LIE IT bangun perlahan-lahan dan lalu duduk menyender dibelakang kereta.
Dengan perasaan yang sukar dilukiskan, ia mengawasi kedua saudara Tiangsun itu yang semakin lama jadi Semakin jauh.
Dilain saat, ia ingat Tiangsun Kun Liang, seorang menteri tua yang sangat setia kepada kakeknya, dan dari Tiangsun Kun Liang, ia ingat pula Siangkoan Wan Jie. Ia menghela napas panjang dan perasaannya sangat tertindih.
Melihat perubahan pada paras muka pemuda itu, Hian Song segera menyanyikan sebuah sajak kuno - sajak Siangkun - dengan perlahan :
Mengapa tuan termenung, diliputi kedukaan? Ada hal apa yang dibuat pikiran?
Apakah sedang niemikirkan seorang gadis rupawan?
Jika benar, buatlah perahu untuk mengadakan pertemuan."
Mendengar nyanyian majikannya, si-budak cilik tertawa dan berkata : "Ma Toasiok, hayolah kita berangkat." Lie It agak terkejut. Ia merasa kagum akan kepintarannya kedua gadis itu, yang seolah-olah sudah dapat menebak jalan pikirannya.
Kereta lantas saja dijalankan perlahan-lahan. Lie It terus duduk termenung dan makin lama pikirannya jadi makin kusut.
Rupa-rupa pikiran keluar-masuk dalam otaknya, "Mana khimku?" tanyanya akhirnya.
"Jangan kuatir, khim dan pedang semua berada disini," jawab Hian Song yang lalu menyerahkan tabuh- tabuhan itu kepadanya.
Sesudah mengakurkan tali-talinya, Lie It segera memetik tabuh-tabuhan itu sambil menyanyi:
"Sesudah menanya rembulan, lalu menanya sang matahari,
Mereka sebenarn ya bersinar, tapi mengapa diliputi kegelapan?
Had yang duka tak dapat dicuci bersih, Bagaikan pakaian kotor yang bertumpukan. Kurenungkan nasib sambil menekap dada,
Bagaimana kubisa mementang sayap terbang keangkasa."
Nyanyian diatas adalah petikan dari Sie-keng yang mengutarakan keluhan seorang gagah yang berangan- angan tinggi, tapi tidak dapat bergerak karena ditindih oleh kawanan manusia rendah. Nyanyian itu merupakan jawaban terhadap pertanyaan Hian Song dan ia mengumpamakan dirinya "sebagai seorang gagah yang tidak bisa terbang keangkasa.”
"Apa hanya itu yang dipikiri olehmu?" tanya nona Bu sambil tersenyum.
"Kong-cu, aku rasa masih ada lain hal yang belum diutarakan olehmu. Ayolah, aku ingin dengar pula nyanyianmu."
Memang benar, pada saat itu, tanpa merasa, jari-jari tangannya kembali memetik khim dan mulutnya menyanyikan lagu yang seperti berikut :
"Kun kuning, baju hijau,
Hatiku menderita, tak dapat melupakannya, Sutera nan hijau,
Kaulah yang mengerjakaanya. Kuingat mendiang kawanku,
Ingin memperbaiki banyak kesalahan."
Syair itu adalah gubahan seorang penyair dijaman dulu, yang karena melihat pakaian isterinya, jadi ingat kepada isteri itu yang sudah tidak ada lagi didalam dunia.
Dengan mengetahui, bahwa Siangkoan Wan Jie bermaksud untuk membunuh Bu Cek Thian, sehingga dengan demikian nona itu menghadapi bahaya yang sangat besar, maka Lie It sangat berkuatir kalau-kalau ia tidak bisa bertemu muka lagi dengannya. Karena adanya kekuatiran dan kedukaan itu, maka suara khim dan nyanyian Lie It sangat menyayat hati.
Sesudah pemuda itu berhenti menyanyi, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Hian Song lalu mengambil khim itu yang lalu dipetiknya sambil menyanyi :
"Harum dan busuk bercampuran,
Harum yang tulen selalu menonjol kedepan, Wanginya dapat diendus dari kejauhan,
Sesudah memenuhi ruangan didalam, merembas sampai diluaran.
Barang baik selalu dapat mempertahankan diri, Suara merduh dapat didengar jauh sekali."
Dengan syair Su-bie-jin (Ingat wanita cantik) itu, Hian Song ingin mengatakan bahwa seperti harum dan busuk yang bercampuran, manusia utama dan manusia rendah sama-sama bekerja dalam suatu kerajaan.
Tapi walaupun bercampuran, manusia utama, seperti harum yang tulen, selalu bisa menonjol kedepan.
Selanjutnya, ia memperumpamakan Wan Jie sebagai "barang baik yang selalu dapat mempertahankan diri".
Ia ingin mengunjuk, bahwa Bu Cek Thian tentu bisa melihat "barang baik" itu, sehingga Wan Jie pasti tidak akan diganggu selembar rambutnya. Mendengar nyanyian itu, Lie It kaget tercampur kagum.
Biar bagaimanapun jua, ia sekarang harus mengakui kepintarannya nona itu.
Ia mendongak dan apa mau, sorot matanya kebentrok, dengan sorot mata Hian Song, sehingga cepat-cepat ia menunduk kembali dengan paras muka kemalu-maluan.
Sesaat kemudian, barulah ia berkata dengan suara perlahan: "Mengapa kau sudah menolong aku?"
Hian Song tertawa.
"Aku menolong seorang pandai untuk kepentingan negara," jawabnya.
"Juga supaya kau mempunyai, kesempatan untuk mementang sayap dan terbang keangkasa."
"Hal itu baru bisa kejadian jika langit berubah," kata Lie It dengan suara tawar.
Dengan berkata begitu, terang-terangan ia mengaku, bahwa sebelum Bu Cek Thian dirubuhkan, ia tak akan bisa bergerak.
Hian Song mengawasi dan berkata: "Hanya sayang kawanmu tidak berada disini. Hmm............. Aku ingat seorang kawan, ingin memperbaiki banyak kesalahan. "
Dengan mengutip syair yang barusan dinyanyikan Lie It, si-nona ingin mengatakan, bahwa jika Wan Jie berada disitu, ia tentu bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pemuda itu.
Lie it mendongkol. "Belum tentu Wan Jie berbuat seperti apa yang diduga olehmu," pikirnya.
"Tak mungkin ia melupakan sakit hati kakek dan ayahandanya. Andaikata benar ia berubah pikiran, aku sendiri sudah pasti tak akan membungkuk dihadapan Bu Cek Thian."
Melihat perubahan paras muka pemuda itu, Hian Song bertanya: "Apakah aku menyinggung perasaanmu?"
"Terima kasih atas petunjukmu," jawabnya dengan dingin.
"Tapi aku bukan seorang kanak-kanak. Aku percaya, bahwa aku masih dapat membedakan apa yang harum dan apa yang busuk."
Hian Song menghela napas. "Harap saja benar begitu," katanya.
---o^dwkz^0^TAH^o---
WAKTU itu kereta sudah mulai masuk kedalam sebuah selat yang diapit oleh dua puncak gunung.
Wanginya bunga-bunga hutan dan nyanyian burung- burung yang seolah-olah menyambut mereka, menghibur hati Lie It yang sedang berduka.
"Ma Toasiok, ada orang mendahului kita," tiba-tiba terdengar suara Beng Cu. Kereta masuk kedalam sebuah selat yang diapit oleh dua puncak gunung. Wanginya bunga-bunga hutan dan nyanyian burung-burung yang seolah-olah menyambut mereka, menghibur hati Lie It yang sedang berduka.
"Coba lihat tapak-tapak kaki kuda.
Apakah mereka kedua saudara Tiangsun?"
Benar, memang benar Tiangsun Thay dan adiknya sudah berada digunung Khong-lay-san karena secara tidak diduga-duga, mereka bertemu dengan seorang yang berkepandaian tinggi.
Sebagaimana diketahui, sesudah pedangnya dipapas putus oleh Bu Hian Song, dengan gusar dan malu Tiangsun Thay mengaburkan tunggangannya untuk menyusul si-adikyangsudah lari lebih dulu. Sesudah membedal kuda beberapa lama, barulah ia dapat menyusulnya.
Begitu bertemu Tiangsun Pek yang merasa sangat penasaran karena kekalahan itu, lantas saja menyesalkan kakaknya yang dikatakan kurang cermat dalam perkelahian tadi.
"Ya.....!, akupun merasa sangat tidak mengerti dan mungkin sekali, perempuan itu mempunyai ilmu siluman," kata Tiangsun Thay sambil menggaruk-garuk kepala.
"Serangan-serangan kita yang paling hebat selalu dapat dipunahkan dengan mudah saja."
"ilmu siluman apa?" bentak si-adik sambil menjebi. "Sebab-musabab kekalahan kita yalah karena kau tidak bisa bekerja sama denganku."
"Ya!, bisa jadi karena kita kurang pengalaman," kata sang kakak yang tidak berani membantah pendapat adiknya.
Tiangsun Pek tidak menyomel lagi, tapi ia menjalankan kudanya sambil menunduk, seperti orangyangsedang mengasah otak. Sesudah beberapa jauh, ia menengok kepada kakaknya seraya berkata: "Aku sudah menimbang-nimbang kiamhoat perempuan siluman itu dan menurut pendapatku, jika kita bisa bekerja sama dengan se-erat2-nya, kita masih dapat merubuhkannya. Mari kita berlatih dan besok kita coba menjajal lagi kepandainnya."
Tiangsun Thay sebenarnya tidak begitu setuju, tapi ia sungkan bertengkar dan kedua saudara itu lantas saja mulai serang-menyerang. Dalam pertandingan itu, sang kakak lebih kuat dalam hal tenaga, sedang si-adik lebih unggul dalam kiamhoat dan lebih gesit gerakan2nya, sehingga pertempuran itu berlangsung seru sekali.
Sesudah lewat belasan jurus, tiba-tiba Tiangsun Thay membungkuk dan sesudah menotol tanah dengan ujung pedang, ia berbalik dan menyabet kebelakang. Sambil menangkis, si-adik berkata: "in-kie-Bu-san (Awan-naik- digunung-Bu-san) tidak begitu tepat.
"Lihat pukulanku."
Ia menikam dan menyontek seraya membentak: "Lepaskan pedangmu!"
"Trang...!'', Tiangsun Thay terhuyung kebelakang beberapa tindak, telapak tangannya sakit bukan main, tapi ia masih dapat mencekel pedangnya. Melihat kegagalannya dalam usaha melepaskan senjata kakaknya, si-adik jadi malu dan paras mukanya berubah merah.
"Pedangku tidak terlepas karena tenagaku lebih besar daripada tenagamu," kata Tiangsun Thay dengan suara membujuk. "Bahwa dengan meminjam tenaga, kau Sudah membuat aku sempoyongan, merupakan bukti, bahwa ilmu pedangmu banyak lebih unggul dari pada aku. Jika tadi kita menyerang dengan menggunakan pukulan itu, mungkin sekali si-memedi perempuan sudah dapat dirubuhkan."
Mendadak, mendadak saja terdengar suaranya seorang tua: "Hm.......! Enak saja orang muda bicara.........!, kekurangan Go-bie Kiamhoat ternyata sampai sekarang masih belum diperbaiki." Kedua saudara itu kaget tak kepalang, dengan serentak mereka melompat mundur dan mengawasi kejurusan dari mana suara itu datang.
Ternyata, dipinggir jalan sedang berdiri seorang tua yang tengah mengawasi mereka sambil tersenyum.
Tiangsun Thay jadi semakin kaget dan berkata dalam hatinya: "Ayah sering mengatakan, bahwa selagi bertempur, seorang ahli silat selalu harus berwaspada, harus memasang mata keempat penjuru dan memasang kuping kedelapan jurusan, untuk menjaga setiap serangan membokong. Cara bagaimana dia bisa datang tanpa diketahui olehku?"
Ia mengerti, bahwa orang tua itu mempunyai kepandaian yang sangat tinggi, tapi perkataannya, yang mencela Gobie kiamhoat, sudah membangkitkan kegusaran didalam hatinya.
"Baiklah," katanya sambil menahan napsu amarah. "Dengan mengunjuk kekurangan dalam Go-bie
kiamhoat kami, kau tentu mempunyai kepandaian tinggi.
Sekarang aku ingin meminta pengajaran untuk menyelidiki kekurangan itu. Moay-moay, berikan pedangmu kepadanya!"
Orang itu menggeleng-gelengkan kepala dan berkata: "Aku sudah bersumpah untuk tidak menggunakan pedang lagi. Tapi permintaanmu untuk mendapat petunjuk-petunjuk aku tidak dapat menolak."
"Baiklah," kata Tiangsun Thay sambil memasang kuda- kuda. Tapi sebelum mereka bergebrak, Tiangsun Pek sudah mendahului berkata dengan suara menghormat: "Locianpwee, bolehkah aku mendapat tahu siapa adanya kau?"
Si-tua tersenyum. “Hayolah, kau berdua boleh bertanding pula dan jika ada bagian-bagian yang kurang tepat, aku akan memberi petunjuk," katanya.
"Dengan petunjukku itu, mungkin sekali kau akan bisa menebak siapa adanya aku."
Tiangsun Thay jadi semakin mendongkol, tapi adiknya sudah lantas berkata: "Koko, marilah kita berlatih lagi. Awas! Sambut seranganku."
Melihat sambaran pedang, Tiangsun Thay tidak dapat membantah dan mereka lalu bertanding pula.
Sesudah lewat belasan jurus, orang itu masih belum bergerak, sehingga Tiangsun Thay merasa sangat tidak sabaran.
Tiba-tiba Tiangsun Pek mendapat suatu ingatan dan ia menyerang dengan In-kie-Bu-san.
Pada saat itu, sekonyong-konyong si-tua tertawa terbahak-bahak, tahu-tahu ia sudah menyelak diantara kedua saudara itu dan dengan sekali bergerak, kedua tangannya sudah berhasil merampas pedang kakak- beradik itu!
"Aha.......! Liap-in Kiamhoat! Kalau begitu, Locianpwee adalah Kok Sin Ong Lopeh-peh!" teriak Tiangsun Pek.
Liap-in Kiamhoat adalah serupa ilmu pedang yang terkenal cepat sekali gerakannya dan Liap-in Pohoat (Tindakan Liapin) yang barusan digunakan oleh orang tua itu, sudah segera dikenali si-nona.
Sejenak kemudian, Tiangsun Thay yang otaknya lebih tumpul, baru ingat perkataan ayahnya, yang pernah memberitahukan mereka, bahwa yang dapat mematikan Go-bie Kiamhoat adalah Liap-in Kiamhoat, dengan pohoatnya yang luar biasa cepat, diceritakan Kok Sin Ong.
Buru-buru ia merangkapkan kedua tangannya dan berkata sambil membungkuk: "Kok Locianpwee mohon Locianpwee suka memberi maaf untuk kekurang ajaranku."
Kok Sin Ong tertawa lebar.
"Bagus....! Bagus....!" katanya. "Tak dapat mencari sang ayah, bertemu dengan putera-puterinya."
"Apakah Lopehpeh pergi ke Kiamkok untuk mencari ayah kami?" tanya Tiangsun Pek.
"Benar. ," jawabnya.
"Sebagaimana kau tahu, aku adalah sahabat karib ayahmu. Pada duapuluh lima tahun berselang, waktu kau berdua belum dilahirkan, diatas gunung Go-bie, kami pernah merundingkan ilmu pedang yang baru saja digubah oleh ayahmu. In-kie-bu-san adalah pukulan luar biasa, yang hanya digunakan waktu sudah terdesak, untuk merebut kemenangan dalam kekalahan. Aku sendiri merasa sangat kagum, hanya sayang, dalam pukulan itu terdapat satu kelemahan. Karena digunakan pada detik berbahaya, maka sifat pukulan itu nekat- nekatan, yaitu menyerang tanpa memperdulikan bahaya, sehingga oleh karenanya, tidak terluput dari kelemahan. Waktu itu, aku sudah menunjuk kelemahannya kepada ayahmu. Ayahmu sendiri mengakui adanya kelemahan itu, tapi ia berpendapat, bahwa , dengan diserang hebat dan mendadak, pihak lawan belum tentu bisa melihatnya. Belakangan, waktu bertemu dengan U-tie Ciong, kami merundingkan pukulan tersebut dan telah mendapatkan suatu jalan untuk memunahkannya. Itulah sebabnya, mengapa barusan, dengan sekali bergerak saja, aku sudah berhasil merampas pedangmu. Beberapa hari berselang, karena serupa urusan, aku pergi ke Sucoan dan mendengar, bahwa ayahmu berada di Kiamkok, aku sudah lantas datang kesitu untuk menyambanginya. Hanya sayang, ayahmu katanya sudah pindah ketempat lain yang tidak diketahui orang."
"Benar, kami telah pindah kekelenteng Hianhoa Hweeshio digunung Ceng-shia-san, untuk menyingkir dari incaran musuh," menerangkan Tiangsun Thay.
"Menyingkikan diri dari musuh? Siapa musuh itu?" tanya Kok Sin Ong.
Tiangsun Pek lantas saja menceriterakan pertempuran antara ayahnya dengan Ok-heng-cia dan Tok-sian-lie, sehingga, karena kena racun, ilmu silat ayahnya telah menjadi musnah.
"Betul-betul kurang ajar," kata Kok Sin Ong.
"Kedua memedi itu ternyata tidak bisa mengubah adat jahatnya. Untung diuga, mereka tidak datang dalam EngHiong Tayhwee. Didengar dari keteranganmu, ayahmu harus berlatih lagi sedikitnya sepuluh tahun untuk memulihkan kepandaiannya. Tapi secara kebetulan aku mempunyai seorang sahabat yang mungkin dapat memulihkan kepandaiannya dalam tempo yang lebih cepat."
Sebelum kedua saudara itu keburu menanya, Kok Sin Ong sudah berkata pula: "Ada suatu hal yang tidak dimengerti olehku. Barusan sebelum bertanding, kau telah menyebut-nyebut musuh. Siapa adanya musuh itu?"
Kedua saudara itu sebenarnya sangat ingin minta bantuan Kok Sin Ong untuk menghadapi Hian Song.
Tapi mengingat ceritera orang yang mengatakan, bahwa Enghiong Tayhwee telah diubrak-abrik oleh seorang wanita muda, mereka tidak berani lantas membuka mulut karena kuatir menyinggung orang tua itu, jika wanita tersebut Hian Song adanya. Sekarang, sesudah ditanya, mereka terpaksa menuturkan segala kejadian dengan terus-terang.
Kok Sin Ong menghela napas panjang dan berkata dengan suara putus harapan: "Sudahlah. !
Sudahlah ! Segala urusan sudah menjadi hancur."
Sejenak kemudian, ia bertanya dengan suara bingung: "Apa benar-benar kalian lihat Lie It berada dalam tangannya?"
"Mengapa tidak benar?" kata Tiangsun Thay. "Aku malah dengar suara merintihnya Thianhee. Mungkin sekali ia telah mendapat luka berat dan tidak bisa bangun."
"Perempuan siluman itu pasti mau membawanya ke Tiang-an untuk mendapat pahala," menyelak Tiangsun Pek. "Kita harus berdaya untuk menolongnya."
"Siapa lagi yang berada dikereta itu?" tanya Kok Sin Ong.
"Seorang budak kecil dan seorang lelaki yang mengenakan pakaian seperti petani," jawab nona Tiangsun.
Kok Sin Ong berdiri bengong.
Ia seperti sedang memikirkan sesuatu yang sukar diutarakan.
"Kok Locianpwee," kata Tiangsun Thay dengan tidak sabaran.
"Adikku bisa mengalahkan budak itu, sedang aku sendiri dapat merubuhkan lelaki yang menjadi kusir. Asal saja Kok Locianpwee bisa melayani perempuan siluman itu kira-kira seratus jurus, kami bisa membantu sesudah merubuhkan kedua lawan kami. Dengan maju bertiga, kita boleh tak usah merasa takut."
Kok Sin Ong tertawa terbahak-bahak.
"Selama hidupku, aku telah malang-melintang dari selatan sampai keutara dan dalam melawan musuh, belum pernah aku minta bantuan orang lain," katanya dgn suara angkuh. "Perempuan itu memang lihay sekali dan didalam seribu jurus, belum tentu aku dapat merubuhkannya. Tapi sesudah seribu jurus, kurasa aku masih dapat menaklukkannya."
"Kalau begitu lebih baik lagi," kata Tiangsun Thay. "Mengapa Locianpwee masih kelihatan bersangsi?"
Kok Sin Ong menghela napas. "Karena aku sudah berjanji kepada seorang sahabat, bahwa, aku tak akan menggunakan pedang lagi," jawabnya dengan suara masgul.
Sahabat yang dimaksudkan yalah Hu Put Gie.
Hari itu, Hu Put Gie telah memancingnya sampai di Cian-hud-teng dan mereka berdua lantas saja mengadu ilmu pedang.
Sesudah bertanding sehari semalam, Hu Put Gie mendapat kemenangan.
"Bagaimana sekarang" tanya Hu Put Gie dangan suara mengejek. "Diatas puncak Kimteng, kau tidak bisa mengalahkan seorang gadis muda-belia dan sekarang kau kembali kalah dalam tanganku."
Mendengar itu, Kok Sin Ong yang sudah dingin hatinya, lantas saja mematahkan pedangnya sendiri dan bersumpah untuk tidak menggunakan lagi pedangnya selama hidupnya.
Kedua saudara itu saling mengawasi tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata.
Mereka mengerti, bahwa seorang seperti Kok Sin Ong sudah pasti tak akan menarik pulang janjinya sendiri.
Sebelum mendengar keterangan orang tua itu, Tiangsun Pek masih mempunyai harapan.
Tapi sesudah mendengar pengakuan Kok Sin Ong, bahwa Hian Song haru dapat dirubuhkan sesudah lewat seribu jurus, harapannya musna. Ia sekarang tahu, bahwa ia bukan tandingan nona Bu.
Sesudah berpikir beberapa saat, kedua mata orang tua itu tiba-tiba bersinar terang dan ia berkata dengan suara girang: "Lie It keluar karena gara-garaku dan biar bagaimana juga, tak dapat kita membiarkan ia diatuh kedalam tangan Bu Cek Thian. Sudahlah! Aku sendiri tidak bisa turun tangan, tapi aku bisa minta bantuan seorang sahabat. Mari, ikutlah aku!"
---o^dewiKZ^0^TAH^o---
"LO-PEH-PEH. siapa yang mau diminta bantuannya?" tanya Tiangsun Pek. "Apa keburu?"
"Kim-ciam Kok-chiu (si-Tabib Jarum-emas) Heehouw Kian berada digunung Kiong-lay-san ini," jawabnya.
Kedua saudara itu kaget tercampur girang.
Mereka tahu, bahwa Heehouw Kian, ahli pengobatan dan ahli silat yang namanya sangat harum, adalah salah seorang sahabat dari ayah mereka sendiri.
Tapi sebagai seorang yang sikapnya tawar terhadap segala keduniawian dan sungkan mengejar nama atau kekayaan, Heehouw Kian selalu menyingkirkan diri dari dunia pergaulan dan tidak ketentuan tempat tinggalnya.
Sudah duapuluh tahun, ia dan Tiangsun Kun Liang tidak pernah berhubungan lagi satu sama lain.
Pada waktu baru terluka, Tiangsun Kun Liang pernah mengatakan kepada kedua anaknya, bahwa orang satu- satunya yang dapat menolong dirinya adalah Heehouw Kian yang tidak diketahui dimana tempat tinggalnya. Siapa nyana, orang berilmu itu sekarang berada didepan mata! Tak usah dikatakan lagi, kedua saudara itu girang tak kepalang, karena bukan saja Lie It akan dapat ditolong, tapi ayah merekapun ada harapan dapat pulang ilmu silatnya yang sudah musna dalam tempo cepat.
Mereka bertiga lantas saja mulai mendaki gunung. Sesudah berjalan beberapa jam sambil menikmati pemandangan alam yang sangat indah, jauh-jauh, diatas sebidang tanah datar, mereka melihat beberapa buah rumah yang dikurung dengan tembok merah.
Sesudah melewati dua baris pohon-pohon yang rindang daunnya, tibalah mereka didepan pintu pekarangan.
Tanpa mengetuk lagi, Kok Sin Ong menolak pintu itu yang tidak terkunci, lalu bertindak masuk, dengan diikuti oleh dua orang muda itu.
Begitu masuk, hidung mereka mengendus harumnya ratusan bunga dan dalam sebuah kebun, mereka lihat seorang kakek yang berambut dan berjenggot putih, sedang menyiram rumput-rumput obat dan pohon2 bunga, dengan dibantu oleh seorang kacung.
Begitu melihat Kok Sin Ong, si-kakek berseru dengan suara girang: "Hola, Lo-kok, urusan apa lagi yang dibawa olehmu?"
"Tiangsun Sieheng sengaja datang kemari untuk mengundang tabib," jawabnya sambil tertawa.
Tiangsun Thay dan adiknya buru-buru menghampiri dan memberi hormat kepada orang tua itu. Sesudah mengetahui, bahwa kedua orang muda itu adalah anak-anak sahabatnya, si-kakek yadi girang dan tertawa terbahak-bahak.
"Kalau begitu, Kun Liang-heng dan aku sama-sama menyembunyikan diri dipropinsi Sucoan," katanya.
"Jika kalian tidak datang kesini, sampai sekarang aku masih belum tahu. Ada apa sehingga kau perlu mengundang tabib?"
Tiangsun Thay lantas saja menceriterakan luka yang diderita ayahnya.
Sesudah mengajukan beberapa pertanyaan, Heehouw Kian menghela napas dan berkata: "Kalau baru terluka, masih gampang diobati. Tapi sekarang agak sukar."
"Apa Lopeh tidak mempunyai daya?" tanya Tiangsun Pek dengan suara berkuatir.
"Kalau baru terluka, dengan mengandalkan Lweekang ayahmu, didalam tempo sepuluh hari, ia akan sembuh kembali," jawabnya. "Tapi sekarang sedikitnya harus menggunakan tempo setahun."
Mendengar keterangan itu, Tiangsun Thay dan adiknya jadi sangat girang, sebab, biar bagaimanapun jua, ayahnya bakal sembuh seperti sediakala.
"Tiangsun Kun Liang sebenarnya sudah menghitung- hitung untuk menggunakan tempo sepuluh tahun guna memulihkan ilmu silatnya," kata Kok Sin Ong sambil tertawa. "Baiklah, dua hari lagi aku akan pergi ke Kiamkok guna menyambutnya."
"Bagus! Aku akan mempunyai seorang sahabat untuk mengawani aku," kata Heehouw Kian dengan girang. "Sesudah satu beres, aku masih mempunyai lain urusan yang memerlukan bantuanmu," kata pula Kok Sin Ong.
"Apa itu? Ceriterakanlah."
"Aku ingin minta bantuanmu untuk menolong murid Utie Ciong."
"Murid Utie Ciong? Dia kena penyakit apa?" "Bukan sakit, tapi jatuh kedalam tangan musuh."
Sesudah berkata begitu, Kok Sin Ong segera menuturkan duduknya persoalan.
"Mengapa kau tidak menolong sendiri?" tanya Heehouw Kian.
Kok Sin Ong menghela napas "Aku sudah berjanji kepada Thiansan Lo-hu untuk tidak menggunakan senjata lagi," jawabnya dengan suara menyesal.
Sahabat itu tertawa terbahak-bahak.
"Kau sungguh licik!" katanya. "Kau sendiri sungkan bertanggung-jawab dan lalu mendorongnya kepadaku. Kau mengatakan, bahwa kau sudah mengundurkan diri dari dunia Kangouw, tapi sebagaimana kau tahu, aku sendiri sudah mundur semenjak duapuluh tahun berselang."
Kok Sin Ong jadi bingung.
"Murid Utie Ciong itu bernama Lie It dan dia itu adalah cucu kaizar Tong," katanya dengan suara memohon.
"Bagiku tak ada perbedaannya," kata Heehouw Kian dengan suara tawar. "Aku tidak perduli apa negara ini dikuasai oleh seorang she Lie atau oleh seorang she Bu.
Aku tidak perduli apa dia cucu kaizar atau rakyat jelata.
Aku tak mau campur segala hal yang bersangkut-paut dengan perkelahian.
Lo-kok, biarpun sudah banyak umurmu kau masih saja suka cari urusan.
Kudengar kau telah menghimpunkan apa yang dinamakan Enghiong Tayhwee.
Aku sebenarnya sangat tidak setuju.
Dengan munculnya banyak enghiong, muncul juga banyak kekacauan didalam dunia.
Bagiku, tujuanku yang satu-satunya yalah hidup tenteram dalam dunia ini."
Kok Sin Ong jadi makin bingung dan sebisa-bisa ia coba membujuk sahabatnya. Tiba-tiba, diluar pekarangan terdengar suara kereta.
"Celaka! Tak bisa salah lagi Bu Hian Song sudah mengubar sampai disini," kata Tiangsun Pek.
Kok Sin Ong tertawa lebar.
"Nah! Kau tidak mau cari urusan, tapi orang lain yang datang untuk cari urusan denganmu," katanya.
"Sekarang aku mau lihat, bagaimana sikapmu."
Sehabis berkata begitu, ia menarik tangan tuan rumah dan mengajaknya keluar.
---o^DewiKZ^0^TAH^o--- Dari sebelah kejauhan kelihatan mendatangi sebuah kereta keledai dan kusir yang duduk didepan sudah terlihat nyata.
"Benar saja dia!" Tiangsun Thay mengeluarkan seruan tertahan.
"Heehouw-heng, bagaimana sekarang?" tanya Kok Sin Ong.
"Ya! Apa boleh buat," jawabnya sambil menghela napas.
"Aku tidak dapat membiarkan Tiangsun bie-heng dihinakan didepan rumahku."
Beberapa saat kemudian, kereta itu sudah tiba dan berhenti didepan pintu.
Dengan tersenyum-senyum seorang gadis jelita melompat turun dan nona itu memang bukan lain daripada Hian Song.
Bagi Lie It, begitu kereta masuk diselat Kiong-lay-san, hatinya berdebaran dan diliputi dengan perasaan sangsi.
Hian Song telah memberitahukannya, bahwa ia bakal diantar kepada seorang tabib yang bukan saja akan dapat mengobati lukanya, tapi juga dapat memulihkan ilmu silatnya yang sudah musnah.
Siapa tabib itu?
Kalau benar perkataan si-nona, maka tabib tersebut bukan saja seorang ahli pengobatan, tapi juga seorang ahli silat yang memiliki Lweekang yang tinggi.
Apa dia gurunya nona Bu? Selagi ia menebak-nebak, kereta berhenti dan Hian Song berkata sambil tersenyum: "Sudah tiba! Kebetulan sungguh, kau akan bertemu dengan beberapa sahabat lama."
Lie It segera bangun dan duduk menyender dibelakang kereta, akan kemudian menyingkap tirai.
Begitu melongok keluar, ia mengawasi orang-orang yang menyambutnya dengan mata membelalak dan mulut ternganga, seolah-olah ia tidak percaya matanya sendiri.
Orang yang menghampiri paling dulu adalah Kok Sin Ong, diikuti oleh dua orang muda yang tadi telah dipukul mundur oleh Bu Hian Song.
Dibelakang mereka terdapat seorang kakek yang mukanya seperti sudah tidak asing lagi baginya.
Dilain pihak, Heehouw Kian mengawasi Hian Song dengan rasa terkejut.
Dari Kok Sin Ong, ia telah mendengar peristiwa dalam Enghiong Tayhwee.
Apa bisa jadi seorang gadis yang begitu cantik dan muda-belia telah merubuhkan jago-jago kenamaan dalam perhimpunan itu?
Lain saat, nona Bu sudah menyoja seraya berkata: "Boanpwee Bu Hian Song memberi hormat kepada Heehouw Locianpwee."
Heehouw Kian jadi lebih kaget lagi. "Bagaimana ia bisa mengenal aku?" tanyanya didalam hati.
Walaupun memiliki kepandaian tinggi, sudah puluhan tahun orang tua itu tidak pernah muncul dalam dunia Kang-ouw dan namanya hanya dikenal oleh beberapa orang yang jumlahnya sangat terbatas.
Bagaimana seorang wanita yang usianya belum cukup duapuluh tahun bisa mengenalnya?
"Apakah kau sengaja datang kesini hanya untuk menemui aku?" tanya Heehouw Kian.
"Kalau tak ada urusan penting, boanpwee tentu tidak berani mengganggu ketenteraman Locianpwee," jawabnya. "Sebagai seorang yang bergelar Kim-ciam Kok-chiu, Locianpwee tentu sudah bisa menebak maksud kedatangan kami."
Sekali lagi si-kakek terkesiap.
Meskipun ia sering menolong jiwa manusia dengan kepandaian pengobatannya, tapi ia hampir tidak pernah memperkenal-kan diri kepada orang-orang yang ditolongnya.
Gelaran Kim-ciam Kok-chiu telah diberikan oleh beberapa orang sahabatnya. Heran sungguh si-nona bisa mengetahuinya.
"Kau ingin minta pertolonganku untuk mengobati orang?" tanya Hehouw Kian.
"Benar," jawabnya. "Seorang sahabat kena Swee-kut- chie-piauw dari Ok-heng-cia dan Touw-hiat-sin-ciam dari Toksian-lie. Didalam dunia, kecuali Locianpwee, tak ada lain orang yang dapat menyembuhkannya."
Jawaban itu diluar dugaan semua orang.
Kedua saudara Tiangsun semula menduga, bahwa kedatangan Hian Song adalah untuk mengubar mereka, sedang Kok Sin Ong menaksir nona Bu mau membawa Lie It ke Tiang-an untuk diserahkan kepada Bu Cek Thian.
"Tapi bagaimana Lie It bisa dilukakan oleh kedua memedi itu?" tanyanya didalam hati. "Bukankah mereka datang atas undangan Pwee Yam?"
Tapi yang paling besar rasa herannya adalah Lie It sendiri.
Disepanjang jalan, ia telah menarik kesimpulan, bahwa Hian Song bakal membawanya ke Tiang-an untuk mendapat pahala.
Mimpipun ia tak pernah mimpi, bahwa nona itu akan menyerahkannya kepada Heehouw Kian untuk diobati.
Ia tahu, bahwa kakek itu adalah salah seorang sahabat gurunya.
Walaupun belum pernah bertemu muka, sang guru scring sekali menceriterakan kepandaian dan roman Heehouw Kian, sehingga tidaklah heran, waktu baru melihat kakek itu, ia seperti juga sudah mengenalnya.
"Beng Cu," demikian terdengar suara Hian Song, "turunkan Lie Koncu."
Ia menengok kepada Lie It dan berkata pula sambil tersenyum: "Sekarang aku menyerahkan kau kepada Heehouw Locianpwee dan kau boleh tak usah kuatir apapun jua."
Lie It merasa sangat berterima kasih lagi malu.
Ia sangat menyesal, bahwa disepanjang jalan ia sudah menganggap Hian Song sebagai manusia rendah yang ingin mcnarik keuntungan guna diri sendiri. Ia mengawasi si-nona dengan perasaan yang sukar dilukiskan dan dalam jengahnya, ia tak dapat mengeluarkan sepatah katapun.
"Tahan!" tiba-tiba si-kakek berkata dengan suara tawar. "Meskipun aku mengerti sedikit ilmu pengobatan, tapi aku tak pernah memasang merek sebagai tabib. Aku merdeka untuk menerima atau menolak orang yang minta pertolongan."
Hian Song tertawa.
"Lain orang kau boleh tolak, tapi orang ini tak akan dapat ditolak olehmu," katanya. "Jika kau menolak, sahabatmu tentu akan menjadi gusar. Kok Lo-bengcu, sungguh untung kaupun berada disini, sehingga aku boleh tak usah memberi keterangan panjang-lebar."
Kok Sin Ong diadi bingung, karena ia belum bisa menebak maksud perkataan Heehouw Kian.
Sebelum ia keburu membuka mulut, si-kakek sudah berkata pula: "Nona, bukankah kau yang ingin minta pertolonganku?"
"Benar," jawabnya.
"Kalau begitu, aku hanya berurusan denganmu," katanya pula.
"Sekarang jawablah lebih dulu pertanyaanku: Siapa gurumu?"
Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang dikandung oleh semua orang yang lantas saja memasang kuping sambil mengawasi muka si-nona. Hian Song tidak lantas menjawab, tapi lebih dulu menyapu semua orang dengan matanya yang sangat tajam.
Sesudah itu, ia tersenyum seraya berkata dengan suara perlahan: "Heehouw Sianseng adalah seorang berilmu tinggi telah menyingkirkan diri dari dunia pergaulan. Apakah Locianpwee tidak berbeda dengan tabib-tabib rendah yang hanya mau menolong orang yang berpengaruh atau ber-uang?"
Untuk sejenak Heehouw Kian tidak dapat meluarkan sepatah kata. Sesaat kemudian, sambil mengurut jenggotnya, ia berkata: "Aku tak pernah mengobati orang dengan cuma-cuma. Kau tahu?"
"Seorang tabib menerima uang untuk pengobatannya, adalah kejadian lumrah" kata si-nona. "Locianpwee boleh menyebutkan saja berapa jumlah yang diinginkan."
Si-kakek tersenyum. "Aku tidak memerlukan uwang," katanya. "Tapi akupun tidak dapat menyimpang dari kebiasaan. Setiap kali mengobati orang, aku selalu menerima , dan hadiah itu harus lebih dulu disetujui olehku. Hadiah apakah yang dipunyai olehmu?"
Si-nona membungkuk sambil merangkap kedua tangannya.
"Locianpwee adalah seorang, berilmu yang telah menyingkir dari pergaulan umum, sehingga aku tidak berani mempersembahkan hadiah yang biasa. Aku ingin mempersembahkan bunga untuk memperlihatkan rasa hormat dan terima kasih." Sehabis berkata begitu, ia membuka ikat pinggangnya dan dengan sekali mengedut, ikat-pinggang itu menyambar satu pohon bunga.
Hampir berbareng puluhan kuntum bunga "tergunting" putus.
Sekali lagi ia menyentak ikat pinggangnya dan loh!
......... daun-daun bunga yang memenuhi udara menyambar kearah Heehouw Kian.
Kedua saudara Tiangsun mengawasi pertunjukan itu dengan mulut ternganga.
Sekarang baru mereka mengakui, bahwa Lweekang Hian Song banyak lebih tinggi daripada mereka.
Kok Sin Ong dan Lie It yang bermata tajam lantas saja melihat, bahwa daun-daun bunga itu merupakan sebaris huruf cojie (huruf rumput) yang berbunyi: "Putko-swee, put ko-swee" (Tak dapat diberitahukan, tak dapat diberitahukan).
Selagi semua orang mengawasi dengan hati berdebar- debar, tiba-tiba Heehouw Kian membentak keras seraya mengebas dengan kedua lengan jubahnya.
Dikebas begitu, daun-daun bunga itu serentak terbang balik kearah nona Bu dan huruf-huruf itupun berubah.
Sekarang Tiangsun Thay dan adiknya juga bisa melihat enam huruf cojie yang berbunyi: "Jie-cie-ho, jie- cie-ho?" (Sebab apa, sebab apa?).
Kok Sin Ong yang sedari tadi coba memecahkan maksud huruf-huruf itu, mendadak tersadar. Sekarang ia tahu, bahwa perkataan "put-ko-swee, put- ko-swee," merupakan jawaban terhadap pertanyaan Heehouw Kian mengenai nama gurunya.
Tapi mengapa si nona menolak untuk memberitahukan siapa gurunya? Itulah teka-teki yang hanya dapat dijawab oleh Hian Song sendiri.
Beberapa saat kemudian, daun-daun bunga jatuh ditanah sesudah melayang-layang ditengah udara.
"Aku suka menerima sisakit, kau boleh pulang," kata Heehouw Kian dengan suara perlahan.
Sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula: "Tolong sampaikan hormatku kepada gurumu. Hm jika
kau tak mau, juga tak apa."
Hian Song segera mengangkat Lie It dari kereta dan mendukungnya untuk diserahkan kepada Heehouw Kian.
Si-kakek menggapai Tiangsun Thay yang lantas saja menyambuti si-sakit dan menggendongnya.
Sesaat itu, Lie It menengok kearah Hian Song dan matanya kebentrok dengan sinar mata si-nona.
Baru saja Tiangsun Thay berjalan beberapa tindak, mendadak terdengar suara tindakan Hian Song yang mengubar dari belakang.
Lie It menengok dan melihat si-nona mendatangi dengan membawa khim dan pedangnya.
"Aku hampir lupa." kata Hian Song dengan tertawa sedih. "Khim dan pedangmu ketinggalan dikereta."
Pemuda itu ingin mengucapkan terima kasih, tapi mulutnya terkancing. Akhirnya, sambil mengawasi si- nona dengan sorot mata yang sukar dilukiskan, ia mengangguk beberapa kali.
Tiangsun Pek buru-buru menghampiri dan menyambut tabuh-tabuhan dan senjata itu dengan mata mendelik, tapi Hian Song sendiri menyerahkannya dengan tenang, seolah-olah ia tak lihat sikap bermusuhan itu.
Beberapa saat kemudian, kereta berlalu. Hati Lie It mencelos, ia merasa seperti juga baru tersadar dari impian sedap, ia merasa seakan-akan kehilangan sesuatu dan alangkah beruntungnya, jika impian itu dapat disambung pula. Iamenghela napas dan berkata dalam hatinya: "Apakah aku masih bisa bertemu lagi dengannya?"
Perginya Hian Song diawasi oleh semua orang dengan perasaan heran. Tak ada yang menghaturkan terima kasih kepadanya. Selang beberapa saat barulah Kok Sin Ong berkata dengan suara perlahan: "Wanita itu sungguh aneh. Aku tak pernah menduga, bahwa ia akan menyerahkan Lie Kongcu kepada kita."
---o^TAH^0^DW-kz^o---
SEMENTARA itu, Tiangsun Thay sudah membawa Lie It masuk kedalam rumah Heehouw Kian dan menaruhnya dalam sebuah kamar yang bersih.
Semua orang berdiri disekitar pembaringan untuk menyaksikan pengobatan yang akan diberikan oleh sikakek. Sambil meramkan kedua matanya, Heehouw Kian menempelkan tiga jari tangannya pada nadi pemuda itu.
Selang beberapa saat, ia bertanya dengan suara heran: "Lagi kapan kau kena senjata beracun itu?"
"Sudah tujuh hari," jawab Lie It.
"Apakah terlambat?" menyelak Tiangsun Pek dengan suara berkuatir.
"Bukan," jawab si-kakek. "Aku merasa heran, karena hawanya mengalir dengan leluasa didalam tubuhnya, sehingga, biarpun tidak diobati olehku, jiwanya sudah tertolong, hanya ilmu silatnya tak bisa pulih kembali."
Kok Sin Ong juga merasa heran.
Ia mengenal baik isi Lweekang pemuda itu dan ia tahu, bahwa tanpa bantuan, Lie It tak akan mampu menyembuhkan dirinya sendiri.
"Mungkin sekali karena aku telah dibantu oleh Bu Hian Song," katanya dengan suara tawar.
Ia coba mengambil sikap acuh tak acuh, tapi didalam hati, ia merasa berterima kasih bukan main terhadap nona yang cantik itu.
Dilain saat, Heehouw Kian sudah menancapkan jarum emas dijalanan darah Kiankeng-hiat, Thian-kie-hiat dan Hong-hu-hiat.
"Dengan tiga jarum emas ini aku akan mengeluarkan sisa racun yang masih mengeram dalam tubuhmu," katanya. "Dalam tempo kira-kira setengah bulan, kau bukan saja akan sembuh, tapi juga akan dapat pulang semua kepandaianmu."
"Apa aku boleh bicara dengannya?" tanya Kok Sin Ong.
"Tak halangan, karena bahaya sudah lewat," jawab si- kakek.
Sesudah mengawasi pemuda itu, Kok Sin Ong berkata dengan suara perlahan: "Lie Hiantit, aku sungguh merasa sangat malu terhadapmu."
"Lopeh tak usah mengatakan begitu," kata Lie It. "Urusan didalam dunia berubah-ubah dan tak ada manusia yang dapat menduga lebih dulu, apa yang akan terjadi."
Ia menjawab begitu, karena menganggap bahwa orang tua itu merasa malu sebab kegagalan Enghiong Tayhwee.
Tapi apa yang dimaksudkan Kok Sin Ong sebenarnya bukan begitu.
Sesudah, bengong sejenak. orang tua itu bertanya pula : "Cara bagaimana kau sampai dilukakan oleh kedua memedi itu ?"
Lie It lantas saja menuturkan segala kejadian pada hari itu.
Kok Sin Ong kelihatan berduka sekali dan ia berkata dengan suara parau : "Aku tahu, bahwa sifat-sitat jahat dari kedua memedi itu sukar dapat diubah. Hanya aku tak nyana, mereka berani mencelakakan Thaycu dan kemudian melukakan kau. Malam itu, waktu kita berada di Paciu, aku tidak memberitahukan kau tentang kedatangan mereka, sebab.... sebab. "
"Aku mengerti maksud Lopeh," memotong Lie It. "Mungkin sekali Lopeh menganggap, bahwa paling banyak mereka akan menculik Thaycu dan tak akan berani turunkan tangan jahat terhadap putera kaizar itu.
Pwee Yam Tayjin juga bisa jadi hanya memikir sampai disitu.
Ia ingin menggunakan nama Thaycu untuk merubuhkan Bu Cek Thian.
Aku mengerti, bahwa sebab-musabab mengapa Lopeh sudah tidak memberitahukan hal itu kepadaku, yalah karena Lopeh kuatir aku tidak setuju dan jadi kebentrok dengan kedua memedi itu."
Tapi sebenar-benarnya, dibinasakannya Thaycu Lie Hian adalah atas perintah Pwee Yam. Sampai waktu itu, Kok Sin Ong dan Lie It sama-sekali tidak menduga, bahwa Pwee Yam begitu busuk.
Kok Sin Ong menghela napas berulang-ulang.
"Tapi biar bagaimanapun jua, dari sini kita dapat melihat, bahwa Pwee Yam bukan seorang baik," katanya dengan suara berduka.
"Jika dibandingkan secara jujur, merekalah yang lebih bersih daripada Pwee Yam."
Dengan "mereka", orang tua itu maksudkan Bu Cek Thian dan Bu Hian Song. '
Lie It pun turut berduka. Untuk beberapa saat, mereka tidak berkata-kata. "Tapi aku tetap berpendapat, bahwa Bu Cek Thian adalah dorna pencuri negara," katanya. "Memang tidak dapat disangkal, dia telah melakukan beberapa perbuatan baik. Akan tetapi, itu semua adalah untuk mendapat nama, untuk kepentingan diri sendiri, supaya rakyat menakluk terhadapnya. Mengenai Bu Hian Song, akupun berpendapat, bahwa dia seorang baik, seorang pendekar wanita."
Mendengar pujian pemuda itu terhadap Hian Song, orang yang merasa tersinggung adalah Tiangsun Pek.
Tapi ia tidak mengatakan suatu apa, karena ia baru saja mengenal pemuda itu.
"Masih untung sepak-terjang Gouw-kong Cie Keng dapat dipertanggung-jawabkan," kata pula Lie It.
"Makin tua aku jadi makin tolol," kata Kok Sin Ong. "Terang-terangan aku mengakui, bahwa sekarang aku
sudah tak tahu apa yang benar dan apa yang salah. Beruntung sekali aku sudah bersumpah untuk tidak menggunakan lagi pedang, sehingga aku boleh tak usah memperdulikan lagi, apa yang benar atau apa yang salah. Aku dan Sieheng masih tetap bersahabat, tapi soal negeri tak dapat aku mencampuri lagi. Harap Sieheng bisa mengerti dan suka memaafkannya."
Lie It kaget.
Ia tak nyana Kok Sin Ong sudah jadi begitu tawar terhadap urusan dunia.
"Aku dengar, pada waktu Enghiong Tayhwee hampir bubar, seorang wanita kena dipukul oleh Hiong Kie Teng," kata Tiangsun Thay. "Didengar dari lukisan wajahnya, wanita itu seperti juga Sumoayku."
"Benar, ia memang Siangkoan Wan Jie, ' kata Lie It. Mendengar jawaban itu, Tiangsun Thay jadi girang.
"Apakah Thianhee mengenal ia?" tanyanya pula.
"Semenjak ia berusia enamtujuh tahun, kami sudah saling mengenal," jawab Lie It.
Sehabis berkata begitu, didepan mata-nya kembali terbayang saat-saat kapan ia berada bersama-sama nona itu.
Akan tetapi, bayangan Bu Hian Song tetap tidak menyingkir dari alam pikirannya: Tiangsun Thay yang tidak secerdas adiknya, tidak memperhatikan perubahan pada paras muka Lie It.
Ia maju setindak dan bertanya pula : "Habis bagaimana ?"
"Dalam keadaan kalut, ia telah menghilang," jawabnya.
Tiangsun Thay kaget dan kecewa.
"Apakah Thianhee tidak pernah menerima warta lagi tentang ia?" tanyanya pula dengan suara berkuatir.
"Aku dengar ia pergi untuk membunuh Bu Cek, Thian," jawab Lie It dengan suara perlahan.
Tiangsun Thay terkesiap, paras mukanya lantas saja berubah pucat.
"Benarkah?" ia menegas. "Orang yang membawa warta itu adalah seorang sahabat yang boleh dipercaya," menerangkan Lie It.
"Sahabat itu mengatakan, bahwa kita tak usah terlalu berkuatir karena ia percaya Wan Jie tidak akan mendapat bahaya apapun jua."
"Benar, Wan Jie sangat berhati-hati dan ia tentu akan bertindak dengan mengimbangi salatan," kata Tiangsun Pek.
Lie It sengaja tidak mau memberitahukan terang- terangan, bahwa orang yang membawai, warta adalah Bu Hian Song.
Sesudah berdiam sejenak ia berkata lagi: "Sahabat itu menduga, bahwa Wan Jie akan menakluk kepada Bu Cek Thian. Jika benar dugaan itu, bagiku Wan Jie seperti sudah meninggal dunia. Kalau benar ia menekuk lutut kepada musuh, perbuatannya sama mendukakannya seperti juga ia terbinasa didalam tangan musuh!"
Tiangsun Thay tidak mengatakan suatu apa lagi, ia hanya menunduk sambil menghela napas.
"Lie Hiantit," kata Kok Sin Ong, "kau belum sembuh dan tak boleh kau terlalu banyak menggunakan tenaga. Mengasolah. Segala urusan bisa dibicarakan belakangan. Heehouw-heng, aku akan berangkat sekarang juga untuk menyambut Tiangsun Kun Liang."
"Moay-moay, kau berdiam disini untuk bantu merawat Thianhee," kata Tiangsun Thay. "Aku sendiri akan mengikut Kok Pehpeh guna menyambut ayah."
"Sekalian jalan, kau harus dengar-dengar halnya Wan Jie," kata si-adik seraya mengangguk. Mulai hari itu Lie It diobati oleh Heehouw Kian dengan tusukan jarum emas dan dirawat oleh Tiangsun Pek dengan teliti.
Sesudah berselang setengah bulan, ia bukan saja sudah bisa bergerak dengan leluasa, tapi sebagian besar ilmu silatnya pun sudah pulih kembali.
Mendadak terdengar seruan: "Merdu Sungguh Merdu" Lie It menoleh dan melihat nona Tiangsun tengah mengawasinya dengan alis berkerut.
Hari itu, seorang diri ia duduk termenung dalam kamarnya. Dengan perasaan duka, pikirannya melayang ketempat jauh. Ia ingat Hian Song yang gagah dan kemudian ingat Wan Jie yang lemah-lembut.
Ia melongok keluar jendela dan melihat daun-daun kuning yang berhamburan diselebar pekarangan, karena waktu itu sudah masuk permulaan musim rontok.
Sesudah termenung beberapa saat, mulutnya berkemak-kemik, menghafal syair yang dulu diberikan oleh Wan Jie kepadanya :
"Ditelaga Tong-teng daun-daun baru rontok ditiup angin,
Kuingat ia yang terpisah jauh berlaksa Ii,
Kabut tebal, memakai selimut, masih terasa dingin,
Bulan doyong, dibelakang sekosol tiada bayangannya lagi.
Kuingin menabuh lagu dari Kanglam, Kuingin membaca syair Hopak utara,
Kitab syair bebas dari maksud lain yang mendalam, 'Ku hanya bersadih karena sudah lama berpisah."
Ia menghela napas dan kemudian berkata dengan suara perlahan: "Ya!, Aku hanya bersedih karena sudah lama berpisah. Apa benar kau memikirkan aku sampai begitu rupa? Hai! ”
Ia mengambil khim, mengakurkan tali-talinya dan kemudian memetik lagu "kun kuning, baju hijau." Mendadak, diantara suara tabuh-tabuhan yang menyayat hati, terdengar teriakan nyaring: "Merdu. !,
Sungguh merdu suara khim itu. !"
Ia menengok dan melihat sinona tengah mengawasinya dengan alis berkerut, seperti juga ada sesuatu yang kurang enak.
"Apa ada warta jelek?" tanyanya dengan hati berdebar.
Selama belasan hari itu, biarpun masih sakit, Lie It sangat ingin tahu hasilnya gerakan Cie Keng.
Maka itu, untuk menghiburnya, setiap hari Tiangsun Pek menyamar sebagai lelaki dan pergi kewarung teh atau warung arak untuk mendengar-dengar warta atau desas-desus yang tersiar ditempat-tempat itu.
"Tak ada warta jelek," jawabnya. "Aku hanya mendengar sebuah lelucon atau teka-teki yang tidak dapat dipecahkan olehku dan aku ingin meminta petunjuk Thian-hee."
"Apakah itu ?" tanya Lie It sambil tersenyum. "Kau begitu pintar, tak mungkin ada sesuatu yang tidak dapat ditembus olehmu."
"Kalau mau bicara tentang kepintaran, Wan Jie Moay- moay barulah seorang pintar," kata si-nona seraya tertawa. "Jika direndengkan dengannya, sedikitpun aku tidak nempil."
"Pek-moay, kalau kau terus bicara begitu sungkan, aku tak akan berani bicara dengan kau lagi," kata Lie It. "Ya, sudahlah!" kata si-nona. "Barusan, mendadak aku ingat sebuah teka-teki yang agak sulit dan jika kau tidak mentertawai, aku akan memberitahukannya kepadamu:
"Bagus! Katakanlah," kata Lie It.
"Tadi aku telah mendengar sebuah lelucon yang menyerupai teka-teki," kata si-nona.
"Seorang bajak telah mendapat hukuman mati. Algojo yang menjalankan bukuman mati mempunyai kepandaian tinggi dan dengan sekali menyabet dengan goloknya, kepala bajak itu jatuh ditanah. Mendadak kepala itu berkata : "Bagus! Bagus sekali sebetan golokmu itu!"
"Sekarang, pertanyaannya adalah begini : Apakah orang yang mendapat hukuman mati itu, manusia pintar atau manusia tolol?"
Lie It tertegun, tapi sesaat kemudian, ia menjawab sambil tertawa : "Tolol!, manusia tolol. Tapi aku tak percaya, bahwa dalam dunia ada manusia yang setolol dia, sesudah dibinasakan, dia masih memuji yang membinasakannya."
"Tapi aku berpendapat lain," kata nona Tiangsun. "Aku merasa, didalam dunia memang terdapat banyak manusia yang sama tololnya seperti dia. Perbedaannya yalah, tidak semua orang dibinasakan dengan golok." Tiba-tiba ia menutup mulutnya dengan tangan dan berkata pula sesudah tertawa kecil: "Ada yang dibinasakan dengan omongan manis, ......... ada yang dibinasakan dengan cinta palsu ...........dan celakanya, sesudah mati, orang yang menjadi korban masih tak dapat melupakan : "si-algojo." Sebagai seorang yang otaknya cerdas, Lie It lantas saja mengerti maksud nona Tiangsun.
"Biarpun ia menyindir aku, tapi sindirannya bukan tidak beralasan," katanya didalam hati.
"Biar bagaimanapun jua, Bu Hian Song adalah seorang musuh atau sedikitnya berdiri dipihak musuh. Pek-moay sungguh pintar. Dengan mendengar suara khim, ia lantas bisa menebak apa yang dipikir olehku."
Sesudah dapat menenteramkan hatinya yang bergoncang keras, ia berkata dengan suara perlahan, "Pek-moay, terima kasih atas petunjukmu. Kau ternyata banyak lebih pintar daripada aku, Hm....... apakah hari ini tidak ada lain warta ?"
"Yang jelek tak ada, tapi ada yang luar biasa," jawabnya.
"Apa ?”
"Menurut katanya beberapa orang yang sedang minum teh, Bu Cek Than ingin membuka ujian untuk kaum wanita."
"Itu tidak luar biasa. Bo Cek Thian seorang wanita, sehingga dapatlah dimengerti, jika ia ingin memilih beberapa wanita pintar untuk dijadikan pembesar negeri."
"Tapi dalam pada itu terselip sesuatu yang luar biasa. Menurut katanya orang, firman pengumuman mengenai ujian itu ditulis oleh Siangkoan Wan Jie. Lebih dari itu, orang mengatakan bahwa Wan Jie telah menjadi pembesar wanita tingkat keempat !"
Itulah benar-benar warta luar biasa. Lie It terkesiap dan buru-buru menanyakan pula: "Apa benar mereka mengatakan begitu.”
"Orang yang bicara, yang duduk dimeja dekat mejaku, adalah dua orang Siucay," menerangkan Tiangsun Pek.
"Mereka baru saja kembali dari Tiang-an dan apa yang mereka bicarakan sebagian besar mengenai Wan Jie. Bu Cek Thian katanya, telah mengangkat Wan Jie menjadi pembesar tingkat keempat yang ditugaskan untuk mengurus surat-surat resmi. Selanjutnya mereka mengatakan, bahwa Bu Cek Thian telah mengadakan perjamuan didalam istana untuk kehormatan Wan Jie dan mengundang juga para sasterawan untuk menggubah syair. Katanya, dalam tempo sepasangan hio, Wan Jie telah merampungkan sepuluh syair yang sangat bagus, sehingga semua sasterawan telah dikalahkan. Sesudah itu, barulah Bu Cek Thian memberitahukan, bahwa Wan Je adalah cucu Siangkoan Gie, sehingga semua orang jadi kaget bukan main. Kejadian itu terjadi pada bulan yang lalu dan nama Wan Jie katanya sudah menggetarkan seluruh kota Tiang-an dan rakyat sudah mengetahui bahwa didalam istana terdapat seorang Cay-lie (wanita pintar). Menurut kata kedua Siucay itu, banyak pembesar penjilat telah menulis surat untuk memberi selamat kepada Bu Cek Thian dan banyak orang memuji-muji keberanian kaizar itu yang sudah menggunakan puteri dari musuhnya."
Paras muka Lie It lantas saja berubah pucat.
Biarpun ia pernah mendengar dugaan Hian Song, sedikitpun ia tidak percaya, bahwa Wan Jie yang mempunyai sakit hati begitu besar, bisa menekuk lutut dan rela menjadi pembantu dari kaizar Bu Cek Than!. Ia bengong seperti patung dan keringat dingin mengucur dari dahinya.
"Thianhee, mengapa kau ?" tanya nona Tiangsun dengan perasaan kuatir.
Ia tidak menjawab dan tetap bengong.
"Thianhee, akupun tidak percaya ceritera itu," kata Tiangsun Pek dengan suara membujuk. "Nanti sesudah kau sembuh, kita boleh pergi ke Tiang-an untuk menyelidiki terlebih lanjut. Apa kau setuju ?"
"Aku lebih suka tidak coba memecahkan teka-teki ini," jawab Lie It dengan suara parau.
"Sebab ...... andaikata benar bagaimana?
Bagaimana andai kata cerita itu benar ?"
Melihat kedukaan pemuda itu, Tiangsun Pek turut berduka, kedua matanya merah, hampir-hampir ia mengucurkan air mata.
"Wan Jie dan aku adalah seperti saudara sendiri," katanya dengan suara perlahan. "Kalau benar, biar bagaimanapun jua, aku akan membujuk supaya Ia meninggalkan musuh besar itu"
"Kalau tidak berhasil?" tanya Lie It.
"Kalau tidak berhasil, aku akan anggap ia sudah mati," jawabnya. "Thianhee, aku merasakan apa yang dirasakan olehmu. Kedukaanku tidak lebih enteng dari pada kedukaanmu. Tapi kau seorang turunan kaizar dan juga seorang gagah, sehingga kau harus bersikap sesuai dengan sikapnya laki-laki sejati. Dunia ini sangat lebar. Apakah dalam dunia ini tidak terdapat lain orang yang seperti Wan Jie ?" Lie It terkejut.
Ia menengok dan apa mau, sorot matanya kebentrok dengan sorot mata nona Tiangsun, yang, karena malu, lantas saja menundukkan kepalanya.
Hati pemuda itu bergoncang.
Apakah, disamping Wan Jie dan Hian Song, ia bakal menerbitkan lagi salah mengerti dalam lubuk hatinya Tiangsun Pek ?
---o^DwKz~0~TAH^o---
MENDADAK mendadak saja, kesunyian dipecahkan oleh bentakan orang : "Siapa kau ? Hei ! Mau apa kau ?"
Dengan serentak Lie It dan Tiangsun Pek melongok keluar jendela.
Seorang Tosu sedang mendatangi kearah kamar mereka dan dibelakang imam itu mengubar dua kacungnya Heehouw Kian yang berteriak-teriak dengan penuh kegusaran. Tosu itu, yang berusia kira-kira limapuluh tahun, mengenakan jubah pertapaan warna hijau dan dengan jenggotnya yang bercabang tiga, ia kelihatannya bukan sembarang orang.
Sementara itu, tanpa memperdulikan bentakan orang, Tosu itu maju terus sambil mengebas pohon bunga dan pohon obat yang menghadang didepannya.
"Thianhee, lihat !" tiba-tiba Tiangsun Pek berteriak sambil menuding Tosu itu. Lie It juga sudah melihat, bahwa setiap pohon yang tersentuh tangan si-imam lantas saja menjadi layu !
Hatinya mencelos, karena ilmu itu bukan main hebatnya.
Tanpa meladeni teriakan orang, dia maju terus.
"Hai ! Kalau kau tidak berhenti, kami akan tidak sungkan-sungkan lagi !" teriak pula salah seorang kacung.
Tapi si-imam tetap tidak menggubris.
Seorang kacung segera mematahkan secabang pohon dan dengan sekali mengayun tangan, tujuh potong cabang menyambar kearah jalanan darah imam itu.
"Bagus !" memuji Lie It.
Tapi dilain detik, Lie It terkesiap, sebab, begitu menyentuh pakaian si Tosu, potongan potongan cabang itu jatuh meluruk ditanah.
"Itulah Ciam-ie Sip-pat-tiat!" ia mengeluh.
Ilmu Ciam-ie Sip-pat-tiat (Merubuhkan musuh yang menyentuh pakaian) adalah salah satu macam ilmu silat yang paling tinggi. Untuk memiliki ilmu itu seseorang harus mempunyai Lweekang yang sangat kuat, sehingga setiap bagian tubuhnya dapat memukul musuh dengan menggunakan ilmu "meminjam tenaga, memukul tenaga".
Itulah sebabnya mengapa, seorang musuh bisa lantas rubuh begitu lekas ia menyentuh pakaian orang yang memiliki ilmu tersebut dan tujuh potong cabang pohon itu telah dipukul jatuh dengan Ciam-ie Sip-pat-tiat. Melihat kawannya gagal, kacung yang satunya lagi lantas saja menjemput sebuah batu besar, yang beratnya kira-kira seratus kati, dan sesudah mengerahkan tenaganya, ia menimpuk.
Imam itu tertawa besar, "Bagus! Aku boleh tak usah menghantam pintu!" Seraya berkata begitu, ia menyambut batu itu dengan dua jerijinya dan kemudian mendorongnya kearah nintu.
Dengan satu suara gedubrakan, pintu kamar itu hancur.
Sambil menarik tangan Tiangsun Pek dan mengambil pedang, Lie It mundur kepojok kamar.
Dilain saat, si-imam sudah menerobos masuk dan mengawasi kedua orang muda itu dengan mata yang bersorot ungu.
Mendadak, seraya menuding Lie It, ia berkata: "Heran! Sungguh heran! Kau kena Swee-kut-chie-piauw dan Touw-hiat-sin-ciam dari kedua muridku cara bagaimana kau masih bisa hidup sampai sekarang!"
Lie It terkesiap, sekarang baru mereka tahu, bahwa Tosu itu adalah guru Ok-heng-cia dan Tok-sian-lie.
Sesudah menenteramkan hatinya, sambil membungkuk Lie It bertanya: "Bolehkah aku mendapat tahu, untuk apa Locianpwee datang kemari?"
"Aku sengaja datang untuk melihat kepandaian Heehouw Kian dalam menggunakan jarum emas," jawabnya dengan suara menyeramkan.
"Eh, buka bajumu!" "Yauw-to (imam siluman)!" bentak Lie It dengan gusar.
"Kau sungguh kurang ajar. Jika kau ingin menyaksikan ilmu mengusir racun dengan jarum emas, kau harus menemui Kim-ciam Kok-chiu sendiri."
Sebaliknya daripada gusar, dia tertawa terbahak- bahak.
"Tentu saja aku akan menemui Heehouw Kian," katanya.
"Tapi aku seorang yang tidak sabaran. Sekarang lebih dulu aku ingin lihat, cara bagaimana kau masih bisa hidup sampai sekarang. Kalau kau tidak menurut, akulah yang akan membuka bajumu."
Darah Lie it meluap.
Sambil melompat, ia mengayun pedangnya dan menikam jalanan darah Sin-teng-hiat, dipergelangan tangan Tosu itu.
Si-imam tersenyum dan dengan sekali menggeser kaki, ia sudah menyelamatkan diri dari tikaman yang hebat itu.
Hati Lie It mencelos, ia sekarang sudah berhadapan dengan imam itu dan tidak bisa lari lagi.
Tanpa memikir lagi, dengan pukulan Giok-lie-touw-so (Dewi menenun), ia menikam tenggorokan orang.
Ia menganggap, bahwa dengan tikaman itu, biarpun tidak bisa melukakan, ia sedikitnya akan dapat mengundurkan musuh.
Tapi diluar dugaan, Tosu aneh itu tidak bergerak. Tiba-tiba ia mengangkat tangannya dan coba mendorong ujung pedang dengan dua jerijinya.
Lie It kaget dan berkata dalam hatinya : "Biarpun dia berkepandaian tinggi, tapi sebagai manusia yang terdiri dari darah-daging, tak dapat ia menahan pedang mustikaku. Walaupun dia kurang ajar, aku tidak boleh sembarangan membunuh orang." Selagi ia bersangsi, mendadak terdengar suara "tring" dan pedangnya disentil, akan kemudian dijepit oleh kedua jeriji imam itu.
Hampir berbareng ia merasakan telapak tangannya kesemutan dan senjatanya sudah pindah ketangan musuh!
Si-imam tertawa dengan sikap sombong dan sesudah melontarkan pedang itu kelantai, ia berkata: "Hm......Kalau begitu kau murid Utie Ciong. Ilmu pedangmu boleh juga, tapi kau tak akan bisa berbuat banyak dihadapanku."
Seraya berkata begitu, ia mendesak.
Buru-buru Lie It mengerahkan seluruh Lweekangnya dan mendorong dengan menggunakan pukulan Im-yang- ciang. Sebuah bayangan berkelebat, seorang wanila memeluk Lie It dan memasang dirinya untuk menggantikan menerima pukulan. Wanita itu ialah Tiangsun Pek.
Tapi sebelum tangannya menyentuh jubah musuh, dengan suara "bret", bajunya, dibagian dada, sudah menjadi robek.
Si-Tosu mengawasi dada pemuda itu. "Benar-benar heran." katanya.
"Heehouw Kian sudah berhasil menyembuhkan kau! Tapi aku ingin menyaksikan sendiri kepandaiannya. Sekarang aku akan memukul kau dan aku mau melihat, apakah ia masih mampu mengobati."
Lie It gusar bukan main. Tanpa memperdulikan bahaya, ia menghantam dengan kedua tangannya.
Sambil tersenyum si tosu mengebutkan lengan jubah kiri yang sudah lantas menggulung kedua tangan pemuda itu sehingga tidak dapat bergerak lagi.
Dilain saat, Tosu itu mengangkat telapak tangan kanannya yang berwarna hitam dan perlahan-lahan menurunkannya kedada Lie It.
Lie It tidak berdaya lagi. Ia meramkan kedua matanya untuk menerima kebinasaan.
Tiba-tiba, pada detik yang sangat berbahaya, kesunyian dalam kamar itu dipecahkan oleh teriakan yang menyayat hati : "Tahan!"
Satu bayangan berkelebat, seorang wanita memeluk Lie It dan memasang punggungnya untuk menerima pukulan.
Wanita itu bukan lain daripada Tiangsun Pek. Si-imam kaget dan menahan turunnya tangan.
"Minggir!" bentaknya. "Apakah kau mau cari mampus?"
Si-nona tetap memeluk pemuda itu.
"Tosu bau! Biar mampus aku tak akan minggir!" teriaknya.
Sesaat itu si-imam mengendus bau wangi.
Sekonyong-konyong ia menyeringai. "Benar," katanya. ”Aku Tosu bau, kau nona wangi. Aku sungguh tak tega turun-tangan terhadap wanita yang secantik kau." Untuk sejenak ia bersangsi.
Ia sudah mengerahkan hawa beracun dikedua tangannya, sehingga, siapapun yang tersentuh akan segera binasa.
Tiba-tiba ia mencabut tusuk kondenya untuk menotok jalanan darah Tiangsun Pek dan sesudah nona itu rubuh, barulah ia akan menghantam Lie It.
Tapi, sebelum maksudnya tercapai, sehelai sinar perak menyambar dan "tring", tusuk konde itu terpukul miring!
Si-imam tertawa terbahak-bahak. "Ha....., ha...., ha...! Heehouw Lauwtee!" serunya. "Akhirnya kau keluar juga."
"Hidung kerbau!" bentak Heehouw Kian.
"Sebagai tetua sebuah cabang persilatan, apakah kau tak malu melakukan perbuatan serendah itu?"
"Ah. ! Mengapa begitu membuka mulut, kau lantas
mencaci orang?" kata si-imam.
"Bukankah kesayanganku terhadap nona yang cantik ini, sama saja seperti kesayanganmu terhadap pohon bunga atau pohon obat? Mengapa kau mencaci aku sebagai manusia rendah?"
"Sebagai seorang tua kau telah menghina seorang muda," kata Heehouw Kian. "Apakah itu bukan perbuatan rendah?"
"Tidak, aku tidak bermaksud untuk menghina orang," membantah si-Tosu.
”Aku hanya ingin mencoba-coba kepandaianmu dalam menggunakan jarum emas."
"Apa maksudmu? Aku tak mengerti." "Aku selamanya menganggap, bahwa racunku tidak dapat dipunahkan oleh siapapun jua dalam dunia. Tapi diluar dugaan, kau sudah berhasil memunahkannya. Mungkin sekali hal itu disebabkan karena Lweekang kedua muridku masih belum cukup tinggi atau racunnya tidak cukup hebat. Maka itu, aku ingin menghajar dia lagi. Jika didalam tiga bulan kau dapat menyembuhkannya lagi, barulah aku merasa takluk."
Heehouw Kian mengerutkan alisnya. "Gila kau!" bentaknya.
"Mana boleh kau main-main dengan jiwa manusia? Apakah kau tidak tahu, bahwa membinasakan manusia adalah perbuatan yang berdosa terhadap Langit?"
Si-imam kembali tertawa terbahak-bahak.
"Kau sungguh mulia," katanya dengan suara menyindir.
"Apakah aku berdosa? Menurut pendapatku, tindakanku adalah untuk kepentingan kita berdua. Aku menggunakan dia untuk menjajal Tok-ciang (pukulan beracun). Kalau kau berhasil menyembuhkannya, maka kita bisa menarik kesimpulan, bahwa ilmu pengobatanmu sudah sempurna. Jika kau gagal, dapatlah dikatakan, bahwa didalam Rimba Persilatan telah muncul suatu ilmu yang istimewa. Maka itu, percobaanku ini akan banyak faedahnya untuk ilmu silat. Mengenai jiwa manusia, kurasa tak perlu kau menghiraukan jiwa hanya satu manusia demi kepentingan Rimba Persilatan."
Dengan mendongkol Heehouw Kian mengawasi Tosu aneh itu yang jalan pikirannya berbeda dengan manusia biasa. Sudah tigapuluh tahun ia mengenal imam itu yang bergelar Thian-ok Tojin, jago terutama dalam kalangan ilmu silat yang menyeleweng.
Puluhan tahun, Thian-ok selalu menganggap, bahwa pukulan Tok-ciang dan senjata beracunnya tiada keduanya didalam dunia dan tidak akan dapat dipunahkan oleh siapapun jua.
Sebagai tetua, jarang sekali ia muncul didalam kalangan Kangouw.
Kali ini ia menyateroni rumah Heehouw Kian karena ia dengar, bahwa orang berilmu itu sudah berhasil menyembuhkan Lie It yang dilukakan oleh kedua muridnya.
Sebagai "biang racun", ia merasa sangat penasaran kalau benar racunnya dipunahkan orang.
Heehouw Kian mengerti, bahwa terhadap manusia aneh itu, tak guna ia bertengkar.
"Ilmu manusia itu agaknya hebat sekali," pikirnya. ”Dia masih tetap sama gagahnya seperti tigapuluh tahun berselang, waktu aku pertama bertemu dengannya."
Ia mengawasi kedua tangan si-imam yang berwarna hitam dan meskipun ia dikenal sebagai Kim-ciam Kok- chiu, tak urung ia merasa kaget.
"Heehouw Lauwtee, apakah kau membawa jarum emas?" tanya si-imam.
"Aku akan seperti turun tangan."
Seraya berkata begitu, ia bergerak untuk menubruk Lie It. Heehouw Kian melompat dan menghadang didepannya.
"Tahan!" katanya. "Aku mau bicara dulu.”
"Apa kau mau membujuk aku?" tanya Thian-ok. "Jika benar, tak guna kau menggoyang lidah."
"Bukan, aku bukan mau membujuk kau," jawabnya. "Akupun ingin sekali menyaksikan kelihayan Tok- ciangmu. Aku hanya ingin mengunjuk, bahwa Lie Kongcu belum sembuh dari lukanya, sehingga, andai-kata kau berhasil membinasakannya, tak dapat kau mengatakan, bahwa pukulanmu itu tiada bandingannya didalam dunia."
Si-imam berdiam sejenak. "Benar juga kau," katanya. "Tapi siapa yang boleh dijajal olehku?"
Heehouw Kian tersenyum. "Aku bukan seorang pandai, tapi biarlah aku saja yang coba menyambut pukulanmu," jawabnya. "Apakah kau setuju?"
Mendengar itu, Lie It terkejut dan sambil melompat maju ia berseru: "Tidak boleh! Heehouw Lopeh, kau tidak boleh maju sendiri. Biarlah aku saja yang menjajal kepandaiannya. Jika aku terluka, Lopeh masih bisa mengobati. Tapi jika Lopeh yang terluka, didalam dunia tidak ada lain Kim-ciam kok-chiu."
"Bocah! Jangan rewel!" bentak Thian-ok.
"Sekarang aku tak sudi turunkan tangan atas tubuh bocah semacam kau." Seraya berkata begitu, ia mengebas dengan tangan jubahnya dan Lie It lantas saja terpental dan jatuh dipembaringan. Ia menengok kearah Heehouw Kian dan berkata pula: "Benar, memang kau yang berhak untuk menerima pukulanku. Sebagai seorang berilmu, kau sangat cotiok untuk menjadi sasaran Tok-ciang."
Ia segera mengangkat tangannya untuk memukul. "Tunggu dulu," kata Heehouw Kian. "Bagaimana jika
aku berhasil menerima pukulanmu?" "Bagaimana?" menegas Thian-ok.
"Kalau aku berhasil, apakah kau bersedia untuk berjanji, bahwa kau tidak akan menggunakan lagi Tok- ciang terhadap orang lain?"
"Aku tidak begitu tolol! Kalau kau berhasil, kau hanya membuktikan, bahwa ilmuku belum sempurna. Aku akan berlatih lagi dan sesudah sempurna, aku akan datang kembali untuk menjajal pula."
"Dan selama kau berlatih?"
"Selama aku berlatih, aku tentu tak akan menggunakan Tok-ciang terhadap siapapun jua."
Heehouw Kian mengerutkan alisnya dan berpikir sejenak.
Ia merasa, bahwa meskipun tidak dapat melarangnya untuk selama-lamanya, sedikitnya ia bisa membatasi penggunaan Tok-ciang selama beberapa tahun.
Maka itu, ia lantas saja berkata: "Baiklah, kau boleh segera turun tangan."
Thian-ok Tojin lantas saja menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang segera mengeluarkan hawa yang sangat panas. Tiba-tiba, sambil membentak keras, telapak tangan kanannya menghantam dada Heehouw Kian ......
"Bukhh....!" Heehouw Kian terhuyung tiga tindak, sedang tubuh si-imam bergoyang-goyang.
Lie It dan Tiangsun Pek mengawasi dengan jantung berdebar keras.
Untuk beberapa saat, mereka berdiri tegak sambil menjalankan pernapasan.
"Bagaimana?" tanya Thian-ok sesudah jalan pernapasannya pulih kembali.
Heehouw Kian tersenyum.
"Terima kasih, untung juga tulang-tulang tuaku masih dapat menahan pukulanmu," jawahnya. "Dan bagaimana dengan kau sendiri?"
Mendengar suara si-kakek, barulah Lie It dan nona Tiangsun bisa bernapas lega.
Dilain pihak, Thian-ok mengawasi Heehouw Kian dengan perasaan heran.
Bahwa si-kakek dapat menerima tenaga pukulannya, berarti bahwa tenaga Lweekangnya sudah mencapai puncak yang paling tinggi.
Tapi hal yang sangat mengherankannya, yalah kemampuan Heehouw Kian untuk menahan racun Tok- ciang.
Ia mengawasi beberapa lama dan mendapat kenyataan, bahwa paras muka kakek itu sedikitpun tidak berubah. Ia sungguh tidak percaya, bahwa racunnya tidak mempan pada tubuh Heehouw Kian.
Sementara itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Heehouw Kian sendiri terus mengerahkan seluruh Lweekangnya untuk menolak racun yang masuk kedalam badannya.
Sekonyong-konyong Thian-ok tertawa terbahak-bahak. "Heehouw Lauwtee, kau sungguh lihay," katanya.
"Tapi aku masih belum mengaku kalah."
"Bukankah aku sudah menyambut pukulanmu?" tanya Heehouw Kian.
"Aku tidak percaya kau tidak mendapat luka didalam," kata si-imam. "Mungkin sekali kau hanya dapat mempertahankan diri untuk sementara waktu. Aku akan berdiam terus disini guna melihat kesudahannya."
Lie It dan Tiangsun Pek terkejut.
Dari perkataannya itu, Thian-ok ternyata masih belum puas dan mau bertanding pula.
"Aku tidak mempunyai tempo untuk menemani kau," kata Heehouw Kian dengan suara mendongkol. "Katakan saja : Cara bagaimana baru kau percaya."
"Mari kita berkelahi dengan menggunakan ilmu silat," jawabnya. "Jika kau mampu melayani aku dalam seratus jurus, aku akan segera berlalu."
Si-kakek tertawa dingin.
"Berkelahi adalah kebiasaan orang dipasar-pasar," katanya dengan sikap angkuh. "Kalau mau mengukur kepandaian, tak perlu menggunakan cara itu." Mendengar nada suara sikakek, Lie It jadi berkuatir, karena nada itu mengandung perasaan jeri.
Untung juga Thian-ok tidak mendapat kesan seperti Lie It.
Ia menganggap, bahwa perkataan si-kakek ada benarnya juga, karena sebagai pentolan-pentolan dalam Rimba Persilatan, suatu perkelahian biasa memang agak menurunkan derajat.
Sesudah memikir sejenak, ia berkata: "Cara apa yang mau diusulkan olehmu? Baiklah, kau boleh mengajukan usulmu.”
Heehouw Kian segera mengambil seutas tambang yang tergantung dipembaringan Lie it dan sambil melontarkannya, ia berkata: "Sambutlah."
Thian-ok menyambuti ujung tambang itu.
"Cara bagaimana kita harus menjajal kepandaian?" tanyanya.
"Akupun tidak percaya kau tidak mendapat luka didalam," jawabnya.
"Dengan perantaraan tambang ini, aku akan mendengar ketukan nadimu. Sebagai seorang pandai, kurasa kau juga mengerti ilmu ini."
"Bagusl" kata Thian-ok.
"Aku mengerti maksudmu. Dengan tambang ini, kita bukan saja bisa saling mendengar ketukan nadi, tapi juga bisa menjajal Lweekang. Aku setuju."
Pembicaraan kedua orang itu mengingatkan Tiangsun Pek akan ceritera ayahnya. Sang ayah pernah menuturkan, cara bagaimana tabib Istana memeriksa penyakit permaisuri atau selir kaizar.
Tabib itu tidak menyentuh nadi si-nyonya, tapi hanya memegang ujung tali sutera yang di-ikatkan kepergelangan tangan si-sakit.
Dengan pertolongan tali itu, si-tabib yang berdiri diluar tirai, dapat memeriksa penyakit itu.
Pertandingan yang bakal dilakukan oleh Heehouw Kian dan Thian-ok Tojin juga rupanya seperti itu.
Dilain saat Heehouw Kian dan Thian-ok sudah bersila dengan membelakangi tembok sambil menarik tambang itu yang menjadi tegang-lurus.
Mereka meramkan mata dengan tubuh tidak bergerak, seolah-olah sedang bersamedhi. Sesudah selang kira-kira setengah jam, tambang itu tergetar dengan perlahan dan jenggot Heehouw Kian juga bergoyang-goyang tak hentinya.
Tiangsun Pek mengawasi pertandingan itu dengan hati berdebar-debar sebab ia merasa, bahwa Heehouw Kian mulai jatuh dibawah angin.
Lewat beberapa saat, getaran tambang itu menghebat, sedang jubah pertapaan Thian-ok mulai bergerak-gerak.
Lie It tahu, bahwa pertarungan Lweekang itu mendekati puncaknya. Sesaat itu, si-imam sedang tergirang-girang, karena detak nadi Heehouw Kian makin lama jadi makin lemah dan akhirnya hilang sama-sekali.
Menurut pantas, orang yang nadinya tidak mengetuk lagi, sudah putus jiwanya. Tapi heran sungguh, Lweekang si-kakek masih terus menyerang dengan perantaraan tambang itu, sehingga Thian-ok jadi kaget bukan main.
Dalam pertandingan antara jago dan jago, pantangan yang terutama adalah perasaan kaget, karena hal itu memecah pemusatan semangat.
Maka itulah, dalam sekejap, keadaan berubah dan Heehouw Kian sudah berada diatas angin.
Buru-buru Thian-ok mengempos semangatnya untuk mempertahankan diri dari serangan si-kakek yang menyambar-nyambar bagaikan gelombang.
Sekarang tambang melompat-lompat dan keringat membasahi pakaian kedua orang tua itu.
Tiba-tiba, tambang itu bertambah tegang, seperti tali busur dan "teess!..." putus!
"Bagus! Aku takluk akan kepandaianmu!" kata Thian- ok sambil bangun berdiri. "Kau bukan saja sudah bisa menerima Tok-ciang, tapi juga masih dapat mempertahankan diri dari serangan Lweekangku. Aku mengaku kalah!"
Ia melemparkan potongan tambang itu dilantai dam segera berjalan keluar.
Heehouw Kian sendiri masih tetap bersila dan mengatur jalan pernapasannya.
---o^dewi-kz~0~TAH^o--- "