Tusuk Kundai Pusaka Jilid 05

 
Jilid 05

Melihat itu, si pemuda pelajar mengerut kening, pikirnya: ”Anak muda itu memiliki ilmu pedang yang bermutu tinggi, sayang ia masih belum sempurna latihannya, jadi tak mampu menggunakan dengan selayaknya.”

Ia ambil putusan menolongnya lagi. Cepat ia lancarkan tiga kali serangan. Setelah Cin-gi dapat didesak dengan menggelap. Lebih dulu ia berseru supaya Hau Pheng siap menerima serangannya. Tapi hal itu cukup membuat Hau Pheng terkejut setengah mati. Buru-buru ia kebaskan goloknya yang di bawah itu untuk membacok si pemuda. Tapi lagi-lagi pemuda pelajar itu unjukkan kepandaian yang mengagumkan. Ia songsong golok Hau Pheng itu dengan kipasnya. ”Crek,” begitu berbentur, golok itu seperti melekat saja pada kipas. Dan begitu si pemuda pelajar memutar- mutar kipasnya, mau tak mau Hau Pheng dipaksa harus melepaskan goloknya.

”Lo Hau, aku tak mau emasmu lagi, kaupakai sendiri sajalah!” tiba-tiba kedengaran Hong Cin- gi berseru.   Kiranya ia dapat mengenal gelagat. Demi mengetahui pemuda pelajar itu kelewat tangguh. Begitu ada kesempatan ia lantas angkat kaki panjang alias kabur.

Hau Pheng serasa terbang semangatnya. Karena semangatnya hilang, nyalinyapun pecah.

Sudah tentu ia tak dapat menahan pedang Yak-bwe lagi. ”Trang,” goloknya pun segera jatuh karena didorong Yak-bwe.

”No, no ....,” demikian sebenarnya ia hendak meratap, ”Nona, ampunilah jiwaku”. Tapi baru mulutnya berseru “No ….”, ujung pedang Yak-bwe sudah bersarang ke ulu hatinya hingga tembus ke punggung. Teriakan “No” itu sudah tentu tidak terdengar jelas artinya sehingga si pemuda pelajarpun hanya menganggapnya sebagai teriakan orang yang sudah hampir mati. Setitikpun tidak terkilas dalam pikiran pemuda itu bahwa kata ’no’ itu sebenarnya potongan dari kata ’nona’.

Yak-bwe haturkan terima kasih kepada pemuda pelajar itu.

”Aku mempunyai she dobel ‘Tok-ko’ dengan nama tunggal U. Dan siapakah nama saudara yang mulia ini? Mengapa bermusuhan dengan kedua bangsat itu?” kata pelajar itu.

Sembarangan saja Yak-bwe memakai sebuah nama samaran, ujarnya: “Aku sendiripun tak mengetahui mengapa mereka memusuhi padaku. Mungkin karena hendak merampas harta bendaku.”

“Apakah Su-heng tak pernah berkelana di dunia Kangouw? Apakah Su-heng membawa sebuah benda pusaka?” tanya Tok-ko U pula.

Orang bertanya dengan tiada maksud tertentu, sebaliknya Yak-bwe malah tertegun. Pikirnya: ”Hm, apakah pemuda ini juga hendak menyelidiki diriku?”

Tapi ia dapatkan sikap pemuda itu amat sopan, sedikitpun tak ada tanda-tanda seorang penjahat. Karena kurang pengalaman, maka menyahutlah Yak-bwe dengan sejujurnya: ”Aku hanya membawa segenggam kim-tau saja. Ini, semua berada di sini.”

Dengan ucapan itu terang Yak-bwe mengira kalau pemuda pelajar itu hendak minta upah. Tapi karena melihat pemuda itu tampaknya bukan orang sembarangan, ia kuatir jangan-jangan dugaannya itu meleset, salah-salah bisa ditertawai orang. Lebih berbahaya lagi jika orang sampai menganggap perbuatannya itu (memberi persen) tak ubah seperti tingkah laku kaum wanita. Maka akhirnya ia menemukan akal. Diambilnya keluar emasnya, tapi tak mau ia mengatakan apa-apa. Ia hendak menunggu sampai orang membuka mulut dulu.

Sudah tentu rencana Yak-bwe itu gagal, karena si pemuda pelajar itu sama sekali bukan macam orang seperti yang diduga Yak-bwe. Tampak pemuda itu tertawa kecil, ujarnya: ”Ha, kalau begitu, kedua penjahat tadi sudah salah mata!”

”Apa?” seru Yak-bwe dengan terkesiap.

”Mungkin Su-heng tak tahu akan asal-usul kedua penjahat itu. Kemarin waktu baru tiba di

rumah penginapan, memang aku sendiri belum mengetahui. Sekarang baru kuketahui. Apakah tadi kau tak memperhatikan bagaimana mereka saling menyebut ’Hau-toako’ dan ’Hong-toako’? Coba kau pikirkan, penjahat-penjahat she Hau dan she Hong yang terkenal ganas di dunia Lok-lim, siapa lagi kalau bukan mereka?” kata pemuda itu.

Wajah Yak-bwe bersemu merah. Sahutnya: ”Ya, terus terang saja, aku baru pertama kali ini mengembara keluar. Bagaimana seluk-beluk urusan Lok-lim sedikitpun aku tak tahu. Harap saudara suka memberi petunjuk-petunjuk.”

Kata Tok-ko U: ”Kedua penjahat tadi, kupastikan sembilan puluh sembilan persen tentulah Hau Pheng dan Hong Cin-gi!”

”Siapakah sebenarnya mereka itu?” tanya Yak-bwe.

”Hau Pheng adalah penjahat yang termasyhur tukang petik bunga, sedang Hong Cin-gi adalah seorang benggolan perampok yang bekerja seorang diri. Di kalangan Lok-lim, kepandaian mereka berdua itu juga termasuk golongan kelas satu. Selain gemar merampas wanita-wanita muda yang cantik, Hau Pheng itupun juga suka merampas harta benda. Tapi ia selalu memilih, jika bukan ’dagangan besar’, ia tak mau turun tangan. Hong Cin-gi lebih-lebih lagi. Ia selalu mengincar pada kaum hartawan besar. Terhadap yang hanya punya belasan tahil emas saja, ia tak memandang sebelah mata.”

Berkata sampai di sini, pemuda pelajar itu berhenti sejenak. Kemudian, dengan tersenyum ia melanjutkan pula berkata: ”Harap Su-heng simpan lagi kim-tau itu.  Memang kim-tau Su-heng itu tidak sedikit jumlahnya, tapi paling banyak hanya berjumlah sepuluh sampai dua puluh tahil emas, bukan? Maka tadi telah kukatakan bahwa kedua penjahat itu sudah salah mata. Sekalipun begitu, ada baiknya juga selanjutnya Su-heng berhati-hati sedikit. Emas dan uang jangan sampai diperlihatkan orang agar jangan menimbulkan akibat-akibat yang tak menyenangkan. Misalnya, tindakan Su-heng yang begitu royal semalam itu, tak mengherankan kalau dapat menarik perhatian kedua penjahat itu. Kukira mereka tentu menduga bahwa Su-heng masih mempunyai barang- barang berharga lainnya. Ha, ha, akhirnya yang satu mati dan yang lain terluka. Sudah sepantasnya mereka mendapat ganjaran itu.”

Mengetahui bahwa Hau Pheng itu seorang penjahat tukang ’petik bunga’, wajah Yak-bwe makin merah. Ditendangnya pula mayat Hau Pheng itu, serunya dengan geram: ”Kiranya seorang penjahat jahanam. Aku kepingin menusukmu lagi!”

”Dengan membunuh penjahat itu, berarti Su-heng telah melenyapkan sebuah bisul dalam dunia kangouw, sungguh pantas diberi selamat,” puji Tok-ko U. Ia masih mengira bahwa Yak-bwe itu seorang ’pemuda’ yang benci akan kejahatan. Sedikitpun ia tak mimpi bahwa ’pemuda’ di hadapannya itu ternyata seorang nona.

”Ah, kesemuanya tadi berkat bantuan saudara, masakan aku berhak mengangkangi pahala,” sahut Yak-bwe merendah.

Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan bertanyalah: ”Semalam ada orang bersembunyi di atas pohon halaman hotel, kemudian ada lain orang yang menghalaunya pergi dengan timpukan batu. Apakah itu perbuatan saudara sendiri?”

Tok-ko U tertawa: ”Benar, memang aku. Yang bersembunyi di atas pohon itu ialah Hau Pheng ini.”

Tiba-tiba kuda Yak-bwe meringkik kesakitan. Tok-ko U melirik dan mengerut heran. ”Su- heng, kudamu telah ’dikerjai’ orang.”

”Oh, makanya ia tak mau jalan, kukira binatang ini sakit. Tapi entah bagian apanya yang terluka?” tanya Yak-bwe.

Tok-ko U menyatakan hendak memeriksanya. Kaki depan binatang itu terangkat ke atas, tak berani ditapakkan di tanah. Setelah melihat sebentar, berkatalah Tok-ko U: ”Benarlah, dia terkena jarum bwe-hoa-ciam.”

Dikeluarkanlah sebuah batu semberani, lalu ditepuknya kuda itu pelahan-lahan: ”Jangan takut, nanti kuobati lukamu. Su-heng, tolong kau pegangi dia dan pinjamkan pedangmu.”

Dengan ujung pedang Tok-ko U menyukil sedikit daging kaki binatang itu yang sudah busuk, kemudian ditempeli dengan batu semberani tadi. Benar juga dari dua buah kuku kaki kuda itu keluar sebatang jarum perak yang berkilat-kilat. Habis itu lalu dilumuri dengan obat. ”Selesailah. Kuda ini amat tegar, setelah beristirahat sebentar tentu sudah bisa jalan lagi.

Hanya saja belum dapat berlari cepat, mungkin besok pagi baru dapat sembuh seperti sedia kala,” katanya.

Girang Yak-bwe bukan kepalang. Kembali ia haturkan terima kasih.  Diam-diam ia membatin: ”Ah, orang ini amat baik sekali. Tapi entah dari golongan apa? Usianya lebih tua sedikit dari aku, tapi segala apa ia tahu dan membekal macam-macam obat.”

”Sudah jamak bagi kaum kelana itu untuk saling tolong. Sedikit bantuanku yang tak berarti itu mana berharga untuk menerima ucapan terima kasih Su-heng? Sebaliknya aku malah merasa menyesal,” kata Tok-ko U.

”Menyesal apa?” tanya Yak-bwe.

“Ah, tak perlu bertanya tentu juga sudah mengerti sendiri. Ya, apa lagi kalau bukan tentang perbuatan si Hau Pheng itu. Semalam sudah kuketahui bahwa dia mengandung maksud jelek terhadap Su-heng dan untuk itu aku hanya mengawasi gerak-geriknya saja, sama sekali tak menduga bahwa mereka bakal mencelakai kudamu juga. Bukankah ini pantas disesalkan?” ”Ah, memang tipu muslihat orang di dunia persilatan itu sukar diduga,” Yak-bwe coba menghiburnya.

Kalau Yak-bwe mempunyai rasa curiga terhadap diri Tok-ko U, pun pemuda pelajar itu juga mempunyai rasa demikian terhadap Yak-bwe. Selesai mengobati kuda, bertanyalah pemuda itu: ”Rupanya kuda ini sejenis kuda dari luar daerah, benarkah?”

”Mungkin,” sahut Yak-bwe, ”Karena aku sendiri bukan seorang ahli kuda.”

”Dimanakah Su-heng membelinya? Kuda sejenis ini, jarang terdapat di daerah Tiong-goan sini,” kata Tok-ko U.

”Pemberian seorang sahabat,” sahut Yak-bwe dengan agak gelagapan. Karena tak biasa berbohong, jadi kata-kata Yak-bwe itu tidak wajar.

Pikir Tok-ko U: ”Ah, seorang yang rela menyerahkan seekor kuda macam begini, tentu sorang sahabat yang karib sekali. Seharusnya orang itu menceritakan juga tentang asal-usul dan keistimewaan binatang ini. Aneh, mengapa jenis kuda yang berasal dari luar daerah saja, ia tak tahu.”

Tapi karena baru berkenalan, jadi Tok-ko U tak leluasa untuk bertanya dengan melilit. Hanya dalam hati saja ia tetap mempunyai rasa curiga. Dia sudah banyak pengalaman dalam dunia Kangouw, sepintas pandang tahulah bahwa Yak-bwe itu masih hijau, sekali-kali bukan pemuda jahat.

”Menilik bagaimana tadi ia serta merta mengeluarkan bekal kim-taunya, hal ini membuktikan bahwa dia seorang pemuda jujur. Jika ia tak mau menceritakan urusannya, mengapa aku harus mendesaknya?” akhirnya Tok-ko U tiba pada kesimpulan begitu.

”Terima kasih atas budi bantuan saudara, kelak aku tentu membalasnya,” kata Yak-bwe sembari memberi hormat perpisahan.

”Su-heng hendak menuju kemana?” tanya Tok-ko U. ”Aku, aku tak mempunyai tujuan tetap,” sahut Yak-bwe.

”Apakah Su-heng mempunyai urusan penting?” tanya pemuda itu pula.

”Juga tidak,” jawab Yak-bwe.

”Jika begitu, pondokku tak berapa jauh dari sini, dengan berkuda kira-kira hanya makan waktu setengah hari saja. Entah apakah Su-heng sudi memberi muka padaku untuk menjamu Su-heng selama beberapa hari saja?”

Yak-bwe terkesiap.  Sahutnya dengan terputus-putus, ”Ini, ini maaf aku tak dapat menerima budi kehormatan saudara, namun aku berterima kasih sekali.”

”Apakah Su-heng menganggap aku keliwat lancang?” tanya Tok-ko U dengan kurang senang. ”Bukan, bukan! Tadi aku lupa bahwa aku masih mempunyai sedikit urusan lain. Ya, meskipun bukan urusan penting, tapi harus kulakukan juga. Budi kebaikan Tok-ko-heng tadi, lain hari tentu kubalas. Harap sudi memaafkan, aku terpaksa tak dapat lama-lama menemani Tok-ko-heng,” kata Yak-bwe.

Melihat tingkah orang yang kikuk-kikuk itu, tahulah Tok-ko U bahwa Yak-bwe menolak undangannya. Sudah tentu ia merasa kurang puas, pikirnya: ”Ah, orang ini aneh sekali perangainya. Setempo terus terang tanpa tedeng aling-aling, setempo kemalu-maluan seperti anak perawan.”

Memang renungan Tok-ko U itu tepat sekali. Sayang ia tak mengetahui bahwa ’pemuda’ di hadapannya itu ternyata memang seorang gadis.

”ah, karena Su-heng ada urusan lain, akupun tak berani memaksa. Ke jurusan mana Su-heng hendak mengambil jalan?” tanyanya.

”Dimanakah letak kediaman Tok-ko-heng itu?” Yak-bwe balas bertanya.

”Aku tinggal di Pek-ciok-kong sebelah timur dari kota Hun-tay-tin,” sahut Tok-ko U. ”Kalau begitu tentu mengambil jalanan yang menjurus ke timur ini?” tanya Yak-bwe.

Tok-ko U mengiakan. Baru ia hendak menanyakan apakah orang juga akan mengambil jalan yang sama, Yak-bwe sudah mendahului: ”Sungguh sayang, aku hendak menuju ke jurusan barat. Lain hari bila ada jodoh untuk bertemu lagi, tentu akan kuperlukan berkunjung ke tempat Tok-ko- heng.”

Dengan tergesa-gesa seolah-olah kuatir kalau Tok-ko U sampai menahannya lagi, ia segera memberi hormat perpisahan. Tok-ko U makin kurang senang, batinnya: ”Ah, orang ini benar-benar tak punya rasa persahabatan. Benar ia tak kenal padaku, tapi aku telah menolongnya dari kesukaran. Hm, rupanya ia tidak seperti orang kangouw, tapi anehnya kata-katanya begitu cemerlang, ilmu pedangnya bukan olah-olah dan memiliki kuda bagus dari benua barat. Ah, orang apakah ia itu, sungguh membuat orang tak mengerti!”

Makin merenung, makin besar kecurigaannya. Setelah berjalan beberapa saat, diam-diam ia memotong jalan singkat berganti arah ke sebelah barat ....

Sekarang mari kita ikuti Yak-bwe yang berjalan seorang diri menuju ke sebelah barat itu. Memangnya ia tak mempunyai arah tujuan yang tertentu. Kemanapun ia bebas lepas. Hanya karena tadi Tok-ko U mengatakan hendak mengambil jalan sebelah timur, ia lantas sengaja mengambil arah barat. Jalanan yang menjurus ke barat itu ternyata adalah sebuah jalan kecil yang menjurus ke jalan raya kota Ping-lu. Dari kota Ping-lu terus menuju ke barat, dapat tiba di kota Tiang-an.

Baru mencongklang kudanya tak berapa lama, dari belakang tiba-tiba terdengar derap kaki kuda yang riuh. Malah berbareng itu terdengar ada seseorang berteriak: ”Hai, bangsat kecil, hendak kemana kau?”

Yak-bwe marah. Ia kira tentu konco-konco Hau Pheng yang mengejarnya. Tapi alangkah kejutnya ketika ia berpaling ke belakang. Ternyata yang mengejar itu serombongan tentara Gi-lim- kun yang berjumlah tak kurang dari lima belas orang. Mereka adalah rombongan depan atau semacam perintis dari suatu pasukan Gi-lim-kun yang besar. Setiap tiba di daerah atau kabupaten, mereka minta diadakan penyambutan. Maka lebih dahulu dikirimlah sebuah regu anak buah Gi- lim-kun untuk memberi warta pada pembesar setempat agar mereka mempersiapkan penyambutan.

Adanya Yak-bwe mengambil jalan besar, adalah karena hendak menyingkir dari gangguan bangsa penyamun. Siapa tahu kini ia berpapasan dengan rombongan tentara negeri. Ini berarti lebih besar bahayanya.

Sebenarnya pakaian yang dikenakan Yak-bwe itu cukup mewah, memadai bangsa putera pembesar negeri. Hal itu takkan menimbulkan kecurigaan tentara Gi-lim-kun itu. Tetapi kuda yang dinaikinya itu adalah kuda tegar yang dipersembahkan oleh raja daerah Ceng-hay kepada kerajaan Tong. Jika bersua dengan tentara negeri biasa, tentu takkan ketahuan. Tapi celakanya Yak-bwe telah kesamplokan dengan pasukan Gi-lim-kun. Pasukan istimewa yang bertugas khusus untuk menjaga keselamatan istana, mempunyai perlengkapan yang paling sempurna dan kuda-kuda ternama dari luar daerah. Walaupun dari jauh, tapi sepintas pandang saja regu Gi-lim-kun itu sudah dapat mengenali kuda Yak-bwe.

Pemimpin regu Gi-lim-kun itu seorang opsir yang bernama An Ting-wan. Pangkatnya sebagai Hou-ya-to-wi. Di dalam hirarki (urut-urutan pangkat) tentara Gi-lim-kun, yang tertinggi adalah opsir yang berpangkat Liong-ki-to-wi, nomor dua barulah Hou-ya-to-wi. An Ting-wan adalah ko- chiu (jago kosen) nomor lima dalam Gi-lim-kun. Yang nomor satu adalah Cin Siang, lalu Ut-ti Pak (berpangkat Liong-ki-to-wi), Ut-ti Lam (berpangkat Hou-ya-wi) dan seorang Hou-ya-to-wi lain yang bernama Gong Pan. An Ting-wan adalah seorang opsir yang gagah dan mahir berperang.

Kaget sekali ketika An Ting-wan melihat kuda yang dinaiki Yak-bwe itu, serunya: ”Itu dia penjahat Kim-ke-nia yang lolos!” - Dengan acungkan tombak, ia segera pimpin anak buahnya mengejar.

Kuda An Ting-wan pesat sekali, ialah yang lebih dulu tiba. Bentaknya dengan keras: ”Bangsat bernyali besar, berani naik kuda rampasan di jalan besar? Ha, sungguh hebat! Ayo, lekas turun serahkan diri atau tidak?”

Seruan itu ditutup dengan sebuah tusukan ke ulu panggung dalam jurus 'tok-liong-jut-tong' (naga keluar dari gua). Yak-bwe balikkan pedangnya untuk menangkis. Tetapi ia tak biasa

bertempur di atas kuda, tenaganyapun kalah dengan lawan. Begitu berbenturan, tubuh Yak-bwe tergetar, hampir saja ia terjungkal dari kudanya. Dan berbareng itu terdengarlah suara menderu. Seorang anak buah Gi-lim-kun yang mahir dalam ilmu laso, setelah sejenak memutar-mutar tali terus dilontarkan ke arah Yak-bwe. Yak-bwe terjepit, ia harus pilih menyelamatkan diri atau menolong kudanya. Cret, kepala kuda itu tepat kena terlaso, keempat kakinya segera menjulai ke bawah. Berbareng itupun An Ting-wan menusuk pula.

”Jika menghendaki kuda ini, ambillah! Mengapa berlaku begini kurang ajar!” teriak Yak-bwe dengan gusar. Ujung kakinya sekali menginjak pelan, tubuhnya Yak-bwe segera melayang ke udara.

An Ting-wan memburu maju dengan sebuah tusukan. Yak-bwe berteriak dengan marahnya:

”Ayo, kaupun harus turun juga!”

Tapi belum lagi sebelah kaki Yak-bwe menginjk tanah, An Ting-wan sudah menusuk ke arah dadanya. Yak-bwe tak mau menangkis, melainkan lengkungkan pinggangnya. Begitu terhindar dari tusukan, ia membabat sebuah kaki kuda An Ting-wan. Opsir itu menggerung keras dan terpaksa loncat turun.

”Hai, mengapa kau berkeras menuduh aku seorang penjahat?” bentak Yak-bwe.

An Ting-wan tertawa dingin: ”Kalau bukan penjahat, dari mana kau peroleh kuda bagus itu?” ”Sahabatku yang memberi, aku tak tahu kalau kuda ini milik pemerintah,” sahut Yak-bwe. ”Siapa yang memberimu itu?” tanya An Ting-wan pula.

Yak-bwe gelagapan, ia hanya dapat menyahut: ”Pendek kata, aku ini bukan penjahat atau penyamun, percaya tidak terserahlah!”

”Kalau bukan bangsa penyamun, habis siapakah kau ini?” An Ting-wan menegas.

Sudah tentu Yak-bwe tak mau menerangkan dirinya itu 'puteri Ciat-to-su dari Luciu'. Ia tak dapat menyahut melainkan deliki mata saja.

Kembali An Ting-wan tertawa dingin: ”Kukira kawanan penjahat Kim-ke-nia itu semuanya

jantan-jantan yang kepala batu, kiranya juga ada orang punya 'tulang lemas' seperti kau. Sudah berani menjadi penyamun tapi tak berani mengaku. Thiat-mo-lek dan Shin Thian-hiong sungguh harus malu mempunyai anak buah semacam kau!”

Sebenarnya An Ting-wan itu tak punya hubungan baik dengan Thiat-mo-lek dan Shin Thian- hiong.   Tetapi terhadap kedua orang gagah itu, ia menaruh perindahan juga. Itulah sebabnya ia mengeluarkan kata-kata tadi.

Memang Yak-bwe itu tak ingin bertempur dengan tentara negeri. Tetapi karena selama dalam gedung Ciat-to-su, ia selalu disanjung hormat orang, jadi sifat-sifatnya sebagai Siocia (puteri pembesar) masih tebal. Sudah tentu ia tak kuat menerima hinaan si opsir semacam itu.

Pada saat An Ting-wan mengacungkan tombaknya ke arah Yak-bwe sebagai isyarat agar anak buahnya segera meringkus nona itu, tiba-tiba terdengar suara berdering. Yak-bwe sudah mencabut pedangnya dan berkata dengan dingin: ”Jika pembesar negeri menindas, tentu rakyat memberontak. Baik, karena kau berkeras mengatakan aku seorang penyamun, aku sekarang benar-benar menjadi penyamun. Nah, lihat pedangku!”

Giok-li-tho-soh atau bidadari lemparkan tali adalah jurus yang segera digunakan Yak-bwe untuk menusuk si opsir.

An Ting-wan mendengus pelahan, pikirnya: ”Kukira seorang penjahat keroco yang takut mati, ternyata ilmu pedangnya boleh juga.”

Tapi ia bukannya jeri, melainkan hanya terkejut saja. Sembari berseru 'bagus', ia segera getarkan ujung tombaknya. Begitu ujung tombak itu berkembang menjadi lingkaran sinar, terus ditusukkan ke dada Yak-bwe dalam gaya 'tiong-ping-jiang'.

Yak-bwe tahu kalau lawan bertenaga besar. Ia ambil putusan tak mau adu senjata. Pedangnya segera memutar, tubuhnya pun ikut maju dengan sang pedang. Dengan begitu ia menghindari muka berhadapan muka. Sekonyong-konyong ujung pedangnya disusupkan, menyusul tubuhnya pun ikut menyelinap masuk ke dalam lingkaran sinar tombak. Setelah itu ia gunakan gerak ”hong-hong-can- ki” (burung hong pentang sayap), begitu ujung pedang melekat pada batang tombak, ia segera membentak: ”Lepas!” -- Pedang itu digelincirkan untuk memapas jari An Ting-wan.

An Ting-wan adalah seorang perwira yang sudah kenyang pengalaman perang. Dalam keadaan yang bagaimana bahayanyapun ia tak menjadi gugup. Begitu ujung pedang hampir tiba di tangan tiba-tiba tombak diputarnya sehingga pedang Yak-bwe terpental ke samping.

Berbareng ia pun membentak: ”Lepas!” Tombak digunakan sebagai toya, terus disapukan ke pinggang Yak-bwe. Dengan gerak wan-yau-ja-liu atau lengkungkan pinggang menancap pohon liu. Hanya terpisah seujung rambut saja, dapatlah ia menghindar dari serangan maut itu. Kemudian dengan gerakan Hong-hong-tim-thau atau burung hong mengangguk kepala, ia menghindar dari ujung tombak lawan yang masih mengubernya. Dengan begitu kedua pihak sama-sama tak terluka dan sama-sama tak lepas senjatanya.

”Siapa kau? Lekas kasih tahu namamu!” bentak An Ting-wan.

”Aku hanya seorang keroco yang tak bernama, lihat pedang!”

An Ting-wan diam-diam merasa heran, pikirnya: ”Kepandaiannya lihay, terang dia bukan

keroco. Tetapi Cin to-wi tak pernah mengatakan bahwa di kalangan penyamun Kim-ke-nia terdapat tokoh semacam dia.”

Memang Cin Siang itu kenal baik dengan pemimpin-pemimpin gunung Kim-ke-nia, seperti

Thiat-mo-lek, Shin Thian-hiong, To Peh-ing dan lain-lain. Sebelum menyerbu, orang she Cin itu sudah menerangkan jelas kepada An Ting-wan, suruh yang tersebut belakangan itu berhati-hati terhadap mereka. Jika dapat bertahan boleh bertahan. Jika sekiranya kewalahan, harus lekas-lekas mundur.  Dengan berbuat begitu, Cin Siang berbuat dua macam kebaikan.  Melindungi anak buahnya (An Ting-wan), dan sekaligus juga membantu pada Thiat-mo-lek.

Waktu Yak-bwe tak mau mengatakan namanya itu, diam-diam An Ting-wan menduga kalau

Yak-bwe itu tentu seorang thaubak baru yang menduduki tempat penting dalam kalangan Kim-ke- nia. Dengan anggapan itu, An Ting-wan ambil putusan tak mau memberi ampun lagi. Begitulah ia segera mainkan tombaknya dengan gencar. Pertempuran telah berjalan dengan seru.

Melihat bahwa An Ting-wan sebagai jenderal hanya bertempur melawan seorang penyamun kecil, anak buah Gi-lim-kun itu tak mau membantu. Mereka hanya berjajar-jajar melingkari gelanggang.

An Ting-wan menggunakan senjata tombak yang panjangnya hampir satu tombak (lebih kurang

3 meter). Di atas kuda memang amat dahsyat sekali perbawanya. Tapi serta bertempur di tanah, pedang Yak-bwe lebih tangkas geraknya. Dengan mengandalkan kelincahannya, Yak-bwe kembangkan permainan pedang dengan penuh semangat hingga akhirnya ia sedikit lebih menang angin.

Berulang-ulang An Ting-wan menyerang dengan hebat, namun ujung baju lawan saja ia tak mampu menyentuhnya. Akhirnya ia berganti siasat, dari menyerang menjadi bertahan. Karena tombaknya itu merupakan senjata berat, maka waktu dimainkan senjata itu menerbitkan angin yang menderu-deru, gencarnya sampai airpun tak dapat menetes masuk.

Yak-bwe tak berani adu kekerasan. Ia gunakan siasat berlincahan kian kemari, sewaktu-waktu mencuri kesempatan untuk menusuk. Tapi bagaimanapun ia kalah tenaga dengan lawan. Apalagi ia baru saja habis bertempur.

Bermula memang menang angin, tapi setelah lewat 30-an jurus, pelahan-lahan tenaganya mulai berkurang, keringatnya mengucur deras.

Tetapi untungnya pasukan Gi-lim-kun itu tak mengetahui tentang perubahan situasi itu. Sebaliknya mereka malah merasa kagum heran. An Ting-wan adalah ko-chiu nomor lima dari pasukan Gi-lim-kun. Bermula anak buah Gi-lim-kun itu menduga, dalam 2-3 jurus saja An Ting-

wan tentu sudah dapat membekuk lawan itu. Maka betapalah heran dan kaget mereka demi sampai puluhan jurus keroco itu masih tetap dapat balas menyerang.

”An to-wi, kita masih harus lekas-lekas mencari penginapan. Tak usah harus menangkapnya hidup-hidup,” teriak seorang opsir.

An Ting-wan mendongak. Dilihatnya hari sudah tengah hari. Diam-diam ia berpikir: ”Sebentar lagi ia tentu sudah kehabisan tenaga dan mudah untuk menawannya hidup-hidupan. Tapi paling sedikit masih harus menggunakan waktu setengah jam ini, tentu membikin kapiran lain-lain urusan.”

Opsir yang berteriak tadi adalah seorang sin-cian-chiu atau ahli panah dalam pasukan Gi-lim-

kun. Dengan seruannya tadi sebenarnya ia secara diam-diam hendak bertanya, apakah An Ting-wan memerlukan tenaganya untuk melepas panah atau tidak?

An Ting-wan mengerti juga isyarat itu. Cepat ia putar tombaknya untuk mengurung Yak-bwe,

lalu berseru: ”Baiklah, tapi sedapat mungkin bidik saja bagian tubuhnya yang tak berbahaya. Tapi kalau sampai terpanah mati, ya biarlah.”

Yak-bwe tetap berlincahan kian kemari dengan tangkasnya, jadi tak mungkin orang akan dapat memanahnya dengan memilih bagian-bagian yang tak berbahaya. Tapi karena sang jenderal sudah menghendaki supaya dapat menangkap hidup-hidupan, maka opsir itupun sengaja hendak mempamerkan kepandaiannya di hadapan sang atasan. Akhirnya ia mendapat akal bagus. Wut, ia lepaskan sebatang anak panah di sisi kanan Yak-bwe. Menyusul ia lepaskan lagi sebatang di sisi kirinya. Kedua batang itu sengaja dilayangkan hanya beberapa dim dari sisi tubuh Yak-bwe.

Kemudian ia lepaskan lagi anak panah yang ketiga, tapi hanya pura-pura saja karena tali busur saja yang ditarik tapi tak ada anak panahnya.

Yak-bwe mahir juga dalam ilmu melepas senjata rahasia lian-cu-cian-hwat. Biasanya ilmu lian- cu-cian-hwat itu dilepaskan tiga kali beruntun-runtun, yakni diarahkan di sisi kanan, kiri dan tengah. Tadi karena ia bergeliatan menghindari anak panah yang pertama dan kedua, posisi tubuhnya berada di tempat yang sudah diduga oleh musuh. Waktu didengarnya lawan menggetarkan tali busur, ia yakin tentu akan mengarah bagian tengah. Dan untuk itu, ia harus menghindari dengan meloncat ke udara.

Tapi dengan cerdiknya si opsir sudah mendahului lepaskan panahnya setinggi satu meter ke udara. Dengan begitu gerak loncatan dari Yak-bwe tadi berarti 'anjing cari gebuk'. Cret, lengannya termakan panah, darah mengucur deras.

”Menilik kau juga seorang jantan, aku tak mau mengambil jiwamu. Lekas buang senjatamu dan menyerah saja!” buru-buru An Ting-wan menyerukan.

Yak-bwe kertek gigi dan menyahut getas: ”Jantan dari Kim-ke-nia tak kenal kata-kata menyerah!”

Karena gusar mendapat hinaan tadi, Yak-bwe nekad hendak mengadu jiwa. Ia kuatkan diri menangkis tombak An Ting-wan.  Tapi setelah terluka itu, tenaganya makin lemah, sudah tentu ia tak dapat menangkis dengan jitu. Segera ia rasakan lengannya linu, mata berkunang-kunang dan kakinya lemas. Hampir saja ia tak mampu menahan lepasnya sang pedang. Dalam keadaan begitu, asal An Ting-wan memberi tekanan lagi, pedang Yak-bwe pasti terlepas jatuh.

Dalam saat-saat yang berbahaya itu, sekonyong-konyong terdengar suara benda mendesing. Sebatang passer melayang, bukan ke arah Yak-bwe melainkan menuju ke An Ting-wan. An Ting- wan terbeliak kaget, pikirnya: ”Ha, mengapa anak panah dari Hwe poh-hu bisa nyasar?” Baru ia menghindar, panah yang kedua dan ketiga susul menyusul menyambarnya. Apa boleh buat, terpaksa An Ting-wan lepaskan Yak-bwe. Ia putar tombaknya untuk menangkis passer lian- cu-cian itu. Setelah itu barulah ia mengetahui bahwa yang melepas lian-cu-cian itu ternyata bukan si opsir tadi melainkan lain orang lagi.

Tiba-tiba dari hutan pohon siong yang terletak di tepi jalan, menerobos keluar seekor kuda tegar. Penunggangnya mengenakan kerudung muka. Begitu keluar ia timpukkan dua buah lian-cu-cian. Walaupun hanya dengan tangan, tapi panah itu tak kalah dahsyatnya daripada dilepaskan dari busur. Pun selain keras timpukannya, juga arahnya amat jitu. Untuk melindungi diri, An Ting-wan putar tombaknya gencar sekali. Namun sekalipun begitu, tak urung ia tetap terkena sebatang panah.

Kebetulan sekali mengenai lengannya juga, darahnya mengucur deras, Yak-bwe mempunyai kawan sependeritaan.

Setelah mengetahui An Ting-wan terluka, orang berkerudung itu tak mau mencecernya lagi.

Kini ia beralih sasaran. Tujuh delapan batang anak panah ditimpukkan ke arah pasukan berkuda

Gi-lim-kun. Setiap batang tentu membawa korban seekor kuda. Karena terluka, kuda pasukan Gin- lim-kun itu menjadi binal dan mencongklang lari. Yak-bwe menjadi terlepas dari kepungan anak buah Gi-lim-kun.

Pemimpin regu panah dari Gi-lim-kun menjadi murka, serunya: ”Bangsat, jangan kurang ajar! Terimalah panahku!”

Tapi baru ia bidikkan sebuah anak panah, lawan pun melepaskan sebuah passer untuk membenturnya. Ternyata orang berkerudung muka itu lebih tangkas dari opsir pemimpin regu panah. Si opsir coba akan mengembangkan ilmu bidikan yang disebut lian-cu-cian-hwat.  Tapi baru ia menarik busurnya, terdengarlah bunyi berkertakan. Sebuah passer dari seorang berkerudung dengan tepat sekali telah menghantam bagian tengah dari busur sampai patah. Dan lebih celaka lagi, si orang berkerudung sudah susuli passernya yang kedua yang dengan jitu telah mengenai paha si opsir. Kontan si opsir itu terjungkal.

”Su-heng, lekas lari!” teriak orang berkerudung itu.

Melihat kejadian itu, marah An Ting-wan bukan kepalang. Begitu tombak dipindah ke tangan

kiri, ia lantas menerjang. Tapi dengan tahan rasa sakit, Yak-bwe sudah loncat ke punggung kuda si opsir. Karena anak buah Gi-lim-kun yang masih belum terluka hanya 6-7 orang saja, sudah tentu tak mampu menahan Yak-bwe. Sekejap saja Yak-bwe sudah larikan kudanya ikut si orang berkerudung masuk ke dalam hutan.

Karena jeri akan kesaktian ilmu permainan passer dari si muka berkerudung dan kuatir kalau di dalam hutan bersembunyi barisan musuh, terpaksa An Ting-wan menggigit jari saja. Setelah mengumpulkan sisa anak buahnya, iapun lantas meneruskan perjalanan lagi. 

Selama membawa Yak-bwe menyusup hutan dan kemudian berjalan di sebuah jalan terpencil, orang berkerudung itu tak mengatakan sepatahpun jua. Waktu menengok ke belakang legalah perasaan Yak-bwe karena musuh tak mengejar. Tapi berbareng saat itu, luka di lengannya terasa sakit sekali sampai ia mengucurkan keringat dingin. Hampir-hampir saja ia tak kuat bertahan diri duduk di atas pelana kuda.

Ia tahan sakit dan hendak mencabut panah yang tertancap di lengannya itu, tapi keburu dicegah oleh si muka berkerudung: ”Jangan, jangan!”

Mereka hentikan kudanya dan tiba-tiba orang itu tertawa gelak-gelak: ”Su-heng, sungguh tak nyana kita bakal berjumpa lagi.” -- Bret, terus dicabutnya kain kerudung yang menutupi mukanya itu.

”Hai, kiranya kau!” teriak Yak-bwe dengan kaget.

Kiranya si orang berkerudung itu bukan lain ialah pemuda pelajar yang belum lama berpisah dengan Yak-bwe, yaitu Tok-ko U.

”Aku tak tahu sama sekali kalau Su-heng ini juga salah seorang ksatria Kim-ke-nia. Maaf, tadi aku telah berlaku tak menghormat,” kata Tok-ko U.

Dengan gunakan bahasa kangouw yang baru dipelajari bertanyalah Yak-bwe: ”Dari golongan manakah saudara ini?”

Tok-ko U tertawa gelak-gelak, sahutnya: ”Aku sebenarnya bukan orang loklim, tetapi aku gemar bersahabat dengan kaum enghiong ho-kiat. Siapakah orangnya yang tak kenal akan Thiat- mo-lek, pemimpin Kim-ke-nia itu? Sungguh sayang sekali, sampai sekarang aku belum mempunyai rejeki untuk berjumpa. Kabarnya tentara negeri telah mengadakan serbuan besar- besaran ke gunung Kim-ke-nia, bagaimanakah dengan Thiat-mo-lek?”

Karena dirinya  dianggap sebagai hohan (orang gagah) dari Kim-ke-nia, Yak-bwe membiarkannya saja. Ia menyahut: ”Thiat cecu siang-siang sudah dapat meloloskan diri. Karena kepandaianku rendah maka aku tak mampu mengikuti jejak Thiat cecu sehingga aku tercecer dari barisan.”

”Jangan kuatir, Su-heng. Jika sekiranya tak menampik, sukalah kiranya Su-heng untuk sementara menetap di pondokku,” kata Tok-ko U.

”Terima kasih, tapi nanti merembet saudara,” sahut Yak-bwe.

”Dulu, kita belum kenal satu sama lain. Tapi sekarang jika Su-heng tetap menolak, berarti menghina diriku,” ujar Tok-ko U.

Yak-bwe bimbang hatinya.  Sesaat ia tak dapat mengambil putusan.  Pikirnya: ”Rupanya orang ini seorang gagah budiman. Tetapi aku seorang gadis, bagaimana bisa tinggal di tempat seorang pemuda yang belum kukenal?”

Maka dengan ragu-ragu ia menjawab: ”Kurasa, lukaku ini tak apa-apa.” Baru ia berkata begitu, lukanya itu sudah mengucur darah pula.

Tok-ko U cepat turun dari kudanya. ”Nih, aku membawa obat kim-jong-yok. Obatilah dulu lukamu itu, baru kita nanti sambung bicara lagi,” katanya sembari menghampiri terus hendak memondong Yak-bwe turun dari kuda.

Sudah tentu Yak-bwe terperanjat sekali. Dengan menahan sakit, ia mendahului loncat sendiri. Hampir saja ia terjerembab jatuh. Tok-ko U hendak ulurkan tangan menahannya, tapi Yak-bwe cepat-cepat menghindar, serunya: ”Tak apa, tak apa. Tolong berikan obatmu itu padaku, aku dapat mengobati sendiri.”

Diam-diam Tok-ko U heran melihat sikap Yak-bwe. Masakan seorang hohan dari loklim begitu pemaluan sikapnya. Tapi ia segera dikejutkan dengan gerak-gerik Yak-bwe. Karena sudah hampir setengah jam lengannya tertancap panah, kucuran darah telah membasahi bajunya. Dengan tahan sakit Yak-bwe merobek bajunya itu dan terus hendak mencabut anak panah.

”Jangan, Su-heng! Harus dicuci bersih dengan air dulu, dilumuri obat dan dibungkus kain pembalut. Paling sedikit lewat satu malam, setelah nanti darahnya berhenti mengucur baru boleh panah itu dicabut. Jika sekarang dicabut, darah tentu mengalir tak berhenti. Dikuatirkan darah itu mengandung racun. Obatku kim-jong-yok ini pasti tak dapat menolong apa-apa. Di rumah aku mempunyai persediaan obat-obatan yang lengkap. Besok pagi dicabut, rasanyapun masih belum terlambat,” buru-buru Tok-ko U mencegah.

Yak-bwe menghaturkan terima kasih lalu melumurkan kim-jong-yok pada lukanya. Tapi ia tak mempunyai pengalaman sama sekali. Jari-jarinya bergemetaran. Ketika melumurkan obat dan kena pada tulang, saking sakitnya hampir saja ia menjerit. Keringat dingin mengucur deras.

Tok-ko U makin heran. Pikirnya: ”Pekerjaannya selalu berhubungan dengan golok dan darah, tetapi mengapa mengobati luka saja ia tak mengerti. Sudah diperingatkan satu kali supaya jangan mencabut panah, ia masih bermaksud mencabut. Dan sampai pun cara untuk melumuri obat juga tak tahu. Sungguh mengherankan bahwa di dunia loklim terdapat seorang hohan seperti dia.”

Tetapi ketika melihat Yak-bwe menahan kesakitan hebat, Tok-ko U tak tega melihat saja. Dan lagi-lagi ia bermaksud hendak membantunya melumuri obat.

Yak-bwe tengah asyik melumurkan obat sambil tundukkan kepala.

Ia tak mengetahui kalau Tok-ko U sudah menghampiri ke sampingnya. Pun terdorong oleh rasa kasihan, tanpa bilang lebih dulu, Tok-ko U terus ulurkan tangan untuk memapahnya. Waktu tubuhnya serasa dijamah tangan orang, kejut Yak-bwe bukan kepalang. Serentak timbul juga reaksinya sebagai seorang gadis. Cepat ia mendorong dan berteriak: ”Mau apa kau?” -- Karena gerakan itu, bungkusan obat yang dipegangnya pun turut jatuh ke tanah.

Tok-ko U terbeliak kaget: ”Su-heng, aku mau membantumu, kau ini bagaimana sih?”

Waktu tampak yang datang itu Tok-ko U, tahulah Yak-bwe akan maksudnya. Wajahnya segera berubah kemerah-merahan. Ia paksakan tertawa: ”Aku sudah melumurinya, terima kasih.”

”Mana, biar kubantu balutkan,” kata Tok-ko U.

”Tak usah, tak usah, aku sendiri bisa,” Yak-bwe goyangkan tangannya.

Keheranan Tok-ko U makin bertambah besar, batinnya: ”Aneh benar orang ini. Dia lebih pemaluan dari seorang toa-siocia.”

Yak-bwe merobek secarik kain bajunya lalu membalut lengan kirinya yang terluka itu. Tapi ia tak mengerti caranya membalut luka. Ia malang melintangkan balutnya, hingga tak keruan bentuknya. Tok-ko U kerutkan alis. Beberapa kali ia bermaksud hendak ulurkan bantuan, tapi selalu 'mundur teratur' karena sikap Yak-bwe yang janggal itu.

Pada jaman kerajaan Tong masa itu, masyarakat tak terlalu terkekang dengan adat istiadat pergaulan. Pergaulan antara wanita dan pria agak bebas. Adalah karena Yak-bwe itu dibesarkan sebagai siocia (nona) keluarga pembesar, ibu kandungnya sendiripun berasal dari keluarga terhormat, maka watak perangainyapun berbeda dengan gadis kebanyakan. Terhadap pria yang belum dikenalnya, ia tak berani bergaul terlalu rapat. Justru karena sifat-sifatnya yang berbeda dengan kaum gadis umumnya, Tok-ko U tak bercuriga kalau ia itu seorang gadis. Pada umumnya kaum wanita, terutama wanita kangouw, sewaktu mendapat luka tentu tak menolak mendapat bantuan kaum pria. Tok-ko U anggap Yak-bwe itu seorang pemuda yang berwatak aneh saja.

Diam-diam ia kurang senang tapi sungkan untuk mengatakannya.

Setelah dibalut dan beristirahat beberapa saat, tenaga Yak-bwe mulai timbul sedikit. Ia paksakan diri untuk naik ke atas pelana kudanya.

”Su-heng, kau perlu beristirahat baik-baik. Harap jangan sungkan lagi, beristirahatlah untuk sementara hari di rumahku,” kata Tok-ko U pula. Sudah tiga kali ini, ia menawarkan jasa baiknya. Waktu Yak-bwe masih meragu, Tok-ko sudah berkata lagi: ”Sejak dari perjalanan di sini,

seterusnya di mana-mana tentu terdapat tentara negeri. Taruh kata kau mempunyai urusan penting yang harus dikerjakan, namun kiranya tak leluasa untuk melanjutkan perjalanan. Kau seorang diri dan dalam keadaan terluka pula. Jangankan anak tentara negeri, sedangkan setiap orangpun tentu akan mencurigai dirimu.”

Yak-bwe mengakui kebenaran ucapan itu, namun ia tak dapat mengambil keputusan dengan segera. Pikirnya: ”Pemuda ini rupanya seorang bangsa hiapgi (orang gagah budiman). Dalam

keadaan seperti sekarang, apa boleh buat aku terpaksa harus memenuhi ajakannya. Rasanya orang ini tentu takkan berbuat jahat terhadap diriku.

”Karena Tok-ko-heng begitu sungguh hati mengundang, biarlah kutebalkan muka untuk menerimanya. Ah, sungguh bikin repot kau saja dan kemungkinan juga akan merepotkan dirimu,” akhirnya Yak-bwe menerima juga.

Jawab Tok-ko U: ”Harap Su-heng jangan cemas.   Desa kediamanku itu terpencil di tempat pegunungan sunyi. Orang luar pasti tak menaruh perhatian. Hanya saja aku sedikit menguatirkan

....”

”Apa yang kau kuatirkan?” tukas Yak-bwe.

”Karena menderita luka, mungkin Su-heng akan susah naik kuda. Lebih baik kita boncengan saja, naiklah di kuda sini,” kata Tok-ko U.

Jantung Yak-bwe mendebur lagi, pikirnya: ”Mungkinkah ia sudah mengetahui diriku lalu mengandung maksud buruk?”

Tapi demi menilik sikap pemuda itu amat sopan dan bersungguh-sungguh, ia membantah dugaannya yang tidak-tidak itu sendiri. Ia merenung sejenak lalu menyahut: ”Walaupun lenganku terluka, tapi kalau kau bukan kesatria dari Kim-ke-nia, tak nanti aku mau gubris padamu.” Sekalipun ia coba membikin gagah ucapannya, namun sikapnya tetap tak wajar. Tok-ko u menggerutu dalam hatinya: ”Coba kalau kau bukan ksatria Kim-ke-nia tak nanti aku mau gubris padamu.”

Kuatir kalau kesamplokan dengan tentara negeri. Tok-ko U mengambil  sebuah jalanan kecil di tepi gunung. Jalan disitu berlekuk-lekuk, orang naik kuda sekalipun juga akan peringisan. Dengan tahan rasa sakit. Yak-bwe tetap mempertahankan diri naik kuda sendiri. Untung kediaman Tok-ko U itu hanya terpisah jarak 40-an li. Tak berapa lama, tibalah sudah mereka di desa kediaman Tok- ko U.

Kediaman Tok-ko U itu terletak di bawah puncak Pek-ho-nia, depan rumah ada sebuah empang teratai dan keduanya tepinya dikelilingi oleh pohon-pohon liu. Atap rumah merah yang menonjol di antara hutan berwarna hijau itu, sungguh seperti pemandangan dalam sebuah lukisan.

”Alangkah indahnya tempat ini, seperti sebuah taman firdaus di luar dunia,” Yak-bwe memuji. ”Ah, Su-heng itu tak mirip seorang loklim tapi lebih mendekati seorang seniman, ” Tok-ko U tertawa. ”Pujian Su-heng itu lebih menggirangkan hatiku sebagai tuan rumah. Aku tentu akan minta Su-heng untuk tinggal lebih lama di sini.”

Tengah mereka bicara itu, muncullah seorang dara berlari-lari keluar. Masih jauh dara itu sudah berteriak: ”Koko, kau sudah pulanglah!”

Tapi serta melihat Tok-ko U membawa seorang pemuda yang terluka lengannya, dara itu terkesiap.   Tok-ko U tertawa menerangkan bahwa ia membawa seorang sahabat.  Kemudian ia memperkenalkan: ”Ini adalah Su Ceng-to (nama samaran yang dipakai Yak-bwe). Dan ini adalah adik perempuanku Tok-ko Ing. Su-toako ini sunggguh seorang tetamu yang jarang kita jumpai.

Ing-moay, tolong kau melayaninya baik-baik.”

”Hai, Su-toako, mengapa kau terluka itu?” tanya Tok-ko Ing.

Tiba-tiba Tok-ko U berkata: ”Moaymoay, tentu kau akan gembira ”

”Huh, mengapa kau malah senang melihat orang lain terluka?” Tok-ko Ing mengomelinya. ”Bukan itu yang kumaksudkan, melainkan aku hendak menuturkan tentang riwayat Su toako.

Harap kau jangan mencampur-adukkan. Ing-moay, bukankah kau pernah mengatakan bahwa kau hanya kagum kepada tiga tokoh dalam jaman ini?” kata Tok-ko U.

”Ya, benar. Yang satu Thiat-mo-lek, yang kedua Bo Se-kiat dan yang ketiga Toan Khik-sia,” kata Tok-ko Ing.

”Nah, begitulah, Su toako ini adalah sahabat baik dari ketiga tokoh itu. Ia adalah salah seorang hohan dari Kim-ke-nia,” ujar Tok-ko U.

Memang hubungan Se-kiat dan Khik-sia dengan Thiat-mo-lek itu sudah diketahui oleh kaum

Bu-lim. Oleh karena itu walaupun Yak-bwe tak mengatakan kalau ia kenal dengan kedua pemuda itu, namun dengan spontan (serentak)Tok-ko U yakin Yak-bwe tentu mengenalnya. Dan ini terang mengangkat diri yak-bwe di mata Tok-ko Ing.

Tertawalah Yak-bwe menyahut: ”Aku hanya seorang keroco dari Kim-ke-nia, mana dapat digolongkan sebagai sahabat dari ketiga tokoh itu?”

”Oh, mengertilah aku. Kabarnya beberapa hari yang lalu tentara negeri telah mengadakan sergapan ke Kim-ke-nia. Bukankah kau terluka kena panah mereka?” tanya Tok-ko Ing.

”Ah, ia barusan saja terluka itu,” sahut Tok-ko U. Ia lantas menceritakan tentang pertemuannya dengan Yak-bwe sewaktu sedang bertempur dengan pasukan Gi-lim-kun.

”Hai, koko, kau ini memang keterlaluan juga. Orang menderita luka sebaliknya kau hanya enak-enak mengobrol saja. Ayo, lekas sediakan tempat untuk Su toako,” tiba-tiba Tok-ko Ing menyeletuk.

Memang kala itu Yak-bwe amat lelah sekali. Kedua kakinya serasa mati rasa, seolah-olah

seperti bukan kakinya sendiri. Ternyata gedung kediaman keluarga Tok-ko itu agak terletak di atas, jadi mereka harus melalui sebuah lamping gunung yang menanjak. Ketika melihat Yak-bwe turun dari kuda dan berjalan dengan susah payah yaitu setiap berjalan selangkah tentu harus berhenti sejenak, Tok-ko Ing serentak menghampiri hendak menolong memapahnya. Sedang mulut dara itu tetap mengomel sang engkoh: ”Kau sendiri tadi yang minta supaya aku melayani tetamu baik-baik, masakan kau sendiri tak mengerti bagaimana harus melayani orang?”

Walaupun dalam hati Yak-bwe benci kepada Khik-sia, tapi entah bagaimana, kepada orang yang memuji sang tunangan itu, ia merasa senang sekali. Apalagi Tok-ko Ing itu seorang dara. Seketika lupalah yak-bwe bahwa dirinya pada saat itu sedang menjadi seorang 'pria'. Bukan hanya membiarkan saja Tok-ko Ing menggandeng tangannya, pun karena letihnya ia lantas menggelondoti tubuh sang dara.

Tersentuh dengan hangatnya tubuh Yak-bwe dan membaui harum dari napas dan rambut Yak- bwe, seketika mendeburlah darah Tok-ko Ing. Tapi ia seorang dara yang lapang dada. Didiamkannya perbuatan 'pemuda' itu, dengan wajah tenang ia tetap menggandeng tangan Yak-bwe untuk diajak masuk ke dalam rumah.

Semula Tok-ko U kuatir kalau-kalau adiknya bakal mendapat 'kopi pahit' (sikap getas) dari Yak- bwe. Siapa tahu ternyata pemuda gadungan itu telah mengunjukkan sikap yang di luar dugaannya. Pikirnya: ”Kukira ia itu seorang yang amat pemaluan. Siapa tahu ia begitu mesra kepada Ing-moay. Aneh benar ini. Aku yang sekaum dengannya tapi ia sudah begitu enggan berdekatan. Sebaliknya dengan seorang yang berlainan jenis ia malah begitu mesranya. Hm, jika semalam aku belum mengetahui jelas bagaimana peribadinya tentu kusangka ia seorang pemuda hidung belang.”

Ketika mendengar napas Yak-bwe tersengal-sengal, Tok-ko Ing merasa kasihan, ujarnya: ”Su

toako, kau benar-benar seorang pemuda gagah. Meskipun terluka parah, tapi masih dapat naik kuda mendaki gunung. Koko, mari kita rawat luka Su toako ini lebih dulu, kemudian biar ia mengaso di kamarmu, ya?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar