Lie it menyeringai.
”Jikalau begitu," katanya, "si nona mantu jelek terpaksa mesti menemui ibu mentuanya !"
Sementara itu beberapa anggauta Kim Wie Kun, yang turut hadir diistana, merasa heran. Mereka tidak kenal Lie It. Umpamakata benar Thio Tayjin ini orang yang dipujikan Tiangsun Tay, kenapa dia belum diajar kenal secara resmi dengan rekan-rekannya. Maka itu, semua mata mereka diarahtan kepada itu rekan yang baru, dan ingin mereka menyaksi kan kepandaian orang. Thia Kian Lam berada didalam istana Gui Ong, ia belum memperoleh kedudukan, tetapi ia menempatkan dia diantara pegawai-pegawai dan pengawal dari Bu Sin Soc. Ialah seorang yang teliti dan waspada, kapan ia melihat sikap luar biasa dari beberapa anggauta Kim Wie Kun itu, ia lantas turut mengawasi Lie It.
Waktu itu Lie It sudah masuk kedalam gelanggang, ia mengasi lihat roman likat. Dengan berpura-pura ia berkata : "Ah, bagaimana dapat aku mempertunjuki kepandaianku yang tidak berarti ? Aku malu"
"Bagaimana kalau diminta satu orang menemani tayjin bermain-main ?" tanya Kiu Siauw. la menyangka orang malu bersilat sendirian saja.
Lie it menunjuki sikap wajar, katanya : "Barusan aku telah menyaksikan kepandaian menggosok tangan dari Yang Tayjin, aku sangat kagum. Entahlah, diwaktu digosokkan, apinya itu dapat membakar kulit dan daging lain orang atau tidak Maka itu aku ingin sekali minta Yang Tayjin sudi mengajari aku ilmu kepandaiannya itu, hanya entahlah, Yang Tayjin suka atau tidak mengajarinya ? "
Kata-kata itu membuat terkejut para hadirin. Mulanya si Thio Tayjin bicara demikian merendah, siapa tahu buntutnya ialah dia menantang Yang Thay Hoa !
Mendengar suara orang itu mulanya Thay Hoa terkejut, tapi lantas dia tertawa.
"Pertemuan hari ini ialah pertemuan persahabatan dengan porantaraan ilmu silat, maka itu mana bisa tidak dapat !" ia berkata. Didalam hatinya, ia kata : "Tadi dia mendapat rasa sedikit, rekan-rekannya pasti telah melihatnya. Dia orang baru, tentu dia merasa tidak enak dihati. Pula tadi dia belum dapat menggunai tenaga Kim Cong Ciang yang dimilikinya, dia rupanya tidak puas, sekarang dia ingin mendapatkan pulang mukanya. Baiklah dia tidak tahu salatan, akan aku menggunai ketika ini untuk sekalian mengangkat nama !"
Thay Hoa telah mencyyajal tenaga orang ketika tadi mereka berjabat tangan, ia percaya ia bakal mendapat kemenangan, maka ia menerima baik tangtangan itu. Lantas ia berbangkit dari. tempatnya duduk.
Lie It hendak mengadu tenaga, inilah cocok dengan hatinya Thay Hoa. Maka begitu lekas mereka berdua sudah menempel kedua tangan mereka masingmasing, orang she Yang itu segera mengerahkan tenaga- dalamnya yang segat, lantas tersalurkan hawanya yang panas. Lie It sogera tertampak seperti dia tidak sanggup bertahan, peluh sebesar kacang kedele lantas keluar dan menetes dari jidatnya.
Thay Hoa melihat itu, ia tahu orang sudah kepanasan, ia . kata dalam hatinya : "Tidak dapat tidak, aku mesti membuat kau minta-minta ampun !" la menambah tenaganya, untuk membikin hawa panasnya itu bertambah.
Tengah ia mendesak itu, mendadak Thay Hoa merasa aneh. Kalau tadi ia merasakan tenaga melawan dari Thio Tayjin, sekarang tenaga melawan itu lenyap secara tiba- tiba. Ia pun tidak membaui bau tangan terbakar hangus. Ia melihat si Thio Tayjin bersikap tenang sekali. Dari merasa aneh, dia menjadi kaget. . "Ah, mungkinkah dia ini beckepandaian liehay ?" pikirnya kemudian. "Mungkinkah dia sangaja membawa sikapnya ini untuk memancing aku ?"
Belum lenyap heran orang she Yang itu atau sekonyong-konyong ia merasakan telapakan tangannya si Thio Tayjin melekat pada telapakan tangannya sendiri, nempel begitu rupa sampai ia menariknya susah, menolaknya. pun sukar. Ia menjadi kaget sekali. Ia kata dalam hatinya : "Aku menyangka dia paham ilmu luar saja, siapa tahu ilmu dalamnya liehay juga. Ah, dia rupanya mempunyai ilmu-dalam Ngo Bie Sim-hoat"
Saking herannya, Thay Hoa lantas menatap tajam lawannya itu. Ia segera merasa bahwa ia kenal orang ini, hanya ia tidak ingat, dimana mereka pernah bertemu satu dengan lain. Ia terus menatap, hingga akhirnya ia terkejut. Katanya dalam hatinya: "Bukankah dia Lie It?"
Hanya, setelah sampai sebegitu jauh, Thay Hoa mengenalinya. sesudah kasip.
Lie It sudah mengerahkan tenaga-dalamnya, sesudah menempel melekat telapakan tangan orang she Yang itu, ia mulai melakukan serangan membalasnya. Hebatnya untuk Thay Hoa, dia telah memikir banyak, dia menjadi merusak pemusatannya sendiri. Dia sangat heran bahwa Lie It berani menyamar dan memasuki juga istana Gui Ongl
Dalam hal tenaga-dalam, Lie It menang berlipatganda daripada Yang Thay Hoa, itu pun terlihat beberapa hadirin sesudah mereka menyaksikan pertempuran berjadan sekian lama. Yang paling memperhatikan ialah Thia Kian Lam, yang matanya tak pernah dikisarkan dari tatapannya terhadap pangeran itu. Ia heran kapan ia melihat, dari Lie It bermandi keringat, sekarang Yang Thay Hoa yang kena terdesak, sampai peluhnya keluar mengucur serta airmukanya turut berubah juga. Ia bukan seorang dengan ilmu silat sangat liehay, ia cuma liehay matanya, kuat ingatannya, satu kali ia melihat orang, sukar ta melupakannya. Demikian, ia lantas mencurigai si Thio Tayjin sebagai Lie It. Hanya sampai sebegitu jauh, ia masih bersangsi, belum berani ia menya takannya dengan terang-terang.
Lewat lagi beberapa detik, dad batok kepalanya Thay Hoa lantas terlihat mengepulnya hawa atau uap putih, sedang airmukanya menjadi bertambah berubah.
Akhirnya Goei Ong juga dapat melihat perubahan pada orangnya itu, ia mengerutkan alis.
"Pergilah kau minta mereka menghentikan pertandingan inil" la memerintahkan Man Lam.
Man Lam menerima titah tanpa ayal, tetapi ia terkejut kapan ia menyaksikan tubuhnya Thay Hoa bergoyang, terhuyung mau jatuh. Tidak ada waktu lagi untuknya datang sama tengah, terpaksa ia lantas menyerang dengan sepotong senjata rahasianya yang berupa thie- poutee. Ia mengarah nadinya Lie It.
Membarengi menyambernya thie-poutee itu, dari lain arah pula sebuah cawan arak, maka kedua rupa barang itu bentrok satu dengan lain, maka pecah hancurlah cawan arak itul
Pek Goan Hoa ialah oraag yang menerbangkan cawan arak itu. Dalam halnya senjata rahasia, ia memang menang daripada Kian Lam. Menyusuli cawan arak yang pertama itu, yang merobohkan thie-poutee, segera menyusul cawannya yang ke-dua. Kali ini serangan, ditujukan kearah Thia Kian Lam. Dia ini kaget, tetapi dia tidak sempat berdaya, dia terhajar jalan darahnya yang dinamakan kiok-tie. Maka segera lemaslah kedua dengkulnya, segeralah dia roboh dengan menekuk kedua lututnya - berlutut diluar kehendaknya sendiri. Tapi dia mencoba menjambret mejanya Bu Sin Su, dengan susah dia mengasi dengar suaranya yang nadanya dalam: "Orang she Thio itu ialah Lie It yang menya...”
Ketika itu berisiklah sudah suara orang, maka juga, perkataannya Man Lam ini cuma didengar oleh Gui Ong sendiri serta beberapa pengawal didampingnya.
Lantas Pangeran Gui berseru berulang-ulang: "Berontak! Berontak! Siapakah yang mengacau? Lekas cari dial Tangkap padanyal"
Belum berhenti seruan itu, pertandingan diantara Yang flay Hoa dan si Thio Tayjin telah sampai kepada akhirnya. Congkoan Cui Kiu Siauw ingin datang sama tengah, untuk menyudahinya, tetapi dia terlambat, belum dia menghampirkan sampai dekat, terlihat Lie It sudah mengsingkat tubuh Thay Hoa, untuk diputar bagaikan angin puyu, terus dilemparkan
Dilain pihak, Pek Goan Hoa sudah siap sedia. Dia melihat tubuh Thay Hoa dilemparkan kearahnya, dia lantas berlaku sebat, dia menanggapinya untuk meringkus orang she Yang itu.
Dalam kekacauan itu, Gui Ong berteriak: ”Dua orang itu ialah mata-matanya khan Turkil Tangkap mereka!" Dia menuding kepada Lie It dan Goan Hoa. Bu Sin Su telah mengetahui Thio Tayjin itu ialah Lie It, si pangeran, ia lantas menggunai ketikanya menuruti petunjuknya Thia Kian Lam, ia memberikan titah penangkapannya. Inilah kebetulan untuknya. Ia ingin dapat mewariskan takhta kerajaan dari tangan bibinya, dalam usaha itu, Lie It ialah salah satu musuhnya. Lie It tentu akan menentang sepakterjangnya itu. Maka disamping thaycu, putera mahkota, Lie It itu orang berbahaya untuk-nya. Ia tahu Lie It menentang bibinya dan sang bibi tidak menyukai ini pangeran dari itu ist percaya, Lie It tentulah tidak berani mengakui dirinya sebagai Lie It, maka tak usahlah ia berkuatir untuk membekuk pangeran ini. Sebab Pek Goan Hoa melindungi Lie It, sekalian saja, orang she Pek ini hendak dibekuk juga.
Mendengar titahnya Gui Ong para pengawal menjadi heran. Meski begitu, tujuh atau delapan pengawal lantas maju, untuk mentaati titah.
Sampai disitu, Thangsun Tay pun bertindak.
"Tahanl" dia berseru. Dengan cepat dia mengeluarkan surat titah penangkapan dari Lie Beng Cie. Itulah titah istimewa, yang tidak menentukan waktu dan tak menghiraukan tempat penangkapannya, bahkan pembesar-pembesar, setempat diwajibkan memberikan bantuannya. Dia mengibaskan itu, dia menambahkan dengan suaranya yang nyaring: "Ongya kelirul Disini memang ada dua matamatanya khan tetapi mereka. itu bukannya dua orang ini"
Airmukanya Gui Ong menjadi berubah. Dia mendongkol.
"Siapakah?" ia tanya bengis. Tiangsun Tay berani, ia menyahut dengan terus- terang: "Yang satu ialah ini Tang-mui Kauw- ut Yang Thay Hoal Yang lainnya ialah Thia Kian Lam yang berada disisi Ongya sendiri! Dia bahkan satu penjahat kesohor kaum Kang-ouw, ialah ketua muda dari partai gelap Hok How Pangl Inilah surat titah dari Lie Touw-ut untuk membekuk dua mata-mata itu, silahkan Ongya periksa"
Habis berkata, Tiangsun Tay menyerahkan surat titah itu kepada seorang pengawal, untuk dia itu menyerahkannya pada si pangeran. Dia ini, mau atau tidak, dapat melihat bunyinya surat titah itu, begitupun beberapa rekannya, yang pada mengulur kepalanya dan membuka matanya, untuk turut membaca juga. Mereka Itu mengenal baik tulisannya Lie Beng Cie, karenanya mereka mendapat kenyataan, surat titah itu bukannya surat palsu. Maka itu kesudahannya, mereka itu pada berdiam saja.
Bu Sin Su menyambuti surat titah itu, untuk d'baca. "Hm!" katanya, lalu mendadak dia merobeknya. Terus
dia menggeprak meja seraya berkata keras: "Ngaco-belo! Dua orang ini ada orang-orang yang dipujikan olehku, aku kenal mereka baik sekali! Mana bisa merekalah si mata-mata? Lekas kau merdekakan Yang Kauw-ut!"
Tiangsun Tay menyabarkan diri, ia menjura kepada pangeran itu.
"Inilah titah dari Lie Touw-ut yang aku yang rendah tidak berani lawan!" katanya.
Gui Ong gusar, ia membentak pula: "Titahnya Lie Beng Cie kau tidak berani lawan! Jadi kau berani menentang perintahku? Cukuplah! Urusan bagaimana besar juga, nanti aku yang menanggungjawabnya! - Lekas, rampas pulang Yang Kauw-ut. Lekas bekuk dua mata-mata ini!"
Anggauta-anggauta Kim Wie Kun dan le Lim Kun yang hadir disitu menjadi serba salah. Mereka tidak berani membantah Gui Ong, seorang raja muda, tetapi mereka pun tidak berani menentang titahnya Lie Beng Cie. Lie Beng Cie itu tongnia, ialah kommandan dari mereka semua. Maka itu, didalam sepuluh, delapan atau sembilan orang pada berdiam saja.
Melihat sejumlah pengawal lari kearahnya, Lie It lantas membentak: "Didepan kamu ini ada si mata-mata, bukan kamu membekuk dia, kamu datang padaku! Apakah kamu mau? Jangan kamu nanti menyesalkan aku berlaku kurang ajar!"
Seorang pengawal maju terus. Dia bersenjatakan bandring liceseng-twie, dengan senjata itu dia lantas menyerang.
Lie It mengerahkan tenaga Kong-kong-cie dijeriji tangannya, ia menyambuti bandring, untuk ditangkap, setelah mana, ia menyemparnya. Tepat dibelakang ia ada dua pengawal lain, yang menyerang dengan golok dan pedang, senjata mereka itu tersampok bandring hingga terbang terpental. Lagi satu pengawal datang merangsak, dia disambut dengan jejakan pada dengkulnya, hingga dia roboh terguling.
Dua serdadu Ie Lim Kun mau mengambil hatinya Gui Ong, mereka maju untuk menyerang Lie It. "Kenapa kamu menyerang rekan sendiri?" Pek Goan Hoa menegur mereka itu. "Apakah kamu benar-benar percaya aku seorang mata-mata?"
Goan Hoa asal Kim Wie Kun, didalam le Lim Kun, dia menjabat pangkat tinggi, rekan-rekannya mengenalnya baik sekali, dari itu tidak nanti mereka menyangka dia sebagai mata-mata bangsa asing. Maka dua orang itu membatalkan maksud mereka, sedang yang lain-lainnya berdiam terus.
Sampai disitu, orang-orangnya Tiangsun Tay lantas turun tangan, untuk membantui Lie It, hingga mereka jadi menentang pengawal-pengawal yang setia dan taat kepada Gui Ong.'
Melihat orang-orangnya Gui Ong tidak berani turua tangan, Thia Kian Lam lantas maju, dengan berani dia menerjang Tiangsun Tay.
"Bagus!" berseru orang she Tiangsun itu, yang ihenghunus pedangnya, buat dipakai memapaki dengan tikamannya dengan jurus "Sin Hong cut hay" atau
"Naga sakti keluar dari laut " la menikam uluhati.
Ilmu silat Tiangsun Tay ada warisan orangtuanya, didalam Kim Wie Kun, ia termasuk kelas satu, maka itu, ketika Thia Kian Lam batal menyerang dan terpaksa menangkis tikaman itu, dia ini gentar hatinya. Kian Lam menggunai sepasang poankoanpit, tempo senjatanya bentrok, tangannya terasa sakit sendirinya. Lantaran ini selanjutnya dia tidak berani mengadu senjata, dia terus menunjuki kelincahannya, untuk dapat menotok lawannya. Tiangsun Tay memutar pedangnya, guna menutup rapat tubuhnya, dengan begitu ia membikin Kian Lam tidak berani merapatkan diri, hingga tangan-kanannya Gui Ong ini menjadi mati kutunya.
Bu Sin Su gusar sekali menyaksikan pihaknya tidak berdaya. Saking murka, dia berseru: "Buat apakah aku memiara kamu? Kenapa kamu tidak mau lekas turun tangan untuk menolongi orang? Lie Beng Cie itu makhluk apa? Apakah kamu takut padanya? Ada urusan bagaimana besar juga, aku yang bertanggungjawab! Siapa berani menentang, tidak perduli dia siapa, tangkap padanya! Tangkap semuanyal"
Mendengar rajamuda itu, kawanan pengawal lantas pada maju, tetapi kebanyakan yang menghampirkan Lie It, cuma sedikit yang maju untuk menolongi Yang Thay Hoa.
Tiangsun Tay melihat demikian, ia berseru: "Aku datang kemari menjalankan titah menangkap mata-mata musuh, maka itu siapa yang berani merintangi aku, dia jangan sesalkan pedangku nanti!"
Touw-ut ini tidak cuma mengancam, ia terus menyerang dua pengawal yang maju paling depan dan melukainya.
Pek Goan Hoa juga menggunai hui-to, golok terbangnya" dengan apa ia turut melukai beberapa orang.
Biar bagaimana, Tiangsun Tay toh dimalui, dari itu, habis itu, ia cuma dikurung saja. Karena ini, ia jadi leluasa melayani Thia Kian Lam. Dengart lekas ia menendang roboh ketua muda Hek Houw Pang itu, maka Pek Goan Hoa lantas menubruknya, buat menotok dia hingga tak berdaya. Kemudian, dengan kedua kaki menginjak tubuh Thay Hoa dan Kian Lam itu, dengan tipu batang huito siap ditangan, ia memandang bengis kepada semua pengawalnya Bu Sin Su la mengancam!
Gui Ong menjadi semakin gusar.
"Cui Congkoan, kau majulah!" ia memberi perintah. "Kepalai mereka itu!"
Lie It sendiri bekerja terus. Lagi dua musuh kena dirobohkannya, lalu dia menerjang rombongan pengawal, guna meloloskan diri dari kepungan. Tengah ia membuka jalan itu, mendadak terdengar sambaran angin serta terlihatlah suatu sinar kuning emas menyambar padanya.
Itulah kim-khoa, atau topi emas, dari Kim Koan Tojin, yang telah melakukan penyerangannya.
Kim Koan Tojin berasal tokheng toa-to, ialah begal tunggal, yang biasa bekerja bersendirian saja. Pada duapuluh tahun dulu, ia sudah menjagoi dijalan SiamKam, kedua propinsi Siamsay dan Kamsiok, belum pernah ia menemui tandingannya. Setelah Ratu Bu Cek Thian memegang tampuk pimpinan pemerintahan dan aturannya bengis untuk kejahatan, ia lantas menjaga dirinya dengan menukar she dan nama serta menyalin rupa juga. Ia telah pergi kekuil Pek Ma Koan di Liang-ciu dimana ia masuk menjadi tosu atau imam pengikut To Kauw. Ketika tosoc ketua kuil itu meninggal dunia, ia mengangkat dirinya menjadi ketua dengan paksa. Bu Sin Soc mendapat tahu tentang ini tosu tetiron, dia mengundang dengan hadiah besar, supaya ia datang kekota raja membantu padanya. Ia sudah "bersembunyi" duapuluh tahun, ia percaya tidak ada orang akan mengenalinya, hingga tak usahlah ia berkuatir akan berdiam diistana pangeran ini. Ia percaya Gui Ong akan dapat melindungi-nya. Ia sudah pikir masak-masak, setelah nanti membantu Bo Sin Su merampas takhta- kerajaan, ia akan kembali pada asainya, yaitu membuang kopia dan jubah imamnya.
Selama duapuluh tahun itu, Kim Koan telah melatih diri hingga ia memiliki tenaga dalam yang mahir, yang ia beri nama Wan It Kong-kbie, disamping mana, ia berhasil meyakinkan juga sebuah senjata rahasia yang liehay, yang terdiri dari kopianya, yang ia namakan "kopia emas." Demikianlah waktu ia menyaksikan kawanan busu, atau pengawal, dari Bu Sin Su, mulai keteter, untuk mempertontonkan kepandaiannya kepada sang cu- kong, tuannya, ia lantas menggunakan senjata rahasianya itu.
Kapan kopia emas telah ditimpukkan, terdengarlah suaranya yang nyaring dan terlihat sinarnya yang kuning seperti emas berkilauan. Senjata itu berputar diatasan kepala sekalian busu. Mereka ini tahu bahaya, lantas mereiCa menyingkirkan diri. Seorang busu, yang mengangkat kepalanya, berdongak untuk molihat benda apa itu yang berbunyi dan berkilau, lantas saja menjerit hebat saking sakitnya. Tanpa berdaya, sebelah tangannya kena dibabat kopia emas dan kutung karenanya. Sebab senjata rahasia itu, selain pinggirannya tajam, juga didalamnya disembunyikan duabelas pisau belati yang terpasang seperti gigi, yang dapat menggencet atau menggigit batang leher orang. Maka syukurlah busu itu, dia cuma hilang sebelah lengannya.
Habis itu, kopia emas itu menyambar kearah Lie It. Pangeran ini menjadi gusar, ia segera mencabut pedangnya.
"Imam siluman yang bernyali besar, kenapa kau berani membantu orang jahat berbuat jahat?" ia membentak. "Kau rasai pedangku!"
Pedang Lie It tajam dapat memutuskan baja atau besi, da ngan itu ia membacok kopia emas. Kedua senjata beradu keras, suaranya nyaring, tapi kesudahannya, kopia emas kalah, kena terbacok kutung menjadi dua rotong. Karena itu, duabelas pisaunya yang seperti gigi gergaji, lantas runtuh kelantai.
Kim Koan Tojin gusar sekali melihat senjata rahasianya itu diruntuhkan, sembari berteriak dia lompat maju, untuk menerjang Lie It.
Sementara itu, rombongan busu terkejut melihat pedangnya si pangeran. Mereka mengenali, itulah pedang dari istana kaisar, yang biasa dipakai oleh Baginda Thay Cong clan belakangan telah dihadiahkan kepada Lie It. Ketika pangeran ini meninggalkan istana, ia baru berumur empat belas tahun, dan sekarang usianya hampir tigapuluh. Diantara busu yang tua, ada yang samar samar mengenali pangerannya, benar mereka tidak berani segera mengakuinya, tetapi mereka menyangsikan si pangeran ialah mata-matanya khan Turki.
Menyusuli kegagalan kopla emasnya itu, Kim Koan Tojin lompat maju kedepan Lie It, terus ia mementang mulutnya, guna mengasi dengar suara dahsyat Thian It Kong-khie. la bersiul keras dan lama menghadapi si pangeran langsung. Lie It terkejut. Tiba-tiba ia menggigil. Syukur untuknya, selama berdiam delapan tahun digunung Thian San, ia dapat melatih tenaga-dalamnya hingga menjadi mahir, hingga sekarang ia tidak dapat dilukakan suara yang hebat itu. Ia bahkan tertawa dan menanya: "Perlu apa kau berbunyi seperti memedi?" Kata-kata ini dibarengi dengan babatan pedangnya. Ia menggunai jurus "Pat hong hong ie," atau, "Angin dan hujan didelapan penjuru dunia," sinar pedangnya berkelebatan, seperti mengurung si imam.
Kim Koan tidak takut, dia bahkan menjadi sangat gusar.
"Bocah yang baik!" serunya, "kau mengandalkan pedang mustika maka kau menjadi jumawa? Apakah kau dapat main gila didepanku si orang tua? Mari kau rasai liehayku!" Ia lantas mengeluarkan sepasang cecer kuningan, begitu ia merapatkan itu dengan kaget, terdengarlah suaranya yang sangat berisik, mengaung berkumandang didalam seluruh ruangan itu. Hingga semua busu merasakan telinganya berbunyi terus- terusan
Lie It tidak takut, ia menyerang. Pedang dan cecer lantas beradu. Kembali terdengar suara nyaring. Untuk kagetnya, Lie It merasakan tenaga mendorong yang keras, hingga ia mundur tiga tindak.
Cecer itu tidak dapat terbacok putus atau pecah, karena terbuatnya bukan dari kuningan melulu hanya tercampur emas, sedang dalam hal tenaga-dalam, Kim Koan Tojin lebih unggul. Hampir pedang terlepas dan terpental. Senjata lawan itu cuma tergores mukanya. Tertawa Kim Koan mendapatkan dengan satu gebrak saja ia dapat membikin Lie It mundur. Lagi sekali ia mengadu cecernya, lagi sekali ia maju menyerang.
Lie It pernah mengadu tenaga, ia tidak mau mengadunya terlebih jauh. Atas datangnya serangan paling belakang ini, ia berkelit dengan mencelat kesamping, sorangan senjata musuh itu dibikin nyasar, segera setelah itu, ia menyerang dari samping itu.
Nyaring terdengar bentrokan pedang dengan cecer. Kali ini Lie It tidak usah terpukul mundur, karena ia menyerang dari samping. Benar ia tidak bisa merusak senjata musuh akan tetapi Kim Koan Tojin juga lantas menginsafi pedang lawannya itu.
Ketika itu Cui Kiu Siauw, congkoan dari ong-hu, istana pangeran Gui, sudah memimpin barisannya mengurung Tiangsun Tay semua. Ia mau menolongi Yang Thay Hoa. Akan tetapi Pek Goan Hoa tidak hendak membikin lolos musuh-musuhnya, dengan satu kaki menginjak tubuh Yang Thay Hoa dan kaki yang lain menginjak tubuh Thia Kian Lam, ia menyerang dengan tiga batang hui-to, yaitu golok-terbangnya.
Cui Kiu Siauw satu jago didalam istana itu, dia liehay, dengan kebutannya yang terbuat dari kawat, thie-hud- tim, dia menyampok golok terbang musuh itu. Dua batang golok kena dibuat jatuh, tetapi yang satunya mental, meleset mengenai seorang busu, yang tidak sempat berkelit atau menangkis. Karena itu, gerakannya Kiu Siauw kena terintang.
Pek Goan Hoa tahu niatnya Cui Kiu Siauw, ia lantas berteriak: "Kau mau merampas orang! Baiklah, disini aku benkan dua potong bangkai kepadamu !" Kiu Siauw menjadi keder hatinya. Ia takut Thay Hoa dan Kian Lam nanti benar-benar dibinasakan, maka tidak berani ia memaksa maju untuk merebutnya. Tidak ada lain jalan, ia menitahkan pula kawanan busu perhebat serangannya kepada Tiangsun Tay. la mau percaya, jikalau . orang she Tiangsun itu sudah kena dibekuk, Pek Goan Hoa tentulah bakal menyerah.
Tiangsun Tay hendak mempengaruhi suasana, ia berteriak: "Sesama rekan, aku datang keman dengaff titahnya Lie Touwut untuk melakukan penangkapan kepada orang jahat, maka itu aku minta sukalah kamu membantu menangkapnya!"
Lie Beng Cie menjadi pembesar tertinggi dari barisan Kimwie-kun, orang pun telah mengetahui sekarang, Lie It itu bukannya mata-mata musuh, maka itu, mendengar suaranya Tiangsun Tay, yang mereka pun kenal, mereka jadi bersangsi. Inilah sebab mereka masih jeri terhadap Gui Ong. Lantaran ini, mereka jadi berdiri diam saja, tidak turun tangan.
Bu Sin Su melihat bahwa pertempuran beralih menjadi pihaknya melawan Kim-wie-kun, ia menjadi gusar sekali. "Berontak! Berontak!" serunya mendongkol.
Gu Ie Pou, yang berdiri disisi pangeran ini, tertawa. "Jangan gusar, Ongya!" ia berkata. "Tunggu, nanti aku
bekuk semua pemberontak ini!"
Ie Pou ini ialah seorang ahli senjata rahasia dan senjata rahasianya yaitu Bwe-hoa-ciam, jarum bunga bwe. Dengan lantas ia menyerang dengan segenggam jarumnya itu, yang biasa dapat mencelakai musuh sejarak enam atau tujuh tombak. Maka repotlah pihak musuh, karena empat atau lima pengawal Kimwie-kun lantas roboh karenanya, hingga mereka terbekuk pengawalnya Gui Ong.
Disaat pertempuran itu menghebat, sekonyong- konyong terdengar seruan nyaring tetapi halus: "Berhenti semua!"
Itulah suaranya seorang wanita.
Lie It terperanjat. Ia mengenali baik suara itu. Inilah ia tidak sangka. Itulah Bu hian song. Tapi ia tengah bertempur. Adalah pantangan besar untuk orang yang lagi bertarung, perhatiannya tertarik urusan sampingan. Demikian, karena herannya itu, tanpa ia merasa, pedangnya kena dijepit sepasang cecernya Kim Koan Tojin. la menjadi kaget, apapula karena ia memangnya kalah tenaga-dalam, pedangnya itu tak dapat ia tarik pulang, bahkan segera kena terbetot musuh, hingga telapakan tangannya terluka mengeluarkan darah dan mendatangkan rasa nyeri yang hebat. Tidak ampun lagi, pedangnya itu terlepas, jatuh kelantai dengan menerbitkan suara nyaring.
Kim Koan Tojin menjadi girang sekali. Ia maju terus dengan niat membekuk Lie It. Dengan begitu ia tidak menghiraukan seruan yang menitahkan semua orang berhenti bertempur. Karena tindakannya ini, tiba-tiba ia merasakan angin menyambar dibelakangnya. Ia memutar tubuhnya seraya dengan kedua cecernya menyampok kebelakang, untuk menangkis serangan. Justeru begitu, ia mendengar bentakan: "Kau berani menentang perintahku?"
Disana Bu Hian Song berdiri menghadapinya, dengan sikapnya yang keren. Kim Koan Tojin terkejut. Sekejab itu ia menyaksikan pertempuran berhenti, hingga gelanggang menjadi sunyi- senyap, umpamakata sebdtang jarum jatuh pasti akan terdengar suara jatuhnya itu. Justeru ia terkejut itu, mendadak ia merasakan kedua telapakan tangannya kesemutan dan menjadi kaku seketika, hingga senjatanya lantas kena dirampas si nona bangsawan.
Sebenarnya, dengan kegagahannya, Kim Koan Tojin dapat melawan Hian Song bertempur empat sampai limapuluh jurus, tetapi karena terguguh, ia menjadi hilang kegesitannya, seperti tanpa merasa, ia kena ditotok si nona dan cecernya lantas berpindah tangan.
"Hm!" Hian Song mengasi dengar suaranya. "Kiranya kau, yauwto!" Kata-kata ini disusuli serangan, yang membuat tubuh si imam - yang dikatakan yauwto - imam siluman - mental tiga tombak.
"Bekuk dia!" Nona Bu memberi perintahnya.
Lie It masih berdiri tercengang, cuma matanya mengawasi Hian Song, hingga sinar mata mereka bentrok satu dengan lain. Ia melihat si nona bersenyum.
"Kau sudah pulang?" menegur nona itu perlahan.
Lie It mengangguk, lalu dengan cepat ia memungut pedangnya, Ketika ia mengangkat kepalanya dan menoleh kearah si nona, nona itu sudah berjalan pergi.
Semua busu mengenal baik Hian Song yang datangnya secara mendadak itu, mereka menduga si nona membawa firmannya Ratu Bu Cek Thian, maka itu, tidak ada diantaranya yang berani menentang titah itu. Cuma Gu Ie Pou yang tidak kenal Nona Bu, ia heran sekali. Selagi begitu, Bu Sin Su mengisiki ia: "Kau lekas binasakan Yang Thay Hoa dan Thia Kian Lam, lantas kau menyingkirkan diri!"
Ketika itu, karena pertempuran berhenti, busu kedua pihak telah memisahkan diri satu dengan lain, hingga terbukalah satu jalanan. Gu le Pou menuruti kisikan, diam-diam ia mencampuri diri diantara pengawal- pengawalnya Gui Ong. Disaat itu, Bu Hian Song sudah menghampirkan Bu Sin Su.
Gui Ong berlagak pilon, ia berbangkit untuk menyambut.
"Adikku, kebetulan kau datang!" katanya. "Disini ada dua orang mata-matanya khan Turki, aku justeru hendak membekuk mereka, maka itu, kau tolonglah sekalian membekuk mereka itu!"
"Kau benar-benar tidak tahu atau berlagak saja?" Bu Hian Song tanya. "Bukankah kedua mata-mata itu sudah kena dibekuk?"
"Oh!" Bu Sin Su terus berpura-pura. "Mana dia? Itu bukannya mata-mata! Mata-mata ialah yang dua itu!" Dan tangannya menunjuk.
Bu Hian Song tidak memperdulikan perkataan Gui Ong itu.
"Tiangsun Tay, apakah kau membawa surat perintahmu?" ia tanya. "Siapakah itu yang Lie Touw-ut menitahkan menangkapnya?"
"Yang hendak ditangkap ialah Yang Thay Hoa dan Thia Kian Lam!" sahut Tiangsun Tay, nyaring. "Syukur aku telah tidak mensiasiakan tugasku, mereka sudah kena dibekuk! Sayang Gui Ong tidak mau melepaskan mereka dan surat perintah juga sudah dirobek-robek!"
Alisnya Hian Song bangun.
"Koko, bagaimana?" ia tanya Sin Su.
Bu Sin Su tahu ialah keponakan langsung dari Bu Cek Thian tetapi ia kalah disayang dibanding dengan ini adik sepupu, maka itu, terhadap adik ini ia rada jeri, sekarang ia kena didesak, hatinya berdebaran. Tapi ia kata: "Lie Beng Cie tentunya salah mengerti. Yang Thay Hoa ini ialah pembesar berpangkat kouw-ut pintu kota Timur, kenapa dibilang dialah mata-mata?"
"Kau bilang dia bukannya mata-mata, baiklah," menjawab Hian Song, "sebentar kau boleh bicara sendiri dengan Seri Baginda Thian-Houw. Aku melainkan menerima firmannya Seri Baginda, yang mengatakan dosa mereka ini besar sekali, dari itu Seri Baginda hendak memeriksa sendiri kepada mereka. Jikalau kau hendak membelai mereka, mau pergi menghadap bersama!"
Habis berkata, Bu Hian Song mengeluarkan firman ratu.
Bu Sin Su kaget, hingga mukanya menjadi pucat. Ia tidak menyangka sekali yang urusannya ini sudah sampai ditangan ratu. Memang, perintahnya Lie Beng Cie dapat ia tidak menghiraukannya, tetapi firman ratu? Tapi ialah seorang licin, lekas ia memutar otaknya. Akhirnya, ia menggoprak meja dan mendamprat: "Hm! Mata-mata yang busuk! Bagaimana kamu berani menyelundup masuk kedalam istanaku dan membuatnya aku bercelaka begini? Kamu sendiri mata-mata, kamu justeru menuduh lain orang! Sungguh celakal Mana orang? Bekuk mereka, lantas hajar mereka itu!"
Melihat Bu Sin Su berubah sikap, biar bagaimana juga, Tiangsun Tay dan Pek Goan Hoa tidak berani berkeras dengan sikapnya. Mereka mesti memberI muka kepada pangeran itu. Maka Pek Goan Hoa lantas menggeser dirinya, ia mengangkat bangun Thay Hoa dan Kian Lam, untuk diserahkan pada busu dui pangeran itu.
Bu Hian Song hadir bersama, Tiangsun Tay tidak menyangka, apa-apa, siapa tahu kata-katanya Bu Sin Su itu mengandung dua maksud. Itulah titah rahasia untuk Gu Ie Pou turun tangan.
"Jangan menghukum mereka disini," Hian Song berkata. "Sekarang bawa mereka keistana, untuk diperiksa disana "
Belum lagi berhenti kata-katanya nona bangsawan ini, orang telah dikejutkan dengan dua jeritan yang menyayatkan hati. Karena selagi suasana redah itu, diam-diam Gu Ie Pou sudah menimpuk dengan Touw- kut-teng, senjata rahasianya yang berupa paku yang dipakaikan racun jahat, hingga dadanya Yang Thay Iloa dan Thia Kian Lam kena ditembusi, hingga mereka roboh seketika!
Baru sekarang Tiangsun Tay sadar dan mengerti bahwa Gui Ong sengaja bersikap demikian untuk dia memperoleh ketika membikin kedua orang tawanan itu menutup mulut – menutup mulut untuk selamanya, hingga rahasia komplotan mereka dapat ditutup juga. Justeru itu Kim Koan Tojin juga sudah lantas merayap bangun, untuk terus berlompat lari, guna menyingkirkan diri. Dia liehay, diam-diam dia dapat membebaskan diri dari totokannya Nona Bu tadi.
Dalam kagetnya, Tiangsun Tay masih sempat menyerang punggungnya imam itu, yang lari kearah keluar. Tepat seangan itu. Tetapi Kim Koan bertubuh tangguh, dia pun tengah berlari, serangan pada punggung itu membuatnya terhuyung kedepan, menjadi seperti mempercepat larinya. Sekejab saja dia telah tiba dipintu dimana terus dia berniat lari keluar.
Pek Goan Hoa telah lantas mendapat tahu, penyerang gelapnya Yang Thay Hoa dan Thia Kian Lam ialah Gu Ie Pou maka itu, ia pun berlaku sebat. Ia menyerang dengan dua buah golok-terbangnya, satu kearah Gu Ie Pou, yang lain kearah Kim Koan Tojin.
Hebat golok-terbang itu. Kim Koan belum sempat keluar pintu, dia telah kena terhajar hingga tubuhnya sempoyongan hampir jatuh.
Golok yang satunya lagi juga mengenai tubuh Gu Ie Pou, hanya golok itu, dengan suaranya yang nyaring, jatuh kelantai. Orang she Gu ini pandai ilmu silat "Ciam Ie Sip-pat Tiat," walaupun ia kena diserang, golok cuma mengenakan jubahnya, tidak tubuhnya yang kedot. Bahkan bajunya juga tidak robek.
Melihat demikian, Lie It berlompat untuk mengejar.
Bu Sin Su sendiri segera berteriak-teriak: "Celaka! Celakal Siapa pembunuh orang-orang tawanan? Hajar mati padanya!" Titah ini membikin suasana kacau pula. Sekalian pengawal dari pangeran itu lantas pada bergerak.
Lie It tidak menghiraukan kekacauan itu, dia masih lari mengejar.
"Saudara Lie, kembali!" Tiangsun Tay memanggil.
Lie It mendengar panggilan itu, ia berlagak tidak mendengar, ia lari terus. Ia mempunyai maksudnya sendiri. Disatu pihak memang ia ingin mengejar terus pada Gu Ie Pou, dilain pihak ia ingin sekalian menyingkirkan diri, supaya ia tidak menjadi serba salah menghadapi Bu Hian Song
Beberapa anggauta Kim-wiekun turut mengejar, akan tetapi, walaupun mereka gagah, mereka toh ketinggalan jauh, hingga yang mengejar tinggal Lie It sendiri. Hingga akhirnya mereka berdua tiba disatu tempat sepi.
"Lie It" berkata Gu Ie Pou tertawa dingin. "Bu Cek Thian itu juga musuhmu, kenapa kau hendak menjual dirimu terhadapnya?" Kata-kata ini dibarengi dengan serangan segenggam jarum Bwe-hoa-ciam, hingga bagaikan air hujan, jarum yang liehay itu menyambar si pangeran.
Lie It dapat melihat tangan orang diayun, ia lantas memutar pedangnya, dengan begitu dapat ia membikin runtuh semua jarum itu - ada yang terpapas, ada yang tersampok.
Gu Pou Ie tidak berhenti sampai disitu. Ia menyerang pula. Kali ini dengan pakunya, paku Touwkut-teng, yang dapat menembusi tulang-tulang. Tentu sekali, paku ada terlebih berat daripada jarum yang halus. Kembali Lie It membela diri dengan menangkis terus- menerus. Ia menangkis dengan hatinya terkejut. Paku itu bertenaga kuat sekali, sampai ia merasakan telapakan tangannya kesemutan. Paku pun berbunyi nyaring. Bahkan ketika melintas didepan hidungnya, senjata itu menyiarkan bau ba-cin. Ia menjadi gusar sekali, ia berlompat untuk membalas menyerang. Ia menggunai jurus "Tiauw pok kiu siauw," atau "Burung rajawali menyerbu langit " Dengan begitu pedangnya turun dari atas.
Gu Ie Pou telah meloloskan baju panjangnya dengan sebat sekali, ia putar bajunya itu, guna menangkis dan menggulung pedang, tetapi ia gagal, Lie It dapat menarik pulang pedangnya. Ia terkejut untuk liehaynya lawan itu.
Lie It penasaran, ia menerjang pula. Sekarang ia menggunai apa yang dinamakan "tenaga lemah" atau "tenaga lunak."
Gu Ie Pou juga penasaran, ia menggulung pula. Sekarang ia berhasil menggulungnia. Hanya, akibatnya, hebat untuknya. Kotika Lie It menyontek, untuk sekalian meloloskan pedangnya, ba ju kena tersontek pecah. Ia menjadi kaget, hingga ia mesti berlompat mundur.
"Kemana kau mau menyingkir ?" Lie It membentak. Untuk ketiga kalinya, ia lompat menerjang. Ia menggunai tipusilat "Heng cie thian lam," atau "Menunjuk kelangit selatan."
"Apakah benar-benar kau mau menjual jiwamu kepada Bu Cek Thian?" membentak Gu le Pou, saking gusar. Ia lantaa menyerang pula, dengan senjata rahasianya. Itu bukannya jarum, bukannya paku, hanya benda yang bundar mirip bola. Diwaktu menyambar, senjata rahasia itu terdengar suaranya.
Oleh karena jarak diantara mereka berdua terlalu dekat, Lis It tidak sempat berkelit, terpakss ia menangkis dengan pedangnya. Ia mengenai tepat, maka pecahlah benda itu. Ini justeru yang hebat. Bola itu mengeluarkan- menyamber sejumlah thie-lian-cie, ialah biji teratai besi, yang kecil dan besar.
Lie It menjadi repot menangkis dan berkelit juga, tidak urung sebutir biji lolos dan mengenai pundaknya. Ia lantas merasai pundaknya itu kesemutan dan sedikit kaku.
Gu Ie Pou ketahui senjata rahasianya itu telah mengenai sasarannya, ia tertawa lebar. Ia kata jumawa: "Apakah kau masih hendak mengejar aku?" Ia menanya tetapi tangannya, bekerja. ialah kembali ia menyerang dengan sebuah bola semacam barusan.
Lie It berlaku cerdik, ia berkelit. Gu le Pou tertawa pula.
"Meski kau telah belajar cerdik tetapi itu masih belum sempurna!" katanya. kembali dia menyerang, sekarang dengan golokterbang, bukan menyerang langsung kepada Lie It, hanya menyusuli bolanya itu. Ia mengenai jitu. Bola itu pecah, lantas biji-biji besinya menyambar pula, kearah lawan ini.
Disaat bahaya sangat mengancam kepada Lie It itu, mendadak terdengar satu suara keras, satu orang terlihat lompat turun dari atas genting, tangannya memegang sehelai bendera dengan apa dia terus mengibas kepada senjata-senjata rahasia itu, yang kena tergulung Lie It bebas, ia mengejar terus. Lantas ia menyerang, dengan jurus "Gelombang mendampar tepian." Itulah penyerangan. kebawah, ketiga arah.
Gce le Pou membela dirinya dengan jubahnya.
Justeru itu, orang tidak dikenal itu, yang bersenjatakaa bendera, juga telah berlompat maju, dengan benderanya yang besar, dia menyamber jubah, hingga jubah itu kena terlibat.
Lie It menyerang dengan berhasil, ujung pedangnya mampir dimata kaki, lantaran mana, jagonya Gui Ong itu tak dapat berdiri tetap lagi, sedang dilain pihak, tubuhnya pun kena diringkus bendera. Maka dilain saat terdengarlah jeritannya yang hebat, tubuhnya terus terbanting, hingga dia rebah pingsan ditanah. Bantingan itu membuatnya patah dua buah tulang iganya.
Lie It memandang orang dengan senjata bendera itu. "Eh, kau siapakah ?" dia itu tanya. "Rasanya kita
pernah bertemu, entah dimana ?"
Orang itu pun mengawasi. Lie It telah bertukar warna kulit mukanya ia tidak lantas dikenali. Dialah Cin Tam, salah satu diantara ketiga jago tangsi Sin Bu Eng. Maka itu, mereka berdua pernah berdiam sama-sama didalam tangsi itu.
"Aku she Thio," Lie It menjawab. "Baru kemarin dulu aku tiba disini. Tolong kau serahkan binatang ini kepada Lie Touw-ut, aku sendiri mau segera pulang untuk memberi laporan."
Cin Tam masih hendak menanya orang hendak memberi laporan apa atau Lie It sudah bertindak pergi dengan cepat sekali. Ia menjadi heran sekali. Ia tetap belum mengenali pangeran itu, yang ingin lekas menyingkir dari ianya agar dia tak sampai dikenali.
Lie It kabur pulang kerumahnya Tiangsun Tay ketika ia sampai, tuan rumah masih belum kembali, maka seorang diri ia duduk dikamar tulis, pikirannya kusut. Ia senantiasa teringat akan Siangkoan Wan Jie clan Bu Hian Song. Tengah kacau pikiran itu, tiba-tibaa ada orang menyingkap sero dan bertindak masuk.
Lie It tengah memandang kearah kaca yang tergantung ditembok tempo ia melihat bayangan orang dimuka kaca itu, ia terkejut. Itulah bayangan dari seorang nona.
"Hian Song!" ia berseru tanpa merasa, hatinya berdebaran, suaranya menggetar.
"Kau tidak menyangka aku, bukan ?" berkata si nona tertawa. "Aku juga tidak menyangka bahwa kau telah kembali Mana Bin Jie ? Apakah ia baik ?"
"Baik," sahut Lie it. “Cianpwe Hee-houw Kian telah menerima baik mengambil dia menjadi murid. Dia pun kangen kepada kau "
Hian Song duduk, ia melirik. "Apakah kau terluka ?" ia tanya, alisnya berkerut.
"Benar, aku terkena sebutir thie-lian-cienya Gu le Pou. "Senjata rahasia itu beracun tetapi tidak terlalu berbahaya, aku telah menolaknya keluar dengan tekanan tenaga-dalamku."
Hian Song mengeluarkan obat pulung. "Ini pel Pek Leng Tan buatan kakak-seperguruanku," ia kata, "chasiatnya menolak pelbagai macam racun, mungkin sisa racunmu belum bersih, maka kau makanlah ini."
Lie It menyambuti, ia telan obat itu. Ia bersyukur kepada si nona. Ia merasa tubuhnya sudah bersih dari keracunan tetapi ia tidak mau menolak kebaikan hati orang. Ia mengawasi nona itu hingga sinar mata mereka kembali beradu. Tak tahu ia larus mengatakan apa.
"Sudah beberapa hari kau tiba disini," berkata Hian Song kemudian, "bagaimana kau lihat kota Tiang-an ini, menjadi lebih baik atau lebih buruk ? Bukankah kau telah melihatnya ?"
Lie It tidak menjawab, is berdiam.
"Sebenarnya, tidak perduli menjadi terlebih buruk atau terlebih baik," berkata pula Hian Song, "ini pasti ada terlebih baik daripada kita mengandal kepada lain negara, hingga kita mesti menutup mata dilain kampung- halaman”
Lie it menghela napas.
"Mungkin aku akan mengajak si Bin pulang kemari," katanya masgul "Tetapi kota Tiang-an bukan kota dimana aku dapat tinggal lama-lama.. Aku pikir, setelah bertemu dengan Wan Jie, aku mau lantas berangkat pergi."
"Ada satu hal, yang aku ingin tanyakan," kata Hian Song, tiba-tiba, perlahan. "Entah dapat aku mengatakannya atau tidak." Sinar matanya nona bangsawan ini pun bercahaya luar biasa.
Lie It bercekat, baik karena pertanyaan itu maupun sebab sinar mata si nona.
"Diantara kita ada apakah yang tak dapat dikatakan ?" ia menyahut. "Kau bicaralah."
Nona itu mengawasi.
”Kau tak lebih baru menginjak keusia pertengahan," katanya. "Dan Bin Jie, dia membutuhkan orang yang merawatnya. Pula, orang yang telah meninggal dunia, biarlah dia meninggal dunia. Apakah kau pernah memikir untuk menikah pula ?"
Hati Lie it berdebar pula. Dengan perlahan, ia menggelena kepala.
Hian Song menghela napas.
"Wan Jie pintar luar biasa, juga dia telah menjadi besar berbareng dengan kau," ia kata. "Sebenarnya kamu berdua dapat menjadi pasangan yang setimpal”
Baru sekarang Lie It mengetahui si nona ingin memperjodohkan ia dengan Siang-koan Wan Jie. Tapi ia sedang kalut pikirannya, tidak dapat ia mengambil putusan seketika.
"Ada seorang yang sangat menyintai Wan Jie, tahukah kau?" ia tanya.
"Aku tahu. Dialah Tiangsun Tay. Tetapi pernikahan, dapatkah pernikahan dipaksakan ? Wan Jie menghargai Tiangsun Tay tetapi ia tidak ingin menikah dengannya." "Beberapa hari yang lalu aku telah mendapatkan syairnya Wan Jie, menurut bunyinya syair itu, rasanya ia hendak dinikahkan dengan orang yang ia tidak setujui. Benarkah itu ?"
"Jikalau kau menikah dengan Wan Jie, kamu berdua bakal hidup senang dan berbahagia, jikalau kau tidak nikah ia, mungkin ia bakal menikah dengan orang yang ia tidak cintai itu."
"Kenapakah ia dapat tidak menyetujui ?"
"Ia tidak menyintai orang itu tetapi ia suka menikah dengannya. Kecuali kau nikah ia, ia tentu akhirnya akan menikah dengan orang itu, dan kalau ia jadi menikah dengan dia, ia pasti bakal hidup menderita soumur hidupnya, tak akan ia merasakan senang. Maka itu kau baiklah pikir pula."
Didepan matanya Lie It berbayang Tiangsun Pek, hatinya lantas berpikir "Tubuhnya adik Pek belum lagi kering, mana aku tega bicara dari hal menikah Pula ?"
"Sudahlah, kau tentunya tidak dapat segera mengambil keputusan. Baik kau menemui Wan Jie dulu. Cuma aku harap, sebelumnya bertemu dengannya, putusanmu sudah tetap. Nasibnya Wan Jie terserah dalam tanganmu, maka ingin aku melihat bagaimana kau mengurusnya. Baiklah, sebentar malam kau boleh pergi menemui ianya "
-o0odwo0o- BAGIAN : 85 -JILID : 12.2
Lie It tercengang.
"Sebentar malam toh bukan giliran Tiangsun Tay bertugas?" ia tanya.
"Aku yang mengajak kau maauk keistana," kata Hian Song. Lie It heran.
"Kau yang mengajak aku ?"
"Benar. Kau bersembunyi dalam keretaku, siapa pun tidak nanti berani menggeledah. Tanpa diketahui siapa juga, kau bakal berada didalam istana i"
"Bibimu mengetahui atau tidak ?"
Pangeran ini, dengan menyebut "bibi," maksudkan Bu Cek Thian.
"Pasti sekali aku tidak akan memberitahukannya." Lie It bersangsi.
"Jikalau kau tidak pergi malam ini lain kali sukar dicsri ketika baik seperti ini."
"Kenapa begitu ?"
"Tadi kau mengacau diistana Gui Ong, sampai sekarang Thian-houw belum sempat memeriksa peristiwa itu, tetapi setelah ini, mungkin bakal ada yang memberitahukannya."
Hati Lie it bersenyutan.
"Aku telah membuat perjanjian dengan Wan Jie," Hian Song berkata pula, menjelar kan. "Sesampainya didalam istana, kau lantas bersembunyi didalam kamarku. Kira jam sepuluh, dia pasti menemui kau. Aku sendiri, aku akan menemani bibiku. Ada apa juga, aku yang akan bertanggungjawab. Sekarang lekas kau salin pakaian. Keraton melarang masuknya priya, maka itu baik menyamar menjadi dayang."
Lie It menolak tegas
"Seorang laki-laki mana dapat menyamar menjadi wanita!" katanya. "Tidak, aku tidak mau menyaru menjadi dayang !"
Hian Song tertawa.
"Apakah artinya itu ?" katanya. "Raja yang sekarang pun raja wanita. Dan kau masih lebih menghargai priya daripada wanita ! Baiklah, aku tidak mau memaksa kau. Cuma pakaianmu seperti sekarang ini harus ditukar. Tidak dapat aku membawa seorang busu masuk kedalam kamarku ! Begini saja. Kau menyamar menjadi orang kebiri, kau masuk keistana bersama aku."
Hian Song sudah menyiapkan seperangkat pakaian thaykam, atau orang kebiri.
Karena ia tidak menyamar menjadi wanita, Lie It suka juga dandan sebagai thaykam.
Sambil tertaw,a, Hian Song kata : "Harap kau suka merendahkan diri sebentar. Selesai dandan, aku nanti mengajak kau keluar." Lantas si nona berlalu.
Lie It masih berpikir banyak.
"Malam ini aku akan menemui Wan Jie menemui Wan Jie " pikirnya.
Segera juga Tiangsun Tay muncul. Dengan perlahan dia menutup pintu. "Apakah Hian Song telah bicara denganmu ?" tanyanya perlahan.
"Ya. Sebentar aku akan menemui Wan Jie," sahut Lie It. "Eh, kau kapannya kembali ? Bagaimana urusannya Bu Sin Su ? Bagaimana Bu Cek Thian mengambil keputusan ?"
"Aku ptilang bersama Bu Hian Song," Tiangsun Tay mengasi keterangan. "Aku tahu dia telah mengatur sesuatu untukmu. Tentang perkaranya Bu Sin Su. kau jangan kuatir. Thio Siangkok sudah mengajukan laporannya, untuk itu ada Bu Hian Song selaku saksi. Aku percaya Bu Sin Su tidak bakal lolos."
Hati Lie It lega juga. Dengan cepat ia menukar pakaian. Selagi ia berpaling, ia melihat wajah guram dari Tiangsun Tay.
"Saudara Lie, kau tidak dapat melupai adik Pek, aku.'sangat besyukur kepadamu," katanya berduka. Ia menghela napas. "Tapi orang yang telah menutup mata itu tidak bakal hidup pula dan si Bin perlu orang yang merawatnya, oleh karena itu justeru sekarang ada orang yang cocok sekali, aku suka mengasi nasihat padamu baiklah kau beristeri pula." la berhenti sejenak, lantas ia menambahkan : "Wan Jie selalu menganggap aku sebagai kakaknya, dengan meninggalnya adik Pek, dialah adikku satu-satunya. Aku tidak mau Wan Jie menutup mata karena bersusah hati, aku pun tidak ingin kehilangan adik seperti dia. Kau tahu, cuma kau seorang dapat membuatnya berbahagia, sedang aku, aku melainkan mengharap hidupnya yang berbahagia itu. Saudara Lie, kau harus mengerti hatiku."
"Aku mengerti," Lie It mengangguk. "Cuma Cuma..." "Jangan menyebut-nyebut cuma" berkata Tiangsun Tay, memotong. "Jikalau kamu hidup berbahagia, aku juga senang ! Apapula sekarang kita harus memikirkan Wan Jie. Nah, sudahlah, habis kau menyalin pakaian, mari kita keluar !"
Kedua matanya Tiangsun Tay mengembeng airmata, lekas-lekas ia menepasnya. Akan tetapi Lie It telah melihatnya - melihat dari antara kaca muka. Pangeran ini menoleh dengan perlahan-perlahan, ia kata". "Saudara Tay, kau jangan kuatir, tidak nanti aku membuatnya kau putus asa."
Kata-kata itu dapat bermaksud. dua, tetapi Tiangsun Tay tidak sempat memikirkannya, ia mencekal keras tangan iparnya itu, ia berkata. "Kau mengerti maksudku, bagus ! Sekarang pergilah kau menemui Wan Jie !"
Lie It bersembunyi didalam kereta Hian Song, langsung dia dibawa masuk kedalam istana raj,a. Ia mendengar roda-roda menggelinding cepat. Tapi ia juga, hatinya bekerja. Ia tahu maksudnya Tiangsun Tay. Ipar itu ingin ia menikah dengan Waq Jie. Ipar itu bersedia akan melawan kesedihannya. Karena ini, ia bingung, ia berduka. Sebenarnya tak tega ia membiarkan Tiangsun Tay bersusah hati. Ia.juga tidak dapat membuat Wan Jie menderita.
la kata pula dalam hatinya : "Pernikahan itu, dapatkah dipaksakan ? Yang dia cintai cuma satu orang. Itulah kau
!." Itulah kata-kata Hian Song tadi. dan sekarang ia mengingatnya, ia mengulanginya. Ia kenal baik Wan Jie. Wan Jie tidak suka menikah. dengan Tiangsun Tay, percuma ia membujuknya. Turut Hian Song tadi, jikalau ia tidak nikah Wan Jie, Wan Jie toh bakal menikah dengan orang yang dia tidak cinta.
"Orang itu bukan Tiangsun Tay. Meski dia tidak menyintai orang itu, ia tak suka menik,ah dengannya !" lni pula kata-kata Hian Song tadi. Kenapa begitu?
Lie It cerdas tetapi kali ini, tidak dapat ia memikir, tidak dapat ia memecahkan teka-teki itu
Didalam kereta, Lie It duduk dibagian belakang, dengan begitu selama naik kereta, tidak dapat ia bicara dengan Hian Song. la melainkan bisa mengawasi punggungnya nosa bangsawan itu. Kembali pikirannya kusut. Ia menyayangi kepintarannya Wan Jie. Kalau tidak ada Bu Cek Thian disana, tentu ia sudah menikah denggAn. si cantik-manis itu, yang sifatnya lemah- lembut. Sekarang ? Sepuluh tahun hampir lewat, dan dalam sepuluh tahun itu, banyak yang telah berubah.
Pangeran ini ingat, ia bertemu Hian Song sesudah lebih dulu bertemu Wan Jie. Lalu, setelah beriemu Hian. Song, baru ia bertemu dengan Tiangsun Pek. Sama sekali diluar dugaannya, ia telah menikah dengan nona she Tiangsun itu. Tapi sekarang, Tiangsun Pek - sang isteri - telah menutup mata
Lie It lantas ingat semua peristiwa yang telah lalu itu, matanya menatap punggung - Hian Song. Lantas ia menghela napas. Setelah meninggalnya Tiangsun Pek, ia ingin hidup menyendiri hingga dihari tuanya. Siapa tahu, timbul urusan yang ia hadapi ini. Wan Jie begitu cantik dan pintar. Mana dapat ia membiarkan si nona sebagai burung hong mengkut burung gagak ? Lantas bayangan Wan Due berpeta bersama bayangannya Hian Song. la melihat, dalam hal sifat. sifat ia dan sifat Wan Jie lebih cocok. Tapi dengan Hian Song, pergaulannya lebih akrab.
Biar bagaimana juga, pendirian Lie It untuk hidup menyendiri sampai dihari tuanya sudah mulai bergoyang juga, bergoyang seperti kereta yang ia tumpangi itu
Keretanya Hian Song masuk kedalam pekarangan istana tanpa rintangan, masuk terus kekeraton belakang.
Semasa hidupnya, Hian Song jarang berdiam didalam keraton, karena ia gemar akan kesunyian, Ratu Bu Cek Thian telah membangun untuknya sebuah rumah didalam rimba disisinya telaga Thay Ya Tie. Karena rumah ini jarang ditempati, pegawai yang mengurusnya sedikit, diantaranya ada dua budak wanita yang menjadi orangorang kepercayaannya. Maka itu, ketika Lie It turut masuk, dia tidak menarik perhatian para pegawai itu. Itu waktu juga sudah magrib.
Hian Song lantas mengajak thaykam tetiron ini masuk kekamarnya, sesudah memesan budaknya, ia mengundurkan diri.
Lie It lantas ditinggal sendirian dalam kamar Nona Bu. Ketika telah tiba jam sepuluh, hatinya berdebaran sendirinya.
Tidak lama ia mendengar tindakan kaki mendatangi. Itulah bukan tindakan kaki dari satu orang. Ia terkejut. Dengan lantas ia menyembunyikan diri dibalik kelambu. Segera ia mendengar suara yang halus : "Kamarnya encie Hian Song indah !" Dengan encie itu dimaksudkan kakak misan, dan kata- kata itu pun disusuli tertawa gembira.
Yang datang itu ialah Bu Cek Thian bersama puterinya, Thay Peng Kongcu.
Lie It kaget sekali. Ia kata dalam hatinya : "Mungkinkah mereka ini telah mendapat tahu aku berada disini ? Siapakah yang membocorkan rahasia ?" la terus berdiam saja ditempat sembunyinya itu.
Bu Cek Thian terdengar tertawa dan berkata : "Kau lihat kamar ini, penuh dengan gambar dan buku walaupun perabotannya sederhana tetapi cara mengaturnya jauh lebih menang clan menyenangkan daripada kamarmu !"
"Kakak misan Hian Song itu bun bu siang coan, mana dapat aku dibandingkan dengannya," terdengar suaranya Thay Peng Kongcu. ("Bun bu siang coan" berarti pandai dua-dua ilmu surat dan ilmu silat.)
"Ah !" terdengar pula suara si Ratu. "Sebenarnya kau harus belajar banyak dari Hian Song dan Wan Jie :
"Ya," menyahut si puteri. "Sebenarnya, ibu, aku ingin belajar dari ibu ilmu mengendalikan pemerintahan, buat membikin negara menjadi aman dan makmur."
"Kau mempunyai cita-cita itu, itulah bagus. Untuk memerintah negara, yang paling penting ialah orang mesti jujur dan adil, jangan sekali orang mengingat dan mementingkan diri sendiri, dan untuk memakai pembantu mesti orang-orang yang pintar dan bijaksana. Juga orang mesti menyayangi rakyat. Menjadi raja bukan urusan mudah ! Aku lihat selama ini kau makin kemaruk dengan kemewahan. Katanya kau telah minta pembesar negeri mengumpulkan pekerja rakyat untuk memperindah istana huma. Benarkah itu ?"
"Hu-ma" yalah menantu raja. Thay Peng Koncu tunduk.
"Kita ada keluarga raja, jikalau anak membuat pula sebuah. istana, itu toh bukan urusan besar ?" sahutnya. "Hanya hal itu tidak terlebih dulu anak memberitahukan kepada Bu Houw, itulah salahku."
"Bu Houw" ialah ibu yang menjadi ratu.
"Kau ngaco !" berkata ibu itu. "Kaulah puteriku, kau mesti semakin membataskan dirimu. Apakah keluarga raja dapat berbuat yang bukan-bukan ? Kau membuat istanamu peribadi, kenapa kau menggunai tenaga pembesar negeri mengumpulkan rakyat jelata untuk dijadikaa kuli ? Kau telah mengacau undang-undang negara, kau tahu tidak ? Apapula sekarang baru saja habis perang, maka terlebih tak dapat kita mengganggu rakyat clan memboroskan uang !"
Romannya puteri berubah.
"Benarlah teguran Bu Houw," katanya. "Nanti anak menitahkan menghentikan pembangunan itu."
Bu Cek Thian menghela napas. Ta kata pula : "Masih ada laporan rahasia kepadaku menuduh kau menjual pangkat dan gelaran dan bahwa kau mempekerjakan orang-orang peribadi. Umpama Touw Hoay Ceng dan Siauw Cie Tiong, mereka itu memperoleh pangkat karena pengaruhmu."
Puteri itu terperanjat. "Ibu, janganlah kau dengari obrolannya orang luar !" ia berkata cepat. "Anakmu tidak menjual pangkat dan gelaran. Anak mempekerjakan mereka itu melulu untuk membantu ibu. Bukankah Wan Jie pun telah memujikan Yauw Cong dan Cong Hoan sekalian ?"
"Yauw Cong dan Cong Hoan semua orang-orang terpelajar yang bijaksana," berkata Ratu. "Rombongannya Touw Hoay Ceng mana dapat dibandingkan dengan mereka itu ?"
"Bukankah Tow Hoay Ceng semua pun pandai bekerja
?" tanya Thay Peng Kongcu.
"Jikalau bukannya aku telah melihat mereka bisa juga bekerja, siang-siang aku telah pecat mereka semua !" jawab Ratu. "Mereka itu mengangkat-angkat aku, dengan satu kali melihat saja aku mendapat tahu hati mereka tidak lempang !"
Puteri tidak berani membantah.
Thay Houw menghela napas. Ia berkata pula : "Baru- baru ini aku telah bersikap keras sekali terhadap beberapa kakakmu, atas itu ada yang mengatakan aku tidak menyayangi darah-daging sendiri. Sebenarnya dengan begitu aku hendak berbuat kebaikan untuk kamu semua."
"Aku tahu ibu," kata sang puteri perlahan.
"Aku repot dengan urusan negara, penilikanku atas diri kamu menjadi kurang. Tapi yang sudah biarlah sudah. Sekarang ini aku mendekati usia delapanpuluh tahun, semangatku sudah beda daripada duludulu, terhadap kamu aku telah bersikap lebih longgar. Ini pula kekeliruanku. Ah, coba bukan disebabkan penilikanku yang kurang itu, mana dapat terjadi peristiwa Bu Sin Su itti?"
"Kakak misan Sin Su itu melakukan kesalahan disatu waktu," berkata Puteri Thay Peng, "ia membuatnya orang jahat masuk kedalam istananya. Anak harap Bu Houw memberi keringanan terhadapnya."
"Tentang itu jangan kau campur !" berkata Bu Houw. "Aku tahu kewajibanku. Eh, mengapakah Wan Jie masih belum datang ?"
Mendengar kata-kata yang terakhir ini, Lie It kembali terkejut. Dengan hati berdebaran, ia berpikir : "Mungkinkah dia telah mendapat tahu yang aku bakal membuat pertemuan dengan Wan Jie didalam kamar ini
?"
"Wan Jie tidak ada didalam kamarnya sendiri pasti dia bakal datang kemari," berkata Thay Peng Kongcu. "Baiklah Bu Houw duduk menanti lagi sekian lama, nanti Bu Houw mendapat kepastian dugaanku tepat atau tidak"
Bu Cek Thian tertawa.
"Dalam hal kelicinan semacam ini, aku percaya kau memilikinya juga !" katanya. "Hanya pasti sekali Wan Jie sangat tidak menyangka yang Hian Song tidak ada disini, hingga kalau dia menemukan aku, itu pun diluar sangkaannya !"
Dari pembicaraan ibu dan anak itu, terang mereka sudah mencari Wan Jie tetapi tidak ketemu. Mengenai ini, hati Lie It lega sedikit. Ia sekarang memikirkan Hian Song. Kemana perginya Nona Bu ? Bukankah Hian Song telah menjanjikan dia untuk "melihat" Ratu supaya Ratu tidak mengganggu pertemuan rahasia antara ia dan Wan Jie ? Kenapa sekarang Ratu datang kemari dan Hian Song tidak turut serta ?. Oleh karena ini, hatinya berdenyutan perlahan. .
Tidak antara lama, diluar kamar terdengar tindakan kaki enteng.
Thay Peng Kongcu bersenyum. Dengan itu ia seperti mau bilang : "Lihat, ibu, bagaimana jitu dugaanku !"
Memang, ketika sero disingkap, yang muncul yalah Siangkoan Wan Lyie.
Ratu lantas tertawa riang dan berkata : "Wan Jie, telah lama aku menantikan kau l"
Nona. Siangkoan kaget. Akan tetapi ia menenangkan diri, untuk tidak mengentarakan sesuatu pada mukanya. Dengan cepat ia menjalankan kehormatan kepada junjungannya itu.
"Apakah Thian Houw Piehee mempunyai kerjaan untuk aku lakukan ?" ia tanya.
”Ya, ada urusan yang aku hendak damaikan dengan kau," menyahut raja wanita itu. "Anak, pergi kau mengundurkan diri, sebentar kau baru datang pula."
Thay Peng Kongcu tidak puas, ia jelus terhadap Wan Jie, tetapi ia tidak berani membantah ibunya, maka ia lantas keluar, dari kamar Hian Song itu.
Seberlalunya puterinya, Bu Cek Thian tertawa puta. "Wan Jie, malam ini parasmu lain, kenapakah ?" ia
tanya. "Tidak kenapa-napa," menyahut si nona, yang hatinya sebenarnya bercekat. "Mungkin dibabkan tadi malam aku tidak dapat tidur nyenyak."
Lie It mengintai. Ia dapatkan memang Wan Jie rada lesu.
"Dalam beberapa hari memang kerjaan lebih banyak daripada biasanya, kau menjadi letih," berkata Ratu pula. "Apakah kau sudah selesaikan surat-surat perkaranya Bu Sin Su ?"
"Semua itu sudah selesai, tinggal menanti Piehee memeriksanya," sahut si panitera wanita.
"Apakah bilangnya Bu Sin Su dalam surat permohonan keampunannya ?"
"Dia bilang dia tidak ketahui dua orang itu mata-mata. Dia mengakui kesalahannya sudab kurang periksa. Dua orang itu sudah terbinasa, tidak ada jalan untuk mempadunya."
"Hian Song menuduh dia mengirim utusan rahasia kenegeri asing, untuk berserikat dan bersekongkol densan khan Turki. mengenai itu, bagaimana dia membela dirinya ?"
"Dia mengatakan bahwa khan itu meminta diadakan perhubungan persahabatan, yaitu khan ingin menikahkan puterinya dengan puteranya Bu Sin Su yaitu pangeran muda Hoay-Yang Ong Yan Siu. Jadi dia mengirim utusan untuk membicarakan lebih jauh urusan pernikaan puteri dan putera mereka. Dia bilang ketika itu terjadi, perang belum pecah. Ketika terjadi peperangan, katanya, utusannya tidak pulang, karenanya ia pun tidak tahu kedua utusan itu terpaksa menakluk kepada khan Turki atau bukan. Mengenai ini dia mengakui desalahannya sudah tidak lantas memberi laporan kepada Seri Baginda, bahwa dia sudah bertindak lancang."
Bu Cek Thian tertawa dingin. .
"Pandai dia mengelakkan diri !" katanya. Ia hening sejenak, baru ia kata pula : "Sekarang, Wan Jie, kau tolongi aku membuat firman dengan mana semua jabatan dan kekuasaannya Bu Sin Su dicabut serta dia dihukum tak bergaji selama tiga tahun. Dia cuma dapat melindungi gelarannya sebagai Gui ong.”
Wan Jie menduga ratu akan gusar sekali dan bakal menghukum berat pada Bu Sin Su, siapa tahu ringan saja hukumannya itu, ia jadi melengak.
Ratu mengawasi hambanya itu dengan lirikannya, ia tertawa.
"Wan Jie, bukankah kau tak puas ?" katanya. "Bukankah kau mengatakan aku melindungi koponakanku itu ?"
Nona itu berdiam. Itulah tanda bahwa ia tidak menyangkal.
"Wan Jie kau jujur sekali," kata Ratu. "inilah tabiatmu yang aku sukai. Gui Ong bersalah, besar, dia dihukum enteng, tidak heran kau tidak puas. Akan tetapi keadaan ada demikian rupa, aku cuma dapat memutuskan demikian juga."
Ratu menghela napas. Ia menambahkan : "Selama beberapa tahun ini aku merasai kesehatanku kurang senipurna.. Jikalau seorang telah meningkat usianya, terhadap anaknya, terhadap keponakannya, tak dapat tidak dia menjadi menyayanginya berlebihan. Anak Hian dan Bu Sin Su telah memikir, setelah aku wafat nanti, mereka bakal menggantikan aku menjadi raja, maka itu mereka main berkomplot masing-masing.
Semua tindakan mereka itu aku mengetahuinya dari siang-siang. Maka aku mesti persalahkan diriku sendiri, yang aku telah terlalu berbesar hati. Aku percaya bahw.-. mereka tidak bakal lobs dari tanganku. Lantaran itu, aku tidak mencegahnya pada waktunya yang tepat. Sekarang ini sayap mereka telah tumbuh. Tahun dulu aku telah mengambil tindakanku, aku angkat anak Hian menjadi putera mahkota. Sin Su penasaran karenanya. Aku ketahui apa yang Sin Su pikir itu. Oleh karena ini aku percaya benar dia telah mengirim utusan kepada negeri asing untuk berserikat, walaupun untuk itu tidak ada buktinya dan tuduhan Hian Song melainkan tuduhan sepihak. Menurut undang-undang, aku mesti menjatuhkan hukuman mati terhadapnya. Akan tetapi, kalau tindakan itu aku ambil, akibatnya akan luas sekali, pasti bakal merembet, hingga dengan dibunuhnya Sin Su seorang, urusan tidak akan jadi habis. Aku sudah tua, ambekanku tak seperti dimasa muda. Pula, sehabisnya perang ini, tenaga angkatan perang kita telah terlalu dikurbankan, dari itu aku tidak itigin untuk membangkitkan peperangan lainnya lagi. Urusan, bagaimana besar ataupun kecil ingin aku mehghindarkannya. Begitutah maka aku cuma merampas kekuasaannya. Sin Su, supaya dia tidak dapat barontak. Mengertikah kau maksudku ?"
Wan Jie menjublak, lalu ia mengangguk.
"Selama dua hari ini aku tak sempat memeriksa surat- suratnya para menteri. Ada urusan apakah yang penting ? Coba kau menyebutkannya barang satu atau dua, untuk aku mendengar."
"Tidak ada urusan yang penting terlalu," Wan Jie menyahut. "Cuma ada sepucuk suratnya Cui Hian Wie dan Wan Siok Kie berdua, yang maksudnya ingin memberi pikiran terhadap Seri Baginda."
"Mereka berdua bangsa jujur, dengan mereka mau memberi pikiran, mestinya aku telah berbuat keliru. Apakah itu bukannya penting ? Lekas kau jelaskan !"
"Mereka itu menyebutkan dua urusan," Wan Jie menerangkan. "Yang pertama mereka mohon Piehee menghentikan usaha membangun pelbagai kuil. Ketika tahun dulu dibangun kuil Tong Hok Sie serta pusat agama Buddha, telah dipakai kuningan dan besi dua juta kati, dan sangat banyak uang dan tenaga orang dihamburkan. Maka itu mereka mohon Seri Baginda menyayangi rakyat negeri."
Bu Cek Thian agak terkejut
"Telah digunakan begitu banyak kuningan dan besi ?" ia bertanya. "Kenapa pengurusnya tidak memberitahukan padaku ? Semua itu dibangun pada tahun yang sudah ketika aku menderita sakit, katanya mereka mau memohon restu untuk kesehatanku. Tatkala itu aku pikir bolehlah itu dilakukan, cuma aku tidak memikir mendalam. Aku tidak sangka sekali mereka justeru membangun secara besar-besaran hingga mereka mensiasiakan tenaga rakyat ! Ah, barusan saja aku menegur puteriku sudah membangun istana hu-ma, siapa tahu aku telah melakukan kesalahan yang jauh terlebih besar. Itulah hebat, hatiku rasanya sakit. Yang lainnya ?" Wan Jie bersangsi sejenak, tetapi ia toh menyahuti : "Mereka mohon Seri Baginda menjauhkan diri dari segala 'siauwjin dan sebaliknya mendekati para kuncu "
Bu Cek Thian terperanjat. "Siauwjin" ialah manusia rendah atau kurcaci dan "kuncu" ialah orang budiman dan ksatriya. Itulah hebat.
"Siapakah yang mereka tunjuk sebagai siauwjin ?" tanya ia.
"Yang dimaksudkan yaitu Thio Ek Cie serta Thio Ciang Cong. Katanya mereka berdua itu ialah menteri-menteri kesayangan Seri Baginda, bahwa dengan membiarkannya berada di istana keduanya bakal merusak. Dari ita mereka mohon Seri Baginda mengusir mereka berdua itu
!"
"Aku melihat mereka pandai main musik, maka itu benarlah aku perlakukan mereka sebagai menteri- menteri mainan, aku membiarkan mereka berdiam diistana untuk menghibur hatiku. Akulah seorang tua, aku percaya tidak bakal muncul kata-kata nganggur. Tapi, mereka itu benar juga. Dua orang she Thio itu memang bukan bangsa lurus, mereka harus dijaga jangan sampai mereka main gila karena mereka mengandalkan pengaruhku. Baiklah, besok aku akan bubarkan mereka itu ! Syukur ada orang yang memberi nasihat, jikalau tidak, entah berapa banyak kesalahan lagi, bakal diperbuat olehku !"
"Selama hidupnya Seri Baginda, perbuatan baik yang pernah dilakukan pun tidak kehitung banyaknya !" berkata Wan Jie, memperingati.
Ratu menggeleng kepala. "Perbuatan baik memang harus dilakukan, tetapi hal itu tidak berharga untuk dikemukakan," ia kata. "Ah, Wan Jie, sekarang giliranku untuk berbicara dengan kau l"
Wan Due terkejut mendengar perkataan ratunya ini. Bu Cek Thian bicara dengan lagu suara rada ditekan dan romannya pun bersungguh-sungguh.
"Piehee hendak menitahkan apakah ?" ia tanya. "Bukan," kata ratu cepat, "aku bukan hendak
menitahkan kau hanya ingin minta sesuatu." Si nona menjadi lebih kaget lagi.
"Oh, Piehee !" katanya. "Wan Jie seorang berdosa, dia mendapatkan kasihannya Piehee dan dipercaya, maka itu jikalau Piehee hendak menitahkan susuatu, meski mesti binasa berlaksa kali, tidak nanti Wan Jie menampik !"
"Bukan, bukan itu maksudku," berkata pula ratu. "Bahkan aku lebih bersyukur terhadapmu. Selama sepuluh tahun ini telah banyak sekali kau membantu aku. Pula orang yang paling mengarti hatiku mungkinlah kau orang satu-satunya." la berhenti sebentar, ia menarik napas. Lalu ia menambahkan : "Manusia itu, usianya tujuhpuluh tahun sudah tua, apapula ,aku yana tahun ini telah berumur delapanpuluh. Aku ketahui, hari-hari. ku yang mendatangi tak banyak lagi. Bicara berguyon, sebenarnya akulah orang yang sebelah kakinya sudah berada diliang kubur!!"
Wan Jie mengawasi junjungannya, yang kulit mukanya telah mengutarakan usia tuanya. Ia pun mendengar, kali ini suara ratu itu bernada sedih. Maka ia berpikir, ratu ini, ratu pertama yang demikian pintar dan pandai memerintah, diakhirnya toh tak akan luput dari pulang kedalam tanah kuning Mengingat ini ia menjadi berduka, dengan menahan turunnya airmatanya, ia berkata : "Piehee begini sehat, mengapa Pieheo mengucapkan kata-kata ini ?"
Bu Cek Thian tertawa sedih.
"Manusia itu akhirnya mesti mati," katanya, perlahan. "Aku telah berusia lanjut sedikitnya aku telah melakukan perbuatan yang lain orang tak dapat melakukannya, maka itu umpamakata aku mesti mati, aku tidak dapat bilang suatu apa. Hanya sekarang aku masih memberati urusan negara, hatiku tak tenang. Karenanya aku mau minta sukalah kau memikulnya separuh ..."
Wan Jie bingung. Ia heran dan berkuatir.
"Ah, Piehee, kata-kata Piehee ini bagaikan membunuh aku !" katanya. Ia masih belum dapat hati ratunya ini. ,
"Wan Jie, kau dengar aku !" berkata Bu Cek Thian, kali ini sungguh-sungguh. "Apa yang sekarang ini aku bicarakan denganmu, setiap kata-katanya koluar dari hatiku yang tulus !" la menghela napas, untuk melegakan hati, baru ia melanjuti : "Kau telah mengikuti aku untuk banyak tahun, kau harusnya ketahui apa yang membuat hatiku tidak tenteram. ialah setelah aku mati nanti, aleu tidak tahu siapa dapat menggantikan aku memikul tanggungjawab negara. Sebenarnya aku berniat menyerahkan takhta-kerajaan kepada Tek Jin Kiat. Sayang peristiwa penyerahan takhta kepada menteri bijaksana cuma dapat terjadi dijaman purbakala. Sekarang ini telah terlalu kokoh itu pikiran bahwa suatu rumah ialah milik satu keluarga. Tegasnya suatu negara kepunyaan orang dari satu she. Karenanya, 'aku pun tidak dapat menyimpang dari pikiran atau kebiasaan itu. Inilah rahasia hatiku, yang sekian lama aku simpan saja, belum pernah aku utarakan kepada siapa juga !"
"Putera mahkota jujur," berkata Wan Jie, "kalau nanti takhta diserahkan padanya, lalu ia dibantu oleh sejumlah menteri setia dan bijaksana yang Piehee pujikan, bukankah itu tak usah dikuatirkan lagi ?"