Pendekar Aneh (Lie Tee Kie Eng) Jilid 15

 
"SETELAH mendapat pendidikan dari bibiku," Siok Tow kata pula, "kedua kera itu menjadi lie-hay sekali,sekalipun ahli silat pandai belum tentu gampang- gampang dapat mengalahkannya, maka kau tak usahlah kuatir, sumoay."

Orang she Pwee ini mengatakan demikian karena ia melihat si nona berpikir keras.

"Syukur ada Kim Ciam Kok-ciu Hee-houw Kian," Siok Tow menambahkan sesaat kemudian, "jikalau tidak, tidak nanti kau dapat melihat jenazah suhu "

"Kenapa, suheng ?" tanya Hian Song heran.

"Tubuh suhu dapat dikebalkan sampai sekarang ini sebab aku telah pakaikan ia obat yang duapuluh tahun dulu Hee-houw Kian berikan pada suhu," Siok Tow menerangkan. "Ketika itu suhu masih belum sucikan diri dan Hee- houw Kian mengirimkan dia bahan-bahan wewangian, yang katanya dapat membikin parasnya terlindung hingga tidak menjadi beroman tua."

"Semasa hidupnya bibi tidak pernah menggunai itu, siapa sangka ia memakainya setelah ia menutup mata. Benar-benar obat itu luar biasa khasiatnya."

Hian Song menghela napas.

"Hal obat itu pernah aku dengar suhu mengatakannya," ia kata.

"Sembari tertawa suhu menyatakan padaku, sebagai seorang suci ia tidak memerlukan obat harum itu, bahwa akulah si orang kaum muda, yang membutuhkannya. Suhu kata ia tidak menghendaki itu."

Sebenarnya ketika itu Hian Song pun kata, sebagai wanita bukan sembarangan wanita, ia tidak dapat menyenangi lain orang hanya dengan kecantikan, hingga gurunya memuji tinggi padanya.

Tentang ini ia tidak dapat menerangkan kepada Siok Touw.

"Ketika itu hati suhu sudah beku, dia tidak dapat menggunai obat itu," Hian Song berpikir pula. "Dilain pihak, cintanya Hee-houw Kian itu membuatnya orang terharu terhadapnya."

Nona ini mengetahui juga hal hubungan erat diantara gurunya dan Hee-houw Kian, itu pun sebabnya mengapa ia ingat mengantarkan Lie It kepada orang she Hee-houw itu untuk minta tolong diobati, sekarang melihat syair gurunya, baru ia mengerti baik, kedua orang itu mempunyai hubungan yang luar biasa erat.

Lantas ia ingat pula Lie It, hatinya menjadi tidak keruan rasa.

Selama itu, sang waktu telah lewat, kedua kera belum juga kembali.

Perlahan-lahan, Pwee Siok Touw nampaknya berkuatir.

"Siapakah kedua musuh tadi?" dia tanya Nona Bu.

Hian Song memberi keterangannya, ia melukiskan romannya si priya berbaju hijau yang bersenjatakan pacul itu.

"Oh, dialah Biat Touw SinKun !" kata Siok Touw heran. "Yang satu lagi?"

"Yang satu lagi, aku kenal. Dialah yang kaum Kang- ouw menyebutnya Tok Sian-lie murid dari Thian Ok Tojin."

Mendengar namanya Tok Sian-lie, Siok Touw kaget. "Ah, mengapa dia pun datang kemari ?" katanya

heran.

Hian Song heran melihat roman kakak seperguruan ini.

"Kepandaian Tok Sian-lie berada disebawahan kita, kenapa agaknya suheng sangat menghargakan dia !" ia tanya.

Siok Tow tetap mengasi lihat roman berkuatir, hatinya terang tidak tenteram. Ia belum lagi memberi jawabannya, lantas mereka mendengar pekik kedua kera, pekik dari kesakitan, menyusul mana kedua binatang itu muncul dimulut guha.

Melihat binatang itu ia kaget hingga ia berseru.

Kedua kera itu terluka dan darahnya masih menetes keluar.

Pasti Siok Touw heran dan kaget, sebab ia ketahui baik, selainnya liehay, binatang piaraan, gurunya itu  tidak mempan sembarang senjata tajam.

Dengan keduanya terluka, terang musuh liehay sekali, sedikitnya melebihkan dirinya sendiri.

Lantas Siok Touw memanggil kedua keranya, lantas ia memeriksa luka mereka.

"Syukur tubuh binatang beda dari tubuh manusia, kalau tidak, racun tentu sudah masuk kedalam jantung mereka," katanya.

"Dengan terserang jantungnya, pasti mereka terbinasa."

Hian Song terkejut.

Ia lantas menduga kepada Thian Ok Tojin.

Siok Touw mengeluarkan satu botol obat, dalam mana ada pel warna hijau, ia mengambil dua butir, ia masuki itu kedalam mulutnya, untuk dihancurkan, lalu ia memborehkan luka-lukanya kedua kera itu.

"Aku tidak kuatir untuk Tok Sian-lie, hanyalah gurunya," katanya kemudian.

"Kepandaian Thian Ok memang berada diatasan kita," kata Hian Song. "Akan tetapi jikalau kita berdua melawan dia, belum tentu kita dapat dikalahkan."

"Apakah kau pernah menempur Thian Ok?" tanya Siok Tow.

"Ya, delapan tahun dulu, diatas gunung Lie San," sahut si nona. "Bersama-sama tiga jago dari istana aku melawan dia dan kekuatan kita berimbang."

"Mungkin kau belum ketahui, selama beberapa tahun ini Thian Ok telah melatih hebat tangan beracunnya," kakak seperguruan ini memberitahu. "Sekarang dia muncul, tentulah dia sudah berhasil dengan peryakinannya itu. Yang aku buat kuatir bukan melainkan Thian Ok seorang. Pernahkah kau mendengar namanya Hek Gwa Sam Hiong?"

"Tidak," menyahut si nona menggeleng kepala. "Mereka itu terdiri dari Thian Ok Tojin, Biat Touw Sin-

Kun dan Pek Yu Siangjin," Siok Touw menerangkan. "Yang belakangan ini seorang pendeta. Thian Ok dan  Biat Touw pernah dikalahkan bibi. Diantara mereka, Pek Yu yang paling aneh Imu silatnya. Sebabnya bibi menyingkir kesini yalah disamping untuk mendekati Ut- tie Ciong juga guna bersedia kalau-kalau Hek Gwa Sam Hiong datang mencari balas. Sekarang ini Tok Sian-lie dan Biat Touw telah muncul bergantian, mungkin Pek Yu akan muncul juga "

Boleh dibilang baru Siok Touw menutup mulutnya menutur tentang Hek Gwa Sam Hiong itu. Tiga Jago dari Perbatasan, dari kejauhan lantas terdengar seruan yang luar biasa, mulanya seperti diselang bukit, lalu sebentar saja seperti berkumandang di luar pintu guha. Tanpa merasa, bersama-sama Hian Song, ia lompat keluar.

"Benar-benar yang datang bukan cuma seorang !" kata Siok Touw, terperanjat. "Sumoay, kau kembali kedalam, kau lindungi suhu! Umpama kata aku gagal, lekas kau bawa tubuh suhu menyingkir dari belakang guha !"

Hian Song heran.

Ia belum melihat musuh.

Tentu sekali ia menjadi bersangsi.

Justeru itu lantas terlihat seorang berlari-lari mendatangi, bahkan ia segera mengenali Thian Ok Tojin.

"Apakah suheng tidak keliru?" pikirnya. "Thian Ok seorang diri "

Thian Ok segera tiba didepan Siok Touw, ia menuding dengan kebutannya.

"Adakah kau muridnya Yu Tam si bhikshuni tua?" dia menegur.

"Lekas kau memberitahukan gurumu bahwa sahabat kekalnya datang mencari dia!"

Belum lagi Siok Touw menyahut, imam itu tertawa dan menambahkan, "Sebenarnya tanpa kau memberitahukannya, dia pasti telah ketahui aku sudah datang. !"

Lantas Hian Song mendengar lagi tiga kali seruan tadi, yang saling-susul, nadanya tinggi dan rendah bergantian.

Ia seperti merasakan hatinya bergetar. "Hebat tenaga-dalam imam itu," pikirnya.

Ketika ia berpaling kepada Siok Touw, ia melihat kakak seperguruan itu menjadi lebih tenang.

"Setan jahat, jangan banyak lagak!" kata Siok Touw. "Untuk menyembelih ayam tak usah memakai golok peranti memotong kerbau! Lihat pedang!"

Kata-kata itu dibarengi sama tikaman "Air sungai tumpah!"

Mendengar itu, Hian Song tercengang.

Tetapi ia cerdas, segera ia mengerti maksud suheng itu.

Rupanya sengaja suheng ini tidak mau mengasi tahu yang guru mereka sudah meninggal dunia, supaya musuh jeri.

Atas serangan itu, Thian Ok menangkis dengan kebutannya, yang mengasi dengar suara seperti tetabuan, sebab setiap bulu kebutannya menjadi kaku bagaikan jarum.

Suara itu berlagu sedap untuk telinga.

Maka kedua pihak heran dan terperanjat sendirinya.

Maksudnya Thian Ok menangkis untuk terus menotok dengan tipunya yang istimewa "Mengebut debu, menusuk liang," siapa tahu, pedang lawannya hebat sekali, bentrokan itu membuat belasan benang kebutannya terpapas kutung.

Yang hebat, pedang itu pedang biasa saja akan tetapi mirip pedang mustika. Maka itu menandakan mahirnya tenaga-dalam dari lawan ini.

Hian Song kagum melihat liehaynya suheng itu, maka itu, hatinya menjadi tenang.

Kedua pihak sudah lantas melanjuti pertempuran mereka.

Mereka sama-sama tangguh, dengan cepat mereka telah melalui dua puluh jurus lebih.

Siok Touw mendapat hati, ia mendesak, pedangnya berkelebatan tak hentinya, bagaikan badai atau hujan lebat.

Thian Ok membela diri dengan saban-saban main mundur.

Hian Song senang melihat ke-unggulan suhengnya itu, meski demikian, ia memikir untuk memberikan bantuannya, supaya pertempuran bisa lekas-lekas dihentikan, hanya. belum lagi ia maju, atau Thian Ok sudah berseru nyaring, sambil dengan kebutannya dia menangkis, dengan tangan kirinya dia merangsak menyerang!

Hebat serangan tangan kosong itu, disebabkan anginnya yalah angin bau bacin yang membikin orang ingin muntah.

Siok, Touw berkelit, pedangnya ditarik pulang, guna membabat tangan lawan.

Thian Ok berlaku sebat menarik pulang tangannya itu, begitu pedang lewat ditempat kosong, dia menyambar pula. Tangannya itu dibuka sepuluh jarinya, telapakannya nampak hitam.

Mau atau tidak, Siok Tow mesti mundur.

Justeru ini, ia berbalik kena didesak, hingga Thian Ok lantas menjadi si penyerang.

Dengan lantas keadaan Siok Touw menjadi buruk.

Sudah pedangnya senantiasa diganggu kebutan, yang hendak melibatnya, bau amis tangannya si imam mengganggu hebat kepada hidungnya, tak dapat ia menutup diri dari bau itu.

Syukur untuknya, ilmu pedangnya tetap tidak menjadi kacau.

Selagi bsertempur itu, mendadak Thian Ok tertawa nyaring dan berkata: "Ha...ha...! Kiranya Yu Tam si pendeta wanita benar sudah mampus! Hai, anak muda, kau bukanlah lawanku, jikalau kau tetap membandel, kau bakal mampus kecewa! Baiklah kau menyerahkan kitab ilmu pedang dan teratai salju kepadaku, mungkin aku memberi ampun kepada selembar jiwamu. !"

Didalam hatinya, Siok Touw kaget.

Ia tidak mengerti kenapa Thian Ok mengetahui rahasianya itu.

Justeru ia kaget, justeru si imam menyerang hebat, hingga ia terkejut, hampir saja ia kena terhajar kebutan.

Dengan lantas permainan pedangnya menjadi kalut. Menyaksikan keadaan suheng itu, Hian Song berkuatir. Ia menjummut sepotong batu, dengan gerakannya "Lauw Hay menyebar uang emas," ia menimpuk kearah Thian Ok.

Itulah serangan sama dengan serangan senjata rahasia uang emas atau kim-chiepiauw.

Thian Ok mendapat tahu datangnya senjata rahasia, ia mengebut dengan kebutannya.

Akan tetapi, karena ia memecah perhatiannya, ia memberi kesempatan kepada Siok Touw, hingga lawannya itu mendapat ketika memperbaiki diri.

Hian Song terus memasang mata.

Satu kali ia melihat sinar mata suhengnya diarahkan kepadanya.

Ia mengerti itulah tanda untuk ia masuk keguha.

Berbareng dengan itu, ia ingat bahwa Thian Ok mempunyai kawan.

Ia berpikir dengan cepat:

"Mengandal kepada ke-gagahannya, suheng tentu dapat bertahan lagi sekian lama, atau kalaupun ia kalah, ia tentu dapat menyingkirkan dirinya. Sebaliknya, kalau tubuh suhu dirusak musuh, inilah hebat"

Karena ini, ia mengambil putusan buat masuk kedalam guha.

Thian Ok melanjuti desakannya. Segera dia berhasil pula.

Mendadak dia tertawa dan berkata nyaring: "Biat Touw Sinkun, aku kata si pendeta wanita Yu Tam sudah mampus, kau tidak percaya! Sekarang kau percaya, bukan? Kenapa kau tidak mau lekas-lekas menggunai ketikamu?"

---o^KUPAY^0^DewiKZ^o---

BELUM berhenti kata-kata itu, dari tikungan bukit terlihat munculnya Biat Touw Sin-kun.

Sebenarnya ada maksudnya kenapa Thian Ok muncul digunung Thian San ini.

Ia mau mencari murid yang perempuannya.

Munculnya ini sekalian dikarenakan ia telah berhasil dengan latihan Tok Ciang Kang-hu, yalah kepandaian Tangan Beracun.

Dikaki puncak Lok To Hong, ia bertemu sama muridnya itu, Tok Sian-lie, yang berada bersama Biat Touw Sin-kun.

Sin-kun lantas saja merasa tidak enak, dia jengah sendirinya.

Ia ingin menegur Sin-Kun tetapi ia menunda ketika ia melihat muridnya terluka dan Sin-Kun pun habis dipecundangi, sebaliknya ia menanyakan duduknya hal.

Lantas ia menduga kepada Yu Tam Lao-Nie, sebab ia pernah melihat kedua kera dari bhikshuni tua itu.

Ia kaget berbareng girang.

Ia pernah mendengar hal-nya Yu Tam sudah meninggal Dunia, ia masih ragu-ragu lantaran belum memperoleh kepastian. Sekarang ia mendengar halnya kedua kera itu, ia berfikir: ”binatang itu, binatang piaraannya Yu Tam, keduanya ada disini, Yu Tam mesti berada disini juga. Sekarang aku akan dapat pecahkan teka-teki ia benar sudah mati atau masih hidup "

Karena bersama Biat Tow Sin-Kun ia pernah dikalahkan Yu Tam, Thian Ok menjadi jeri, seorang diri ia masih berkuatir melawan niekouw tua itu, maka ia mengajak kawannya ini, untuk membuat penyelidikan.

Juga Biat Tow tetap bersangsi.

Tok Sian-lie tidak terluka parah, dia ditinggalkan dikaki gunung setelah dia diobati.

Tidak lama muncullah kedua kera, maka Thian Ok melukakannya dengan pukulan tangannya yang beracun.

Setelah itu, Thian Ok mendaki puncak, sedang Biat Tow, yang licik, mengatakan hendak membantu dengan diam-diam.

Thian Ok tidak puas akan tetapi ia tidak bisa memaksa.

Demikian Thian Ok menempur Siok Touw.

Sampai Siok Touw terdesak itu, Yu Tam masih juga bc-lum muncul, maka Sin-Kun berkata didalam hatinya: "Thian Ok melukakan kedua keranya, sekarang Siok Touw hampir kalah, kalau Yu Tam masih hidup, tidak ada alasan kenapa dia tidak lekas muncul."

Maka ia mau percaya, niekouw itu benar sudah mati, dari itu barulah ia berani keluar dari tempatnya sembunyi, untuk memberikan bantuannya. Pwee Siok Tow mengeluh melihat Biat Tow datang, pikirnya: "Kedua kera sedang terluka, su-moay seorang diri, mana dapat dia melawan Sin-kun? Maka itu aku harap su-moay dapat melihat selatan dan melarikan diri siang-siang.”

Oleh karcna ia berfikir, Siok Touw menjadi terpecah perhatiannya, maka ia bertambah terdesak.

Bau amis dari tangan jahat Thian Ok pun menyerang hidungnya tambah hebat, hingga kepalanya menjadi pusing dan matanya mulai berkunang-kunang, hingga dengan sendirinya, silatnya mulai kacau lagi.

Nyali Biat Touw menjadi besar, dia tidak perlu membantu Thian Ok, dia lari langsung kemulut guha, sembari tertawa lebar, dia mengawasi dengar suaranya yang nyaring dan jumawa: "Bu Hian Song, tidak dapat kau bersembunyi lagi! Lekas muncul dan berlutut dan mengangguk-angguk terhadapku!"

Ia berpendapat sama seperti Pwee Siok Touw, dengan kedua kera telah terluka, disana tinggal si nona seorang diri.

Mustahil tak sanggup dia membekuk nona itu? Sunyi-senyap guha itu.

Dari dalam tak ada jawaban. Biat Touw tertawa pula.

"Jikalau kau tidak suka keluar, baiklah, terpaksa aku mesti menyeretmu!" katanya.

Lalu dia mengangkat kakinya, untuk bertindak memasuki guha. Tapi tidak dapat dia bertindak terus.

Dia seperti menemui sesuatu yang hebat.

Tertawanya terhenti dengan tiba-tiba, matanya terpentang, mulutnya menganga.

Dia berdiri tercengang! Apakah yang terlihat?

Disana diatas meja, Yu Tam Sin-Nie duduk bersila.

Biat Touw tidak tahu suatu apa tentang obat param atau pembalsem dari Hee houw Kian, dia pun tidak dapat menduga.

Dia cuma melihat bhikshuni tua itu duduk tenang bagaikan manusia hidup, kedua matanya separoh terbuka separoh tertutup, dan bibirnya terbuka sedikit bagaikan lagi hendak berbicara kepadanya.

Sedetik dia tercengang atau semangatnya terbang, apa yang dia ingat melainkan satu: "Ha, kiranya Yu Tam masih belum mati! Aku terpedayakan Thian Ok!"

Ketika dulu hari Biat Touw terlukakan Yu Tam, dia mesti pulang untuk berobat dan berlatih pula sepuluh tahun lamanya.

Sebenarnya dia sama liehaynya dengan Thian Ok dan Pek Yu Siangjin, lantaran lukanya itu, kemudian dia ketinggalan.

Pula ketika dia dilukakan hebat oleh Yu Tam, bhikshuni itu telah mengancamnya, apabila mereka berdua bertemu pula, dia hendak dipatahkan tulang selangkanya. Dari itu, disamping dia sangat membenci Yu Tam, dia juga jeri bukan main.

Maka sekarang, saking takutnya tak terkira, dia tidak sempat lagi mencari tahu Yu Tam masih hidup atau benar-benar sudah mati!

Tepat dia mendusin dan mau memutar tubuhnya guna mengangkat langkah seribu, Hian Song lompat keluar dari belakang gurunya dimana semenjak tadi ia menyembunyikan diri.

Ia melompat sambil menyerang dengan pedangnia.

Pula berbareng dengan ia, kedua kera turut muncul juga, untuk menerkam!

Celaka untuk Biat Touw, yang tak semnat bersiap sedia itu.

Kedua tulang pundaknya kena dicengkeram kedua kera dan jalan darah kiok-tie disiku lengannya nya tertikam pedangnya Hian Song, hingga lengannya itu kontan luka dan tak bertenaga.

"Suhu, tidak usah suhu turun tangan sendiri!" kata Nona Bu nyaring.

Lalu dengan meniru suara gurunya, ia berkata: "Muridku, kau wakilkan aku memusnahkan ilmu silatnya!"

Pandai si nona meniru lagu suara gurunya itu, hingga nyalinya Biat Tow seperti hancur luluh.

Jangan kata sekarang dia telah terluka, walaupun belum, tidak nanti dia berani melawan Hian Song. Maka juga dengan menahan sakit, dia meloloskan diri, dia lari tunggang-langgang keluar dari dalam guha itu

......!

Selagi orang ngacir itu, Hian Song menyusut peluhnya

- peluh dingin!

Karena ia telah menggunai akal-muslihatnya orang dijaman Han: "Cu-kat yang mati menakuti-kabur kepada Tiong Tat yang hidup!" (Cu-kat yalah Cu-kat Liang, dan Tiong Tat ialah Su-ma Ie.)

Itulah tipu sekali pukul.

Selagi Hian Song menyusuti keringatnya itu, kedua kera pun rebah ditanah dengan napas mereka memburu, karena keduanya menyerang musuh selagi mereka menderita luka-luka.

Akan tetapi Nona Bu tidak dapat ketika akan berdiam lama-lama.

Diluar, Siok Tow lagi menghadapi bahaya.

Maka ia mengasah otaknya, menciptakan lagi sebuah tipu daya lain.

---o^DewiKZ^0^KUPAY^o---

Melayani Thian Ok Tojin, Pwee Siok Tow menjadi sangat letih dan payah.

Ia sudah berkelahi hampir seratus jurus, hingga tenaganya hampir habis.

Yang paling menyulitkan yalah itu bau amis dari tangan beracun lawannya itu, seperti sia-sia saja ia menguatkan hati melawan pusingnya kepala dan berkunang-kunangnya matanya.

Lagi beberapa jurus, mestilah ia roboh ditangan imam yang liehay itu.

Ia putus asa kalau ia ingat kedua kawan musuh pasti tengah mengepung Hian Song sedang kedua kera terluka parah.

Dengan menguatkan hati, dengan mengempos semangatnya, ia masih mencoba mempertahankan diri

..........

Untung bagi Siok Tow, setelah merasa pasti kemenangan sudah ada dipihaknya, Thian Ok tidak kesusu untuk merobohkannya.

Imam ini hanya menanti ketika yang baik untuk mengirim hajarannya yang terakhir.

Justeru itu, mendadak Thian Ok mendengar teriakannya Biat Tow, yang segera terlihat lari keluar dari dalam guha, agaknya ia telah terluka.

Dia menjadi kaget sekali.

Segera dia ingin menegur kawan itu, untuk menanyakan sebabnya, atau kupingnya lantas mendengar teguran: "Thian Ok, imam jahat, nyalimu sangat besar! Justeru aku lagi menutup, diri, kau berani datang menghina muridku!"

Dia lantas memandang kearah guha dimana, dimulut guha itu, terlihat Hian Song lagi mendorong sebuah kereta diatas mana ada seorang bhikshuni duduk bersila dan bhikshuni itu bukan lain daripada Yu Tam Sin-Nie. Bukan main kagetnya Thian Ok tidak perduli dia bernyali besar.

"Ah,  kiranya  dia  hanya  menutup  diri  untuk berlatih. " katanya dalam hati.

Selagi orang kaget dan ragu-ragu itu, Siok Tow berseru sambil menyerang, pedangnya meluncur dengan jurus "Bintang mengambang."

Mulanya pedang menyampok kebutan, lalu diteruskan menikam, tepat melukai musuh.

Tapi Thian Ok lain daripada Biat Tow, walaupun dia kaget, dia bersangsi untuk suara si pendeta wanita, hanya disebabkan kena tertikam, dia jadi menuruti hawa- amarahnya.

"Binatang, kau berani membokong!" serunya. "Jangan kau harap hidup!"

Dia memutar tubuhnya, tangan kirinya melayang.

Siok Touw menyerang dengan sekuat tenaganya, syukur ia mengenai sasarannya, kalau tidak, mestinya ia terjerunuk jatuh.

Karena serangannya itu, ia tidak sempat membela diri, maka itu, tangannya si imam juga mengenai tepat padanya, hingga ia terpental setombak lebih.

Habis menyerang itu, Thian Ok kaget sendirinya.

Dia merasa pasti Yu Tam sudah mati, suara tadi bukan suara bhikshuni itu, tetapi karena terluka dan baru habis menggunai tenaga berlebihan, mendadak matanya berkunang-kunang dan kupingnya pun berbunyi, ia merasa tenaganya habis, maka tanpa berpikir lagi, ia terus lari turun gunung sekuat-kuatnya. ---o^DewiKZ^0^KUPAY^o---

HIAN SONG menyaksikan itu semua, ia tidak berani mengejar imam itu.

Ia menyangka orang masih tangguh sebab sudah terluka masih dapat melukakan Siok Tow, hingga ia memikir haruslah ia cepat menolong suheng itu.

Coba ia tahu hal yang benar dan ia mengejar Thian Ok, mungkin ia dapat menyandak dan membinasakannya.

Ia melepaskan keretanya, ia lari kepada Siok Tow, muka siapa pucat-pasi dan dari mulut dan hidungnya keluar darah.

Untuk leganya hatinya, ia toh mendapatkan suheng itu tersenyum dan berkata : "Su-moay, bagus sekali akal kau...! Dengan mengandal pengaruh suhu, kau berhasil membikin iblis-iblis itu kabur...! Sungguh berbahaya keadaan kita!"

Suheng itu lantas mengetahui akal-muslihat adik seperguruannya itu.

Kereta yang dipakai pun kereta peranti mengangkut kayu bakar.

Hian Song mengeluarkan peluh dingin.

Siok Touw dapat tertawa dan tersenyum akan tetapi suaranya parau, lalu kulit mukanya berubah semakin pucat. Hian Song melihat itu, ia berkuatir, lantas ia mau memeriksa nadi sang suheng.

"Jangan!" suheng itu mencegah, menggeleng kepala. "Lekas kau keluarkan peles obat dari sakuku. Jangan kau bentur kulitku!"

Hian Song heran, tapi in, lantas mengawasi. Ia lihat kulit suheng itu menjadi hitam.

Itulah tanda keracunan.

Pula dengan cepat sekali, tangan dan kaki suheng itu menjadi tidak dapat digeraki lagi.

Maka hebat sekali "Hu Kut Sin-ciang," ilmu Tangan Sakti Merusak Tulang dari Thian Ok Tojin.

Dilain pihak, ia pun mengagumi mahirnya tenaga- dalam suheng itu, yang sampai itu waktu masih dapat mempertahankan diri.

Dengan berhati-hati, dengan dua jari tangannya, si nona mengeluarkan peles obat yang disebut itu, sebuah peles kecil.

Didalam situ ada beberapa butir pel warna hijau.

"Lebih dulu kau telan sebutir," Siok Touw kata.

Suaranya sangat perlahan hingga hampir tak terdengar.

Hian Song tahu obat itu mesti obat pemunah racun, dan ia tahu juga, sang suheng menyuruh ia makan obat itu guna menjaga diri kalau-kalau ia, kena menyentuh tubuh suheng itu.

Ia menurut. Ia lantas merasakan hawa segar didadanya, sedang baunya obat harum sekali, hingga bau amis disekitar mereka lantas buyar lenyap.

Habis itu, ia mengasi makan obat itu kepada suheng itu, yang mulutnya ia mesti bentet karena lekas sekali Siok Touw merapatkan mulut dan matanya.

Ia mengasikan tiga butir obat pulung itu.

Tidak lama Hian Song menanti, Siok Tow lantas muntah.

Yang keluar yalah darah.

Dengan lekas, kulit suheng itu mulai berubah, dari pucat menjadi hitam, lalu pucat pula dan menjadi merah.

Pula kedua matanya segera dapat dibuka.

"Sungguh berbahaya!" Siok Touw membuka suaranya sembari menyeringai.

"Tanpa Pek Leng Tan peninggalan suhu ini, mestilah aku hilang jiwa.”

Baru sekarang Hian Song kenal obat yang mujarab itu. Lantas ia bekerja.

Ia lari kekereta, untuk menolak itu masuk kedalam guha, guna memernahkan tubuh gurunya, kemudian ia mendorong pula kereta keluar guna menolongi suhengnya, untuk membawa suheng itu kedalam guha.

"Kau letih, su-moay," kata Siok Touw, hatinia lega dan berterima kasih. "Sekarang kau tidak usah melayani aku lagi, ada kedua kera yang dapat merawat aku. Jikalau ada urusan penting, kau dapat turun gunung." Siok Touw berkata demikian tanpa ia ingat kedua keranya pun terluka parah dan memerlukan rawatan.

Hian Song tahu, urusan yang dimaksud Siok Tow  yalah urusan Lie It.

Tentu sekarang ia tidak dapat segera mengurus itu. Suheng ini memerlukan rawatan.

"Suheng, tak usah kau pikirkan urusan lain," ia berkata. "Tunggu saja sesudah kau sembuh."

Siok Touw mengetahui lukanya itu, ia tidak memaksa. Hebat tangan jahat dari Thian Ok.

Tiga hari Siok Touw dirawat Hian Song, baru ia dapat dahar sendiri bubur dan tubuhnya juga dapat berkutik diatas pembaringannya.

Tanpa Pek Leng Tan dari Yu Tam Sin-Nie, mestinya tulang-tulangnya pun terusak racunnya si imam.

Kedua kera mendahului kesembuhan majikannya.

Dihari ke-tiga, keduanya sudah dapat bergerak dengan leluasa.

Maka itu Siok Tow lantas mendesak agar si adik seperguruan pergi turun gunung.

Hian Song menolak.

Biar ia memikirkan Lie It, tidak dapat ia lantas pergi.

Maka juga ia menunggu sampai tujuh hari, diwaktu mana baru Siok Tow bebas benar-benar dari racunnya Thian Ok, dapat dia turun dari pembaringannya, tinggal lemasnya saja. Hari itu ia menerima baik permintaan suhengnya  untuk mengubur jenazah gurunya, yang terpaksa ia lakukan sendiri.

Tentang pembuatan batu nisannya, itu ia serahkan si suheng, yang akan menyelesaikannya lain waktu.

Sekembalinya Hian Song habis mengubur, Siok Tow kata padanya: "Su-moay, kau sekarang harus mewakilkan aku. Khan Turki memberi tempo satu bulan kepada Lie It. Sekarang ini telah lewat tujuh hari, dia perlu lekas ditolong. Suhu menugaskan aku menolong Lie It, tidak dapat aku menjalankan tugas itu, maka kau tolonglah aku."

Pikiran si nona kusut, sekian lama ia berdiam saja. "Aku hendak merawat lagi kau buat dua hari,"

sahutnya. "Setelah kau sembuh betul baru aku pergi, hatiku lega."

"Sudah begitu banyak hari aku membuat kau cape, aku merasa kurang enak hati," kata Siok Touw. "Kedua kera sudah sembuh, mereka dapat merawat aku. Baiklah besok saja kau berangkat."

Hian Song terumbang-ambing.

Sebenarn ya ia berkuatir untuk Lie It, tetapi suheng ini masih sakit dan masih membutuhkan rawatannya, tidak tega ia lantas meninggalkannya.

Mencari Lie It, hatinya berlawanan.

Ingin ia menemuinya, ingin ia tak melihatnya .........

Bukankah diantara ia dan Lie It telah menyelak Tiangsun Pek? Bukankah keadaan mereka bukan lagi keadaan delapan tahun yang lampau?

Ia memikir, memang paling-baik ia jangan menemui pula Lie It, maka juga ia minta bantuannya Pwce Siok Touw.

Tapi sekarang Siok Tow sakit, untuk menanti kesembuhannya seluruhnya mungkin dibutuhkan tempo satu buIan, dari itu, mana ia bisa menunda pula?

Mesti ia segera mencari Lie It.

"Malam ini kau boleh baca kitab pedangnya suhu," Siok Touw berkata pula, "kalau ada bagian yang kurang jelas, kau boleh tanya aku."

"Terima kasih, suheng," kata si nona bersyukur.

Malam itu Hian Song tidak dapat tidur pulas, terus otaknya bekerja, baru dengan menguatkan hati, ia turut perkataannya Siok Tow, yalah ia membeber kitab pedang gurunya, untuk membaca dan meyakinkannya.

Kitab itu menarik perhatiannya, maka kemudian dapat ia memusatkan pikirannya.

Bagian depan dari kitab itu Hian Song sudah mengerti, maka ia membaca bagian belakangnya, yang ditulis gurunya selama guru itu berdiam digunung Thian San buat beberapa tahun.

Ia cerdas, ia tidak menampak kesukaran untuk dapat mengerti.

Ia cuma memberi tanda pada beberapa bagian, untuk besok ia tanyakan keterangan suhengnya. Guha itu mempunyai cuma dua kamar, satu untuk Siok Tow, yang lain untuk gurunya, selama Siok Touw sakit, Hian Song tidur diluar kamar suhengnya itu, untuk setiap waktu dapat ia menjagainya.

Mereka sama-sama priya dan wanita sejati, mereka tidak merasa likat.

Demikian malam itu, si nona tetap mengambil tempat didepan kamar sang suheng.

Selagi membaca, satu kali ia menoleh kedalam kamar, yang pintunya cuma dirapatkan sedikit.

Kebetulan sekali, sinarmata mereka bentrok.

Siok Touw belum tidur pulas, dia separoh menunjang tubuh dan matanya diarahkan ke si nona.

"Suheng, mengapa kau belum tidur?" sumoay itu tanya.

"Aku merasa segar sekali, belum aku ingin tidur," sahut Siok Touw tersenyum. "Apakah ada bagian atau bagian-bagian yang sumoay kurang mengerti?"

Mendapatkan orang segar itu, Hian Song lantas menggunai ketikanya untuk mengajukan beberapa pertanyaan menurut catatan yang ia bikin, yang mana Siok Tow menerangkannya dengan jelas.

"Terima kasih, suheng," kata si nona kemudian. "Sekarang aku telah mengerti semua. Silakan kau tidur."

Habis berkata, Hian Song memahamkan pula kitabnya.

Selang tidak lama, ia menoleh pula kepada kakak seperguruannya itu. Ia mendapatkan sang suheng masih belum tidur dan mata orang tetap ditujukan kepadanya.

Ia heran.

"Kenapa suheng masih belum tidur?" ia tanya.

"Aku lagi memikirkan sesuatu," menyahut Siok Touw. "Sebentar lagi juga aku tidur. Sekarang sudah jauh malam, besok pagi kau mesti pergi, sumoay, kau juga baiklah tidur."

Hian Song mengangguk. Ia tetap heran.

Ia melihat suatu hal luar biasa pada sikapnya suheng ini.

Itulah tak nampak selama malam-malam yang telah lewat.

Tapi ia tidak mengatakan sesuatu, ia melainkan membujuki agar suheng itu tidur.

Lewat sekian lama, Hian Song menoleh pula kepada suhengnya.

Siok Touw tetap belum tidur, tetapi mendapatkan si nona berpaling kepadanya, ia berpura-pura pulas, matanya dimeramkan.

Ketika itu sudah mendekati fajar, Hian Song tidak membilang suatu apa lagi.

Satu malam suntuk ia tidak tidur, begitupun suheng itu.

Selekasnya terang tanah, Nona Bu lantas berkemas- kemas. Siok Touw turun dari pembaringannya, ia tidak dapat tidur tetapi ia segar sekali, bahkan ia bersemangat melebihkan kemarinnya.

Ia menyerahkan kitab syair dan kotak gurunya, ia mengulangi pesannya poma-poma agar semua itu disampaikan secara baik kepada Bu Cek Thian dan Hee- houw Kian.

Katanya, untuk membikin senang hati guru mereka dialam baka.

Kemudian ia pun menyerahkan dua peles obat seraya berkata: "Ini peles yang lehernya panjang memuat Pek Leng Tan. Kau tahu sendiri, aku terluka dan teracunkan Thian Ok Tojin tetapi aku dapat hidup karena aku mengandalkan ini obat mujarab buatan suhu, maka kau- bawalah ini untuk berjaga-jaga. Dengan menyimpan obat ini, kau tidak usah takuti senjata rahasia apa juga yang ada racunnya. Dan ini, botol mulut bundar, memuat Ie Yong Tan. Inilah obatnya Hee-houw Kian untuk suhu. Suhu tidak membutuhkan itu, begitu juga aku, maka kau bawalah sekalian."

Ia lantas menjelaskan aturan pakainya obat pel itu. Ie Yong Tan yalah pel untuk mengubah paras.

Terus ia berkata pula : "Ie Yong Tan dapat mengubah wajah menjadi tua atau muda sesuka kita, cuma satu yang tidak dapat dirubah, yalah sinarmata, hingga siapa pandai melihat, dia akan tetap dapat mengenali orang usianya tua atau muda atau kepandaian silatnya tinggi atau tidak. Orang biasa saja tidak dapat memperhatikan itu.” Hian Song mengangguk berulang-ulang, ia ingat baik- baik semua keterangan itu.

Didalam hatinya ia berkata: "Itu hari Tiangsun Pek menyamar menjadi nyonya Uighur, aku kena diabui, mungkin ia pun menggunai obat ini. Sekarang aku Hian pergi kekota raja khan Turki, perlu aku akan obat ini"

Maka ia menyambuti dan menyimpan hati-hati kedua peles obat itu.

Ia sangat bersyukur untuk kebaikannya suheng ini, tanpa merasa ia mengucurkan airmata.

Siok Tow selalu mengawasi adik seperguruan itu, maka ia melihat orang berduka, ia sendiri matanya mengembeng air.

Ia menghela napas, ia berkata perlahan: "Su-moay, aku menghaturkan banyak terima kasih kepada kau yang telah merawat aku selama beberapa hari ini. Semenjak hari ini kau akan kembali ke Tionggoan, maka aku rasa sulit untuk kita nanti dapat bertemu pula "

"Semoga suheng berhasil menjadi satu guru besar ilmu persilatan," kata Hian Song. "Jikalau lain hari aku datang pula kewilayah perbatasan ini, pasti aku akan menyambangi kau, suheng."

Hian Song mengatakan demikian meskipun ia tahu ketika yang diharap itu sukar datang puIa.

Umpamakata benar ia dapat kembali, dengan adanya Lie It suami-isteri di gunung itu, belum tentu ia sudi menjenguknya. Ia menginsafi suheng itu berat berpisahan dengannya, ia turut merasa berat juga, hanyalah ia tak dapat menjajaki seluruh hatinya si suheng.

"Suheng, aku minta sukalah kau menjaga diri baik- baik," kemudian ia berkata. "Sekarang adikmu hendak berangkat, aku minta diri."

Ia lantas memberi hormat.

Siok Touw membungkam tetapi ia memegang erat- erat tangannya sumoay itu.

"Baik, kau berangkatlah!" katanya kemudian,  perlahan.

Begitu mengucap, ia memutar tubuhnya.

Hian Song bertindak, selang sekian lama, ia menoleh, maka ia melihat suhengnya itu berdiri menyender dipintu guha, matanya mengawasi kearahnya.

Ia berduka bukan main tetapi ia berjalan terus.

Ia pergi ke kuburan gurunya, guna paykui tiga kali, untuk pamitan dari arwahnya guru itu.

Ia menangis menggerung-gerung kapan ia ingat budinya sang guru.

---o^KUPAY^0^DewiKZ^o---

SAMPAI tengah-hari baru Hian Song jalan melewati puncak Lok To Hong, Puncak Unta, maka disana, diantara pepohonan lebat, ia melihat rumah batu dari Lie It.

Ia bertindak cepat akan tetapi diluar tahunya, ia tiba diluarnya rumah batu itu.

Ia berduka kapan ia ingat, karena ianya, Tiangsun Pek telah mesti pergi jauh.

Lantas saja ia menjadi heran kapan ia mendapat kedua daun pintu terpentang lebar.

Ia ingat, ketika ia meninggalkannya, pintu itu ia telah tutup.

"Mustahilkah Tiangsun Pek sudah pulang?" ia tanya dalam hati.

Kembali diluar keinginannya, Hian Song bertindak masuk kedalam rumah batu itu.

Setibanya didalam, apa yang ia tampak, membuat hatinya tidak tenteram.

Rumah itu kacau, ada baju dan lainnya, yang berserakkan dilantai.

Khim tua kepunyaan Lie It, tidak ada. Hian Song berdiri menjublak.

"Jikalau Tiangsun Pek yang pulang mengambil pakaian, tidak nanti dia membuat kacau hegini," pikirnya.

"Kalau lain orang, apakah yang dicari? Mungkinkah dia mengambil khim tua itu sebab dia tahu itulah alat tetabuan yang disayangi Lie It?"

Percuma si nona menerka, ia tidak memperoleh jawabannya. Ditembok masih tertinggal syairnya Tiangsun Pek.

Dengan itu Nona Tiangsun mendukakan hidupnya yang menderita.

Itu pula hidupnya sekarang ini, yang senantiasi diliputi kedukaan.

Ia menjadi terharu sendirinya.

Akhirnya ia kata didalam hatinya: "Mudah-mudahan aku berhasil menolong anaknya Lie It itu, untuk dengan tanganku sendiri menyerahkannya kepada Tiangsun Pek, habis itu aku pulang ke Tionggoan, tidak nanti aku datang pula kemari, supaya Tiangsun Pek ketahui hatiku."

Sambil menyusut airmatanya, ia bertindak keluar dari rumah itu.

Seterusnya, kecuali beristirahat seperlunya, Hian Song melakukan perjalanan siang dan malam, maka selang setengah bulan, ia sudah melintasi gurun pasir Chakasutai, hingga lagi lima atau enam hari, ia bakal tiba dikota raja Turki. (Dengan Turki disini dimaksudkan Turks atau Tuchüeh atau Tu-Kiu, yang di jaman Ahala Tang sudah luas wilayahnya, dan yang di Timur disebut Turks Timur dengan kotarajanya di Urumkhi sekarang.)

Ia berlega hati karena percaya ia bakal sampai sebelum habis tempo satu bulan yang diberikan khan.

Pada suatu hari Hian Song tiba di kali Kalashaer, yang panjangnya beberapa ratus lie, sedang didalam wilayah Turki ini, kali atau sungai sedikit sekali.

Ia girang sekali, terutama karena baru saja ia  melintasi gurun. Dengan lantas ia mengisikan penuh dua buah kantung airnya, habis mana ia melanjuti perjalanan mengikuti gili- gili.

Di kedua tepian tumbuh pohon-pohon kayu seperti berbaris, pemandangannya indah.

Baru jalan serintasan, Hian Song mendengar kelenengan yang datangnya dari arah belakang, dimana debu pun mengepul naik.

Ia menduga kepada serombongan kafilah saudagar. Ketika ia menoleh, nyata dugaannya keliru.

Itulah serombongan dari delapan busu atau Perajurit Turki dengan seragamnya yang mentereng, yang mengiringi sebuah kereta besar, yang datangnya dari hulu kali.

Kereta itu indah, ditarik empat ekor kuda bulu putih jempolan.

"Tentulah seorang pangeran lagi meronda," pikir Hian Song.

Lantas ia menyingkir kebelakang sebuah bukit.

Diwaktu seperti itu, ia tidak mau nanti terbit onar.

Tidak lama pula rombongan perajurit pengantar kereta ito telah tiba didepan bukit kecil dibelakang mana si nona bersembunyi.

Dari dalam kereta itu lantas terdengar suara terompet hukhia serta pentilan tungpala, mengiringi sebuah nyanyian sedih.

Mendengar lagu itu, Hian Song seperti mengenalnya. Ia lantas mengingat-ingat, maka tahulah ia bahwa itulah lagu "Hukhia Sippat Pek." yang dijaman Han Timur diciptakan Coa Bun Kie, nona yang dinikahkan pada seorang raja suku Wushun.

Tidak aneh lagu itu berada diwilayah Hwee-Kiang ini, hanya heran adalah lagu itu dimainkan dan dinyanyikan orang yang berada didalam kereta indah itu serta iringan perajurit keren.

Mestinya wanita itu bukan sembarang wanita. Kenapa dia demikian bersusah hati?

Nyanyian itu dilagukan dalam bahasa Uighur, dan diantaranya Hian Song dengar : "Keluargaku menikahkan aku ke suatu ujung langit, jauh kesebuah negara asing pada raja Wushun."

Maka itu, ia menjadi terharu hatinya. Kereta itu dihentikan ditepian kali.

"Beristirahat sebentar disini," terdengar suara seorang wanita dari dalam kereta.

Lantas beberapa pelayan wanita turun dari kereta, untuk membangun tenda.

Beberapa perajurit lantas pergi mengambil air, untuk dibawa kedalam tenda.

"Rupanya dia mau mandi," kata Hian Song didalam hati.

Dengan "dia," ia tidak tahu dia itu nyonya atau nona. Akan tetapi ia tidak usah bersangsi lama. Segera ia melihat seorang nona Uighur keluar dan turun dari keretanya, dia cantik sekali, matanya jeli, giginya putih, rambutnya bagus.

Selagi nona itu masuk kedalam tenda, beberapa perajurit beristirahat ditepian, tetapi yang dua berjalan mundar-mandir, untuk meronda.

Beberapa kali mereka datang dekat tempat sembunyi Nona Bu, hingga Hian Song sudah menyiapkan beberapa butir batu untuk mendahului menghajar andaikata ia terpergok.

Ketika itu ada terdengar suara kuda dikaburkan datang, hingga Hian Song mengintai.

Ia segera melihat datangnya seorang busu yang menunggang kuda, busu itu muda dan kudanya ber-bulu merah.

Selagi mendatangi, busu itu memanggil berulang- ulang : "Karosi...! Karosi...!"

"Siapa?" bentak seorang pengawal.

"Siapa berani menyebut namanya permaisuri kami!"

Dengan Permaisuri, pengawal itu maksudkan selir rajanya.

Menyusul bentakan itu, beberapa batang anak panah lantas menyambar-nyambar kearah pemuda itu.

Dia liehay, dengan mengangkat tangannya, dia menyambuti dua batang, lantas dia melemparkannya, untuk menanggapi yang lainnya, hingga beruntun belasan batang anakpanah itu kena dilemparkan kekali!

Hian Song pun heran. "Kalau wanita cantik itu selir khan, kenapa dia keluar sendirian dan dia meninggalkan jauh istananya? Dan siapa ini anak muda, yang nyalinya besar, yang berani menyusul kereta selir? Dia pun gagah-perkasa ..."

Lekas sekali, pemuda itu bersama kudanya sudah sampai dimuka tenda dalam jarak beberapa tombak saja.

Masih dia memanggil-manggil : "Karosi...! Karosi...!" "Hai, kau gila!" bentak dua busu seraya mereka  maju,

untuk menahan kuda.

Sambil berbenger, kuda itu tertahan dan mundur berdiri dengan kedua kaki belakangnya.

Dengan begitu terbukti tangguhnya kedua perajurit itu.

Anak muda itu berlompat turun dari kudanya. "Minggir!" ia membentak.

"Aku mau menemui Karosil"

Kedua busu itu tidak mau mundur, bahkan mereka maju untuk menyergap kedua kaki orang.

Yang satu menyambar kaki kanan, yang lain kaki kiri.

Rupanya mereka berniat merobohkan orang sebelum orang tiba ditanah.

Pemuda itu benar liehay, tanpa menanti menginjak tanah, sambil melompat itu, ia menendang, sedang kedua tangannya membacok kekiri dan kanan kepada seorang busu lainnya.

Hebat kesudahannya bentrokan ini. Tangannya seorang busu itu kena terhajar seperti tergunting, tangan itu lantas diturunkan kebawah tanpa berdaya, sedang yang lainnya kena tertendang terjungkal.

Perajurit Turki gemar akan kegagahan, menyaksikan bentrokan itu, mereka itu bersorak-sorai.

"Hai, kau cari mampus!" tiba-tiba terdengar suara bentakan, dari perajurit yang menjaga dimulut tenda.

Dia berewokan, romannya bengis, gerakannya pun sangat cepat, bentakannya itu dibarengi serangan kedua tangannya.

Kali ini empat buah tangan bentrok satu dengan lain, sebagai kesudahannya, si anak muda mundur beberapa tindak.

Dengan majunya si busu, kawan-kawannya, yang sudah bergerak, lantas mundur pula.

Dialah rupanya pemimpin mereka.

Anak muda itu tidak takut, sambil menghunus golok, ia maju pula.

Ia lantas disambut si busu, yang juga menggunai golok.

Maka sekarang golok mereka berulang-kali mengasi dengar suara nyaring. Golok pemuda itu kalah tajam, dua kali bagian tajamnya terbacok gompal.

Tiba-tiba tenda disingkap, si wanita cantik muncul. "Semua berhenti" ia memerintah, tapi suaranya

merdu.

"Karosi” seru si anak muda, suaranya parau. Dia girang, hatinya tegang. Ingin ia maju mendekati.

"Diam!" kata selir cantik itu, suaranya dingin. "Aku larang kau maju meskipun lagi satu tindak!"

Pemuda itu melengak.

"Karosi!" katanya. "Kau tidak mengenali aku?" "Saerhai, mau apa kau datang kemari?" si wanita balik

menanya. "Apakah ayahku yang memerintahkannya?" Dengan ayah, ia menyebutnya ayah-raja.

"Ah...!" kata pemuda ini heran. "Aku mengadu jiwa untuk datang kemari, apakah kau tidak tahu?"

"Hm..., kau berani bicara begini terhadapku?" kata wanita itu. "Jikalau aku tidak ingat kaulah sahabatku semenjak masih kecil, tentu aku telah menghajar patah kakimu!"

Pemuda itu menjublak.

"Karosi!" katanya, suaranya menggetar. "Kau ,... kau

... menjadi berubah sekali! Baiklah, pergilah kau ke kota raja untuk menerima kemuliaanmu, disini aku memberi selamat padamu! Apakah ini juga tidak menyenangkan kau? Hm...! Hm...! Ha... ha... ha...!"

Sakit hatinya pemuda ini, dia mendongkol dan gusar, hingga habis mengudal kegusarannya itu lantas dia tertawa dingin tak hentinya, sedang kedua matanya mendelik terhadap selir raja itu.

Ia tidak menyangka sekali bahwa Karosi-nya itu sudah tidak sudi mengenalnya! Tubuhnya si cantik juga menggigil, akan tetapi dia dapat menenteramkan diri.

"Baiklah, sekarang kau telah bertemu denganku," katanya tawar. "Kau pulanglah...!"

Saerhai berhenti tertawa, hatinya menjadi seperti beku.

"Karosi, benarkah kau sudi menjadi selirnya khan?" kemudian ia tanya, matanya dipentang lebar.

Wanita itu tertawa enteng.

"Dengan kecantikanku, dengan sifatku, mustahil aku tidak sembabat untuk menjadi selir khan?" dia kata. "Kecuali khan yang agung, siapa lagi yang sepadan untuk dipasangi dengan aku?"

Pemuda itu menjerit, lalu dia berdiam.

"Tidak, tidak!" katanya kemudian. "Aku tidak percaya...! Aku tidak percaya...!"

Si cantik itu mengangkat tangannya. "Panah mati kudanya...!" ia menitah.

Perintah itu lantas dijalankan seorang pengawal. Pemuda itu tercengang.

Kudanya itu kuda yang ia paling sayang dan Karosi pun sangat menyukai kuda itu, tetapi sekarang, atas perintah si cantik, kuda itu roboh binasa diujung panah...!

"Lihat, apakah kau masih dapat menyusul aku!" kata wanita itu, tertawa dingin. "Jikalau kau masih tidak mau pergi maka anakpanah yang ke-dua bakal memanah kau!"

Mukanya pemuda itu menja di sangat pucat, tetapi dia berteriak : "Aku tidak takut hatiku ditembusi berlaksa anakpanah akan tetapi kata-katamu lebih tajam dari berlaksa anakpanah itu, maka itu anggaplah hatiku sudahlah mati! Karosi, kau jaga dirimu baik-baik, Saerhai tidak dapat melayani kau lagi...!"

Dengan menutup mukanya, pemuda itu memutar tubuh, untuk lari pergi.

Tapi ketika ia sudah lari kira2 sepuluh tombak, ia toh menoleh kebelakang, hingga ia mendapat lihat si nona berdiri menjublak ditempatnya tadi.

"Karosi!" ia memanggil pula, tak tahan hatinya.

Karosi tertawa dingin, ia putar tubuhnya, untuk masuk kedalam tenda, dari mana segera keluar perintah : "Bongkar tenda...! Lantas berangkat...!"

Maka repotlah semua pengawal itu bekerja, hingga dilain saat kereta indah itu sudah mulai berangkat pula, meninggalkan si pemuda gagah.

Hian Song mengintai terus-menerus, tak puas hatinya. Ia berada di pihak si anak muda.

Katanya didalam hati: "Menurut pembicaraan mereka, Karosi belum menikah sama khan, rupanya sekarang dia lagi diantar untuk pernikahannya, dan Saerhai ini yalah kekasihnya. Pemuda ini mempertaruhkan jiwanya untuk menemui pacarnya, boleh dibilang besar sekali cintanya

..."

---o^Kupay^0^DewiKZ^o--- HIAN SONG keluar dari tempatnya sembunyi.

Ia masih melihat tubuh si anak muda bagaikan bayangan lagi berjalan dibawah pepohonan.

Tidak ayal lagi ia berlari keras, untuk menyusul.

Ia menggunai ilmu ringan tubuh hingga ia tidak mengasi dengar suara apa-apa.

"Tidak bisa jadi...! Tidak bisa jadi...!" kata anak muda itu seorang diri. "Aku tidak percaya...! Aku tidak percaya...!"

"Benar!, Aku juga tidak percaya...!" Inilah perkataan Hian Song tiba-tiba.

Ia berada dibelakang orang dan mendengar nyata perkataan si anak muda, lantas ia campur bicara.

Saerhai kaget, ia berpaling dengan cepat.

Untuk herannya, ia melihat seorang nona Han yang cantik.

Ia berdiri melengak, matanya menatap. "Apa katamu?" ia tanya. "Kau siapa?"

"Pertemuanmu dengan Karosi telah aku lihat semua," kata Hian Song tanpa menjawab.

"Aku pun menyaksikan pertempuranmu sama si berewokan itu. Tadi dia menyerang keatas, lalu dia mengubah kebawah, sebenarnya dia dapat melukakan kau, tetapi senjata miring dan kena kau tangkis. Tahukah kau apa sebabnya itu?"

Saerhai heran sekali. Tapi ia menginsyafinya. "Jadi kau telah membantu aku secara diam-diam?" katanya.

"Benar," si nona mengakui. "Dengan sebutir batu aku timpuk goloknya itu, syukur dia tidak curiga."

"Aku juga tidak curiga apa-apa. Kau... kau ... siapa?

Kau mempunyai kepandaian yang mahir sekali!" Hian Song bersenyum.

"Aku Thian San Kiam-kek!" ia menyahut. Saerhai terkejut.

Ia pun ketahui nama Thian San Kiam-kek, Jago Pedang dari Thian San.

Nama itu tersiar luas di Selatan dan Utara gunung Thian San itu.

"Oh, kau Thian San Kiam-kek !" katanya. "Pantas kau kosen sekali !"

Tapi ia lantas agaknya heran, ia menatap Nona Bu. Katanya pula : "Kabarnya Thian San Kiam-kek itu priya

! Adakah itu dusta ?"

"Dialah kakakku," sahut Hian Song cepat. "Kami kakak-beradik tinggal sama-sama di Thian San. Karena kami bertabiat sama, gemar campur urusan orang banyak, kami suka turun gunung dengan bergantian. Orang luar tidak tahu apa-apa, mereka menyama ratakan kami, semua disebut Thian San Kiam-kek saja.”

Sengaja Nona Bu memakai nama Thian San Kiam-kek, guna membikin orang mempercayainya. Ia berhasil, karena pemuda itu lantas percaya padanya.

Bukankah orang gagah dan dia telah dibantu secara diam-diam ?

"Kau menyebut-nyebut tidak percaya," kata Hian Song kemudian. "Bukankah kau tidak percaya Karosi dapat berbuat begini macam terhadapmu ...?."

"Aku tidak percaya dia ikhlas menjadi selirnya khan l" "Benar, aku pun tidak percaya, begitu cantik dia tapi,

hatinya dapat demikian kejam ! Tapi toh, perbuatannya itu aku telah lihat dengan mataku sendiri, maka itu sungguh sukar untuk dipercaya..."

"Tidak, memang tidak nanti kau dapat mengerti," kata Saerhai. "Ketika tadi aku meninggalkan dia, aku berpaling kepadanya, aku melihat matanya maka  aku mendapatkan dialah tetap Karosi dulu hari ! Dia berubah baru saja ...! Inilah yang tidak dapat dimengerti ... !"

Hian Song menghela napas.

"Siapa memain asmara, cuma dia sendiri yang ketahui hatinya," ia berkata, ”cuma kekasihnya yang ketahui  itu... Apakah kau sudi menjelaskan aku tentang pergaulan kamu berdua ? Mungkin aku dapat membantu kamu ..."

Saerhai berpikir.

Ia merasa nona ini dapat dipercaya.

Ia memang ingin menumpahkan rasa hatinya, agar itu tidak terpendam saja dan membuatnya sesak dada.

Ia lantas menyusut kering airmatanya. "Ayahnya Karosi yalah seorang raja sebuah negara jajahan khan," ia berkata kemudian. "Dan ayahku yalah pengawal yang dipercaya raja itu. Aku bersama Karosi telah berkawan sejak masih kecil, sampai menjadi besar, kami hidup rukun melebihkan kakak dan adik ..."

Ia berhenti sebentar, agaknya ia berduka sekali dan juga likat, tetapi toh ia melanjuti : "Dan dia, beberapa kali sudah dia menyatakan padaku, dia tidak mau nikah lain orang kecuali aku..."

"Kenapa kau tidak melamar dia. ?"

"Aku toh seorang busu biasa saja ?" sahut Saerhai. "Bukankah derajat kami beda jauh ? mana dapat aku membuka mulut terhadap ayahnya, seorang raja ? Karosi mengerti kesulitanku itu, maka ia kata padaku, justeru kami masih muda, ia suka menanti sampai aku berhasil mendirikan jasa, setelah aku peroleh pangkat, baru aku mengajukan lamaran kepada ayahandanya. Ia kata, sampai itu waktu, pastilah ayahnya akan menerima lamaranku itu. Selama beberapa tahun ini telah datang lamaran-lamaran untuk Karosi, semua itu ia tampik, karena benar-benar ia menunggui aku. Diluar dugaan, kali ini datang lamaran dari khan yang agung, dan diluar dugaanku, tanpa membilang apa-apa, ia membiarkan ayahnya mengantarkan ia kepada khan itu !"

"Jadi sebelumnya ini, kau tidak tahu apa-apa. Sebelumnya, pernahkah kau bicara dengan kekasihmu itu

?"

"Tidak, tidak ada kesempatan bagiku. Duduknya begini

: Pada dua bulan yang lalu telah diadakan ujian untuk memilih pengawal raja. Aku turut mengambil bagian dan keluar  sebagai  juara  pertama.  Raja  memberi  hadiah padaku dan mengangkat aku menjadi pengawal pribadi. Inilah ketikaku untuk minta ayahku mengajukan lamaran, guna meminta tangannya Karosi. Belum sampai lamaran diajukan, kebetulan aku ditugaskan melakukan ronda ditapal batas. Ketika akhirnya aku pulang dari perbatasan, tahu-tahu Karosi sudah menjadi selirnya khan !"

"Jikalau begitu, mungkin raja ketahui lelakon asmara kamu," kata Hian Song.

"Dan kau sengaja diberi tugas jauh, untuk menyingkirkan kau untuk sementara waktu."

"Memang, bukan cuma raja yang ketahui itu diuga ayahku, maka itu sepulangnya aku, ayah membujuki dan memberi nasihat padaku agar aku jangan tolol dan memikir yang tidak-tidak. Berbareng dengan itu, raja menaikan pangkatku tiga tingkat, mengangkat aku menjadi pemimpin dari barisan pengawalnya. Aku tahu, raja hendak menghibur aku. Karosi, sudah pergi, biarpun aku menjadi khan, apakah artinya itu ?”

"Rupanya, kau terus-terusan menyusul Karosi dan baru hari ini dapat menyandaknya ?"

Saerhai menghela napas.

"Sepulangnya aku, satu malaman aku berpikir keras, aku tetap tidak percaya Karosi kemaruk keagungan. Pernah dia menyatakan padaku, jikalau kami dapat mewujudkan cita-cita kami, suka dia melepaskan kedudukannya sebagai puteri, ikhlas dia hidup merantau dipadang rumput. Maka itu, sesudah mengambil putusan, aku lantas pergi menyusul padanya. Dia berangkat baru tiga hari. Aku menunggang kuda pilihan menyusulnya. Aku telah mengambil ketetapan, asal dia tidak berubah pikiran, aku bersedia mengurbankan jiwaku untuk menolongi dia.”

"Khan boleh mempunyai ratusan laksa serdadu serta banyak negara jajahannya, tetapi padang rumput luas sekali, mustahil disana tak ada tempat sembunyi untuk kami berdua ? Aku berpikir demikian, tetapi Karosi lain ! Dia menyatakan dia suka menjadi selir khan dan  dia telah memerintahkan memanah mati kudaku...!"

"Apakah kau sekarang telah berputus asa ?" Hian Song tanya.

"Meskipun dia bersikap begini, aku tetap tidak berani menaruh kepercayaan bahwa in benar-benar menyukai khan. Inilah pasti bukan hatinya yang sejati! Jikalau dia benar berubah, ketika aku menoleh padanya, tidak nanti dia mengawasi aku dengan sinar matanya macam begitu

!"

"Habis, bagaimana sekarang pikiranmu ?" Saerhai merangkap jari-jari angannya.

"Kudaku telah dipanah mati dia, tidak dapat aku menyusul padanya, maka itu, selama hidupku selanjutnya, tidak nanti aku dapat mendengar kata-kata dari hatinya itu ...!"

Hian Song mengawasi pemuda itu, ia tertawa. "Kau percaya aku atau tidak?" tanyanya.

"Apa kau bilang...?"

Saerhai menatap, mendelong. "Jikalau kau percaya aku mari kau berikan suatu barang kepercayaan. Nanti aku pergi pada Karosi, untuk mencari tahu hatinya yang sebenarnya itu. Kau sendiri, pergilah kau ke ibu kota khan, disana kau menyembunyikan diri untuk mendengar kabar baik dari aku."

Pemuda itu percaya si nona.

Lantas ia mengeluarkan sebuah kantung harum dan menyerahkannya.

"Inilah kantung sulamannya Karosi sendiri," ia bilang. "Kau bawalah ! Dikota raja ada seorang sahabatnya ayahku, aku dapat pergi padanya untuk menumpang tinggal sekalian mendengar dengar tentang Karosi."

Saerhai lantas memberi tahu alamat sahabat ayahnya itu.

Hian Song menyimpan kantung itu, ia meminta diri, dengan ilmu lari yang keras, ia pergi menyusul rombongannya Karosi.

---o^Kupay^0^DewiKZ^o---

SELANG tiga jam, ia melihat tendanya mereka itu semuanya belasan buah, dan satu yang ditengah, didepannya dijaga oleh dua pengawal.

"Ditempat begini dimana jarang ada orang lain, penjagaan dilakukan demikian teliti, itulah pasti kemahnya Karosi,” pikir si nona.

Maka ia maju dengan berhati-hati untuk mendekati. Ia tahu apa yang ia mesti lakukan.

Begitulah ia menjumput dua potong salju, ia menimpuk keudara, hingga salju itu memperdengarkan suara, yang dapat didengar kedua pengawal.

Mereka itu kaget dan heran, mereka menyangka kepada burung elang.

Hanya, diwaktu malam mana mungkin burung demikian terbang berkeliaran ? Ketika mereka dongak keatas, potongan salju itu lumer menjadi air, mereka tidak dapat melihat, maka itu, mereka jadi semakin heran.

Justeru mereka dongak, justeru Hian Song nelusup masuk kedalam tenda.

Bagian dalam dari tenda itu memakai alingan layar sulam.

Dibagian sebelah luar ada beberapa pelayan wanita, yang lagi rebah-rebahan atau duduk.

Dengan timpukan koral halus, Hian Song membikin mereka itu tertotok pulas.

Ia menyingkap tenda dan menimpuk sangat cepat hingga tak ada pelayan yang mempergokinya.

Itulah totokan, kecuali ada yang tolong, yang membuat orang tak sadarkan diri sebelum lewat tempo satu jam.

Tenda dalam ada apinya, api lilin. Ketika Hian Song mengintai, ia melihat Karosi yang sampai jam tiga malam itu masih belum tidur. Dia duduk seorang diri dengan sewaktu-waktu menghela napas perlahan.

"Saerhai..., Saerhai..., mana kau ketahui kesengsaraan hatiku...!", dia berkata perlahan.

"Biarlah kau membenci aku, supaya kau menganggapnya didunia ini tidak ada Karosi lagi...! Biarlah hatimu padam, supaya kau tidak usah menimbulkan keonaran...”

Mendengar itu girang Hian Song: "Saerhai benar, Karosi masih mencintanya...! Hanya puteri ini, sengaja menyakiti hati si anak muda. Karenanya, mendadak ia tertawa geli sendirinya, lalu ia menyingkap tenda, untuk bertindak masuk ...!"

Karosi terkejut, ia menjadi heran mendengar suara tawa ini, dan melihat seorang nona Han muncul secara tiba-tiba itu.

Ia mementang lebar matanya, ia membuka mulutnya, untuk berteriak, atau Hian Song melambaikan kantung harumnya didepan matanya seraya cepat berkata dengan perlahan...: "Seet ...! Karosi! jangan takut...! Aku disuruh Saerhai menjenguk kau ...!"

Puteri itu diam, ia menenangkan dirinya.

"Kau siapa ?" tanyanya kemudian. "Kenapa kau ketahui urusanku dengan dia...? Belum pernah aku mendengar Saerhai menyebut-nyebut kau..."

Hian Song bersenyum.

"Akulah Thian San Kiam-kek," ia menjawab. "Tadi aku telah melihat bagaimana kamu berdua membuat pertemuan. Aku pun telah berbicara sama Saerhai." Ia lantas menuturkan tentang pembicaraannya itu.

Perihal Thian San Kiam-kek, Karosi pernah mendengarnya dari Saerhai.

Sekarang ia melihat kantung harum itu, mau Ia percaya keterangannya nona bangsa Han itu.

"Silakan duduk," kemudian ia mengundang.

Ia menghela napas, lalu ia menambahkan : "Apakah Saerhai belum mati hatinya ? Aku mengira dia membenci aku sampai disungsumnya!"

"Sedikitpun Saerhai tidak membenci kau. Ia ketahui baik bahwa kau tetap menyintai dia. Aku justeru datang untuk meminta penegasanmu. Akulah yang tidak mengerti. Dia demikian menyintaimu, mengapa kau sebaliknya memperlakukan dia begini rupa ?”

Matanya si puteri mengembeng air.

"Sebenarnya aku lebih bersengsara daripada dia," ia menyahut. "Tapi, apa mau diperkatakan ? Biarlah aku menderita sendiri ..."

Nona Bu menyekal tangan orang erat-erat.

"Karosi, mungkin dapat aku membantu kau," katanya. "Maka kau bicaralah. Taruhkata aku tidak dapat menolong, dengan kau berbicara, hatimu bisa jadi lega sedikit. Aku seorang Han, aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa, jikalau kau menutur, aku tidak nanti menutur lebih jauh kepada orang lain."

Nona agung itu mengawasi. "Ketika kau masuk kemari, apakah kau melihat pelayan-pelayanku?" ia, tanya. "Apakah mereka sudah pada tidur?"

Hian Song tertawa.

"Tanpa aku pergi memanggil, tidak nanti mereka bangun!" katanya.

Karosi heran.

"Bagaimana itu?" dia bertanya.

"Karena aku telah totok jalan darah tidur pulas mereka itu." Hian Song menjelaskan tentang ilmu totoknya itu.

Karosi heran dan kagum.

"Sebenarnya mereka semua orang kepercayaanku" katanya sesaat kemudian.

"Maka itu tidak ada halangannya andaikata mereka mendengar pembicaraan kita ini. Kakak apakah kau pandai ilmu dewa? Kepandaian kau ini hebat!"

Hian Song tersenyum, ia menggeleng kepala. Karosi minum tehnya, yang terseduh tua.

"Negara ayahku yalah diutara gurun besar, dikaki gunung Altai," kemudian ia mengasi keterangan. "Negeriku kecil sekali, luasnya cuma tiga atau empat- ratus lie persegi, sedang rakyatnya tak lebih daripada sepuluh laksa diiwa. Syukurnya yalah tanahnya subur, ada ladang peternakannya, ada pula tambang emasnya. Setiap tahun kami membayar upeti kepada Khan yang agung. Sebegitu, jauh kami hidup aman dan bahagia, sampai pada tiga bulan yang lalu, Khan yang agung itu mengirim utusannya kepada ayahku meminta upeti yang berupa sesuatu yang ayahku paling menyayangnya ..."

"Adakah itu parit emas dikaki gunung Altai itu?" Hian Song memotong.

"Bukan...!, kalau itu hanya tambang emas, itu gampang diurus. Yang diinginkan khan itu yalah diriku. Ketika aku mendengar permintaan itu, hampir saja aku menceburkan diri kedalam telaga. Untukku, mati ada paling baik. Aku lebih rela mati daripada berpisah dengan Saerhai... Akan tetapi tidak dapat aku mati. Aku masih mempunyai seorang ayah, masih ada negaraku ..."

"Jadinya sebuah negara menindih pundakmu!" kata Hian Song. "Pantaslah kau rela pergi kepada Khan ...”

"Khan besar dari Turki itu mendatangi pelbagai negeri, banyak yang dia musnahkan, maka dia menyebut dirinya raja dari sekalian raja," kata pula si nona.

"Pasukan perangnya saja lebih besar sepuluh lipat dari rakyatku, kami adalah sebuah negara kecil yang menjadi jajahannya, jikalau kami menyebabkan dia gusar, dengan gampang dia dapat membikin negara kami hancur-lebur, kemala dan batu biasa akan habis menjadi debu. Sudah parit emas bakal terjatuh kedalam tangannya Khan itu, juga ayahku, Saerhai, dan semua orang yang aku cintai, semua sukar lolos dari mara-bahaya, maka terpaksa aku menuruti kehendak ayahku, Saerhai disingkirkan dan lamarannia Khan diterima baik. Demikian aku diantarkan. Lebih dulu daripada itu, aku pun telah siap-sedia, aku sudah menyiapkan sebotol kalau sampai harinya Khan memaksa aku menikah dengannya, akan aku pakai itu guna membunuh diri. Dengan aku mati didalam istananya, Khan boleh cuma menarik napas panjang- pendek, dia boleh menyesalkan dirinya, tidak dapat dia penasaran terhadap ayahku..."

"Tetapi, Karosi!" kata Hian Song, "tidak dapat kau bertindak demikian!"

Nona ini sudah lantas mengambil keputusannya. Karosi tertawa sedih.

"Telah aku pikir berulang-kali, aku merasa inilah dayaku yang paling sempurna," ia kata. "Tindakanku ini akan menolong ayahku dan negaraku, juga menolong Saerhai dan diriku sendiri. Tetapi Saerhai tolol, dia tidak dapat memikir seperti aku ini, dia cuma dapat memikir hendak menggunai kegagahannya untuk merampas aku pergi! Maka itu terpaksa aku ambil sikap seperti yang telah aku ambil tadi siang. Aku menyuruh pengawal membinasakan kudanya, supaya tidak dapat dia menyusul padaku, supaya dia tidak dapat merepotkan pula padaku. Dia benar gagah tetapi dia mana dapat melawan orang-orangnya Khan yang demikian banyak dan bengis bagaikan serigala atau harimau? Jikalau dia memaksa juga merampas aku, aku kuatir dia tidak bakal berhasil mendapatkan aku, sebaliknya, dia bakal terbinasa di-ujung goloknya pengawal-pengawal Khan itu. Kakak, kau mengertilah sekarang."

"Aku mengerti. Dengan berlaku kejam begitu terhadap Saerhai, kau hendak membikin Khan tidak curiga."

"Bukan cuma itu. Aku juga ingin Saerhai tidak turut curiga, hingga dengun-begitu tak usahlah ia menjadi nekat dan pendek pikiran."

"Jadi kau kuatirkan dia bunuh diri karena cintanya itu kepadamu?" "Benar. Jikalau dia membenci aku, dia tidak dapat mati."

"Sayangnya dia tidak percaya kau ..." Karosi girang berbareng berduka.

Girang karena cinta suci dari Saerhai.

Ia berduka lantaran ia kuatir, karena cintanya itu, Saerhai nanti menempuh bahaya.

Hian Song mengusap-usap rambut bagus dari puteri itu.

"Apakah kau suka menikah sama Saerhai?" ia menanya perlahan. '

Karosi heran, ia mengangkat kepalanya clan menatap si nona bangsawan dihadapannya.

"Buat apakah ditanyakan lagi?" katanya. "Sayang, walaupun aku menghendakinya, itu cuma dapat diwujudkan nanti dilain penitisan ..."

Hian Song tersenyum.

"Tidak, tidak demikian!" katanya.

"Aku mempunyai daya untuk membikin kamu dapat mencapai cita-cita kamu!

Karosi mementang matanya lebar-lebar. "Benarkah?" ia menegasi, suaranya gemetar.

Mendadak Hian Song membuka bajunya dan meloloskan juga perhiasan rambutnya.

"Karosi, mari kita saling menukar pakaian!" ia bilang. "Untuk apakah itu?"  "Kau jangan tanya. Kau turut dulu perkataanku." Walaupun ia heran, Karosi menurut.

Sesudah mereka selesai dandan, Hian Song

mengasikan dua butir Ie Yong Tan kepada puteri raja itu, untuk dia pakai, habis mana mereka berdiri berendeng, memandang diri mereka didepan kaca.

Benarlah, Hian Song telah menjadi seperti Karosi, dan Karosi mirip seorang nona bangsa Han.

"Apakah aku mirip kau?" Nona Bu tanya tertawa. "Rada  mirip,"  menyahut  Karosi,  setelah memandang

sekian  lama,  "hanya  kalau  orang  yang  mengenal aku,

pasti dia dapat membedakannya." Mendadak ia menggeleng kepala.

Ia kata: "Apakah kau hendak menyamar menggantikan aku menjadi selir khan? Tidak!, ... tidak dapat!"

"Mengapa tidak dapat?"

"Semua pengawal Turki disini mengenal aku, sebab sudah beberapa hari kita berada bersama-sama. Aku juga tidak mengerti ilmu-silat, mana bisa aku minggat?"

Hian Song tertawa.

"Jikalau mereka yang belum lihat kau, yang cuma melihat gambar saja, bukankah mereka dapat diabui? Pula ini untuk sementara waktu saja."

"Jadi maksud kau untuk memperdayai khan saja? Kau dapat menyaru jadi aku dan disaat tiba diistana, kau dapat mengerudungi diri, buat sementara, kau memang bisa, tetapi kau mesti ingat, untuk tiba dikotaraja masih diperlukan tiga-empat hari perjalanan, maka itu, ditengah jalan, mana bisa kau mendustai beberapa pengawal Turki itu?"

"Berapa pelayan kau bawa?” "Sama sekali delapan."

Hian Song tertawa.

"Semua pengawal itu tidak nanti memperhatikan pelayan-pelayanmu itu seperti mereka memperhatikan kau."

"Itu benar. Dapat kau menyamar menjadi pelayanku. Tapi, apakah faedahnya itu? Tidak nanti kau dapat menolong aku! Pula, kalau orangku mendadak lebih satu orang, pasti pengawal-pengawal Turki itu curiga"

"Kau dengar aku," Hian Song membujuk, menjelaskan. "Selama ditengah jalan, aku akan menyamar menjadi salah seorang pelayanmu, setibanya diistana, aku akan menyaru menjadi kau sendiri. Keretamu ini besar sekali, disini masih bisa disembunyikan satu atau dua orang."

Karosi mengerti.

"Benar," katanya. "Hanya, tidakkah itu merendahkan derajatmu? Tapi, begini saja. Aku nanti menyuruh seorang budakku tetap bersembunyi, kau yang menjadi dia, kau dapat terus menemani aku. Diwaktu kereta singgah, kau jangan turun, sekalian pengawal itu tidak bakal melihat kau...”

Untuk sejenak puteri ini terlihat gembira, lantas sinar matanya menjadi sayu pula, tandanya ia berduka.

"Karosi, jangan takut. Akal ini pasti berhasil!” "Tidak!" kata si nona mendadak. "Kenapa tidak?"

"Kau dapat menipu untuk satu waktu, tidak untuk selama-lamanya! Jikalau Khan mengetahuinya, tidak saja dia bakal tetap meminta aku, kau juga bisa celaka!"

"Jikalau aku sudah bertemu sama Khan, aku mempunyai dayaku lainnya. Aku tanggung dia tidak bakal menarik panjang urusan ini."

"Apakah kau hendak membunuh khan? Tidak dapat kau berbuat demikian”

"Aku tidak memikir membunuh, aku mempunyai daya.

Kau percaya saja padaku!”

Mengetahui orang yalah Thian San Kiam Kek, dan berkepandaian tinggi, terpaksa Karosi memberi kepercayaannya.

Hian Song melihat romannya masih ragu-ragu, ia tertawa.

"Apa yang kau masih ragukan? Kau masih melihat sesuatu yang kurang sempurna?"

"Tidak, hanya setibanya di kotaraja, cara bagaimana aku dapat lolos?"

"Tentang itu telah aku mengatur. Aku sudah berjanji bersama Saerhai. Kita pergi dulu ke kotaraja, nanti dia menyusul"

"Aku masih bersangsi, setibanya di kotaraja, walaupun Khan tidak segera memaksa melakukan pernikahan, dia tentunya menyambut kita masuk kedalam istana, kedalam keraton, umpama kata Saerhai ketahui kita berada disana, kita toh tidak dapat bertemu dengannya”

Hian Song merasa soal ini benar juga, maka ia berpikir.

Tapi Karosi ingat suatu apa, ia berkata: "Adalah aturan atau kebiasaan dikampung halamanku, jikalau seorang anak perempuan menikah, setibanya dia dirumah suaminya, seperangkat pakaian yang dia pakai harus dikirim pulang kerumah ibunya. Itulah berarti, tadinya dia hidup mengandal ayah-ibunya, selanjutnya dia mengandal pada suaminya. Maka setibanya di kotaraja, nanti aku minta kepada Khan supaya aku dapat menitahkan dua orang pelayanku menaiki keretaku ini pulang dengan membawa pakaianku itu sekalian aku mengirim surat pada ayah bundaku mengabarkan  hal aku telah tiba dengan selamat di kotaraja.”

Setelah berhenti sejenak, Karosi berkata pula: "Aku percaya khan bakal menerima baik permintaan itu. Maka itu waktu, aku nanti menyamar mendiadi budak, aku memakai pel Ie Yong Tan, untuk meloloskan diriku."

Hian Song setujui akal ini, maka mereka lamas mengambil ketetapan. Sampai disitu, ia menotok sadar semua pelayan perempuan.

Sekalian dayang itu heran melihat mendadak muncul seorang nona Han diantara mereka.

Karosi bisa mengerti keheranan semua pelayannya itu, ia lantas memberikan keterangannya sekalian memesan mereka itu untuk jangan membuka rahasia.

Semua dayang itu mengetahui lelakon puterinya dengan Saerhai, mereka menaruh simpati, maka itu, mereka lamas memberikan janji mereka untuk menutup mulut, guna menyimpan rahasia.

Bahkan mereka suka membantu.

Demikian Hian Song menyamar menjadi dayang tanpa diketahui pengawal pengiring.

---o^Kupay^0^DewiKZ^o---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar