah dapat memperbaiki posisinya dan mulai menyerang lagi. Khik-

sia cepat memanggul Hong-hu Ko sembari putar pedangnya. Anak muda itu bertahan diri sembari maju menghampiri Yo Bok-lo.

Yo Bok-lo heran dibuatnya, pikirnya: ”Anak itu sungguh gila, mengapa ia senekad itu?” Memang dengan memanggul Hong-hu Ko, tentu berbahaya sekali bagi Khik-sia untuk bertempur dengan Yo Bok-lo. Salah-salah keduanya (Khik-sia dan Hong-hu Ko) akan binasa semua. Memang Yo Bok-lo sendiri juga tak terluput dari luka berat.

Tapi ternyata iblis she Yo itu malah menjadi gentar dengan kenekatan si anak muda itu. Sebenarnya ia pasti menang, tapi sebaliknya malah jeri untuk adu kekuatan. Ia miringkan tubuh dan dengan gerak chit-poh-tui-hun, ia menyelinap ke samping Khik-sia. Di sini ia memberikan Hong-hu Ko sebuah hantaman.

Sekonyong-konyong Khik-sia berganti arah. Tubuh meluncur seperti anak panah terlepas dari busurnya: ”Rebahlah!” mulutnya kedengaran membentak. Kiranya Khik-sia telah gunakan siasat suaranya di timur tapi yang diserang arah barat'. Dengan andalkan ilmu gin-kangnya yang jempol, ia menyergap ke tempat si opsir dan tahu-tahu punggung si opsir itu sudah berhias sebuah tusukan pedang yang cukup membuat nyawanya melayang. Dengan berhasil membunuh opsir itu, berarti Khik-sia mendapat keringanan.

Gusar Yo Bok-lo bukan olah-olah. Tapi demi melihat walaupun dengan memanggul orang namun anak muda itu masih dapat lari secepat kuda bedal, diam-diam Yo Bok-lo menjadi kaget juga.

”Taruh kata dapat mengejarnya tapi belum tentu dapat merobohkan bangsat kecil itu,” akhirnya setelah menimang-nimang sejenak, Yo Bok-lo terpaksa tak mau mengejar.

Khik-sia membawa Hong-hu Ko ke atas gunung yang di sebelah muka.  Di situ ia letakkan  orang tua yang terluka berat itu. Dilihat jago tua itu sudah tersengal-sengal napasnya, wajahnya

berwarna gelap. Khik-sia terkejut, buru-buru ia tempelkan telapak tangannya ke punggung Hong- hu Ko. Ia salurkan lwekang untuk menolong orang she Hong-hu itu.

Lewat beberapa menit kemudian, Hong-hu Ko dapat membuka mata dan bertanya: ”Siapakah kau?”

”Wanpwe Toan Khik-sia.”

”Toan Kui-ciang pernah apamu?” tanya Hong-hu Ko pula. ”Ayah wanpwe,” sahut Khik-sia.

Mendengar itu Hong-hu Ko tertawa gelak-gelak: ”Sungguh jaman itu selalu maju. Aku si pengemis tua dalam hari-hari terakhir dapat berjumpa dengan putera seorang sahabat karibku, sungguh berbahagia sekali!”

Nada orang tua itu makin lemah, katanya pula: ”Hiantit, aku sudah tak berguna lagi, harap kau jangan buang tenaga sia-sia.”

Tapi mana Khik-sia mau menurut, ujarnya: ”Lo-cianpwe, tolong kau salurkan pernapasan, biar kubantu melancarkan darahmu. Aku pun membekal pil leng-tan yang mustajab.”

”Aku terkena sebatang paku hu-kut-ting dan termakan dua buah pukulan iblis tua itu. Sekalipun

ada pil siok-beng-sian-tan (pil dewa penyambung jiwa), rasanya tak bergunalah. Jangan membuang waktu, hiantit, maukah kau membantu sebuah urusan untukku?”

Meskipun tak mengerti ilmu pengobatan, tapi demi melihat kaki tangan Hong-hu Ko makin

kaku, Khik-sia percaya akan keterangan jago tua itu. Adanya pengemis tua itu masih dapat bicara, adalah karena mengandalkan kekuatan napasnya saja. Terpaksa dengan menahan kepiluan hati, Khik-sia menyatakan kesanggupannya untuk melakukan permintaan orang. 

”Aku adalah paman guru dari Ciu pangcu partai Kay-pang. Tahukah kau kepada Ciu Ko itu?” tanya Hong-hu Ko.

Khik-sia menerangkan bahwa ia barusan menghadiri rapat Kay-pang yang menghebohkan peristiwa terbunuhnya Ciu Ko.

”Tidak, Ciu Ko belum mati. Dia ditawan oleh anak buah Su Tiau-gi,” menerangkan Hong-hu Ko. Khik-sia tersentak kaget. Herang ia dibuatnya. Su Tiau-gi itu adalah kaisar Wi Yan, ada hubungannya apa dengan Ciu Ko?

”Aku sendiripun tak mengerti entah apa sebabnya Su Tiau-gi menawannya. Kemarin barulah

aku mendapat berita bahwa tertangkapnya Ciu Ko itu karena dijebak. Keterangan jelas tentang hal itu, kurasa tak sempat lagi kututurkan. Cukup asal kau suka menyampaikan berita ini ke suatu tempat, aku sudah sangat berterima kasih padamu,” kata Hong-hu Ko. Sampai di situ, suara pengemis tua itu sudah makin lemah.

Buru-buru Khik-sia tahan tangannya yang masih menempel di punggung Hong-hu Ko itu dan menyalurkan lagi lwekangnya.

”Dengan sisa pasukannya Su Tiau-gi hendak menggabung pada Kahan, kepala suku He. Pesakitan-pesakitan pentingpun dibawanya  ke sana juga. Oleh karena itu maka tadi aku telah mencegat mereka untuk menolong Ciu Ko. Hal ini harus lekas dilaksanakan. Jika mereka sudah keburu tiba di daerah Kaham, sukarlah untuk membebaskan Ciu Ko. Kira-kira lima puluh li dari

sini, ada sebuah gunung. Di atas gunung itu terdapat sebuah gua, di depannya tumbuh lima batang pohon siong tua. Tempat itu menjadi markas dari hun-tho (cabang) Kay-pang. Setelah mendapatkan tempat itu, kau harus minta bertemu dengan Hwe Tay-yap, tho-cu kay-pang di situ.

Sampaikan padanya berita ini supaya ia lekas-lekas mengadakan pencegatan dan merampas pesakitan sebelum pasukan Su Tiau-gi tiba di Pok-ong.”

”Aku telah mendapa janji bantuan dari dua orang sahabat. Paling lambat besok pagi, mereka tentu sudah datang. Kau minta Hwe thocu supaya kirim orangnya menunggu kedua sahabatku itu di pagoda yang terletak di kaki gunung itu. Kedua sahabatku itu tak kenal pada Hwe thocu, maka bawalah barangku ini ”

Hong-hu Ko melolos sebentuk cincin besi dari jarinya, lalu diserahkan pada Khik-sia, ujarnya: ”Berikan cincin ini pada Hwe thocu. Suruh ia berikan pada orangnya yang disuruh menyambut sahabatku itu untuk menjadi tanda pengenal. Sudah jelaskah?”

”Harap Locianpwe legakan hati, aku sudah dapat mengingatnya dengan sungguh-sungguh.” jawab Khik-sia.

Hong-hu Ko tertawa getir: ”Delapan belas tahun yang lalu, aku pernah memberikan sebuah

cincin kepada ayahmu karena hendak minta pertolongannya. Sungguh tak nyana, delapan belas tahun kemudian, aku harus menyerahkan sebuah cincin lagi kepadamu, juga untuk minta bantuan. Dengan kalian ayah dan anak, rupanya aku memang berjodoh!”

Suara tertawa reda, sepasang kakinya berkelojotan dan Hong-hu Ko menarik napas yang penghabisan .....

Khik-sia amat berduka. Seorang pengemis luar biasa dari dunia persilatan, seorang tokoh persilatan yang sakti, telah meninggal secara menyedihkan di sebuah gunung belantara. Dengan pedang pusakanya, Khik-sia menggali sebuah liang dan mengubur Hong-hu Ko. Kemudian ia

meletakkan sebuah batu besar selaku pertandaan. Setelah menyiram kuburan itu dengan kucuran air mata, Khik-sia dengan hati berat meninggalkan tempat itu.

Untuk jarak 50 li itu, Khik-sia hanya menggunakan waktu kurang dari satu jam.

Ternyata gunung itu tak berapa lagi. Mendaki ke atas dan mencari dengan teliti, cepat ia sudah dapatkan kelima batang pohon siong itu. Tapi heran ia tak melihat suatu guapun.

”Aneh, apakah aku keliru?” pikirnya. Tapi ia hendak mencoba sebuah cara.

”Wanpwe Toan Khik-sia, mendapat perintah dari cianpwe Kay-pang Hong-hu Ko untuk minta bertemu dengan Hwe thocu!” demikian ia lantas berseru nyaring.

Tiba-tiba tanah yang di bawah pohon siong yang di tengah-tengah sendiri, mengungkap ke atas dan pada lain kejap berubah menjadi sebuah mulut gua. Malah menyusul ada seorang berseru: ”Apakah membawa bukti penandaan?”

Kiranya gua itu dibuat di bawah tanah, atasnya ditutupi dengan tanah yang bertumbuh rumput. Jika tidak menyelidiki dengan seksama orang luar pasti sukar mengetahuinya.

”Ada sebuah cincin besi dari Hong-hu locianpwe,” sahut Khik-sia.

”Lemparkan cincin kemari untuk kami periksa,” seru orang itu.

Khik-sia menurut. Beberapa saat kemudian, orang itu berseru: ”Aku ini Hwe Tay-yap sendiri, silahkan masuklah.”

Menurut kepantasan, Hwe Tay-yap seharusnya yang keluar untuk menyambut orang yang dimintai tolong oleh ketua Kay-pang. Sebaliknya malah Khik-sia yang disuruh masuk. Meskipun

Khik-sia seorang pemuda yang tak menghiraukan segala macam peradatan tetek bengek, namun tak urung ia merasa kurang senang juga. Diam-diam ia menganggap Hwe thocu itu seorang yang angkuh. Namun karena berat melakukan pesan Hong-hu Ko, terpaksalah ia mengalah juga.

Di dalam gua itu amat gelap. Lebih-lebih Khik-sia baru datang dari tempat terang. Samar- samar ia hanya melihat beberapa sosok bayangan orang. Kembali Khik-sia menggerutu: ”Hm, mengapa tahu ada tetamu, mereka tetap takmau nyalakan lampu?”

Saat itu ia sudah berjalan masuk beberapa langkah. Tiba-tiba ia hentikan langkahnya dan timbul pikirannya hendak bertanya. Tapi sekonyong-konyong ia mendengar bunyi senjata rahasia mengaum di udara dan berbareng itu tersiar bau yang harum. Untuk Khik-sia selalu siap sedia. Cepat ia cabut pedangnya dan bolang-balingkan kian kemari untuk menjaga diri. Dua buah thi-ci- jong, dua batang paku tho-kut-ting dan tiga bilah belati. Kena ditampar jatuh semua.

Dalam sinar yang terpancar dari kelebat pedangnya itu, Khik-sia melihat ada tiga orang maju menyerangnya. Salah seorang bukan lain adalah ji-suhengnya sendiri: Ceng-ceng-ji!

”Setan cilik, kau telah memperdayai aku, sekarang akupun juga menyelomotimu. Lihat

pedangku!” Ceng-ceng-ji tertawa dingin seraya menyerang. Cepat sekali ia lancarkan serangannya itu. Dalam beberapa kejap saja ia sudah menyerang tujuh kali.

Khik-sia gunakan gerakan kaki i-poh-hoan-sing untuk berloncatan menghindar. Serunya: ”Ji- suheng, jangan salah paham. Kau bermusuhan dengan Kay-pang itu, bisa menimbulkan bahaya. Maka meskipun aku telah menipumu tapi aku bermaksud baik. Mengapa kau salahkan aku?” Ceng-ceng-ji memaki: ”Kurang ajar! Kau seorang anak kemarin sore berani menasihati aku?

Dulu karena ada tiang pengandal su-niomu itu, aku biarkan saja dirimu. Tapi kini setelah jatuh ke dalam tanganku, kau tentu kuhajar!”

Dalam melontarkan dampratannya itu, Ceng-ceng-ji tetap lancarkan pedangnya dengan serangan-serangan yang berbahaya.

Khik-sia naik darah juga. Pikirnya: ”Dia berani mengkhianati perguruan dan sekarang hendak membunuh aku. Apakah aku masih mengingat tali persaudaraan lagi?”

”Karena Ji-suheng tak mau memberi maaf, terpaksa siau-te melanggar adat!” serunya sambil kembangkan pedang dalam jurus tiang-ho-lok-jit atau matahari terbenam di sungai panjang. Trang, pedang Ceng-ceng-ji yang terbuat dari emas murni itu, kena dipentalkan ke samping.

Pedang keduanya sama-sama pedang pusaka, maka sama-sama tak gempil serambutpun juga. Tapi sekalipun begitu, tangan Ceng-ceng-ji merasa kesakitan.

Dalam hal gin-kang terang kalau Khik-sia lebih unggul dari bekas ji-suhengnya itu. Pun dalam ilmu lwekang, setelah mendapat gemblengan dari Bo Jong-long, ayah Bo Se-kiat yang menjadi kepala pulau Hu-siang-to, lebih atas juga dari Ceng-ceng-ji. Pada saat itu Khik-sia tak mau mengalah lagi. Permainan yang digunakan ialah ilmu pedang Thian-liong-kiam-hwat dari warisan keluarganya. Ilmu permainan Thian-liong-kiam-hwat itu mengutamakan kekerasan. Ini sesuai dengan ilmu lwekang yang dimiliki Khik-sia sekarang. Maka kalau Ceng-ceng-ji menjadi tersirap kaget, itulah sudah jamak. Dari rasa mengiri, timbullah pikiran buas dari Ceng-ceng-ji untuk membunuh sutenya itu.

Tadi telah diterangkan bahwa dalam gua itu berisi tiga orang. Sewaktu Khik-sia menghalau

mundur Ceng-ceng-ji, tiba-tiba salah seorang dari mereka menghantam dari samping dengan senjata tongkat. Orang itu bukan lain adalah murid pemberontak dari Kay-pang, yaitu Uh-bun Jui.

”Aku adalah pangcu dari Kay-pang. Ceng-ceng cianpwe membantu partai kami, mengapa kau mengadu biru memutar balik hitam putihnya. Urusan partai Kay-pang kami, tak perlu kau campur tangan!” seru Uh-bun Jui.

Beradanya Uh-bun Jui di situ, telah membuat Khik-sia menjadi terang persoalannya. Uh-bun

Jui tentu menduga bahwa Hong-hu Ko akan datang ke markas gua situ, itulah sebabnya maka Uh- bun Jui mendudukinya lebih dulu. Tetapi mengapa ia berbuat begitu? Apakah benar-benar ia sudah berbalik haluan, mengkhianati leluhur guru dan menggabung pada pemberontak Su Tiau-gi? Memikir sampai di sini, berkobarlah amarah Khik-sia. Sudah tentu Uh-bun Jui bukan tandingan Khik-sia. Hanya sekali gebrak saja, tongkat Uh-bun Jui sudah kena dipapas kutung oleh Khik-sia. Untung Ceng-ceng-ji cepat-cepat menyerang sehingga Uh-bun Jui terlepas dari serangan Khik-sia yang kedua.

Bentak Khik-sia: ”Benar, memang aku tak berhak campur urusan partaimu Kay-pang. Tetapi Hong-hu Ko lo-cianpwe berhak campur tangan! Beliau telah dicelakai orang sampai binasa, tahu tidak kau? Beliau suruh aku kemari untuk menyampaikan kabar. Suhumu ditawan kaum

pemberontak, tahukah kau? Asal kau masih punya setitik rasa nurani (liangsim), tentu akan berdaya untuk menolong suhumu. Tetapi kau ternyata menganggap aku sebagai musuh, apa maksudmu?” Semprotan Khik-sia itu telah membuat Uh-bun Jui terlongong-longong. Tetapi pada lain saat ia tertawa gelak-gelak: ”Telah kuketahui semua urusan itu. Suhuku tak membutuhan bantuanmu.

Untuk melakukan karya besar harus menyampingkan urusan tetek bengek, kau tahu apa, hai, budak kecil? Betapapun aku ini adalah pangcu dari Kay-pang. Aku melarangmu ikut campur!”

Ancaman itu dibarengi dengan sebuah hantaman tongkat. Khik-sia masih mempunyai pikiran panjang. Bagaimanapun halnya, Uh-bun Jui itu adalah masih anak murid Kay-pang. Segala kedosaannya harus partailah yang memberi keputusan. Maka ia ambil putusan tak mau membunuhnya. Ia gunakan jurus giok-li-joan-cian atau bidadari menyusupkan jarum, yakni sebuah gerak serangan yang memakai lwekang lunak, untuk menutuk jalan darah jiok-ti-hiat di siku lengan orang. Khik-sia hendak menawan murid murtad itu hidup-hidup. Pertama, dapat digunakan sebagai barang tanggungan agar ia dapat keluar dari gua itu. Kedua, demi menghormati kewibawaan pimpinan Kay-pang untuk mengurusnya sendiri.

Tapi ternyata Uh-bun Jui itu cukup licin. Ia cukup tahu kelihayan Khik-sia, sudah tentu ia tak berani bertempur sesungguhnya. Gerakan tongkatnya yang berkelebat kesana tetapi mengarah kesini, kosong isinya sukar diduga itu, memang diperuntukkan membuat supaya ia mudah mundur setiap saat. Untuk tusukan Khik-sia yang tak mudah baginya untuk menangkis itu, telah dihindarinya dengan loncatan ke samping.

Saat itu Ceng-ceng-ji pun sudah menyerang lagi dengan pedangnya. Benar Khik-sia lebih unggul setingkat dengan ji-suhengnya itu, tapi karena pada saat itu ia tengah kembangkan permainan lwekang lunak, maka tak dapatlah ia mementalkan pedang Ceng-ceng-ji. Ceng-ceng-ji

gunakan ilmu cak-jit-hiat atau tusukan tujuh jalan darah. Tapi dengan tangkasnya dapatlah Khik-sia menangkisnya dengan tepat. Kiranya anak muda itupun mahir dalam ilmu pedang perguruannya.

Iapun kembangkan jurus cat-jit-hiat. Dalam beberapa kejap saja, kedua pedang mereka saling berbentur. Tapi karena sama-sama pedang pusaka, jadi tak menderita suatu apa.

Heng-liong-koay-hwat atau permainan tongkat menundukkan naga yang digunakan Uh-bun Jui

itu adalah berasal dari ilmu pusaka Kay-pang. Tapi dikarenakan Khik-sia kelewat tangguh, maka ia tak dapat berbuat apa-apa. Walaupun dikeroyok dua itu, Khik-sia masih menang angin, tapi untuk merebut kemenangan dalam waktu yang singkat, juga tak mudah.

Demikian mereka bertempur dengan makin serunya. Sekonyong-konyong Khik-sia rasakan kepalanya pusing, mata berkunang-kunang. Memang sejak masuk ke dalam gua situ, ia sudah tercium bau wangi. Ia pun sudah curiga, tetapi karena secepatnya ia sudah mendapat serangan, jadi ia tak sempat memikirkannya lagi. Tetapi wangian itu berasal dari bungan Asulo atau dalam nama bangsa Tionghoa disebut bunga Mo-kui-hoa (bunga setan). Bunga itu diperoleh Ceng-ceng-ji

ketika ia mendaki di puncak gunung Himalaya. Kemudian bunga itu diramu dengan istimewa sekali, hingga menjadi suatu bi-hiang (wangi pembius) yang amat lihay, lebih hebat dari bi-hiang kepunyaan Gong-gong-ji.

Detik-detik berjalan dengan cepat dan racun dari bi-hiang itupun makin bekerja. Khik-sia

dapatkan tenaganya makin berkurang. Diam-diam ia mengeluh. Akhirnya dengan menahan napas, ia rubah permainannya menjadi ilmu permainan golok. Dengan jurus no-hay-to-liong atau ngaduk laut membunuh naga, ia hantam kepala Ceng-ceng-ji. Jurus itu adalah jurus yang terganas dari ilmu pedang keluarganya. Ketrampilan pedang digabung dengan perbawa kedahsyatan golok.

Ceng-ceng-ji kenal lihay. Tak berani ia menangkis, melainkan cepat-cepat menghindar. Tapi

Uh-bun Jui agak lambat, kembali tongkatnya kena terpapas kutung. Trang, mencelatlah tongkatnya itu dari tangannya.

Khik-sia berputar hendak berlalu, tapi segera ada lengking suara dingin menggerang: ”Masih ada aku di sini!”

Seperti telah diterangkan tadi, di dalam gua situ terdapat tiga orang. Ceng-ceng-ji, Uh-bun Jui dan seorang paderi asing berbaju merah. Paderi tua itu berdiri di mulut gua. Sejak tadi ia hanya

berpeluk tangan mengawasi saja. Ia hendak tunggu sampai Khik-sia sudah kehabisan tenaga, baru nanti turun tangan.

Hoan-ceng atau paderi asing itu menggunakan senjata sepasang kecer (plat logam berbentuk bundar, dipukulkan satu sama lain untuk tetabuhan). Ketika Khik-sia menusuk, paderi itu kemplangkan (benturkan satu sama lain) kecernya sehingga menimbulkan suara gempar yang mengalun sampai jauh ke lembah. Khik-sia terperanjat, pikirnya: ”Lihay benar paderi ini, tenaganya tak di bawahku!”

Tapi itu hanya penilaian Khik-sia sendiri karena pada hakekatnya lwekang paderi itu masih

kalah setingkat dengan Ceng-ceng-ji. Adanya Khik-sia mempunyai anggapan demikian karena saat itu tenaganya sudah berkurang banyak.

Mulut gua dihadang si paderi, tiga kali Khik-sia coba menerjang tapi kena dihalau oleh

sepasang kecer si paderi. Tiba-tiba dari belakang terdengar deru senjata menyambar. Ceng-ceng-ji kembali sudah datang menyerang. Khik-sia menyabat ke belakang. Sabatan pedangnya ia dilancarkan dengan sepenuh tenaga. Kedua pedang mereka muncratkan letikan api, tetapi bukannya mundur sebaliknya Ceng-ceng-ji malah maju dua langkah. Ujung pedang Kim-ceng-toan-kiamnya ditujukan ke muka Khik-sia, tapi pemuda itu sempat menghindar. Melihat Khik-sia mulai

kehabisan tenaga, segera Uh-bun Jui berani menyerang lagi.

Dengan menutup pernapasannya itu, bagaimanapun juga Khik-sia tak dapat bertahan lama. Kembali ia harus mengambil napas, tapi dengan berbuat begitu ia seperti orang yang mabuk minum, kepalanya serasa pusing kepingin tidur sekali. Khik-sia mengeluh, dengan kuatkan semangat ia tangkis pedang Ceng-ceng-ji.

”Bagus hendak kulihat kau yang mengajar aku atau aku yang mengajar kau!” Ceng-ceng-ji

tertawa mengejek. Sret, sret, sret, tiga kali ia lancarkan serangan lagi. Sabatan pertama memapas kopiah Khik-sia, yang kedua memutuskan ikat pinggang dan yang ketiga melubangi baju si anak muda. Ia tak mau melukai, melainkan hendak membikin malu saja.

Khik-sia gigit lidahnya.  Pada saat Ceng-ceng-ji tertawa, sekonyong-konyong Khik-sia kiblatkan pedangnya. Begitu pedang Ceng-cengo terpental ke samping, ia lantas teruskan menggurat lengan orang hingga terluka. Bluk, kakinya menendang Uh-bun Jui sampai jatuh jumpalitan. Dengan menggigit lidahnya tadi, Khik-sia merasa kesakitan. Tapi dengan begitu semangatnya menjadi tergugah dan dengan perangsang sakitnya itu, tenaganyapun malah bertambah. Malah lebih kuat dari tenaganya semula.

Ceng-ceng-ji tersentak kaget. Buru-buru ia pindah pedangnya ke tangan kiri. Kini ia menyerang dengan pedang tangan kiri dan menghantam dengan tangan kanan. Ia gabungkan serangan keras dan lunak ganti berganti. Ilmu itu adala ilmu pelajaran yang didapatnya ketika ia

ikut pada Coan Lun hwat-ong. Dengan begitu Khik-sia pun tak mengetahui cara memecahkannya. Daya perangsang dari gigitan lidahnya tadi, kini sudah reda. Ketambahan lagi Khik-sia harus menghadapi ilmu serangan yang tak dikenalnya. Kepalanya makin pusing, bingung ia bagaimana harus menghadapi. Ia dapat menghindari pedang Ceng-ceng-ji tapi tak mampu menyingkir dari pukulan dan tutukan jarinya. Akhirnya sebuah pukulan Ceng-ceng-ji telah membikin rubuh anak muda itu. Ceng-ceng-ji menambahi lagi dengan sebuah tutukan pada jalan darah pelemas.

”Hm, coba saja kau masih keras kepala tidak?” Ceng-ceng-ji mendengus dingin. Ia terus

hendak menutuk tulang pi-peh-kut di bahu Khik-sia untuk membikin lenyap kepandaian anak muda itu.

Saat itu Uh-bun Jui pun sudah tengel-tengel bangun. Terhadap anak muda yang membikin kacau urusannya itu, Uh-bun Jui benci setengah mati. Cepat diambilnya potongan tongkat terus hendak disabatkan ke kaki Khik-sia.

Trang, trang, si paderi menghadang dengan sepasang kecernya hingga pedang Ceng-ceng-ji dan tongkat Uh-bun Jui terhalang. Dengan suara keren paderi itu berseru: ”Tuan puteri maukan hidup, tidak boleh melukainya!”

Mendapat tutukan berat dari Ceng-ceng-ji dan menghirup obat bi-hiang yang keras, maka pikiran Khik-sia jadi limbung. Samar-samar ia mendengar kata-kata 'tuan puteri' (kongcu) tadi. Pikirnya: ”Siapakah tuan puteri itu?”

Tapi ia tak sempat memikirkan lagi karena saat itu si paderi sudah lantas menjinjingnya. Karena banyak menyedot bi-hiang, seketika Khik-sia menjadi pingsan.

Entah berselang berapa lama, tahu-tahu ketika Khik-sia membuka mata, kejutnya bukan

kepalang. Kiranya saat itu ia tengah berbaring di sebuah ranjang yang berkasur empuk dari sebuah kamar yang dihias indah. Pantasnya kamar itu adalah kamar dari seorang gadis orang berada.

Hendak ia menggeliat bangun, tapi susah tenaganya tak ada sama sekali. Ia bingung mengapa dirinya berada di situ. Tapi setelah merenung tenang-tenang, ingatannya berangsur-angsur kembali. Kini barulah ia teringat bahwa dirinya diculik oleh si paderi hoan-ceng.

Tengah ia menggali ingatannya itu, tiba-tiba terdengar lengking tawa macam bunyi kelinting. Seorang dara muncul dan berkata: ”Bagaimana, apakah di sini kurang enak? Maaf, telah membuat kau kaget. Tapi aku tak bermaksud jahat, melainkan hendak mengundangmu sungguh-sungguh. Kuatir kau menolak undanganku itu, terpaksa kugunakan jalan begitu.”

Gadis itu bukan lain ternyata nona pemimpin barisan wanita baju merah yang dipanggil Uh-bun Jui dengan sebutan Nona Su itu.

”Siapa kau? Aku belum kenal padamu, mengapa kau hendak mengundang aku? Tempat apa ini?” tanya Khik-sia.

”Sekarang kau adalah tetamuku, tak kuatir aku menerangkan. Aku bernama Su Tiau-ing, adik perempuan dari Su Tiau-gi. Kau tak kenal padaku, tapi bukankah kau pernah mengatakan nama engkohku itu? Waktu ini kami menjadi pengungsi, jadi tak dapat menyediakan kamar tetamu dan terpaksa kuberikan kamarku sendiri. Apa kau merasa senang?” kata nona itu.

Su Tiau-gi adalah putera dari Su Su-bing. Ia bunuh ayahnya dan mengangkat diri menjadi raja Wi Yan. Tentang hal itu Khik-sia sudah mengetahui.

Kini baru ia mengerti bahwa yang dipanggil 'tuan puteri' oleh paderi hoan-ceng itu adalah Su Tiau-ing ini.

Khik-sia tertawa tawar: ”Aku seorang rakyat jelata, tak berani bergaul dengan kaum ningrat. Apa maksudmu mendatangkan aku kemari ini?”

Dara itu tertawa: ”Jangan marah dulu, maukah? Siapa dirimu, aku sudah tahu jelas. Terus terang, kita semua adalah kaum penyamun. Hanya saja ayahku lebih bernyali besar, berani melawan raja. Kaum pemberontak, jika menang tentu menjadi raja, tetapi kalau kalah dinamakan berandal. Itulah sudah jamak.”

Terang gamblang jelas getas, ucapan dara itu. Nyata ia tak mengandung maksud buruk terhadap Khik-sia.

”Tentang mengapa kuundang kau kemari, tentu akan kuterangkan pelahan-lahan. Singkatnya saja, aku hendak minta bantuanmu untuk sebuah hal,” kata Tiau-ing.

Mendiang ayah Khik-sia dahulu telah gugur dalam medang pertempuran melawan pasukan Su

Su-bing. Jenderal Leng Ho-tiau adalah yang memimpin pasukan untuk menyerang kota Ciau-yang yang dipertahankan Toan Kui-ciang. Meskipun Toan Kui-ciang tidak langsung terbunuh oleh Su

Su-bing, tapi secara tidak langsung ada hubungannya juga. Maka setelah mengetahui dara itu puteri Su Su-bing, belum-belum Khik-sia sudah mempunyai rasa antipati. Maka tanpa banyak pikir lagi,

ia segera menyahut: ”Benar, aku ini seorang penyamun, tetapi aku tidak seperti kamu orang. Aku ini seorang penyamun yang tak punya cita-cita muluk, aku tak mampu membantu urusanmu.” Gadis itu tertawa: ”Jangan kelewat merendah diri dululah!”

Khik-sia tertawa rawan: ”Dan lagi, akupun tak suka membantumu. Terserah bagaimana kau hendak mengapakan diriku!”

Tiba-tiba gadis itu tertawa nyaring.

”Apa yang kau tertawakan?” teriak Khik-sia dengan marah.

”Aku menertawai dirimu seorang lelaki, tapi tidak lapang dada!” sahut Su Tiau-ing. Khik-sia terkesiap: ”Dalam hal apa aku tidak lapang dada?” tanyanya.

”Kutahu mengapa kau benci padaku. Kau tentu masih teringat akan peristiwa pertempuran di Sui-yang, bukan? Dalam pertempuran itu ayahmu gugur dan kebetulan ayahkulah yang menjadi

pihak lawannya. Sudah sewajarnya kalau kau mendendam. Tetapi mana ada pertempuran tanpa ada korban yang jatuh? Jika dua pihak saling bertempur, tentu sukar terhindar dari korban-korban yang luka dan mati. Apalagi ayahku dan Leng Ho-tiau sudah meninggal, seharusnya dendam sakit hatimu itu dihilangkan juga. Turut kata kau tak mau menghapus rasa dendammu itu, pun seharusnya hanya tertuju kepada ayahku saja. Pada masa itu aku masih seorang anak perempuan kecil yang tak tahu apa-apa. Mengapa diriku turut dibawa-bawa? Dengan setulus hati kuundang kau kemari karena aku hendak minta bantuanmu. Tetapi ternyata kau bersikap begitu getas kepadaku. Apakah ini bukannya menandakan hatimu sempit?” dengan tepat sekali Tiau-ing telah menelanjangi isi hati Khik-sia. Nona itu telah memberikan uraian yang jitu.

Diam-diam Khik-sia mengagumi kecerdikan nona itu. Meskipun perasaannya masih tetap tawar terhadap nona itu, namun sikapnya tidak segetas tadi lagi. Sahutnya: ”Memang aku tak bermusuhan dengan kau, tetapi kita berlainan jalan berbeda tujuan, aku tak dapat membantu kerepotanmu!”

”Toh aku belum mengatakan bagaimana kau tahu tak dapat membantu? Dan mungkin juga kita sehaluan,” Tiau-ing tertawa.

Khik-sia kalah separuh, akhirnya terpaksa ia mengalah: ”Baiklah, silahkan mengatakan saja urusanmu itu.”

”Aku bermaksud hendak berserikat dengan Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat. Kita sama-sama

membagi rata kerajaan dan negeri. Sukakah kau menyampaikan hal ini kepada mereka?” kata Tiau- ing.

”Tidak!” tukas Khik-sia dengan tegas.

”Mengapa?” tanya Tiau-ing.

”Tidak ya tidak! Siapa Thiat toako-ku itu, rasanya kau tentu tak mengetahui,” sahut Khik-sia. ”Mengapa tak tahu?  Thiat-mo-lek pernah menjabat sebagai si-wi di istana, kemudian difitnah oleh kaum dorna sehingga keluar. Tetapi ia masih tetap setia kepada kerajaan Tong. Dengan An

Lok-san dan ayahku, ia pernah bertempur. Dalam anggapannya, pihakku itu kawanan pemberontak. Berdasarkan hal itu, kau lantas menetapkan bahwa ia tentu tak sudi berserikat dengan aku. Betul tidak?”

”Kalau sudah tahu, itulah sudah cukup,” sahut Khik-sia.

Dengan komentarnya yang  terakhir itu, Khik-sia hendak memutuskan pembicaraan. Ia duga nona itu tentu tak dapat berkata lagi. Siapa tahu, Tiau-ing malah tertawa gelak-gelak. ”Mengapa kau tertawa lagi?” Khik-sia heran dibuatnya.

”Kutertawai kau terlalu gegabah dan menelan saja sejarah kerajaan Tong dan tak menyesuaikannya dengan suasana perubahan jaman,” sahut Tiau-ing.

”Bagaimana aku tak dapat melihat perubahan jaman, harap nona katakan,” kata Khik-sia. ”Lain dulu lain sekarang. An Lok-san adalah suku Oh (utara). Ia ingin menjadi kaisar

Tiongkok. Jika sekalian patriot Tiong-goan tak setuju, itulah sudah jamak. Keluargaku she Su adalah orang Han. Jika orang she Li dapat menjadi kaisar, mengapa kami orang she Su, orang she Thiat, orang she Bo dan kau she Toan, tidak boleh? Ini dalil pertama.

”Dahulu Thiat-mo-lek menjadi pengawal kaisar Tong, sekarang menjadi pemimpin Lok-lim (begal). Bo Se-kiat itu seorang yang punya ambisi besar, kutahu hal itu. Mungkin Thiat-mo-lek tidak berniat berontak, tapi keadaan sudah berkembang sedemikian rupa, mau tak mau ia harus menetapkan putusannya. Baik ia mau berontak atau tidak, pihak kerajaan tetap takkan memberi

ampun padanya. Markasnya di Kim-ke-nia sudah dihancurkan tentara pemerintah, kini ia melarikan diri entah ke mana. Rasanya sukar untuk menginjakkan kakinya lagi. Jika mau berserikat dengan kami, tentu sama-sama ada kebaikannya. Mengapa tak mau?”

Tiau-ing berlidah tajam dan pandai merangkai kata-kata. Sebaliknya Khik-sia tak pandai bicara. Dalam hatinya ia merasa ada sesuatu yang tidak benar, tapi sukar untuk mengatakan. ”Bagaimana, kau sudah dapat memikir jelas belum?” tanya nona itu. Diam-diam Khik-sia membatin: ”Meskipun An Lok-san adalah suku Oh dan Su Su-bing suku Han, tapi dua-duanya merupakan harimau dan serigala. Siapa yang jadi kaisar, sama saja. Sedikitpun tiada manfaatnya bagi rakyat jelata. Su Tiau-gi membunuh ayahnya sendiri karena hendak merebut kedudukan, ini lebih biadab lagi. Su Tiau-ing ini adalah adik perempuannya, rasanya tentu tak berbeda banyak dengan engkohnya.”

Walaupun batinnya begitu, tapi lahirnya Khik-sia tetap bersikap ramah kepada nona itu. Kemudian ia mengambil ketetapan, ujarnya: ”Kau minta aku mengatakan sejujurnya?” Tiau-ing mengiakan.

”Taruh kata Bo Se-kiat mau bersekutu dengan kau, akupun tak mau menjadi orang perantaraannya,” kata Khik-sia.

”Mengapa? Kau memandang hina pada kami?” seru Tiau-ing.

”Terserah kau hendak mengatakan bagaimana, pendek kata, apa yang aku tak ingin, takkan kukerjakan. Jika mau mengirim orang perantara, silahkan cari lain orang saja,” sahut Khik-sia. Dengan tawar Tiau-ing berkata: ”Jika ada orang yang lebih sesuai dari kau, sudah tentu kamipun takkan berjerih payah untuk mendatangkan kau kemari. Jika kau tak mau, akupun tak dapat memaksa. Tapi karena dengan tak mudah kami mengundangmu datang, rasanyapun tak mudah kau hendak pergi. Dalam hal ini, rasanya kau tentu mengerti, bukan?  Nah, silahkan menimbang lagi, mau meluluskan atau tidak?”

Khik-sia tertawa dingin: ”Apakah kau menghendaki aku pura-pura meluluskan permintaanmu? Sebenarnya aku dapat berbuat begitu, berbohong padamu. Tapi dengan tak pegang janji begitu, bukanlah laku seorang laki-laki perwira. Maka akupun tak mau berbuat begitu. Mengertikah kau? Nah, rasanya sudah cukup, jika hendak membunuh aku, silahkan saja.”

Kembali Tiau-ing tertawa gelak-gelak.

”Mengapa kau tertawa?” lagi-lagi Khik-sia kesima.

”Kali ini aku bukan menertawai kau, melainkan menertawai engkohku yang sudah salah lihat orang. Ternyata mataku lebih tajam dari dia,” sahut Tiau-ing.

”Bagaimana?” tanya Khik-sia.

”Engkohku berpendapat, dengan siasat paksa dan membujuk, dapatlah tentu menundukkan kau. Tetapi pendapatku bertentangan. Kupandang kau seorang muda yang berkepribadian kuat, jujur dan perwira. Apa yang kau pikirkan, tentu kau katakan. Tak mau membohongi diri sendiri, pun tak

mau menipu orang. Bagus, benar- benar dapat digolongkan perilaku seorang laki-laki utama.” Disanjung puji, adalah menjadi kesukaan setiap orang. Tanpa merasa Khik-sia pun tergerak hatinya. Pikirnya: ”Nona ini cerdik dan berpambek tinggi. Sebenarnya dapat digolongkan sebagai pahlawan wanita. Sayang seorang nona begitu, rela menjadi pemberontak.”

Selagi berpikir begitu, tiba-tiba didengarnya ada suara berkeresekan pelahan sekali. Obat bius yang dihirup Khik-sia masih belum hilang khasiatnya. Tenaganya lenyap tapi pendengarannya masih tajam. Jika lain orang tentu sukar menangkap suara berkeresekan yang sedemikian pelahannya itu.

”siapakah orang yang lihay gin-kangnya ini? Menilik Su Tiau-ing itu sebagai seorang kongcu (puteri0, tentulah orang itu anak buahnya. Tapi jika benar orang sebawahannya, mengapa berani mencuri dengar. Hm, apakah musuhnya ?” Khik-sia menimang-nimang dalam hati. Tapi ditunggu sampai sekian jenak, tiada terdengar suara apa-apa lagi.

Rupanya Tiau-ing merasa juga. Tiba-tiba ia berkata: ”Biarlah kubukakan jendela, ya?”

Cepat tangannya mendorong daun jendela, ternyata di luar tak kelihatan suatu apa. Tapi dengan telinganya yang tajam itu, dapatlah Khik-sia menangkap bahwa suara itu hilang berbareng pada saat Tiau-ing membuka jendela. Orang itu tentu sudah kabur.

Diam-diam Khik-sia terkejut, pikirnya: ”Hebat benar gin-kang orang itu. Apakah toa-suhengku yang datang?”

Tiau-ing berputar tubuh lagi dan menghela napas pelahan-lahan.  Ujarnya: ”Toan kongcu, aku tak mau memaksa kau, tapi juga tak dapat membebaskan kau. Apakah kau membenci padaku?” Dingin-dingin Khik-sia menjawab: ”Aku adalah orang tawananmu. Hendak kau apakan,

terserah saja. Masakah aku dapat membantah.” ”Toan kongcu, jika kulepaskan kau pergi bagaimana sikapmu kepadaku?” tiba-tiba nona itu bertanya.

”Sebenarnya kita ini berlainan golongan. Jika kau tak membikin susah padaku, sudah tentu aku takkan bikin perhitungan padamu. Begitu kutinggalkan tempat ini, semua ganjelan selama inipun takkan kutarik panjang,” sahut Khik-sia.

”Kalau begitu, biarlah kulepaskan kau. Apakah kau hanya meluluskan takkan membenci aku saja?” kata Tiau-ing.

”Kau masih menghendaki apa lagi? Apakah minta aku bertekuk lutut minta maaf padamu?” Tiau-ing kedipkan matanya kepada anak muda itu sejenak, lalu tertawa: ”Ah, mana aku berani menerima kehormatan begitu. Sebaliknya, akulah yang hendak mohon belas kasihan padamu.” Khik-sia duga nona itu hendak mengungkat lagi pembicaraan tadi. Buru-buru ia menyahut:

”Seorang laki-laki lebih baik mati dari menyerah. Telah kukatakan tadi, baik kau lepaskan aku atau tidak, aku tetap tak dapat membantu padamu. Nah, kiranya sudah cukup, terserah bagaimana kau hendak memutuskan.”

Tiau-ing kerutkan alisnya yang bagus, seperti ada yang dipikirkan. Lewat beberapa jenak kemudian, tiba-tiba ia menghela napas lagi, katanya: ”Toan kongcu, sebenarnya ingin sekali kulepaskan kau, tapi sayang aku tak kuasa melakukan seluruhnya. Baiklah, kau pikirkan lagi saja dulu, aku hendak pergi.”

Pikiran Khik-sia bekerja, tetapi bukan karena memikirkan kata-kata Su Tiau-ing tadi, melainkan pengintai yang memiliki ilmu ginkang hebat itu. Bermula ia duga kalau toa-suhengnya, Gong- gong-ji, yang datang itu.   Kalau benar ia, mengapa takut? Toh tak ada orang yang mampu menghalanginya? Dan mengapa sampai sekarang tak muncul lagi? Namun bila pengintai itu

orangnya Su Tiau-ing sendiri, pun tak masuk akal juga. Mana ada orang sebawahan berani mencuri dengar pembicaraan 'tuan puterinya'? Memikir bolak-balik, tetap Khik-sia tak menemukan jawabannya.

Seorang budak perempuan datang dengan membawa talam yang berisi semangkuk besar bubur dan beberapa mangkuk masakan. ”Kuatir kau lapar, kongcu suruh mengantarkan hidangan ini untukmu,” kata budak itu.

Pikir Khik-sia: ”Jika ia hendak mencelakai aku, toh tak perlu memberi racun dalam makanan.” Khik-sia sudah tak mengacuhkan mati hidupnya lagi. Terus ia gasak hidangan itu sampai habis.

Setelah budak itu pergi, Khik-sia duduk sendirian di dalam kamar situ. Sampai sekian lama tak kelihatan orang datang. Timbullah ingatannya: ”Daripada menunggu pertolongan orang, lebih baik berusaha sendiri.”

Ia lantas duduk bersila menyalurkan lwekangnya. Semangatnya sudah agak baik, tetapi hawa murni (cin-gi) masih sukar dipusatkan. Lewat beberapa saat, hawa cin-gi itu mulai bergerak tapi pun hanya terbatas sampai ke arah tangan kakinya saja. Untuk melancarkan ilmu gin-kangnya, itulah masih sukar.

Tiba-tiba di luar terdengar suara orang berbicara. Suara orang lelaki berkata: ”Apakah ia sudah menyanggupi?”

”Aku sedang membujuknya,” sahut suara seorang anak perempuan yang bukan lain ialah Su Tiau-ing.

Lelaki itu tertawa dingin: ”Moay-moay, lebih baik jangan buang tenaga. Memang sudah kuduga ia tentu menolak.”

”Tidak, beri ia waktu dua hari lagilah,” bantah Tiau-ing.

Kata lelaki itu: ”Apa yang kau bicarakan padanya, telah kudengar semua. Kalau toh ia menolak, kau bisa berbuat apa? Hm, apakahh kau hendak gunakan siasat 'memikat dengan kecantikan'?”

Marahlah Tiau-ing: ”Koko, jangan ngaco belo! Kau anggap aku ini orang macam apa?”

Khik-sia tahu kalau kedua orang yang bicara itu tentulah Su Tiau-ing dan engkohnya Su Tiau-gi. Pikirnya: ”Benar-benar pribadi Su Tiau-gi itu hina dina. Meskipun Su Tiau-ing itu bukan tergolong kaum Ceng-pay (lurus), tapi ia lebih baik dari engkohnya.”

Tiba-tiba ia teringat sesuatu: ”Hai, bukankah tadi Tiau-ing mengatakan kalau engkohnya menganggap aku dapat ditundukkan? Tetapi barusan Su Tiau-gi mengatakan kalau ia tak menganggap begitu. Habis siapakah yang menangkap aku kemari dan hendak menggunakan aku sebagai orang perantara itu?”

Baru berpikir begitu, terdengarlah Su Tiau-gi tertawa gelak-gelak, serunya: ”Moaymoay, kalau begitu nyata kau tak jatuh hati kepada badak itu?”

”Aku hanya hendak memakainya sebagai pembantu kita, mengapa kau melantur begitu rupa?” Tiau-ing bersungut-sungut.

”Badak itu berkepandaian tinggi dan menjadi tangan kanan Thiat-mo-lek. Asal ia mau membantu kita, kelak kau menikah padanyapun tiada jeleknya,” kata Su Tiau-gi.

Tiau-ing makin meradang: ”Koko, makin lama kata-katamu itu makin rendah. Jika kau tetap bicara begitu, aku tak mau mempedulikan kau lagi.”

kembali Su Tiau-gi tertawa gelak-gelak: ”Baiklah, sekarang aku hendak bicara sungguh- sungguh. Dengarlah: toh budak itu menolak membantu kita, serta kaupun tak ada minat menikah padanya, perlu apa kau menahannya? Lebih baik kutungi saja kepalanya, habis perkara, agar jangan sampai menerbitkan bahaya di kemudian hari.”

”Apa? Kau hendak membunuhnya?” seru Tiau-ing.

Su Tiau-gi tertawa mengejek: ”Apa? Kau hendak melepaskannya? Tahukah kau bahwa 'menangkap harimau itu mudah, tapi melepaskannya sukar'?”

”Kasih tempo dua hari lagi, biar kunasihatinya lagi,” tetap Tiau-ing meminta waktu.

”Tidak, budak itu berkepandaian tinggi, siapa yang berani menjamin ia tak dapat lolos? Apalagi

.... ha, ha, ha, ha, hm!”

”Apalagi bagaimana? Apakah tidak mempercayai aku?” Tiau-ing tak mau mundur.

”Ya, benar, memang aku tak percaya padamu. Tahu kalau ia tak mau berpihak kita, mengapa kau tetap keberatan untuk membunuhnya,” jawab Su Tiau-gi.

Gemetarlah suara Tiau-ing saking gusarnya: ”Kau tak percaya padaku, mengapa tak kau bunuh sekali aku ini!”

Su Tiau-gi tertawa mengejek: ”Baik, jika kau tak mengijinkan ia kubunuh, hm, jangan kira aku tak berani membunuhmu!”

Tiau-ing balas tertawa menghina: ”Ayah saja tega kau bunuh, apalagi membunuh aku. Tapi kukuatir kalau hendak membunuh aku, tak semudah membunuh ayah!”

Su Tiau-gi menggembor keras: ”Kau hendak menjadi anak perempuan yang berbakti kepada setan tua itu, bukan? Lihat golokku!”

Cret, dan berteriaklah Su Tiau-gi dengan sengitnya: ”Pengawal, kemarilah!”

Kiranya Tiau-ing lebih cepat mencabut senjatanya dari sang engkoh. Pula ilmu silatnya lebih tinggi dari Tiau-gi, pun ia turun tangan lebih dulu. Sekali tusuk ia dapat melukai engkohnya. Mendengar kakak beradik itu saling bertengkar, diam-diam Khik-sia mengeluh. Tiba-tiba saat itu jendela terbuka dan sesosok tubuh loncat masuk.

”Toan Khik-sia, selama ini kau selalu tak memandang mata pada kau ji-suhengmu. Sekarang jangan sesalkan aku seorang kejam!” kedengaran orang itu tertawa dingin.

Orang itu bukan lain ialah Ceng-ceng-ji. Cepat ia menyingkap kelambu terus membacok Khik- sia. Kini barulah Khik-sia tersadar siapa yang mencuri dengar tadi. Tentulah Ceng-ceng-ji itu

memberitahukan semua kepada Su Tiau-gi. Tapi pengertian Khik-sia itu sudah kasip karena saat itu pedang Ceng-ceng-ji sudah mengancam ke arah dadanya.

Tring Ceng-ceng-ji rasakan tangannya kesemutan dan terlepaslah pedangnya jatuh ke lantai.

Kiranya saat itu Khik-sia sudah dapat menggerakkan lwekangnya, walaupun baru 2-3 bagian saja. Dalam menghadapi saat-saat yang berbahaya itu, ia kerahkan seadanya tenaga ke arah ujung jari dan dengan sekuatnya ia gunakan ilmu tutukan jari tan-ci-sin-thong. Sekali menutuk dengan jari tengahnya, dapatlah ia membuat tangan Ceng-ceng-ji kesemutan.

Berhasilnya tutukan Khik-sia itu, benar-benar secara kebetulan sekali. Pertama, karena Ceng- ceng-ji kelewat bernafsu sekali. Ia kira Khik-sia sudah takmampu berkutik, apalagi balas menyerang. Kedua kalinya karena posisi Khik-sia itu amat menguntungkan. Sebenarnya dengan berbaring di atas ranjang itu, posisi Khik-sia amat berbahaya. Tapi dengan kecerdikannya, ia dapat merubah posisi yang berbahaya menjadi menguntungkan baginya.

Kepandaian Ceng-ceng-ji hanya terpaut tak banyak dengan Khik-sia. Dalam keadaan seperti saat itu, Khik-sia pasti kalah melawan ji-suhengnya itu. Tapi ada beberapa hal yang

menguntungkan bagi Khik-sia. Kesatu; Ceng-ceng-ji datang dari tempat yang terang dan melongok ke dalam pembaringan yang gelap. Khik-sia tahu gerakan tangannya, sebaliknya Ceng-ceng-ji tak tahu akan gerakan Khik-sia. Inilah faktor-faktor yang menguntungkan.

Kejut Ceng-ceng-ji bukan kepalang, pikirnya: ”Jangan-jangan ia sudah mendapat obat penawar, dan sengaja memancing aku untuk dibokongnya, ha?”

Karena kepandaiannya tinggi, gerakannya pun gesit sekali.  Begitu mendapat tutukan tadi, secara otomatis ia sudah lantas loncat ke belakang untuk bersiap. Tapi hal itu justeru suatu keuntungan bagi Khik-sia. Coba Ceng-ceng-ji menghantamnya lagi, Khik-sia tentu sudah binasa. Celakanya Ceng-ceng-ji sudah pecah nyalinya.

Barulah ketika mundur beberapa langkah tapi tak nampak Khik-sia turun dari pembaringan, mulailah timbullah kecurigaannya. Tiba-tiba terdengar aum senjata rahasia, melayang di udara.

Ternyata Su Tiau-ing telah menimpuk tiga batang passer sembari mendamprat: ”Ceng-ceng-ji, besar sekali nyalimu berani masuk ke dalam kamarku melakukan pembunuhan!”

Makian nona itu malah menimbulkan perubahan pada dugaan Ceng-ceng-ji, pikirnya: ”Jika Su

Tiau-ing telah memberikan obat penawar padanya, masakan ia begitu gugup hendak menolongnya.”

Sudah tentu ketiga batang passer Tiau-ing itu tak dapat mengenai Ceng-ceng-ji. Senjata itu dapat dikebas jatuh olehnya semua.

”Maaf, kongcu. Suteku bersembunyi di dalam kamarmu, biar kuberi pelajaran, maka terpaksa aku lancang masuk ke kamarmu,” serunya dengan tertawa.

Mendengar suara Ceng-ceng-ji, Su Tiau-gi segera meneriakinya: ”Ceng-ceng-ji, bunuh saja budak perempuan hina dan orang itu. Aku takkan mempersalahkan kau!”

Hubungan Ceng-ceng-ji dengan keluarga Su kakak-beradik itu, hanyalah berdasarkan saling menguntungkan saja. Sudah tentu ia tak begitu menaruh penghormatan terhadap 'kaisar' palsu dan 'tuan puteri' tiruan itu.  Maka tanpa mendapat perintah Su Tiau-gi sekalipun, habis memukul jatuh Su Tiau-ing, ia lantas menyerbu ke tempat Khik-sia lagi.

Sekalipun Su Tiau-ing tak segesit Ceng-ceng-ji, namun kepandaian nona itu cukup lihay. Begitupun ketiga passernya itu tentu tak dapat melukai Ceng-ceng-ji, tapi sekurang-kurangnya dapat menghalanginya untuk beberapa jenak. Dan dalam beberapa jenak itu, cukuplah sudah bagi

Su Tiau-ing untuk menerobos masuk. Baru Ceng-ceng-ji tiba di muka ranjang, punggungnya sudah disambar angin tabasan golok kim-to. Ceng-ceng-ji balikkan tangannya, dengan jurus wan-kong- sia-tiau, ia tutuk jalan darah kiok-ti-hiat di lengan Tiau-ing. Su Tiau-ing malah merangsang maju dan tabaskan goloknya di tangan kiri.

Serangan itu dilakukan dengan keras. Nona itu melakukan pertempuran nekad, biar dua-duanya menderita luka. Jika Ceng-ceng-ji tak menarik pulang tangannya, paling banyak ia hanya dapat membikin invalid sebelah tangan Tiau-ing. Tapi dengan berbuat begitu, sebelah tangannyapun pasti kena tertabas kutung oleh golok Su Tiau-ing. Sudah tentu Ceng-ceng-ji tak mau kehilangan sebuah lengannya. Memang gerakannya pun luar biasa gesitnya. Dengan miringkan tubuh ia menggelincir ke samping. Dengan begitu tabasan Su Tiau-ing itu menemui tempat kosong.

Tapi memang maksud Su Tiau-ing hanyalah hendak memaksa lawan menyingkir saja. Begitu Ceng-ceng-ji menghindar ke samping, Su Tiau-ing cepat menduduki tempat Ceng-ceng-ji berdiri tadi, yakni di depan ranjang Khik-sia. Di situ cepat ia merogoh keluar sebuah bungkusan. Bluk, terus dilemparkan ke dalam ranjang, serunya: ”Ini obat penawar, lekas minumlah! Sekarang kutolong kau, nanti aku yang akan minta tolong padamu!”

Ceng-ceng-ji terkejut. Buru-buru ia hendak merebutnya, tapi Su Tiau-ing cepat lancarkan tiga

kali tabasan, tiap serangannya dilancarkan dengan nekad dan dahsyat. Sepasang goloknya berebut- rebutan maju. Belum yang kiri ditarik, yang kanan sudah menyusul maju. Tak seperti permainan golok tunggal yang harus berganti jurus lebih dulu.

Ceng-ceng-ji gunakan ilmu merebut senjata gong-chiu-jip-peh-jim. Tapi hanya dapat menghindar dari tertabas saja, dan tak mampu merebut senjata si nona. Khik-sia mendapat kesempatan minum obat penawar. Seperti oran yang tersadar dari

maboknya, bermula kepalanya pening, sesaat kemudian sudah sadar sama sekali. Biarpun begitu, lwekangnya masih belum pulih. Dicobanya untuk melakukan pernapasan agar hawa murninya bergerak. Benar darahnya sudah mulai menyalur, tapi hawa murninya masih belum dapat dipusatkan. Kiranya memang begitulah jalannya obat penawar itu. Kalau caranya menyalurkan darah tepat, juga harus menungguh sampai setengah jam, baru bisa pulih tenaganya.

Rupanya tahu juga Su Tiau-ing akan maksud Khik-sia, buru-buru ia meneriaki: ”Jangan turun dari pembaringan dulu. Jika turun, kau hanya akan mengantar jiwa saja. Salurkanlah darahmu terus!”

Sudah tentu Ceng-ceng-ji tahu bagaimana berkerjanya obat penawar itu. Ia makin gugup karena dalam setengah jam ini ia sudah harus mengalahkan Su Tiau-ing, kalau tidak Khik-sia tentu sudah bangun. Tapi main gugup, makin celakalah ia. Sepasang golok Su Tiau-ing dimainkan dengan rapat sekali. Betapapun Ceng-ceng-ji melancarkan serangan yang dahsyat, paling-paling ia hanya dapat merebut, sebuah golok Tiau-ing tapi berbareng itu iapun tentu menderita luka kena golok si nona yang satunya.

Sebenarnya jika Ceng-ceng-ji tak gugup, ia boleh gunakan siasat membikin lelah. Untuk mengalahkan Su Tiau-ing, tak perlu memakan waktu sampai setengah jam. Justeru karena gugup itu, hampir saja Ceng-ceng-ji kena dilukai Su Tiau-ing. Berulang kali Ceng-ceng-ji terpaksa menghindar mundur. Dan kesemuanya itu telah menghabiskan waktu yang tidak sedikit.

Tiba-tiba mata Ceng-ceng-ji tertumbuk akan benda yang berkilau-kilauan di lantai. ”Ah, sungguh limbung sekali aku ini. Mengapa lupa akan pedang pusakaku yang jatuh di lantai itu?” pikirnya menyesali diri sendiri.

Pedang Ceng-ceng-ji itu terpisah tak jauh dari Su Tiau-ing. Nona itu celi sekali matanya. Demi melihat mata Ceng-ceng-ji tertuju akan pedangnya yang menggeletak di lantai itu, tahulah ia maksudnya. Baru Ceng-ceng-ji hendak bergerak, ia sudah lantas mendahuluinya menyerang: ”Lihat golok!”  Pedang ditendang Su Tiau-ing, mencelat kira-kira setengah meter di depan ranjang. Dengan gerak kek-cit-hoan-sim atau burung merpati membalik tubuh, Ceng-ceng-ji sudah lantas ulurkan tangan hendak menyambarnya. Kala itu jaraknya dekat dengan pedang. Tahu bakal kalah dulu, Su Tiau-ing timpukkan lagi tiga batang passer. Yang dua ditujukan pada Ceng-ceng-ji yang sebatang ke arah pedang itu.

Benar Ceng-ceng-ji tak jeri, tapi sedikitnya ia pun harus gerakkan tangan untuk

menyambutinya. Layang ketiga passer itu berlainan arahnya. Dua batang yang hendak menyambar dirinya, dapatlah ia sambuti. Tapi yang sebatang lagi telah lolos lewat di sampingnya.  Yang ini ia tak berhasil menyambarnya. Justeru passer inilah yang menuju ke arah pedang.

Passer yang melayang turun dari atas, sebenarnya sukar untuk membikin mencelat sasarannya. Tapi Su Tiau-ing gunakan ilmu lincah. Begitu mengenai tangkai pedang, pedang itu menjadi terbalik miring. Karena lantai amat licin, maka pedang itupun menggelincir ke muka. Meskipun hanya meluncur setengah meter, tapi pedang itu menyusup masuk ke bawah kolong ranjang. Kini sukarlah bagi Ceng-ceng-ji hendak mengambil pedangya itu, kecuali ia masuk ke bawah kolong. Ceng-ceng-ji marah sekali, ia batalkan rencana menyambar pedang, kini ia berganti menyambar orang. Dengan menggerung keras ia timpukkan dua batang passer tadi kepada Su Tiau-ing, kemudian dengan sebat sekali ia lantas membuka kain kelambu dan mencengkeram Khik-sia.

Khik-sia kala itu sedang menyalurkan lwekang, mana ia dapat melawan. Pun ketika Su Tiau-

ing dapat menghindari timpukan passer tadi, tangan Ceng-ceng-ji sudah bergerak mencengkeram Khik-sia. Nona itu mengeluh.

Tiba-tiba terdengar suara jeritan kesakitan. Tapi anehnya, bukan suara Khik-sia, melainkan Ceng-ceng-ji. Kiranya sewaktu hendak dicengkeram tadi, Khik-sia dapat mengisar ke samping hingga tangan Ceng-ceng-ji itu hanya mencengkeram kasur saja. Celakanya pedang pusaka milik Khik-sia disembunyikan di dalam selimut dan pedang itu sudah dilolos dari sarungnya. Begitu

menyentuh benda dingin, Ceng-ceng-ji sudah kaget dan cepat-cepat tarik pulang tangannya, namun tak urung dua buah jarinya kena tergurat pecah oleh ujung pokiam Khi-sia.

Su Tiau-ing tak tahu apa yang terjadi. Tapi demi melihat Ceng-ceng-ji yang menjerit sembari tarik pulang tangannya, tahulah ia kalau terjadi perubahan. Cepat ia sudah lantas loncat maju sembari babatkan sepasang goloknya. Ceng-ceng-ji tak dapat berbuat apa-apa, kecuali membiarkan Khik-sia duduk tepekur di dalam ranjang karena ia harus menghindari babatan golok Su Tiau-ing.

Pada saat itu keadaan Khik-sia mencapai titik yang genting. Jika ia lantas loncat turun dari

ranjang, sekali peredaran darahnya tersesat, pasti celakalah ia. Bukan saja jerih payahnya tadi akan sia-sia, pun ia bakal rusak jasmaninya atau dalam istilahnya disebut ”co-hwe-jip-mo” (terbakar api kemasukan setan). Syukur Su Tiau-ing juga seorang ahli lwekang. Tahu ia bagimana keadaan Khik-sia nanti. Buru-buru ia meneriakinya: ”Toan kongcu, meramkanlah matamu!”

Ia kuatir jika membuka mata, Khik-sia tentu melihat bagaimana ia sedang bertempur mati-

matian dengan Ceng-ceng-ji. Kebanyakan pemuda itu tentu akan loncat turun membantunya. Dan ini berbahaya sekali.

Untung karena kedua jarinya terluka, rangsangan tangan Ceng-ceng-ji tak sehebat tadi lagi. Dengan mati-matian Su Tiau-ing mendesaknya terus, sehingga setindak demi setindak Ceng-ceng-ji dapat dihalau mundur dari muka ranjang.

Adalah pada saat itu, tiba-tiba paderi berjubah merah itu muncul.

Di luar kedengaran Su Tiau-gi sudah lantas meneriaki: “Harap taysu jangan beri ampun lagi. Bunuh saja budak perempuan hina itu!”

Su Tiau-ing juga berseru: ”Suhu, monyet tua ini menghina padaku, lekaslah bantu padaku.” Kiranya paderi jubah merah itu bergelar Hoan Gong, kepala dari biara Oh-gik-mi-si do Ceng- hay. Pada ketika Su Su-bing menduduki Ceng-hay, untuk mengambil muka pada paderi itu, ia

sudah suruh kedua putera puterinya berguru padanya. Hanya saja kala itu Su Tiau-ing masih kecil, tak pernah belajar silat padanya, maka paling-paling ia hanya dapat disebut calon murid saja.

Oh-gik-mi-si sebenarnya adalah tinggalan dari kaum agama Pek-kau dari Tibet. Adalah karena beberapa partai agama di Tibet timbul pertentangan, maka Pek-kau tak dapat mengurusi sehingga dapat diduduki oleh Hoan Gong. Lebih dari 10 tahun Hoan Gong menempati biara itu. Kala itu pertentangan agama di daerah Tibet sudah sirap. Ketua Pek-kau mengirim beberapa utusan ke Ceng-hay untuk mengambil pulang biara itu. Karena tahu tak dapat melawan, akhirnya Hoan Gong pergi. Waktu itu Su Su-bing sudah meninggal, Su Tian-gi lalu mengundangnya dan mengangkat menjadi kok-su atau penasehat agung.

Su Tiau-gi dan Su Tiau-ing itu berlainan ibu. Umur Tiau-gi lebih tua lima tahun dari adiknya. Pada masa itu, Su Tiau-gi pernah belajar silat pada Hoan Gong setengah tahun lamanya.

Sebenarnya Su Tiau-ing punya guru lain. Tetapi sejak Hoan Ging datang, sedikit banyak ia juga pernah mendapat pelajaran silat dari paderi itu. Jika menurut hubungan guru dan murid, Hoan Gong lebih rapat dengan Su Tiau-gi daripada dengan Su Tiau-ing. Tetapi karena dalam hal bakat, Su Tiau-ing lebih baik dari engkohnya, maka Hoan Gong lebih suka pada gadis itu.

Bermula Hoan Gong mengira kalau kedatangan musuh gelap, maka buru-buru ia datang.

Setelah mengetahui bagaimana keadaannya, ia menjadi serba salah. Akhirnya ia mendapat suatu pemecahan, serunya: ”Sama saudara sendiri mengapa bertengkar? Kongcu, haturkanlah maaf kepada engkohmu!”

Di luar kedengaran Su Tiau-gi berteriak-teriak: ”Budak hina itu telah bersekongkol mengundang orang luar untuk melawan aku. Suhu, bunuh saja dia. Aku tak sudi mengakui adik lagi padanya.” ”Suhu, kau dengar tidak! Ia tetap hendak membunuh aku. Bagaimana kau suruh aku menghaturkan maaf padanya?” seru Su Tiau-ing.

”Ah, baginda itu sedang marah, biar nanti kunasehatinya,” sahut Hoan Gong.

”Suhu, sedang terhadap ayah kandungnya sendiri ia berani membunuh, apalagi terhadap aku. Percuma saja kau akan menasehatinya,” bantah Su Tiau-ing.

Tentang Su Tiau-gi membunuh ayah kandungnya sendiri, Hoan Gong belum mengetahui. Meskipun ia juga seorang jahat, tapi setelah mendengar hal itu, berdirilah bulu romanya juga. ”Suhu, jangan dengarkan ocehannya. Lekas bunuh saja dia!” teriak Su Tiau-gi.

”Suhu, kau dengar tidak itu? Ia begitu bernafsu untuk lekas-lekas melenyapkan aku supaya rahasianya jangan sampai ketahuan,” Su Tiau-ing tetap ngotot.

Hoan Gong lebih cenderung dengan kata-kata Su Tiau-ing. Ya, mengapa Su Tiau-gi begitu bernafsu sekali menyuruhnya membunuh adik perempuannya itu?

”Aku tak mau mengeloni siapa-siapa, karena kalian adalah saudara kandung sendiri,” akhirnya Hoan Gong memberi pernyataan.

Ceng-ceng-ji turut berkata juga: ”Akupun juga tak sengaja hendak melukai kongcu.  Tetapi bangsat itu adalah seorang pemberontak. Adalah karena dia, maka kongcu bertengkar dengan baginda. Hoan Gong taysu, harap kau bunuh bangsat itu, kedua belah pihak tentu akan puas.” Hoan Gong menimbang kata-kata Ceng-ceng-ji itu beralasan juga. Tapi ketika ia hendak turun tangan pada Khik-sia, Su Tiau-ing sudah lantas meneriakinya: ”Suhu, jangan kena ditipu. Pemuda

she Toan ini adalah sutenya. Toa-suhengnya, Gong-gong-ji, sayang sekali kepadanya. Sebaliknya monyet tua itu sendiri yang berkhianat kepada perguruannya. Jika kau bunuh orang she Toan itu, berarti kau hanya bantu menghimpaskan dendam pribadi monyet tua itu. Tetapi resikonya, Gong- gong-ji tentu akan membikin perhitungan padamu.”

Hoan Gong terkesiap kaget, pikirnya: ”Apakah keterangan itu benar atau salah, yang terang Gong-gong-ji itu tak boleh dimusuhi.”

Akhirnya tanpa berkata ba atau bu lagi, paderi itu melesat pergi. Baru Su Tiau-ing dapat bernafas longgar, sekonyong-konyong Uh-bun Jui muncul.

”Hai, Uh-bun Jui, hendak mengapa kau? Jangan lupa, tanganku masih mencekal golok!” teriak Su Tiau-ing.

Ceng-ceng-ji tertawa gelak-gelak: ”Uh-bun Jui, itu lihatlah siapa yang berbaring di dalam ranjangnya itu. Burung merpatimu sudah didahului orang, lho!”

Kiranya adanya Uh-bun Jui sampai mengkhianati perguruannya dan mengadakan perebutan pangcu Kay-pang, adalah karena bujukan Su Tiau-ing. Su Tiau-ing hendak menggunakan tenaga partai Kay-pang untuk melawan tentara kerajaan Tong. Sementara Uh-bun Jui juga hendak pinjam tenaga nona itu untuk merebut kedudukan pangcu Kay-pang. Tapi faktor yang terutama, ialah karena ia tergila-gila akan kecantikan Su Tiau-ing. Memang paras cantik itu sering membikin orang lupa daratan. Kalau tidak, masakan Uh-bun Jui berani bertindak begitu rupa.

Rupanya Ceng-ceng-ji tahu akan isi hati pemuda itu. Sekali berkata, ia dapat menusuk perasaan Uh-bun Jui. Terdorong oleh rasa cemburu, berkobarlah mafsu membunuh dalam sanubari Uh-bun Jui.

”Kongcu, aku sekali-kali tak berani melawan kau. Tapi demi untuk menjaga nama kehormatanmu, aku takkan membiarkan kau terpikat oleh bangsat itu,” kata Uh-bun Jui. Su Tiau-ing mendampratnya: ”Jangan ngaco belo tak keruan, enyahlah!”

Kembali Ceng-ceng-ji tertawa mengejek: ”Uh-bun Jui, apakah kau masih punya setitik pambek lelaki jantan? Dengan mata kepala sendiri kau menyaksikan bangsat itu tidur di pembaringannya, masakan kau lantas diam-diam mau ngacir?”

Uh-bun Jui menggerung keras. Dengan mengacungkan tongkatnya, ia berlarian menghampiri ranjang.

”Kongcu, maafkan aku tak mendengar perintahmu. Aku tetap harus membinasakan bangsat ini!” teriaknya dengan keras.

Su Tiau-ing hendak menyabetnya dengan golok, tapi Ceng-ceng-ji tak mau memberi

kesempatan. Ia merangsek seru, sehingga nona itu tak sempat mengurusi Uh-bun Jui lagi. Memang kepandaiannya masih terpaut jauh dengan Ceng-ceng-ji. Karena bingung, permainan goloknyapun menjadi rancu. Dengan beberapa rangsangan, dapatlah Ceng-ceng-ji menghalau nona itu terpisah lebih jauh dari ranjang.

Seperti diterangkan di atas, saat itu Khik-sia sedang berada dalam keadaan yang kritis (genting). Ia tak dapat menangkis serangan Uh-bun Jui itu. Tongkat Uh-bun Jui tepat mengenai pundaknya. Khik-sia cepat putar tubuhnya, sehingga membelakangi Uh-bun Jui. 

Uh-bun Jui menghantam untuk yang kedua kalinya. Pikirnya hendak hantam pecah kepala Khik-sia.

Dan anehnya, Khik-sia malah gunakan jurus hong-tiam-thau (burung hong mengangguk), ia sodorkan punggungnya ke belakang. Dess terdengar bunyi macam rumput dipotong. Punggung

Khik-sia terpukul tongkat, tapi seketika itu Uh-bun Jui rasakan tangannya kesemutan panas, hampir saja tongkatnya terlepas jatuh.

Kiranya saat itu sudah lewat agak lama. Meskipun jalan darah Cap-ji-ciong-lo di tubuh Khik-

sia belum tertembus, tapi ia sudah mendapat kembali 6-7 bagian tenaganya. Dengan tenaga itu saja, cukup sudah baginya untuk menyengkelit Uh-bun Jui. Tapi kuatir usahanya tadi akan gagal seluruhnya, sehingga kemungkinan tubuhnya rusak, maka ia tak mau turun tangan.  Sekalipun begitu, dengan paksakan diri ia dapat menyalurkan lwekangnya ke arah punggung. Sudah tentu pukulan Uh-bun Jui tadi sedikitpun tak menjadikan soal.

Sebaliknya ketika mendengar suara gebukan tongkat, hati Su Tiau-ing menjadi guncang. Ia tahu bahwa bekerjanya obat penawarnya itu harus menunggu sampai setengah jam, atau sama dengan 2 batang dupa terbakar habis. Kini, kira-kira temponya baru dapat sebatang dupa terbakar habis. Ia duga Khik-sia tentu belum dapat melawan, jadi keadaannya tentu berbahaya. Hal itu disebabkan karena ia belum mengetahui sampai di mana kesempurnaan lwekang Khik-sia.

Tidak demikian dengan Ceng-ceng-ji yang sudah kawakan. Demi mendengar bunyi tongkat itu agak lain, ia sudah menduga jelek. Kejutnya lebih hebat dari Su Tiau-ing. Buru-buru ia merangsek Su Tiau-ing dengan jurus pay-hun-chiu. Su Tiau-ing masih belum banyak pengalamannya bertempur. Saat itu karena memikirkan keselamatan Khik-sia, pikirannya menjadi kacau sehingga permainannyapun rancu. Golok di tangan kirinya kena ditampar oleh Ceng-ceng-ji sampai terlepas jatuh. Hilangnya satu golok itu, menyebabkan kendornya permainan Su Tiau-ing.

Musuh utama bagi Ceng-ceng-ji adalah Khik-sia. Selain itu memang ia tak berniat hendak melukai Su Tiau-ing. Dengan kecepatan yang luar biasa, ia menyelinap dari halangan si nona

menuju ke muka ranjang. Setelah mendorong Uh-bun Jui ke samping, ia lantas menghantam Khik- sia.  Tiba-tiba seperti bola, tubuh Khik-sia melambung ke atas. Brak bukan tubuh Khik-sia tetapi

ranjanglah yang menjadi sasaran hantaman Ceng-ceng-ji itu hingga remuk. Po-kiam Khik-sia jatuh ke lantai, sementara pedang Ceng-ceng-ji yang menyurup ke bawah kolong tadi, kini teruruk oleh ranjang. Untung tidak seluruhnya karena tangkainya masih kelihatan menonjol di luar.

Su Tiau-ing memburu datang dengan sebuah tabasan. Ceng-ceng-ji memiliki ilmu thing-hong- pian-ki atau dengar anginnya mengetahui senjata. Tanpa menolek, ia tamparkan tangannya ke belakang untuk menyampok golok Su Tiau-ing. Sedang tangannya yang lain hendak menyambar pedangnya. Su Tiau-ing tanpa mempedulikan jiwanya lagi, terus mencecar Ceng-ceng-ji.

”Uh-bun Jui, lekas rebut pokiam!” serunya.

Pada saat Su tiau-ing mengirim tabasan yang keempat, Ceng-ceng-ji sudah berhasil memperoleh pedangnya. Begitu berputar tubuh, ia lantas membacok Su Tiau-ing.

Setelah mendapat peringatan dari Ceng-ceng-ji, Uh-bun Jui cepat memungut pokiam Khik-sia. Girangnya bukan kepalang. ”Hm, sekalipun kau mempunyai ilmu kebal yang sakti, juga tubuhmu itu tetap terdiri dari darah dan daging. Masakah tak mempan ditusuk senjata,” pikirnya.

Ketika mengawasi ke muka, dilihatnya tubuh Khik-sia sudah turun di lantai dan tetap masih

duduk bersila seperti tadi. Habis menggeletarkan pedang pusaka, ia segera menusuk. Yang diarah ialah tulang pi-peh-kut di bahu Khik-sia.  Jika kena, Khik-sia tentu akan menjadi cacat seumur hidup.

Tapi Khik-sia cepat miringkan tubuhnya  ke samping.  Cret, yang kena hanyalah secarik pakaiannya saja, sedang ujung pokiam lalu di atas pundaknya. Khik-sia gunakan lwekang untuk menyedot. Dengan goyangkan bahu, ia telah menyedot tenaga Uh-bun Jui sampai separuh bagian

sehingga anak muda she Uh-bun itu tak dapat menguasai keseimbangan tubuhnya lagi. Hampir saja ia menyeruduk tubuh Khik-sia.

Uh-bun Jui juga seorang ahli silat. Pada saat itu ia tahu kalau Khik-sia juga dapat menggunakan ilmu lwekang tinggi. Kejutnya bukan main. Takut kalau dibalas, saking gugupnya, ia lantas susuli menghantamkan tongkatnya. Memang pukulannya itu tepat mengenai bahu Khik-sia, tapi akibatnya malah lebih runyam. Daya membal yang dipancarkan bahu Khik-sia lebih besar dari tadi. Krek tongkat Uh-bun Jui kutung menjadi dua. Sedang Uh-bun Jui sendiri terpental mundur

sampai beberapa langkah. Untung karena kencang-kencang mencekalnya, pokiam tak sampai jatuh terlepas dari tangannya.

”Coba kulihat sampai berapa kali kau mampu menyingkir dari serangan pedang ini!” ia berteriak keras seraya tusukkan ujung pokiam ke punggung lawan.

”Lepaskan!” tiba-tiba kedengaran Khik-sia buka suara. Dengan dua buah jarinya ia menjepit batang pokiam itu. Jepitannya itu tepat benar, seolah-olah punggungnya itu seperti bermata saja. Kejut Uh-bun Jui tak terperikan. Baru saja ia hendak memutarnya, tahu-tahu dengan kekuatan dua buah jarinya saja, pokiam sudah berpindah ke tangan yang empunya (Khik-sia). Dan tiba-tiba Khik-sia loncat bangun.

”Kau sudah keliwat kurang ajar kepadaku. Lihat pedang!” seru pemuda itu.

Uh-bun Jui gunakan separuh kutungan tongkatnya tadi sebagai senjata. Tapi dengan mudahnya, dapatlah Khik-sia memapas lagi tongkatnya itu hingga hanya ketinggalan sedikit di bagian tangkai yang dicekalnya. Coba Uh-bun Jui tak cepat menarik tangannya, mungkin pergelangan tangannya juga ikut hilang.

Ternyata serangan kalap Uh-bun Jui dengan tongkatnya tadi, bukannya melukai Khik-sia sebaliknya malah memberi bantuan besar kepadanya. Seperti diketahui, penyaluran lwekang Khik- sia pada saat itu sedang dalam tingkat yang genting. Kebetulan Uh-bun Jui menggebuknya, ini ia pergunakan untuk mempercepat pengaliran darahnya. Setelah bagian Cap-ji-ciong-lo dapat menyalur, tak perlu menggunakan waktu setengah jam lamanya, tenaganya dengan cepat sudah dapat pulih kembali. Memang ilmu silat itu mempunyai inti keistimewaan yang indah.

Kembali pada penuturan setelah tongkat Uh-bun Jui terpapas kutung oleh pokiam Khik-sia,

kejut Uh-bun Jui serasa terbang semangatnya. Saat itu asal Khik-sia mau menusuk lagi, jiwa Uh- bun Jui pasti melayang. Tapi tiba-tiba terdengar suara logam jatuh berkerontangan di lantai.

Kiranya golok di tangan kanan Su Tiau-ing juga kena dipapas kutung oleh pedang Ceng-ceng-ji. Saat itu hubungan Su tiau-ing dengan Khik-sia bukan lagi sebagai musuh melainkan sebagai sahabat. Si nona terancam bahaya, sudah tentu Khik-sia tak mau berpeluk tangan mengawasi saja. Dalam pada itu Khik-sia juga berpendapat bahwa Uh-bun Jui itu adalah anak murid Kay-pang.

Sebaiknya ia tak lancang melanggar hak partai Kay-pang untuk memberi hukuman.

Dengan keputusan itu, secepat kilat ia sudah meluncur ke muka Ceng-ceng-ji. Ceng-ceng-ji cepat lancarkan jurus istimewa liu-sing-kam-gwat atau bintang jatuh mengejar rembulan. Tiga

serangan sekaligus ia balingkan ke kiri untuk menusuk jalan darah peh-hay-hiat, ke kanan menusuk jalan darah hu-tho-hiat dan ke tengah menusuk jalan darah suan-ki-hiat. Tiga serangan dalam satu jurus itu, adalah jurus mematikan yang paling ia andalkan. Hebatnya bukan olah-olah.

Melihat ji-suhengnya sedemikian buasnya, marahlah Khik-sia. Ia berseru nyaring: ”Ceng-ceng- ji, karena kau begitu keras kepala hendak mengambil jiwaku, jangan sesalkan aku yang tak mau

mengakui kau sebagai saudara seperguruan lagi. Mulai saat ini, hubungan kita sebagai suheng dan sute, putus sampai di sini!”

Ia lintangkan pokiamnya untuk menutup serangan lawan. Berulang kali terdengar bunyi mendering yang memekakkan telinga.   Keduanya sama bergerak cepat. Dalam waktu Khik-sia mengucapkan kata-katanya tadi, kedua pedang mereka sudah beberapa kali saling beradu.

Pedang pendek dari emas murni Ceng-ceng-ji, sebenarnya tak kalah dengan pedang pusaka peninggalan keluarga Toan. Tapi tenaganyalah yang kalah dengan bekas sutenya itu. Dalam beberapa benturan senjata itu, kalau Khik-sia masih tak merasa apa-apa, adalah Ceng-ceng-ji yang sudah rasakan tangannya panas kesakitan. Pedangnya hampir saja terlepas.

Kini Ceng-ceng-ji tak berani adu kekerasan. Ia ganti siasat gunakan kelincahan. Mereka adalah seperguruan. Keduanya saling mengetahui kelemahan dan keunggulan masing-masing. Diam-diam Khik-sia membatin: ”Dapat kukalahkan dia, tapi pun harus melalui seratus jurus. Musuh berjumlah banyak dan aku sendirian, kalau bala bantuan mereka datang, sukarlah untukku lolos lagi.”

Seketika ia lantas gunakan jurus sin-liong-jip-hay atau naga sakti menyusup ke dalam laut. Pokiam diputar naik turun ke kanan-kiri sehingga mau tak mau Ceng-ceng-ji harus mundur. ”Maafkan, aku hendak pergi dululah!” ia lontarkan pukulan biat-gong-ciang untuk menghancurkan jendela dan terus hendak loncat keluar.

”Hai, apakah aku masih dapat tinggal di sini?!” teriak Su Tiau-ing.

Sebenarnya separuh tubuh Khik-sia sudah menyusup keluar jendela. Tapi begitu mendengar jerit keluhan si nona tadi, ia segera hentikan tubuhnya. Dengan gaetkan sebelah kakinya ke pinggir jendela, ia berpaling melongok ke belakang. Dilihatnya Su Tiau-ing pun ternyata mengikuti di belakangnya. Sedang Ceng-ceng-ji sudah tusukkan pedangnya ke pinggang gadis itu.

Bermula Khik-sia kira kalau Ceng-ceng-ji tentu tak berani membunuh Su Tiau-ing. Tapi apa yang dilihatnya  itu, ternyata berlainan. Ceng-ceng-ji benar-benar tak mau kasih ampun lagi.

Terkilas dalam pikiran Khik-sia: ”Ya, benarlah, seorang lelaki harus menarik garis tajam antara budi dan dendam. Gadis ini meskipun belum tentu seorang baik, tapi ia telah melepas budi menolong jiwaku. Masakan aku takkan mempedulikannya.”

Persatuan gerak tubuh Khik-sia dengan pedangnya, telah mencapai suatu tingkat yang dapat digerakkan menurut sekehendak hatinya. Setelah sebelah kakinya dikaitkan pada ujung jendela, ia segera ayunkan tubuhnya ke muka. Tangan kirinya menusuk pada Ceng-ceng-ji. Pedang pusaka Toan Khik-sia itu lebih dari setengah meter panjangnya. Sedangkan pedang Ceng-ceng-ji hanya 9 inci, jadi pokiam Khik-sia lebih panjang hampir setengah meter. Dengan keuntungan itu, meskipun Khik-sia bergelantungan pada jendela, namun berhasil juga ia menghalangi Ceng-ceng-ji. Tapi kerugiannya karena bergelantungan itu, tenaganya kalah dengan Ceng-ceng-ji. Begitu kedua pedang berbenturan, tergetarlah tubuh Khik-sia hampir mau jatuh. Tapi dengan cepat ia lengkungkan tubuhnya ke bawah untuk menyambar Su Tiau-ing terus dibawa loncat keluar.

Gerakan Khik-sia itu termasuk ilmu gin-kang yang hebat.

Sebenarnya sudah dari tadi, barisan bu-su (pengawal) Su Tiau-gi datang dalam jumlah besar. Tapi karena mereka tak mendapat perintah Su Tiau-gi, apalagi karena di dalam sudah ada Ceng- ceng-ji, mereka anggap belum perlu turun tangan. Mereka tidak masuk ke dalam kamar Su Tiau- ing dan hanya menunggu di luar saja.

Saat itu demi Khik-sia lolos keluar dan Su Tiau-gi pun sudah memberi perintah untuk membunuh, maka menyerbulah mereka. Ketika Khik-sia masih melayang di udara, puluhan tombak dan pedang serentak sudah menyambutnya. Khik-sia berseru keras sembari mainkan

pedangnya dalam jurus ya-can-pat-hong atau malam menyerang 8 penjuru. Tring, tring, terdengar suara mendering susul menyusul. Sembari melayang turun, Khik-sia sudah memapasi kutung senjata kawanan busu itu.

Kala itu Ceng-ceng-ji pun sudah mengejar loncat dari jendela.  Melihat itu Khik-sia segera berikan pokiamnya kepada Su Tiau-ing. ”Nona Su, ambillah pedangku ini! Kau buka jalan keluar dan biarlah aku yang menahan mereka.”

Su Tiau-ing menerima pokiam itu dengan rasa kejut-kejut girang. Benar juga dalam lain kejap

saja, Ceng-ceng-ji sudah menyerang dengan pedangnya. Begitu merasa belakang kepalanaya ada angin menyambar, tiba-tiba Khik-sia balikkan tangannya dan gunakan sebuah jari untuk menutuk telapak tangan Ceng-ceng-ji. Kejut Ceng-ceng-ji tak terkira, pikirnya: ”Suhu ternyata berat sebelah. Tutukan jari kiu-kiong-sin-ci itu, dahulu suhu tak mau mengajarkan padaku. Tetapi telah memberikan kepada anak itu.”

Di tengah telapak tangan terdapat sebuah jalan darah yang disebut lau-kiong-hiat, merupakan salah satu bagian yang mematikan orang. Saking gugupnya, Cng-ceng-ji cepat-cepat ganti gerakannya. Pedangnya dibabatkan kesamping tubuh Khik-sia untuk menusuk bagian bawah iga Khik-sia. Tapi saat itu Khik-sia sudah mendapat kesempatan untuk putar tubuh menghadapi lawan. Dalam pada itu ia berbareng hantamkan kedua tangannya. Yang satu untuk menghantam pedang Ceng-ceng-ji, yang satunya untuk memukul lutut Ceng-ceng-ji. Pukulan yang dilancarkan secara tiba-tiba dan pada jarak begitu dekat, membuat Ceng-ceng-ji tak sempat menghindar lagi. Ia terpelanting jatuh pedangnyapun mencelat ke udara. Khik-sia sambar tubuh bu-su itu. Sementara dalam detik-detik itu juga Khik-sia sudah menyingkir ke samping.

Melihat Khik-sia dan Ceng-ceng-ji bertempur begitu seru, kawanan bu-su itu berteriak-teriak

sembari berpencaran ke empat penjuru. Tak berani lagi rupanya mereka hendak mengganggu Khik- sia.

Khik-sia hanya dengan tangan kosong. Ceng-ceng-ji gunakan pedang. Untuk itu Khik-sia hanya andalkan kelincahan dan ilmu tutukan jari sakti kiu-kiong-ci-hwat. Mereka bertempur dengan rapat. Sembari melawan, Khik-sia terus main mundur.

Su Tiau-ing yang mencekal pedang pusaka, kini mendadak garang. Kini kawanan bu-su yang biasanya amat garang, saat itupun tak berani menghalangi Su Tiau-ing. Tengah Su Tiau-ing kegirangan, sekonyong-konyong ada sebatang tombak meluncur ke arahnya. Ia cepat tabaskan pokiam, tring, sinar api terpercik dan batang tombak itu tergurat melowek, tapi tidak putus.

Sebaliknya Su Tiau-ing merasa tangannya sakit kesemutan sekali hingga hampir tak kuat mencekal pedangnya lagi.

Berpaling ke belakang ia melihat seorang bertubuh tinggi besar (tingginya sampai 2 meteran), mukanya hitam seperti pantat kuali, matanya besar rambutnya bertancap bunga. Dari dandanannya yang aneh itu, ia benar-benar menyerupai Hek-sat-sin atau Malaikat Maut Hitam.   Orang itulah yang menghadang Su Tiau-ing sembari ketawa meringis. Su Tiau-ing terkejut dan diam-diam mengeluh.

Kiranya orang itu adalah putera dari raja pribumi suku Ki namanya Chomulun. Sejak Su Tiau-

gi tiba di daerah situ, Chomulun itu mengandung maksud tak baik terhadap Su Tiau-ing. Acapkali

ia mengikuti nona itu. Su Tiau-ing benci kepadanya, tapi karena hendak menggunakan tenaga ayah dan anak itu, terpaksa ia kekang kemarahannya.

Chomulun memiliki tenaga pembawaan yang kuat sekali. Dengan tangan kosong ia dapat memukul mati harimau. Tombaknya itu beratnya 72 kati. Dimainkannya kekuatannya sama dengan puluhan orang. Tusukannya tadi hanya menggunakan 2-3 bagian tenaganya saja, coba tidak, Su Tiau-ing tentu sudah hancur.

”Yan Khan (raja Yan), adikmu itu cantik benar, sayang kalau dibunuh, lebih baik kasih aku saja,” serunya kepada Su Tiau-gi.

”Bunuh dulu bangsat itu, baru nanti kuserahkan ia padamu,” sahut Su Tiau-gi. ”Apanya yang sukar?” teriak pangeran itu.

Ia terus angkat tombaknya hendak menyerang Khik-sia, tapi kuatir Su Tiau-ing akan merat lolos, ia lantas bersuara: ”Hai, buanglah pokiammu itu dan ikut aku saja! Engkohmu sudah meluluskan.”

Tak mampu memapas kutung tombak si 'raksasa' dan tak dapat menerobos hadangannya, Su

Tiau-ing tak dapat berbuat apa-apa. Dalam keadaan berbahaya, timbul akalnya. Pura-pura ia lantas tertawa kepada Chomulun.

Girang si raksasa bukan main, serunya: ”Orang cantik, apakah kau meluluskan?”

Sahut Su Tiau-ing: ”Yang kupuja adalah kaum pahlawan gagah perkasa. Asal kau dapat menangkan dia (ia menunjuk Khik-sia), mau aku menikah padamu.”

”Benarkah? Kau tak lari?” Chomulun menegas.

”Tak nanti aku melarikan diri. Tapi kau harus bertanding satu lawan satu. Jika menang, barulah kuanggap gagah perkasa,” seru Su Tiau-ing.

Si raksasa ngangakan mulutnya yang besar dan tertawa: ”Sudah tentu begitu, mengapa aku harus minta bantuan orang?”

”Dan masih ada sebuah lagi. Kau harus halau monyet tua itu. Jika monyet tua itu sampai melukai aku, bagaimana nanti?”

Chomulun berseru keras: ”Kau adalah orangku. Siapa yang berani mengganggu selembar rambutmu saja, tentu akan kubunuhnya.”

Dengan mainkan tombak besinya, benar juga Chomulun lantas menghampiri Khik-sia.

Teriaknya dengan suara menggeledek: ”Hai, monyet tua, menyingkirlah. Biar kutempur budak ini.” Yang disebut-sebut 'monyet tua' itu adalah Ceng-ceng-ji. Sudah tentu Ceng-ceng-ji tak terima dihina begitu. Sahutnya dengan tertawa mengejek: ”Siau-ong-ya, jangan termakan tipunya (Su Tiau-ing). Budak itu lihay sekali.”

Chomulun menganggap dirinya itu tiada yang melawan di dunia ini. Mendengar ejekan Ceng- ceng-ji, marahnya bukan main: ”Bagaimana lihaynya? Apakah lebih lihay dari singa? Apakah lebih buas dari harimau? Kau sendirilah yang tak berguna, tak mampu mengalahkan lalu memuji- mujinya setinggi langit!”

Saking marahnya ubun-ubun kepala Ceng-ceng-ji sampai keluar asap. Sebenarnya, ia tak mau menyingkir, tapi demi hasil pertempurannya dengan Khik-sia tadi berimbang saja jika Chomulun si raksasa limbung itu benar-benar akan menombaknya, tentu akan berbahaya sekali. Akhirnya terpaksa ia kendalikan kemarahannya dan tertawa dingin: ”Bagus, kau benar-benar tak tahu gelagat. Karena kau hendak maju mengantarkan jiwa, silahkan majulah!”

Chomulun membentak keras: ”Monyet tua, kau berani menghina aku? Tunggulah setelah kuselesaikan budah ini tentu kubikin perhitungan padamu!”

Ceng-ceng-ji tertawa mengejek dan mengundurkan diri. Maju dua langkah, Chomulun lantas putar tombaknya sehingga menerbitkan lingkaran sinar. Serunya kepada Khik-sia: ”Kau minta senjata apa, biar kusuruh orang mengambilkan agar kau jangan mati penasaran.”

Ia yakin tentu dapat menang. Sengaja ia pamerkan kegagahannya di hadapan Su Tiau-ing. Menandaskan bahwa ia tak mau membunuh orang yang tak bersenjata.

Khik-sia tak ada waktu untuk meladeni orang limbung itu. Berbareng mulutnya berseru: ”Aku minta tombakmu ini, lepaslah!” -- Tangannyapun sudah secepat kilat menyambar ujung tombak orang.

”Hai, budak ini kuat sekali!” teriak Chomulun dengan kaget.  Ia gunakan kedua tangannya untuk memegang kencang-kencang tangkai tombaknya. Khik-sia menariknya, tapi tak berhasil merebut dari tangan raksasa itu.

”Kau tak mau melepaskan? Hm, kau sendiri yang minta sakit!” teriak Khik-sia yang lantas hantamkan tangan kirinya ke arah batang tombak. Tar, seperti bunyi halilintar menyambar memecahkan telinga, seketika Chomulun rasakan seperti ada arus tenaga menyalur lewat batang tombaknya terus menghantam ke dadanya. Darahnya serasa bergolak dan gedebuk ia jatuh

terbalik dengan kaki di atas. Sudah tentu tombaknya beralih ke tangan Khik-sia.

Kiranya Khik-sia telah gunakan pukulan lwekang kek-but-coan-kang. Ia salurkan lwekang

melalui batang tombak terus menghantam tubuh lawan. Betapapun kuatnya tenaga Chomulun itu, tapi mana ia kuat menahan gelombang lwekang yang memancar sedemikian kuatnya?

Sekonyong-konyong terdengar dua kali deru angin menyambar dari kanan-kiri Khik-sia. Ceng- ceng-ji dan Ma tianglo dari partai Kay-pang telah serempak menyerang Khik-sia. Selagi Khik-sia merebut tombak dan belum sempat menggunakannya, terus diserangnya saja. Memang tombak itu senjata yang sukar untuk digunakan bertempur secara rapat. Tapi ilmu ginkang Khik-sia itu sudah mencapai tingkat yang sedemikian rupa. Begitu merasa ada angin menyambar dari belakang, ia cepat lemparkan tombaknya ke udara, kemudian ia enjot tubuhnya untuk melambung. Sambil menyambar tombak, ia melayang turun tiga tombak jauhnya. Kini ia mempunyai jarak yang lapang dengan Ceng-ceng-ji dan Ma tianglo. Dengan tangkasnya, mulailah ia kembangkan permainan tombak.

Trang, tangan Ma tianglo terasa kesemutan karena tongkatnya kena dihantam putus oleh tombak Khik-sia. Tianglo itu lekas-lekas mundur. Seperti telah diterangkan di atas, tombak itu beratnya 72 kati. Pedang Ceng-ceng-ji pun tak mampu memapas kutung. Khik-sia mainkan tombaknya sedemikian rupa hingga ibarat percikan airpun tak dapat menerobos masuk. Dalam keadaan begini, Ceng-ceng-ji tak berdaya untuk merangseknya.

Chomulun pun membawa pengawal sejumlah 50 orang. Pengawalnya itu disebut pasukan Thing-pay-chiu atau pasukan perisai rotan. Sebenarnya saat itu mereka sudah pecah diri berjajar menjadi formasi kipas, untuk menghadang jangan sampai Su Tiau-ing lolos. Begitu Chomulun terbanting ke tanah, Su Tiau-ing lantas tertawa mengejek: ”Tuh, lihat, siau-ong-ya kalian sudah menang, aku sekarang hendak pergi.”

Anak buah pasukan Thing-pay-chiu itu masing-masing memegang golok dan perisai rotan.

Perisai itu dapat menahan bacokan senjata tajam. Benar pokiam Su Tiau-ing dapat menghancurkan perisai mereka itu, tapi jumlah mereka banyak. Satu hancur, dua maju. Dua hancur, empat maju, demikian seterusnya. Lima puluh anak buah pasukan Thing-pay-chiu itu seperti kumbang, mengepung Su Tiau-ing dari delapan penjuru. Kepungan mereka itu makin lama makin rapat.

Sulitlah bagi Su Tiau-ing untuk menerobos keluar.

Khik-sia tak mau mengorbankan banyak jiwa. Tiba-tiba ia putar tombaknya dan menggembor keras.  Ditusukkannya tombak pada sebuah tiang batu. Krek, bum pecahlah batu berhamburan

kemana-mana dan pilar batu itu telah kena tertusuk sampai berlubang. Setelah itu ia putar tombaknya sampai seperti kitiran dan berseru nyaring: ”Siapa yang menghadang tentu mati, yang menyingkir akan hidup. Coba saja kalian tanya pada diri kalian sendiri. Apakah kepala kalian itu lebih keras dari pilar batu ini?”

Kelima puluh anak buah Thing-pay-chiu itu sebenarnya bangsa jagoan yang buas dan tak takut mati. Tapi demi melihat Khik-sia menyerbu dengan tombaknya, pecahlah nyali mereka. Dengan berteriak-teriak keras, mereka sama lari tunggang langgang ke empat jurusan. Sebetulnya mereka itu bukan takut mati melainkan ketakutan melihat keperkasaan Khik-sia yang mengamuk seperti banteng ketaton itu.

Melihat tak dapat merintangi lagi, berserulah Su Tiau-gi memanggil adiknya: ”Moaymoay, apakah kau sungguh-sungguh hendak melarikan diri bersama bangsat kecil itu?”

Su Tiau-ing tertawa mengejek: ”Ho, jadi kau masih menganggap aku sebagai adik? Sejak saat ini, hubungan kita sebagai kakak-adik, putuslah.”

Saat itu dengan sudah ganti toya (tongkat) baru, Uh-bun Jui menerobos maju dan berseru: ” Nona Su, jika siang-siang tahu akan kejadian begini, mengapa dulu kita berjerih payah?” Dengan tawar Su Tiau-ing menjawab: ”Kebaikanmu, tetap kuingat. Kini aku telah mengambil ketetapan untuk tinggalkan tempat ini. Siapapun tak dapat menghalangi aku.”

Habis berkata, Su Tiau-ing lantas menabas. Uh-bun Jui berteriak, lalu ngacir pergi.

Dengan bersenjata tombak panjang yang ampuh itu, dapatlah Khik-sia dalam waktu yang

singkat membuka jalan lolos. Ia terus menerjang ke pintu besar. Su Tiau-gi perintahkan pasukan panahnya untuk mengejar dan lepaskan anak panah. Ceng-ceng-ji pun ikut memburu.

Bagaikan kawanan belalang, ribuan batang panah segera menghujani Khik-sia dan Su Tiau-ing. Tapi Khik-sia tetap putar tombaknya sedemikian gencarnya untuk melindungi Su Tiau-ing di dalam membuka jalan lari itu. Tiba-tiba di antara hujang anak panah itu tampak ada sekumpulan sinar perak bergemerlapan. Pada lain kejap sekonyong-konyong Su Tiau-ing berteriak mengaduh: ”Celaka, aku terkena senjata rahasia!”

Ceng-ceng-ji tertawa gelak-gelak. Kiranya dialah yang melepaskan jarum rahasia bwe-hoa- ciam itu. Timpukannya itu dapat mencapai jarak tiga tombak lebih. Yang lebih hebat lagi, jarum rahasia itu tak mengeluarkan suara sama sekali. Daripada panah, jarum itu jauh lebih sukar dijaganya.

Khik-sia gunakan kecekatan tangannya untuk menyambuti 19 batang anak panah. Kemudian dengan gunakan ilmu timpukan Thian-li-sam-hoa atau bidadari menabur bunga, ia timpukkan anak panah itu ke arah Ceng-ceng-ji. Karena lwekangnya tinggi, maka timpukannya itu tak kalah lihaynya dengan kekuatan busur. Ana-anak panah yang ditimpukkan itu mendengung-dengung di udara. Ceng-ceng-ji tak berani menyambutinya, buru-buru ia putar pedang untuk melindungi diri sembari menyingkir ke samping. Luput mendapat sasaran Ceng-ceng-ji, anak-anak panah itu telah mengganyang beberapa orang anggota pasukan pemanah. Pasukan pemanah itupun tak berani merangsek dekat-dekat lagi.

”Di bagian mana yang terluka?” tanya Khik-sia.

”Celaka, yang terluka pada bagian ujung kaki,” sahut Su Tiau-ing. Ia teringsut-ingsut, larinya susah sekali. Sejenak Khik-sia kerutkan alis, terus memimpinnya diajak berlari.

Tiba-tiba di muka kembali ada sepasukan berkuda menyerbu datang.

”Ong ciangkun, apakah kau hendak membikin susah aku?” Su Tiau-ing menegur opsir pemimpin barisan itu.

”Ah, aku tak berani mengganggu kongcu.  Harap kongcu menyingkir, aku hanya akan membunuh maling kecil itu,” sahut opsir itu. Dan pada waktu ia berkata itu, dengan menunggang kuda yang tegar, ia sudah menerjang Khik-sia dengan tombaknya.

Ciangkun atau jenderal orang she Ong itu, mahir dalam ilmu permainan pat-coa-un (tombak delapan ular). Di antara orang sebawahan Su Tiau-gi, ia termasuk opsir yang gagah perkasa. Tapi apa lacur, berhadapan dengan Khik-sia, benar-benar ia ketemu dengan batunya.

”Bagus!” seru Khik-sia sembari tusukkan tombaknya. Tusukan itu berhasil dapat menyengkelit jatuh opsir itu. Kuda opsir itu sudah banyak kali dipakai dalam pertempuran. Tuannya jatuh, binatang itu tetap menyerbu ke muka untuk meloloskan diri. Tapi dengan tangkas, Khik-sia cepat

menguasainya. Karena Su Tiau-ing terluka dan waktunya sudah kelewat mendesak, apa boleh buat, Khik-sia segera boncengkan nona itu di atas kuda.

Pasukan berkuda itu datangnya seperti air bah. Khik-sia menghadapi mereka dengan sebuah taktik. Ia tak mau mengarah penunggang, tetapi mengincar kuda tunggangannya. Dalam beberapa kejap saja, ia sudah berhasil melukai belasan ekor kuda. Karena terluka, kuda itu menjadi binal dan lari mencongklang keras. Kepanikan mereka itu telah menyebabkan pasukan kawannya yang berada di belakang, menjadi terhalang. Su Tiau-ing dengan sebelah tangannya lagi memutar pokiam untuk melindungi anak muda itu dari serangan anak panah dari kedua jurusan (kanan kirinya).

Tiba-tiba dari kalangan anak buah pasukan berkuda itu timbul hiruk pikuk yang menggemparkan. Ketika Khik-sia berpaling, dilihatnya ada asap api mengepul ke atas. Khik-sia

girang-girang terkejut, pikirnya: ”Cepat sekali datangnya api itu bagiku. Tapi entah siapakah yang diam-diam membantu aku itu?”

Pertama, karena pasukan berkuda pasukan pemanah itu sudah gentar melihat kegagahan Khik- sia. Kedua kalinya, mereka kaget menampak di markas besarnya timbul bahaya kebakaran. Tanpa banyak pikir lagi, mereka tinggalkan pengejarannya kepada Khik-sia, terus memburu ke arah kebakaran.

Kini lepaslah Khik-sia dari kepungan. Ia congklangkan kudanya pesat-pesat.  Ada belasan anak buah Su Tiau-gi yang masih berusaha untuk mengejarnya, tapi mereka itu dapat dihalau taburan anak panah Khik-sia. Yang masih mengejar, kini tinggal Ceng-ceng-ji seorang. Sebenarnya dengan gingkang yang dipunyai itu dalam batas jarak 10 li, dapatlah Ceng-ceng-ji menyandak larinya kuda. Tapi karena ia hanya sendirian saja, nyalinya menjadi kecil juga. Setelah kejar beberapa saat, waktu mengetahui belakang tiada seorang kawan lagi timbullah kekuatiran Ceng-cneg-ji, kalau-kalau

Khik-sia akan balik dan menyerangnya. Terpaksa iapun putar langkahnya dan lari balik.

Selolosnya Khik-sia dari bahaya itu, diam-diam ia malah mengeluh dalam hati: ”Kalau nona ini

tak terluka, itulah mudah. Aku bisa berpisah dengannya. Tak memperdulikan lagi, sebenarnya juga tak mengapa. Tapi sekarang ia terluka. Karena membela diriku, ia sampai putuskan hubungannya dengan engkohnya. Bagaimana aku tega tak menghiraukannya lagi?”

Waktu masih bertempur tadi, Su Tiau-ing tak merasa kesakitan. Tapi kini setelah lolos dari bahaya, ia mulai mengerang kesakitan. Dan untuk melonggarkan nyeri sakitnya itu, ia peluk pinggang si anak muda erat-erat.

Khik-sia kerutkan alis dan menanyainya: ”Bagaimana, apakah kau merasa sakit sekali?” ”Kumerasa jarum itu seperti bergerak-gerak ke atas, makin lama makin menyusup lebih dalam,” jawab Su Tiau-ing.

Khik-sia terkesiap kaget. Memang ia tahu bagaimana kepandaian bekas ji-suhengnya itu. Pikirnya: ”Jika tak dicabut, dalam tujuh hari jarum itu tentu dapat menyerang ke jantung. Pada waktu itu, tiada obatnya lagi. Sekalipun tidak kena jantung dan hanya menyusup ke dalam jalan darah saja, juga akan menyebabkan invalid. ”Ah, tak nyana Ceng-ceng-ji itu sedemikian ganasnya. Terhadap nona Su, ia juga gunakan jarum rahasia.”

Penderitaan Su Tiau-ing makin menyebabkan Khik-sia tak dapat meninggalkannya. Katanya: ”Kau tahan dulu sebentar, biar kucari tempat untuk mengobati lukamu itu.”

Ia lari sampai 20-an li, mendaki sebuah gunung. Di situ ia berhenti dan bantu Su Tiau-ing turun dari kuda. Mereka masuk ke dalam sebuah hutan.

”Maaf, aku telah membikin capek kau,” kata Su Tiau-ing.

”Kau telah menolong aku, seharusnya aku membalas menolongmu. Aku tak berterima kasih kepadamu dan kaupun tak usah berterima kasih kepadaku,” jawab Khik-sia.

Su Tiau-ing tertawa: ”Kiranya kau berniat hendak tinggalkan aku, maka sekarang kau berusaha untuk mengobati lukaku. Jangan takut, sekalipun nanti aku tak punya sandaran siapa-siapa lagi, tapi tak nanti aku membayangi kau.  Apalagi kau punya ginkang yang hebat. Setiap waktu kau tinggalkan aku, masakan aku dapat mengejarmu lagi.”

Khik-sia termekmek dengan kata-kata si nona yang membuka isi hatinya itu. Merahlah

wajahnya. Sampai sekian lama baru dapat berkata lagi: ”Aku bukan bermaksud begitu. Seorang lelaki harus dapat membedakan budi dan dendam. Aku tak suka menerima budi kebaikan orang.” Su Tiau-ing menjawab dengan sungguh-sungguh: ”Mana aku telah melepas budi padamu? Adalah karena kau tidak baik, maka sampai hampir mencelakai dirimu. Kuberimu obat penawar,

itu sudah selayaknya. Cukup asal kau tak membenci aku lagi, aku sudah merasa berterima kasih tak terhingga.”

Khik-sia putuskan pembicaraan: ”Perkara lama, janganlah diungkat lagi. Sekarang, harap kau duduk bersandar pada pohon ini. Kau merasa jarum itu menyusup ke bagian mana?”

Su Tiau-ing julurkan kaki kanannya: ”Sepertinya menyusup sampai di betis, di sebelah jalan darah sam-kwat-hiat.”

Khik-sia bersangsi sebentar lalu berkata: ”Nona, maafkan kekurangajaranku.” -- Tiba-tiba ia pegang ujung kaki Su Tiau-ing, terus melepaskan sepatunya.

”Akan kuambil jarum di kakimu itu,” sahut Khik-sia.

Su Tiau-ing menghela napas lalu tertawa cekikikan: ”Ai, kau ini memang ... Omong saja tak jelas. Kalau tadi-tadi mengatakan begitu kan aku tak sampai kaget dan tak perlu kau menyebut- nyebut soal kurang ajar atau tidak.”

”Kau tahankan, ya, sakitnya! Hendak kucabut keluar jarum itu.” kata Khik-sia.

Ia menutuk jalan darah sam-kwat-hiat di betis si nona, kemudian mencekal kencang ujung

kakinya. Diam-diam ia kerahkan lwekangnya. Serangkum arus lwekang menyalur dan mendorong jarum itu keluar. Begitu ujung jarum menonjol, terus dipijat Khik-sia. Saking sakitnya Su Tiau-ing sampai mandi keringat dan tubuhnyapun gemetar. Tanpa terasa, karena menahan kesakitan itu, Su Tiau-ing menyandar pada tubuh Khik-sia. Ketika melirik, didapatinya kedua belah pipi Khik-sia merah padam, napasnya memburu.

Memang sebesar itu, belum pernah Khik-sia berjajar rapat dengan seorang gadis. Meskipun saat itu untuk keperluan pengobatan, namun karena menyentuh kaki seorang gadis yang harum

baunya, mau tak mau jantung Khik-sia berdebur keras. Sebaliknya Su Tiau-ing diam-diam merasa geli: ”Kiranya anak muda ini lebih pemaluan dari aku.”

Dalam derita kesakitannya itu, Su Tiau-ing merasa bahagia. Bahkan ia malah mengharap kesakitannya itu bisa panjang waktunya. Dengan lwekang yang lihay, dalam sekejap saja dapatlah Khik-sia menekan jarum itu turun ke telapak kaki Su Tiau-ing. Begitu ujungnya menonjol keluar, Khik-sia gunakan dua buah jari untuk menariknya.

”Aduh!” Su Tiau-ing menjerit kesakitan. Tapi jarum itu sudah dapat dikeluarkan Khik-sia.

Setelah itu Khik-sia lalu melumuri obat. Su Tiau-ing bersandar pada pohon dengan napas tersengal- sengal, sedangkan Khik-sia juga mandi keringat. Kala itu hari sudah gelap. Di celah gunung sang dewi malam sudah mulai mengintip.

”Aduh, mengapa tenagaku tak ada sama sekali. Kau bagaimana, apa sekarang mau pergi?” seru Su Tiau-ing.

”Beristirahatlah dulu di sini sebentar. Aku hendak mencari makanan. Lukamu sudah sembuh. Tenagamu lemas, karena kau tentu lapar,” kata Khik-sia. Ia sendiri hanya makan semangkuk bubur pagi tadi. Dalam pertempuran tadi ia sudah gunakan tenaga tak sedikit. Kemudian mencabut jarum di kaki Su Tiau-ing, ini membuatnya merasa lapar juga.

Benar di hutan situ banyak binatangnya, tapi di waktu malam hari sukarlah untuk mencarinya. Apalagi Khik-sia tak punya pengalaman berburu. Dengan susah payah, akhirnya ia hanya dapat menangkap dua ekor kelinci hutan saja.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar