Pendekar Aneh (Lie Tee Kie Eng) Jilid 25 (Tamat)

 
Bu Cek Thian kembali tertawa sedih.

"Beberapa puteraku itu semuanya tolol," katanya. "Putera mahkota memang lebih jujur tetapi dia bukanlah itu orang yang dapat bertanggungjawab untuk urusan negara. Sedanghan beberapa keponakanku, mereka bukanlah makhlukmakhluk yang baik ! Puteriku ? Dia memikir untuk belajar darl aku tetapi dia cuma dapat mempelajari saja bulurambut dan kubtku ! Puteriku itu terlalu kemaruk dengan kekuasaan dan pengaruh, jikalau aku telah menutup mata dan tidak ada orang yang mengendalikannya, aku kuatir dia bakal menimbulkan bencana besar"

Ratu berhenti bicara, untuk menghirup air teh. Ia beristirahat untuk melegakan napasnya.

"Baiklah Piehee beristirahat dulu, sebentar baru bicara lagi," Wan Jie minta, membujuk.

"Tidak," berkata ratu. "Jikalau aku tidak bicara sekarang, dibelakang hari mungkin tidak ada ketikanya lagi. Peristiwa Bu Sin Su itu membuatnya aku lebih berputus-asa terhadap anak-anakku, terhadap keponakanku! Aku jadi terlebih berduka ! Setelah aku mati, sembarang waktu bisa terjadi sesuatu yang berbahaya. Maka itu aku mau minta kau - aku mau minta kau menjadi menantuku ! Putera mahkota boleh menjadi baik, boleh dia menjadi buruk, dengan kau menjadi pembantudalam dari dianya, baru aku mad pun puas !"

Lie It ditempat sembunyinya dibelakang kelambu kaget bagaikan ditimpa guntur. Baru sekarang ia mengerti, kesulitannya Wan Jie ialah ini dianya ! Orang yang dia tidak cintai, tetapi orang dengan siapa dia akan dapat menikah, kiranya thaycu, putera mahkota !

Mukanya Wan Jie menjadi pucat-pasi. Ia kaget bukan alang-kepalang. Sampai sekian lama, ia masih belum dapat memberikan jawabannya. Sebenarnya satu tahun yang lalu pernah Bu Cek Thian menimbulkan soal jojohnya ini. Itu waktu Bu Hian Song dan Thay Peng Kongcu yang diminta mengutarakannya kepadanya. Sekarang Ratu sendiri yang membicarakannya, - untuk pertama kalinya.

Selagi orang terbengong, Bu Cek Thian mengusap- urap rambut yang bagus dari nona yang cantik dan  pintar luar biasa itu, ia memperlihatkan sinar mata dan sikap yang lunak dan menyayangi. Ia menghela napas ketika ia berkata pula : "Anakku memang totol dan perjodohan ini pastilah sangat menindih hatimu. Coba ada lain jalan, tidak suka aku menikahkan kau dengannya. Tapi untuk kepentingan negara,  terpaksa aku mengharap kau sudilah menjadi nona mantuku. Telah banyak tahun kau turut aku, kau mengarti baik urusan pemerintahan, maka dari itu, pikulanku melainkan kaulah yang dapat memikulnya. Kau bukan cuma dapat membantu puteraku itu. Dibelakang hari, andaikata timbul perselisihan diantara kedua keluarga Lie dan Bu, kau dapat maju ditengah untuk mendamaikannya." Kedua mata Wan Me mengeteskan airmatany,a. yang jernih.

"Piehee, aku bersyukur sekali yang Piehee begini menghargakan aku," ia berkata perlahan: "Akupun bersyukur yang Piehee demikian mengharapkan dari aku 'das menaruh kepercayaan sangat besar. Tentang ini aku masih harus memikirnya dulu."

Ratu mengeluarkan saputangannya, ia sendiri menyusuti airmatanya panitera itu. Kemudian ia mengawasi dengan ta jam.

"Wan Jie," tanyanya, "bukankah kau mempunyai orang yang dipenuju olehmu ?"

Si nona menyingkir dari tatapan matany.a ratu itu, ia menggeleng kepala. Sekejab itu didepan matanya berbayang Lie It didalm hatinya ia bertanya : "Dia sudah datang atau belum ? Didalam hatiku ada dia, entah aku ada didalam hati dia atau tidak Ratu sendiri, tak puas dia dengan jodohnya, untuk negara dia telah mengurbankan keberuntungan hidupnya, karena itu, apakah aku harus mengambil jalan seperti jalannya dia ?"

Kacau pikirannya Wan Jie. Benar-benar ia tidak dapat segera mengambil keputusannya.

Sambil menanti jawaban, Ratu membulak-balik surat- surat di atas media.

"Lie It sudah kembali ke Tiang-an, tahukah Ia ?" tiba- tiba ia menanya.

Dua-dua Lie It dan si nona Siangkoan terperanjat, hati mereka terkesiap. Hebat pertanyaan itu. Nyata sekali sangat terang telinganya sang ratu. Dengan tidak menanti penyahutan, Ratu melanjuti kata-katanya sabar : "Hari ini ketika dilakukan penangkapan kepada mata-mata diistananya Sin Su, Lie It turut mengambil bagian. Beberapa touwtong dari Kim Wie Kun telah mengajukan laporannya padaku."

Wan Jie berdiam.

"Lie it seorang berbakat," berkata pula ratu kemudian, menghela napas. "sayangnya dia tetap berkukuh bahwa negara ini miliknya Keluarga Lie, dan terhadapku, dia menentang sangat. Entahlah sekarang, dia telah mengubah sikapnya atau belum ... Katanya dimasa kecil, kau dengan dia bergaul rapat sekali. Dapatkah kau berbicara dengannya ? Jikalau dia suka membantu putera mahkota, akan aku mengangkat dia menjadi rajamuda dan aku akan mengangkat kau menjadi isterinya." '

Gelaran raja-muda itu ialah cin-ong, prins, dan isterinya, onghui. .

Hati Wan Jie berdebaran, ia tunduk pula. Seperti juga ia berbicara seorang diri, ii. kata, perlahan : "Itu kejadian sudah lama, lama sekali. Didalam hati dia telah ada seorang lain”

"Benarkah ?" Ratu bertanya. "Aku tak ketahui itu. Sebenarnya, bicara untuk pihakku sendiri, pasti sekali aku masih mengharapi kau menjadi menantuku. Sekarang ini keadaan sudah sangat mendesak, mungkin aku bakal tidak hidup lebih lama pula. Wan Jie, Aku menanti jawabanmu!"

Masih si nona berpikir.

"Piehee," katanya, "aku minta sukalah kau memberi waktu tiga hari padaku" Bu Cek Thian bersenyum.

"Baiklah !" sahutnya. "Waktu tiga hari mungkin aku masih dapat menantinya."

Habis menyahut itu, ratu mengangkat kelenengan dari atas meja dan membunyikannya, memanggil seorang dayang..

"Hian Song sudah kembali atau belum ?" tanyanya setelah si dayang muncul:

"Telah ada orang pergi menanyakan keistana Leng Po Kiong, katanya kun-cu masih belum kembali," sahut sayang itu. "Kun-cu" ialah puteri atau anak perempuan dari seorang pangeran, prins, tingkat satu. ("Kuncu" yang berarti "puteri" dan "kuncu" yang berarti "orang budiman", walaupun dibacanya sama, berlainan huruf Tionghoannya).

Ratu mengerutkan alis. Ia kata seorang diri : ”Heran ! Apakah benar-benar disana telah terjadi sesuatu ?" Lantas ia mengibaskan tangannya, memerintahkan si dayang mengundurkan diri. Terlihat nyata bahwa ia tak tenteram hatinya.

Menyaksikan sikap luar biasa ratu itu, hati Wan Jie kembali terkesiap. Kali ini karena herannya untuk ratu ini. Sudah hampir sepuluh tahun ia mendampingi ratu, jarang ia meny,aksikan keadaannya serupa ini. Bahkan ketika pemberontakannya Cie Keng (Giap), ratu masih dapat berbicara sambil tertawa-tertawa.

Maka itu mungkinkah diwaktu aman-sentosa ini dapat terjadi peristiwa yang lebih hebat daripada pemberontakannya Cie Keng itu ? "Kenapakah encie Hian Song tidak ad,a didalam keraton ?" ia tanya.

"Aku mendengar kabar ada sejumlah anggauta Kim Wie Kun yang hatinya berubah, maka itu aku kirim Hian Song kepada Lie Beng Cie untuk mencari tahu," menyahut ratu.

Wan Jie terkejut. Baru sekarang ia ketahui sebabnya kenapa Hian Song tidak mendampingi ratu itu. Ini pula sebabnya kenapa ratu demikian mendesak dalam urusan jodohnya putera mahkota. Ia berpikir cepat, lantaa ia berkata :"Lie Beng Cie ialah orang kepercayaan Piehee. Perwira-perwira dari Kim Wie Kun dan Ie Lim Kun juga orang-orang yang menunjang kepada Piehee, karenanya mungkin berita itu berita angin belaka."

Bee Cek Thian menggeleng kepala. .

"Ada hal-hal yang suka terjadi diluar dugaan," katanya. "Peristiwa semacam itu, semakin kau kurang percaya, semakin mungkin terjadinya. Baiklah aku pergi lihat "

Ratu berbangkit dengan tubuhnya sedikit terhuyung.

Wan Jie lekas-lekas memayangnya.

Baru mereka tiba diambang pintu, terlihat Thay Peng Kongcu datang sambil berlari-l.ari.

"Ibu, celaka !" seru puteri itu. "Ada pemberontakan tentara ! Mereka sudah menyerang keistana .."

"Siapakah yang medimpinnya ?" tanya Bu Cek Thian. "Tahulah " menjawab puteri itu.”,Diluar kacau sekali !

Baiklah ibu jangan keluar ! Aku telah menitahkan Thio Ek Cie berdua saudara pergi mengepalai pasukan Siu Wie Kun !"

"Ngaco !" Ratu membentak.

"Jikalau tidak sekarang aku keluar, siapa lagi dapat mengendalikan mereka ? Persaudaraan Thio Ek Cie tahu apa ? Kau lancang mengerahkan. pasukan Sie Wie Kun, kau melanggar aturanku ! Apakah kau masih belum menginsafi dosamu ?'

Dengan ketakutan Thay Peng Kongcu berlutut, menganggukaagguk.

"Seri Baginda Ibunda, aku lakukan ini untuk kemananmu," ia berkata.

"Kau cuma ketahui membuat kesulitan untukku !" bentak Ratu, gusar. Wan Jie, mari kau temani aku! Aku mesti mengurus sendiri kerusuhan itu !"

Hanya sekejab saja, Bu Cek Thian telah menjadi seorang yang lain. Ia sekarang bersemangat tetapi sikapnya tenang.Lie It kagum melihatnya. Dipihaknya sendiri, pangeran ini pun harap mendengar huruhara tentara itu.

Baru Wan Jie memimpin Ratu satu tindak, tiba-tiba terlihat lari datangnya dua orang pengawal. Mereka itu berkata nyaring : "Pemberontak sudah memukul pecah pintu Cu Ciak Mui I Mereka lagi merangsak kependopo Leng Po Tian ! Kedua Thio Tayjin telah dibinasakan kaum pemberontak !"

Yang dimaksudkan dengan "kedua Thio Tayjin" itu ialah Thio Ek Cie dan Thio Tong Ciang, orang-orang yang menurut Thay Peng Kongcu tadi telah diperintahkan puteri ini untuk mengerahkan pasukan Siu Wie Kun.

"Jikalau kedua orang she Thio itu bersalah," kata ratu, tidak senang, "mereka harus diserahkan pada pengadilan Tay Lie Sin untuk diperiksa. Kenapa mereka lancang dibunuh ? - Siapakah lagi yang telah kena dibinasakan ?"

"Pertempuran didalam istana kacau sekali, ada beberapa serdadu Siu Wie Kun yang telah terbinasa," menjawab kedua pengawal itu.

"Siapakah yang memimpin pasukan pemberontak itu

?"

"Diantaranya ada Thio Siangkok, Hoan Gan Hoan,

Keng Hui, Cui Man Wie dan Wan Siok Kie." Airmukanya Ratu menjadi guram.

"Sekalipun mereka juga turut berontak ?" katanya, suaranya menggetar.

Thio Siangkok semua adalah menteri-menteri yang Bo Cek Thian percaya setia dan jujur, karenanya ia berduka sangat mengetahui mereka itulah yang berontak dan menyerang keistana. Diantara mereka itu, Cui Hian Wie dan Wan Siok Kie adalah dua prang yang dipujikan Wan Jie maka itu, nona turut menjadi tidak tenteram hatinya.

Menteri-menteri itu tapinya bukan berontak untuk membinasakan Bo Cek Thian, mereka bertindak guna menunjang umahkota, supaya putera mahkota diangkat menjadi raja. Mereka itu melihat usia ratu makin meningkat, disamping itu, dua saudara Bu menguasai pemerintahan, mereka berkuatir sekali. Gerak-gerik dua saudara Boa itu mengancam pemerintahan. Justeru itu timbullah Peristiwa Bu Sin Su. Merekalah orang-orang yang menentang Bu Sin Su. Mereka kecele akan putusan Ratu, yang cuma mempecat semua pangkatnya Bu Sin Su tetapi tidak gelarannya selaku Gui Ong (Pangeran Gui). Dengan Bo Sin Su tetap menjadi pangeran dan tetap juga menduduki istananya, setiap waktu dia dapat bangun pula. Sebagai pangeran, dia masih berpengaruh dan dapat mengumpul konco-konco. Mereka jadi semakin berkuatir. Umpama kejadian Ratu wafat dan kedua saudara Gui turun tangan, celakalah negara, Demikian, mereka lantas menggunai ketikanya ini yang baik, mereka berontak. Mereka minta Ratu mengundurkan diri, supaya putera mahkota segera naik menjadi raja, hingga bangunlah pula Keluarga Lie atau Kerajaan Tong.

Bu Cek Thian belum ketahui maksudnya sekalian menteri itu, bahwa mereka itu menyerbu keistana sebab mereka menghadapi perlawanan. Dengan cepat is mendapat pulang ketabahan hatinya. Maka ia kata dengan penuh kepercayaan : "Aku tidak percaya mereka itu akan mencelakai aku Wan Jie, mari pimpin aku keluar, biarlah mereka menemui aku"

"Tetapi, ibu," berkata Thay Peng Kongcu, yang hendak mencegah, "baik ibu ingat itu pepatah 'Melukis harimau dapat melukis kulitnya tidak tulang-tulangnya Mengenal orang dapat mengenal mukanya tidak hatinya.' Ada kemungkinan orang-orang yang ibu percaya justeru orang-orang yang hendak mencelakai I Apakah sampai disaat begini ibu masih mempercayai mereka itu ? Didalam keraton ini bahaya mengancam diempat penjuru"

Puteri itu baru mengucap demikian atau kedua busu, pengawal yang barusan datang denngan tergesa-gesa dengannya, berseru nyaring : ,He, didalam ruangan ini ada pembunuh yang sembunyi !" Lantas yang satu, yang berada didepan, mengayun tangannya, melontarkan sebilah pisau belati kearah kelambu !

Itulah Lie It. yang dibokong. Bukan main kagetnya pemuda itu. Dalam keadaan biasa, tidak nanti ia kena diserang eecara demikian, tetapi sejenak itu, ia pun kacau pikirannya. Tiba-tiba ia mendengar kelambu tertusuk, atau tahu-tahu pisau belati sudah mengenakan lengan kirinya !

Berbareng dengan itu, pengawal yang lainnya juga berlompat maju, untuk menyerang. Dia ini menggunai golok yang tersoren dipinggangnya, yang ia cabut dengan sebat sekali.

Berbareng dengan dicabutnya golok itu, disitu pun terdengar suara nyaring, lalu terlihat golok itu terpatah menjadi due potong, yang mana disusul dengan teriakannya Thay Peng Kongcu : "Wan Jie, kau "

Memang Nona Siangkoan, dengan menggunai pisau belati pengasi Ratu, telah menurunkan tangan, menghajar golok si pengawal.

"Diam semua !" berseru Bo Cek Thian, yang segera mengerti duduknya hal

"Ibu," berkata si puteri, "coba tanya Wan Jie, dia dia kenapa '

"Jangan banyak mulut !" Ratu membentak pula, tangannya diangkat, segera ia teruskan berkata, menanya :"Oh, kau telah pulang ? Bukankah kau hendak menemui Wan Jie ?" Pertanyaan itu diarahkan kepada Lie It.

Pangeran itu keluar dari tempatnya sembunyi, ia menghadapi Bu Cek Thian dan Wan Jie, ia mengawasinya bergantian. Sesaat itu ia membungkam, karena tak tahu ia harus mengucapkan apa.

"Sayang sekarang ini sudah tidak ada ketikanya untuk berbicara denganmu !" berkata Ratu. "Kau sudah pulang, bagus ! Sebentar, setelah aku membereskan urusan, akan aku mengasi ketika untukmu memasang omong dengan Wan Jie "

Wan Jie sendiri mendadak berseru : "Oh, kau terluka ? Itulah senjata rahasia yang dipakaikan racun ! Bagaimana bagaimana ? "

Lukanya Lie It itu mengucurkan darah dengan darahnya berbau amis, darah itu pun berwarna gelap. Ketika ia mendengar perkataan si nona, mendadak ia merasakan lukanya sakit dan ia pun mual, ingin muntah- muntah.

Thay Peng Kongcu melengak sebentar, lalu lekas ia mengeluarkan sebuah peles kemula, dari mana ia menuang dua butir obat pulang, seraya terus ia berkata : "Inilah obat Cit Po Tan. dari istana, chasiatnya untuk memunahkan beratus macam racun Lekas kau makan" Sembari berkata begitu, obat itu ia serahkan ditangannya Wan Jie. Ketika itu Nona Siangkoan lagi ditarik Ratu, untuk diajak keluar, ia tidak sempat berpikir. Ia pun tidak menduga jelek sama sekali. Maka lekas-lekas ia serahkan obat itu kepada si pangeran untuk Lie It segera menelannya. Tidak pernah Wan Jie menyangka jelek kepada Thay Peng Kongcu, sedang puteri ini mengandung cita-cita besar. Dia telah melihat ibunya menjadi ratu; dia mengagumi itu kedudukan agung. Dia menghendaki, dia meng-harap2 menjadi ratu juga. Sayang untuknya, - dan dia sangat menyesal, - takhta bukan diwariskan kepadanya hanya kepada kakaknya.

Bu Sin Su liehay, dia mendapat tahu cita-citanya puteri itu. ia menggunai kelicinaneya untuk membaiki sang puteri. Ia menjanjikan bantuannya. Ia kata, umpama kata puteri tidak dapat menjadi raja, sedikitnya harus berpengaruh dalam pemerintahan. Karena ini, dengan sendirinya, Thay Peng Kongcu menjadi konconya Gui Ong. Ia cerdik, ia dapat menyimpan rahasia, maka itu ia membaiki Wan Jie, ia pula mengambil-ambil hatinya Ratu. la berhasil membuatnya si nona dan Ratu tidak bercuriga. Bu Cek Thian cuma meliat puterinya itu rada berandalan, ia tidak menyangka jelek, ia menduga itulah sebab puterinya sedikit termanjakan.

Dengan dapat bergaul erat dengan Siangkoan Wan Jie, Thay Peng Kongcu dapat menangkap hatinya si nona. Ketika ia mendengar kabar Lie It sudah pulang kekota raja, ia merasa pasti tentulah pangeran itu bakal menempuh bahaya nelusup masuk kedalam istana, guna menemui Wan Jie. Karena kecerdikannya, ia dapat memikir akal Diantaranya, ia menugaskan seorang kebiri yang menjadi orang kepercayaannya untuk mengawasi gerakgeriknya Bu Hian Song dan Siangkoan Wan Jie. Demikian ia mendapat tahu Hian Song pulang dengan mengajak seorang kebiri. la menjadi curiga, ia lantas menyangka keras pada Lie It. Oleh karena itu, la lantas membujuki Ratu pergi kekamarnya Hian Song untuk menantikan Wan Jie disana. Kebetulan sekali, Ratu hendak menemui nona itu.

Selagi Ratu bicara dangan wan Jie, selagi ia diminta keluar, ketikanya akan cari dayangnya Thay Peng Kongcu menemui Hian Song, untuk mengorek keterangan dari mulut si dayang. Dayang ini berbicara dengan puteri, ia tahu puteri itu bergaul erat dengan Wan Jie dan nonanya, ia memberi keterangan jelas. ia tidak insyaf bahwa itulah rahasianya Wan Jie.

Setelah mendapat keterangan itu, yang membikin ia girang sekali, Thay Peng Kongcu menugaskan satu orangnya untuk mengawasi dayang itu, agar dia tidak membocorkan rahasia. Dengan lantas ia mengumpulkan serombongan pengawal yang menjadi orangg kepercayaannya. Justeru itu, kebetulan sekali terbit penyerbuan keistana, maka ia mrnggunai ketika ini untuk kemana kedalam, niatnya ialah buat memergoki Lie It. Ia menduga jikalau Lie It terbekuk Wan Jie bakal kerembet. Tapi ia kecele. Ratu tidak menegur Siangkoan Wan Jie, dan terhadap Lie It sendirl, Ratu agaknya berkesan baik. Ia jadi merasa tidak enak, ia menjadi berkuatir. Kalau Wan Jie yang pintar dibantu Lie It yang gagah, kedudukannya bisa jadi guncang, maka itu, ia menjadi nekad. Demikianlah ia berikan obatnya. yang ia kata obat istana yang manjur, sedang sobenarnya itulah racun. Wan Jie polos, ia kena dipedayakan, hingga, Lie It kena makan racun itu.

Suara berbisik diluar sementam itu terdengar semakin nyata. Itu artinya kaum pemberontak telah merangsak semakin dekat. Lantas datang dua orang kebiri, yang memberitahukan bahwa kaum pemberontak sudah memasuki keraton Kian Goan Kiong. "Wan Jie, apakah kau takut?" Ratu tanya

"Dengan ada didamping Piehee, apa pun tak. aku takuti," sahut si -nona.

"Jikalau kau benar tidak takut, mari lekas !" berkata pula Ratu. "Apakah yang kau hendak tunggu?"

Disaat seperti itu, sudah pasti Wan Jie mesti turut Ratu. Maka itu, dengan mengembeng airmata, ia mengangkat kakinya. Baru jalan dua tindak, ia menoleh kepada Lie It. Ia menyesal bukan main. Setelah dengan susah payah si pangeran dapat diselundupi kedalam istana, mereka berdua masih tidak dapat ketika berbicara

Lie It sendiri merasa tersiksa akibat bekerjanya racun- yang menyerang ia dari luar dan dalam, ialah keracunan luka dan memakan pil. Ia merasakan kedua matanya gelap. Rasa dingin pun, menyerang hatinya. Walaupun demikian, ia masih melihat Thay Peng Kongcu saling bersenyum dengan kedua pengawal. Tiba-tiba saja muncul kecurigaannya. Segera ia menguatkan hati, ia teriak kepada Wan Jie. Baru dua tindak, ia sudah meneriaki nona itu: "Wan Jie !"

Nona itu menoleh. Ia terkejut melihat muka orang pucat.

"Kau kenapa ?" tanyanya.

"Akan aku turut kau I" berkata pangeran itu.

"Tidak dapat !" Bu Cek Thian berkata. "Aku tidak menghendaki lain orang terlibat dalam urusanku ini !"

-o0odwo0o- BAGIAN : 86 -JILID : 12.3 - TAMAT

"Aku pun tidak ingin turut terlibat !" berkata Lie It. "Aku hanya tidak dapat berdiam didalam keraton"

Wan Jie bingung. Ia tidak menyangka Lie It telah kena makan racun. Ia cuma duga pangeran itu terganggu racun pada lukanya, yang darahnya belum mau berhenti mengalir keluar meski si anak muda telah makan obat "pemunah" racun. Maka ia pikir: "Sekarang keadaan lagi kacau; teutera pemberontak dan barisan Siu Wie Kun tidak kenal dia, dia benar terancam. Keluar tidak bisa, berdiam saja pun berbahaya." Karena ini, lantas ia kata pada Ratu : "Piehee, dia tidak mau berdiam didalam keraton, baiklah dia dititahkan keluar dari jalan rahasia."

"Baiklah," menyahut Bu Cek Thian, yang meluluskan permintaan itu. "Surulah Jie Ie yang mengurusnya dan mengantarkan dia keluar !" Kepada Lie It, ia pun berkata

:"Lie It, aku berbuat begini untukmu, inilah tindakanku yang luar biasa, maka dari itu, jangan nanti kau membocorkan bahwa didalam keraton ada jalanan rahasia !"

Ratu berkata tanpa berhenti bertindak. Dengan tangannya ia memegangi pundaknya Siangkoan Wan Jie. Maka itu, habis ia berbicara, mercka sudah sampai disebuah tikungan. Disitu Wan Jie menoleh untuk penghabisan kali, airmatanya terlihat mengembeng.

Lie It pun mengawasi nona itu, sampai orang lenyap dari depan matanya. Ia merasa sangat berduka. Justeru itu- ia melihat seorang dayang berlari-lari kearahnya. Tiba didepannya, dayang itu tertawa dan berkata : "Tianhee, apakah tianhee masih mengenali aku ?" Dialah Jie Ie, budak kepercayaannya Hian Song, bahkan dia pernah turut nonanya pergi kegunung Ngo Bie San, ditempat orang-orang gagah mengadu keyandaian.

Dengan datangnya Jie Ie ini, gagallah maksud terlebih jauh dari Thay Peng Kongcu. Itu pun berarti keberuntungannya Lie It. Sebenarnya puteri itu berniat menyuruh kedua pengawalnya membinasakan si pangeran seperginya Ratu. Dengan munculnya Jie Ie, tak berani puteri itu bertindak lebih jauh. Ia kenal baik,kegagahan dayang ini. Tapi ia licin. Maka ia tertawa dan berkata pada si pangeran :"Lie It, kau baik-baiklah merawat lukamu Jikalau nanti kekacauan sudah redah, lekas-lekas kau kembali keistana, Wan Jie pasti menunggui kau !"

"Terima kasih, Kongcu," mengucap Lie It. "Tidak dapat aku datang pula keistana ini - Jie Ie, mari kita pergi !"

Jie Ie lantas bekerja. Ia menggeser pembaringan yang besar. Dibelakang itu, ia membuka. sepotong batu lebar. Maka terbukalah sebuah liang atau guha. Dibawah itu ialah jalanan dalam tanah, yang disediakan kalaukalau dalam istana terbit bahaya. Jalanan itu mempunyai beberapa jalanan untuk sampai diluar..

Jie To mengambil satu diantaranya. Bahwa Bu Cek Thian memberikan ijin digunainya jalan rahasia itu, itulah tanda bahwa ia berkesan baik terhadap si pangeran.

Jie Ie memberi hormat kepada Thay Peng Kongcu, terus ia memesan : "Kongcu, apabila Kongcu bertemu dengan nona, tolong kau memberitahukannya bahwa aku pergi mengantarkan tianhee keluar dari istana". "Baik, perglah dan dengan hati tenang" menjawab puteri.

Nampak baik sekali sikapnya puteri ini. Tetapi, begitu lekas Jio Ie dan Lie It menghilang didalam pintu rahasia, ia pun berlalu dengan cepat dengan mengajak kedua pengawalnya itu.

Lie It berdua Jie Ie jalan ditangga batu. Si nona yang membuka jalan. Untuk memperoleh cahaya terang, Lie It menghunus pedang mustikanya. Ia dapat menguatkan hati, hingga sejenak itu ia melupai rasa sakitnya, ia melawan kerjanya racun, hingga ia pun dapat menggunai matanya dengan baik. Meski begitu, barn berjalan turun tujuh tindak, la merasakan kepalanya pusing. Yang hebat ialah ketika ia merasakan peparu dan perutnya seperti jungkir-balik ; Tak dapat ditahan lagi, kakinya lemas, lalu ia jatuh tergelincir.

Jie Ie kaget tidak terkirakan.

la lompat menubruk, untuk mengasi bangun. "Kau kenapar tianhee ?” tanyanya.

Lie It tidak pingsan. Ia menyedot hawa, lalu menghembuskan nya.

"Tidak apa," sahutnya. "Mari kita lekas pergi"

Sebenarnya pangeran ini terserang hebat. Racun lagi bekerja keras sekali. Syukur untuknya, sebelum masuk keistana, ia telah makan pel. Pek Leng Tan pemberiannya Hian Song. Itulah bukan obat yang tepat tetapi itu dapat menambah kekuatan tubuhnya, dibantu tenaga-dalamnya, yang ia kerahkan, dapat ia menahan serangan racun itu. Racun dan tangannya, yang mau bersalurkan keuluhatinya, dapat dipukul mundur.

Baru sekarang Lie It dapat berpikir. Ia jadi bercuriga. "Mungkinkah obatnya puteri obat untuk

mempunahkan racun, hanya itu justeru racun adanya ?" demikian ia menduga-duga.

"Sebenarnya siocia hendak mengajak aku ke Kim Wie Kun," berkata `Jie Ie, "baru kita sampai di Ceng Hoa Mcei, hati siocia terasa tidak enak. lantas dia menyuruh aku kembali. Diluar dugaan, tianhee benar2 kena dipergoki. Sungguh berbahayal Tahukah tianhee caranya kau dapat diketahui ?"

Hati Lie It bercekat. Ia mengawasi dayang itu. "Bagaimana itu ?" ia tanya.

"Begitu aku kembali, aku mendengar Thay Peng Kongcu lagi mengorek keterangannya dayang," berkata Jie Ie. "Dayang itulah yang membuka rahasia tianhee bersembunyi didalam kamarnya siocia. Setelah itu Kongcu mengajak dua orang pengawalnya. Aku lantas knenduga Kongcu bermaksud tak baik terhadap tianhee. Sekarang aku meliat sikap Kongcu tidak ada kecelanya. Mungkin aku terlalu bercuriga. Bagaimana tianhee menda patkan lukamu ini ?"

Mendengar keterangannya si dayang, Lie It lantas mendusin.

"Benarlah Thay Peng Kongcu berniat merampas jiwaku," pikirnya. "Jikalau. tidak Bo Cek Thian menitahkan Jie Ie mengantarkan aku keluar dari sini, pastilah aku sudah menjadi si setan dungu yang berpenasaran " la lantas menuturkan bagaimana ia kena dibokong. Jie Ie terkejut.

"Pengawal itu menjadi orang kepercayaannya Kongcu," ia menerangkan. "Terang Kongcu ketahui tianhee berada didalam kamar, dia justeru imembiarkan pengawalnya menyerang. Inilah hebat Mari kita lekas pergi, mari lekas ! Kita mesti jaga kalau-kalau ada yang menyusul kita !"

Keduanya lantas lari diterowongan yang gelap. Disitu tidak terdengar lain kecuali suara tindakan kaki mereka.

"Terima kasih, Jie Ie," berkata Lie It. la lega juga hatinys. Ia mau percaya bahwa tidak ada yang kejar.

"Buat apa mengucap terima kasih padaku ?" berkata si dayang tertawa. "Selayaknya kau menghaturkan terima kasih pada nonaku !"

'"Benar" berkata Lie IL "Nonamu itu telah beberapa kali menolongi aku dan aku masih belum mengutarakan rasa syukurku terhadapnya."

"Cukup asal kau ketahui itu!" berkata Jie Ie. "Aku meayangka didalam hatimu tidak ada nona ku itu ! Tahukah tianhee bahwa selama sembilan tahun selalu siocia menantikan kau ?"

Lie it melengak, hatinya berdebaran. Kalau begitu, benar-bonar Hian Song menyintai ia. Da ngan begitu, diwaktu si nona merekoki ia dengan Wan Jie, entah bagaimana sakit hatinya dia, yang mesti mengurbankan kepentingan sendiri. Dia sungguh harus diks gumi dan dikasihani Oleh karena bergeraknya perasaan hatiny,a ini, kembali Lie It terserang racun didalam tubuhnya itu. Dengan cepat ia melawannya pula. Dengan cepat ia melanjuti larinya. Jie Ie terus mendampinginya.

Sesaat kemudian, tibalah mereka diujung dari jalanan dalam tanah itu. Tiba-tiba mereka mendengar apa-apa. Jie Ie kaget.

"Celaka !" dia berseru seraya tangannya segera diayun. menerbangkan dua rupa benda yang mengeluarkan cahaya berkeredep. Dia pun menarik tangan Lie It, untuk diajak berlompat kemulut jalanan rahasia itu.

Diluar itu terdengar suara menjerit.

Jie Ie bersama si pangeran lantas tiba dimulut terowongan itu. Tangan Jie Ie diulur, menekan kepada alat rahasianya. Dengan begitu maka terbukalah pintu rahasia, pintu yang terbuat dari batu. Diatas itu  pun terus terlihat suatu pintu gantung yang berat, yang bagaikan pintu air tengah turun dengan cepat.

Jalan rahasia itu, kecuali pintu batunya, diperlengkapi pula dengan pintu gantung itu, yang beratnya ribuan kati. Pintu ini penting, dapat dikasi turun apabila orang sudah keluar dari mulut pintu itu, guna menghalangi orang yang mengejar atau memegat. Kalau orang mesti kembali kedalam, itu waktu dapat diambil terowongan yang lainnya. Pintu gantung itu tidak dapat digeser kecuali alat rahasianya yang dikasi bekerja. Pintu itu justeru dikasi turun oleh kedua busu. Itulah sebab yang menerbitkan suaru, yang membikin Jie le kaget. Karena dayang ini mengenali baik suara itu suara apa. Itu pula sebabnya dia lantas menyerang dengan senjata rahasianya. Seorang busu terserang sebelah lengannya, dia menjerit kesakitan. Tidak demikian, pintu gantung itu pasti sudah turun hingga ditanah.

Jie le berlompat membuang diri sambil terus bergulingan, untuk lewat dibawahan pintu gantung itu.

Lie It pun menyontoh si dayang. Apamau, ia kurang gesit. ia terlambat. Selagi ia rebah celenteng, daun pintu sudah turun. Maka ia terancam akan ketindihan. Kalau  itu terjadi, akan gepenglah tubuhnya. Ia masih ingat untuk mempertahankan diri. Sembari celentang, ia mengangkat kedua tangannya, la mengerahkan seluruh tenaganya, untuk monaoggapi dan menahan daun pintu itu, habis mana, sebat luar biasa, ia menggeser tubuhnya, ia molepaskan tangannya. Tepat ia menggeser, tepat daun pintu itu turun habis ! Hampir saja

Dengan gerakan "Ikan gabus meletik," Lie It mencelat bangun.

Justeru itu, kedua busu yang menggeraki pesawat rahasianya pintu gantung itu pun sudah berlompat turun dari tembok, maka kedua pihak jadi berdiri berhadap- hadapan.

Jalan rahasia itu membawa orang keluar kesebuah tempat sunyi diluar kota raja. Mulanya melihat orang hanya berdua, hati Lie It lega. Tapi setelah ia melihat tegas muka orang, ia terkejut. Ia mengenali bekas rekannya didalam tangsi Sin Bu Eng. Yang - satu ialah Cui Tiong Goan, murid ahli pedang Cia Pouw. Tiong Goan itu, semasa belum masuk dalam tangsi itu, namanya sangat terkenal dilima propinsi Utara. Yang lainnya ialah Ciu Tay Lian, juga seorang jago dalam barisan pengawal istana. Ketika Lie it menyamar sebagai Thio Cie Kie, bersama mereka itu ia turut dalam ujian. Tay Lian pernah menunjuk ketangguhannya dengan meremas hancur seraup kacang dan Tiong Goan dengan Leng Wan Kiamhoat, ilmu pedang Kera Sakti, dapat menjagoi. Hanya ketika Lie Beng Cie mencoba Lie It dengan Tiong Goan itu, Lie It berlaku murah hati, hingga mereka menjadi seri. Sekarang Lie It lagi terluka, menghadapi dua pengawal itu, ia gentar juga hatinya.

"Lie It, kau masih hendak kabur ?" Cui Tiong Goan menegur tertawa lebar.. "Mari, mari, mari kita main-main pula !"

"Saudara Cui," berkata Lie It, "diantara kita tidak ada permusuhan, mengapa kau begini mendesak padaku ?"

"Memang kau tidak bermusuh denganku tetapi tidak demikian dengan Thay Peng Kongcu !" sahut orang she Cui itu. "Kongcu tidak dapat mengasi ampun pada kau ! Baiklah kau menjadi setan penasaran! Kau pergi mendakwa kepada Raja Akherat I Aku menerima titah majikanku, jangan kau sesalkan aku ! Sudah, jangan' ngobrol pula, silahkan kau geraki pedangmu ! Ah, kemana pergi kegagahanmu selama didalam tangsi Sin Bu Eng?"

Dua-dua Tiong Goan dan Tay Lian itu, dari tangsi Sin Bu Eng dipindahkan dalam pasukan Siu Wie Kun. Thay Peng Kongcu mendapat tahu mereka liehay, mereka diambil menjadi orang kepercayaan. Sekarang mereka dititahkan puteri yang jelus itu untuk mengambil kepalanya Lie It, maka itu Tiong Goan berlaku bengis.

Lie It mogok, ia menjadi gusar. "Baiklah, Tiong Goan I" ia menjawab, dingin. "Mari  kita mencoba pula pedang kita ! Kali ini kita bertanding beda daripada waktu dalam pencalonan Sin Bu

"Eng ! Sekarang, jikalau bukan kau yang mati, tentulah aku yang terbinasal"

"Tentang itu tak usah dikatakan lagil" Tiong Goan pun tertawa lebar. Dia sangat menantang, sebagaimana dia pun lantas menerjang.

Lie It menyedot hawa, ia bertindak kesamping, untuk berkelit, berbareng dengan itu pedangnya meluntur  cepat seperti "burung hong terbang", dari samping pedang itu menyamber pedang si orang she Cui.

"TrAang 1" terdengar nyaring. Tiong Goan terperanjat, lantas pedangnya kena terpapas sedikit, tapi setelah itu, ia menjadi girang. Ia mendapat tahu tenaga lawan tak seperti dulu hari. Pikirnya : "Thay Peng Kongcu tidak mendustai aku, Lie It benar telah terkena racun I" Lantas ia menyerang pula.

Jie Ie pun sudah lantas bertempur dengan Ciu Tay Lian. Pahlawan ini membenci si nona, karena tadi dia terhajar senjata rahasianya nona itu, syukur lukanya melainkan dikulit. Dengan joan-pian, ruyung lemas bagaikan cambuk, ia lantas merabu. Tiga kali beruntun ia mencambuk pergi-pulang !

Jie le berlaku sebat, lincah gerakannya. Atas datangn ya serang,an pertama, ia berkelit dengan lompatan "Burung Ho mencelat kelangit." Sambil berlompat ia jumpalitan. Ketika tubuhnya turun, tangannya sudah menghunus pedangny.a, pedang Ceng Kong Kiam, dengan apa ia menangkis. Kedua senjata beradu, lantas joanpian terpental. Tapi Tay Lian liehay, senjatanya mental untuk kembali, hingga terjadilah serangan yang ke-dua. Ini pun ditangkis Jie Ie. Hingga nenyusullah serangan yang ko-tip kali. Sekarang - habis berkelit- Jie Ie meloloskan ikat pinggangnya yang berwarna merah, ia memutarnya hingga terlihat cahaya merah seperti sinar layung, yang mengurung musuh, melibat joanpian, sedang ujung pedang ditangw kanan menusuk kelengan.

Tay Lian gagah dan sebat. Dengan mengerahkan tenaganya, la membebaskan joanpiannya, lalu sambil mengelit lengannya, ia meneruskan menangkis pedang. Gorakxnya ini cepat dan keras bagaikan "ular napa keluar dari laut "

Jie To kagum. Pddrnya : "Dia ini jauh lebih menang daripada orang-orang yang turut dalam pertandingan diatas gunung."

Juga Tay Lian heran. Sudah tigapuluh tahun ia menjagoi dengan senjatanya itu, yang di'beri nama Hang Liong Pian, ruyung Penakluk Naga, ia telah merantau di Selatan dan Utara sungai Besar, tak ia sangka disini ia menghadapi seorang kosen dalam dirinya seorang nona, bahkan seorang budak.. Karena ini, keduanya tidak berani memandang enteng satu pada lain. Cuma bedanya ialah Jie le mesti membagi perhatiannya, lantaran sambil berkelahi saban-saban ia melirik Lie It.

Tiba-tiba terdengar Tiong Goan tertawa nyaring, jumawa nadanya. Terkejut dayangnya Hian Song, segera ia menoleh. Untuk kagetnya, ia melihat lengan Lie It mandi darah. Itulah tanda lengan itu telah kena terserang lawan. "Tianhee, jangan takut" dayang ini berseru. Ia benar- benar berlompat untuk memberikan bantuannya.

Ciu Tay Lian tidak suka ditinggal pergi lawannya itu, ia berlompat sambil menyerang. Ia berhasil menyampok kaki, karena mana si nona roboh tergelincir. Akan tetapi, begitu mengenai ta nah, Jie Ie mencelat pula dalam gerakan "Ikan gabus meletik." la lolos, tetapi ia terus terancam bahaya. Tay Lian tidak mau mengerti dan sudah mendesak keras. Dengan begitu, tak ko:ampaiaa niat si nona memberikan pertolongannya. -

Lie it tahu maksudnya Jie Ie. la berteriak : Kau lawan terus Berlakulah waspada-Aku tidak kurang suatu apa" la mengatakan demikian sedang sebenarnya, lukanya itu, ditangan kiri, dikiokti-hiat, membuatnya lengannya itu tidak dapat digeraki lagi.

Tiong Oan berhasil desakannya jadi makin hebat.

Lie It menyedot napas. Hebat musuh ini. Ia mesti menggunai tipudaya. Demikian ia kasi dirinya dirapatkan. Selagi terdesak itu, mendadak ia menikam dalam gerakan "Lie Kong memanah batu." Bagaikan anakpanah, demikian ujung pedangnya meluncur. Inilah siasat "dalam kekalahan mencari kemenangan.'

Tiong Goan kaget dan kesakitan. Pundaknya telah kena tersontek pedang. Hanya Lie It menyesal sekali, selagi lawannya gesit dan mencoba berkelit, tenaganya sendiri kurang banyak hingga tikamannya itu tidak hebat. Tidak demikian, tulang selangka lawan itu mestinya rusak parah !

Pangeran ini berkelahi dengan mengandalkan pengerahan tenaag-dalamnya, akan tetapi ia mesii berkelabi lama, ia mesti mengeluarkan seluruh tenaganya, itulah hebat untuknya. yang terluka di lengan dan keracunan didalam. Setelah itu, mendadak ia merasakan, rasa beku dilengannya itu seperti mengalir ketubuhnya. Mitu atau tidak, mendadak ia terhuyung mundur beberapa tindak.

Tiong Goan girang sekali, dia sampai lupa pada rasa sakitnya. Sambil tertawa berkakak, dia lompat menyerang, untuk mendesak.

Repot Lie It melawan, Akhirnya, ujung pedang menggores juga perutnya, hingga ia terluka tiga dim panjang, darahnya mengalir keluar. Ia menahan sakit sebisa-bisanya, toh ia mengeluarkan juga suara keluhannya.

Juga Jie le lagi terancam bahaya. Sebcnarnya ia tidak usah kalah dari Tay Lian, tetapi ketika itu pikirannya terpecah, ia menguatirkan sangat keadaannya si pangeran, dengan sendirinya ia kalah unggnl. Ketika ia mendengar suaranya Lie It, kagetnya bukan main. Justeru itu, Tay Lian berteriak keras : "Kena !" dan joanpiannya menyan4bar !

Menyusul itu, orang she Ciu ini tertawa bergelak- gelak. Ia merasa pasti dapat menggulung si nona, untuk dilontarkan.

"Kena !" mendadak Jie Is juga berteriak, selagi tubuhnya terlilit. Teriakan itu dibarengi meluncurnya pedang, yang ia telah lepaskan dari cekalannya. Sebab dalam bahaya itu, ia telah melakukan penyerangan nekad, untuk ludas bersama ! Tay Lian kaget tidak terkira. Selagi ruyungnya melilit, sulit untuk melepaskan itu, guna menangkis pedang. Karena terpaksa, ia mencoba juga sambil berbuat begitu, ia pun ingin berkelit.

Pedang meluncur dengan kecepatan luar biasa, lantaran si nona telah menghabiskan tenaganya. Dalam kagetnya ia menjerit, tangannya menarik keras. Ia roboh seketika, dan Jie It terbanting hingga dia pingsan.

Dua-dua Lie It dan Cui Tiong Goan, yang juga lagi bertempur mati-matian, dapat mendengar suaranya Tay Lian itu serta suara robohnya tubuh, keduanya kaget. Tanpa merasa, keduanya berhenti berkelahi. Maka itu, mereka melihat Tay Lian dan Jie Ie sama-sama roboh tak bergerak. Lie It mencelos hatinya, ia menyangka Jie Ie telah terbinasa, ia menjadi putus asa.

Tiong Goan lantas menginsafi dirinya.

"Jikalau kau tidak meletaki pedangmu dan menyerah, kau bakal mengambil jalan yang sama dengan mereka itu” dia lantas mengancam si pangeran. Dia pun maju untuk menyerang.

Dalam putus asa, Lie It menjadi nekad, tepat tubuh orang maju, mendadak ia berteriak : "Jikalau bukannya kau yang mampus, tentu aku !" la tidak menangkis atau berkelit, ia pun menyerang. Lebih dulu pedangnya diputar, diayun, baru ditikamkan

Cui Tiong Goan menjerit kems, tubuhnya tergelicir, berguling beberapa tombak. Hebat serangannya Lie It, tidak dapat ia menangkis, tak keburu ia membuang diri, ia kena tertikam, sampai beberapa kali, lantaran si pangeran menyerang ia berulang-ulang. Itulah tipusilat Ngo Bie Kiam-hoat yang liehay.

Juga Lie It, habis menyerang itu, merasai dunia berputar, matanya menjadi gelap, tubuhnya menjadi kaku, tidak ampun lagi, ia roboh terlukai ditanah. Maka itu empat buah tubuh manusia bergelimpangan dimedan perang itu.

Belum terlalu lama, tubuh Cui Tiong Goan bergerak. Ia nyata belum mati. Tadi ia melainkan pingsan akibat luka- lukanya. Setelah sadar, ia lantas mencoba merayap kearah Lie It

Perlahan merayapnya pengawal istana yang menjadi pahlawannya Tay Peng Kongcu, akan tetapi karena ia merayap terus, lama-lama ia datang dekat juga.

Lie It juga mendusin. Ia mendengar suara berkeresekan, juga suara napas yang berat. Ia kaget sekaii. Ia merasa bagaimana jiwanya terancam bahaya. Ia telah tidak berdaya. Sejenak itu ia ingat Wan Jie, Hian Song dan isteri serta anaknya : mereka itu berbayang bergantian didepan matanya yang waswas itu

Akhir-akhirnya pangeran Lie mendengar suara yang ia kenal baik:"

"Lie Itl Lie It " demikian suara itu.

"Apakah benar dianya ?" ia tanya dirinya sendiri. Ia ragu-ragu. Ii terus mencoba mengangkat kepalanya, untuk melihat.

Tepat disaat itu, Cui Tiong Goan berseru nyaring, tubuhnya berguling maju, pedangnya menikam "Habis aku" Lie It berseru, matanya pun gelap ! Hanyalah aneh, ia tidak merasakan sakit. Sebaliknya, ia justeru merasa seperti tangan yang halus dan empuk mengusap-usap mukanya, dan tangan itu pun rasanya nyaman. Pasti itu bukannya tangan musuh yang telengas.

"Adakah aku bermimpi ?" ia berpikir: la memaksa membuka matanya. Ia segera mendapat lihat seorang nona dengan pakaian putih berdiri didepannya. Ia menjadi heran, ia berseru lalu ia pingsan.

Nona itu ialah Bu Hian Song. la pulang dengan cepat keistana, sebab ia ingin sangat mengetahui kesudahan pertemuan diantara Lie It dan Siangkoan Wan Jie. Diluar dugaannya, setibanya dikeraton, ia mendengar dari dayangnya hal si pangeran sudah menyingkir dari jalanan rahasia. Ia mengerti ancaman bahaya untuk si pangeran, itulah hebat, tanpa ayal lagi, ia lari menyusul. Tepat ia sampai disaat Cui Tiong Goan menikam Lie It, maka ia lompat maju, menendang pengawal itu, hingga jiwa si pangeran ketolongan.

Adalah airmatanya nona ini, ynng mengetes kemuka Lie It. Didalam keadaannya waswas itu, Lie It menduga kepada tangan yang halus dan empuk

Kapan kemudian Lie It sadar benar-benar, ia mendapatkan dirinya sudah berada dirumahnya Tiangsun Tay dan sedang rebah diatas pembaringan, sedang Hian Song duduk disisinya sambil menepas airmata. Ia menyedot napas, ia merasakan dadanya sesak. Hatinya pun berdenyutan. Disisinya itu ada nona yang sa Man lama ia buat harapan "Hian Song," katanya perlahan, "aku berterima kasih 'padamu lagi-lagi kau telah menolongi aku. Aku aku..”

la bergirang, ia toh berkuatir, hatinya tidak tenang "Jangan omong banyak," berkata si nona, perlahan.

"Kau beristirahatlah. Iti dua butir Pek Leng Tan, sebentar lagi, selang dua jam, kau makan sebutir pula." la mengeluarkan peles obatnya dari perak, ia letaki itu diatas meja kecil didepan pembaringan.

Obat itu menyiarkan bau harum yang menyegarkan, tetapi yang membuat Lie It bunga hati berbareng berduka ialah senyuman si nona.

"Mana Jie Ie ?" kemudian ia tanya. Ia tidak menghiraukan nasihat orang.

"Dia tidak mati, aku telah menolongnya," Hian Song memberi tahu.

"Tolong haturkan terima kasihku kepadanya !" kata Lie It pula. . la ingat pertolongannya dayang itu.

"Jangan kau pikirkan pula segala urusan lainnya," Hian Song berkata. "Kau dengar perkataanku. Kau mesti beristirahat dengan hati tenteram"

Dengan mendelong si pangeran mengawasi si nona bangsawan. Ia agaknya memikirkan sesuatu dan ingin mendengarnya.

Hian Song pun mengawasi.

"Nanti aku menerangkan semua kepada kau," berkata nona ini, sabar. "Kau tetapkan hatimu. Huruhara sudah padam, Seri Ratu bersama Wan Jie masih hidup. Dan putera mahkota, lagi dua hari, dia bakal tiba disini Seri Ratu pun sudah mengeluarkan firman pengunduran dirinya, supaya putera mahkota naik diatas takhta selaku Seri Baginda Raja. Tegasnya, negara ini telah dikembalikan kepada kaum Keluarga Lie kamu. Bukankah kau merasa puas sekarang ?"

Warta pengunduran diri Bo Tick Thian ini, apabila Lie It mendengarnya pada beberapa tahun yang lalu, pasti akan diterima dengan girang, dengan berjingkrakan, akan tetapi sekarang, itu membuatnya berduka. Karena sekarang hatinya telah menjadi tawar. Maka itu, ia berdiam aaja.

Ketika itu terdengar suara tindakan kaki.

"Tiangsun Tay sudah pulang," berkata Hian Song. "Masih ada urusan untuk mana aku mesti kembali keistana, dari itu kau beristirahatlah biar tenang. Besok aku ninti datang pula melihat kau."

Lie It ingin menggeser tubuh, buat menyender dipembaringan, untuk melihat berlalunya si nona, atau ia mendadak merasakan perutnya sakit, lantas kaki- tangaanya kaku, hingga anggauta tubuh itu tidak mau menuruti ke-hendaknya. Ia kaget dan berduka, hatinya mencelos. Tidak dapat ia melihat punggung ataupun bayangannya Hian Song. Ia jadi berkuatir. Ia memikir, dapatkah ia melihat pula nona itu ?

Tapi ia ingat obatnya si nona, ia mencoba mengulur tangannya, untuk mengambil itu. Ia berhasil. Maka ia lantas menelannya. Tidak lama dari itu, ia merasa  enakan sedikit. Tinggal napasnya masih sesak, tak dapat ia menyalurkannya dengan rapi.

Tidak, heran pangeran ini keracunan hebat. Obat yang Thay Peng Kongcu menyebutnya sebagai obat pemunah racun adalah pel yang dibikinnya dengan campuran kongciak-tha dan ho-angteng, yaitu nyali burung merak serta jengger-merah burung bo, dua rupa racun yang keras sifatnya, sedang dimakan nya disaat terluka dan keracunan, pantas akibatnya bertambah hebat.

Tidak selang lama, Tiangsun Tay terlihat bertindak masuk. Ia tidak tahu keadaan berbahaya dari Lie It itu. Habis makan obat, roman si pangeran nampak sedikit segar. Ia mendekati pembaringan untuk terus bertanya : "Kabarnya kau terluka, maka itu aku lekas-lekas pulang. Bukankah itu tak berbahaya ?"

"Aku merasa baikan," menyahut Lie It. "Kemarin Thio Kian Cie beramai membawa pasukan tentera keistana, apakah kau bertemu mereka itu ?" '

Tiangsun Tay menghela napas.

"Aku telah dipanggil Lie Touw-ut," sahutnya. "Kalau aku tahu bakal terjadi peristiwa demikian, pasti aku tidak pergi memenuhkan panggilan itu."

"Bagaimana ?"

"Sebenarnya kita bukannya memikir memberontak terhadap Seri Ratu," Tiangsun Tay menjelaskan. "Kita cuma ingin mahkota naik ditakhta siang-siang supaya dapat kita mencegah niat berchianat dari Bu Sin Su."

"Aku mengerti maksud kamu," Lie It bilang. "Memang Bu Cek Thian telah berusia lanjut sekafi."

"Justeru karena usianya itu, kita menghendaki Seri Ratu tidak terlalu bercapaihati mengurus lebih jauh urusan pemerintahan, supaya dia dapat beristirahat dan hidup berbahagia. Usaha kita itu justeru karena kita menyayangi dan menghormatinya. Siapa tahu maksud kita salah diterima, melihat kita, Seri Ratu jadi berduka sangat. Aku berada didamping Thio Siangkok tempo aku melihat dia mengundurkan diri, selagi mengerahkan firman pengundurannya, kedua tangannya bergemetar. Dia cuma mengatakan : 'Kamu. bekerjalah baik-baik. Semoga kamu dapat membantu Thaycu mengurus negara, supaya menjadi terlebih baik daripada pemerintahku’ Matanya Thio Siangkok mengembeng air. Seri Ratu tidak bicara lagi, sambil memegangi Siangkoan Wan Jie ia berjalan masuk. Kabarnya begitu ia tiba dikeraton begitu ia jatuh sakit."

"Bu Cek Thian biasa memegang kekuasaan, dialah seorang wanita yang besar ambeknya, sudah pasti dia tidak merasa puas Yang dia dipaksa orang untuk melepaskan kekuasaannya itu."

"Ketika itu kita juga berduka," kata pula Tiangsun Tay. "Akan tetapi karena kita percaya pemberontakan bakal dapat dicega, kita menganggap tindakan itu ada juga harganya."

Lie It menghela napas.

"Sekarang kekacauan telah lewat," ia bilang, "tetapi menunit aku, rasanya kekacauan dibelakang hari akan jadi terlebih hebat pula "

Tiangsun Tay terperanjat. "Bagaimana itu ?" tanya dia.

"Setelah Bu Cek Thian wafat, puterinya tidak bakal  ada orang yang dapat menguasainya," Lie it menerangkan. "Dia tidak memiliki kepandaian ibunya tetapi mewariskan ambekan sesat dari ibunya itu, dia pun kejam melebihkan sang ibu. Pasti sekali putera mahkota bukan lawannya"

Tiangsun Tay menjadi bingung. Ia memang ketahui juga liehaynya nay Peng Kongcu.

"Habis bagaimana ?" ia tanya. "Habis bagaimana ?" "Ya, bagaimana ?" mengulangi Lie lt. Didalam hatinya,

pangeran ini barulah menginsafi kenapa Bu Cek Thian menghendaki sangat Siangkoan Wan Jie menikah dengan putera mahkota.

"Saudara Lie, kau pikirkan apa ?" tanya Tiangsun Tay, menatap Lie It, yang berdiam saja dan pikirannya lagi bekerja ka ras. Ia benar-benar bingung.

"Aku bertemu dengan Wan Jie," jawab Lie It perlahan.

Tiangsun Tay terkejut. Ia memang ingin tanya hal si nona, tetapi Lie It mendahului menimbulkannya.

Lie It menghela napas.

"Aku pun bertemu dengan Bu Cek Thian," katanya pula. "Mereka berdua ada bersama "

"Bagaimana dengan Wan Jie?" tanya Tiangsun Tay cepat, agak gelisah. ,

"Ia harus dikasihi," sahut pula si pangeran. "Ah, mungkin bukan harus dikasihani. Ia berat sekali tanggungjawabnya, hingga ia menjadi bergelisah karenanya ?"

"Berat tanggungjawab ..." Tiangsun Tay mengulangl, perlahan.

"Apakah itu ?” "Tidak lama lagi kau bakal ketahui itu. Ah, baru sekarang aku mengerti Manusia itu harus rela melepaskan sesuatu. Bicara terus-terang, mengenai Wan Jie, aku tidak menyetujui Bu Cek Thian, tetapi mungkin ratu itu dapat memandang terlebih jauh daripada kita ! Dia menghendaki mengambil jalan yang dia ambil. Jalan itu benar atau tidak, aku tidak berani membilangnya. Hanya jelas, jalan itu diambil Bu Cek Thian bukan untuk kepentingannya sendiri. Manusia itu, biar dia kukuh bagaimana juga, ada saatnya yang dia toh mesti dibikin penasaran atau tidak puas, hingga dia mesti tunduk dan rela menguibankan sesuatu. Saudara Tay, kau mengertikah ?"

Tiangsun Tay agaknya mengerti sedikit, setelah ia berpikir, tubuhnya nampak menggigil. la jadi tidak berani menanyakan lebih jauh.

Lie It sendiri, karena berpikirnya itu, lalu mukanya menjadi pucat pula.

"Kau beristirahatlah," kata Tiangsun Tay kemudian. "Nanti aku mengambilkan air teh. Itulah teh yang dibuat menurut surat obat tabib istana yang telah diminta Hian Song." la lantas keluar.

Lie It berdiam, tetapi hatinya berdenyutan. Ia menghela napas. Tidak lama, ia mendengar tindakan kaki. Ia heran hingga ia berpikir : "Kenapa Tiangsun Tay kembali begini cepat ?" Maka ia lantas menoleh, ia meng angkat kepalanya. Ia melihat yang datang itu seorang wanita. ialah Siangkoan Wan Jie ! '

"Ah, kau datang ?" seru si pangeran kaget. Nona Siangkoan datang dengan membawa secangkir teh. Ia moletakinya diatas meja, ia sendiri terus duduk didepan pembaringan.

"Kau telah kembali, mana dapat aku tidak menjenguk kau ?" sahut si nona perlahan. "Apakah lukamu baikan ?" Sembari berbicara, nona itu mengawasi juga ketepi pembaringan, hingga ia melihat sehelai saputangan yang demak, rupanya basah dengan airmata. Ia lantas mengenali saputangannya Hian Song. Maka sejenak itu, ia merasa hatinya tertindih berat.

"Sudah baikan banyak," Lie It menyahut sesudah ia menenteramkan hati. Ia tidak mau bicara banyak, guna mencegah nona itu bersusah hati la tahu, kalau ia buka rahasianya Tay Peng Kongcu, Wan Jie pasti bakal bentrok dengan puteri itu, pasti dia tidak sudi menikah dengan putera mahkota. Thay Peng Kongcu berpengaruh, dengan Bu Cek Thian lagi sakit, Wan Jie bakal tanpa pelindung. Hian Song juga sulit membelanya. Ia tidak mau karena urusannya, nanti timbul lain keonaran.

Setelah menatap nona itu, Lie It mengangkat saputangan disisinya itu.

"Encie Hian Song telah datang kemari," katanya. "Inilah saputangannya, yang ia rupanya bikin ketinggalan, maka sebentar tolong kau mempulangi padanya."

Hati Wan Jie kusut, tetapi ia dapat bersenyum.

"Tak usahlah," katanya. "Baik ditinggal disini saja. Aku percaya dia bakal datang pula kemari." Hian Song menyinta Lie It, tetapi dengan Wan Jie ia bagaikan saudara kandung, maka itu mengetahui Wan Jie pun menyintai si pangeran, ia suka mengalah. Pula tidak pernah ia mengutarakan rasa hatinya itu. pada Nona Siangkoan. Tapi Wan Jie cerdas sekali, ia dapat menerka hatinya Nona Bu, maka itu sekarang, melihat saputangan Hian Song itu, ia mengerti seanteronya.

"Kiranya encie Hian Song pun menyintai Lie It seperti aku menyintainya," pikirnya. Tentu sekali ia menjadi, sangat berduka, hingga tanpa dapat dicegah lagi, airmatanya lantas mengembeng dan mengucur keluar.

Lie It menarik tangan nona itu.

"Seorang yang hidupnya memperoleh sahabatnya, dia dapat mati puas," katanya perlahan. "Sekarang aku bertemu dengan kau, aku puas sekali. Wan Jie, jangan kau berduka. Bukankah rembulan bundar ada waktunya suram? Bahwa manusia itu mesti berkumpul dan berpisah ? Didalam dunia ini, segala kehendak manusia tidak selamanya dapat dipenuhi semua !"

Wan Jie menggenggam keras tangan si pangeran. "Asal kau puas, aku pun puas," katanya.

Lie It cerdic, tahulah ia apa artinya kata-kata nona ini. Wan Jie telah memberi restu terhadapnya dan Hian Song. Rupanya nona ini menerka, jodoh. ia dengan jodoh Nona Bu telah dirangkap. Karena ini, ia berduka sekali. Meski demikian, ia tidak mau memberi penjelasan.

"Ketika pada sepuluh tahun dulu aku mendengar kau menjadi panitera dari Bu Cek Thian, aku sangat berduka,'' ia berkata, "bahkan aku membenci terhadapmu ! Sekarang, sebaliknya, aku mengagumi kau ! Kau bercita-cita, kau pintar, memang kau harus melakukan sesuatu yang besar ! Bu Cek Thian pantas mendapat bantuan kau"

Wan Jie bersenyum. "Akhir-akhirnya pandanganmu berubah !" katanya. "Sekarang bagaimana ? Bagaimana kau pikir untuk hari-harimu yang bakal datang ? Apakah kau akan tetap tinggal disini ?"

Lie It berduka pula, hatinya terasa sakit.

"Aku bakal tak berdiam lebih lama lagi dalam dunia ini, mana bisa aku bicara dari hal hari-hari yang mendatang ? katanya dalam hatinya. Ia menguati hati, untuk tidak mengentarakan sesuatu kepada si nona. Ia kata : "Sesuatu orang ada angan-angannya sendiri. Putera mahkota sudah pasti akan naik ditakhta, keinginanku telah terkabul, maka itu selanjutnya aku akan membawa diriku sebagai burung jenjang yang merdeka, aku akan hidup didalam dunia Kang-ouw !"

Penyahutan itu membikin hati Wan Jie bercekat.

"Aku ingat encie Yan Song pernah mengatakan, pikirnya, "setelah kekacauan lewat, sesudah wafatnya Seri Ratu, dia mau hidup, dalam perantauan dalam dunia Kang-ouw, untuk tidak mencampuri lagi urusan pemerintahan. Jadi nyata, cita-cita mereka berdua sama. Jikalau mereka bisa menjadi kawan seumur hidup mereka, untuk merantau sambil melakukan pelbagai kebaikan, maka kebahagiaan mereka ialah kebahagiaanku ..."

Maka itu tetaplah sudah hati Nona Siangkoan ini. Hian Song pernah berkurban untuknya, maka sekarang ingin ia berkurban untuk nona itu. Ia lantas berbangkit, untuk berkata dengan perlahan: "Sekarang ini Seri Ratu juga lagi sakit dan rebah dipembaringannya, aku hendak melihatnya dia. Mungkin kita berdua bakal tidak bertemu pula, maka itu kau, kau jagalah dirimu baik-baik"

Habis berkata Wan Jie memindahkan khim tua dari Lie It keatas meja, ia lalu memetiknya, sembari mengasi dengar lagunya, ia menimpali dengan nyanyiannya. Habis satu babak, airmatanya sudah mengembeng, sekalian saja, ia beristirahat sebentar. Setelah. itu, ia memetik pula, ia bernyanyi lagi. Hanya kali ini, setelah habis lagu dan nyanyiannya itu, ia berbangkit sambil menolak minggir alat tetabuan itu, lantas ia bertindak pergi, menghilang dari kamar itu

Dengan nyanyiannya itu, Nona Siangkoan menyesalkan nasibnya yang buruk. Ia bercita-cita mendapatkan suami yang tepat, siapa tahu, ia 'ganggu badai, hingga sang bu menjadi layu. Setelah itu kagum untuk peruntungan baik dari Lie It dan Hian Song, yang dapat pergi bersama, untuk merantau, untuk nanti hidup sunyi tak menghiraukan lagi penghidupan yang sulit

Lie It berduka sekali.

"Wan Jie, Wan Jie, mana kau ketahui hatiku " katanya dalam hati. Kemudian ia pikir lebih jauh :"Ini pun ada baiknya, ia jadi boleh melepaskan aku dan menikah dengan putera mahkota"

Oleh karena ini, setelah menepas airmatanya, hati si pangeran menjadi tenang, hingga ia dapat bersenyum, walaupun senyum sedih. Tiangsun Tay berada diluar kamar, ia lagi menantikan, ketika ia melihat Wan Jie keluar dengan airmatanya memenubi mukanya, ia jadi heran.

"Wan Jie, kau kenapakah ?” ia tanya. Nona itu mengangkat tangannya.

"Aku mau pergi," katanya. "Pergi kau masuk dan merawati dia. Ah, kau juga, lain kali kau jangan datang pula kekeraton menjengguk aku. Tentang kebaikan kau, akan kuingat selama-lamanya."

Tiangsun Tay bingung dan berduka. Sepuluh tahun ia menyinta, kiranya akhirnya itu begini rupanya.

"Aku tidak menyangka begini rupa dia menyintai Lie It," pikirnya kemudian. "Tapi, kenapa dia begini berduka? Apakah yang Lie It ucapkan maka dia jadi remuk hatinya?"

Lantas ia bertindak masuk kedalam kamar. Ia melihat Lie It tenang saja. Tidak ada tandanya bahwa telah terbit gelombang hebat.

Lie It pun lantas berkata : "Saudara Tiangsun, aku lihat kau kurang sehat. Kau tentunya letih sekali. Baiklah kau pergi beristirahat. Aku baru makan obat, aku merasa mendingan banyak, jadi tak usahlah kau kuatirkan diriku."

Tiangsun Tay suka menurut. Ia kata dalam hatinya: "Baiklab aku tunggu sampai dia sudah sembuh, baru aku minta keterangannya "

Diluar dugaan, besoknya, bukan Lie It nampak baikan, dia justeru jadi lebih berat penyakitnya. Pagi-pagi Tiangsun Tay melongok, ia mendapatkan orang waswas, beberapa kali Lie It ngelindur, suaranya tidak tegas tetapi terang ia menyebut-nyebut Hian Song dan Wan Jie

Selagi kaget, Tiangsun Tay tahu tidak dapat ia meninggalkan si pangeran. Maka ia menitahkan seorang pegawainya, buat dia lari mengabarkan pada Pek Goan Hoa, untuk minta Goan Hoa pergi mencari Hian Song, yang mesti dipanggil datang.

Justeru itu dari jalan besar terdengar suara tetabuan. "Hari ini ada pesta didalam istana !" berkata si

pegawai. "Tadi pagi sekali ada pengawal pintu istana yang mengumumkan b.ahwa semua siewie istana, sebelum tengah-hari, mesti berkumpul diistana untuk menerima titah. Loya, kau pergi atau tidak ?"

Tiangsun Tay melengak. Ia tidak tahu hal pesta itu. "Ada pesta apakah ?" ia tanya.

"Katanya kemarin putera mahkota pulang dan hari ini ia bakal nikah See Kiong Nio-nio"

Tiangsun Tay heran.

"Siapakah itu See Kiong Nionio ?" ia tanya. See Kiong Nionio ialah Permaisuri kamar Barat. "Dia dari keluarga manakah? Apakah kau tahu ?"

Hamba itu menyahuti, dengan perlahan : "Kabarnya dialah Nona Siangkoan yang kemarin datang kemari."

Adalah pikiran dan kehendak Bu Cek Thian agar pada sebelum ia meninggal dunia ia dapat mengambil Siangkoan Wan Jie menjadi nona mantunya. Gelarannya Wan Jie ialah "Ciauw Yong," bukannya .See Kiong," akan tetapi lantaran dia diperhatikan istimewa, dia sangat dihargai, dia disambut secara luar biasa, dengan kehormatan besar, melainkan kalah setingkat dengan pernikahan seorang permaisuri. Karena itu, pengawal pintu keraton menyebutnya gampang saja, ialah See Kiong Nio-nio, selir dari Keraton Barat.

Tatkala kemarinnya Wan Jie menemui Lie It, ia masih raguragu, baru kemudian, sesudah melihat saputangan Hian Song, ia mengambil putusannya, maka juga sekembalinya ia keistana, lantas ia menerima baik anugerahannya Bu Cek Thian: Begitulah dihari ke- duanya, upacara nikah lantas dilangsungkan, hingga ramailah orang berpesta disembilan pintu kota raja serta didalam dan diluar istana.

Kapan Tiangsun telah menerima lapuran hambanya, ia lantas ingat sikap Wan Jie kemarin ini, ia lantas sadar kepada kenyataan, maka itu diam-diam ia berduka sendirinya. la lantas memesan orangnya: "Aku hendak merawat orang sakit, hari ini aku tidak dapat pergi kekeraton. Kau turut pesanku, kau bawah suratku menghadap Pek Tayjin serta sekalian memohonkan aku cuti kepada congkoan tayjin."

Hamba itu menurut dan mengundurkan diri; setelah mana, Tiangsun Tay kembali kepada Lie It.

Pangeran itu seperti disadarkan suara tetabuan yang ramai diluar rumah, ia membuka matanya, melihat Tiangsun Tay datang, ia menanya: "Siapakah yang menikah? Suara musik ramai luar biasa, itu mestinya bukan sembarang rakyat jelata ... "

"Aku tidak tahu," sahut Tiangsun ia embari tunduk dan menggeleng kepala, suaranya perlahan. ia menahan turunnya airmatanya. Disaat itu, lie It seperti sadar luar biasa, dimatanya tertampak kedukaannya Tiangsun Tay itu.

"Kau tidak tahu?" katanya, tertawa sedih. "Aku tahu! Tidakkah baik kesudahan semacam ini? Didalam hatinya ada kau, ada aku juga, akan tetapi dia mempunyai jalannya sendiri. Maka itu, perlu apa kau berduka?"

Suaranya Lie It ini menjadi perlahan sekali, habis berkata, napasnya menjadi lemah. Menampak demikian, Tiangsun Tay menjadi kaget, ia bingung, lantas ia memeluk.

"Tian.. " ia berkata ditelinga itu. "Aku telah menitahkan orang memanggil Hian Song. Kau tunggulah sebentar!"

"Mari kasi aku melihat dial" demikian tiba-tiba suaranya si Nona Bu.

Nona ini sudah datang tetapi Tiangsun Tay tidak mengetahuinya.

Lie It mendengar suara si nona, bagaikan tambah semangat dengan tiba-tiba, ia mengangkat kepalanya. Ia lantas melihat muka Hian Song bermandikan airmata, sepasang alisnya yang lentik, kuncup.

"Buat apa menangis?" ia kata, tertawa. "Didalam dunia ini dimana ada pesta seratus tahun yang tidak bubar? Wan Jie telah mendapatkan tempatnya, hatiku tenteram " la hening sedetik. "Tinggal budimu yang aku belum dapat balas, baik aku hendak membebankan kau dengan urusanku yang mendatang"

Hian Song menangis terisak, airmatanya turun mengalir. Ia mencekal erat-erat tangan orang. "Kau bilanglah!" katanya.

Nona ini berkata dengan pengharapannya telah lenyap. Ia mendapatkan nadi pangeran itu sudah kacau

"Ini ini pedang " kata pula Lie It, terputus-putus, "kau tolong simpan dan bawa untuk dikasikan kepada Si Bin Jikalau nanti dia sudah besar, kau ajak dia pulang ke Tiongkok "

"Sungguh keliru aku menyuruh kau pulang" berkata Hian Song, airmatanya mengucur deras.

"Tidak .. .. tidak!” berkata Lie It. "Sedikitpun aku tidak menyesal Setelah aku pulang, aku menyaksikan pelbagai hal yang mendukakan hati, berbareng aku pun melihat hal-hal yang membangunkan semangat ... Sekarang aku mengerti, seorang-orang pribadi sebenarnya tidak berarti banyak Tapi orang ada mempunyai harapan"

Lalu suaranya menjadi lemah luar biasa.

Hian Song mengawasi tajam, hatinya tidak keruan rasa.

"Yang membikin hatiku tidak tenteram ialah kau" kata pula Lie It. "Ah, kakak seperguruanmu itu dia dialah seorang baik "

Tak dapat Lie It meneruskan kata-katanya itu, ia berhenti, napasnya pun berhenti.

Hian Song enjadi demikian berduka sampai tidak dapat menangis lagi. Ia memegangi pedangnya Lie It, dalam hatinya ia kata: "Pasti aku tidak akan mensia-siakan pengharapanmu! Kau mati, kau hidup, terhadapmu aku tetap saja! " Lantas ia memutar tubuhnya, untuk bertindak pergi. Ketika ia melewati pintu besar, baru terdengar tangisannya Tiangsun Tay.

Ada kata-kata yang membilang, benda berputar, bintang berpindah, dan lakon manusia berubah. Demikian satu tahun kemudian setelah Lie It meninggalkan dunia yang fana ini.

Selama satu tahun itu, sesudah Bu Cek Thian turun dari takhta, yang ia serahkan kepada puteranya, tidak lama ia pun wafatlah. Siangkoan Wan Jie tetap menjadi Ciauw Yong. Adalah Thay Peng Kongcu, sang puteri, yang pengaruhnya menjadi bertambah besar. Pangkatnya Tiangsun Tay naik satu tingkat, dia menjadi Hu-touw-ut, pemimpin muda, dari Kim Wie Kun, pasukan istana kaisar. Bu Hian Song telah pergi meninggalkan kota raja dimana orang tak tahu dia pergi kemana

Sementara itu digunung Thian San, dipuncak sebelah selatan yang tinggi, Lie Hie Bin, puteranya Lie It, tengah menantikan kembalinya ayahnya. Ia telah berumur sepuluh tahun, dibanding dengan duluhari, ia telah mengerti segala apa terlebih banyak pula. Ketika itu hari ia berlatih silat bersama Pwe Siok Touw, semacam ilmu silat yang ruwet dapat ia jalankan dengan baik sekali, hingga Siok Tow dengan girang kata padanya: "Jikalau ayahmu melihat kau sebagai sekarang ini. entah berapa girang dia!"

Tengah berlatih itu, sekonyong-konyong Hie Bin berhenti bersilat.

"Siok-hu, mengapa ayahku masih belum kembali juga?" ia menanya tiba-tiba. "Ayah pernah membilangi aku, katanya paling lama satu tahun, ayah akan sudah kembali. Sekarang sudah satu tahun lewat tiga bulan "

"Perjalanan dari Tiang-an kemari ada perjalanan beberapa laksa lie," menyahut sang paman, "asal ditengah jalan ada sedikit saja kelambatan, tidak panti orang dapat tiba ditempat tujuan menurut waktu yang telah dijanjikan. Disebelah itu mungkin ayahmu masih mempunyai beberapa urusan lain "

"Tidak," berkata si "ayah belum pernah membohongi aku!...”

Belum berhenti suaranya anak itu, tiba-tiba Siok Touw berkata: "Ah, lihat disana! Ada orang lagi mendatangi!" Lantas ia mengawasi, lalu ia bagaikan tersamber kilat, tubuhnya bergemetar tidak keruan  ”Ayah! Ayah!" Hie  Bin pun berteriak memanggil. Atau mendadak ia mengubah panggilannya: "Ah, bibi!"

Itulah Bu Hian Song, yang lagi mendatangi, pakaiannya putih seperti salju, dipinggangnya tergantung sebatang pedang, dan matanya bercahaya sebab airmatanya mengembeng

Hie Bin menyambut sambil berlompat, untuk merangkul anak itu.

"Bibi! Benar-benar bibi tidak  melupakan  aku!" katanya bernapsu. "Adakah selama di Tiangan bibi telah bertemu dengan ayah? pedang ini pedang ayahku!" .

"Bin, inilah pedang ayahmu," menjawab Hian Song. "Ayahmu menyuruh aku membawa pedang ini untuk diserahkan padamu."

"Habis, bagaimana dengan ayahku?" si anak tanya. Tak tahan Hian Song tak terisak dan airmatanya melele

"Ayahmu? " katanya perlahan. "Ayahmu ayahmu tidak akan kembali "

Hie Bin mengawasi, kedua matanya dipentang lebar. Walaupun dia masih kecil, segera dia memperoleh firasat tidak baik. Dialah scorang anak yang cerdas dan pintar.

"Ayahmu memesan supaya kau mendengar kata- kataku," berkata Hian dengan hati hati. "Aku akan bawa kau pulang ke Tiongkok maukah kau mengikut aku?"

Hie Bin tidak lantas menyakuti, hanya tiba-tiba dia menjerit meaangis.

"Bibi, aku akan mendengar kata-katamu!" katanya sejenak kemudian.

"Sungguh inilah tidak dinyana!" kata Siok Touw perlahan. "Sungguh tidak disangka! Su-moay, apakah kau tidak mau tinggal disini? aku aku dapat membantu kau merawati anak ini”

Dalam kedukaan hebat dan ragu-ragu, Siok Tow dapat membesarkan nyalinya mengucapkan kata-katanya itu. Itulah kata-kata yang sudah mana ia simpan saja dalam hati. Maka sekarang ia bagaikan menanti dilepaskannya anak panah yang sudah dipasang pada busurnya la menanti jawaban si nona, adik seperguruannya itu

Dengan suara bergemetar, Hian Song menjawab: "Suheng, aku menghaturkan terima kasih untuk kebaikan hati kau. Suheng, hatiku sudah mati. Selanjutnya aku cuma akan tinggal hidup bersama anak ini. Aku telah memberi janjiku kepada ayahnya untuk mengajak dia pulang, maka. itu aku tidak niat menggerecoki kau lagi. Mana Heehouw Cianpwe?"

"Hee-houw Cianpwe sudah pergi ke Thian San Utara mencari Hu Put Gie," sahut Siok Touw. "Dia telah selesai mengajarkan ilmu tenaga-dalam Lay Kang Sim-hoat kepada anak ini"

Susah rasanya Siok Touw mengucapkan kata-katanya itu.

"Kalau begitu biarlah nanti saja, setelah bertemu pula dengannya, aku menghaturkan terima kasihku," kata si nona. "Suheng, ilmu pedang Partai kita aku mengandal kepada kau untuk memajukannya! Suheng, kau rawatlah dirimu baik-baik”

Siok Touw hilang harapannya matanya berbayang karena air-matanya. la mengawasi belakang si nona, yang menuntun Hie Bin, bagaikan bayangan, mereka itu pergi jauh, pergi jauh

Demikian hidupnya seorang manusia, bercerai hidup, bercerai mati, sama penderitaannya

TAMAT.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar