Pendekar Aneh (Lie Tee Kie Eng) Jilid 22

 
Lie It mengawasi. Ia mirip terdakwa yang lagi menanti keputusan hakim.

Ruangan itu jadi sunyi, napas orang rasanya sesak. "Adikku dapat ditolong atau tidak, paman Heehouw  ?"

tanya  Tiangsun  Tay  kemudian,  suaranya  menggetar.

"Aku minta sukalah paman omong terus-terang

Sebenarnya Heehouw Kian ti-dak suka bicara, akan tetapi tidak dapat ia jalan untuk mendusta. Akhirnya . ia menghela napas dan kata dengan perlahan: "la tengah hamil tiga bulan, itulah pantangan untuk obatku, karena ia telah putus jiwa, tak dapat ia sembuh pula. Aku tidak berdaya."

Untuk sejenak, orang tercengang. Lantas kesunyian dipecahkan Hian Song, yang paling dulu nangis menjerit. Ia yang hendak menolongi Tiangsun Pek, siapa  tahu ialah yang menyebabkan orang mati. Hanyalah nyonya itu mati tenang, sebab ia mati merangkul suaminya. Untuk Hian Song tapinya itu hebat sekali.

"Semua salahku ! Akulah yang membuatnya mati !" seru ia. "Didalam kejadian ini, siapa pun tidak dapat disalahkan !" kata Heehouw Kian, perlahan suaranya tetapi tetap. "Yang dapat dipersalahkan cuma khan Turki!"

Tiangsun Tay memegang Lie It.

"Kau kau kau menangislah !" katanya, suaranya parau.

Tapi Lie It tidak menangis; matanya mendelong. Tangisannya Hian Song, kata-katanya Tiangsun Tay, ia seperti tidak mendengarnya. Dimatanya cuma ada Tiangsun Pek yang lagi rebah itu. Ia membayangi si nyonya tengah rebah disisinya. Sudah delapan tahun Tiangsun Pek menyintai ia dan merawatinya. Sudah delapan tahun juga' Tiangsun Pek senantiasa berkuatir, berkuatir orang nanti merampas suaminya dari tangannya. Ia tahu benar kekuatiran isterinya. Sekarang isteri itu pergi. Sekarang, setelah isteri itu menutup mata, baru ia merasai bahwa ia benar-benar menyintai isterinya itu ! Hanyalah sekarang, sudah kasip.

Lie It berlutut ditepi pembaringan, kedua tangannya ditaruh ditubuh isterinya.

"Adik Pek !" ia memanggil. Atau mendadak ia roboh.

Pukulan itu terlalu hebat untuknya.

Heehouw Kian semua repot menolongi, untuk menyadarkannya. Cuma Hian Song seorang, yang dengan diam-diam menyingkir dari ruangan itu. Ia merasakan dunia menjadi sangat sunyi. Ketika itu saiju melapis bumi, suasana tenteram sekali. Tapi ia merasa sunyi disebabkan lain. Ia merasa hatinya dingin dan otaknya kosong. Ia berjalan tanpa mengetahui mesti pergi ke-mana. Ia melainkan tidak niat menemui Lie It pula

Mendadak diatas tanah bersalju terlihat satu bayangan berlari-lari. Bayangan itu dapat menyandak si nona. Dialah Pwe Siok Touw.

Hian Song jalan terus, ia seperti tidak mengetahui datangnya suheng itu.

Si suheng pun tidak membuka mulut, dia mengintil saja. Dia rupanya ketahui kedukaan si sumoay, maka tak mau dia mengganggu. Tapi dia sendiri, dia pun sangat berduka. Semenjak Hian Song datang ke Thian San, dapatlah dia melihat sikap luar biasa dari sinona terhadap Lie It. Dia jadi berkuatir - berkuatir sumoay ini nanti bernasib buruk seperti bibinya. Dia juga berkuatir untuk dirinya sendiri, sebab diam-diam, dia pun telah menyintai sumoay itu

Terus kedua orang itu berjaIan dengan membungkam. Salju kembali turun, seperti bulu angsa beterbangan menimpa tubuh mereka.

"Ah, dingin ! " kata si nona, yang berhenti bertindak tiba-tiba.

"Su-moay, mari pulang !" Siok Touw mengajak. Si nona menggeleng kepala, ia menghela napas.

"Jangan bersusah hati, sumoay," sang suheng menghibur. "Itulah bukan kesalahan kau ..."

Hian Song tidak menyahuti. Ia berjalan pula. Salju turun semakin besar. "Su-moay, lebih baik kita pulang ke Thian San," kata Siok Touw kemudian. Ia memberanikan diri. "Mengenai segala peristiwa disini, kau boleh minta Tiangsun Tay yang menyampaikannya kepada Thian Houw. Kau tahu sendiri besar sekali harapan suhu atas dirimu, supaya kaulah yang menjadi ahliwarianya. Dengan berdiam di Thian San, dapat kita sama-sama meyakinkan ilmu pedang kita. Kau juga akan sering-sering meneatui Lie It.

Mendengar nama Lie It, tubuh si nona menggigil. "Tidak,  suheng,"  katanya,  berduka.  "Aku  tidak mau

menemukan  dia  pula.  Aku  telah  mengambil  putusan

untuk kembali ke Tiang-an !"

Siok Tow melengak. "Sekarang ?" dia tanya.

"Benar !" menjawab si nona, pasti. "Aku tidak mau menanti besok ! Tolong kau sampaikan maafku kepada semua cianpwe." Mendadak dia berjalan cepat, tanpa menoleli pula.

Siok Touw berdiri diam, ia mengawasi, sampai tubuh orang tak terlihat pula. Ia tfdak mau menyusul. Percuma ia susul nona itu, yang hatinya ada pada Lie It. Tapi ia pun tidak lantas berlalu. Masih lama ia berdiri bagaikan terpaku tanpa menghiraukan salju.

Akhir-akhirnya, ketika Siok Touw kembali kerumahnya si pemburu, waktu sudah tengahhari. Lie It sudah lama mendusin, hanya dia sangat lesuh. Dia telah mengetahui Hian Song sudah pergi, maka hatinya pun beku. Maka itu, tanpa ditanya Siok Tow, tidak mau dia bicara'

"Barusan dalam tidurnya si Bin memanggil-manggil ibunya," kata Tiangsun Tay. "Baik, nanti aku bujuki dia," berkata Lie It. "Aku nanti bilangi dia bahwa ibunya telah pergi bersama bibinya. Kau to - long kubur adik Pek."

"Kasihan anak itu," mengeluh Tiangsun Tay. "Tapi begitupun baik. Tunggu sampai dua tahun lagi, baru dia dikasi tahu hal yang sebenarnya."

Oleh karena petimati tersedia, gampang saja Tiangsun Tay mengurus jenazah adiknya, cuma perasaannya sangat berat+ Adik itu buruk nasibnya. dia menderita sangat. Tak dapat ia bicara dengan adiknya itu. Maka ia menangis. Untuk mencegah Hie Bin mendusin, ia tidak berani menangis keras, ia bekerja dengan diam-diam.

Tiga hari kemudian maka digunung situ terlihat sebuah kuburan baru. Kuburan itu tidak besar dan menterang seperti kalau dibuat oleh khan. Itulah sederhana. Lie It yang merapi kannya. Lie It pula yang membikin batu nisan dengan bunyinya: "Kuburan Tiangsun Pek, isteri yang tercinta." Maka itu, dialam baka, tentulah Tiangsun Pek puas.

Kesehatannya Lie It sudah sembuh, cuma hatinya terluka.

Tiga hari Tiangsun Tay mengawasi iparnya itu, terpaksa ia meninggalkannya. Ia mesti pulang ke Tiang- an, untuk menyampaikan laporannya kepada ratu. Maka itu, didepan kuburan mereka berpisahan.

"Orang yang telah meninggal dunia tidak akan hidup pula," berkata Tiangsun Tay menghibur, "maka itu seperginya aku, kau mesti menjaga diri baikbaik, kau mesti meredakan kedukaanmu."

Lie It tidak menyahuti. Kata pula Tiangsun Tay: "Tak dapat aku berbicara dengan adik Pek, tetapi dari keterangannya Hie Bin, adikku itu tidak pernah melupakan negaranya. Sering dia menuturkan Hie Bin pelbagai hal mengenai nega

ra kita. Dia telah menjanjikan akan mengajak anaknya ke Tiang-an: '

"Aku ketahui itu," kata Lie It. "Kalau si Bin menangis, sering dia menjustakan dengan kata-katanya itu." .

"Kau toh tidak menghendaki si Bin terus hidup diwilayah asing ini ?"

Lie It menarik napas.

"Aku sendiri, tak sudi lagi aku pulang," ia menjawab. "Mengenai si Bin, kalau nanti sudah dewasa dia mau pulang, aku tidak akan menghalanghalanginya." la lantas menambahkan : "Aku bukannya tak tahu adik, Pek mengingat negaranya. Ah, selama delapan tahun dia tinggal digunung belukar, sengsara hidupnya. Jikalau aku ingat itu, aku menyesal."

"Sekarang ini bagaimana pandanganmu mengenai Thian Houw ?" Tiangsun Tay mengalihkan pemebicaraan.

"Dialah wanita yang berambekan dan berpengaruh. Dia telah memakai tenaganya orangorang yang aku kagumi. Dia juga membinasakan orangorang yang aku hargakan. Tat tahu aku mesti membilang apa. Tentang jasanya tentang kejahatannya, biarlah ahli-ahli sejarah dijaman belakangan saja yang mengutarakannya."

"Sebenarnya aku mengagumi dii," kata Tiangsun Tay. "Dia mengatur negara rapi sekali. Sedikitnya dia terlebih baik daripada raja-raja yang terdahulu. Hanya dia bukan tak ada cacadnya. Dua keponakan yang dia hargakan - Bu Sin Su dan Bu Sam Su - bukannya makh-luk-makhluk baik. Kau tidak mau pulang, baik, aku tidak mau memaksa kau. Cuma disana ada beberapa orang yang kau kagumi, yang mengharap-harap pulangmu 1"

"Siapakah mereka ?" Lie It tanya. Didalam hatinya, ia lantas kata : "Siapa lagi kecuali Siangkoan Wan Jie ?"

"Tahukah kau Thio Kian Cie menjadi Perdana Menteri

?"

"Kabamya dia dipujikan Tek Jin Kiat."

"Benar. Syukur ada dia serta Tek Min Kiat, Hoan Gan

Hoan dan lainnya yang jujur dan setia, karenanya kedua saudara Bu tidak berani main gila secara terang- terangan. Toh mereka harus dikuatirkan. Maka itu, Tek Jin Kiat dan Thio Kian Cie pun menghargai pulangmu."

"Apakah mereka mengharapi tenagaku untuk menyingkirkan dua saudara Bce itu ?"

"Ya. Sekarang ini sudah pasti Thian Houw akan meriyerahkan takhta kepada Louw Leng Ong, puteranya itu. Yang dikuatirkan ialah huru-hara. Kalau kedua saudara Bu itu memperoleh pengaruh, lenyaplah harapan kamu kaum Lie. Kalau Louw Leng Ong sudah naik disinggasana, dikuatirkan orang-orangnya nanti menuntutbalas. Apabila itu terjadi, celaka seluruh keluarga Bu, tak ada pilihan lagi batu pualam atau batu koral biasa. Maka itu; dalam suacana mengancam itu, perlu ada orang2 yang dapat mengendalikan pemerintahan. Tegakah kau tak mencampurtahu urusan itu dan tak memperdulikan lagi saudara atau orang yang terdekat dengan kau ? Dapatkah kau membiarkan Hian Song ? Sukakah kau membiarkan negaramu bercelaka ?"

Mendengar itu, hati Lie It tergerak. Tapi ia berdiam.

Lewat sekian lama, ia cuma menghela napas

"Kau tahu aku sangat menyukai Wan Jie," berkata pula Tiangsun Tay. "Buat guna Wan Jie maka juga aku mengharap kau suka pulang buat satu kali saja."

Lie It mengasi dengan suaranya seperti mendumal: "Oh, Wan Jie Wan Jie"

Wan Jie itu sahabat akrabnya semenjak masih kecil, disaat ini perasaannya mulai tawar, akan tetapi mendengar namanya disebut Tiangsun Tay, ia menggigil tanpa merasa.

"Baru-baru ini telah aku membilangi kau," kata lagi Tiangsun Tay, “selama yang belakangan ini dia menjadi semakin lesuh dan rongsok. Agaknya ada suatu urusan penting sekali yang ia ingin memutuskannya bersamamu."

"Ya, Hian Song pun membilang demikian Wan Jie itu mirip dengan adikku. Aku tahu kau pun sangat menyayangi dia. Aku tidak ingin dia meninggal dunia karena memeras. Dia mempunyai kesulitan, dia menantikan kau untuk memutuskannya. Apakah kau tega dan tetap tidak mau menemuinya ?"

Lie It menghela napas, ia tetap berdiam.

"Ah, kau berkukuh tidak man pulang," kata Tiangsun Tay. "Baiklah, aku tidak mau memaksa kau. Hanya aku minta, setelah kau sembuh nanti, sukalah kau memikirkannya pula." Tiangsun Tay kuatir Lie It nanti menjadi runtuh semangatnya, maka itu ia membujuki agar dia pulang, supaya dia berusaha. Sebenarnya kalau Lie It pulang, ia mungkin nampak kerugian. Tapi ini ia tidak hirau-kan. Ia tahu Lie It menyintai Siangkoan Wan Jie. Ia cuma menghendaki Wan Jie senang hatinya.

"Apa yang kau katakan ini dapat aku pikirkan," kata Lie It kemudian, perlahan.

Tiangsun Tay menggenggam erat tangan orang. "Bagus !" katanya. "Sekarang aku mau pergi, aku

harap kita nanti bertemu pula di Tiang-an."

Seberlalunya sahabat itu, Lie It merasa tak tenang. Ketika ia pulang, ia lantas roboh karena sakit. . Tapi tetap ia pikirkan perkataannya Tiangsun Tay. ia bergelisah dan guncang hatinya. Campur-aduk perasaannya : Urusan negara, sakit hati peribadi, persahabatan, cinta-asmara, kedukaan terhadap isterinya. Selama itu didepan matanya berbayang tubuh dan raganya Tiangsun Pek, Bu Hian Song dan Siangkoan Wan Jie - mereka itu muncul bergantian.

Selama sakitnya itu, Lie It merasa anaknya sangat menahui ia. Ia ditunggui dan dilayani. Kadang-kadang

!saja - anaknya menanya hal ibunya. Anak itu mengharap-harap ayahnya lekas sembuh, supaya dia nanti diajak pergi ke Tiang-an mencari ibu dan bibinya. Si bibi ialah Hian Song. Anak itu polos sekali.

Maka itu, memikirkan anak ini pikiran Lie It tambah ruwet.

Kok Sin Ong bersama-sama Hu Put Gie, Heehouw Kian dan Pwe Siok Touw seharusnya sudah pulang ke Thian San akan tetapi karena sakitnya Lie It, keberangkatan mereka menjadi tertunda. Selama itu khan besar pernah mengirim barisannya kegunung mencari mereka akan tetapi mereka dapat menyembunyikan diri dengan baik. Dengan penyamaran yang sempurna, beberapa kali mereka lolos dari pemeriksaan.

Setengah bulan lamanya Lie It sakit, selama itu ia telah pikirkan kata-katanya Tiangsun Tay, lalu pada suatu hari ia nampak segar sekali, hingga orang heran kocuali Heehouw Kian si tabib pandai. Sakitnya Lie It disebabkan terutama sakit dihati, maka itu asal pikirannya terbuka, dapat dilegakan, sakitnya akan berkurang atau sembuh sendirinya.

Heehouw Kian lantas memberikan obat untuk menguatkan tubuh, maka lekas juga Lie It pulih kcsehatannya, maka pada suatu hari dia kata pada anaknya : "Anak Bin, bukankah kau ingin pergi ke Tiang- an ? Sekarang aku akan pergi kesana !"

Hie Bin bertepuk tangan saking girang.

"Bagus !" serunya. "ibuku dan bibi ada di Tiang-an ! Di Tiangan itu ada banyak makanan yang lezad-lezad ! Ayah, aku mau turut !"

Lie It cekal tangan anaknya, ia genggam erat-erat. "Anak Bin, usiamu masih terlalu muda," katanya,

sabar, "maka itu tunggulah lagi dua tahun, akan aku ajak kau kesana. Sekarang ini kau turut saja Heehouw Kongkong dan Pwe Peepee dan kau harus mendengar kata-kata kongkong dan peepeemu itu."

Kelihatan Hie Bin putus asa, hanya sebentar, ia jadi gembira pula. "Baik, ayah !" katanya. "Aku minta ayah menyampaikan pengharapanku supaya ibu baik, supaya bibi pun baik ! Tolong bilangi bahwa aku sangat kangan, supaya mereka lekas pulang menjenguk aku ! Ibu dengan bibi sekarang tentu sudah akur, kalau bibi memberikan aku buah, ibu tidak akan menegur pula padaku, bukankah ?"

Sakit hatinya Lie It mendengar itu, hampir ia mengeteskan airmata.

"Memang ibu dan bibimu itu sangat menyayangi kau," katanya. "Nanti aku sampaikan pesanmu ini kepada ibu dan bibimu itu."

Kctika itu Hu Put Gie mengajak Kok Sin Ong pergi ke Thian San Utara untuk tinggal hersama, dan Heehouw Kian pergi ke Thian §an Selatan untuk tinggal bersama Pwe Siok Touw. Kuburannya Uttie Ciong dan Yu Tan Sin- Nie ada digunung sebelah selatan itu, maka itu Heehouw Kian suka menemani mereka itu.

Lie It * menyerahkan anaknya pada Heehouw Kian. "Anak ini berotak terang sekali," kata Heehouw Kian.

"Siok  Touw,  kau  mengajari  dia  ilmu  silat,  nanti  aku

mengajari ilmu surat. - Eh, anak, kalau nanti kau menjadi besar, kau menyukai apa ?"

"Aku ingin menjadi seperti ayahku, menjadi seorang ahli pedang," sahut bocah itu. "Aku juga ingin menjadi seperti kong-kong, menjadi tabib. Setelah belajar ilmu pedang, aku nanti bunuh orang-orang jahat, dan setelah belajar ilmu tabib, aku nanti tolongi orang baikbaik ! Kong-kong, bukankah itu bagus ?"

Heehouw Kian menunjuki jempolnya. "Bagus ! Bagus !" pujinya. "Nanti kong-kong-mu mewariskan semua kepandaiannya kepadamu !"

"Kenapa kau tidak mau lekas berlutut ?" kata Lie It pada anaknya.

Hie Bin cerdik sekali, ia lantas berlutut dan mengangguk-angguk pada Heehouw Kian seraya berkata

: "Kalau begitu, kongkong, aku mesti memanggil suhu !" Tabib itu tertawa bergelak.

"Lie It," katanya, "aku bersahabat baik dengan gurumu, gurumu itu mempunyai murid jempol sebagai kau, aku girang sekali, sekarang aku pun mempunyai murid jempol ini ! Aku berani omong besar, murid yang aku ajar pastilah akan menjadi murid yang terlebih baik daripada murid gurumu !"

Hu Put Gie turut tertawa.

"Uttie Ciong sudah menutup mata, apakah kau masih hendak bersaing dengannya ?" dia tanya.

Menurut aturan dalam dunia Rimba Persilatan, Heehouw Kian lebih tua dua tingkat daripada Hie Bin, coba bukan Heehouw Man sendiri yang mengutarakannya, tidak nanti Lie It berani menyuruh anaknya mengangkat guru kepadanya, maka syukurlah Heehouw Kian bukan oaang yang berkukuh terhadap aturan.

Heehouw Kian tertawa, ia kata pada muridnya itu : "Jikalau kau ingin belajar pedang, kau juga harus mengangkat satu guru ",

Hie Bin mengarti, ia lantas bertekuk lutut didepan Siok Touw. "Jangan ? Jangan !" Siok Touw mencegah, tangannya digoyang-goyang.

Akan tetapi Heehouw Kian menahan tubuhnya, hingga dia menerima hormat muridnya.

"Apanya yang tidak boleh ?" kata Heehouw Kian tertawa. "Kita mengajarkan masing-masing ! Perduli apa segala aturan. Apakah kau kuatir derajatmu tarun ?"

"Bukan. Itu justeru mengangkat derajatku," kata Siok Touw.

Memang juga derajat mereka berlainan.

Hu Put Gie dan Kok Sin Ong tertawa. Lie It girang sekali, Itu artinya puteranya itu bakal terdidik sempurna.

Demikian akhirnya Lie It berpisahan dari anaknya serta Heehouw Kian semua, seorang diri ia berangkat 'pulang ke Tiang-an. la bagaikan bermimpi. Ia tetap menyamar sebagai seorang Uighur, supaya orang tidak mengenalnya. Ia berjalan dengan menunggang kuda.

Lewat beberapa hari, selagi berjalan itu, ia melihat debu mengepul didepannya. Itulah satu pasukan tentera yang lagi mendatangi. Ia pergi ketempat yang tinggi untuk mengawasi, hingga ia mendapatkan itulah sebuah pasukan tidak terurus, bendera dan pakaiannya tidak keruan, barisannya kacau. Jadi itulah sepasukan kacau- balau. Ia menduga kepada pasukan yang kalah perang.

!a girang berbareng berduka. Girang sebab tentara Tionggoan menang. Dan berduka, karena kacaunya barisan ini berarti rakyat disepanjang jalan pastilah menderita dari gangguan mereka. Untuk menyingkir dari mereka itu, Lie it mengambil lain arah atau beberapa serdadu Turki itu lantas menguber padanya sambil membentak-bentak menyuruhnya berhenti. Sebenarnya, kalau ia mau, dapat ia menyingkir terus, tetapi ia memperlahankan kuda-nya. Ia ingin memperoleh keterangan dari mulut mereka itu.

Segera juga datang serangan anakpanah serabutan dari beberapa serdadu Turki itu.

Dengan menggunai kepandaiannya, lie It menyambuti semua anak panah, terus ia melemparkannya pula, untuk dipakai membalas mcnierang mereka itu, hingga empat antaranya terguling dari punggung kudanya, roboh berkoseran ditanah, terus tak dapat merayap bangun lagi. Kemudian ternyata mata mereka celong, muka mereka perok dan pucat. Merekalah tentera yang kelaparan, karena lukanya itu, habislah tenaga mereka. Kuda mereka lantas lari kalangkabutan.

Mau atau tidak, terharu hatinya Lie It. Ia melihat satu di antaranya seperti seorang perwira, romannya pun tidak terlalu kucal. Ia lompat turun dari kudanya, untuk menghampirkan dia itu. Ia mengangkatnya bagun.

"Congsu, ampun !" memohon si perwira. Ia memanggil "congsu" - orang gagah.

"Kita tidak bermusuh, mengapa kau memanah aku ?" tanya Lie It. .

"Aku cuma mau minta sedikit barang makanan," sahut perwira itu.

Tempat itu sepi, jarang sekali penduduknya, ada juga beberapa pemburu, maka itu barisan ini sangat kekurangan barang makanan. Mereka dapat menyembelih kuda mereka tetapi ini mereka tidak lakukan, sebab kuda perlu untuk mereka melarikan diri.

Lie It membekal barang makanan, ia berkasihan terhadap mereka, ia lantas membagi. Ia melihat bagaimana orang makan dengan lahapnya. Habis minum, mereka itu menghaturkan terima kasih berulang-ulang. Perwira itu, yang berpangkat pek-hu-thio, agaknya malu ketika ia berkata: "Kami asal rakyat melarat, jikalau tidak sangat terpaksa, tidak nanti kami membegal dan merampok." Ia melihat Lie It sebagai bangsanya, ia tidak mengenali penyamaran orang.

"Kenapa kamu kalah perang secara begini hebat ?" tanya Lie It.

"Itulah sebab pemimpin kami busuk !" sahut si perwira. "Kami dibilangi bahwa tentera Tiongkok tidak bisa berkelahi, lalu kami dianjurkan merampas barang dan wanita Tionghoa. Bulan yang lalu kami menerjang kota Tengciu dan kecamatan Hei-ho di Wie-ciu. Disana pemimpin kami menitahkan kami melepas api membakar rumah rakyat, orang laki-lakinya ditangkap dijadikan budak. Kami mengira kami bakal berhasil menyerbu terus ke Tiang-an, hanya belum lagi kami mengambil kedudukan teguh tentera Tiongkok sudah melakukan penyerargan membalas. Katanya yang menjadi jenderal Tiongkok ialah putera mahkotanya. Pasukan Tiongkok itu dibantu pasukan perang Turfan. Selama beberapa 'kali bertempur, kami terus kena dikalahkan. Rakyat Tengciu dan Wie-ciu pun bangun, kami diserang dari sanasini. Rangsum kami kena dipegat dan dirampas. Demikian karena kami telah maju jauh, tanpa rangsum dan bala- bantuan, kami kena dipukul rusak." Gusar Lie It mengetahui orang demikian jahat, ia mengangkat cambuknya.

"Kamu jahat, dan kejam pantas kamu musna !" katanya bengis. "Pantas kamu mampus kelaparan !"

Perwira itu kaget, apapula ketika cambuk menjeter kearahnya la mendekam, untuk ber-kelit. Ia takut bukan main. Tapi cambuk lewat diatasan kepalanya.

Lie It menghela napas, ia kata :"Ya, semua ini  dosanya Khan kamu !" la lompat naik atas kudanya, meninggalkan mereka itu. Serdadu-serdadu lainnya telah lari serabutan tadi.

Disepanjang jalan Lie It menemui rombongan- rombongan tentara Turki yang tidak keruan macam itu, ia tidak mau usil mereka, ia selalu menghindarinya. Kemudian, selang dua hari, habis sudah sisa tentara Turki, sekarang ia bertemu dengan sejumlah rakyat yang mengungsi. Menurut mereka, khan Turki sudah mengajukan permohonan berdamai dengan kaisar puteri Tiongkok, hanya kebenarannya mereka tidak tahu. Mereka pulang sehabis menyingkir duapuluh hari lebih.

Lega juga hati Lie It. la mengharap-harap perdamaian berhasil.

Lagi dua hari tibalah Lie It dibatas medan perang. Ia tidak mau mengambil jalan besar, ia memilih jalanan pegunungan walaupun sukar. Ia mau melintasi selat Seng Seng Kiap untuk tiba diwilayah An-see. Ia keputusan rangsum tetapi ditengah jalan ia dapat menangkap dua ekor kelinci, yang cukup untuk menangsal perut dua hari. Hari itu selagi lewat disebuah lembah panjang, Lie It mendengar jeritan wanita bangsa Turki, yang minta tolong. Ia menduga kepada perbuatan jahat serdadu buronan, maka ia larikan kudanya untuk melihat. Ia mendapatkan sebuah gubuk dimana terdapat mayatnya seorang wanita serta dua orang bocah. Pembunuhnya pun masih ada ialah dua orang Tionghoa. la, gusar, ia mengajukan kudanya. Atau tiba-tiba ada batu menyamber kearahnya, keras timpukan itu. Ia menduga, itulah timpukannya seorang liehay. Ia menghunus pedangnya, untuk menangkis sambil berkelit. Satu batu tersampok, batu yang lain lewat akan tetapi kudanya ngusruk. Sebab kepala kuda itu kena tertimpuk pecah. Ia lantas berlompat turun, terus kearah dua orang itu.

Begitu kedua pihak sudah datang dekat, dua-duanya kaget hingga mereka sama-sama berseru.

Dua orang itu ialah Thia Tat Souw serta anaknya, Thia Kian Lam. Pakaian mereka rombeng dan kotor. Muka mereka penuh debu. Keadaan mereka rudin sekali. Lie It lantas mengenalinya. Hanya ia heran kenapa mereka bersengsara disini. Turut dugaannya, dengan menakluk pada khan Turki, mereka tentu sudah memperoleh pangkat tinggi dan kedudukan mewah.

Benarlah apa yang Lie It dengar perihal khan Turki meminta berdamai. Ketika Turki menyerang hingga peperangan menjadi berkecamuk, Bu Cek Thian menggunai ketikanya mengangkat puteranya, pangeran Louw Leng-ong, menjadi thaycu atau putera mahkota serta ditugaskan menjadi jenderal perang yang pergi ke Hopak untuk menumpas penyerang. Tek Jin Kiat diangkat menjadi pembantu jenderal itu. Maksudnya Bu Cek Thian agar putera itu berkuasa atas balatentera dan menjadi gampang nanti untuk naik ditakhta. Thaycu manusia biasa saja tetapi dibantu Tek Jin Kiat dapat ia memimpin angkatan perangnya, yang dipecah menjadi tiga jalan :

Touwtok Thio Jin Tan dari Yu-ciu dengan tigapuluh laksa serdadu maju di timur. Tayciangkun Giam Keng Yong dijadikan kepala dibagian barat dengan tenteranya sejumlah Iimabelas laksa jiwa. Pasukan tengah yang terdiri dari pasukan campuran, besarnya sepuluh laksa jiwa, diserahkan kepada Seetok Tiong Gie, jenderal bangsa Turfan. Angkatan perang ini dapat melabrak musuh, merampas pulang daerah-daerah yang kena dirampas musuh itu, terus memasuki wilayah musuh sekali. Khan Turki tidak sanggup melawan, dia meminta damai, dia mengutus wakilnya ke Tiang-an, antaranya dia. menyatakan suka menyerahkan puterinya untuk dinikahkan pada puteranya putera mahkota.

Dalam soal perjodohan atau pernikahan antara negara Tiongkok dengan negara asing, biasanya puteri Tiongkok dinikahkan pada putera atau raja asing, tetapi kali ini puteri asing dinikahkan pada putera raja Tiongkok. Perjodohan itu akhirnya gagal tetapi soalnya telah menjadi buah pembicaraan yang menarik hati.

Begitu lekas tersiar berita khan Turki mengajukan permohonan untuk berdamai, rakyatnya tua dan muda menjadi girang sekali. Akan tetapi disebelah itu, ada beberapa orang yang sebaliknya menjadi sangat berkuatir. Mereka ini yalah kawanan pengkhianat, yang datang dari Tiongkok, yang menghamba kepada khan, diantaranya ialah Thia Tat Souw dan anaknya. Mereka menguatirkan, jikalau perdamaian didapat, Bu Cek Thian nanti meminta mereka diserahkan kepada raja wanita itu. Selama mereka masih berdiam di Tiongkok, ratu itu pun sudah ingin sangat membekuknya. Maka itu, diharian perutusan Turki berangkat, mereka diam-diam mengangkat kaki. Thia Tat Souw ketua Hek Houw Pang, anggauta-anggauta perkumpulannya itu terdapat ditapal batas, ingin ia menyeberangi perbatasan, untuk menyampurkan diri dengan orangorangnya itu. Diluar dugaan, selagi mereka berada ditanah pegunungan dan tengah merampas barang makanannya wanita Uighur pengungsi itu, mereka bertemu dengan Lie It. Benar Lie It menyamar tetapi Tat Souw mengenali pedangnya.

Mengetahui yang dia tidak dapat menyingkir pula, Tat Souw lantas menyerang sambil ia berteriak : "Jikalau bukan kau yang mampus tentulah aku!" la menyerang dengan huncwe besinya, dengan tipusilat "In Liong sam hian," atau "Naga didalam mega memperlihatkan diri tiga kali." Dapatlah diduga bahwa serangan itu hebat luar biasa.

Lie It menangkis dengan pedangnya, dengan begitu senjata mereka bentrok keras, suaranya terdengar nyaring sekali dan lelatu api pun muncrat berhamburan. Tubuh Tat Souw terhuyung tiga tindak, sedang tubuh si pangeran cuma bergoyang saja.

Kesudahan ini membuat Lie It heran. Ia ketahui baik tenaga dalam dari Tat Souw menang daripadanya, toh kali ini ia merasa, tenaga lawan itu tak sebesar duluhari. Ia tidak tahu, atau tidak ingat, Tat Souw itu telah terkena jarum emasnya Hee-houw Kian dan lukanya itu belum sembuh, sedang sekarang ini sudah dua hari dia kelaparan, hingga tenaganya menjadi berkurang. Setelah itu, Lie It membalas menyerang. Karena ia menang unggul, ia menyerang dengan bengis.

Menampak ayahnya keteter, Thia Kian Lam menjadi berkuatir. Untuk membantui, ia mengeluarkan senjatanya, sepasang poankoan-pit, alat peranti menotok jalan darah. Maka sejenak kemudian, Lie It sudah dikepung berdua ayah dan anak itu.

Walaupun Tat Souw telah kehilangan tenaganya, ilmu totoknya tetap liehay, huncwe besinya tidak dapat dipandang ringan. Pula harus dibuat syukur oleh Lie It, lawannya ini telah kehabisan tembakaunya, -huncwenya itu tidak dapat disedot lagi, dengan begitu sendirinya dia tidak dapat menggunai asap huncwenya yang berbahaya itu. Sebaliknya si pangeran, yang mengandadalkan ilmu pedangnya, terutama pedangnya yang tajam, dapat melawan dengan baik. Maka meskipun ia dikepung berdua, mereka nampak berimbang kekuatannya.

Sesudah pertempuran berjaIan seratus jurus, sekonyong-konyong Tat Souw merasakan iga kirinya sakit. Itulah bagian ja landarah hun-mui, tempat bekas tusukan jarumnya Hee-houw Kian. Tadi-tadinya ia tidak merasakan, sekarang, setelah mengeluarkan tenaga besar sekali, lukanya kumat. Ia terkejut. Ia mengerti, karena sakitnya itu, ia tidak akan dapat bertahan lama,

Maka bagaikan nekat, ia menyerang dengan jurus "Melintangkan penglari emas." ia menjaga pedangnya lawan, setelah itu, dengan memutar diri, tiga kali ia menyerang saling-susul, setiap kalinya terus ia mengarah j,alandarah.

Lie It dapat membade orang telah menjadi nekat, selagi lawan itu berlaku bengis, ia bergerak dengan tidak kalah sebatnya, setelah menghalau bahaya, ia berseru sambil membalas menyerang dengan sama hebatnya. Ia menggunai jurus "Merantai Memelintangkan Perahu" mengarah kepundak setelah terlebih dulu mengancam dengan tikaman:

"Celaka !" Tat Souw berteriak didalam hatinya. Secepat bisa, ia berkelit dengan mendak. Tapi ia masih terlambat sedikit, ujung pedangnya Lie It mengenakan juga pundaknya itu, sedikit dagingnya terpapas, darahnya menguyur.

"Traang I" terdengar satu suara nyaring.

Itulah poankoanpit Kian Lam, yang bentrok dengan pedang Lie It. Anak ini melihat ayahnya terancam bahaya, ia mau menolongi dengan menyerang musuhnya. Tapi He It celi matanya dan sebat gerakannya, dia sempat menangkis, maka senjata mereka beradu. Kesudahannya itu, poankoanpit kena dibabat kutung ujungnya.

"Kian Lam, lekas lari !" teriak Tat Souw, matanya merah, dan dengan nekat, ia menyerang. Ia seperti binatang yang telah terluka, yang menjadi mogok, dengan huncwenya, ia mendesak tanpa menghiraukan rasa nyeri pada iga dan pundaknya yang borboran darah itu.

Kian Lam masih bersangsi ia tidak mau mengangkat kaki. Menampak keragu-raguan sang anak. Tat Souw menjadi mendongkol, maka dia berteriak : "Anak tidak berbakti! Apakah kau hendak memutuskan turunan she Thia ?" Kian Lam terkejut. Untuk sedetik, dia berdiam, atau segera dia lari kabur sambil menangis menggerung- gerung.

Lie It membenci kejahatan ketua Hek Houw Pang itu, akan tetapi menghadapi kejadian didepan matanya ini, menyaksikan kelakuannya Kian Lam itu, timbul rasa kasihannya. Meski begitu, ia tidak sempat berpikir, Tat Souw terus mendesak ia, karena dia menggunai siasat desakannya itu agar pangeran ini tidak sempat mencegah larinya anaknya itu. ia menjadi mendongkol, ia melawan sama hebatnya.

Tepat ketika tangisannya Kian Lam lenyap, serangannya Tat Souw menjadi kendor, bahkan satu kali, tubuhnya merangsak demikian rupa hingga pedangnya Lie It dapat menyamber dengkulnya. Dia terhuyung, tetapi, bukan dia mengeluh kesakitan, sebaliknya dia tertawa lebar dan berkata : "Aku si orang she Thia sudah malang-melintang beberapa puluh tahun, kalau sekarang aku mati, aku mati puas !"

Lie It berhenti menyerang. Kembali timbul rasa kasihannya.

"Thia Pangcu," katanya, dengan rasa hormat, "kau serahkan hu-leng dan buku keanggautaan Hek Houw Pang, lantas kau musnakan ilmu silatmu, nanti aku ijinkan kau pulang untuk berkumpul bersama anakmu !" la berkasihan karena ia memikir : "Tat Souw sudah berumur hampir enampuluh tahun, biarlah ia hidup dengan sisa usianya. Kalau dia menyerahkan hu-leng dan bukunya, boleh itu aku serahkan p,ada Tiangsun Tay agar kemudian Hek Houw Pang tidak usah merajalela lagi mengganggu kesejahteraan." Tapi Thia Tat Souw berpikir lain. Ketua Hek Houw Pang itu tertawa dan berkata: "Kau menghendaki aku menyerahkan hu-leng dan buku anggauta perkumpulanku serta aku pun merusak ilmu silatku sendiri ? Ha ! Ha! Kau memandang terlalu enteng kepadaku si orang she Thia ! Satu laki-laki boleh mati tetapi tidak dapat dia memohon belas-kasihan !" Belum habis katakatanya itu, lalu tubuhnya roboh menggabruk, terkulai ditanah. Rupanya dia sudah memutuskan nadinya sendiri.

Lie It menghela napas.

"Kembali satu Pek Yu Siangjin " katanya dalam hati. Untuk  mengambil  hu-leng  dan  buku   keanggautaan

Hek Houw Pang, pangeran ini lantas mendekati tubuh

Tat Souw itu, terus ia membungkuk, atau ia kaget karena dadanya kesemutan dengan tiba-tiba, berbareng dengan itu, tubuhnya Tat Souw bergerak, tangannya bergerak pula. Lalu, terdengarlah satu suara nyaring dari bunyinya huncwe mengenai batok kepala.

Bukan main kaget dan sakitnya Lie It, dengan wajar saja sebelah kakinya melayang kearah tubuh ketua Hek Houw Pang itu, setelah mana, kepalanya menjadi pusing sekali, masih ia mendengar satu jeritan hebat yang samar-samar tetapi ia sendiri segera tidak sadarkan diri.

Tak tahulah Lie It, berapa lama ia pingsan, ketika ia mendusin, hari sudah magrib, nampak sinar layung dari Sang Surya. la mendapatkan ia rebah tak jauh dari mayatnya si wanita Uighur serta dua anaknya. Hingga suasana disitu sangat mengecilkan hati. Ia mau berbangkit tetapi tidak bisa. Ia lantas ingat bahwa ia belum bebas dari totokan, totokan tadi oleh Tat Souw. Maka ia berdiam, terus ia mengerahkan tenaga- dalamnya. Dengan begitu, tidak selang lama, darahnya dapat mengalir pula, dari perlahan hingga menjadi biasa, setelah mana baru ia dapat menggeraki kaki-tangan dan tubuhnya, untuk bangun berduduk dan berdiri. Didekatnya itu, ia tidak melihat Tat Souw. Ia bertindak ketempat dimana tadi ia bertempur hebat dengan ketua Hek Houw Pang itu. Didekat situ ada jurang. Ketika ia melongok kebawah, ia melihat satu tubuh rebah terkulai, setelah ia mengawasi, ia mengenali mayatnya orang she Thia itu.

Tat Souw licik sekali, banyak akalnya, jahat hatinya. Begitulah ia berpura-pura sebagai satu laki-laki sejati, mati membunuh diri.

la hendak memperdayakan Lie It. Ya berhasil, karena Lie It seorang manusia pemurah hati. Ketika si pangeran datang dekat, mendadak ia menyerang dengan totokan, disusul dengan hajaran huncwenya. Syukur ia telah kehilangan banyak tenaganya, totokannya tepat tetapi tidak hebat. Demikian juga hajaran huncwenya, maka dalam sakit dan kaget, Lie It masih sempat menendang padanya, hingga tubuhnya terpental kedalam jurang dimana dia menerima kebinasaannya.

Lantas Lie It mencari jalan untuk merayap turun kejurang, untuk mengambil hu-leng serta buku ke,anggautaan Hek Houw Pang. Ketika ia naik pula, ia juga letih luar biasa, sebab ia pun kelaparan dan telah menggunakan tenaga berlebihan.

Gubuknya si wanita Uighur sudah nisak tidak keruan tetapi di situ masih ada sisa bubur, api didapur pun belum padam. Ketika Lie It memeriksa, ia tidak dapat makan bubur itu. Pada itu telah kecampuran darah manusia. Melihat bubur itu, dapatlah ia membayangkan apa yang terjadi tadi. Wanita ini masak bubur, untuk anaknya, tiba-tiba datanglah Tat Souw dan anak, lantas mereka ini mencoba merampas bubur itu. Hebat untuk Tat Souw, satu jago, ketua Hek Houw Pang, dan tetamu yang dihormati khan Turki, tetapi lantaran sang lapar, lupa dia kepada kehormatan diri atau keangkuhannya, dia merampas bubur. Nyonya itu membelai buburnya, tidak ampun lggi, dia dibunuh secara telengas, demikian juga kedua anaknya, hingga darahnya muncrat kebubur!

Berduka sekali Lie It apabila ia membayangkan peristiwa hebat itu. Sangat menyedihkan nasibnya wanita dan anak-anaknya itu. Ia pun dapat menyium sedikit bau bacin pada darah dalam bubur itu.

"Aku tidak menyangka beginilah hebatnya peperangan" ia menghela napas.

Walaupun ia sangat lapar, tidak dapat Lie It makan sisa bubur itu, maka itu, ia terpaksa memotong daging kudanya, yang tadi telah mati dihajar remuk batok kepalanya oleh Thia Tat Souw, la bakar daging itu, untuk dijadikan penangsal perutnya. Untuk minum, ia pergi mengambil air selokan gunung.

Habis bersantap, Lie It mesti bekerja keras, untuk mengubur mayatnya si wanita dan anak-anaknya, bahkan mayat Tat Souw ia tidak dapat membiarkan saja, ia menguburnya juga. Ketika ia mau pergi, ia membekal daging kuda itu, untuk persiapan beberapa hari selama ia masih berada ditanah pegunungan. Berselang enam hari barulah ia dapat melewati selat Seng Seng Kiap itu dan mulai memasuki wilayah Tiongkok, diperbatasan An-see. Delapan tahun telah berlalu, sekarang ia menginjak pula tanah-daerah tumpah darahnya, rupa-rupa perasaannya pangeran ini. Ia membayangi bagaimana ia bersama Tiangsun Pek keluar dari perbatasan Tiongkok, lalu hidup berdua digunung yang sepi.

la bagaikan bermimpi dan baru hari ini mendusin. D,an sekaraog ia berada bersendirian pula !

Untuk melanjuti perjalanannya lebih jauh, Lie It mencampurkan diri dalam kaum pengungsi. Ia membeli tiga perangkat pakaian, untuk salin. Kaum pengungsi itu ialah penduduk sekitar kotay Wie-ciu dan Teng-ciu, kurban-kurban keganasan tentara Turki, hingga mereka kabur kewilayah Tiongkok. Bisalah dimengerti kesengsaraan mereka itu.

Hanya sekarang, semangat mereka lumayan, sebab mereka sudah mendengar hal berhentinya peperangan, hingga hati mereka menjadi lega. Sekarang tidak ada kekuatiran lagi, kecuali kekuatiran untuk hidupnya nanti. Masih ada pengharapan mereka untuk membangun pula rumah-tangga mereka

Berselang beberapa hari, juml lah pengungsi menjadi surut banyak. Ada diantara mereka yang ditampung sanak atau sahabatnya, ada yang suka ditolong pembesar setempat. Lie It tidak mau ditolong pembesar, ia ikut terus rombongan yang tinggal sedikit itu, yang masih mencari sanaknya. Sebenarnya Lie It dapat makan dan pakai seperti biasa, tetapi untuk mencegah kecurigaan, ia terus berada diantara kaum pengungsi itu.

Lagi dua hari, tibalah Lie It di Coan-ciu. Itu waktu musim semi, ketikanya petani bekerja disawah ,atau ladang, maka ia melihat mereka itu lagi bekerja rajin dan anak-anak mereka menggembala ternak sambil meniup seruling. Tidak ada bekasbekasnya bahaya perang, suasana tampak aman dan tenang. Menyaksikan itu, hati Lie It juga terbuka banyak.

Itu hari tengah orang berjaIan dalam rombongan. Lie It melihat beberapa penunggang kuda kabur melewati mereka. Yang menarik perhatiannya ialah satu diantara mereka itu, yang ia kenali, hingga hatinya bercekat.

Penunggang kuda itu ialah Yang Thay Hoa.

Sekejab saja, lewatlah rombongan penunggang kuda itu.

Heran Lie It. Tidak salah lihat ia, orang itu benar muridnya Pek Yu Siangjin. Selain menunggang kuda, dandanan Thay Hoa pun mentereng. Dia tidak miripnya sebagai pengungsi.

"Kenapa dia berani berjalan berterang begini ?" ia kata dalam hati, menduga-duga "Mau apakah dia ? Dia mengungsi atan ada usahanya ? Siapa kawan-kawannya itu ?"

Tidak dapat Lie It memperoleh kepastian, maka itu, ia memikir untuk berlaku waspada.

Sampai di Coan-ciu ini, rombongan dalam sepuluh tinggal sate bagian. Tidak dapat Lie It terus mengikuti restan pengungsi itu. Maka ia mengeluarkan uang emasnya, untuk ditukar dengan uang perak, buat membeli kuda. Disitu tidak ada kuda, terpaksa ia membeli seekor keledai. Ia tidak menarik perhatian, tidak ada yang mencurigai, sebab biasa saja ada beberapa pengungsi yang dapat menyelamatkan diri dengan bawa membawa uangnya. Ia juga membeli dua perangkat pakaian yang bagus. Ditempat aman dan ramai, kalau ia tetap menyamar sebagai pengungsi, ia justeru menarik perhatian umum.

Ketika dilain harinya Lie It meninggalkan Coan-ciu dengan menunggang keledainya, ia seperti telah menyalin diri. Ia berjalan terus tujuh hari, melintasi An- Lan-tee to mendapatkan suasana damai makin nyata dan tegas. Setelah melihat Turki, ia merasakan perbedaan besar negara itu dengan negaranya.

"Dasar Tiongkok negara besar dan lugs, kaya akan segala bendanya," pikirnya. "Biarnya ada peperangan, Tiongkok tetap mempunyai kelebihannya" Cuma sejenak, lantas ia dapat pikiran lain. "Tak tepat pendapatku ini," pikirnya lebih jauh. "Negara lugs dan benda banyak, kalau peperangan terbit, itu masih belum dapat membuat penduduk digaris belakang tenang semuanya, mereka masih membutuhkan pemerintahan yang bijaksana untuk mengaturnya, guna mengurangi segala gangguan akibat peperangan itu."

Baik selama peperangan, maupun selama ditengah jalan ini, Lie It dapat melihat, mendengar dan berpikir. Ia melihat dan mendengar dari pihak sendiri dan juga dari pihak musuh, bangsa Turki itu. Ia, mendapatkan liehaynya Bu Cek Thian berperang. Ia melihat sempurnanya pembesar negeri memernahkan rakyat jelata. Ia menyaksikan ketenangannya rakyat digaris belakang.

-o0odeo0o- (Bersambung Ke Jilid 11.3) BAGIAN : 82 JILID : 11.2

Lie It mengawasi. Ia mirip terdakwa yang lagi menanti keputusan hakim.

Ruangan itu jadi sunyi, napas orang rasanya sesak. "Adikku dapat ditolong atau tidak, paman Heehouw  ?"

tanya  Tiangsun  Tay  kemudian,  suaranya  menggetar.

"Aku minta sukalah paman omong terus-terang

Sebenarnya Heehouw Kian ti-dak suka bicara, akan tetapi tidak dapat ia jalan untuk mendusta. Akhirnya . ia menghela napas dan kata dengan perlahan: "la tengah hamil tiga bulan, itulah pantangan untuk obatku, karena ia telah putus jiwa, tak dapat ia sembuh pula. Aku tidak berdaya."

Untuk sejenak, orang tercengang. Lantas kesunyian dipecahkan Hian Song, yang paling dulu nangis menjerit. Ia yang hendak menolongi Tiangsun Pek, siapa  tahu ialah yang menyebabkan orang mati. Hanyalah nyonya itu mati tenang, sebab ia mati merangkul suaminya. Untuk Hian Song tapinya itu hebat sekali.

"Semua salahku ! Akulah yang membuatnya mati !" seru ia.

"Didalam kejadian ini, siapa pun tidak dapat disalahkan !" kata Heehouw Kian, perlahan suaranya tetapi tetap. "Yang dapat dipersalahkan cuma khan Turki

!"

Tiangsun Tay memegang Lie It.

"Kau kau kau menangislah !" katanya, suaranya parau.

Tapi Lie It tidak menangis; matanya mendelong. Tangisannya Hian Song, kata-katanya Tiangsun Tay, ia seperti tidak mendengarnya. Dimatanya cuma ada Tiangsun Pek yang lagi rebah itu. Ia membayangi si nyonya tengah rebah disisinya. Sudah delapan tahun Tiangsun Pek menyintai ia dan merawatinya. Sudah delapan tahun juga' Tiangsun Pek senantiasa berkuatir, berkuatir orang nanti merampas suaminya dari tangannya. Ia tahu benar kekuatiran isterinya. Sekarang isteri itu pergi. Sekarang, setelah isteri itu menutup mata, baru ia merasai bahwa ia benar-benar menyintai isterinya itu ! Hanyalah sekarang, sudah kasip.

Lie It berlutut ditepi pembaringan, kedua tangannya ditaruh ditubuh isterinya.

"Adik Pek !" ia memanggil. Atau mendadak ia roboh.

Pukulan itu terlalu hebat untuknya.

Heehouw Kian semua repot menolongi, untuk menyadarkannya. Cuma Hian Song seorang, yang dengan diam-diam menyingkir dari ruangan itu. Ia merasakan dunia menjadi sangat sunyi. Ketika itu saiju melapis bumi, suasana tenteram sekali. Tapi ia merasa sunyi disebabkan lain. Ia merasa hatinya dingin dan otaknya kosong. Ia berjalan tanpa mengetahui mesti pergi ke-mana. Ia melainkan tidak niat menemui Lie It pula

Mendadak diatas tanah bersalju terlihat satu bayangan berlari-lari. Bayangan itu dapat menyandak si nona. Dialah Pwe Siok Touw.

Hian Song jalan terus, ia seperti tidak mengetahui datangnya suheng itu.

Si suheng pun tidak membuka mulut, dia mengintil saja. Dia rupanya ketahui kedukaan si sumoay, maka tak mau dia mengganggu. Tapi dia sendiri, dia pun sangat berduka. Semenjak Hian Song datang ke Thian San, dapatlah dia melihat sikap luar biasa dari sinona terhadap Lie It. Dia jadi berkuatir - berkuatir sumoay ini nanti bernasib buruk seperti bibinya. Dia juga berkuatir untuk dirinya sendiri, sebab diam-diam, dia pun telah menyintai sumoay itu

Terus kedua orang itu berjaIan dengan membungkam. Salju kembali turun, seperti bulu angsa beterbangan menimpa tubuh mereka.

"Ah, dingin ! " kata si nona, yang berhenti bertindak tiba-tiba.

"Su-moay, mari pulang !" Siok Touw mengajak. Si nona menggeleng kepala, ia menghela napas.

"Jangan bersusah hati, sumoay," sang suheng menghibur. "Itulah bukan kesalahan kau ..."

Hian Song tidak menyahuti. Ia berjalan pula. Salju turun semakin besar.

"Su-moay, lebih baik kita pulang ke Thian San," kata Siok Touw kemudian. Ia memberanikan diri. "Mengenai segala peristiwa disini, kau boleh minta Tiangsun Tay yang menyampaikannya kepada Thian Houw. Kau tahu sendiri besar sekali harapan suhu atas dirimu, supaya kaulah yang menjadi ahliwarianya. Dengan berdiam di Thian San, dapat kita sama-sama meyakinkan ilmu pedang kita. Kau juga akan sering-sering meneatui Lie It.

Mendengar nama Lie It, tubuh si nona menggigil. "Tidak, suheng," katanya, berduka. "Aku tidak mau menemukan dia pula. Aku telah mengambil putusan untuk kembali ke Tiang-an !"

Siok Tow melengak. "Sekarang ?" dia tanya.

"Benar !" menjawab si nona, pasti. "Aku tidak mau menanti besok ! Tolong kau sampaikan maafku kepada semua cianpwe." Mendadak dia berjalan cepat, tanpa menoleli pula.

Siok Touw berdiri diam, ia mengawasi, sampai tubuh orang tak terlihat pula. Ia tfdak mau menyusul. Percuma ia susul nona itu, yang hatinya ada pada Lie It. Tapi ia pun tidak lantas berlalu. Masih lama ia berdiri bagaikan terpaku tanpa menghiraukan salju.

Akhir-akhirnya, ketika Siok Touw kembali kerumahnya si pemburu, waktu sudah tengahhari. Lie It sudah lama mendusin, hanya dia sangat lesuh. Dia telah mengetahui Hian Song sudah pergi, maka hatinya pun beku. Maka itu, tanpa ditanya Siok Tow, tidak mau dia bicara'

"Barusan dalam tidurnya si Bin memanggil-manggil ibunya," kata Tiangsun Tay.

"Baik, nanti aku bujuki dia," berkata Lie It. "Aku nanti bilangi dia bahwa ibunya telah pergi bersama bibinya. Kau to - long kubur adik Pek."

"Kasihan anak itu," mengeluh Tiangsun Tay. "Tapi begitupun baik. Tunggu sampai dua tahun lagi, baru dia dikasi tahu hal yang sebenarnya."

Oleh karena petimati tersedia, gampang saja Tiangsun Tay mengurus jenazah adiknya, cuma perasaannya sangat berat+ Adik itu buruk nasibnya. dia menderita sangat. Tak dapat ia bicara dengan adiknya itu. Maka ia menangis. Untuk mencegah Hie Bin mendusin, ia tidak berani menangis keras, ia bekerja dengan diam-diam.

Tiga hari kemudian maka digunung situ terlihat sebuah kuburan baru. Kuburan itu tidak besar dan menterang seperti kalau dibuat oleh khan. Itulah sederhana. Lie It yang merapi kannya. Lie It pula yang membikin batu nisan dengan bunyinya: "Kuburan Tiangsun Pek, isteri yang tercinta." Maka itu, dialam baka, tentulah Tiangsun Pek puas.

Kesehatannya Lie It sudah sembuh, cuma hatinya terluka.

Tiga hari Tiangsun Tay mengawasi iparnya itu, terpaksa ia meninggalkannya. Ia mesti pulang ke Tiang- an, untuk menyampaikan laporannya kepada ratu. Maka itu, didepan kuburan mereka berpisahan.

"Orang yang telah meninggal dunia tidak akan hidup pula," berkata Tiangsun Tay menghibur, "maka itu seperginya aku, kau mesti menjaga diri baikbaik, kau mesti meredakan kedukaanmu."

Lie It tidak menyahuti.

Kata pula Tiangsun Tay: "Tak dapat aku berbicara dengan adik Pek, tetapi dari keterangannya Hie Bin, adikku itu tidak pernah melupakan negaranya. Sering dia menuturkan Hie Bin pelbagai hal mengenai nega

ra kita. Dia telah menjanjikan akan mengajak anaknya ke Tiang-an: '

"Aku ketahui itu," kata Lie It. "Kalau si Bin menangis, sering dia menjustakan dengan kata-katanya itu." . "Kau toh tidak menghendaki si Bin terus hidup diwilayah asing ini ?"

Lie It menarik napas.

"Aku sendiri, tak sudi lagi aku pulang," ia menjawab. "Mengenai si Bin, kalau nanti sudah dewasa dia mau pulang, aku tidak akan menghalanghalanginya." la lantas menambahkan : "Aku bukannya tak tahu adik, Pek mengingat negaranya. Ah, selama delapan tahun dia tinggal digunung belukar, sengsara hidupnya. Jikalau aku ingat itu, aku menyesal."

"Sekarang ini bagaimana pandanganmu mengenai Thian Houw ?" Tiangsun Tay mengalihkan pemebicaraan.

"Dialah wanita yang berambekan dan berpengaruh. Dia telah memakai tenaganya orangorang yang aku kagumi. Dia juga membinasakan orangorang yang aku hargakan. Tat tahu aku mesti membilang apa. Tentang jasanya tentang kejahatannya, biarlah ahli-ahli sejarah dijaman belakangan saja yang mengutarakannya."

"Sebenarnya aku mengagumi dii," kata Tiangsun Tay. "Dia mengatur negara rapi sekali. Sedikitnya dia terlebih baik daripada raja-raja yang terdahulu. Hanya dia bukan tak ada cacadnya. Dua keponakan yang dia hargakan - Bu Sin Su dan Bu Sam Su - bukannya makh-luk-makhluk baik. Kau tidak mau pulang, baik, aku tidak mau memaksa kau. Cuma disana ada beberapa orang yang kau kagumi, yang mengharap-harap pulangmu 1"

"Siapakah mereka ?" Lie It tanya. Didalam hatinya, ia lantas kata : "Siapa lagi kecuali Siangkoan Wan Jie ?"

"Tahukah kau Thio Kian Cie menjadi Perdana Menteri

?" "Kabamya dia dipujikan Tek Jin Kiat."

"Benar. Syukur ada dia serta Tek Min Kiat, Hoan Gan Hoan dan lainnya yang jujur dan setia, karenanya kedua saudara Bu tidak berani main gila secara terang- terangan. Toh mereka harus dikuatirkan. Maka itu, Tek Jin Kiat dan Thio Kian Cie pun menghargai pulangmu."

"Apakah mereka mengharapi tenagaku untuk menyingkirkan dua saudara Bce itu ?"

"Ya. Sekarang ini sudah pasti Thian Houw akan meriyerahkan takhta kepada Louw Leng Ong, puteranya itu. Yang dikuatirkan ialah huru-hara. Kalau kedua saudara Bu itu memperoleh pengaruh, lenyaplah harapan kamu kaum Lie. Kalau Louw Leng Ong sudah naik disinggasana, dikuatirkan orang-orangnya nanti menuntutbalas. Apabila itu terjadi, celaka seluruh keluarga Bu, tak ada pilihan lagi batu pualam atau batu koral biasa. Maka itu; dalam suacana mengancam itu, perlu ada orang2 yang dapat mengendalikan pemerintahan. Tegakah kau tak mencampurtahu urusan itu dan tak memperdulikan lagi saudara atau orang yang terdekat dengan kau ? Dapatkah kau membiarkan Hian Song ? Sukakah kau membiarkan negaramu bercelaka ?"

Mendengar itu, hati Lie It tergerak. Tapi ia berdiam.

Lewat sekian lama, ia cuma menghela napas

"Kau tahu aku sangat menyukai Wan Jie," berkata pula Tiangsun Tay. "Buat guna Wan Jie maka juga aku mengharap kau suka pulang buat satu kali saja."

Lie It mengasi dengan suaranya seperti mendumal: "Oh, Wan Jie Wan Jie" Wan Jie itu sahabat akrabnya semenjak masih kecil, disaat ini perasaannya mulai tawar, akan tetapi mendengar namanya disebut Tiangsun Tay, ia menggigil tanpa merasa.

"Baru-baru ini telah aku membilangi kau," kata lagi Tiangsun Tay, “selama yang belakangan ini dia menjadi semakin lesuh dan rongsok. Agaknya ada suatu urusan penting sekali yang ia ingin memutuskannya bersamamu."

"Ya, Hian Song pun membilang demikian Wan Jie itu mirip dengan adikku. Aku tahu kau pun sangat menyayangi dia. Aku tidak ingin dia meninggal dunia karena memeras. Dia mempunyai kesulitan, dia menantikan kau untuk memutuskannya. Apakah kau tega dan tetap tidak mau menemuinya ?"

Lie It menghela napas, ia tetap berdiam.

"Ah, kau berkukuh tidak man pulang," kata Tiangsun Tay. "Baiklah, aku tidak mau memaksa kau. Hanya aku minta, setelah kau sembuh nanti, sukalah kau memikirkannya pula."

Tiangsun Tay kuatir Lie It nanti menjadi runtuh semangatnya, maka itu ia membujuki agar dia pulang, supaya dia berusaha. Sebenarnya kalau Lie It pulang, ia mungkin nampak kerugian. Tapi ini ia tidak hirau-kan. Ia tahu Lie It menyintai Siangkoan Wan Jie. Ia cuma menghendaki Wan Jie senang hatinya.

"Apa yang kau katakan ini dapat aku pikirkan," kata Lie It kemudian, perlahan.

Tiangsun Tay menggenggam erat tangan orang. "Bagus !" katanya. "Sekarang aku mau pergi, aku harap kita nanti bertemu pula di Tiang-an."

Seberlalunya sahabat itu, Lie It merasa tak tenang. Ketika ia pulang, ia lantas roboh karena sakit. . Tapi tetap ia pikirkan perkataannya Tiangsun Tay. ia bergelisah dan guncang hatinya. Campur-aduk perasaannya : Urusan negara, sakit hati peribadi, persahabatan, cinta-asmara, kedukaan terhadap isterinya. Selama itu didepan matanya berbayang tubuh dan raganya Tiangsun Pek, Bu Hian Song dan Siangkoan Wan Jie - mereka itu muncul bergantian.

Selama sakitnya itu, Lie It merasa anaknya sangat menahui ia. Ia ditunggui dan dilayani. Kadang-kadang

!saja - anaknya menanya hal ibunya. Anak itu mengharap-harap ayahnya lekas sembuh, supaya dia nanti diajak pergi ke Tiang-an mencari ibu dan bibinya. Si bibi ialah Hian Song. Anak itu polos sekali.

Maka itu, memikirkan anak ini pikiran Lie It tambah ruwet.

Kok Sin Ong bersama-sama Hu Put Gie, Heehouw Kian dan Pwe Siok Touw seharusnya sudah pulang ke Thian San akan tetapi karena sakitnya Lie It, keberangkatan mereka menjadi tertunda. Selama itu khan besar pernah mengirim barisannya kegunung mencari mereka akan tetapi mereka dapat menyembunyikan diri dengan baik. Dengan penyamaran yang sempurna, beberapa kali mereka lolos dari pemeriksaan.

Setengah bulan lamanya Lie It sakit, selama itu ia telah pikirkan kata-katanya Tiangsun Tay, lalu pada suatu hari ia nampak segar sekali, hingga orang heran kocuali Heehouw Kian si tabib pandai. Sakitnya Lie It disebabkan terutama sakit dihati, maka itu asal pikirannya terbuka, dapat dilegakan, sakitnya akan berkurang atau sembuh sendirinya.

Heehouw Kian lantas memberikan obat untuk menguatkan tubuh, maka lekas juga Lie It pulih kcsehatannya, maka pada suatu hari dia kata pada anaknya : "Anak Bin, bukankah kau ingin pergi ke Tiang- an ? Sekarang aku akan pergi kesana !"

Hie Bin bertepuk tangan saking girang.

"Bagus !" serunya. "ibuku dan bibi ada di Tiang-an ! Di Tiangan itu ada banyak makanan yang lezad-lezad ! Ayah, aku mau turut !"

Lie It cekal tangan anaknya, ia genggam erat-erat. "Anak Bin, usiamu masih terlalu muda," katanya,

sabar, "maka itu tunggulah lagi dua tahun, akan aku ajak kau kesana. Sekarang ini kau turut saja Heehouw Kongkong dan Pwe Peepee dan kau harus mendengar kata-kata kongkong dan peepeemu itu."

Kelihatan Hie Bin putus asa, hanya sebentar, ia jadi gembira pula.

"Baik, ayah !" katanya. "Aku minta ayah menyampaikan pengharapanku supaya ibu baik, supaya bibi pun baik ! Tolong bilangi bahwa aku sangat kangan, supaya mereka lekas pulang menjenguk aku ! Ibu dengan bibi sekarang tentu sudah akur, kalau bibi memberikan aku buah, ibu tidak akan menegur pula padaku, bukankah ?"

Sakit hatinya Lie It mendengar itu, hampir ia mengeteskan airmata. "Memang ibu dan bibimu itu sangat menyayangi kau," katanya. "Nanti aku sampaikan pesanmu ini kepada ibu dan bibimu itu."

Kctika itu Hu Put Gie mengajak Kok Sin Ong pergi ke Thian San Utara untuk tinggal hersama, dan Heehouw Kian pergi ke Thian §an Selatan untuk tinggal bersama Pwe Siok Touw. Kuburannya Uttie Ciong dan Yu Tan Sin- Nie ada digunung sebelah selatan itu, maka itu Heehouw Kian suka menemani mereka itu.

Lie It * menyerahkan anaknya pada Heehouw Kian. "Anak ini berotak terang sekali," kata Heehouw Kian.

"Siok Touw, kau mengajari dia ilmu silat, nanti aku mengajari ilmu surat. - Eh, anak, kalau nanti kau menjadi besar, kau menyukai apa ?"

"Aku ingin menjadi seperti ayahku, menjadi seorang ahli pedang," sahut bocah itu. "Aku juga ingin menjadi seperti kong-kong, menjadi tabib. Setelah belajar ilmu pedang, aku nanti bunuh orang-orang jahat, dan setelah belajar ilmu tabib, aku nanti tolongi orang baikbaik ! Kong-kong, bukankah itu bagus ?"

Heehouw Kian menunjuki jempolnya.

"Bagus ! Bagus !" pujinya. "Nanti kong-kong-mu mewariskan semua kepandaiannya kepadamu !"

"Kenapa kau tidak mau lekas berlutut ?" kata Lie It pada anaknya.

Hie Bin cerdik sekali, ia lantas berlutut dan mengangguk-angguk pada Heehouw Kian seraya berkata

: "Kalau begitu, kongkong, aku mesti memanggil suhu !" Tabib itu tertawa bergelak. "Lie It," katanya, "aku bersahabat baik dengan gurumu, gurumu itu mempunyai murid jempol sebagai kau, aku girang sekali, sekarang aku pun mempunyai murid jempol ini ! Aku berani omong besar, murid yang aku ajar pastilah akan menjadi murid yang terlebih baik daripada murid gurumu !"

Hu Put Gie turut tertawa.

"Uttie Ciong sudah menutup mata, apakah kau masih hendak bersaing dengannya ?" dia tanya.

Menurut aturan dalam dunia Rimba Persilatan, Heehouw Kian lebih tua dua tingkat daripada Hie Bin, coba bukan Heehouw Man sendiri yang mengutarakannya, tidak nanti Lie It berani menyuruh anaknya mengangkat guru kepadanya, maka syukurlah Heehouw Kian bukan oaang yang berkukuh terhadap aturan.

Heehouw Kian tertawa, ia kata pada muridnya itu : "Jikalau kau ingin belajar pedang, kau juga harus mengangkat satu guru ",

Hie Bin mengarti, ia lantas bertekuk lutut didepan Siok Touw.

"Jangan ? Jangan !" Siok Touw mencegah, tangannya digoyang-goyang.

Akan tetapi Heehouw Kian menahan tubuhnya, hingga dia menerima hormat muridnya.

"Apanya yang tidak boleh ?" kata Heehouw Kian tertawa. "Kita mengajarkan masing-masing ! Perduli apa segala aturan. Apakah kau kuatir derajatmu tarun ?" "Bukan. Itu justeru mengangkat derajatku," kata Siok Touw.

Memang juga derajat mereka berlainan.

Hu Put Gie dan Kok Sin Ong tertawa. Lie It girang sekali, Itu artinya puteranya itu bakal terdidik sempurna.

Demikian akhirnya Lie It berpisahan dari anaknya serta Heehouw Kian semua, seorang diri ia berangkat 'pulang ke Tiang-an. la bagaikan bermimpi. Ia tetap menyamar sebagai seorang Uighur, supaya orang tidak mengenalnya. Ia berjalan dengan menunggang kuda.

Lewat beberapa hari, selagi berjalan itu, ia melihat debu mengepul didepannya. Itulah satu pasukan tentera yang lagi mendatangi. Ia pergi ketempat yang tinggi untuk mengawasi, hingga ia mendapatkan itulah sebuah pasukan tidak terurus, bendera dan pakaiannya tidak keruan, barisannya kacau. Jadi itulah sepasukan kacau- balau. Ia menduga kepada pasukan yang kalah perang.

!a girang berbareng berduka. Girang sebab tentara Tionggoan menang. Dan berduka, karena kacaunya barisan ini berarti rakyat disepanjang jalan pastilah menderita dari gangguan mereka.

Untuk menyingkir dari mereka itu, Lie it mengambil lain arah atau beberapa serdadu Turki itu lantas menguber padanya sambil membentak-bentak menyuruhnya berhenti. Sebenarnya, kalau ia mau, dapat ia menyingkir terus, tetapi ia memperlahankan kuda-nya. Ia ingin memperoleh keterangan dari mulut mereka itu.

Segera juga datang serangan anakpanah serabutan dari beberapa serdadu Turki itu. Dengan menggunai kepandaiannya, lie It menyambuti semua anak panah, terus ia melemparkannya pula, untuk dipakai membalas mcnierang mereka itu, hingga empat antaranya terguling dari punggung kudanya, roboh berkoseran ditanah, terus tak dapat merayap bangun lagi. Kemudian ternyata mata mereka celong, muka mereka perok dan pucat. Merekalah tentera yang kelaparan, karena lukanya itu, habislah tenaga mereka. Kuda mereka lantas lari kalangkabutan.

Mau atau tidak, terharu hatinya Lie It. Ia melihat satu di antaranya seperti seorang perwira, romannya pun tidak terlalu kucal. Ia lompat turun dari kudanya, untuk menghampirkan dia itu. Ia mengangkatnya bagun.

"Congsu, ampun !" memohon si perwira. Ia memanggil "congsu" - orang gagah.

"Kita tidak bermusuh, mengapa kau memanah aku ?" tanya Lie It. .

"Aku cuma mau minta sedikit barang makanan," sahut perwira itu.

Tempat itu sepi, jarang sekali penduduknya, ada juga beberapa pemburu, maka itu barisan ini sangat kekurangan barang makanan. Mereka dapat menyembelih kuda mereka tetapi ini mereka tidak lakukan, sebab kuda perlu untuk mereka melarikan diri.

Lie It membekal barang makanan, ia berkasihan terhadap mereka, ia lantas membagi. Ia melihat bagaimana orang makan dengan lahapnya. Habis minum, mereka itu menghaturkan terima kasih berulang-ulang. Perwira itu, yang berpangkat pek-hu-thio, agaknya malu ketika ia berkata: "Kami asal rakyat melarat, jikalau tidak sangat terpaksa, tidak nanti kami membegal dan merampok." Ia melihat Lie It sebagai bangsanya, ia tidak mengenali penyamaran orang.

"Kenapa kamu kalah perang secara begini hebat ?" tanya Lie It.

"Itulah sebab pemimpin kami busuk !" sahut si perwira. "Kami dibilangi bahwa tentera Tiongkok tidak bisa berkelahi, lalu kami dianjurkan merampas barang dan wanita Tionghoa. Bulan yang lalu kami menerjang kota Tengciu dan kecamatan Hei-ho di Wie-ciu. Disana pemimpin kami menitahkan kami melepas api membakar rumah rakyat, orang laki-lakinya ditangkap dijadikan budak. Kami mengira kami bakal berhasil menyerbu terus ke Tiang-an, hanya belum lagi kami mengambil kedudukan teguh tentera Tiongkok sudah melakukan penyerargan membalas. Katanya yang menjadi jenderal Tiongkok ialah putera mahkotanya. Pasukan Tiongkok itu dibantu pasukan perang Turfan. Selama beberapa 'kali bertempur, kami terus kena dikalahkan. Rakyat Tengciu dan Wie-ciu pun bangun, kami diserang dari sanasini. Rangsum kami kena dipegat dan dirampas. Demikian karena kami telah maju jauh, tanpa rangsum dan bala- bantuan, kami kena dipukul rusak."

Gusar Lie It mengetahui orang demikian jahat, ia mengangkat cambuknya.

"Kamu jahat, dan kejam pantas kamu musna !" katanya bengis. "Pantas kamu mampus kelaparan !"

Perwira itu kaget, apapula ketika cambuk menjeter kearahnya la mendekam, untuk ber-kelit. Ia takut bukan main. Tapi cambuk lewat diatasan kepalanya. Lie It menghela napas, ia kata :"Ya, semua ini  dosanya Khan kamu !" la lompat naik atas kudanya, meninggalkan mereka itu. Serdadu-serdadu lainnya telah lari serabutan tadi.

Disepanjang jalan Lie It menemui rombongan- rombongan tentara Turki yang tidak keruan macam itu, ia tidak mau usil mereka, ia selalu menghindarinya. Kemudian, selang dua hari, habis sudah sisa tentara Turki, sekarang ia bertemu dengan sejumlah rakyat yang mengungsi. Menurut mereka, khan Turki sudah mengajukan permohonan berdamai dengan kaisar puteri Tiongkok, hanya kebenarannya mereka tidak tahu. Mereka pulang sehabis menyingkir duapuluh hari lebih.

Lega juga hati Lie It. la mengharap-harap perdamaian berhasil.

Lagi dua hari tibalah Lie It dibatas medan perang. Ia tidak mau mengambil jalan besar, ia memilih jalanan pegunungan walaupun sukar. Ia mau melintasi selat Seng Seng Kiap untuk tiba diwilayah An-see. Ia keputusan rangsum tetapi ditengah jalan ia dapat menangkap dua ekor kelinci, yang cukup untuk menangsal perut dua hari.

Hari itu selagi lewat disebuah lembah panjang, Lie It mendengar jeritan wanita bangsa Turki, yang minta tolong. Ia menduga kepada perbuatan jahat serdadu buronan, maka ia larikan kudanya untuk melihat. Ia mendapatkan sebuah gubuk dimana terdapat mayatnya seorang wanita serta dua orang bocah. Pembunuhnya pun masih ada ialah dua orang Tionghoa. la, gusar, ia mengajukan kudanya. Atau tiba-tiba ada batu menyamber kearahnya, keras timpukan itu. Ia menduga, itulah timpukannya seorang liehay. Ia menghunus pedangnya, untuk menangkis sambil berkelit. Satu batu tersampok, batu yang lain lewat akan tetapi kudanya ngusruk. Sebab kepala kuda itu kena tertimpuk pecah. Ia lantas berlompat turun, terus kearah dua orang itu.

Begitu kedua pihak sudah datang dekat, dua-duanya kaget hingga mereka sama-sama berseru.

Dua orang itu ialah Thia Tat Souw serta anaknya, Thia Kian Lam. Pakaian mereka rombeng dan kotor. Muka mereka penuh debu. Keadaan mereka rudin sekali. Lie It lantas mengenalinya. Hanya ia heran kenapa mereka bersengsara disini. Turut dugaannya, dengan menakluk pada khan Turki, mereka tentu sudah memperoleh pangkat tinggi dan kedudukan mewah.

Benarlah apa yang Lie It dengar perihal khan Turki meminta berdamai. Ketika Turki menyerang hingga peperangan menjadi berkecamuk, Bu Cek Thian menggunai ketikanya mengangkat puteranya, pangeran Louw Leng-ong, menjadi thaycu atau putera mahkota serta ditugaskan menjadi jenderal perang yang pergi ke Hopak untuk menumpas penyerang. Tek Jin Kiat diangkat menjadi pembantu jenderal itu. Maksudnya Bu Cek Thian agar putera itu berkuasa atas balatentera dan menjadi gampang nanti untuk naik ditakhta. Thaycu manusia biasa saja tetapi dibantu Tek Jin Kiat dapat ia memimpin angkatan perangnya, yang dipecah menjadi tiga jalan :

Touwtok Thio Jin Tan dari Yu-ciu dengan tigapuluh laksa serdadu maju di timur. Tayciangkun Giam Keng Yong dijadikan kepala dibagian barat dengan tenteranya sejumlah Iimabelas laksa jiwa. Pasukan tengah yang terdiri dari pasukan campuran, besarnya sepuluh laksa jiwa, diserahkan kepada Seetok Tiong Gie, jenderal bangsa Turfan. Angkatan perang ini dapat melabrak musuh, merampas pulang daerah-daerah yang kena dirampas musuh itu, terus memasuki wilayah musuh sekali. Khan Turki tidak sanggup melawan, dia meminta damai, dia mengutus wakilnya ke Tiang-an, antaranya dia. menyatakan suka menyerahkan puterinya untuk dinikahkan pada puteranya putera mahkota.

Dalam soal perjodohan atau pernikahan antara negara Tiongkok dengan negara asing, biasanya puteri Tiongkok dinikahkan pada putera atau raja asing, tetapi kali ini puteri asing dinikahkan pada putera raja Tiongkok. Perjodohan itu akhirnya gagal tetapi soalnya telah menjadi buah pembicaraan yang menarik hati.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar