Tusuk Kundai Pusaka Jilid 01

 
Jilid 01

Negeri kacau banyak perjodohan terhalang
Laut dan gunung saling merindu jumpa
Gelegah menanti sang embun mencurah saying
Duhai, siapa yang membelai tusuk kondai pusaka?

Tahun ke tahun penjuru buana habis dilalang
Kepada siapa gerangan kurayukan bisikan jiwa
Syukurlah angin timur meniup hujan membayang
Bulan surut angin mengembus belibis terjaga.

Malam sunyi. Suasana di sebuah hotel di suatu kota kecil dekat Lo-ciu tenggelam dalam keheningan malam. Di suatu kamar hotel itu lagi duduk termenung-menung seorang anak muda, terkadang terdengar juga mulutnya menggumam sendiri.

”Tusuk kondaiku ini berukiran Liong dan tusuk kondainya berukiran Hong, keduanya adalah satu pasangan.   Aku suaminya, ia isteriku. Perjodohan ini telah ditetapkan sejak lahir. Ai, tapi bagaimana harus kukatakan kepadanya? Apakah begitu berjumpa, terus saja kukatakan: ’Aku ini suamimu, maka aku datang menemuimu!’”

”Ah, tidak, tidak, berat rasanya mulutku mengucap begitu. Mungkin ia akan menganggap aku seorang gila. Aku pun belum pernah bertemu muka dengan dia, entah ia suka padaku atau tidak, entah apakah ia sudi menerima aku sebagai suaminya?”

”Ai, sukar nian mengerjakan urusan yang memalukan ini. Tetapi ini adalah pesan mendiang

ayah-bundaku, tak dapat aku mengingkarinya. Apakah ia mengetahui juga urusan ini? Jika sudah, itu sih mudah. Cukup jika kuminta dia mengunjukkan Hong-ja untuk dipadu dengan punyaku Liong-ja. Sepasang tusuk kondai pusaka serupa bentuk buatannya. Hm, tolol benar aku ini!

Bukankah saat itu aku tak perlu mengucap apa-apa lagi dan dengan sendirinya iapun sudah mengerti?”

”Tetapi sesudah itu, lalu bagaimana?  Jika aku tak bernyali untuk mengatakan apa-apa, masakan ia berani berkata dulu : ’Ya, benar sejak ini kita menjadi sepasang suami isteri.’ – Suami isteri tentu akan selalu berkumpul bersama. Dari pagi sampai petang aku tentu akan selalu berhadapan padanya. Bagaimanakah perangainya? Dapatkah aku menyukainya?

Dan andaikata ia tak tahu menahu tentang urusan ini, habis bagaimana? Apakah aku harus tebalkan kulit muka untuk menuturkan riwayat sepasang tusuk kondai pusaka itu? Kemudian mengatakan : ’Aku ialah si anak lelaki dan kaulah si anak perempuan yang dimaksudkan itu.’ Tapi ia tak kenal padaku, apakah ia mau mendengar ceritaku? Dan setelah mendengar, apakah ia mau percaya ....? Ai, ai, benar-benar pusing dan akan pecah rasanya kepalaku!”

Demikianlah lalu-lang keterangan yang mengejangkan urat syaraf Toan Khik-ya di kala ia mondar-mandir di kamar hotelnya sembari menggenggam sebuah tusuk kondai kemala. Saking tegangnya, sampai-sampai ia mengoceh sendirian.

Kini ia sudah menginjak usia 16 tahun. Setelah 8 tahun lamanya negara menderita kekacauan akibat pemberontakan Ang Lok-san dan Su Su-bing, kini keamanan berangsur-angsur pulih kembali. Bibi He (namanya He Leng-soang, isteri dari Lam-ce-bun) yang mengasuhnya seperti ibunya sendiri, mengatakan bahwa karena ia sudah dewasa maka disuruhnyalah ia pergi ke Lo-ciu menemui tunangannya. Tunangannya itu adalah puteri pungut dari Sik Ko yang menjabat Ciat-tok- su (panglima yang bertugas menjaga perbatasan). Bibi He menerangkan pula bahwa Sik Ko itu seorang keras, ia melarang seisi rumahnya membocorkan asal usul puteri pungutnya itu. Oleh karena itu, mungkin sampai sekarang gadis itu tentu belum mengetahui siapa ayah bundanya yang asli.

Jadi Toan Khik-ya berangkat menemui seorang tunangan yang belum pernah dikenalnya, seorang gadis yang tak tahu akan asal-usul dirinya sendiri.

Lazimnya dalam umur 15-16 tahun itulah anak mulai mengerti urusan duniawi. Dalam usia begitu seorang dara tentu akan kemerah-merahan pipinya bila bertemu dengan seorang jejaka, begitu pun sebaliknya. Lebih-lebih seperti keadaan Toan Khik-ya saat itu, disuruh seorang diri

menjumpai seorang tunangan yang belum pernah dilihatnya. Itulah sebabnya, makin dekat ke kota Lo-ciu, hati Toan Khik-ya makin risau, malu, berdebar-debar, gembira dan penuh harapan ....

Ketegangan perasaannya itu, tepat seperti yang digambarkannya serasa membuat kepala pecah. Tiba-tiba ada semacam bau wangi berembus masuk dari jendela. Ketegangan benaknya makin menjadi-jadi, seketika ia rasakan kepalanya pening ingin tidur.

”Celaka!” sekonyong-konyong ia mengeluh. Selintas terbayanglah olehnya akan kejadian yang dialaminya siang tadi. Seorang lelaki yang memelihara kumis pendek, entah bilamana, telah mengikutinya dari belakang. Karena di jalanan pada siang hari banyak orang berlalu-lalang, jadi ia tak leluasa menggunakan ilmu gin-kang. Sengaja ia lambatkan langkahnya, tapi ternyata orang itu pun kendorkan jalannya. Ketika ia berjalan ceat sedikit, orang itu pun cepatkan langkahnya.

Toan Khik-ya menaruh kepercayaan pada ilmu kepandaiannya sendiri. Meskipun ia menaruh kecurigaan, tapi ia tak memandang serius pada orang itu, hanya merasa jengkel saja. Setelah tiba di jalanan yang sepi, ia sengaja unjukkan sedikit demonstrasi. Sekali hantam ia patahkan sebuah dahan pohon sebesar paha orang lalu dibuat memikul buntalan barangnya. Entah bagaimana, orang itu lantas menghilang.

”Apakah orang itu seorang penjahat yang karena siang hari tak leluasa turun tangan, tapi malam sekarang mau menggerayang kemari?” demikian pikirnya.

Plak, terdengar suara sebuah kerikil melayang masuk dari jendela. Itulah cara ’melempar batu menanyakan jalan’ yang biasa dilakukan oleh kaum penjahat bilamana hendak mencari keterangan tentang keadaan sasarannya. Karena suhengnya, Gong-Gong-ji, bergelar Pencuri Sakti Nomor Satu di Kolong Jagat, jadi Toan Khik-ya mengerti juga tentang cara itu.

”Hm, kiranya bangsa penjahat picisan saja. Seorang penjahat ulung tentu tak perlu

menggunakan cara ’bertanya jalan’ begitu. Baik, coba saja bagaimana ia hendak mencuri barangku nanti, diam-diam ia mentertawakan.

”Tring,” Liong-ji kemala yang digenggamnya itu jatuh di atas meja, menyusul kepala Toan Khik-ya pun terantuk pada meja seperti orang yang terkulai pulas.

Daun pintu kedengaran terdorong, sesaat kemudian terdengar lengking seruan kaget seseorang, ”Eh, lihatlah tusuk kondai kemala itu!”

Itulah suara seorang perempuan. Dan yang lebih mengherankan lagi, mengapa ia melengking begitu nyaring? Bukankah biasanya bangsa pencuri itu pantang menerbitkan suara?

”Ssst, jangan bersuara keras-keras,” seru lain suara yang bernada kasar lantang, ”sekarang kau mengakui ketajaman mataku tidak? Kuyakin mataku takkan salah melihat kalau bocah ini mempunyai sebuah benda berharga, hanya saja aku tak menyangka sama sekali kalau bendanya itu sebuah pusaka.  Ha, melulu mestika ya-beng-cu yang tercantum di atas tusuk kondai itu saja nilainya tak kurang dari beberapa puluh ribu tahil perak!”

”Nilainya itu tak penting,” sahut orang pertama yang bernada seperti perempuan, ”yang kuherankan mengapa barang itu serupa benar dengan kepunyaan nona kita!”

”Apa? Nonamu juga mempunyai tusuk kondai kemala seperti ini?” seru si lelaki.

”Ya, hanya saja lukisannya tak sama. Tusuk kondai nonaku berukir seekor burung Hong (cendrawasih) yang tengah mementang sayapnya hendak terbang! Ha, engkoh Bo, rupanya peruntunganmu sudah tiba,” kata si perempuan.

”Benar, ini namanya seperti ’mendapat durian runtuh’,” sahut si lelaki, ”Aku mempunyai

beberapa kenalan pedagang intan berlian, tak kuatir tak bisa mendapat harga. Setelah mempunyai beberapa puluh ribu tahil perak, kita cari sebuah tempat yang sunyi untuk mendirikan rumah tangga yang bahagia.”

”Engkoh Bo, aku tidak mempunyai maksud begitu,” di luar dugaan si perempuan telah menyanggah.

”Oh, habis bagaimana rencanamu?” tanya si lelaki.

“Menyembunyikan diri dan lewatkan hari-hari dengan penuh kecemasan, bukanlah cara yang benar! Apalagi Tayswe (panglima) tentu akan menyebar perintah penangkapan kemana-mana, mana kita dapat bersembunyi dengan aman? Turut pendapatku, lebih baik kita serahkan tusuk kondai ini kepada nona, kebetulan beliau juga mempunyai sebuah tusuk kondai yang serupa, dengan demikian tanggung beliau pasti akan gembira sekali. Kemudian jika kuminta tolong kepada nona supaya memintakan pengampunan pada Tayswe, kemungkinan besar bukan saja kita dibebaskan dari penangkapan, bahkan Tayswe akan menghadiahkan kau suatu pangkat pula.

Bukankah cara demikian adalah terlebih bagus?”

Masih si lelaki menegas dengan kesangsian, ”Apakah kau yakin dapat membujuk nona?” ”Aku adalah dayang kesayangannya. Kali ini jika bukan gara-garamu, masakan aku tega berpisah dengan nona. Bila aku meminta ampun, ia tentu meluluskan, apalagi aku membawa barang persembahan yang berharga!” jawab si perempuan.

”Tapi jika ia menanyakan dari mana kau peroleh barang itu, bagaimana jawabmu?” ”Tentang itu, itu ” sekali ini si perempuan tak dapat menemukan jawaban yang tepat.

Melihat itu si lelaki buru-buru menyatakan, ”Kurasa lebih baik kita langsung persembahkan

benda pusaka ini pada Tayswe saja. Mungkin kau tak tahu bahwa Tayswe itu asal-usulnya juga dari kalangan Lok-lim (penyamun). Asal beliau sudah menerima barang pusaka, tak nanti ia mendesakmu untuk memberi keterangan dari mana kau peroleh. Tidak demikian dengan nona. Ai, tapi makin kupandang benda ini makin besar rasa sayangku. Sebenarnya kita rugi kalau menyerahkannya kepada Tayswe!”

”Kau tentu cukup kenal perangai Tayswe, maka lebih baik kita serahkan saja. Oh, ya, teringat aku sekarang.   Bulan muka tanggal 15 ini, nona akan merayakan hari pernikahannya! Itu suatu kesempatan bagus bagi kita. Dengan persembahan kita itu, masakan Tayswe takkan dimabuk kegirangan. Hai, kenapa kau ini?”

Jawab si lelaki, ”Bocah ini mengerti ilmu silat, lebih baik sekali bacok kumampuskan dia saja daripada kelak menimbulkan urusan. Menyingkirlah, jangan kau merintangi aku!”

Kiranya lelaki itu hendak membunuh Toan Khik-ya, tapi dihadang oleh kawannya perempuan. ”Jangan, jangan, masakan kita tak berperikemanusiaan. Sudah merampas barangnya masih mau mengambil jiwanya. Turutlah permintaanku, lepaskan dia. Jika kau membangkang, aku tak sudi mengikut kau!” seru si perempuan.

”Ai, mengapa hatimu selemah ini?” si lelaki mengomel, ”Baiklah, kuturut permintaanmu, apa boleh buat, ya siapa yang suruh aku suka padamu? Nah, berikanlah tusuk kondai itu padaku dan ayo kita lekas pergi dari sini. Ha, ha, sungguh benda pusaka bagus!”

Baru lelaki itu mendorong daun jendela hendak loncat keluar, belum suara ketawanya sirna,

tahu-tahu tubuhnya bergoncang dan sebagai tonggak, ia berdiri tegak seperti patung. Tring, tusuk kondai yang digenggamnya itupun jatuh ke lantai. Berbareng itu Toan Khik-ya pun loncat menghadang si perempuan.

Ternyata walaupun baru berumur 16 tahun, tapi kepandaian Toan Khik-ya sudah bukan olah- olah hebatnya. Sewaktu mencium bau wangi tadi, segera ia sudah curiga. Buru-buru ia gunakan ilmu pernapasan ”Pit-hi-hoan-gi” untuk menutup hidungnya. Obat bius Ke-bing-ngo-ko-hoan-hun- hiang yang biasa digunakan oleh kaum persilatang itu, sudah tentu tak mempan terhadap dia. Ia

tadi hanya pura-pura saja pingsan untuk melihat perkembangan. Dan kedua penyatron itu ternyata kena diingusi.

Si perempuan tadi terkejut dan hendak menerobos lari, tapi kena disambar Toan Khik-ya. ”Bukan urusannya, lepaskan dia! Kalau mau bunuh, bunuhlah aku!” si lelaki buru-buru berteriak.

Ternyata si lelaki itu kena tertutuk jalan darahnya oleh tutukan Keh-gong-tiam-hiat (menutuk dari kejauhan) yang dilepas Toan Khik-ya. Tubuhnya tak dapat bergerak, tapi mulutnya masih bisa bersuara. Ini disebabkan karena Toan Khik-ya masing kurang pengalaman. Karena terburu-buru, ia sampai lupa untuk menutuk jalan darah pembisu orang.

Biasanya, adalah si maling yang takut bersuara, sebaliknya kini Toan Khik-ya yang takut si maling bersuara. Setelah membikin bisu si lelaki, barulah Toan Khik-ya lepaskan perempuan itu. ”Jangan takut, mengingat kau tadi melindungi jiwaku, akupun takkan membunuh suamimu itu.

Hanya saja tusuk kondai pusaka itu adalah warisan keluargaku, jangan kalian ambil,” kata Toan Khik-ya dengan tertawa.

Perempuan itu tertegun, berulang-ulang ia menghaturkan terima kasih, ”Terima kasih atas kelapangan hati Siangkong. Sudah tentu kami tak berani mengambil barangmu. Harap Siangkong lepaskan kami saja!”

Toan Khik-ya menyahut dengan tertawa, ”Nanti dulu, kalau mau pergi mudah saja, asal kau memberi keterangan yang jujur. Dari pembicaraanmu tadi, rupanya kau ini bujang perempuan dari keluarga pembesar. Siapakah nona majikanmu itu, lekas bilang!”

Merah padam muka si perempuan, setelah bersangsi sejenak, barulah ia berkata, ”Dengan sejujurnya aku ini adalah budak dari puteri Ciat-tok-su daerah Lo-ciu sini.”

”Oh, kiranya kau ini pelayan dari nona Sik Hong-sian, puteri Sik Ko itu? Tapi mengapa kau berkawan dengan bangsat itu hendak mencuri barangku?” tegur Toan Khik-ya.

Mendengar Toan Khik-ya menyebut nama nona majikannya, perempuan itu makin terkesiap. Katanya pula, ”Ya, karena aku diam-diam pergi dengan dia. Dia menjabat sebagai wi-su (pengawal) dari Sik-tayjin, dan kami .... kami ”

”Ha, kiranya begitulah. Kau suka padanya, lalu minggat bersama, bukan?” Toan Khik-ya menegas.

Perempuan itu tersipu kemalu-maluan.

”Huh, kekasihmu itu boleh juga. Rupanya ia pun suka padamu. Baiklah, kuampuni dia,” kata Toan Khik-ya.

Perempuan itu hendak menghaturkan terima kasih, tapi Toan Khik-ya mencegahnya, ”Nanti dulu, tadi kau katakan hendak menyerahkan tusuk kondaiku ini kepada nona majikanmu sebagai barang persembahan. Entah mempunyai kerja apa nonamu itu?”

”Bulan muka tanggal 15 nona hendak keluar pintu,” sahut si perempuan. Mendengar itu Toan Khik-ya melongo.

”Apa? Nonamu hendak keluar pintu?” ia menegur.

Menduga Toan Khik-ya tak mengerti maksud kata-kata itu, si bujang perempuan memberi keterangan, “Benar, ‘keluar pintu’ artinya menikah. Nona majikanku hendak menjadi pengantin!” Toan Khik-ya tercengang, katanya dengan tergagap-gagap, ”Jadi, jadi ia akan kawin?”

Tiba-tiba saat itu di sebelah luar terdengar derap kaki orang, menyusul ada orang berteriak- teriak, ”Ada pencuri, ayo bangun tangkap pencuri!”

Seketika terdengarlah suara berisik dan langkah orang berderap-derap. Hotel itu ternyata memegang teguh ketertiban. Setiap malam ada orang jaga. Jaga malam itu kaget mendengar ribut- ribut dari kamar Toan Khik-ya. Karena jeri seorang diri tak berani menangkap pencuri, maka ia berteriak-teriak memanggil kawan.

Wajah bujang perempuan tadi menjadi pucat. Tergopoh-gopoh ia meminta pada Toan Khik-ya,

“Mohon, mohon Siangkong sukalah lepaskan dia!”

Toan Khik-ya juga gugup. Tanpa banyak bicara lagi, ia segera membuka jalan darah bekas wi- su itu. Begitu dapat bergerak, bekas wi-su itu segera ajak kekasihnya loncat keluar jendela. Dari situ loncat ke atas rumah terus melenyapkan diri.

Melihat di atas wuwungan rumah ada tubuh orang, jaga malam itu menyurut ketakutan. Berselang beberapa jenak, baru ia berseru kepada orang-orang yang mendatangi, ”Aman, sudah aman, pencurinya sudah melarikan diri.”

Toan Khik-ya menyimpan tusuk-kondainya lalu tutup kepala dengan selimut, pura-pura tidur

lagi. Tak berselang berapa lama, terdengar pintu kamarnya diketuk. Ternyata yang datang adalah pengurus hotel yang menanyakan keterangan kalau-kalau barangnya ada yang tercuri maling. Toan Khik-ya pura-pura terkejut dan tak mengetahui apa-apa. Barang bekalannya sederhana sekali, setelah pura-pura memeriksanya sebentar, ia mengatakan tiada kehilangan apa-apa.

Dengan bangga, si penjaga malam menepuk dada, ”Untung ada aku hingga si pencuri ketakutan lari!”

Habis itu ia minta persen pada Toan Khik-ya. Toan Khik-ya memberi sedikit uang dan kawanan jaga malam itupun lantas ngeloyor pergi.

Semalam itu Toan Khik-ya tak dapat tidur. Pikirannya selalu bertanya-tanya, ”Ia mau kawin, kawin dengan siapa? Ah, sayang tadi aku tak keburu menanyakan keterangan – Itu kemauan Sik Ko atau ia sendiri yang menyetujuinya? Ai, karena ia toh bakal menjadi pengantin, apakah aku

masih perlu menjumpainya untuk menceritakan tentang tusuk-kondai pusaka ini? Ayahku dan ayahnya, semasa masih hidup sama mengikat persaudaraan, sekali pun tidak dikarenakan urusan perjodohan itu, aku harus datang kepadanya dan memberitahukan asal-usulnya Ya, benar, dalam

pertemuan nanti untuk sementara takkan kukemukakan perjodohan itu.”

Demikian setelah mendapat keputusan, dapatlah Toan Khik-ya meramkan mata barang beberapa jenak.   Tapi hanya  beberapa saat saja, haripun sudah mulai terang tanah. Ia berkemas dan meneruskan perjalanannya Ke Lo-ciu lagi.

Berjalan tak berapa lama, tiba-tiba didengarnya di sebelah muka ada sorak-sorai gegap gempita. Buru-buru ia cepatkan langkahnya. Setelah membelok di sebuah tikungan gunung, dilihatnya di jalanan ada dua rombongan orang tengah bertempur. Dari corak pakaiannya, partai yang satu terdiri dari tentara negeri dan partai lawan adalah kawanan begal. Di belakang mereka tampak berjajar

belasan buah kereta. Para kusirnya sama angkat tangan ke atas pertanda menyerah. Turut peraturan golongan Hek-to, yaitu kaum bandit, apabila tiada perlawanan maka pemilik dari barang-barang

yang akan dirampasnya itu, tidak boleh dibunuh.

Dari dalam hutan pohong siong, makin banyaklah kawanan penyamun yang keluar. Karena kalah banyak jumlahnya, lama kelamaan pihak tentara negeri menjadi keteter. Saat itu kawanan penyamun sudah siap hendak membawa pergi kereta-kereta barang itu.

”Sungguh banyak dan brutal (kurang ajar) sekali kawanan penyamun itu. Masakah di siang hari bolong mereka berani merampok. Hm, jika kereta-kereta itu terampas mereka, bukankah pasukan yang menunggu rangsum itu akan mati kelaparan?” pikir Toan Khik-ya. Ia duga belasan kereta itu memuat bekal rangsum.

Ketika berumur 10 tahun, Toan Khik-ya pernah ikut ayahnya membantu perjuangan Thay-siu (setingkat gubernur) Thio Sun menjaga kota Sui-yang. Dengan mata kepala sendiri, kala itu ia saksikan bagaimana ngenasnya kawanan serdadu yang kehabisan rangsum. Kesan itu sampai sekarang tak pernah ia lupakan.

”Aku pun tak mau membunuh kawanan penyamun itu, asal dihalau pergi, cukuplah!” pikirnya. Setelah mengambil keputusan, ia lari menghampiri mereka dan berseru lantang-lantang, ”Hai, tengah hari bolong mengapa kalian berani merampas barang orang. Ayo, lekas enyah dari sini!” Kawanan penyamun itu tertawa keras. Mereka tak mengacuh sama sekali pada seorang bocah seperti Khik-sia.

”Hai, kacung yang masih ingusan apa kau mau ikut-ikutan cari perkara?” bentak mereka dengan serempak. ”Lekas pulang minta netek ibumu saja, awas golokku tak bermata, tahu!”

Kepala penyamun rupanya cukup berpengalaman. Melihat gerakan Toan Khik-sia yang gesit tadi, ia terperanjat. ”Hati-hati, bocah itu tak boleh dipandang enteng!” serunya segera.

Belum habis ia memperingatkan kawan-kawannya, Toan Khik-sia sudah menerjang ke dalam gelanggang. Tanpa membalas ejekan mereka, Toan Khik-sia mencabut pedang tinggalan mendiang ayahnya, terus dibolang-balingkan kian kemari. Tring, tring, terdengar beberapa kali suara gemerincing. Kejut si kepala penyamun bukan kepalang. Golok, pedang, tombak, sama berhamburan kutung di tanah demi terbentur pedang Toan Khik-sia.

Mendadak pemimpin penyamun itu timpukkan bandringan rantai Liu-sing-juinya untuk menghantam po-kiam Toan Khik-sia. Namun sempat Khik-sia menghindar dan secepat kilat disambarnya bandul bandringan itu terus disambitkan kembali. Trang, tepat sekali bandul itu menghantam bandul yang kedua. Suaranya berderang memecah telinga. Kedua bandul itu melayang ke udara. Cepat Khik-sia menyambuti yang sebuah lagi dengan tangannya kiri, kemudian diiring dengan gerakan pedang di tangan kanan, ia menari-nari lagi. Tring, tring, kembali beberapa batang tombak dan golok lawan tergempur kutung!

”Jika kalian tetap tak mau enyah, jangan salahkan kalau aku melukai orang. Po-kiamku ini juga tak bermata, awaslah, lebih baik kalian lekas menyingkir saja!” untuk yang kedua kalinya Khik-sia memberi peringatan.

Kepala penyamun itu menahan nafas, serunya dengan nyaring: ”Baik, terima kasih atas  kebaikan saudara. Selama gunung masih menghijau, lain kali kami tentu akan minta pengajaran lagi padamu!”

Dan sekali memberi komando, kawanan penyamun itu berbondong-bondong pergi. Datangnya cepat, perginya pun lekas, persis seperti gelombang laut yang pasang surut. Sebentar saja mereka sudah lenyap dari pemandangan.

Opsir pasukan tentara bergegas-gegas lantas datang menghaturkan terima kasih kepada Toan Khik-sia.

”Ah, untuk urusan kecil itu tak usah begitu sungkan,” sahut Khik-sia sembari hendak berlalu. ”Siau enghiong (ksatria cilik), kau sudah membuat pahala besar, apakah tak berminat mendapat hadiah dan pangkat?” buru-buru opsir itu berseru.

Acuh tak acuh Khik-sia menjawab: ”Aku masih kecil, tak inginkan pangkat. Aku pun tak kekurangan uang, tak butuh hadiah apa-apa. Nah, selamat tinggal!”

Opsir itu tercengang, sesaat kemudian ia acungkan jempolnya berseru memuji: ”Inilah ksatria gagah sejati! Ai, Siauenghiong, tunggu dulu, tunggu dulu, aku belum menanyakan namamu yang mulia dan kemana tujuanmu?”

Dengan acuh tak acuh Khik-sia memberitahukan namanya dan menyatakan hendak menuju ke Lo-ciu.

Opsir itu tertawa gelak-gelak: ”Kamipun justru kebetulan hendak menuju ke Lo-ciu juga. Kita sama seperjalanan. Ha, ha, Toan-siauhiap, tahukah kau untuk apa kami pergi ke Lo-ciu ini?” Dalam saat itu, kawanan serdadu sudah mengangkat benderanya  yang jatuh tadi. Disitu tersulam huruf-huruf: ”Gui-pok-ciat-tok-su Tian”.

”Mana aku tahu?” sahut Khik-sia dengan tertawa.

Menunjuk ke arah bendera, berkatalah opsir itu: ”Berkata dengan sejujurnya, kami ini dititahkan Gui-pok-ciat-tok-su Tian tayciangkun untuk mengirim barang bingkisan ke Lo-ciu. Tian tayciangkun itu dahulu adalah bekas Hou-kun-thong-leng (panglima) dari An Lok-san. Dia dengan Sik Ko, sama-sama menjadi panglima sebawahan dari An Lok-san. Keduanya akrab sekali hubungannya. Setelah Sik Ko menakluk pada kerajaan Tong, tak lama kemudian Tian tayciangkun pun menyusul tindakannya. Kini mereka berdua sama menjabat sebagai Ciat-tok-su. Sekalipun

daerah kekuasaannya lebih kecil dari Sik Ko, tapi beliau terus-menerus membentuk pasukannya dan memperkuat perlengkapannya. Dalam hal kekuatan tentara, kini ia lebih kuat dari Sik Ko.”

Pula hati Khik-sia tergetar hatinya: ”Oh, jadi kalian ini hendak mengantar Lap-jay (bingkisan, emas kawin) ke Lo-ciu? Apakah kedua keluarga itu hendak mengikat pernikahan?”

”Benar, Tian-tayciangkun hendak menikahkan puteranya yang sulung. Yang menerima bingkisan perkawinan itu, ialah puteri dari Sik ciat-tok-su. Mereka akan melangsungkan

pernikahan pada nanti bulan muka tanggal 15. Keduanya sahabat karib dan sama-sama menjabat pangkat tinggi, sudah tentu barang-barang bingkisannya berharga mahal. Jika pembesar tinggi mempunyai hajat kerja, kami kaum bawahannya inilah yang lari pontang-panting.”

”Dalam perjalanan, sudah dua kali kami berhantam dengan kawanan penyamun,” kata opsir itu pula, ”sungguh tak nyana gerombolan penyamun yang tadi begitu lihaynya. Untung mendapat bantuanmu hingga barang bingkisan itu dapat diselamatkan. Jika tidak, ah, mungkin batang kepala kami sudah menggelinding! Toan-siauhiap, terangkah kau sekarang, betapa besar pahalamu terhadap Ciat-tok-su kami itu? Ha, ha, jika kau kepingin kaya sajam pangkat apa dan hadiah yang bagaimana, asal kau membuka mulut, Tayciangkun tentu akan meluluskan!”

”Oho, begitu kiranya? Semula kukira kalian ini mengawal rangsum,” kata Khik-sia.

Tertawa opsir itu: ”Barang ini lebih penting dari rangsum. Karena kita sama-sama bertujuan ke Lo-ciu, itulah bagus sekali.”

Diam-diam Khik-sia geli, pikirnya: ”Sudah tentu kamu mengatakan bagus karena dapat menggunakan aku sebagai tukang kawal dengan gratis. Huh, aku sendiri yang sial, masakah disuruh orang mengantar bingkisan untuk calon isteriku!”

Tanpa tunggu penyahutan Toan Khik-sia lagi, opsir itu segera suruh orangnya menyediakan kuda untuk anak muda itu. Sementara itu Khik-sia baru mengetahui bahwa kereta pengangkut barang-barang itu semua berjumlah 12 buah.

”Hm, entah berapa banyak darah dan keringat rakyat yang diperas untuk membeli barang- barang ini! Jika dibelikan rangsum, entah cukup untuk memelihara berapa puluh ribu serdadu!” pikir Khik-sia.

Dalam perjalanan itu tak henti-hentinya pikiran Khik-sia melayang. Sekonyong-konyong

terdengar suara mendesing, dua batang anak panah yang dilengkapi dengan suitan, melayang keluar dari dalam hutan.   Karena ada Toan Khik-sia, nyali opsir itu jadi besar.   Segera ia keluarkan perintah untuk menyusun barisan guna menghadapi musuh.

Segerombolan penyamun berkuda segera menerobos keluar dari hutan. Pemimpinnya berwajah putih licin, seorang dari pertengahan umur yang bergaya seperti sasterawan.

Melihat jumlah mereka tak banyak, opsir itu makin congkak. Ia segera menganjurkan Toan Khik-sia: “Hm, kawanan manusia yang ingin cari mampus itu datang lagi. Toan-siauhiap, kali ini sebaiknya kau jangan beri ampun lagi, paling tidak kau harus basmi benggolan-benggolannya!”

Tanpa disadari, Khik-sia keprak kudanya maju menyongsong. Menatap sejenak pada anak muda itu, si kepala penyamun berseru: ”Apakah kau tadi yang jual jasa pada kawanan budak itu?” ”Urusan tadi hanya secara kebetulan saja berjumpa. Kata-kata ’jual jasa’ itu sungguh tak tepat.

Tolong tanya, apa maksud kedatangan Cecu ini?” sahut Toan Khik-sia.

”Oh, begitu! Tapi tahukah kau barang apa yang mereka bawa itu?” tanya si kepala penyamun pula.

”Barang bingkisan emas kawin dari Gui-pok-ciat-tok-su Tian Seng-su untuk Sik Ko di Lo-ciu,” jawab Khik-sia.

”Tepat, toh sudah tahu mengapa kau masih sudi jual jiwa pada Tian Seng-su? Harta benda yang tidak halal ini setiap orang berhak mengambilnya. Mereka adalah kawanan budak dari Tian Seng- su, karena mendapat tugas dan ingin kenaikan pangkat, jadi terpaksa mereka melakukan tugas itu. Tapi kau, kepandaianmu cukup tinggi, tentunya seorang Enghiong muda, masakan tak mau menghargakan diri dan sudi menjadi budak pembesar bejat?”

Toan Khik-ya terkesiap mendengar teguran kepala penyamun yang tajam itu.   Dilihatnya  di belakang kepala penyamun itu berkibar selembar bendera besar yang bersulam gambar seekor ayam jago, yang tengah menengadahkan kepalanya dengan gagahnya. Tergerak hati Toan Khik-sia. ”Apakah kalian ini rombongan Hohan (orang gagah) dari gunung Kim-ke-nia? Tolong tanya, bagaimana kabarnya dengan Shin cecu? Dan bagaimana pula dengan Thiat-tayhiap Thiat-mo-lek kenalkah kau?” tanyanya.

Kepala penyamun itu berjengit kaget, serunya: ”Siapa kau? Ai, darimana kau peroleh

pedangmu itu?” – Kiranya ia dapat mengenali pedang pusaka yang dahulu dipakai oleh mendiang ayah Toan Khik-sia, Toan Kui-ciang.

”Po-kiam ini adalah warisan dari ayahku!” sahut Khik-sia.

Kepala penyamun itu makin terperanjat, serunya: ”Jadi kau ini, kau ...”

”Benar, aku adalah putera ayahku. Tak nanti aku mencemarkan nama ayahku, jangan kuatir. Tolong tanya siapakah namamu, Cecu?” kata Khik-sia.

”Berjalan tak merubah nama, duduk tak mengganti she. Kim-kiam-deng-long To Peh-ing, ialah aku ini. Dahulu mendiang ayahmu itu seperti saudara sekandung dengan aku!”

”Hai, kiranya To siok-siok, terimalah hormat Siautit ini,” kata Khik-sia sembari memberi hormat.

Mendengar percakapan itu, keruan semangat opsir tadi serasa terbang dibuatnya. Buru-buru ia berseru: ”Toan-siauhiap, tolong mintakan kelonggaran bagi kami!”

To Peh-ing buru-buru mencegah Toan Khik-sia: ”Jangan berlaku begitu sungkan,” kemudian ia bertanya: ”Bagaimana hiantit hendak menyelesaikan urusan ini?”

”Harap sioksiok menanti di samping saja, biarlah siautit mewakili untuk menyelesaikan,” kata Khik-sia yang terus berpaling ke belakang. Menuding dengan pokiamnya, ia berkata kepada si opsir: ”Tian Seng-su memeras keringat rakyat untuk membeli barang bingkisan perkawinan ini, kurasa kalian tak layak menjual jiwa padanya. Apa yang dikatakan To sioksiok-ku tadi memang

tepat. Harta benda yang tidak halal, setiap orang boleh mengambilnya. Nah, sekarang turunkan barang-barang itu!”

Opsir itu gemetar dan berkata dengan tergagap-gagap: ”Toan-siauhiap ini, ini ”

”Tak usah takut, turunkan barang-barang itulah. Telah kumintakan kelonggaran, tak nanti jiwa kalian diganggu. To sioksiok, orang-orang ini hanya melakukan kewajiban saja, harap kau luluskan permintaanku.”

”Baik, dengan memandang muka Hiantit, aku takkan mengganggu mereka. Hai, mengapa

kalian tak mau menerima pengampunan ini, apa masih mau berkelahi? Mengapa tak menyingkir?” seru To Peh-ing.

Opsir dan kawanan serdadu itu sudah menyaksikan kelihayan Toan Khik-sia. Apalagi seorang tokoh macam Kim-kiam-ceng-long To Peh-ing yang namanya tenar di dunia persilatan. Sudah tentu mereka merasa gentar.

”Hohan, meskipun sudah mengampuni jiwa kami, tapi dengan kehilangan barang antaran itu, masakan nanti sepulangnya di rumah kami masih bisa diberi hidup lagi?” kata si opsir dengan kuatir.

”Kalian tak perlu kuatir. Setelah kusuruh kalian turunkan barang-barang antaran itu, sudah tentu akulah yang bertanggung jawab. Jika Tian Seng-su berani melakukan pengejaran, akan kusuruh ia menjadi setan tanpa kepala!” kata Toan Khik-sia.

Kemudian ia berpaling kepada To Peh-ing: ”Menjadi orang jangan kepalang tanggung, mengantar Buddha harus sampai di Se-thian, To-sioksiok, aku hendak mohon pinjam beberapa perak padamu untuk beramal.”

To Peh-ing tertawa: ”Ini juga miliknya Tian Seng-su, Hiantit boleh pakai sesukamu.”

Ia suruh anak buahnya untuk memeriksa kereta-kereta itu. Benar juga isinya penuh dengan mas intan yang tak ternilai. Toan Khik-sia mengambil 10 ”kong” perak, ditumpah di tanah. (Pada jaman ahala Tung-tiau, uang kas negara itu dijadikan semacam bentuk ”goan-po”, lalu dimasukkan ke dalam kong (guci), agar mudah disimpan dan dibawa kemana-mana. Kong dibuat dari kayu yang kedua ujungnya berlubang. Sebelah diisi dengan 50 buah goan-po, setiap buah beratnya 10 tail perak, lalu kedua ujungnya ditutup. Dan jadilah sebuah kong.

”Itu, lihatlah, semua kong ada capnya. Nyata Tian Seng-su menggunakan uang negara untuk keperluannya sendiri, pakai uang negara untuk hadiah pernikahan,” kata To Peh-ing.

Khik-sia suruh seorang anak buah To Peh-ing membuka kong itu, katanya: ”Kau bakal dilepas

dari pekerjaan, berarti mangkuk nasimu akan hancur. Hal itu memang pantas disesalkan. Tadi telah kuhitung, kalian anak tentara ini, semua berjumlah 100 orang. Nah, baik golongan opsir maupun serdadu biasa, masing-masing boleh mengambil 5 goan-po. Dengan uang itu rasanya cukup untuk modal kecil-kecilan. Hal itu rasanya lebih berbahagia daripada hidup di bawah tindasan Tian Seng- su.”

Sekalian serdadu bergirang, pun kawanan opsirnya diam-diam menimang: ”Untuk melawan terang tak mungkinlah, mau tak mau kita harus tunduk juga. Dapat menyelamatkan jiwa itu sudah

baik. Apakah omongan anak muda itu dapat dipercaya bahwa Tian Seng-su tak akan mengusutnya, itulah urusan besok.”

Begitulah kawanan serdadu itu setelah menerima uang, lalu menghaturkan terima kasih dan

pergi. Melihat penyelesaian itu, To Peh-ing tertawa puas: ”Hiantit masih berumur muda, tapi dapat bekerja dengan bagus dan bertindak secara bijaksana, sungguh membuat orang kagum.”

”Ah, jangan sioksiok memperolok begitu. Tadi karena limbung, siautit telah keliru mengira bingkisan Tian Seng-su sebagai rangsum. Aku sungguh menyesal sekali karena telah menyalahi sahabat-sahabat dari Lok-lim,” kata Khik-sia.

”Yang menghadang tadi ialah anak buah dari Im-ma-joan Tian Ma-cu. Biar nanti kukirimkan satu bagian kepadanya sekalian menjelaskan salah paham ini. Kau tak perlu cemas,” ujar To Peh- ing.

Toan Khik-sia memberi salam pada sekalian thau-bak dari Kim-ke-nia, setelah itu ia menanyakan perihal Thiat-mo-lek lagi.

”Ada sebuah kabar girang bagimu, hiantit, Thiat-mo-lek bakal menjadi Beng-cu (ketua) dari kaum Lok-lim (penyamun),” kata Peh-ing.

”Benarkah? Ai, ya teringat sekarang aku. Suhengku pernah mengatakan, ia akan menyerahkan cap dan surat tanda Lok-lim-beng-cu peninggalan dari Ong Peh-thong padanya. Rasanya suheng tentu sudah mengerjakan hal itu,” kata Toan Khik-sia.

Kini barulah Peh-ing tahu bahwa anak muda itu adalah sute dari Gong-gong-ji. Diam-diam ia membatin, itulah sebabnya maka Toan Khik-sia begitu lihaynya.

”Cap dan surat pertandaan itu sudah diterima oleh Thiat-mo-lek. Tapi di samping itu Gong- gong-ji pun menyampaikan juga sebuah pesan dari almarhum ayahmu. Adalah karena pesan itu maka Thiat-mo-lek menjadi ragu-ragu untuk menerima jabatan Beng-cu. Tapi karena keadaan memaksa, jadi terpaksa ia menerimanya juga,” demikian Peh-ing menerangkan.

”Mengapa?” tanya Khik-sia.

”Almarhum ayahmu menyampaikan pesan, bahwa jabatan Beng-cu itu tidak berarti.

Sebenarnya Thiat-mo-lek pun menurut, karena ia sudah tak mau cari permusuhan lagi di kalangan Lok-lim. Tapi kenyataan, setelah ia menolak jabatan itu banyaklah orang yang menginginkannya. Dalam beberapa tahun ini, karena hendak memperebutkan kedudukan Beng-cu, banyak tokoh Lok- lim yang saling gontokan. Di samping itu, Thiat-mo-lek selalu diganggu oleh orang-orang yang hendak meminta cap dan surat mandat itu. Sudah tentu ia tak mentah-mentah menyerahkan pada sembarang orang. Disebabkan hal itu, ia tak dapat menghindar lagi tantangan-tantangan mereka. Uh, sungguh runyam. Seorang bawahan dari ayah angkatnya, segera menganjurkan supaya ia terima saja kedudukan Beng-cu itu. Beberapa kali ia mengadakan perundingan dengan kami akhirnya setelah kami desak, ia terpaksa suka menerima kedudukan itu,” demikian panjang lebar Peh-ing menutur.

”Dengan dasar apa kalian menganjurkan padanya?” tanya Toan Khik-sia.

To Peh-ing menghela nafas, ujarnya: ”Mungkin Hiantit tidak mengetahui. Soalnya terletak pada waktu yang makin berlarut-larut. Kala itu aku dan almarhum ayahmu mengira setelah pemberontakan An Su (An Lok-san, Su Su-bing) padam, negara tentu aman. Siapa tahu pembesar- pembesar daerah telah meminta status otonom. Setiap Ciat-tok-su memperoleh bagian sebuah daerah kekuasaan. Mereka bertindak seolah-olah raja kecil (war lord) di daerahnya. Keadaan rakyat di daerah-daerah lebih payah dari semula. Karena penderitaannya, rakyat seakan-akan dipaksa menjadi penyamun. Dari hari ke hari, jumlah mereka bertambah banyak. Kami berpendapat, daripada kedudukan Beng-cu jatuh ke tangan seorang jahat, lebih baik Thiat-mo-lek saja yang menjabatnya. Setelah bulat sepakat, kami minta Shin-cecu yang keluar untuk mengundang para orang gagah dari segala aliran di dunia Lok-lim untuk menghadiri permusyawarahan besar yang akan diadakan pada nanti hari Peh-cun di gunung Kim-ke-san. Pada hari itulah nanti kami dengan resmi akan memilih Thiat-mo-lek menjadi Lok-lim-beng-cu.”

”Hari ini baru tanggal 8 bulan 2, jadi masih ada waktu tiga bulan lagi. Mungkin aku dapat menghadiri keramaian itu,” kata Khik-sia.

”He, jadi sekarang Hiantit tidak ikut kami naik ke Kim-ke-san?” tanya Peh-ing.

”Maaf, aku masih ada sedikit urusan yang belum selesai. Nanti saja apabila urusan itu sudah beres, aku tentu akan datang menjenguk sekalian paman,” kata Khik-sia.

”Oh, ya, tadi kau sudah berjanji pada kawanan opsir untuk memperingatkan Tian Seng-su

supaya jangan mengganggu mereka. Ya, memang Hiantit harus pergi ke Lo-ciu dulu, tapi urusan itu kan mudah, mengapa perlu memakan waktu sampai hari Peh-cun?”

Khik-sia menerangkan, bahwa selain itu memang ia masih ada lain urusan lagi hendak menjenguk seorang sahabatnya di Lok-ciu. Ia berjanji akan berusaha sedapat mungkin untuk menghadiri rapat besar di Kem-ke-san nanti.

”Baiklah kalau begitu,” kata Peh-ing, ”jika nanti tiba di Lo-ciu, tolong Hiantit cari berita bilamana Sik Ko hendak mengirimkan barang-barang bingkisan kawin itu. Biar kami nanti menggasaknya lagi.   Di Lo-ciu kami pun mempunyai orang. Hiantit boleh mencari orang itu. Begitu sudah mendengar berita, Hiantit boleh suruh dia menyampaikan pada kami.” 

Habis berkata, Peh-ing menyerahkan sebuah alamat pada Khik-sia dan memberitahukan tentang kode pengenal. Ternyata informan (colok) Kim-ke-san yang ditempatkan di Lo-ciu itu bernama Tio Peh-liong. Sebenarnya ia adalah Hu-pangcu (wakil ketua) dari kaum Kay-pang di Lo-ciu.

Begitulah Toan Khik-sia segera ambil selamat berpisah dengan rombongan To Peh-ing, lalu bergegas-gegas menuju ke Lo-ciu. Setibanya di kota itu ia langsung menuju ke tempat Tio Peh- liong dan tinggal di situ.

Tio Peh-liong lama tinggal di kota Lo-ciu. Sehari suntuk ia ajak Khik-sia putar kayun di dalam kota serta meninjau letak tempat kediaman Ciat-tok-su Sik Ko. Besok malamnya, Toan Khik-sia

berganti pakaian ya-heng-ih (pakaian ringkas peranti berjalan malam), lalu menuju ke gedung Ciat- tok-su. Sudah tentu kepada Tio Peh-liong ia hanya mengatakan hendak menyirapi berita tentang pengiriman bingkisan kawin Sik Ko dan tak mau menerangkan kalau sekalian hendak menyelidiki keadaan tunangannya.

Tepat dikala Toan Khik-sia masuk ke dalam gedung Ciat-tok-hu, kala itu Sik Ko tengah bertengkar mulut dengan isterinya dalam kamar rahasia. Pertengakaran itu mengenai urusan perkawinan puteri mereka.

Isteri Sik Ko itu, telah menerima pesan terakhir dari mendiang ibu Hong-sian, sewaktu ibu

kandung nona itu hendak menutup mata. Ibu Hong-sian itu telah memberikan dua pesan, pertama, supaya mengasuh puterinya dengan baik, kedua, supaya Hong-sian itu dijodohkan pada putera keluarga Toan yang semenjak kecil sudah ditunangkan.

Sebenarnya Sik-hujin (isteri Sik Ko) sudah beberapa kali bermaksud hendak memberitahukan Hong-sian tentang asal-usulnya, tapi dikarenakan takut kepada sang suami, jadi hal itu tetap masih disimpan dalam hatinya saja. Tapi kini urusan sudah memuncak, kabarnya Tian Seng-su sudah suruh orang-orangnya mengirim bingkisan. Karena cemas dan gelisah, nyonya itu menjadi nekat. Ia ajak suaminya bercekcok.

”Semenjak lahir, ayah-bunda Hong-sian sudah menetapkan perjodohannya dengan putera Toan Kui-ciang. Kini mengapa kau hendak menikahkan pada lain orang?” Demikian Sik-hujin menegur suaminya.

”Orang tua Hong-sian kan sudah menutup mata, pun Toan Kui-ciang juga sudah gugur dalam peperangan. Jika kau tak bilang, siapa yang tahu akan perjodohan Hong-sian dengan keluarga Toan itu?” sahut Sik Ko.

Sik-hujin membantah: ”Jadi orang harus mempunyai liang-sim (nurani). Tempo dulu Toan Kui- ciang pernah menolong seisi rumah keluargamu, sebaliknya kini kau hendak menyerahkan menantunya pada lain orang. Coba tanyalah pada perasaan hatimu sendiri! Dan lagi coba renungkan. Ayah Hong-siang, Su Ih-ji, adalah seorang cin-su (cendekia) yang termasyhur. Kala itu ia dicelakai oleh An Lok-san dan ditangkapnya. Sekalipun pada masa itu kau dan Tian Seng-su hanya melakukan tugas sebagai orang sebawahan An Lok-san, tapi perbuatanmu itu sungguh menyakiti keluarga Su ….!”

“Diam!” bentak Sik Ko dengan gusarnya. ”Apakah kau hendak menceritakan kejadian itu pada Hong-sian agar anak itu memusuhi aku?”

Kata Sik-hujin: “Mana aku mempunyai pikiran begitu.  Aku hanya memikirkan ”

Lagi-lagi Sik Ko memutus omongan isterinya: ”Sekalipun aku dianggap berdosa terhadap

keluarga Su, tapi aku telah merawat anak isterinya, dan sekarang mengusahakan supaya anaknya dapat jodoh yang genah, seorang keturunan keluarga yang keadaannya seratus kali lebih baik dari keluarga Toan, masakah arwah Su Ih-ji takkan merasa berbahagia di alam baka?”

Sik Ko masih kuatir isterinya akan membocorkan rahasia itu. Maka ia segera berganti sikap bahasanya, dari main gertak menjadi ramah membujuk.

”Soalnya bukan begitulah,” sanggah Sik-hujin, ”Lu-hujin tinggal di rumah kita ini hanya

sebagai mak-inang (wanita yang memberikan air susunya). Sampai pada ajalnya, ia tetap tak dapat mengenalkan diri pada anaknya. Jika kita sampai mengingkari pesannya, ia tentu tak dapat mengaso dengan tenteram di alam baka. Ya, selain itu, dahulu ketika hendak membasmi An Lok- san, semuanya ialah yang merencanakan, hingga anak buah An Lok-san berontak dan puteranya saling membunuh sendiri. Dalam hal mencapai pangkat Ciat-tok-su yang kau peroleh sekarang ini, ia mempunyai andil juga. Suami isteri Toan itu melepaskan budi besar sekali kepada kita, sekarang adalah saatnya kau harus membalasnya. Turut pendapatku, batalkan saja pernikahan dengan keluarga Tian itu!”

Muka Sik Ko sebentar merah sebentar pucat. Dengan kertak gigi ia menggeram: ”Kau hanya tahu soal balas budi saja tapi tak mengerti akan soal lain yang teramat penting. Jika Hong-sian tidak jadi dinikahkan dengan keluarga Tian, jiwaku pun sukar dipertahankan!”

Sik-hujin tersentak kaget, serunya: ”Masakah sampai begitu? Tian-ciangkun adalah sahabat baikmu, masakah karena batal berbesan lantas membunuh kau? Dan kau toh bukan seorang panglima yang tak berdaya!”

”Hah, kau seorang wanita masakah mengerti urusan negara. Tian Seng-su itu mempunyai cita- cita hendak mencaplok daerah Lo-ciu. Sudah lama ia mengandung cita-cita itu. Pada tahun-tahun belakangan ini ia terserang penyakit jiat-tok-hong (demam panas). Setiap musin panas tiba, tentu kambuh ”

”Ia mempunyai penyakit jiat-tok-hong, apa hubungannya dengan urusan negara?” tukas Sik- hujin.

”Ah, hujin, kau tak tahukah,” kata Sik Ko, ”karena tersiksa dengan penyakitnya itu, ia lantas timbul ingatan hendak merampas daerah kita sini. Ada orang memberitahukan padaku, ia sering bilang kepada orang-orang bahwa daerah Gui-ciu itu terlalu panas sekali, makanya ia bermaksud hendak pindah ke wilayah Shoa-tang yang lebih nyaman iklimnya. Shoa-tang adalah wilayah propinsi dan ibu kotanya ialah Lo-ciu kita ini.”

”Ah, itu hanya suatu alasan belaka,” kata Sik-hujin.

”Benar, tapi dikarenakan ia mengandung cita-cita begitu, tidak dengan alasan tadipun ia bisa cari alasan lain. Ya, telah kuselidiki betul-betul. Dalam beberapa tahun terakhir ini ia sudah

mengumpulkan anak tentara sebanyak 3000 orang. Dengan pasukan yang diberi nama ’Gwe-thok- lan’ itu ia hendak menyerang kita!”

”Ha, makanya kau lantas serahkan Hong-sian, supaya ia jinak dan batalkan rencananya. Tapi kalau memangnya ia mempunyai nafsu jahat itu, sekalipun sudah terikat famili, masakan ia tak melaksanakannya?” tanya Sik-hujin.

”Kalau sudah menjadi famili, masakah ia tidak merasa rikuh? Dan lagi selama ini kita perlakukan Hong-sian sebagai anak kandung sendiri. Setelah menjadi anggota keluarga Tian, masakah ia takkan melindungi kita?  Ia bukannya seorang gadis biasa ”

”Ya, mengertilah aku,” tukas Sik-hujin, ”kamu mau jadikan Hong-sian sebagai orangmu dalam keluarga Tian, makanya kau begitu ketakutan kalau aku sampai membocorkan rahasianya.

Tentunya kau kuatir kalau ia tahu kau bukan ayah kandungnya, lalu tak mau mati-matian membelamu.”

”Memang begitu, tapi akupun tak mau 100% mengandalkan pada budak perempuan itu,” kata Sik Ko, ”Di samping itu, akupun bermaksud hendak mengikat pernikahan dengan Leng Ho-ciang,

Ciat-tok-su dari Hwat-ciu. Dengna pernikahan segitiga itu, rasanya keamanan masing-masing dapat terjamin. Sayang anak perempuan dari Leng Ho-ciang dan anak lelaki kita masih kecil, jadi urusan pernikahan ini harus menunggu dulu. Sekarang yang paling perlu, kita harus lekas menjadikan pernikahan Hong-sian dengan keluarga Tian itu.”

Sik-hujin menghela nafas, ujarnya: ”Kini kau menjabat kedudukan sebagai pembesar tinggi,

suatu peruntungan yang tak sembarang orang dapat menikmati. Tapi kenyataan, kau selalu hidup dalam kegelisahan, hari-hari kau lewatkan dengan penuh kekuatiran. Itu artinya percuma saja.

Turut pendapatku, lebih baik kau minta pensiun saja pulang ke kampung halaman. Tian Seng-su mau mencaplok daerah Shoa-tang atau tidak, biarkan sajalah. Pernikahan ini tetap kita batalkan!” ”Pikiran wanita yang cupat!” teriak Sik Ko dengan marahnya, ”dengan susah payah kurebut kedudukan Ciat-to-su ini, sekarang kau mau suruh aku lepaskan kedudukan ini untuk orang lain. Hm, hm, tanpa pangkat dan nama apa bisa mendapat kekayaan?” ”Tapi bagaimana kau hendak mempertanggungjawabkan apabila kelah putera Toan Kui-ciang bertanya padamu? Ingat, Toan Kui-caing pun pernah melepas budi besar kepadamu. Dan urusan ini lambat atau laun tentu tak dapat mengelabui Hong-sian, biarpun aku tak bilang, kelak jika putera Toan Kui-ciang datang kemari, ia tentu akan mengatakannya juga. Dan bila Hong-sian sudah mengetahui, ia tentu akan mengutuk kau!”

Air muka Sik Ko menjadi gelap, hawa pembunuhan merangsangnya. Dengan keras ia berseru: ”Jika bocah dari keluarga Toan itu berani datang kemari menunjukkan hal itu, tentu akan kubunuhnya!”

Kejut Sik-hujin bukan kepalang, serunya: ”Ciangkun, itu melanggar perikemanusiaan! Apa yang kau lakukan ini barulah benar-benar memikirkan kepentingan anak kita!”

”Persetan dengan perikemanusiaan segala!” sahut Sik Ko dengan gusar, ”aku berbuat demi kepentingan anak kita!”

”Kau hendak bunuh bakal suaminya, apakah hal itu kau anggap memikirkan kepentingan anak?” sahut Sik-hujin.

Sik Ko tertawa ejek: ”Kau hanya memandang Toan Kui-ciang itu seorang baik-baik, tapi kau tak meneliti bagaimana asal keturunannya!”

”Semasa hidupnya, orang-orang menyebutnya sebagai Toan-tayhiap!” kata Sik-hujin. ”Berapakah harganya sebutan Tayhiap itu per katinya?” Sik Ko mengejek, ”Tayhiap atau Siauhiap hanya merk kosong yang diberikan oleh orang persilatan saja. Paling-paling mereka itu hanyalah bangsa manusia yang bergelandangan di dunia persilatan!”

”Jangan kau memandang begitu rendah pada Toan-tayhiap.  Taruh kata kau lupa akan budinya, tapi kau seharusnya ingat bahwa ia pernah membantu Tio Sun mempertahankan kota Sui-yang, jadi ia seorang yang berjasa kepada negara!” nyonya itu tetap tak mau kalah bicara.

Sik Ko tertawa, katanya: ”Ai, Hujin, mengapa kau begitu kolot?  Dalam jaman kacau begini, siapa yang dapat merebut nama dan kekayaan, itulah yang disebut orang gagah. Apa itu segala macam teori kosong tentang ’tiong-gi’  (kesetiaan dan kebajikan)? Apa sih yang dikatakan

kejujuran? Tio Sun seorang pembesar yang setia, tapi buktinya sampai sekarang ia tak lebih hanya menjabat sebagai Thay-siu dari kota Sui-yang saja. Sejak menakluk pada kerajaan Tong, aku belum pernah menghadapi pertempuran besar, tapi aku tahu apa yang harus kuperbuat. Kuperjuangkan daerah kekuasaan, kukumpulkan anak buah tentaraku, hasilnya kini aku dapat menjabat sebagai Ciat-tok-su!”

Untuk sesaat Sik-hujin tak dapat menjawab, dengan berseri girang Sik Ko lanjutkan ocehannya: ”Anggap sajalah Toan Kui-ciangitu benar-benar seorang Tayhiap yang gagah dan setia kepada negara, ya, tetapi bagaimana seorang Tayhiap dapat menandingi kedudukan Tiang Seng-su sebagai Ciat-tok-su itu? Apalagi Toan Kui-ciang itu toh sudah meninggal, jangan-jangan puteranya yang tiada beribu-bapa itu sudah jadi seorang gelandangan! Hm, hm, kita tidak menjodohkan puteri kita dengan putera seorang Ciat-tok-su, masakah kita malah memberikannya kepada seorang bocah gelandangan! Hm, hm, jika ia berani datang kemari, ya, demi untuk kepentingan anak kita, terpaksa kubunuh dia nanti!”

Karena dirangsang oleh kemarahan lagi takut, sesaat Sik-hujin tak dapat membantah kata-kata suaminya itu. Ia hanya menggerutu panjang pendek: ”Ai, Ciangkun, karena matamu silau pada harta kekayaan dan gila pangkat, lalu kau menghina pada orang. Tapi kurasa sifat anak kita itu tak seperti perangaimu!”

Mendadak Sik Ko tertawa gelak-gelak, katanya kemudian: ”Sampai saat ini, ia tetap menganggap aku sebagai ayah kandungnya sendiri. Apa yang kuperintahkan, ia tentu menurut. Mengapa kau katakan ia tak berperangai seperti aku? Jika tak percaya, biarlah sekarang kupanggilnya kemari, biar kusuruh ia mencaci-maki Toan Kui-ciang agar kau dapat mendengarnya!”

Begitulah Sik Ko bergirang bukan kepalang karena merasa dapat menundukkan sang isteri. Sudah tentu ia tak duga sama sekali, bahwa yang dimakinya sebagai bocah gelandangan, putera Toan Kui-ciang yang bernama Toan Khik-sia itu, sebenarnya pada saat itu berada di luar jendela kamarnya. Tapi Toan Khik-sia tak mendengar seluruh percakapan suami isteri itu. Ia agak terlambat datangnya, jadi hanya dapat mendengar sebagian yakni ketika Sik Ko memaki kalang-kabut pada mendiang ayahnya. Tapi hal itu cukup membuat Toan Khik-sia naik pitam, hampir saja ia mau menerjang masuk, tapi syukur pikiran jernih dapat menguasai dirinya: ”Tiada gunanya juga kubunuh dia. Mengingat ia adalah ayah angkat Su Yak-bwe, untuk sementara ini biarlah kuampuni jiwanya, coba saja bagaimana ia nanti di kemudian hari. Memang sudah lazimlah kalau kaum

pembesar negeri itu tentu korup dan mementingkan diri sendiri, mana aku dapat membunuh mereka yang berjumlah begitu banyak? Semasa hidupnya mendiang ayahku juga tak suka mendendam.

Dengan segala lapang hati beliau telah menolong keluarga Sik Ko. Aku hendak meneladani kepribadian ayah itu, tak bolehlah aku berlaku sempit dada!”

Memikir sampai di sini, redalah kemarahan Toan Khik-sia. Tapi pada lain saat ia menimang

pula: ”Tadi ia katakan kalau Yak-bwe itu perangainya serupa dengan dia, benarkah ini? Ai, celaka, siapa yang dekat gincu tentu merah, yang dekat tinta tentu menjadi hitam. Diasuh oleh seorang ayah begitu macam, mungkin Yak-bwe akan memandang rendah padaku seorang ’bocah gelandangan’  ini!   Memang benarlah, ia sekarang adalah puteri dari seorang Ciat-tok-su. Untuk menjaga kehormatan, sudah selayaknya kalau menikah dengan putera seorang Ciat-tok-su juga!” Tiba pada dugaan semacam itu, perasaan Toan Khik-sia makin bertambah suatu beban kegelisahan.   “Dengan susah payah kudatang kemari untuk mencarinya. Jika ia sampai memicingkan mata, menjebitkan vivir, memandang sebelah mata padaku dan mendamprat aku dengan getas, bukankah diriku ini seperti dibanting kedalam jurang kehinaan?”

Pikiran anak muda itu makin melayang jauh. Ia membayangkan bagaimana tunangannya itu tiba-tiba muncul di hadapannya dengan tingkah laku yang congkak. Sembari berkacak pinggang, gadis itu memakinya: ”Hah, bocah gelandangan dari mana ini? Mengapa berani mati merangkai

cerita kalau aku ini tunangannya sejak kecil? Hm,masakan bocah gelandangan seperti macammu itu layak menjadi suamiku?”

Tiba-tiba lamunan Toan Khik-sia itu tersentak buyar oleh seruan Sik-hujin yang memanggil seorang bujang perempuannya. Nyonya itu suruh si bujang memanggil Hong-sian.

”Bagus, lebih baik kuikuti budak itu ke tempat Yak-bwe. Bagaimanakah keadaannya? Hm, jika benar karena salah asuhan dan kini ia mewarisi perangai jahat seperti Sik Ko, maka aku pun takkan menghiraukannya lagi. Ya, lebih baik begini!” pikir Khik-sia.

Benar ilmu gin-kangnya belum memadai suhengnya yang dapat muncul lenyap seperti bayangan saja, namun ia pun sudah dapat mencapai tingkatan ’cepat laksana angin’. Demikian diam-diam ia menguntit budak perempuan itu, siapa sudah tentu tak merasa dikuntit.

Di sebuah kamar yang indah, berhentilah budak itu. Di dalam kamar itu memancarkan sinar penerangan. Pada kain jendela, tampaklah sesosok bayangan dari seorang gadis. Hati Toan Khik- sia menjadi dag-dig-dug, berdebar-debar tak karuan. Untuk pertama kali itulah ia bakal melihat wajah sang tunangan.

Dengan gunakan Gin-kang, Khik-sia berindap-indap melesat ke belakang jendela dan bersembunyi di dalam semak-semak pohon. Ia mengintip di celah kain gordin jendela yang

setengah tersingkap itu dan, duhai, matanya segera tertumbuk pada seorang nona yang amat cantik dalam pakaiannya yang serba menyedapkan. Tapi yang mengherankan, wajah nona jelita itu suram muram seperti tertutup oleh awan kedukaan. Tangan nona itu sedang menggenggam sebuah tusuk kondai kemala yang bentuknya serupa benar dengan kepunyaannya.

Jantung Toan Khik-sia mendebar keras, pikirnya: ”Mengapa ia menghadapi tusuk kondai kemala itu dengan merenung? Apakah ia sudah mengetahui tentang riwayat tusuk kondai itu?” Saat itu terdengar mulut si jelita berkata seorang diri: ”Ai, aneh, mengapa mamah suruh aku mengeluarkan tusuk kondai ini dan selanjutnya suruh aku memakainya terus, tak boleh

ditanggalkan lagi? Dan mengapa ia mengucurkan air mata di hadapan tusuk kondai ini? Apakah ia tetap terkenang akan Lu-ma? Ya, memang Lu-ma selalu meninggalkan kesan pada kita, tapi bukankah ia hanya seorang mak-inang saja? Mengapa mamah begitu memandang tinggi pada barang peninggalan Lu-ma?”

Walaupun kata-katanya itu diucapkan dengan pelahan, namun dapatlah Toan Khik-sia mendengarnya dengan jelas: ”Oh, kiranya benar-benar seorang nona angkuh dan suka memandang rendah pada lain orang,” demikian pikirnya.

Sudah tentu apa yang dinilai Toan Khik-sia itu hanya apa yang dilihatnya saja.  Padahal Hong- sian itu memperlakukan mak-inangnya itu sebagai ibunya, walaupun ia tak tahu bahwa sebenarnya memang wanita itu adalah ibu kandungnya sendiri.

Tiba-tiba pintu kamar diketuk oleh bujang perempuan tadi.

”Apakah itu Jun-bwe? Mengapa malam-malam datang kemari?” tegur si nona.

Sambil melangkah masuk, budak itu berkata: ”Nona, kau ini benar-benar seorang yang

menghargai kecintaan. Lu-ma sudah meninggal beberapa tahun, tapi kau masih mengenangkannya. Apakah kau sedih melihat tusuk kondai peninggalannya itu? Ah, sudahlah, baik nona jangan bersedih, aku membawa kabar girang bagimu.”

Mulutnya menghibur, tapi anehnya tiba-tiba budak itu tampak muram wajahnya sendiri. Ia menghela nafas, kemudian berkata lagi: ”Ah, jika Lu-ma masih hidup, ia tentu akan girang sekali.” Hong-sian tertegun, ujarnya: ”Jangan mengoceh tak keruan kau!  Mengapa kau katakan aku akan girang?”

Budak itu tertawa: ”Ai, nona masih belum mengetahui bahwa bingkisan orang sudah di dalam perjalanan.”

”Bingkisan apa?” seru Hong-sian keheranan.

”Bingkisan apa lagi kalau bukan dari Gui-pok-ciat-tok-su Tian-ciangkun. Loya telah menjodohkan nona pada putera Tian-ciangkun, kabarnya nanti bulan muka tanggal 15 hari kebahagiaan nona akan dilangsungkan!”

Hong-sian menunduk kemerah-merahan wajahnya. Diam-diam ia membatin: ”Oh, makanya dalam waktu terakhir ini ayah sering memuji-muji putera Tian-ciangkun di hadapanku. Katanya

anak muda itu adalah keturunan dari seorang panglima, seorang pemuda gagah yang memiliki ilmu silat tinggi (tulisan tak terbaca) aku!”

Sementara itu si budak sedang berkata pula dengan tertawa: ”Seorang jejaka kalau sudah besar tentu berumah tangga, seorang gadis jika sudah dewasa tentu keluar pintu. Anak harimau dengan anak harimau, itulah sembabat sekali. Nona, jangan malu-malulah, mari silahkan ikut aku, Hujin sudah menantimu!”

”Apakah mamah memanggil aku?” tanya Hong-sian.

Bujang itu mengiyakan: ”Kurasa hujin tentu akan membicarakan urusan pernikahan padamu.

Nona, akulah yang pertama yang menyampaikan berita girang ini, nanti aku akan minta hadiah pada nona.”

”Hadiah apa? Minta hadiah sebuah tamparanku?” kata si nona.

Budak itu tertawa cekikikan, serunya: ”Aduh, celaka aku, biar nanti kuadukan Hujin bahwa nona tak dapat membedakan mana yang harus diberi hadiah dan mana yang diberi hukuman.”

Jika kedua majikan dan bujangnya itu tengah berkelakar dalam kamar, adalah di luar sana Toan Khik-sia seperti disayat sembilu hatinya. Pikirnya: ”Tampaknya ia tak menentang urusan pernikahan itu!”

Lagi-lagi Toan Khik-sia tidak bijaksana didalam menjatuhkan prasangka. Pada masa itu, gadis tidak mempunyai hak untuk memilih pasangannya. Semuanya diatur oleh pihak orang tua yang mengambil keputusan dari keterangan kaum bah-tau (comblang). Hong-sian sama sekali tak tahu siapa dan bagaimanakah putera Tian Seng-su itu. Baikkah atau jelekkah? Lebih-lebih ia tak tahu bahwa dirinya sejak kecil sudah dipasangkan dengan Toan Khik-sia. Jadi terhadap urusan pernikahan itu, ia tak mempunyai pendirian apa-apa.

Tiba-tiba Hong-sian berseru: ”Hai, Jun-bwe, dengan siapa kau datang kemari ini, mengapa tak suruh dia masuk?”

Ternyata karena getaran sang hati, tanpa sadar Khik-sia telah menyentuh tangkai bunga hingga mengeluarkan suara berkeresekan.

Budak itu tersentak heran, jawabnya: ”Hanya aku seorang diri, masakan membawa kawan?” Belum habis kata-kata bujang itu, Hong-sian sudah mendorong daun jendela dan sebat sekali ia sudah loncat keluar. ”Hai, siapakah yang bersembunyi di situ?” bentaknya. Karena sudah kepergok, Toan Khik-sia pun tak mau main sembunyi lagi. Ia loncat keluar dari semak pohon, lalu berkata dengan mengejek: ”Kuhaturkan selamat pada nona yang akan mendapat jodoh seorang baik-baik! Tapi kukuatir ayah-bundamu yang berada di alam baka itu akan berduka hatinya!”

Mendadak ada seorang pemuda tak dikenal berdiri di hadapannya, kejut Hong-sian bukan kepalang. Buru-buru ia cabut pedangnya dan membentak: ”Apa katamu? Siapa kau ini, mengapa tengah malam buta berani menyelundup masuk kemari? Rasanya kau ini tentu bukan orang baik- baik, bukan bangsat tentu pencuri!”

Toan Khik-sia tertawa lebar, sahutnya: ”Aku bukan orang baik-baik, bukan penjahat tentu pencuri? Ha, ha, puaskanlah hatimu untuk memaki aku dengan kata-kata apa saja! Nah, biar kuberitahukan padamu, aku ini putera dari Toan Kui-ciang!”

Sepasang alis Hong-sian berjungkat lalu mendamprat lagi: ”Ha, benar, bukan orang baik-baik. Maling kecil, lihat pedangku!”

”Bagus, menyebut diriku maling kecil, maling kecil lebih buruk lagi dari gelandangan kecil,” pikir Khik-sia sembari menghindar. Berturut-turut ia menghindari tiga kali serangan pedang,

setelah itu baru menegur: ”Nona besar, mengapa kau mengecap diriku sebagai seorang penjahat?” Hong-sian tertawa dingin, menyahut: ”Naga tentu beranak naga, dan burung hong tentu beranak burung hong. Anak perampok kemana parannya lagi?”

Marahlah Toan Khik-sia dengan hinaan itu. ”Kau menghina aku itu masih mending, tapi kau berani juga memaki orang tuamu, kau punya hm, memaki ayahku.”

Hampir saja mulutnya mengatakan ’kau punya mertua’. Untung ia teringat agar lebih baik jangan mengatakan hal itu dulu.

Hong-sianpun gusar, pikirnya: ”Bangsat kecil ini benar-benar kurang ajar, masakan arwah ayahnya seorang perampok, dijadikan orang tuaku.” Seketika ia berseru semakin bernafsu: ”Menteri pemberontak, anak perampok, tidak layakkah dimaki? Tetap akan kumaki ayahmu pejabat itu, nah kau mau apa?”

Sudah tentu Khik-sia tak mengetahui mengapa Hong-sian memaki ayahnya perampok dan

dirinya sebagai keturunan penjahat itu. Padahal bukan tak ada sebabnya Hong-sian berbuat begitu. Itulah Sik Ko yang menjadi gara-garanya. Kuatir keluarga Toan akan mengutus orang untuk menarik janji pernikahan dengan Hong-sian, maka Sik Ko lantas merangkai cerita. Kepada ’puterinya’, Sik Ko sering menceritakan tentang kejadian-kejadian di dunia persilatan. Ia katakan: Toan Kui-ciang itu seorang penjahat yang ganas, kemudian dapat ditangkap oleh tentara negeri dan dihukum mati. Sik-hujin karena takut akan suaminya, jadi tak pernah menyebut-nyebut nama Toan Kui-ciang di hadapan’puterinya’ itu. Jadi dalam pengetahuan Hong-sian, Toan Kui-ciang itu adalah tokoh jahat seperti apa yang digambarkan Sik Ko. Sudah tentu terhadap sang ’ayah’ itu, Hong-sian tak ada alasan untuk tak mempercayainya.

Saking gusarnya panca-indera Toan Khik-sia seperti mengeluarkan asap. ”Jika masih memaki lagi, tentu kutampar mulutmu!” bentaknya sembari secepat kilat merapat maju, terus ulurkan tangannya ke muka si nona.

Hong-sian terperanjat. Ia bermaksud menarik pedangnya untuk menghalau tapi sudah tak keburu.   Untung Toan Khik-sia tiba-tiba merubah ingatannya. Pikirnya: ”Ah, tidak boleh.

Walaupun ia belum menikah padaku, tapi ia sudah dijodohkan menjadi isteriku. Sebelum janji perjodohan itu dibatalkan, turut kesopanan aku tak boleh memukulnya. Apalagi aku tak boleh dipengaruhi oleh nafsu amarah seketika, lantas melupakan hubungan akrab dari keluarga Toan dan Su pada masa yang lampau.”

Ternyata ilmu silat Hong-sian pun tidak lemah. Hanya sekejap saja Toan Khik-sia ragu-ragu

tadi, Hong-siang sudah lantas menyabat tangan si anak muda. Jika Toan Khik-sia tak cepat-cepat menarik tangannya, jarinya tentu sudah terpapas kutung.

Bermula karena melihat orang hanya bertangan kosong saja, Hong-sian hanya bermaksud akan meringkusnya saja untuk diserahkan kepada ayahnya. Tapi setelah tadi hampir saja ia termakan tamparan si anak muda, dari malu menjadi gusar. Pikirnya: ”Ha, anak perampok ini lihay juga! Ah, tolol benar aku ini mengapa akan memberi kelonggaran pada bangsa penjahat. Jika tak kuberi hajaran, seumur hidup aku tak dapat mencuci hinaan tadi!”

Hong-sian mewarisi ilmu pedang dari Biau Hui Sin-ni. Dalam gusarnya, Hong-sian mainkan pedangnya dengan gencar untuk mengarah jalan darah yang berbahaya dari si anak muda. Benar ilmu gin-kang Toan Khik-sia sudah cukup sempurna, tapi dengan gunakan ilmu gong-chiu-jip-pek- jim (dengan tangan kosong merampas senjata), ia tetap tak mampu merebut pedang ceng-kong- kiam Hong-sian. Paling-paling Toan Khik-sia hanya dapat menjaga diri agar jangan sampai termakan pedang saja.

Seperti diketahui, sebenarnya anak muda itu mempunyai ribuan kata-kata hendak diucapkan di hadapan si jelita itu (termasuk keputusannya yang datangnya secara tiba-tiba, yakni hendak membatalkan saja janji perjodohan itu!  Tapi berhadapan dengan si nona yang se (tidak terbaca)

untuk bicara?

Pada saat itu mendadak Toan Khik-sia balikkan tubuh sambil kebatkan lengan baju si anak

muda tapi pedangnyapun segera tergubat oleh lengan baju lawan. Dicobanya untuk menarik, tapi tak berhasil.

Toan Khik-sia menghela nafas longgar, kemudian tertawa gelak-gelak: ”Nona, kau keliru!” Sebenarnya Hong-sian sudah kuatir kalau-kalau si anak muda akan balas memukul, maka ia pun menjadi tertegun demi anak muda itu hanya mulutnya saja yang berkata-kata.

”Bagaimana kesalahanku?” serunya.

”Turut ucapanmu tadi, air tentu mengalir ke bawah, artinya bagaimana orang tuanya tentu bagaimana itu pula anaknya. Dalil itu salah. Dirimu sendiri itu, menjadi bukti yang nyata!” kata Khik-sia.

Sudah tentu Hong-siang tersentak heran, tanyanya: ”Apa maksud kata-katamu itu?”

”Ayah kandungmu sendiri adalah seorang manusia terpelajar, gagah perwira dan arif bijaksana. Beliau adalah seorang lelaki jantan yang pantang perbuatan haram, tak gentar menghadapi ancaman, seorang yang berhati lurus dan mulia! Kau adalah puterinya, tapi mengapa sedikitpun kau tak mewarisi sifat-sifatnya yang mulia itu?”

Setelah diangkat menjadi panglima daerah, Sik Ko mempunyai kekuasaan besar.   Sejak itu dirinya seolah-olah dipagari oleh orang-orang yang pandai menjilatnya. Sampai-sampai Hong-sian

sendiri sudah merasa jemu mendengar ’puji sanjung’ dari kawanan penjilat itu. Tapi selama itu, tak pernah ia mendengar ada orang yang memuji-muji seperti apa yang diucapkan Toan Khik-sia itu. ”Ayahku seorang Bu (militer), ia jarang sekali membaca buku. Pelajaran ilmu surat dan syair

yang kupelajari di waktu kecil, adalah Lu-ma yang mengajarkan padaku. Sebagai seorang Ciat-tok- su, setiap hari ayah sibuk dengan urusan kantor, jadi tak sempat mengenal segala macam filsafat budi pekerti. Kata-kata pujiannya tadi, tak tepat bagi ayah,” pikir Hong-sian.

Tapi dalam pada itu diam-diam ia terperanjat juga melihat tutur kata si ’penjahat’ kecil itu. Tanpa disadari ia bertanya: ”Turut katamu tadi aku ini tak sepadan dengan ayahku, habis dalam pandanganmu, bagaimanakah diriku ini?”

”Kau? Ai, kau sudah diracuni Sik Ko. Turut penglihatanku, kau sudah berubah menjadi seorang siau-jin yang temaha kekayaan. Kalau tidak, tak nanti kau berpeluk tangan menunggu- nunggu jadi menantu seorang Ciat-tok-su, pula tak nanti kau memaki aku sebagai maling kecil!” jawab Toan Khik-sia.

Selebar muka Hong-sian merah padam dibuatnya. Dengan gusarnya ia menyemprot: ”Bicaramu ini pagi hitam, sore putih. Baru saja mulutmu memuji ayah, kini lidahmu sudah berganti nada memakinya!”

”Memang benar, yang kupuji itu ialah ayah kandungmu yang asli, dan yang kumaki ialah si Sik Ko! Bukankah tadi kau memaki ayahku? Kau memaki ayahku sebagai menteri pemberontak dan perampok. Padahal seharusnya kata-kata itu adalah buat alamatnya Sik Ko! Dia pernah bertekuk lutut menghamba pada An Lok-san dan lagi ia justeru berasal dari kalangan Lok-lim!”

Marah Hong-sian tak dapat dikendalikan lagi. Tak tunggu si anak muda menghabiskan kata- katanya, ia sudah mendampratnya: ”Ngaco belo! Kalau bukan gila, tentulah kau memang sengaja hendak menghina kami ayah dan anak, lihat pedangku!”

Dan sekali gentakkan pedangnya dari libatan lengan baju, ia lantas menusuk. Toan Khik-sia menghindar lagi, serunya lantang-lantang: ”Apakah kau masih tak jelas? Kau akui seorang penjahat sebagai ayah! Jika kau masih begitu limbung, ayah bundamu yang sudah meninggal itu tentu tak dapat meram di alam baka!”

Dengan ucapan itu sudah dua kali Toan Khik-sia memperingatkan Hong-sian kalau ayah bundanya sudah meninggal. Pertama tadi, ketika ia memergoki Toan Khik-sia bersembunyi di luar kamar. Mungkin karena terkejut melihat seorang asing muncul dengan tiba-tiba, Hong-sian buru- buru mencabut pedang dan tak menghiraukan kata-kata anak muda itu. Tapi untuk ucapan Toan

Khik-sia yang terakhir ini, benar-benar ia mendengarnya dengan jelas. Hatinya tergetar malu, gusar dan heran. Sambil menusuk, ia memaki: ”Kurang ajar, dah mengaku penjahat sebagai ayahmu!” Khik-sia tetap tertawa dingin dan menegaskan lagi: ”Ya, kau sudah mengaku penjahat sebagai ayahmu!”

Sudah tentu Hong-sian tak percaya. Dalam gusarnya, ia putar pedangnya makin gencar. Oleh karena sibuk melayani, jadi Toan Khik-sia tak sempat berbicara lagi.

Sekonyong-konyong terdengar suara Sik Ko membentak: ”Hai, siapa itu? Berani mati menyelundup ke dalam gedung Ciat-to-hu sini?”

Kiranya karena sampai sekian lama Hong-sian tak datang, Sik Ko lantas lari menjenguknya.

Demi melihat Hong-sian menghunus senjata dan tengah bertempur dengan seorang asing, kejutnya bukan kepalang.

”Yah, lekas kemarilah! Ini ada seorang gila yang mengaku sebagai anaknya Toan Kui-ciang!” seru Hong-sian.

(Halaman 34-35 kosong !!!!)

Ada pula yang menerangkan: ”Loya tadi bertempur dengan si penjahat, mungkin Loya kelewat capek menggunakan tenaganya.”

Mendengar laporan itu Sik-hujin terperanjat dan marah, dampratnya: ”Kalian semua ini hanya kawanan tukang gegares belaka. Masakan ada penjahat masuk ke sini, kalian tak tahu sama sekali hingga bikin kaget nona dan Loya saja!”

”Ma, mereka tak dapat dipersalahkan. Penjahat itu lihay sekali!” kata Hong-sian.

”Siapa penjahat yang bernyali besar itu?  Apakah kau masih ingat bentuk rupanya? Panggil kepala pengawal untuk menangkapnya!”

”Penjahat itu adalah anaknya Toan Kui-ciang. Ia amat tangguh sekali, dapat muncul lenyap menurut sesuka hatinya.  Percuma panggil pengawal ”

Belum habis si nona menutur, Sik-hujin tampak seperti orang yang tiba-tiba terserang penyakit demam, tubuhnya menggigil, wajahnya pucat lesi. Dengan nada sember ia berkata: ”Ah, ia benar- benar datang memenuhi janji!”

Hong-sian buru-buru memapak Sik-hujin. Pikirannya menjadi gundah, tanyanya: ”Mah, apa maksud katamu itu?”

Sik-hujin tenangkan goncangan hatinya. Sesaat ia tersadar akan kata-katanya yang terluncur dari mulutnya tadi. Ia anggap urusan itu tak boleh diceritakan di hadapan orang banyak. Katanya: ”Ah, tidak apa-apa.   Tadi karena ketakutan, aku sampai mengoceh tak keruan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, setelah memegang kekuasaan militer, ayahmu telah membunuh banyak jiwa.

Aku kuatir ada roh penasaran yang menagih jiwa padanya. Lekas angkut ayahmu ke dalam!”

Di dalam Ciat-to-hu ada seorang tabib. Selekasnya tabib itu segera dipanggil. Setelah memeriksa nadi pernafasannya, si tabib memberi keterangan bahwa pembesar itu tidak apa-apa hanya apa yang disebut ’golakan hawa panas menyerang ulu hati’. Tetapi harus beristirahat secukupnya. Kemudian tabib itu menulis resep.

Sik-hujin lega hatinya mendengar keterangan tabib itu. Ia segera suruh orang-orang berlalu dan hanya tinggalkan seorang budak perempuan untuk menjaga suaminya. Setelah itu ia berkata kepada Hong-sian: ”Pergi ke kamar, aku hendak bicara padamu!”

Dengan hati tak tenteram, Hong-sian mengikuti Sik-hujin menuju ke kamar rahasia. Setelah mengancing pintunya, Sik-hujin lalu bertanya dengan pelahan-lahan: ”Apa yang dikatakan oleh putera Toan Kui-ciang kepadamu tadi?”

Hong-sian menerangkan: ”Banyak sekali yang dikatakannya kepadaku, tapi kata-katanya ini aneh-aneh seperti orang gila. Huh, lebih baik kau jangan dengarkanlah.”

”Tidak, karena toh urusan sudah berlarut, aku pun tak takut mendengarkannya. Ya, apa katanya?” kata Sik-hujin.

Apa boleh buat Hong-sian menuturkan: ”Ia bilang ayah dan mamah ini bukan orang tuaku yang asli. Ayah dan ibu kandungku sudah meninggal dunia. Mah, apakah hal itu benar?”

Sik-hujin menggigit bibir, wajahnya tampak gelap. Sekonyong-konyong ia pegang tangan Hong-sian untuk menjaga kalau dirinya jatuh, kemudian dengan suara berat berkata: ”Memang benar!”

Kejut Hong-sian tak terkatakan dan menjeritlah ia: ”Apa benar? Mah, mengapa dulu-dulu kau tak memberitahukan padaku? Siapakah orang tuaku yang asli, bilamana mereka meninggal?”

Sik-hujin mulai dapat menenangkan hati. Katanya dengan pelahan: ”Akan kuberitahukan padamu, tapi kau harus lebih dulu kasih tahu padaku apa lagi yang dikatakan Toan-kongcu tadi?” Mendengar Sik-hujin berganti bahasa menyebut ’Toan-kongcu’, keheranan Hong-sian makin menjadi-jadi. Pikirnya: ”Ia memukul ayah, tetapi mengapa mamah masih begitu mengindahkannya? Ah, disitu tentu terselip sesuatu!”

Sekalipun saat itu sudah tahu bahwa Sik-ko dan isterinya itu bukan ayah-bunda kandungnya, namun Hong-sian masih tetap membahasakan ”ayah-mamah” kepada mereka.

Setelah merenung sejenak, wajah Hong-siang tiba-tiba memerah, katanya: ”Mah, ia memaki aku

....”

”Ha, ia memaki padamu? Memaki apa saja?” tanya Sik-hujin.

”Ia memaki aku memaki aku ’menanti-nanti menjadi nyonya mantu Ciat-tok-su’. Mah,

apakah benar-benar ayah hendak menjodohkan aku dengan putera Tian-pehpeh?”

Hong-sian seorang nona yang memiliki ilmu silat, jadi nyalinya besar. Namun membicarakan tentang masalah perkawinan, tak urung wajahnya merah kemalu-maluan juga.

Sebelum menjawab, lebih dulu Sik-hujin menghela nafas, ujarnya: ”Oh, makanya Toan-kongcu begitu marah, memang ayahmu telah berbuat salah. Untung kita belum menerima panjar dari keluarga Tian.”

Mendengar di dalam kata-kata Sik-hujin itu ada sesuatu hal, Hong-sian bertanya pula: ”Mah, aku masih belum berminat kawin. Tetapi ada sangkut-paut apa dengan orang she Toan itu?”

(Halaman 38-39 kosong !!!)

...... kecil.

”Ah, makanya dia telah memaki aku sebagai anak yang tak berbakti!” diam-diam ia teringat akan ucapan Toan Khik-sia.

Ia menghapus air matanya, memakai tusuk kondai kemalanya lagi terus berjalan keluar. Sik- hujin menghela nafas dalam. Ia insyaf bahwa sejak itu ia bakal kehilangan seorang anak yang sudah dianggapnya sebagai puterinya sendiri. Tapi iapun merasa terhibur karena sejak saat itu, hatinya bebas dari kutukan liang-simnya (nurani) sendiri.

oooooOOOOOooooo

Tak berapa lama Sik Ko pun tersadar dari pingsannya. Begitu membuka mata ia segera menampak puterinya – Yak-bwe berdiri di depan tempat tidurnya.

”Apakah penjahat tadi sudah lari? Bagaimana mamahmu?” tanya Sik Ko dengan gelisah. ”Mamah berada di kamar belakang. Ayah, anak tidak berbakti, maafkanlah aku tak dapat merawatimu,” kata Yak-bwe.

Sik Ko berjengat kaget dan loncat bangun. ”Apa apa katamu?”

”Kali ini anak sengaja datang menghaturkan selamat tinggal!”

Mendengar itu naiklah darah Sik Ko: ”Kau mau ikut pada maling kecil itu? Dia bilang apa padamu? Sian-ji, jangan sekali-kali kau percaya pada ocehannya!”

Tenang-tenang Yak-bwe menjawab: ”Janganlah ayah marah. Anak sekali-kali takkan ikut padanya. Tapi yang benar, dia itu bukan maling atau penjahat. Yah, semuanya anak sudah tahu, jangan kau sembarangan memaki orang.”

Saking gusarnya tubuh Sik Ko sampai menggigil. Tapi ia insyaf, bahwa kedudukannya hanya tergantung pada ’puterinya’ itu. Ia berusaha untuk menekan kemarahannya, katanya dengan nada gentar: ”Sian-ji, apa saja yang telah kau ketahui itu?”

”Yang sudah lampau, janganlah kita bicarakan lagi. Yah, kutahu kau sedang meresahkan sesuatu hal. Kau takut Tian-pehpeh akan merampas daerah Lo-ciu ini, bukan?”

’oh, jadi mamahmu sudah memberitahukan padamu tentang urusan pernikahanmu? Tak mengapalah, Sian-ji, meskipun kau bukan anak kandungku, tapi sejak kecil kau kuperlakukan sebagai darah dagingku sendiri, kan? Sekarang aku sedang dalam kesulitan. Di atas pundakmu hendak kuletakkan sebagian beban kesulitan itu. Dengan menikah pada keluarga Tian, pertama hubungan kedua keluarrga menjadi baik yang berarti juga akan lenyapnya ancaman itu. Kedua, bagimupun ada baiknya. Baik buruk Tian Seng-su itu juga seorang Ciat-tok-su. Suamimu adalah puteranya yang sulung. Setelah nanti Tian Seng-su mengundurkan diri, sudah tentu kedudukannya akan diserahkan puteranya itu. Pada waktu itu kau tentu menjadi It-bin-hujin (nyonya agung).

Kekayaan dan keagungan akan kau miliki semuanya. Sian-ji, jangan kau bimbang-bimbang lagi!” Yak-bwe tahankan amarahnya untuk mendengarkan ceramah Sik Ko. Setelah itu barulah ia bicara: ”Adalah karena hendak membalas budi ayah terhadap diriku selama bertahun-tahun itu, maka aku sengaja datang kemari untuk turut memikul beban kesusahanmu ”

Girang Sik Ko bukan buatan. Belum Yak-bwe habis bicara, ia sudah lantas menyeletuk: “Jadi dengan begitu, berarti kau setuju akan pernikahan itu. Bagus, kau benar-benar puteriku yang manis!”

”Yah, membantu kesukaran dengan urusan pernikahan adalah dua perkara. Ayah boleh legakan pikiran, aku mempunyai daya untuk membuat Tian-pepeh tak berani mengganggu Lo-ciu, tapi untuk itu aku perlu pinjam cap kebesaran Ciat-tok-su.”

Sik Ko kembali tersentak kaget, serunya: ”Perlu apa kau pinjam capku itu? Sian-ji, aku tak memperlakukan kau buruk ”

Yak-bwe mengambil keluar sepucuk surat, katanya: ”Adalah karena hendak membantu kesukaran ayah, maka aku hendak pinjam cap itu untuk dibubuhkan pada surat ini.” ”Surat apa itu?” tanya Sik Ko.

”Dengan mencontoh gaya ucapan ayah, aku telah menyiapkan sepucuk surat kepada Tian- pepeh. Surat ini surat biasa saja, isinya hanya menanyakan kewarasan Tian-pepeh. Apakah ayah kepingin kubacakan?”

Sik Ko terheran-heran, tanyanya: ”Apa artinya itu? Tak hujan tak angin mengapa menanyakan kewarasannya?”

”Memang surat biasa itu tak ada artinya jika diantar oleh seorang pegawai kita. Tapi akan berubah maknanya, jika aku sendiri yang akan mengantarkannya,” kata Yak-bwe.

Sik Ko berasal dari kalangan Lok-lim. Segera ia mengetahui persoalannya. ”Ho, jadi kau mau menggunakan siasat kirim golok meninggalkan surat!”

”Hanya meninggalkan surat tak perlu menitipkan golok. Tapi cukup untuk mematahkan nyali

Tian-pepeh juga. Hanya saja bila ayah masih menganggap kurang cukup, biarlah nanti kuunjukkan sedikit ’gaya’ padanya!”

Tersipu-sipu Sik Ko goyangkan tangannya: ”Jangan, jangan, masih belum perlu! Kau, kau ”

Sebenarnya Sik Ko hendak mengatakan ’kau sudah menjadi anggota keluarga Tian’. Tapi denganwajah membaja Yak-bwe sudah lantas menukasnya: ”Kau setuju rencanaku itulah baik, tidak pun boleh. Tapi yang pasti, tak nanti aku menikah dengan keluarga Tian. Kini aku sudah mengetahui bagaimana asal-usul keturunanku. Bagaimana kelak seharusnya aku menjadi manusia, aku sudah mempunyai pendirian sendiri, tak usah ayah kesal-keal memikirkan diriku lagi.”

Sik Ko cukup paham akan puterinya itu. Pikirnya: ”Jika ia memaksa akan pergi, apa dayaku

untuk menghalanginya? Bahwa ia datang mengajak berunding padaku itu membuktikan bahwa ia masih tak melupakan budiku, ia masih menganggap aku sebagai ayah. Tapi dengan rencananya itu, terang akan menyalahi keluarga Tian. Jika caranya melaksanakana kurang pandai, tentu akan menimbulkan bencana!”

Ia merenung sebentar, pikirnya pula: ”Tapi jika tak menurut kehendaknya, ia tentu mengambek dan tinggal pergi. Kalau sampai pihak keluarga Tian datang menjemput mempelainya, bagaimana akan kujawabnya? Ini juga dapat mengundang bahaya. Ah, celaka, kabarnya bingkisan keluarga Tian sudah berada dalam perjalanan, kukuatir dalam 2-3 hari ini tentu sudah datang.”

Selagi Sik Ko dalam kebingungan, tiba-tiba di luar terdengar suara orang ribut mulut. Ketika didengarjanya ternyata salah seorang pengawalnya yang menjabat Koan-su (pengurus rumah tangga) tengah ribut dengan bujang perempuan yang menjaga kamar situ.

”Aku hendak melaporkan suatu urusan penting pada Tayswe, mengapa kau menghalangi?” kata Koan-su itu.

Jawab si budak perempuan” ”Malam ini Tayswe mengalami kaget, harus beristirahat. Jangan keras-keras bicara nanti membikin kaget Tayswe pula.”

Mendengar itu Sik Ko berseru keras-keras: ”Aku sudah bangun, ada urusan apa itu, suruh dia masuk!”

Kemudian ia membisiki Yak-bwe: ”Coba kau bersembunyi di belakang pintu angin sana dulu!” Koan=su malam-malam datang melapor, tentu ada kejadian yang buruk. Demikian Sik Ko menimang-nimang dalam hati. Saat itu masuklah si koan-su. Setelah memberi hormat, ia melapor: ”Sebenarnya hamba tak berani mengganggu Tayswe, tapi karena sebuah urusan yang luar biasa pentingnya, jadi terpaksa datang kemari juga.”

Sik Ko kerutkan keningnya lalu memberi perintah: ”Jangan banyak ini itu, lekas ceritakan!” Dengan naga gemetar koan-su itu berkata: ”Barang bingkisan yang dikirimkan Tian-ciangkun, di tengah jalan telah dirampas orang!”

Sik Ko terbeliak, kaget, serunya: ”Di mana?” ”Dalam daerah Lo-ciu!”

”Siapa yang merampasnya?” tanya Sik Ko.

Koan-su menerangkan: ”Kabarnya adalah gerombolan penyamun dari gunung Kim-ke-san dan seorang pemuda yang menurut desas-desus puternya Toan Kuui-ciang ”

Sik Ko marah sekali. ”Hm, lagi-lagi maling kecil itu!” ia menggeram.

Si koan-su melongo, ia melanjutkan laporannya: ”Tian-ciangkung mengutus orangnya kemari memberitahukan bahwa perampasan itu terjadi dalam daerah kekuasaan kita, maka Tian-ciangkun minta Tayswe menangkap penjahatnya. Tian-ciangkun mengatakan pula, apabila Tayswe kekurangan tenaga, ia suka mengirimkan pasukannya yang disebut Gwe-thok-lam yang terdiri dari 3000 orang, untuk membantu Tayswe.”

Wajah Sik Ko berubah membesi. Ia memberi isyarat tangan pada Koan-su itu: ”Ya, aku sudah mengerti, kau boleh pergi!”

Mengapa tiba-tiba wajah Sik Ko berubah membesi itu? Kiranya pasukan Gwe-thok-lam itu, memang khusus dibentuk Tian Seng-su untuk menyerang daerah Lo-ciu. Kebetulan terjadi peristiwa pembegalan barang bingkisan. Dengan alasan hendak membantu Sik Ko, Tian Seng-su akan mengirim pasukan itu ke Lo-ciu. Ini berarti mengundang harimau ke dalam rumah. Sik Ko menginsyafi hal itu. Maka marah tapipun keder juga.

Begitu koan-su pergi, Yak-bwe lantas keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan muka berseri girang ia berseru: ”Yah, ini kebetulan sekali!”

Sik Ko makin gusar, geramnya: ”Bencana bakal datang, mengapa kau katakan kebetulan?

Apakah kau tak dengar laporan koan-su tadi yang mengatakan bahwa Tian Seng-su akan mengirim pasukannya Gwe-thok-lam kemari?”

Yak-bwe tertawa: ”Barang antaran itu dirampas orang, apakah itu bukan kebetulan sekali?

Dengan tak menerima barang antarannya, tentu mudahlah kelak kau membatalkan urusan pernikahan itu. Tanpa repot-repot mengangkut barang-barang itu kesana-sini, dan aku dapat pergi dengan leluasa.”

Sik Ko meringis dibuatnya. Sampai beberapa saat baru ia berkata: ”Sian-ji, kau tak suka menikah dengan keluarga  Tian, tak usah kau mengucapkan kata-kata begitu. Coba kau pikirkan saja, setelah barang antarannya hilang, mana ia merasa puas padaku? Ia mengatakan hendak membantu aku membekuk penjahatnya, tapi itu hanya alasan kosong. Menangkap penjahat itu hanya pelabi saja, yang benar ia hendak menduduki daerah Lo-ciu kita ini. Nah, bagaimana kau hendak suruh aku menghadapinya?”

”Justru karena itulah, maka ayah tak usah takut menyalahinya. Mengapa kau tak ijinkan aku mencoba rencanaku tadi, siapa tahu kalau bencana akan dapat dilenyapkan.”

Sekarang barulah Sik Ko mulai tergerak hatinya, pikirnya: ”Ya, ia benar. Jika berhasil, Tian

Seng-su tentu dapat dipaksa tak berani mengganggu Lo-ciu. Kalau gagal, pun paling-paling hanya mengorbankan jiwa seorang Hong-sian saja, toh anak itu bukan anak kandungku sendiri.”

Habis mengambil ketetapan, ia segera mengeluarkan cap Ciat-tok-sunya. Namun ia masih pura- pura prihatin, ujarnya: ”Sian-ji, gedung Tian Seng-su itu dijaga ketat sekali, kau harus hati-hati. Ai, jika ada lain daya, sungguh aku tak merelakan kau pergi ke sana!”

Yak-bwe membubuhkan cap itu ke atas suratnya, katanya: ”Aku dapat menyesuaikan gelagat, harap ayah lepaskan pikiran. Atas budi kebaikan ayah yang sudah memelihara aku sampai sekian besar ini, sudilah ayah menerima sembah baktiku!”

Habis memberi hormat, Yak-bwe terus tinggalkan gedung Ciat-tok-su.   Sik Ko seperti kehilangan sesuatu. Ia tahu bahwa sejak saat itu, sang ”puteri” tentu tak kembali lagi. Tapi iapun

merasa terhibur juga: ”Anak itu cukup berbakti. Sudah tahu akan asal-usulnya, namun toh ia masih tak lupa untuk membalas budiku.”

Dalam renungannya, tiba-tiba ia teringat akan perbuatannya yang lampau. Sungguh ia menyesal demi teringat akan perlakuannya terhadap ayah-bunda Yak-bwe dahulu .....

Sekeluarnya dari gedung Ciat-to-su, Yak-bwe rasakan dirinya bebas di alam raya. Girang dan terkenang juga akan bayang-bayang kehidupannya yang lampau.

”Sejak ini, akupun juga seorang gadis dunia persilatan,” pikirnya. Sesaat terlintas bayangan Toan Khik-sia dalam kalbunya, pikirnya pula: ”Kelak apa bila berjumpa lagi, mungkin ia tak memandang rendah diriku lagi!”

Teringat ia akan Sik-hujin yang menanyai apakah ia menyukai calon suaminya itu? Kala itu ia elakkan pertanyaan dengan menjawab masih belum memikirkan soal perkawinan. Padahal sejak mengetahui bahwa Toan Khik-sia itu adalah bakal suaminya, sesaatpun pikirannya tak pernah lepas pada anak muda itu!

Sebentar ia bergirang, sebentar gelisah, pikirnya: ”Ia seorang pemuda yang baik pribadinya, berilmu silat tinggi dan gagah serta cakap parasnya. Pemuda seperti itu sungguh jarang terdapat di dunia.”

Tiba pada renungan bahwa pemuda itu ternyata menjadi calon suaminya, muka Yak-bwe menjadi merah. Diam-diam hatinya bergirang. Tapi demi mengingat dalam perjumpaan pertama

itu ia sudah bertengkar dengan pemuda itu, ia kuatir pernikahan mereka akan gagal. Mau tak mau Yak-bwe merasa gundah hatinya.

Setelah menempuh perjalanan selama tujuh hari, tibalah Yak-bwe di wilayah Gui-pok (sekarang Tay-beng-koan di propinsi Ho-pak). Dalam masyarakat kerajaan Tong pada masa itu, pergaulan

antara pria dan wanita agak bebas, tidak sekolot seperti sesudah ahala-ahala belakangan. (menurut penyelidikan ahli sejarah Tan In-kho, Li Yan pendiri ahala Tong itu berasal dari keturunan suku Ih, sebuah suku yang tak terlalu kukuh pada adat istiadat. Terjadinya aliran kolot yang membuat adat istiadat feodal, baru dimulai pada ahala Song).

Pada jaman Tong itu, terutama di daerah utara, soal kaum pria bergaul dengan wanita dan

wanita berkelana di luaran, adalah sudah jamak. Begitupun Yak-bwe yang kala itu menyaru sebagai kaum kelana, setibanya di daerah Gui-pok, pun tak menimbulkan perhatian orang sama sekali.

Malamnya, Yak-bwe ganti pakaian ringkas, lalu menuju ke gedung Ciat-tok-su. Ia seorang nona yang memiliki Gin-kang sempurna dan ilmu pedang lihay. Sekalipun begitu karena baru pertama kali itu berkelana, tak urung hatinya berdebaran juga.

”Aku telah menepuk dada di hadapan ayah. Kalau sampai pulang dengan hampa tangan, wah, malulah!” demikian pikirnya. Kemudian ia merasa geli sendiri. ”Beberapa hari yang lalu, ia (Toan Khik-sia) secara diam-diam masuk ke gedung ayah dan aku memakinya sebagai pencuri kecil. Ah, tak nyana kalau sekarang akupun juga memasuki gedung Tian-pehpeh secara diam-diam dan menjadi pencuri kecil juga.”

Setelah melewati tembok, masuklah ia ke taman belakang dari Ciat-tok-hu. Ternyata di bagian taman situ sunyi senyap keadaannya, tak tampak barang seorang penjaganya sama sekali. Ia menunggu beberapa saat. Jangankan kawanan penjaga, sedangkan kentongan ronda pun tak kedengaran bunyinya.

”Konon kabarnya Ciat-tok-su Tian-pehpeh itu dijaga kuat sekali. Tiga ribu anak buah pasukan Gwe-thok-lam, tiap-tiap malam bergiliran menjaga gedung ini. Tapi mengapa tak ada apa-apanya?

Apakah kabar itu hanya kabar bohong belaka? Jika begini naga-naganya penjagaan di gedung ayah itu lebih baik dari sini!” pikirnya.

Nyali Yak-bwe menjadi besar. Dari taman itu ia terus masuk ke dalam. Belum berapa saat ia berjalan, tiba-tiba ia menampak ada dua orang Bu-su berdiri di samping sebuah gunung-gunungan palsu. Satu di pinggir sini, satu di sana. Mereka tegak berdiri seperti patung, sedikitpun tak bergerak.

Sekalipun tidak gugup, namun Yak-bwe juga berjaga-jaga. Tiba-tiba ia ragu-ragu apa lebih baik menyergap dan menutuk jalan darah mereka atau menghindari mereka? Beberapa jenak kemudian, perhatiannya tergugah. Sikap kedua Bu-su itu mencurigakan sekali. Posisi mereka sejak tadi tidak berubah, yang satu tengah mengacungkan tombak dan yang satunya lagi mengangkat pukul besi.

Sikapnya seperti orang-orangan batu yang dibuat menghiasi gunung-gunungan palsu disitu. ”Manusiakah itu atau orang-orangan saja?” tanya Yak-bwe dalam hati. Ia tabahkan hati dan maju menghampiri. Astaga, kiranya mereka itu memang benar manusia hidup, hanya saja tak berkutik karena sudah tertutuk jalan darahnya. Diam-diam Yak-bwe terkejut dan girang.

”Oh, ternyata ada lain orang yang lebih dulu dari aku masuk kemari. Siapakah dia?” tanyanya pada diri sendiri.

Dari situ ia maju terus. Dan kembali ia melihat pemandangan yang serupa. Ada 18 orang Bu-su tak berkutik karena tertutuk jalan darahnya. Yak-bwe makin bertambah herannya. Pikirnya: ”Jika

semua ini dilakukan oleh satu orang saja, wah hebat sekali dia! Suhu sering mengatakan, sepandai- pandai orang masih ada yang lebih pandai lagi. Ucapan itu benar sekali. Rupanya orang itu memusuhi Tian-pehpeh, tentunya takkan mengganggu aku. Ah, tak peduli siapakah dianya, lebih baik kukerjakan urusanku sendiri!”

Gedung Ciat-tok-hu dari Tian Seng-su itu lebih luas dari gedung Sik Ko. Kamarnya berderet-

deret tinggi rendah, sedikitnya ada beberapa ratus buah. Selagi Yak-bwe bingung bagaimana akan mencari kamar Tian Seng-su, tak terduga-duga ia telah mendapatkan apa yang dicarinya tanpa harus berjerih payah lagi.

Bermula ia naik ke tengah wuwungan, dari situ ia memandang ke empat penjuru. Tiba-tiba ia mendengar suara: ”harr-hurr” yang aneh. Yak-bwe segera menghampiri ke tempat datangnya suara aneh itu. Ia tiba di sebuah gedung besar yang terusan dengan halamannya. Waktu memandang ke bawah, kembali ia merasa mengkal dan geli lagi.

Apa yang disaksikan di sebelah bawah itu, adalah sebuah pemandangan yang aneh dan lucu. Pada kedua samping serambi dari halaman itu, bertumpukan beberapa sosok tubuh dari kawanan Bu-su yang tidur pulas.   Sana setumpuk sini setumpuk. Suara aneh tadi ternyata adalah suara dengkuran dari kawanan Bu-su yang menggeros seperti babi.

”Ah, ini tentu perbuatan orang itu lagi.   Tapi entah ilmu apa yang digunakannya hingga kawanan Bu-su itu dapat dibikin tidur pulas seperti orang mati? Dengan adanya kawanan Bu-su

yang begitu banyak jumlahnya, tentunya disini adalah tempat kediaman Tian-pehpeh,” demikian ia membatin.

Yak-bwe ambil putusan untuk turun ke bawah. Ia melayang turun, menyelinap kian kemari

untuk menghindari kawanan Bu-su dan akhirnya berhasillah ia mendapatkan kamar Tian Seng-su. Itulah sebuah kamar yang besar, tapi pemandangan di dalam kamar itu menggelikan sekali. Lilin masih memancar-mancar, perapian dupa mengepul-ngepul, di sana-sini dayang-dayang tegak berpencaran.   Adegan di situ mirip dalam sandiwara. Belasan bujang-bujang perempuan itu melakukan posenya masing-masing, ada yang menyandar ke dinding, ada yang tengah mengipas- ngipas, ada yang tundukkan kepala terkulai dan ada pula yang menengadah ke belakang. Mereka sama tidur mendengkur dengan pulasnya.....

”Hm, benar-benar nikmat sekali hidup Tian-pehpeh itu, masakan tidur saja diladeni oleh sekian banyak bujang gadis-gadis. Manusia yang begitu mesum, seharusnya diberi sedikit pengajaran!” diam-diam Yak-bwe membatin.

Yak-bwe ingin sekali mengetahui bagaimana keadaan Ciat-tok-su itu. Melesat masuk, ia lantas menyingkap kain kelambu. Di atas ranjang yang indah hiasannya itu, berbaringlah Tian Seng-su, Ciat-tok-su dari daerah Gui-pok. Bantalnya disulam indah dengan benang emas, di muka bantal itu menonjol sebatang pedang Chit-sing-kiam dan di muka pedang itu menggeletak sebuah kotak emas yang tutupnya terbuka. Di dalamnya terdapat tulisan-tulisan dari nama para malaikat Pak-tou-sin.

Kiranya Tian Seng-su itu amat takhyul sekali. Ia percaya dengan Hu yang bertuliskan nama-nama malaikat itu akan dapat mengusir segala bahaya. Selain itu, terdapat juga wangi-wangian dan permata-permata yang indah permai.

”Biar kuambil kotak ini untuk kuberikan pada ayah (Sik Ko) selaku bukti, akhirnya Yak-bwe mendapat pikiran. Diambilnya kotak itu, sebagai gantinya ia letakkan sampul suratnya yang sudah dibubuhi dengan cap Sik Ko.

Setelah habis melakukan itu, ia terus hendak berlalu. Tapi tiba-tiba matanya tertumbuk pada sebuah sampul surat yang terletak di atas meja. Surat itu dilekatkan dengan sebilah belati kecil. Yak-bwe terkesiap, pikirnya: ”Oh, kiranya orang itu juga serupa tujuannya dengan aku, yakni hendak ’mengirim golok meninggalkan surat’.”

’Mengirim golok meninggalkan surat’ adalah sebuah istilah dunia persilatan yang berarti memberi ancaman pada penerimanya.

Terdorong oleh rasa kepingin tahu, Yak-bwe menghampiri meja itu dan lantas mencabut belati pemaku surat. Waktu membaca surat itu, girangnya bukan kepalang. Ia terlongong-longong seperti orang kehilangan semangat!

Kiranya pada surat itu hanya bertuliskan 6 kalimat yang terdiri dari 24 huruf. Bunyinya ialah: ”Semaunya mengambil kas negara, menghamburkan untuk bingkisan kawin, harta yang tidak halal, segala orang boleh mengambilnya. Jika berani coba menyelidiki, batang kepalamu akan kuambil.”

Susunan kalimatnya bagus, maksudnya jelas.  Tapi yang lebih mengejutkan Yak-bwe, ialah tanda tangan yang dibubuhkan di bawahnya. Ketiga huruf dari tanda tangan yang mendebarkan jantung Yak-bwe itu, bukan lain berbunyi ”Toan Khik-sia”.

”Hai, kiranya dia!   Entah apakah ia sudah berlalu dari sini? Baik aku menjumpanya atau tidak?” demikian Yak-bwe bertanya pada dirinya sendiri.

Selagi ia masih terbenam dalam pemikiran, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara tiupan terompet. Menyusul terdengar suara orang berteriak-teriak: “Celaka, ada penjahat menyelundup masuk!” Dalam beberapa saat kemudian, suara orang makin berisik sekali.   Sana sini pada ribut tak keruan. Ada yang berseru: ”Hai, ini ada dua kawan yang tertutuk jalan darahnya, aku tak dapat menolongnya, lekas undang Suhu kemari!” – Ada yang menjerit kaget: ”Astagafirullah! Ada setan, ada setan! Mengapa orang-orang ini sama tidur semua, dibangunkan tidak mau bangun?” – ”Tolol, mereka terkena dupa bius bi-hiang!” – ”Biarkan dulu mereka, lekas lindungi Tayswe!”

Diam-diam Yak-bwe mengambil keputusan untuk lolos saat itu juga. Sembari putar pedang, ia menerobos keluar dari jendela. Kawanan Bu-su yang tengah mendatangi itu, serempak berseru kaget: ”Penjahatnya datang, penjahatnya datang!”

Ada yang segera lari masuk ke dalam kamar untuk melindungi Tayswe mereka (Tian Seng-su),

ada yang mengejar Yak-bwe. Paser, hui-piau dan bermacam-macam senjata rahasia berhamburan melayang ke arah Yak-bwe. Tapi Yak-bwe gunakan gin-kang pat-poh-kam-sian, dalam beberapa loncatan ia sudah dapat melampaui tiga buah gunung-gunungan palsu. Jangankan kawanan bu-su itu, sedangkan segala macam senjata rahasia yang menghujaninya dari belakang, tak dapat menyentuh tubuh nona itu.

Di bawah sinar rembulan remang, kawanan Bu-su itu hanya menampak sesosok bayangan hitam lari seperti angin puyuh. Dalam sekejap mata, bayangan itu sudah lenyap ditelan kegelapan. Dengan begitu kawanan Bu-su itu tak dapat melihat jelas keadaan penjahat yang diburunya itu.

”Penjahat lari kesana, penjahat lari kesana!” hiruk-pikuk mereka berkaok-kaok sendiri. Diam-diam Yak-bwe geli dalam hatinya: ”Ha, pasukan Gwe-thok-lam yang dibentuk Tian- pehpeh itu ternyata hanya kawanan gentong nasi belaka!”

Baru ia berpikir sampai disitu, tiba-tiba terdengar orang berseru: ”Penjahatnya berada di sini!” – Wut, mendadak sebatang hui-piau menyambar kearah Yak-bwe.

Yak-bwe dapatkan desing hui-piau ini jauh berlainan perbawanya dengan hui-piau yang dilepas kawanan Bu-su tadi. Ia tak berani memandang rendah, terus putar pedang menyampoknya jatuh. Tapi hui-piau yang kedua dan ketiga berturut-turut menyusul datang. Yak-bwe mendongkol hatinya: ”Hm, jika tak diberi hajaran, tentu kamu tak kapok!”

Ia mengisar ke samping untuk menghindari hui-piau yang kedua. Tapi untuk hui-piau yang ketiga, ia ulurkan tangan untuk menyambutnya, lalu kontan timpukkan kembali kepada pengirimnya. Orang itu sudah hendak melepaskan hui-piau keempat, tapi tahu-tahu ada benda

berkilat menyambar. Ia tak keburu menghindar, ujung keningnya termakan sampai ke atas kepala. Kepalanya segera mengucurkan darah. Untung kalau ia hanya terluka begitu karena Yak-bwe memang tak bermaksud melukai orang. Coba nona itu mau mengganas, masakan dia masih bernyawa!

”Penjahat amat lihay, Suhu, lekaslah datang! Di sini, di sini!” seru orang itu.

Menyusul dengan itu terdengar suara orang menyahut: ”Kalian jangan takut, aku segera datang!”

Bermula suaranya masih jauh, tapi berbareng dengan selesainya berkata-kata, orang itupun sudah dekat sekali. Nada suaranya gemerontang seperti logam dipalu dan memekakkan telinga. Yak-bwe terkesiap kaget, pikirnya: ”Mengapa iblis tua itu berada di gedung Tian-pehpeh?

Celaka, aku bukan tandingannya!”

Ternyata Yak-bwe cukup paham akan suara itu.   Orang yang bergegas-gegas mendatangi itu bukan lain ialah seorang benggolan besar yang tenar sekali namanya di dunia persilatan. Beberapa tahun lamanya, ia pernah menjadi Tayhwe-cong-koan (pemimpin pengawal istana) dari An Lok-san. Namanya Yo Bok-lo, digelari orang sebagai Chit-poh-tui-hun atau Tujuh langkah memburu nyawa.

Bukan melainkan tahu namanya saja, pun Yak-bwe pernah merasakan kelihayan Yo Bok-lo itu. Peristiwa itu terjadi ketika Yak-bwe berusia 10-an tahun. Pada masa itu ayah pungutnya (Sik Ko) masih menjadi salah seorang panglima dari An Lok-san. Pada suatu hari, An Lok-san telah mengadakan perjamuan besar di istananya Li-san-heng-kiong. Yang diundang dalam perjamuan itu ialah menteri-menteri, panglima-panglima dan utusan-utusan daerah. Sik Ko dan Huciangkunnya (wakil panglima) Sip Hong juga mendapat undangan. Yak-bwe dengan kawannya, yakni anak perempuan Sip Hong yang bernama Sip In-nio, ikut serta dengan menyaru sebagai anak lelaki. Pun anak perempuan dari Ong Peh-thong, Lok-lim-beng-cu (ketua perserikatan penyamun) pada masa itu, ikut sang ayah menyelundup ke dalam istana. Bocah perempuan yang kepingin melihat keramaian itu bernama Ong Yan-ik.

Di tengah perjamuan berlangsung, Thiat-mo-lek, seorang pendekar besar, telah menimbulkan kegaduhan. Thiat-mo-lek berhadapan dengan Yo Bok-lo dan Ong Yak-ik membantu Thiat-mo-ek untuk mengeroyok jagoan istana itu. Dasar bocah, Yak-bwe dan Sip In-nio tak mau berpeluk tangan, mereka membantu Ong Yan-ik. Ketiga anak perempuan itu berhasil melukai beberapa wi- su (pengawal istana) An Lok-san, tapi hampir saja mereka celaka di dalam tangan Yo Bok-lo yang ganas itu. Akibat dari peristiwa itu, Sik Ko menjadi ketakutan dan terpaksa membaliki muka pada An Lok-san dan takluk kepada kerajaan Tong.

Waktu Yak-bwe mencium gelagat akan datangnya Yo Bok-lo, ia sudah merasa gentar: ”Jika kesamplokan dengan iblis itu, sukarlah aku meloloskan diri!”

Di muka tergencet, dari belakang dikejar. Dalam keadaan yang terjepit ini, tiba-tiba timbullah pikiran Yak-bwe. Sebelum Yo Bok-lo datang, ia buru-buru loncat melampaui sebuah tembok lalu bersembunyi dalam sebuah kamar.

”Gedung Diat-tok-hu itu luas sekali, kamarnya beratus buah masakan mereka dapat menggeledah semuanya. Untuk sementara, biar aku bersembunyi dulu untuk menunggu kesempatan,” pikirnya.

Tiba-tiba di dalam kamar terdengar suara seorang wanita berkata: ”Toa-kongcu, mengapa kau tak lekas-lekas bangun? Coba dengarkan, di luar begitu ributnya, tentu terjadi apa-apa!” Seorang lelaki yang suaranya kemalas-malasan menyahut: ”Peduli apa dengan ribut-ribut itu? Kau temani aku tidur lagilah, kita jarang sekali berkumpul.”

”He, celaka! Dengarkan, mereka berteriak-teriak akan menangkap penjahat!” kembali wanita itu berseru.

Sebaliknya si lelaki malah tertawa: ”Jika ada kebakaran mungkin aku akan cemas. Kalau ada penjahat atau pencuri, perlu apa takut? Ayahku mempunyai pasukan Gwe-thok-lam yang terdiri dari 3000 orang dan akhir-akhir ini telah mengundang Chit-poh-tui-hun Yo Bok-lo kemari. Ai, nona manis, ibu tercinta, kasihanlah pada diriku. Baru hendak kupeluk, kau lantas suruh aku bangun!”

”Fui,” demikian wanita itu menyemprot, katanya dengan genit: ”Ah, memang sudah ditakdirkan rupanya dalam penghidupanku ini mesti selalu kau gerecoki saja. Jika kawanan pengawal menggeledah kemari, hendak kutaruh di manakah mukaku nanti? Apabila ayahmu sampai mengetahui, lebih-lebih celaka kita. Kau panggil aku sebagai ibu, aku sungguh keberatan. Namun baik atau buruk, aku memang juga seorang Ih-niomu (ibu tiri).”

”Takut ketahuan mereka? Baiklah, lekas sembunyi dalam sini, Ih-nio yang baik, jangan kuatir, jika aku yang melarangnya, siapa yang berani masuk kemari?” kembali lelaki itu tertawa.

Mendengar itu merah padamlah selebar muka Yak-bwe. Ia baru mengetahui siapa kedua laki- perempuan yang bicara itu. Yang perempuan adalah gundiknya Tian Seng-su, sedang si lelaki bukan lain ialah putera Tian Seng-su yang manis, yaitu Tian-toakongcu yang dipuji setinggi langit oleh Sik Ko.

“Mereka adalah sepasang anjing laki-perempuan yang tak tahu malu. Cis, untung aku keburu mengambil putusan sendiri hingga tak jatuh dalam perangkap mereka. Jika sampai menikah dengan manusia semacam binatang itu, lebih baik mati saja,” bisik batin Yak-bwe dengan muaknya.

Dalam pada itu kedengaran si wanita lagi tertawa genit: ”Oh, anakku, tambatan hatiku, sekarang kau begitu tergila-gila padaku, tetapi setelah nanti mempelaimu datang, apakah kau masih ingat padaku?”

”Jika sampai lupa padamu, biarlah aku mati dengan sengsara. Aku pun bukan seorang lelaki yang takut pada bini,” sahut si lelaki.

”Aah, jangan buru-buru menyatakan janji dulu! Ketahuilah, calon mempelaimu itu adalah puterinya Sik ciat-tok-su!”

”Apa yang luar biasa dengan puteri seorang Ciat-tok-su? Akupun puteranya seorang Ciat-tok- su juga,” jawab si lelaki.

“Kabarnya puteri dari Sik Ciat-tok-su itu memiliki kepandaian silat yang tinggi. Kau, tentu kau bukan tandingannya!”

”Ngaco! Jangan pandang rendah diriku, akupun seorang Bun-bu-coan-cay (mengerti ilmu surat dan silat). Mungkin karena mendapat pelajaran sedikit ilmu pedang dari ayahnya, orang-orang lalu menyohorkan nona itu lihay. Aku tak percaya sama sekali seorang nona lemah seperti itu benar- benar lihay ilmunya silat. Baiklah, kau boleh lihat sendiri nanti, begitu nona itu melangkah masuk pintu kita, aku segera akan menyambutnya dengan sebuah pukulan!”

Wanita itu tertawa: ”Ha, kau ini, masakan hari pertama sudah mau menghajar isterimu?”

”Ya, lihat sajalah! Jika tak dapat menghajarnya sampai meratap minta ampun, jangan panggil aku seorang lelaki, seorang jantan!”

Mendengar itu Yak-bwe mendongkol dan geli, pikirnya: ”Jika tak kuberi hajaran, sepasang anjing itu tentu menggonggong tak keruan dan terus menghina diriku!”

Segera ia sabet putus palang jendela, terus loncat masuk. Karena Tian Seng-su itu asalnya dari seorang penyamun besar jadi puteranya itupun mengerti juga beberapa jurus ilmu silat. Tapi mana mampu menandingi Yak-bwe? Baru pemuda itu berteriak kaget dan hendak loncat bangun dari tempat tidur, ia sudah dibikin tak berdaya oleh Yak-bwe yang menutuk jalan darahnya.

”Kongculah yang memaksa aku, bukan kemauanku sendiri!” demikian wanita itu segera meratap. Karena gelap, ia kira perbuatan mesum mereka telah tertangkap basah dan menyangka Yak-bwe adalah orang suruhan Tian Seng-su.

Supaya jangan berteriak, Yak-bwe segera menutuk jalan darah wanita itu. Tapi ia menjadi kaget dan gusar demi jarinya menyentuh tubuh si wanita yang ternyata tak memakai barang selembar pakaianpun. ”Benar-benar sepasang anjing yang tak tahu malu!” dampratnya sembari tendang wanita itu ke bawah kolong ranjang.

Baru Yak-bwe hendak memberi giliran pada anaknya Tian Seng-su, tiba-tiba di luar terdengar suara teriakan Yo Bok-lo: ”Bangsat, hendak lari kemana kau?”

Heran Yak-bwe dibuatnya: ”Apakah matanya dapat menembus tembok hingga dapat melihat aku disini?” tanyanya dalam hati.

Tiba-tiba terdengar suara gelak tertawa keras dari seorang anak muda: ”Bangsat tua, sebenarnya aku hendak berlalu, tapi karena kau ada di sini, aku sengaja berhenti! Bangsat tua, pentanglah lebar-lebar matamu yang tinggal satu itu, masih kenalkah padaku?” 

Darah Yak-bwe tersirap jantungnya melonjakk girang. Suara itu, ya, suara itu, adalah suara Toan Khik-sia. Segera anaknya Tian Seng-su didorongnya roboh lalu diinjaknya dipakai sebagai ancik-ancik untuk melongok keluar jendela.

Ia lihat dua sosok bayangan laksana dua ekor burung yang terbang dari dua jurusan, tiba-tiba saling berbentur, bum yang dari sebelah kanan berperawakan tinggi besar dan terhuyung-

huyung beberapa langkah ke belakang. Sebaliknya yang dari sebelah kiri bertubuh kurus dan terpental ke udara dan berjumpalitan kemudian turun ke bumi dengan gaya yang indah sekali. “Bagus, bangsat kecil she Toan, aku justeru sedang mencarimu!” seru bayangan hitam yang tinggi besar, itulah Yo Bok-lo adanya.

Ternyata benggolan itu memang matanya buta satu. Tujuh tahun berselang ia pernah bertempur dengan Toan Kui-ciang dan puteranya (Toan Khik-sia). Dalam pertempuran itu Toan Khik-sia telah mencukil sebuah biji mata Yo Bok-lo. Bertemu dengan musuh lama, sudah tentu mata Yo Bok-lo menjadi merah membara.

”Hai, bangsat tua, jika kau ingin buta kedua matamu, majulah!” Toan Khik-sia menantangnya.

”Jangan kurang ajar, serahkan jiwamu!” Yo Bok-lo menggerung sambil menerjang dengan

kedua tinjunya. Tapi ia bukannya menyerang secara kalap, karena dalam benturan tadi, ia dapatkan tenaga si anak muda sudah jauh lebih maju dari dulu.

”Ho, mungkin kau tak mampu berbuat begitu, coba lihat saja siapa yang akan menyerahkan jiwanya!” sahut Khik-sia dengan dingin. Ia melangkah maju dalam posisi tiong-kiong dan tusukkan pedangnya ke jalan darah hian-ki-hiat di dada si iblis.

Dalam ilmu pelajaran silat ada sebuah dalil: ”golok berjalan ke putih, pedang berjalan ke

hitam.” Artinya golok itu harus digunakan untuk membacok dari sebelah muka dan pedang untuk menyerang dari samping. Tapi, Toan Khik-sia sangat mengandalkan akan ilmunya gin-kang.

Apalagi dalam tubrukan tadi, ia merasa tak kalah. Nyalinya pun semakin besar. Sekali serang, ia merapat maju, seolah-olah lawannya tak dipandang sebelah mata.

Julukan Yo Bok-lo ialah Chit-poh-tui-hun, sebuah julukan yang tak kosong karena dalam ilmu pukulan dan gerakan kaki memang ia memiliki keistimewaan. Pun dalam hal tenaga, sebenarnya ia lebih tinggi setingkat dari Toan Khik-sia. Mengapa dalam tubrukan tadi Toan Khik-sia sampai tak menderita apa-apa, itulah karena ia mengandalkan ilmu gin-kang yang lihay.

Dalam serangan saat itu, Yo Bok-lo gunakan siasat menyerang sambil menjaga diri. Bagaimana reaksi lawan, tetap akan dapat diikutinya. Sebuah siasat yang mudah berubah tapi sukar diduga perubahannya.

Serangan merapat maju dari Toan Khik-sia, justeru itulah yang diharapkan. Ia mundur

selangkah dan menarik tangannya untuk melindungi dada. Seketika Toan Khik-sia merasa ujung pedangnya itu tertumbuk dengan sebuah tenaga keras yang tak kelihatan. Ujung pedang hanya terpisah satu-dua senti saja dari ulu hati Yo Bok-lo, tapi macet tertahan kekuatan aneh itu. Karena macet, permainan pedang Toan Khik-sia tak dapat berkembang lagi.

Inilah saat yang dinanti-nanti Yo Bok-lo. Sekonyong-konyong ia menggerung keras, kedua tangannya didorongkan kemuka sekuat-kuatnya. Perbawanya seperti gunung roboh menimpa lautan!

Saat itu sejumlah besar kawanan Bu-su dan bujang-bujang Ciat-tok-su sudah datang dengan membawa obor. Mereka beramai-ramai hendak melakukan penggeledahan. Dari jendela tadilah Yak-bwe, meskipun tak jelas sekali, dapat melihat jalannya pertempuran antara Toan Khik-sia dan Yo Bok-lo. Sewaktu Khik-sia seenaknya maju merapat, diam-diam Yak-bwe sudah mengeluh. Dan pada saat pedang si anak muda macet, Yak-bwe kaget sekali. Lebih-lebih ketika Yo Bok-lo memukul dengan kedua tinjunya, hampir saja Yak-bwe menjerit.

Untung ia tak melakukan hal itu karena dalam saat-saat yang berbahaya itu, Toan Khik-sia telah mengunjukkan suatu gerakan gin-kang yang luar biasa indahnya. Anak muda itu mencelat ke udara dan loloslah ia dari lubang jarum.

”Plak.” Luput menghantam Toan Khik-sia, pukulan Yo Bok-lo itu telah mendapat sasaran baru, sebuah batu besar segera hancur lebur. Kepingan batu itu muncrat kemana-mana. Ada beberapa anggota pasukan Gwe-thok-lam terluka karena kecipratan. Kawanan Bu-su itu menjadi jeri dan sama menyingkir jauh-jauh.

Di udara Toan Khik-sia gunakan gerakan Kok-cu-hoan-sin (burung merpati membalik tubuh).

Ia berjumpalitan dan sambil melayang turun ia sudah tujukan ujung pedang ke arah beberapa jalan darah di belakang batok kepala si iblis. Yo Bok-lo pun bukan jago empuk. Sebat sekali ia berputar tubuh dan tutukkan tiga jarinya ke pergelangan tangan si anak muda. Bret, lengan baju si iblis itu terpapas kutung tapi pedang Toan Khik-sia pun menjadi mencong arahnya. Yo Bok-lo kehilangan secarik lengan baju, Toan Khik-sia gagal mendapat sasaran.

Untuk menghindari tutukan lawan, Toan Khik-saia terpaksa melayang ke samping. Setiba kakinya di tanah ia rasakan pergelangan tangannya agak sedikit sakit. Diam-diam ia berjengit dalam hati: ”Pukulan iblis itu benar-benar lihay, tak boleh kupandang rendah!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar