Pendekar Aneh (Lie Tee Kie Eng) Jilid 19

 
ITULAH jeritannya Lie It, yang terluka.

Perhatian semua orang tertarik oleh tingkah polanya Pek Yu Siangjin, yang menyangka Hee-houw Kian, hingga dia bentrok dengan Hu Put Gie, dengan begitu, pertempuran diantara Lie It dan Tat So seperti dibiarkan saja, tidak tahunya, pertempuran itu berlangsung terus, dan dengan hebat, hingga tahu2 terdengarlah jeritan si pangeran. Segera semua mata diarahkan kepada Tat So dan Lie It.

Lie It sudah bertempur limapuluh diurus ketika ia kena terhajar huncwenya Tat So. Ia terdesak sangat, ia pun seperti terkurung musuh, dari itu, hatinya gentar. Karena hatinya tidak tenteram itu, satu kali ia kalah sebat, rusuknya kena tersusuk huncwe, hingga ia merasakan sangat sakit dan darahnya keluar mengucur membasahi bajunya. Saking sakit, ia sampai menjerit itu.

Bu Hian Song terkejut, kuatirnya bukan main, tanpa dapat dicegah, mukanya menjadi pucat.

Khan terkejut. Ia menyangka selir itu tidak berani melihat darah. Ia pun melihat, meskipun Tat So bekerja keras sekali, walaupun Lie It telah terluka, orang she Thia itu masih belum bisa merobohkan dan menawan lawannya.

"Guru Besar, tolong kau tangkap dulu orang she Lie itu!" ia memberikan perintahnya. "Permaisuriku berhati kecil, dia tidak dapat melihat darah mengalir."

Hian Song sebaliknya kaget karena mendengar titah Khan ini. Kalau Pek Yu yang maju, pasti Lie It bakal kena ditawan.

Pek Yu Siangjin tidak puas dengan perintah itu. Ia berkata tawar: "Untuk menyembelih ayam buat apa memakai golok kerbau? Pula pembunuhnya kedua utusan itu masih belum dihukum ! Mohon titah Seri Baginda, dua orang ini hendak ditawan atau tidak?"

Khan menyangsikan Hee-houw Kian sebagai pembunuh, dia menitahkan Pek Yu menangkap Lie It pun sekalian sebagai siasat untuk menangguhkan urusan, siapa tahu, Pek Yu memikir lain. keras niatnya membekuk Hee-houw Kian dan Hu Put Gie, hingga dia berani berkata demikian kepada raja.

"Baiklah!" kata Khan akhirnya. Dia terdesak. "Sekarang biarlah Hee-houw Sianseng dan Thian Ok Tojin dipadu!"

Kata-kata itu menunjuki bahwa juga Thian Ok dicurigai, maka itu, mereka berdua perlu dipadu.

Thian Ok Tojin menjadi panas hati. Dia berani, dia lantas berkata nyaring: "Pinto datang kemari dengan sesungguh-sungguhnya hati untuk membantu Seri Baginda, tidak disangka, Seri Baginda mencurigai aku! Jikalau demikian, baiklah, pinto akan mengundurkan diri!"

Hee-houw Kian menggunai saatnya yang paling baik ini, dengan roman dan suara menyatakan kegusarannya, ia berkata keras: "Saudara Hu, dari tempat yang jauh kita datang kemari, siapa tahu kita dipandang sebagai orang jahat! Bagaimana sakarang?”

Hu Put Gie sebaliknya tidak menjadi kurang puas atau gusar, dia tertawa ha...ha-hi...hi. Dia justeru sangat bergirang.

"Tempat ini tidak dapat menerima orang, maka ditempat lain pasti akan ada orang yang dapat menerima kita!" ia berkata. "Baiklah, mari kita semua pergi! Jikalau pendeta suci itu hendak melakukan penangkapan, persilakan!"

Pek Yu Siangjin pun panas hatinya. Dia menarik Thian Ok, dia kata dengan keras: "Mohon Seri Baginda lekas mengambil putusan! Seri Baginda menghendaki kami atau mereka itu? Jikalau Seri Baginda tidak menawan itu dua orang jahat maka kami bertiga hendak pergi!"

Tengah kekacauan itu, pertarungan diantara Lie It dan Thia Tat So telah membawa perubahan. Dengan mengasi dengar suara menggabruk keras, ketua Hok Houw Pang itu roboh terbanting!

Itulah hebat...! Itulah luar biasa...! Para hadirin heran...! Bukankah barusan saja Thia Tat So telah menang diatas angin, hingga Lie It kena tertusuk huncwenya...? Kenapa sekarang, dari lebih unggul, dia justeru tertikam hingga roboh terlukai ?

Guru Budi senantiasa memasang mata, lantas dia berteriak : "Ha, benar-benar si orang tualah yang melepaskan jarum bwehoa-ciam !"

Khan mendengar itu, dia melengak. Dia tidak puas atas sikap Pek Yu barusan, dia berkesan tidak manis terhadap Thian Ok Tojin, akan tetapi dipihak sana, Hu Put Gie dan Hee-houw Kian merekalah orang-orang baru, orang luar, meski mungkin Hee-houw Kian bukan si pembunuh, dia toh tidak dapat karena kedua orang itu membuatnya Pek Yu Siangjin tidak senang. Maka akhirnya dia lantas mengambil putusan. Dia melemparkan cangkirnya kelantai seraya berseru dengan titahnya : "Tangkap dua orang itu !"

Titah itu ditaati, sekalian busu sudah lantas bergerak. Hu Put Gie tertawa berkakakkan, dia berkata nyaring : "Aku si orang tua, jikalau aku suka, aku datang, jikalau tidak, aku pergi ! Mana dapat kamu menahan aku ?" Ia lantas mengibaskan kedua tangannya, kekiri dan kanan.

Dua busu, yang bertubuh tinggi-besar, yang telah lantas datang, atas kibasan itu, tubuhnya terpental hingga setombak lebih.

---o^TAH~0~DewiKZ^o---

Menggunai ketika itu, Hee-houw Kian melayangkan sebelah tangannya, menghembuskan asap, hingga ruangan menjadi gelap karenanya, hingga ketika tubuh- tubuh lompat berkelebatan, tubuh itu tidak nampak tegas.

Sekalian busu tidak berani maju, mereka takut asap  itu asap beracun.

Hee-houw Kian melompatan kearah Lie It, niatnya ialah menolong pangeran itu, akan tetapi orang berdesakan, sulit ia maju.

"Kemana kamu mau pergi ?" terdengar bentakan nyaring dari Pek Yu Siangjin, yang dengan kedua tangannya menyerang berulang-ulang. Ia menggunai ilmu silat Pek Khong Ciang, atau Tangan Memukul Udara, dengan itu ia mencoba membuyarkan asap.

"Jangan takut !" Thian Ok Tojin berseru.  "Ini bukannya asap beracun!"

Hee-houw Kian membekal senjata rahasia yang ada racunnya tetapi ia tidak suka mencelakai banyak orang, ia tidak menggunai itu. Pek Yu Siangjin tidak melulu membuyarkan asap, segera tubuhnya mencelat, menghampirkan Hu Put Gie, siapa mengibas dengan kipas besinya, menyambuti pendeta itu, yang ia arah telapakan tangannya dekat nadi.

Pek Yu menarik pulang tangannya untuk diselamatkan, berbareng dengan itu, kakinya melayang, tetapi atas itu, tubuh Put Gie mencelat mundur setombak lebih, lalu tanpa menoleh pula, ia berkelit, membebaskan diri dari bokongan dua busu dibelakangnya, siapa ia teruskan menyikutnya hingga mereka itu roboh dengan pingsan.

Pek Yu menyaksikan gerakan orang, ia mengagumi kegesitan lawan itu. Tapi ia tidak cuma menjadi kagum. Ia maju terus, kali ini kearah Hee-houw Kian. Dalam sekejab, ia tiba disisi si tabib.

Hee-houw Kian melihat datangnya musuh yang Liehay itu, ia mendahului menyambut dengan totokannya. Ia lantas ditangkis Pek Yu, hingga kedua tangan mereka bentrok. Atas itu tubuhnya terangkat, mencelat tinggi, hingga perlu ia berjumpalitan dua kali untuk dapat menaruh kaki diatas meja. Berat dan keras turunnya itu, sang meja tidak dapat bertahan, meja itu ambruk,  hingga hancurlah piring-mangkok dan cangkir diatasnya. Hingga ada beberapa pengawal didekat meja, yang terluka pecahan beling.

Menyaksikan itu, Hu Put Gie tertawa terbahak-bahak, sembari tertawa, bersama Hee-houw Kian ia kabur kearah luar !

Didalam benrokan diantara Pek Yu Siangjin dan Hee- houw Kian itu, si pendeta liehay menggunai pukulan tenaga Kim Kong Ciang, atau Tangan Arhat, dan Hee- houw Kian memakai It Cia Sian-Kang, atau Sentilan Jari tangan. Pek Yu telah melatih tubuh hingga dia tidak takuti sentilan atau totokan, akan tetapi totokannya Hee- houw Kian umpama kata dapat membikin emas berlubang atau batu remuk, maka itu, akibat bentrokan itu, dia merasakan goncangan keras pada jantungnya dan tubuhnya bagaikan beku, sedang lawannya mental tinggi.

Dengan begitu, mereka menjadi sama unggulnya.

Dengan mengerahkan tenaga dalamnya, Pek Yu membebaskan diri dari gangguan serangan jerijinya Hee- houw Kian, lantas dia berseru kepada muridnya :"Thay Hoa, pergi kau bekuk itu bocah!, Thian Ok, Biat Touw, mari kita bertiga mengurung ini dua tua-bangka supaya dia jangan dapat lolos !"

Yang Thay Hoa menurut perintah gurunya, dia lantas bergerak, untuk lari kepada Lie It, akan tetapi Kok Sin Ong, yang berada disampingnya, berkata sambil tertawa lebar: "Nanti aku mewakilkan kau!" Dimulut Sin Ong mengatakan demikian, tetapi tangannya melayang kepada murid kepala dari Pek Yu itu.

Thay Hoa kaget, dia berkelit.

"Kok Lo-bengcu !" dia tanya, heran, "kau ... apakah kau kawan mereka itu ?" Ia belum menutup mulutnya, atau Sin Ong sudah menyambar pula hingga dia terguling.

Dengan lantas mencabut sepasang pedangnya, Kok Sin Ong maju kearah Lie It. Ia menyerang kedepan, kekiri dan kanan, guna membuka jalan, ia membikin kedua pedangnya bentrok hebat dengan gengamannya pelbagai pengawal Khan, hingga ada pedang atau golok yang mental terlepas dari cekalan.

Ialah akhli pedang dan kali ini ia mengeluarkan kepandaiannya ilmu pedang Liap In Kiam-hoat latihan beberapa puluh tahun, dengan begitu merdeka dia bergerak baik pun ditempat sempit.

Repot kawanan pengawal Turki, tidak dapat mereka memegat atau merintangi.

Biat Touw Sin-Kun menyaksikan segala kejadian itu, untuk sejenak, dia bingung. Bukankah Pek Yu mengajaknya untuk menawan Hu Put Gie dan Hee-houw Kian ? Tapi sekarang Kok Sin Ong mengamuk, dia menjadi berkuatir untuk keselamatannya Khan. Tak dapat dia bersangsi pula, maka dia melompat, guna memegat.

"Bagus !" seru Kok Sin Ong melihat datangnya perintang itu. Ia lantas menendang satu pengawal, yang menghadang didepannya, hingga pengawal itu terjungkal, lalu meneruskan, ia menikam Biat Touw, yang ia papaki dengan pedangnya. Ia mengarah jalan darah soan-kie di dada. Ia berbuat begini karena ia ketahui baik, dengan jumlah yang sedikit, sulit untuk melayani lama-lama kepada musuh yang banyak, sedang gelanggang adalah istana Khan.

"Orang tua she Kok, sungguh hebat ilmu pedang Liap In Kiam-hoat kau ini!” Biat Touw Sin-Kun memuji sambil ia menangkis, dengan senjatanya, pacul peranti menggali pohon obat-obatan, hingga kedua senjata jadi beradu.

Nyatalah mereka sama unggulnya. Kok Sin Ong tidak mengambil mumat pujian lawan, ia terus menyerang, beruntun hingga tiga kali tikam pergi- pulang, selama mana, dengan pacul pengoretnya, Biat Touw dapat menghindarkan diri dari ancaman marah- bahaya.

Ia menangkis dengan dua jurusnya "Bunga salju menutup kepala" dan "Pohon tua melingkarkan akarnya," rapat sekali penjagaan dirinya. Dengan begitu ia membuat serangan Sin Ong tidak berhasil.

Kok Sin Ong berpikir : "Biat Touw menjadi satu yang terlemah diantara Hek Gwa Sam Hiong, nyatanya dia liehay sekali, jikalau aku tidak mengadu jiwa, sukarlah untuk menoblos kurungan ini !" Maka ia menjadi seperti nekat.

Sin Ong cuma menang seurat terhadap Biat Touw, karena itu, untuk menjatuhkan lawan itu, ia mesti berkelahi tiga-sampai lima-ratus jurus, sekarang ia menghendaki keputusan yang cepat, itulah sulit, terutama musuh berjumlah besar sekali. Lantaran ini ia menukar siasat, tidak mau ia melayani terus-terusan. Ketika itu pun, dengan satu lirikan, ia melihat Lie It sudah kabur hingga diluar pintu. Segera ia melompat untuk menyingkir, sambil melompat, ia menyerang hebat kekiri dan kanan, kedepan untuk membuka  jalan. Dengan caranya itu, kembali ia merobohkan beberapa pengawal.

Biat Touw terhalang oleh banyaknya pengawal, kalau ia turut mengamuk, ia bisa melukai kawan sendiri. Karena ini, ia tidak dapat menyusul. Tidak lama, Kok Sin Ong sudah sampai diluar pendopo. Tapi ia tidak mau sudah, ia mengejar. Tatkala itu, juga Hu Put Gie dan Hee-houw Kian sudah diluar. Itulah taman kerajaan. Ditaman itu, kawanan pengawal raja sudah menutup pelbagai jalan keluar. Ditengah taman, yang menjadi seperti kosong, Pek Yu Siangjin bersama Thian Ok Tojin maju untuk menghadang.

Sambil berseru, Pek Yu menyerang Hee-houw Kian. Ketika ia melompat, jubahnya berkibar bagaikan mega merah, yang hendak menungkrap kepalanya si tabib atau si Ahli Jarum Emas.

Hee-houw Kian tidak berani keras melawan keras. Ia tahu, dengan serangannya itu, Pek Yu memandang enteng kepada lawannya. Memangnya pendeta itu lebih tangguh daripadanya. Maka dengan kelincahannya, ia berkelit kebelakang.

Pek Yu Siangjin tidak mau mengerti yang musuh dapat lolos, dia melompat pula, untuk menyusul terus, bagaikan gerakannya bayangan. Kembali dia berseru, kembali dia mencelat maju, untuk menghajar dari atas.

Menyaksikan aksi musuh itu, Hu Put Gie lompat mencelat juga, tubuhnya seperti terapung naik. Ia mengarah kepada telapakan tangan musuh, untuk di- totok. la merasa cuma itulah hagian yang lemah daripada si pendeta. Dengan serangannya ini, ia mau menolong kawannya yang terdesak itu, yang terancam bahaya.

Tadi Pek Yu telah belajar kenal dengan totokan orang she Hu itu, meskiptin ia bertubuh kedot, ia toh jeri, maka atas sambutan Put Gie, ia batal menyerang terus kepada Hee-houw Kian, ia meneruskan melompat kesamping. Sebagai orang liehay, ia dapat menguasai segala gerak- geriknya sendiri. Karena lawan membatalkan serangannya, Hu Put Gie tidak dapat menotok.

Dilain pihak, Hee-houw Kian juga tidak berdiam saja. Ia kembali tidak mau menyambut serangan dahsyat dari Pek Yu itu, ia melompat. Justeru itu, ia tiba disisi Thian Ok Tojin, yang telah mengambil kedudukan untuk mengimbangi Pek Yu.

Keduanya musuh - besar satu dengan lain, Thian Ok benci sangat si tabib, maka itu, tidak menanti Kim Ciam Kok-Ciu menaruh kakinya ditanah, ia membarengi menyerang. Ia maju sambil mengebut kemuka orang. Kebutannya ini merupakan pukulan dari kematian. Hudtim, atau kebutannya itu, lantas saja terbuka mencar menjadi ribuan batang. Diwaktu dikerahkan seperti itu, setiap benang kebutan itu merupakan seperti jarum yang halus tetapi kaku dan tajam.

Hee-houw Kian boleh liehay, dia memang menang seurat, akan tetapi didalam keadaan seperti itu, dia kalah angin. Tentu sekali, dia tidak suka memperbahayakan dirinya. Sebagai orang liehay, dia pun telah dapat menduga. Demikianlah selagi tubuhnya turun, tengah Thian Ok menyambut dia dengan kebutan, mendadak dia mementang mulut, untuk meniup dengan keras. Hebat tiupannya itu, anginnya membuat kebutan buyar balik. Berbareng dengan meniup, dia juga mengayun sebelah taagannya ka arah musuh.

Thian Ok terkejut lantaran kebutannya dipunahkan, saking terkejut, dia kelihatan gugup dan lambat gerakannya, maka serangan si tabib mengenai tubuhnya, hingga dia terhuyung dua kali, mukanya menjadi sangat pucat. Tapi karena dia tidak roboh, dia tidak mau  menyingkir. Lantas dia mengasi dengar tertawanya yang seram.

"Orang tua she Hee-houw, kau hebat !" katanya, tajam. "Marilah, mari aku mencoba pula kepandaianmu memunahkan racun !"

Hee-houw Kian terkejut. Ia memang heran kenapa Thian Ok kena terhajar barusan. Mestinya imam itu dapat berkelit, atau kalau dia mau, dia bisa menangkis. Kenapa si imam seperti sengaja manda digebuk ? Maka tertawa dan kata-kata si imam membuatnya sadar. Dengan  lantas ia merasakan tangannya gatal dan baal, kontan tangannya itu bengkak hingga dilengan. Ia tahu bagaimana harus berbuat. Dengan lantas ia mengeluarkan jarum emasnya, untuk menusuk diri hingga tiga kali, dimuka telapakan tangannya, di jalan darah kiok-tie ditekukan sikut, dan dijalan darah giok-hie diketiak.

"Apakah ilmumu Hu Kut Sin-Kang dapat berbuat atas diriku ?" ia kata dengan tertawa dingin selekasnya ia selesai menusuk dirinya. Perkataannya ini dibarengi terayunnya tangannya, untuk menerbangkan jarum emasnya kearah si imam. Maka belasan batang jarum menyambar dengan berkeredepan dengan sinar emas.

---o^TAH~0~DewiKZ^o---

THIAN OK terkejut juga. Ia tidak menyangka, sesudah terkena racun, si tabib masih dapat membalas menyerang. Untuk membela diri, ia lantas menimpuk dengan jarumnya, jarum Touw Kut Sin-Ciam. Maka itu, kedua macam jarum lantas saling bentrok dan runtuh ditengah jalan, kecuali beberapa jarumnya Hee-houw Kian, yang dapat melintasi rintangan. Inilah disebabkan tenaganya Thian Ok telah berkurang, bekas tadi ia mengurasnya terhadap Guru Budi.

Pek Yu Siangjin lagi melayani Hu Put Gie kapan ia melihat Thian Ok terancam bahaya, terpaksa ia meninggalkan lawan itu, untuk mencelat kearah si imam, untuk menyerang jarum tanpa menanti turunnya tubuhnya. la menyerang dengan Pek Khong Ciang, membikin beberapa batang jarumnya Hee-houw Kian jatuh ketanah, hingga si imam jadi ketolongan.

Pertempuran diantara kedua rombongan ini jadi berimbang. Hu Put Gie kalah tenaga-dalam dipadu dengan Pek Yu Siangjin, sebaliknya Thian Ok keteter oleh Hee-houw Kian. Hebat mereka bertarung. Karena itu, banyak pengawal tidak berani maju menyelak, untuk membantu pihaknya.

Lie It dilain pihak sudah sampai juga ditaman, lantaran ia terus dikepung kawanan pengawal, tidak bisa ia menghubungi diri dengan Hu Put Gie dan Hee-houw Kian. Syukur untuknya, ia menggenggaman pedang mustika yang tajam luar biasa, maka siapa terkena padangnya, senjata atau pengawal, mereka tentu terluka. Ia sendiri sudah memperoleh beberapa luka juga, bagusnya semua luka bukan yang membahayakan jiwa. Lantaran ia gagah dan pedangnya istimewa, kawanan pengawal tidak berani mengepung terlalu rapat.

Belasan pengawal sudah rebah ditanah sebagai kurban pedang mustika.

Yang Thay Hoa dapat menyandak selagi pertempuran berlangsung. Kok Sin Ong heran.

"Dia terhajar tanganku, dia tidak terluka, dia tangguh," pikir Sin Ong. "Kalau begini, Lie it terancam bahaya ..."

Kok Sin Ong menjadi saudara-angakat dari Ut-tie Ciong, gurunya Lie It.

Datangnya ini juga sengaja, untuk menolong si pangeran, yang menjadi keponakan-muridnya. Tapi ia dirintangi Biat Touw Sin-Kun. Meski dalam hal tenaga- dalam ia menang seurat, ia toh repot juga.

Dalam saat-saat itu, tidak bisa ia melepaskan diri dari libatannya Biat Touw.

Setibanya Yang Thay Hoa, rombongan pengawal yang mengepung Lie It lantas membuka jalan, mereka mundur kekedua samping. Segera muridnya Pek Yu sampai didepan si pangeran, lantas dia menyerang, tangan kirinya dipakai mengancam, tinju kanannya diajukan cepat, untuk menangkap tangan lawan.

Dia telah menggunai ilmu silat Tay Kim-na Ciu, atau Tangan Menangkap, untuk merampas pedang orang. Maka itu, sangat berani percobaannya itu.

Lie It mendongkol, ia menyambut dengan satu tabasan.

Yang Thay Hoa menyampok, jari tangannya menyentil.

"Trang !" terdengar suara nyaring, dan ujung pedang mental. Justeru itu, tangan kirinya Thay Hoa menggantikan maju, guna menjambak dada !

Lie It terkejut, tetapi ia melawan. Ia menarik pulang pedangnya, untuk dipakai menikam. Dengan tangan kirinya, ia pun menyerang, guna merintangi jambakan orang itu. Ujung pedangnya menjurus kedengkul lawan.

Kedua tangan mereka bentrok satu dengan lain, hebat sekali. Lie It menjerit keras, karena telapakan tangannya pecah dan mengeluarkan darah, rasanya sangat sakit. la kaget dan berkuatir. Akan tetapi didepan ia itu. Yang Thay Hoa roboh terguling !

Yang Thay Hoa menang unggul daripada Lie It, seharusnya ia menang dalam bentrokan itu, akan tetapi baru saja ia terhajar Kok Sin Ong, benar ia tidak terluka diluar, didalam ia mendapat gempuran hebat, maka itu, mengadu kekuatan dengan si pangeran, ia menjadi kalah tanggiih. Benar Lie It sudah terluka tetapi dia terluka diluar, tenaga-dalamnya tidak terganggu. Demikian dia rohoh dengan tenis memuntahkan darah, sedang dengkulnya juga dimampirkan ujung pedang lawannya.

Lie It juga terluka bukannya enteng, sebab luka ini menjadi tambahan bagi beberapa lukanya yang terdahulu. Dengan terlukanya telapakan tangan kirinya itu, ia sekasang cuma dapat menggunai tangannya yang kanan. Didalam keadaannya yang sulit itu, kawanan busu Turki lantas meluruk. kepadanya. Mau atau tidak, terpaksa ia berkelahi mati-matian, untuk membela dirinya. Ia mengandalkan betul pedangnya yang tajam luar biasa itu. Lagi beberapa pengawal terluka karenanya. Karena kenekatannya ini, kawanan pengawal tidak dapat merangsak terus, bahkan sebaliknya, mereka merenggangkan kurungan. Biar bagaimana, mereka jeri juga.

Lie It bingung bukan main. Inilah saatnya yang terakhir. Maka dapat ia mendobrak kurungan yang rapat itu ?

Ia merasa bahwa tenaganya sudah habis ...

Tepat didetik bagaikan "lampu hendak padam" itu, tiba-tiba terdengar satu seruan nyaring : "Tian-hee jangan bingung ! Lamkiong Siang disini !"

Dan seruan itu disusul munculnya orangnya, yang dengan bengis menerobos kurungan, goloknya diputar hebat !

Lie It menjadi girang, dengan sendirinya semangatnya berkobar pula.

"Mari kita keluar!" ia berseru. "Mari kita mempersatukan diri dengan Hu Locianpwe !"

Belum berhenti suaranya pangeran ini, Lam-kiong Siang telah sampai dihadapannya. Mendadak orang she Lam-kiong ini tertawa dingin dan berkata dengan nyaring

: "Ya ! Aku undang kau bertemu dengan Khan yang agung!" Berbareng dengan itu, sebelah tangannya diayun, hingga terlihatlah berkelebat menyambarnya sebatang hui-to, atau golok terbang, yang putih mengkilap !

Bukan main kagetnya Lie It untuk ini macam bokongan, apa pula jarak diantara mereka dekat sekali. Sama sekali ia tidak sempat menggeraki pedangnya, untuk menangkis. Dalam keponggok itu, ia mengegos tubuhnya, untuk berkelit. Masih ia tidak keburu, tanpa dapat dicegah, golok-terbang nancap di punggungnya.

"Lam-kiong Siang, bagus ya !" ia berseru, menahan sakit, lantas tubuhnya roboh bagaikan sepotong balok.

Lam-kiong Siang tertawa. "Tian-hee, maafkan aku!" ia berkata, seraya membungkuk, untuk memegang tubuh orang, untuk diangkat bangun. Tapi selagi ia mau mengangkat itu, sekonyong-konyong Lie It berteriak bagaikan guntur: "Jahanam, serahkanlah jiwamu!" Lalu bagaikan ikan gabus meletik, tubuhnya si pangeran melompat bangun, sedang pedangnya meluncur kearah dada, nancap dan nembus kepunggung!

Dengan tidak kurang tepatnya, Lie It mencabut pedangnya, terus ia tertawa bergelak-gelak.

Semua pengawal kaget sekali menyaksikan musuh yang sudah roboh itu masih dapat membinasakan Lam- kiong Siang, sampai mereka tidak berani maju menyerang.

Yang Thay Hoa, yang tadi roboh, mendapat dengar tertawanya Lie It itu. Sebagai ahli, ia mengerti tertawa itu kurang dorongan tenaga-dalamnya, suatu tanda keadaannya si pangeran pun sudah letih sekali.

"Segala kantung nasi!" ia mendamprat kawanan pengawal itu. Ia terluka dengkul kirinya, karenanya, ia roboh, tetapi kaki kanannya tidak kurang suatu apa, maka ia lantas merayap bangun, lalu dengan sebelah kaki itu, ia melompat menghampiri Lie It. Sebelum sampai, ia berjumpalitan dulu, untuk membikin ia bisa lompat lebih jauh. Sembari melompat itu, ia menyerang Lie It dengan pukulan Cit Kim Ciang-hoat, mengarah kepunggung!

Lie It dapat mendengar dampratan orang dan dapat melihat juga orang melompat kepadanya, ia memutar tubuhnya. Ia tidak lari atau berkelit, ia justeru memapaki, untuk menyerang. Thay Hoa kaget. Ia tidak sangka orang masih demikian tangguh. Ia lantas menarik pulang serangannya itu, tubuhnya juga ditarik mundur selekasnya kakinya menginjak tanah. Tapi ia kalah sebat, maka juga ujung pedang Lie It menancap ditelapakan tangannya yang kiri, tangan yang dipakai menyerang itu.

"Ha...ha-ha...ha!" Lie It tertawa pula. Sekarang tertawanya itu makin lemah. Begitulah, selagi tubuh Thay Hoa roboh, tubuhnya sendiri, mengikuti berhentinya tertawa itu, turut roboh juga.

Kawanan pengawal kaget dan heran, akan tetapi mereka tidak berani maju, untuk menubruk atau menangkap. Mereka takut pangeran itu menggunai akal seperti tadi, hingga Lam-kiong Siang menerima bagiannya. Mereka mengawasi, sampai mereka melihat tubuh orang tidak bergerak lagi dan pedangnya pun terlepas dari cekalan, baru mereka maju, untuk menghampirkan.

Lie It benar-benar habis tenaganya.

Kok Sin Ong kaget melihat pangeran itu ditangkap, ia pun gusar, sambil berteriak nyaring, ia menyerang Biat Touw Sin-Kun. Ia menggunai dua-dua pedangnya  kiri dan kanan.

Biat Touw terkejut diserang secara demikian, dengan tergesa-gesa dia menangkis, hingga senjata mereka beradu dengan bersuara nyaring, sampai lelatu apinya berpeletikan. Dia menjadi lebih terkejut lagi sebab paculnya hampir lepas dari cekalannya.

"Kau membuka jalan atau tidak?" membentak Kok Sin Ong, yang mengulangi penyerangannya yang dahsyat itu, dengan salah satu jurus terliehay dari Liap In Kiam- hoat.

Biat Touw kaget dan bingung, dengan lekas ia mundur. Lacur untuknya, ia masih kurang sebat, ujung pedang mampir juga dilengannya, hingga lengan itu tergores merupakan sebuah luka panjang.

Karena dia terhalang Biat Touw Sin-Kun, Kok Sin Ong terlambat, Lie It sudah keburu digotong pergi oleh sejumlah pengawal. Ia penasaran, ia hendak mengejar, tetapi sekarang Pek Yu Siangjin sudah datang kesitu, bahkan pendeta itu lantas menyerang dengan jubah merahnya, yang menungkrap kepala!

Dengan mengangkat tinggi pedangnya, Kok Sin Ong membuat perlawanan. Ia menggunai jurus "Kie hoh liauw thian," atau "Mengangkat obor membakar langit," kedua pedangnya menusuk dengan berbareng. Tiba-tiba ia menjadi kaget. Pedangnya itu mengenai sasarannya, hanya bukan benda yang keras tetapi yang lunak sekali, dan bukannya pedang menembusi sasaran, sebaliknya kena tertekan keras, tertindih. Sia-sia belaka ia mencoba mempertahankan diri, pedangnya itu tidak dapat dibikin bergerak.

Hatinya Biat Touw Sin-Kun menjadi besar pula melihat datangnya bala bantuan. Ia maju untuk menghajar punggung musuh.

Tepat di itu waktu, Hu Put Gie tiba disitu. Dengan sekonyong-konyong Biat Touw merasai sambaran angin. Ia tahu apa artinya itu, ia lantas bergerak untuk menolong diri, tetapi ia terlambat, tahu-tahu lengannya telah kena tertotok kipas, lantas paculnya jatuh terlepas. Hu Put Gie tertawa geli, katanya: "Kau juga menyerahkan jiwamu!" Dan kipasnya, yang dirangkap, ujungnya meluncur kejalan darah kie-kwat didada, suatu jalan darah yang dapat meminta jiwa apabila terserang jitu.

Pek Yu Siangjin sudah menguasai Kok Sin Ong, hanya satu kali saja ia mengerahkan tenaganya, untuk mengulangi desakannya, celakalah orang she Kok itu. Justeru itu, ia melihat Biat Touw Sin-Kun juga terancam bahaya maut. Mana dapat ia tidak menolongi? Terpaksa ia mesti melepaskan lawannya, untuk melayani yang lain.

Dengan menerbitkan suara angin, Pek Yu menyambar dangan jubahnya, yang ia tarik pulang dari atasan kepalanya Kok Sin Ong. Ia dapat bergerak sangat sebat dan berbahaya. Sekarang jubahnya itu mengancam Hu Put Gie.

Hu Put Gie meninggalkan Biat Touw, ia berkelit, sesudah itu, dengan kecepatan yang luar biasa, ia melakukan penyerangan membalas.

Pek Yu memasang kuda-kuda berat seribu kati, ia menangkis, untuk menahan lajunya kipas yang liehay dari si orang she Hu. Ia berhasil dengan cegahannya itu, dan karena ia mengerahkan tenaga secara mendadak sekali, Put Gie terhuyung dua kali!

Kok Sin Ong menjadi bebas dari tindihan, dengan lantas ia menyerang pula pada Biat Touw Sin-Kun. Dia ini berlaku sebat, dia sudah menjumput pula senjatanya, maka itu, atas datangnya serangan, dia bisa menangkis, hingga kembali mereka menjadi berkutat. Pertarungan terjadi dalam tiga rombongan. Rombongan yang ke-tiga ialah diantara Thian Ok Tojin dan Hee-houw Kian. Mereka semua bertempur secara hebat sekali, hingga umpama kata, "matahari tidak bersinar, rembulan tidak bercahaya."

Dua diantara Hek Gwa Sam Hiong, tiga jago dari Hek Gwa, wilayah perbatasan, ialah Biat Touw Sin-Kun dan Thian Ok Tojin, telah terluka, meski benar luka mereka tidak parah, toh tenaga-dalam mereka sudah mendapat gangguan. Dilain pihak, lawan mereka juga telah tidak waras lagi. Hee-houw Kian terkena pukulan Hu Kut Sin- kang dari Thian Ok, betul ia bisa lantas menusuk diri dengan jarum emasnya, akan tetapi disaat pertempuran itu, ia tidak mempunyai kesempatan untuk beristirahat, bahkan sebaliknya ia mesti menguras terus tenaganya, dengan berlarutnya sang waktu, ia menjadi menghadapi bahaya. Segera ia merasakan kepalanya pusing dan matanya mulai kabur.

"Celaka!" serunya didalam hati.

Kok Sin Ong juga merasa bahwa ia bakal tidak sanggup bertahan lagi.

Ia mengadu tenaga dengan Pek Yu Siangjin, kesudahannya itu hebat untuknya.

Ia telah menggunai tenaga berlebihan.

Syukur untuknya, seperti Hee-houw Kian, ia juga menghadapi lawan yang sudah terluka itu, secara demikian, ia masih sanggup memaksakan diri bertarung terus.

Tengah melayani Pek Yu Siangjin, Hu Put Gie berlaku cerdik, ia sudah menggunai ketikanya. Dengan mendadak ia mencelat, akan menyerang Biat Touw Sin- Kun, hingga jago perbatasan ini mesti melompat mundur.

"Kita telah makan dan minum cukup, cukup juga kita berkelahi," kata Hu Put Gie sambil tertawa jenaka, "kita harus menghaturkan terima kasih kepada tuan rumah kita untuk perlayanannya yang manis. Nah, marilah kita pamitan!"

Hee-houw Kian dan Kok Sin Ong mendengar suaranya kawan itu, mereka mengerti.

Mereka insyaf, tidak dapat berdaya terus untuk menolongi Lie It, mesti mereka menolong diri terlebih dulu.

Maka mereka menyambut ajakan itu.

Hee-houw Kian mendadak merabu dengan jarum emasnya, selagi lawan repot, dengan cepat ia melompat mundur, berlari pergi.

Demikian juga Kok Sin Ong selekasnya dia merangsak musuhnya. Dibelakang mereka, Hu Put Gie mengiring, untuk mencegah Pek Yu Siangjin merintangi kaburnya mereka.

Didalam istana, hati Bu Hian Song sangat tidak tenteram. Ia mesti terus mendampingi Khan Turki, tidak dapat ia pergi keluar untuk melihat Lie It.

Melainkan telinganya mendengar suara riuh dan berisik.

Syukur untuknya, Khan tidak mendapat lihat air mukanya, sebab raja itu tengah mengawasi keluar, hatinya pun berdebaran. Tidak berselang lama datanglah seorang pengawal dengan laporannya bahwa Lie It telah terluka dan tertangkap.

Jikalau si nona kaget tidak terkira, Khan sebaliknya sangat girang.

"Jangan bunuh dia!" segera ia memberi pesan. "Aku perlu dengan dia. Lekas bawa dia kedalam istana dan panggil tabib untuk mengobatinya!"

Habis memberikan perintahnya, Khan mengisikan sebuah cawan, ia angkat itu kehadapan selirnya yang baru.

"Minumlah, untuk melenyapkan kagetmu!" ia berkata.

Tapi segera ia menjadi kaget.

Baru sekarang ia menampak muka sang selir pucat- pasi.

Lekas ia berkata pula: "Jangan takut, jangan takut, bahaya sudah lewat!"

"Sungguh menakuti pertempuran itu," berkata Hian Song, bersandiwara, "oleh karena yang satu sudah kena ditawan, biarlah yang lainnya dilepaskan saja ..."

"Kau benar, mereka jangan dibikin menjadi mogok dan mengamuk," kata Khan, yang lantas menitahkan agar Pek Yu Siangjin jangan mengejar musuh.

Diantara tiga, Pek Yu yang belum terluka, walaupun demikian, seperti Biat Touw Sin-Kun dan Thian Ok Tojin, hatinya sudah tidak tenang lagi. Ia telah membuktikan liehaynya musuh. Melulu karena harus memegang derajat, ia terus mengubar musuh-musuhnya. Sekarang datang titah Khan, hati mereka menjadi lega. Dengan lekas mereka kembali keistana.

Semua pengawal juga sudah lantas menghentikan aksi mereka.

Hu Put Gie bertiga memang sudah lolos dari kepungan, dengan tidak dikejar terus, mereka bebas dari ancaman bahaya.

Sekembalinya Pek Yu semua, Khan memerintahkan pesta ditutup, sebelum kembali kekeraton, ia memberitahukan, pertemuan akan dilanjuti besok.

---o^TAH~0~DewiKZ^o---

Didalam keraton, Khan kata pada selirnya yang baru: "Hari ini hari baik kita berdua, sayang ada gangguan. Sekarang kami hendak memeriksa Lie It, tidak dapat kami menemani kau lebih lama, mungkin kau tidak menyesalkan kami tetapi kami sendiri sangat menyesal!"

"Seri Baginda baik sekali, aku berterima kasih," kata Hian Song. "Jikalau Seri Baginda tidak membuat halangan, aku suka sekali turut menghadiri pemeriksaan itu."

Khan tertawa.

"Kami cuma kuatir kau nanti kehilangan kegembiraanmu," katanya. "Kau suka turut memeriksa, baiklah. Sebenarnya kami pun tidak ingin berpisah dari kau ..."

Habis berkata, Khan mencekal tangan Hian Song perlahan-lahan.

Karena dia datang lebih dekat kepadanya, Hian Song dapat mencium bau engas, hingga ia mengerutkan alis. "Sekarang biarlah," kata si nona didalam hatinya. "Sebentar kau rasai!"

Khan lantas memberikan perintahnya agar Lie It dibawa menghadap.

Seorang pengawal berkata kepada junjungannya: "Lukanya Lie It itu sudah berhenti mengeluarkan darah, sekarang dia lagi dibalut, sebentar dia akan dibawa kemari. Inilah pedangnya, yang dapat dirampas."

Hamba itu menyerahkan pedangnya Lie It dan Khan menyambuti itu, untuk segera dihunus, ketika dia menyabat kesampingnya, maka perapian kaki tiga yang berada disitu kena terbabat kutung dan ambruk karenanya.

"Sungguh pedang mustika!" pujinya, kagum.

Bu Hian Song sebaliknya berkata didalam hatinya: "Pedangnya Lie It tidak dapat terjatuh dalam tangan dia ini." Lantas ia tertawa, dan berkata: "Seri Baginda gagah, dengan mempunyai pedang ini tambahlah kegagahannya! Aku tidak kenal pedang akan tetapi dengan melihat sarungnya saja, aku merasa pasti inilah pedang yang berharga sangat mahal.''

Sarung pedang itu berlapiskan emas dan ditabur mutiara yang bersorot berkilau. Hian Song memegang itu, untuk dilihat dan dilihat pula, agaknya tak ingin ia melepaskannya pula.

Khan tertawa melihat kelakuan selirnya itu.

"Jikalau kau menyukainya, ambillah ini untukmu!" ia berkata.

"Ah, mana bisa?" kata si nona, beraksi. "Dengan kau yang memakainya sama dengan kami yang memakai itu," kata Khan. "Bangsa Tionghoa mengatakan, pedang dihaturkan kepada orang gagah, kami justeru menghadiahkannya kepada si cantik! Ha...ha. tidakkah ini bagus?"

Hian Song tersenyum, ia terima pedang itu. "Terima kasih!" ia mengucap.

Khan pun girang sekali, sembari tertawa, ia berkata: "Bangsa Tionghoa bilang, satu kali si cantik tertawa, dapat itu meruntuhkan negara dan kota, sekarang dengan sebuah pedang kami dapat merebut hatimu, hadiahku ini sungguh berharga!"

Hian Song tertawa. Tapi sekarang ia terus menanya: "Lie It itu sudah mengacau, apakah Seri Baginda hendak menghukum mati padanya?"

"Tidak," Khan menjawab. "Aku hendak menahan ia, ia ada harganya untuk kita. Ialah turunan raja-raja Tong, jikalau dia suka menghamba padaku, kalau nanti kami menyerbu Tiongkok, menteri-menteri kerajaan Tong pastilah akan menyambut kita, tentu mereka akan membantu merobohkan si raja wanita. Kau tentunya pernah mendengar bahwa raja wanita dari Tiongkok ialah Bu Cek Thian dan mahkota kerajaan Tong dialah yang merampasnya."

”Ya, pernah ku mendengarnya. Sebagai wanita Bu Cek Thian dapat menjadi raja, boleh dikatakan dialah wanita gagah."

"Memang! Maka itu kami hendak menggunai Lie It untuk melawan dia!" "Entah bagaimana dengan Lie It itu. Maukah dia menyerah?"

"Inilah yang kami pikirkan. Lie It berkepala besar, pernah aku mengirim orang mengundang dia, dia menampik, sebaliknya hari ini dia datang mengacau..."

"Dia berani mengacau dalam pertemuan persilatan besar, dia benar tidak takut mati. Karena dia berani mati itu, habis ada daya apa untuk membuatnya menyerah?"

"Biar dia tidak takut mati, masih ada dayaku" "Apakah itu?"

"Dia mempunyai anak dan anaknya itu berada dalam genggamanku."

Khan menuturkan bagaimana dia menculik anaknya Lie It.

Hian Song berdiam, ia beraksi seperti lagi memikir untuk membantu raja itu.

"Daya itu bagus," katanya kemudian. "Kalau sebentar dia diperiksa, baiklah anaknya dibawa kemari, supaya dia melihatnya. Orang tahu halnya cinta ayah-ibu terhadap anaknya, kalau dia melihat anaknya itu, masa dia tidak menjadi lemah hatinya?"

Khan setuju, ia lantas menitahkan mengambil anaknya Lie It itu.

Tidak lama seorang dayang muncul bersama anak Lie

It.

Hian Song mendapatkan anak kurus tetapi matanya

celi.

la merasa berkasihan. "Ah, anak ini manis," katanya. Ia mengulur tangannya, niatnya menarik.

Tiba-tiba anak itu menghampirkan sendiri, matanya menatap tajam.

"Lihat, anak ini pun dibikin tersengsem kecantikanmu...!" kata Khan tertawa lebar.

Anak itu tetap mengawasi.

"Bibi, aku mengenali kau !" katanya tiba-tiba. Di dalam hatinya, Hian Song terperanjat.

"Ah, kuat sekali ingatannya anak ini," pikirnya. "Cuma satu kali aku melihat ia dikaki gimung Thian San, sang waktu sudah berselang sebulan lebih dan warna kulitku pun sudah berubah tetapi ia masih mengingatnya ..."

Khan tertawa.

"Dasar bocah" katanya. "Kapannya kau pernah melihat selirku ?"

Khan merasa aneh berbareng lucu tetapi ia tidak bercuriga.

Anak itu menatap. Ia melihat orang berdandan sebagai permaisuri dan bicaranya pun dalam bahasa Uighur.

Hian Song tertawa, ia lantas merangkul, untuk mencium pipinya, tetapi berbareng dengan itu, ia berbisik dengan bahasa Tionghoa : "Jangan bilang kau mengenali aku. Kalau sebentar ayahmu datang, aku akan menolongi kamu. Mengerti ?"

Anak itu mengangguk. Kepada Khan, ia kata: "Dia cantik seperti ibuku. Ah, aku suka padanya!" "Begitu ?" kata Khan tertawa. "Kau anggaplah dia sebagai ibumu itu "

Hian Song puji kecerdikan anak itu, ia pegangi tangan orang.

"Aku juga suka padamu," ia bilang.

"Kamu berdua berjodoh sekali!" kata Khan, kembali tertawa. "Kalau Lie suka menakluk padaku, nanti aku membiarkan kau ambil anak ini sebagai anak-pungutmu."

Bicara sampai disitu, dari luar terdengar suara rantai borgolan beradu, maka hati Hian Song bercekat. Lantas terlihat seorang pengawal dengan tubuh tinggi besar menggiring Lie It masuk.

Delapan tahun mereka telah berpisah, sekarang mereka bertemu didalam istana raja Turki, itulah luar biasa, itulah mereka berdua mengimpikan pun tidak !

Lie It melihat Hian Song. Terpisahnya mereka cuma tiga tombak. Ia bisa melihat tegas. Maka katanya dalam hatinya : "Ah, tidak salah, dia memang Hian Song!" Tentu sekali ia heran, lebih lagi akan melihat anaknya menyender pada nona itu, seperti anak menyender pada ibunya sendiri

"Ayah !" anak itu menjerit seraya terus lari untuk menubruk ayahnya.

Pedih hati Lie It melihat anaknya kurus.

"Anak Bin, ayahmu terlambat," katanya. "Kau tersiksa..."

Diam-diam Hian Song memperhatikan pangeran itu. Dia pucat mukanya tetapi tidak tanda-tandanya bahwa dia terluka didalam badan. Dia mendapat beberapa luka dan luka dipunggungnya, meski telah dibalut, darahnya menembus keluar.

Ia berkasihan, ia sakit hatinya.

Ia pikir : "Kejam kawanan budak ini ! Dia telah terluka, dia masih dipakaikan borgolan berat!"

Pengawal yang mengiring Lie It ialah Maican, ketika ia melihat anak Lie It mau menubruk ayahnya, ia hendak mencegah.

"Biarkan ayah dan anak itu bertemu !" Khan kata. Maican membatalkan niatnya, tetapi ia berkata : "Guru

Budi kuatir terjadi sesuatu, ia turut datang, apakah  perlu

ia dititahkan masuk ?"

"Mintalah ia menanti sebentar diluar, untuk menjaga kalau-kalau ada penjahat lainnya datang kemari," menjawab raja. Ia menghargai orang yang hendak diangkat menjadi Guru Negara itu, yang dinegaranya itu menjadi orang kosen nomor satu.

Sementara itu Hian Song berpikir keras, hatinya gelisah. Ia tahu Maican gagah sedang diluar ada Guru Budi.

"Bagaimana sekarang?" pikirnya.

"Ayah, mengapa mereka mengikat ayah?" si Anak tanya. "Aku ingin ayah mengempo aku !"

Khan tertawa mendengar kata2 bocah itu.

"Anak yang baik," katanya, "kau bujuki ayahmu supaya dia mendengar kata-kataku, segera aku nanti melepaskan ikatan kepada ayahmu itu." "Anak Bin, jangan dengar perkataannya orang busuk!" Lie It kata kepada anaknya.

"Pasti aku tidak akan mendengar perkataannya!" sahut sang anak.

Dan ia mengangkat dadanya, lantas ia teruskan berkata kepada Khan: "Ayah telah mengajari aku supaya aku jangan tunduk terhadap manusia jahat! Kau berlaku begini rupa terhadap ayahku, kau manusia busuk!"

Wajahnya Khan menjadi guram, hanya sejenak, ia tertawa

"anak yang cerdas!" katanya. "Sayang kau masih terlalu muda, kau belum mengerti apa-apa. Terhadap ayahmu, Aku bermaksud baik. Baiklah! Maican, kau singkirkan anak ini, hendak aku bicara sama ayahnya!'"

Anak itu tidak suka berpisah dari ayahnya akan tetapi ia tidak dapat melawan pengawal itu.

"Jangan ganggu dia!" Hian Song berkata, lantas ia menarik anak itu, untuk berkata dengan perlahan: "Anak yang baik, jangan bikin banyak berisik."

Anak itu mendengar kata, ia berdiri diam disamping sinona.

Lie It heran hingga ia merasa ia seperti tengah bermimpi.

"Kenapakah Hian Song menjadi selir raja?" pikirnya berulang kali. "Kenapa si Bin dengar kata terhadapnya?"

Ia menggigit lidahnya, tetapi ia merasakan sakit. Jadi ia bukan lagi mimpi.

Karenanya, tidak dapat ia memecahkan keanehan itu. Walaupun demikian, ia mempunyai kepercayaan tetap tidak nanti Hian Song menghamba kepada Turki, dan terhadapnya, tidak nanti dia bermaksud jahat ...

Khan menuang arak dalam sebuah cawan, ia kata pada seorang dayang disisinya: "Kau bersihkan darah dimukanya orang itu, lantas kau suguhkan ia arak ini."

Perintah itu dijalankan, Lie It terbelenggu, ia membiarkan mukanya disusuti sabuk basah, disusuti dengan perlahan2, maka dilain saat, bersihlah mukanya yang putih, hingga ia nampak tampan dan agung,  sampai si dayang sendiri tercengang.

"Kau cukur kumisnya!" Khan memerintah pula.

Dengan memberanikan diri, dayang itu melakukan pula perintah itu.

Setelah kumis palsunya si pangeran disingkirkan, Khan tertawa lebar.

"Tidak salah, benarlah, Lie Tian-hee dari Kerajaan Tong!," katanya. "Surup sekali penyamaranmu, tian- hee!"

Khan ini mempunyai gambarnya Lie It, yang ia terima dari Bu Sin Su, gambar mana dibawa oleh Hong Bok Ya, dengan begitu, setelah penyamarannya disingkirkan, Lie It kelihatan mirip dengan gambarnya itu.

"Seorang laki2, jalan dia tidak merubah namanya, duduk dia tidak menukar shenya," kata Lie It, gagah. "Aku memang Lie It, maka itu apakah halangannya untuk aku menghadapi kau dengan romanku yang asli?" "Aku kagum untuk nyalimu yang besar," kata Khan. "Silahkan kau keringi cawan itu, untuk menambah semangatmu!"

Lie It berkata didalam hatinya: "Dia hendak menggunai tenagaku, tidak nanti dia menaruh racun dalam araknya ini."

Ia menyambuti cawan arak itu dari tangannya si dayang, ia bawa arak itu kemulutnya, untuk lantas dicegluk isinya. Kemudian ia berkata nyaring : "Satu laki- laki tidak takuti gunung golok dan rimba pedang, dia tidak takut juga terhadap arak yang wangi dan omongan yang manis! Nah, kau masih ada punya lain cara, apa lagi...?"

Khan mengeluarkan jempolnya.

"Bagus, sungguh benar seorang laki-laki!" katanya. "Aku justeru membutuhkan orang semacam kau!"

"Hm...!" Lie It mengejek. "Orang semacam Bu Sin Su dapat kau gunakan, tetapi aku bukannya orang sebangsa dia!"

"Nantilah kita omong dengan perlahan-lahan," kata raja Turki itu. "Kau telah bilang, terhadap manusia jahat kau tidak sudi tunduk, kata-katamu ini bagus sekali. Sekarang aku hendak tanya kau, Bu Cek Thian itu manusia baik-baik atau manusia busuk?"

Lie It melirik Hian Song, otaknya bekerja. "Dia manusia busuk atau tidak, belum dapat aku menetapkannya," sahut Lie It.

"Sedikitnya dialah musuhmu, bukan?" kata Khan. "Tidak salah! Dia telah merampas mahkota kerajaan- ku, pasti dia musuhku...!"

Khan tertawa bergelak.

"Kau tertawakan apa?" Lie It tanya.

"Aku mentertawakan kau, yang telah tidak dapat membedakan apa yang baik, apa yang busuk!"

Mata Lie It mencilak.

"Tutup mulutl" Lie It bentak. "Apa?" Khan tertawa. "Apakah aku salah omong ?"

"Pasti kau salah!" kata Lie It, sungguh-sungguh. "Meski benar kami pihak she Lie bentrok memperebuti negara dengan pihak she Bu, itu berarti kami Bangsa Tionghoa memperebuti Tiogkok! Dengan begitu apakah sangkut pautnya kita dengan kau? Kau cuma memakai alasan menghukum Bu Cek Thian, yang benarnya ialah kau hendak merampas negaraku yang indah-permai dan kaya-raya. Maka itu siapa yang mengaku dirinya putera Kerajaan Tong, dia mesti bangkit mengangkat sendiata untuk membela negaranya, apa-lagi aku yang menjadi turunan sah dari Kerajaan itu?"

Lega hati Hian Song mendengar kata-kata gagah dari Lie It itu.

Pikirnya, "Meski benar dia masih memberati kepentingan pribadinya, dia insaf akan pri-kebenaran, dia sadar, pantas Bibi memikir untuk mengundang dia..."

Khan sebaliknya tercengang, hingga ia terdiam. Beginilah pendirian kau memusuhi aku ... Khan berkata.

"Kalau begitu, kau masih keliru!" katanya. "Kau jangan lupa Bu Cek Thian telah mengganti nama kerajaanmu dari Tong menjadi Ciu! Tahukah kau kenapa aku mengundang padamu?"

Lie It tertawa dingin.

"Biar bagaimana, itu toh bukannya maksud baik, bakan?" sahutnya.

"Maka itu aku bilang kau salah!" Khan juga tertawa. "Kau selalu mencurigai aku! Tahukah kau bahwa aku hendak menyerahkan takhta-kerajaan kepadamu? Apa yang aku hendak geraki adalah yang disebut angkatan perang maha adil. Buat kebaikkan Tiongkok kamu, aku hendak menyingkirkan wanita siluman yang menjadi raja itu! Setelah nanti aku dapat merobohkan Bu Cek Thian, aku akan hantu kau mengangkat diri menjadi raja, untuk mempersatukan negara, untuk seluruhnya diserahkan kepada kau! Apa lagi yang kau kehendaki? Bukankah ini suatu kebaikan untukmu?"

Lie it tertawa mengejek.

"Kata-kata ini cuma dapat di pakai mengabui bocah umur tiga tahun ...!!! Hm...! Bocah umur tiga tahun juga masih tidak dapat diperdayakan! Kau mengangkat senjata untukku, untuk meminta aku menjadi raja?"

"Bagus, pertanyaan kau ini bagus!" katanya. ”Jikalau aku bilang aku tidak memikir suatu kebaikan, kau tentunya tidak mau percaya. Baiklah, mari aku omong terus-terang! Keinginanku ialah agar Tiongkok menjadi jajahanku, negara dan rakiat Tiongkok, tetap akan berada dibawah perintahmu, kaulah yang mengurusnya. Bukankah dengan begitu, kebaikan yang kau peroleh menjadi lebih besar daripada yang diperolehku?"

Lie It tertawa sambil melenggak.

"Khan yang Agung, kau salah melihat orang!" bilangnya. ”Aku Lie It, aku bukannya orang yang suka menjadi raja boneka!"

"Ah.." kau tidak menghendaki kedudukan sebagai raja?" Khan bertanya. "Habis, kau menghendaki apakah?"

"Aku orang bangsa Tionghoa, aku berdiam, dinegaramu ini" ia menyahut. "Apa yang aku kehendaki ialah agar kedua negara hidup rukun sebagai sahabat! Apa yang aku kehendaki ialah meminta kau menghentikan peperangan!"

"Hmmh... kau benar tidak tahu diri! Kau pikirlah, baik- baik nanti kau menyesal"

----- akhir jilid 9 ada lembaran sobek-----

---o^TAH~0~DewiKZ^o---

Lie It girang berbareng kaget. Hian Song sudah lantas bekerja terlebih jauh. Dengan hanya satu tabasan, belengguan putus, hingga ia menjadi merdeka.

"Lekas, ambil pakaiannya Maican dan pakai itu!" kata Hian Song. Pangeran itu menurut, ia bekerja cepat sekali. Ia pun menutupi tubuhnya dengan mantelnya pengawal itu. Karena tubuh Maican terlebih besar, ia menjadi berdandan tidak keruan. Tapi karena mantel itu besar, didalam situ Lie It dapat menyembunyikan anaknya.

Bu Hian Song mengeluarkan obat peranti mengubah paras muka, ia serahkan itu pada Lie It.

Pangeran itu dapat membade maksud orang, ia menyambuti obat itu, terus ia pakai, maka dilain saat, ia beroman mirip dengan pengawalnya Khan. Dimana didalam istana itu ada banyak pengawal lainnya, tidak gampang untuk mengenali ia.

Bu Hian Song juga meloloskan periasan rambutnya sebagai selir raja, ia masuk kebelakang sekosol, maka ketika ia keluar pula, ia sudah dandan sebagai dayang.

"Mari kita pergi!" katanya perlahan pada si pangeran. Lie It heran. Ia telah berpikir: "Diluar ada Pek Yu

Siangjia dan Thian Ok Tojin, cara bagaimana mereka dapat dilewatkan?” Tengah ia berpikir itu, Hian Song sudah bertindak kesamping pembaringan, disana dia merabah ketembok dan menekan, maka ditembok itu segera terpentang sendirinya sebuah pintu rahasia.

Itulah pintu kemana Hian Song diajak masuk oleh Khan. Didalam situ ada kamar berias yang indah. Khan sengaja memperabotinya lengkap, untuk mengambil hatinya si nona bangsawan, yang ia sangka wanita biasa saja. Padanya telah diberitahukan, jendela kamar itu menghadapi taman bunga, tempat untuk pesiar.

Demikian Hian Song memasuki kamar rias itu, terus dia menolak daun jendela, untuk melongok keluar. Maka itu mereka menjadi mendapat tahu, waktu itu waktu magrib. Hanya ketika mereka melongok kesekitarnya, di situ tak dapat orang lain.

Dengan mencekal tangan orang, si nona mengajak Lie It melompati jendela itu, untuk berlalu dari kamar rias. Mereka bertindak dengan cepat.

"Siapa?" mendadak terdengar teguran.

Baru saja mereka itu bertindak beberapa langkah.

Pula segera ternyata, penegur itu ialah Kakdu, pemimpin dari pasukan pengiring raja.

Lie It mengulapkan kimpay kemuka pemimpin barisan itu sembari ia kata dengan perlahan: "Aku tengah melakukan titahnya Seri Baginda untuk mengantarkan pelayannya selir yang baru keluar dari istana."

Kakdu kenal kimpay itu dan ia ketahui baik selir yang baru, Karosi, ialah puterinya raja dari sebuah negara kecil, sedang menurut adat-istiadat Turki, kalau seorang puteri menikah, setibanya si puteri ditempat suaminya pelayannya harus diperintah pulang untuk membawa kembali pakaian pengantinnya, untuk ditunjuki kepada ibunya. Itulah tanda bahwa si puteri, dirumah ia mengandal pada orangtuanya, setelah menikah ia mesti mengandal pada suaminya.

Melihat demikian, tanpa sangsi lagi, Kakdu mengijinkan orang berlalu. Tentu sekali ia tidak mendapat tahu yang Karosi, si selir baru, telah semenjak satu jam dimuka dengan menyamar jadi dayang, sudah membolos pulang dengan menaiki kereta asalnya Hian Song dan Lie It bertindak secepat bisa. Beberapa kali mereka bertemu dengan pengawal-pengawal penjaga tetapi dengan

Lie It selalu memperlihatkan kimpay mereka dapat lewat tanpa rintangan. Maka sebentar kemudian sampailah mereka dipintu belakang dari taman dimana ada istal kuda serta penjaganya.

Lie It menunjuki kimpay, ia minta dua ekor kuda. Permintaan itu diluluskan, setelah mana, ia perintah penjaga istal itu untuk membukai mereka pintu.

"Berhenti!" tiba-tiba terdengar perintah.

Si penjaga istal terkejut. Ia mengenali Kakdu, yang lari mendatangi. Tentu sekali ia tidak berani membukai pintu.

"Kau berani menghalangi aku?" membentak Lie It. "Lekas buka!"

"Jangan keluar dulu!" Kakdu berteriak. "Tunggu!"

Lie It tidak mau bersabar, mendadak ia menotok penjaga istal itu, sesudah mana, ia merampas anak kunci.

Tapi sekarang Kakdu telah keburu sampai, bahkan ini pemimpin pengawal sudah lantas melompat menerjang si pangeran sambil dia berseru keras.

Kakdu kembali karena ia bercuriga begitu lekas Hian Song dan Lie It diijinkan lewat. Ia telah menanya dirinya sendiri: "Siapakah pengawal itu? Kenapa aku tidak kenal dia?" Ialah kepala pengawal, dari beberapa puluh pengawal, ia kenal semua, terutama sebab banyak pengawal diterima bekerja menurut pujiannya. Tadi cuaca guram dan Lie It pun mengalingi mukanya dengan mantal, maka ia tidak dapat melihat tegas. Ia cuma percaya sebab adanya kimpay. Baru lewat sesaat, kecurigaannya timbul pula. la pun lantas ingat, mantel itu milik Maican. Meski begitu, ia tetap bersangsi, make itu, ia lari mengejar untuk memperoleh kepastian. Ia terkejut, mendapatkan Lie It menotok orang, kecurigaannya jadi keras, maka itu, ia lantas menyerang. Untuk negara Turki, Kakdu ialah orang gagah yang tersohor, serangannya itu hebat luar biasa, umpamakata, batu dapat dihajar pecah.

Lie It tahu ia habis terluka, tidak heran ia menyambuti serangan itu, sebaliknya ia mengandalkan - keringanan tubuhnya, untuk berkelit melompatan.

Kakdu menyerang terus-terusan, ia mendesak. Rangsakan ini membuatnya Lie It tak sempat menghunus pedangnya.

"Mana orang? Mana orang?" Kakdu berteriak berulang- ulang. "Lekas...! Lekas...!"

Melihat bahayanya sikap Kakdu ini, Hian Song berlaku cerdik. Ia kata dengan dingin pada pemimpin pengawal itu: "Kau mau bikin apa berdiam lama-lama disini? Telah ada orang jahat lainnya yang sudah memasuki kamarnya Khan untuk membunuhnya! Kenapa kau tidak mau lekas menolongi rajamu?"

Kakdu kaget.

"Apa kau bilang?" dia tanya.

Tepat selagi orang menanya itu, cepat luar biasa, Hian Song menyerang dadanya, mengenai jalan darah soan- kie. Tidak ampun lagi, robohlah pemimpin pengawal itu. Inilah Kakdu tidak sangka. Meski ia tidak dapat menandingi si nona, sedikitnya ia dapat bertahan sekian lama. Ia tidak menduga si "dayang" demikian liehay .

Lie It lompat kepintu, untuk membuka, setelah mana berbareng bersama Hian Song ia lompat naik atas kuda masing-masing, untuk dikaburkan keluar dari taman.

Dibelakang mereka datang rombongan pengawal, yang mengikuti Kakdu tadi, mereka itu menghujani anakpanah.

Dengan memutar pedangnya, Lie It meruntuhkan setiap anakpanah, terus saja. ia lari, maka dilain saat, bersama Hian Song ia sudah bebas dari ancaman panah. Tidak ada seorang pengawal juga yang dapat  menyandak meraka.

Kakdu telah dapat bangun pula, ia mencegah barisannya mengejar terlebih jauh. Ia terpengaruh kata- kata Hian Song bahwa raja terancam pembunuh gelap. Ia pikir, meski belum pasti baiklah ia percaya keterangan itu. Jiwa raja tidak dapat dibuat permainan. Bukankah dua orang itu keluar dari dalam istana dan si "pengawal" memakai mantelnya Maican? Maka sambil balik, ia mengasi perintah untuk mencari orang atau orang-orang jahat didalam istana

Lie It dan Hian Song kabur terus. Mereka bisa menghela napas lega setelah mendapat kenyataan mereka tidak dikejar terlebih jauh. Tapi masih mereka melarikan kuda mereka, yang dikasi berlari berendeng.

Satu kali Lie it menoleh kepada Hian Song, justeru si none pun menoleh kearahnya. Dengan sendirinya sinar keempat mata bentrok satu pada lain. Lekas-lekas mereka melengos, hati mereka bekerja sendiri-diri. Mereka sama-sama merasa hati mereka kosong.

Segera didalam hati si pangeran berpeta pelbagai peristiwa yang telah lewat, umpama hal adu pedang dipuncak Kim Teng dari gunung Ngo Bie San dan pertemuan mereka dijalan pengunungan Kiong Lay San. Ia ingat bagaimana si nona, untuk minta obat dari Hee- houw Kian, telah melakukan perjalanan belasan hari. Paling akhir ialah perpisahan berat dipuncak gunung Lie San. Siapa sangka sekarang, disaat begini, mereka bertemu pula satu pada lain. Bahkan sekali lagi si nona bangsawan sudah menolongi padanya!

Saking goncangnya hatinya, lagi sekali si pangeran berpaling kepada si pemudi, hingga sinar mata mereka bentrok pula.

"Terima kasih!" ia berkata perlahan.

Hati Hian Song pun goncang tak kalah kerasnya. Ia tidak dapat menyingkir justeru dari orang siapa ia hendak menjauhkan diri, bahkan sekarang ia berada berendeng dengannya. Cuma keadaan sekarang beda dengan keadaan delapan tahun yang lalu. Orang itu sekarang  lagi mengempo putera!

"Buat apa mengucap terima kasih?" sahutnya perlahan dan tunduk. "Kau lolos dari bahaya, ini pun telah membikin hatiku lega "

Suara itu tawar terdengarnya.

Untuk Lie It, hebat suara itu, tubuhnya menggetar, diatas kudanya, ia terhuyung dua kali, hampir ia jatuh.

Hian Song melihat itu, ia terkejut. "Kau kenapa?" ia tanya. "Apakah lukamu kambuh?" "Tidak," menyahut Lie It. "Lukaku luka diluar, tidak

berarti apa-apa. Mungkin aku letih sekali, hingga aku perlu beristirahat sebentar "

Hian Song menduga mereka sudah kabur belasan lie jauhnya.

"Baik, mari kita singgah diatas bukit didepan itu," sahutnya, tangannya menunjuk.

Lie It mengangguk. Sambil memondong anaknya, ia lompat turun dari kudanya.

Hian Song juga lompat turun, lalu tanpa bersuara, ia mengikuti mendaki bukit.

Sampai diatas, belum lagi si nona berduduk, Hie Bin sudah lari menubruk memeluk padanya.

"Bibiku, kau benar pandai!" anak itu kata. "Kau bilang kau hendak menolongi kami, benar-benar kau telah menolongnyal"

"Apa yang aku bilang mesti terjadi!" kata Hian Song tertawa.

"Ayah, bibi ini sangat baik!" kata anak itu kepada ayahnya. "Cuma ibu agaknya kurang menyukainya. Ketika itu hari bibi membagi makanan padaku, ibu melarang aku menerimanya. Ah, ibu mana ketahui bibi begini baik ? Aku sangat menyukainya !"

Lie It tercengang.

"Kau telah bertemu dengan Tiangsun Pek?" ia tanya si nona, yang ia awasi. "Ya, aku belum memberi selamat padamu!" kata Hian Song tersenyum.

Dimuka nona ini tertawa, didalam hati, ia merasa sangat sedih. Segera ia membayangi pula sinar mata jelus dari Tiangsun Pek: la mencoba menguasai dirinya: Katanya didalam hatinya: "Aku mesti menjaga supaya aku tidak mencari keruwetan sendiri!"

"Dimana kau bertemu dengan Tiangsun Pek?" Lie It tanya pula.

"Dikaki gunung Thian San kita," Hie Bin mendahului menyahut, "didalam kemahnya orang Uighur. Ketika itu bibi tidak seperti sekarang ini. Ayah, kau tidak tahu, justeru itu malam aku ditangkap kedua pengawal raja."

"Aku telah mendengar hal itu dari ibumu," kata Lie It. "Sekarang kita mengandal pertolongan, bibimu maka kita bebas dari malapetaka. Kau masih belum menghaturkan terima kasih "

Anak itu mengerti, dia berlutut dan mengangguk- angguk kepada Nona Bu.

"Bibi, terima kasih!" katanya. "Sampai aku besar tidak nanti aku melupai kau! Sebenarnya paling baik jikalau kau dapat tinggal bersama-sama kami! Jikalau ibuku mendapat tahu kau yang telah menolongi aku, pasti ia bakal jadi girang dan menyukai kau!"

Hian Song tarik anak itu.

"Sungguh satu anak yang cerdik!" katanya tertawa. "Apakah namanya?"

"Hie Bin," Lie It memberi tahu. "Anak, aku juga suka padamu!" si nona kata. "Nanti setelah kau besar baru aku menemui pula padamu”.

Anak itu nampak berduka. "Bibi. adakah kau hendak pergi?" tanyanya.

Hian Song mengangguk. "Benar. Aku mau pergi sekarang!"

"Apakah bibi tidak mau menunggu sampai kau bertemu dengan ibu?"

"Anak yang baik, aku minta kau saja yang menyampaikan hormatku kepada ibumu itu! Dapatkah kau mengingatnya?"

"Habis, apa aku mesti bilang pada ibu? Jikalau ibu ketahui kaulah yang telah menolongi aku, nanti ibu menyesalkan aku sudah tidak minta kau menanti. Jangan kau anggap ibu galak, sebenarnya dia sangat menyintai aku. Kau begitu baik terhadap aku, maka ibu tentunya akan bersyukur."

"Aku tahu," kata Hian Song bersenyum. "Kau bilangi ibumu bahwa bibimu mengharap dia hidup berbahagia, agar segala keinginannya dapat terwujudkan!"

Anak itu mengangguk.

"Ya, aku nanti ingat," sahutnya. "Eh, ya, bibi, aku lihat kau tertawa tidak wajar, apakah kau bukannya merasa kurang senang?"

"Kau menerka kelirul" Hian Song tertawa. "Aku senang sekali."

Tetapi bocah itu tidak menduga keliru. Lie It telah berdiam sekian lama, hatinya menjadi sedikit tenang.

"Kalau orang tua lagi berbicara. anak kecil tidak boleh campur-campur," katanya. Terus ia tanya si nona: "Kau jadinya pernah pergi ke Thian San?"

"Benar," Hian Song membilangi terus-terang. "Disana aku bertemu adik Pek. Ketika itu si Bin sudah diculik. Malam itu adik Pek memakai obat untuk menukar warna kulitnya, baru dipertemuan yang ke-dua kali aku mengenali dia."

"Oh!" kata Lie It seorang diri. Sekarang baru ia mengerti kenapa waktu ia mengambil keputusan pergi sendiri menolongi anaknya, Tiangsun Pek nampak berkuatir, rupanya itu disebabkan dia kuatir ia nanti bertemu dengan Hian Song.

"Kalau begitu, untuk menolong si Bin, kau telah menyamar jadi selir Khan?" kata Lie It pula. "Bagaimana duduknya itu?"

Hian Song tuturkan apa yang ia atur dan kerjakan. Lie It kagum mendengar ceritera si nona.

Girang Hie Bin mendengar sang bibi mempermainkan Khan Turki, dia saban-saban tertawa.

"Meski begitu," kata Hian Song kemudian, "datangku kenegara Turki ini untuk menjalankan titahnya bibiku buat mencari kau, untuk mengajak kau pulang."

"Aku tahu itu. Aku tidak mau pulang!"

"Tetapi, kali ini keadaan lain," Hian Song bilang. "Bibiku itu telah mengambil keputusan untuk menyerahkan takhta-kerajaan kepada Louw Leng Ong dan kau diminta pulang untuk membantu pangeran itu. Bukankah kau bercita-cita supaya turunan sah dari Kerajaan Tong yang tetap memegang tampuk pemerintahan? Sekarang ini negara tetap milik Keluarga Lie, kenapa kau ingin berdiam dinegara asing sampai harimu yang terakhir?"

"Selama beberapa tahun ini ludas sudah semangatku," sahut Lie It menghela napas. "Sekarang aku tidak perdulikan raja she Bu atau she Lie, dua-duanya juga baik! Tak mau aku terlihat lagi urusan itu. Ah, kau tidak ketahui hatiku. Aku ingin dapat melupakan segala peristiwa dulu itu, dan juga aku ingin orang tidak tahu akan diriku! Aku tidak mau pulang lagi!"

Hian Song berdiam. Ia dapat mengerti hati pangeran ini. Lie It tidak mau pulang bukan sebab urusan siapa menjadi raja, dia hanya ingin menyingkir dari ianya, menyingkir juga dari Siangkoan Wan Jie, supaya dia tak terluka pula hatinya.

"Sebenarnya dua hari yang lalu, aku pernah memikir untuk pulang," Lie It berkata pula. "Sekarang aku bertemu sama kau dan kau mau pulang, tak usahlah aku turut. Jadi tak usah aku pulang sendiri!"

"Kenapa begitu?" si nona tanya.

"Kau telah ketahui sekongkolnya Bu Sin Su, kakak sepupumu itu dengan Khan Turki, maka kau saja yang pulang dan menyampaikannya kepada bibimu itu. Dia pasti bakal mempercayaimu "

Hian Song berdiam.

"Berpisah cara begini pun baik," katanya kemudian. "Akhir-akhirnya kita bertemu juga. Melainkan sayang Wan Jie, dia sangat ingin bertemu dengan kau tetapi tidak dapat ...''

Mendengar disebutnya Wan Jie, hati Lie It berdebaran.

"Bagaimana Wan Jie sekarang?" ia tanya. "Katanya dia terang bintangnya dan bakal lekas menikah. Benarkah itu?"

"Siapakah yang membilangi kau hal dia itu?" "Tiangsun Tay."

"Oh, kiranya dia pun datang kemari! Apa yang dia bilang bukannya tidak beralasan sama sekali. Hanya Wan Jie dia justeru pusing karena urusannya itu. Sebenarnya Wan Jie telah memesan kata-kata padaku untuk disampaikan kepada kau. Tapi sekarang ini baiklah aku tidak usah menyebutkannya ..."

Lie It berduka.

"Tiangsun Tay tidak dapat dicela," ia kata. "Pada delapan tahun dutu aku telah mendo'akan agar Thian melindungi Wan Jie supaya dia mendapatkan pasangan yang cocok dengan hatinya. Tentang aku sendiri, biar bagaimana, aku memandang dia seperti adikku sendiri, semoga dia hidup berbahagia!"

Hian Song menghela napas.

"Kau menduga keliru," katanya. "Orang dengan siapa Wan Jie dapat menikah bukannya Tiangsun Tay. Maka itu dia ingin sekali dapat berbicara dengan kau, agar dapat dia mengambil keputusannya. Tapi urusan ini baiklah kita jangan bicarakan pula."

Lie It heran. "Kalau dia bukannya Tiangsun Tay, habis siapakah?" ia tanya dalam hatinya. "Kalau ia tidak menyintai orang itu, kenapa ia berdua sekarang? Ia berhati keras, ia pun. pintar dan cerdas, jikalau ia tidak mau menikah, siapa dapat memaksanya?"

Heran Lie It. Sebenarnya ingin ia menanya Hian Song. Tapi ia ingat yang ia telah beristeri dan mempunyai anak, dan Hian Song pula tak sudi menyebut-nyebutnya pula, terpaksa ia berdiam saja.

"Baiklah," kata Hian Song. ”Sekarang pergi kau cari adik Pek aku pun mau pulang ke Tiang-an”.

Meski ia berkata begitu, Hian Song pikir mau juga memberitahukan si pangeran bahwa Tiangsun Pek telah meninggalkan gunung Thian San, atau ia menjadi batal karena tiba2 ia melihat dua orang berlari-lari keras bagaikan bergeraknya bayangan. Mulanya mereka itu nampak kecil sekali, hitam belaka, atau dilain saat ia menjadi terperanjat.

"Pek Yu Siangjin dan Thian Ok Tojin!" serunya terkejut.

Baru kata-kata itu habis diucapkan atau kedua orang itu sudah sampai. Segera terdengar tertawanya Pek Yu yang berkata: "Aku mau lihat apakah kamu dapat kabur kelangit!"

Mereka itu tertahan dimuka pintu, sia-sia mereka menanti, panggilan Khan tetap tidak kunjung tiba. Mereka mengulangi minta bertemu, tetap mereka tidak memperoleh jawaban. Karena itu, mereka jadi heran. Pek Yu habis sabar, dengan mengandal kepada kedudukannya sebagai Guru Negara, dia paksa membuka pintu, akan bersama Thian Ok nerobos masuk. Akhirnya mereka menjadi heran. Khan dan Maican kedapatan sebagai kurban-kurban totokan dan Lie It bersama selir yang baru tak nampak mata-hidungnya. Dalam kagetnya, mereka lantas menolongi dua orang kurban totokan itu.

Baru Khan dapat ditolong, Kakdu muncul bersama sejumlah pengawal, maksudnya untuk melindungi junjungan mereka, maka sekalian saja mereka menuturkan bagaimana Lie It serta Hian Song dapat lolos dari istana.

Khan kaget dan gusar, lantas dia menugaskan Pek Yu Siangjin dan Thian Ok Tojin menyusul kedua orang buronan itu. Mereka ini cerdik, mereka menyusul dengan memperhatikan mengikuti tapak kaki kuda, sampai dikaki bukit, Thian Ok lantas mendapat lihat dan mengenali Hian Song sebagai si selir baru, dari itu, mereka mendaki gunung, untuk menyusul terus, hingga akhirnya, mereka lantas mengambil sikap mengurung dua orang pelarian itu.

Belum berhenti ejekannya Pek Yu itu, mendadak terdengar suara menggelegar. Tahu-tahu ada batu besar seperti batu penggilingan menggelinding jatuh dari atas gunung. Syukur ada suara berisik itu, Thian Ok menjadi dapat lompat menyingkir. Dia baru bebas, Atau turun pula batu yang ke-dua, disusul dengan yang ke-tiga, hingga dia menjadi repot. Tentu sekali, biarnya gagah, imam ini tidak berani melawan batu itu.

Itulah Lie It dan Hian Song yang mengguling- gulingkan batu, untuk mencegah Pek Yu Siang jin dan Thian Ok Tojin datang dekat pada mereka. Berisik suara jatuhnya semua batu itu, yang menggelindingnya pun menggempur hancur pada es, yang pecah dan muncrat. Karena ini, Thian Ok lantas berkaok-kaok. Dia tidak ketimpa batu tetapi terkena percikan potongan es itu, yang mendatangkan rasa sakit, hingga dia kewalahan terkena belasan kali.

Pek Yu dapat membebaskan diri, dia bukan mendamprat, dia justeru tertawa besar dan berkata nyaring: "Kamu menggunai batu! Dapatkah kamu mencegah aku!"

Lantas pendeta ini mengibas-ngibas dengan jubahnya yang gerombongan. Hebat jubahnya itu, potongan es bisa disampok mental, sedang setiap batu yang menimpa kearahnya, sambil berkelit, ia tolak dengan tangannya, membikin batu menggelinding disampingnya. Sembari berbuat begitu, ia mendaki terus. ilmu ringan tubuhnya mahir sekali.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar