Tusuk Kundai Pusaka Jilid 03

 
Jilid 03

Berkata Se-kiat: ”Berbicara tentang iring-iringan kuda itu, karena hal itulah maka aku berkenalan dengan seorang sahabat lagi. Kurasa Thiat-heng tentu kenal juga padanya.” Se-kiat lalu menuturkan tentang pertempurannya dengan Ut-ti Lam yang berakhir dengan persahabatan itu. Mendengar itu Thiat-mo-lek bertanya.

Se-kiat melambaikan tangan memanggil In-nio dan Yak-bwe, kemudian memperkenalkan

kepada Thiat-mo-lek. Thiat-mo-lek terkesiap, rasanya ia pernah kenal dengan kedua ”pemuda” itu. Tapi untuk sesaat ia tak dapat membayangkan kemungkinan puteri-puteri dari Sik Ko dan Sip Hong akan menyaru jadi lelaki dan datang ke markas gunung situ.

Sebaliknya In-nio dan Yak-bwe secara sembarangan saja telah memberitahukan nama samaran mereka.

”Eh, rasanya kita pernah bertemu, bukan?” kata Thiat-mo-lek.

In-nio tertawa: ”Ai, Thiat ce-cu mungkin sedikit khilaf. Kami berdua baru pertama kali ini

keluar. Jika tak ada perjamuan besar ini, kami tentu tak mempunyai rejeki untuk bertemu dengan Thiat ce-cu!”

”Ai, saudara terlalu sungkan. Kalian adalah sahabat Toan-hiante, berarti sahabatku juga.

Jangan sebut-sebut tentang siapa Cianpwe dan siapa wanpwe segala,” kata Thiat-mo-lek. ”Akupun sudah bertahun-tahun tak berjumpa dengan Khik-sia. Eh, bagaimana kalian dapat berkenalan dengan dia?”

Wajah Yak-bwe bersemu merah. Suatu hal yang membuat Thiat-mo-lek heran, pikirnya: ”Huh, mengapa pemuda ini begitu pemalu seperti anak perempuan? Belum membuka mulut sudah kemerah-merahan wajahnya!”

Melihat gelagat yang kaku itu, buru-buru In-nio yang lebih tua dan lebih banyak pengalamannya, merangkai suatu cerita kosong untuk mewakilkan Yak-bwe: ”Perkenalan kami

dengan Toan siauhiap itu baru kira-kira sepuluhan hari lamanya. Itu waktu kami berpapasan dengan kawanan Bu-su dari Tian Seng-su. Karena mereka coba menggertak, maka kamipun segera melawannya. Mereka berjumlah banyak dan kami hanya berdua, sudah tentu kami kewalahan.

Untung Toan-siauhiap kebetulan lewat disitu dan membantu kami untuk melabrak kawanan Bu-su itu. Dari keterangan yang kami peroleh, kawanan Bu-su itu memang diperintahkan Tian Seng-su untuk mengusut gerombolan yang merampas antaran mas-kawinnya. Setiap bertemu dengan orang asing, mereka tentu segera menahannya. Walaupun baru saja berkenalan tapi kami merasa cocok

dengan Toan–siauhiap. Dia mengatakan juga bahwa barang antaran mas-kawin Tian Seng-su itu dia dan kawanan orang gagah dari Kim-ke-nia yang merampasnya. Kemudian ia memberitahukan

kami bahwa dia akan menuju ke gedung Tian Seng-su untuk meninggalkan ancaman. Sayang, karena kami masih ada lain urusan, jadi tak dapat membantu padanya.”

Tentang peristiwa Toan Khik-sia menyatroni gedung Tian Seng-su, memang Thiat-mo-lek sudah mendengarnya. Karena itu maka ia percaya akan keterangan In-nio tadi.

”Pada malam Toan-siauhiap menyerbu gedung Tian Seng-su, aku pun berada di Gui-pok. Sayang karena malam itu aku harus memenuhi tantangan Ut-ti Lam, jadi belakangan saja baru mendengarnya. Kabarnya malam itu Toan-siauhiap dapat melukai Yo Bok-lo,” kata Se-kiat.

Setelah mengacaukan gedung Tian Seng-su, Toan Khik-sia terus pergi ke lain tempat. Karena selama itu belum datang lagi ke Kim-ke-nia, jadi Thiat-mo-lek belum jelas akan jalannya pertempuran malam itu.

”Ha, kiranya iblis tua itu masih belum mati. Dia adalah pembunuh ayahku, aku memang hendak mencarinya,” kata Thiat-mo-lek kemudian dengan geram.

Karena ia sibuk berbicara dengan Se-kiat tentang diri Yo Bok-lo, jadi lupalah sudah ia akan diri In-nio dan Yak-bwe.

Demikianlah malam itu, di markas gunung Kim-ke-nia telah diselenggarakan suatu pesta perjamuan besar yang dihadiri oleh segenap orang gagah dari pelbagai aliran. Setelah perjamuan selesai, sekalian orang gagah itu dipersilahkan beristirahat. Oleh karena rombongan pengikut Se- kiat itu berjumlah banyak, maka tuan rumah Shin Thian-hiong khusus menyediakan 10 buah kamar

untuk mereka. Se-kiat pun memperlakukan istimewa kepada kedua nona itu. Untuk mereka berdua saja, diberinya sebuah kamar. Lain-lainnya setiap rombongan 4-5 orang diberi satu kamar. Karena pelayanan yang istimewa itu, rombongan pengikut Se-kiat itu sama menduga kalau In-nio dan Yak- bwe itu tentu bukan tokoh sembarangan.

Malam itu Yak-bwe gulak-gulik di atas ranjang, tapi tak dapat tidur. Kira-kira pukul tiga pagi,

Se-kiat mengetuk pintu kamar kedua nona dan menyuruh mereka bangun. Setelah cuci muka dan berdandan, kedua nona itupun keluar dari kamarnya.

”Masakan hari belum terang tanah Eng-hiong-hwe sudah akan dimulai?” tanya In-nio. ”Shin ce-cu akan mengundang sekalian tetamu untuk menikmati keindahan matahari terbit, setelah itu Tay-hwe akan segera dibuka,” menerangkan Se-kiat.

Diam-diam Yak-bwe geli dalam hatinya: ”Tampaknya Shin ce-cu itu seorang yang kasar, tapi ternyata juga suka akan seni-keindahan. Dia mempersilahkan para tetamunya menikmati matahari terbit, itu menandakan seleranya akan seni.”

Yang dijadikan medan pertemuan itu, adalah sebuah padang dataran yang luas. Ketika In-nio dan Yak-bwe tiba, di medan pertemuan itu sudah penuh sesak dengan orang. Kala itu rembulan sudah condong ke barat dan fajar remang-remang mulai memancar. Beberapa jenak kemudian, gumpalan awan putih mulai buyar, cakrawala mulai terang. Langit di ufuk timur mulai memancarkan cahaya kemrah-merahan. Dan ayampun terdengar berkokok sahut-sahutan.

Sekejap mata pula, sang roda dunia yang merah membara mulai unjukkan wajahnya. Kabut awan yang berarak-arak buyar itu, karena ditingkah oleh sinar sang surya, memantulkan cahaya warna-warni bagai untaian pelangi. Sungguh indah permai pemandangan matahari terbit di pagi hari itu.

Kini barulah tahu Yak-bwe apa maksud Shin Thian-hiong mengundang sekalian tetamunya untuk menikmati matahari terbit itu. Kiranya pemimpin perjamuan itu hendak menghidangkan

suatu pemandangan yang sesuai dengan nama gunung itu: Kim-ke-nia atau puncak ayam emas. Saat itu Thian-hiong menghadap ke arah barat, lalu menjura.  Setelah itu berserulah ia dengan suara nyaring: ”Terima kasih kepada sekalian Toako yang sudi memerlukan datang ke markas kami. Aku adalah seorang kasar dan tak pandai pula berbicara. Apa yang kupikirkan terus saja kuucapkan. Benar tidaknya, harap saudara-saudara sekalian suka memberi petunjuk.”

Pecahlah mulut para hadirin dengan gelak tertawa.

”Aha, Shin-toako, bilakah kau belajar main rikuh-rikuhan itu? Kita adalah kaum yang berbicara dengan bahasa golok. Jika ingin mengatakan sesuatu, silahkan berbicara dengan terus terang, tak usah jual mahal seperti kaum wanita!”

Maka berkatalah Thian-hiong: ”Sejak saudara Ong Pek-thong menutup mata, dalam sepuluhan tahun ini perserikatan Lok-lim tak punya pemimpin lagi. Terus terang saja, semasa saudara Ong itu menjabat pimpinan Lok-lim, akulah orang pertama yang menentang padanya. Dia mengandalkan kekuatan untuk menindas yang lemah, suka menghina sesama kaum dan tidak tepat menjalankan kebijaksanaannya. Yang paling tidak pantas, dia minta sekalian orang gagah dari Lok-lim agar mengangkatnya setinggi langit. Rupanya diangkat menjadi pemimpin saja ia masih kurang merasa puas. Ia masih bercita-cita menjadi raja muda, bersekongkol dengan An Lok-san untuk mendapat kekayaan dan pangkat. Tentang hal itu, rasanya para saudara tentu sudah maklum, maka tak perlu kubicara panjang lebar lagi. Hanya saja, tentang kesalahan saudara Ong menjadi pimpinan itu suatu hal, sedang tentang perlu tidaknya kita mengangkat pemimpin lagi, itu lain hal lagi.” ”Turut pendapatku, lebih baik kita mempunyai seorang pemimpin. Dalam masa sepuluhan

tahun ini, karena tiada pemimpin, jika tentara negeri menyerang, kita lantas kehilangan koordinasi untuk bantu-membantu. Kita banyak menderita karena hal itu. Malah yang lebih buruk lagi, karena kita terdiri dari kaum yang menggunakan bahasa golok, jadi seringkali tak terhindar dari bentrokan saling berebut daerah kekuasaan dan hasil rampasan. Bukti-bukti menyatakan hal itu sudah sering terjadi. Bukan saja hal itu meretakkan hubungan, pun memperlemah persatuan, hingga memudahkan tentara negeri menghancurkan kita. Kalau membicarakan hal itu, hati kita merasa sedih sekali. Sebab utama dari keadaan itu adalah karena kita tak mempunyai pimpinan.”

”Dengan alasan yang kukemukakan tadi, maka kuundang saudara-saudara sekalian hadir dalam pertemuan ini guna menyarankan seorang calon yang akan kita angkat menjadi pemimpin Lok-lim. Entah bagaimana pendapat saudara-saudara sekalian?”

”Bagus, Shin-toako, pidato pembukaanmu hebat benar. Hanya sayang sekali calon itu sukar didapatkan. Jika salah pilih, bukankah akan terulang lagi lelako Ong Pek-thong kedua?” seru sementara hadirin.

Mereka adalah golongan orang-orang yang liar atau bebas, maka dari itu mereka tak menyukai adanya pemimpin dan berusaha untuk 'mengguyur air dingin' atas pernyataan tuan rumah tadi. Tapi ada pula serombongan orang yang menyetujui: ”Memang kesukaran tentu ada, tapi itu bukan alasan untuk mundur. Pimpinan harus ada, untuk itu kita harus berhati-hati memilihnya.” ”Shin-toako yang mengambil inisiatif menyelenggarakan pertemuan ini, jadi kebanyakan ia tentu sudah mempunyai pilihan calon yang tepat. Nah, suruh saja dia mengemukakannya!” seru sementara orang pula.

Terang golongan ini menunjang Thiat-mo-lek dan Shin Thian-hiong, maka mereka pun berdaya untuk menindas golongan yang menentang tadi.

Memang dalam rapat kawanan penyamun itu, tiada apa yang dinamakan tata tertib persidangan, misalnya pemungutan suara dan sebagainya. Karena tak ada suara yang menentang lagi, maka usul memilih calon pemimpin itu dianggap sudah diterima baik oleh sebagian besar hadirin. Kini semua mata ditujukan pada pimpinan rapat (Shing Thian-hiong). Suasana yang berisik tadipun mulai

sirap.

Maka berkata pula Thian-hiong: ”Benar, memang kita harus memilih orang yang tepat. Pada hematku, syaratnya ialah: pertama, harus lapang dada mengabdi kepentingan orang banyak; kedua, harus yang mempunyai kewibawaan; ketiga, mempunyai ilmu silat yang sakti dan keempat, harus ditinjau dari keturunan keluarganya. Yang kumaksud dengan keluarga di sini bukan golongan keturunan keluarga pembesar-pembesar korup, akan tetapi keturunan dari keluarga penyamun.” ”Dalam anggapanku, hanya ada seorang yang mencukupi keempat syarat itu. Dia adalah Thiat-

mo-lek. Nah, saudara-saudara, aku majukan Thiat-mo-lek sebagai calon pemimpin Lok-lim!”

Kim-kiam-ceng-long To Peh-ing segera menanggapi: ”Saudara-saudara, bukan maksudku

hendak mengeloni Thiat-mo-lek hiantitku itu, tapi aku hendak berbicara apa adanya saja. Meskipun dia tergolong seorang dari angkatan muda, tapi ketenaran namanya sudah berkumandang di seluruh negeri. Pribadinya jujur dan bertanggung jawab. Tentang ilmu silatnya, ia telah mendapat pelajaran dari tokoh-tokoh yang termasyhur, misalnya Mo Kia Lojin dan mendiang Toan Kui-ciang. Tentang asal keturunannya, rasanya tak perlu diragukan lagi. Siapakah yang tak kenal akan nama Thiat-gun- lun, ayah Thiat-mo-lek itu? Sewaktu Thiat-gun-lun masih berkecimpung dalam dunia persilatan, meskipun benar belum pernah menjadi pemimpin Lok-lim, tapi kemasyhuran namanya tidak

dibawah kedua jago she Ong dan she Tou. Keempat syarat yang disebut-sebut Shin-toako tadi, Hiantitku Thiat-mo-lek itu memiliki semuanya. Apalagi pada masa ini ia sedang gagah-gagahnya, jadi pantaslah untuk menjabat pemimpin Lok-lim kita!”

Thiat-mo-lek mempunyai pergaulan luas sekali. Sebagian besar dari thau-bak Kim-ke-nia sama menunjangnya. Maka begitu Shing Thiang-hiong dan To Peh-ing selesai menyatakan pendapatnya, dari empat penjuru segera terdengar tempik sorak yang gegap-gempita. Tapi dalam pada itu, juga masih tak sedikit orang yang diam-diam sama kasak-kusuk.

Mendadak ada seorang lelaki yang bermuka ungu berbangkit dan berseru keras: ”Masih ada satu hal yang saudara To lupa mengatakan, pada hal semua orang sudah sama mengetahuinya. Ialah Thiat-mo-lek itu putera angkat dari Tou-leng pemimpin Lok-lim yang sudah almarhum. Jadi boleh dikata, Thiat-mo-lek itu berasal dari keturunan keluarga Lok-lim. Tetapi kiranya para saudara yang hadir di sini tentu sudah maklum bahwa antara orang she Ong dengan orang she Tou itu adalah musuh bebuyutan. Meskipun Ong Pek-thong sudah lama meninggal dunia, tapi sampai sekarang anak buahnya masih banyak. Walaupun semasa hidupnya Ong Pek-thong pernah berbuat kesalahan, tapi pada masa itu ia menjadi pemimpin Lok-lim, sudah tentu orang yang taat padanya juga banyak. Orang-orang itu sebenarnya tak ikut-ikutan bersalah. Apalagi kejadian itu sudah lampau, kalau diungkit-ungkit lagi tiada membawa manfaat apa-apa ”

Belum ia menyelesaikan kata-katanya, Thian-hiong sudah serentak berbangkit dan menyeletuk: ”Memang tak ada orang yang hendak mengungkit hal itu! Tujuan dari pertemuan hari ini ialah hendak membuang kesalahan lama dan membangun lagi semangat persatuan baru. Apa perlunya kau menyinggung-nyinggung soal lama itu?”

Berkata si muka ungu tadi: ”Jangan Shin ce-cu keburu marah-marah dulu, bolehkah aku menyelesaikan kata-kataku tadi? Memang kurasa perlu untuk mengungkit hal tadi. Pada hematku, memang kuanggap Thiat-mo-lek itu pantas menjadi pemimpin kita. Tapi harap saudara-saudara suka merenungkan sebentar. Andaikata Thiat-mo-lek dapat menjalankan kewajibannya dengan bijaksana, hal itu baru belakangan dapat diketahui. Tapi yang nyata pada saat ini para pengikut Ong Pek-thong tentu sudah mempunyai ganjalan di dalam hati!” 

Ucapan itu telah menimbulkan reaksi hebat dari golongan yang pro Thiat-mo-lek.

Sudah tentu Thiat-mo-lek merasa tak enak sendiri.  Sebenarnya ia pun sudah menduga tentang hal itu, tapi ia tak menyangka sama sekali bahwa akan ada orang yang akan mengatakan di depan umum. Hal itu menandakan bahwa pengaruh Ong Pek-thong itu masih kuat. Diam-diam Thiat-mo- lek timbul niatan untuk mengundurkan diri dari pencalonan itu.

Tapi baru ia hendak berbangkit untuk menyatakan penolakannya, tiba-tiba ada seorang lelaki menghampirinya dan menyuruhnya duduk kembali. Orang itu bukan lain ternyata adalah menantu dari Ong Pek-thong yang bernama Can Goan-siu. Isterinya atau anak perempuan dari Ong Pek- thong yang bernama Ong Yan-ih dan sekarang pun menyertai suaminya datang ke tempat itu.

Selagi Goan-siu mendudukkan Thiat-mo-lek, Yan-ih sudah berbangkit dari tempat duduknya

dan berseru: ”Aku adalah anak perempuan dari Ong Pek-thong. Pada saat ayah menutup mata, aku selalu berada di sampingnya. Ayah menyatakan sendiri padaku bahwa ia merasa menyesal atas perjalanan hidupnya selama ini. Beliau meninggalkan pesan supaya kami seturunan menghapuskan permusuhan dengan keluarga Tou. Sekarang atas nama dari Ong Pek-thong dengan ini aku menyatakan menunjang sepenuhnya usul Shin ce-cu tadi. Aku setuju akan pengangkatan Thiat-mo- lek menjadi pemimpin Lok-lim.”

”Oh, kiranya bibi Ong juga turut datang kemari. Dengan pernyataannya itu tentu tiada orang yang menentang Thiat-mo-lek lagi,” pikir Yak-bwe.

Yak-bwe memang masih bersih pikirannya. Tetapi persoalan saat itu tak sederhana seperti apa yang dipikirnya. Benar dengan pernyataan Yan-ih tadi golongan oposisi dapat ditindas, namun hal itu bukan berarti sudah aman lancar dan tak ada oposisi lagi.

Kembali si muka ungu tadi berbangkit lagi, ujarnya: ”Pesang yang ditinggalkan Ong Pek-thong

pada detik-detik terakhir itu, hanya nona Ong saja yang mendengarnya. Aku tak berani mengatakan tak percaya, tapi setiap orang mempunyai cara berpikir sendiri-sendiri. Aku pun tak berani

memberi jaminan bahwa pengikut-pengikut Ong Pek-thong dapat menerima keterangan nona Ong tadi dengan hati terbuka dan bebas dari ganjalan. Dalam pemilihan ketika ini, tak dapat hanya didasarkan persahabatan, lebih tak boleh hanya memandang akan ketenaran nama. Tetapi harus ditilik dari segala segi. Shin dan To kedua toako tadi mengusulkan Thiat-mo-lek, bukannya aku menentang, tapi alangkah baiknya jika diajukan lagi beberapa calon, agar sekalian hadirin dapat memilihnya. Dengan cara demikian rasanya mungkin pilihan itu akan memperoleh hasil yang memuaskan!”

Sampai dimana perhubungan Yan-ih dengan Thiat-mo-lek, semua orang sudah mengetahui. Ucapan si muka ungu itu terang hendak menyindir Yan-ih yang dituduh terpengaruh oleh hubungannya dengan Thiat-mo-lek. Sudah tentu Yan-ih gusar sekali, namun ia masih kuatkan hatinya untuk menahan diri.

Berkata Thian-hiong: ”Pada pertemuan ini, para saudara dipersilahkan menyatakan pendapat dengan bebas. Harap mengajukan calon sendiri-sendiri yang memiliki sifar-sifat pintar dan bijaksana, agar kita sekalian betul-betul taat. Memang dalam pemilihan ini, jangan hanya tergantung pada pencalonan seorang saja. Han-toako, siapakah yang hendak kau usulkan, silahkan mengajukannya!”

Segera ada seseorang berseru nyaring: ”Benar! Punya omongan harus diucapkan, ingin kentut lekas dihembuskan, tak usah eco-eco seperti ular kembang!”

Si muka ungu itu seorang yang tenang dan dingin. Apapun perasaan dalam hatinya, selalu tak kentara di wajahnya. Terhadap ucapan kasar dan cemoohan tadi, sama sekali ia tak menghiraukannya.

”Baiklah, sekarang aku hendak mengajukan seorang calon yaitu Thiat-koay Li. Nama Li-toako

itu sudah bergema jauh di daerah utara dan selatan sungai, rasanya sekalian saudara tentu sudah mengetahui, bukan?” demikian kemudian si muka ungu itu berkata.

Dengan berbisik Yak-bwe menanyakan tentang tokoh Thiat-koay Li (Li si Tongkat Besi) yang disebut itu kepada In-nio, tapi In-nio gelengkan kepala tanda tidak tahu. Adalah seorang tetamu yang duduk di sebelah dan mendengar pertanyaan Yak-bwe itulah menjadi heran, katanya: ”Kalian tak kenal akan Thiat-koay Li? Dia adalah Li Thian-go, Congthaubak dari tujuh Ce (sarang bandit) di daerah Hopak. Sudah dua puluh tahun lamanya ia menjagoi dunia Lok-lim dengan ilmu permainan tongkatnya Loan-bi-hong-koay-hwat dari 72 jurus. Saudara berdua ini tentunya baru pertama kali ini keluar, bukan?”

Yak-bwe tertawa dan menghaturkan terima kasih pada orang itu. Sementara itu si muka ungu berhenti sebentar untuk menunggu reaksi dari para hadirin. Sesaat kemudian ia melanjutkan berkata: ”Dalam empat syarat yang disebutkan Shin-toako tadi, Li-toako itu telah memenuhi tiga. Sudah beberapa tahun Li-toako menjadi Congthaubak dari tujuh San-ce, selama itu dalam soal pembagian hasil ia tak pernah merugikan salah satu pihak. Terhadap orang sekaum, ia selalu memperlakukan dengan kebaikan dan keadilan. Boleh dikata ia dapat mengabdi pada kepentingan umum dan jauh dari mementingkan diri sendiri. Dalam soal kewibawaan dan kebijaksanaan, ia telah memiliki. Tentang ilmu silatnya, dengan ilmu permainan tongkat Loan-bi-hong-koay-hwat ia telah menjagoi daerah selatan dan utara sungai. Dalam hal ini rasanya tak perlu banyak memberi komentar lagi.”

”Hanya sebuah syarat yang sayangnya ia tak menemui yaitu tentang keturunan keluarganya. Kakek dan ayahnya tak pernah menuntut penghidupan sebagai 'pedagang tanpa modal' (penyamun), jadi dia bukan dari keturunan keluarga Lok-lim. Kedudukannya dalam kalangan Lok- lim diperolehnya dari tongkat besinya itu, sekali-kali bukan warisan dari leluhurnya. Hanya saja menurut alam pikiranku yang dangkal ini, memilih seorang pemimpin Lok-lim tidaklah sama

seperti raja hendak memilih menantu, harus meneliti keturunan keluarga apa segala. Dari keturunan Lok-lim atau bukan, rasanya bukan soal yang penting. Jika bicaraku ini keliru, harap Shin ce-cu memberi maaf.”

Dengan menunjukkan perbedaan antara pemilihan ketua Lok-lim dengan pemilihan seorang menantu raja, si muka ungu bermaksud hendak meniadakan syarat yang diajukan Shin Thian-hiong dalam hal keturunan. Di samping itu, ia singgung-singgung juga diri Thiat-mo-lek karena membonceng pada soal keturunan keluarga.

Sekalian hadirin tak dapat menyelami maksud yang tersembunyi dalam ucapan si muka ungu itu. Yang diketahui mereka, karena kata-kta si muka ungu itu diucapkan dengan menarik sekali, maka mereka sama tertawa.

Sebaliknya merah padamlah wajah Thian-hiong. Baru ia hendak berbangkit akan mengangkat bicara, To Peh-ing sudah membisiki telinganya: ”Shin-toako, harap kendalikan diri, jangan merusak suasana pertemuan ini!”

Kiranya Thiat-koay Li Thian-go itu termasuk golongan orangnya Ong Pek-thong, malah

menjadi saudara angkat Ong Pek-thong. Hanya saja sewaktu Ong Pek-thong bersekongkol dengan An Lok-san, Thiat-koay Li tak mau ikut serta. Ini bukan karena ia gentar, melainkan ia akan menunggu saat-saat yang tepat untuk bergerak. Memang ia lebih cerdik dari Ong Pek-thong. Kala itu ia sudah nebgetahui bahwa tindakan Ong Pek-thong yang salah itu tentu bakal membangkitkan rasa tidak puas di kalangan orang gagah. Kedudukan Ong Pek-thong sebagai pemimpin Lok-lim pasti tak dapat dipertahankan lagi. Maka ia mengambil sikap pasif saja dan memperkuat kedudukannya sebagai Congthaubak dari ketujuh San-ce. Baik kepada tentara negeri maupun kepada kerajaan Wi-yan (merk kerajaan yang akan didirikan oleh An Lok-san), ia tak mau membantu. Tapi sekalipun begitu, pada masa An Lok-san lagi jaya-jayanya, diam-diam Thiat-koay Li mengadakan kontak dengan Ong Pek-thong secara sembunyi-sembunyi.

Kedatangannya ke pertemuan di gunung Kim-ke-nia sekarang dengan membawa harapan penuh bahwa ia niscaya akan memperoleh kedudukan sebagai pemimpin Lok-lim. Pada hakikatnya orang yang mencalonkan dirinya itu, adalah konco-konconya sendiri.

ShinThian-hiong sudah mempunyai keterangan-keterangan lengkap tentang diri orang she Li

itu. Sebenarnya Thian-hiong pun akan membeberkan rahasia hubungan gelap antara Thiat-koay Li dengan Ong Pek-thong, tapi To Peh-ing yang sudah kenal baik karakternya, buru-buru mencegahnya.

Thian-hiong seperti orang disadarkan, pikirnya: ”Ya, benarlah. Aku tadi pun sudah menyatakan, bahwa urusan lama sebaiknya jangan dibawa-bawa lagi. Aku tak boleh memusuhinya hanya dikarenakan ia dahulu mempunyai hubungan rapat dengan Ong Pek-thong. Apalagi pada masa itu ia tak terang-terangan ikut pada Ong Pek-thong, jadi sukar untuk membuktikan jejaknya itu. Jika aku berkeras menentangnya, hadirin tentu menuduh aku menimbang berat sebelah. Hal ini sebaliknya tak menguntungkan diri Thiat-mo-lek.”

Tapi sekalipun Thian-hiong tak membeberkan, namun lain orang pun tahu akan gerak-gerik Li Thian-go itu. Seketika sekalian yang hadir sama hiruk membicarakan. Yang berdiri dari tempat duduknya dan berteriak-teriak adalah dari golongan Thiat-koay Li. Tapi kalau dibanding dengan penyokong Thiat-mo-lek, mereka itu masih belum seberapa.

Setelah suara teriakan mereda, kembali ada seorang berbangkit dan berseru: ”Aku pun hendak mengajukan seorang calon. Yang hendak kucalonkan itu ialah Thiat-pi-kim-to Tang lo-ya-cu yang dalam Lok-lim namanya juga tak asing lagi bagi kita.”

Seorang tua bermuka merah yang tangkas segera berbangkit dan berkata: ”Ai, harap Nyo-lote jangan membuat buah tertawaan orang. Aku seorang tua yang sudah lama cuci tangan, mengapa mencalonkan diriku?”

Orang yang dipanggil she Nyo itu menyahut: ”Jahe makin tua makin pedas. Justru karena kau sudah tua dan sudah cuci tangan, maka tak mempunyai hubungan apa-apa dengan kedua keluarga Tou dan Ong. Dalam menjalankan kewajiban tentu lebih adil bijaksana. Saudara-saudara sekalian,

maafkan aku hendak bicara terus terang. Kulihat, pada masa ini sahabat-sahabat dari kalangan Hek- to tak mempunyai kebulatan hati, jadi sukarlah rasanya untuk memilih calon yang benar-benar ditunjang dengan suara bulat. Maka daripada begitu, lebih baik kita meminta seorang tokoh yang sudah tua usinya untuk menjadi pemimpin kita.”

Thiat-pi-kim-to Tang kiam memang cukup ternama, maka kata-kata orang she Nyo tadi mendapat sambutan tepuk tangan dan sorak-sorai yang gegap gempita. Mereka menyatakan

mendukung. Tapi usia Tang Kiam itu sudah tua, maka ada beberapa orang yang sangsi apakah jago tua itu masih dapat memikul kewajiban. Mereka kuatir jangan-jangan orang tua itu nanti cuma menjadi semacam boneka saja. Maka karena itu jumlah penyokong-penyokongnya masih tetap kalah banyak dibandingkan dengan penyokong Thiat-mo-lek.

Tang Kiam tetap menolak lagi, tapi karena terus-menerus didesak orang, akhirnya ia mau menerima juga dengan pertimbangan supaya dapat mendamaikan pertentangan di antara kedua golongan yang pro dan kontra itu.

”Baiklah, terserah saja pada sekalian hadirin. Tapi aku sendiri menganggap Thiat-mo-lek lah yang paling tepat!” katanya.

Dalam suasana berisik dari orang-orang yang sama memperbincangkan itu, tiba-tiba seorang lelaki bertubuh kekar dan tinggi hampir dua meter tampak berbangkit. Dengan suara nyaring seperti lonceng bertalu. Ia berseru: ”Aku pun hendak mengajukan seorang calon!” Waktu sekalian hadirin memandang ke arahnya, ternyata ia itu pemimpin kaum Lok-lim di

pantai selatan sungai Tiangkang yang bernama Kay Thian-ho. Sekalian orang sama terperanjat. Pikir mereka: ”Kay Thian-ho itu seorang congkak, tak pernah tunduk pada orang. Ketika dahulu orang she Ong dan she Tou menjabat pemimpin Lok-lim, Kay Thian-ho itupun tak menjual muka. Kini ia hendak mengajukan seorang calon, entah siapakah tokoh itu?”

Rupanya Kay Thian-ho tahu apa yang dipikirkan sekalian orang itu. Ia tertawa nyaring: ”Harap saudara sekalian jangan meragukan. Walaupun ia baru setahun muncul di dunia persilatan, tapi ia sudah melakukan perbuatan-perbuatan yang menggemparkan!”

Berbagai reaksi timbul di kalangan hadirin. Ada yang menduga-duga siapa tokoh itu, ada pula

yang tak mau main menduga tapi segera berseru menanyakan pada Thian-ho: ”Kay-toako, bilanglah lekas siapa calonmu itu!”

Sahut Kay Thian-ho: ”Pemuda gagah itu bernama Bo Se-kiat. Kiranya para saudara yang hadir di sini tentu sudah maklum bahwa aku orang she Kay ini tak mudah sembarangan memuji orang.

Tapi hari ini aku benar-benar hendak berkata dengan sungguh-sungguh. Bo-hengte itu benar-benar tergolong tokoh sakti dalam jaman ini! Dia adalah murid angkatan keempat dari Kiu-si-khek dan keponakan dari Tocu (pemimpin pulau) Hu-siang-to, Bo Jong-siang. Walaupun mereka tinggal di luar lautan yang amat jauh, tapi juga dapat digolongkan sebagai keturunan keluarga Lok-lim.”

Kiu-si-khek adalah seorang Koay-kiat (pendekar aneh) dari dunia Lok-lim pada masa permulaan kerajaan Tong. Karena baginda Sui-yang-te seorang raja yang Bu-to (lalim), maka

sekalian orang gagah di seluruh negeri sama berontak. Kabarnya Kiu-si-khek itu juga bermaksud menceburkan diri sebagai raja. Tapi kemudian seorang sahabatnya yang bernama Li Ceng datang mengunjunginya dan memuji-muji kecakapan Li Si-bin. Sahabat Kiu-si-khek itu lebih lanjut mengatakan bahwa kegagahan, kecerdasan dan kewibawaan pemuda Li Si-bin itu benar-benar luar biasa. Dengan saingan seperti itu, impian Kiu-si-khek untuk mendapatkan tahta kerajaan tentu akan gagal.

Mendengar itu Kiu-si-khek lalu ajak Li Ceng masuk ke daerah Thay-goan (Li Si-bin adalah putera Li Yan; Liu-siu dari Thay-goan). Di Thay-goan, Kiu-si-khek juga mempunyai seorang sahabat yang bernama Lau Bun-cing. Lau Bun-ding kenal juga pada Li Si-bin. Kiu-si-khek lalu minta pada Bun-cing supaya mengundang Li Si-bin berkunjung ke rumahnya. Ia (Kiu-si-khek) ingin bertemu muka dengan pemuda calon kaisar itu.

Sambil menunggu kedatangan Li Si-bin, Kiu-si-khek main catur dengan Ui-san-khek, seorang tosu dari biara Thay-hi-kwan. Ui-san-khek itu juga seorang berilmu yang terpendam. Kebetulan pada waktu itu ia mertamu ke rumah Bun-cing.

Waktu Li Si-bin datang, kedua orang itu terbeliak kaget. Li Si-bin ternyata seorang pemuda yang berparas agung, gagah dan berwibawa. Ketika Li Si-bin duduk melihat permainan catur itu,

Ui-san-khek yang melihat tanda-tanda luar biasa pada pemuda itu, permainannya segera menjadi kacau. Serentak berdirilah ia, ujarnya: ”Aku menyerah kalah, aneh, posisiku tak dapat tertolong lagi!”

Tapi Kiu-si-khek juga menjadi lesu dan berbangkit menuju ke ruang belakang. Katanya kepada Li Ceng: ”Dia seorang cing-beng-thian-cu, sukar dilawan!”

Cin-beng-thian-cu artinya orang yang sudah ditakdirkan menjadi raja. Kemudian ia menyerahkan seluruh harta simpanannya kepada Li Ceng agar yang tersebut belakangan itu

membantu sekuat-kuatnya pada perjuangan Li Si-bin. Ia sendiri akan menurut nasihat Ui-san-khek untuk menyingkir jauh ke seberang lautan, menjadi raja pulau Hu-siang-to.

Kalangan Lok-lim juga kenal akan kisah Kiu-si-khek menyerahkan tahta kerajaan pada Li Si- bin itu. Meskipun peristiwa itu terjadi pada ratusan tahun yang lalu, namun kaum Lok-lim tetap masih menghormati pribadi Kiu-si-khek. Untuk sekedar mengemukakan ukuran nilainya,

kedudukan Kiu-si-khek di dunia Lok-lim serupa dengan derajat Khong Cu dalam dunia sastrawan. Maka demi mendengar bahwa Bo Se-kiat itu anak murid turunan keempat dari Kiu-si-khek, sekalian hadirin sama membuka mata lebar-lebar.

Berkata pula Kay Thian-ho: ”Dewasa ini para ciat-to-su berebutan daerah kekuasaan, keadaan rakyat amat menderita. Para orang gagah serempak bangun kembali, keamanan terganggu di sana- sini timbul kekacauan. Dahulu dengan rela hati Kiu-si-khek menyerahkan gunung dan sungai (negara) pada Li Si-bin, siapa duga anak cucu orang she Li itu ternyata tak becus untuk menjaga warisan kerajaan leluhurnya!”

Mendengar pidato orang she Kay itu, sekalian orang gagah menjadi tergugah semangatnya. Dengan penuh perhatian mereka mendengarkan. Sesaat hening lelaplah suasana dalam medan pertemuan itu.

Kay Thian-ho tertawa lalu melanjutkan pidatonya: ”Didalam suasana negara kalut ini, kita kaum Lok-lim juga harus memiliki pambek (cita-cita) dan pandangan yang luas. Sekali-kali jangan hanya berebutan daerah kekuasaan atau pembagian hasil rampasan saja. Yang akan menjabat sebagai pimpinan Lok-lim juga tak terbatas hanya cakap menghadapi serangan tentara negeri dan mampu mengatasi pertentangan di dalam kalangan kita saja. Lebih dari itu, kita masih harus melindungi rakyat jelata, membasmi kawanan raja kecil yang berupa panglima-panglima daerah itu. Makin besar kekacauan negara berlangsung, makin keraslah seharusnya kita gelorakan perjuangan kita. Ha, ha, peribahasa mengatakan: 'Yang berhasil akan menjadi raja, yang kalah lantas menjadi perampok'. Nanti apabila suasana sudah kembali aman, kita pun jangan terus-terusan menjadi penyamun!”

”Bo-hengte adalah ahli waris dari Kiu-si-khek. Orangnya gagah dan pintar, mempunyai kewibawaan untuk mengemban amanat leluhurnya. Tahun ini saja dari apa yang dia lakukan, misalnya merampas antaran kuda, menyerbu Teng-ciu, menundukkan kawanan orang gagah dari 12 cui-ce (markas bajak) di telaga Thay-oh membantu meringankan penderitaan rakyat di daerah sungai Hong-ho yang dilanda banjir dan lain-lain, semua itu sudah cukup menggemparkan dan membuat orang kagum sekali. Maka menurut hematku, jika kita ingin melaksanakan suatu pekerjaan besar, haruslah kita memilih Bo-hengte itu menjadi pemimpin kita!”

Bergeloralah darah sekalian hadirin. Ada seorang lelaki berdiri dan berseru: ”Kami rombongan dari Im-ma-jwan ini pernah dijungkir-balikkan oleh Bo Se-kiat. Sementara aku sendiri orang she Nyo ini, juga pernah merasakan pil pahit (hajaran) dari dia. Tapi meskipun dikalahkan, aku tunduk setulus hati padanya. Karena dalam urusan tempo hari itu, pihak kamilah yang bersalah. Ia dapat mengemukakan alasan-alasan yang tepat hingga mau tak mau aku harus tunduk.”

Orang itu berhenti sejenak, lalu meneruskan kata-katanya pula: ”Kini atas nama segenap warga

Im-ma-jwan, aku menyatakan dukungan sepenuhnya pada pencalonan Bo Se-kiat. Apakah nanti ia hanya menjadi pemimpin atau akan menjadi kaisar, kami akan taat padanya!”

Yak-bwe dan In-nio kenal orang itu sebagai si tinggi besar she Nyo yang bertempur dengan Se-

kiat di gunung Pak-bong-san tempo hari, tapi baru setengah jalan si tinggi besar itu lantas mengakui kesalahannya.

Setelah kedua orang she Nyo dan Kay itu berbicara, hati sekalian orang meluap-luap penuh semangat. Tapi ada sementara orang juga yang gelisah, pikir mereka: ”Apakah ini bukan pemberontakan?”

Memang kaum penyamun itu terdiri dari dua golongan. Ada yang menjadi penyamun karena melihat ketidak-adilan dan kekacauan negara, jadi mereka terdiri dari orang-orang yang mempunyai pambek besar. Pun ada yang menjadi penyamun karena dorongan penghidupan. Untuk golongan yang terakhir ini, kebanyakan selalu menurut saja, tak berani memberontak.

Maka berbangkitlah Se-kiat dari tempat duduknya. ”Kay-toako telah menjunjung begitu tinggi padaku, aku sungguh tak berani menerimanya. Apa yang diucapkan Nyo-toako tentang mau jadi raja apa segala itu lebih merupakan lelucon saja. Memang sekarang ini negara sedang mengalami kekacauan dan inilah saatnya bagi putra-putra ibu pertiwi untuk tampil membuat jasa. Kewajiban sebagai Bengcu (pemimpin) itu terlampau berat, aku tak dapat memikulnya. Tapi aku berjanji akan taat dan memberi bantuan sepenuh tenaga kepada Toako lain yang akan menjabat kedudukan pemimpin itu!”

Ucapan itu dinyatakan dengan nada yang gagah, tapi mengandung penolakan.

”Kaulah orangnya pemimpin itu! Ya, jangan menolak lagi!” seru Kay Thian-ho dan beberapa orang.

Didesak begitu keras, apa boleh buat Se-kiat tak mau membantah lagi. Ia terpaksa menerima pencalonan itu. Jantung In-nio berdenyut keras, ia girang-girang kaget. Ya, mengapa tidak? Se- kiat adalah jantung hatinya. Bahwa sang jantung hati menerima sekian besar dukungan, ia merasa girang. Tapi bila mengingat nanti bakal berebut melawan Thiat-mo-lek, In-nio merasa tak enak hatinya.

”Siapa lagi yang akan mengajukan calon?” tanya Thian-hiong kemudian. Ia mengulangi beberapa kali tawaran itu, tapi tak ada yang menyahut.

”Baiklah. Sekarang ada empat calon Beng-cu yang diajukan. Thiat-mo-lek siau-cecu dari Yan- san, Li Thian-go Congthaubak dari Ho-pak-chit-ce, Thiat-pi-kim-to Tang Kiam locianpwe dan Bo Se-kiat siau-tocu dari Hu-siang-to. Sekarang kita adakan pemilihan lagi yang manakah di antara keempat calon itu yang akan kita pilih menjadi Bengcu!” kata Thian-hiong akhirnya.

Tapi dengan cara bagaimanakah pemilihan itu dilakukan, ia sendiri bingung. Menurut cara yang sederhana, pilihan itu dapat dilakukan dengan cara pemungutan suara. Siapa yang mendapat suara terbanyak, itulah yang menang. Tapi dengan cara begitu, akan makin tajamlah garis pertentangan antara golongan-golongan yang pro dan kontra. Benar suara terbanyak akan dapat menindas suara sedikit, tapi sifat-sifat kaum Lok-lim itu suka membandel. Jika mereka cuma tunduk dilahirnya

saja, kelak kemudian hari tentu akan terbit perkara yang tidak-tidak.

Di samping itu Thian-hiong sendiri mempunyai keinginan ialah mengharap Thiat-mo-lek yang menang. Tapi jika menilik gelagatnya, penyokong-penyokong Se-kiat itu tak kalah jumlahnya dengan pendukung-pendukung Thiat-mo-lek.

Akhirnya tampillah seorang tua, Hiong Ki-goan locecu dari gunung Hok-gu-san. Serunya: ”Sekarang kita menghadapi empat calon yang sama-sama mempunyai dukungan kuat. Berbicara tentang soal kemasyhuran nama dan keluhuran pribadi, kesemuanya itu sukar untuk dinilai. Jika menilai buruk-baiknya atau kuat-lemahnya ilmu kepandaian mereka, pun dapat menyinggung perasaan. Turut pendapatku si orang tua ini, lebih baik diputuskan menurut cara lama saja.”

Pemimpin dari Hok-gu-san itu sudah berusia 70-an tahun. Ia sudah pernah turut dalam pemilihan Beng-cu sampai tiga kali, jadi sudah paham akan peraturan lama mengenai hal itu. ”Kalau begitu harap locianpwe memberi petunjuk pada kmi!” seru Thian-hiong.

Hiong Ki-goan berdehem sekali, lalu berseru: ”Sederhana saja, caranya ialah mengadu

kepandaian. Sekarang ada 4 orang calon, maka harus bertanding 3 kali. Pertandingan-pertandingan itu diatur secara berturut-turut. Dalam setiap babak keluar tiga orang. Yang kalah akan kehilangan hak dipilih menjadi Beng-cu. Yang menang terus bertanding lagi dalam babak kedua.  Pemenang dari babak kedua ini baru boleh memanggil pengganti atau boleh juga tak memerlukan

penggantinya. Tetapi calon Bengcu yang berkepentingan itu sedikitnya harus keluar bertanding satu kali. Demikianlah peraturan itu, jelaskah?”

Thian-hiong berpendapat hal itu merupakan satu-satunya cara untuk menyelesaikan persoalan saat itu. Meski bertanding itu dapat merusak hubungan, tapi kaum Lok-lim itu memang hanya menjunjung ilmu kepandaian saja. Bagi pemenang yang memiliki kepandaian sakti, orang-orang yang bermula menentang pencalonannya itu, tentu akan tunduk juga.

Sekalian hadirin tak ada yang menentang usul Hiong Ki-goan itu. Karena itu Thian-hiong

segera mengadakan pengundian. Hasilnya, dalam babak pertama Bo Se-kiat melawan Li Thian-go. Siapa yang menang akan maju dalam babak kedua melawan Tang Kiam. Thiat-mo-lek mendapat giliran yang terakhir.

Segera Li Thian-go suruh wakilnya, Hucecu Tho Hou, untuk maju dalam babak pertama itu. To Hou mempunyai kepandaian istimewa dalam ilmu golok kilat. Perangainya kasar, dunia persilatan menjulukinya dengan sebutan Si Jagal.

Dari golongan yang pro Bo Se-kiat, sebenarnya Kay Thian-ho yang akan maju tapi melihat pihak lawan hanya mengeluarkan seorang wakil cecu saja, maka iapun tak mau turun ke gelanggang.

Tiba-tiba ada seorang tetamu menerobos keluar dan berseru dengan lantang: ”Lama nian kukagumi permainan golok kilat dari To-toako yang tiada tandingannya itu. Hari ini ingin sekali aku mendapat pelajaran barang beberapa jurus sajalah.”

Sekalian orang mengenal orang itu sebagai Li Beng, Cecu dari gunung Tong-pik-san. Seorang tokoh yang termasyhur dengan permainan golok Pat-kwa-to. Bersama dengan To Hou, ia menikmati kemasyhuran nama sebagai jago golok dari daerah selatan dan utara.

Sekalian hadirin tersirap kaget melihat jago Pat-kwa-to itu sengaja hendak menempur jago Gway-to (golok kilat).

Tapi To Hou tertawa gelak-gelak, ujarnya: ”Aha, Li-cecu terlalu sungkan. Siapakah yang tak

tahu bahwa golok Pat-kwa-to Li-toako itu merajai dunia persilatan? Aku merasa beruntung bahwa hari ini dapat berjumpa dengan Li-toako. Maka sudilah nanti Li-toako jangan pelit memberi pelajaran padaku!”

Suara yang bernada ramah itu sesungguhnya berisi suatu peringatan keras. Bahwasanya nanti jago she To itu akan mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang lebih jempol dalam ilmu golok. Karenanya ia minta pada Li Beng supaya jangan sungkan-sungkan lagi.

Sebagai jago kawakan, sudah tentu Li Beng mengerti kemana jatuhnya perkataan jago golok kilat itu. Selekas mencabut golol, iapun lalu mempersilahkan: ”To-toako adalah seorang tetamu dari jauh, harap mulai lebih dulu!”

Permainan To Hou itu disebut ”golok kilat” karena ia menitikberatkan selalu turun tangan lebih

dulu dengan cepat. Maka setelah mengucapkan sepatah kata minta maaf, iapun segera membuka serangan.

Tring, tring, tring, dalam sekejap saja To Hou sudah berturut-turut melancarkan tujuh kali

serangan. Sekalian orang yang melihat perkelahian itu menjadi berkunang-kunang matanya. Diam- diam mereka sama memuji dan mengakui kemasyhuran ilmu golok kilat To Hou.

Sebaliknya permainan golok Pat-kwa-to dari Li Beng itu menitikberatkan pada kerapatan.

Dengan menggunakan posisi kuda-kuda kaki Ngo-heng-pat-kwa, goloknya berkelebatan naik turun laksana hujan mencurah rapatnya. Empat-lima puluh kali serangan golok To Hou semua kena ditangkisnya. Demikianlah kedua jago gglok itu terlibat dalam suatu pertempuran yang dahsyat dan menarik sekali hingga berulang-ulang terdengarlah teriak-pujian dari sekalian hadirin.

Li Beng mencurahkan seluruh perhatiannya ke arah ujung goloknya, seolah-olah ujung

goloknya itu dibanduli dengan benda yang beratnya seribu kati. Makin lama permainannya makin lambat, namun anehnya serangan kilat yang dilancarkan To Hou dengan bertubi-tubi itu tak mampu menembus lingkaran pertahanan golok Li Beng.

Melihat itu Li Thian-go mulai merasakan gelagat tidak baik. ”Celaka!” diam-diam ia mengeluh dalam hati. Baru ia mengeluh begitu, disana sudah terdengar Li Beng membentak keras: ”Kena!” Li Beng gunakan jurus Hoan-chiu-liau-hun, yaitu balikkan tangan untuk memapas, ketika To

Hou melintangkan goloknya hendak menangkis, tapi siku lengannya sudah kena termakan golok lawan. Jago golok kilat itu menggerung keras, golok dipindah ke tangan kirinya dan dengan kecepatan luar biasa, ia menghantam lawan.

Setelah dapat melukai lawan, Li Beng menjadi kegirangan. Sedikitpun ia tak menyangka sama sekali bahwa lawan begitu bandel dan galak, baru saja lengannya terluka sudah balas menyerang dengan hebatnya. Dan memang tak kecewa To Hou mendapat gelaran Golok Kilat itu.

Bagaimanapun Li Beng hendak berusaha menghindar, namun sudah terlambat. Bahunya pun kena termakan tabasan golok lawan, darah segera bercucuran keluar.

To Hou dengan beringas masih akan menyerbunya lagi. Tapi syukur demi melihat lengan kanan Li Beng hampir putus, serentak berserulah Thian-hiong dan Thian-go: ”Berhenti, berhenti!”

To Hou deliki mata: ”Menang-kalah belum ketahuan, mengapa disuruh berhenti?”

Tapi setelah berkata begitu, ia rasakan lengan sendiri sakit sekali. Tadi karena getaran

amarahnya, ia tak merasa apa-apa. Tapi setelah berlangsung beberapa menit kemudian, nyeri pada lengan kanannya itu menyerang dengan hebat. Bagaimanapun gagahnya, ia tetap seorang manusia yang terdiri dari darah dan daging juga. Rasa sakit itu sampai menusuk ke ulu hati.

”Pertandingan ini adalah antara sesama kawan sendiri, sudah cukup bila ada yang kalah atau menang. Tapi babak ini anggap seri, perlu apa harus sampai ada yang mati?” kata Thian-hiong. Li Thian-go mengangguk setuju: ”Ucapan Shin-toako itu bijak sekali. Babak ini anggap saja serilah.”

Menurut penilaian, kedua jago tadi sama-sama terluka. Tapi luka Li Beng hanya dibagian pundak, tidak begitu berat. Sebaliknya To Hou terkutung lengan kanannya, suatu halangan besar baginya karena ia tak mahir bermain dengan tangan kiri. Jika pertandingan itu dilanjutkan, kemungkinan besar ia tentu akan kalah.

Bermula Li Thian-go kuatir kalau pihak Se-kiat (Li Beng) tak setuju pertandingan itu

dihentikan, sebab sudah jelas ia pasti akan menderita kekalahan dalam babak permulaan itu. Maka setelah Thian-hiong memberi pertimbangan seri, iapun lekas-lekas menyatakan persetujuannya.

Karena menahan kesakitan, saat itu To Hou sudah mandi keringat dingin. Bila tak malu akan ditertawai oleh sekalian orang gagah dari berbagai penjuru, ia tentu sudah menjerit-jerit.

Gelarannya ialah Si Jagal dan memang perangainya berangasan dan kasar.

Tapi pada saat itu, terpaksa ia tak berani unjuk kegarangan lagi. Setelah dikeluarkannya keputusan seri, maka dari kedua belah pihak segera ada beberapa orang yang maju menghampiri kedua jago itu untuk mengobati dan menggotongnya keluar.

Baru kedua jago yang terluka dibawa pergi, majulah di gelanggan situ si muka ungu tadi. Ia mencekal sebatang Tok-kah-tang-jin (orang-orangan tembaga berkaki satu).

”Saudara-saudara sekaum Lok-lim! Siapakah diantara kita yang tak pernah terguling di bawah ujung golok? Kita selalu menjunjung kebajikan dan keadilan. Kalau dalam pertempuran kita hanya terluka saja, itulah masih mujur dan kita tetap bersahabat. Aku disini hendak membantu pihak Li toako, sahabat manakah yang suka memberi pelajaran padaku? Biar nanti tubuhku berhias dengan beberapa liang darah juga aku akan tetap berterima kasih.”

Ternyata si muka ungu itu bernama Han Wi, seorang benggolan begal besar yang bekerja

seorang diri. Karena ia seorang kuat peribadinya, marah girang tak kentara, maka orang persilatan menjulukinya dengan nama Leng-bin-hou atau Macan Bermuka Dingin.

Senjata Tok-kah-tang-jin yang digunakan itu, beratnya ada 48 kati. Sebenarnya termasuk senjata berat juga. Tapi istimewanya sepasang lengan dari orang-orangan tembaga itu dapat digunakan untuk menutuk jalan darah orang. Senjata itu mempunyai tiga macam ciri yang khas, yakni: Berat, kasar, dan tangkas. Dan pemiliknya orang she Han itu, tentunya lebih lihay dari To Hou.

Ucapannya tadi amat menusuk perasaan orang. Dari pihak Se-kiat sebenarnya sudah ada beberapa orang yang sedianya akan maju, tapi sama mengkeret nyalinya karena gertakan orang she Han itu.

Adalah Kay Thian-ho yang tak dapat mengendalikan diri lagi. Tapi baru ia hendak tampil ke muka, tiba-tiba ada seorang lelaki tinggi besar dan berwajah gemilang seperti batu kemala, berbangkit dari duduknya dan berseru nyaring: ”Biarlah aku yang mohon pelajaran ilmu tutuk dari Han-toako!”

Orang-orang dari pihak Se-kiat terbeliak kaget melihat orang itu. Orang itu masih muda tapi

bukan termasuk golongan mereka. Dia ialah Tian Goan-sin, suami Ong Yan-ih (puterinya Ong Pek- thong).

”He, mengapa kau tak mau bersabar untuk membantu Thiat-mo-lek nanti?” bisik Yan-ih kepada sang suami.

Goan-siu mengepal tangan isterinya dan menyahut dengan pelahan: ”Demi untuk kepentinganmu!”

Yan-ih dapat memaklumi maksud suaminya. Kiranya ucapan orang she Han tadi samar-samar mengandung hinaan pada Yan-ih. Itulah sebabnya Goan-sin hendak membalaskan kemengkalan isterinya. Ia anggap pihak orang-orangnya Thiat-mo-lek sudah cukup jago-jagonya yang tangguh, kurang dia seorang rasanya tak terpengaruh. Dan lagi kalau ia memenangkan pertandingan ini, benar secara langsung Bo Se-kiat lah yang mendapat keuntungan, tapi secara tak langsung, karena pihak Li Thian-go kalah, jadi pihak Thiat-mo-lek pun mendapat keringanan juga.

Han Wi kenal pemuda itu sebagai putera dari Li-mo-thau Tian Toa-nio. Diam-diam ia tergetar hatinya: ”Tian-toako, bilakah kau mengikat persahabatan dengan kaum Hu-siang-to?” segera serunya dengan tertawa.

Goan-siu menjawab: ”Hari ini adalah hari pemilihan Bengcu dan bukan untuk membicarakan hubungan persahabatan. Aku suka membantu siapa, itu urusanku sendiri, tak perlu kau hiraukan. Bagaimana, apa kau hendak memilih seorang lawan lain?”

Amarah Han Wi menjadi meluap, pikirnya: ”Aku hanya takut pada ibumu, bukan kepadamu!” Namun ia masih menguasai kerut wajahnya dan berkata dengan tenang: ”Ah, Tian-toako bergurau ini. Seorang yang membuka kedai nasi masakan takut didatangi pembeli-pembeli yang lapar. Hanya saja kita berdua ini cuma membantu pada sahabat saja, jadi urusan ini menjadi tanggung jawab kita berdua. Jelaskah kiranya Tian-toako akan kata-kataku ini?”

Goan-siu tertawa dingin: ”Jangan kuatir! Keluarkanlah seluruh kepandaianmu untuk membunuh aku, tak nanti ada orang yang minta ganti jiwa padamu!”

”Ah, bukan begitu,” sahut Han Wi, ”Aku hanya hendak mengatakan bahwa dalam pertempuran

itu nanti tentu sukar terhindar dari salah satu yang menderita. Maka lebih dulu kutegaskan di muka. Harap Tian-toako memberi maaf atas kekurang-ajaranku!”

Wut, begitu angkat Tok-kah-tong-jin ia lantas menghantam kepala Goan-siu. Goan-siu gunakan jurus pek-hong-koan-jit (bianglala melintas matahari), ia berkelit sambil menusuk ke dada lawan. Tapi Han Wi juga tidak lemah.   Trang, ia cepat menangkisnya. Kemudian tong-jin disapukan, lengan orang-orangan itu menutuk jalan darah di pinggang Goan-siu.

Goan-siu miringkan tubuhnya sembari kirim tiga kali tusukan. Semuanya mengarah jalan darah yang berbahaya. Han Wi menjadi kelabakan melihat permainan pedang lawan yang begitu cepat- dahsyat itu. Posisinya menjadi terdesak, dari menyerang kini ia berganti menjaga diri. Tok-kah- tang-jin diputar dengan keras sekali.

Tring, tring, tring, dalam sekejap saja tubuh orang-orangan tembaga itu penuh dengan lubang tusukan pedang. Bagian-bagian yang tertusuk itu banyak yang gempil tapi karena berat senjata itu ada 48 kati dan tebalnya beberapa dim, jadi pedangpun tak dapat menembusnya. Apalagi pedang yang digunakan Goan-siu itu hanya pedang Ceng-kong-kiam biasa. Ujung pedang itupun menjadi tumpul juga.

Ilmu pedang dari Goan-siu itu dititik-beratkan pada kecepatan dan kekerasan. Sebenarnya bukan maksudnya hendak adu senjata. Sedapat mungkin ia hendak menusk tubuh lawan tanpa

terbentur dengan senjatanya (Han Wi). Tapi permainan Han Wi itu tangkas sekali. Kemana Goan- siu menusuk, disitu tentu sudah disongsong dengan Tok-kah-tang-jin.

”Orang ini menggunakan Tang-jin sebagai perisai, aku tak mampu melukainya, ah, bagaimana aku dapat membalaskan kemengkalan Yan-moay?” akhirnya Goan-siu merasa putus asa.

Sebaliknya diam-diam Han Wi bergirang hati, pikirnya: ”Ilmu pedangmu meskipun hebat, tapi

kau ini hanya seorang berani tapi tanpa punya siasat. Bagus, akan kubiarkan kau unjuk kegarangan menusuk sepuas-puasmu. Nanti setelah pedangmu putus, awaslah jiwamu!”

Tengah Han Wi membayangkan kemenangan itu, tiba-tiba Goan-siu menggerung keras. Begitu menyarungkan pedang, mendadak pemuda itu lantas menghantam dengan tinjunya. Pukulan itu tepat mengenai punggung Tok-kak-tang-jin. Blak, terdengar suara keras dari logam yang dipalu. Saking dahsyatnya pukulan itu, tok-kah-tang-jin terpental balik ke arah pemiliknya. Begitu keras pukulan itu hingga  Han Wi tak dapat menguasai senjatanya lagi. Tok-kah-tang-jin berbalik menghantam keningnya sendiri. Darah memuncrat, robohlah jago she Han itu ....

Sepintas pandang tindakan Goan-siu itu amat berbahaya sekali. Tapi sebenarnya ia bertindak dengan memakai perhitungan yang tepat. Jelas dilihatnya bahwa dalam hal tenaga, Han Wi kalah dengan dia. Itulah sebabnya ia lantas memutuskan untuk menghantam. Tapi sekalipun ia berhasil merobohkan Han Wi, tinjunya juga melepuh begap.

Masih Goan-siu belum reda kemarahannya. Sebelum Han Wi sempat loncat bangun, Goan-siu sudah injak punggungnya.

”Tian-toako, janganlah!” Thiat-mo-lek buru-buru mencegahnya.

Goan-siu tertawa dingin: ”Mengingat ada orang memintakan kasihan bagimu, kali ini biar kuampuni kau!”

Tapi waktu ia angkat kakinya, Han Wi sudah pingsan. Kiranya walaupun Goan-siu tak jadi mencabut jiwa pecundangnya, tapi ia sudah menginjak remuk perkakas dalam orang she Han itu. Nanti apabila Han Wi sembuh, pun ia bakal menjadi seorang cacad yang tak berguna lagi.

Melihat itu gusar Li Thian-go bukan kepalang. Tanpa tunggu ada orang dalam rombongannya yang maju, ia sudah lantas loncat kemuka: ”Orang she Tian, aku pun hendak minta pelajaran dari kau!”

Se-kiat tertawa: ”Ai, rupanya Li-cecu telah melupakan peraturan. Karena Tian-toako itu

mewakili rombonganku, maka menurut peraturan pertandingan, ia hanya boleh bertanding satu kali saja!”

Kemarahan Li Thian-go sekarang beralih pada jago itu, tantangnya segera: ”Baik, kalau begitu biarlah sekarang aku meminta pelajaran padamu saja. Pihak Hu-siang-to kalian tentu berilmu sangat sakti!”

Se-kiat menyahut: ”Aku tinggal di lautan yang terasing, maka dalam pengetahuan amat dangkal sekali. Juga dalam ilmu kepandaian perguruanku, aku hanya memperoleh sedikit kulitnya saja. Mana aku berani menerima pujian Li-cecu itu? Kedatanganku kemari hanya untuk menambah pengetahuan tentang kepandaian yang mengagumkan dari sekalian sahabat-sahabat gagah. Telah lama kudengar ilmu permainan tongkat Li-cecu yang disebut Loan-bi-hong-kuay-hwat itu merupakan ilmu sakti yang tiada taranya di dunia persilatan. Sungguh beruntung sekali hari ini aku dapat berjumpa dengan Li-cecu, maka hendaknya sukalah Li-cecu memberi pelajaran barang beberapa jurus saja dari permainan tongkat yang sakti itu.”

Habis berkata ia lemparkan pedangnya lalu menghampiri sebatang pohon besar. Dengan tangan kosong ia tabas sebuah dahan, lalu dipotong-potongnya sehingga merupakan sebuah tongkat dari satu setengah meter panjangnya. Sekalian orang yang menyaksikan tenaga pukulan anak muda itu sedemikian hebatnya, sama tercengang-cengang.

Lalu Se-kiat kembali ke tengah gelanggang dan tegak berdiri menghadapi Thian-go, serunya: ”Silahkan Li-cecu memulai!”

Kini baru mengertilah Li Thian-go bahwa si anak muda itu hendak melawannya dengan tongkat kayu saja. Seketika meluaplah amarahnya, anfsu pembunuhan menyala-nyala di wajahnya.

Sebagian dari penyamun-penyamun yang hadir dalam pertemuan itu belum pernah kenal siapa Se-kiat itu, mereka bersangsi dalam hati: ”Meskipun anak muda itu anak murid angkatan keempat dari Kiu-si-khek, tapi usianya masih begitu muda. Taruh kata begitu lahir ia sudah belajar silat,

masakan ia dapat mengatasi Thiat-koay Li. Apalagi ia begtu congkak hanya memakai dahan pohon untuk melawan tongkat besi. Bukankah ia seperti ular cari gebuk?”

Selagi sekalian hadirin mengkuatirkan diri Se-kiat, disana Thian-go kedengaran membuka suara dengan dingin: ”Karena Bo-heng hendak menguji permainan tongkatku, terpaksa akupun akan mengunjuk permainan yang jelek itu!”

Thian-go benci kepada si anak muda yang begitu memandang rendah padanya. Maka begitu membuka serangan, ia sudah gunakan jurus yang keras sekali. Sekejap saja tongkat besi itu sudah berubah menjadi lingkaran sinar yang menderu-deru seperti badai.

Se-kiat tak mau menghindar, sebaliknya ia angkat tongkat kayunya untuk menangkis. Sekalian orang hampir menjerit kaget. Mereka yakin tongkat anak muda pasti hancur dan orangnya tentu kena terhantam. Tapi aneh bin ajaib, bukan tongkat kayu si anak muda yang patah, sebaliknya tongkat besi Thian-go yang terpental. Thiat-koay Li penasaran dan ulangi hantamannya sampai tiga kali, tapi setiap kali tongkat besinya itu selalu terpental waktu berbenturan dengan tongkat kayu si anak muda. Serangan Thiat-koay Li yang dilancarkan dengan ngotot itu hanya ditangkis seenaknya saja oleh si anak muda. Setiap serangan selalu dapat dipatahkan dan kalau tongkat besi terpental adalah tongkat kayu itu tetap utuh tak kurang suatu apa.

Hal itu telah menimbulkan kegemparan hebat di kalangan hadirin. Mereka tak habis-habisnya menyatakan keheranannya.

”Jangan-jangan anak itu mempunyai ilmu sihir. Tongkat besi dari Thiat-koay Li dapat menghancurkan batu dan meremukkan kepala orang. Mengapa tongkat kayu anak muda itu tak kena apa-apa?” kata sementara hadirin.

Benarkah Se-kiat menggunakan ilmu sihir? Tidak! Ia hanya mahir dalam ilmu lwekang.

Semuda itu usinya namun ia sudah dapat menyakinkan lwekang dengan sempurna. Tadi ia telah gunakan apa yang disebut tenaga menyedot. Memang tampaknya ia adu kekerasan tapi sebenarnya ia telah dapat memperhitungkan datangnya serangan lawan dengan tepat. Begitu meerima pukulan, ia terus saja 'menyedot' tenaga lawan. Paling sedikit 7-8 bagian dari tenaga Thiat-koay Li telah kena disedot, sehingga tak heranlah kalau tongkat kayu si anak muda tak menderita apa-apa. ”Kau mengatakan hendak adu ilmu tongkat, tapi mengapa tak balas menyerang?” seru Thiat- koay Li.

Se-kiat tertawa: ”Aku adalah tetamu dari jauh, sudah sepantasnya mengalah sampai tiga jurus.” Habis itu ia lantas putar tongkat kayunya untuk menyerang. Dan jurus yang digunakannya juga ilmu permainan tongkat Loan-bi-hong-koay-hwat bagian it-lat-ciang-cap-hwe (tenaga satu menindih sepuluh).

Sudah tentu kepandaian Thiat-koay Li lebih tinggi dari kawanan tetamu yang berteriak-teriak keheranan tadi. Tahu kalau lwekang si anak muda lebih tinggi, sengaja ia menyuruh lawan balas menyerang. Dan bahwa si anak muda mau menyerang, apalagi gunakan jurus Loan-bi-hong-koay- hwat, diam-diam ia heran tapi girang juga.

Jurus it-lat-ciang-cap-hwe itu, adalah jurus untuk adu kekuatan. Thiat-koay Li bertenaga besar, jadi ia girang dengan serangan itu, maka ia pun segera gunakan jurus serupa it-lat-ciang-cap-hwe untuk menyambutnya.

Trang, terdengar benturan keras. Anehnya, tongkat kayu Se-kiat tetap tak patah, sebaliknya tongkat besi Thiat-koay Li tak dapat dikuasainya lagi, turut berputar-putar dibawa tongkat si anak muda. Kiranya tenaga Se-kiat yang keras itu mengandung kelemasan, jauh lebih tinggi dari kepandaian Thiat-koay Li. Setelah berbentur, Se-kiat lalu ganti menggunakan lwekang 'memutar'. Ia melancarkan tenaga, kemudian meminjam tenaga lawan untuk mengendalikan lagi, cara ini adalah termasuk lwekang sakti yang disebut 'pinjam tenaga mengembalikan tenaga'. Sudah tentu Thiat-koay Li tak berdaya lagi.

Masih untung Se-kiat tak mau membikin celaka lawan. Setelah memutar beberapa kali, ia lantas tarik pulang tongkatnya. Ujarnya dengan tertawa: ”Loan-bi-hong-koay-hwat dari Li-cecu benar-benar luar biasa, aku hendak mohon pelajaran lainnya lagi.”

Sebenarnya Thiat-koay Lo harus mengakui kekalahannya. Tapi kalau ia berbuat begitu, berarti habislah harapannya untuk maju ke babak kedua. Apa boleh buat ia tebalkan muka dan pantang menyerah. Tanpa berkata apa-apa, ia lantas menyerang lagi dengan permainan Loan-bi-hong-koay- hwat.

Se-kiat memang bermaksud hendak menggodanya. Lawan gunakan jurus apa, ia pun gunakan jurus itu. Ilmu permainan Thiat-koay Li disebut 'loan-bi-hong' atau angin puyuh, sudah tentu gerakannya amat cepat sekali. Tapi ternyata Se-kiat dapat memainkan lebih cepat lagi dari dia. Jangan lagi dapat melukai atau menghantam tongkat kayu lawan, sedang ujung baju si anak muda itu saja Thiat-koay Li sudah tak mampun menyentuhnya.

Selagi mata sekalian penonton puder karena gerak-gerik kedua jago itu secepat bayangan, tiba- tiba Thiat-koay Li loncat keluar dari gelanggang. Bluk, tongkat besinya dibuang ke tanah, lalu memberi hormat dengan kedua tangannya: ”Terima kasih atas kemurahan hati Bo-heng, aku orang she Li menyerah dengan sepenuh hormat!”

Se-kiat buru-buru membalas hormat. Diambilnya tongkat besi, lalu diserahkan kepada si pemilik Thiat-koay Li.

Memang kecuali Thiat-mo-lek, To Peh-ing, Tang Kiam, Kay Thian-ho dan beberapa tamu yang lihay, lain-lain orang tak mengerti mengapa Thiat-koay Li lompat keluar dan menyerah kalah itu.

Kiranya setelah Thiat-koay Li habis memainkan jurus permainan tongkatnya sampai jurus yang terakhir, dengan kecepatan luar biasa Se-kiat segera menusuk robek dada bajunya. Coba anak muda itu mau berlaku kejam, dada Thiat-koay Li pasti amblong. Sampai disitu barulah Thiat-koay Li

insyaf bahwa kepandaian lawan memang jauh beberapa kali lebih lihay dari dirinya. Mau tak mau senang tak senang terpaksa ia harus menyerah kalah juga.

Menurut peraturan pertandingan, babak kedua nanti akan dimajukan oleh pihak jago tua Thiat- pi-kim-to Tang Kiam lawan pemenang dari babak kes atu yakni pihak Se-kiat. Pendukung-

pendukung dari Tang Kiam kebanyakan adalah golongan Locianpwe (jago tua) yang sudah ternama di dunia persilatan.

Untuk pertandingan pertama dari babak kedua itu, dari pihak Tang Kiam mengajukan Wi-tin-ho- sok Ban Liu-tong, sedang di pihak Se-kiat menampilkan Kay Thian-ho.

Ban Liu-tong bergelar 'Wi-tin-ho-sok' atau perbawa menggetarkan utara sungai. Sudah tentu ia memiliki kepandaian yang istimewa. Tiga puluh tahun yang lalu, dengan sebatang tombak ia malang melintang di dunia persilatan tanpa tandingan. Di dalam dunia Lok-lim ia termasuk tokoh kelas berat.

Tetapi sayang ia sudah berusia tua, lebih tua dua tahun dari Tang Kiam. Sebaliknya lawannya:

Kay Thian-ho, dalam usia sedang gagah-gagahnya. Dalam kekuatan tenaga, Thian-ho jauh lebih menang dari lawan. Maka waktu pertandingan mencapai jurus yang ketiga puluh, dengan jurus Lat- bi-hoa-san (dengan tenaga penuh menghantam gunung Hoa-san) ia hantam Liu-tong. Jago tua itu tak kuat menangkis, hampir saja ia terhuyung jatuh.

Thian-ho tetap menghormati sang lawan itu sebagai seorang cianpwe. Buru-buru ia buang goloknya terus merangkul lawannya supaya jangan jatuh. Tapi Liu-tong juga seorang jago tua yang sportif. Ia mengatakan tadi memang Thian-ho sengaja jatuhkan senjatanya sendiri, bukannya kalah. Dengan serta merta jago tua itu menyatakan dirinyalah yang kalah. Sekalian orang gagah yang menyaksikan kesudahan pertempuran itu sama memuji keperwiraan kedua jago itu.

Untuk pertandingan kedua dalam babak kedua itu, dari pihak Tang Kiam sebetulnya akan keluar Say-coan-cu Siong Kam, seorang jago tua dari Beng-ciu. Tapi tiba-tiba Tang Kiam berbangkit mencegahnya: ”Siong-lote, akulah yang mengajakmu datang kemari. Masih ingatkah kau akan pembicaraan kita itu?”

Sahut Siong Kam: ”Itu waktu sebenarnya kau tak berhasrat datang kemari, kemudian kukatakan bahwa kita berdua itu sudah tua, sedikitpun tak mempunyai keinginan untuk kedudukan pemimpin Lok-lim itu. Tapi tak ada jeleknya kita hadir kemari untuk meninjau apakah di dunia Lok-lim dewasa ini terdapat tunas-tunas muda yang lihay.”

Tang Kiam tertawa: ”Benar! Oleh sebab itu maka kuminta sukalah kau duduk lagi untuk menonton saja!”

”Tang-toako, sebenarnya memang harus begitu, tapi aku tak menyangka sama sekali bahwa ternyata masih terdapat banyak sekali sahabat-sahabat yang mengajukan dirimu. Jika sekarang kau hendak undurkan diri, bukankah akan membikin kecewa hari mereka?” bantah Siong Kam.

Tang Kiam menggeleng kepala, ujarnya: ”Setelah menyaksikan tadi bahwa tunas-tunas muda kita itu mampu mengganti dan bahkan lebih jempol dari kita angkatan tua, aku merasa girang sekali. Masakah aku masih mempunyai nafsu untuk turut berebut lagi? Tapi seperti kau katakan tadi, kitapun tak boleh mengecewakan harapan sahabat-sahabat kita itu maka baiknya begini

sajalah. Untuk pertandingan ini, akan kuminta Bo-siauhiap mengunjuk kepandaian lagi. Coba saja aku si tua ini masih dapat melayani sampai berapa jurus? Dengan begitu, biarlah babak terakhir yang tentunya lebih menarik ini dapat segera dimulai dan lekas selesai pula.”

Ucapannya itu mengandung dua macam arti. Pertama, sebagai seorang angkatan tua ia akan menguji seorang angkatan muda. Ya, hanya menguji saja bukan hendak merebut menang atau kalah. Kedua, ia hendak mengunjuk kerendahan hati (mengalah). Jika Siong Kam yang maju, apabila sampai menang, tentu pertandingan ketiga harus dimainkan lagi. Ini berarti akan memakan waktu.  Maka ia ambil putusan untuk maju sendiri dengan membawa keyakinan, pasti kalah.

Dengan begitu, biarlah babak ketiga, yakni pertandingan antara Bo Se-kiat lawan Thiat-mo-lek, segera dapat dimulaikan. Dari sini dapat diketahui, sampai dimana kebijaksanaan jago tua itu. Seperti telah diterangkan di muka, menurut tata tertib pertandingan, pemenang pertandingan tadi boleh minta diganti orangnya, pun boleh melanjutkan bertempur terus sendiri.

Maka bertanyalah Thian-hiong kepada Se-kiat: ”Tang-locianpwe bermaksud hendak berkenalan dengan jago-jago muda saja, maka ia minta kau saja yang terus melanjutkan pertandingan.

Bagaimana kehendakmu?”

Se-kiat buru-buru memberi hormat kepada Tang Kiam: ”Atas perhatian Locianpwe, aku menghaturkan terima kasih. Dengan segala senang hati kuturut perintah Locianpwe!” Tang Kiam tertawa gelak-gelak: ”Bagus, bagus! Kau hendak pakai senjata apa?” Kiranya Se-kiat tak membawa senjata apa-apa dan hanya bertangan kosong saja, itulah sebabnya maka Tang Kiam menanyainya. Se-kiat menjura, ujarnya: ”Di hadapan locianpwe masakan aku berani kurang ajar memakai senjata!”

Tang Kiam tertegun, lalu tertawa lagi: ”Baik, kalau begitu biarlah aku bertambah pengalaman lagi untuk menyaksikan permainan tangan kosong Siauhiap ini!”

Di kalangan orang persilatan, memang masih menjunjung perbedaan antara kaum tua dengan

kaum muda. Jika berhadapan dengan lawan yang sama derajatnya, apabila salah seorang ada yang tak memakai senjata, itu berarti menghina lawan. Tapi terhadap angkatan yang lebih tua, hal itu malah berarti kebalikannya. Tidak menggunakan senjata, itu menandakan menghormat, mengunjukkan bahwa dirinya (kaum muda) tak berani memusuhi seorang Locianpwe. Biarpun dirinya terluka, tapi tetap tak mau melukai Locianpwe itu.

Mendengar percakapan itu, sekalian hadirin sama memuji Se-kiat. Tapi mereka diam-diam menguatirkan anak muda itu: ”Thiat-pi-kim-to dari Tang Kiam itu jauh lebih hebat dari tongkat besi Thiat-koay Li. Jika Se-kiat memakai pedang, dengan mengandalkan tenaganya yang masih muda itu, ia tentu menang. Tapi kalau hanya dengan tangan kosong saja, karena tenaganya itu tak banyak berguna, maka sukar ditentukan kalah menangnya. Tapi anak muda itu memang perwira sekali, rupanya ia lebih suka kehilangan kesempatan mendapat kedudukan Beng-cu daripada dikatakan tak menghormat seorang Cianpwe!”

Tang Kiam penyelentik sekali punggung goloknya, lalu menyuruh siap lawan: ”Baiklah, kalau begitu harap Siauhiap terima seranganku ini!”

Golok kim-to segera ditabaskan miring. Se-kiat rangkapkan kedua tangan selaku memberi

hormat sembari tundukkan kepalanya ke bawah untuk menghindari tabasan golok. Sebagai seorang angkatan muda, untuk serangan pertama itu ia tak mau membalas. Malah ia sengaja berikan suatu kesempatan bagus kepada Tang Kiam.

”Ai, janganlah Bo-siauhiap berlaku sungkan!” Tang Kiam tertawa.  Begitu tubuhnya membalik, ia melancarkan serangan yang lihay. Golok di tangan kanan ditabaskan dari samping dan tinju

kirinya pun menyusuli dengan sebuah hantaman. Seketika itu kanan, kiri dan bagian tengah dari si anak muda terkurung rapat.

Sama sekali Se-kiat tak menyangka bahwa jago tua yang usianya sudah mendekati 70-an tahun itu, masih begitu hebat dalam permainan golok dan pukulan. Tanpa terasa mulut Se-kiat memujinya: ”Bagus!”

Sekalian hadirin menghormat Tang Kiam sebagai seorang cianpwe. Serempak mereka berseru memuji permainan jago tua itu. Diam-diam mereka membatin: ”Dalam taburan sinar golok dan pukulan semacam itu, mungkin lalatpun tak mampu terbang menerobos keluar. Ha, bagaimanakah anak muda she Bo itu akan menghindarkan dirinya?”

Sesaat itu terdengar suara berdering dan Se-kiatpun sudah kisarkan kakinya ke samping Tang Kiam. Hanya pakaiannya yang tampak berkibar-kibar tertiup sambaran golok lawan, tapi orangnya masih tetap tak kurang suatu apa!

Kiranya Se-kiat telah gunakan It-cin-sing-kang (jari sakti) untuk mementalkan golok sedikit lalu menyelundup keluar dari bawah sambaran mata golok itu. Melihat permainan silat si anak muda yang belum pernah disaksikan selama itu, sekalian penonton terhening diam menahan nafas. Begitu Se-kiat sudah lolos dengan selamat, pecahlah tepuk sorak mereka menggemparkan tanah datar situ. Sorak pujian kali ini, jauh lebih gempar dari pujian kepada si jago tua Tang Kiam tadi.

Tang Kiam sendiripun turut memuji: ”Sungguh hebat! Setengah abad lamanya golokku ini malang melintang dan baru sekarang ketemu tandingannya!”

Dengan gagahnya jago tua itu putar lagi kim-tonya, diimbangi dengan tinjunya yang menhantam seperti angin. Perbawa serangan jago tua itu, dapat dilukiskan seperti gelombang sungai Tiang-kang yang mendampar dengan dahsyatnya.

Diam-diam Se-kiat memuji juga: ”Orang tua ini benar-benar tak bernama kosong. Jika pada tiga puluh tahun yang lalu di kala ia masih muda, tentu aku tak dapat menghadapinya dengan tangan kosong!”

Ia pun tak berani berayal dan lalu keluarkan ilmu gin-kangnya. Dengan mengandalkan

kelincahan ia hadapi serangan lawan. Dengan tinju menyambut tinju, dengan pukulan menghantam golok.

Begitulah makin lama, ke-2 jago tua dan muda itu bertempur makin seru. Sekalian hadirin yang menyaksikan pertempuran itu sama menahan napas dan memandang dengan mata tak berkesip. Se-kiat menyelinap ke kanan, menerobos ke kiri. Gerakannya mirip dengan seekor kupu-kupu menyusup kelompok bunga. Empat pelosok delapan penjuru, yang tampak hanyalah bayangan si anak muda itu. Walaupun yang bertempur di gelanggang itu hanya dua orang saja, tapi tampaknya seperti ribuan tentara yang tengah bergumul dengan rapat.

Gerakan Se-kiat makin cepat hingga beberapa penonton, sama berkunang-kunang matanya. Saking tak tahan, mereka buru-buru pejamkan mata tak berani melihatnya lagi.

Tiba-tiba sinar golok berputar melingkar seperti bianglala dan tahu-tahu kedua jago yang bertempur itu loncat mundur bersama. Dan secepat itu Se-kiat lantas rangkapkan kedua tangan memberi hormat: ”Locianpwe, maafkanlah!”

Tang Kiam sarungkan goloknya ke dalam kerangka dan tertawa gelak-gelak. Sekalian hadirin kesima heran tak tahu apa yang telah terjadi. Sana-sini sama bertanya: ”Sebetulnya siapakah yang menang itu?”

Tang Kiam tampak acungkan jempolnya dan berseru: ”Golok kim-to ini telah kupakai selama

50 tahun, baru pertama kali ini terasa puntul. Tapipun selama hidupku, belum pernah aku begini gembira seperti hari ini. Bahwa di dunia Lok-lim telah muncul seorang bintang cemerlang seperti Bo-lote, sungguh pantas dibuat girang dan diberi ucapan selamat!”

Mendengar itu barulah sekalian hadirin tahu bahwa Se-kiatlah yang menang. Kiranya dengan kecepatan yang luar biasa, Se-kiat telah berhasil merebut golok lawan kemudian dengan tak kurang sebatnya ia mengembalikannya lagi. Merebut dan mengembalikan golok itu, telah berlangsung dalam tempo yang cepat sekali, lebih cepat dari kejapan mata orang. Itu sebabnya maka tadi para hadirin melihat bayangan seperti pelangi melingkar lalu tahu-tahu kedua jago itu petal mundur.

Kecuali beberapa tokoh lihai, kebanyakan dari para penonton di situ tak dapat melihat kejadian yang sebenarnya.

Karena pihak Tang Kiam sudah dua kali mengalami kekalahan, jadi babak kedua itu diakhiri

sampai di situ dengan pihak Se-kiat sebagai pemenangnya. Untuk babak ketiga atau yang terakhir, akan muncullah golongan Se-kiat melawan jago-jago dari golongan Thiat-mo-lek. Pertandingan ini pasti akan berjalan lebih seru dan menarik. Kalau dalam babak kesatu dan kedua pihak Se-kiat bakal memperoleh kemenangan, itu sudah dapat diduga lebih dulu. Tapi untuk pertandingan babak yang terakhir ini, semua orang tak berani mengira-kirakan lagi.

Thian-hiong selaku juru bicara telah mengumumkan dimulaikannya babak ketiga dengan keterangan bahwa pemenangnya nanti adalah yang berhak menjadi Bengcu. Seketika suasana dalam gelanggang situ menjadi hening. Orang-orang dari kedua rombongan yang akan bertempur itupun sama berkelompok berunding untuk memilih jagonya masing-masing.

Tampak Thiat-mo-lek mengerutkan alisnya  seperti memikirkan sesuatu. To Peh-ing yang berada di samping segera membisik: ”Tidak boleh!”

”Apa yang tidak boleh?” tanya Tian Goan-siu. ”Tidak boleh menyerah padanya!” sahut Peh-ing.

”Mengapa tidak boleh? Bo Se-kiat memiliki kepandaian silat yang hebat dan kecerdasan otak yang jempol. Bukankah amat baik sekali jika menyerahkan kedudukan Bengcu padanya?” kata Thiat-mo-lek.

Kata Peh-ing: ”Dia datang dari luar lautan, baru setahun menginjak bumi Tionggoan sudah lantas mengikat persahbatan dengan banyak orang gagah. Kuanggap dia memang bermaksud hendak merebut kedudukan Bengcu ini.”

”Itu kebetulan sekali! Memang aku sebenarnya tak ingin menjadi Beng-cu,” kata Thiat-mo-lek.

”Adalah justeru karena sifat-sifat kecerdasannya itu amat menonjol sekali, jadi sukar orang

hendak menduganya. Siapa tahu ia bakal memimpin saudara-saudara kita ke arah mana? Kuharap kecurigaanku ini berlebih-lebihan, tapi bagaimanapun aku tak dapat menghilangkan kekuatiran hatiku, ya aku kuatir setelah ia menjadi Beng-cu belum tentu dunia Lok-lim akan berbahagia!” kata Peh-ing. Dalam kalangan Lok-lim, To Peh-ing itu dijuluki sebagai Siau-cu-kat atau Cukat Liang-kecil. Cukat Liang atau Khong Bing adalah seorang Kunsu (penasihat militer) yang cemerlang dalam jaman Sam Kok. Dalam meneliti ucapan Peh-ing itu, Thiat-mo-lek seperti merasa ada sesuatu maksud yang dalam. Maka ia merasa kaget dan lantas tak berani buka suara lagi.

Shin Thian-hiong seorang lelaki berwatak blak-blakan. Takut kalau Thiat-mo-lek akan undurkan diri, maka cepat ia acungkan sepasang kapak terus lari ke dalam gelanggang.

”Aku seorang pendukung Thiat-mo-lek. Sekarang dengan memberanikan diri, aku akan tampil yang pertama. Siapa diantara saudara-saudara yang akan memberi pelajaran padaku?” Sebagai tuan rumah, tampilnya Thian-hiong itu telah menarik perhatian semua orang. Anggota-

anggota kelompok penyokong Thiat-mo-lek, bangkit semangatnya. Riuh rendah mereka bertepuk tangan dan berseru membantu moril jagonya.

Dari pihak Se-kiat, tampak Kay Thian-ho yang maju.

”Ha, ha, Shin-cecu, kita adalah sahabat kental. Selama ini entah sudah berapa banyak kali kita bertanding minum arak. Bertanding kepandaian, baru pertama kali ini. Kita sama-sama membantu sahabat. Tentunya sebagai seorang kakak, kau takkan menyesali adikmu ini, bukan?” kata Thian-ho tertawa.

Thian-hiong tertawa juga: ”Baiklah kita anggap pertandingan ini semacam pertandingan arak

saja. Siapa kalah siapa menang, harus menerimanya dengan gelak tertawa. Jika kau yang menang, akan kupersilakan kau minum tiga puluh cawan besar!”

Kedua tokoh itu, sama tinggi besarnya, sama jujurnya dan sama pula kedudukan namanya dalam dunia Lok-lim. Inilah yang dibilang 'berdiri sama tinggi, duduk sama rendah'.

Para hadirin tidak ada yang pro mana-mana. Mereka bertepuk memuji Thian-hiong, pun bersorak menyanjung Thian-ho.

In-nio kerutkan alisnya: ”Eh, mereka benar-benar akan berkelahi?”

”Sudah tentu berkelahi sungguh-sungguh, masakan hanya bergurau saja? Eh, apakah kau menguatirkan mereka? Takut orang she Kay yang terluka atau kuatir orang she Shin yang bonyok?” tanya Yak-bwe tertawa.

”Mereka adalah sahabat karib, maka tak perlulah aku menguatirkan. Aku .... ak ...” suara In-nio terputus-putus waktu akan menentukan pilihannya.

Yak-bwe mengerti, ujarnya: ”O, kau kuatirkan Shin-toako dan Thiat-mo-lek. Yang satu kekasihmu, yang satu kenalan kita yang baik. Kemarin mereka masih bercakap-cakap mesra

sebagai sahabat lama, tak nyana hari ini mereka saling berebut kedudukan Beng-cu. Siapakah yang kau harapkan akan menang?”

In-nio tundukkan kepala berdiam. Beberapa saat kemudian baru menyahut: ”Entahlah, aku tak tahu, aku tak tahu. Hm, aku sungguh tak mengerti mengapa ia tak mau mengalah untuk Thiat-mo- lek?”

In-nio mengindahkan Thiat-mo-lek, ia anggap Thiat-mo-lek lebih tepat yang menjadi Bengcu.

Tapi dalam pada itu, iapun berharap supaya Se-kiat dapat menundukkan para orang gagah dan dapat mengangkat nama. Itulah sebabnya ia kebat-kebit melihat pertandingan antara banteng dan harimau itu dan hatinya gelisah sendiri.

Tiba-tiba Shin Thian-hiong kedengaran berteriak keras hingga In-nio sampai tersentak kaget. Ternyata kedua jago itu sudah bertempur seru dan berteriak-teriak. Tapi pertempuran mereka itu lebih banyak seperti orang adu tenaga. Thian-ho menghantam goloknya dan Thian-hiong menangkis dengan kapaknya. Adu senjata itu telah menimbulkan lengking dering yang memekakkan telinga.

”Kay-lote, hebat sungguh tenagamu!” seru Thian-hiong.

”Shin-toako, sepasang kapakmu itu berat bukan main!” Thian-ko balas memuji.

Mereka berdua sama terbahak-bahak. Tiba-tiba mereka sama menggembor terus berbaku hantam dengan golok dan kapak lagi. Mereka itu kawan akrab, tetapi di waktu berkelahi, sama-

sama tak mengalah. Karena tenaga mereka kuat, maka gelanggang pertempuran itu sampai terasa bergoncang!

Waktu melayani Wi-tin-ho-sio Ban Liu-tong tadi, karena jago itu sudah tua, Thian-ho tak banyak mengeluarkan tenaga. Kini baru ia keluarkan seluruh kekuatannya. Goloknya berputar menderu-deru. Sedikit saja menyerempet pohon atau batu, tentu benda-benda itu akan hancur. Anak buah Kim-ke-nia tahu bagaimana kepandaian Cecunya (Thian-hiong), tapi tak urung mereka merasa kuatir juga.

Dan ternyata Thian-hiong tak mengecewakan harapan mereka. Demi untuk kepentingan Thiat- mo-lek, ia bertempur dengan mati-matian. Sepasang kapaknya itu masing-masing tak kurang dari 50 kati beratnya. Jadi lebih berat dari golok Thian-ho. Waktu dimainkan, sepasang kapak itu seperti dua ekor naga yang tengah berebut mestika. Perbawanya dapat melekahkan gunung,

menghancurkan batu. Juga anak buah Thian-ho tak terluput dari perasaan kuatir seperti anak buah Kim-ke-nia. Mereka tahu dan percaya akan kegagahan Cecu-nya masing-masing, tetapi tetap merasa kuatir juga.

Saking hebatnya pertempuran itu, para penonton yang tadinya bersorak memberi semangat, kini makin berkurang dan akhirnya lenyap sama sekali. Mereka sama menahan napas. Dahsyatnya pertarungan kedua jago itulah yang membuat suasana berubah menjadi hening tegang.

”Mereka berdua sama-sama berangasan dan bersahabat baik. Siapa yang terluka, mereka tentu merasa menyesal seumur hidup,” demikian semua orang sama membatin.

Sekonyong-konyong keduanya berbareng menggembor keras.   Thian-ho lintangkan goloknya dan trang dua buah logam beradu keras, menghamburkan letikan api. Sepasang kapak Thian-

hiong dan golok Thian-ho sama-sama terpental ke udara. Dan orangnyapun sama-sama terjungkir balik.

Sekalian hadirin terkejut. Beberapa orang sudah cepat-cepat memburu masuk ke gelanggang. Ada yang menolong Thian-hiong ada yang mau mengangkat Thian-ho.

Tiba-tiba kedua orang itu sama menghambur tertawa gelak-gelak dan hampir bersamaan saatnya mereka sama-sama gunakan gerak Le-hi-tang-ing atau ikan lele berjumpalitan, mereka loncat berdiri.

”Kay-lote, kau memang hebat. Sepasang kapakku itu sekarang hanya dapat digunakan untuk menebang kayu bakar saja!” seru Thian-hiong.

”Sama-sama! Golokku itupun nantinya hanya dapat digunakan untuk memotong sayur saja!” sahut Thian-ho.

Keduanya sama menjemput senjatanya masing-masing. Sepasang kapak Thian-hiong rompal- rompal, golok Thian-ho ujungnya juga melingkar. Keduanya sama tertawa kegirangan. ”Bagaimana ini?” seru Thian-hiong, ”Kita berdua seperti pengemis yang kematian ular, sama- sama nihil tak dapat apa-apa!”

”Kalau begitu kita bertanding minum arak sajalah!” sahut Thian-ho.

Karena senjatanya sama-sama terpental jatuh dan orangnya tak terluka, maka pertandingan itu berakhir seri. Seorang juri tampil kemuka dan mengumumkan pertandingan itu seri. Melihat kesudahan pertempuran itu, kedua belah pihak sama gembira puas.

Baru kedua jago tua itu dengan diantar oleh tepuk sorak yang riuh meninggalkan gelanggang, tiba-tiba terdengar gemerincing kelinting kuda. Kuda itu mendatang dengan pesat sekali. ”Toan-siauhiap datang!” sekonyong-konyong ada orang berteriak.

”Hai, ia bersama seorang nona, siapa nona itu?” kata seorang lain.

Jantung Yak-bwe mendebur keras. Waktu mendongak mengawasi, memang benar ada dua penunggang kuda berlari mendatangi. Yang berada di muka ialah Toan Khik-sia dan di belakangnya seorang nona baju merah.

Sesudah melihat terang, sekalian orang gagah sama bersorak: ”Hai, nona Lu, kau datang juga? Mana engkohmu?”

Begitu loncat turun dari kudanya, nona baju merah itu segera menjura ke empat jurusan. Serunya: ”Engkohku suruh aku menyampaikan salam kepada saudara-saudara sekalian. Dia tak datang.”

Nona itu cantik sekali, tapi gagah juga. Di bawah sorotan mata dari sekian banyak orang gagah, sedikitpun ia tak jengah. Sikapnya wajar seperti seorang pemuda.

”Rasanya nona Lu itu tak asing bagiku, tetapi mengapa ia datang bersama Toan-long? Entah apakah hanya secara kebetulan bertemu saja atau memang ajak-ajakan?” demikian Yak-bwe membatin.

Begitu tiba di hadapan Thian-hiong, Khik-sia lantas memberi keterangan: ”Shin-sioksiok,

maafkan aku terlambat datang. Inilah surat dari Hong-ho-ngo-pa. Dalam menundukkan Hong-ho- ngo-pa kali ini, aku banyak mendapat bantuan dari nona Lu.”

Ia membuka sebuah bungkusan dan menyerahkan lima buah sampul besar warna merah kepada Thian-hiong.

”Bagus, bagus. Setelah Bengcu yang baru dilantik resmi, nanti akan kuhaturkan arak pernyataan selamat padamu!” kata Thian-hiong.

Nona baju merah itupun menghampiri dan berkata: ”Shin-cecu tentu takkan mengusir aku, bukan?”

”Ai, mana, mana! Sebenarnya sudah kusiapkan surat undangan kepada kalian kakak beradik, tapi karena tak tahu alamatnya, jadi sayang tak dapat diterimakan. Harap nona suka maafkan. Kedatangan nona kemari ini, telah memberi muka terang kepada kami semua. Barusan saja aku habis bertempur dengan seorang sahabat karib, jadi rupaku tentu tak keruan, harap nona jangan menertawakan aku,” kata Thian-hiong.

Memang Cecu dari gunung Kim-ke-nia itu mukanya kotor kena lumpur, pakaiannya ada yang koyak. Ya, benar-benar lucu kelihatannya.

Nona baju merah itu tak dapat menahan gelinya lagi. Ia mengikik tertawa, sahutnya: ”Sayang aku datang terlambat, tak dapat menyaksikan Cecu main kunthau tadi. Tapi ah, janganlah aku mengganggu urusan di sini. Silahkan kalian melanjutkan pertandingan lagi.”

”Toan-hiantit, kebenaran sekali kau datang!” seru To Peh-ing seraya menarik tangan pemuda itu ke arah pihaknya.

Nona baju merah itu juga ikut berdiri di samping Khik-sia. Melihat pergaulan mereka yang

begitu akrab, hati Yak-bwe menjadi gundah. Malah ada dua orang tetamu yang berada di dekat situ, saling membicarakan tentang Khik-sia dengan si nona baju merah.

”Adik perempuan dari Sin-cian-chiu Lu Hong-jun itu, jika dipasangkan dengan putera dari Toan-tayhiap, sungguh merupakan sejoli yang sembabat sekali!” demikian kata seorang diantaranya.

Maka sahut orang yang lain: ”Tapi puteri dari keluarga Lu itu tampaknya lebih tua beberapa tahun dari putera keluarga Toan.”

Kata orang yang pertama tadi: ”Apa halangannya? Bukankah di desa kami banyak mempelai- mempelai perempuan yang jauh lebih tua dari lakinya?”

Di Tiongkok dulu ada kebiasaan, mengambil menantu perempuan sejak masih kecil. Orang tua dari pihak lelaki, mengambil dan memelihara calon menantu bagi puteranya yang masih kecil. Setelah gadis itu dewasa, barulah dinikahkan dengan resmi. Ini hampir sama dengan kebiasaan di Indonesia yang disebut ”nikah pacul”. Bedanya, kalau di sana calon menantu perempuan yang dipelihara mertuanya, tapi kalau di sini calon menantu laki yang dipelihara mertuanya.

Lalu ada seorang lagi yang turut bicara: ”Benar, mereka adalah keturunan kaum persilatan. Di dunia persilatan mereka mempunyai kedudukan sebagai ksatria-ksatria angkatan muda. Keduanya sama-sama rupawan, jika saling berjajar, wah, sungguh seperti sepasang dewa-dewi. Jika mereka dapat terangkap menjadi suami isteri, pasti akan menjadi buah sanjungan dunia persilatan.”

Hati Yak-bwe makin kecut. Diam-diam ia membatin: ”Turut ucapan Khik-sia tadi, mereka  berdua itu bukan secara kebetulan bersua di jalan. Malah nona she Lu itu katanya pernah membantu dia menundukkan Hong-ho-ngo-pa. Wah, hubungan mereka tentu sudah mendalam!” Tiba-tiba In-nio membisiki telinganya: ”Pemuda-pemudi persilatan itu umumnya bergaul secara bebas. Adik yang baik, jangan pikirkan yang tidak-tidak. Lebih baik kau tutup telingamu, jangan mendengar ocehan mereka.”

”Setitikpun aku tak gelisah. Jika dia berbalik pikiran, akupun tak merasa kecewa,” sahut Yak- bwe.

Walaupun sang telinga tak ingin mendengar, namun tak urung sang hati kepingin mengetahui. Tanpa dapat dicegah lagi, bertanyalah Yak-bwe kepada orang tadi: ”Siapakah sebenarnya kakak- beradik she Lu itu?”

Orang itu tertawa, sahutnya: ”Kakak-beradik she Lu adalah bintang-bintang cemerlang dalam kalangan persilatan, masakan kau tak mengetahui? Mereka menuntut penghidupan sebagai maling haguna (mulia). Memang jarang sekali mereka melakukan pekerjaan, tapi sekali turun tangan tentu 'ikan besar' yang ditangkapnya. Hasil yang diperolehnya, tentu didermakan pada rakyat yang menderita. Mereka benar-benar layak disebut pendekar-pendekar budiman yang dermawan. Kedua kakak-beradik itu memiliki kepandaian istimewa. Kakaknya disebut Sin-cian-chiu Lu Hong-jun

yang malang melintang di daerah selatan-utara dengan sebatang busur besinya. Di dunia persilatan sukar dicari orang kedua yang dapat memanah begitu tepat seperti dia. Adiknya, Lu Hong-jiu lebih lihay lagi. Selain ilmu goloknya amat lihay, pun ia mempunyai kelinting Sip-hun-leng.”

”Apakah Sip-hun-leng itu?” tanya Yak-bwe dengan heran.

Orang itu tertawa: ”Sewaktu berjalan bukankah ia kedengaran bergemerincing seperti suara kelinting? Pakaiannya itu dipasangi banyak sekali kelinting emas kecil-kecil sebesar jari. Sewaktu bertempur dengan musuh, kelinting-kelinting itu dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia.

Kelinting itu khusus dipakai untuk menghantam jalan darah berbahaya dari orang. Seratus kali timpuk, seratus kali kena. Maka banyaklah musuh-musuhnya yang sudah lari terbirit-birit jika mendengar suara kelintingnya itu. Selain itu, pun ada lain kegunaannya. Karena orangnya amat cantik dan jika berjalan berkelintingan seperti diiringi musik, maka banyaklah orang-orang yang tak mengetahui siapa nona itu, tentu akan terpikat semangatnya.”

Mendengar orang begitu memuji-muji Lu Hong-jiu, hati Yak-bwe makin tak tenteram.

Pikirnya: ”Seperjalanan dengan nona itu, entah apakah Khik-sia tidak akan dipikat semangatnya, diraih jiwanya?”

”Ah, sudahlah jangan membicarakan Sip-hun-leng lagi. Lihat saja bagaimana mereka akan mengadu jiwa itu. Hai, lihatlah, Toan Khik-sia maju ke muka. Baru saja datang, apa ia sudah lantas mau membantu Thiat-mo-lek memperebutkan kedudukan Bengcu?” demikian seorang yang berada di sebelah segera menyeletuk tertawa.

Dan begitu berada di tengah gelanggang, Khik-sia lantas berseru nyaring: ”Bok-toako!”

Se-kiat yang dengan sebatnya sudah menyongsong, pun berteriak keras: ”Hai, Toan-hiante!” Kedua jago muda itu segera saling berjabatan tangan dan tertawa gelak-gelak.

”Begitu mendengar kau datang ke Tiong-goan, siang-siang aku lantas ingin menjumpaimu. Apakah leng-siok (pamanmu) baik-baik saja? Dahulu aku banyak menerima petunjuknya yang berharga,” kata Khik-sia.

”Pada waktu kembali dari Tiong-goan, dalam membicarakan tentang tokoh-tokoh Bu-lim

dewasa ini, pamanmu juga tak putus-putusnya memuji kau. Beliau masih ingat, pada waktu itu kau baru berumur 10-an tahun, tapi sudah dapat digolongkan sebagai salah seorang tunas muda yang paling menonjol dalam angkatan muda. Beliau amat terkenang padamu. Begitu datang di Tiong- goan aku dititahkan segera mencarimu. Sayang karena mondar-mandir kian-kemari, baru sekarang aku dapat bertemu muka dengan kau,” sahut Se-kiat.

Kata Khik-sia: ”Aku sendiripun sayang sekali terlambat sedikit, tak dapat menikmati pelajaran yang Bo-toako unjukkan dalam pertempuran tadi.”

Beberapa orang yang sudah kepingin menyaksikan pertempuran ramai, segera berteriak: ”Sekarang masih belum malam. Omong-omong nanti saja dilanjutkan, sekarang adu kepandaian dulu agar mata kita dapat terbuka lebih lebar!”

Khik-sia tertawa: ”Bo-toako, sebenarnya aku tak berani jual aksi di hadapanmu. Tapi setelah menerima beberapa petunjuk dari leng-siok, berselang beberapa tahun kemudian, entah kemajuanku sampai dimana.   Hari ini beruntung aku dapat berjumpa dengan toako. Jika toako sudi memberi petunjuk, aku sungguh merasa beruntung sekali.”

”Ah, janganlah Toan-hengte begitu merendah. Memberi petunjuk, aku mana berani. Sekarang baiklah kita bermain-main untuk saling menguji kepandaian kita saja!” kata Se-kiat.

Mendengar itu jago tua Hiong Ki-gwan segera menyeletuk dengan tertawa: ”Ah, tak usah kalian berdua saling sungkan. Ini adalah pertandingan resmi, bukannya hanya sekedar saing menguji kepandaian secara biasa saja. Baiklah, sebelumnya hendak kutegaskan lagi, silakan kalian mengeluarkan kepandaian sungguh-sungguh.”

”Apa yang diucapkan saudara Hiong Ki-gwan itu memang benar!” sekalian hadirin sama tertawa memberi komentarnya.

Khik-sia tertawa: ”Masakan aku tahu sungkan? Apa yang kukatakan tadi memang berasal dari lubuk hatiku. Memang saat ini aku membantu Thiat-sioksiok untuk merebut kemenangan dan berusaha keras supaya jangan sampai kalah. Tapi bagaimanapun halnya aku harus bersedia kalah juga. Maka akupun hanya dapat mengatakan kepada Bo-toako untuk meminta petunjuk saja.”

Habis itu ia siapkan pedang di tangn dan berkata: ”Bo-toako, maafkan aku berlaku kurang ajar akan menyerang lebih dulu!”

Padahal yang dikata 'kurang ajar' itu pada hakikatnya bersikap menghormat orang. Karena ia dengan Se-kiat itu sama tingkatannya. Bertempur dengan orang yang sama tingkatannya, jika menyerang dulu, itu berarti merendahkan kedudukan diri sendiri dan mengangkat derajat lawan. Maka bahu Se-kiat sedikit bergerak dan tubuhnya segera mundur sampai 7-8 langkah. Ia pn sudah lantas melolos pedang, ujarnya: ”Bagus, Hiante, silakanlah!”

Dalam pertandingan yang  terdahulu, ia tak mau gunakan senjata. Bahwa kini ia memakai pedang itu berarti memandang tinggi juga kepada Khik-sia.

Melihat kedua pemuda itu sudah siap akan bertempur, Yak-bwe dan In-nio tumpahkan seluruh perhatiannya. Hati kedua gadis itu kebat-kebit tak keruan.

Tampak Khik-sia lintangkan pedang di dada. Sebelum bergerak, lebih dulu ia menatap sejenak kepada Se-kiat. Ia lihat Se-kiat mengambil sikap (kuda-kuda) yang disebut ”Bu-kek-hap-it-gi”. Sebuah jurus ilmu pedang yang memusatkan seluruh tenaga dan pikiran menjadi satu. Sepasang tangan menjulai, mata memandang ke ujung pedang dan kuda-kuda kakinya mengapung tegak.

Keadaan anak muda itu benar-benar angker seperti gunung, tenang laksana telaga. Tergetar hati Khik-sia melihat perbawa lawan, pikirnya: ”Jurus yang diambilnya itu sungguh kukuh sekali, aku harus mencari siasat untuk membobolkannya.”

Jika kaum Ko-chiu (jago sakti) bertanding, setitik kesempatan saja sudah dapat menentukan kalah menangnya. Kalau dalam jurus pertama tak dapat menguasai pertandingan, tentu berbalik akan dikuasai lawan. Tapi dasar masih muda, maka Khik-sia tak terhindar dari watak ingin menang. Meskipun ia tahu tak mempunyai modal untuk mengalahkan Se-kiat, namun ia merasa

enggan kalau sampai kalah. Maka ia amat memperhatikan sekali akan jurus pembukaan dari lawan. Se-kiat tertawa: ”Toan-hengte, mengapa belum menyerang?”

Khik-sia sudah menetapkan rencana. Tiba-tiba ia berseru: ”Lihat pedang!” -- terus saja ia mulai mainkan pedangnya. Tapi anehnya, pedang bukan diserangkan langsung ke tubuh Se-kiat, melainkan berputar-putar mengelilingi orang. Sinar pedang berhamburan laksana hujan mencurah. Sepintas pandang seolah-olah ada berpuluh-puluh ”Khik-sia” menyerang Se-kiat. Serangan itu sukar dilukiskan kecepatannya. Semua penonton hanya melihat sinar pedang bergulung-gulung, sedang bayangan orangnya tak tampak sama sekali!

Kiranya Khik-sia menggunakan siasat memakai kelebihan dirinya untuk menyerang kelemahan lawan. Teringat ia akan paman Se-kiat yang bernama Bo Jong-long. Pada waktu itu Bo Jong-long pernah menguji kepandaian dengan suheng Khik-sia, yakni Gong-gong-ji. Dalam segala kepandaian, Bo Jong-long lebih unggul. Hanya dalam ilmu gin-kang, ia kalah setingkat dengan Gong-gong-ji.

Khik-sia merasa, dalam ilmu gin-kang sekarang ia sudah hampir menyamai suhengnya.

Sebaliknya ia memperhitungkan, kepandaian Se-kiat itu diperoleh dari pamannya, sudah tentu tak dapat menyamai benar-benar dengan sang paman. Maka Khik-sia ambil putusan gunakan serangan kilat. Ia harap Se-kiat akan menjadi keripuhan.

Beradu. Se-kiat dengan masih tegak laksana gunung, setapak pun kakinya tak berkisar, telah dapat menghalau tiga puluh jurus lebih serangan Khik-sia. Tapi sekalipun begitu, dalam libatan serangan kilat berantai dari Khik-sia itu, Se-kiat pun tak berdaya untuk balas menyerang.

”Ia telah menguasai dengan sempurna ilmu menghapus tenaga serangan lawan. Baik, akan kuserbu ia dengan siasat 'sembilan kali kosong, satu kali sungguh'. Dengan pedang pusaka, masakan ia tak kelabakan,” diam-diam Khik-sia mengatur rencana. Kiranya pedang yang berada di tangan Khik-sia itu, adalah pedang pusaka warisan mendiang ayahnya. Pedang pusaka itu dapat menabas logam seperti menabas kapuk. Tapi dikarenakan dalam setiap bergerak, Se-kiat selalu dengan tepatnya dapat menghapus tenaga lawan, maka pedang pusakanya itupun tak dapat berkembang perbawanya. Coba kalau tenaga keduanya berimbang atau setidak-tidaknya hanya terpaut sedikit saja, tentu tenaga ”menghapus” itu tak nanti mempan.

Memang siasat menyerang kilat yang digunakan Khik-sia tadi, tepat sekali. Tapi bahkan karena terlampau cepatnya ia melontarkan serangan, begitu merapat lantas mundur, maka perbawa pedangnya tak dapat menggabungkan kombinasi antara kedahsyatan dengan kecepatan. Karena itu mudah dihapus kekuatannya oleh lawan.

Kini Khik-sia mengganti siasat 'sembilan kosong satu kali sungguh'. Gerakannya tetap serba cepat bahkan lebih cepat dari tadi. Hanya saja dalam kesepuluh kali serangan itu, tak seluruhnya

dilontar dengan cepat. Yang sembilan kali serangan kosong memang dilancarkan amat cepat. Yang satu kali serangan sungguh, agak lambat tapi keras. Tapi karena serangan yang cepat lebih besar jumlahnya, jadi keseluruhannya merupakan serangan cepat semua. Dan yang lebih lihay lagi, walaupun serangan kosong, tapi apabila lawan kelihatan ayal, dapat juga berubah menjadi serangan sungguh-sungguh.

Dalam ilmu pedang Se-kiat sudah mempunyai peyakinan yang sempurna. Namun menghadapi bertubi-tubi serangan kosong dari Khik-sia itu, tak urung ia heran juga. Tiba-tiba saat itu Khik-sia maju merapat dan melancarkan serangan sungguh. Anginnya menderu keras. 

Serangan kali ini, indahnya bukan buatan, hebatnya bukan kepalang. Sekalian orang gagah

yang menyaksikan sampai terkesiap kaget. In-nio sampai menjerit tertahan dan si berangasan Kay Thian-ho pun berjingkrak ke atas.

Dalam detik-detik yang menegangkan urat syaraf itu, sebelum sekalian penonton melihat jelas, tiba-tiba terdengar Se-kiat berseru memuji: ”Ilmu pedang yang hebat, sambutlah serangan ini!” -- Dan tampaklah ia kebaskan pedangnya dalam jurus Bian-chiu-te-sing atau tangan indah memetik bintang.   Tepat sekali pedangnya itu sudah dapat melekat pedang pusaka Khik-sia. Kemudian sekali dipelintirkan kemuka, ujung pedang lantas mengancam jalan darah Hian-ki-hiat di dada Khik-sia.

Waktu melancarkan serangan berisi (sungguh), karena memakai tenaga lebih besar, jadi kecepatan serangan Khik-sia pun berkurang. Se-kiat adalah seorang ahli pedang yang menguasai segala gerak-gerik lawan. Sedikit perubahan dari gerakan Khik-sia itu tak terluput dari pandangan matanya yang jeli. Segera ia menguasai kesempatan itu, kecepatan dilawan dengan kecepatan, menyerang untuk menghalau serangan.

Perubahan siasat dari bertahan berganti menyerang itu, datangnya secara tak terduga-duga. Kalau tadi In-nio yang menjerit tertahan karena Se-kiat terancam, adalah sekarang giliran Yak-bwe yang berteriak tertahan sebab Khik-sia terserang!

Sekonyong-konyong Toan Khik-sia bersuit, tubuhnya mencelat ke udara dan serupa dengan Se- kiat tadi, ia pun berseru: ”Ilmu pedang hebat, sambutlah serangan ini!”

Bagaikan burung melayang, anak muda itu melampaui kepala Se-kiat dan dengan jurus Eng-

kik-tiang-gong atau burung elang menghantam udara, laksana selarik pelangi pedangnya menusuk ke bawah.

Se-kiat putar pedangnya melingkar. Dua kali ia berputar tubuh dan serangan Khik-sia tadi dapat dipecahkan. Detik demi detik diperebutkan oleh mereka berdua untuk mendahului menyerang. Bagaimana tegang dan runcingnya pertempuran itu, sukar dilukiskan. Setiap perubahan situasi, sukar diduga sama sekali.

Sekalian hadirin hanya menampak gelanggang pertempuran itu penuh dengan sinar pedang.

Sinar pedang yang bentuknya menyerupai sepasang naga saling berebut mutiara! Mana Se-kiat dan mana Khik-sia sudah tak dapat dibedakan lagi!”

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba tampak permainan pedang kedua anak muda itu mulai lambat gerakannya. Bagi orang yang tajam pendengarannya, akan dapat mendengar bahwa di dalam deru sambaran pedang itu, juga terdapat hamburan napas yang bergolak-golak.

Diam-diam Thiat-mo-lek berbisik-bisik kepada To Peh-ing: ”Sebenarnya Khik-sia Hiantit itu masih kurang pengalaman, tapi ia bernafsu sekali untuk menang.”

Kiranya pertempuran itu berlangsung dengan seimbang. Masing-masing mengeluarkan keistimewaannya sendiri-sendiri. Khik-sia menang unggul dalam hal gin-kang, sedang Se-kiat menang kuat dalam ilmu lwekang. Dalam babak permulaan, Khik-sia secara cerdik telah menetapkan rencana 'menggunakan kelebihan kepandaiannya untuk menundukkan kelemahan lawan'. Tapi karena siasat itu sampai sekian lama tak memberi hasil, ia lantas berganti siasat dengan 'sembilan kali serangan kosong, satu kali serangan berisi'. Berkat ketajaman pedang pusakanya, memang ia dapat menang angin sedikit.

Tapi Se-kiat ternyata seorang ahli pedang yang sudah kenyang pengalaman. Menggunakan kesempatan sewaktu Khik-sia agak lambat gerakannya, Se-kiat cepat balas menyerang. Dengan begitu selalu dapat merubah situasi dari diserang menjadi penyerang. Saat itu, ia salurkan lwekangnya ke ujung pedang. Hamburan suara yang bergolak-golak tadi, ialah berasal dari arus hawa dalam tubuhnya sewaktu memainkan pedang.

Makin lama permainan pedang Se-kiat makin pelahan.  Pada akhirnya, tampak sepasang matanya memandang lekat-lekat ke ujung pedang. Seolah-olah pedangnya itu seperti diganduli benda yang beratnya seribu kati. Lambat-lambat ia menunjuk ke timur, menggurat ke barat. Jauh

sekali perbedaannya dengan permainannya dalam babak-babak permulaan tadi. Namun bagi mata seorang ahli silat, hal itu sebaliknya malah lebih dahsyat dari yang tadi.

Khik-sia merasa pedang ceng-kong-kiam lawan, beratnya seperti sebuah gunung. Daya tindihnya makin lama makin berat sekali. Apa boleh buat, ia pun lalu kerahkan lwekangnya untuk melayani. Kini rencananya semula menjadi buyar semua. Kelincahan gin-kang dan kecepatan permainan pedangnya, tak dapat digunakan sama sekali.

Tring, tiba-tiba kedengaran suara bergemerincing dan melengketlah kedua pedang anak muda itu menjadi satu, diam tak bergerak lagi. Beberapa jenak kemudian, tubuh kedua anak muda itu tampak menurun sampai separuh bagian. Astaga, kiranya kaki mereka itu menyurup ke dalam tanah!

Sewaktu sekalian hadirin sama terperanjat, sekonyong-konyong Thiat-mo-lek loncat ke tengah gelanggang dan berseru: ”Sudah, berhentilah bertempur. Pertandingan ini adalah Bo-toako yang menang!”

Trang, berbareng dengan seruan itu, terdengarlah suara bergemerancang keras. Pedang pusaka Khik-sia mencelat terlepas dari tangan, sedang ceng-hong-kiam Se-kiat pun terkutung separuh.

Kiranya pertandingan yang terakhir itu, merupakan pertandingan adu lwekang. Sudah tentu Se- kiat unggul. Tepat di kala Thiat-mo-lek loncat sambil berseru tadi, Se-kiat telah berhasil mencungkit pedang Khik-sia sampai mencelat ke udara. Tapi dikarenakan lwekangnya tak terpaut banyak sekali dengan Khik-sia dan lagi pedang Khik-sia itu sebuah pedang pusaka, maka sewaktu Khik-sia mengerahkan lwekang sekuatnya, segera pedang pusaka itu mulai unjuk gigi. Berbareng pedang Khik-sia terpental, pun pedang Se-kiat terkutung.

Begitu loncat maju, Thiat-mo-lek segera ulurkan sepasang tangan untuk menyiah kedua pemuda itu. Dan berbareng itu, ia membuyarkan tekanan tenaga lwekang masing-masing, agar jangan ada salah satu yang terluka. Para tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi dalam kalangan hadirin, sama memuji tindakan Thiat-mo-lek. Mereka memuji Thiat-mo-lek sebagai orang yang adil, tidak semata mementingkan keuntungan pihaknya.

Seperti diketahui, ia dengan Se-kiat itu terhitung pihak yang berlawanan. Dengan mengakui pihaknya yang kalah, sebenarnya ia boleh menarik Khik-sia seorang saja. Apakah Se-kiat terluka atau tidak karena tekanan lwekang Khik-sia nanti, ia boleh tak usah memperdulikan. Tapi ternyata ia rela mengambil resiko menerima tekanan lwekang dari kedua belah pihak. Tanpa memandang mana kawan mana lawan, ia perlakukan sama rata. Kedua-duanya ia tarik dengan berbareng.

Kejujurannya itu menimbulkan rasa kagum dan perindahan dalam hati sekalian hadirin.

Khik-sia memungut pedangnya. Dengan muka kemerah-merahan ia berkata: ”Lwekang Bo- toako sungguh hebat sekali. Dengan tulus hati, aku mengaku kalah!”

Se-kiat tersipu-sipu goyangkan tangan: ”Tidak! Kau sudah mengutungkan pedangku. Sebenarnya akulah yang harus dianggap kalah!” ”Mana bisa!” bantah Khik-sia, ”aku dapat mengutungkan pedangmu karena mengandalkan ketajaman pedang pusakaku. Tapi berkat ilmu kepandaian yang sesungguhnyalah kau dapat membikin terlepas pedangku. Sudah tentu aku harus mengaku kalah.”

Mendengar perdebatan saling berebut mengaku kalah itu, sekalian orang gagah merasa heran tapipun kagum.

Maka berkatalah Thiat-pi-kim-to Tang Kiam: ”Tadi sewaktu bertanding, sejengkalpun kalian tak mau saling mengalah. Sekarang malah rebutan mengaku kalah. Aku sudah hidup beberapa puluh tahun, tapi baru sekali ini melihat peristiwa yang begini istimewanya.”

Pecahlah mulut sekalian hadirin dengan gelak tertawa yang gemuruh.

Jago tua Hiong Ki-gwan yang menjadi juri segera tampil kemuka: ”Ah, sudahlah, jangan kalian berbantah. Menurut peraturan pertandingan, belum ada ketetapan yang menyatakan senjata-senjata apa yang tak diperbolehkan dipakai. Pedang pusakakah atau kapak penebang kayukah, semua boleh dipakai. Pendek kata yang menang tetap dianggap menang. Menurut penilaian pertandingan tadi, yang satu senjatanya terlepas jatuh, yang lain pedangnya kutung. Terlepasnya pedang Khik-sia memang terjadi lebih dulu, tapi kerusakan yang diderita pedang Se-kiat itu lebih besar.  Karena kedua belah pihak tak mau melanjutkan bertanding dengan tangan kosong, maka menurut peraturan, pertandingan ini hanya dapat dianggap seri.”

Sekalian hadirin menyetujui putusan juri itu. Apa boleh buat, Se-kiat dan Khik-sia tak mau berbantah lagi dan masing-masing saling menyatakan maaf.

Selanjutnya berseru pula Hiong Ki-gwan: ”Menurut peraturan pertandingan, bagi setiap calon Beng-cu diharuskan bertempur satu kali. Babak ketiga ini sudah berlangsung dua kali pertandingan. Dari pihak Thiat-mo-lek yang maju pada pertandingan pertama ialah Thian-hiong. Kemudian pertandingan kedua, yang maju Toan Khik-sia. Maka untuk pertandingan yang terakhir, haruslah Thiat-mo-lek sendiri yang tampil. Pihak Bo se-kiat, yang maju untuk pertandingan pertama ialah Kay Thian-ho. Kemudian pertandingan kedua, yang maju Se-kiat sendiri. Untuk pertandingan terakhir, menurut peraturan pertandingan, Se-kiat boleh menyuruh lain kawannya yang maju, pun boleh juga ia sendiri lagi yang tampil.”

Juri itu berhetnti sejenak, lalu bertanya kepada Se-kiat: ”Bo-siauhiap, apakah kau akan keluar sendiri atau suruh lain kawan yang maju?”

Se-kiat memberi hormat kepada Thiat-mo-lek, ujarnya: ”Kepandaian dari Thiat-cecu melebihi

lain-lain orang. Keharuman nama Thiat-cecu termasyhur sampai jauh. Dengan setulus hati aku merasa kagum. Bahwa dapat memperoleh rejeki seperti saat ini, aku merasa beruntung sekali. Jika tak menampik, aku hendak mohon pengajaran pada Thiat-cecu.”

”Ah, kepandaian Bo-heng begitu sakti. Apa yang kusaksikan tadi, benar-benar sesuai dengan kenyataan yang disohorkan orang. Bahwa Bo-heng sudi memberi pengajaran, sudah tentu aku tak berani menampiknya. Hanya saja, aku mempunyai suatu pengharapan. Jika Bo-heng dapat meluluskan, barulah hatiku merasa tenteram,” kata Thiat-mo-lek.

Sahut Se-kiat: ”Apabila Thiat-cecu yang menitahkan, tak ada alasan bagiku untuk tak mentaati.” Sekalian orang gagah yang hadir di situ sama kenal bagaimana pribadi Thiat-mo-lek yang penuh dengan kebajikan dan luhur budi. Harapan atau permintaan yang akan diajukan, tentu takkan bernada merugikan orang dan menguntungkan diri sendiri. Tetapi sikap Se-kiat yang ragu-ragu menyatakaan kesediaannya itu pun mendapat pujian tinggi dari sekalian hadirin.

Serentak berserulah Thiat-mo-lek dengan suara sungguh-sungguh: ”Baiklah, sekali seorang ksatria sudah berkata ”

”Laksana kuda dicambuk berlari cepat!” buru-buru Se-kiat menyanggapi.

Pada saat itu salah seorang anak buah Se-kiat telah mengantarkan sebatang pedang ceng-kong- kiam kepadanya. Maksudnya hendak minta Se-kiat berganti pedang baru karena pedangnya yang tadi sudah kutung. Tapi karena melihat pemimpinnya (Se-kiat) sedang berbicara dengan Thiat-mo- lek, maka orang itupun tak berani mengganggu dan hanya tegak menunggu di samping saja.

Tiba-tiba Thiat-mo-lek lambaikan tangan kearah Khik-sia: ”Toan-hiantit, berikanlah pedangmu itu kepadaku!”

Orang-orang di pihak Se-kiat terkejut. Pikir mereka: ”Tidak sari-sarinya Thiat-mo-lek berbuat begitu. Apakah karena hendak berebut kedudukan Bengcu, maka ia tak menghiraukan harga diri lagi?” Apakah ia hendak gunakan pedang pusaka untuk menempur Bo Se-kiat yang sudah lelah?” Khik-sia sendiri pun tampak ragu-ragu. Tapi terpaksa ia serahkan pedangnya juga. Setelah menerima pedang berkatalah Thiat-mo-lek dengan tenang: ”Bp-hengte, harap maafkan atas kelancanganku ini. Harap kau sudi memakai pokiam ini!”

”Apa artinya ini? Kau, kau ” sahut Se-kiat dengan tergagap-gagap.

Thiat-mo-lek cepat menyela: ”Harap Bo-heng jangan salah paham.   Sekali-kali aku tak bermaksud memandang rendah Bo-heng. Kau tadi sudah bertanding melawan Khik-sia, ini berarti aku mendapat kemurahan. Dengan berganti pakai pokiam, barulah pertandingan ini akan menjadi adil!”

Sekarang barulah orang-orang di pihak Se-kiat mengerti maksud Thiat-mo-lek. Mereka merasa malu sendiri, malu karena mengukur pribadi seorang ksatria dengan ukuran seorang siaujin (manusia rendah).

Se-kiat tertawa gelak-gelak: ”Terima kasih atas kebaikan Thiat-cecu. Tapi maafkan, aku tak dapat menerimanya.”

Ia sengaja hendak pamerkan lwekangnya. Maka ketawanya itu bergemerontang seperti batu logam terbentur. Kumandangnya jauh sampai menyusur ke lembah. Dengan ketawa itu, Se-kiat hendak mengunjukkan bahwa ia masih mempunyai tenaga cukup untuk melayani Thiat-mo-lek, tak memerlukan suatu senjata apapun lagi.

Benar juga, kelihayan anak muda itu telah mengejutkan seluruh hadirin.

Thiat-mo-lek sendiri tetap tenang. Dengan tersenyum simpul ia berkata: ”Kita kaum persilatan, selalu pegang teguh akan setiap patah ucapan. Masakan kita mau ingkar?”

Tampak Se-kiat kerutkan dahi. Setelah bersangsi sebentar, dengan enggannya terpaksa ia menyambuti pedang dari Thiat-mo-lek itu. Dalam detik-detik tadi, batinya mengalami pertentangan-pertentangan.

Pertama ia membatin: ”Sifat kesatriaan Thiat-mo-lek ini amat menonjol sekali, menawan hati orang. Lebih baik aku mengalah, menyerahkan kedudukan Bengcu kepadanya.”

Tetapi bisikan hatinya yang  lain lagi menentang: ”Dari ribuan li aku datang kemari, apakah tujuanku? Seorang lelaki sejati yang mencita-citakan usaha besar, masakah goyah pendirian karena urusan kecil?”

Baru ia merenung begitu, tiba-tiba Thiat-mo-lek sudah mulai mempersilahkannya: ”Bo-heng adalah seorang tetamu dari jauh. Harap mulai menyerang dulu!”

Kening Se-kiat mengerut. Ia sudah mengambil ketetapan.  Segera ia mengucapkan maafkanlah dan terus ayun pedangnya menyerang. Waktu Thiat-mo-lek lintangkan pedang menangkis, Se-kiat memburunya lagi dengan tiga buah serangan berantai. Begitu menyerang lantas mundur, lalu maju merapat lagi dan mundur pula.

Thiat-mo-lek juga seorang jago kawak. Ia tahu gerakan anak muda itu dimaksud untuk mengalah sampai tiga jurus. Hal itu selaku pernyataan terima kasih atas budi pinjaman pedang pusaka tadi.

”Harap Bo-heng jangan sungkan-sungkan,” katanya. Dengan jurus Tiat-soh-heng-kang atau rantai besi melintang sungai ia halau pedang Se-kiat keluar garis pertahanannya.

Jurus itu mengandung dua gaya: menyerang dan bertahan. Memiliki gerak lanjutan yang membahayakan lawan. Jika Se-kiat masih main sungkan tak mau menyerang sungguh-sungguh, ia tentu bakal terjirat dalam kedudukan sulit.

Se-kiat mengerti bahwa ia dipaksa lawan supaya menyerang sungguh-sungguh. Ya, apa boleh buat. Ia segera gunakan jurus pek-hong-koan-jit atau bianglala putih menyilang matahari.

Pedangnya menerobos masuk ke dalam lingkaran pertahanan Thiat-mo-lek. Perbawa jurus pek- hong-koan-jit itu dahsyat sekali. Menusuk ke atas dan memapas ke bawah. Pedang pusaka milik Toan Khik-sia itu, kali ini benar-benar dapat kesempatan untuk mengembangkan perbawanya. ”Bagus!” saking kagumnya, Thiat-mo-lek sampai berseru memuji. Tapi iapun tak berani

berayal. Tiba-tiba pedangnya diputar berlingkar seperti gaya gerakan golok besar. Kemudian baru melancar sebuah tabasan.   Tapi tabasan itu bergaya istimewa sekali, lain dari yang lain. Ujung pedang dari bawah melibat ke atas, lalu dijungkirkan untuk memapas lengan kanan Se-kiat. Ilmu permainan itu adalah buah ciptaan Thiat-mo-lek sendiri yang mengkombinasikan kelincahan ilmu pedang dengan kedahsyatan ilmu golok. Hebatnya bukan kepalang.

Sudah tentu Se-kiat tak kenal akan permainan itu. Hanya dalam meninjau kedahsyatan serangan lawan itu, diam-diam ia membatin: ”Jelas ia mengetahui aku memakai pedang pusaka, tapi mengapa ia sengaja mau main bentur?”

Trang, baru menimang begitu, sudah terdengar suara senjata beradu. Dan melengketlah kedua pedang itu. Tapi pada saat itu tahu-tahu Thiat-mo-lek sudah balikkan punggung pedang untuk hantam pedang lawan sekeras-kerasnya. Begitu hebat tekanan tenaga yang dilontarkan Thiat-mo- lek, hingga pedang Se-kiat menjadi condong, tangannyapun terasa sakit sekali. Betapa ia hendak gunakan ilmu menghapusm namun hanya dapat menghapus tiga bagian tenaga lawan saja.

Kini barulah Se-kiat insaf akan tenaga Thiat-mo-lek yang luar biasa kuatnya itu. Itulah sebabnya maka Thiat-mo-lek tak gentar menghadapi pedang pusaka.

Di pihak Thiat-mo-lek pun tak kurang kejutnya. Bahwa hantamannya tadi tak mampu membuat pedang si anak muda terlepas jatuh, telah menimbulkan rasa kekaguman. Perlu dikemukakan disini, bahwa Thiat-mo-lek itu memang dilahirkan sebagai anak lelaki yang memiliki tenaga luar biasa.  Kemudian diperhebat pula dengan latihan ilmu silat yang tinggi.  Kini ia sudah menginjak usia setengah umur, sudah tentu kepandaiannya makin sempurna. Bagaimana dahsyat permainan pedangnya dapat dibayangkan. Jika tempat Se-kiat diganti lain orang, tentu sudah tak kuat menahan gempurannya tadi.

Se-kiat baru berumur 20 tahun lebih. Ia tak memiliki tenaga pembawaan yang sakti. Dapat menerima gempuran Thiat-mo-lek itu saja sudah cukup membuktikan sampai dimana kesempurnaan lwekangnya. Nyata dalam ilmu lwekang ia tak di bawah Thiat-mo-lek.

Berbicara tentang pedang pusaka atau pokiam, memang pokiam Khik-sia yang dipakai Se-kiat itu tajamnya bukan buatan. Tapi pedang itu tak dapat menabas benda jika tak digerakkan oleh tangan pemakainya. Apalagi untuk mengutungkan pedang Thiat-mo-lek, pedangnya itu berubah menjadi sebuah benda yang amat berat sekali.   Jika hendak memapasnya. Se-kiat harus

mengerahkan segenap lwekangnya. Dan hal itu tak cukup dengan sekali dua tekan saja, melainkan harus dilakukan beberapa kali pada posisi yang berbeda-beda.

Tapi dikuatirkan sebelum pedang Thiat-mo-lek dapat ditabasnya kutung, pedangnya sendiri

sudah akan terpukul jatuh oleh gempuran tenaga lawan yang maha kuat itu. Kini berputar-putarlah anak muda itu memainkan pedangnya ke kanan kiri. Gerakannya amat aneh dan berbahaya. Jurus apa yang digunakan itu, sukar diketahui. Tapi yang nyata, ia selalu menjaga jangan sampai berbenturan dengan pedang Thiat-mo-lek. Rupanya ia hendak mencari lubang lemah dari pertahanan orang.

Tujuh kali serangan pedang ia lontarkan berturut-turut. Saking gencarnya permainan pedang anak muda itu, sekalian penonton sampai berkunang-kunang matanya.

Thiat-mo-lek mengambil posisi menurut perhitungan ”kiu-kiong-pat-kwa” untuk menghadapi serangan si anak muda. Satu demi satu dapatlah ia memecahkan ketujuh serangan Se-kiat. Sekonyong-konyong Thiat-mo-lek menggembor keras dan menusuk dengan cepat sekali.

Anginnya sampai menderu-deru. Jurus itu disebut Toa-moh-ko-yan-tit atau asap membubung di padang pasir. Sebenarnya hanya jurus ilmu pedang yang biasa saja, tapi di tangan Thiat-mo-lek, jurus itu hebatnya tak terkira. Beberapa penonton yang berada di dekat gelanggang situ, sampai menggigil dingin karena mukanya tersambar angin pedang itu.

Se-kiat putar tubuhnya dan putar pedangnya melingkar bundar. Gerakan itu tepat sekali dapat mengurung pedang lawan. Tring, tring, kembali pedang mereka beradu dan cepat sekali pedang itu berpisah lagi. Pedang Thiat-mo-lek berhias sebuah rompalan, sebaliknya, Se-kiat tersurut mundur beberapa langkah.

Jurus yang digunakan Se-kiat itu disebut Tiang-ho-lok-jit-wan atau matahari terbenam di sungai Tiang-ho.   Dengan jurus toa-moh-ko-yan-tit yang dipakai Thiat-mo-lek itu merupakan dua jurus ilmu pedang Kun-lun-kiam-hoat. Pertarungan kedua jago tadi, sepintas pandang tampaknya seperti dua orang saudara seperguruan saling berlatih. Tapi gerak keindahannya, inti kekerasan dan kelemasan dari ilmu pedang, rahasia-rahasia dari ilmu melepaskan diri dan mematikan lawan, semuanya telah tercangkup dalam kedua jurus permainan tadi. Nyata kedua jurus itu telah diperkembangkan secara sempurna oleh kedua jago tersebut.

Kalau di tengah gelanggang kedua jago itu telah menumplak seluruh kemampuannya, adalah para hadirin yang menyaksikan di sekeliling gelanggang itu yang menjadi tegang. Wajah mereka

sebentar pucat sebentar merah, napas naik turun tak berketentuan. Setelah kedua jago saling pencar, sekalian orang gagah itu sama berpandangan satu sama lain sendiri. Tokoh-tokoh kelas satu atau yang disebut ko-chiu, saat itu merasa dirinya kecil. Mereka mengakui kepandaiannya masih jauh terpautnya dengan kedua jago yang bertanding itu. Dan ketegangan suasana yang menyesakkan napas sekalian penonton itu kemudian telah dipecahkan dengan sorak-sorai yang menggemparkan.

Kalau dalam babak pertempuran Se-kiat lawan Khik-sia tadi, para hadirin sudah sama leletkan lidah, adalah kini sama sekali mereka tak menyangka bakal menyaksikan suatu pertempuran yang lebih tinggi mutunya.

Memang tampaknya pertempuran itu tak sehebat pertandingan Se-kiat lawan Khik-sia tadi. Tapi bagi mata seorang ahli, pertandingan Se-kiat lawan Thiat-mo-lek sekarang inilah baru tepat disebut pertandingan ilmu pedang yang sesungguhnya. Tadi Khik-sia mengkombinasikan ilmu gin-kang

dengan ilmu pedang, maka gayanya pun berjenis ragam dan dilakukan serba cepat. Bagi pandangan mata sudah tentu cara bertempur seperti itu menyenangkan sekali. Tapi dalam hal keindahan ilmu pedang, kalah dengan partai yang terakhir ini.

Thiat-mo-lek kembangkan lagi permainan pedangnya. Kali ini lebih menghebat. Cepat dan dahsyatnya seperti harimau mengamuk, tapi tenang dan kokohnya bagaikan gunung. Setiap jurus yang digunakan selalu ilmu pedang 'terang', tak mau ia memakai jurus-jurus aneh dan berbahaya untuk nyelonong menyerang ke bagian lemah dari lawan. Sekalipun begitu karena setiap jurus itu mengandung perbawa yang dahsyat, lawan pun menjadi gentar juga.

Untuk menghadapi kekerasan lawan, Se-kiat gunakan inti 'kelemasan menundukkan kekerasan' dari ilmu pedang. Baik gerak tubuh maupun permainan pedangnya, semua ringan bagaikan air mengalir atau awan bertebaran di udara. Kedua jago itu yang satu gagah perkasa, yang lain lemah gemulai.

Kedua-duanya sama-sama menguasai pokok-pokok sari keindahan dari ilmu pedang.

Sampai detik itu pertempuran sudah berlangsung setengah jam, namun masih belum ada yang kalah atau menang. Para jago pedang dalam kalangan hadirin itu sama terpesona seperti orang dimabuk arak. Sementara sebagian besar dari hadirin, karena pertandingan itu merupakan babak final untuk menetapkan Bengcu, mereka sama tegang urat syarafnya. Pendukung-pendukung Thiat- mo-lek dan penunjang-penunjang Se-kiat, sama sibuk kerupukan sendiri. Mereka kebanyakan tak

mengerti ilmu pedang, maka apabila ada salah seorang jago yang terdesak, reaksinya tentu disambut dengan kegirangan atau kecemasan oleh kaum pendukungnya. Disamping itu ada lain golongan yang tidak pro sana-sini alias netral, mereka saling bertaruh. Ada yang memegang Se-kiat dan ada yang memegang Thiat-mo-lek. Merekapun tak kalah berisiknya sewaktu bersorak-sorak dan berteriak-teriak mendorong semangat jagonya masing-masing.

Walaupun lagi bertempur, namun Thiat-mo-lek tetap pasang mata dan telinga akan keadaan di sekitar gelanggang situ. Jelas dilihatnya, apabila ia menang angin, maka pihak Li Thian-go dan kawan-kawan sama-sama berjingkrak-jingkrak marah. Sebaliknya golongan Kay Thian-ho dan kawan-kawan tampak bermuram durja.

Walaupun tangan Thiat-mo-lek tak pernah berayal untuk menghalau serangan dan memecahkan tipu lawan, namun batinnya bergolak, pikirnya: ”Ucapan Han Wi tadi memang benar. Aku adalah anak angkat keluarga Tou. Perselisihan antara kedua keluarga Ong dan Tou itu sudah berjalan hampir seabad. Sekalipun Ong Pek-thong sudah meninggal dan puterinya sudah menyatakan suka menghapuskan dendam keluarganya, tapi anak buah Ong Pek-thong masih banyak sekali. Belum tentu mereka mau taat padaku. Ditilik dari gerak-gerik Li Thian-go dan kawan-kawan itu terang mereak itu tak suka aku menjadi Bengcu. Taruh kata aku menjabat Bengcu dan kuperlakukan mereka dengan sama rata, mungkin mereka akan berbalik pikiran. Tapi hal itu urusan di belakang hari, yang nyata pada waktu sekarang ini mereka mempunyai hati menentang lebih dulu. Kalau begitu, kedudukan Beng-cu tak ada manfaatnya bagiku, bahkan dapat meretakkan persatuan.” Kemudian pikirnya lebih jauh: ”Shin-toako dan To-siok-siok menasihati supaya aku merebut kedudukan Bengcu, maksudnya tak lain tak bukan ialah mengharap aku dapat mendamaikan silang- sengketa di dunia Lok-lim. Dengan ada satu pimpinan, masalah rebutan daerah operasi dan barang rampasan tentu akan berkurang. Selain itu sebagai Bengcu ia berhak untuk memberi komando agar anggota-anggota di daerah-daerah suka saling membantu, kemudian dipersatukan untuk melawan tentara negeri. Memang maksud tujuan kedua orang itu baik sekali, tapi karena ternyata aku tak mempunyai kewibawaan untuk menyelesaikan persengketaan-persengketaan itu, maka tak berguna aku ikut bercokol menjadi raja gunung dan menentang kerajaan. Ah, mengapa saat ini aku ngotot hendak merebut kedudukan Bengcu? Mengapa tak mengalah saja?”

Baru Thiat-mo-lek menimang sampai disitu, Se-kiat kembali melancarkan 7-8 kali serangan berantai.   Serangan-serangan itu hebat dan indah sekali. Meskipun Thiat-mo-lek dapat menghalaunya satu demi satu, namun tak urung hatinya merasa kagum juga. Kembali pikirannya melayang: ”Bo Se-kiat ini selain berkepandaian tinggi pun selama berkelana di dunia persilatan itu ia selalu dapat menundukkan orang dengan bijaksana. Perilakunya itu dapat digolongkan sebagai ksatria yang berbudi luhur. To-sioksiok kuatir anak itu mempunyai hati serong. Kuatir bila dia menjadi Bengcu akan membawa kawan-kawan Lok-lim ke jalan yang nyeleweng. Memang hal itu pantas menjadi pemikiran. Tapi apakah benar dia akan berbuat begitu, itulah kelak baru dapat diketahui. Andaikata kemudian hari negara terjadi kekalutan, dan anak muda itu benar-benar mempunyai ambisi untuk menjadi raja, itupun apa salahnya?”

Lalu ia berpikir pula: ”Sekarang banyaklah orang yang mendukung Bo Se-kiat. Memang kalau dihitung jumlahnya, pendukungku tetap lebih besar dari dia. Tapi Li Thian-go dan kawan- kawannya itu adalah pengikut-pengikut setia dari Ong Pek-thong. Kalau disuruh memilih antara aku dengan Se-kiat, sudah tentu mereka akan memilih Bo Se-kiat.

Setelah ia menjadi Bengcu, aku akan dapat mengusahakan supaya pengikut-pengikut Ong Pek- thong dan anak buah Kim-ke-nia, taat padanya. Tapi jika aku yang menjadi Bengcu, tentu tak ada orang yang akan membantu aku supaya kawan-kawan Lok-lim itu tunduk padaku. Ditilik dari sudut ini, untung ruginya sudah jelas. Demi untuk persatuan, demi pergerakan, mengapa aku tak memberikan kedudukan Bengcu kepada Bo Se-kiat saja?”

Berpikir begitu, makin mantaplah keputusannya. Tepat pada saat itu Se-kiat gunakan jurus

beng-pok-kiu-siau. Tubuhnya melambung ke udara lalu melayang turun sambil menusuk. Setelah mempunyai ketetapan untuk mengalah, maka Thiat-mo-lek sengaja luruskan pedangnya kemuka pura-pura menangkis. Bret, tahu-tahu lengan bajunya robek karena terpapas secabik oleh pedang Se-kiat.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar