Jilid 04
Cepat jago budiman itu loncat keluar gelanggang. Begitu pedang disarungkan ia segera mengangkat kedua tangannya memberi hormat. Serunya dengan lantang: ”Bo-hengte benar-benar sakti, aku mengaku kalahlah. Selamat kuhaturkan kepada Bo-hengte sebagai Bengcu baru. Aku si orang she Thiat rela menjadi pengiringmu saja!”
Ucapan Thiat-mo-lek itu seperti bunyi halilintar di siang bolong. Saking kejutnya akan kejadian yang tak disangka-sangka itu, sekalian hadirin menjadi bungkam semua. Siapapun tak percaya bahwa Thiat-mo-lek secara tiba-tiba dikalahkan Se-kiat. Dan pula hanya terpapas secabik lengan bajunya, masakan begitu mudah sudah mengaku kalah.
Se-kiat sendiripun merasa heran. Tapi dikarenakan serangan Se-kiat itu memang luar biasa bagusnya dan tipu daya Thiat-mo-lek untuk berpura-pura kalah itu pun teramat indahnya, maka tiada seorangpun yang mengetahui siasatnya itu. Bahkan Se-kiat sendiripun kena dikelabuhi. Ia mengira bahwa secara beruntung sekali dapat mengalahkan lawan.
“Jurus peng-pok-kiu-siau yang kugunakan tadi adalah jurus yang mengandung resiko besar. Jika ia gunakan gerak ki-hwe-lian-thian (mengangkat api, menyuluh langit), karena tubuhku mengapung di udara aku tentu sukar menghindar. Kesalahannya tadi ialah ia tak seharusnya menjulurkan pedang lempang ke muka. Ah, menilik ilmu pedangnya yang amat sakti itu, mengapa tiba-tiba ia bisa berbuat kekeliruan? Apakah memang diriku sudah diberkahi untuk menjadi Bengcu hingga dalam saat-saat yang genting itu lawan berbuat kesalahan?” Demikian Se-kiat mengadakan analisa dalam hatinya. Hal itu disebabkan karena ia tahu bahwa serupa dengan dirinya sendiri, tadi tampaknya Thiat-mo-lek itu amat bernafsu sekali untuk merebut kedudukan Bengcu. Sudah tentu ia tak mengetahui, kalau Thiat-mo-lek itu memang sengaja mengambil putusan untuk mengalah.
Setelah tersadar dari termenungnya, sekalian orang gagah sama membatin: “Ya, dalam kedudukannya itu, jika karena kealpaan kecil sampai menyebabkan kekalahannya, sudah tentu Thiat-mo-lek sungkan untuk melanjutkan pertempuran. Sebagai seorang ksatria tentu ia mengaku kalah.”
Lama sekali para orang gagah itu sama merasa gegetun atas kekalahan Thiat-mo-lek. Malah
ada juga yang penasaran, mengapa Thiat-mo-lek sampai gunakan jurus yang begitu tololnya. Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur, Thiat-mo-lek sudah mengaku kalah dan pengangkatan Se-kiat menjadi Bengcu itu sudah pasti.
Suasana sunyi yang meliputi gelanggang pertempuran itu, tiba-tiba dipecahkan oleh hiruk-pikuk dan sorak-sorai yang gempar. Rombongan Kay Thian-ho dan rombongan Li Thian-go sama berbondong-bondong datang memberi selamat kepada Se-kiat. Pihak rombongan Kim-ke-nia, walaupun masgul, tapi atas dorongan Thiat-mo-lek pun maju untuk memberi selamat kepada anak muda itu.
Melihat itu, diam-diam Thiat-mo-lek bergirang dalam hati. Pikirnya: ”Pengalahanku itu
ternyata tepat. Jika aku yang menjadi Bengcu, tak mungkin segenap hadirin akan memberi selamat dengan tulus hati sebagaimana sekarang terhadap Se-kiat.”
Toan Khik-siapun tak ketinggalan maju memberi selamat. Se-kiat segera mengembalikan
pokiam kepadanya sambil menghaturkan terima kasih. Kemudian Bengcu baru itu berkata: ”Toan- hiante, ada dua orang sahabatmu juga datang kemari. Apakah kau sudah menjumpai mereka?” ”Belum. Tapi entah sahabat yang mana?” Khik-sia balas bertanya.
Berbareng dengan kata-katanya itu, Ang-ih-li-hiap Lu Hong-jiu ikut pada Shin Thian-hiong
datang memberi selamat kepada Se-kiat. Memandang sejenak kepada nona baju merah itu, tiba-tiba terkilas sesuatu dalam hati Se-kiat.
”Sungguh tak kunyana sama sekali bahwa aku bisa berhasil menjadi Bengcu. Dan sekalian kawan-kawan sama memberi dukungan. Mereka begitu hiruk-pikuk kacau. Entah dimanakah kedua sahabatmu tadi? Tapi jangan gelisah, sebentar mereka berdua tentu akan mencarimu juga!” kata Se-kiat kemudian kepada Khik-sia.
Di sana Yak-bwe sedang berbisik perlahan-lahan kepada In-nio: ”Cici In, kiong-hi, kionghi!” Kiong-hi artinya memberi selamat. Sudah tentu muka In-nio menjadi merah dibuatnya. Ia berseru: ”Kiong-hi untuk apa?”
”Si ’dia’ telah menjadi Bengcu tanpa merusak perhubungan dengan Thiat-sioksiok. Apakah ini tak layak kuberi kiong-hi?” sahut Yak-bwe.
”Kong-hi, kiong-hi juga kepadamu!” In-nio balas menghaturkan hormat.
”Apa yang kau kiong-hikan?” tanya Yak-bwe dengan keheranan.
”Kiong-hi untuk pergabungan kalian berdua pada hari ini. Itu lihatlah, ’dia’ mu juga sedang memberi selamat pada Se-kiat. Mengapa kau tak lekas-lekas menjumpai dia kesana?” kata In-nio. Tapi waktu Yak-bwe arahkan matanya kesana, dilihatnya si nona baju merah tengah berdiri merapat pada Khik-sia, Yak-bwe segera jebikan bibir dengan marahnya.
”Aku tak sudi kesana!” serunya dengan banting-banting kaki.
In-nio tertawa: ”Kau adalah tunangannya yang sah, yang resmi, mengapa takut pada nona itu?”
”Siapa bilang aku takut padanya!” Yak-bwe menggeram.
”Habis mengapa kau tak berani menemui dia?” kata In-nio dengan setengah mengejek setengah membakar hatinya.
Benar juga Yak-bwe kena dibikin panas hatinya. Ia biarkan saja ditarik berjalan oleh In-nio. ”Nona Lu itu berhati lapang, ramah terhadap orang. Belum tentu ia mempunyai apa-apa dengan Se-kiat. Harap kau jangan terburu ngambek dulu,” kata In-nio pula sambil tertawa.
Saat itu di tengah gelanggang sudah ramai sekali. Penuh dengan orang yang mondar-mandir kian kemari mengelilingi Se-kiat. Belum In-nio dan Yak-bwe berhasil mendekati ke tempat Se-kiat, tiba-tiba terdengar ada orang berseru, ”Hai, cuaca begini cerah, di langit tiada awan sama sekali, mengapa mendadak ada suara guntur?”
Kedua nona itu turut mendengarkan. Benar juga lapat-lapat seperti ada guntur menggelegar. ”Tidak, itu bukan suara guntur, tapi seperti bunyi genderang tentara negeri!” tiba-tiba Hiong Ki- gwan, jago tua yang menjadi juri dalam pertandingan babak terakhir tadi, menyeletuk. Dia seorang veteran (jago kawak) yang kenyang dengan pengalaman bertempur melawan tentara negeri.
Baru saja ia berkata begitu, tiba-tiba terdengar suara dentuman keras. Segumpal asap yang berwarna hitam kebiru-biruan melayang ke udara. Datangnya bola asap itu dari kaki gunung. Itulah coa-yam-cian atau panah ular api yang dilepas oleh kawanan kaulo ( anak buah) dari gunung Kim-ke-nia. Coa-yam-cian itu diperuntukkan memberi tanda jika ada bahaya datang.
Selagi sekalian orang menduga-duga, dua orang thaubak (kepala liaulo) berlari-lari datang sambil melambai-lambaikan bendera merah.
”Celaka, pasukan tentara negeri menyerbu kemari!” teriak mereka.
Seketika gemparlah orang-orang gagah di gelanggang situ. Mereka sama menggertek gigi dengan marah. Di sana sini segera terdengar orang memaki-maki.
”Tentu ada pengkhianat yang membocorkan tentang rapat kita ini!” seru seseorang. ”Jahanam, mereka hendak mengadakan razia untuk menangkap kita!” ada seorang lain yang mendamprat.
”Bagus, kebetulan sekali mereka datang! Kita cincang mereka sampai hancur lebur untuk selamatan hari pengangkatan Bengcu kita!”teriak seorang lagi dengan gagahnya.
Se-kiat segera meredakan mereka: ”Harap saudara-saudara jangan panik. Kita lihat dulu keadaan mereka, baru nanti kita atur perlawanan!”
Sementara itu genderang berbunyi memecah angkasa. Bendera berkibar-kibar seperti lautan pelangi. Tentara negeri bagaikan air bah sudah menyerbu datang. Se-kiat dan Thiat-mo-lek memperhatikan dengan seksama. Tentara yang datang itu ternyata bukan serdadu biasa. Mereka sama mengenakan baju perang yang lengkap. Garang dan tegar-tegar tampaknya. Jelas mereka itu terdiri dari empat buah pasukan. Mereka melakukan penyerangan dalam formasi mengurung bersama. Pasukan mereka amat rapi, bergelombang datangnya, tapi tidak kacau. Pimpinannya tentu seorang yang mempunyai bakat tay-ciang (jenderal) cemerlang!
Sekalian orang gagah yang berkumpul di atas gunung Kim-ke-nia itu memang rata-rata
mempunyai kepandaian silat tinggi, pun sudah beberapa kali bertempur dengan tentara negeri. Tapi rasanya mereka belum pernah menghadapi gelombang serangan dari pasukan negeri yang begitu besar jumlahnya dan bagus disiplinnya. Walaupun ada beberapa orang yang masih gembar-gembor mengumpat caci, tapi diam-diam mereka itu sebenarnya gentar juga.
”Kawan-kawan, kita yang hadir sekarang benar gagah berani, tapi mereka hanya mengandalkan keberanian saja. Kebanyakan belum pernah mendapat latihan kemiliteran. Dikuatirkan sukar menghadapi serangan tentara negeri seperti kali ini,” diam-diam Se-kiat membuat analisa dalam hati.
Baru ia membayangkan hal itu, tentara negeri sudah maju. Kini mereka sudah berhasil mencapai setengah bagian gunung. Thiat-mo-lek terbeliak kaget.
Pasukan yang datang dari sebelah utara dan selatan itu, yang satu membawa bendera bertuliskan huruf ”Cin” dan yang lain membawa bendera berhuruf ”Ut-ti.” Nyata kedua pasukan itu adalah pasukan Gi-lim-kun (istana) yang dipimpin oleh Cin Siang dan Ut-ti Lam.
Diam-diam Thiat-mo-lek mengeluh. Dahulu sewaktu ia masih bekerja sebagai Wi-su (pengawal istana), ia bersahabat baik sekali dengan Ut-ti Lam dan Cin Siang. Siapa nyana kini ia harus berhadapan dengan mereka sebagai musuh!
Se-kiat kerutkan alis. Ujarnya kepada Thiat-mo-lek: ”Ah, ternyata mereka itu adalah pasukan Gi-lim-kun dari Tiang-an. Menilik gerakan mereka yang sedemikian besarnya itu, pastilah ada pengkhianat yang membocorkan pertemuan kita kepada pihak kerajaan.” Anak muda itu berhenti sejenak lalu menyambung pula: ”Karena musuh dipersiapkan rapi, turut pendapatku lebih baik kita mundur saja. Meskipun dengan berbuat begitu kita akan korbankan markas Shin-toako di sini, tetapi kekuatan induk kita masih dapat diselamatkan. Setelah nanti kekuatan kita tersusun kuat, kita akan gempur mereka lagi. Bagaimanakah pendapat Toako?” Thiat-mo-lek juga mempunyai pikiran begitu. Ia menyatakan persetujuannya. Tapi belum saja kata-katanya selesai, pasukan musuh dari arah timur dan barat sudah menyerbu datang. Pasukan dari sebelah timur itu bukan pasukan Gi-lim-kun. Pemimpinnya seorang tua yang berwajah merah, itulah Yo Bok-lo, musuh besar dari Thiat-mo-lek. Ayah Thiat-mo-lek dibunuh oleh orang she Yo itu. Sementara pemimpin pasukan dari sebelah barat adalah Gou Beng-yang, thongleng atau pemimpin pasukan Gwe-thok-lam dari Tian Seng-su.
Jika bertemu musuh besar, orang tentu menjadi beringas. Walaupun setuju untuk mundur, namun begitu melihat Yo Bok-lo, Thiat-mo-lek menjadi lupa segala. Serentak ia memburu maju dan berseru: ”Bagus, bangsat tua, kiranya kau belum mampus! Aku Thiat-mo-lek memang hendak mencarimu!”
”Thiat-toako, kembalilah!” dengan terkejut Se-kiat buru-buru memanggilnya. Tapi Thiat-mo- lek tak mau menghiraukan lagi.
Yang tiba lebih dahulu ternyata pasukan berkuda dari Cin Siang. Kuda mereka kuda pilihan, maka dapat mendaki naik dengan cepat. Serta tiba, mereka lalu menghambat jalannya Thiat-mo- lek.
Kedatangan Cin Siang kesitu itu, sebenarnya bukan atas kehendaknya sendiri. Tian Seng-su mengirim laporan rahasia kepada pihak kerajaan, mengatakan bahwa pada hari itu benggolan- benggolan perampok dan penyamun dari berbagai aliran akan mengadakan pertemuan di gunung Kim-ke-nia. Hal itu merupakan suatu ketika baik untuk merazia mereka. Agar gerakan razia itu berhasil bagus, Tian Seng-su minta pihak kerajaan suka mengirimkan pasukan Gi-lim-kun untuk membantunya.
Pihak kerajaan terpaksa meluluskan. Pertama, untuk merebut hati Tian Seng-su, seorang ”war lord” (panglima daerah yang berkuasa besar). Kedua, karena kawanan penyamun itu merupakan pengganggu keamanan negeri. Dengan mengadakan pertemuan besar, mereka tentu akan
mengadakan gerakan rahasia yang membahayakan negara. Dengan pertimbangan itu, mau tak mau pihak kerajaan lalu mengirim pasukan pilihan, Gi-lim-kun.
Dan memang jalannya kehidupan manusia itu serba aneh. Seperti sudah suratan nasib, Cin Siang dan Ut-ti Lam yang diwajibkan untuk memimpin pasukan Gi-lim-kun itu. Sudah hampir 10- an tahun, Cin Siang tak pernah bertemu dengan Thiat-mo-lek. Maka mereka menyangka sama sekali kalau bakal berjumpa lagi dalam keadaan yang begitu. Keduanya sama merasa tak enak hatinya.
Dengan suara pelahan mungkin, Cin Siang berseru: ”Thiat-hengte, mengapa kau menyiksa diri
di dalam kawanan penyamun? Kini kawanan dorna sudah dibersihkan dalam kalangan kerajaan. Lebih baik kau ikut aku kembali ke Tiang-an lagi. Dengan segenap jiwa raga, aku sanggup melindungi dirimu.”
Sahut Thiat-mo-lek: ”Masing-masing orang mempunyai tujuan sendiri-sendiri. Maaf, siaute tak dapat meluluskan titah toako itu. Apabila Toako suka mengingat akan persaudaraan kita yang lalu,
harap Toako suka beri jalan pada Siaute. Nanti bila Siaute sudah dapat melakukan pembalasan sakit hati, Siaute rela menyerahkan diri untuk memenuhi harapan Toako.”
Saat itu pun Jo Bok-lo sudah tampak mendatangi. Masih jauh ia sudah berteriak: ”Bangsat itu adalah kepala penyamun Kim-ke-nia, Thiat-mo-lek. Cin-towi, jangan lepaskan dia, aku segera datang!”
Apa boleh buat terpaksa Cin Siang pura-pura marah, bentaknya: ”Baik, karena kau tolak nasehatku yang baik, lihatlah senjataku!”
Pemimpin Gi-lim-kun itu segera ayunkan sepasang ”kan”, senjata gada bersegi banyak. Waktu Thiat-mo-lek menangkis, barulah ia mendusin bahwa sahabatnya itu sebenarnya tak bermaksud menyerang sungguh-sungguh. Nyata Cin Siang hanya gunakan lima bagian dari kepandaiannya saja. Thiat-mo-lek juga bukan orang yang lupa sahabat. Ia tak mau menyerang sungguh-sungguh. Hatinya merasa gundah. Pun Cin Siang serupa perasaannya. Ia tak kurang sulitnya. Tak mau melepaskan Thiat-mo-lek, juga tak ingin melukainya. Sungguh suatu kedudukan yang serba sulit. Dalam pada itu, Ut-ti Pak, saudara Ut-ti Lam, sedang congklangkan kudanya mendatangi.
Sembari angkat pian, ia berseru: ”Kepala penyamun yang merampok kuda negara berada di sana. Ha, Tecu dari Kim-ke-nia juga di sana. Cin-toako, ringkus bangsat itu!”
Si berangasan Ut-ti Pak itu ternyata bukan orang tolol. Dalam saat-saat yang genting dapat juga
ia menemukan akal. Dengan seruan itu, ia kasih jalan pada Cin Siang agar Thiat-mo-lek bisa bebas. Rupanya Cin Siang tahu juga akan maksud si berangasan itu.
”Ya, ya, kita lebih penting tangkap tawanan itu. Yo lo-siansing, kuserahkan orang ini kepadamu supaya kau mendapat pahala.”
Ia pura-pura hantamkan senjatanya, lalu bersama Ut-ti Pak maju kemuka, menerjang barisan penyamun.
Kini Thiat-mo-lek mendapat kesempatan untuk berhadapan dengan musuh besarnya. Dengan menggerung keras, ia menyongsong Yo Bok-lo dengan serangan jurus ’lat-bik-hoa-san’ atau menhantam sekuat-kuatnya gunung Hoa-san. Sebenarnya jurus ’lat-bik-hoa-san’ itu merupakan jurus ilmu permainan golok. Bahwa Thiat-mo-lek sudah gunakan pedang dengan jurus ilmu golok, adalah karena ia sangat bernafsu sekali untuk menyerang musuh itu.
Yo Bok-lo menghadapinya dengan tangan kosong. Sekali kakinya berputar, ia lantas mainkan ilmu pukulan ’chit-poh-tui-hun-ciang-hoat’. Tangan kiri merangsang untuk menampar gigir golok lawan, berbareng tangan kanan menghantam dada Thiat-mo-lek. Jika senjata orang tertampar, Yo
Bok-lo sedianya terus akan gunakan ’gong-chiu-jip-peh-jin’, dengan tangan kosong merebut senjata lawan.
Tapi serta tenaga keduanya saling beradu, tangan Yo Bok-lo segera berdarah. Dan sekali ujung pedang Thiat-mo-lek diputar, kembali telapak kaki Yo Bok-lo tergurat luka. Untung tadi pedang Thiat-mo-lek sedikit condong karena kena ditampar lawan, jadi posisi pedangnyapun mendoyong. Jika tidak, telapak kaki orang she Yo itu tentu sudah kutung!
Dahulu sudah beberapa kali Yo Bok-lo bertempur dengan Thiat-mo-lek. Dan setiap kali tentu dialah yang menang angin. Maka mimpipun tidak dia bahwa dalam gebrak pembukaan saja ia sudah menderita luka. Kejut orang she Yo itu tak terperikan.
”Beberapa tahun tak berjumpa, ternyata kemajuan anak ini bertambah pesat sekali!” diam-diam ia harus mengakui.
Tapi Thiat-mo-lek juga tak kurang getarnya: ”Bangsat tua ini umurnya sudah mendekati 70-an
tahun, tapi ia sanggup menyambut serangan pedangku dengan tangan kosong. Jika aku tak menang dari tenaga kemudaanku, mungkin aku benar-benar bukan tandingannya!”
Waktu bertempur lagi, keduanya sama-sama tak berani memandang rendah. Karena menderita luka lebih dulu, Yo Bok-lo tetap yang rugi. Waktu Gou Beng-yang datang dengan pasukannya, ia lantas membantu Yo Bok-lo. Betapapun lihaynya Thiat-mo-lek, namun karena musuh banyak jumlahnya, jadi ia tetap terkepung.
Tapi Se-kiat sudah keluarkan perintah untuk mundur. Tapi karena melihat Thiat-mo-lek terkepung, orang-orang sebawahan lama dari keluarga Tou dan anak buah Kim-ke-nia, tak mau berpeluk tangan. Dengan gagah berani mereka menyerbu tentara negeri.
Tapi anak buah pasukan Gi-lim-kun itu sama mengenakan baju perang dari besi. Pula mereka itu sudah terlatih baik untuk berperang secara massal (gelombang besar). Sebaliknya kawanan orang gagah dari Lok-lim itu hanya mahir dalam ilmu silat perseorangan. Sekalipun setiap orang sanggup melawan sepuluh musuh, namun menghadapi gelombang serangan dari empat jurusan, mereka tetap kewalahan juga.
”Toan-hiante, lekas bantu Thiat-sioksiokmu keluar dari kepungan. Minta dia supaya suka memikirkan keadaan keseluruhannya dan lekas turut kita mundur!” buru-buru Se-kiat meneriaki Khik-sia.
Habis itu ia berseru keras, ”Selama gunung masih menghijau, masakan takut tak memperoleh kayu bakar! Teng-locianpwe, To-toasiok, harap kalian pimpin kawan-kawan dari lain-lain tempat dan mundur ke belakang gunung. Shin-cecu, pimpinlah anak buah Kim-ke-nia melawan di bagian tengah, Kay Thian-ho, kau dan aku yang memotong di bagian belakang!”
Sekalian orang gagah yang mendengar perintah itu, sama taat. Mereka anggap komando Bengcu baru itu tepat sekali. Tetapi masih ada beberapa orang yang bawa maunya sendiri,
bertempur secara perseorangan. Lebih-lebih anak buah dari gunung Hui-hou-san, Yan-san-ce dan Kim-ke-nia. Mereka baik sekali dengan Thiat-mo-lek, seperti saudara sehidup semati. Mereka hanya curahkan perhatian untuk menolong Thiat-mo-lek. Perintah Se-kiat tadi dianggapnya sepi saja.
Melihat itu hati Se-kiat merasa kecewa dan girang. Kecewa karena ia masih kalah berwibawa dengan Thiat-mo-lek. Ya, maklum, karena baru saja menjabat Bengcu. Girang sebab ia mengetahui ciri kelemahan Thiat-mo-lek, yakni kekurangan ’toleransi’ (kesabaran), Thiat-mo-lek masih mudah dipengaruhi oleh rasa sentimen kemarahan. Ini bukan martabat dari seorang pemimpin besar.
Selintas timbul dalam hati Se-kiat untuk melepas budi, maka begitu mencemplak seekor kuda tegar, ia lantas menerjang maju.
Anak buah Kim-ke-nia saat itu tengah dikepung pasukan Gi-lim-kun. Mereka dicerai-beraikan oleh tentara kerajaan itu sehingga tak dapat saling bantu. Kesitulah Se-kiat menyerbu. Pakaian
baja dari Gi-lim-kun berat dan tak tembus senjata tajam, tapi dengan permainan pedang yang lihay, Se-kiat selalu dapat menusuk tepat ke bagian tenggorokan mereka yang tak terlindung itu. Dalam beberapa kejap saja robohlah berpulu-puluh anggota Gi-lim-kun. Dengan begitu dapatlah Se-kiat menolong anak buah penyamun yang sudah tercerai-berai itu.
”Bukankah kau ini Bo Se-kiat yang merampas kuda milik kerajaan!” tiba-tiba terdengar suara bentakan keras. Menyusul seekor kuda putih menerjang tiba. Penunggangnya seorang opsir bermuka hitam. Orang dengan kudanya, merupakan suatu warna yang amat kontras sekali. Opsir itu bukan lain ialah kakak dari Ut-ti Lam, Liong-ki-to-wi Ut-ti Pak.
Serta saling merapat, Ut-ti Pak segera ayunkan piannya menyabat, Se-kiat berseru memuji dan balas menusuk dengan pedang. Waktu Ut-ti Pak hendak menangkis, secepat kilat Se-kiat putar arah pedangnya, menusuk kuda putih lawan. Jurus serangan itu disebut ”Li-kong-sia-ciok” (Li Kong memanah batu). Ujung pedang menusuk kepala kuda.
Tapi Ut-ti Pak pun bergerak sebat sekali. Hampir pada waktu berbareng, iapun sudah balikkan pian menampar leher kuda Se-kiat. Kuda terjungkal roboh dan Se-kiat terlempar. Kini kedua- duanya sama-sama tak berkuda lagi.
”Sayang, sayang! Kepandaianmu begitu hebat, mengapa mau jadi penyamun?” teriak Ut-ti Pak. ”Memang aku tak berhasratkan pangkat. Hal itu pernah kukatakan kepada adikmu!” sahut Se- kiat.
”Ya, pertempuranmu dengan adikku di gunung Pak-bong-san telah kuketahui. Terima kasih atas kemurahan hatimu kepadanya. Turut kepantasan, seharusnya aku lepaskan kau, tapi aku masih ada sedikit ketidakpuasan. Tempo hari dengan tangan kosong kau dapat merebut senjata pian adikku.
Maka kini jika aku tak menempur kau sampai beberapa puluh jurus, kau tentu menganggap ilmu permainan pian dari keluarga Ut-ti hanya sebegitu saja!” kata Ut-ti Pak.
Se-kiat mengucapkan beberapa patah kata merendah. Segera Ut-ti Pak mainkan piannya untuk mengurung tubuh Se-kiat. Terpaksa Se-kiat melayani dengan hati-hati. Ternyata permainan ilmu pian dari Ut-ti Pak itu jauh lebih lihay dari adiknya. Kalau sewaktu berhadapan dengan Ut-ti Lam, Se-kiat dapat menang dengan hanya memakai tangan kosong. Tapi sekarang walaupun menggunakan pedang, namun ia hanya dapat bermain seri saja melawan Ut-ti Pak.
Kedua jago itu bertempur dengan serunya. Kalau Ut-ti Pak beringas dan tangkas, adalah Se-kiat bermain dengan tenangnya. Sinar-sinar pedangnya seperti mata rantai yang melingkar-lingkar laksana hujan deras. Keduanya sama kuat dan gagah. Melihat jalannya pertempuran itu, diam- diam Se-kiat menjadi sibuk sendiri.
Di sana Toan Khik-sia pun mengamuk laksana banteng ketaton. Ia berlincahan dengan ginkangnya yang hebat. Menusuk kesana, menabas kesini. Pagar berlapis yang merupakan pasukan musuh itu, tak dapat berbuat apa-apa terhadap anak muda itu. Setempo ia menyelinap masuk di antara barisan tentara, lain waktu ia berloncatan melampaui kepala para opsir musuh. Dalam beberapa kejap saja ia sudah berhasil menerjang masuk ke dalam kepungan tentara yang memagari Thiat-mo-lek itu.
Di dalam barisan yang mengepung Thiat-mo-lek itu terdapat Yo bok-lo, Gou Beng-yang dan
belasan bu-su kelas satu yang menjadi orang sebawahan Tian Seng-su. Menurut penilaian, pasukan pengepung itu jauh lebih kuat dari pasukan Gi-lim-kun.
Dalam kesempatan waktu Toan Khik-sia melambung ke udara, ia segera gunakan jurus ”gin-ho- sia-ing” atau Bima Sakti (sungai bintang) meluncurkan bayangan. Ujung pedangnya langsung mengancam Yo bok-lo. Waktu Yo Bok-lo menghindar ke samping, terdengarlah dua kali jerit ngeri. Dua orang Busu yang berada di kanan-kiri Yo Bok-lo, sudah tembus tenggorokannya. Kiranya jurus Gin-ho-sia-ing itu mempunyai tiga gerakan berisi tenaga penuh. Sinar pedang berubah menjadi lingkaran jaring yang tertebar. Dalam lingkaran seluas satu tombak persegi, musuh tentu akan termakan binasa. Lihaynya bukan kepalang.
Yo Bok-lo menggeram marah. Sekaligus ia menghantam kedua pelipis Khik-sia dengan sepasang tangan. Saat itu Khik-sia baru saja turun ke tanah. Sudah tentu Thiat-mo-lek menjerit kuatir, cepat ia hantankan pedangnya ke tengah untuk menahan pukulan Yo Bok-lo itu.
Tapi ternyata Khik-sia dapat bergerak luar biasa sebatnya. Ia sudah secepat kilat menyerang tiga kali. Angin sambatan pedangnya menampar ke muka lawan. Tapi ternyata Yo Bok-lo itu seorang jago kawakan yang kenyang pengalaman. Dengan tenang sekali, ia gerakkan kedua
tangannya untuk membela diri dan menyerang. Dalam sekejap saja ia sudah dapat memecahkan serangan Khik-sia tadi.
Gou Beng-yang buru-buru menghampiri. ”Lo-chiu-poan-kin” atau pohon tua melingkarkan
akar, adalah jurus yang dimainkan Gou Beng-yang untuk menyapu kaki Khik-sia. Tetapi dengan berlincahan macam anak kecil main loncat tali, tiga kali serangan pian beruntung dari Gou Beng- yang itu selalu hanya menyambar lewat di bawah sepatu Khik-sia saja.
Dalam pada itu Khik-sia telah berputar diri dan membentaknya: ”Bagus, kau benar-benar kaum budak yang ganas, biar kubunuhmu dulu!”
”Cik-ci-thian-lam” atau lurus menuding ke arah langit selatan, adalah jurus yang ditusukkan
Khik-sia. Ujung pedangnya menyusup ke dalam lingkaran pian dan terus menusuk ke muka orang. Gou Beng-yang tersipu-sipu gunakan gerak ”lengkungkan pinggang menanam pohon-liau”.
Sembari tekuk pinggang ia gelincirkan kakinya. Dengan susah payah barulah ia dapat lolos dari tusukan Khik-sia. Namun bagaikan bayangan melekat, Khik-sia memburu dan menyusuli pula dengan serangan yang bertubi-tubi. Beng-yang menjadi sibuk bukan buatan.
Sebagai Thong-leng dari pasukan Gwe-thok-lam, sudah tentu Beng-yang mempunyai
kepandaian silat yang tinggi. Hanya karena pernah kecundang satu kali oleh anak muda itu, maka belum-belum ia sudah mempeuyai rasa takut terhadap Khik-sia. Rasa takut merupakan halangan besar bagi orang tengah bertempur. Karena takut, permainannya menjadi tak wajar. Terhadap serangan Khik-sia itu, ia hanya dapat menangkis, sama sekali tak mampu balas menyerang.
Melihat itu, Yo Bok-lo buru-buru berteriak: ”Gunakan Te-hong-to dan Liu-sing-ji untuk menghadapinya!”
Te-tong-to artinya ilmu permainan golok dengan bergelundungan di tanah. Sedang Liu-sing-jui adalah senjata bandringan yang diikat dengan rantai. Te-tong-to khusus untuk membabat kaki orang, sedang Liu-sing-jui menyambar-nyambar di udara untuk menghantam batok kepala musuh. Ternyata dalam rombongan Bu-su itu, ada empat orang murid Yo Bok-lo. Berkat dilatih Yo
Bok-lo, ada dua orang muridnya yang mahir dalam ilmu Te-tong-to dan dua orang lagi yang pandai menggunakan Liu-sing-jui. Terhadap musuh yang lihay ginkangnya, kedua senjata itu paling cocok digunakan.
Tapi ginkang Khik-sia terlalu tinggi untuk diserang oleh kedua senjata itu. Dari bawah golok
tak dapat mengenai kakinya, dari atas Liu-sing-jui tak mampu menghantamnya. Tapi sekalipun begitu, Khik-sia terpaksa harus menjaga diri. Dan karena itu tekanan yang diderita Gou Beng-yang menjadi kendur juga.
Kini rasa takut Beng-yangpun mulai hilang. Tiang-pian atau ruyung panjang segera dikembangkan dengan hebat. Dibawah teriakan dan bantuan para Bu-su, kini ia berbalik menjadi menang angin.
Tiba-tiba di barisan tentara negeri terbit kekacauan. Dua orang pemuda menerjang maju. Menyusul terdengar suara kelintingan. Seorang nona baju merah tampak berlarian datang. Itulah Sip-hun-leng Lu Hong-jiu. Orangnya belum tiba, senjata rahasianya sudah melayang. Seperti telah disebutkan di atas, senjata rahasianya itu berupa kelintingan emas yang besarnya hanya seperti jari telunjuk. Jika tak digunakan, dipasang pada ujung bajunya sebagai perhiasan. Kini ia timpukkan kelinting-kelinting emas itu sebagai senjata rahasia. Suaranya berkelintingan menusuk telinga.
Timpukan Lu Hong-jiu bukan sembarang timpukan melainkan mengarah jalan darah orang. Seketika beberapa orang Bu-su sudah bergelimpangan roboh.
”Celaka, Si-hun-leng dari keluarga Lu!” beberapa Bu-su yang kenal akan kelintingan istimewa itu segera berteriak kaget.
Mendengar itu, paniklah barisan Bu-su. Mereka desak-mendesak lari kian kemari untuk menyelamatkan diri.
Pada lain kejap, kedua pemuda tadipun sudah menerjang datang. Kiranya mereka bukan lain ialah Yak-bwe dan In-nio yang menyaru sebagai lelaki. Yak-bwe yang tiba lebih daulu, segera membabat ke bawah. Salah seorang yang menyerang Khik-sia dengan ilmu golok Te-tong-to tadi, segera tak berkutik lagi.
Kini setelah berkurang tekanannya, Khik-sia segera kisarkan kaki dalam gerak Ih-hing-hoan-wi (pindah bentuk ganti tempat). Begitu sang kaki melangkah, orang satunya yang menyerang dengan Te-tong-to tadi ikut terpijat remuk tulang punggungnya.
”Terima kasih!” Khik-sia berpaling ke arah Yak-bwe seraya berseru. Dan saat itu Yak-bwe pun tengah memandangnya. Empat mata saling beradu.
Khik-sia terkesiap. Rasanya ia seperti sudah pernah bertemu dengan ”pemuda” itu, tapi lupa-
lupa ingat ia dimana. Apalagi di medan pertempuran yang dahsyat seperti kala itu, tak sempat lagi ia menggali ingatannya.
”Wut, wut,” tiba-tiba terdengar bandringan menyambar kepala Khik-sia. Walaupun sekarang ia tak perlu kuatir lagi, namun tak boleh ia tinggal diam saja. Ia enjot tubuhnya ke atas untuk menyambar rantai Liu-sing-jui. Sudah tentu orang itu tak dapat menandingi tenaga Khik-sia. Sekalai dibetot, Liu-sing-jui itu terlepas dari tangannya.
Setelah merebut Liu-sing-jui musuh, Khik-sia segera timpukkan ke arah Liu-sing-jui musuh
kedua yang tengah menyambar datang, ”Trang!” saking kerasnya hantaman Khik-sia, orang kedua yang menyerang dengan Liu-sing-jui itu sampai jungkir-balik. Begitu merangkak bangun cepat- cepat ia lantas ikut jejak kawannya untuk melarikan diri.
In-nio dan Yak-bwe lintangkan pedang untuk menyambuti sebatang pian Beng-yang. Dengan begitu dapatlah Khik-sia kesempatan untuk menghajar kedua penyerangnya yang menggunakan Liu-sing-jui tadi. Kemudian anak muda itu berputar diri dan menyerang Beng-yang kembali. Satu persatu saja sebenarnya Gou Beng-yang itu bukan tandingan Khik-sia, apalagi ditambah dengan In- nio dan Yak-bwe berdua.
Cret, pantat Beng-yang termakan sebuah tusukan pedang. Tanpa banyak pikir lagi, orang she Gou segera angkat kaki seribu.
”Bagus, Toan siauko, ilmu pedangmu sungguh hebat. Jurus kim-cian-tok-kiap tadi indah
sekali!” tiba-tiba Lu Hong-jiu kedengaran memuji. Ternyata nona itupun sudah dapat menerjang ke dekat Khik-sia.
Tadi waktu pertama kali mendengar mulut Khik-sia mengucapkan terima kasih kepadanya, perasaan hati Yak-bwe seperti dimabuk sarinya madu. ”Apakah ia belum mengetahui diriku? Ai, kali ini kau tentu tahu betapa kesetiaan hatiku padamu!” pikirnya.
Tapi kini demi Lu Hong-jiu muncul ke dekat Toan Khik-sia dan bahu merapat bahu bertempur melawan musuh, sejenakpun Khik-sia tak mau berpaling kemari lagi. Hati Yak-bwe mendongkol sekali.
”Bagus, kau masih pura-pura tak kenal padaku!” diam-diam ia mendamprat. Namun saat itu
masih dalam pertempuran, maka Yak-bwe pun tak dapat menumpahkan kemarahannya dan terpaksa hanya mengikut di belakang anak muda itu untuk menggempur musuh. Hong-jiu kembali memetik 3 buah kelinting emas. Sekali ayunkan tangan, ketiga kelinting itu segera melayang merupakan bentuk huruf ”V”. Yang atas menghantam jalan darah thay-yang-hiat di pelipis Yo Bok-lo, yang di tengah mengarah jalan darah hian-ki-hiat di dadanya dan yang bawah mengancam jalan darah hoan-thiam-hiat di ujung paha orang itu.
Tetapi iblis she Yo itu hanya tertawa dingin saja, ”Hh, mutiara sebesar biji beras, masakan dapat memancarkan sinar terang!”
Dua buah jari tangannya dijentikkan, kakinya ditendangkan dua buah kelinting yang melayang
ke arah pelipis serta paha segera terpental balik. Sedang kelinting yang menghantam ke dadanya dibiarkan saja.
Tring, kelinting itu membentur dada tapi bukan Yo Bok-lo yang roboh melainkan kelinting itu sendiri yang membal balik. Kiranya Yo Bok-lo telah menyakinkan ilmu lindung kim-ciong-toh. Jangan kata hanya sebuah kelinting kecil, sekalipun pedang dan lain-lain senjata tajam, tak nanti mampu melukai dirinya.
Kalau tadi Hong-jiu mengirim ketiga buah kelintingnya dalam bentuk huruf V ( satu di atas, dua di bawah), pun kini Yo Bok-lo mengirimnya kembali juga dalam bentuk huruf tersebut. Tapi
bedanya, timpukan Hong-jiu tadi hanya mengeluarkan bunyi kelintingan, adalah sekarang tamparan Yo Bok-lo itu sampai membuat kelinting-kelinting itu bersuara riuh sekali. Entah berapa kali lipat kerasnya dari timpukan si nona tadi.
Selagi Hong-jiu masih meragu tak berani lekas-lekas menyambuti kelinting itu, dengan tangkas sekali Khik-sia sudah ulurkan tangannya dan menyanggapi terus diterimakan kepada yang empunya. Wajah Hong-jiu kemerah-merahan, serta merta ia berbisik mengucapkan terima kasih. Yak-bwe yang mengikuti di belakang mereka, tahu akan kejadian itu. Ia merasa girang tapi pun agak kecut hatinya. Girang karena Hong-jiu sudah memperlihatkan ’isinya’ yang sebenarnya.
Nyata kepandaian nona itu tak jauh bedanya dengan dirinya. Tapi mendongkol karena Khik-sia telah menolong nona itu dengan mesranya.
Sebenarnya senjata rahasia kelinting emas dari Lu Hong-jiu itu termasuk golongan tokoh persilatan kelas satu. Tapi celakanya, kali ini ia bertemu dengan Yo Bok-lo. Ilmu kim-ciong-toh yang diyakinkan orang she Yo itu merupakan ilmu penunduk dari senjata rahasia termasuk yang dimiliki Hong-jiu itu.
Namun walaupun tak takut akan senjata kelinting dari Hong-jiu, Yo Bok-lo tetap gentar akan serangan pedang Thiat-mo-lek. Di saat ia bergerak untuk menghalau serangan kelinting tadi, Thiat- mo-lek sudah membarengi dengan sebuah tabasan. Hampir saja ia kena tertabas. Adalah setelah pontang-panting berjungkir balik sampai tiga kali, barulah ia dapat menyelamatkan diri.
Thiat-mo-lek hendak mengejarnya tapi Khik-sia segera meneriaki: ”Thiat- toako, Se-kiat menyuruhmu kembali. Jika kau tak mau balik, saudara-saudara kita tak mau mundur!”
Thiat-mo-lek tersadar, serunya” ”Ya, benar, tak boleh karena diriku seorang sampai membikin celaka semua saudara-saudara!”
Ia berputar diri untuk membuka jalan keluar. Karena Yo Bok-lo dan Gou Beng-yang sudah menyingkir, tak ada lain orang lagi yang mampun menahan terjangan Thiat-mo-lek. Dalam beberapa kejap saja kepungan dari kawanan Bu-su itu telah menjadi bobol.
Pada saat itu, Se-kiat dan Ut-ti Pak telah bertempur sampai 30 jurus lebih. Melihat Thiat-mo- lek sudah meloloskan diri, Se-kiat menjadi sibuk. Ut-ti Pak selalu mendesaknya dengan seru. ”Awas, terimalah pianku!” bahkan tiba-tiba Ut-ti Pak membentak keras seraya menyerang
hebat. Ternyata ia mainkan salah satu jurus yang paling ganas dari ilmu permainan pian Cui-mo- pian-hwat, yakni yang disebut pat-hong-ih-hwe-tiong-ciu atau hujan dan angin dari delapan penjuru bertemu di Tiong-ciu. Ribuan sinar pian, benar-benar seperti badai menderu gelombang mendampar.
”Bagus!” seru Se-kiat. Ujung pedang dijungkatkan ke atas, tiba-tiba ia melambung ke udara dan gunakan jurus tian-thian-cu-hiang atau mendonga ke langit membakar dupa.
Sinarnya segera berubah menjadi seperti rantai, memagut-magut ke dalam sinar pian. Krak ... bret ... terdengar dua kali suara. Lengan baju Se-kiat robek terkena pian, sedang leher baju Ut-ti Pak pun berlubang termakan pedang Se-kiat. Dua-duanya menderita kerugian alias seri. Ut-ti Pak tertawa gelak-gelak, serunya: ”Kau benar-benar lihay. Lain kali kita bertempur lagi sampai 300 jurus!”
Kiranya karena tahu Thiat-mo-lek sudah lolos, maka Ut-ti Pak pun tak mau melibat anak muda itu. Karena Cin Siang dan Ut-ti Pak sengaja mengalah, maka dapatlah Se-kiat dan Thiat-mo-lek bergabung menjadi satu lagi. Beberapa kelompok anak buah penyamun yang masih terkepung, dapat juga ditolong mereka.
Sekalipun diam-diam Cin Siang dan Ut-ti Pak memberi kelonggaran pada Thiat-mo-lek, namun mereka tak kuasa mencegah pasukan Gi-lim-kun yang menggempur barisan penyamun. Anak buah penyamun itu tidak menerima didikan kemiliteran, mereka bertempur sambil mundur. Digempur hebat oleh pasukan Gi-lim-kun, barisan penyamun itu berceceran kalang kabut. Tidak lagi mereka merupakan suatu formasi kesatuan, melainkan masing-masing sama lari pontang-panting menyelamatkan jiwanya sendiri-sendiri. Untung masih ada Thiat-mo-lek dan beberapa tokoh lain yang melindungi, hingga kerusakan yang dideritanya tidak begitu besar.
Pada saat itu kawanan liaulo dari markas Kim-ke-nia sudah menghilang semua. Sebelum mundur, dengan memimpin beberapa anak buahnya, Shin Thian-hiong membakari belasan tempat di dalam dan di luar markasnya. Api cepat berkobar dengan hebatnya. Thian-hiong mempunyai
dua maksud dengan melepas api itu. Pertama, jangan sampai tentara negeri mendapatkan barang- barang yang berada di markas. Kedua, kebakarang itu akan dapat menghalangi serbuan mereka.
Thiat-mo-lek, Se-kiat, dan lain-lain bertugas untuk melindungi anak buahnya. Setelah anak buah mereka sudah sama lolos, barulah mereka mundur. Thiat-mo-lek memandangi api yang berkobar-kobar itu dengan hati kecewa.
”Akulah yang menjadi gara-garanya hingga markas Shin toako menjadi korban,” katanya.
Se-kiat menghiburinya: ”Api perjuangan kita takkan padam. Begitu angin musim semi meniup tentu akan berkobar lagi. Asal kita dapat bersatu padu, masakan dikelak kemudian hari kita takkan punya pangkalan yang lebih megah lagi. Mengapa toako lekas berputus asa?”
Thiat-mo-lek mengiyakan.
Saat itu api makin besar dan menjalar luas. Hutan yang terletak di muka markas itu, dalam beberapa kejap tentu akan terjilat. Itu berarti jalanan akan putus. Tiba-tiba maka Thiat-mo-lek tertumbuk akan pemandangan yang mengejutkan. Jago tua Ban Liu-tong bersama 7-8 muridnya masih terkepung tentara negeri. Tempat mereka bertempur itu ialah di sebuah tikungan gunung, maka tadi Thiat-mo-lek dan kawan-kawan tak melihat mereka.
Ban Liu-tong menggunakan senjata hou-than-jiang (tombak berkepala harimau) yang beratnya tak kurang dari 50-an kati. Usianya sudah hampir 70-an tahun, namun masih begitu gagah sekali. Sudah belasan serdadu Gi-lim-kun yang binasa di tangan jago tua itu. Melihat itu Cin Siang menjadi murka. Segera ia keprak kudanya menghampiri.
”Celaka!” Thiat-mo-lek mengeluh kaget. Cepat ia menyambar busur besi dari seorang thaubak, terus lari ke sana.
Kuda tunggangan Cin Siang itu pesat sekali. Dalam sekejap saja, sudah tiba di tikungan. Belum orangnya tiba, sepasang ’kan’-nya sudah menghantam. Ban Liu-tong coba menangkis dengan tombaknya. Cin Siang juga memiliki tenaga pembawaan yang luar biasa kuatnya.
Tenaganya tak di bawah Thiat-mo-lek. Sudah tentu jago tua she Ban itu tak kuat menahannya. Krak, begitu berbentur, ujung tombak segera putus. Kan di tangan kiri Cin Siang didorongkan dan senjata di tangan kanan menghantam lagi.
”Jangan mencelakai jiwa Ban lo-enghiong!” tiba-tiba terdengar Thiat-mo-lek berteriak keras. Menyusul ia lepaskan sebatang anak panah. Anak panah itu menderu-deru menerobos di tengah- tengah tombak dan Kan. Itu berarti seperti melerai mereka.
Cara ilmu memanah yang lihay disertai tenaga yang luar biasa hebatnya itu, telah menimbulkan kegemparan. Sampaipun kawanan tentara negeri turut bersorak memuji.
Melihat lawan tua, yang sudah beruban itu masih dapat menyambut serangannya, Cin Siang pun tak tega membunuhnya. Apalagi Thiat-mo-lek turut memintakan kelonggaran, maka ia memutuskan untuk sekali lagi membeli hati sahabatnya (Thiat-mo-lek) itu. Cin Siang pura-pura hendak menunjukkan bahwa kudanya kaget karena bidikan panah tadi, maka ia lantas jepitkan kedua kakinya keras-keras ke pinggang kuda. Binatang itu sudah terlatih baik. Begitu pinggangnya dijepit oleh sang tuan, ia lantas berputar dan mencongklang keras ke lain jurusan. Dengan begitu, Ban Liu-tong dan murid-muridnya terhindar dari kehancuran.
Kini jago tua itu bersama anak muridnya segera berjuang keras untuk mengundurkan anak buah pasukan Gi-lim-kun. Tapi celakanya dari arah belakang, pasukan Gwe-thok-lam dari Tian Seng-su pun menyerang. Pasukan itu dipimpin oleh tangan kanan Beng-yang yang bernama Pek Siat.
Ban Liu-tong menjadi beringas. Tombaknya yang kutung separoh tadi, kini digunakan sebagai toya (tongkat). Sepasang golok dari Pek Liat, kena dihantam jatuh. Tapi tiba-tiba jago tua itu menguak. Ia muntahkan segumpal darah segar. Kiranya tadi sewaktu menyambut hantaman Cin Siang, ia sudah terluka dalam. Beberapa anak muridnya buru-buru menyanggapinya. Sudah tentu Thiat-mo-lek tak dapat berpeluk tangan mengawasi kejadian yang mengenaskan itu. Untuk kedua kalinya, ia kembali menerjang masuk ke dalam barisan tentara negeri.
Dalam medan pertempuran, yang masih bertempur hanyalah partai Ban Liu-tong yang
terkepung itu saja. Lain-lain rombongan penyamun, ada yang sudah mundur ke belakang gunung, ada yang lolos dari kejaran musuh. Di sana-sini tampak orang berserabutan lari kian kemari.
Suasana di gunung situ, jauh berlainan dengan sebelum pasukan negeri menyerbu ke atas. ”Toan hiante, silahkan kau berangkat dulu. Aku hendak menyongsong Ban lo-enghiong. Nanti aku segera menyusul!” kata Se-kiat.
”Aku mau ikut!” sahut Khik-sia.
”Ah, kawan-kawan kita yang masih terkepung hanya beberapa orang saja. Tak usah kita banyak buang tenaga. Lu lihiap dan beberapa saudara itu baru pertama kali ini datang ke Kim-ke-nia, mereka tentu tak paham jalanan di sini. Silahkan kau pimpin mereka meloloskan diri dulu. Jangan kuatir, Toan hiante, sekalipun musuh berjumlah besar, tetapi belum tentu mereka mampu menghadang aku dan Thiat toako!” kata Se-kiat.
Mendengar itu, terpaksa Khik-sia mengiyakan: ”Baiklah, kutunggu kalian di sebelah muka sana!”
Di dalam lautan api yang menggenangi puncak Kim-ke-nia itu, Khik-sia pimpin kawan-
kawannya untuk mencari jalan keluar. Dengan mengitari lautan api itu, ia ajak rombongannya ke belakang gunung. Pasukan Gi-lim-kun coba mengejar, tapi dibikin kocar-kacir oleh senjata rahasia yang ditimpukkan Lu Hong-jiu. Pohon-pohon di dalam hutan yang termakan api itu, tumbang bergelundungan ke bawah. Ini merupakan rintangan bagi musuh. Ditambah pula dengan api yang meranggas maju, pasukan Gi-lim-kun itu terpaksa hentikan pengejarannya.
Setelah terlepas dari pengejaran, rombongan Toan Khik-sia tiba di sebuah selat yang terletak di bagian belakang dari gunung itu. Waktu menoleh ke belakang, dilihatnya api menjulang ke langit, tetapi hiruk-pikuk teriakan orang sudah tak kedengaran lagi.
Memandang sejenak kepada rombongannya, Hung-jiu tertawa: ”Ha, kita semua berubah menjadi setan hitam ini!”
Kiranya karena menerobos di sebelah lautan api, muka orang-orang itu menjadi hitam terkena asap. Kebetulan di dekat situ ada sebuah aliran sungai. Khik-sia segera ajak kawan-kawannya: ”Ayo, kita cuci muka dulu ke sana, kemudian kita tunggu kedatangan Thiat-toako dan Bo-heng di sini!”
Di sungai situ terdapat dua buah batu yang dapat digunakan untuk tempat membasuh muka. Dasar anak perempuan, maka Hong-jiulah yang buru-buru lantas membersihkan mukanya. Khik-sia duduk di atas salah sebuah batu itu dan melambaikan tangannya kepada In-nio dan Yak-bwe. ”Ai, disini masih ada tempat. Siapa di antara kalian yang mau kemari, silahkanlah, jangan sungkan. Kita semua adalah kaum lelaki, tak usah rikuh-rikuh.”
Ternyata kedua batu itu saling berdekatan. Jadi kalau orang duduk membasuh muka, tentu akan duduk saling merapat. Karena itu maka Khik-sia tadi tak mau bersama-sama cuci muka dengan Hong-jiu.
”Fui, berapakah usiamu, berani kau memberi ceramah tentang pergaulan wanita pria?
Kuanggap kau ini hanya sebagai seorang adik kecil saja. Tetapi sebaliknya kau tak berani bersama aku mencuci muka!” Hong-jiu mendengus tertawa. ”Bukannya tak berani, melainkan biar kau lebih leluasa. Mengapa kau tak berterima kasih kepadaku?” bantah Khik-sia. ”Huh, selalu kau ini mengatakan aku masih kecil saja. Toh kalau berdiri, aku lebih tinggi setengah kepala dari kau!”
Yak-bwe hanya tertawa dingin mendengar pembicaraan mereka itu.
”Hai, saudara yang itu! Muka kita semua seperti pantat kuali, jangan menertawakan orang. Ayo, sini lekas cuci mukamu!” tiba-tiba Khik-sia meneriaki Yak-bwe.
Khik-sia baru berusia 17-an tahun, jadi sifat kekanak-kanakannya masih belum hilang. Ia kira Yak-bwe tadi menertawakan orang-orang.
Sebaliknya telinga Hong-jiu yang tajam, dapat menangkap nada tertawa Yak-bwe tadi agak aneh. Ia menjadi kurang senang dan deliki mata kepada Yak-bwe.
Juga Yak-bwe mendongkol terhadap Khik-sia. In-nio buru-buru membisikinya: ”Itu Khik-sia memanggilmu, pergilah!”
”Pergi ya pergi, masakah aku takut kepadanya!” jawab Yak-bwe dengan aseran.
Khik-sia mendengar juga ucapan Yak-bwe itu. Diam-diam ia merasa heran, ”Omongan orang ini aneh benar. Kusuruh cuci muka bersama aku, masakah mengigau tidak takut segala?”
Hanya karena dalam medan pertempuran tadi, pemuda itu membantu sekuat tenaganya, apalagi ia belum mengetahui siapakah sebenarnya pemuda itu, maka Khik-sia hanya menganggapnya sebagai seorang sahabat baru saja. Walaupun hatinya merasa heran, namun ia sungkan untuk meminta keterangan juga.
Begitulah kedua anak muda itu duduk berjajar di batu itu. Sambil cuci muka, Khik-sia
bertanya: ”Terima kasih atas bantuan saudara tadi. Tapi maaf, aku belum mengetahui nama saudara yang mulia ini? Dan saudara ini dari golongan mana?”
Saat itu muka mereka sudah tercuci bersih. Kecantikan Yak-bwe tampak memancar jelas. Saking kagetnya Khik-sia sampai melonjak: “Kau, kau adalah ….”
Tak tahu bagaimana Khik-sia hendak mengucapkan sebutannya. Maka sampai pada kata-kata ’adalah’ mulutnya hanya ternganga saja. Jantungnya berdetak keras, darahnya mengalir kencang. ”Siapakah dia?” buru-buru Hong-jiu bertanya.
Cepat-cepat Khik-sia katupkan mulut lalu berseru keras: ”Dia adalah toasiocia dari Sik Ko, ciat- to-su Lo-ciu. Dia menjadi menantu kesayangan dari Gui-pok-ciat-to-su Tian Seng-su!”
Hong-jiu itu seorang nona yang beradat keras. Begitu mendengar keterangan itu, ia segera naik pitam. Bentaknya: ”hm, kiranya kaulah perempuan hina ini yang menjadi cumi-cumi dalam selimut!”
Kejadian yang tak disangka-sangka itu hampir saja membuat dada Yak-bwe meledak. Kontan ia balas mendamprat: ”Kau sendirilah perempuan hina yang tak tahu malu!”
Wut, ia serentak menampar mulut Hong-jiu. Tapi ternyata tenaga Hong-jiu lebih kuat. Sekali ia dorongkan kedua tangan, Yak-bwe terhuyung-huyung ke belakang sampai tiga langkah. Hampir saja ia tergelincir jatuh ke dalam sungai.
Tring, Hong-jiu cepat mencabut hu-yap-to (pisau belati yang tipis seperti daun pohon liu), lalu memaki pedas: ”Pengkhianat yang bernyali besar, jika tak kubunuh sungguh membikin kecewa saudara-saudara kita yang gugur dalam pertempuran tadi!”
Yak-bwe tertawa mengejek: ”Ya, kalian begitu bernafsu hendak mengambil jiwaku supaya cita- cita kalian dapat terkabul, bukan? Hm, tidak semudah itu kawan!”
Tring, iapun segera melolos pedang untuk menyambut serangan Hong-jiu. Yak-bwe sudah mewarisi seluruh ilmu pedang dari Biau Hun sin-ni, ”Sret, sret, sret,” tiga kali serangan dilancarkan berturut-turut. Dirangsang oleh api kemarahan, serangan Yak-bwe itu luar biasa dahsyatnya.
Kepandaian istimewa dari Hong-jiu ialah terletak dalam ilmu menggunakan senjata rahasia. Sekalipun dalam ilmu permainan golok ia juga tak lemah, namun tetap kewalahan juga menghadapi serangan Yak-bwe yang sedahsyat itu. Seketika situasi menjadi berubah. Dari pihak penyerang, kini Hong-jiu menjadi pihak yang diserang. Hampir saja ia tergelimpang jatuh dalam air karena didesak Yak-bwe.
”Toan Khik-sia, mengapa kau diam saja? Terhadap seorang pengkhianat, mengapa kau masih tetap memegang peraturan Kangouw?” Nyata ia telah salah sangka. Melihat Khik-sia hanya diam saja tak mau memberi bantuan padanya, ia kira anak muda itu enggan main keroyok.
Khik-sia gelisah bukan buatan. Waktu mendengar teriakan Hong-jiu tadi, ia gelagapan.
Pikirnya: ”Ya, kali ini mengapa pasukan Gwe-thok-lam dari Tian Seng-su dapat bergabung dengan pasukan Gi-lim-kun menyerang kemari? Dengan mata kepala sendiri aku pernah melihat ia bergandengan tangan mesra sekali dengan anak lelaki Tian Seng-su. Hm, hari ini ia berani menyelundup ke Kim-ke-nia. Jika bukan seorang cumi-cumi, paling tidak ia itu seorang musuh juga! Tali pertunangan siang-siang sudah kuputuskan, perlu apa aku memberatkannya lagi?” Berpikir sampai di situ, Khik-sia segera mengambil ketetapan. Tepat pada saat itu, terdengar suara ”bret”. Baju Hong-jiu kena tertembus oleh ujung pedang Yak-bwe. Kini nona yang tersebut di muka itu ungkang-ungkang dengan satu kakinya di tepi sungai, tubuhnya bergoyang-goyang hendak jatuh. Yak-bwe tak mau kasih hati. Waktu ia hendak melancarkan serangan lagi untuk mendesak lawan jatuh ke dalam sungai, tiba-tiba ada serangkum angin keras menyambar. Kiranya Khik-sia sudah lantas loncat maju. Dengan gong-chiu-jip-peh-jim (tangan kosong merebut senjata musuh), ia hendak merebut pedang Yak-bwe.
Yak-bwe makin berkobar marahnya. ”Bagus, tuan Khik-sia, bunuhklah aku!” teriaknya. Dengan kalap ia menusuk anak muda itu.
Kepandaian Khik-sia sebenarnya jauh lebih lihay dari nona itu. Tetapi karena serangan Yak- bwe itu keliwat dahsyatnya, Khik-sia terpaksa tak dapat memilih lain jalan lagi. Ia harus melukai
Yak-bwe atau ia akan gagal merebut senjatanya. Akhirnya ia terpaksa keraskan hati dan gunakan Kim-kong-ciang (pukulan tenaga raksasa) untuk menampar. Jika sampai kena, Yak-bwe pasti akan terluka parah.
Tangan Khik-sia sudah menempel pada kulit Yak-bwe. Sewaktu hendak melancarkan lwekangnya, tiba-tiba pikiran Khik-sia terlintas: ”Benar aku sudah putus tunangan dengannya, tapi ayahnya telah melepas budi besar kepada keluargaku. Jika aku sampai melukainya, di alam baka ayahku tentu akan menyesali perbuatanku.”
Secepat berpikir begitu, secepat itu pula ia sedot kembali lwekangnya. Sekalipun begitu, angin pukulannya tadi telah membuat tubuh Yak-bwe terhuyung juga. Saat itu Hong-jiu sudah dapat memperbaiki posisinya. Sret, ia mengisar maju dan ayunkan goloknya. Karena saat itu Yak-bwe sedang terhuyung, jadi ia tak sempat lagi untuk menangkis. Untung dalam detik-detik yang berbahaya itu, dengan sebat sekali, Khik-sia segera loncat kemuka, tepat menghadang di tengah- tengah kedua nona itu. Di satu pihak ia menahan serangan golok Hong-jiu, di lain pihak ia mendorong pelahan-lahan hingga Yak-bwe tertolak mundur beberapa langkah.
Caranya ia menolong Yak-bwe itu, pintar sekali. Loncat sembari gerakan tangan tadi, dilakukan berbareng. Sepintas pandang tampaknya ia seperti memburu Yak-bwe dan menghantamnya. Sudah tentu Hong-jiu tak dapat melihat ukal si anak muda yang lihay itu. Pun ia tak menyangka sama sekali, bahwa Khik-sia akan melindungi nona yang dianggapnya sebagai cumi-cumi itu.
Salah paham di gedung Tian Seng-su tempo hari itu, hanya Khik-sia sendiri yang mengetahui. Dan salah paham itu hanya anggapannya sendiri saja. Yak-bwe sama sekali tak merasa, bahwa tindakannya untuk menolong anak muda itu malah dianggap menyakiti hatinya.
Kalau Yak-bwe sendiri saja tak merasa, apalagi In-nio. Melihat perubahan sikap Khik-sia yang tak terduga-duga itu, In-nio menjadi kelabakan seperti semut di atas kuali panas.
”Ia sudah mengenali adik Bwe tapi mengapa berbalik muka? Apakah ia sungguh sudah berbalik hati kepada adik Bwe?” pikirnya dengan cemas.
Baru ia berpikir begitu, disana kedengaran Yak-bwe berseru marah-marah. ”Toan Khik-sia, sungguh bagus perbuatanmu! Baiklah, aku akan mengalah supaya kalian berdua dapat melaksanakan idam-idamanmu. Mulai saat ini, aku tak sudi melihat tampangmu seorang yang tak kenal budi itu!”
Begitu berputar tubuh, Yak-bwe lantas lari pergi .....
”Yak-bwe, Yak-bwe! Ai, kalian seharusnya bicara baik-baik, mengapa bertengkar begitu!” In- nio terkejut dan cepat-cepat meneriakinya.
”Bukankah kau melihat sendiri, dia begitu tipis budinya, perlu apa banyak bicara lagi? Ayo, kita pergi saja!” sahut Yak-bwe.
In-nio menjadi serba salah. Ia tak mampu menasehati tapipun enggan ikut Yak-bwe. Ia percaya
di antara kedua anak muda itu tentu terjadi suatu kesalahpahaman. Tapi dalam saat-saat itu ia pun bingung, jadi tak dapat memberi penjelasan pada Khik-sia.
Waktu mendengar kata-kata yang terakhir dari Yak-bwe tadi, Hong-jiu menjadi jengah dan gusar.
”Hai, perempuan siluman, kau mengaco-belo apa itu?” bentaknya dengan marah sekali. Diambilnya dua buah kelinting lalu mengejar Yak-bwe dan terus menimpuknya.
”Sudahlah, sudahlah, biarkan dia pergi!” seru Khik-sia seraya lontarkan dua buah thiat-lian-cu. Dengan tepat sekali thiat-lian-cu itu dapat menghantam jatuh kedua kelinting Hong-jiu.
Hong-jiu tertegun, serunya, ”Hai, mengapa kau malah hendak mengeloni seorang pengkhianat?” Seorang thaubak yang kebetulan berada di dekat situ, waktu mendengar suara ramai-ramai ’tangkap pengkhianat’, buru-buru putar kudanya mengejar Yak-bwe. Tanpa banyak bicara, ia lantas tusukkan tombaknya.
Yak-bwe saat itu sedang dirangsang kemarahan. Ia sambar tombak thau-bak itu terus digelandangnya ke bawah. Begitu thau-bak itu jatuh, Yak-bwe segera enjot tubuhnya loncat ke punggung kuda. Kuda itu adalah salah seekor milik Gi-lim-kun yang dirampas Se-kiat dahulu. Begitu duduk di punggung kuda, Yak-bwe lantas menconglang pesat. Waktu Hong-jiu memburu datang, Yak-bwe sudah jauh sekali.
Sekalipun Hong-jiu itu gampang naik darah, tapi ia seorang nona yang cerdas. Saat itu kemarahannya sudah mulai reda. Seketika timbullah sesuatu dalam pikirannya, tanyanya: ”Toan hiante, bilanglah terus terang. Bukankah nona tadi mempunyai hubungan padamu?”
Wajah Khik-sia menjadi merah, lidahnya terkait tak dapat berkata. Untung In-nio menghampiri dan tertawa tawar: ”Kau tanyakan hubungan mereka? Mereka hanya baru berjumpa dua tiga kali saja, maka hubungannya pun tak begitu erat. Tetapi mereka itu sejak kecil sudah dijodohkan!” Kejut Hong-jiu tak terkira. Ia membelalakkan sepasang matanya memandang kepada Khik-sia. ”Lu cici, jangan percaya omongannya!” Khik-sia membantah dengan gugup.
In-nio tertawa mengejek: ”Kecewalah kau sebagai puteranya Toan tayhiap, peribudimu begitu tipis! Apa salahnya Yak-bwe? Mengapa kau tak mau mengakuinya?”
”Jangan mengoceh tak keruan! Ia sudah menjadi menantu perempuan dari keluarga Tian, dengan aku tak ada hubungan lagi!” Khik-sia berjingkrak.
In-nio marah juga, ia balas mendamprat: ”Kau sendiri yang ngaco belo! Bilakah ia menjadi menantu keluarga Tian?”
”Bingkisan kawin dari keluarga Tian, akulah yang merampasnya. Siapakah orang Lok-lim yang tak mengetahui peristiwa itu?” Khik-sia tak mau kalah.
Jawab In-nio: ”Hal itu adalah urusan Sik Ko dan Tian Seng-su, tetapi Yak-bwe tak setuju. Yang hendak dinikahkan Sik Ko ialah puterinya yang bernama Sik Hong-sian, tapi kini Sik Hong-sian itu sudah tak ada lagi. Yang ada sekarang ialah Su Yak-bwe, puteri mendiang Su Ih-ji! Su Yak-bwe bukanlah Sik Hong-sian. Apakah kau masih belum jelas?”
Kini Khik-sia menjadi bimbang. Ditatapnya In-nio dan bertanyalah ia: ”Siapa kau? Apakah kau tahu akan urusan itu?”
”Tak perlu kau tanya siapa aku ini. Lebih dulu jawablah pertanyaanku, kau mau mengakui atau tidak bakal isterimu itu?” In-nio balas bertanya.
Tiba-tiba Hong-jiu menyeletuk: ”He, mengapa kau begitu jelas akan urusan orang? Calon isteri Khik-sia, mengapa kau diberitahukan segala-galanya? Mungkin hubunganmu baik sekali dengan dia, bukan?”
Pada saat itu In-nio masih menyaru jadi seorang pria. Bukan saja Hong-jiu, pun Khik-sia juga curiga. Tapi In-nio memang sengaja hendak mempermainkan mereka. Ia hanya menyahut sambil tertawa: ”Sudah tentu aku erat sekali hubungannya dengan dia. Paling sedikit tak kalah dengan hubunganmu dengan Khik-sia!”
Selama Hong-jiu mengangkat nama di dunia persilatan sebagai seorang lihiap (pendekar wanita) belum pernah ia diejek orang seperti itu. Serentak marahlah ia: ”Bagus, karena kau baik sekali dengan dia, coba jawablah. Ia seorang anak perempuan dari Ciat-to-su, apa maksudnya menyelundup ke dalam sarang penyamun? Kau seharusnya tahu akan hal itu. Toan siauhiap, apakah kau masih perlu minta keterangan lagi tentang perbuatan khianat itu?”
In-nio marah sekali: ”Memang pertama kali membuka mulut, kalian sudah mencap orang sebagai cumi-cumi, nah, perlu apa minta penjelasan lagi?”
Saat itu Khik-sia tak tahan lagi, ia berseru: ”Siapa kau? Jika tetap tak mau mengaku, aku, aku
....”
”Kau mau apa?!” tukas In-nio dengan sikap menantang.
Baru Khik-sia hendak mengatakan bahwa ia nanti terpaksa akan bertindak, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda riuh mendatangi. Ternyata yang datang itu ialah Thiat-mo-lek dan Se-kiat. Malah masih jauh, Se-kiat sudah kedengaran berteriak: ”Hai, mengapa kalian ribut-ribut itu?”
Setelah berhasil menolong Bang Liu-tong, kedua jago itu terpaksa harus berjalan memutari
lautan api dan rintangan-rintangan yang malang melintang di jalanan. Maka saat itu barulah mereka dapat tiba di tempat Khik-sia menunggu.
Khik-sia tersentak girang. Bergegas-gegas ia lari menyongsong.
”Bo toako, kau adalah seorang Bengcu. Urusan ini kuserahkan padamu!” serunya. ”Urusan apa?” tanya Se-kiat.
”Ada dua orang yang kami curigai sebagai cumi-cumi musuh. Yang seorang sudah melarikan diri, yang seorang masih di sini. Ini, inilah orangnya. Apakah kau mau menanyainya?” kata Khik- sia.
Se-kiat terkesiap, serunya: ”Yang mana yang melarikan diri? Astaga! Jadi kau tak mengetahui siapa dia itu? In-nio, adik Yak-bwe tentu sungkan mengatakan, mengapa kau tak mau mewakilinya menjelaskan?”
”Sudah kuberitahukan tetapi mereka tak mau mengakui perjodohan itu, apa dayaku?” In-nio membuat pembelaan.
Mendengar itu kini Se-kiat mendamprat Khik-sia: ”Toan hiante, kiranya kaulah yang salah. Mengapa kau tak mau mengakui dia?”
Khik-sia menjadi gelagapan, ia menjerit: ”Bo toako, kau tak tahu. Dia, dia bukan orang golongan kita. Bagaimana aku dapat menerimanya?”
Tadi sewaktu mendengar Khik-sia memanggil nama In-nio, Thiat-mo-lek merasa seperti tak asing lagi. Tapi sama sekali ia tak teringat bahwa In-nio itu adalah puteri dari Sip Hong. Ia menghampiri nona itu dan bertanya:
”Siapakah nama saudara? Dimanakah kita pernah berjumpa?”
”Ya, benar, bukankah kemarin kita sudah berjumpa? Ingatkah bahwa aku sudah memberitahukan namaku?” sahut In-nio.
”Tidak! Kemarin kau memakai lain nama. Dan kemarin kau katakan dahulu kita belum pernah bertemu muka. Rupanya jika bukan kau yang berbohong, akulah yang jelek ingatanku. Saudara, apakah kau tak mau menganggap Thiat-mo-lek sebagai saudara?!” kata Thiat-mo-lek.
In-nio tertawa mengikik. Sret, cepat ia mencabut kain pembungkus kepalanya, dan seuntai rambut hitam segera menjulai terurai.
”Ong toako, lupakah kau kepadaku?” serunya.
Khik-sia dan Hong-jiu terbeliak kaget. Mereka tak mengira sama sekali bahwa 'pemuda' yang mengajaknya berbantah tadi ternyata seorang gadis. Dan lebih terperanjat lagi mereka demi mendengar nona itu memanggil 'Ong toako' kepada Thiat-mo-lek.
Jika Khik-sia dan Hong-jiu termangu keheranan, adalah Thiat-mo-lek kedengaran tertawa
gelak-gelak. Serunya: ”Oho, makanya kau masih ingat pada Ong Siau-hek. Kiranya kau si dara kecil yang nakal itu kini sudah sedemikian besarnya. Jika kau tak memanggil Ong toako, sungguh mati aku tentu tak kenal padamu. Apakah ayahmu sehat-sehat saja? Mengapa kau datang ke gunung sini?”
”Akulah yang membawa mereka berdua kemari. Aku tak tahu bahwa Thiat-toako adalah kenalan lama dengan mereka,” kata Se-kiat dengan tertawa.
”Ia adalah puteri kesayangan dari Sip Hong ciangkun. Meskipun Sip-ciangkun itu menjadi pembesar negeri, tapi dia seorang lelaki jantan. Dahulu aku pernah menerima budinya. Toan hiante, ketika ayahmu dahulu masih hidup, ia juga bersahabat baik sekali dengan Sip ciangkun. Ayo, kalian berdua lekas menyambutnya lagi,” seru Thiat-mo-lek kepada Khik-sia.
”Ya, ketika aku mengaduk gedung Tiang Seng-su, diam-diam Sip-ciangkun juga memberi
bantuan kepadaku, untuk itu aku belum menghaturkan terima kasih. Cici In, sudilah kau sampaikan ucapan terima kasihku kepada beliau,” kata Khik-sia sambil menjura.
Dengan kerutkan air muka In-nio menyahut: ”Ah, tak berani kami menerima hormatmu itu. Cukup asal kau tak menuduh lagi aku dan adik Bwe sebagai cumi-cumi, aku sudah merasa berterima kasih sekali!”
Kini Hong-jiulah yang meringis. Apa boleh buat terpaksa ia menghampiri In-nio dan
menghaturkan maaf: ”Karena salah paham, aku telah berlaku kurang adat pada cici, harap cici suka maafkan!”
Kemarahan In-nio sudah reda. Kini ia merasa suka dengan nona itu. Ujarnya: ”Karena aku bersama adik Bwe menyaru jadi lelaki datang kemari, apalagi mengingat adik Bwe itu adalah puteri dari seorang Ciat-to-su maka sudah selayaknya menimbulkan kecurigaan kalian tadi.”
”Ho, kiranya yang kabur tadi adalah puteri dari Sik Ko! Apakah ia sudah mengetahui asal-usul dirinya?” menyelutuk Thiat-mo-lek.
”Benar, memang siang-siang ia sudah berganti lagi dengan namanya yang asli Su Yak-bwe!”
sahut In-nio.
”Khik-sia, ketika ayah-bundamu gugur untuk negara, itu waktu aku tak berada di situ. Tapi kutahu mereka mempunyai pesan terakhir. Sewaktu mereka menutup mata, pesan itu telah diberikan kepada Bibi Lam (He Leng-sian) agar supaya apabila kau sudah dewasa, supaya disampaikan padamu. Apakah Bibi Lam belum memberitahu padamu?” tanya Thiat-mo-lek. Khik-sia tundukkan kepala, jawabnya: ”Bibi He sudah memberitahu padaku.”
”Kalau begitu ceritakanlah padaku,” kata Thiat-mo-lek pula.
”Aku diharap menjadi seorang lelaki yang berguna untuk nusa dan bangsa,” sahut Khik-sia. ”Selain itu?” Thiat-mo-lek menegas.
Selebar wajah Khik-sia berwarna merah, kemudian baru ia berkata dengan suara rendah: ”Minta aku supaya dengan membawa tusuk kondai berukir Liong ini, mencari anak perempuan Su pehpeh!”
”Untuk apa?” desak Thiat-mo-lek.
”Dengan tusuk kondai itu sebagai barang pertandaan, mengambil nona Su sebagai isteri.” Memang sengaja Thiat-mo-lek maukan supaya Khik-sia mengatakan hal itu dengan mulutnya sendiri. Setelah itu barulah ia berkata dengan nada keras: ”Tepatlah! Kiranya kau tak lupa akan pesan ayah-bundamu, tetapi mengapa kau tak mau mengakui nona Su sebagai bakal isterimu?” Didesak begitu, Khik-sia memberi reaksi juga, serunya: ”Dia adalah puteri dari seorang Ciat- tosu, diriku tidak sepadan!”
”Jangan kau bicara keras di hadapanku. Sebaliknya, karena ia hanya puteri dari seorang Ciat-to- su maka tak sepadan menjadi isterimu seorang hohan (jantan) yang termasyhur, bukan?” ujar Thiat- mo-lek.
”Aku bukannya memandang rendah padanya, tetapi dia bukan segolongan dengan aku,” bantah Khik-sia.
”Kau keliru, Sik Ko itu hanya ayah angkatnya saja. Ayah bundanya yang asli adalah manusia utama, setia kepada negara luhur budi pekertinya. Siapa orangnya yang tak taruh perindahan pada mereka? Jika orang tuanya manusia yang begitu macam, masakan anaknya akan menyeleweng ke lain jurusan? Bilang saja sekarang ini tidak segolongan, tapi jika sudah menikah apakah takkan ikut pada suaminya? Tapi celakalah, rupanya siang-siang kau sudah takut akan bayanganmu sendiri!” Thiat-mo-lek menindas bantahan anak muda itu.
Khik-sia diam tak dapat menyahut.
”Apalagi walaupun ia menjadi puteri angkat dari Sik Ko, tapi sejak kecil dipelihara oleh ibu kandungnya sendiri. Aku pernah tinggal di rumah keluarga Sip. Kutahu ibu kandungnya itu menjadi inang pengasuh dalam keluarga Sik. Tiap hari ibunya itu mengajarkan ilmu sastera padanya. Sejak kecil nona itu sudah lain perangainya dengan Sik Ko. Turut penilaianku, nona itu seorang gadis yang mencocoki idaman seleraku. Jangan kuatirlah!” kata Thiat-mo-lek pula.
Khik-sia masih tundukkan kepala berdiam diri.
Thiat-mo-lek agak marah. Dengan kerutkan wajah ia berkata lagi: ”Bukankah kau bercita-cita hendak menjadi lelaki jantang yang termasyhur? Tidak menurut pesan orang tua, tidak memegang janji suami isteri, tidak mengingat tali persaudaraan, itulah yang dibilang tidak berbakti, tidak berbakti dan tidak berbudi! Pantaskah seorang hohan berbuat begitu? Ayah bundamu sudah menutup mata, urusanmu aku tak dapat tinggal diam saja. Katakanlah, apa alasanmu hendak merobek janji perkawinanmu itu?”
Ayah angkat dari Thiat-mo-lek adalah kakak dari ibu Khik-sia. Dengan begitu Thiat-mo-lek masih terhitung kakak misan (piauko) dengan Khik-sia. Khik-sia sudah sebatang kara, ia tak
mempunyai sanak famili lagi kecuali kakak misannya itu. Maka kakak misannya (Thiat-mo-lek) itu ia anggap sebagai engkoh kandungnya sendiri. Dalam hubungan itulah maka Thiat-mo-lek berani mengata-ngatai keras kepadanya.
Karena didamprat habis-habisan oleh Thiat-mo-lek, Khik-sia menjadi bingung tak keruan. Semestinya ia masih mempunyai rahasia yang sungkan dikatakan. Tapi kini apa boleh buat ia terpaksa menerangkan juga. Dengan suara terkait-kait berkatalah ia: ”Toako, kau tak tahu.
Sewaktu di gedung Tian Seng-su, dengan mata kepala sendiri, kulihat nona Su itu, ia, ia, ”
”Dia mengapa?” tanya Thiat-mo-lek.
”Dia dengan anak lelaki Tian Seng-su sangat mesra ”
Thiat-mo-lek belalakkan sepasang matanya yang bundar dan menegas: ”Benarkah itu?” ”Hai, bilang yang jelas sedikit! Bagaimana yang kau anggap mesra itu?” In-nio menyela. ”Kelihatannya mereka itu bergandengan tangan!” sahut Khik-sia.
”Kelihatannya? Jadi nyata kau tak melihat jelas dan hanya kelihatannya saja, bukan? Berada dimanakah kau pada waktu itu?” tanya In-nio.
”Aku berada di dalam kebun keluarga Tian tengah bertempur mati-matian dengan Yo Bok-lo. Dibawah sorak-sorai dan lindungan dari kawanan bu-su, nona Su dan putera Tian Seng-su saling bergandengan tangan berjalan keluar dari ruangan. Ya, mataku tak salah lihat lagi. Nona In, cobalah kau pikirkan. Belum lagi keluarga Tian menyambutnya, ia sudah lari ke rumah mempelai lelaki. Mengapa? Tentulah karena ia sudah mengetahui bahwa aku bakal mengganggu pada keluarga Tian, maka sebelum dijemput ia sudah datang ke rumah bakal mertuanya untuk memberi kabar. Timbanglah saja, ia begitu setia kepada keluarga Tian, apakah aku harus disuruh mengakunya sebagai isteri lagi?” Khik-sia memberi penjelasan panjang lebar.
In-nio mendongkol tapi pun geli juga. Ujarnya: ”Ho, mengapa kau menilai begitu rendah pada nona Su? Untung waktu itu aku juga berada disitu hingga semua kejadian itu dapat kusaksikan dengan jelas. Jika tidak, hm, nona Su tentu akan hancur hatinya karena kau bikin penasaran!” ”Terang kulihat sendiri, masakan bisa keliru?” bantak Khik-sia.
”Ya, memang tak salah, malam itu ia berjalan keluar bersama putera Tian Seng-su. Tetapi mereka bukan bergandengan tangan, melainkan nona Su menyembunyikan sebilah pisau belati di lengan bajunya dan belati itu dilekatkannya pada punggung anak lelaki Tian Seng-su. Nona Su bermaksud hendak menolongmu, sebaliknya kau anggap kebaikannya itu sebagai suatu kenistaan, cis, kurang ajar betul!”
Mendengar itu Khik-sia tertegun diam seperti terpaku.
Berkata pula In-nio: ”Tahukah kau apa sebabnya malam itu ia pergi ke rumah keluarga Tian? Kepergiannya itu tak lain tak bukan karena hendak membatalkan perkawinan itu!”
Ia lalu menuturkan tentang riwayat Yak-bwe sejak tinggalkan rumah Sik-ko lalu pergi ke
gedung Tian seng-su, mengambil kotak emas ciat-to-su itu hingga dia (Tiang Seng-su) tak berani mengganggu daerah Lo-ciu lagi dan terpaksa membatalkan pernikahan puterinya dengan Yak-bwe. Kesemuanya itu satu persatu diuraikan dengan jelas oleh In-nio.
Karena In-nio dapat menuturkan kejadian malam pertempuran di gedung Tian Seng-su dengan lancar, mau tak mau Khik-sia harus percaya semuanya.
”Bagus, nona su itu ternyata seorang gadis idaman setiap pria. Ia berani dan cerdik, setia serta berbudi! Khik-sia, apa katamu lagi sekarang?” seru Thiat-mo-lek.
Khik-sia malu dan menyesal. Sejenak kemudian barulah ia dapat membuka mulut: ”Aku merasa salah, aku berdosa terhadap nona Su.”
”Cukupkah kesalahanmu itu kau tebus dengan sepatah kata pengakuan saja?” tanya Thiat-mo- lek.
Jawab Khik-sia: ”Aku akan mencarinya sampai ketemu dan menghaturkan maaf padanya. Hanya saja ”
Thiat-mo-lek tahu apa yang dikandung Khik-sia. Serentak ia mengerat omongan anak muda itu. ”Urusan disini tak usah kau pikirkan. Patah tumbuh hilang berganti.. Kim-ke-nia hilang, kita masih mempunyai lain pangkalan lagi. Gi-lim-kun takkan lama tinggal disini. Ada Bo bengcu dan
sekalian saudara-saudara disini, masakan tentara negeri dapat mencelakai kita? Lekas cari nona Su dan bawalah ia pulang kemari, nanti akulah yang meresmikan perjodohan kalian.”
Selebar wajah Khik-sia merah padam. Katanya: ”Usia siaute masih muda, urusan perkawinan boleh ditunda dulu. Tetapi, perintah toako tadi tentu akan kulaksanakan. Nona Su tentu akan kuajak pulang.”
Bagaikan awan tersapu angin, kini segala kesalahan paham sudah terang. Sekalian orang merasa girang, hanya seorang yang agak merasa masygul yakni Lu Hong-jiu.
”Kedatanganku ke pertemuan orang gagah kali ini, tiada dengan setahu engkohku. Mungkin ia sedang sibuk mencari aku maka aku terpaksa hendak minta diri pulang. Harap bengcu suka maafkan,” akhirnya ia menemukan jalan keluar.
”Ah, harap nona jangan kelewat sungkan. Tolong sampaikan hormatku kepada engkoh nona,” sahut Se-kiat.
Karena sewaktu menundukkan lima jagoan Hong-ho-ngo-pah pernah mendapat bantuan nona itu, maka Khik-sia pun segera tampil kemuka dan menghaturkan terima kasih kepada Hong-jiu. ”Ah, masak aku membantumu? Malah aku merasa membikin sukar kau saja, asal kau tak menyalahkan aku, itu sudah cukup baik,” sahut Hong-jiu.
”Aku sendiri yang limbung, taci tak ada sangkut pautnya. Taci, kau berdua dengan engkohmu, mempunyai pergaulan luas di dunia persilatan. Aku hendak mohon bantuanmu untuk suatu urusan,” kata Khik-sia.
”Tak usah kau katakan, aku sudah mengerti. Begitu ada kabar tentang diri nona Su, tentu akan segera kusuruh orang menyampaikan padamu. Kau hendak minta tolong tentang urusan itu, bukan?” tanya Hong-jiu.
Khik-sia hanya ganda tertawa saja selaku mengiakan. Sebaliknya Hong-jiu mengalum kepahitan. Kiranya ia hanya terpaut dua tahun lebih tua dari Khik-sia. Selama dalam perjalanan dengan anak muda itu, ia memang mulai menaruh hati. Untung ia seorang nona persilatan yang berjiwa lapang. Setitik bayangan dalam hatinya itu, dapatlah segera ia hapus dengan tanpa meninggalkan luka apa-apa.
”Ah, akupun hendak pulang juga karena sudah lama keluar. Bo toako, terima kasih atas kebaikanmu membawa kami ke pertemuan besar ini. Kelak bilah toako lewat di kotaku, ijinkanlah aku menjamumu,” In-nio juga menyatakan maksudnya akan pulang.
Se-kiat tertawa: ”Ah, kini aku benar-benar menjadi kepala penyamun. Jika keluargamu tak takut kedatangan tetamu penyamun, tentu aku senang sekali datang berkunjung.”
Hati In-nio terasa getar, wajahnya tampak rawan namun ia paksakan menghias senyum:
”Ayahku gemar sekali bersahabat dengan kaum enghiong. Dan beliau pun amat sayang kepadaku. Silahkan kalian datang, kutanggung beliau takkan mencelakai kalian.”
Walaupun mulut mengucap begitu, namun bukan tak tahu In-nio bahwa kini ayahnya itu sudah menjadi punggawa kerajaan. Orang atasannya ialah Tian Seng-su, tokoh yang paling dibenci dan membenci kawanan penyamun. Se-kiat kini menjadi kepala penyamun. Betapa ayahnya itu mencintai dirinya, namun paling banyak ia tentu hanya akan berusaha supaya jangan sampai bentrok dengan Se-kiat itu saja. Jika melangkah ke soal pernikahan, ayahnya itu tentu takkan mengijinkan ia menikah dengan seorang kepala penyamun.
”Khik-sia, antarkanlah nona In dan nona Lu. Setelah itu kau harus segera mencari nona Su. Jangan bertemu aku jika belum membawa nona Su pulang!” kata Thiat-mo-lek.
Setelah tiba di selat lembah, Hong-jiu segera minta diri menuju ke barat. Sementara Khik-sia dan In-nio masih meneruskan lagi perjalanannya.
”Bagaimana rencanamu hendak mencari adik Bwe?” tanya In-nio.
Dengan masygul Khik-sia menyahut: ”Entahlah. Dalam dunia yang begini luas, kemana hendak kucarinya? Kupasrahkan saja pada nasib.”
”Ia tiada sanak keluarga, pun belum pernah berkelana keluar. Jika sementara waktu kau tak berhasil mendapatkannya, datanglah ke rumahku untuk menanyakan kabar. Hubunganku dengan Yak-bwe sudah seperti saudara kandung. Jika tak pergi ke lain tempat, kebanyakan ia tentu ke rumahku,” kata In-nio pula.
Khik-sia haturkan terima kasih.
”Tetapi sayang ia tak tahu bilamana aku pulang. Apalagi ia sedang marah, mungkin ia akan pergi mengembara menurutkan ayun kakinya. Ah, yang kukuatirkan kalau ia sampai membikin onar di luaran. Ia belum punya pengalaman sama sekali dalam dunia persilatan. Kebanyakan ia tentu berjalan di sepanjang jalan raya lama,” kembali In-nio berkata.
Sewaktu berpisah dengan In-nio, Khik-sia membawa hati, yang gundah kalana. Ia mencemaskan nasib calon isterinya itu. Terpaksa ia menuruti petunjuk In-nio untuk mengambil jalan raya saja.
Dan memang apa yang diduga In-nio tepat. Setelah congklangkan kudanya keluar dari selat lembah, Yak-bwe menimang dalam hati: ”Karena mereka menuduh aku sebagai cumi-cumi (kaki tangan musuh), maka akupun tak sudi ketemu lagi pada mereka.”
Padahal ia hanya tak sudi berjumpa lagi dengan Khik-sia. Namun karena dirangsang oleh kemarahannya, segalah yang menyangkut dengan anak muda itu, ia lempat ke samping semua. Nama Khik-sia, sahabat-sahabatnya sampaipun orang-orang yang berhubungan dengan anak muda itu, ia tak mau bertemu lagi. Ia tahu kawanan penyamun itu tentu tak mau kesamplokan dengan tentara negeri. Mereka tentu mengambil jalan yang sunyi. Itulah sebabnya maka ia lantas mengambil jalan besar saja.
Saat itu Yak-bwe masih menyaru sebagai seorang pria. Dandanannya menyerupai anak orang hartawan. Apalagi kuda yang dinaiki itu, seekor kuda tegar yang jarang terdapat. Maka orang tentu bakal tak menduga bahwa ia itu seorang pelarian dari sarang penyamun gunung Kim-ke-nia. Tapi rakyat di sekitar Kim-ke-nia itu masih kolot. Dandanannya semacam itu, telah menimbulkan perhatian di kalangan mereka.
Tetapi karena sedang dilanda kemarahan, ia tak mengacuhkan mereka. Ia keprak kudanya kencang-kencang. Pun ia berusaha untuk menghapuskan kenangannya terhadap Khik-sia. Tapi ah, makin keras ia coba menekan sang hati, makin jelas bayang-bayang anak muda itu dalam pikirannya.
”Sejak ini aku laksana seekor burung yang bebas di udara. Tetapi walaupun jagad ini amat luas, kemanakah aku akan menempatkan diri?” pikirnya. Teringat akan sang nasib, ia merasa pedih sekali. Beberapa butir air mata bercucuran membasahi sepasang pipinya.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar seseorang berseru: ”Hai, alangkah eloknya kuda itu! Eh, aneh sekali budak itu. Coba dengarkan, apakah ia bukan lagi menangis?”
Nada orang itu tak begitu keras. Tapi karena sejak kecil Yak-bwe sudah biasa berlatih ilmu senjata rahasia, maka pendengarannya menjadi tajam sekali. Ia dapat menangkap kata-kata orang itu dengan jelas.
Cepat-cepat Yak-bwe usap air matanya dan ketika berpaling kebelakang, dilihatnya kira-kira pada jarak setengah li di sebelah sana, ada dua orang lelaki bermuka bengis tengah mencongklangkan kudanya.
”Cis, sungguh memuakkan. Aku menangis sendiri, mengapa kalian ngerasani (membicarakan) aku,” ia mendamprat orang itu dalam hati. Ia cepat keprak kudanya supaya lari lebih pesat.
Sekejap saja, ia sudah tinggalkan kedua orang itu jauh di belakang.
Memang ia masih kurang pengalaman. Ia sama sekali tak memikir, kalau pada jarak setengah li jauhnya orang dapat mendengar suara tangisnya, orang itu tentu bangsa kaum persilatan yang berilmu tinggi. Paling tidak mereka itu, seperti dirinya sendiri, tentu pernah berlatih ilmu senjata rahasia.
Bagaimanapun juga Yak-bwe itu diasuh dalam kalangan keluarga seorang pembesar tinggi. Ia biasa hidup sebagai seorang puteri Ciat-to-su yang manja. Benar ia memiliki ilmu silat yang tinggi dan mahir juga dalam ilmu naik kuda. Tapi sebegitu jauh ia masih belum mempunyai pengalaman praktek. Berselang tak berapa lama dilarikan oleh sang kuda, lebih-lebih ketika menyusur jalan di daerah selat pegunungan yang naik turun, mau tak mau ia menjadi meringis juga karena tak tahan digoncang-gontaikan di atas pelana. Tulang-tulangnya terasa kaku kesakitan.
Ia berpaling lagi ke belakang. Karena kedua lelaki tadi sudah tak kelihatan, barulah ia tahan les kudanya dan mulai berkuda pelahan-lahan. Kini pikirannya mulai bekerja lagi: ”Pulang ke rumah keluarga Sik terang aku tak mau. Baiklah, mulai saat ini aku
4/20
******************************Halaman Hilang ******************************
4/29
bikin terpental oleh kipas si pelajar. Sedangkan golok satunya telah disedot melekat oleh kipas untuk ditarik ke samping.
Memang dalam dunia Kangouw sebenarnya terdapat apa yang disebut senjata that-thiat-san atau kipas pelengket besi melain dari bambu biasa. Hanya saja kipas itu dibuat oleh tukang pandai dan diberi ukir-ukiran gambar yang indah sekali. Memang pada masa itu, sebagian besar kaum bun-su (sasterawan) yang berada, suka menggunakan kipas semacam itu. Itu untuk mewujudkan daya perbawanya. Maka kipas bambu itu sebenarnya hanya dipakai sebagai perhiasan bukan senjata.
Sepasang golok dari Hau Pheng itu terbuat daripada bahan baja murni, tajamnya bukan
kepalang. Dia yakin bahwa dengan sekali tebas tentu dapat menghancurkan kipas lawan. Siapa tahu gerakan si pelajar itu bukan buatan lihaynya. Tahu-tahu kipas sudah melekat di punggung golok. Waktu si pemuda memutar kipasnya, golok Hau Pheng pun ikut berputar. Hampir saja golok itu terlepas dari tangan karena seperti dipelintir.
Walaupun tengah bertempur, tapi Cin-gi dapat melihat dengan jelas gerakan si pelajar itu. Ia insyaf pemuda pelajar itu seorang tokoh silat yang berilmu tinggi. Ia ambil putusan harus lekas- lekas merubuhkan Yak-bwe dulu. Maka tanpa menghiraukan pantangan memilih jalan darah apa, ia segera merangsang maju dengan jurus sian-sing-kia-hwe atau sepasang bintang kebetulan berjumpa. Ke atas menutuk jalan darah hoa-kay di ubun kepala, ke bawah menutuk jalan darah tiang-jiang di pantat. Hoa-kay-hiat adalah salah sebuah jalan darah utama dari tubuh manusia. Jika kena tertutuk, kalau tidak binasa tentu akan menjadi invalid.
Yak-bwe buru-buru gunakan jurus ki-hwe-liau-thian atau angkat api membakar langit. Ia angkat pedang ke atas, seluruh perhatiannya ditumpahkan untuk menolak poan-koan-pit yang menyerang kepalanya. Siapa tahu, justru itulah yang dikehendaki Cin-gi. Secepat kilat, poan-koan-pit di tangan kirinya mengincar tiang-jiang-hiat di bawah.
Meski ”Tiang-jiang-hiat” bukan merupakan jalan darah maut atau pemingsan, tapi jika sampai tertutuk, kaki orang pasti akan lumpuh atau pincang karena urat-uratnya menyurut.
”Kalau kubikin pincang sebelah kaki nona ini, rasanya takkan membikin marah Lo Hau. Ya,
aku terpaksa harus berbuat begitu karena pemuda itu lihay sekali. Lo Hau pasti takkan cari alasan untuk membatalkan perjanjiannya tadi,” demikian pikir Hong Cin-gi.
Pada saat ia berpikir begitu, ujung poan-koan-pitnya sudah menyentuh ujung baju Yak-bwe. Tapi berbareng itu iapun merasa disambar oleh serangkum angin keras.
”Celaka!” demikian ia mengeluh seraya gelincirkan sang kaki untuk menghindar, namun sudah terlambat sedikit. ”Plak,” bahunya kena ditampar oleh si pemuda pelajar.
Ternyata pemuda pelajar itu telah berhasil menolong Yak-bwe dalam saat-saat yang berbahaya. Tapi dengan berbuat begitu, berarti si pemuda pelajar memberi kelonggaran bagi Hau Pheng. Tapi yang tersebut belakangan ini rupanya tak tahu diri. Begitu longgar ia segera mengajak kawannya: ”Hong-toako, ayo kita beresi bocah kurang ajar ini!”
”Ha, bagus, bagus! Memang aku kepingin tahu bagaimana kalian hendak memberesi diriku ini!” si pemuda pelajar tertawa mengejek. Ia tebarkan kipasnya sehingga sepasang golok Hau
Pheng tersiak. Setelah itu secepat kilat ia katupkan pula kipasnya untuk dipakai menutuk seperti poan-koan-pit.
”Kau, adalah seorang ahli tutuk, nah, aku hendak unjukkan sedikit permainan itu, tolong kauberi petunjuk!” dalam pada berkata-kata itu si pemuda sudah meluncurkan tiga kali serangan yang ditujukan ke arah jalan darah yo-kiong-hiat, thiat-cu-hiat, tiang-jiang-hiat, ih-gi-hiat dan suan-ki- hiat di tubuh Hong Cin-gi.
Sudah tentu Cin-gi menjadi kelabakan setengah mati. Mati-matian ia berusaha untuk
menghalau serangan-serangan itu sehingga sampai mandi keringat. Ia terperanjat sekali. Nyata ilmu kepandaian menutuk dari pemuda pelajar itu jauh lebih lihay dari dirinya. Sebatang kipasnya jauh lebih berbahaya dari sepasang poan-koan-pit orang she Hong.
Yak-bwe benci setengah mati pada Hau Pheng. Setelah Hong Cin-gi dapat dicegat oleh si pemuda pelajar, kini ia mendapat kesempatan untuk melampiaskan kemarahannya. Cepat ia cabut pedangnya dan lari menerjang Hau Pheng.
”Jika tak melukaimu, jiwaku sendiri yang terancam. Ya, apa boleh buat, seorang jelita pincang ada lebih baik daripada tidak ada sama sekali,” demikian pikir Hau Pheng sambil gigit giginya erat- erat seraya mainkan sepasang goloknya untuk menahan serangan Yak-bwe. Yang atas untuk
menangkis dan yang bawah untuk memapas lutut Yak-bwe. Jurus yang dimainkan itu adalah jurus yang paling diandalkan kelihayannya.
Telah dikatakan di bagian muka, bahwa Yak-bwe adalah murid dari Biau Hui Sin-ni. Ia telah mewarisi ilmu pedang dari rahib sakti itu. Jika dinilai dari mutunya, sebenarnya kepandaian Yak- bwe itu lebih tinggi dari Hau Pheng. Benar dua buah serangan golok dari orang she Hau itu cukup berbahaya, tetapi jika Yak-bwe dapat berlaku tenang, ia pasti dapat menghadapinya. Tapi disebabkan karena ia kurang pengalaman dan kehabisan tenaga setelah bertempur hampir setengah harian itu, maka hampir saja ia tercelaka. Seharusnya, sewaktu lawan tengah pentang kedua
goloknya ke atas dan ke bawah itu, ia segera menusuk ke dada lawan saja karena bagian itu terbuka. Dengan berbuat begitu, berarti ia menghalau serangan dengan serangan, kemungkinan besar malah dapat menang.
Tapi ternyata ia tidak bertindak begitu. Melihat lawan menghantam dengan ganas, Yak-bwe menjadi marah sekali. Ia pun mengimbangi untuk memapas sekuat-kuatnya. Ini suatu kesalahan besar, karena dalam hal kekuatan ia kalah dengan lawan. ”Trang”, pedangnya dapat ditahan oleh salah sebuah golok Hau Pheng, sementara golok yang satu dapat langsung menabas lutut dengan lancarnya.
Untung Yak-bwe masih dapat menyelamatkan diri. Dengan gunakan gin-kang ih-song-hoan-wi,
ia berloncatan sampai tiga kali untuk menghindari serangan berantai dari Hau Pheng. Hau Pheng cerdik sekali. Ia biarkan saja si nona berlincahan kian kemari, namun goloknya yang sebelah atas tetap menekan erat-erat pedang nona itu supaya jangan sempat ditarik pulang. Ia terus bolang- balingkan goloknya membabat kaki. Untuk menghindar terpaksa Yak-bwe berloncatan terus dan karena terus-menerus berloncatan itu, napasnya tersengal-sengal, tubuhnya mandi keringat.