Lie It dan Hian Song terkejut menyaksikan liehaynya musuh itu, apapula setelah tiba diatas, Pek Yu lantas menyerang mereka dengan dia melompat sambil mementang kedua tangannya, untuk menungkrap dengan kedua jubahnya yang lebar itu.
Sembari melompat itu, Pek Yu Siangjin tertawa berkakak. Dia rupanya percaya betul yang dia bakal berhasil dengan serangan yang dahsyat ini. Tepat dengan serangannya itu, disana tertampak berkelebatnya sinar pedang yang berwarna hijau, disusul susul dengan seruannya Nona Bu.
Hian Song tidak mau mengasikan dirinya ditungkrap lawan, dia melompat, kakinya menjejak ujung jubah pendeta itu, pedangnya sekalian menyambar kekepala gundul. Itulah tipu pedang "Ayam emas berebut gaba." Dalam penyerangannya ini, Pek Yu Siangjin menggunai tenaganya lima bagian. Tak mau mentaati titah Khan, untuk kedua orang itu ditangkap hidup. Tapi ini justeru yang membuatnya gagal. la telah tidak perhitungkan pedangnya Lie It pedang mustika dari kaisar. Pedang itu dapat menembuskan jubahnya. Sedang Nona Bu mahir sekali ilmunya enteng tubuh, hingga dia dapat bergerak sangat gesit dan lincah. Sambil menolong diri, si nona membalas menyerang.
Kaget juga Pek Yu melihat pedang si nona menyambar kekepalanya, dengan sebat ia mengangkat sebelah tangannya, untuk menyentil pedang itu, maka disitu terdengarlah satu suara nyaring, dan pedang kena dibikin mental.
Hian Song terkejut. Hampir pedang itu terlepas dari cekalannya. Untuk menyelamatkan diri, ia lompat berjumpalitan dengan tipusilatnya "Terbalik didalam mega," hingga ia dapat menjauhkan diri dua tombak.
Untuk menyentil itu, Pek Yu menggunai tujuh bagian tenaganya. Kesudahannya ia menjadi heran. Pedang si nona tidak terlepas, si nona sendiri lolos dari bahaya. la jadi berkata didalam hatinya: "Menurut katanya Thian Ok, bocah wanita ini muridnya Yu Tan Sin-Nie, agaknya dia terlebih liehay daripada Yang Thay Hoa." Terus dia kata pada nona itu :"Bocah, ilmu pedangmu tak ada kecelaannya. Sayang gurumu sudah menutup mata, jikalau tidak tentulah aku bakal cari padanya untuk mencoba-coba kepandaiannya itu !"
Hian Song tertawa dingin, dia yerkata: "Itu tandanya untungmu bagus ! Jikalau guruku masih ada, mana dapat dia membiarkan kau melakukan kejahatanmu ini!" "Anak muda, kau kurang ajar!" bentak Pek Yu gusar, "Sekarang kau keluarkan kepandaian gurumu, mari menyambut lagi dua jurusku!"
Kembali si pendeta menggeraki jubahnya, hingga jubah itu mengasi dengar suara anginnya. Gerakan jubah pun hendak menutup jalan kabur si nona.
Lie It dan Hian Song bekerja sama menentang pendeta itu tapi segera mereka merasa bahwa lawan mereka berat sekali, saking bekerja keras, napas mereka rasanya sesak. Si nona masih mending, tidak demikian dengan Lie It, yang baru habis terluka. Ia mendapatkan kepalanya pusing dan matanya mulai kabur. Saking kaget ia kata dalam hatinya: "Aku tidak sangka disini aku bakal mati bersama Hian Song ..:"
Ketika itu, karena tanpa rintangan lagi, Thian Ok Tojin juga berhasil sampai diatas. la tidak pergi membantui Pek Yu Siangjin, karena itu tidak ada perlunya, pendeta itu cukup melayani sendiri kedua musuhnya. la mau cari anaknya Lie It, yang lari hersembunyi dalam rumpunan rumput dan pepohonan didekat mereka.
"Bocah bernyali besar!" ia kata dengan tertawa aneh, "kenapa kau terlari-lari? Bukankah didalam istana ada banyak makanan dan tempatnya indah? Bu-kankah disana ada taman permai dimana kau dapat bermain- main? Kenapa kau buron? Mari turut aku pulang!"
"Aku tidak mau pulang! Aku tidak mau pulang" Hie Bin menjawab berseru. "Aku mau ikut ayahku!"
"Ayahmu juga mau kembali kepada Khan yang agung!" Thian Ok berkata, membujuk. "Ha, kau masih bersembunyi? Jikalau kau tidak dengan baik menurut kata-kataku, nanti aku bekuk padamu!"
Lie It mendengar arxaknya lagi dipermainkan, ia kaget berbareng gusar, tetapi ia lagi dirintangi Pek Yu Siangjin, tidak dapat ia melepaskan diri guna menolongi an,aknya itu. Maka ia menjadi masgul dan berkuatir. Justeru itu, ia menjadi ayal gerakannya, tatkala jubahnya si pendeta meyambar, ia rasakan dadanya sesak, sampai sukar ia bernapas.
"Haha!" tertawa Pek Yu seraya dia mengulur tangannya, guna mencekuk orang yang tengah tak berdaya itu.
Selagi Lie it terancam bahaya tertawan hidup itu, dari tempat sedikit jauh terdengar seruan yang keras dan panjang, mendengar mana semangatnya Hian Song terbangun, segera ia menyerang hebat, untuk sekalian menolongi Lie it.
Pek Yu terkejut mendengar seruan itu.
"Kiranya mereka ini mempunyai kawan yang liehay yang bersembunyi didalam rimba," pikir-nya. la tahu, dari seruan itu, orang yang berseru itu mempunyai tenaga- dalam yang tak lemah. Tapi ia tidak takut, ia percaya Thian Ok masih dapat melayani orang itu.
Thian Ok tengah selandap-selundup diantara rujuk dan gombolan pohon lebat mencari Hie Bin, yang berlaku cerdik, yang tidak lagi mengasi dengar suaranya, hanya mengumpat terus sambil mendekam, ketika dia mendengar seruan itu, yang membuat nya terkejut. Dia lantas menoleh kearah rimba, dari mana suara itu datang. Justrru tengah dia mengawasi itu, mendadak dia mendegar bentakan : "Tidak tahu malu menghina bocoh cilik!" Lantas dia menjadi kaget. sebab didepan matanya berkelebat sinar kuning keemas-emasan.
Itulah jarum emas dari Heehouw Kian, maka sebat dia mengebut, untuk menangkis. Dia kenali jarum itu kepunyaan siapa, dia menginsyafi bahayanya, dari itu, gentarlah hatinya. Kesudahannya itu membuatnya kaget.
Meskipun kebutannya liehay, toh ada belasan lembar yang putus terkena jarum. Syukur dia bebas dari tusukan jarum. Karena ini, tidak dapat dia mencari terus pada Hie Bin, mesti dia menghadapi musuh yang berat itu. Dia lompat keluar dari gombolan, lantas dia berdiri dengan mamasang matanya, kebutannya dilintangi didepan dadanya.
Segera ternyata, Hee-houw Kian bukan datang sendiri hanya berdua dengan seorang dari usia pertengahan, yang imam ini kenali sebagai kakak seperguruannya Bu Hian Song - ialah Pwe Siok Tow.
Heehouw Kian tertawa dan berkata: "Ketika kita bertempur didalam istana Khan, kita belum sempat memperlihatkan kepandaian kita! Maka mari, mari! Mari aku si orang tua belajar kenal pula dengan ilmumu yang liehay: Hu Kut Sin Ciang!"
Pwe Siok Tow mendapat lihat adik seperguruannya terancam bahaya, tanpa banyak omong lagi ia melompat kearah Pek Yu Siangjin, untu'k menyerang dengan tikaman kepunggung si pendeta, mencari jalan darah hong-hu.
Pek Yu melihat datangnya serangan, tanpa memutar tubuh, ia menangkis kebelakang. Tepat tangkisan itu, pedangnya Siok Touw kena dibikin miring. Tapi tikaman itu liehay, rneski miring, ujung pedang meluncur terus. Mau atau tidak, terpaksa pendeta ini memutar tubuh, guna molayani depan berdepan. la lantas dapat kenyataan, orang ini lebih liehay daripada Hian Song.
Siok Touw tidak berhenti dengan serangannya itu, ia mengulangi untuk kedua kalinya, terus untuk ketiga kalinya, setelah mana pedangnya kena disampok jubah si pendeta, sampai pedangnya mental balik, baru ia menjadi terperanjat. Pikirnya :
"Pantas suhu menganggap Pek Yu sebagai lawan liehay dan menyesal tak pergi menyingkirkannya, kiranya dia benar liehay sekali"
Dengan datangnya Siok Touw, Hian Song menjadi dapat bernapas, juga Lie It, yang lolos dari bahaya, tetapi mereka tidak mau berhenti, mereka maju terus, untuk mengepung bertiga.
Yu Tan Sin-Nie hidup menyendiri diatas gunung Thian San untuk beberapa tahun, selama itu ia telah meyakini ilmu pedangnya, yang ia ciptakan dari pelbagai ilmu silat pedang lain partai yang ia kumpulkan, kepandaian itu ia wariskan pada Siok Touw, hingfia ia ini Ringgal membutuhkan waktu latihannya saja. Juga Hian Song, setelah mendapatkan kitab pedang gurunya, telah memperoleh kemajuan pesat, dari sang suheng, kakak seperguruan, ia cuma kalah sedikit. Maka itu sekarang, dengan dibantu Lie It - meskipun ini habis terluka - dapat mereka melayani dengan baik. Pek Yu boleh gagah tetapi tidak dapat ia merebut kemenangan cepat.
Hian Song girang berbareng heran mendapatkan bantuan kakak seperguruannya ini. la berpikir. "Suheng telah terlukakan Thian Ok, untuk berobat setelah berpisah dari aku, ia membutuhkan waktu sedikitnya satu bulan, kenapa sekarang, belum lewat duapuluh hari, ia sudah sembuh. Kenapa, selagi ia mesti beristirahat, ia justeru datang kemari? Kenapa ia nampaknya menjadi lebih liehay? Kenapa ia berada bersama Heehouw Kian?" la lagi berkelahi tidak sempat ia berpikir banyak.. Maka ia terus berkelahi dengan keras.
Pek Yu jumawa, dia bangga akan kegagahannya, tak puas dia dipermainkan anak2 muda, maka itu, dia menggunai jubahnya dengan baik sekali, hingga suara anginnya berdeburan.
Siok Touw dan Hian Song bekerja sama Lie It membantu dengan pedang mustikanya. Pangeran ini berkelahi sambil melindungi diri, karena ia ketahui liehaynya si pendeta. Mereka dapat melawan sampai enampuluh jurus, hingga Pek Yu menjadi heran dan penasaran. la kata dalam hatinya : '"Murid2nya Yu Tan begini liehay, jikalau dia masih hidup, mungkin aku bukan lawannya”.
Biar bagamana, pendeta ini terlebih liehay, maka itu, mendekati jurus yang ke-seratus, dia lantas menjadi terlebih unggul. Dengan jubahnya, dia seperti dapat menggulung ketiga pedang pengepung-pengepungnya itu.
Diantara tiga kawan itu, Siok Touw paling liehay, tetapi ia pun mulai gentar hatinya, pedangnya, umpamakata, seperti tidak mau menuruti kehendak hatinya
Lie It, yang mengandalkan pedangnya, cuma dapat menjaga diri saja. Dilain rombongan, Heehouw Kian menang diatas angin, tidak perduli Thian Ok liehay kebutannya dan liehay juga tangannya, karena dengan kepandaiannya Hu Kut Sin Ciang, bila dia dapat menghajar, dia bisa merusak tulang-tulang lawannya. Setiap lembar kebutannya, yang dari kawat halus, dapat dipakai menotok jalan darah musuh. Tangannya yang liehay. itu, juga dapat mengeluarkan bau amis yang memuakkan. Meski begitu, Heehouw Man tetap melayani dia dengan sepasang tangan kosong. Dengan sentilan Tan Cie SinKang, ia membikin lembaran2 kebutan terpentil mental, sedang dengan totokannya, ia membikin musuhnya mesti waspada.
Delapan tahun lamanya Thian Ok memahamkan Hu Kut Sin Ciang, sekarang hampir seratus jurus, dia tidak dapat menggunakannya. Lawannya itu tidak terpengaruhkan bau amisnya itu. Dia menjadi gentar sebab dia tahu, dalam tenaga-dalam, dia kalah dari lawaanya lni.
Demikian, selagi Thian Ok terdesak Heehouw Kian, Lie it bertiga terkurung jubahnya Pek Yu Siangjin, dengan terpaksa mereka main mundur. Syukur untuk mereka, disaat mereka terhindar bahaya maut itu, kembali terdengar seruan yang nyaring dan lama, disusul dengan tertawa dan kata-kata ini: "Aku tidak sangka bahwa disini aku menyaksikan ilmu pedang Yu Tan Sin-Nie ! Sungguh indah, sungguh indah!" Habis itu muncullah orangnya, ialah Hu Put Gie.
Pek Yu heran kenapa orang tiba2 datang berkawan. Belum sempat ia mengambil sesuatu tindakan, Hu Put Gie sudah menudingnya sambil mengejek: "Kecewa kau berkulit muka begini tebal! Jubahmu sudah berliang tujuh, apakah kau masih enak2an berkelahi terus?"
Memang Pek Yu menang unggul tetapi meski demikian, tujuh kali jubahnya kena ditoblosi pedangnya ketiga lawannya itu. Hu Put Gie baru saja sampai tetapi ia telah melihat ketujuh lubang itu, maka ia lantas menggoda.
Pek Yu malu dan mendongkol. la dapat membade apa yang sebenarnya hendak dikatakan Put Gie. Orang she Hu ini seperti mau bilang: "Cuma sebab mengandalkan tenaga-dalam, tau menghina anak-anak muda. Coba kau mengandalkan pedang, pasti siang2 kau sudah kalah!" Mana dapat ia menerima ejekan ini sedang semenjak meninggalnya Yu Tan Sin Nie, ia telah menganggap dirinya jago nomor satu. Tapi dapat ia menguasai diri, maka ia tertawa dingin dan berkata: "Kalau begitu baiklah kau si mahasiswa rudin saja yang menggantikan mereka!"
Hu Put Gie menerima baik tantangan itu, sembari meloloskan sepasang sepatunya, ia tertawa dan berkata: "Kita memang belum bertempur hingga puas maka sekarang maulah aku melayani kau satu kali lagi!"
Pek Yu gusar melihat orang mau menggunai sepatu sebagai senjata.
"Aku menantang kau satu lawan satu, itu tandanya aku memandahg mata padamu!" dia kata sengit. "Kenapa kau sebaliknya menghina aku?"
"Mana aku berani? Mana aku berani?" sahut Put Gie tertawa. "Aku si orang she Hu yang tua tidak sanggup lantas mendapatkan senjata yang cocok untukku maka itu Aku turut contoh kau saja, aku mengambil sekenanya barang yang berada ditubuhku ! Aku tidak memandang enteng kepada jubahmu, dari itu mana dapat kau memandang kecil sepatuku?"
Panas hatinya Pek Yu, yang biasa berkepala besar.
”Si lidah tajam, jangan kau sesalkan aku keterlaluan!" dia berteriak, lantas dia menyerang dengan jubahnya.
Hu Put Gie masih tertawa ketika ia kata : "Benar2kah kau berani tidak melihat mata pada sepatuku? Baiklah, kau lihat"
Selagi jubah Pek Yu menungkrab, sepatu Put Cie menangkis. Maka bentroklah kedua senjata yang istimewa itu, suaranya terdengar seperti besi mengenakan kulit kerbau.
Kedua pihak mengandalkan tenaga-dalamnya masing2, bentrokan itu membuat mereka sama2 kaget dan telapakan mereka sama2 nyernyaran; diluar kehendak mereka, sama2 juga mereka mundur tiga tindak.
Hu Put Gie doyan bergurau, dia tertawa. Dia lantas menanya: "Bagaimana? Bukankah sepatuku tak lebih lemah daripada jubahmu?" Kata-kata ini disusul dengan mencelat majunya tubuhnya, untuk menyerang.
Sepasang sepatu itu bergerak bagaikan pedang!
Pet Yu terkejut juga. Sungguh ia tidak sangka sepatu lawan demikian liehay. Maka ia jadi berkata dalam hati- kecilnya: "Pantas si mahasiswa rudin inl besar mulutnya, dia benar2 mempunyai kepandaian yang berartil" Karena ini, ia jadi tidak berani memandang enteng terlebih jauh. Terpaksa ia melayani setelah memutar cambuknya, untuk dibikin terlilit sebagai sebatang toya. Dengan satu tangkisanny,a, ia mempunahkan serangaa orang she Hu itu.
Jubah atau ka-see, si pendeta, dan sepatunya Hu Put Gie, dua-duanya benda biasa saja, akan tetapi ditangan orang2 liehay sebagai mereka itu, dua-duanya menjadi gegaman yang berbahaya. Pula, mereka itu telah berkelahi dengan sangat cepat, hingga Hian Song hampir sukar membedakan mana Pek Yu dan mana Put Gie. Apa yang terlihat adalah sinar juhah yang merah yang bagaikan membungkus sepasang sepatu rumput
Didalam tenaga-dalam, Pek Yu Siangjin menang daripada Hu Put Gie, akan tetapi barusan ia telah mempergunakan tenaganya terhadap Hian Song bertiga. ia letih, karenanya sekarang mereka jadi berlmbaag.
Setelah menonton sekian lama, sambil tertawa Pwe Siok Touw kata pada Hian Song: "Aku rasa, sebelum lewat seribu jurus, sukar akan diketahui siapa diantara mereka ini yang terlebih unggul ! Pek Yu si keledai botak, kali ini dia menemui tandingannya !"
Hian Song percaya keterangan suheng itu, maka sekarang, sempatlah ia berbicara, menanya tentang si suheng.
"Sebenarnya tidak dapat aku sembuh begini cepat," Siok Tow memberi keterangan. "Syukur sekali aku bertemu Heehouw Cianpwe, yang menolong aku dengan menusuk dengan jarumnya hingga sisa2 racun dapat disingkirkan. Disamping itu, aku telah diberi makan obat ho-siu-ouw yang umurnya seribu tahun. Demikian, dari menghadapi malapetaka, aku menjadi memperoleh keberuntungan !"
"Jadi Heehouw Cianpwe pun tiba di Thian San?"
"Ya, tiga hari setelah keberangkatanmu. Dia datang bersama-sama Kok Sin Ong dan Hu Put Gie."
Heehouw Kian tidak mendapat tahu Yu Tan Sin-Nie sudah berpulang ke Dunia Barat, dia hanya mendengar setelah penyelidikannya banyak tahun bahwa pendeta wanita itu tinggal menyendiri digunung Thian San, maka dia mengajak Kok Sin Ong dan Hu Put Gie untuk menjenguk. Dia berhasil menemui Pwe Siok Touw, muridnya si bikshuni. Baru sekarang dia mendapat tahu orang telah menutup mata, bahkan sekalian dia mendapat ketahui juga hal-ihwalnya Hian Song, dan bahwa Lie It, untuk menolong anaknya, sudah pergi kekotaraja Khan Turki. Kok Sin Ong menganggap Lie It seperti anak atau keponakan, tidak dapat ia membiarkan saja. Heehouw Kian juga ingin menyusul Hian Song yang katanya menyimpan warisan untuknya. Hu Put Gie suka turut mereka, karena ia ingin menyaksikan pertandingan orang-orang gagah. Maka Siok Touw mengajak mereka pergi bersama. Hanya, ketika dibikin pertandingan itu, Siok Touw tidak turut ambil bagian, dia berdiam dihotelnya.
"Bagaimana sebabnya kamu mengetahui aku menghadapi bahaya ?" Hian Song tanya kemudian.
"Bukankah itu gampang saja?" sahut Siok Touw tertawa. "Ketika Heehouw Cianpwe melihat kau, dia lantas mengenali kau sebagai selir raja yang menyamar yang memakai obat menyalin warna kulit muka, bahkan dia dapat menduga, penyamaranmu itu cuma dapat bertahan sewaktu-waktu saja, maka dia lantas mengatur untuk kami berempat bersiap untuk menolongimu. Isyarat kami ialah seruan. Siapa paling dulu menemui kau, dia mesti mengasi dengar seruannya, sebagai tanda untuk yang lainnya segera datang berkumpul. Maka itu aku rasa Kok Sin Ong bakal segera sampai disini."
Baru sekarang Hian Song jelas segala apa. Kapan ia ingat lelakannya Ut-tie Ciong dengan gurunya, ia menjadi terharu, ia menghela napas. la lantas memandang kearah Thian Ok Tojin dan Heehouw Man. la mendapatkan pertempuran diantara mereka itu hebat sekali. Tangannya Thian Ok menyiarkan bau racunnya yang amis, yang nampak bergumpal bagaikan kabut. Siok Tow dan ia terpisah cukup jauh dari mereka itu tetapi bau itu sampai juga kehidungnya masing-masing. Keduanya menjadi heran dan kagum untuk liehaynya imam itu.
Siok Tow merasa ngeri sendirinya kapan ia ingat peristiwa itu hari ia melayani Thian Ok. Katanya dalam hatinya: "Syukur su-moay menggunai akal memakai suhu untuk menakut-nakuti dia, jikalau aku bentrok tangan dengannya, tentu celakalah aku...”
Hian Song menonton dengan perhatian. Thian Ok menyerang hebat, saban-saban dia berseru. Heehouw Kian main mundur, sedang dari batok kepalanya terlihat mengepulnya uap putih. la jadi berkuatir untuk orang tua itu. Maka ia kata pada Siok Tow: "Suheng, mari kita hadjar dia! Terhadap manusia sebagai imam ini tak usahlah kita pakai lagi aturan kaum Kangouw!"
Kakak seperguruan itu tertawa
"Cukup Heehouw Cianpwe seorang diri!" katanya. "Tetapi," kata Hian Song, "tadi adalah Heehouw Cianpwe yang menang unggul, sekarang ialah yang berbalik terdesak Thian Ok! Lihat, bagaimana imam itu merangsak, aku kuatir Heehouw Cianpwe tidak dapat bertahan lama "
"Kau keliru melihat, sumoay!" Siok Tow tertawa pula. "Aku percaya, tak usah sampai sepuluh jurus lagi, Heehouw. Cianpwe bakal dapat merebut kemenangannyal"
Hian Song mengawasi terus. la mau percaya suhengnya tidak omong melantur. Ia sekarang mendapat lihat sinar mata tajam dari Heehouw Kian, dan sekalipun dia mundur terus, jago tua itu tidak kacau gerakan tangan dan kakinya. Baru sekarang ia berlega hati.
Thian Ok merasa sulit merobohkan Heehouw Kian, yang menang tenaga-dalam. la tahu, lama-lama ia bakal letih sendirinya. Karena ini, ia mengambil keputusan pendek. Lantas ia mengerahkan tenaganya ditangan, terus ia menyerang dengas hebat sekali. la mau mengandal Hu Kut Sin Ciang yang liehay itu.
Heehouw Kian melihat orang menjadi nekad, ia tidak mau melayani dengan sama kerasnya. Maka ia main mundur, untuk sekalian bersiasat. Ia mau menanti sampai orang telah mengurbankan tangannya. Kapan sang waktu sudah sampai, mendadak ia berseru: "Thian Ok, telah habis tenaga dan kepandaianmu, apakah kau masih tidak sudi menyerah?" Lantas ia mulai melakukan penyerangan pembalasan dengan tenaga yang dikerahkan, senantiasa itu dicampur dengan sentilan- sentilan It Cie Sian Kang. Dengan lantas keadaan menjadi terbalik pula. Thian Ok segera kena didesak, hingga dia menjadi repot. Dia kelabakan.
"Dengan cara begini kau merebut kemenangan, meski aku kalah, aku tidak puas!" kata imam licik ini.
Heehouw Kian tertawa.
"Habis dengan cara apa baru kau puas?" ia tanya. "Beranikah kau menyambut aku keras dengan keras?"
si imam balik menanya.
"Kenapa aku tidak berani? Bahkan aku bersedia diserang tanpa membalas! Beranikah kau? Hanya, jikalau dengan seranganmu itu kau tidak dapat merampas jiwaku, kau sendiri harus menyerahkan jiwamu! Akur?"
Thian Ok tertawa bergelak.
"Aku tidak percaya dikolong langit ini ada orang yang sanggup menerima serangan Hu Kut Sin Ciang dari aku!" katanya. "Jikalau karena aku gagal aku mesti membayar dengan jiwaku, aku puas! Hanyalah tua-bangka she Heehouw, jikalau kau mampus, jangan nanti kau sesalkan aku!"
Heehouw Kian. juga tertawa.
"Itulah pasti! Tak usah kau banyak omong! Nah, kau pukullah,"
Dengan menggendong tangannya, tabib liehay ini lantas memasang dadanya.
Lie It beristirahat sambil memeramkan matanya ketika ia mendengar pembicaraan diantara Thian Ok Tojin dan Heehouw Kian itu, ia terkejut dan lantas membuka kedua matanya. la berpikir:
”Pada delapan tahun dulu, Hu Kut Sin Ciang dari Thian Ok ini belum terlatih sampurna, ketika itu hari Heehouw Cianpwe kena diserang dia, meski cianpwe memakai baju lapis, dia masih perlu waktu banyak hari untuk beristirahat merawat diri, sekarang Thian Ok sudah mahir ilmu pukulannya itu, kenapa cianpwe masih begini berani melawannya?"
Tidak sempat Lie It berpikir lama, ia sudah lantas dengar seruannya si imam, yang membarenginya dengan serangannya! la menjadi kaget, begitu juga Hian Song. Nona ini pun berkuatir.
Suara "Buk!" keras sekali segera terdengar, lalu terlihat tubuhnya Thian Ok Tcojin membal naik sendirinya dan berjumpalitan.
Menyaksikan itu Siok Touw yang ada seorang ahli menjadi kagum. la tahu Thian Ok telah dilukai Heehouw Kian, dilukai dengan tenaga-balik, tetapi si Imam masih dapat membuang diri dengan jumpalitannya itu. Itulah bukti dari ilmu ringan tubuh yang mahir. Tapi baru ia berpikir demikian, atau lantas ia kena dibikin heran sendirinya. Setelah berjumpalitan itu, tubuh Thian Ok turun melayang seperti layangan putus, jatuhnya langsung, ketika tubuh itu tiba di tanah, dia mengasi dengar jeritan yang menyayatkan hati, yang berkumandang diudara. Jeritan itu dapat membangkitkan buluroma. Sebaliknya, apabila ia melihat Heehouw Kian, ia mendapatkan si tabib berdiri tegak bagaikan tihang pelatok, mukanya pucat seperti patung, hingga romannya itu mendatangkan rasa takut.... Selagi selama delapan tahun Thian Ok melatih terus Hu Kut Sin Ciang hingga ia berhasil memahirkannya, juga Heehouw Kian meyakini terus ilmu menghalau racun. Ia pula dengan diam-diam sudah menelan Kouw Pok Pwe Goan Tan, pel menguatkan tubuh, obat istimewa guna melawan pukulan beracun dari si imam, sedangkan didada dan punggungnya ia telah memasang lapis kaca pembela diri, lapisan mana terlebih tebal daripada lapisan kulit duluhari itu. Ini yang menyebabkan ia berani menyambut tantangan Thian Ok itu, apalagi ia tahu benar, mengenai tenaga dalam, ia menang dan si imam baru saja berkelahi rutusan jurus hingga tenaganya pasti kurang banyak.
Thian Ok masih hendak menolong mukanya. Ketika ia terhajar mundur oleh tenaga dalam Heehouw Kian, sekalian saja ia membal dan jumpalitan, tetapi tenaganya habis segera, habis berjumpalitan itu, habis juga jiwa napasnya, maka ketika ia jatuh, ia jatuhnya langsung, jatuh terus mati sebab rusak sudah semua anggauta dalam dari tubuhnya. Hingga tidak dapat ia terus melarikan diri
Pek Yu Siangjin berkelahi saban-saban memasang mata dan telinganya. la telah mendengar pembicaraan diantara Thian Ok si kawan dan Heehouw Kian, si tabib yang menjadi lawan mereka, ia merasa tidak enak, ingin ia mencegah kawannya itu, tetapi terlambat. Ia melihat, Thian Ok sudah melakukan penyerangannya.
Akan tetapi ia masih berseru, sambil meninggalkan Hu Put Gie, ia lompat kepada Heehouw Kian.
Hu Put Gie juga mengetahui hal Heehouw Kian dan Thian Ok itu, dan ia percaya sahabatnya pun terluka, maka itu, melihat sepakterjangnya Pek Yu, ia lantas lompat, untuk menyusul. Ia bukan lagi mencegah, ia menyerang dengan sepatu rumputnya.
Pek Yu mendapat tahu ia diserang, ia berseru seraya jubahnya disampokkan kebelakang, untuk menangkis, maka beradulah jubah dan sepatu, sampai sebuah sepatu terhajar jatuh. Hu Put Gie pun melompat tinggi, kaki kirinya dipakai menjejak kaki kanan, guna menyingkir dari jubah yang liehay itu, yang terlilit bundar dan panjang mirip toya.
”Bagus!" ia berseru. ”Marl sambut lagi satu sepatuku ini!"
Kali ini serangan dilakukan dengan tenaga yang dikerahkan benar-benar.
Pek Yu menangkis pula. Sekarang sepatu tertangkis lengan, maka hancur rusaklah sepatu itu, jatuh ketanah. Akibatnya itu, si pendeta merasakan lengannya sakit. Beradu dengan sepatu, lengan itu menjadi bengkak dan merah!
Segera juga Pek Yu Siangjin datang dekat pada Heehouw Kian. Selama itu, walaupun ada rintangannia Hu Put Gie, dia maju terus.
"Orang tua she Heehouw, serahkan jiwamu!" dia berseru. Tapi karena dia tahu Hu Put Gie pasti akan merintangi terlebih jauh, dia memasang mata.
Tiba-tiba saja, dua sinar pedang berkelebat dari sampingnya Heehouw Kian. Inilah Pek Yu tidak sangka. Itulah serangan pedang dari Pwe Siok Touw dan Bu Hian Song, yang hendak melindungi si tabib pandai. Karena Hu Put Gie juga menyerang, Pek Yu menjadi diserang tiga orang berbareng. Dia mengetahui itu, dia gusar, dia berseru nyaring, tubuhnya mencelat, jubahnya mengibas!
Siok Touw dan Hian Song tidak dapat bertahan, keduanya terguling roboh.
Pek Yu terus mencelat jauh, sampai lima atau enam tombak, dari sana terdengar suaranya yang keras dan bernada penasaran: "Cepat atau lambat, aku si pendeta tua nanti merampas jiwa kamu!" Lalu dengan didahului suara "Hm!" tanda menghina, dia melompat pergi, hingga sekejab saja lenyaplah ia dari pandangan mata.
Bentrokan barusan itu, walaupun hanya sekejab, telah menunjuk bahaya hebat. Hian Song dan Siok Touw mau menolongi Heehouw Kian, mereka menyerang dengan tipu silat mereka yang luar biasa, tikaman mereka menuju kepelbagai jalan darah yang membahayakan. Syukur untuk Pek Yu, dia liehay tenaga dalamnya, karena mana, dia cuma berkurban jubahnya itu, yang menjadi bolong disana-sini, sedang terlebih dulu daripada itu, baju suci itu memang sudah mendapatkan beberapa lubang. Untuk selanjutnya, tidak dapat jubah itu dipakai lagi. Pek Yu menjadi jeri. Dia mengerti, Hu Put Gie dibantu Siok Touw dan Hian Song bukanlah musuh- musuh yang dapat dilawan, maka malu atau tidak, meskipun sangat mendongkol dan penasaran, dia lantas mengangkat kaki, hingga dia melupakan Thian Ok si kawan!
Hian Song dan Siok Touw lantas merayap bangun. Syukur, mereka cuma terpelanting, mereka tidak mendapat luka parah. Dengan lantas mereka menghampirkan Heehouw Kian. Tabib itu menyeringai, lain mendadak dia muntah darah.
"Bagaimana, cianpwe?" tanya si nona, berkuatir. "Syukur, syukur, si imam tidak sampai merampas
jiwaku!" sahut orang yang ditanya. Habis muntah itu, ia dapat tertawa. Lantas dengan sebat ia mengeluarkan tujuh batang jarumnya, seorang diri ia menusuk ditujuh jalan darahnya, ialah yang-leng, wieto, kwie-chong, giok- coan, thian-kwat, kwan-goan dan beng bcen. Ketika selang beberapa menit ia cabut semua jarumnya, setiap jarum emas itu berubah warnanya menjadi hitam-gelap, lenyap cahayanya. Maka kagetlah semua orang.
"Dengan latihan dari delapan tahun aku melawan Hu Kut Sin Ciang," ia berkata kemudian. "Aku tidak menyangka hebatnya pukulan Thian Ok itu berada diluar dugaanku, maka syukurlah aku masih dapat melindungi tulang-tulangku yang sudah tua ini. Mulai saat ini aku tidak mau lagi muncul dalam dunia Kang-ouw!"
Hu Put Gie berduka. Ia mengerti, meski dia tidak kurang suatu apa, sahabat ini telah mensiasiakan tenaga- dalamnya yang terlatih sepuluh tahun.
--0~TAH~dewiKZ~0-
"Kau berhasil menyingkirkan orang jahat, pengurbananmu berharga," ia menghibur. "Celaka adalah aku si Hu tua, sebab si keledai gundul sudah merusak sepasang sepatuku dan untuk itu aku tidak dapat menuntut balas ! Aku malu sekali ! Syukurlah kedua keponakan sudah merusak hebat jubah dia, nyata aku merasa terhibur juga sedikit "
"Locianpwe," Hian Song berkata, "guruku meninggalkan sebuah kotak untukmu. Inilah dia."
Nona ini menyerahkan barang yang ia sebutkan itu.
Heehouw Kian menyambuti, dengan cepat ia buka kotak itu, yang berisi beberapa tangkai soatlian atau teratai salju, serta beberapa rupa obat yang langka. Itulah semua obat yang ia pernah memberitahukan Yu Tan Sin Nie bahwa ia belum berhasil rnencarinya sampai dapat. Siapa tahu, sekarang si bikshuni telah berhasil mendapatkannya. la terharu hingga ia mengalirkan air- mata.
la kata didalam hatinya: "Meski dimasa hidupnya Keng Hiang tidak menerima baik lamaranku tetapi disaat ajalnya dia masih tidak melupakan aku sebagai sahabatnya. Maka itu, kenapa aku bolehnya tak puas?"
Keng Hiang itu namanya Yu Tan Sin Nie sebelum dia menjadi pendeta wanita.
Melihat sahabatnya menangis, Hu Put Gie tertawa. "Eh, orang tua, buat apakah kau menangis?" katanya
menggoda. "Bukankah soatlian dari Thian San itu obat untuk membunuh beratus macam racun? Itulah obat yang jauh lebih mujarab daripada obat buatan sendiri! Dengan adanya setangkai soatlian saja tak usahlah kau rugi latihan sepuluh tahun!"
Heehouw Kian tidak melayani sahabat yang jail itu, hanya ia berkata pada Hian Song dan Siok Touw: "Sama sekali aku tidak menyangka-nyangka bahwa setelah guru kamu menutup mata, aku masih dapat menerima budinya ini. Memang gurumu itu mengharap aku dapat meninggalkan ilmu pengobatanku, hanya mulai saat ini, kendati juga aku dapat memulihkan tenaga-dalamku, aku tidak mau lagi hidup dalam pergaulan dunia Kang-ouw. Siok Tow, jikalau kau tidak menampik aku, suka aku tinggal bertetangga denganmu, untuk menjagai kuburan gurumu, guna aku melewatkan sang hari dan bulan, untuk aku dapat menulis kitab ilmu pengobatanku."
Girang Siok Tow mendapat tawaran itu.
"Inilah yang aku mintapun tidak berani!" kata ia cepat. Lalu ia menambahkan, pada Hian Song: "Sudah sepuluh tahun tidak pernah aku turun dari Thian San, maka sekarang, setelah selesai urusan ini, mesti aku lekas pulang. Su-moay, bagaimana dengan kau?"
”Aku telah dapat menemukan orang yang aku cari, aku telah menyelesaikan tugasku," menyahut itu adik seperguruan, "maka itu besok pagi aku mau berangkat pulang."
"Masih ada satu orang yang kau belum menemukan, kau hendak menunggui dia atau tidak?" Hu Put Gie bertanya.
"Siapakah dia?" si nona tanya.
"Orang dengan siapa kau mengadu pedang dipuncak Ngo Bie San!" sahut Put Gie tertawa. "Apakah kau telah lupa kepada Kok Sin Ong? Ketika itu kau membuat dia hampir tak dapat turun dari panggung pertandingan"
Bu Hian Song tertawa. "Aku ingat peristiwa itu!" ia berkata. "Untuk itu aku belum mempunyai ketika untuk memohon maaf dari ianya”
"Eh, ya, mengapa Lao Kok masih belum juga datang?" Heehouw Kian tanya. Ia baru ingat kawannya itu. "Apakah dia tidak mendapat dengar seruan kita? Apakah ada terjadi sesuatu atas dirinya?"
Hu Put Gie tidak menyahuti, hanya ia naik kepuncak, untuk mengasi dengar seruannya yang nyaring. la percaya suaranya itu akan dapat didengar oleh tetangga dikiri dan kanan sejauh sepuluh lie.
Tatkala itu anaknya Lie It telah muncul dari rumpun persembunyiannya, dia lari kepada Hian Song, yang dia tubruk.
"Bibi," kata dia, "masih ada seorang lagi yang kau belum ketemukan, kau mau menunggui dia atau tidak ?"
Lucu anak ini, dia bicara moniru lagu-suaranya Hu Put Gie, sembari menanya dia mengawasi kepada sang bibi.
Mau atau tidak, Hian Song tertawa. Segera ia memeluk.
"Siapakah ?" ia tanya.
"Ibuku !" menyahut anak itu. "Malam itu dia larang aku makan barang yang bibi berikan padaku. Apakah bibi gusar terhadapnya ?"
Hian Song berhenti tertawa, ia berdiam, hatinya terasakan berat.
"Bibi," berkata pula si bocah, "ibuku belum tahu bahwa kau telah menolongi aku, jikalau ia telah mengetahui itu, pasti ia sangat bersyukur terhadapmu. Maka itu harap bibi jangan gusar padanya."
Dua kali sudah Hie Bin berkata demikian rupa, nyata dia kuatir sekali Hian Song murka.
Nona Bu paksakan diri untuk tertawa.
"Aku dengan ibumu ada sahabat-sahabat baik," katanya, "mana bisa aku gusari dia ? Hanya, aku kuatir tak dapat aku menunggui dia. Anak yang baik, kau saja yang mewakilkan aku menanyakan kesehatannya dan minta supaya dia jangan gusar kepadaku."
"Jikalau bibi tidak menunggui dia, baru benar-benar dia gusar !" kata si anak. Hian Song tertawa pula.
"Asal kau yang mewakilkan aku bicara tidak nanti dia gusai" ia bilang.
Lie It mendengar pembicaraaa dua orang itu, hatinya berpikir keras, hingga ia menjadi berdiam saja.
"Bibi, apakah benar-benar besok pagi kau hendak berangkat?" tanya si anak selang sesaat.
”Berat aku meninggalkan kau…” Hian Song merangkul erat-erat.
Tepat di itu waktu, dari kejauhan terdengar seruan yang panjang.
"Lao Kok pulang !" Heehouw Kian berkata cepat. Dengan Lao Kok, si Kok Tua, ia maksudkan Kok Sin Ong.
Segera juga terlihat seorang berlari-lari mendatangi, bagaikan bayangan dia berlari naik. "Ilmu enteng tubuh Kok Sin Ong kesohor, sekarang baru aku menyaksikannya," kata Hian Song dalam hati. "Dia benar-benar liehay !"
Segera juga Sin Ong tiba. Hu Put Gie hendak menggodai orang atau ia menjadi terkejut. Ia telah melihat roman orang luar biasa.
"He, Lao Kok, ada terjadi apakah ?" dia tanya. "Siapa telah melukakan kau ?"
Kok Sin Ong berlepotan darah, romannya gelisah.
Hian Song pun kaget, akan tetapi ia ingat untuk membalut lukanya jago yang pernah menjadi bengcu itu
- ketua Ocat an kaum Rimba Persilatan.
"Tidak apa," kata Sin Ong. "Aku cuma mendapat sebatang panah, tulang-tulangku yang tua masih dapat bertahan !"
Heran satu jago masih kena terpanah, maka Put Gie semua lantas menanyakan tegas-tegas.
Kok Sin Ong tidak lantas memberikan keterangannya. la hanya berpaling kepada si pangeran.
"Lie It, isterimu telah datang kemari !" katanya. "Dia dia telah kena ditangkap ! "
Wartanya Kok Sin Ong ini berupa seperti guntur diwaktu langit terang-benderang. Semua orang terkejut, sedang Lie It tercengang.
"Tidak, tidak bisa jadi ! ..." katanya kemudian, suaranya meng getar. "Adik Pek dia... dia telah berjanji untuk berdiam diatas gunung, guna ... guna menantikan aku " Lie It sangat percaya isterinya itu hingga sejenak itu ia bersangsi.
Hian Song menangis terisak.
"Adik Pek sangat menyintai kau," katanya perlahan, "dia telah bersumpah untuk hidup dan mati bersama denganmu. Kau tidak tahu, dua hari setelah keberangkatanmu, dia pun berangkat menyusul "
Nona ini ingat syairnya Tiangsun Pek diatas tembok, maka itu, ia berkata didalam hatinya : "Kalau bukan karena aku, mungkin dia mendengar perkataan Lie It untuk menanti dirumah. Tidak dapat aku mencela dia cupat pandangannya. Umpamakata aku, belum tentu aku pun dapat bersabar."
Lie It heran mengapa Hian Song ketahui kepergian isterinya itu, tetapi disaat seperti itu, ia tidak sempat menanya.
"Aku tengah berada diluar kota waktu aku menyaksikan Tiangsun Pek ditangkap," Kok Sin Ong memberi keterangan. "Aku terlambat satu tindak. Ketika aku sudah melihat jelas, dia telah dibawa Guru Budi naik keatas kereta kerangkeng."
Masih Lie It bersangsi.
"Kok Locianpwe, benar-benarkah kau melihat nyata ?" ia tanya.
Kok Sin Ong mengangguk.
"Dia berdandan sebagai seorang wanita Uighur, mukanya dipulas juga obatnya saudara Heehouw," ia menjawab, "meskipun demikian, dia tidak dapat lolos dari mataku. Tatkala dia melihat aku, dia berseru kaget, rupanya dia ingin minta pertolonganku, tetapi mungkin disebabkan dia kuatir nanti merembet-rembet aku, dia batal memanggil aku."
Sekarang Lie It tidak bersangsi pula. Hanya sekarang ia heran kenapa orang dapat mengenali isterinya yang sudah menyamar pakaian dan warna kulitnya.
"Aku telah mencampurkan diri diantara orang banyak, ketika dia berteriak, dia menarik perhatiannya kawanan pengawal Turki itu," Kok Sin Ong menerangkan lebih jauh. ”Diantara mereka terdapat Guru Budi dan Kakdu dan mereka itu segera mengenali aku. Sebenarnya, setelah aku ketahui Tiangsun Pek kena ditawan, meski mereka tidak mengenali aku, tidak nanti aku mau sudah saja. Lantas mereka itu menyerang aku. Aku dapat kenyataan kecuali Guru Budi, masih ada beberapa pengawal yang kosen. Tidak danat aku bertahan dikeroyok begitu banyak musuh, aku memikir untuk kabur saja, guna mengasi kabar. Kakdu benar-benar kuat sekali, aku sudah lolos jauhnya belasan tombak, sebatang anakpanahnya masih dapat mengenakan tubuhku."
Memang Tangsun Pek telah menyusul sampai dikotaraja Turki. Justeru itu baru saja sirap kekacauan didalam istana dan orang pada bubaran. Diantara mereka itu tersiar omongan perihal kekacauan itu, diantaranya tentang kena ditawannya "seorang anak raja Kerajaan Tong." Lie It memangnya pangeran tetapi orang Turki tidak mengetahuinya, mereka menyebut saja "anak raja." Mendengar itu, Tiangsun Pek menjadi kaget sekali, dia lantas pergi untuk mencari keterangan. Dengan dandanannya seperti orang Uighur dan warna kulit mukanya pun telah berubah, sebenarnya tidak mudah Tiangsun Pek dikenali orang, hanya kebetulan saja dia bertemu dua orang yang mengenali padanya, ialah Thia Kian Lam anaknya Thia Tat Souw ketua Hok Houw Pang serta Yo Ciauw, seorang tauwbak dari partai Menakluki Harimau itu.
Pada delapan tahun dulu, ketika Lie It mengantarkan jenazahnya Tiangsun Kun Liang. ditengah jalan Tiangsun Pek mendapat sakit, karenanya mereka mampir di kuil tua dimana ada seorang pendeta yang menjadi kacung. Dialah orang Hok Houw Pang, yang dirawat oleh pendeta kepala disitu. Kacung hweshio ini melihat Lie It membawa uang, barang dan pedang, dia mengasi kisikan pada partainya, maka Thia Kian Lam datang bersama sejumlah anggautanya, untuk merampas, tetapi mereka dipukul mundur oleh Lie It. Benar mereka gagal tetapi Kian Lam melihat Tiangsun Pek dan lantas mengenalinya, sedang si kacung hweshio, yang dianggap berjasa, oleh partainya diangkat jadi tauwbak. Dan dialah Yo Ciauw ini. Thia Tat Souw datang kekota raja Turki untuk turut dalam pertemuan besar, Kian Lam menyusul dengan mengajak Yo Ciauw, diluar dugaan, mereka melihat Tiangsun Pek. Yo Ciauw lantas mengenalinya, sebab ia bermata liehay dan ingatannya kuat serta sangat cerdik, begitu ia mendengar nyonya itu mencari tahu hal "anak raja Tong" yang ditangkap itu ia curiga, ia mengawasi, lalu sengaja ia memanggil "Tiangsun Pek." la menggunai bahasa Tionghoa.
"Siapa memanggil aku ?" tanya Tiangsun Pek. Dia kaget, tanpa merasa dia menggunai bahasa Tionghoa juga. Maka tanpa merasa, pecahlah rahasianya. Thia Kian Lam lantas mengajak bicara, sedang Yo Ciauw lari mengasi lapuran, dari itu datanglah rombongannya Guru Budi, hingga gampang saja dia kena ditangkap.
"Jangan kuatir, hiantit," kemudian Kok Sin Ong menghibur. "Kita berada di sini, sudah tentu kita akan berdaya untuk menolongi. Sekarang tinggal caranya saja, yang harus dirundingkan dulu."
Hu Put Gie dan Heehouw Kian tidak menampik memberikan bantuannya, mereka semua sahabat- sahabat kekal dari Tiongsun Kun Liang. Tinggal urusannya yang sulit. Tiangsun Pek tidak ketahuan ditahan dimana.
Habis kacau itu, penjagaan dikotaraja Turki mestinya kuat sekali. Benar Thian Ok telah terbinasa tetapi disana masih ada Guru Budi, Maican dan lainnya pengawal yang tak dapat dipandang ringan. Terutama disana ada Pek Yu Siangjin. Dipihaknya sendiri, Heehouw Kian terluka, benar dia dapat makan soatlian tetapi dia perlu beristirahat dulu.
Akhirnya Hu Put Gie tertawa. Dia kata : "Meski disana ada kedung naga dan guha harimau, aku si Hu Tua mesti menyerbunya juga ! Maka menurut aku, mari kita menerobos kedalam istana, guna mengacau lagi satu kali
! Asal Khan dapat dibekuk, jangan takut dia tidak akan merdekakan orang tawanannya"
"Ini memang sulit, tapi sebab tidak ada lain jalan, marilah kita coba," berkata Heehouw Kian.
Tengah mereka mengambil putusan itu, dikaki gunung terdengar riuh suara gembreng dan tambur perang, lantas terlihat Kakdu bersama seribu serdadunya yang berseragam baju lapis. Mereka terkejut. Tidak dinyana, musuh datang menyusul.
"Mari kita menyerbu dulu !" kata Hu Put Gie.
"Anak Bin, apakah kau takut ?" tanya Hian Song kepada anaknya Lie It. Bocah itu menyender pada tubuhnya.
Hie Bin mengangkat kepalanya.
"Ada bibi disini, Bin tidak takut sedikit juga," sahutnya. Heehouw Kian tertawa.
"Anak ini sangat mempercayai kau, kau bawalah dia" katanya. "Lao Hu, kau yang menjadi pelindungku"
Hu Put Gie memandang sahabat itu, ia dapat menangkap maksud hati orang. Maka ia mengangguk.
"Benar!" sahutnya. "Tentera itu berjumlah besar, mereka pun mengenakan seragam istimewa, jikalau kita berkumpul terus, sulit untuk menyerbu keluar. Baiklah, mari kita berpencaran, supaya mereka menjadi bingung."
Maka mereka memecah diri menjadi tiga rombongan: Bu Hian Song dengan membawa Hie Bin bergabung dengan Pwe Siok Tow, mereka mesti noblos dari sebelah timur. Hu Put Gie bersama Heehouw Kian nerobos dari sebelah selatan. Kok Sin Ong bersama Lie It mengambil jalan barat. Heehouw Kian dan Lie It masih membutuhkan perlindungan.
Matanya Kakdu celi sekali, maka ia terkejut kapan ia melihat Lie It dan Bu Hian Song berada bersama Hu Put Gie, Heehouw Kian dan Rok Sin Ong. "Jikalau aku tahu mereka yang berkumpul disini, pasti aku mengajak lebih banyak kawan yang liehay," pikirnya. "Ah, kemanakah perginya Pek Yu Siangjin dan Thian Ok Tojin? Mustahilkah mereka belum mendapat tahu hal adanya banyak musuh disini?"
Jago Turki ini tidak tahu bahwa Pek Yu Siangjin sudah kabur dan Thian Ok Tojin telah menerima ajalnya. Pek Yu dapat menduga akan datangnya pasukan tentera berlapis baja itu tetapi dialah seorang guru besar, malu dia setelah kena dikalahkan untuk bertempur pula main keroyok.
Oleh karena mengetahui liehaynya musuh, Kakdu tidak mau berlaku sembrono. Lebih dulu ia mengatur pasukannya, untuk mengambil sikap mengurung, baru mereka mendaki dengan perlahan-perlahan. Orang diatas gunung sebaliknya tidak sudi main lambat-lambatan. Hu Put Gie tertawa keras, lantas bersama Heehouw Kian dia berlari-lari turun, untuk membuka jalan.
Hebat suara tertawa itu, rata-rata serdadunya Khan menjadi kaget.
"Pegat mereka!" Kakdu berseru, meskipun dia sendirinya pun terkejut.
Dilain bagian, Kok Sin Ong berseru keras, dia maju menerjang.
Kakdu dapat melihat Lie It ada bersama orang she Kok ini, dia teriaki tenteranya: "Kesini semua! Inilah orang yang hendak ditawan Junjungan kita! Yang lain-lainnya boleh lolos, tetapi dia tidak!" la sendiri pun maju didepan.
Dilain pihak lagi Pwe Siok Touw bersama Bu Hian Song, dengan melindungi Lie Hie Bin, turun dari sebelah barat. Ketika Kakdu melihat nona itu, dia terkejut, hampir tidak percaya matanya sendiri. Dia kata dalam hatinya: "Apakah aku bermimpi ditengah-hari bolong? Itu itu apakah bukannya selir yang baru?"
Selama Hian Song mengacau didalam istana, Kakdu tidak mendapat tahu. Itu waktu Kakdu bertugas menjaga didalam taman.
Dan ketika Hian Song dan Lie It molos, hari sudah gelap dan. ditaman banyak pepohonan, Kakdu pun cuma memperhatikan Lie It seorang, dia mengira si nona ialah dayang belaka, karena mana, dia kena dibokong Nona Bu sampai dia roboh, tak sempat dia melihat tegas wajah dayang itu.
Pek Yu dan Thian Ok mengenali Hian Song tetapi mereka kesusu mengejar si nona, tidak sempat mereka menjelaskan pada pahlawan itu. Sekarang Kakdu datang bersama barisannya, setiap dua orang serdadunya membawa obor kayu cemara, dari itu, gunung itu menjadi terang sekali, hingga Hian Song tampak nyata. Dia kaget dan heran, tanya dia didalam hati-kecilnya: "Kenapa selir raja ada bersama mereka ini? Biar bagaimana, aku mesti menanya dulu tegas-tegas, Lie It memang penting tetapi lebih penting selir junjungan ini”
Segera juga Bu Hian Song datang dekat. Kakdu maju kemuka, untuk menyapa seraya memberitahukan bahwa dia datang menyambut
"Minggir!" membentak Hian Song, yang tidak mengambil mumat orang bersikap menghormat terhadapnya. la mengangkat pedangnya. Kakdu menjadi bingung. Tak dapat dia segera mengambil keputusan: baik dia menahan atau membiarkan orang pergi. Justeru itu, Hian Song lewat disampingnya. Segera dia menjadi kaget pala. Dia melihat selir itu membawa-bawa anaknya Lie It.
"'Tuanku puteri, tahan!" dia terpaksa berteriak.
"Tutup bacotmu!" membentak Pwe Siok Tow, yang tiba didekat pahlawan itu sebelum orang sempat menutup rapat mulutnya, pedangnya terus dipakai membacok.
Masih sempat Kakdu menangkis dengan goloknya. Dia bertenaga besar, umpamakata dia dapat "menaklukkan naga dan menundukkan harimau," maka dia percaya, dengan tangkisannya itu, dia akan dapat membikin terbang pedangnya si penyerang. Tapi kesudahannya membuatnya terperanjat.
Kedua senjata bentrok keras. Setelah itu Kakdu merasakan goloknya kena tertarik. Jadi bukan pedangnya lawan yang terbang. Dengan lekas ia mempertahankan diri. Dapat ia memasang kuda-kudanya, tetapi tidak demikian dengan tenaga ditangannya. Dengan mendadak goloknya terlepas dan mental keudara!
Pwe Siok Tow cerdik. Dia menduga lawannya bertenaga besar sekali, dia menggunai akal meminjam tenaga lawan, begitu bentrokan terjadi, begitu dia menempel, lantas dia menarik dengan kaget.
Kakdu kaget dan heran. la benar-benar tidak mengerti kenapa goloknya terlepas secara demikian. Akan tetapi ia tidak takut, ia bahkan menjadi penasaran. Maka ia merampas panah dari tangan seorang serdadunya. Dalam hatinya ia berpikir: "Selir ini sudah berontak, tak usah aku menguatirkan Seri Baginda bergusar." Meskipun derriikian, tidak berani ia memanah Hian Song, ia mengincar kepada anaknya Lie It.
Hian Song mendengar suara anak panah mengaung, ia menangkis kebelakang, membikin anak panah itu terkutung dua, Justeru itu, datanglah beberapa batang tombak. Ia berlaku sebat, ia merabu dengan pedangnya dengan tipusilat "Badai meruntuhkan daun-daun." Maka berisiklah suara beradunya pedang dengan beberapa batang tombak itu, yang semuanya terpapas kutung. Melainkan sebatanq tombak yang liehay sekali, tombak ini dapat dibatalkan ditengah jalan, dan disaat si nona merabu tombak yang lainnya, dia menikam kearah Hie Bin.
Pwe Siok Touw disebelah belakang menyaksikan bahaya yang mengancam si bocah, ia kaget bukan kepalang, sampai ia mengeluarkan peluh dingin, syukur ia tabah, lantas ia melompat tinggi, menjejak kepalanya sa orang serdadu, untuk meminjam tenaga guna melompat Iebih jauh, dengan begitu sebelum kakinya menginjak tanah, dapat ia menikam serdadu yang mengancam Hie Bin. Maka robohlah serdadu itu.
Girang Hie Bin menyaksikan kejadian itu, dia tertawa. "Bagus, paman !" dia berseru. "Dari tengah udara kau
menghajar orang ! Aku minta paman nanti mengajarkan
aku tipusilat itu"
Siok Touw dan Hian Song sebaliknya menyeka peluh mereka. "Anak Bin, nyalimu besar" kemudian mereka memuji. Bocah itu tertawa.
"Telah aku bilang, jikalau ikut bibi, sedikit juga aku tidak takut" ia berkata.
Sampai disitu, pihak musuh tidak berani mengejar lebih jauh. Mereka jeri untuk kegagahan si nona berdua, sedang Kakdu pun memanggil secara hormat kepada nona itu, yang dianggapnya selir junjungan mereka.
Dengan begitu loloslah Hie Bin bersama dua pelindungnya itu.
Sekarang Kakdu hendak menangkap Lie It.
Kok Sin Ong berlaku gagah sekali. Dia mengeluarkan kepandaiannya ilmu pedang Liap In Kiam-hoat. Dengan sebat dia melompat kesana-sini, untuk menyerang setiap serdadu yang menghadangnya. Dibelakang, Lie It terus mengikuti sambil ia turut mengerjakan pedangnya. Maka itu, belum sampai mereka kena terkurung, mereka pun telah berhasil meloloskan diri.
Hu Put Gie bersama Heehouw Kian dapat lolos dengan terlebih mudah. Kakdu mementingkan mengurung Hian Song dan Lie It, dengan begitu kepungan terhadap kedua jago tua itu ialah yang paling lemah, justeru merekalah orang-orang yang paling tangguh. Put Gie tidak menggunai pedang hanya kedua tangannya. Ia main menjambak atau menyambar, ia main melempar- lemparkan musuh, hingga orang jatuh terbanting setengah mampus. Maka dilain saat kaburlah semua musuh, tak ada lagi yang mengejar mereka.
Demikian akhirnya mereka tiga rombongan, mereka dapat meloloskan diri. Buat belasan lie, mereka meninggalkan tentera Turki itu. Kemudian mereka mempersatukan diri, membicarakan soal menolong Tiangsun Pek.
"Baiklah kita jangan mensia-siakan waktu, malam ini juga kita pergi ke istana, untuk membuat penyelidikan," berkata Hu Put Gie.
"Kita harus mengatur, siapa yang pergi dan siapa yang berdiam," kata Kok Sin Ong.
"Saudara Heehouw masih harus beristirahat, baiklah dia yang berdiam," kata Hu Put Gie.
"Hiantit, bagaimana dengan lukamu?" Sin Ong tanya Lie It. "Baiklah kau pun menanti saja, supaya sekalian ada orang yang menjagai anakmu."
"Lukaku tidak parah," menjawab Lie It. "Adik Pek datang untukku, tidak dapat aku mengawasi saja dari samping."
Mengingat merekalah suami isteri, Put Gie dan Sin Ong tidak mau memaksa.
Lie It, yang telah berpikir, mendekati Hian Song. "Encie Hian Song, aku hendak minta sesuatu,"
katanya.
"Kau bicaralah," menjawab Nona Bu. "Buat guna adik Pek, aku bersedia sekalipun menyerbu api berkobar- kobar!"
"Aku tahu besok kau bakal pulang kekota raja, aku minta kau suka menunda selama satu hari," berkata Lie It. "Itulah tak usah disebutkan," kata Hian Song. "Sebelum adik Pek tertolong, tidak nanti aku pergi pulang."
"Jikalau begitu, aku minta sukalah kau lindungi si Bin," kata Lie Tt. ia terus berpaling kepada anaknya, untuk berkata: "Anak Bin, kau berdiam bersama-sama bi'bi, aku mau pergi menyambut ibumu. Kau akur, bukan ?"
"Bukankah ibu telah ditawan apa yang disebut Khan Agung?" si anak bertanya.
"Benar. Tapi aku akan pergi beramai-ramai, maka pasti kita bakal dapat menolong ibumu itu."
"Baiklah," kata si anak. "Bibi, kau pun tidak pergi, bukan? Jikalau ibuku telah dapat ditolong, bukankah baik bibi tinggal terus bersazna kami?"
Hie Bin sangat percaya ayahnya, maka ia percaya juga ibunya bakal dapat ditolong, karena ia menguatirkan Hian Song nanti pergi.
Hian Song mengangguk. Sebenarnya ingin ia pergi bersama, tetapi ucapan ia ingat cemburunya Tiangsun Pek terhadapnya, ia pikir lebih baik ia tak usah turut. Ia lantas mengambil keputusan, begitu lekas Tiangsun Pek dapat ditolong, dia mau berangkat pergi. Ia anggap paling baik ia tidak menemukan Nyonya Lie It itu.
Setelah ada keputusan itu lantas ditetapkan Heehouw Kian bersama Hian Song dan Hie Bin menantikan dilereng gunung dimana ada sebuah guha yang mirip singa. Disitu mereka harus berkumpul.
Hian Song lantas membuat semacam peta istana Turki. Ia membuatnya sebegitu jauh yang ia ingat. Heehouw Kian memberikan Te Yong Tan, obat untuk mengubah warna kulit muka mereka. Kepada Lie It diberikan juga pel untuk menguatkan tubuhnya. Habis itu baru mereka berpisahan.
Untuk kembali ke istana Khan, Lie It berempat mengambil jalan kecil. Ketika si pangeran menoleh kebelakang, ia melihat Hian Song dan Heehouw Kian dan Hian Song sambil menggendong Hie Bin lagi mendaki bukit. la bersyukur. Sungguh ia tidak menyangka, nona itu dapat menjadi orang terhadap siapa ia berhutang budi besar.
Diwaktu magrib, keempat orang itu telah berhasil menelusup masuk kedalam kota. Pelbagai penjagaan tidak dapat merintangi mereka. Tubuh mereka yang ringan dan gerakan mereka yang sebat, membantu mereka itu. Kalau perlu, Hu Put Gie dan Kok Sin Ong menggunai jarum atau ilmu totok mereka merobohkan beberapa orang yang memergoki mereka, hingga mereka bisa merampas pakaian kurban-kurbannya itu, untuk menyamar menjadi pengawal Turki. Kulit muka mereka telah lantas mereka ubah warnanya dengan menggunai obatnya Heehouw Kian.
Taman raja terbuat dikaki gunung, adanya dibelakang istana, disana Kok Sin Ong mencuri naik. Namanya saja ia mencuri, disana juga sengaja ia mengasi dengar panah-nyaring, membikin beberapa serdadu penjaga berlari-lari naik untuk memeriksa dan mencari, maka Hu Put Gie dan Lie It dapat menelusup masuk kedalam taman selagi serdadu itu lari berserabutan. Dengan mereka menyamar, sukar untuk mengenali mereka. Hanya setibanya didalam, mereka waspada. Mereka memisahkan diri, untuk masuk masing2. Tengah Lie It maju seorang diri, ia melihat sinar api lagi mendatangi. Itulah du.a orang dayang, yang membawa lentera merah. la bersembunyi dibelakang gunung-gunungan, untuk mengintai. Kedua dayang itu membawa naya terisi barang.
"Kabarnya selir yang baru ialah pesuruh ratu dari Tiongkak, aneh," kata dayang yang satu.
"Dan kabarnya dia telah mengacau hingga Seri Baginda kaget hingga Seri Baginda minta godokan som- thung," kata yang lain. "Eh, hati2 kau jalan, jangan kau jatuh, nanti som-thung ini tumpah. Kau tahu, jinsom ini ada bingkisan dari negara Pohai, harganya mahal bukan main. Jikalau kau bikin tumpah, dengan jiwamu pun kau tidak dapat mengganti!"
Rupanya dayang itu kesandung hampir jatuh.
Segera mereka itu sampai didepan batu dibelakang mana Lie It berdiam.
"Aku sudah letih, disini kita berhenti sebentar," kata dayang yang jalan didepan itu. "Juga sekarang ini mungkin Seri Baginda belum bangun."
"Jangan," mencegah dayang yang jalan belakangan. "Seri Baginda telah menitahkan kita mesti mengantarkan jam tiga sedang sekarang sudah hampir tiba waktunya. Lebih baik kita mengantarkan lebih siang, agar jangan terlambat. Eh, ya, tahukah kau som-thung ini untuk siapa?"
"Apakah bukan Seri Baginda sendiri?"
"Bukan. Seri Baginda minum yang sebagian, yang sebagian pula untuk itu orang tawanan wanita." "Aneh! Mustahil orang tawanan diberikan somthung?" "Inilah hal yang dirahasiakan. iAu pun mendapat tahu
dari satu pengawal yang menjadi kenalan baik dari aku."
"Kalau begitu, coba kau terangkan padaku," kawan itu minta.
"Boleh, asal jangan kau ceritakan lagi pada lain orang. Tadi orang telah menangkap seorang wanita, yang katania menjadi isteri dari putera raja Tong."
Mendengar itu, hati Lie It berdebaran. Pasti itulah Tiangsun Pek. Jadi benar isterinya itu kena ditangkap dan ditahan dlidalam keraton.
"Begitu? Bagaimana romannya wanita itu? Adakah dia terlebih cantik daripada selir yang baru ?"
Kawan itu tertawa.
"Kau masih menyebutnya selir yang baru !" katanya. "Dia juga pesuruhnya ratu Tiongkok. Herannya semua wanita Tionghoa cantik-cantik. Katanya wanita ini cantik mirip bidadari dan tak kalah dari selir palsu itu!"
"Kalau begitu, tentu disebabkan dia cantik, Seri Baginda jadi ketarik padanya dan hendak memberikan air jinsom ini!" kata dayang yang didepan itu sambil tertawa.
"Hus, jangan menduga sembarangan!" kata si kawan. "Turut apa yang aku dengar, Seri Raginda mau menggunakan wanita itu sebagai umpan pancing, guna memancing si pangeran she Lie. Seri Baginda sudah menitahkan membawa dia menghadap jam tiga sebentar. Mungkin wanita itu terluka, dia tidak suka makan maka dia hendak diberikan somthung." "Kenapa Seri Baginda mau menemui dia didalam kamar yang baru?"
"Pertanyaanmu aneh! Mana aku tahu maksudnya Seri Baginda?"
”Bukan aku menduga jelek pada Seri Baginda. Aku hanya heran, setelah selir palsu itu mengacau, hingga Seri Baginda gagal menjadi pengantin baru, kenapa sekarang Seri Baginda masih berdiam dikamar itu? Turut biasanya, selagi gusar, Seri Baginda suka membunuh beberapa orang."
Selagi bicara kedua dayang berjalan terus, melewati gunung palsu itu dan memasuki pohon2 bunga yang lebat, hingga suaranya tak terdengar lagi.
"Khan mau memancing aku, aku justeru mau menentang dia!" kata Lie It dalam hatinya. Ia penasaran sekali. "Aku mau lihat, ikan makan pancing atau pancingnya yang ludas ! Baik, sebentar jam tiga aku pergi kesana!"
Lantas pangeran ini keluar dari tempatnya sambunyi. la berniat mencari Hu Put Gie. Mendadak ia melihat satu bayangan berkelebat.
"isyaratmu!" dia menyapa.
Hanya sekejab Lie It heran atau segera ia totok bayangan itu, yang tubuhnya terhuyung, tetapi tidak sampai roboh.
"Bagus ya, kau kiranya pandai ilmu totok!" dia menegur. "Oh, kau Lie It!" Kata2 itu segera disusuli serangan dengan kedua belah tangan.
Lie It menangkis, hingga mereka jadi bergebrak. Ia melihat orang liehay. Maka ia mengawasi. Segera ia mengenali orang itu ialah Yang Thay Hoa, murid kepala dari Pek Yu Siangjin. Pantas dia tertotok tetapi tak roboh pingsan. Karena ini ia lantas lari mengitari pohon, waktu Thay Hoa dapat menyandak, ia sudah berhasil menghunus pedangnya dengan apa ia menyerang. la menggunai jurus "Menuding langit selatan."
Tay Hoa menangkis dengan mengibaskan tangan bajunya yang kiri, guna menahan pedang, sedang dengan tangan kanannya, ia menyerang lengan kiri si pangeran. la menggunai tipu silat "Menunggang nap memancing burung hong."
Terkejut Lie It melihat lawannya pandai ilmu silat tangan kosong melawan senjata. Inilah berbahaya untuknya, yang ingin lekas menamatkan pertempuran itu. Jikalau ia tertahan lama, ia bisa mengalami kegagalan.
Yang Thay Hoa bergelisah sebab ia tak sanggup merampas senjata orang atau menotoknya. la cukup cerdik untuk tidak mensia-siakan waktu. Maka ia berkaok-kaok: "Ada orang jahat! Ada orang jahat! Tangkap! Tangkap!" Selagi begitu, ia tetap perkeras perlawanannya.
Teriakan itu memberi basil. Lantas terdengar tindakan banyak kaki.
Lie It menjadi bingung, ia pun perkeras serangannya. Justeru ia bingung itu, ia membuatnya Yang Thay Hoa melihat lowongan. Memang dalam pertempuran, bingunglah satu pantangan. Thay Hoa menggunai ketikanya yang baik. Habis berkelit, ia merangsak, jeriji tangannya meluncur kejalan darah kiebun dibawah tetek.
Dua-dua pihak terancam bahaya hebat. Mungkin Thay Hoa kena disontek tulang pundaknya, tetapi pun bakal terluka parah andaikata ia tidak segera binasa.
Disaat itu, sekonyong-konyong tubuh muridnya Pek Yu Siangjin meluncur kebelakang, tubuh itu membentur batu gunung, lantas roboh tak berkutdk lagi!
Lie It heran bukan main. Pedangnya belum mengenai sasarannya. Kenapa musuh itu roboh? Tengah ia heran itu, sekonyong-konyong ia melihat melayangnya dua bayangan orang, yang bentrok satu dengan lain, lalu jatuh didekatnya! la pun segera mendengar satu suara nyaring: "Hai, kau pelajar rudin, kau benar tidak tahu mampus atau hidup! Cara bagaimana kau berani nelusup masuk kedalam istana? Terpaksa Sang Buddha kamu hendak membacakan doa kematianmu agar kau menitis pula!'
Suara nyaring itu disambut dengan tertawa haha-hihi dan jawaban: "Bagus sekali! Tapi baiklah kau mengganti dulu sepasang sepatu rumputku, baru kau membaca do'amu!"
Lantas Lie It mengetahui siapa kedua orang itu, ialah Pek Yu Siangjin bersama Hu Put Gie. Mereka justeru mendapat tahu Lie It dan Yang Thay Hoa lagi mengadu jiwa. Put Gie berada lebih dekat dengan gelanggang, ia segera menggunai ketikanya untuk membantui kawannya. la menyerang Yang Thay Hoa dengan ilmu "Huihoa tek yap" atau "Menerbangkan bunga, memetik daun." Maka Thay Hoa lantas terhajar hingga mental. Pek Yu pun tidak diam saja, dia melompat untuk menyerang si orang she Hu, untuk menolongi muridnya. Tapi ia terlambat, cuma keduanya bentrok sebelum mereka sama2 menginjak tanah, hingga mereka sama2 terjatuh.
Pek Yu Siangjin menghajar lawannya dengan tenaga- dalamnya, dan Hu Put Gie membalas dengan sentilan it Cie Sian Kang kepada nadi si pendeta.
Segera setelah keduanya dapat berdiri dengan betul, lantas mereka maju satu pada lain, untuk saling menyerang.
Lie It girang mcndapatkan datangnya Hu Put Gie, sebaliknya ia kaget melihat munculnya si pendeta. Akhirnya toh ia merasa lega juga sebab ada kawannya itu yang melayani si pendeta lie-hay. la juga puas karena kawanan pengawal, yang memburu kesitu, tidak melihat padanya, yang bersembunyi pula dibelakang batu, mereka itu terus menonton pertandingan. Ia tidak mau berdiam lama disitu, ia pergi kesebuah guha, untuk jalan merangkang sampai diantara rumpun pohon bunga.
Segera setelah itu terdengar seruan kaget atau heran dari beberapa pengawal: "Celaka! Celaka! Yang Thay Hoa ada yang bunuh!"
Lalu: "Syukur! Syukur! Dia masih ada napasnya!"
Lalu lagi: "Lekas undang Guru Budi! Lekas! Minta Guru Budi menolong!"
Repot kawanan pengawal itu menolongi Yang Thay Hoa, mereka jadi tidak memperhatikan pula tugas mereka melakukan penjagaan atau mencari orang yang merobohkan Yang Thay Hoa itu. Maka Lie It menggunai terus ketikanya yang balk ini untuk nelusup sampai dibelakang istana.
Lie It lantas mendengar suara bentrokan senjata. la menduga Kok Sin Ong dan Pwe Siok Touw pun sudah masuk dan telah kepergok, hingga mereka mesti melakukan pertarungan. la tidak memikir untuk membantui kawan-kawan itu, yang ia percaya tak sukar untuk menyingkirkan diri apabila mereka kehendaki itu. la memikir untuk masuk terus sebab sang waktu jam tiga hampir tiba. La tahu dimana Khan berada. la telah memperhatikan petanya Hian Song. Jikalau perlu, ia jalan minggir atau merayap atau merangkang, melintasi lorong dan pelbagai pintu. Syukur ia tidak sampai kepergok meski benar beberapa kali ia melihat pengawal penjaga keraton.
Akhirnya tibalah pangeran ini dikamar pengantin. Hanya aneh, disini, dibagian luarnya, tidak da penjaganya. Ia heran, akan tetapi karena waktu mendesak, ia tidak menghiraukan itu. la sudah datang maka ia meski memasukinya walaupun kedung naga dan sarang harimau.
Demikian dengan menjejAk tanah, ia lompat naik kegenting, untuk terus menyantel kaki dipayon, guna bergelantungan dengan kaki diatas dan kepala Kebawah, untuk menGintai dijendela.
Khan berada didalam kamar itu, didampingi oleh seorang pengawal yang tangannya mencekal sebatang cambUk. Dialah bukan Maican atau Kakdu. la heran. Pikirnya: "Kenapa Khan begini sembrono, tidak ada pengawal yang melindunginya? Benarkah ia telah mengatur perangkap? Apakah aku dibantu Thian supaya aku berhasil?”
Lie It seorang teliti dan sabar akan tetapi pada saat ini ia melupakan segala apa. ia terpengaruh akan keinginannya yang keras untuk dapat lekas menolong Tiangsun Pek - isterinya. Didalam kamar itu ia pun melihat seorang yang membuatnya darahnya mengalir keras, hingga ia menjadi tegang sendirinya saking bergelisah.
Orang itu seorang perempuan dengan dandanan cara wanita Uighur, dia terbelenggu kedua tangannya, dia duduk disamping Khan dimana ada sebuah meja kecil. Karena ia melihat sampingnya, Lie It tak segera mengenali. Tapi, siapakah dia kalau bukannya Tiangsun Pek ? Ia pun kenal baik pakaian itu, yang biasa dipakai isterinya setiap kali isteri itu menyamar sebagai wanita Uighur apabila dia pergi turun gunung.
Lantas terdengar suaranya Khan, yang tertawa dan berkata: "Kau selalu tidak mau dahar, mana dapat? Sebenarnya, terhadap kamu suami-isteri aku bermaksud baik. Kau minum somthung ini, setelah itu mari kita bicara."
"Hm!" bersuara wanita itu, yang terus membungkam. "Baiklah!" kata Khan, yang menjadi tidak sabaran. "Dia
tidak mau minum, kau cekoklah!"
Si pengawal menyahuti junjungannya, ia bertindak maju, untuk mengambil mangkok somthung dengan sebelah tangan, untuk dengan tangannya yang lain mencoba membuka mulut si nyonya. Mendadak saja terdengar suara "Praang!" yang berisik. Sebab nyonya itu menyampok, membikin mangkok terlepas jatuh dan hancur, somthung-nya melulahan, belingnya berhamburan!
"Bagus!" seru Lie It dalam hati. "Tak kecewa kau menjadi isteri ku!"
Khan menjadi gusar.
"Aku berlaku baik, kaa sebaliknya kurang ajar!" dia membentak. "Baiklah, karena kau tidak sudi minum arak pemberian selamat, kau boleh minum arak dendaan! Khalpa. Kau cambuk dia! Hendak aku lihat, berapa keras tulang-tulangnya!"
Perintah itu diturut, si pengawal lantas mengayun cambuk ditangannya.
Dengan menerbitkan suara keras, punggung nyonya itu menjadi sasaran cambuk itu. Tapi dia berdiam, dia menutup mulut. Ketika dicambuk itu, dia berjengit menahan sakitnya.
Sampai disitu, tak dapat Lie It menahan sabar pula. Sambil membentak "Tahan!" ia mclepaskan kakinya, untuk melayang masuk kekamar pengantin itu, kedua tangannya melakukan pergerakan berbareng, ialah yang sebelah menyambar cambuk, yang lain menyambar si nyonya. Akan tetapi begitu lekas kakinya menginjak lantai, ia terkejut. Kakinya itu seperti menginjak lantai kosong. Berbareng dengan suara menjeblak, lantai melekah terbuka dan tubuhnya terjeblos jatuh, kecemplung kedalam liang peranekap. Tapi ia tidak jatuh sendirian, sebab tangannya berhasil menjambret nyonya itu! Sebagai kesudahannya terdengarkah Khan tertawa terbahak-bahak!
Liang perangkap itu gelap. Lie It menyesal sekali. la benar telah kena dipancing dan terjebak. la terhibur juga karena, ia pikir ia dapat menemukan isterinya, hingga sekarang mereka berada berdua. Ketika ia jatuh, ia memegangi erat-erat nyonya itu, ia memasang kaki, dengan begitu, mereka jatuh tanpa terluka.
Karena liang gelap, mereka tidak dapat melihat muka masing-masing.
"Adik Pek, aku disini," kata Lie It seraya mencekal terus tangan nyonya itu. ”Thian mengasihani kita maka disini kita berkumpul”
Nyonya itu menangis terisak, tidak dapat ia memberikan jawaban.
Lie It lantas meloloskan rantai borgolan.
"Adik Pek, jangan bersusah hati," ia menghibur. "Kita harus merasa puas yang kita dapat hidup dan mati bersama-sama ..."
Belum berhenti suara Lie It ini, atau mendadak ia merasakan kedua tangannya dipegang keras sekali.
"Adik Pek, kau bikin apa?" tanyanya. la heran.
Baru sekarang ia mendengar suara nyonya itu: "Siapakah isterimu? Kau pentang matamu, kau lihat biar jelas!"
Berbareng dengan itu, ruang perangkap itu menjadi terang dengan mendadak. Si wanita Uighur mundur beberapa tombak, borgolannya telah berpindah tangan kelengan Lie It. Sekarang Lie It bisa melihat nyata, wanita itu bukan Tiangsun Pek, cuma romannya saja yang mirip.
Khan Turki telah menduga Lie It bakal datang menolong isterinya, maka itu, ia memikir akal untuk menawannya. Ia lantas mengatur perangkapnya itu. Lie It habis sabar, maka ia telah kena telan umpan itu.
Mulanya pangeran ini mendongkol sekali, ingin ia menghajar wanita itu dengan borgolannya, syukur sejenak itu ia ingat orang hanya alatnya Khan, ia dapat mengendalikan diri. Akhirnya ia cuma bisa menghela napas.
Habis itu muncullah pengawal yang tadi. Dia tertawa tergelak.
"Jangan takut, Seri Baginda tidak bakal mencelakai kau!" katanya manis.
Lie It murka, ia menyerang.
Pengawal itu, Khalpa namanya, liehay ilmu silatnya. ialah muridnya Chanpu Hoatsu dari Tibet. la seimbang gagahnya dengan Yang Thay Hoa, ia lebih menang daripada Kakdu, maka itu tak kena ia diserang. Sebaliknia, ketika ia menyambuti tangan Lie it, terus ia menekan jalan darah kiok-tie dari pangeran itu, hingga dia ini menjadi tak dapat bergerak lagi.
"Tabiatmu terlalu keras!" berkata Khalpa. "Sebenarn;a Seri Baginda ingin menyerahkan mahkota Tiongkok kepada kau! Mengapa kau aseran begini? Aneh!"
---o^TAH~0~DewiKZ^o--- "