Pendekar Aneh (Lie Tee Kie Eng) Jilid 13

 
IA BERSYUKUR Lie It tidak terbinasa didalam jurang, ia berduka karena mereka berpisah.

Tapi, berpisah hidup itu suatu penderitaan hebat.

Maka selama delapan tahun itu, entah beberapa kali ia pernah mengucurkan airmata.

Ia tahu Lie It tidak bakal kembali, ia juga tidak mengharap-harap lagi, tetapi, penghidupan itu gaib, ia justeru ditugaskan Bu Cek Thian mencari pemuda bangsawan itu!

Bu Cek Thian, ratu dari kerajaan Ciu, telah menjadi wanita tua usia tujuhpuluh tahun, dan dia ingin sekali lekas-lekas mendapatkan orang yang bakal mewariskan takhtanya.

Dia mempunyai seorang keponakan, yalah Bu Sin Su, dan keponakan ini mengharap sangat dapat mewariskan mahkotanya, akan tetapi dia merasa sang keponakan kurang cakap.

Beberapa menteri, seperti Tek Jin Kiat, pun memberi nasihat untuk dia jangan mewariskan kerajaan kepada orang lain she, bahwa walaupun tidak pintar, lebih baik pemerintahan diserahkan kepada anak sendiri.

Inilah untuk mencegah keruwetan dibelakang hari.

Maka diam-diam dia mengambil ketetapan akan menyerahkan takhta kepada pangeran Louwleng-ong Lie Hian. Tentang ini dia tidak lantas memberitahukan sekalian menterinya.

Dia ingin mencari dulu orang pintar dikalangan keluarga Lie untuk nanti membantu puteranya itu.

Dengan sendirinya dia teringat kepada Lie It.

Lantas dia minta Bee Hian Song pergi mencari pangeran itu.

Demikian Nona Bu berada di perbatasan Tiongkok. Delapan tahun sudah lewat.

Apakah Lie It telah melupakan permusuhannya terhadap Bu Cek Thian?

Kalau Lie It ketahui keputusan Bu Cek Thian ini, bahwa kerajaan bakal dikembalikan kepada keluarga Lie, maukah Lie It berangkat pulang?

Inilah hal yang menyangsikan Hian Song.

Si nona juga memikir: "Selama delapan tahun ini, pernahkah dia memikirkan aku? Bagaimana dia melewatkan tempo delapan tahun itu? Dia hidup menyendiri dengan senantiasa bersenandung ataukah dia telah mempunyai teman hidup yang cocok dengan hatinya?"

Inilah hal yang Nona Bu sangat ingin mengetahui.

Ia membayangi, kalau nanti ia bertemu Lie It, ia harus bergirang atau bersedih ............

Maka itu sekarang, berada dikaki gunung Thian San, hampir tak dapat ia menguasai dirinya sendiri. Orang-orang pelarian itu masih ramai bicara satu dengan lain, bicara tentang Thian San Kiam-kek, tentang buronnya mereka.

Di lain pihak ada beberapa nona Kazakh yang menggembirakan diri dengan lantas bernyanyi, menyanyikan lagu yang umum di padang rumput :

Adik pergi ke tegalan menggembala kambing, Kakak di rumah menggosok golok dan tombak, Khan telah mengeluarkan titah mengumpul tentera, Maka perpisahan kita sudah ada didepan mata!

Rombongan kambing dapat mengurus sendiri hidupnya,

Tetapi ayah dan ibu, ada siapakah yang merawatnya? Diutara Thian San, angin luar biasa,

Tetapi untuk hidup kita, kita lari kesana!

Mendengar nyanyian itu, sejenak semua suara berisik terhenti.

Nyanyian itu tepat menyerang hati mereka.

Dengan sendirinya ada yang mengalirkan airmata, ada yang menghela napas.

Tapi juga ada yang berteriak: "Nyanyikanlah lain lagu, tentang sang cinta, supaya semua senang dan gembira!"

Nona-nona itu bernyanyi pula: Badai telah menggulung pasir kuning, Burung rajawali melayang hendak turun, Kakak, kaulah si rajawali diangkasa itu, Kau tak takut angin dan pasir,

Tapi janganlah kau turun!

Badai telah menggulung pasir kuning, Burung raja-wali melayang hendak turun, Tapi aku tidak takut angin dan pasir Adik, untuk dapat melihat wajahmu, Hendak aku menaiki angin mencari kau, Untuk mengajak kau pulang.

Itulah pengutaraan dari cinta sejati muda-mudi dipadang rumput, itulah tidak terlalu menggembirakan tetapi sangat menarik hati, mendengar itu, Bu Hian Song berpikir: "Aku bukannya si burung rajawali tetapi aku hendak menyerbu angin dan pasir untuk mencari dia dan mengajak dia pulang "

Baru berhenti suara nyanyian, yang disusuli sama kesunyian, lalu kuping orang mendengar tindakan kaki kuda mendatangi, hingga semua orang menoleh.

Disana nampak dua pahlawan Turki mendatangi.

Segera mereka tiba diluar tenda. Semua orang menjadi kaget.

Bukankah mereka semua orang buronan! Mereka tidak menyangka, sampai dikaki bukit Thian San masih ada pahlawan itu.

Maka semua lantas berdiam, hati mereka bekerja.

Orang berkuatir tapi umumnya mereka berpikir: "Kita berjumlah seratus lebih, jikalau mereka mau menawan kita, dengan seorang hanya menimpuk dengan sepotong batu, mesti mereka mampus. "

Kedua pahlawan itu lompat turun dari kuda mereka masing-masing, mereka bertindak kearah orang banyak itu.

Kebetulan didepannya ada seekor unta yang menghalangi jalan, keduanya berseru: "Minggir!"

Lantas dengan serentak mereka turun tangan, seorang pahlawan menangkap kaki depan si unta, untuk dipeluk, yang lainnya memeluk kaki belakang, terus mereka bangun berdiri.

Heran kekuatan mereka itu, tubuh unta itu yang besar dan berat dapat diangkat mereka, untuk dilemparkan!

Semua orang terkejut. Karena ini beberapa pemuda, yang aseran, yang tadinya mau mengutarakan rasa tak puasnya, terpaksa membungkam terus.

Kedua pahlawan itu bertindak mendekati unggun, kedua tangan mereka digosok-gosok.

"Dingin, dingin!" kata mereka seorang diri.

Tidak ada orang yang menyahut atau menyapa, bahkan yang berada dekat mereka berdua lantas menjauhkan diri, mereka jeri seperti menjerikan syaitan kholera. Kedua pahlawan itu merasa tidak enak sendirinya, tetapi mereka toh menebakan muka, untuk menjatuhkan diri dan berduduk, tangan mereka lantas diulur, untuk digarang.

Suara ramai pengungsi itu terus sirap, bahkan anak- anak kecil turut menutup mulut.

Anak-anak, yang tadi bermain pasir, turut berhenti memain juga.

Seperti mendapat firasat, mereka menyontoh sikapnya orang-orang tua mereka.

Melainkan seorang bocah saja yang nampak tidak takut sama sekali, dengan sinarmata keheranan, dia mengawasi kedua pahlawan itu.

Hanya sejenak, mendadak dia berseru: "Aku penggal kepalamu?"

Dengan tangannya dia menghajar roboh menara pasir yang tadi dibangun.

Bagian atas dari menara itu yalah sebuah batu besar, batu itu mental sampal satu tombak lebih.

Melihat itu, Hian Song heran.

Bocah itu baru berumur enam atau tujuh tahun tetapi ternyata dia kuat sekali.

Teranglah anak itu pernah meyakinkan "Tong-cu Kang," yalah ilmusilat "Anak-anak laki-laki."

Kedua pahlawan itu tidak gusar karena kelakuan si bocah, sebaliknya, tertawa berkakakan.

"Bagus, kau kuat sekali!" katanya. Bocah itu yalah bocah si wanita Uighur.

Selagi semua orang diam-diam mengambil sikap bermusuh pada dua pahlawan itu, adalah kuda putih Hian Song, yang telah mendapat kesegarannya telah makan rumput dan beristirahat, bergaul rukun dan erat dengan kuda mereka itu.

Ketiga binatang saling menempelkan diri dan menjilat, kaki mereka menendang-nendang, suara mereka meringkik.

Sambil berduduk dan menghangatkan diri, kedua pahlawan itu mengawasi Hian Song.

"Mungkinkah mereka datang untuk menangkap aku?" pikir si nona.

Ia mendapatkan sinarmata orang luar biasa.

Ia tidak takut, maka itu, ia balik mengawasi mereka itu.

"Rupanya kuda putih itu datang dari Kwan-lwee," kata satu pahlawan.

"Sungguh seekor kuda bagus! Siapakah penunggangnya?"

"Aku," menjawab Hian Song. "Kenapa?"

"Jadinya tuan mengandal kudamu ini datang kepadang pasir ini, kekaki bukit Thian san ini?" tanya pahlawan yang lain.

"Ha.... ha. , kau hebat sekali! Aku kagum.”

Sembari berkata, ia mengeluarkan sepotong daging babinya, untuk dipanggang diatas api, kemudian ia menggunai pisaunya memotong daging itu, yang sepotong ia angsurkan kepada nona kita seraya berkata: "Tuan tentu letih habis melakukan perjalanan demikian jauh, kita tidak mempunyai apa-apa, mari ini daging celeng!"

Hian Song menerima daging itu dengan tidak sungkan-sungkan dan memakannya.

Ia telah bersiap untuk bertempur kalau perlu, akan tetapi dua orang itu agaknya tidak bersikap bermusuhan.

Pahlawan itu memotong pula dagingnya, ia membagi beberapa orang tua.

Tapi mereka ini tidak menerima, mengulur tangan pun tidak, meskipun daging itu harum baunya dan mestinya lezad rasanya.

Rada jengah, pahlawan itu menarik pulang dagingnya. lantas mereka berdua dahar sendiri.

"Turunnya salju besar-besaran membikin gunung tertutup," kemudian kata satu pahlawan.

"Mari kita melihat mulut jalan gunung," kata yang lain. "Kita baik melihat, besok kita dapat melanjuti

perjalanan kita atau tidak”

Senang orang banyak itu, sebab orang mau mengangkat kaki.

Tidak lama kedua pahlawan itu beristirahat sambil dahar dan minum, lantas mereka berbangkit, untuk berlalu.

Ketika mereka lewat didekat si bocah, yang satu membagi sepotong daging.

Bocah itu berpaling kepada ibunya. "Aku tidak menginginkan barangmu!" katanya kemudian keras.

Mendadak pahlawan itu tertiwa terbahak, mendadak juga dia menyamber si bocah, untuk dipondong, buat dibawa lari kekudanya.

Dengan satu kali lompat, dia sudah berada dipunggung kuda.

Wanita Uighur itu terkejut, untuk sejenak dia tercengang, lantas dia lompat bangun, untuk memburu.

Kejadian itu kediadian diluar dugaan dan kejadiannia cenat sekali, pula cepat pahlawan itu melarikan kudanya, disusul oleh kawannya.

Si nyonya memburu terus, terus dia melompat keatas kuda putih, untuk melarikan itu, guna menyusul kedua pahlawan yang membawa lari si bocah.

Ketika itu terdengarlah jeritannya si bocah, berulangkali dia meneriaki ibunya: "Mama...! Mama. !"

Sekarang Hian Song mendengar nyata lagu-suara orang, yalah lagu-suara penduduk Tiang-an.

Ia terkejut dan heran, seperti barusan dia terkejut atas sepakterjang si pahlawan, yang diluar dugaannya, hingga ia tercengang, hingga walaupun ia mau, ia tidak dapat mencegah.

Pula heran si wanita Uighur.

Wanita itu dapat bergerak dengan cepat dan lincah, suatu tanda dia mengerti ilmu ringan tubuh.

"Apakah dia anak bangsa Han?" tanya Hian Song dalam hatinya. "Kenapa tadi dia ber-pura-pura tidak mengerti bahasa Tionghoa? Kenapa ibunya melarang dia  menerima barang pengasian orang bangsa Han? Kenapa setelah mendapat bahaya baru dia omong Tionghoa? Pastilah itu bahasa yang dipakai setiap hari antara ibu dan anak itu

...............”

---o^TAH^0^DewiKZ^o---

TAPI tidak dapat si nona berpikir lama-lama, selagi lawanan pengungsi itu kaget dan heran dan berbicara ramai satu dengan lain, ia lompat bangun untuk lari menyusul. Karena kudanya dipakai si wanita Uighur, terpaksa ia lari dengan memakai ilmu ringan tubuhnya.

Ia melihat wanita itu sudah pergi jauh.

Sebaliknya, lantas ia mendengar lapat-lapat suara beberapa orang pengungsi dibelakangnya.

"Tidak salah....! Tidak salah lagi.....! Dialah Thian San Kiam-kek!"

Lama juga Hian Song lari, kesudahannya ia ketinggalan.

Tidak dapat ia menyusul kuda putihnya itu.

Syukur semua kuda itu meninggalkan tapak kaki, maka ia bisa berlari terus, menyusul dengan mengikuti tapak kaki kuda.

Baru setelah tiba dikaki bukit sekali, lenyap si dua pahlawan, hilang si wanita dan musnah juga tapak kaki kuda mereka. Rupanya mereka itu kabur terus naik ke gunung

............

Dengan penasaran Hian Song lari mendaki.

Ia manjat sebliah puncak, lalu sebuah puncak yang lain.

Untuk mendaki, ditempat yang bersalju, ia menggunai ilmu larinya "Teng-peng-touw-sui," ialah "Menyeberang dengan naik kapu-kapu."

Dari puncak yang ke-dua ini, ia mendengar bentrokan senjata dibagian bawah.

Dengan cepat ia menuju kesana.

Disana berlangsung pertempuran diantara si wanita Uighur melawan seorang serdadu atau perwira Turki itu.

Si nyonya menggunai pedang, nampak dia lincah sekali.

Maka Hian Song mengenali, dia bersilat dengan ilmusilatnya salah satu cabang persilatan dari Tiongkok.

Si pahlawan menggunakan sebuah cambuk.

Hian Song mendengar si pahlawan tertawa dan berkata: "Kami tidak bakal membikin celaka anakmu! Pergilah kau, lewat lagi dua hari, kami akan mengantarkannya pulang!"

Heran Hian Song.

"Mustahil orang menculik anak orang untuk hanya diajak main-main?" katanya didalam hati.

Wanita Uighur itu berpikir lain. "Kembalikan anakku...! Kembalikan anakku....!" dia berteriak-teriak, mirip orang kalap, sedang serangannya hebat-hebat.

Pula hebat tempat mereka bertempur itu, ialah tempat tinggi dipinggir bukit, siapa tergelincir, dia bakal celaka didalam jurang.

Lebih berbahaya untuk si wanita, yang berkelahi seperti kalap itu.

Satu kali wanita itu menyerang dengan tipusilatnya "Menuding langit Selatan," lalu ujung pedangnya menggaris sebuah luka dilengan musuhnya.

"Kau mau mencari mampus?" bentak si pahlawan. "Jikalau kau tidak mau berhenti, aku nanti tidak main kasihan lagi!"

Kata-kata itu belum berhenti diucapkan atau si pahlawan mesti melompat mundur.

Lagi satu tikaman dahsyat meluncur kepadanya.

Syukur ia sempat mendak dengan gerakannya "Burung hong mengangguk," maka cuma kopianya saja yang kena dibikin jatuh.

Dia terpaksa mundur hingga ketepian.

Disini dia habis sabarnya, lantas dia menyerang hebat dengan cambuknya, dengan gerakannya "Ular naga siluman berjumpalitan."

Sasarannya yalah pundak kanan si wanita.

Nyonya Uighur itu tidak mau mundur, sebaliknya, dia memapaki cambuk, untuk menempelnya dengan tipu  silat "Peng-see-lok-gan," atau "Belibis turun dipasir rata." Sembari menempel, ia memapas kejeriji tangan lawannya.

"Menggelindinglah kau!" membentak si pahlawan, yang menarik tangannya, untuk diteruskan, dipakai menyamber kebawah, untuk melilit kaki orang.

Nyonya itu membabat kebawah, karena mana, pedangnya kena tersamber, hingga ia benar-benar kena ditarik, untuk dilempar.

Tubuh si nyonya kena tertarik.

Untuk menahan diri, dia mendupak batu besar didepannya, hingga batu itu mental.

Karena ia turut maju, keduanya sekarang berada ditepian.

Didalam saat berbahaya itu, si pahlawan berseru pula, tangan kirinya turun dari atas kebawah, guna menghajar batok kepala si nyonya.

Maka itu, si nyonya pun turut terancam pula. Ketika itu Hian Song tidak menonton saja.

Ia telah berlari-lari ketempat pertempuran itu.

la menyaksikan bahaya yang mengancam si wanita Uighur.

Dengan cepat ia menjumput segenggam salju, dengan itu ia menimpuk kearah si pahlawan.

Itu waktu, mereka telah berada dekat beberapa tombak.

Jitu serangan salju itu, tepat mengenai dada si pahlawan, dijalan darah soan-kie-hiat. Dia kaget merasakan dadanya dingin, terus tubuhnya kaku, hingga cambuknya terlepas dari cekalannya.

Tidak ampun lagi, tubuhnya terhuyung, jatuh kebawah!

"Anakku...! Anakku...!" si nyonya berteriak-teriak pula. "Mereka merampas anakku!"

Disitu tidak ada pahlawan yang satunya bersama si bocah, mengertilah Hian Song bahwa pahlawan itu telah lari bersama bocah itu, sedang pahlawan ini rupanya sengaja memegat, merintangi ibu orang, agar kawannya dapat lolos.

"Nyonya, sabar," berkata Hian Song, seraya memegangi nyonya itu, guna mencegah dia terpeleset. "Mari kita bicara perlahan-perlahan."

Ia bicara dengan tenang sekali.

Wanita itu tercengang, lantas ia mengawasi pemuda didepannya.

Agaknya ia heran.

"Jangan dekati aku!" mendadak ia berseru, tangannya menyamber.

Hian Song berkelit, ia tertawa.

Dengan lantas ia membuka kopianya, bahkan ia membuka juga baju luarnya.

"Jangan takut, nyonya, aku seorang wanita," katanya. Nyonya itu menggigil. Sekonyong-konyong dia berseru: "Bu Hian Song...! Bu Hian Song...! Aku tahu kaulah Bu Hian Song...! Bagus, kau telah melihat aku bercelaka ini, tentulah kau puas!"

Kata-katanya si nyonya dalam bahasa Tionghoa. Hian Song heran.

Itulah suara yang ia seperti pernah dengar, yang ia rada mengenalinya.

Maka ia menatap muka orang.

Lantas ia pun mengawasi dengan melongoh.

Ia nyata mengenali orang, yang ia tidak menyangka sama sekali!

Nyonya itu seperti telah menyalin rupa, alisnya yang besar dan gompiok telah luntur, mukanya pun tersiram airmatanya, karena dalam kalapnya itu ia menangis.

Ialah Tiangsun Pek, puterinya Tiangsun Kun Liang! Hian Song heran dan girang.

Inilah ia tidak duga sama sekali.

Maka ia lantas maju, untuk mencekal erat-erat tangan orang.

"Nona Tiangsun, jadi anak itu anakmu?" dia tanya. "Kau jangan kuatir, nanti aku mendayakan menolongnya. Ah, kau kenapakah? Nona, aku hendak menanyakan kau halnya satu orang. Katanya Lie It menyingkir kemari, tahukah kau dimana adanya dia sekarang? Eh, eh, kau dengar aku atau tidak?"

Tiangsun Pek berdiri bengong, kaki-tangannya dingin, mukanya menjadi pucat sekali. Ia ditanya berulang-ulang, terus ia membungkam. Sejenak kemudian, matanya lantas bersinar tajam,

mengandung sinar permusuhan.

Ia pun menarik pulang tangannya, yang masih dipegangi Hian Song.

"Jangan kau mengasihani aku!" katanya tiba-tiba, tajam. "Aku tidak sudi menerima budimu! Jikalau kau mau cari Lie It, carilah sendiri !"

Bukan kepalang herannya Hian Song.

"Kau kenapa?" ia tanya. "Apakah artinya ini?"

Didalam hatinya, ia pun bertanya: "Kenapa dia berlaku begini rupa padaku?"

Dengan mengawasi orang, nona Bu terus berpikir. Ia ingat memang keluarga Tiangsun menyinta kerajaan Tong, bahwa mereka menentang Bu Cek Thian, tapi kalau untuk itu saja, tidak mungkin nona ini membawa sikapnya yang aneh ini.

"Nona Tiangsun, kau mengertilah," ia berkata perlahan. "Terhadapmu, aku tidak mengandung niat busuk. Tahukah kau kenapa aku mencari Lie It? Ah, aku percaya mungkin kau pun girang untuk mendengarnya

........."

Hian Song hendak memberitahukan yang Bu Cek Thian mau menyerahkan kerajaan pada Keluarga Lie atau mendadak Tiangsun Pek berseru tajam, hingga kata-katanya menjadi terpotong.

"Tidak, aku tidak mau bertemu denganmu!" demikian Tiangsun Pek. "Aku juga tidak mau mendengar perkataan kau! Sudahlah, aku minta, sukalah kau pergi !" Hian Song mundur sedikit. Ia heran bukan main.

Ia menatap wajah orang.

Dalam herannya itu, tak tahu ia harus mengatakan apa.

Tepat disaat tegang itu, jauh didepan, dari puncak gunung, terdengar suara orang: "Adik Pek...! Adik  Pek....! Apakah kau dibawah? Lekas kemari..., lekas. !

Aku dapat sekuntum teratai salju! Anak Bin...., apakah kau dengar ayahmu memanggilmu?"

Hian Song terkejut, hatinya berdebaran. Itulah suara yang ia kenal.

Meskipun waktu sudah lewat delapan tahun, suaranya Lie It tidak dapat ia lupakan.

Tiangsun Pek menjerit, lantas dia lari.

Hian Song sebaliknya berdiri terpaku, jangan kata lari, bertindak saja ia seperti tidak sanggup.

Ia mengerti sekarang, Tiangsun Pek dan bocah tadi adalah isteri dan anaknya Lie It!

Jadi Lie It sudah menikah sama Nona Tiangsun.

Masih Hian Song berdiri diam, hatinya kosong, otaknya kosong juga.

Ketika kemudian ia mengangkat kepalanya, memandang kedepan, ia melihat sisa tubuh Tiangsun Pek, yang bagaikan bayangan.

Lama..., lama.... lama sekali, barulah nona Bu seperti sadar dari mimpinya. Bayangan Tiangsun Pek telah lenyap, tetapi suaranya Lie It masih mengalun ditelinganya.

Ia ingin ia bermimpi tetapi itulah tak dapat.

Diatas salju ia masih melihat tapak kaki Tiangsun Pek.

---o^Kupay^0^DewiKZ^o---

Jauh Hian Song telah pergi, ditengah jalan ia telah menderita, sekarang ia mendengar suaranya Lie It, toh sekarang ia membiarkan orang pergi.

Ia cerdas, maka mengertilah ia akan kelemahan dirinya sendiri, akan kelemahannya Tiangsun Pek.

Hanya ada bedanya diantara kelemahan mereka berdua.

Tiangsun Pek lemah lantaran dia tidak dapat menyembunyikan kekuatirannya bahwa mungkin ia datang untuk merampas Lie It dari tangannya.

Akhirnya Hian Song sadar juga.

Bunga salju menyamber-nyamber ia, sang angin menyampoknya berulang-ulang.

"Mustahilkah aku lantas tidak dapat menemukannya pula?" kemudian ia kata didalam hatinya.

"Yang sudah lewat biarlah lewat, akan tetapi aku mesti mempunyai ketabahan untuk menemui dia! Aku mesti memberitahukan padanya tentang keputusan Ratu! Lalu terserah kepadanya, dia suka membantu saudaranya atau tidak. Dengan mendengar kerajaan dikembalikan, dia harus lega hatinya. Biarnya dia hidup beruntung bersama Tiangsun Pek, dia tetap harus mengetahui kabar ini, agar tidak lebih lama pula dia hidup dalam perantauan yang tak ada batas waktunya ..."

Lantas nona ini menguatkan hatinya, segera ia mengambil keputusannya.

Maka itu, setindak demi setindak, ia maju mengikuti tapak kaki Tiangsun Pek.

Hian Song menderita lahir dan batin, juga Tiangsun Pek sama menderita selama delapan tahun ia hidup dalam manisnya madu, akan tetapi selama itu juga, ia diliputi kekuatiran.

Ia tahu Lie It menyinta ia, akan tetapi ia ketahui juga, pada dasar hati Lie It, ada apa-apa yang tidak menyenangkan.

Bukan cuma satu atau dua kali ia melihat Lie It diam berpikir seorang diri, atau selagi menabuh khim, Lie It mengutarakan roman atau lagu yang nadanya tidak wajar.

Ia dapat menduga sebabnya itu.

Pasti Lie It mengingat sesuatu yang lama, yang berbekas didalam hati nuraninya.

Benar selama delapan tahun tidak pernah Lie It menyebut-nyebut nama Bu Hian Song atau nama Siangkoan Wan Jie, toh ia sendiri kadang-kadang ingat dua nona itu, yang tak dapat ia lupakan.

Didalam hatinya pernah timbul pertanyaan yang membuatnya ragu-ragu dan berkuatir: "Jikalau satu saja diantara mereka berdua datang kemari, habis bagaimana?"

Diluar dugaannya, sekarang datang yang satu! ---o^Kupay^0^DewiKZ^o---

DUA TAHUN setibanya di Thian San, Lie It dan Tiangsun Pek mendapatkan seorang anak lelaki, yang diberi nama Hie Bin.

Lie It datang ke Thian San untuk menumpang pada gurunya, Ut-tie Ciong.

Guru ini pergi ke Thian San, untuk hidup menyendiri, semenjak Bu Cek Thian memegang tampuk pimpinan pemerintah.

Meski begitu, dia suka-suka keluar melakukan perbuatan baik, hingga penduduk padang rumput mendapat tahu digunung Thian San ada tinggal seorang luar biasa bangsa Han, yang mereka namakan Thian San Kiamkek, ahli pedang dari Thian San.

Tidak lama setibanya Lie It. Ut-tie Ciong menutup mata.

Selama itu, Lie It telah mewariskan kepandaian gurunya, ia mewariskan juga julukan gurunya.

Untuk melakukan pekerjaan menolong penduduk padang rumput itu, Lie It mengandal pada obat Ye Yong Tan dari Heehouw Kian, maka juga ia suka muncul diantara penduduk dengan kulit mukanya sering berubah-rubah. Tiangsun Pek pun turut suaminya itu, ia mengubah warna kulit mukanya, ia juga dandan sebagai wanita Uighur.

Cuma Lie It yang terus berdandan sebagai seorang Han, ke-satu ia ingin memperingati gurunya, dan ke-dua agar penduduk padang rumput itu berkesan baik terhadap bangsa Han.

Karena ia sering menyamar, maka juga penduduk mengatakan Thian San Kiam-kek ada yang tua dan yang muda.

Dikaki gunung Thian San itu, setiap tahun sebelum musim dingin, suka berkumpul kafilah saudagar asal lain tempat, mereka datang dengan naik unta, dengan membawa pelbagai barang kebutuhan kaum penggembala, mereka mendirikan tenda, hingga tempat singgahnya mereka merupakan seperti pasar yang bergerak.

Diwaktu begitu, Tiangsun Pek suka turun gunung, untuk membeli barang-barang keperluan mereka, guna melewatkan hari, untuk persediaan tahun baru.

Diluar dugaan, kali ini orang terganggu tindakan khan Turki itu, yang mengumpulkan tentera, hingga banyak rakyat iang kabur ke Thian San utara, hingga tidak ada pasar bergerak itu.

Bahkan kesudahannya hebat untuk Tiangsun Pek, yalah ditengah jalan anaknya dicuik, dibawa lari, dan ia bertemu sama Bu Hian Song, yang ia kuatirkan .........

Hebat penderitaannya Tiangsun Pek. Mulanya keluarganya hidup terlunta-lunta, lantas kakaknya lenyap, lalu ayahnya menutup mata, semua hilang dan meninggal dalam ancaman bahaya.

Diakhirnya, ia mesti kabur terus bersama Lie It, hingga mereka mesti hidup menyepi diatas gunung dimana mereka membangun sebuah rumah gubuk.

Mereka hidup tak sebagai selayaknya orang tinggal dikota.

Benar ia ditemani Lie It, yang mencintainya, lalu hidup bersama anaknya, siapa sangka, sekarang anaknya lenyap dan ia terancam oleh Bu Hian Song

Diwaktu dia mendaki puncak, akan menghampirkan Lie It, dia merasa sangat letih, karena dia kehabisan tenaga dan bersusah hati.

Begitu baru dia mengatakan: "Anak Bin diculik orang," dia sudah tidak sanggup bertahan, dia roboh pingsan dalam rangkulan suaminya, yang menubruk padanya.

Maka dia mesti dipondong, dibawa pulang. Sampai dirumah, baru dia sadar.

Lie It kaget dan heran. Maka selekasnya isterinya sadar, ia minta keterangan.

Tiangsun Pek dapat menutur dengan jelas halnya kedua pahlawan merampas anak mereka.

Tapi halnya Bu Hian Song, dia menyembunyikannya. Lie It menjadi bertambah heran.

"Apakah kau pernah membinasakan serdadu Turki ?" akhirnya ia tanya isterinya. Selama yang belakangan ini serdadu Turki suka menangkapi pelarian, Lie It ketahui itu, maka ia mau menduga, karena membelai penduduk, isterinya itu terpaksa membunuh serdadu itu, hingga kawan- kawannya hendak menuntut balas.

"Tidak," sahut sang isteri.

"Apakah mereka mengenali kau sebagai bangsa Han

?"

"Aku rasa mereka tidak dapat mengenali." Lie It heran bukan main.

"Anak Bin baru berumur tujuh tahun, untuk apa

mereka menculiknya ?" katanya.

"Walaupun mereka kejam, tidak nanti mereka mencelakai bocah yang belum tahu apa-apa...! Apa mungkin karena tertarik pada si Bin, mereka membawanya pergi untuk main-main saja ? Adik Pek, kau jangan kuatir, kita akan dapat cari anak kita itu...!"

Meski begitu, Lie It toh berpikir keras, memikirkan kenapa anaknya diculik, dan memikirkan cara atau daya untuk menolonginya.

Untuk sementara, ia belum memperoleh pemecahannya.

Ketika angin dan salju seperti lagi mengamuk, Lie It mundar-mandir didalam rumahnya seraya menggendong tangan.

Tiangsun Pek berdiri dimuka jendela, memandang sang salju beterbangan memenuhi jagat, hatinya ingin seperti salju. Lama dia bcrdiam, tiba-tiba dia menoleh kepada Lie It dan bertanya : "Engko It, sudah banyak tahun kita menikah, apakah kau benar-benar tidak pernah menyesal

?"

Lie It heran untuk pertanyaan itu, hingga ia menanya dalam hatinya sendiri : "Kenapa disaat begini dia masih memikirkan soal lama itu ?"

Ia lantas menatap isterinya, hingga sinarmata mereka beradu.

Ia melihat isteri itu bersikap sungguh-sungguh.

Maka ia menghela napas, ia menghampirkan, untuk mengusap-usap rambut orang.

"Banyak tahun telah lewat, apakah kau masih tidak percaya aku ?" ia balik menanya. "Pernah aku ingat kau menanya begini pada delapan tahun yang lalu.”

"Kali ini aku masih hendak mengulanginya menanya," menyahut Tiangsun Pek.

"Jawabanku sama seperti jawaban delapan tahun yang lalu itu," Lie It menjawab. "Duluhari itu aku tidak menyesal, sekarang lebih-lebih tidak menyesal ! Adik Pek, jangan kau memikir yang tidak-tidak. Sekarang ini yang penting yalah memikirkan jalan untuk menolongi anak kita."

"Benar, benar, mesti kita cari si Bin " kata Tiangsun Pek, seperti berbicara sama dirinya sendiri.

Ia terus berdiam, agaknya ia sangat tertindih hatinya.

Hampir berbareng dengan itu, diluar rumah terdengar tindakan kaki, disusul sama ketukan pada daun pintu.  Mendadak muka Tiangsun Pek menjadi pucat. "Dia datang ! Dia datang !" pikirnya.

Lie It heran. Siapa yang mengetuk pintu sedang disini

ia tidak mempunyai sahabat atau kenalan ?

Pintu tidak dikunci, cuma dirapatkan, belum lagi Lie It menghampirkan, untuk membukai, atau daun pintu sudah tertolak terbuka dan seorang nampak bertindak masuk.

Untuk herannya Tiangsun Pek, dia bukan Bu Hian Song hanya Seorang pahlawan Turki.

Dua-dua pihak berdiri diam.

Mendadak Tiangsun Pek berseru nyaring, lantas dia berjingkrak.

"Dia ! Dia ! Dialah yang menculik si Bin. !" serunya.

Pahlawan itu lantas tertawa, segera dia memberi hormat pada Lie It.

"Aku datang atas titahnya khan kami yang agung," dia berkata. "Aku dititahkan mengundang kepada tianhee yang mulia. Tianhee kecil tidak terganggu sekalipun selembar rambutnya, maka itu tianhee berdua janganlah buat kuatir."

Selagi orang berbicara, Tiangsun Pek sudah menghunus pedang, maka Lie It lantas mengedipi mata, untuk mencegah.

"Maaf, maaf," berkata Lie It. "Kiranya utusan khan yang agung! Aku mohon tanya, kenapakah anakku  diculik ?" "Aku minta tianhee sudi datang menemui khan kami, disana tianhee akan mengetahui duduknya hal," menyahut pahlawan itu.

"Aku cuma seorang yang lagi hidup menyendiri, kau mengundang tianhee yang mana ?" tanya Lie It.

Ia mencoba menyangkal bahwa ialah seorang bangsawan.

Pahlawan itu tertawa.

"Jangan tianhee menyembunyikannya, kami sudah tahu !" ia berkata. "Tianhee yalah turunan naga dari Kerajaan Tong yang besar ! Sudah banyak tahun kami membiarkan tianhee hidup menyendiri dalam kesunyian, kami menyesal, perbuatan kami itu perbuatan mengabaikan dan tidak pantas...! Oleh karena khan kami yang agung kuatir nanti tidak dapat mengundang tianhee sendiri, dari itu dia lebih dulu mengundang tianhee kecil. Aku minta sukalah tianhee menginsafi kesukaran hati dari khan kami yang agung itu."

Lie It berdiam, hatinya ber-pikir.

Ia tidak mengerti kenapa bangsa Turki mengetahui asal-usulnya.

"Aku berdiam secara sembunyi dinegara kamu, maksudku yalah untuk dapat tinggal dengan aman dan damai," ia berkata kemudian. "Kamu tentu telah ketahui sendiri, Tiongkok sekarang bukan lagi negaranya Kerajaan Tong, dan aku sendiri, aku bukannya seorang utusan, dari itu, apa perlunya khan kamu memanggil aku? Aku bilang terus-terang, selama aku belum dikasi keterangan jelas, tidak dapat aku menerima panggilanmu ini." Pahlawan itu menyeringai, agaknya aneh tertawanya itu.

"Tianhee, kau berejeki besar sama dengan besarnya langit !" ia berkata. "Sebenarnya khan kami yang agung hendak membantu kau membangun pula Kerajaan Tong kamu yang besar itu, karena mana, tianhee diundang untuk merundingkannya lebih jauh."

Lie It benar-benar tidak mengerti.

"Khan kamu hendak membantu membangun pula Kerajaan Tong ?" tanyanya. "Apakah artinya itu ?"

"Itu artinya khan kami hendak membantu kau naik atas takhta kerajaan Tiongkok !" berkata si pahlawan. "Dengan begitu hendak dibangun pula negara kamu she Lie ! Untuk berterus-terang, raja wanita didalam negerimu sekarang ini sangat jahat, dia mau menggeraki angkatan perangnya menyerbu negara kami, maka itu khan kami menganggap baiklah kami bekerja mendahului menyerbu Tiongkok, untuk membasmi ratu itu ! Hah ! Kau lihat, bukankah ini ketikamu yang baik ?"

Hati Lie It bercekat. Segera ia dapat menerka persoalannya.

"Terang khan ini hendak memakai nama dan tenagaku," pikirnya. "Dia hendak memakai  aku berbareng dengan bujukan dan paksaan ! Dia ingin aku menurut maunya, untuk membantu dia merampas Tiongkok yang indah-permai !"

Pahlawan itu menanti sekian lama, ia tidak memperoleh jawaban, ia menjadi heran. "Tianhee," katanya, "inilah ketika baik yang sangat sukar dicarinya ? Apakah yang tianhee masih sangsikan lagi ?"

Lie It menjadi tidak senang, tetapi ia menyabarkan diri.

Ia kata dengan keren : "Tolong kau menyampaikan kepada khan yang agung bahwa aku Lie It, suka aku terbinasa, tidak dapat aku menurut dia...!"

"Ah, inilah aneh !" berseru sipahlawan. "Bu Cek Thian tclah merampas negaramu, apakah kau tidak membenci dia ?"

"Aku membenci Bu Cek Thian adalah satu soal lain," menyahut Lie It. "Jikalau aku menuntun kamu memasuki Tiongkok, untuk kamu merampasnya, itu artinya kamu mengilas-ilas rakyat Tiongkok ! Dengan begitu bukankah aku menjadi seperti binatang bahkan melebihkan itu?"

Pahlawan itu tertawa terbahak.

"Memang kami mau merampas takhta-kerajaan Tiongkok tetapi itu untuk diserahkan pada kau.!" katanya.

Lie It menjadi gusar.

"Apakah kau menyangka aku raja anak-anakan ?" katanya. "Cukup ! Lagi satu kali kau bicara, aku nanti tikam padamu...!"

Pahlawan itu mundur satu tindak, dia tertawa mengejek.

"Baiklah, kedudukan raja kau tidak menghendaki, apakah kau juga tidak mengingini puteramu ?" dia tanya. Mukanya Lie It menjadi merah-padam, ia mendongkol dan bergusar.

Tiangsun Pek habis sabar, dia menjerit, dia maju dan menikam.

"Kau telah merampas anakku, maka aku lebih dulu menghendaki jiwamu. !" bentaknya.

Serangan itu dilakukan dengan napsu amarah yang tak terkendalikan, lupa Tiangsun Pek pada artinya ilmu silat, ketika si pahlawan berkelit, dia terjerunuk hingga roboh sendirinya.

Lie It pun habis sabar, maka dia menyerang dengan tangan kosong.

Pahlawan itu menolong diri dari serangan itu dengan tipunya "Pa-Ong-gie-kah" atau "Couw Pa Ong meloloskan baju perangnya."

Tapi Lie It bukannya Tiangsun Pek, ia telah bersedia, maka itu, begitu orang berkelit sambil menangkis, ia membaliki tangannya, untuk membangkol lengan si pahlawan.

Ia menggunai tangan kanannya, maka itu, tangan kirinya segera menyerang pula.

Pahlawan itu terkejut, hendak ia berkelit pula, dia kalah sebat, kupingnya telah lantas kena terhajar, ketika ia toh dapat melepaskan tangannya, ia mesti terhuyung tiga tindak.

Lie It tidak menyangka orang liehay, maka ia berniat berlaku telengas, tapi belum ia mengulangi serangannya, pahlawan itu tertawa dan berkata dengan mengancam : "Beranikah kau membunuh aku...? Begitu kau bunuh aku, jiwa anakmu akan mengganti jiwaku ! Khan kami yang agung telah bersiap-sedia untuk tindakanmu yang keras, ketika aku diberi tugas, dia telah bilang padaku : "Kau jangan takut, pergilah kau seorang diri ! Jikalau si orang she Lie berani mengganggu selembar saja rambutmu hm...! hm....! akan aku pakai si cilik menjadi umpannya serigala...!”

"Kau tahu, anakmu sekarang ini telah dikirim secara kilat kepada khan kami yang agung, maka itu terserah kepada kau, kau ingin minum arak pemberian selamat atau arak dendaan...!"

Lie It gemetar sekujur tubuh-nya.

Ia pikir, percuma ia membinasakan pahlawan ini. Maka ia mengambil putusan untuk membiarkannya.

Maka pahlawan itu lantas bertindak keluar, sembari dia ter tawa lebar dan kata : "Khan kami memberikan batas tempo satu bulan padamu ! Jikalau lewat tempo itu kau tidak datang, jangan kau sesalkan bahwa kami bertindak tidak mengenal kasihan ...!"

Lie It membiarkan, ia hanya menolongi isterinya. Tiangsun Pek masih murka, dia hendak mengejar. "Untuk apa ?" kata si suami.

"Aku tidak sangka, seorang khan dapat berbuat begini rendah...!"

Tapi segera ia mengambil keputusan, maka ia menambahkan : "Biarlah aku sendiri yang menemukan dia ...!" "Benarkah kau mau pergi menemui dia ?" sang isteri tanya.

"Kau...kau "

"Pasti aku bukan niat menyerah terhadapnya. !" kata

Lie It cepat. "Aku mau berdaya menolongi anak Bin. !

Adik Pek...., kau berdiam dirumah, kau jagalah dirimu baik-baik."

"Kita suami-isteri akan hidup sama-sama, tidak dapat kita berpisahan," berkata Tiangsun Pek, "maka itu, aku mau turut kau pergi."

Lie It mengusap-usap rambut isterinya itu.

"Adik Pek, kau jangan kuatir," ia berkata, lembut. "Mereka itu menghendaki aku satu orang, umpama kata mereka dapat membekuk aku, tidak nanti mereka membunuhnya. Aku pun pasti akan memperoleh jalan untuk menyingkirkan diri. Apapula belum tentu aku roboh ditangan mereka...! Bukankah aku pernah melanggar badai dan gelombang dahsyat ? Bu Cek Thian tidak aku buat takut, apalagi baru satu khan? Kau mendapat pukulan batin keras sekali, kesegaranmu belum pulih, maka baiklah kau beristirahat dan merawat dirimu. Paling lambat satu bulan, pasti aku akan kembali bersama anak kita si Bin. Kau bisa percaya aku, kau selalu dengar kata, maka apa kali ini kau tidak mempercayai aku ?"

Tiangsun Pek mengerti keberatan suami itu, yalah ia kalah gagah sepuluh lipat, jadi kalau ia turut, ia mungkin menambah beban si suami.

Ia berpikir sekian lama. "Aku percaya kau, engko It," katanya kemudian, "hanya aku kuatir, aku takut "

Lie It tesenyum.

"Kau takut apa ?" dia tanya.

"Aku telah kehilangan kakakku dan ayahku," kata sang isteri, "sekarang aku telah kehilangan anakku, maka itu aku takut ........., aku takut....., aku pun nanti kehilangan kau lagi "

Lie It tertawa.

"Mana bisa aku hilang ?" katanya. "Kecuali khan itu

membunuh aku ! Tapi aku berani melawan dia, aku tidak takut ! Hanya, memang segala apa harus dipikir jauh Umpamanya ....... terjadi sesuatu atas diriku, adik Pek, jangan kau berputus asa, jangan kau berpikiran pendek, sebaliknya, kau mesti berdaya untuk membalas sakit hati!"

Kedua matanya Tiangsun Pek menjadi merah. "Janganlah   mengucapkan   kata-kata   itu,"  katanya.

"Aku  bukan  maksudkan  hal  itu.  Aku  cuma   berkuatir,

setelah kau berlalu, kau nanti melupakan aku, kau mungkin tidak bakal kembali. "

"Hai, kau ngaco....!" kata Lie It, tertawa. "Kenapa aku melupakan kau ? Setelah menolongi si Bin, kenapa aku tidak pulang ? Adik Pek, kau tetapkan hatimu, kau beristirahatlah, jangan memikir yang tidak-tidak. !"

Suami ini menepuk-nepuk pundak isterinya, ia mirip orang tua yang lagi membujuki anaknya yang kecil.

Lie It berhasil, isterinya menjadi tenang, maka ia lantas berangkat pergi. Diluar kelihatan Tiangsun Pek tenang, hatinya hanya tetap gon-cang.

Ia berkuatir yang Lie It nanti menempuh bahaya dengan pergi menghadap khan Turki itu.

Ia pula berkuatir, ditengah jalan, suami itu nanti bertemu sama Bu Hian Song.

Ia justeru takut Hian Song nanti merampas suaminya itu, hingga ia jeri terhadan nona Bu melebihkan takutnya terhadap si raja asing !

---o^TAH^0^DEWIKZ^o---

KETIKA itu, Bu Hian Song lagi berjalan ditanah yang bersalju, hatinya berdebaran keras.

Ia terganggu kebimbangannya, hingga berulang-ulang ia kata didalam hatinya : "Menemui dia atau jangan...?"

Ia mencoba menguatkan hati, untuk mengambil keputusan, tetapi diwaktu bertindak, setiap tindakannya diiringi bayangannia Tiangsun Pek, hingga ia membayangi juga sinar mata tajam dari nona Tiangsun itu.

Sinar mata itu membuatnya gentar hati.

Maka itu, setiap dua tindak, ia berhenti satu tindak........

Dalam perjalanan ini, yang lambat sekali. Bu Hian Song tidak bertemu sama Lie It. Sebaliknya, ia menemukan sesuatu yang luar biasa.

Ketika in membelok disebuah tikungan, ia dapat membaca dua baris kata-kata yang adanya dibatu gunung, dimana kata-kata ini diberi gambarannya  sebuah tengkorak.

Kata-kata itu berbunyi :

"Siapa ingin jiwanya selamat,

Lekas pulang kekampung halaman...!"

Membaca itu, sebaliknya daripada takut, semangat Hian Song justeru terbangun.

Ia tertawa seorang diri dan berpikir: "Pahlawan Turki juga......bisa menggunai cara kaum King-ouw! Dia hendak menakut-nakuti aku, apakah ini tidak lucu?"

Ia menduga pengumuman itu ditulis oleh serdadu Turki, yang membawa lari anaknya Tiangsun Pek.

Ketika ia jalan pula sekian lama, kembali ia mendapatkan surat dan gambar ancaman serupa tadi, yang terang baru sadia diukir dengan ujung pedang.

Diatas salju masih ada hancuran batu yang terukir itu.

Cuma sejenak Hian Song berpikir, lantas ia dapat satu daya.

Ia mematahkan dua ranting cabang kering, dengan menggunai ilmu "Tan-cie-sin-kang," atau "Sentilan Jeriji." ia membikin kedua cabang itu mental diauh saling susul sepuluh tombak lebih dengan menerbitkan suara nyaring.

Selagi mementil, ia juga menggunai ilmu "Tah-soat- bu-kin," atau "Menginjak salju tanpa bekas" dengan itu, ia menggeleser mundur beberapa tombak tanpa mengasi dengar suara apa-apa.

Sambil mundur, ia mengawasi kearah mentalnya cabang kering itu.

Hanya sejenak dari belakang batu gunung terlihat munculnya kepala dua pahlawan Turki.

Inilah dugaan Hian Song disebabkan ukiran kata-kata yang baru.

Ia percaya sipengukirnya berada didekatnya. Sekarang dugaan itu terbukti.

Nyata pancingannya memberi hasil.

Hanya dengan beberapa kali lompatan, Hian Song membuat dirinya sampai didepan dua orang itu tanpa mereka ini keburu menyingkir, cuma ketika ia menyamber mereka, untuk dircekuk, samberannya mengenai sasaran kosong. Ia berseru: "Tahan"

Kedua pahlawan itu berkelit dengan lincah, habis berkelit, mereka maju menyerang.

Pahlawan yang satu bersenjatakan sepasang poan- koan-pit dengan apa dia lantas menotok jalan darah, dan kawannya menggunakan sebatang golok yang dia pakai membacok kearah lengan si nona.

"Bagus" berseru si nona.

Ia lantas menangkis dengan pedangnya, hingga beruntun ia membuat kedua senjata musuh mental dan musuhpun mundur. Sebaliknya, si nona juga merasakan telapakan tangannya kesemutan, suatu tanda kedua musuhnya bertenaga besar.

Kedua pahlawan itu tidak gentar, mereka lantas maju pula, menyerang dari kiri dan kanan.

Orang yang memegang poan-koan-pit mengarah jalan darah kie-bun dikiri dan jalan darah ceng-pek dikanan, lincah gerakannya.

Hian Song berkelit dari totokan, sambil berkelit, ia pun melompat untuk menyingkir dari bacokan kearah kakinya, kemudian ia membalas menyerang, yalah selagi tubuhnya turun habis melompat itu.

Serangan berbahaya ini membuat dua orang itu terdesak mundur.

"Bilang! Kamu orang Han atau orang Tartar?" tanya Hian Song.

Ia melihat orang dandan sebagai pahlawan Turki tetapi sekarang ia mengenali mereka bukanlah orang- orang yang membawa lari anaknya Tiangsun Pek.

Pula mereka itu mengenakan topeng dan berkelahi dengan membungkam, sedang ilmu silat mereka dikenali, ilmu totok itu dari partai Ceng Shia Pay, dan ilmu goloknya yalah ilmu Ngo Houw Toan-bun-to dari kaum Ban Sin Bun.

Umpama kata kedua ilmusilat itu diturunkan kepada orang asing, pasti cara menggunainya tidak sedemikian liehay.

Ia pernah bertemu ketua dari kedua partai itu, mereka bukannya dua orang ini. Ditegur Hian Song, kedua pahlawan itu nampak memencarkan sinarmatanya, meski begitu, mereka terus berdiam.

"Lekas bicara!" Hian Song membentak pula. "Jangan kamu menerbitkan kesalahan tanpa ada perlunya!"

Kembali tidak ada jawaban mulut, hanya jawaban serangan yang terlebih gencar dan hebat.

Nona Bu menjadi habis sabar.

"Kamu tidak mau memperlihatkan dirimu, baiklah, jangan kamu persalahkan pedangku tidak mengenal kasihan!"

Kata-kata ini diikuti tertawa dingin, lalu disusuli serangan yang tidak kurang dahsyatnya, pedang menyamber melewati kepalanya kedua pahlawan itu.

Pahlawan yang bersenjatakan poan-koan-pit mencoba membalas, senjatanya disampok hingga bersuara nyaring dan memuncratkan lelatu api, atas mana, kawannya, yang memegang golok, menjadi kaget.

Tapi ia maju, guna menyerang, untuk menolongi kawannya hingga tak dapat didesak si nona.

Hian Song melanjuti serangannya. sampai tujuh kali saling susul serangannya itu bagaikan golombang mendampar bergantian, hingga kedua lawannya menjadi repot.

Pahlawan dengan poan-koan-pit itu penasaran, ia mencoba membalas, ia juga menotok secara bergelombang, mengarah pelbagai jalan darah - tujuh jalan darah yang berbahaya.

Dengan begini tampak keliehayannya. Hian Song memperhatikan pelbagai serangan itu, ia tidak mau mengasikan dirinya kena ditotok, hanya sambil melayani orang, ia juga mesti berlaku waspada kepada musuh lainnya.

Dengan begitu, bergantian mereka saling desak.

"Ilmu totok kau liehay sekali!" kata Hian Song tertawa. "Cuma masih kurang mahir! Sekarang kau lihatlah aku, dengan ujung pedangku hendak aku menotok jalan darah leng-tay dipunggung-mu, lalu dengan tikaman, aku nanti menusuk jalan darah soan-kie didada-mu!"

Kata-kata ini membuat heran lawan itu.

Kata-katanya saja sudah luar biasa, sebab itu berarti membuka rahasia.

Yang aneh pula, kedua jalan darah itu ada dibelakang dan didepan.

Bagaimana itu dapat ditotok demikian gampang seperti yang dikatakan?

Didalam ilmu silat, dua pahlawan itu belum pernah mendengarnya.

Tapi mereka toh bersiap sedia, untuk menutup diri mereka.

Cuma airmuka mereka yang menandakan mereka tidak percaya.

Habis berkata, Hian Song tertawa pula, hanya kali ini, belum berhenti suara tertawanya itu mendengung ditelinga kedua pahlawan itu, atau mereka sudah lantas diserang.

Hanyalah, serangannya itu luar biasa. Pahlawan dengan poan-koan-pit diserang, belum pedang meluncur kepadanya, atau serangan dilangsungkan pada pahlawan yang memegang golok.

Dia mau menangkis atau ancaman pindah kepada kawannya.

Nyata si nona menggunai siasat.

Ia mengancam kedua lawan dengan bergantian, siapa siap sedia, ia tinggalkan.

Siasat ini membikin kedua lawan itu bingung, tidak perduli mereka menjaga diri dengan waspada.

Mereka seperti kena pengaruh, hingga mereka menjadi berkuatir punggung atau dada mereka bakal benar-benar kena diserang.

Pertempuran kali ini tidak mengambil tempo yang lama.

Pahlawan dengan poan-koan-pit lantas merasakan punggungnya seperti tertotok ujung pedang, dan kawannya, yang bersenjatakan golok, bagaikan tertikam dadanya.

Mereka menjadi takut, hingga lantas saja mereka melemparkan senjata mereka masing-masing.

"Bu Kun-cu, ampun!" tiba-tiba mereka mengasi dengar suara mereka selagi senjata mereka jatuh berkontrangan.

Bu Hian Song tertawa.

"Benar-benar kamu orang Han!" katanya. "Aku tadinya menyangka kamu gagu!" Nona ini tidak menyerang terus, hanya sebat luar biasa, ia menyontek bergantian topengnya mereka itu, hingga nampaklah wajah mereka, hingga ia meajadi heran.

Untuk sejenak, Hian Song berpikir, lantas ia ingat mereka itu yalah dua tetamu-tumpangan dari Bu Sin Su, kakak sepupunya.

Ia tahu mereka yalah orang-orang kepercayaan sang kakak, maka kenapa mereka menyaru menjadi orang Turki, bahkan mereka berani menempur dirinya?

Ia cerdik tetapi tidak dapat ia menerka.

Dua pahlawan itu nampaknia likat, setelah senjata mereka dilepaskan, mereka berlutut didepan si nona, sambil mengangguk, satu diantaranya berkata: "Hambamu yang rendah ialah Hong Bok Ya dan Ciok Kian Ciang, hamba mohon sukalah Kun-cu memberi ampun atas kelancangan hambamu. Kun-cu benar-benar liehav, kami tidak tahu diri, kami berani banyak lagak didepan Kun-cu."

Sejenak itu, Hian Song kata didalam hatinya : "Jadinya mereka menguji aku. ”

Dua pahlawan itu tinggi kedudukannya dalam Ban Sin Bun dan Ceng Shia Pay, didalam kalangan Rimba Persilatan, mereka kenamaan, dalam halnya tingkat derajat, mereka lebih tinggi dari si nona.

Itu pun, rupanya, yang menyebabkan mereka menyamar untuk menguji padanya. Hanya heran, kenapa mereka tidak melakukannya di Tiang-an, tetapi mereka melakukannya hanya diwilayah perbatasan ini.

Pula, apa perlunya mereka berada dipadang rumput ? Bukankah ia lagi menjalankan tugas rahasia ?

Siapakah yang mengetahui rahasianya?, hingga ia dapat disusul sampai disini?

"Silakan bangun, jiewie," kata Hian Song kemudian. "Aku she Bu, aku belum pernah memperoleh pangkat

atau gelaran. Kita sama-sama orang Rimba Persilatan, tidak dapat jiewie menjalankan kehormatan ini."

Hian Song mengatakan deniikian sebab ia disebut "kuncu," atau puteri yang mulia, yang ada kebalikannya dari pada "tian-hee," putera yang mulia.

Itulah gantinya kata-kata "paduka yang mulia." Dua orang itu lantas bangun berdiri.

Hong Bok Ya terus berkata dengan likat : "Kami pernah mendengar pada delapan tahun yang lampau Kuncu pernah mengalahkan jago-jago diatas puncak gunung Ngo Bie San, barusan kami mencoba memperoleh buktinya. Sekarang baru kami percaya dan takluk."

Mendengar keterangan itu, Hian Song makin heran, hingga ia menjadi bertambah curiga.

Maka ia mengawasi dengan tajam, lalu ia berkata: "Menurut aturan Rimba Persilatan, aku harus memuliakan jiewie sebagai orang-orang yang lebih tua, maka itu, mengapa kamu masih menggunai sebutan Kun-cu dan hamba?”

"Aku minta jiewie menghapus itu!” "Sekarang aku mau minta penjelasan.”

"Kenapa jiewie menyamar jadi pengawal Turki ?”

"Kenapa jiewie datang kemari, ketempat ribuan lie serta gunung yang belukar ini?”

"Adakah itu untuk hanya menguji aku?” "Inilah tidak wajar!"

"Itu....... itu " kata Kian Ciang, likat.

"Bagaimana?" Hian Song mendesak.

"Sekarang ini bangsa Turki lagi mengumpulkan tentera, untuk menyerbu kita, mungkinkah jiewie telah berkhianat kepada negeri sendiri, untuk membantui bangsa asing itu, lalu dengan alasan menguji kepandaian, jiewie hendak membinasakan aku? Jikalau pertemuan kita ini terjadi didalam negeri kita, aku dapat memakluminya, suka aku menghormati jiewie sehagai orang-orang tua, tetapi disini, harap jiewie maafkan aku, aku mesti mendapatkan keterangan yang pasti. Maka jikalau jiewie ragu-ragu, harap kau jangan sesalkan aku."

Sembari berkata begitu, si nona mengawasi muka orang.

Muka Kian Ciang menjadi pucat, dan tubuhnya Bok Ya menggigil.

Hanya sebentar, lantas mereka tenang seperti biasa. "Nona Bu," kata yang satu, tertawa, "apakah itu yang mengherankan kau, silakan kau utarakan?"

"Kamu yang mengukir ancaman dibatu gunung itu, apakah artinya ini?"

"Itulah terang sekali, untuk minta nona lekas pulang!" sahut Hong Bok Ya.

"Kenapa kamu menghendaki aku pulang?"

"Bukannya kami, hanya saudara nona. Ciansweeya ingin nona pulang."

"Ngaco! Sin Su menghendaki aku pulang, untuk apakah?"

"Itulah hamba tidak ketahui. Tapi disini ada suratnya cianswee sendiri. Silahkan nona baca, nanti nona mengerti."

Bu Hian Song mengenali surat kakak sepupunya, Bu Sin Su.

Surat itu berbunyi:

Adikku, aku terkejut mendengar kau berangkat kegurun Utara yang jauh, untuk memanggil pulang si akhli-waris celaka dari Kerajaan Tong, untuk dia membangun kerajaannya.

Adikku cerdas, mengapa kau bertindak begini?, bukankah tindakan itu akan memusnakan diri sendiri?

Sungguh, kakakmu tidak mengerti!

Seri Baginda telah berusia lanjut, ia terpengaruh hasutan jahat dari Tek Jin Kiat, ia bagaikan tertutup kecerdasannya, sudah begitu, bukannya adikku memberi nasihat, kau justeru membantu padanya!

Jikalau sampai terjadi Kerajaan kembali pada si orang she Lie, bukan melainkan kesenangan dan kemuliaan sekarang ini bakal ludas, seperti asap hilang menghembus-buyar, pula kami kaum Keluarga Bu, apakah kami masih dapat hidup?

Oleh karena itu, adikku, aku minta sukalah kau memikirnya pula masak-masak! Aku harap, setelah menerima suratku itu, segera adikku pulang ke Tiang-an, untuk kita berdamai pula bagaimana baiknya.

Dari kakakmu, Sin Su.

---o^KUPAY^0^DewiKZ^o---

Semenjak Bu Cek Thian naik di takhta, ia merubah merek Kerajaan Tong menjadi Kerajaan Ciu.

Lantas, karena itu, timbul persoalan, bahkan pertentangan.

Pihak Bu berpendapat, setelah kaisar, atau ratu, she Bu, maka sanak keluarga Bu adalah yang harus mewariskan kerajaan.

Akan tetapi ada menteri-menteri besar yang tidak menyetujui pendapat, atau kebiasaan itu, dan mereka ini menghendaki supaya kerajaan nanti diturunkan kepada anaknya Seri Ratu.

Bu Sin Su ingin sekali menjadi raja menggantikan Bu Cek Thian, dia lantas berikhtiar untuk mendapatkan warisan itu. Dia bersekongkol sama beberapa menteri, untuk mereka menunjang padanya.

Demikian, di tahun ke-dua dari pemerintahan Bu Cek Thian, atas anjurannya, maka Thio Gim Hok, selaku kepala, dengan membawa tanda tangan beberapa ratus orang, sudah mengajukan permohonan kepada Bu Cek Thian agar Bu Sin Su ditetapkan sebagai akhliwaris kerajaan.

Ketika itu perdana menteri yalah Gim Tiang Cian, ia menentang, maka batallah usahanya Bu Sin Su itu.

Bu Cek Thian ingin memperlunak pertentangan itu, ia lantas mengambil tindakan merubah she Lie dari puteranya yang keempat, Lie Tan, menjadi she Bu, serta berbareng mengangkat putera ini menjadi "su-hong" atau calon akhliwaris, sedang Sin Su dianugerahkan menjadi pangeran Gui Ong, Bu Sam Su menjadi Liang Ong, serta lain-lain keponakannya lagi menjadi Kun Ong.

Dengan demikian, pengaruh Keluarga Bu menjadi besar hingga menindih pengaruh Keluarga Lie.

Bu Cek Thian hendak mengangkat Bu Hian Song menjadi pangeran Kun Cu tetapi Hian Song menampik.

Justeru karena ini, Hian Song menjadi mendapat kepercayaannya ratu.

Bu Cek Thian telah mengangkat Lie Tan menjadi Su Hong itu, maksudnya seperti juga sudah pasti takhta- kerajaan bakal diserahkan kepada Lie Tan, si putera nomor empat, akan tetapi putera ini bukan seorang pangeran yang pintar, maka dia tidak ditetapkan menjadi Thaycu, putera mahkota. Di lain pihak, Bu Sin Su berichtiar terus agar takhta diwariskan kepadanya.

Menyaksikan suasana buruk itu, Tek Jin Kiat berkuatir Bu Sin Su nanti berontak, maka ia memberi saran supaya Bu Cek Thian memanggil pulang Lie Hian, putera nomor tiga, agar Lie Hian itu diangkat menjadi putera mahkota.

Didalam suratnya, Tek Jin Kiat antaranya menulis: "Mana lebih erat diantara bibi dengan keponakan dan ibu dengan anak? Jikalau Seri Baginda mengangkat putera, maka untuk laksaan tahun kemudian, Seri Baginda akan mengambil tempat kedudukan didalam Thay Bio, turun- temurun tidak ada habisnya. Jikalau Seri Baginda mengangkat keponakan, maka itulah langka. Belum pernah terdengar seorang keponakan diangkat menjadi raja atau seorang bibi dimuliakan didalam Thay Bio."

Tek Jin Kiat berterang menentang Bu Sin Su menjadi raja, maka itu ia menunjuki perbedaan diantara hubungan bibi dengan keponakan dan ibu dengan anak serta menyebutnyebut Thay Bio, kuil kerajaan.

Hati Bu Cek Thian tergerak karena saran itu.

Ia pun melihat, kalau keponakannya tetap diangkat menjadi raja, mesti terjadi kekacauan didalam pemerin- tahan.

Ia tahu, walaupun benar Lie Hian tidak pintar tetapi juga Bu Sin Su tidak cocok.

Sebaliknya, Lie Hian itu ditunjang oleh sejumlah menteri yang berpengaruh.

Maka setelah menimbang-nimbang, Bu Cek Thian mengambil putusan menerima baik sarannya Tek Jin Kiat, yalah pangeran Louw Leng Ong dipanggil pulang, untuk persiapan guna dia nanti menjadi pengganti raja.

Ketika Bu Sin Su mendengar keputusan ini, ia jadi sangat membenci Tek Jin Kiat, akan tetapi menteri itu sangat disayang Ratu, ia tidak berani mengganggunya.

Setelah membaca surat itu, Hian Song berpikir.

Memang, kalau pihak Lie menjadi raja, keluarga Bu ada kemungkinan nanti termusnakan.

Tapi ia sendiri, ia harus mengutamakan negara, siapa yang lebih pandai memerintah, dialah yang tepat, soal keluarga ada soal lain.

Ia ingat secara demikian bibinya, Ratu Bu Cek Thian, sering mengatakan.

Karena memikir begini, Hian Song segera mengambil keputusannya.

Ia merobek-robek hancur suratnya Bu Sin Su, ia masuki itu ke mulutnya, terus ia telan!

Kedua busu itu melongoh.

Sungguh mereka tidak mengerti maksudnya nona ini. "Aku tidak mau pulang!" kata Hian Song, tawar.

"Apakah kamu hendak mengambil jiwaku?"

"Tidak, kami tidak berani!" kata Hong Bok Ya cepat, tertawa. "Kata-kataku tadi untuk menasihati nona. Ciansweeya cuma mengharap nona suka pulang. Katanya paling baik nona dapat dicegah pergi tanpa kami menemui nona, adalah kami yang bernyali besar sudah menggunai cara kami ini. Nona sudah biasa merantau, nona tentu tidak memperhatikannya. Jikalau nona tidak puas, baiklah, disini kami menghaturkan maaf."

Hian Song dapat mengerti, maka ia mau menduga, rupanya Bu Sin Su ingin, kalau tidak sangat perlu, suratnya ini tidak usah diperlihatkan kepadanya.

"Karena itu ada pikirannya kakakku, tidak usah kamu menghaturkan maaf," katanya.

Ia menyapu muka mereka itu.

"Kami menggunai seragam ini, rupanya nona bercuriga," berkata Ciak Kian Ciang. "Sebenarnya kami menyamar begini supaya dapat kami merdeka mundar- mandir disini."

"Jadi untuk gampang mencari dan mengikuti aku!" kata Hian Song tertawa dingin. "Hm..., hm....! Kamu berani menyamar menjadi busu Turki, nyalimu besar! Tapi jikalau kamu bertemu sama busu yang tulen atau bertemu Thian San Kiam-kek, pasti kamu mencari penyakit sendiri! Di waktu pulang, baiklah kamu menyalin dandanan sebagai rakyat jelata."

"Terima kasih, nona," kata Hong Bok Ya, kami akan turut nasihatmu. Apakah kita berangkat sekarang juga?"

"Apa kita?" tanya si nona. "Kamu pulang sendiri, kepada ongya kamu beritahu bahwa aku telah membaca suratnya, lalu kamu membilangi supaya dalam segala hal dia menurut kepada Seri Baginda, jangan dia bertindak atas suka sendiri."

Hong Bok Ya dan Ciok Kian Ciang saling mengawasi, tetapi karena Bu Hian Song telah mengambil keputusan untuk tidak turut pulang, terpaksa mereka berdua pulang sendiri.

"Bibiku mengubah Tong menjadi Ciu, dia menjadi raja wanita yang pertama-tama didalam negara ini," pikirnya, "siapa tahu dia bukannya bertindak begitu melulu untuk satu keluarga saja. Jikalau Bu Sin Su dan kawan- kawannya main gila, bukan melainkan keluarga Yu bakal mendapat nama jelak, juga rakyat bakal bercelaka. Mudah-mudahan Thian melindungi agar bibiku itu hidup lebih banyak tahun lagi, dengan bibiku masih hidup mungkin Sin Su tidak berani bergerak."

Bu Hian Song mengatakan demikian tanpa ia mengetahui kakaknya itu, sudah bertindak jauh sekali.

Bu Sin Su sudah membuat perhubungan sama khan dari Turki.

Bahkan diketahuinya Lie It berada di gunung Thian San pun Sin Su yang mengisiki khan itu.

Adalah keinginan Sin Su supaya khan membinasakan Lie It.

Sebaliknya khan Turki berpikir lain.

Hok Bok Ya dari Ciok Kian Ciang adalah orang- orangnya Sin Su yang menyampaikan kisikan itu, mereka sudah bertemu sama khan sendiri.

Pula, khan-lah yang telah memberikan pakaian seragam itu, untuk mereka dapat menyamar atau menyembunyikan diri, sebab maksud mereka membekuk Hian Song, untuk dipersembahkan pada khan, guna mereka menagih jasa, maka adalah diluar dugaan mereka, mereka sendiri yang hampir mampus ditangan si nona.

Karena kegagalan itu, baru mereka mengeluarkan suratnya Bu Sin Su, untuk membersihkan diri, supaya segala apa ditumpuk di kepalanya Bu Sin Su.

Setelah berpikir sejenak, Bu Hian Song mulai lagi dengan usahanya menyusul Tiangsun Pek.

---o^Kupay^0^DewiKZ^o---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar