Begitu lekas tersiar berita khan Turki mengajukan permohonan untuk berdamai, rakyatnya tua dan muda menjadi girang sekali. Akan tetapi disebelah itu, ada beberapa orang yang sebaliknya menjadi sangat berkuatir. Mereka ini yalah kawanan pengkhianat, yang datang dari Tiongkok, yang menghamba kepada khan, diantaranya ialah Thia Tat Souw dan anaknya. Mereka menguatirkan, jikalau perdamaian didapat, Bu Cek Thian nanti meminta mereka diserahkan kepada raja wanita itu.
Selama mereka masih berdiam di Tiongkok, ratu itu pun sudah ingin sangat membekuknya. Maka itu, diharian perutusan Turki berangkat, mereka diam-diam mengangkat kaki. Thia Tat Souw ketua Hek Houw Pang, anggauta-anggauta perkumpulannya itu terdapat ditapal batas, ingin ia menyeberangi perbatasan, untuk menyampurkan diri dengan orangorangnya itu. Diluar dugaan, selagi mereka berada ditanah pegunungan dan tengah merampas barang makanannya wanita Uighur pengungsi itu, mereka bertemu dengan Lie It. Benar Lie It menyamar tetapi Tat Souw mengenali pedangnya.
Mengetahui yang dia tidak dapat menyingkir pula, Tat Souw lantas menyerang sambil ia berteriak : "Jikalau bukan kau yang mampus tentulah aku!" la menyerang dengan huncwe besinya, dengan tipusilat "In Liong sam hian," atau "Naga didalam mega memperlihatkan diri tiga kali." Dapatlah diduga bahwa serangan itu hebat luar biasa.
Lie It menangkis dengan pedangnya, dengan begitu senjata mereka bentrok keras, suaranya terdengar nyaring sekali dan lelatu api pun muncrat berhamburan. Tubuh Tat Souw terhuyung tiga tindak, sedang tubuh si pangeran cuma bergoyang saja.
Kesudahan ini membuat Lie It heran. Ia ketahui baik tenaga dalam dari Tat Souw menang daripadanya, toh kali ini ia merasa, tenaga lawan itu tak sebesar duluhari. Ia tidak tahu, atau tidak ingat, Tat Souw itu telah terkena jarum emasnya Hee-houw Kian dan lukanya itu belum sembuh, sedang sekarang ini sudah dua hari dia kelaparan, hingga tenaganya menjadi berkurang.
Setelah itu, Lie It membalas menyerang. Karena ia menang unggul, ia menyerang dengan bengis.
Menampak ayahnya keteter, Thia Kian Lam menjadi berkuatir. Untuk membantui, ia mengeluarkan senjatanya, sepasang poankoan-pit, alat peranti menotok jalan darah. Maka sejenak kemudian, Lie It sudah dikepung berdua ayah dan anak itu. Walaupun Tat Souw telah kehilangan tenaganya, ilmu totoknya tetap liehay, huncwe besinya tidak dapat dipandang ringan. Pula harus dibuat syukur oleh Lie It, lawannya ini telah kehabisan tembakaunya, -huncwenya itu tidak dapat disedot lagi, dengan begitu sendirinya dia tidak dapat menggunai asap huncwenya yang berbahaya itu. Sebaliknya si pangeran, yang mengandadalkan ilmu pedangnya, terutama pedangnya yang tajam, dapat melawan dengan baik. Maka meskipun ia dikepung berdua, mereka nampak berimbang kekuatannya.
Sesudah pertempuran berjaIan seratus jurus, sekonyong-konyong Tat Souw merasakan iga kirinya sakit. Itulah bagian ja landarah hun-mui, tempat bekas tusukan jarumnya Hee-houw Kian. Tadi-tadinya ia tidak merasakan, sekarang, setelah mengeluarkan tenaga besar sekali, lukanya kumat. Ia terkejut. Ia mengerti, karena sakitnya itu, ia tidak akan dapat bertahan lama,
Maka bagaikan nekat, ia menyerang dengan jurus "Melintangkan penglari emas." ia menjaga pedangnya lawan, setelah itu, dengan memutar diri, tiga kali ia menyerang saling-susul, setiap kalinya terus ia mengarah j,alandarah.
Lie It dapat membade orang telah menjadi nekat, selagi lawan itu berlaku bengis, ia bergerak dengan tidak kalah sebatnya, setelah menghalau bahaya, ia berseru sambil membalas menyerang dengan sama hebatnya. Ia menggunai jurus "Merantai Memelintangkan Perahu" mengarah kepundak setelah terlebih dulu mengancam dengan tikaman:
"Celaka !" Tat Souw berteriak didalam hatinya. Secepat bisa, ia berkelit dengan mendak. Tapi ia masih terlambat sedikit, ujung pedangnya Lie It mengenakan juga pundaknya itu, sedikit dagingnya terpapas, darahnya menguyur.
"Traang I" terdengar satu suara nyaring.
Itulah poankoanpit Kian Lam, yang bentrok dengan pedang Lie It. Anak ini melihat ayahnya terancam bahaya, ia mau menolongi dengan menyerang musuhnya. Tapi He It celi matanya dan sebat gerakannya, dia sempat menangkis, maka senjata mereka beradu. Kesudahannya itu, poankoanpit kena dibabat kutung ujungnya.
"Kian Lam, lekas lari !" teriak Tat Souw, matanya merah, dan dengan nekat, ia menyerang. Ia seperti binatang yang telah terluka, yang menjadi mogok, dengan huncwenya, ia mendesak tanpa menghiraukan rasa nyeri pada iga dan pundaknya yang borboran darah itu.
Kian Lam masih bersangsi ia tidak mau mengangkat kaki. Menampak keragu-raguan sang anak. Tat Souw menjadi mendongkol, maka dia berteriak : "Anak tidak berbakti! Apakah kau hendak memutuskan turunan she Thia ?"
Kian Lam terkejut. Untuk sedetik, dia berdiam, atau segera dia lari kabur sambil menangis menggerung- gerung.
Lie It membenci kejahatan ketua Hek Houw Pang itu, akan tetapi menghadapi kejadian didepan matanya ini, menyaksikan kelakuannya Kian Lam itu, timbul rasa kasihannya. Meski begitu, ia tidak sempat berpikir, Tat Souw terus mendesak ia, karena dia menggunai siasat desakannya itu agar pangeran ini tidak sempat mencegah larinya anaknya itu. ia menjadi mendongkol, ia melawan sama hebatnya.
Tepat ketika tangisannya Kian Lam lenyap, serangannya Tat Souw menjadi kendor, bahkan satu kali, tubuhnya merangsak demikian rupa hingga pedangnya Lie It dapat menyamber dengkulnya. Dia terhuyung, tetapi, bukan dia mengeluh kesakitan, sebaliknya dia tertawa lebar dan berkata : "Aku si orang she Thia sudah malang-melintang beberapa puluh tahun, kalau sekarang aku mati, aku mati puas !"
Lie It berhenti menyerang. Kembali timbul rasa kasihannya.
"Thia Pangcu," katanya, dengan rasa hormat, "kau serahkan hu-leng dan buku keanggautaan Hek Houw Pang, lantas kau musnakan ilmu silatmu, nanti aku ijinkan kau pulang untuk berkumpul bersama anakmu !" la berkasihan karena ia memikir : "Tat Souw sudah berumur hampir enampuluh tahun, biarlah ia hidup dengan sisa usianya. Kalau dia menyerahkan hu-leng dan bukunya, boleh itu aku serahkan p,ada Tiangsun Tay agar kemudian Hek Houw Pang tidak usah merajalela lagi mengganggu kesejahteraan."
Tapi Thia Tat Souw berpikir lain. Ketua Hek Houw Pang itu tertawa dan berkata: "Kau menghendaki aku menyerahkan hu-leng dan buku anggauta perkumpulanku serta aku pun merusak ilmu silatku sendiri ? Ha ! Ha! Kau memandang terlalu enteng kepadaku si orang she Thia ! Satu laki-laki boleh mati tetapi tidak dapat dia memohon belas-kasihan !" Belum habis katakatanya itu, lalu tubuhnya roboh menggabruk, terkulai ditanah. Rupanya dia sudah memutuskan nadinya sendiri.
Lie It menghela napas.
"Kembali satu Pek Yu Siangjin " katanya dalam hati. Untuk mengambil hu-leng dan buku keanggautaan
Hek Houw Pang, pangeran ini lantas mendekati tubuh
Tat Souw itu, terus ia membungkuk, atau ia kaget karena dadanya kesemutan dengan tiba-tiba, berbareng dengan itu, tubuhnya Tat Souw bergerak, tangannya bergerak pula. Lalu, terdengarlah satu suara nyaring dari bunyinya huncwe mengenai batok kepala.
Bukan main kaget dan sakitnya Lie It, dengan wajar saja sebelah kakinya melayang kearah tubuh ketua Hek Houw Pang itu, setelah mana, kepalanya menjadi pusing sekali, masih ia mendengar satu jeritan hebat yang samar-samar tetapi ia sendiri segera tidak sadarkan diri.
Tak tahulah Lie It, berapa lama ia pingsan, ketika ia mendusin, hari sudah magrib, nampak sinar layung dari Sang Surya. la mendapatkan ia rebah tak jauh dari mayatnya si wanita Uighur serta dua anaknya. Hingga suasana disitu sangat mengecilkan hati. Ia mau berbangkit tetapi tidak bisa. Ia lantas ingat bahwa ia belum bebas dari totokan, totokan tadi oleh Tat Souw. Maka ia berdiam, terus ia mengerahkan tenaga- dalamnya. Dengan begitu, tidak selang lama, darahnya dapat mengalir pula, dari perlahan hingga menjadi biasa, setelah mana baru ia dapat menggeraki kaki-tangan dan tubuhnya, untuk bangun berduduk dan berdiri. Didekatnya itu, ia tidak melihat Tat Souw. Ia bertindak ketempat dimana tadi ia bertempur hebat dengan ketua Hek Houw Pang itu. Didekat situ ada jurang. Ketika ia melongok kebawah, ia melihat satu tubuh rebah terkulai, setelah ia mengawasi, ia mengenali mayatnya orang she Thia itu.
Tat Souw licik sekali, banyak akalnya, jahat hatinya. Begitulah ia berpura-pura sebagai satu laki-laki sejati, mati membunuh diri.
la hendak memperdayakan Lie It. Ya berhasil, karena Lie It seorang manusia pemurah hati. Ketika si pangeran datang dekat, mendadak ia menyerang dengan totokan, disusul dengan hajaran huncwenya. Syukur ia telah kehilangan banyak tenaganya, totokannya tepat tetapi tidak hebat. Demikian juga hajaran huncwenya, maka dalam sakit dan kaget, Lie It masih sempat menendang padanya, hingga tubuhnya terpental kedalam jurang dimana dia menerima kebinasaannya.
Lantas Lie It mencari jalan untuk merayap turun kejurang, untuk mengambil hu-leng serta buku ke,anggautaan Hek Houw Pang. Ketika ia naik pula, ia juga letih luar biasa, sebab ia pun kelaparan dan telah menggunakan tenaga berlebihan.
Gubuknya si wanita Uighur sudah nisak tidak keruan tetapi di situ masih ada sisa bubur, api didapur pun belum padam. Ketika Lie It memeriksa, ia tidak dapat makan bubur itu. Pada itu telah kecampuran darah manusia. Melihat bubur itu, dapatlah ia membayangkan apa yang terjadi tadi. Wanita ini masak bubur, untuk anaknya, tiba-tiba datanglah Tat Souw dan anak, lantas mereka ini mencoba merampas bubur itu. Hebat untuk Tat Souw, satu jago, ketua Hek Houw Pang, dan tetamu yang dihormati khan Turki, tetapi lantaran sang lapar, lupa dia kepada kehormatan diri atau keangkuhannya, dia merampas bubur. Nyonya itu membelai buburnya, tidak ampun lggi, dia dibunuh secara telengas, demikian juga kedua anaknya, hingga darahnya muncrat kebubur!
Berduka sekali Lie It apabila ia membayangkan peristiwa hebat itu. Sangat menyedihkan nasibnya wanita dan anak-anaknya itu. Ia pun dapat menyium sedikit bau bacin pada darah dalam bubur itu.
"Aku tidak menyangka beginilah hebatnya peperangan" ia menghela napas.
Walaupun ia sangat lapar, tidak dapat Lie It makan sisa bubur itu, maka itu, ia terpaksa memotong daging kudanya, yang tadi telah mati dihajar remuk batok kepalanya oleh Thia Tat Souw, la bakar daging itu, untuk dijadikan penangsal perutnya. Untuk minum, ia pergi mengambil air selokan gunung.
Habis bersantap, Lie It mesti bekerja keras, untuk mengubur mayatnya si wanita dan anak-anaknya, bahkan mayat Tat Souw ia tidak dapat membiarkan saja, ia menguburnya juga. Ketika ia mau pergi, ia membekal daging kuda itu, untuk persiapan beberapa hari selama ia masih berada ditanah pegunungan. Berselang enam hari barulah ia dapat melewati selat Seng Seng Kiap itu dan mulai memasuki wilayah Tiongkok, diperbatasan An-see.
Delapan tahun telah berlalu, sekarang ia menginjak pula tanah-daerah tumpah darahnya, rupa-rupa perasaannya pangeran ini. Ia membayangi bagaimana ia bersama Tiangsun Pek keluar dari perbatasan Tiongkok, lalu hidup berdua digunung yang sepi.
la bagaikan bermimpi dan baru hari ini mendusin. D,an sekaraog ia berada bersendirian pula ! Untuk melanjuti perjalanannya lebih jauh, Lie It mencampurkan diri dalam kaum pengungsi. Ia membeli tiga perangkat pakaian, untuk salin. Kaum pengungsi itu ialah penduduk sekitar kotay Wie-ciu dan Teng-ciu, kurban-kurban keganasan tentara Turki, hingga mereka kabur kewilayah Tiongkok. Bisalah dimengerti kesengsaraan mereka itu.
Hanya sekarang, semangat mereka lumayan, sebab mereka sudah mendengar hal berhentinya peperangan, hingga hati mereka menjadi lega. Sekarang tidak ada kekuatiran lagi, kecuali kekuatiran untuk hidupnya nanti. Masih ada pengharapan mereka untuk membangun pula rumah-tangga mereka
Berselang beberapa hari, juml lah pengungsi menjadi surut banyak. Ada diantara mereka yang ditampung sanak atau sahabatnya, ada yang suka ditolong pembesar setempat. Lie It tidak mau ditolong pembesar, ia ikut terus rombongan yang tinggal sedikit itu, yang masih mencari sanaknya. Sebenarnya Lie It dapat makan dan pakai seperti biasa, tetapi untuk mencegah kecurigaan, ia terus berada diantara kaum pengungsi itu.
Lagi dua hari, tibalah Lie It di Coan-ciu. Itu waktu musim semi, ketikanya petani bekerja disawah ,atau ladang, maka ia melihat mereka itu lagi bekerja rajin dan anak-anak mereka menggembala ternak sambil meniup seruling. Tidak ada bekasbekasnya bahaya perang, suasana tampak aman dan tenang. Menyaksikan itu, hati Lie It juga terbuka banyak.
Itu hari tengah orang berjaIan dalam rombongan. Lie It melihat beberapa penunggang kuda kabur melewati mereka. Yang menarik perhatiannya ialah satu diantara mereka itu, yang ia kenali, hingga hatinya bercekat.
Penunggang kuda itu ialah Yang Thay Hoa.
Sekejab saja, lewatlah rombongan penunggang kuda itu.
Heran Lie It. Tidak salah lihat ia, orang itu benar muridnya Pek Yu Siangjin. Selain menunggang kuda, dandanan Thay Hoa pun mentereng. Dia tidak miripnya sebagai pengungsi.
"Kenapa dia berani berjalan berterang begini ?" ia kata dalam hati, menduga-duga "Mau apakah dia ? Dia mengungsi atan ada usahanya ? Siapa kawan-kawannya itu ?"
Tidak dapat Lie It memperoleh kepastian, maka itu, ia memikir untuk berlaku waspada.
Sampai di Coan-ciu ini, rombongan dalam sepuluh tinggal sate bagian. Tidak dapat Lie It terus mengikuti restan pengungsi itu. Maka ia mengeluarkan uang emasnya, untuk ditukar dengan uang perak, buat membeli kuda. Disitu tidak ada kuda, terpaksa ia membeli seekor keledai. Ia tidak menarik perhatian, tidak ada yang mencurigai, sebab biasa saja ada beberapa pengungsi yang dapat menyelamatkan diri dengan bawa membawa uangnya. Ia juga membeli dua perangkat pakaian yang bagus. Ditempat aman dan ramai, kalau ia tetap menyamar sebagai pengungsi, ia justeru menarik perhatian umum.
Ketika dilain harinya Lie It meninggalkan Coan-ciu dengan menunggang keledainya, ia seperti telah menyalin diri. Ia berjalan terus tujuh hari, melintasi An- Lan-tee to mendapatkan suasana damai makin nyata dan tegas. Setelah melihat Turki, ia merasakan perbedaan besar negara itu dengan negaranya.
"Dasar Tiongkok negara besar dan lugs, kaya akan segala bendanya," pikirnya. "Biarnya ada peperangan, Tiongkok tetap mempunyai kelebihannya" Cuma sejenak, lantas ia dapat pikiran lain. "Tak tepat pendapatku ini," pikirnya lebih jauh. "Negara lugs dan benda banyak, kalau peperangan terbit, itu masih belum dapat membuat penduduk digaris belakang tenang semuanya, mereka masih membutuhkan pemerintahan yang bijaksana untuk mengaturnya, guna mengurangi segala gangguan akibat peperangan itu."
Baik selama peperangan, maupun selama ditengah jalan ini, Lie It dapat melihat, mendengar dan berpikir. Ia melihat dan mendengar dari pihak sendiri dan juga dari pihak musuh, bangsa Turki itu. Ia, mendapatkan liehaynya Bu Cek Thian berperang. Ia melihat sempurnanya pembesar negeri memernahkan rakyat jelata. Ia menyaksikan ketenangannya rakyat digaris belakang.
-o0odeo0o-
Semua itu menyatakan Bu Cek Thian itu pintar dan pandai, dialah ratu untuk rakyat.
"Sekalipun Baginda Thay Cong, diwaktu perang, dia ddak dapat mengurus rakyat seperti sekarang ini," pikirnya lebih jauh pangeran ini. "Karena itu, perlu apa rakyat membutuhkan lagi aku si orang she Lie sebagai raja ? Kenapa raja itu mesti seorang priya ? Bu Cek Thian merampas mahkota Kerajaan Tong, seumurku aku membenci dia. Benarkah kebencianku ini ?"
Memikir begitu, ruwet pikiran pangeran ini.
Berselang lagi setengah bulan, tibalah Lie It dikota Tiang-an. Segera ia melihat, kota lebih makmur daripada delapan tahun dulu ketika ia meninggalkannya. Dijalan- jalan besar yang lebar, penduduk berjubalan. Mereka seperti tidak melihat bahaya perang. Ia jadi ingat halnya pertama kali ia bertemu dengan Bu Hian Song, ketika dia melagukan syair "Thian Lie". Tadinya ia menganggap kota Tiang-an belukar dan sunyi, ia melampiaskan kepepetan hatinya. Ketika itu Hian Song telah mengejek ia. Waktu ia tiba di Tiang-an, baru ia mendapat kenyataan Tiang-an bukanlah tempat seperti ia bayangkan itu. Sekarang ia tiba pula di Tiangan, kota ini berbeda makin besar. Maka, apakah Hian Song akan mengejeknya pula ?
Lie It mengambil tempat dihotel. Ia sudah memikir, selang dua had ia akan mencari Tiangsun Tay. la memikir juga untuk berdaya dapat menemui Siangkoan
Wan Jie. Karena itu, itu malam, kembali pikirannya kacau, hingga tak dapat ia lantas tidur pulas. Pikirnya : "Entah Wan Jie mempunyai urusan penting apa maka berulangicali dia mengirim orang membawa warta padaku supaya aku pulang. Dan Hian Song, entah dia juga ada didalam istana atau tidak:.. Kalau aku bertemu dia, bagaimana ?"
Sampai jam tiga, ia masih gulak-gulik saja. Tepat ia lagi bergelisah itu, ia mendengar suara pelayan hotel mengetuk-ngetuk pintu sambil berkata : "Tuan... tuan tetamu, silahkan bangun. Ada pembesar negeri melakukan pemeriksaan !" Lantas ia mendengar suara lain yang nyaring : "Semua keluar ! Semua berdiri berbaris dengan rapi, untuk menanti pemeriksaan Kauw- ut tayjin !"
Kaget Lie It.
"Bukankah mereka datang untukku ?" pikirnya. Ia menjadi bercuriga. "Mungkin Bu Cek Thian sudah lantas mendapat tahu aku telah tiba dikota ini dan dia lantas menitahkan orang mencari aku "
Sekarang ini Lie It tidak takut Bu Cek Thian nanti mencelakainya, akan tetapi ia pikir lebih baik ia terus menyembunyikan diri. Ia mendengar banyak tindakan kaki, yang menuju keluar, tandanya tetamu-tetamu lain sudah mentaati titah. la, lantas berpikir pula : "Jikalau benar Bu Cek Thian memerintahkan orang mencari aku, rasanya percuma aku mengangkat kaki. Mungkinkah ini cuma pemeriksaan biasa saja ? Baiklah aku tidak bercuriga tidak keruan"
Dengan menenteramkan diri, pangeran ini bertindak keluar. Ketika ia telah melihat, ia menjadi kaget bukan main.
Disana seorang pembesar militer serta dua pengiringnya lagi memeriksa dan menanyakan setiap tetamu. Dialah Yang Thay Hoa ! Itulah luar biasa !
Segera mata mereka berdua bentrok sinarnya, segera Yang Thay Hoa membentak dengan titahnya : "Inilah mata-mata Turki ! Tangkap dia I"
Bukan kepalang gusarnya Lie It. "Kaulah mata-mata Turki!" ia membalas membentak. Yang Thay Hoa tertawa berkakak.
"Akulah Tang-mui Kauwut !" dia kata nyaring. "Kau
menuduh pembesar negeri, dosamu bersusun dosa"
Kali ini Kauw-ut itu membarengi menghunus goloknya, untuk menyerang.
Lie It tidak berani menangkis, bahkan dia memutar tubuh untuk lari kedalam. Inilah sebab pedangnya masih ada dikamarnya dan ia kuatir pedang itu hilang. Pula, ia tahu musuh ini liehay, ia kuatir ia bercelaka jikalau ia melawan dengan tangan kosong.
Thay Hoa membacok tempat kosong
"Kau hendak lari ?" serunya seraya menguber.
Lie It lari cepat sekali kekamarnya. Ia baru menindak masuk
ketika mendadak ia melihat satu orang berkelebat dari belakang kelambu clan terus menyerang padanya, senjata dia itu mengkilau. Ia menjadi kaget, tetapi segera ia berkelit, tangannya dimajukan dengan tipu silat "Mengambil mutiara." Itulah ilmu silat tangan kosong merampas senjata. Dan ia berhasil. Tikaman orang tidak dikenal itu tidak mengenakan sasarannya, sebaliknya, lengannya kena disentil si pangeran, tangan kiri siapa dibarengi maju untuk merampas golok, hingga senjata itu berpindah tangan.
Penyerang itu tidak mau mengerti, dia menyerang terus. Lie It menjadi kaget dan heran. Sekarang ia mengenali orang ialah Thia Kian Lam, anaknya Thia Tat Souw yang telah berhasil kabur meloloskan diri.
Mata Kian Lam terbuka lebar, sinarnya bengis.
"Lie it, kau toh menghadapi harimu ini ?" katanya keras. "Sekarang serahkan jiwamu !" Dengan sepasang poankoan-pit, ia lantas menyerang, kedua senjatanya itu bergerak dalam jurus "Sepasang naga keluar dari laut," mencari jalan darah kie-bun dan kin-ceng.
Dalam ilmu pedang, Kian Lam lemah, tetapi ilmu totoknya liehay, sebab itulah kepandaiannya yang istimewa.
Lie It menjadi repot juga. Kamarnya itu sempit untuk ia dengan merdeka menggeraki pedangnya, hingga tidak dapat diharap, dengan dua-tiga jurus saja is bias merobohkan lawannya. Sedang Kian Lam itu nekat.
Dengan tipusilat "Mundur setindak untuk lompat menaiki harimau," Lie It menyampok dengan podangnya. Ia berhasil menghajar poankoanpit hingga bersuara: nyaring hinges aenjata lawan mental. Justeru is mengulangi serangannya, untuk menikam jalan darah soan-kie didada orang she Thia itu, mendadak is mendengar sambaran senjata dibelakang kepalanya, anginnya berkesiur keras. Cepat sekali, is berkelit.
Segera ternyata, penyerang itu ialah Yang Thay Hoa ! "Bagus !" berseru Lie It, yang menyambut serangan
dengan serangan jurus "Souw Cin pwe kwa" atau "Souw Cin membaliki. pedang." la menyerang itu tanpa berpaling lagi. Sebagai kesudahan dari itu, senjata kedua pihak beradu keras.
Celaka goloknya - Yang Thay Hoa, ujungnya kena terbabat kutung.
Mengetahui, lawan memegang pedang mustika, Thay Hoa kaget. Dengan cepat dia mundur setindak. Didalam hatinya, dia mencaci : "Tolol !"
Yang Thay Hoa ini sudah berjanji dengan Thia Kian Lam ia akan memancing orang keluar, Kian Lam yang nelusup kedalam kamar guna mencuri pedang, siapa sangka setelah Kian Lam berhasil, pedang itu terampas - pulang oleh Lie It.
Dengan bersenjatakan pedang mustika, Lie It bagaikan harimau tumbuh sayap.
"Dua bangsat, nyalimu sangat besai!" ia mendamprat. Dengan lantas ia menyerang Thay Hoa dengan tipu silat "Sin Bong louw jiauw," atau ”Naga sakti memperlihatkan kuku."
Thay Hoa tidak berani menangkis tikaman itu, dengan lompat berjingkrak, sebelah kakinya mendupak meja didepannya, dengan begitu meja itu terangkat naik, menjadi seperti tameng yang tertikam pedang. Hingga untuk sesaat Lie It tidak dapat segera mencabutnya; dia mesti mengerahkan tenaga dulu. .
Ketika itu angin nienyambar kepala Lie It. Itulah Thia Klan Lam, yang menyerang dengan sepasang poankoanpitnya.
Oleh karena ia belum dapat mencabut pedangnya, Lie it memutar tubuh, tangannya disemparkan, dengan begitu, meja itu terangkat terputar, menyampok seperti tameng juga, menangkis pitnya si orang she Thia.
Lie It bergerak terus. Ia meluncurkan pedangnya, setelah itu, is mencabut. Kali ini ia berhasil, bahkan mejanya, yang ada sebuah meja kecil lantas terlempar kearah Thay Hoa.
Orang she Yang itu menggunai tangannya yang kuat, ia menyampok meja, dengan begitu, meja kecil itu terpental lebih jauh kejendela, hingga daun jendela terhajar terpentang !
Mengenai ketika yang baik itu, Lie It melompat keluar.
Yang Thay Hoa dan Thia Kian Lam turut berlompat, untuk mengejar. Mereka mendapatkan musuh sudah lompat naik keatas genting, dari mana, dengan lembaran-lembaran genting, ia lantas menyerang.
Dengan gunai tangannya yang kuat, Thay Hoa menghajar runtuh setiap genting itu. Tidak beruntung ialah Thia Kian Lam. Dia berada dibelakang Thay Hoa, hancuran genting meletik kematanya, sampai dia menjadi kelabakan.
Lie It berlaku cerdik, selagi menyerang dengan genting itu, ia mengeluarkan senjata rahasianya yang berupa uang tembaga, lalu sehabis menyerang, ia menyusuli dengan uang tembaga itu, timpukannya menurut tipusilat "Thian lie san hoa' "Bidadari menyebar bunga."
Selagi Thia Kian Lam meram dan mengucak-ngucak mata, sepotong uang mengenai dengkulnya, dengan lantas dia melosoh roboh. Tapi Yang Thay Hoa dapat berlompat naik keatas genting, untuk menyusul.
"Tangkap orang jahat" dia berteriak. "Tangkap mata- mata musuhl"
Mendengar teriakan itu, yang berupa fitnah, Lie It berpikir : "Jikalau aku kena ditawan dan diserahkan pada pembesar negeri, tidak enak untukku, sekarang paling baik aku mencari dulu saudara Tiangsun Tay"
Karena ini, ia tidak mau berkelahi lebih jauh, dengan menjejak genting, ia berlompat, untuk lari kelain wuwungan.
Yang Thay Hoa tidak mau mengerti, dia mengejar terus.
Lie It mendongkol sekali. Maka ia lantas lompat turun keba wah, kejalan besar. Ia berteriak keras : "Apakah disini masih ada undang-undang raja? Didalam kota raja, mana bisa pengchianat dibiarkan bekerja dengan merdeka ?"
Ketika itu dari sebelah depan terlihat sebaris serdadu ronda, mereka mendengar suara Lie It, lantas mereka lari menghampirkan..
Thay Hoa sudah lantas lompat turun dari genting, dia berteriak: "Lekas kamu tangkap matamata! Jangan gagal
!"
Orang-orang ronda itu menurut perintah, lantas mereka menyiapkan panah mereka, untuk memanah Lie It.
Lie It kaget. Ia menyangka Yang Thay Hoa menyamar diri menjadi pembesar negeri atau opsir palsu, siapa tahu, serdaduserdadu itu justeru taat kepada perintahnya. Ia menjadi sangat tidak mengerti. Bukankah aneh, begitu tiba di Tiang-an, Yang Thay Hoa dapat menjabat pangkat. Bahkan dia menjadi Tangmui Kauw- ut, opsir yang berkuasa atas pintu kota Timur. Tapi tidak sempat ia berpikir, serangan segera mulai datang, Terpaksa ia melawan. Ia terintang oleh anak panah, terpaksa ia berkelahi sambil mundur dengan Yang Thay Hoa terus mengintil.
Tidak lama mereka sudah melintasi dua buah jalan besar.
Yang Thay Hoa kalah seurat dari Lie It akan tetapi bantuannya barisan panah itu membantu banyak padanya. Lie It mesti menjaga diri dari serangan anakpanah, ia jadi seperti kena terlibat ini musuh besar.
Untuk dapat menyerang musub, Lie It berhenti berlari. Ia menanti sampai Thay Hoa sudah datang dekat lantas ia menyambut dengan serangan.
Thay Hoa tidak berani menangkis, ia memancing pedang orang dengan tipusilat "Menolak perahu mengikuti -air."
Justeru itu, barisan pengejar telah sampai, mereka lantas menyerang.
"Apakah kamu tidak mempunyai mata ?" Yang Thay Hoa menegur. "Lekas berhenti menyerang dengan panah
! Maju mengurung !"
Selagi berkata, Thay Hoa repot menyingkir dari anakpanah, karena ia juga bicara, perhatiannya menjadi tidak terpusatkan. Ia kaget ketika tahu-tahu ujung pedang Lie It mampir dipundaknya ! Lie It sendiri, walaupun ia dapat menangkis, ia tidak takuti anak-anak panah itu. Setiap ia menangkis, anakpanah putus dan jatuh. Tidak demikian dengan Yang Thay Hoa, tidak heran ia jadi kena ditikam. Syukur untuknya, tikaman itu tidak hebat. Ia lantas memikir
:"Biar Lie It dikepung terus, sampai dia letih sendirinya "
Lie It membuka ikat kepalanya, dia kata tertawa : "Yang Thay Hoa, mari kita mengadu ilmu enteng tubuh !" Dan ia lantas lari, dijalan-jalan dan gang yang tak ada orangnya
"Biarnya kau kabur kelangit, akan aku susul kau !" jawab Thay Hoa mendongkol.
Beberapa saat kemudian, Lio It lari masuk kedalam sebuah gang yang panjang dan sempit. Thay Hoa menyusul terus.
Tiba-tiba dari ujung gang sebelah sana datang serangan anakpanah kepada Thay Hoa, dia lantas menangkis sambil berteriak : "Akulah Tang-mui Kauw-ut
! Yang lari didepan itu ialah mata-mata ! Lekas pegat I"
Mendadak datang serangan sebuah anakpanah. Thay Hoa menangkis. Hebat anakpanah itu, meskipun tertangkis masih melesat terus kebawah, nancap dibetisnya kauw-ut itu.
"Berhenti menggunai panah" Thay Hoa berteriak- teriak, gusar. "Lekas tangkap -penjahat itu !"
la mengertak giginya, untuk mencabut anakpanah itu.
Itu waktu Lie It sudah berlompat pula naik keatas genting. Disitu ada beberapa pengawal, yang lantas merintangi. Yang Hoa mau naik juga, untuk menyusul, ketika ia menjejak tanah, ia nyatanya tidak dapat berlompat tinggi. Anakpanah tadi telah mengenai ototnya, hingga dia tidak berdaya lagi.
Dari pojok yang gelap terdengar ngar seruan seorang opsir, yang lari menghampirkan .
"Oh, Yang Tayjin ? Apakah Tayjin terluka ?" tanya dia.
Thay Hoa mengangkat kepalanya, lantas ia mengenali orang ialah seorang opsir barisan pengawal raja le-lim- kun. (Dijaman Tong, Gielim-kun dinamakan lelim-kun.)
"Lekas tangkap penjahat" ia berkata seraya mengibasi tangannya. "Tak usah memperdulikan aku, lukaku tidak parah !" .
Jalan besar itu termasuk wilayah Kota Barat, inilah Thay Hoa ketahui. maka ia percaya, tidak nanti Lie It dapat kabur lagi. Ia tahu, Say-mui Kauw-ut ialah U-bun Ceng yang gagah.
Opsir itu lantas berteriak : "Kamu minggir! Nanti aku hajar dia dengan golok terbang !" Ia pun lantas mengayun tangannya, melayangkan dua barang yang putih warnanya.
Lie It dapat mendengar suara itu, ia jadi berpikir. Ia mengenali suara orang. Kata ia dalam hatinya : "Bukankah itu Pek Goan Hoa ?" Tapi tak sempat ia menggunai otaknya, kedua buah huito, golok terbang, sudah berkelebat didepannya. Ia lantas berkelit, maka huito itu lewat tanpa mengenai sasarannya.
Hui-to dari Pek Goan Hoa kesohor untuk kota raja, titahnya itu juga ditaati pengawalpengawal yang mengepung Lie it itu, maka disana terbukalah suatu temp,at kosong. Ketika ini digunai Lie It, dia berlompat, untuk kabur.
"Kemana kau hendak kabur, pengchianat ?" Goan He 'damprat, terus dia mengejar dengan melewati U-bun Ceng, si komandan barisan penjaga bagian kota Barat itu.
Yiang Thay Hoa, yang sakit kakinya, dapat menyamber lebih jauh.
Lie It dan Pek Goan Hoa lari saling-usul, mereka seperti main petak di jalan besar yang panjang selekasnya mereka melintasi dua jalan besar lainnya
"Bangsat, lihat golokl" Pek Goan Hoa berseru. Itulah ancaman dan sebatang golok menyambar.
Lie It mengangkat pedangnya, untuk menangkis, tetapi ia gagal. Golok lewat diatasan kepalanya. Ia heran, karena ia tahu, belum pernah Pek Goan Hoa gagal dengan hui-tonya itu. Kenapa malam ini beda dari biasanya ? Tapi ia cerdas sekali, lantas ia dapat membade.
"Tidak salah, dengan goloknya dia menunjuki aku jalan lolos !" pikirnya. Maka ia lantas lari kearah mana golok meluncur.
Pek Goan Hoa mengejar terus, dengan goloknya, ia masih menyerang heberapa kali. Semua serangan itu gagal, semua golok "dikejar" Lie It. Maka tida lama, tibalah mereka disebuah tempat yang sepi. Goan Hoa ketahui dibagian mana tidak ada pos penjagaan. "Tianhee!" Pek Goan Hoa memanggil sambil ia lantas berhenti mengejar. "Tianhee sudah pulang? Saudara Tiangsun Tay mengharap-harapmu !"
Lie It pun berhenti berlari, untuk mereka saling menghampirkan.
"Terima kasih !" ia mengucap lebih dulu. Kemudian ia mengajukan pertanyaan dari hal yang membuatnya sangat heran. "Bagaimana ?" katanya. "Yang Thay Hoa menjadi rekanmu ? Kau tahu tidak, dialah muridnya Pek Yu Siangjin si Guru Negara negara Turki ?"
Pak Goan Hoa mengangguk.
"Baru dua hari yang lalu kami dapat ketahui tentang diri dia," ia menjawab. "Inilah ceritera panjang, baik kita bicarakan kemudian. Sekarang paling benar tianhee lekas mencari tempat untuk memernahkan diri. Aku perlu lekas kembali, untuk membikin mereka itu tidak curiga.
"Apakah kau tahu rumahnya iparku ?" tanya Lie It, sembari mengangguk. Ia setujui pikiran orang she Pek ini. Ia menanya alamatnya Tiangsun Tay, si ipar, yang Goan Hoa menyebutkannya barusan.
"Benar, baik sekali kau sembunyi ditempatnya Tiangsun Tay. Dia tinggal dijalan Hok-liongkay Barat, disampingnya menara putih. Didepan rumahnya ada sebuah pohon besar. Kebetulan malam ini bukan giliran jaga, maka kamu kedua ipar - toaku dan moayhu - dapat berbicara dengan leluasa."
Lie It mengangguk, lantas mereka berpisahan. Ia berlari keras kearah Hok-liong-kay Barat. Selagi lari itu, samar2 ia mendengar teriakan berulang-ulang dari Pek Goan Hoa, yang mengojar penjahat kearah yang bertentangan, bahkan dengan begitu, dia membikin pengawal-pengawal lainnya lari mengikuti dia ...
Dengan merdeka Lie It sampai dijalan yang disebutkan. Jalan itu, yang berdampingan dengan bukit, sepi keadaannya. Ia pun lantas dapat mencari rumah yang ada pohonnya didepannya. Ia manjat pohon itu, melihat kedalam rumah. Api penerangan masih belum padam, maka terlihatlah bayangannya Tiangsun Tay diantara kain jendela. Toako itu lagi jalan mundar- mandir.
"Sudah malam begini dia masih belum tidur," kata Lie It, "mungkin dia lagi memikirkan sesuatu yang sulit "
la lantas lompat turun dari pohon, untuk berlompat masuk kedalam pekarangan. Ia baru menginjak tanah, atau Tiangsun Thay sudah berlompat keluar dari jendelanya.
"Saudara Tay, aku" Lie It berkata, cepat tetapi perlahan.
Tiangsun Tay telah menghunus golok, lantas ia masuki pula itu kedalam sarungnya, terus ia mencekal tangan iparnya erat erat.
"Ah, akhirnya kau kembali !" katanya. "Memang aku tahu, kau mesti pulang !"
Lie it terharu, hingga ia mengeluarkan airmata. juga iparnya itu
"Kemarin ini giliranku mengawal diistana," kemudian berkata sang toaku, "disana aku bertemu Wan Jie. Dia lantas menanyakan hal kau, moayhu. Ah, selama ini dia nampak perok dan lesuh, entah apa yang dia pikirkan. Aku kuatir dia mendapat sakit "
Lie It berduka, diam-diam ia menghela napas. "Dapatkah kau mendayakan supaya aku bisa bertemu
dengan Wan Jie ?" ia tanya.
"Mari kita bicara didalam," kata Tiangsun Tay. Maka mereka masuk.
Didalam, antara terangnya api, Tiangsun Tay melihat pakaian orang yang ada darahnya. Ia kaget.
"Apakah barusan kau bertempur ?' ia tanya. "Dengan siapakah ?"
Lie It mengangguk.
"Benar," sahutnya. "Dengan Yang Thay Hoa si pengchianat ! Aku justeru hendak menanya kau, kenapa dia dapat menjadi Tang-mui Kauw-ut ?"
"Bagaimana caranya kau bertemu dia ?" tanya Tiangsun Tay sebelum memberikan jawabannya. "Dia tahu atau tidak kau menyiingkir kemari ?"
"Tidak," sahut Lie It, yang terus tuturkan hal pertempurannya sampai Pek Goan Hoa meloloskan ia dari pengejaran, bahkan Goan Hoa yang menunjuki ia rumahnya ipar ini.
Mendengar itu, lega hati Tiangsun Tay.
"Kenapa kau nampaknya died terhadapnya ?" Lie It tanya, heran.
Ditanya begitu, ipar ini tertawa. "Sekarang dialah orangnya Goei Ong Bu Sin Su !" jawabnya. "Dia dapat pangkatnya itu sebab dipujikan pangeran she Gui itu. Karenanya, aku mesti waspada terhadapnya !"
Lie It gusar.
"Sungguh Bu Sin Su besar nyalinya !" katanya. "Teranglah dia mengandung maksud besar. Baru Turki kalah perang, dia berani mempekerjakan penchianat ! Jikalau begitu, tentunya Thia Kian Lam juga menghamba pada Bu Sin Su !"
Tiangsun Tay tertawa.
"Tentang Thia Kian Lam, aku belum tahu hal- ichwalnya," ia berkata. "Kalau begitu, dialah konconya Yang Thay Hoa ! Benar-benarkah Gui Ong hendak berontak ?" la hening sejenak, terus ia menanya : "Kabarnya Bu Sin Su dan Bu Sam Soe berkongkol dengan Turki, apakah moayhu ketahui jelas duduknya urusan mereka itu ? Ketika dibikin rapat besar adu kepandaian diistana khan Turki, aku tidak hadir, baru belakangan aku mendengar kabar dari Locianpwe Heehouw Kian. Katanya Boe Sin Soe mengirim dua orang utusan tetapi mereka mati diujung jarumnya Heehouw Locianpwe, benarkah itu ?”
"Tidak salah ! Tentang sekongkolnya Boe Sin Soe dengan bangsa Turki, Bu Hian Song yang ketahui paling jelas."
"Sayang sekarang Bu Hian Song tidak ada dikota Tiang-an ini."
"Dia pergi kemanakah ?" "Dia pulang ke Tiang-an lebih dulu daripada aku. Katanya dia cuma berdiam dua hari didalam keraton, lantas dia pergi kegaris depan, kepada Tek Tayjin. Mengenai perbuatan chianat Bu Sin Su itu, apakah kau hendak menuliskan laporannya sebegitu jauh yang kau ketahui untuk aku sampaikan kepada Thio Siangkok ?"
"Apakah Thio Man Cie berani membentur Bu Sin Su ?" "Sebagai perdana menteri, Thio Siangkok sangat
dipercaya Thianhouw. Kemarin aku dan Pek Goan Hoa
telah dipanggil menghadap olehnya dan ia menanyakan halnya Bu Sin Su mengirim utusan kepada Turki itu. Sayang aku tidak tahu jelas duduknya hal."
Lie It heran.
"Eh, mengapa Thio Kian Cie ketahui hal itu ?" tanyanya.
"Entahlah," sahut Tiangsun Tay. "Masih ada yang lebih aneh daripada itu. Yang Thay Hoa dipakai Bu Sin Su dan ditugaskan menjadi kauw-ut dipintu Kota Timur, hal itu Thio Siangkok yang memberitahukan padaku. Aku tidak menghadiri pertemuan silat diistana khan, dengan sendirinya aku tidak kenal Yang Thay Hoa, maka itu syukur Thio Siangkok memberitahukan padaku, maka aku jadi tahu hal ihwal dia. Sekarang aku bersahabat dengannya."
"Toh ada maksudmu yang istimewa maka kau bersahabat dengannya ?"
"la, aku dititahkan Thio Siangkok. Bahkan Siangkok menghendaki, selain bersahabat dengan Yang Thay Hoa itu, supaya aku berkenalan juga dengan Bu Sin Su." . Lie It melengak sebentar, lantas dia tertawa.
"Jikalau begitu, teranglah Thio Kian Cie sudah mulai mengatur dayanya !" ia kata.
"Kau cerdas, segera kau dapat menerka maksud Siangkok. Kau tahu, selama yang belakangan ini, Bo Sin Su dan Bu Sam Su luas mengumpulkan tetamu-tetamu bunkek dan dengan kepalakepala le-lim-kun dan Kim- wiekun, mereka mengikat tali persahabatan. Maka Thio Kian Cie menugaskan aku untuk sekalian bersahabat menyelidiki sepakterjang mereka itu. Tegasnya, aku mesti jadi pengchianatnya."
Lie It bersenyum.
"Meski Bu Sin Su dan Bu Sam Su liehay, mereka masih kalah dari Thio Kian Cie," katanya. "Disana pun masih ada Tek Jin Kiat yang disukai orang banyak. Aku rasa, tinggal tunggu waktunya saja dua orang she Bu itu nanti ditumpas. Maka tak usalah aku berkuatir lagi."
Lie It lantas tuturkan segala apa yang ia tahu hal rahasia Bu Sin Su bersekongkol dengan khan Turki.
Sampai disitu pembicaraan mereka.
Lewat beberapa hari datang giliran Tiangsun Tay bertugas, Lie It serahkan padanya buku koanggautaan dan hu-leng dari Thia Tat Souw, ketua partai Hek Houw Pang itu, untuk disampaikan kepada Lie Beng Cie, touwut dari Kim-wie-kun. Ipar itu dipesan untuk jangan menyebut namanya.
Seberlalunya Tiangsun Tay, hati Lie It tidak tenang. Ia mesti dapat mengendalikan sampai besok tengah-hari diwaktu mana Tiangsun Tay pulang bertugas. Ipar itu nampak tergesa-gesa, dia lantas kata : "Bagus ! Bagus ! Aku telah mengatur beres !"
"Bagaimana beresnya ?" Lie It tanya. Ia sangat ingin tahu,
"Aku telah bertemu dengan Wan Jie, maka lain kali, kalau tiba giliran tugasku, kau boleh turut aku. Kau mesti menyamar sebagai perajurit Kim-wie-kun. Didalam istana, kau bakal bertemu Wan Jie didalam ranggon Hoa Ceng Kok. Itu waktu dia dapat mengatur menyingkirkan dayang-dayang."
"Apakah dia ada pesan lainnya ?"
"Tidak. Dia cuma minta kau pasti datang. Eh, ya, dia mempunyai sebuah syair baru, yang baru ditulis hingga tintanya masih belum kering. Dia serahkan itu padaku sambil bilang, 'Kalau kau suka, kau ambil ini untukmu, kemudian kau kasi lihat kepada engko It, dia tentu akan dapat mengetahui hatiku."'
Tiangsun Tay lantas menyerahkan syair itu, dan Lie It segera membebernya, untuk dibaca.
Itulah empat baris syair yang setiap barisnya terdiri dari lima huruf, bunyinya : .
Pek kie ko i ciat
le jin sui It bong Cap yu bong le tek Siang Man jim slang bong
Artinya .
Nyanyian "Kuda Putih" telah berakhir. Ia yang berada ditepian sana
Bercampuran keharuman dengan kotoran. Saling bertemu tapi saling melupai
Iantas Lie It mendapat tahu syair itu berdasarkan apa. Baris pertama dan baris ke-dua diambil dari kitab syair Sie Keng. Baris ke-tiga cabutan dari kitab Couw Su bagian "Memikirkan wanita cantik " Baris ke-empat ialah tulisannya Wan Jie sendiri. Baris pertama berarti: Seorang tetamu dari tempat jauh hendak dicegah kepergiannya, maka kudanya ditambat, tetapi akhirnya, gagal, dia pergi juga. Baris ke-dua berarti : Orang yang dikagumi, orang yang dicinta, cuma dapat dilihat, lebih tidak. Baris ke-tiga berarti si cantik tak puas, dia menderita, seperti bunga harum bercampuran dengan rumput kotor. Sedang baris terakhir berarti, sesudah bertemu, orang masih dapat saling melupai.
Maka duapuluh huruf itu telah melukis jelas perhubungan di antara Wan Jie dan Lie It, bahwa Wan Jie seperti tak tercapai maksud-hatinya, cita-citanya.
Lie it menjadi terharu sekali, hatinya berdebaran. "Nyata Wan Jie tetap memikiri aku," katanya dalam
hatinya. "Tapi aneh. Baris ke-tiga dan keempat itu dapat diartikan lain. Wan Due seperti menderita, dia mungkin hendak dinikahkan kepada lain orang ia tak setuju. Ini benar-benar aneh "
Lie It kenal baik sifatnya Wan Jie, diluar lunak dan lemah tetapi didalam keras, asal yang si nona anggap benar atau tyot yok, dia lantas kerjakan, sebagaimana mulanya, seorang diri dia berani pergi untuk mencoba membunuh Bu Cek Thian, akan tetapi sekali dia menakluk dan bekerja untuk Bu Cek Thian itu, sekalipun orang yang dia cintai tidak dapat mengubah sikapnya itu. Maka itu tidaklah dapat dimengerti kalau dia sampai mau dipermainkan lain orang
"Apakah katanya syair Wan Jie itu ?" Tiangsun Tay tanya.
"Tidak apa-apa, cuma seperti dahulu dia mengatakannya padaku," sahut si pangeran, yang tidak.mau menjelaskan. "Rupanya dia menghadapi suatu urusan untuk mana ingin ia berdamai denganku."
Sebenarnya Lie It tidak ingin iparnya ini berduka maka ia menutup rahasia. Ia kata didalam hatinya : "Tiangsun Tay diam-. diam menyintai Wan Jie, sayang Wan Jie bukan menyintai dia. Ah, siapakah itu orang yang ia tak ingin menikahnya ? Siapakah yang hendak memaksa dia
? Apakah Bu Cek Thian ? Menurut sifatnya itu, meski yang memaksa Bu Cek Thian, tentu dia tidak akan turut ! Pula Bu Tick Thian tengah menyukai ia, tenaga dan kepintarannya lagi dibutuhkan, maka tak mungkin dia yang memaksa"
Sayang kalau Wan Due yang cantik dan pintar dinikahkan bukan pada orang yang setimpal dengannya. Itu artinya sekuntum bunga indah dan harum ditancap diatas kotoran kerbau. Maka itu, meski ia tidak dapat menikah si nona, Lie It menyayanginya.
Tiangsun Tay melihat orang berpikir sambil tunduk, ia menyangka orang lagi menerka-nerka urusan yang Wan Jie hendak damaikan itu.
"Sudahlah," katanya, menghibur, "Wan Jie hendak menuturkan urusannya kepada kau, maka rahasia bakal terbuka lagi beberapa hari. Aku sendiri, aku mesti menahan hati satu tahun !" "Saudara Tiangsun," kata Lie It kemudian, "aku melihat kau seperti memikirkan sesuatu, benarkah ? Apakah itu mengenai dirinya Wan Jie ?"
Tiangsun Tay menghela napas.
"Telah lama aku mengharap-harap, mengharapi kau pulang," katanya. "Selama itu aku berkuatir bahwa aku tidak mendapat tahu hatinya Wan Jie itu..."
"Apa yang dia beritahukan kepadaku, aku akan beritahukan kepada kau," Lie It berjanji.
"Aku kuatir aku tidak dapat menemani kau masuk keistana," kata Tiangsun Tay. "Cuma, walaupun aku tidak bisa, 'tetapi aku telah pesan Pek Goan Hoa untuk dia mewakilkan aku."
Lie It heran.
"Bagaimana ?" tanyanya cepat. "Bukankah kau bilang kau sudah berjanji dengan Wan Jie ?"
Tiangsun Tay menyeringai.
"Benar ada janji tetapi menyusul itu telah terjadi perubahan," sahutnya, `"Aku justeru hendak mencari kau, untuk berdamai."
"Perubahan apakah itu ?" Lie It mendesak
"Aku telah mendapat tugas baru," sahut Tiangsun Tay, menjelaskan. "Habis aku bertemu Wan Jie, kemudian Lie Touwcet memerintahkan orang memanggil aku dan ia memberikan tugasnya."
Lie It sangat ingin tahu tugas itu. "Tugas apakah itu ?" "Besok Bu Sin Su akan mengadakan perjamuan. Dia mengundang orang-orang yang mempunyai perhubungan dengannya. Aku maksudkan golongan opsir. Begitulah aku pun dapat menerima undangannya itu. Lantas Lie Touw-ut. menghendaki aku hadir dalam pesta itu. Tugasku ialah menawan Yang Thay Hoa dan Thia Kian Lam. Tugas ini diberikan setelah Thio Siangkok dan Lie Touw-ut berdamai satu dengan lain. Siangkok bilang bahwa saatnya sudah tiba untuk turun tangan, dengan menawan mereka dimedan pesta, dengan begitu sekalian perwira akan ketahui rahasianya Bu Sin Su. Benar tindakan ini belum tentu dapat merembet Bu Sin Su sendiri akan tetapi hasilnya menguntungkan pihak kita."
"Ya, pikiran itu balk !" Lie it puji.
"Didalam istana Bo Sin Su banyak orangnya yang liehay," berkata Tiangsun Tay. "Jikalau Bu Sin Su menjadi tidak senang dan melindungi dua orang itu, kesudahannya pasti hebat. Benar aku menerima titahnya Lie Touw-ut serta aku bakal dibantu beberapa orang dari Ielim-kcen dan Kim-wie-kun, toh tetap lawan kuat dan kita lemah, dari itu, aku merasa sulit ..."
Lie It berpikir sebentar, lanas ia berkata : "Kau telah membantu aku, aku pun harus membantu kau. Baiklah, besok aku akan turut kau pergi!"
"Apakah kau tidak kuatir kau nanti dikenali ?"
"Aku ada daya," sahut Lie It. "Aku masih menyimpan obatnya Hee-houw Kian, hendak aku menyamar. Tidak apa percobaan ini berbahaya. Coba kau carikan aku seperangkat seragam pengawal, supaya aku dapat mencoba dulu." Tiangsun Tay lantas pergi mengambilkan seragam itu dan Lie It segera dandan. Ia pun memakai kumis palsu. Ketika ia berkaca, ia tertawa.
"Kau lihat, saudara Tay," katanya. "Dapatkah kau mengenali aku ?"
Tiangsun Tay melihat Lie It telah menjadi seorang tua, jidatnya berkerut sedikit, romannya polos, tidak lagi romannya yang tampan dan agung..
"Benar, obatnya Hee-houw Kian bagus sekali," ia memuji. "Jikalau aku menemui kau dilain tempat, pasti aku tidak akan mengenalinya. Cuma sinar matamu, sulit untuk menyembunyikan itu, kau tetap tampak keren. Tapi karena kau menyamar menjadi pengawal, tidak apalah. Pengawal memang mesti angkar."
"Dulu hari aku dapat mengabui pengawal- pengawalnya khan Turki, aku pun satu kali berhasil menipu Yang Thay Hoa, aku harap kali ini aku akan berhasil juga," bilang Lie It.
Tiangsun Tay mengawasi pula. "Ah, masih ada satu !" serunya sesaat kemudian.
"Apakah itu ?" tanya Lie It. "Pedangmu !" sahut Tiangsun Tay. "Pedang itu senjata dari istana, orang- orang Turki tidak kenal tetapi orang-orangnya Bu Sin Su lain"
Lie It berpikir.
"Tanpa senjata ini, sukar menakluki Yang Thay Hoa," katanya, sangsi.
"Bagaimana kalau sarungnya ditukar ?" Lie It akur, maka iparnya itu mencarikan ia sebuah sarung lain. Sarungnya sendiri bertaburan kemala atas emaa. Ia mendapat sebuah sarung tua serta gagang pedangnya dilapis.
"Cukuplah !" katanya. "Asal kau tidak cabut, tidak akan ada yang mengenali."
Lie It tertawa.
"Saudaraku, kau jauh terlebih terliti daripada dulu-dulu
!" ia memuji.
'"Aku telah bekerja sembilan tahun didalam istana, aku terpeagaruhkan kecerdasannya Thianhouw," Tiangsun Tay mengaku.
Lie It berdiam. Ia mengerti, siapa saja dekat Bu Cek Thian, dia lantas terpengaruh. Maka inilah membuktikan, Bu Cek Thian benar orang aneh.
Tepat diharian pesta, Tiangsun Tay berangkat dengan mengajak Lie It yang telah menyamar. Ada turut beberapa orang lain, diantaranya Pek Goan Hoa. Hanya mereka itu tidak datang bersama, cuma sampainya berbareng. Mereka ini jadi dapat bercampuran dengan Lie It. Diantara mereka cuma Pek Goan Hoa yang mengetahui halnya Lie It ini, yang lainnya melainkan menduga dialah orang kosen undangannya Tiangsun Tay, yang menyamar menjadi opsir Kim-wie-kun.
Gedungnya Bu Sin Su besar dan indah, mirip dengan istana raja. Melihat itu, Lie It menghela napas. Ruangan pun berlapis-lapis, maka Lie It semua mesti melewati pelbagai undakan, baru mereka sampai diruangan pesta. Disana, dimuka tangga, terlihat Yang Thay Hoa. Dialah yang bertugas menyambut tetamu. Kata Lie It dalam hatinya : "Dalam pesta diistana khan, dia yang melayani aku, sekarang dia pula yang menyambut." Maka diamdiam ia memikir bagaimana harus melayaninya.
Didalam Kim-wie-kun, pangkatnya Tiangsun Tay ialah Jiauw Kie Touw-ut tingkat tiga, maka itu didalam pesta ini, kecuali tiga atau empat orang lain, ialah yang pangkatnya paling tinggi. Karena itu, Yang Thay Hoa pun segera memapak ia, untuk menyambut dengan hormat.
Lie It menuruti yang lain-lain, ia mengangguk, lantas ia mau lewat juga seperti yang lainlain itu. Mata Thay Hoa liehay sekali, hanya sekelebatan, dia seperti mengenalnya, lantas dia kata : "Siapakah tayjin ini, belum pernah aku melihatnya ?"
"Inilah Thio Twie-thio, yang baru masuk bekerja," Tiangsun Tay terpaksa memperkenalkan. "Inilah Tong- mcei Kauw-ut Yang Tayjin, orang kepercayaan dari Gui Ongya. Silakan kamu bersahabhat !"
Yang Thay Hoa mengulur tangannya, untuk berjabatan tangan.
"Thio Tayjin, selamat bertemu, selamat bertemu !" katanya.
Lie It tahu orang berniat menguji kepadaiannya. Dulu dalam rapat besar ditempat khan Turki, pernah Yang Thay Hoa menguji ia secara begini, karena ia menggunai ilmu tenaga dalam yang lurus, hampir rahasianya pecah. Sekarang ia dapat memikir daya, ia berlaku tenang, tanpa mengentarakan apa-apa, ia mengulur tangannya, untuk berjabatan. Yang Thay Hoa memahamkan ilmu sesat, begitu kedua tangannya memegang tangan lawan, terdengarlah suara nyaring. Atas itu Lie It segera menarik pulang tangannya dan tubuhnya terhuyung beberapa tindak. Ia merangkap kedua tangannya, ia membawanya kedepan mulutnya, untuk meniupi. Yang Thay Hoa pun terbuyung dua tindak. Batu yang mereka injak telah pecah dua.
Tatkala tangan mereka bertemu, Yang Thay Hoa mengerahkan tenaganya hingga kedua tangannya menjadi panas. Kalau Lie It melawan dengan tenaga dalamnya, ia dapat membebaskan diri, tetapi pengalamannya yang dulu membikin ia mesti menggunai lain siasat, tak mau ia rahasianya pecah. Ia sekarang melawan dengan wajar, untuk membikin lawan tidak curiga. Karenanya ia merasa sakit, tangannya seperti terbakar, hingga menjadi bergaris merah. Thay Hoa pun kena tergempur hingga tak dapat dia berdiri tetap.
"Yang Tayjin sungguh liehay!" kata Lie It seraya memberi hormat. "Aku takluk, aku takluk !" la sengaja membikin suaranya parau, seperti kerongkongannya kering akibat serangan hawa. panas lawannya itu.
Benar-benar Yang Thay Hoa tidak bercuriga. Dia kata : "Orang ini mempelajari ilmu luar, benar dia liehay tetapi dia masuk kelas dua, maka pantas juga dia menjadi perwira rendah dalam barisan Kim-wie-kun." la membalas hormat dan kata : "Tuan, tak dapat dicela yang kau telah berhasil menyakinkan Kim Kong Ciang-lek sampai dibatas ini. Silahkan duduk didalam !"
Jumlah tetamu banyak sekali, tujuh atau delapan bagiannya perwira. Ketika Tiangsun Tay melihat hadirnya beberapa perwira tinggi dari barisan Ie Lim Kun, ia kata dalam hatinya "Bukan sedikit orang yang kena ditarik Bu Sin Su !" la lantas duduk bersama beberapa perwira tinggi itu, sedang Lie It duduk bersama . Pek Goan Hoa dimana pun sebagian ada orang-orang ajakannya Tiangsun Tay. Yang lainnya tidak kenal Lie It tetpi Pek Goan Hoa mengajarnya kenal sebagai anggauta Kim-wie- kun yang baru dan ia dipercaya.
Tidak lama muncullah Bu Sin Su, dirring oleh seorang imam yang mengenakan kimkhoa, atau kopia emas, yang berkilauan mentereng, serta seorang pelajar yang tangannya memegang kipas. Melihat dua orang itu, ada yang berkata perlahan : "itulah Kim Koan Tojin serta Gu Ie Pou !"
Lie It tidak kenal dua orang itu tetapi melihat orang banyak demikian memperhatikannya, ia menduga merekalah bukan sembarang orang.
Atas munculnya Gui Ong, semua hadirin berbangkit sebagai tanda hormat.
Dengan muka ramai dengan senyuman, Bu Sin Soc mengangkat cawan araknya.
"Sungguh. sukar didapatkan yang tuan-tuan hadir disini !" katanya gembira. "Jangan pakai banyak adat- peradatan, duduk dan minumlah dengan gembira. Sekarang lebih dulu ingin aku menhaturkan tip cawan !"
Semua orang mengucap terima kasih.
"Pemerintah telah menang perang," kata Bu Sin Su kemudian. "Pihak Turki telah mengirim utusan meminta damai. Inilah cawan pertama untuk kemenangan itu ! Tak dapat tuan-tuan menampik !" la lantas mengeringkan cawan. Ia kata pula :"Sekarang cawan yang kedua, untuk kesehatannya Seri Baginda Thian Houw !"
Para hadirin bersorak-sorai. Cawan yang ke-dua diminum kering.
Lie It berpikir :"Bu Sin Su bersekongkol dengan Turki dia hendak merampas takhta kerajaan, sungguh berani dia masih mengucapkan kata begini macam tanpa mukanya berubah menjadi merah ! Sungguh dia licik !" Lalu ia berpikir lebih jauh : "Kelihatannya para perwira menunjang Bu Cek Thian, pantas Bu Sin Su tidak berani sembarangan bergerak."
Bu Sin Su mengangkat cawannya yang ke-tiga. "Cawan ini " katanya. Ia berdiam sejenak, agaknya ia
berpikir.
Justeru itu Yang Thay Hoa berkata : "Goei Ong telah menunjang Seri Baginda Thian Houw, jasanya besar untuk negara, maka itu cawan ini untuk memujikan kesehatan Goei Ong, semoga segala sesuatu berjalan dengan lancar ! Silahkan minum !"
Orang banyak bersorak pula, semua menghirup arak mereka.
"Tidak tahu malu !" Lie It mencaci didalam hati. Ia mengangkat kedua tangannya, dengan ditedengi tangan bajunya, ia membuang araknya. Tak sudi ia meminumnya.
Bu Sin Soc girang sekali, dia tertawa lebar.
"Apakah kebijaksanaan dan kepandaianku ?" katanya, merendah. "Aku justeru mengandal pada tuan-tuan semua.Selanjutnya juga aku masih mengharap banyak pada tuan-tuan !"
Lantas Congkoan Cui Kiu Siauw menambahkan : "Pertemuan hari ini ialah pertemuan orangorang pandai, lebih-lebih dengan hadirnya Kim Koan Totiang dap Gu Sianseng maka tambahlah menterengnya ! Ketika ini ketika, yang jarang ditemui, dari itu, aku mau minta totiang serta sianseng sukalah mempertunjuki beberapa rupa kepandaiannya untuk kita mengaguminya !"
Kim Koan Tojin dapat menangkap hatinya Bu Sin Su. Pangeran itu pasti menghendaki ia mempertontonkan kepandaiannya, guna menunduki orang banyak, supaya semua perwira tidak berani melawan kepadanya. Maka itu ia lantas berbangkit.
"Pertemuan hari ini ramai sekali, pantas jikalau pinto membantu meramaikannya !" kata nya. "Pinto mempunyai sesuatu yang ingin dipertunjuki untuk ongya dan semua tuan-tuan !" la lantas menitahkan para pegawai menutup semua jendela, ia sendiri bertindak ketengah-tengah ruang. Dengan lantas ia mengasi dengar siulan keras yang lama, hingga semua orang terkejut: Berbareng dengan itu terasa juga angin menyamber, disusul dengan suara berkeresek atau berkeloteknya jendela. Tatkala semua orang melihat, daun jendela sudah terbuka semuanya. Maka orang heran dan kagum. Itulah khie-kang, atau tenaga dalam, yang sangat luar biasa.
Lie It terperanjat, ia kata dalam hatinya : "Tenaga dalam imam bangsat ini liehay sekali, meski ia belum menyampaikan batas kemahiran, dia toh lebih menang daripada aku, maka agaknya sukar untuk aku membekuk orang jahat disini ."
Kim Koan Tojin tertawa.
"Saudara Gu, sekarang giliranmu !" katanya.
Gu Ie Pou berbangkit, ia bertindak ketengah seraya mengipas-ngipas. Ia tertawa dan kata : "Aku tidak mempunyai kepandaian liehay seperti kepunyaanmu, maka aku baiklah menjadi si pengekor saja. Akan aku nyalakan semua lilin yang barusan kau bikin padam !"
Memang pada setiap jendela. ada dipasangi lilin besar, ketika tadi angin menyamber, aemua lilin itu padam, sekarang pelajar ini menyuruh orang menyalakannya pula. Lie It mengatakan Kim Koan belum cukup mahir disebabkan api lilin itu turut terpadamkan semua.
Goe Ie Pou mengibaskan tangan bajunya yang panjang, dengan begitu kipasnya turut terkibas juga. Dengan begitu dari dalam tangan bajunya itu terlihat meluncurnya beberapa" puluh cahaya terang mirip bintangbintang. Itulah senjata rahasianya yang istimewa, Liu-seng Hwe-yam-tan, peluru Bintang Api. Semua peluru itu, yang kecil, mengenai setiap sumbu Iilin, yang lantas tersulut nyala !
Kepandaian ini kembali disambut tampik-sorak bergemuru.
"Kepandaian kedua tuan sunggnh hebat !" berkata Gui Ong, yang memuji sambil tertawa. "Sungguh aku kagum, aku kagum ! Yang Kauw-wie, kau juga orang baru, kau memangku jabatanmu baru beberapa hari, banyak sahabat belum pernah bertemu dengan kau, maka itu sekalian kita berpesta disini, coba kau pun memberi pertunjukanmu !"
Yang Thay Hoa tahu Bee Sin Su mau mengangkat derajatnya, ia girang sekali, akan tetapi ia berpura-pura merendah, ia berkata : "Disini tersebar sepia kemala dan mustika, mana berani aku yang rendah menunjuki kejelekanku ? Tapi Ongya telah menitahkannya, tidak dapat aku membantah, maka tunggulah sebentar, aku hendak pikir-pikir dulu, apa yang aku mesti pertunjukkan Ia lantas berdiam. Tapi tak lama ia tertawa dan berkata pula : "Aku telah minum beberapa cawan arak, aku merasa panas, dari itu aku minta sukalah aku dimaafkan, aku ingin meloloskan bajuku ini ! " Dan ia benar-benar lantas membuka bajunya, untuk digumpalkan, dicekal dalam genggemannya.
Lantas dia "menggosok keras sekali kedua tangannya satu pada lain, lantaS dari antara jeriji tangannya terlihat api meletik muncrat.
Melihat itu Kim Koan Tojin mengangguk. "Bagus ! Bagus !" pujinya sambil bersenyum.
---o^TAH~0~DewiKZ^o---
Yang They Hoa membuka kedua tangannya, maka terlihatlah asap hitam mengepul bersama sinar api yang menyilaukan mats. Maka baju itu lantas menyala bagaikan. sebuah bola api, terbakar habia "Aku telah mempertunjuki kejelakanku, hasp aku tidak ditertawakan," kata ia sambil ia mengangkat kedua tangannya, memberi hormat.
Pertunjukan membuat api dari Thay Hoa ini tidak dapat melawan kepandaian dari Kim Koan Tod y in den Gce le Pou, akan tetapi itu pun cukup luar biasa. Kepandaian itu membutuhkan banyak waktu amok dipelajarinya. Apapula api itu dapat dipakai membakar musna segumpal baju.
Pare opsir ketahui Yang Thay Hoa itu orangnya Bu Sin Su, justeru dia mempunyaii kepandaian istunewa itu, lamas mereka memuji dengan bertepuk tangan bersorak- sorai.
"Yang Tayjin" berkata Go Ie Pou tertawa terbahak, "kepandaian kau bagus sekali, cuma sayang kau telah merusak baju itu "
Bu Sin Soc tertawa, ia berkata, memerintahkan : "Cui Congkoan, ambillah sebuah jubah sulam dia haturkanlah kepada Yang Kouw-ut"
Perintah itu dilakukan lamas, maka Thay Hoa lamas mengenakan jubahnya. Ia nampak bangga sekali. Ia menghampirkan Sin Su, amok menghaturkan terima kasih
Bu Sin Su berkata pula "Hari ini masih ada beberapa sahabat lainnya yang baru datang, aku minta janganlah sahabat-sahabat berlaku sungkan, sukalah masing- masing mempertunjuki kepandaiannya amok kita same- same menyaksikannya."
Ketika itu sinar matanya Yaps They Hoa diarahkan kepada Lie It, sedang Cong-koan Cui Kiu Siauw menghampirkannya, amok menanya : "Bukankah ini ialah. Thio Tayjin ? Sebelum ini kita belum pernah bertemu sata dengan lain."
Pek Gouw Hoa segera mewakilkan Lie It menyahut. Ia kata : "Saudara Thio ini baru saja masuk dalam pasukan Kim Wie Kun. Ialah sahabat dari banyak tahun dari Tiangsun Touw-ut. Walaupun masih saudara Thio menjabat kepala Kim Wie Kun, sebenarnya kepandaiannya tak dapat dicela."
"Orang yang dipujikan Tiang pun Touw-ut pastilah tak salah lagi," berkata pula Cui Kiu Siauw. "Aku minta sukalah Thio Tayjin memperlihatkan sesuatu agar kita semua dapat membuka mata kita."
Lie It berbangkit, ia berkata dengan suaranya rada parau : "Pek Tayjin telah menempelkan emas dimukaku sedang sebenarnya aku cuma belajar beberapa jurus ilmu silat yang kasar baru beberapa tahun saja "
"Jangan berlaku sungkan, Thio Tayjin," Cui Congkoan mendesak. "Ongya beramai ingin sekali menyaksikan kepandaian tayjin"