Pendekar Aneh (Lie Tee Kie Eng) Jilid 12

 
APA lacur kalau aral melintang.

Sebelum jenazah Tiangsun Kun Liang selesai terurus, mendadak Tiangsun Pek jatuh sakit.

Si pendeta, yang mendengar itu, menyerahkan kamarnya sendiri kepada si nona, karena disitu tidak ada kamar lain lagi.

Atas budi itu Lie It memberikan uang seratus tail perak pada pendeta itu.

Mulanya si pendeta menolak, tetapi setelah diberitahukan bahwa mereka masih mempunyai sedikit bekal, baru ia mau menerima. Kota kecil dimana petimati itu dibeli hanya belasan lie jauhnya, diwaktu senja si kacung kembali dengan petimati.

Lie It bekerja sendiri mengurus jenazah Kun Liang.

Ia menatap wajah bekas menteri itu ketika ia mau menutup peti itu.

Ia berduka bukan main mengingat budi Kun Liang dan puterinya.

Berjanjilah ia didalam hati untuk menyintai si gadis dengan sungguh-sungguh, untuk membalas budi mereka itu.

Ketika Lie It masuk kekamar Tiangsun Pek, si nona justeru tengah mengigau.

Berulang-ulang ia memanggil-manggil: "Ayah!" dan menyebut nama Lie It juga.

Lie It duduk disamping si-nona itu.

"Adik Pek, aku disini, disisimu," katanya dengan lembut. "Jangan takut."

"Siapa?" tanya si nona. "Aku!"

Diluar pun terdengar suara: "Aku!" Lie It terperanjat.

Ia melihat kacung si hweeshio masuk dengan semangkok obat yang masih panas.

Dia menyingkap tirai pintu dan bertindak masuk. Lie It memusatkan perhatiannya kepada Tiangsun Pek, ia tidak mendengar tindakan kaki orang diluar kamar, sampai si nona yang mendengarnya dan menyapa.

"Inilah air teh untuk menyegarkan tubuh," kata kacung si hweeshio. "Kalau orang sakit minum ini, dia menjadi tenang, sedang orang sehat akan tambah semangatnya. Jiewie berkunjung kemari, kita tidak mempunyai apa-apa untuk menyambut, maka guruku menjadi kurang enak hati, ia minta agar jiewie minum teh kam-louw ini. Besok barulah kita mengundang tabib untuk mengobati si nona."

Lie It menganggap bahwa kacung ini berbicara terlalu manis, beda sekali dari si hweeshio tua yang romannya jujur, akan tetapi ia percaya bahwa memang demikian sifat kacung itu.

Ia menghaturkan terima kasih, dan mengangkat tangannya, guna menerima teh itu.

Tepat pada waktu itu, dari luar terdengar derap orang berlari-lari.

Segera tampak si hweeshio tua berlari masuk, napasnya memburu.

"Hai, binatang, sedang mengapa kau disini?" hweeshio itu membentak dengan bengisnya.

Berbareng dengan itu ia menyampok jatuh mangkok itu, hingga pecah-hancur dan tehnya berhamburan dilantai.

Si kacung kaget.

Mendadak dia menggerakkan kedua tangannya, menolak kearah si pendeta tua. Itulah gerakan dari jurus "Liok tee heng couw" atau "Menolak perahu didarat."

Lie It kaget bukan main.

Itulah kejadian yang sangat diluar dugaannya.

Ia heran bahwa si kacung mengerti silat, bahkan ilmusilat Hok Houw Pang, partai "Penakluk Harimau" dari Siam-pak, Siamsay Utara, sedang jurus "Liok-tee-heng- couw” itu yalah jurus simpanan dari partai tersebut.

Pangcu Hok Houw Pang adalah seorang penjahat besar yang liehay dan ilmu silatnya hanya diturunkan kepada murid-muridnya, anggauta-anggauta partai, tidak pada orang luar.

Mungkinkah bocah ini murid Hok Houw Pang?

Walaupun menghadapi soal itu, Lie It tidak menjadi bingung.

Tidak dapat ia membiarkan si pendeta tua menjadi kurban pukulan berbahaya itu.

Dengan wajar ia bergerak, mendahului menyerang dengan pukulannya, jurus "Menarik busur memanah harimau," dan si kacung hweeshio segera sudah dapat dirobohkan sebelum serangannya mengenai dada hweeshto tua itu.

Kacung itu liehay, seketika roboh ia melompat bangun dengan gerakan "Kim-lee-coan-po," atau "Gabus emas menembusi gelombang."

Dengan berjumpalitan dia melompat keluar pintu dan kabur. Lie It kagum. Ia menyerang dengan lima bagian tenaganya.

Biasanya tidak sembarang orang dapat bertahan terhadap serangan itu, tetapi kacung itu tidak terluka, bahkan dia dapat menyingkir secara demikian licin.

Jelaslah sudah bahwa kepandaian silatnya tidak rendah.

Muka si pendeta tua menjadi pucat, tetapi berulangkali ia masih mencaci kacungnya itu.

"Kie-su, silakan kau lekas lekas berangkat!" katanya kemudian kepada Lie It. "Muridku itu tidak dapat merubah sifatnya yang buruk, aku kuatir kalau ia sebentar datang pula untuk mencelakakan kalian "

"Sebenarnya bagaimana duduknya hal ini?" tanya Lie It dengan heran.

Pendeta itu menghela napas.

"Lima tahun yang lalu," katanya, "pada suatu malam diwaktu salju turun, aku mendengar suara rintihan diluar kuil. Aku lekas-lekas membukakan pintu. Aku melihat seorang anak umur lima atau enam belas tahun rebah disalju. Ia ternyata terluka parah. Aku membawa masuk dan mengobtinya. Dia mengaku bahwa dia baru saja ketemu begal. Katanya, ayah dan ibunya sudah menutup mata. Oleh karena merasa kasihan, aku menerimanya menjadi muridku sekalian menuyadi tukang masak. Kemudian ketika aku pergi keluar dan mendengar-dengar kabar, aku mendapat keterangan bahwa disekitar sini tidak pernah terjadi pembegalan. Setibaku dirumah, aku mendesaknya untuk memberikan keterangan sejujurnya. Sekarang baru dia mengaku bahwa justeru dia sendiri salah seorang pembegal. Menurut dia, rombongannya pernah membegal dan membunuh piauwsu kepala dari Chin Yang Piauw Kiok, karena mana keluarga piauwsu itu mengundang orang liehay untuk menuntut balas, dari sepuluh anggautanya, tujuh atau delapan telah terbinasakan, dia sendiri lolos dengan terluka. Karena dia mengaku terus-terang dan dia bertobat, dia berjanji mau merobah kelakuannya, aku menerimanya sebagai murid. Siapa tahu sekarang dia kembali kepada sifatnya yang lama itu. Syukur aku lekas mengetahui niatnia yang busuk, jikalau tidak, pastilah jiewie celaka ditangannya. Kiesu, sekarang baiklah kiesu berdua lekas-lekas menyingkir."

"Tidak apa jikalau orang datang untuk merampas uang saja. Jikalau orang mengetahui asal-usul mertuaku dan melaporkannya kepada pembesar negeri, itulah baru berbahaya" pikir Lie It.

"Engko it, marilah kita pergi," kata Tiangsun Pek perlahan. "Kita baik jangan mengganggu kepada suhu ini."

Lie It masih berpikir. Ia bimbang.

Si hweeshio coba menerka hati si anak muda.

"Apakah kiesu kuatir muridku datang pula dan mencelakai aku?" katanya. "Hal itu tak usahlah kiesu kuatirkan. Untuk beberapa tahun aku telah  menolong dia, dia tentu ingat akan budiku, tidak nanti dia membunuh aku. Yang hebat yalah kalau sampai terjadi perkara jiwa didalam kuilku ini. Aku lemah, aku tidak dapat melindungi kiesu berdua. Aku malu, tetapi Aku minta supaya kiesu berangkat saja." Lie It menganggap kata hweeshio ini benar.

Kalau penjahat datang, kemudian mereka bertempur dan penjahat itu dapat dibunuh, akhirnya yang sulit ialah si hweeshio.

Juga dibelakang hari, nama si hweeshio dan kuilnya akan tercemar apabila orang banyak tahu bahwa muridnya itu bekas penjahat.

Maka akhirnya ia menaikkan layon Tiangsun Kun Liang keatas kereta, dan memernahkan Tiangsun Pek dikereta itu.

Kemudian ia berpamit dari si hweeshio sambil berulang-ulang menghaturkan terima kasih.

---o^DewiKZ^0^TAH^o---

Hebat penderitaan Lie It ketika itu.

Hari sudah larut-malam, sudah jam tiga.

Malam sunyi, rembulan suram, dan bintangpun sedikit yang tampak.

Ia tidak takut kepada orang jahat, hanya. ia menguatirkan keselamatan Tiangsun Pek.

Selama perjalanan itu, beberapa kali si nona merintih, ketika ia meraba dahinya. terasalah dahi itu panas sekali.

Ia gagah tetapi ia habis daya.

Disamping orang sakit itu, ada jenazah yang harus dijaganya pula.

"Engko It, aku membikin kau sangat letih," kata si nona selagi tubuhnya tergoyang-goyang dan terbanting- banting didalam keretanya, yang berjalan ditanah pegunungan yang sukar itu.

Lie It merangkul tubuh si nona, ia berkata perlahan: "Kita senasib, mati atau hidup, kita harus bersama. Jangan kau pikir yang tidak-tidak."

Ia bersyukur kepada nona ini, yang masih memperhatikannya meskipun si nona sendiri lagi sakit dan hatinya terluka karena kematian ayahnya serta kehilangan saudaranya.

Saat itu, hilanglah bayangan Wan Jie dan Hian Song, hilang teraling Tiangsun Pek

Pemuda ini mengharap-harap lekas-lekas datangnia sang pagi.

Ingin ia mendapatkan tempat untuk beristirahat, guna mendapatkan air teh buat tunangannya.

---o^DewiKZ^0^TAH^o---

LAMA sang pagi diharap-harap, akhirnya lewat juga sang waktu.

Sang fajar tiba, sang pagi muncul. Di timur, cahaya matahari nampak. Lalu jagat menjadi terang.

Mereka sekarang berada dipinggir sebuah rimba. Baru Lie It menghela napas lega, atau mendadak terdengar sorak berisik dari dalam rimba dari mana segera muncul tiga orang, satu diantaranya seorang pendeta.

Ia terkejut.

Ia tahu apa artinya itu.

Untuk menjaga keselamatannya Tiangsun Pek, ia tidak menanti orang datang dekat, ia melompat turun dari atas kereta, untuk lari menghampirkan mereka itu.

Segera ia tiba didepannya dua orang, yang tubuhnya besar.

Baru Lie It menghela napas lega, atau mendadak terdengar sorak berisik dari dalam rimba dari mana segera muncul tiga orang, satu diantaranya seorang pendeta.

Kaget mereka itu melihat cara lompatnya anak muda ini. Itulah tanda dari ilmu ringan tubuh, atau ilmusilat, yang liehay.

"Kau pernah apa dengan Tiangsun Kun Liang?" tanya yang satu.

Dia bertubuh besar dan bentuk kepalanya adalah yang dinamakan kepala "macan tutul."

"Kau anaknya ataukah muridnya ?"

Lie It mengangkat kedua tangannya; untuk dirangkapnya, untuk memberi hormat.

"Tuan, adakah kau Thia Siauw-pangcu dari Hok Houw Pang?" dia bertanya, hormat. "Aku tengah mengantarkan layon mertuaku pulang ke kampung halamannya. Entah ada urusan apakah yang membuat kami bersalah terhadap partai kamu yang agung?"

Lie It tidak kenal ini hupangcu, atau ketua muda, dari Hok Houw Pang.

Ia cuma menduga dengan melihat saja senjata orang, yalah tiam-hiat-koat, senjata peranti menotok jalandarah, senjata mana beda daripada yang umum dipunyai kaum Rimba Persilatan.

Tiam-hiat-koat yang umum panjangnya hanya dua kaki tetapi kepunyaan Hok Houw Pang sampai tiga kaki dan kedua belahnya pun tajam.

Ketua Hok Houw Pang, Thia Tat So, sudah berumur enampuluh lebih sedang begal ini belum lanjut usianya, dari itu ia lantas menduga kepada anaknya Tat So.

Orang itu terkejut. Ia memang Thia Kian Lam, pangcu muda dari Hok Houw Pang.

Ia menjadi menduga, Lie It bukanlah seorang muda masih hijau. Maka ia lekas-lekas membalas hormat.

"Jadi tuan adalah baba mantu Tiangsun Kun Liang," katanya. "Aku merasa beruntung sekali dengan pertemuan kita ini!"

"Mertuaku itu," kata Lie It. "Separuh hidupnya menjadi pembesar negeri, separuhnya lagi dipakai tinggal menyendiri dipegunungan, dia tidak mempunyai hubungan dengan kaum Kang-ouw, maka aku percaya, dia tidak mempunyai urusan dengan partai tuan, karena itu, mengapa siauwpangcu memegat kereta kami ini?"

"Tuan benar," berkata Kian Lam. "Tiangsun Tayjin tidak bermusuhan dengan partai kami dan kami juga tidak berani memegat dia, hanya kau sendiri, tuan, aku ingin meminjam suatu barang dari tuan. Jikalau tuan sudi mengasi pinjam itu, maka kami juga hendak memberi hormat kepada jenazahnya Tiangsun Tayjin."

"Mertuaku orang putih-bersih, kedua tangan bajunya bersih bagaikan angin," berkata Lie It. "Akan tetapi apabila siauw-pangcu membutuhkannya, baru tiga atau limaratus tail perak, aku masih dapat memberikannya."

Thia Kian Lam tertawa.

"Meskipun pekerjaan kami yalah pekerjaan tanpa modal tetapi kami masih belum berani meminjam uang dari kau, tuan!" katanya. "Tuan memandang terlalu kecil kepada kami.” "Jikalau .begitu, aku mohon tanya, apakah itu yang siauwpangcu hendak pinjam?" tegaskan Lie It.

"Tiangsun Tayjin menjadi ahli ilmusilat pedang dari suatu jaman, mestinya dia mempunyai warisan kitab ilmusilat dan ilmu pedang," kata Kian Lam, menjelaskan. "Karena kepandaian tuan sendiri telah cukup untuk menjaga diri serta tuan tidak perlu hidup dalam dunia Kang-ouw, maka aku mengharapi kitab pedang itu yang untuk kami kaum Kang-ouw berarti penting sekali."

"Menyesal, siauw-pangcu, tentang kitab itu, aku tidak tahu apa-apa," kata Lie It. "Semasa hidupnya mertuaku, ia tidak pernah menyebut-nyebut itu dan juga tidak menyerahkannya."

Mendengar jawaban ku, Thia Kian Lam tertawa dingin.

"Jikalau demikian, sukalah tuan mengalah untuk aku mencarinya sendiri!" katanya. Dan ia maju, niatnya menghampirkan kereta.

Lie It bergerak, untuk menghadang.

"Tubuh mertuaku masih belum kering, aku tidak ingin dia terganggu," katanya.

"Baikiah!" kata Kian Lam bengis. "Kau tidak mau mengijinkan kami menggeledah, terpaksa kami mesti meminjamnya dengan kekerasan! Kongcu, jangan kau mengatakan kami tidak tahu aturan!"

Belum berhenti kata-kata itu atau pangcu muda dari Hok Houw Pang sudah lantas menyerang dengan senjatanya yang liehay itu, menotok jalandarah kiebun- hiat. Lie it terpaksa menghunus pedangnya untuk menangkis.

Maka mereka lantas menjadi bertempur. Thia Kian Lam benar-benar liehay.

Dia pun dibantu banyak oleh senjatanya yang panjang beda daripada umumnya. Terus dia mengincar jalandarah, seperti kwan-goan-hiat dan soan-kie-hiat, ataupun hoan-tiauw-hiat dibetis kaki. Ringkasnya, dia menyerang kesemua tiga jalan darah atas, tengah dan bawah.

Menghadapi lawan yang liehay, Lie It berlaku tenang.

Selama ia masih asing akan ilmu totok lawannya itu, ia bersiasat menjaga diri.

Ia bersenjatakan pedang dari istana, pedang mustika, dalam hal senjata, ia memang unggul, tetapi ia berlaku sabar.

Maka dengan ilmupedangnya, ia menutup dirinya.

Sia-sia belaka Thia Kian Lam mendesak dan menyerang berulang-ulang, tidak pernah ia menemui lowongan, sedang untuk menerobos, ia tidak sanggup.

Tengah mereka bertarung seru itu, tiba-tiba Lie It berseru: "Kena!"

Dengan cara sekonyong-konyong saja pemuda ini membalas menyerang, pedangnya meluncur  kearah lutut.

Dengan jurus "Bwee-hoa-lok-tee," atau "Bunga bwee rontok ke tanah." Thia Kian Lam membawa senjatanya ke bawah, guna menangkis serangan, buat melindungi dengkulnya itu.

Tapi ia tidak cuma membela diri, ia membarengi menyerang.

Dengan tangan kiri ia menangkis, dengan tangan kanan ia menyerang kebetis, mencari jalan darah tiauw- hoan-hiat.

Ketika Lie It membalas menyerang, ia sudah berjaga- jaga, maka itu, tempo pedangnya ditangkis dan betisnya ditotok, ia membuat dua gerakan berbareng.

Pedangnya yang mental diputar terus, sedang kakinya yang diserang ia singkirkan.

Pedangnya itu diteruskan meluncur ketubuh orang, menikam baju lapis dibahu Kian Lam.

Oleh karena ia tidak ingin menanam bibit permusuhan, ia tidak berlaku kejam.

Jiikalau tikaman ditembuskan ketulang piepee, pasti ketua muda dari Hek Houw Pang itu bakal ludas ilmu silatnya.

"Maaf kau suka mengalah, siauw-pangcu!" ia lantas berkata. "Apakah sekarang kau sudi memberi lewat kereta jenazahnya mertuaku ini?"

Menurut aturan Kangouw,

Kian Lam mesti mengaku kalah, dia telah tidak sudi mengindahkan aturan umum itu. Dia tertawa dingin.

"Ilmu pedang kongcu benar lihay katanya. Bukankah itu ada buah ajarannya Tiangsun Tayjin? Kau membikin aku menjadi semakin kagum? Ciu Toako, mari kita maju bersama! Maaf, kongcu, telah bulat tekad kita untuk mendapatkan kitab pedang, maka itu tidak dapat kita memakai aturan Kangouw lagi, bahkan kita hendak merebut kemenangan dengan mengandakan jumlah  yang banyak!"

Atas seruan si ketua muda, kawannya, yang bersenjatakan cambuk panjang, lantas maju seraya menggeraki cambuknya itu.

Lie It mendiadi gusar.

"Bagus, kawanan berandal tidak mempunyai muka!" ia berseru.

Ia menggeraki tangannya, untuk menangkis cambuk, untuk terus membuat perlawanan.

Orang she Ciu itu murid kesayangannya Thia Tat So si ketua Hek Houw Pang, karena tubuhnya besar, ilmu ringankan tubuhnya kurang mahir. sebab dia tidak dapat mewariskan ilmu totok tiam-hiat-koat, di-a jadi diajari ilmu cambuknya itu.

Hing Liong Pian-hoat ilmu "Cambuk Menakluki Naga."

Dia bertenaga besar, cambuknya itu panjang, dia menjadi liehay.

Thia Tat So memang tersohor untuk tiga macam ilmu silatnya, ialah ilmu totokan, cambuk dan Hok Houw Ciang, "Tangan Menaklukkan Naga."

Maka itu, meskipun Lie It tidak kena dikalahkan, ia repot yuga dikepung dua musuh ini.

Justeru itu si hweeshio, ialah si kacung hweeshio, lari kearah kereta. Dia diberi nama suci Cui Giat oleh si pendeta tua, maksudnya untuk dia "menyingkirkan segala dosanya," supaya dia seterusnya menjadi orang baik hati, tetapi dia tidak mencuci hati.

Ketika dia mulanya diterima didalam Hok Houw Pang pun disebabkan kecerdikan dan keberaniannya itu, hingga dia sangat disayangi ketuanya.

Dia terpaksa berdiam di kuil dimana dia hidup tersiksa batinnya.

Kebetulan sekali, selagi dia pergi kekota untuk membeli petimati, dia bertemu Thia Kian Lam, si ketua muda.

Dia ditanya hal-ikhwalnya, kemudian dia menuturkan halnya Tiangsun Kun Liang mati di kuilnya.

Lantas Kian Lam ingat kitab pedang dan ingin mendapatkan itu.

Maka ia menyuruh Cui Giat menggunai bong-han-yoh, obat bius, untuk membikin pulas pada Tiangsun Pek.

Syukur si pendeta tua kebetulan saja mengetahui niat jahat itu dan lantas menghalanginya.

Ketika dia kabur, Cui Giat pergi mencari ketua mudanya, dari itu, Kian Lam lantas mengajak si orang she Ciu untuk memegat bersama.

Dia tahu di kereta cuma ada seorang nona lagi sakit, dia menjadi tidak takut dan hendak menghampirkan kereta, guna menghina si nona.

Lie It kaget dan gusar sekali. "Bangsat gundul cilik, awas," ia membentak, mengancam. "Asal kau mengganggu orang yang lagi sakit, akan aku tidak memberi ampun padamu, nanti aku rampas jiwamu!"

Thia Kian Lam tertawa bergelak.

"Jiwamu sendiri sudah berada dalam tangan kami, kau masih omong besar!" katanya mengejek. "Yo Ciauw, jangan takut! Kau geledah keretanya!"

Yo Ciauw yalah nama benar dari Cui Giat.

Dengan lekas Cui Giat telah sampai di kereta, sebelah kakinya sudah lantas menginjak kereta itu.

Hatinya Lie It menjadi panas, kuatirnya juga bukan main.

Dengan satu gerakan "Naga sakti menggoyang ekor," ia menangkis totokan Kian Lam, lantas ia mau melompat keluar kalangan, guna menghampirkan si kacung, atau si orang she Ciu menyamber ia dengan cambuknya.

Mau atau tidak, ia mesti berkelit.

Di saat itu, totokannya Kian Lam datang pula.

Ketua muda ini sangat sebat, kedua senjatanya mengarah dua jalan darah kie-bun-hiat dan ceng-pek- hiat.

Oleh karena sangat terpaksa, Lie It mesti melayani terus dua musuh ini, yang melibat padanya, hingga ia tidak berkesempatan menyusul Cui Giat, guna melindungi Tiangsun Pek.

Cui Giat girang sekali. Dia telah memikir, besar jasanya kalau dia berhasil mendapatkan kitab ilmu pedang.

Dia sudah mengharap kedudukan sebagai to-cu, atau ketua cabang dari partainya itu.

Maka dia lantas mengulur tangannya, untuk menyingkap tenda kereta!

"Ser!" demikian satu suara, yang membarengi tersingkapnya tenda itu, lalu sebatang panah menyamber ketangannya, mengenai tepat, hingga dia kaget dan kesakitan, tubuhnya lantas roboh terguling!

Ketika itu Lie It telah berhasil melukai lengannya Kian Lam, tetapi dilain pihak, ujung kakinya sendiri tersampok cambuk, justeru itu, ia mendengar jeritannya Cui Giat, maka ia lantas menoleh.

Karena itu, ia lantas melihat munculnya seorang nona umur lima atau enam-belas tahun, yang lari mendatangi, nona mana mengenakan baju kuning.

Ia mengenali nona itu, ia menjadi girang sekali, hingga hampir ia lupa menggeraki pedangnya untuk menangkis serangan.

Nona itu yalah Jie Ie, salah satu dari budaknya Hian Song.

Selama Hian Song "mengacau" dalam rapat besar di Ngo Bie San, nona kecil ini turut memegang peranan.

Kian Lam juga melihat munculnya si nona, ia tidak memperhatikan.

Ia pikir, apa bisanya bocah cilik itu? Ia bahkan terus mendesak Lie It. Dengan totokan beruntun ia mengarah pula tiga jalan darah sin-to, ciang-tay dan leng-kie.

Jie Ie itu tidak naik ke kereta, ia juga tidak menyusuli Yo Ciauw, hanya ia maju terus kepada Lie It, untuk menyerang Kian Lam.

Ketua muda Hok Houw Pang memandang enteng kepada si nona, barulah dia kaget ketika tahu-tahu pedang nona kecil itu menyamber ke punggungnya, ke jalan darah kwie-chong.

Pedang itu menyamber keras, anginnya menghembus. "Hebat!" pikir Kian Lam, heran.

Terpaksa ia menangkis.

Lie It menjadi ringan, tapi ia tidak berhenti, ia menyerang pula.

Kalau tadi dengan mengepung dia dapat mendesak, sekarang Kian Lam merasakan kebalikannya.

Begitu didesak, dalam repotnya menangkis, tiam-hiat- koatnya kena tertabas pedang Lie It hingga putus menjadi dua potong, hingga ia kaget tidak terkira.

Si orang she Ciu penasaran, dengan satu gerakan "Naga sakti menyabet," ia menyerang saling susul tiga kali dibawah, ujung cambuknya menyerang pergi dan pulang. 1a mengharap bisa merobohkan Jie Ie.

Nona itu benar ilmusilatnya tidak seperti kepandaiannya Lie It akan tetapi dia mahir dalam ilmu ringan tubuh, gerakannya sangat enteng dan gesit, justeru dia dirabu, dia mengasi lihat kelincahannya. Dengan satu jejakan kaki, dengan jurusnya "Burung walet terbang ke mega," tubuhnya mencelat tinggi.

Maka bebaslah dia dari serangan cambuk. Sebaliknya, selagi turun, dia menabas dengan bengis. Kawannya Kian Lam itu kaget bukan main.

Karena ia lagi menyerang hebat, tidak sempat ia berdaya lagi, tabasan pedang tidak dapat dihindarkan pula.

Celaka untuknya, karena ia berkelit, lima jeriji tangannya kena terbabat kutung semuanya, hingga ia mesti melepaskan cambuknya.

Dengan ketakutan, ia lari tunggang-langgang!

Kian Lam menginsyafi bahaya, terpaksa dia pun turut kabur.

---o^TAH^0^DewiKZ^o---

LIE IT, dan si nona tidak mengejar. Lie It lantas memasang mata.

Ia mau cari si kacung hweeshio yang jahat, tetapi dia itu tidak nampak mata hidungnya.

Sebab dia licik, setelah terpanah oleh Jie Ie, dia mengerti bahwa harapan untuk berhasil sudah lenyap, dari itu dia menyingkir lebih dulu secara diam-diam, untuk bersembunyi, didalam rimba. Jie Ie berdiri diam, matanya mengawasi si anak muda. Dia bermuka merah, napasnya sedikit memburu.

Sepasang matanya itu tajam sekali. Dia bagaikan hendak menegur si anak muda, yang telah meninggalkan nonanya.

Selang sejenak, barulah nona itu berkata, suaranya tawar: "Lie Kongcu, kau meninggalkan kota Tiang-an secara kesusu sekali sampai ada serupa barangmu yang kau lupa bawa. Sekarang nonaku menitahkan aku memulangkannya."

Lie It memandang nona itu ditangan siapa sekarang nampak sebuah khim kecil, yalah Hong-bwee-khim, alat musik yang ia sayang.

Itulah khim kuno.

Ketika ia diperintah Lie Beng Cie mengantarkan orang tawanan ke keraton, ia tinggal khim itu di tangsi Sin Bu Eng.

Ia tidak menyangka bahwa sekarang Hian Song menitahkan Jie Ie mengantarkannya.

Diam-diam ia merasa hatinya tidak tenteram.

Ia menjadi ingat saatnya ia bersama Wan Jie dan Hian Song menabuh khim dan bernyanyi.

Sekarang khimnya ada, orangnya tidak, bahkan hubungan mereka terputus

"Hian Song..., Hian Song..., apa perlunya kau mengirimkan khim-ku ini?" katanya didalam hati.

Ia berduka sekali. Ia memandangi alat tetabuan ditangan Jie Ie itu, ia berpikir pula: "Mulai sekarang aku bakal pergi jauh  sekali, khim dan pedang bakal berpisahan, ada siapakah lagi yang mengenal lagu? Hian Song..., Hian Song..., mengapa bukannya kau sendiri yang mengantarkannya?"

Lie It berpikir demikian tanpa ia mengetahui si nona Bu justeru memikirkan dia, semalam suntuk nona itu tidak pernah tidur sekejap jua, karena si nona menduga ia tidak bakal kembali, maka dia menitahkan Jie Ie yang pergi mencari, untuk menyerahkan khim itu.

Dengan begitu, kalau nanti dia bertemu sama Lie It, tak usahlah dia sangat berduka hingga tak tahu mesti berbuat apa.

Sikapnya ini diketahui Lie It setelah berselang banyak tahun kemudian.

Mengawasi kepada Jie Ie, Lie It melihat air mata orang mengembeng.

"Lie Kongcu, kau terimalah khim ini," kata pula budak itu. "Aku mau lekas-lekas pulang untuk memberi kabar kepada nonaku"

Lie It menahan turunnya airmatanya. "Terima kasih " katanya perlahan.

Ia menyambuti khim itu.

Lantas ia melihat sepotong saputangan terselip didalam khim, hatinya tergerak.

Ia mengeluarkan saputangan itu, untuk dibeber dengan perlahan-perlahan, hingga ia melihat sulaman seekor burung belibis tunggal, dibawah itu ada sulaman pula empat baris syair dengan apa ia dinasehati jangan menelad Kut Goan, sebab suasananya lain.

Dulu hari itu Kut Goan, negaranya lemah, rajanya tolol, dirinya sendiri dikurung dorna hingga dia putus asa.

Maka sia-sia belaka kalau ia hidup merantau.

Lie It berdiam, berdiri menjublak. Halus nasihat itu.

Tapi ia tidak bisa berdiam lama, ia menghela napas, lantas ia kata kepada budak itu: "Pergi kau pulang. Tolong kau sampaikan kepada nonamu bahwa aku berterima kasih untuk kebaikannya, sayang dijaman ini tidak dapat aku membalas budinya!"

Dia dapat menahan airmatanya, tidak demikian dengan si budak. Jie Ie lekas-lekas berpaling, untuk berlalu.

Tiba-tiba Lie It menyusul dua tindak, menanya: "Apakah Nona Siangkoan ada memesan sesuatu untukku?"

"Tidak, tidak ada pesannya," menyahut Jie Ie. Hanya sejenak, dia menambahkan: "Nona Siangkoan sama pikirannya seperti nonaku! Lie Kongcu, kau rawatlah dirimu baik-baik! Nah, aku pergi "

Lie It membiarkan orang pergi, ia lantas lari ke kereta, untuk melompat naik keatasnya.

Ketika ia menoleh pula kepada Jie Ie, budak itu sudah pergi jauh.

Ia lantas menyingkap tenda kereta. "Apakah penjahat telah dihajar kabur?" mendadak Tiangsun Pek menanya.

Dia tesenyum.

Kelihatannya dia seperti baru mendusin dari tidurnya.

Nona ini percaya kegagahannya Lie It, dilain pihak, ia percaya juga pembegal ada begal-begal tidak berarti.

Ia mendengar suara beradunya senjata-senjata, ia tidak menghiraukannya, ia tidak berkuatir.

"Ya, semua telah dihajar pergi," menyahut Lie It, lega.

Sebenarnya, didalam hatinya, ia mengatakan: "Mana kau tahu, dari ancaman bencana ini kembali Hian Song yang menolongi "

Ia merasa malu sendirinya, ia tidak mau mengatakan demikian.

Tapi Tiangsun Pek lantas melihat Hong-bwee-khim, ia menjadi heran.

"Apakah ada begal wanitanya?" ia tanya. "Tidak," Lie It menjawab.

"Tadi aku seperti mendengar suara wanita bicara denganmu."

Hati Lie It bercekat.

Cepat ia memikir: "Kita bakal jadi suami-isteri, buat apa aku mendustai ia?"

Tapi ia kuatir, karena lagi sakit, nona itu menjadi berpikir yang tidak-tidak.

Maka ia menjadi tidak dapat lantas menjawab. "Wanita itu orang macam apa, engko It?" Tiangsun Pek tanya pula. "Kau bilanglah! Urusan apa juga tidak nanti aku sesalkan atau menggusari kau."

"Dialah budaknya Bu Hian Song, yang mengantarkan khim," sahut Lie It kemudian.

Tidak dapat ia mendusta.

Mendadak mukanya si nona lebih pucat. Ia menarik napas.

"Engko It, omonglah terus-terang," katanya. "Kau sebenarnya menyesal atau tidak?"

Lie It merangkul erat tunangannya itu.

"Adik Pek, apakah sampai waktu ini kau masih tidak percaya aku?" dia balik menanya. "Aku telah mempunyai kau, kenapa aku mesti menyesal?"

"Bu Hian Song yalah si nona gagah yang kau paling kagumi," kata nona itu perlahan, suaranya berduka. "Aku sebaliknya, akulah seorang wanita biasa. Engko It umpama kata kau menyesal, sekarang masih belum kasip. Biarlah aku mengganggu kau lagi beberapa hari, setelah kesehatanku pulih, dapat aku mengurus sendiri jenazah ayahku, kau sendiri, kau boleh kembali ke Tiang- an”

Lie It tertunduk, hingga muka mereka berdua hampir beradu.

"Adik Pek, ingin aku omong terus-terang," ia berkata, perlahan. "Sampai sekarang ini aku masih mengagumi Hian Song. Seperti kau terhadap Bu Cek Thian, meskipun kau musuhnya, kau toh tidak dapat tidak mengagumi kepintarannya, bukan? Meskipun demikian, mana dapat kekaguman itu menyebabkan tawarnya permusuhan kita, permusuhan urusan negara? Kita berdua telah terikat menjadi satu, nasib kita sama, kita tidak danat berpisah pula!"

Ia hening sejenak, lantas ia menambahkan: "Untuk apa aku kembali ke Tiang-an? Kecuali negara telah bertukar junjungan dan Kerajaan Tong bangun pula! Tapi itulah pengharapan sangat kecil. Omong sebenarnya, hatiku sudah tawar. Adik Pek, jangan kau sesalkan aku, mulai hari ini aku tidak memikir lagi untuk menuntut balas, maka kalau nanti jenazah ayahmu sudah dikubur, mari kita pergi merantau, untuk melewatkan hari-hari penghidupan kita. Ayahmu yalah menteri setia Kerajaan Tong, dia menutup mata karena kesetiaannya, tetapi kita bakal hidup menyembunyikan diri, aku malu sekali, aku malu terhadapnya. Hanya, apa daya? Oleh karena itu, adik Pek, kau maafkanlah aku!"

Airmatanya anak muda ini lantas turun mengetel, jatuh dimukanya si pemudi.

Tiangsun Pek sangat berduka, tetapi berbareng ia pun lega hatinya, ia terhibur.

Baginya, omongan Lie It jelas sekali.

Bu Hian Song boleh gagah-perkasa, dia tetap keponakannya Bu Cek Thian, dia berdiri disisinya ratu itu, tidak dapat dia merampas Lie It.

"Habis, kau pikir niat pergi kemana, engko?" kemudian ia tanya.

"Guruku berada dikaki gunung Thian San, aku berniat pergi kesana untuk sementara waktu menumpang padanya," sahut Lie It. "Kita tunggu sampai lain tahun, setelah dia melepas putih, lantas kita minta tolong mengurus pernikahan kita. Ketika gakhu hendak melepaskan napasnya yang terakhir, dia menyerahkan kau padaku. Aku dapat menyelami hatinya, maka aku pikir jangan kukuhi aturan kuno ialah berkabung sampai tiga tahun."

Tiangsun Pek berduka berbareng girang, ia pun jengah, mukanya menjadi merah.

"Sekarang kaulah orang satu-satunya iang terdekat padaku, maka didalam segala apa aku menurut kepada kau," bilangnya, perlahan.

Ia malu, ia toh tersenyum, lalu ia merapatkan matanya.

Dengan begitu hatinya menjadi lega maka tanpa merasa ia ketiduran.

Lie It sebaliknya, hatinya tidak tenang.

Ia sudah mengambil putusan akan tidak memikirkan Hian Song dan Wan Jie, bahkan ia sudah berketetapan untuk tidak menikah dengan mereka itu, toh bayangan mereka tidak dapat lenyap selamanya.

Makin jauh ia terpisah dari Tiang-an, makin keras ia memikirkan mereka.

---o^TAH^0DewiKZ^o---

Satu bulan kemudian....................

Kereta keledai Lie It dan Tiangsun Pek sudah keluar dari kota Ganbun-kwan. Sekarang sudah bulan ke-sembilan, awal musim rontok.

Di wilayah perbatasan, rumput-rumput tiba pada saatnya termusna, disana nampak pasir kuning, suasana sunyi.

Melihat pemandangan itu, Lie It mendadak ingat syairnya Wan Jie yang dihaturkan kepadanya, yalah:

"Di telaga Tong Teng daun-daun baru rontok ditiup angin,

Kuingat ia yang terpisah jauh laksaan lie.

Kabut tebal, memakai selimut masih terasa dingin,

Rembulan doyong, dibelakang sekosol tiada bayangannya lagi ..."

Pastilah, selanjutnya, sukar untuk ia menerima pula syair dari nona itu.

Kemudian Lie It mengeluarkan saputangannya Hian Song, diam-diam ia memakai itu untuk menyusut airmatanya.

Lalu ia mementil khimnya, untuk bernyanyi, guna melegakan hati.

Bersama Tiangsun Pek, Lie It meninggalkan kota Gan- bun kwan, berjalan diantara pasir kuning.

Sama-sama mereka berpikir lain, mereka hendak menyambut peruntungan mereka yang bakal datang, tak dapat mereka menduga, apa yang akan terjadi nanti

Musim semi telah pergi, musim semi telah datang, bungabunga sudah mekar, bunga-bunga sudah rontok, binatangbinatang telah ber-pindah2, benda2 telah bertukar, segala peristiwa telah bersalin rupa.

Dan semenjak Lie It berdua Tiangsun Pek keluar dari kota Ganbun-kwan itu, bagaikan hanya sekejab, delapan tahun telah lewat.

---o^TAH^0DewiKZ^o---

SESUDAH delapan tahun itu maka datanglah pula bulan kesembilan awal musim rontok yang sama, saat dari musnanya rumput-rumput di tanah perbatasan.

Ketika itu didataran berumput diselatan gunung Thian San tertampak mendatanginya seorang penunggang kuda, dengan kudanya berbulu putih mulus. Ialab seorang nona bangsa Han.

Ia justru mengambil jalan yang diambil Lie It duluhari itu, ia menerjang angin dan pasir, ia mengayun cambuknya mengaburkan binatang tunggangannya itu.

Ia tampak lincah, pandai caranya menunggang kuda, tetapi pada parasnya nampak cahaya suram, tanda dari kedukaan.

Maka diantara suara sang cambuk, sering terdengar elahan napasnya

Dengan tiba-tiba saja terdengar seorang berseru nyaring : "Hai, wanita ! hentikan kudamu!" Disana debu pasir mengepul, disana terdengar tindakan kaki dari banyak kuda, yang lari bagaikan larat, atau segera tibalah empat penunggang kuda, tiba didepan si wanita.

Maka terdengarlah bentakannya yang bengis itu.

Si nona menghentikan kudanya, lantas dengan sinar matanya ia menyapu keempat orang itu. la melihat empat busu bangsa Turki (suatu suku bangsa Hsiungnu).

Seorang diantara mereka itu sudah lantas membeber sehelai gambar dari kulit kambing, dia memandang kegambarnya itu dan kepada si nona bergantian.

Kita itu wilayah barat-daya dari Tiongkok, termasuk selatan dan utara gunung Thian San, berada dibawah pemerintahannya kerajaan Turki yang kuat dan makmur, hingga kegarangan serdadunya tersohor sekali.

Maka adalah lumrah saja yang empat serdadu Turki tertampak mengejar seorang nona dipadang rumput ini.

Selagi si nona keheran-heranan, salah seorang serdadu, yang berewokan, menanya padanya : "Apakah kau datang dari wilayah kerajaan Tong yang agung?"

Ditanya begitu, si nona tesenyum.

"Sekarang ini Tiongkok bukan lagi negaranya Kerajaan Tong yang agung !" sahutnya. "Dan aku datang dari negaranya Kerajaan Ciu yang besar !"

Bu Cek Thian merampas kerajaan Tong dan menukarnya itu dengan merek kerajaan Ciu, hanya karena dia membangun kerajaannya belum lama, maka wilayah-wilayah asing diluar perbatasan belum mengetahuinya dan mereka tetap menyebut Kerajaan Tong seperti biasanya.

"Aku tidak perduli kerajaan Tong atau kerajaan Ciu !" kata busu itu.

"Aku cuma tahu kau datang dari Tiongkok !

Benarkah?"

"Tidak salah !" si nona menyahut.

"Kamu mempunyai urusan apa ? Lekas bicara ! Aku hendak lekas-lekas melanjuti perjalananku!"

"Hm....! Tidak dapat kau pergi lebih jauh! Mari lekas turut kami menghadap khan kami yang agung !"

"Apakah aku melanggar undang-undang negaramu ? Apakah siapa datang dari kerajaan Tong, dia mesti ditangkap ?"

"Kau tanyakan itu kepada khan kami yang agung nanti

! Bagus, ya ! Kau berani melawan ? Kau mau turut atau tidak ?"

Sepasang alisnya si nona terbangun, lalu dia tertawa lebar.

"Katanya rakyat negaramu sopan-santun, kamu justeru tidak memakai aturan !" dia membentak.

"Jikalau mau bicara tentang aturan, pergi bicara sama khan kami yang agung !" kata pula si berewokan, yang tertawa dingin.

"Hm.....! Apakah kau masih tidak mau turun dari kudamu ?" "Aku tidak mau turut kau!" si nona membelar. "Jikalau khan kamu hendak menemui aku, mintalah dia datang sendiri kemari!"

Busu itu menjadi gusar.

"Bekuk dia !" serunya. "Lebih dulu rangket padanya !"

Lantas mereka berempat menggeraki kuda mereka untuk mengurung, lantas mereka menggeraki juga cambuk mereka untuk menghajar si nona.

Nona itu sebaliknya tertawa.

"Kaum bukan tandinganku !" katanya tenang. "Lekas kamu pergi !"

Kata2 ini dibarengi sama jepitan kedua kakinya kepada perut kudanya dan tangannya yang sebelah menggentak les kuda, atas mana kuda putihnya, bagaikan kaget, lantas berjingkrak, melompat menerjang kedepan.

Seorang musuh, yang bakal kena keterjang, lekas menyingkir, sambil menyingkir ia menyambuk.

"Ser...!" demikian bunyi cambuknya.

Akan tetap si nona mendadak lenyap seketika, lenyap dari punggung kudanya, sebaliknya, kudanya si busu sendiri lantas mengasi dengar ringkikan sedih dan keempat kakinya terus tertekuk ketanah.

Karena nona itu telah berkelit kebawah perut kudanya, sambil berkelit dengan cambuknya ia menghajar  keempat kakinya kuda busu itu, hingga tak ampun lagi, keempat kaki kuda itu patah dan penunggangnya roboh terjungkal ketanah ! Tiga busu yang lain menjadi terkejut, tetapi mereka toh lantas bertindak, guna memegat nona itu.

Nona Han itu berlaku sangat sebat.

Dengan lekas ia sudah bercokol pula diatas kudanya, cambuknya pun diayun, atas mana seorang busu terguling dari punggung kudanya.

Busu yang ke-dua mendengar suara cambuk menjeter, hendak dia menangkis, atau punggungnya sudah kena disabet si nona, yang cambuknya menjeter pula !

Busu yang ke-tiga, atau yang keempat, hendak berkelit, akan tetapi dia terlalu ayal.

Dia bukan kena dihajar, hanya terlilit cambuk, ketika cambuk itu diayun terus, tubuhnya terangkat naik dari punggung kudanya, hingga kudanya itu kabur terus, mungkin tanpa mengetahui penunggangnya sudah tidak ada.

Si nona menarik kaget cambuknya, maka robohlah si busu yang penghabisan itu.

Lantas semua mereka itu dibikin tidak berdaya dengan totokan jalan darahnya.

Setelah lompat turun dari kudanya, si nona mengambil itu gambar kulit kambing. Untuk herannya, ia mendapatkan gambar itu yalah gambarnya sendiri.

"Siapa yang memberikan kau gambar ini ?" ia tanya si berewokan.

Busu bangsa Turki itu paling mengagumi orang yang kosen, melihat mereka dirobohkan dengan cepat dan gampang, mereka mana berani mendusta. "Kami mendapatkan ini dari khan kami yang agung," sahutnya.

"Khan kami menitahkan duapuluh-empat pahlawannya, untuk berpencaran mencari padamu, setiap rombongan terdiri dari empat orang. Sekarang kau lolos dari kepungan kami, maka dibelakang kami akan datang rombongan yang lain. Biarnya kau gagah, kau tidak bakal lolos dari padang rumput ini ! Maka baiklah kau turut kami ! Kami menghormati wanita kosen seperti kau, pasti kami tidak akan memperlakukan buruk padamu."

Si nona tidak memperdulikan kata-kata orang itu. "Kenapa khan kamu hendak menawan aku ?" dia

tanya.

"Kami cuma menerima titah, kami menjalankannya!

Mana kami berani menanyakan khan kami?" Nona itu menyimpan gambar itu.

Dia tersenyum.

"Sekarang pergilah kau pulang !" katanya. "Kamu membilangi khan kamu bahwa sekarang ini aku belum sempat menemui dia, tunggu saja sampai urusanku sudah selesai, tidak usah dia mengirim wakil mengundang padaku, nanti aku datang sendiri padanya!"

Habis mengucap begitu, nona ini meloloskan kantung- kantung airnya keempat busu itu, untuk dicantelkan dipelananya.

Dari empat kantung, ia mengambil yang tiga, yang satu ia tinggalkan untuk mereka itu. Katanya : "Aku tinggalkan ini satu untuk kamu selama perjalanan pulang kamu !"

Beberapa ratus lie disekitar mereka melainkan gurun belaka, sukar mencari air, maka itu, dengan tindakannya itu, si nona hendak mencegah mereka itu nanti terus menyusul padanya.

Setelah membebaskan orang dari totokan, si  nona naik atas kudanya, guna melanjuti perjalanannya.

Keempat busu itu mengawasi, mereka pun saling memandang, setelah itu mereka lekas berangkat pulang untuk mengasi laporan kepada khan mereka yang agung.

Si nona kabur serintasan, lalu Ia menoleh.

Lega hatinya kapan ia melihat tidak ada orang yang mengintilnya.

Sekarang ia berpikir.

"Urusan ini aneh ! Kenapa Khan Turki itu mengetahui tentang diriku ini ? Dia mengendalikan negara, banyak urusannya, mengapa dia sempat memperhatikan aku ? Mustahilkah dia mengetahui tentang asal-usul diriku ? Kalau benar, siapakah yang memberitahukannya ? Aku toh tidak memikir jahat terhadapnya ?"

Nona ini tengah pusing dengan urusannya sendiri, maka peristiwa ini membuatnya tambah pusing.

Ia tidak takut tetapi toh ia merasa ruwet juga.

Ia sedang mencari seorang sahabatnya, yang telah lenyap untuk beberapa tahun, karenanya tidak suka ia diganggu lain peristiwa. Nona kita ini bukan lain daripada keponakannya Ratu Bu Cek Thian, yalah Bu Hian Song.

Berjalan lebih jauh, Hian Song menemui serombongan kafilah kecil, yang terdiri dari tiga ekor unta serta orangnya, tua dan muda, wanita dan priya, cuma sepuluh orang lebih, hingga mereka mirip satu keluarga.

Ketika ia mendekati mereka, ia melihat roman orang guram dan berduka.

Seorang bocah, yang melihat ia, atau lebih, benar kantung airnya, lantas mengulur kedua tangannya sambil berseru-seru : "Air...! Air...! Aku mau minum...!"

Seorang wanita disisinya, mungkin ibunya, menegur bocah itu : "Hus, kau tidak tahu urusan...! Orang mempunyai cuma dua kantung air, mana dapat kau minta minum ?"

Hian Song lompat turun dari kudanya.

"Aku mempunyai banyak air," katanya tersenyum.

Ia terus membuka mulutnya sebuah kantung airnya, terus ia kasi si bocah minum.

Dengan matanya yang jeli, bocah itu mengawasi orang yang memberikan ia air, sedang ayah dan ibunya lantas menghaturkan terima kasih mereka.

"Setetes air tidak ada artinya," kata Hian Song. "Aku numpang tanya, kamu hendak pergi ke mana ?"

"Kami mau pergi kesebelah utara Thian San," menyahut si wanita.

Hian Song heran, ia lantas berpikir : "Utara Thian San jauh lebih dingin daripada bagian selatannya, musim rontok bakal tiba, kenapa, bukannya mereka ini tinggal diselatan, mereka justeru pergi keutara ? Mau apakah mereka .........?" lantas ia kata : "Disebelah utara itu, untuk mendapatkan air, kamu memerlukan tempo beberapa hari lagi. Kamu sendiri mempunyai tinggal dua kantung air. Mana itu cukup ? Aku membekal banyak, untuk membawa semua itu berabe, nah ambillah, aku berikan tiga kantung kepada kamu !"

Benar-benar Hian Song meloloskan tiga kantung airnya si busu Turki dan menyerahkannya kepada rombongan kafilah kecil itu.

Air dipadang pasir berharga bagaikan emas, maka itu, diberikan tiga kantung air, bukan main girang dan bersyukurnya rombongan itu.

Tiga kantung air itu berharga melebihkan sepuluh ekor unta.

Mulanya rombongan itu menampik, tetapi kemudian, melihat kesungguhan hati si nona, mereka menerima juga.

Saking bersyukur, mereka sampai mengembeng airmata.

Si nyonya Uighur menggape Hian Song mengajak duduk di tepi unggun.

"Nona, kau datang dari mana ?" ia menanya.

"Aku mau pergi ke Thian San mencari seorang sahabat," menyahut Hian Song.

Seorang priya, yang berusia lanjut, menanya : "Nona, apakah selama perjalanan kau ini kau menemui baturu dari khan yang agung ?" Dengan "baturu" dimaksudkan busu, atau pengawal khan Turki.

Untuk sejenak, Hian Song melengak.

"Pernah aku melihatnya beberapa orang tetapi bukan kemari tujuannya," ia menyahut.

"Bicara sebenarnya," kata pula si orang tua, "kami sebenarnya lagi menyingkir dari gangguannya khan itu yang tengah mengumpulkan tentara baru. "

Artinya pengumpulan tentara Turki itu yalah persiapan untuk peperangan.

Untuk itu, pengumpulan tentera dilakukan luas diantara rakyatnya.

Kembali Hian Song heran.

"Bakal ada peperangankah ?" ia menanya.

"Benar!, Katanya hendak berperang  dengan Tiongkok."

Hian Song terkejut.

Memang pernah ia mendengar Turki hendak melanggar perbatasan Tiongkok, hanya ia tidak menyangka bahwa itu bakal terjadi lekas.

"Diantara kami ada dua orang dewasa," kata lagi si orang tua, "kalau mereka mesti masuk tentera, bagaimana dengan hidupnya kami beramai yang tua-tua dan masih kanak-kanak! Maka itu kami bersedia dicaci pengecut, kami toh menyingkir keutara sebelumnya salju turun." "Benar. Tiongkok juga tidak menginginkan peperangan. Bukankah bagus untuk hidup damai dan aman ?"

"Setelah keluar pengumuman khan besar mengumpul tentera, banyak rakyat penggembala yang mengangkut tenda dan untanya pergi keutara," berkata lagi si orang tua.

"Maka itu khan telah menitahkan banyak baturu pergimcmegat rakyat yang minggat itu. Diwaktu menyingkir ini, kami kehilangan sebuah unta kami, justeru itulah unta yang membawa lima kantung air perbekalan kami. Nona, kau baik sekali, kau memberikan kami tiga kantung air. Semua itu cukup untuk beberapa hari."

"Tidak apa" kata Song, yang menghiburi mereka itu. "Nona, seorang diri kau membuat perjalanan digurun

ini," kata si nyonya.

"Disini hawa udara sering berubah-ubah menjadi hebat, untuk kau, itulah berbahaya sekali. Maka itu lebih baik kau turut bersama kami.”

"Terima kasih," Hian Song menampik.

Sampai disitu, nona kita pamitan, untuk meneruskan perjalanannya seorang diri.

Untuk menyingkir dari keruwetan, diwaktu lewat ditempat suku Uighur, ia menggunai busur dan anak panahnya menukar seperangkat pakaian itu, untuk ia menyalin pakaian, hingga selanjutnya ia nampak sebagai seorang pemburu Uighur yang gagah. Ia mengharap nanti luput dari perhatiannya sekalian baturu dari khan Turki itu.

---o^TAH^0^DewiKZ^o---

KUDA PUTIH dapat lari keras, selang dua hari, Hian Song sudah dapat melihat bagian tertinggi dari gunung Thian San menjulang kelangit, masuk kedalam mega.

Justeru hatinya lega, diluar dugaannya, dihari ke-tiga, cuaca berubah dengan tiba-tiba.

Disana mendadak muncul angin besar, yang mengganggu ketenangan sang gurun.

Sekarang pasir kuning beterbangan bagaikan kabut, menutupi angkasa.

Nona Bu mengaburkan kudanya untuk menyingkir dari badai, dibelakang-nya sebuah bukit pasir, ia berhenti, untuk berlindung disitu.

Lama rasanya baru badai sirap, maka ia keluar dari tempat berlindungnya.

Di depannya ia melihat tumpukan pasir yang baru, sedang dua tumpukan lain, yang tadinya ada didekatnya, telah lenyap, menjadi rata dengan pasir yang baru datang ini.

Didalam hatinya ia kaget. Benar-benar hebat perubahan digurun pasir!

Selewatnya beberapa hari, Hian Song tidak menemukan pula badai, hanya sekarang, untuk menyingkir dari gangguan angin itu, sering ia jalan mutar.

Karena ini, dua kantung airnya hampir habis terminum, dan sudah kudanya lelah, ia sendiri pun mulai merasa letih.

Demikian dihari ke-enam, magrib, ia merasa perlu beristirahat.

Untuk berjalan terus, ia tidak sanggup.

Tepat disaat si nona mau mencari tempat untuk mondok, ia merasakan tanah dibetulan kakinya bergetar, sedang dari jauh terdengar suara nyaring.

"Adakah ini gempa bumi atau gempa salju ?" ia berpikir.

Kudanya pun terlihat kaget, binatang itu tidak mau mengangkat kaki, sedang dari mulutnya mulai keluar busa.

Hian Song lompat turun dari kudanya, ia memandang kedepan.

Mendadak ia menampak sinar api dikaki gunung. Bukan main girangnya ia.

Tidak ayal lagi, ia menuntun kudanya bertindak kearah api itu.

Tiba dikaki gunung, si nona mendapatkan mulut jalan gunung telah tertutup salju.

Dikaki gunung itu ada serombongan kafilah tengah berkemah. Diantara mereka itu ada sebuah unggun, yalah unggun yang sinar apinya ia lihat tadi.

Belum ia datang dekat, atau seorang tua telah bertindak kearahnya, menyambut padanya.

Nyatalah dia si orang tua yang ia ketemukan beberapa hari yang lalu.

Heran orang tua itu mendapatkan si nona sudah salin pakaian.

"Benar-benar kau !" katanya girang. "Aku tadinya menyangka lain orang !"

"Dengan dandanan sebagai pemburu, lebih leluasa untukku berjalan digurun ini," Hian Song memberitahukan.

"Dalam beberapa hari ini cuaca buruk, aku senantiasa menguatirkan kau," kata pula si orang tua.

"Syukur kau dapat tiba disini," Hian Song jengah.

Kalau tahu bakal jadi begini, pasti lebih bagus untuk turut rombongannya orang tua ini.

"Didalam perjalananku ini, aku bertemu sama beberapa rombongan lain, yang bersatu tujuan seperti kami," kata si orang tua, "maka itu kita lantas menggabungkan diri. Sayang kita menemui gangguan gempa salju, dari itu kita harus menanti lagi beberapa hari sampai cuaca sudah terang baru kita dapat lewat dari sini. Hanya gempa salju pun ada baiknya. Dengan begitu kita dapat melumerkan salju untuk dijadikan air."

"Airku juga kebetulan baru habis," kata Hian Song. "Sungguh, Tuhan tidak memutuskan jalan umatnya! Aku merasa beruntung dapat bertemu sama rombonganmu ini."

"Kami kaum perjalanan, sudah selayaknya kami saling menolong" kata si orang tua. "Marilah ! Kita mempunyai air dan juga rumput untuk kuda dan unta !"

Diluar tenda ada beberapa puluh ekor unta, dan orang-orang yang duduk berkumpul berjumlah kira-kira seratus orang.

Melihat mereka itu, Hian Song menghela napas dan berkata dalam hatinya.

"Khan mau berperang, dia membuat orang minggat diantara badai dan salju ini !"

Si orang tua mengajak si nona keantara rombongannya, ia berkata kepada orang banyak itu : "Engko ini orang Han tetapi dia baik hatinya, keluargaku telah menerima budi besar daripadanya."

Dan ia menuturkan bagaimana ia dibagi air hingga tiga kantung.

Semua orang itu girang, mereka memheri selamat datang.

Si orang tua melihat nona itu menyamar menjadi priya, ia menduga mesti ada sebabnya, maka itu ia tidak mau membuka rahasia orang, dia segaja menyebut "engko."

"Bukankah kamu bangsa Han bersiap untuk berperang dengan bangsa kami?" menanya seorang Uighur.

"Tidak!" menjawab Hian Song. "Aku baru datang dari Tiongkok, aku tidak mendengar urusan mau berperang. Bahkan aku melihat suasana damai." "Katanya sekarang ini seorang wanita yang menjadi raja di Tiongkok, benarkah itu?"

"Benar!. Dia menjadi raja semenjak banyak tahun."

Seorang nyonya Uighur mengawasi suaminya dan tertawa.

"Kau selalu memandang tak mata kepada wanita, kau kata wanita kala dari priya," katanya, "sekarang kau lihat dinegara Kerajaan Langit itu, disana ada wanita yang menjadi raja!"

Ia berhenti sebentar, lalu menambahkan: "Perang itu kegemaran priya, dengan wanita yang menjadi raja, mungkin keadaan akan menjadi sedikit terlebih baik, tidaklah nanti sedikit-sedikit saja lantas orang mengangkat senjata!"

"Kau keliru," kata si suami. "Priya juga tidak gemar perang, jikalau tidak, mustahil sekarang kita pada menyingkir kemari?"

Ia pun hening sejenak, untuk melanjuti: "Sebenarnya, kita juga tidak takut perang, maka jikalau bangsa Han menyerbu, aku akan lantas berangkat pulang”.

"Kita bangsa Han juga berpendapat sama dengan kamu” Hian Song bilang. "Hidup kami yalah aman dan sentausa, tidak ada niat kami untuk menyerang orang lain."

"Biar bagaimana, kami sedikit jeri terhadap kamu bangsa Han," berkata seorang tua. "Aku ingat beberapa puluh tahun dulu, ketika aku masih kecil, pernah satu kali angkatan perang kamu telah datang menyerang kami." "Itulah kejadian yang sudah lewat. Raja wanita yang sekarang ini, titahnya setiap tahun yalah menganjurkan rakyat bekerja rajin dalam pertukangan dan pertanian, maksudnya supaya mereka itu bersungguh-sungguh dalam usaha masing-masing. Sama sekali belum pernah aku melihat persediaan untuk peperangan."

"Kau benar," kata seorang lain, yang romannya seperti saudagar. "Pada tahun yang lalu aku telah pergi ke Tupo, ibusuri negara itu yalah seorang puteri dari kerajaan Tong, hingga sekarang ini, kedua negeri masih menjadi besan. Katanya ketika puteri itu baru menikah, dia datang dengan membawa banyak kitab, bibit, kaum pertukangan dan ahli musik dan lainnya, hingga orang Tupo dapat bersawah atau bercocok-tanam. Pernah aku melihat disekitar Lhasa, padinya hijau-hijau. Coba kita pun dapat meluku sawah, pastilah kita tak usah bersengsara seperti sekarang ini. Aku pun pernah makan sayur peecay, yang dulunya ditanam dari bibit yang dibawa puteri itu. Kita disini tidak mempunyai seyur itu. Rasanya lezad. bangsa Tupo sangat bersyukur kepada puteri itu, mereka hidup akur dengan bangsa Han”

Mendengar itu, dengan disebutnya bangsa Tupo, yalah Tibet, Hian Song mengerti puteri yang dimaksudkan yalah Bun Seng Kongcu, atau Puteri Wen Cheng, yang telah dinikahkan dengan raja Tibet.

"Di kolong langit ini," ia berkata, tesenyum, "orang yang gemar berperang sangat sedikit, sedikit sekali. Juga kami bangsa Han, kami suka hidup akur dengan bangsa- bangsa lain." Selagi mereka bicara asyik itu, kesitu datang seorang wanita Uighur, yang alisnya kasar dan matanya besar, yang kulit mukanya kuning kehitam-hitaman.

Dialah seorang wanita Uighur yang biasa hidup berburu binatang liar.

Dia mengajak seorang anak kecil yang tampan, yang tak mirip dengan orang Uighur.

Dia menuntun seekor unta kurus.

Begitu wanita itu tiba, lantas dia hercampuran sama orang banyak untuk menghangati tubuh dekat api unggun.

Hanya untuk Hian Song, perhatiannya lantas tertarik. Ia mendapat kenyataan wanita itu memperhatikan ia,

sebagaimana dia itu sering meliriik.

Walaupun demikian, ia tidak menghiraukan, ia menyangka saja orang jarang melihat priya bangsa Han.

Di lain pihak, ia ketarik hatinya terhadap si anak kecil yang manis, maka ingin ia mengajak bicara. Ia lantas menyodorkan buah aberikos, yang ia bawa dari Tiang-an dan belum dimakan.

Anak itu mengulur tangannya, untuk menyambuti, atau mendadak tangannya itu dihajar si wanita, atau ibunya, sambil wanita itu mendelik terhadapnya dan melarang dengan tegurannya: "Aku larang kau menghendaki barangnya bangsa Han!"

Anak itu kaget dan heran, ia menggeraki bibirnya, mungkin ingin mengatakan sesuatu, atau si wanita membentak pula: "Aku larang, aku larang! Aku larang kau bicara!" Hian Song mengawasi maka sekarang ia melihat, sinar mata wanita itu seperti mengandung kebencian yang sangat. la heran sekali. Seumurnya, belum pernah ia menampak sinar mata demikian macam. Di antara musuh2nya, tidak ada yang sinar matanya sedemikian rupa. Yang lebih heran, wanita ini bulkan musuhnya, bahkan dialah wanita Uighur yang tidak dikenal!

"Nyonya, jangan takut," berkata si orang tua kepada nyonya itu, "anak muda ini seorang Han yang baik hatinya."

"Ya, tuan tetamu orang Han," berkata si saudagar, "aku ingin omong terus-terang, harap kau tidak  buat kecil hati. Kau sendiri orang baik tetapi ada beberapa orang Han lainnya yang pernah mempedayakan kami. Mereka mengasi anak-anak barang makanan, ada juga yang mengasi cita kembang kepada nona-nona kami, kesudahannya dengan itu mereka menukar secara mengabui dengan unta kami. Maka itu ada beberapa ayah dan ibu bangsa kami yang melarang anak-anaknya menerima persenan dari orang Han."

Lalu ia berpaling kepada si nyonya Uighur, untuk menambahkan: "Memang orang Han itu ada yang baik ada juga yang buruk, tetapi orang Han ini benar-benar baik hatinya. Beberapa hari yang lalu ia telah memberikan tiga kantung air yang besar kepada bapak ini hingga bapak dan sekeluarganya ketolongan. Tetamu ini tidak nanti mempedayakan anakmu, dia mengasikan barang, maka kau suruhlah anakmu menerima."

Nyonya Uighur tidak menyahut, tanpa kata apa-apa, ia menarik tangan anaknya, untuk diajak pergi mencampurkan diri dilain rombongan. Hian Song berdiam, tetapi ia terus berpikir. Tidak nanti wanita itu bersikap demikian kalau cuma disebabkan dia membenci orang Han. Mesti ada sebabnya yang lain. Sinar matanya itu luar biasa.

Seorang muda, yang mukanya ada bekas bacokan golok, bangkit dan berkata: "Tuan ini benar. Memang ada orang Han yang baik, ada juga yang buruk. Akupun pernah bertemu dengan seorang Han yang baik, bahkan dialah tuan penolong dari jiwaku. Dia tidak sudi meninggalkan namanya akan tetapi Aku tahu dia siapa. Diantara kita ini mungkin ada yang pernah bertemu dengannya. atau kalau belum pernah melihat, pasti sudah mendengar namanya, yalah Thian San Kiamkek!"

Mendengar disebutnya nama itu, beberapa orang lantas berseru: "Thian San Kiam-kek...! Thian San Kiam- kek...! Benar, aku pernah mendengar nama itu!"

"Ya, aku pun pernah ditolong dia!"

"Lekas! Lekas kau tuturkan kenapa kau ditolongi!"

Dari suara-suara itu, teranglah Thian San Kiam-kek, si jago pedang dari Thian San, namanya terkenal sekali.

Untuk Hian Song, disebutnya julukan itu menimbulkan sesuatu yang ia pikirkan, yang ia duga-duga.

"Aku pun sama seperti tuan-tuan," kata pemuda yang bertapak bacokan golok itu.

"Aku juga menyingkir dari gerakan mengumpul tentera. Aku berangkat bersama ibuku yang sudah tua dan adikku perempuan yang lemah. Ditengah jalan kami bertemu sama empat orang baturu dari khan. Mereka itu. bukan cuma mau menawan aku, mereka juga hendak merampas adikku. Benar-benar aku tidak takut menjadi serdadu tetapi aku ingin melindungi adikku itu! Nah, lihatlah tapak golok di mukaku ini! Itulah tanda bacokannya seorang baturu yang kejam sekali. Dan ini adikku, lihat, lantaran kaget dan saking takutnya, dia jatuh sakit dan sampai sekarang dia masih belum sembuh!"

Di sampingnya si pemuda benar ada seorang nona, yang kurus dan mukanya bersemu kuning, sinar matanya menandakan dia masih ketakutan, matanya itu mengembeng air.

"Sungguh kejam! Sungguh kejam!" kata si orang tua sengit.

"Dia membikin seorang nona kaget sampai begini rupa!"

"Maka syukurlah, Thian San Kiam-kek tiba dengan tiba-tiba," melanjuti si anak muda.

"Dia lantas menolongi kami! Cuma sebentaran, dia telah melukai semua empat baturu itu. Dia menggunai sebatang pedang yang panjang. Belum pernah aku melihat atau mendengar halnya pedang demikian tajam. Begitu bentrok, senjatanya empat baturu itu kena terbabat kutung!"

"Bagaimana macamnya orang yang kau ketemukan itu?" si orang tua bertanya.

"Orang dari usia pertengahan yang tampan. Dia kosen, dia mempunyai pedang pula, kalau dia bukannya Thian San Kiamkek, siapa lagi!" kata si anak muda. "Kalau dia bukan Lie It, siapa lagi?" kata Hian Song didalam hati.

Lantas hatinya goncang.

Ia lantas ingat akan peristiwa pada delapan tahun yang lampau

Kata-kata si orang tua memutuskan jalan pikirannya Nona Bu.

Katanya: "Aku juga pernah bertemu Thian San Kiam kek, hanya romannya tidak seperti yang kau lukiskan. Dia mirip dengan aku, diluar nampaknya dia tua dan reyot. Keluargaku turun-temurun hidup dari usaha mencari obat. Ketika itu raja dari Bendera Aerchin menitahkan aku menyerahkan teratai salju dari Thian San, aku diberi tempo cuma tiga bulan. Raja itu memerlukan teratai salju untuk selirnya yang sakit. Teratai salju tumbuhnya diatas puncak salju, itulah teratai yang langka. Seumurku baru pernah aku memetik satu kali. Ketika itu pun aku sedang mudanya dan kuat, tetapi sekarang aku sudah tua dan lemah, batas temponya pun pendek sekali. Mana aku sanggup mencari teratai itu? Ketika batas tempo tiga bulan lewat, aku lantas didesak oleh orang-orangnya raja itu, aku diberi tempo lagi tiga hari, atau serumah- tanggaku bakal dipenjarakan. Tempo tiga hari itu lewat dengan cepat. Aku putus asa. ...... Aku pikir, dari pada hidup menderita, lebih baik mati saja. Aku menjadi  nekat, maka aku menggantung diri dikaki gunung Thian San. Sungguh kebetulan, Thian San Kiam-kek datang selagi aku menggantung diri. Dia memutuskan tambang gantungan, dia menolongi aku, lalu dia meninggalkan setangkai teratai salju itu. Dia mempunyai pedang yang tajam, dia juga memiliki teratai salju, coba pikir, kalau  dia bukan Thian San Kiam-kek, habis siapa?"

Penuturan orang ini disusul oleh beberapa yang lainnya, yang katanya juga pernah ditolongi jago pedang dari Thian San itu, fikirnya cerita mereka beda hal romannya si kiam-kek, ada yang menyehut tua, ada yang menyebut muda, dan yang cocok cuma dua hal, yalah  dia orang Han dan mempunyai pedang yang tajam.

Bu Hian Song menjadi ragu-ragu.

Thian San Kiam-kek itu Lie It atau bukan?

Ia bersangsi karena roman orang, tua dan muda

................

Ia cuma lantas mengingat terus lelakonnya sendiri pada delapan tahun dulu itu.

Mereka berdua sering bertemu, sering juga berpisah, selama bertemu, mereka pernah main khim dan bernyanyi didalam rimba, sampai di gunung Lie San terjadilah perpisahan mereka yang terakhir.

Sebab Lie It terjun kejurang.

Ia telah kirim Jie It mencari anak muda itu.

Jie Ie pernah menemuinya, katanya si pemuda naik kereta menuju ke perbatasan.

Habis itu tidak ada kabar-ceritanya lagi.

---o^TAH^0DewiKZ^o---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar