Pendekar Aneh (Lie Tee Kie Eng) Jilid 16

 
KETIKA Lie It turun dari gunung, ia mampir pada seorang pemburu dikaki gunung, untuk membeli seekor kuda dan pakaian, guna mendandankan diri sebagai seorang pemburu juga.

Ia pun memiara kumis serta memakai obat kulit, hingga ia menjadi lebih tua sepuluh tahun.

Untuk segera sampai dikota raja Thian-hee, guna menolong anaknya, ia mengasi kudanya lari keras dan terus-menerus, maka waktu itu hari ia sampai ditepi kali, ia lantas berhenti.

Kudanya kurang makan dan minum, napasnya memburu keras, mulutnya berbusa, maka kali itu bagaikan emas ditemukan pengemis, Lie It sendiri pun girang.

Ketika ia sudah lompat turun dari kudanya, ia tuntun binatang itu ketepian, untuk mengasi dia minum.

Justeru itu, Lie It mendengar suara kelenengan unta, ketika ia berpaling, ia melihat dua orang dengan pakaiannya yang luar biasa, mata mereka itu dalam, hidung mereka bengkok, kepala mereka digubat kain putih.

Berdua mereka menaiki sebuah unta. Mereka pun menghampirkan kali.

Mereka tak miripnya orang Uighur yang kebanyakan.

Dua orang itu lompat turun dari unta mereka, untuk mengeluarkan kantung air, untuk mengisikan itu.

Ketika mereka melihat Lie It, agaknya mereka heran, hanya sejenak mereka ragu-ragu, lantas mereka menaiki unta mereka.

Kelihatannya mereka tidak suka bertemu orang asing.

Biasanya digurun pasir, bila dua orang atau dua rombongan orang saling bertemu, keduanya girang sekali, senang mereka berkumpul, untuk berjalan bersama, maka heran dua orang ini, tidak saja mereka tidak bergirang, bahkan mereka mau mengasingkan diri.

Lie It menghampirkan, untuk menanya mereka. Ia menggunai bahasa Uighur.

Mereka itu seperti tidak mengarti bahasa Uighur, mereka mengeluarkan kata-kata yang tidak terang, mereka menggeleng geleng kepala, tanpa menanti Lie It datang dekat, mereka lantas pergi dengan unta mereka.

Lie It heran dan otaknya bekerja.

"Mungkin mereka dua orang saudagar yang datang dari Khorezmia," pikirnya.

Khorezmia sebuah negara besar di Asia Tengah, dia bukan jajahan Thian-hee Turki itu, akan tetapi setiap tahun dia mengantar upeti, untuk mengambil hati, karena kuatir negerinya nanti diserang.

Karena ini, saudagar-saudagar kedua pihak mempunyai perhubungan dagang satu dengan lain, sedang orang-orang asing yang berdagang dinegara Thian-hee itu, dalam sepuluh ada delapan atau sembilan yang mengerti bahasa Uighur.

Maka itu aneh dua orang asing ini.

Lie It tidak dapat memastikan apa orang cuma berpura-pura saja.

Ia merasa tidak enak hati, karena orang tidak mau meladeni ia, ia terpaksa mengundurkan diri, akan mengawasi kudanya minum dan makan rumput ditepi kali itu, ia sendiri duduk beristirahat dibawah sebuah pohon.

Dua orang asing itu serta untanya jalan belum jauh, tiba-tiba diudara terlihat dua ekor burung nasar, yang terus mengasi dengar suaranya, hingga Lie It membuka kedua matanya.

Kedua ekor burung itu justeru menyamber kearah untanya kedua saudagar itu, karena dipunggung unta ada tergantung deng-deng kerbau. Burung itu saking lapar-nya turun menyamber, hebat caranya.

Atas samberan burung itu, dua orang saudagar itu berkelit miring kekiri dan kanan, kaki mereka menunjang, dengan berbareng mereka menghunus golok, membacok burung yang pertama. Sang burung berkelit, tetapi dia telah kena samber bungkusan, yang talinya putus, hingga bungkusan itu terbuka, isinya jatuh berserakan.

Burung yang ke-dua menyamber juga tetapi disambut golok, dia terbang menyingkir.

"Hebat dua saudagar itu," pikir Lie It.

Ketika ia melihat kepada barang yang jatuh, ia terkejut.

Ia mengenali tanduk badak, suatu bahan obat-obatan yang mahal.

"Ah, kiranya mereka saudagar obat-obatan! Mungkin mereka menyangka jelek padaku maka mereka lantas menyingkir, mereka takut dirampas barang! Hanya, dengan kegagahan mereka, kenapa mereka jeri terhadap aku satu orang?"

Kedua burung itu penasaran, setelah berputaran diatasan kepala orang, keduanya turun pula, untuk menyamber lagi.

Sekarang kedua saudagar itu sudah siap-sedia. Mereka menyerang sebelum tersamber.

Tangan mereka diayun keatas, dua batang golok terbang naik.

Tapi kedua burung itu dapat mengelakkan diri, bahkan mereka mencoba mencengkeram kedua batang golok tu.

Kedua saudagar liehay, setelah goloknya yang pertama, menyusul yang kedua, atas mana kedua burung berbunyi tak hentinya, rupanya keduanya terluka.

Lantas menyusul golok yang ke-tiga. Sekarang kedua burung itu tidak berani melawan pula, tapi untuk membela diri, mereka menyampok dengan sayap mereka.

Segera datang golok yang keempat.

Kali ini mereka itu kabur, dengan bersuara nyaring, sebab masing-masing sebelah matanya kena terlukakan.

Kedua saudagar itu memungut golok mereka dan merapihkan juga bungkusannya, untuk terus melanjukan perjalanan mereka.

Lie It juga memikir untuk berangkat ketika ia melihat, dari arah depan, datangnya seorang penunggang kuda, yang memapaki si saudagar, dan selagi mendekati, dia berteriak: "Tinggalkan unta kamu, baru kamu boleh lewat!"

Sebaliknya daripada meninggalkan untanya, kedua saudagar itu justeru mengasi binatang tunggangannya itu lari, untuk menerjang si penunggang kuda.

Rupanya mereka percaya, unta mereka bakal menang.

Si penunggang kuda lompat turun dari kudanya, ia maju kedepan, dengan kedua tangannya, ia menahan serbuan unta, dari mulutnya terdengar bentakan: "Berhenti!" Hebat tenaga orang ini, unta itu tertahan, kedua kakinya bahkan tertekuk, hingga dia tak dapat maju lebih jauh.

Kedua saudagar itu gusar, keduanya lantas  menyerang dengan cambuk mereka.

Pemegat itu tertawa.

"Kamu menghendaki barang atau jiwa kamu?" dia tanya. Sembari berkata begitu, dia menggeraki kedua tangannya, maka setiap cambuk kena ditangkap, terus ditarik, untuk dirampas.

Sekarang Lie It melihat tegas penunggang kuda itu yalah seorang Han.

Ia lantas mengawasi terus.

Dengan cambuk yang ia dapat rampas, penunggang kuda itu membalas mennyambuk.

Kedua saudagar bangsa Khoresmia itu berkelit sambil melompat turun dari unta mereka, lincah gerakan mereka hingga Lie It kagum dan berseru memuji:

"Bagus!"

Begitu lekas mereka sudah berada ditanah, kedua saudagar itu mulai dengan penyerangan membalas mereka.

Empat bilah golok beterbangan saling-susul, menyamber kearah si penunggang kuda yang mau menjadi begal itu.

Lie it telah menyaksikan liehaynya ilmu golok dua orang itu, ia percaya sibegal bakal mendapat bagiannya, akan tetapi si begal sendiri rupanya berpikir lain.

Ia menggeraki cambuknya, menyamber golok yang pertama, yang kena dililit, untuk dilempar.

Maka golok itu mengenai golok yang kedua, hingga terdengar suaranya yang nyaring, lantas mental dan jatuh ketanah!

Golok yang ketiga meluncur terus, disaat mana si penunggang kuda tengah memutar tubuhnya. Ia sangat celi matanya dan sebat gerakannya.

Cambuknya menyamber pula, melilit golok itu, untuk dilempar sebagai yang bermula tadi, maka itu, golok yang keempat, kena dipapaki dan dihajar keras, hingga kedua golok sama-sama jatuh ketanah!

Lie It menjadi kagum sekali.

Sekarang ia menginsyafinya penunggang kuda ini. Untuk di Tionggoan, dialah jago kelas satu.

Pertempuran berlangsung terus.

Si penunggang kuda tidak mau mengerti, dan kedua saudagar penasaran, maka mereka ini melanjuti perlawanan mereka dengan pelbagai serangan golok terbang mereka itu, yang saban-saban kena dipukul jatuh hingga suara golok beradu seperti tak putusnya.

Ketika belasan golok sudah terjatuhkan, kedua pihak menjadi datang semakin dekat satu dengan lain.

Agaknya kedua saudagar itu menjadi berkuatir, mereka menyerang semakin hebat, dengan sisa golok- terbangnya mereka.

Yalah masing-masing memegang enam batang golok, sebelah tangan masing-masing mencekal dua batang, hingga mereka menyerang dengan duabelas batang golok saling-susul dan bergantian.

Si penunggang kuda menunjukkan keliehayannya.

Ia memutar cambuknya, untuk menyambuti setiap golok, guna mencegah golok itu menyamber ketubuhnya.

Tapi serangan golok sekarang demikian rupa, setiap kali golok kena dililit, setiap kali ujung cambuk terpapas kutung, hingga cambuk panjang menjadi cambuk pendek, hingga sebilah golok menyamber terus kearah tubuh.

Akhirnya sebatang golok menyerepet juga kearah pundak.

Si penunggang kuda menjadi gusar.

"Biarlah aku memperlihatkan kamu ilmu golokku!" ia berseru, lantas seruan itu disusul sama gerakan tubuhnya, yang lompat melayang kepada dua saudagar itu. Nyata dia dapat melompat lincah seperti dua lawannya itu tadi. Hanya dia melompat sambil sebelah tangannya menghunus golok dengan apa dia menyerang bagaikan seekor burung menyamber!

Menyaksikan sampai disitu. Lie It menjadi tidak senang.

Ia merasa penunggang kuda ini keterlaluan, sudah mau merampas harta atau barang, dia juga hendak merampas jiwa.

Maka itu ia melompat maju sambil berteriak: "Tahan!"

Tapi ia terlambat, goloknya si penunggang kuda sudah memapas kutung goloknya kedua saudagar itu, yang mana disusul dengan jeritan yang hebat, dan ketika ia telah datang dekat, dua orang itu sudah roboh malang- melintang!

Si penunggang kuda berpaling kapan ia melihat ada datang orang yang ke-tiga.

"Bagus!" dia berseru. "Kau telah melihat, maka kau pun pergilah bersama!" Kata-kata itu ditutup sama serangan.

Lie It tidak mundur, ia menyambut serangan deng tangkisan, maka itu bentrolah senjata mereka. Bukan cuma satu kali, hanya tiga kali bentrokan itu. Sebab si penunggang kuda, setelah gagal bacokannya yang pertama, mengulanginya hingga tiga kali, hingga suara nyaring terdengar tiga kali beruntun juga.

Kesudahannya itu membuat si penunggang kuda kaget.

Goloknya kalah, golok itu kena terbacok rusak oleh pedang lawan.

Karena pedangnya Lie It yalah pedang mustika dari istana kaisar.

Sementara itu Lie It merasa aneh.

Ia sekarang mengenali wajah orang. Ia seperti pernah melihatnya, hanya ia lupa dimana. Ia juga ingat suara orang itu, seperti suara kenalan akrabnya. Maka ia lantas mengingat-ingat.

Penunggang kuda itu, yang gesit gerakannya, tidak mau mengasi ketika kepada Lie It.

Biarpun goloknya telah kena dibikin rusak, dia tidak menjadi takut atau gentar hatinya, bahkan dia maju pula, guna mengulangi serangannya.

Dia pun menggunai golok yang tajam, karena goloknya yalah yang dinamakan golok mustika Ang Mo Poto.

Dengan itu ia membacok berulangulang, bacokan dari pelbagai penjuru. "Bagus!" Lie It berseru. Ia kagum, ia pun tidak takut. Ia menutup diri dengan jurusnya "Kimkong Hok-hoat"

atau "Kimkong melindungi pujaannya," lantas ia membalas menyerang dengan gerakan dari "Heng-cie- thian-lam,"

Melintang-menuding Langit Selatan.

Pertempuran ini seharusnya menyebabkan kedua senjata sering beradu akan tetapi kali ini disamping Lie It berlaku sebat, penunggang kuda itu berlaku gesit luar biasa, tak mau dia mengadu senjata.

Kelihatannya Lie It lebih unggul tetapi sulit untuk ia mengenakan senjata lawan.

Sudah tigapuluh jurus, pemuda bangsawan itu masih tidak dapat merobohkan lawannya.

Hingga ia berpikir: "Coba tidak selama beberapa tahun ini aku telah berhasil menggabung ilmu pedang guru clan mentuaku, mungkin aku bukannya tandingan dia ini..."

Tengah pertempuran itu berlangsung, tiba-tiba orang itu berseru: "Eh! Kita sama-sama orang Han, mengapa kau seperti mempertahankan jiwamu membelai orang- orang Tatar ini?"

"Kau mempunyai kepandaianmu ini, mengapa kau datang ketanah perbatasan ini dimana kau melakukan ini macam pekerjaan membegal?" Lie It balik menanya.

"Hari terang-benderang tetapi kau membunuh orang, itulah perbuatan yang tak dapat diterima Thian! Apakah karena kau orang Han lantas kau dapat berbuat sewenang-wenang?" Belum berhenti suaranya pemuda bangsawan ini atau mendadak orang itu melompat mundur, untuk keluar dari kalangan.

"Kau...! kau! ..." serunya, "kau toh Lie Thian-hee?" Lie It terkejut.

"Kau...kau toh Lam-kiong Siang?" ia pun berseru bertanya.

Orang itu tertawa berkakak, lantas dia melemparkan goloknya.

"Benarlah siauwtee Lam-kiong Siang!" katanya. "Thian-hee, kau membuatnya siauwtee pusing memikirkanmu! Tidak kusangka kita dapat bertemu disini, dinegara asing!"

Ia lantas maju, tangannya dipentang, untuk merangkul.

Lie It mundur, agaknya ia jengah.

Sekarang terbayang tegas roman asli dari Lam-kiong Siang, yang pada delapan tahun yang lampau, waktu mereka bersama-sama berada di istana dan hendak membunuh Bu Cek Thian, beroman bengis dan berewokan.

Dulu hari itu Lie It berdiam dalam tangsi Sin Bu Eng, menempati sebuah kamar bersama Lamkiong Siang, kemudian ia mendapat tahu dari Tiangsun Kun Liang bahwa ayahnya Lam-kiong Siang pernah menjadi hu- ciehui, komandan muda, dari pasukan pengawal Kim- wie-kun dari Kaisar Tong Thay-coqg Lie Sie Bin. Lam-kiong Siang lalu ke kotaraja dengan cita-cita sama dengan cita-citanya Lie It, guna membunuh Bu Cek Thian.

Malam itu Lie It gagal, ia menyingkir dari gunung Lie San, ia melihat Lam-kiong Siang dikurung pengawal- pengawal raja, ia tidak membantui, diluar dugaan, dia dapat lolos dan sekarang mereka bertemu disini.

Inilah sebabnya kenapa ia menjadi jengah sendirinya.

Dulu hari itu Lam-kiong Siang jembrosan, sekarang ia telah mencukur klimis kumis dan jenggotnya itu, pula mereka sudah berpisahan delapan tahun, tidak heran Lie It tidak dapat lantas mengenalinya.

Begitu juga dengan Lam-kiong Siang, karena Lie It sekarang miara kumis dan kulit mukanya telah di rubah.

Adalah suara mereka, yang membikin mereka mengenali satu dengan lain, dan Lam-kiong Siang ingat ilmu pedangnya pemuda bangsawan itu.

Lam-kiong Siang tertawa dan berkata: "Sekarang ini jaman kacau maka jiwa manusia bagaikan jiwa semut! Bukankah siapa berhasil dia menjadi raja dan siapa gagal dia menjadi berandal? Siapakah tidak membunuh orang hingga mayat-mayat memenuhkan kota dan tegalan? Aku baru membinasakan dua saudagar, apakah artinya itu?"

Lie It tidak setujui sikap orang ini tetapi ia membungkam, tidak mau ia menegur.

Mereka lantas memberi hormat satu pada lain. "Saudara Lam-kiong, kapannya kau tiba di Utara ini?" kemudian Lie It tanya. "Kenapa saudara hendak membinasakan dua orang ini?"

"Ketika dulu hari itu aku gagal membunuh Bu Cek Thian, syukur aku dapat lolos," berkata Lam-kiong Siang, menyahuti. "Mulanya aku berniat pergi kepada Eng Kok- kong akan tetapi belum lagi aku sampai di Yangciu, aku mendengar kabar bahwa raja-muda itu sudah hancur luluh gerakannya dan pemerintah lagi bekerja keras untuk menawannya, maka terpaksa aku kabur kewilayah ini. Meskipun sekarang aku terlunta-lunta, belum padam cita-citaku untuk membangun pula Kerajaan Tong. Thian- hee, kapankah Thian-hee sampai disini? Apakah ada niat dari Thian-hee?"

"Hatiku telah menjadi dingin sekarang," Lie It menjawab. " "Setelah hari itu gagal, aku langsung menyingkir kemari. Semenjak itu, delapan tahun sudah lewat. Selama delapan tahun itu aku tinggal menyendiri digunung Thian San, tidak ada niatku lagi untuk mengurus urusan dunia."

"Kenapa Thian-hee menjadi tawar hati?" berkata Lam- kiong Siang tertawa.

"Sekarang ini justeru ada ketikanya yang baik!" "Apakah itu?"

"Thian-hee besar dari Turki hendak menggeraki angkatan perangnya menyerbu Tiongkok, apakah Thian- hee masih belum mendapat tahu?" Lam-kiong Siang tanya.

"Pernah aku mendengar kabar anginnya. Apakah hubungannya itu dengan kita?" "Ada hubungannya, Thian-hee. Bu Cek Thian telah merampas pemerintahan untuk banyak tahun, menteri- menteri lama dari Pemerintah Tong tetap tidak puas, maka itu mereka hendak menggunai ketika ini untuk bekerja sama, yang satu bekerja dari luar, yang lain menyambut dari dalam! Dengan begitu kenapa kita harus menguatirkan pemerintah palsu itu tidak akan runtuh?"

Hati Lie It terkesiap. Inilah hebat.

Tentu sekali tak ia setujui sikap menteri-menteri lama. itu bekerja sama bangsa Turki.

Itulah berbahaya.

Tapi ia baru bertemu sama Lam-kiong Siang, tidak mau ia menegur.

Lam-kiong Siang pun tidak melihat perubahan airmuka orang.

"Barusan aku membinasakan dua orang ini pun untuk usaha itu," berkata pula dia.

Lie It mengasi lihat roman heran.

"Turki mau berperang dengan Tiongkok, apakah hubungannya itu dengan dua orang saudagar Khoresmia ini?" ia tanya. "Sebenarnya kenapakah kau membinasakan mereka?"

"Thian-hee dari Turki hendak menggeraki angkatan perangnya, untuk itu ia perlu mencari orang-orang pandai dan gagah," menyahut Siangkoan Lam.

"Turut apa yang aku tahu, orang-orang gagah dari negara-negara !ainnya yang datang untuk menghamba, jumlahnya tidak sedikit. Begitulah sudah ditetapkan akan diadakannya suatu rapat besar bertepatan sama  hari raya Mencabut Hijau."

Hari raya itu suatu hari raya besar, disaat ladang hijau merata, maka rakyat Turki pergi mencabut rumput untuk memelihara ternak mereka, untuk semacam selamatan.

Kata-kata hijau itu berarti rumput. Dengan itu rakyat memohon perlindungan dewa-dewa agar ternak mereka, kerbau dan kambing, hidup subur.

"Bukankah saudara Lam-kiong, berniat mengambil bagian dalam rapat itu?" tanya Lie It.

Ia ketahui tentang hari raya itu, yang waktunya bakal lekas tiba.

"Benar," Lam-kiong Siang menyahut. "Tapi aku orang Han, aku kuatir aku tidak dipercaya, maka itu, aku membutuhkan orang yang dapat menjadi perantara serta juga barang bingkisan untuk dapat menghadap. Apakah Thian-hee ketahui apa pekerjaanku selama beberapa tahun ini?"

"Jikalau kau tidak menjelaskan, mana aku ketahui?" Lam-kiong Siang tertawa.

"Aku melakukan pekerjaan tanpa modal!" katanya. "Setelah kabur kemari, aku lantas menggabungkan diri dengan sekelompok orang Kang-ouw yang merantau kesini, kami melakukan usaha di Jalan Hitam. Tentu saja itulah usaha sangat terpaksa! Mana bisa aku menjadi berandal untuk selama-lamanya? Sebenarnya, Thian-hee, aku hendak menghadiri rapat itu. Aku mendapat tahu tentang guru besar dari Thian-hee Turki, dia berpengaruh tetapi tama, katanya anaknya lagi menderita sakit bengek, sudah sekian lama belum juga sembuh, maka aku memikirkan obat untuk penyakit itu. Kebetulan sekali aku mendengar kabar diuga tentang dua saudagar ini. Mereka mengerti silat, hati mereka besar, dari Khoresmia mereka membawa bahan obat-obatan mereka, diantaranya ada obat bengek yang Turki kekurangan sangat, dari itu aku lantas susul mereka, guna merampas obatnya. Aku tidak menduga sama  sekali yang mereka berani nekat mengadu jiwa! Haha! Hitung-hitung mereka apes!"

Lie It tidak puas.

Tidak ia sangka orang demikian telengas. Tapi ia berdiam saja.

"Sekarang Thian-hee mau pergi kemana?" Lam-kiong Siang tanya kemudian.

"Aku ingin melihat-lihat kotaraja Turki," Lie It menjawab.

"Bagus, Thian-hee!" Lam-kiong Siang berseru. "Inilah ketika baik yang tak dapat dilewatkan! Kenapa Thian-hee tidak mau bekerja bersama-sama aku? Mari kita menghadap Thian-hee yang agung! Orang dengan kedudukan sebagai Thian-hee, pastilah dia bakal menyambutnya dengan girang! Kalau nanti kekuasaan Bu Cek Thian dapat diruntuhkan, maka takhta kerajaan Tong pastilah bakal menjadi kepunyaan Thian-hee!"

Didalam hati, Lie It mentertawakan orang kang-ouw yang buntu jalan ini.

Ia kata didalam hati: "Thian-hee Turki jauh terlebih cerdik daripada kau! Dia memang sudah lama hendak memakai tenagaku! Maka tak perlu aku dengan ajakanmu ini! Urusan menggulingkan Kerajaan Ciu ada urusan lain. Mana dapat kita membantu Turki menerjang dan merampas negeri kita sendiri?"

Hampir Lie It memberi penjelasan kepada Lam-kiong Siang, lalu disaat terakhir, ia dapat memikir lain.

Ia berpikir pula: "Sudah banyak tahun Lam-kiong Siang berdiam disini, tak pernah dia melupakan Tionggoan kemana dia ingin kembali, untuk bangun pula! Dia hendak menunjang aku, itulah tak lain tak bukan, sunaya dia dapat maju! Orang dengan sifat semacam  dia, sukar untuk dikasi mengerti atau dibikin tunduk, dari itu, baiklah aku tutup rahasiaku sendiri, supaya tidak menjadi bocor. Aku mau pergi kekota raja, guna menolongi anakku, mengapa aku tidak mau menggunai orang ini sebagai alat?"

Lam-kiong Siang mengawasi Lie It, ia melihat mata orang memain, suatu tanda belum adanya ketetapan, maka ia menjura dan berkata: "Thian-hee, inilah ketika baik yang dalam seribu tahun sukar didapatnya, jikalau ini dikasi lewat, kita akan menyesal setelah kasip. Umpama kata Thian-hee tidak memikir untuk menjadi raja, apakah Thian-hee tidak menginginkan bangunnya pula Kerajaan Tong yang maha besar? Maka itu aku harap Thian-hee jangan bersangsi pula."

"Saudara Lam-kiong," kata Lie It, "kau begini setia kepada Keluarga Tong, sungguh kau harus dikagumi dan dipuji. Mustahil aku tidak memikir untuk bangkitnya pula Kerajaan Tong? Hanyalah sekarang ini kita masih belum tahu betul hatinya Thian-hee Turki! Orang dengan derajat sebagai aku, jikalau aku lancang menghadap padanya, sukar untuk ditentukan itu bakal menjadi keberuntungan atau bencana ..."

"Aku memikir sebaliknya, Thian-hee," berkata Lam- kiong Siang. "Turki suatu negara di Barat, umpamakata dia berhasil menyerang masuk ke Tionggoan, pastilah sukar dia memerintahnya, dari itu aku mau menduga, pastilah dia bakal mengangkat salah satu putera atau cucunya Seri Baginda almarhum untuk menjadi kaisar. Kenapa Thian-hee masih banyak curiga?"

"Walaupun demikian, saudara harus ingat tabiatnya bangsa Tatar itu yang suka putar-balik," Lie It memperingati. "Pula dengan aku pergi padanya, untuk memohon bantuan, itu berarti aku menghilangkan martabatku."

"Tetapi ketika yang baik dapat dilenyapkan, Thian- hee! Baiklah kita berdua pergi bersama, untuk mencari tahu biar terang kehendaknya Thian-hee, sesudah itu baru Thian-hee memperkenalkan diri. Dengan begitu kita masih belum terlambat."

Lie It menatap dengan matanya yang tajam.

"Dapat aku pergi bersama-sama kau tetapi kau mesti berjanji padaku," ia kata.

"Silakan Thian-hee menitahkannya!"

"Kau tidak dapat membocorkan tentang diri asalku! Aku hendak menggunai kepandaianku untuk membikin Thian-hee percaya dan membutuhkan tenagaku. Dengan begitu, kalau nanti kita sudah berhasil, Thian-hee tidak akan memandang rendah padaku."

Lam-kiong Siang bertepuk tangan tertawa. "Demikianlah seharusnya perbuatan seorang gagah!" serunya.

"Masih ada satu lagi!" Lie It berkata pula. "Bu Cek Thian mempunyai banyak kaki-tangan liehay, jikalau dia mendapat tahu aku berada didalam angkatan perang Turki, ada kemungkinan dia nanti menugaskan orang untuk membunuh aku, maka itu tentang diriku ini, tidak cuma Thian-hee tidak harus tahu, juga terhadap lain orang mesti dirahasiakan!"

Lam-kiong Siang senang untuk memberikan janjinya.

Ia beranggapan, dengan begitu ia menjadi orang kepercayaannya orang bangsawan ini.

Tidak ayal lagi ia memberikan janjinya seraya mengangkat sumpah yang berat.

Habis itu, Lam-kiong Siang lantas bekerja.

Ia mengasi turun muatan dari punggung unta, untuk memilih bahan obat bengek atau asma yang paling manjur, yang ia pindahkan kekuda tunggangannya sendiri, sesudah selesai, bersama Lie It ia melanjuti perjalanannya.

--o^Kupay^0^DewiKZ^o---

"KAU tadi membilang ada orang yang akan memujikanmu, siapakah dia?" tanya Lie It. "Dialah seorang gagah Rimba Persilatan yang aku kenal begitu lekas aku tiba digurun Utara ini." menjawab orang yang ditanya.

Benar selagi ia berkata begitu. berdua mereka mendengar suara kelenengan kuda diarah belakang mereka. Lam-kiong Siang segera berpaling, lantas dia tertawa nyaring dan berkata: "Nah, itulah toako yang datang!"

"Ingat," kata Lie It cepat. "namaku Siangkoan Bin, dan jangan kau memanggil thianhee pula!"

Lam-kiong Siang heran hingga dia melengak, tetapi cuma sekejab, dia lantas mengerti. Bukankah pangeran ini hendak merahasiakan dirinya? Jadi harus ia menukar she dan nama.

Ketika itu si penunggang kuda sudah sampai. Dialah seorang tua dengan "kepala seperti kepala macan-tutul, dan hidung seperti hidung singa," sepasang matanya sangat tajam, sedang tangannya mencekal sebatang huncwee, atau pipa, panjang tiga kaki dan besarnya luar biasa, huncwee mana disedot hingga terdengar suara sedotannya yang nyaring serta apinya marong merah.

Lam-kiong Siang berlaku sangat hormat kepada orang tua itu, sebagaimana dia sudah lantas lompat turun dari kudanya untuk menyambut.

Lie It juga turut turun dari kudanya.

"Toako, dua orang saudagar dari Khoresmia itu" kata Lam-kiong Siang, untuk memberi penjelasan.

"Tunggu dulu!" berkata orang tua itu, cepat dan keras. "Siapa dia ini?" Ia lantas menunjuk pada Lie It.

"Dialah saudara angkatku, Siangkoan Bin," menjawab Lam-kiong Siang.

"Ah, saudara-angkatmu! Dia kerja apa?"

"Kami justeru berniat pergi kekotaraja, untuk mencoba mencari kedudukan," Lam-kiong Siang menjawab pula. "Tentang kakakku ini belum aku beritahukan kepada toako, aku minta ... aku minta... "

Kedua matanya orang tua itu terbuka lebar.

"Aturan perkumpulan kami tidak dapat diubah, jangan banyak omong!" berkata dia, memotong kata-katanya Lam-kiong Siang, seraya dia bertindak maju.

Lie It heran hingga ia berpikir: "Aku bukan anggauta perkumpulannya, buat apa dia bicara tentang aturan perkumpulannya itu?"

Sejenak itu, si orang tua telah berubah pula sikapnya.

Mendadak dia tersenyum dan tangannya diulur seraya dia berkata: "Saudara Siangkoan, aku merasa beruntung dengan pertemuan kita ini!"

Lie It tidak menyangka orang bersikap demikian, kasar lalu hormat, tentu sekali ia mesti menyambuti uluran tangan itu.

Baru mereka saling pegang atau ia merasakan tangan si orang tua keras mirip cengkeraman baja, memencet nadinya.

Segera ia menginsafi bahwa orang tengah menguji padanya. Lekas-lekas ia mengelakkan tangannya, hingga tenaga kuat itu tersalurkan lewat dan tangannya pun bebas.

"Bagus!" berkata si orang tua dengan pujiannya. "Sekarang berhati-hatilah menyambut aku sepuluh jurus!" Perkataannya ini segera diikuti gerakan pipanya itu, yang disodokkan kejalandarah soan-kie-hiat didada orang.

Lie It membikin dada dan perutnya kempes, dengan begitu bebaslah ia dari totokan huncwee itu, kecuali abu pipa membikin kotor bajunya.

Cepat seperti badai, huncwee orang tua itu datang pula.

"Toako, berlakulah murah!" berseru Lam-kiong Siang, saking kaget.

Percuma permintaan itu. Ketika Lie It bisa berkelit pula, si orang tua mengulangi lagi serangannya, lantas diulangkan dan diulangkan pula, sebab dia mau membuktikan ancamannya yang terdiri dari sepuluh jurus yang diucapkan itu.

Lie It repot menangkis. Berbareng, hatinya pun menjadi panas.

Ia kata didalam hatinya itu: "Kenapa ini tua-bangka begini tidak memakai aturan?"

Maka ia lantas menggunai kepandaiannya, untuk melayani.

Baru tiga jurus, ia sudah menghunus pedangnya.

Ia merasa berbahaya untuk terus melawan huncwee dengan tangan kosong. Ia lantas mengambil sikap membalas menyerang, untuk sambil menyerang membela diri, hingga pedangnya menjadi bersinar berkilauan.

Orang tua itu mencoba mendesak, tetapi ia sekarang mesti menangkis juga, dari itu, beberapa kali senjata mereka beradu hingga mendatangkan suara.

Segera ternyata, Lie It kena di desak.

Biarpun ia liehay ilmu pedangnya, ia toh cuma sanggup membela diri saja.

Pipa si orang tua luar biasa besar, maka itu pipa itu muat banyak tembakau melebihkan pipa lainnya, karena mana, meski mereka sudah bertempur lama, apinya pipa masih belum padam, sudah begitu, selagi berkelahi, si orang tua mendadak menyedot pipanya terus menyemburkan asapnya, hingga asap yang tebal berupa bagaikan mega, hingga Lie It sukar melihat tegas kemana perginya ujung huncwee.

Dalam kagetnya, ia lantas menutup diri dengan melindungi pedangnya. Inilah jurus ajarannya Ut-tie Ciong, untuk melindungi diri. Karena ini, berulangkali ia dapat menangkis totokan, hingga berulangkali juga terdengar tangtingtongnya senjata - bentrokan huncwee dan pedang.

Tengah Lie It repot itu, sekonyong-konyong si orang tua melompat mundur, keluar dari kalangan, sambil tertawa terbahakbahak, ia kata nyaring: "Sudah cukup sepuluh jurus! Tuan, kau benar liehay, kaulah orang gagah dijaman ini!"

Lie It heran untuk sikap orang akan tetapi ia masuki pedangnya kedalam sarungnya, lantas ia memberi hormat seraya berkata: "Lo-enghiong, banyak terima kasih! Kau terlalu memuji! Syukur kita cuma main-main sepuluh jurus, jikalau lebih daripada itu, sungguh aku bukanlah lawan lo-enghiong."

Orang tua itu tertawa pula.

"Tuan, harap kau jangan menyesalkan aku," katanya. "Kali ini kita bakal pergi ke kotaraja, disana kita bakal menghadapi orang-orang gagah dari pelbagai penjuru, karena kau turut dalam rombongan kami, walaupun kau bukan anggauta, kau toh termasuk kawan seperjalanan juga. Itulah sebabnya mengapa aku menjadi berlaku lancang menguji kepandaianmu."

Baru sekarang Lie It mengerti kelakuan kasar orang tua ini, yang ia duga ada menjadi ketua sebuah perkumpulan besar, jadi dia sungkan berjalan bersama- sama sembarang orang muda.

Lam-kiong Siang juga baru mengerti kelakuan kasar si orang tua, ia menyusuti peluhnya dengan hatinya menjadi lega, dengan girang ia berkata: "Jikalau saudaraku ini bukannya pintar iImu suratnya dan pandai ilmu silatnya, mana berani aku berjalan bersama-sama ia? Aku percaya sekarang toako telah dapat melegakan hatimu!"

Lie It memberi hormat pada orang tua itu, yang membalasnya, lalu dia menanya: "Bolehkah aku mengetahui she dan nama besar dari lo-enghiong serta mengetahui juga dimana adanya perkumpulan lo- enghiong?"

Lam-kiong Siang mendahului orang itu menyahut dengan berkata: "Toakoku ini yalah Thia Pangcu dari Hok How Pang yang dulu hari berkenamaan di Tionggoan." Mendengar itu, Lie It terkrjut dalam hatinya.

"Jadinya dialah Thia Tat Souw," pikirnya. "Syukur anaknya tidak berada disini"

Anaknya Tat Souw itu yalah Thia Kian Lam yang dulu hari mencoba merampas kitab ilmu pedang dari tangan Lie It, benar Lie It sudah menyamar, jikalau Kian Lam ada bersama, mungkin anaknya pangcu itu mengenali juga padanya.

"Harap kau tidak mentertawainya tuan." berkata Tat Souw. "Hok Houw Pang telah didesak seorang wanita hingga dia mesti pindah ketanah perbatasan ini."

Lie It heran.

"Siapakah wanita itu yang demikian liehay?" ia tanya. Tat Souw mengertak gigi.

"Dialah siluman satu-satunya yang pernah ada semenjak dulu kala!" katanya sengit. "Dialah si raja perempuan palsu Bu Cek Thian dari kerajaan Ciu!"

Bu Cek Thian hendak membasmi segala perkumpulan orang Kang-ouw, katanya untuk menolong rakyat dari penindasan pelbagai perkumpulan itu, maka itu Hok Houw Pang yalah salah satu perkumpulan yang dibersihkan, karena tak dapat menaruh kaki lagi di Tionggoan, Tat Souw terpaksa pindah ke Wilayah perbatasan ini.

Lam-kiong Siang hendak menumpang kepada Thia Tat Souw, pada tiga tahun dulu dia datang mencarinya dan sekarang dia menjadi hu-pangcu, ketua muda dari partai itu. "Tuan Siangkoan," berkata Tat Souw, "apakah tuan sekeluarga dengan Siangkoan Gie bekas menteri setia dari Kerajaan Tong?"

Lie It mengaku she Siangkoan cuma disebabkan ia ingat Siangkoan Wan Jie dan namanya, Bin, ia ambil dari nama anaknya, maka itu, atas pertanyaan ketua Hok Houw Pang ini, ia menyahut: "Dialah paman tua sepupuku.”

"Jikalau begitu, tidak heran tuan pun menyingkir kemari," kata Tat Souw.

Walaupun ia mengatakan demikian dan hatinya sedikit lega, ketua Hok Houw Pang ini tidak lenyap antero kecurigaannya terhadap Lie It.

Inilah disebabkan sampai sebegitu jauh Lam-kiong Siang belum pernah omong kepadanya bahwa ketua muda itu mempunyai saudara asal keluarga Siangkoan. Maka itu, lantas ia menanyakan lain-lain hal lagi, yang mana dijawab dengan hati-hati oleh Lie It. Hingga tidaklah rahasia pangeran ini bocor.

Malam itu selagi menginap di padang rumput, Tat Souw bicara tak hentinya dengan kenalannya yang baru, ia membicarakan tentang ilmu silat, sampai jauh malam, ia tidak nampak letih atau ngantuk.

Tengah bergembira itu, mendadak ia tanya: "Tuan, pedangmu pedang mustika, dapatkah aku meminjam lihat?"

Sebenarnya Lie It tidak setuju mengasi pinjam lihat pedangnya itu akan tetapi guna melenyapkan kccurigaan orang, ia meloloskan juga dan menyerahkannya. Tat Souw menyambuti untuk segera menghunus pedang itu, hingga ia melihat sinar berkelebat menyilaukan matanya, kemudian ia menyentil perlahan pada pedang itu, hingga ia mendengar suara nyaring- halus umpama kata alunan naga.

"Sungguh sebuah pedang yang bagus, pedang yang bagus!" ia memuji. "Pantaslah huncweeku kena terpapas sedikit!" Ia terus membuat main, sampai mendadak dia kata keras: "He, inilah seperti pedang dari istana raja!"

Ia mengatakan demikian karena ia melihat ukiran tiga huruf "Cin Ong Hu," artinya istana Pangeran Cin. Dan "Pangeran Cin," atau "Cin-ong," yalah gelaran pangeran dari Kaisar Lie Sin Bin sebelum dia naik atas takhta- kerajaan. Jadi, andaikata pedang itu bukan pedangnya Lie Sin Bin toh mestinya asal dari dalam istana raja.

Akan tetapi Lie It telah memikirkan hal itu.

"Tidak salah," sahutnya cepat. "Pedang ini  dihadiahkan oleh Seri Baginda Thay Cong kepada pamanku sepupu itu. Pada suatu hari Seri Baginda mengadakan perjamuan dipendopo Cun Hoa Tian, diantaranya diadakan pertunjukan pedang, ketika ditanyakan tentang syair, pamanku itu dapat menjawab dengan bagus, lantas Seri Baginda menghadiahkan pedang ini, yang belakangan dihadiahkan padaku sebab aku gemar ilmu silat."

Siangkoan Gie seorang menteri, pantas kalau raja menghadiahkan sesuatu padanya, hanya Thia Tat Souw heran, kenapa menteri itu dihadiahkan pedang sedang dialah menteri sipil, walaupun benar ketika itu telah diadakan juga pembicaraan tentang pedang. Maka itu hal ini menjadi soal yang mencurigai. Lie It dapat melihat roman orang yang bercuriga itu, hatinya menjadi kurang tenang.

Disaat ia hendak menyimpan pedangnya itu, mendadak Thia Tat Souw menegur bengis: "Siapa diluar tenda?"

Belum berhenti teguran itu, atau "Bret!" maka pecahlah kain tenda, disusul bentakan: "Kamu tiga pengkhianat yang hendak menakluk kepada bangsa Tatar, kamu makanlah golokku!" lalu disusul pula samberannya tiga batang hui-to, atau golok terbang.

Lie It berlaku sebat, dengan tabasan pedangnya ia membikin golok-terbang yang terbang kearahnya itu menjadi kutung dua.

Lam-kiong Siang sebaliknya berkelit. Tapi Thia Tat Souw hendak mempertontonkan ilmu sentilannya, dengan satu sentilan, ia membuat hui-to yang menyerang kepadanya mental balik keluar, menyerang kepada si penyerang sendiri!

"Rupanya pesuruh Bu Cek Thian!" kata Tat Souw tertawa dingin. "Lam-kiong Siang, kau tolongi aku membekuk dia!"

Belum lagi Lam-kiong Siang menyahuti atau memburu keluar, penyerang itu sudah nerobos masuk, dengan goloknya dia mendahulukan menyerang padanya. Ia lantas berkelit sambil mendak, sambil sebelah tangannya diulur guna menyambuti lengan si penyerang, buat ditangkap dan dipencet nadinya.

Penyerang itu liehay, gesit gerak-geriknya, dengan gampang ia menyelamatkan lengannya, terus ia menyerang pula, beruntun hingga tiga kali. Tat Souw lantas berseru: "Pergi kamu bertempur diluar tenda! Jangan kamu mengganggu aku si orang tua!" Sambil berkata begitu, dua kali ia menyerang dengan Pek-khong-ciang, yalah Pukulan Udara Kosong. Anginnya serangan istimewa ini membuat penyerang itu terhuyung, hingga dia menjadi kaget, didalam hatinya dia kata: "Ini ketua Hok Houw Pang benar-benar liehay, dia bukannya bernama kosong!" Segera dia melompat keluar, guna menyingkir dari dalam tenda.

Sekarang Lie It dan Lam-kiong Siang telah mengenali sipenyerang ini.

Dialah Pek Goan Hoa tangsi Sin Bu Eng.

Dialah yang dulu memperdayakan Lie It dengan berpura-pura menentang Cek Thian.

Memang dia liehay sekali ilmu golok terbangnya, jauh terlebih liehay daripada si dua saudagar Khoresmia.

"Bagus ya, Pek Goan Hoa, bocah!" seru Lam-kiong Siang. "Aku memang lagi mencari kau untuk membuat perhitungan! Kau justeru melemparkan dirimu sendiri kedalam jaring!"

Sembari berseru itu, ia memburu keluar, tangannya meloloskan cambuk yang mclilit pinggangnya, untuk dengan itu melakukan penyerangan, sedang tangannya yang lain memegang golok.

Pertarungan lantas menjadi seru. Mereka berdua seimbang keulatannya.

Selagi bertempur itu Pek Goan Hoa berseru: "Saudara Cin, lekas! Si jahanam Lam-kiong Siang ada disini!" Ketika itu Thia Tat Souw dan Lie It sudah keluar dari tenda, untuk menyaksikan pertempuran itu. Ketua Hok Houw Pang itu, dengan tertawa dingin, berkata: "Kami kaum Hok Houw Pang telah pindah ke tanah perbatasan ini, itu tandanya bahwa kami telah merasa takut terhadap kau, siluman perempuan! Maka kenapakah kau masih tidak mau melepaskan kami? Kenapa kau masih menyusul kami ketempat jauh laksaan lie ini? Baiklah, sekarang hendak aku lihat, siapasiapa kau yang perintahkan datang menyusul hingga disini dan berapa tinggi kepandaiannya?"

Dengan kata-kata "siluman perempuan" itu, Tat Souw mencaci Bu Cek Thian.

Diam-diam Lie It tertawa didalam hatinya menyaksikan lagaknya Thia Tat Souw ini.

Dia mencaci seperti juga dia bicara sama Bu Cek Thian yang berada didepannya. Ia berkata didalam hati: "Meski benar Bu Cak Thian telah merampas negaraku, dia benar seorang wanita yang pintar dan pandai, sekarang Thia Tat Souw mencacinya sebagai siluman, itulah terlalu!"

Pek Goan Hoa telah memanggil tetapi kawannya tidak lantas muncul, sedang begitu, Lam-kiong Siang mulai beraksi.

Dengan goloknya, dia menjaga dirinya rapat-rapat, dengan cambuknya, dia menyerang hebat.

Pembelaan dirinya itu membikin lawan tidak berdaya mencelakai padanya. Secara demikian, selang duapuluh menit, ketua muda Hok Houw Pang itu menjadi lebih unggul sedikit. Biar bagaimana, permainan silat Pek Goan Hoa tidak menjadi kacau.

Menyaksikan jalannya pertempuran itu, Thia Tat Souw mengerutkan alis.

"Heran, mengapa Lam-kiong Siang tidak dapat lantas membereskan binatang ini?" katanya dalam hati.

Ketika itu terdengar lari mendatanginya seekor kuda dipadang rumput. Ketika Pek Goan Hoa mendengar itu, mendadak dia berseru, mendadak dia membacok.

Lam-kiong Siang terkejut untuk menyingkirkan diri. Ia menjadi panas hatinya. "Kemana kau hendak kabur?" bentaknya sambil menyusul, dengan cambuknya ia menyerang, hingga ia mengenai ujung bajunya musuh.

Mendadak Pek Goan Hoa berseru: "Kena!" sambil berseru, ia menyerang ke belakang, hingga tiga batang golok-terbangnya lantas terbang menyamber.

Lam-kiong Siang tidak menyangka orang menggunai akal, dalam kaget dan repotnya itu, ia menahan diri, untuk bergerak dalam sikap "Tiat poan kio" atau Jembatan Besi, tubuhnya melenggak lempang kebelakang. Ketiga golok-terbang menyamber saling- susul, yang dua lewat, yang satunya memapas juga. sedikit kulit jidatnya!

Lie it terkejut, ia menyangka Lam-kiong Siang bakal bercelaka, tapi ketika itu ia mendengar suara tertawa yang tajam, disusul sama roboh bergedebuknya sebuah tubuh manusia, atau dilain saat ia mendapatkan, bukan sahabatnya yang roboh itu hanya Pek Goan Hoa si jago tangsi Sin Bu Eng. Sebab Thia Tat Souw telah menyentilkan sebutir thie- lian-cie, teratai besinya, menimpuk-menotok jalan darahnya jagonya Bu Cek Thian itu.

Tepat di itu waktu, tibalah si penunggang kuda.

Dialah seorang usia pertengahan, yang tubuhnya kekar, belum lagi kudanya berhenti betul, tubuhnya sudah berlompat dari atas punggung kudanya, melayang bagaikan gerakan "It-ho-ciong-thian," atau "Seekor burung ho menyerbu langit." Dia berlompat untuk menyerang Lam-kiong Siang.

Lie It terkejut melihat serangan orang itu.

Ia mengenali tipu silat "Eng-kie-tiang-khong," atau "Garuda menyerang udara kosong," salah satu tipusilat dari Tiangsun Kun Liang, mertuanya.

Itulah ilmusilat pedang partai Ngo Bie Pay.

Sedang penyerang itu bukan lain daripada kakaknya Tiangsun Pek, yalah Tiangsun Tay, atau anak sulung dari Tiangsun Kun Liang.

Lie It heran bukan main.

Inilah ia tidak pernah menyangka.

Menurut keterangan Tiangsun Pek, isterinya, selama pertempuran dikaki gunung Lie San, dimana mereka ayah dan anak-anak bertemu Ok Heng-cia dan Tok Sian- lie, Tiangsun Tay sudah terhajar tok-ciang, yaitu tangan beracun, dari Ok Hengcia, serta terkena juga jarum beracun dari Tok Sian-lie, kemudian Tiangsun Tay menubruk Ok Heng-cia hingga mereka berdua mati bersama. Hingga dimata Tiangsun Pek, si adik, kakaknya itu sudahlah mati.

Kenapa dia masih hidup dan sekarang muncul disini? Pula yang aneh, keluarga Tiangsun itu membenci Bu

Cek Thian dan Pek Goan Hoa ini orangnya ratu itu yang hendak menawan Lam-kiong Siang, kenapa sekarang Tiangsun Tay ada bersama Pek Goan Hoa dan justeru memusuhkan Lam-kiong Siang, membantui Pek Goan Hoa itu?

--o^Kupay^0DewiKZ^o---

BENTROKAN telah lantas terjadi. Lam-kiong Siang telah menangkis serangan dahsyat itu. Sebagai kesudahannya, Lam-kiong Siang kaget sekali. Goloknya telah kena dibikin rusak. Tapi, dalam kagetnya, ketua muda Hok Houw Pang ini berseru dengan tegurannya: "Eh, kau toh saudara Tiangsun?"

Ketika Tiangsun Kun Liang membantu kaisar Tong Thay Cong, ayahnya Lam-kiong Siang yalah orang sebawahannya, sedang ketika Tiangsun Kun Liang mengajak putera dan puterinya inenyambut Lie It dikaki gunung Lie San, pembantu mereka yalah Lam-kiong Siang ini. Maka itu heranlah Lam-kiong Siang atas datangnya Tiangsun Tay.

"Lam-kiong Siang!" Tiangsun-tay berkata. Ia bukannya menyahuti hanya membentak. "Mengingat perhubungan baik diantara kita kedua keluarga, mari kau turut aku kembali ke Tiang-an, nanti aku mengajukan permintaan ampun untukmu kepada Thian-houw!"

Lam-kiong Siang heran hingga ia tidak mau percaya telinganya.

"Apa?' tanyanya. "Minta ampun dari Thian-houw? Apakah kau... kau telah menakluk kepada Thian-houw?"

"Sesuatu orang ada cita-citanya sendiri!" berkata Tiangsun Tay, menjawab bukannya menjawab. "Jikalau kau suka menakluk kepada Bu Tiek Thian, itulah urusanmu sendiri, tidak dapat aku mencampur tahu, akan tetapi kalau kau hendak menakluk kepada khan Turki, maka tidak dapat aku berdiam saja! Sekarang ada dua jalan untuk kau pilih! Yang pertama yalah dengan jasa kau menebus dosamu, yaitu kau tolong aku membekuk ini tua-bangka buat digiring pulang ke Tiang- an. Yang lainnya yalah kau ikut terus tua-bangka ini, kita berdua saudara putus hubungan kita, lantas dengan mengandal senjata ditangan kita masing-masing, kita melakukan pertempuran mati-hidup yang memutuskan!"

Dengan si "bangsat tua" itu, Tiangsun Tay maksudkan Thia Tat Souw, maka ketua Hok Houw Pang itu lantas tertawa berkakak.

Dia berkata nyaring: "Anak muda tidak tahu apa-apa! Kau omong besar! - Baiklah, Lam-kiong Siang, kau boleh memilih! Jikalau kau suka turut perkataan dia, maka bersama-sama dia kau majulah! Jikalau kau turut aku, mari kita bersama membunuh dia!" Lam-kiong Siang jeri terhadap Thia Tat Souw, dibawah tekanan ketuanya itu, ia tidak berani tidak mendengar kata.

Ia pernah mencoba membunuh Bu Cek Thian, ia pun bersangsi ratu itu nanti suka memberi ampun padanya.

Disamping itu, minatnya menghamba kepada khan Turki bukanlah minat baru, maka itu, kata-katanya Tiangsun Tay sejenak itu sukar menggeraki hatinya hingga ia dapat mengubah pikiran.

Maka itu, setelah berdiam sedetik, ia mengertak gigi dan berkata dengan keras: "Thia Toako, pasti aku turut kau!"

Kata-kata ini disusuli sama gerakan goloknya.

Tiangsun Tay menjadi gusar sekali, dengan sebat ia berkelit dari bacokan itu, setelah berkelit, ia membalas menyerang, ujung pcdangnya meluncur kedada bekas kawan itu.

Ia pun berseru: "Baiklah! Kau kesudian membantu orang jahat, jangan kau sesalkan jikalau aku berlaku tidak mengenal kasihan lagi!"

---o^Kupay^0^DewiKZ^o---

Lantas penyerangan itu disusuli ulangannya beberapa kali.

Lie It bimbang sekali. Kejadian itu sungguh diluar dugaannya.

Tengah ia bingung itu, telinganya mendengar suaranya Thia Tat Souw: "Saudara Siangkoan, aku lihat ilmu pedangnya bocah itu bukan sembarang ilmu, Lam- kiong Siang bukanlah lawan, tetapi dipadu dengan kau, dia masih kalah unggul!"

Tidak usah dijelaskan lagi, kata-kata itu yalah anjuran untuk Lie It maju membantui Lam-kiong Siang.

"Thia Pangcu terlalu memuji," berkata Lie It, berlagak pilon.

Melihat orang tidak niatnya turun tangan, kecurigaannya Tat Souw bertambah.

Selagi begitu, pertempuran sudah berlangsung terus. Tidak lama atau satu suara nyaring terdengar.

Itulah suara goloknya Lam-kiong Siang kena ditabas kutung pedang lawannya, hingga dia sekarang cuma bisa melawan dengan cambuknya.

Tiangsun Tay masih mendesak, sampai ia berseru: "Rejeki dan bencana itu tidak ada pintunya, tinggal si orang sendiri iang mencarinya, maka itu, Lam-kiong Siang, apakah kau masih belum sadar?"

Pertanyaan ini disusuli tikaman kearah tenggorokan, dengan tikaman "Bintang-bintang mengambang."

Tiangsun Tay hendak menyerukan pula, untuk lawannya menyerah, ketika mendadak ada segumpal asap hitam yang menghembus kearahnya, berbareng dengan mana, Lam-kiong Siang berlompat mundur.

Pedangnya itu seperti selam didalam asap.

Lalu ia mendengar suaranya Thia Tat Souw: "Aku nanti membikin kau mengenal kepandaianku si orang giYa!"  Tiangsun Tay tabah hatinya, ia tidak menjadi kaget. Dengan sebat ia menangkis.

Kedua senjata, huncwee dan pedang, beradu keras,

suaranya nyaring. Tiangsun Tay kalah tenaga-dalam, meski ia dapat menangkis, ia merasai telapakan tangannya sakit dan kesemutan.

Thia Tat Souw heran.

Ia sangat percaya ilmu totoknya, ia ingin merobohkan orang dalam satu gebrak saja, ia tidak menyangka, serangannya itu dapat digagalkan.

Karena ini, ia tidak berani memandang enteng lagi. Lantas ia mengulangi penyerangannya.

Tiangsun Tay kena didesak, hingga ia repot membela dirinya.

Tapi ia tidak takut, ia tidak mau menyerah.

Ia melawan dengan menggunai kesebatannya.

Masih ia terdesak tetapi ia tidak simpai menyerahkan dirinya kena ditotok.

Lagi-lagi Tat Souw menggunai asapnya yang tebal itu. Dia menyedot  huncweenya  dan  menghembuskan itu.

Lalu  dia  tertawa  dan  berkata:  "Ilmu  pedangmu bukan

sembarang ilmu tetapi sukar untuk kau menyambutku sepuluh jurus!"

Tiangsun Tay takut nanti kena diakali, ia lompat kekepala angin, disitu ia menutup dirinya.

Thia Tat Souw membuktikan kata-katanya. Dia maju untuk menghampirkan lawannya itu, cepat bergeraknya, baru Tiangsun Tay menaruh kaki, dia sudah sampai, huncweenya lantas menotok.

Karena dia menyusul, dia menotok punggung.

Tiangsun Tay berkelit, sambil berkelit ia terus memutar tubuh, pedangnya ditabaskan kebelakang. Itulah tangkisan , berbareng serangan yang dinamakan "Menuang uang emas."

Pedangnya berkilauan.

"Tiga!" Thia Tat Souw berseru dan dia maju pula dengan totokannya.

Dia mengarah jalandarah hun-bun-hiat dibawahan rusuk.

Sambil menyerang itu, dia menyemburkan asap pipanya!

Lie It menonton terus.

"Baru berpisah delapan tahun, nyata Tiangsun Tay sudah maju jauh," ia berpikir. "Tapi tentu sekali sukar dia melawan sampai sepuluh jurus ..."

Untuk ilmu totok, Thia Tat Souw seorang jago nomor satu di Tionggoan. Selama belum masuk usia limapuluh tahun, senjatanya yalah tiam-hiat-koat, senjata peranti menotok, yang panjangnya tiga kaki enam dim, jauh lebih panjang daripada senjata totokan lain-lain orang, lalu selewatnya umur limapuluh, ia menukar senjatanya itu dengan huncweenya, pipanya yang ia buatnya dari besi, panjangnya tetap sama. Senjata ini jadi dapat digunai berbareng sama asapnya, guna membikin sulit mata lawan. Tiangsun Tay liehay ilmu pedangnya tetapi diganggu oleh semburan-semburan asap, selanjutnya ia menjadi repot sekali.

Demikian satu kali, waktu ia menikam dengan siasia, segera ia berlompat mundur. Inilah siasat "maju untuk mundur."

Hanya diluar dugaannya, Tat Souw menyusul sambil berteriak: "Kemana kau hendak lari?"

Tubuhnya jago tua itu melesat, lalu dari tinggi, dia menghajar dengan pipanya yang panjang itu!

Kalau ia terkena, celakalah Tiangsun Tay yang sudah terdesak itu.

Tepat disaat sangat  berbahaya untuk iparnya itu, Lie It melompat maju, dengan pedangnya ia menangkis huncweenya ketua Hok Houw Pang, atau partai Menaklukkan Harimau itu.

"Eh, kau bikin apa?" tanya Tat Souw membentak.

Berbareng dengan itu, kakinya Tiangsun Tay lemas.

Sebab meskipun benar totokan huncwee ketua itu gagal tetapi ujung kakinya berhasil menendang-menotok dengkulnya bagian dalam, diayalan darah pek-sie-hiat.

Lie It kaget untuk menyaksikan liehaynya ketua Hok Houw Pang ini.

"Thia Pangcu," ia berkata. "Bukankah lebih baik membiarkan mulut yang hidup daripada yang mati?"

Lam-kiong Siang hendak membantui Lie It, maka ia turut berbicara. "Harap toako ketahui," katanya, "dia ini yalah puteranya Tiangsun Kun Liang! Aku pikir tidak ada halangannya untuk kita membiarkan dia hidup, guna mendengar keterangannya "

"Baiklah," kata Tat Souw. "Kau ringkus dia dan bawa kedalam tenda!"

Lam-kiong Siang menurut, ia menelikung Tiangsun Tay, buat digiring masuk kedalam tenda mereka.

Thia Tat Souw mengisi pula pipanya, ia menyedot beberapa kali.

"Benarkah kau anaknya Tiangsun Kun Liang?" kemudian ia tanya Tiangsun Tay.

Ia tertawa dingin.

Sebenarnya orang tawanan itu sudah memikir untuk menutup mulut, akan tetapi mendengar disebutnya nama ayahnya, hatinya menjadi panas.

"Bangsat tua, kau berani menghina ayahku?" ia membentak, matanya melotot.

"Ah, kau tahu ada ayahmu?" kata Tat Souw, kembali tertawa dingin. "Hm! Hm! Kau sendiri yang membuat malu pada lelunurmu! Kau tahu, aku Tat Souw, aku paling menghormati Tiangsun Tayjin!"

"Cara bagaimana aku membuat malu leluhurku?" "Bukankah Tiangsun Tayjin menyintai Kerajaan Tong

untuk seumur hidupnya?" Tat Souw-, membaliki. "Maka aku tidak menyangka dia bolehnya mempunyai kau turunan yang tidak berbakti!" "Kenapa aku tidak berbakti?" Tiangscen Tay gusar tidak kepalang.

"Ayahmu bermusuh dengan Keluarga Bu dari Kerajaan Ciu, dia tidak mau hidup bersama! Kenapa sekarang kau justeru tak segan menjadi budaknya Bu Cek Thian? Apakah itu bukannya tak berbakti?"

Tiangsun Tay jujur, diperlakukan demikian, ia tidak dapat tidak mengatakan hal yang sebenarnya tidak ingin ia menyebutkannya.

"Bangsat tua, kaulah kawannya musuh ayahku, bagaimana kau masih mempunyai muka tebal untuk menghargai ayahku? Ayahku itu bukan cuma menteri setia dari Kerajaan Tong, dia pun pembela negara dan rakyat! Kau sendiri, binatang, kau hendak menghamba kepada khan Turki! Jikalau ayahku ketahui perbuatan kau ini, pasti kau tidak bakal diberi ampun!"

Tat Souw kembali tertawa dingin.

"Jikalau ayahmu masih hidup, dia pasti akan menghajar adat padamu! Sayang kita tidak dapat mengasi dia bangun dari dalam tanah, untuk tanya pikirannya, hingga sekarang kau dapat mengaco-belo! Tapi baiklah kita menunda hal ini. Barusan kau bilang akulah kawannya musuh ayahmu, apakah alasanmu?"

Tiangsun Tay sendiri menjadi pucat mukanya dan menggigil tubuhnya.

"Apa?" katanya. "Apa? Apakah ayahku sudah meninggal dunia?"

"Tidak salah!" menjawab Tat Souw, tetap dingin. "Tiangsun Tayjin sudah menutup mata pada delapan tahun yang lampau!. Dan dia dibinasakan oleh pengawalnya Bu Cek Thian! Dia mati dijalan Kam-Liang- To. Jikalau dia tidak sudah mati, dia pun tentu bakal. pergi menghamba kepada khan Turki!"

Tiangsun Tay mengertak gigi, ia menahan turunnya airmatanya. Ia angkat kepalanya, dongak kelangit.

"Ayah!" ia mengeluh, "bagaimana sengsara kau meninggalkan dunia ini! Kau kena orang abui, sampai pada saat kematianmu, kau masih belum tahu musuhmu orang macam apa ...!"

Hati Lie It terkesiap.

Pikirnya: "Kiranya Thia Kian Lam itu sudah memberitahukan ayahnya tentang perbuatannya memegat kereta jenazah mentuaku dan percobaannya merampas kitab pedang mentuaku itu, syukur sekarang aku menyamar, Tat Souw menjadi tidak mengenali aku. Hanya Tiangsun Tay, apakah maksudnya perkataannya itu?"

Tiangsun Tay masih mengeluh seorang diri.

Katanya pula: "Ayah, dimasa hidup ayah, ayah tidak tahu sebabnya kenapa Ok Heng Cia bersama Tok Sian- lie, kedua hantu itu, hendak menurunkan tangan beracun membinasakan ayah! Ayah menduga Bu Cek Thian mengirim orang untuk membunuh ayah, tidak tahunya itulah perbuatan musuh Bu Cek Thian, yang telah mengatur tipu busuknya! Mereka sengaja mau pakai nama Thian-houw mencelakai ayah, supaya dengan begitu ayah tetap membenci Thian-houw! Begitulah paling belakang, Thian Ok Tojin, sang guru sampai diundang untuk mencelakai ayah! Perbuatan itu yalah perbuatan satu tangan yang mencelakai putera mahkota, maka sayang, ayah tetap tidak mengetahuinya..."

"Semua ocehan belaka!" seru Tat Souw dingin. Sebaliknya, Lie It mempercayai kata-kata Tiangsun

Tay itu.

"Semua ini tentulah Tiangsun Tay mengetahuinya sesudah dia menghamba kepada Bu Tiek Thian," pikir pangeran ini. "Hanya, mengapa dia dapat mempercayai perkataannya Bu Cek Thian itu?"

Lie It masih berpikir ketika ia mendengar kata-katanya Tiangsun Tay lebih jauh: "Bangsat tua she Thia, beranikah kau membilang bahwa kau bukannya konco dari Thian Ok Tojin? Thian Ok Tojin itu, bersama Biat Touw Sin-Kun dan kambratnya, sudah mengumpulkan segala manusia murtad, mereka hendak sama-sama pergi menghamba pada khan Turki! Tentang itu, dari siang-siang Thianhouw telah mengetahuinya jelas sekali! Thian-houw bilang, jikalau kamu menentang dia, kamu masih mempunyai alasanmu, kamu dapat dimaafkan, tetapi jikalau kamu pergi menghamba kepada bangsa asing, itulah dosa besar, tak berampun! Lam-kiong Siang, aku tidak sangka sekali, kau juga kena dipermainkan mereka! Jikalau kamu tidak lekas-lekas mengubah perbuatan sesat dari kamu ini, nanti kamu menyesal sesudah terlambat!"

Thia Tat Souw menjadi gusar sekali.

"Sampai kau mampus kau masih belum sadar!" teriaknya. "Kau membaliki ayahmu, kau menakluk kepada musuh! Kau telah menjual sahabat, untuk mencari kemuliaan saja! Kau pun berdosa tak berampun! Nah, kau rasailah tanganku ini!"

Jago tua itu mengangkat tangannya, diarahkan kebatok kepala Tiangsun Tay, dikasi turunnya secara ayal-ayalan.

Tiangsun Tay tidak takut, bahkan dia tertawa dingin. "Bangsat tua! Kau hendak membunuh aku, buat apa

kau bertingkah sebagai ini? Hari ini kau membunuh, maka besok, aku tanggung, kau bakal mampus hingga tidak ada tempat untuk mengubur mayatmu!"

Thia Tat Souw tertawa mengejek.

"Apakah kau mengira aku tidak berani membunuhmu?" dia menanya tegas. Benar-benar dia menurunkan tangan jahatnya.

"Plak!" demikian satu suara.

Itulah Lie It, yang menangkis serangannya ketua Hok Houw Pang itu.

Mata Tat Souw membelalak.

"Saudara Siangkoan!" dia menegur, "kenapa kau selalu melindungi dia?"

"Thia Pangcu, kau tanya dulu padanya, dia mempunyai berapa banyak konco," sahut Lie It.

"Benar!" berseru Tat Souw, yang lantas menuding Tiangsun Tay seraya meneruskan berkata: "Lekas kau bilang, selain kau dan Pek Goan Hoa, Bu Cek Thian mengirim siapa lagi datang kemari? Jikalau kau tidak omong terus-terang, nanti aku siksa kau dengan tipu silat Memecah Otot Memutuskan Nadi! Supaya kau hidup tidak dan mati pun tidak!"

Lie It kaget.

Ia percaya Tat Souw pandai ilmu menyiksa itu, sebab dialah seorang ahli menotok jalan darah atau otot.

Ia pikir: "Aku hendak menolongi toa-ko Tay tetapi sekarang aku menjadi mencelakai dia... Tidakkah kata- kataku seperti membikin mendusin jago ini? Jangan- jangan aku terpaksa mesti menempur padanya ..."

Tiangsun Tay tidak takut, bahkan dia tertawa bergelak.

"Thian-houw mempunyai orang pandai banyaknya bagaikan mega! Satu kali kau membinasakan aku maka akan berkerumunlah orang-orang yang bakal membunuh kau!" katanya.

Tat Souw tertawa dingin.

"Dijaman ini, orang yang dapat membinasakan aku sungguh sangat terbatas jumlahnya! Kau bilanglah, siapa dia atau mereka itu?"

Tiangsun Tay mengasi lihat sikap jumawa, dia membungkam.

"Baiklah jikalau kau tidak suka membuka mulut! Mari aku lihat, tulangmu terbikin dari besi atau bukan!"

Jago tua ini mau menurunkan tangan, lagi-lagi Lie It mencegah.

"Lo-pangcu," katanya, "baiklah dia dikasi tinggal hidup, supaya dia dapat dijadikan manusia-tanggungan! Dengan begitu, tidak perduli jago siapa yang datang, dia tentu jeri turun tangan

"Sudah limapuluh tahun aku si orang she Thia malang- melintang didalam dunia Kang-ouw ini, kapannya aku takut orang?" ia berkata jumawa. "Kenapa aku mesti menggunai siasat seperti saranmu ini?"

Sekejab itu, Tiangsun Tay nampaknya kaget, airmukanya pun berubah dengan tiba-tiba.

"Bagus ya!" mendadak dia berseru. "Kiranya kau satu komplotan dengan mereka ini! Kau... kau... kau..."

Tiangsun Tay telah mengenali lagu-suaranya Lie It, hingga ia mengawasi pangeran itu.

Lie It pun kaget.

Justeru itu, Thia Tat Souw meluncurkan tangannya, untuk menotok jalandarah thay-yang hiat dari Tiangsun Tay.

Lagi sekali Lie It menjadi sangat kaget, hingga tak sempat ia bergerak untuk menolongi Tiangsun Tay, hingga ia mesti menghadapi robohnya orang, tetapi, dia bukannya Tiangsun Tay, iparnya itu, hanya Lam-kiong Siang dan Thia Tat Souw ...

---o^Kupay^0^DewiKZ^o---

Kejadian ada luar biasa sekali, karenanya Lie It tercengang.

Tengah ia melengak itu, mendadak ia disadarkan suaranya Tiangsun Tay: "Lie Kongcu, maafkan aku! Aku telah keliru menduga terhadapmu! Kiranya kau bukannya konco mereka ini! Pantaslah berulang-kali kau menolongi aku, dan kali ini kau membinasakan dua jahanam ini!"

"Apa?" tanya Lie It, yang masih bingung. Dia bagaikan diliputi kabut.

"Mereka ini bukan dibunuh kawanmu?"

Dia menanya tetapi segera dia membungkuk, untuk memeriksa tubuhnya Tat Souw dan Lam-kiong Siang.

Ia memeriksa nadi, embun-embun dan punggung. "Heran!" katanya kemudian. "Mereka ini belum mati!

Mereka kena dihajar jarum Bwee-hoat ciam!"

Thia Tat Souw termasuk akhli menotok jalan darah yang nomor satu untuk kaum Kang-ouw, sekarang dia kena orang serang tanpa sempat berdaya, itulah aneh.

Maka pangeran itu menjadi heran. Tiangsun Tay pun heran.

"Aku kira kaulah yang menghajar mereka," katanya. "Kiranya bukan!"

"Tadi kau bilang kau mempunyai kawan, yang akan datang menyusul," kata Lie It.

"Habis dia itu ...dia ... “ Tiangsun Tay tertawa.

"Itulah kata-kata bohong dari aku!" katanya. "Sengaja aku mengatakan begitu untuk menggertak ini bangsat tua. Orang yang datang bersama aku cuma Pek Goan Hoa seorang."

Tanpa membuang tempo lagi, Lie It lari keluar, akan tetapi di tegalan berumput tidak nampak Pek Goan Hoa, sedang tadi, orang she Pek itu sudah ditotok Tat Souw hingga dia tak dapat berkutik.

Sekarang dia lenyap. Kemana perginya dia?

Tidak bisa lain, tentulah dia telah dibawa pergi oleh orang pandai yang tidak sudi memperlihatkan diri itu?"

Siapakah orang pandai itu?

"Dia menggunai Bwee-hoaciam menghajar Tat Souw, dia juga menolongi Pek Goan Hoa," kata si pangeran didalam hati. "Kenapa dia tidak mau mengasi lihat dirinya? Jikalau dia bukannya kawan Tiangsun Tay, kenapa dia membantunya?"

Dengan keheran-heranannya itu, Lie It kembali kedalam kemah.

Ia membukai belengguannya Tiangsun Tay.

"Kita beruntung sekali," ia berkata, "kita dapat lolos dari bahaya maut. Orang liehay itu tidak mau perlihatkan dirinya, biarlah lain kali saja kita mencoba membalas budi-kebaikannya ini.”

---o^Kupay^0^DewiKZ^o---

"SAUDARA Tay, aku tidak menyangka sekali disini kita dapat bertemu. Aku justeru hendak berbicara dengan kau." Lie It hendak memberitahukan halnya sudah menikah dengan Tiangsun Pek, tetapi Tiangsun Tay sudah mendahuluinya.

”Aku juga hendak bicara denganmu!" kata ipar itu, yang masih belum ketahui yang mereka berdua telah menjadi sanak dekat sekali satu dengan lain.

"Aku telah menerima pesan dari satu orang maka aku datang kemari untuk mencari kau."

"Sudah, tak usah kau menutur lagi, aku sudah ketahui maksud kedatanganmu ini," kata Lie It sambil menggeleng kepala. "Bukankah kau menerima perintah dari Bu Cek Thian untuk memanggil aku pulang? Jikalau aku sudih menyerah terhadapnya, tidak nanti aku melakukan perjalanan laksaan lie hingga tiba ditanah perbatasan yang jauh ini! Setiap orang ada cita-citanya masing-masing, aku tidak suka memangku pangkat dibawah perintahnya Bu Cek Thian, maka itu aku minta, jangan kau memaksa aku."

Akan tetapi Tiangsun Tay pun menggoyang kepala. "Kau menduga keliru!" katanya, tertawa. "Aku bukan

datang mencari kau karena menjalankan titahnya Bu Cek

Thian. Aku datang untuk sahabat karibmu semenjak masih kecil, sahabat yang paling mengerti cita-citamu!"

Lie It heran.

"Siapakah dia?" ia tanya. Tiangsun Tay tertawa, meskipun itu bukannya tertawa wajar.

"Siangkoan Wan Jie!" sahutnya.

Hati Lie It berdenyutan. "Siangkoan Wan Jie ...

Siangkoan Wan Jie ..." katanya bagaikan mendumal. Lalu pikirnya: "Sudah lewat begitu tahun, kiranya dia masih belum melupai aku ... Tapi, cara bagaimana dia bolehnya meminta pertolongannya Tiangsun Tay ini? ..."

Belum lagi pangeran ini menanya, ia sudah  mendengar iparnya itu berkata pula: "Wan Jie ketahui bahwa kau tidak nanti sudi kembali, akan tetapi untuknya sendiri, dia mengharap kau pulang satu kali saja. Dia mempunyai satu urusan penting yang dia hendak bicarakan dengan kau. Dia suka memberi tanggungan bahwa Thian Houw tidak nanti memaksa kau memangku pangkat! Jikalau kau sudah kembali ke Tiang-an maka terserahlah kepada kau - jikalau kau suka berdiam terus disana, kau boleh berdiam, jikalau tidak kau boleh pergi kembali. Harapannya Wan Jie yalah agar dia dapat bertemu kau satu kali lagi saja ..."

"Wan Jie yalah penulis dari Bu Cek Thian," tanya Lie  It, "dia tinggal didalam keraton, dapatkah kau sering bertemu dengannya?"

"Walaupun tidak sering tetapi didalam satu bulan sedikitnya dua-tiga kali aku dapat menemui dia." sahut Tiangsun Tay. "Sekarang ini aku menjadi Taylwee Siok- wie dari Thian-houw."

Lie It tertawa meringis.

"inilah aku tidak pernah pikir," katanya.

Agaknya ia heran dan menyesal. Taylwee Siok-wie itu yalah pengawal pribadi.

"Bu Cek Thian dapat mempercayaimu dan kau juga dapat menjadi pengawainya Bu Cek Thian ..." "Perubahan ini, aku sendiri juga tidak pernah memikirnya," kata Tiangsun Tay. "Ingatkah kau peristiwa malam dari delapan tahun yang lampau ketika kau mencoba memasuki istana untuk membunuh Bu Cek Thian? Ketika itu bersama-sama ayah dan adikku, aku menantikan kau dikaki gunung Lie San."

"Mana dapat aku tidak ingat itu? Menurut katanya adik Pek, malam itu kau telah terluka parah. Itu waktu, kita semua ada sangat berduka dan berkuatir. Syukurlah sekarang kita sama-sama selamat tidak kurang suatu apa dan dapat bertemu pula!"

Tiangsun Tay mengawasi Lie It.

Ia heran akan mendengar lagu-suara dan sikapnya pangeran ini waktu si pangeran menyebut "adik Pek."

Itulah lagu-suara yang akrab dan erat sekali. Tetapi ia merasa tidak leluasa untuk menanyakan.

Ia berkata pula, memberikan ketcrangannya : "Tidak salah! Malam itu aku terkena tangannya Ok Heng Cia dan terkena juga jarum Touwkut Sin-ciam dari Tok Sian-lie. Aku merasa bahwa aku tidak bakal hidup lebih lama pula. Tatkala aku sadar, aku mendapatkan tubuhku tengah rebah diatas sebuah pembaringan yang empuk sekali sedang perlengkapan kamar dalam mana aku berada bukanlah perlengkapan rumah orang biasa. Yang paling mengherankan yalah adik Wan Jie yang menjagai aku didampingku."

"Pastilah Wan Jie telah membawamu kedalam keraton."

Tiangsun Tay mengangguk. "Sebenarnya ia hendak menolongi kau, tidak tahunya ia jadi menolongi aku. Thian-houw memerihtahkan tabibnya yang paling pandai untuk mengobati luka- lukaku. Disana ada seorang muridnya Kim Ciam Kok-ciu Heehouw Kian, dia sudah mewariskan lima bagian kepandaian gurunya. Selama tiga tahun dia mengobati aku, baru aku sembuh seluruhnya."

"Kau tentunya berterima kasih atas budinya Bu Cek Thian maka kau menerima baik menjadi pengawalnya, bukan?"

"Bukan!, aku hanyalah mendengar segala keterangannya Wan Jie hingga aku mendapat tahu hal yang sebenar-benarnya. Sementara itu selama tiga tahun aku berobat itu, kupingku telah mendengar dan mataku telah menyaksikannya, selama itu aku menjadi mengetahui Thian-houw itu orang macam apa, maka juga setelah aku sembuh, aku bersedia menjadi pengawalnya."

Didalam hatinya, Lie It menghela napas.

Ia kata dalam hati kecilnya: "Bu Cek Thian dapat mengubah musuhnya menjadi hambanya yang setia, sungguh dialah seorang wanita yang harus dibuat takut! Aku hendak membangun pula Kerajaan Tong, nampaknya harapanku sudah tidak ada. Mungkin, jikalau Thay Cong Hongtee menitis pula, baru Bu Cek Thian ada tandingannya yang setimpal”

"Orang-orang yang mengibar-ngibarkan bendera, yang hendak membangun pula Kerajaan Tong," kata Tiangsun Tay terlebih jauh, "sebenarnya mereka, dalam sepuluh, ada delapan atau sembilan yang mempunyai maksud- hatinya sendiri-diri. Seperti Pwee Yam itu, dia sendirilah yang mau menjadi kaisar. Tahukah kau?"

"Sedari siang-siang aku telah mengetahui itu," menjawab Lie It. "Maka juga sekarang ini, hatiku sudah menjadi tawar. Ah, sudahlah, baik kita jangan omongkan soal merampas kekuasaan. Aku memikir untuk mendengar kabaran halnya Wan Jie."

Tiangsun Tay mencoba menguasai dirinya, toh masih terlihat kedukaannya. Ia berdiam sekian lama, baru ia dapat berkata, kata pula.

"Kau ketahui sendiri, Wan Jie itu datang kerumah kami waktu usianya tujuh tahun," ia melanjuti. "Sampai umur empatbelas tahun baru dia meninggalkannya. Aku telah melihatnya hingga ia menjadi besar, selama itu aku memandangnya sebagai adik kandung."

"Aku telah mendengar itu dari Wan Jie. Dia membilangi aku bahwa dia menghormati kau sebagai kakak kandungnya."

"Aku telah menjadi pengawal pribadi dari Thian-houw, dengan begitu selama delapan tahun aku tinggal bersama dia. Aku telah mendapat kenyataan, nyata orang yang berada didalam hatinya yalah seorang lain. Orang itu yalah kau!"

Lie It kembali tersenyum meringis. "Aku?" tanyanya.

Tentu sekali, hal ini ia telah mengetahuinya.

"Wan Jie mengatakan kaulah seorang yang berkepandaian tinggi." kata pula Tiang-sun Tay. "Setiap hari dia mengharap-harap kepulanganmu. Dia pun memikir untuk mendengar suara khim-mu serta membaca syairmu."

Lagi-lagi Lie It bersenyum meringis.

"Tapi dia mengetahui yang aku tidak bakal kembali," katanya.

"Akan tetapi untuk keberuntungannya seumur hidup, aku hendak mengasi nasihat padamu, biar bagaimana, kau harus pulang untuk menemui dia sekalipun untuk satu kali saja."

Paras mukanya Lie It menjadi pucat.

"Tidak, tidak, saudara Tay," katanya, suaranya gemetar. "Kau dengar, aku tidak bisa..., tidak bisa ..."

Sebenarnya hendak ia memberitahukan Tiangsun Tay sebahnya kenapa ia tidak dapat menikah dengan Siangkoan Wan Jie, karena ia sudah menjadi suami-isteri dengan Tiangsun Pek, tetapi Tiangsun Tay telah mendahului ia.

"Jangan kau menolak dulu! Kau biarkan aku bicara!" Mendadak suaranya pengawal pribadi dari Bu Cek

Thian ini menjadi keras.

Itulah tanda tergeraknya hatinya.

Lie It tercengang, karenanya, ia berdiam.

"Aku tahu bahwa kau sebenarnya sangat menyukai Wan Jie." kata Tiangsun Tay, melanjuti, "tetapi karena sekarang ia telah menjadi penulisnya Thian-houw, kau jadi membenci, dia, membenci dengan sangat."

Dengan cepat Lie It menggeleng kepala. "Bukan, bukan!" ia menyangkal. Memang mulanya ia membenci, tapi sesudah berselang banyak tahun, kebenciannya itu buyar lenyap.

"Aku bukan hendak menganjurkan kau nikah dia," kata Tiangsun Tay pula. "Tapi kau harus ketahui bahwa dia lagi menantikan kau. Kau lihat, inilah suratnya yang ia minta aku menyampaikannya padamu. Dia kata dia mempunyai syair, yang dulu hari kau sangat menyukainya. Dia menulis pula itu dengan tangannya sendiri. Dia tanya apakah kau masih ingat atau tidak."

Tiangsun Tay menyerahkan surat yang ia katakan itu dan Lie It menyambuti, untuk terus dibuka dan dibaca.

Memang itulah syairnya Wan Jie yang dulu hari itu, tentang "daun-daun baru rontok ditelaga Tong Teng."

Tentu sekali, ia ingat syair itu.

Ketika ia bertemu pula dengan Wan Jie habis merantau.

Wan Jie pernah membacakan untuknya.

Sekian lama ia ingat syair itu, tidak berani ia membacanya diluar kepala, sekalipun ditempat dimana tidak ada orang lain, sampai hari ini ia membaca pula dalam tulisannya si nona sendiri.

Ia menjadi berduka, hingga ia menghela napas.

Tanpa merasa, delapan tahun telah berselang "Sekarang kau telah mengert, jelas, bukankah?" kata

Tiang  sun  Tay  perlahan.  "Semenjak  lama  itu  terus ia

menantikan kau. Jikalau dia tidak dapat balasan kabar dari kau, dia pasti tidak bakal dapat menikah. Umpama kata benar kau tidak dapat nikah ia, sudah seharusnyalah jikalau kau membagi kabar kepadanya, agar ia dapat ketahui, supaya ia puas. Jikalau kau tidak pulang, bukankah kau seperti juga membikin celaka ia seumur hidupnya?"

Tiangsun Tay jujur dan polos, apa yang dia pikir, dia ucapkannya.

Lie It tergerak oleh kejujuran itu.

Kata-katanya pun memang benar dan mengenai jitu hatinya.

Ia pun ingat Wan Jie pernah memberitahukannya bahwa Tiangsun Tay samar-samar menaruh hati terhadapnya.

Maka ia kata didalam hatinya: "Tiangsun Tay mengajukan dirinya meminta Bu Cek Thian mengutus dia pergi keperbatasan, kiranya itu bukan melulu uniuk Wan Jie hanya juga untuk kepentingannya pribadi."

Maka ia lantas memberikan jawabannya: "Aku tidak bakal kembali ke Tiang-an, kau saja yang pulang, untuk memberi balasan kepadanya. Kau bilangi dia, seandainya dia bertemu orang yang dia penuju, aku harap sukalah dia lekas menikah untuk mendirikan rumah-tangga. Kau kata dia mempunyai urusan penting untuk mana dia perlu mencari aku. Adakah itu karena ia ingin mendapat keputusan dari aku? Baiklah! Kau kasi tahulah padanya, sejak delapan tahun yang lalu aku sudah mendo'a kepada Thian, memohon dia diberi perlindungan, supaya dia dapat seorang yang dipenuju olehnya!"

Tiangsun Tay heran hingga ia menjadi bingung. "Aku tidak mengerti kau," katanya. "Wan Jie sangat berdahaga ingin menemui kau, kenapa kau sebaliknya tidak suka menemui dia? Tentang urusan penting yang ia sebutkan itu, aku sendiri tidak tahu apa adanya, apa yang aku tahu yalah dia setiap hari bertambah lesuh dan rongsok ..."

"Kenapa aku tidak mau menemui dia?" kata Lie It, perlahan, bagaikan mendumal.

"Kenapa aku tidak mau menemui dia?"

Mendadak ia maju setindak, mencekal kedua tangannya Tiangsun Tay keras-keras.

Ia kata: "Ada satu hal yang kau belum ketahui! Diantara kita tidak ada hubungan satu pada lain, aku tidak dapat memberi kabar apa-apa kepadamu! Kau tahu, dengan adik Pek aku sudah menikah dan sampai sekarang ini sudah delapan tahun lamanya!"

Tiangsun Tay heran, terperanjat, tubuhnya gemetar. "Apa?" ia menegaskan.

"Kau telah menikah dengan si Pek?"

"Benar!" jawab Lie It. "Kami menikah dengan menuruti pesan ayah kamu, kita melakukannya itu tanpa menanti habisnya waktu berkabung. Sekarang ini anak kami sudah berumur tujuh tahun!"

Akhirnya Tiangsun Tay menjadi girang, hanyalah ia merasa sedikit likat.

Didalam hatinya ia berkata: "Aku mengira dia menyintai Wan Jie, kiranya sekarang dialah iparku!" Maka disitu mereka saling memberi hormat, diantara toako den moayhu, ipar satu dengan lain.

Kemudian mereka juga sating memberi selamat.

---o^Kupay^0DewiKZ^o---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar