Lie It tertawa. "Pukul lagi” katanya. "Aku akan manda dipukul sampai tepat kenanya. Hampir berbareng dengan perkataannya, Hiong Kie Teng sudah meninju buk
!", pukulannya tepat kena didada Lie It. Jika aku jatuh kebawah, akulah yang kalah. Bukankah usulku ini banyak lebih sopan daripada usulmu?"
Hiong Kie Teng tertawa besar.
"Kalau begitu, kau jangan main-main dengan pinjam tiga, membayar lima," katanya.
"Baiklah....!, Aku tak mau menarik keuntungan yang tidak adil. Kau boleh memukul lebih dulu."
"Pinjam tiga, membayar lima," berarti menerima tiga pukulan dan kemudia membayar dengan lima pukulan.
Tapi pemuda itu kembali tersenyum dan meng- geleng2kan kepalanya.
"Aku datang disini sebagai tamu dan tamu tak boleh mendahului tuan rumah," katanya.
"Kau harus memukul lebih dulu dan aku tak akan membalas !"
Tantangan Lie It bukan saja meagejutkan lain-lain orang, tapi malah mengagetkan Hiong Kie Teng sendiri.
Ia merasa jengah dan bersangsi untuk turun tangan. ”Ayo, pukullah !" Lie It menantang.
"Bukankah kau membawa obat-obatan ?"
Mendengar perkataan itu yang mempunyai dua arti, bisa berarti obat untuk Lie It dan bisa berarti juga obat untuk Hiong Kie Teng sendiri .
Si raksasa jadi gusar bukan main. Dengan mata melotot, ia membentak : "Kalau dengan tiga tinju aku tak berhasil merobohkan kau, aku akan berlutut dihadapanmu !"
Berbareng dengan perkataannya, tinjunya menyambar dan ...bhuk !", pukulannya mampir dipundak Lie It.
Mendadak si-raksasa terkesiap, karena ia seperti memukul daging keras yang dipoles minyak, sehingga tinjunya terpeleset.
Ia tentu saja tak tahu, bahwa pemuda itu menggunakan ilmu Ie-kin Kang-hu untuk memunahkan pukulan itu.
Ia bengong dan berkata dengan suara perlahan : "Keras sungguh dagingmu." Biar pun begitu, hatinya masih penasaran.
Lie It tertawa.
"Pukul lagi," katanya.
"Aku akan manda dipukul sampai tepat kenanya." Hampir berbareng dengan perkataannya, Hiong Kie
Teng sudah meninju dan..... "bhuk....... !", pukulannya
tepat kena didada !
Banyak orang mengeluarkan seruan tertahan, karena mereka duga Lie It mendapat luka berat.
Tapi, sebaliknya daripada pemuda itu, adalah Hiong Kie Teng yang meringis-ringis sambil mengusap-usap tinju kanannya dengan tangan kiri.
Barusan, sesudah menerima pukulan pertama, Lie It merasa ungkulan untuk mengadu tenaga dengan raksasa itu. Waktu Hiong Kie Teng mengirim tinju kedua, ia segera memusatkan Lweekangnya didada, sehingga beradunya tinju dan dada berarti beradunya kedua tenaga, semakin beser tenaga memukul, semakin besar pula tenaga yang menolaknya.
Tapi pemuda itu pun merasa sakit pada dadanya.
la terkejut dan berkata dalam hatinya : "Tak salah peringatan Kok Sin Ong, bahwa ia seorang ahli dalam ilmu silat Gwa-kee. Untung juga aku tidak dapat luka didalam badan.” Sesudah menjalankan pernapasannya, ia tertawa dan berkata : "Say-goan-pa, nama besarmu sungguh bukan nama kosong dan siauw-tee merasa kagum sekali. Masih ada satu pukulan apakah kau mau memukui lagi ?"
Melihat cara-cara Hiong Kie Teng yang polos, Lie It merasa suka padanya dan perkataannya itu bermaksud untuk memberi kesempatan supaya ia dapat mengundurkan diri tanpa hilang muka. Tapl si raksasa sudah salah tampa dan menganggap Lie It mengejek dirinya.
"Mengapa tidak ?" bentaknya dengan suara gusar sambil meninju kempungan Lie it dengan sekuat tenaga. Hampir berbareng dengan menyambarnya tinju, hati Hiong Kie Teng mencelos karena ia seperti juga memukul kapas dan tinjunya "amblas" dikempungan pemuda itu.
Dengan jantung memukul keras, ia coba menarik pulang tangannya, tapi tidak berhasil, sebab tinjunya yzang sebesar mangkok disedot erat-erat dengan semacam tenaga. "Hiong-heng, maaf," kata Lie It sambil melembungkan kempungannya dan tubuh si-raksasa terlempar jatuh kebawah !
Diantara suara tepukan tangan dan sorak-sorai, si raksasa melompat bangun dan berlutut ditanah.
Lie It buru-buru melompat turun dan membangunkannya.
"Hiongheng," katanya. "Mengapa kau berlaku begitu rupa ? Kekalahanmu semata-mata karena kau tidak berhati-hati."
"Lie-heng," kata si-raksasa. "Aku sudah berjanji, bahwa jika dalam tiga kali memukul, aku tidak bisa merobohkan kau, aku akan berlutut dihadapanmu. Sekarang, bukan saja aku tak mampu menjatuhkan kau, malah aku sendiri yang kena dirobohkan."
Perkataan yang jujur polos itu disambut dengan gelak tawa oleh orang-orang yang mendengarnya.
---o~dwkz~0~Tah~o--
BARU saja suara tertawa mereda, tiba-tiba terdengar pula suara yang menyeramkan : "Bagus ! Sungguh tinggi Lweekang yang barusan diperlihatkan. Sekarang biarlah aku yang main-main sedikit dengan Beng-cu baru." Dilain saat, seorang lelaki setengah tua yang dandanannya seperti sasterawan dan tangannya mencekel kipas, menghampiri Lie It.
Melihat orang itu, bukan main kagetnya Kok Sin Ong.
Ia berpaling kepada Lie It seraya bcrkata : "Tuan ini adalah ..... adalah "
"Aku yang rendah adalah Ceng-ciu Tong Hong Pek." ia memperkenalkan diri dengan memotong perkataan Kok Sin Ong.
"Aku sengaja datang kemari untuk meminta pelajaran dari Beng-cu baru."
Suaranya yang menyeramkan dan mengejek kedengaraanya tak enak sekali.
Tong Hong Pek adalah seorang jago kenamaan yang bergelar Giam-ong-san atau Si-Kipas Giam Lo Ong, Raja Langit yang memanggil roh manusia dan mengadilinya.
Kipas yang dicekelnya, yang terbuat daripada baja, adalah senjatanya yang dipergunakan untuk menotok jalanan darah musuh.
Dalam ilmu itu tak ada orang yang dapat menandinginya.
Disamping itu ia dikenal sebagai seorang yang banyak akalnya, sehingga dalam kalangan Kang-ouw ia sangat disegani orang.
Pada sepuluh tahun berselang, sesudah Kok Sin Ong merebut kedudukan Beng-cu dengan menggunakan Thong-pie-kun, Liap-in-kiam dan kim-kong-ciang, ia menghilang dari Rimba Persilatan. Ada yang kata, pada waktu itu ia sebenarnya niat merebut kursi Beng-cu, tapi karena merasa tak sanggup melawan Kak Sin Ong, ia mengurungkan niatannya dan lalu menyembunyikan diri untuk belajar ilmu yang lebih tinggi guna turun kedalam gelanggang dihari nanti.
Lie It tentu saja tak tahu asal-usulnya itu, tapi melihat lagaknya yang menyebalkan, ia merasa mendongkol.
"Kata2 Beng-cu baru aku tak bisa menerima," katanya dengan suara adem.
"Kedatanganku ketempat ini hanyalah untuk meminta pelajaran dari orang2 gagah dikolong langit.”
"Tuan jangan merendahkan diri," kata Tong Hong Pek sambil tertawa. ”Kedudukan Beng-cu sudah pasti tak akan terlolos dari tanganmu. Aku hanya ingin main2 sedikit dan aku mengharap kau jangan turunkan tangan terlalu berat."
Mendengar perkataannya yang cukup sopan, biarpun mendongkol Lie It tak berani berlaku semberono.
Ia merangkap kedua tangannya dan berkata sambil membungkuk : "Aku merasa syukur, bahwa kau sudi memberi pelajaran. Ayohlah !"
Kok Sin Ong kaget sebab jagonya tidak menghunus pedang dan bersiap untuk melayani lawannya dengan tangan kosong.
Ia ingin sekali memberi peringatan tapi ia merasa malu, karena tindakan itu terlalu menyolok mata.
"Baiklah," kata Tong Hong Pek dan bagaikan kilat, kipasnya menyambar jalanan darah Ciang-bun-hiat. "Bagus........!" teriak Lie It dengan kaget sebab serangan itu menyambar luar biasa cepat, tapi pada detik terakhir, dengan gerakan Poan-liong-jiauw-po (Naga- bertindak), ia dapat juga menyelamatkan dirinya.
Tong Hong Pek mendesak dan kipasnya coba menotok jalanan darah Hoan-tiauw-hiat dilutut pemuda itu.
Sekarang Lie It sudah siap-sedia.
Dengan menggunakan ilmu Siauw-kim-na-chiu, ia mementang tiga jarinya dan menotok nadi Tong Hong Pek.
Tapi diluar dugaan, selagi jarinya menyambar, se- konyong2 Tong Hong Pek membuka kipasnya dan mata pemuda itu agak berkunang karena melihat sinar baja yang berkilauan.
Ternyata. tulang2 kipas itu terbuat daripada baja tipis yang sangat tajam, sehingga jika membentur lembaran baja itu, jari2 Lie It pasti akan putus.
Tapi pemuda itu dapat mengubah gerakannya secara luar biasa cepat.
Pada detik yang sangat berbahaya, ia masih keburu menarik pulang tangannya dan melompat kesamping.
Dilain saat, ia sudah menyerang dengan pukulan2 Cam-liong-chiu (Pukulan-tangan - Membunuh-naga) dengan menggunakan telapak tangan yang naik-turun bagaikan golok.
Pada saat2 lowong, ia masih menggunakan jeriji tangan untuk coba mengorek kedua mata lawan.
Dengan cepat Tong Hong Pek kelihatan terdesak. Mendadak, ia membentak keras dan sambil melompat tinggi, ia mengempos semangat dan menyerang seperti hujan-angin hebatnya, sehingga dalam sekejap, ia sudah mengirim tigabelas totokan kipas yang setiap totokannya dapat membinasakan jiwa.
Lie It kaget dan ia pun lalu memusatkan tenaga dan pikiran untuk melawan dengan bersemangat dan hati2. Beberapa puluh jurus lewat dan keadaan kedua lawan itu masih tetap berimbang.
Tapi biar bagaimanapun jua, Lie It yang tidak bersenjata berada dipihak yang rugi.
Kipas itu bukan saja dapat menotok jalanan darah sebagai senjata Poan-koan-pit, tapi juga bisa menabas seperti pedang.
Untuk melayani serangan2 yang makin lama jadi makin hebat, ia segera mengeluarkan ilmu pukulan Hok- mo-ciang yang membela diri dengan menyerang.
Kok Sin Ong mengawasi jalan pertempuran dengan hati berkuatir, tapi sesudah memperhatikan beberapa lama, hatinya menjadi lega.
Mengapa ?
Karena adanya perubahan yang tidak dapat dilihat oleh orang2 seperti Liong Sam Sianseng dan kawan2nya.
Orang yang paling dulu merasakan adanya perubahan itu, tentu saja Lie It sendiri.
Ia mendapat kenyataan, bahwa beberapa kali Tong Hong Pek telah mengirim totokan yang sangat hebat dengan kipasnya, tapi pada detik terakhir, ia tidak meneruskan serangan itu. Jika diteruskan, memang mungkin dia kena pukulan, tapi dengan memiliki Lweekang yang kuat, pukulan itu pasti tidak akan membahayakan jiwa.
Dilain pihak, jika diteruskannya serangan itu mungkin sekali dapat merobohkan Lie It.
Maka itulah, sesudah kejadian tersebut terjadi beberapa kali, pemuda itu segera menarik kesimpulan, bahwa lawannya sengaja berlaku murah hati.
Tapi karena gerakan2 mereka cepat luar biasa, maka, kecuali beberapa ahli seperti Kok Sin Ong, yang lainnya tidak dapat lihat adanya perubahan itu.
Sesudah lewat sekian jurus.
Lie It mendadak membabatkan telapak tangannya dengan pukulan Sin-liong-pay-bwee (Naga-sakti- menyabet-dengan-buntut-nya).
Sambil berkelit, Tong Hong Pek menotok jalanan darah Hoan-tiauw-hiat dan Sin-honghiat, dilutut lawan.
Sesudah memunahkan serangan itu, Lie It segera balas menyerang, tangan kanannya menebas, sedang lima jari tangan kirinya dipentang untuk menyengkeram pergelangan tangan lawan. !
Diserang secara begitu, jika Tong Hong Pek tidak menarik pulang tangannya, paling mujur kipasnya kena dirampasnya, atau kalau sial, tulang pergelangan tangannya bisa jadi patah.
Dalam mengirim serangan itu, maksud Lie It hanyalah supaya lawannya menarik pulang tangannya. Tapi, diluar dugaan, begitu tangan kirinya menyambar, dengan kecepatan kilat, Tong Hong Pek mengangsurkan kipasnya, sehingga lima jarinya menyengkeram kipas itu.
Itulah kejadian sangat luar biasa, sehingga, untuk sedetik, ia tertegun.
Tiba2 ia mendengar suara lawannya .
"Aku bersedia untuk mengabdi kepada Kongcu."
Suara itu diucapkan dengan berbisik, sehingga hanya dapat didengar oleh Lie It seorang.
Sehabis berkata begitu, Tong Hong Pek melompat mundur dan sambil merangkap kedua tangannya, ia berkata : "Lie Kongcu benar2 lihay dan aku Tong Hong Pek merasa takluk."
Sebagian besar penonton tentu saja tak bisa lihat latar belakang kejadian itu yang terjadi luar biasa cepat.
Tahu2 tangan kiri Lie It sudah mencekal kipas lawannya dan dengan serentak mereka menepuk tangan sambil bersorak-sorai.
Sebenarnya, waktu baru datang di-Go-bie-san, Tong Hong Pek bertekad untuk merebut kedudukan Beng-cu. Tapi belakangan, secara kebetulan ia mengetahui asal- usul Lie It, sehingga ia lantas saja berubah pikiran dan maju kedalam gelanggang hanya untuk memperlihatkan kepandaiannya kepada pangeran itu dan kemudian menyerah kalah.
Lie It yang sangat pintar tentu saja mengerti maksud orang. Ia menyesal, bahwa tadi ia tidak menggunakan pedang, sehingga sekarang ia harus menerima budi orang.
Tapi mengingat tujuannya yang terutama adalah berusaha untuk merobohkan Bu Cek Thian, maka biarpun hati mendongkol, ia tidak memperlihatkan rasa jengkelnya dan lalu mengembalikan kipas itu dengan sikap dan sorot mata berterima kasih.
---o0o--
BARU saja Tong Hong Pek menyerah, dua orang Tosu yang pada punggungnya melintang pedang, berjalan masuk kedalam gelanggang.
"Aku dengar, U-tie Sianseng memiliki ilmu pedang yang sangat tinggi, sehingga sebagai muridnya, Lie Kongcu tentu juga mahir dalam ilmu itu," kata satu diantaranya dengan suara nyaring.
"Sekarang pinto ingin meminta pelajaran dari Lie Kongcu."
Mereka berdua adalah saudara seperguruan, yang lebih tua Ui-ho, adalah kepala kuil Pek-ma-koan, sedang yang mudaan bergelar Ceng-siong.
Mereka adalah orang2 yang mempunyai adat aneh dan kalau bertemu dengan ahli silat yang paham ilmu pedang, mereka belum merasa puas, kalau belum menjajal kepandaian.
Turunnya mereka kedalam gelanggang bukan untuk merebut kedudukan Beng-cu, tapi hanya untuk men- coba2 kepandaian Lie It.
Lie It buru2 merangkap kedua tangannya dan berkata dengan suara merendah: "Boanpwee tidak berani, melayani Lo-ciaa-pwee.”
"Kongcu, jangan kau terlalu merendahkan diri," kata Ui-ho Tojin.
"Dalam persilatan, tak ada yang tua atau muda. Siapa yang pandai, dialah yang berkedudukan tinggi. Disamping itu, untuk memajukan ilmu silat, orang harus tidak merasa bosan untuk men-jajal2 dan memperbaiki apa yang kurang sempurna. Apakah hal ini belum pernah diajar oleh gurumu?"
"Sudah, suhu memang pernah mengatakan begitu," jawabnya.
"Nah.....!, Kalau begitu, mengapa kau sangsi ?" kata pula Ui-ho sambil tertawa.
"Apa kau takut malu ?" "Tidak." Yawabnya.
"Kalau boanpwee roboh dalam tangan Koan-cu, jatuhnya boanpwee merupakan kekalahan yang gilang- gemilang. !"
Ui-ho tertawa ter-bahak2, hatinya merasa girang sekali.
"Kongcce, kau pandai sekali memuji orang,." katanya. "Aku sekarang mau bicara terang2an kepadamu. Kami berdua telah mempelajari semacam ilmu pedang, yang memerlukan dua orang, satu menyerang dan satu membela-diri, dan yang terdiri dari enampuluh empat pukulan. Kami, sebenarnya ingin cari gurumu untuk mencoba ilmu pedang itu, tapi karena perjalanan yang sangat jauh, belum juga kami bisa mewujudkan keinginan itu. Kami merasa beruntung, bahwa ditempat ini kami bisa bertemu dengan Kongcu. Ayohlah !"
Lie It lantas saja menghunus senjatanya dan sehelai sinar berkilauan ber-kelebat2,
"Sungguh bagus pedang itu. !" memuji Ceng-siong.
"Bahwa gurumu telah menyerahkan pedang mustika itu, merupakan bukti yang Kongcu sudah memiliki intisari daripada ilmu pedangnya."
"Boanpwvee belum dapat memiliki sepersepuluh dari kepandaian Suhu," kata Lie It sembari membungkuk.
"Harap Jiewie Cianpwee sudi berlaku murah hati dalam menurunkan tangan."
Sehabis berkata begitu, ia lantas saja memasang kuda2 :
Selagi mereka bicara, adalah Kok Sin Ong yang merasa mendongkol dan bingung, karena kuatir rencananya gagal sebab gara2 kedua tojin itu yang turun kegelanggang hanya karena gatal tangan.
Tapi tentu saja ia tidak dapat mencegah pertandingan2 itu ............ .
Ui-ho Tojin tidak berlaku sungkan lagi. Lie It tengah mengadu pedang dengan Ui-ho Tojin dan Ceng-siong Tojin
"Sambutlah ....... !" katanya sambil menikam jalanan darah, Kian-keng-hiat dengan pedangnya.
Lie It tidak lantas bergerak, ia mengawasi sambaran pedang dengan matanya yang sangat tajam.
Waktu ujung pedang hanya terpisah kira2 lima dim dari tubuhnya, meadadak, secepat arus kilat, dengan gerakan Kim-peng-tian-cie (Garuda-emas-mementang- sayap), ia membabat pergelangan tangan Ui-ho.
Melihat gerakan yang cepat dan indah itu, beberapa ahli pedang manggut2kan kepala dan memuji kepandaian pemuda itu.
Menurut pantasnya, dalam menghadapi serangan itu, Ui-ho harus menarik pulang senjatanya dan melompat mundur. Tapi, sebaliknya daripada mundur, imam itu malah maju setindak dan pedangnya meluncur ke-pergelangan tangan Lie It.
Sesaat itu, terdengar suara "trang ......!", lelatu api muncrat, dan pedang Lie It ditangkis oleh Ceng-siong.
Semua orang terkesiap.
Dalam keadaan begitu, kapan pedangnya baru saja ditangkis Ceng-siong, pergelangan tangan pemuda itu pasti tak akan bisa terlolos dari tabasan pedang Ui-ho.
Tapi detik yang sangat, sangat berbahaya, Lie It ternyata masih keburu menolong diri.
Dengan kecepatan yang tak mungkin dilukiskan, tangannya yang mencekal gagang pedang, berpindah kebadan pedang, yang dijepitnya dengan menggunakan jempol dan telunjuk, dan dengan berbareng gagang pedang itu menangkis senjata Ui-ho.
Sekali lagi terdengar suara "trang........!", mata pedang Ui-ho menghantam gagang itu dengan hampir2 memapas kulit tangen Lie It, dan terpental balik. !
Itulah pembelaan-diri yang sungguh2 luar biasa.
Menurut pantasnya, dengan menjepit badan pedang dengan jempol dan telunjuk, pemuda itu sukar mengerahkan tenaga untuk menangkis sambaran senjata lawan.
Tapi kenyataannya ia sudah berhasil.
Hal ini merupakan bukti, bahwa ia memiliki Lweekang yang benar-benar dahsyat.
Kok Sin Ong menarik napas lega. "Ilmu pedang U-tie Ciong berada disebelah atas Lap- in-kiam," katanya didalam hati.
Sesudah menyelamatkan diri, Lie It melompat mundur setombak lebih dengan jantung memukul keras.
"Sungguh berbahaya........!" pikirnya. "Aku benar tolol. Bukankah Ui-ho Tojin sudah memberitahukan, bahwa ilmu pedangnya berdasarkan satu orang menyerang dan satu orang membela ? Mengapa aku menyerang orang yang menyerang ?"
"Kau sungguh lihay. !" memuji Ui-ho.
"Ayo, maju lagi............!" berbareng dengan perkataannya, ia mengirim dua serangan beruntun, yaitu dengan pukulan Giok-lie-tauw-so (Dewi-menenun) dan Kim-kee-to-sok (Ayam-emas-mematok-gaba).
Dengan menggunakan kelincahannya, Lie It melompat dan mengegos kedua serangan yang sangat berbahaya itu.
Sekonyong2, sambil membentak keras, pedangnya menyambar tenggorokan Ui-ho.
Imam itu kaget tercampur heran.
"Bagaimana dia masih berani menyerang aku ?" tanyanya didalam hati.
Ia tahu, bahwa biar bagaimana hebatnyapun serangan pemuda itu, Suteenya pasti akan dapat menangkisnya.
Maka itu, tanpa menghiraukan serangan tersebut, ia terus menikam dengan pukulan Lie-kong-sia-ciok (Lie Kong memanah batu). Diluar perhitungan, pedang Ui-ho menikam tempat kosong, karena, pada detik terakhir, Lie It menarik pulang senjatanya dan mengubah gerakannya, dari menyerang Ui-ho berubah menyerang Ceng-siong.
Diserang secara begitu, Ceng-siong jadi repot bukan main.
Ternyata, sesudah mengetahui pokok ilmu pedang dari kedua imam itu, yalah Ui-ho menyerang dan Ceng-siong membela, ia segera mengubah siasat yaitu menyerang Ceng-siong dan membela diri terhadap serangan Ui-ho.
Ui-ho Tojin tertawa.
"Bocah, kau pintar !" katanya sambil mengeluarkan pukulan Hun-in-toan-san (Awan-melintang-memutuskan- gunung) untuk menolong Suteenya dari serangan Lie It.
Sekarang peranan berubah, Cengsiong menyerang, Ui- ho membeIa.
Tapi, begitu lekas lawannya mengubah peranan, Lie It pun mengubah cara menyerang.
Dengan demikian, kiam-hoat kedua tosu itu lantas menjadi kalut.
Mereka tidak dapat mengepung lagi pemuda itu dengan ilmu silat yang sudah ditetapkan dan terpaksa berkelahi menurut " cara sendirt2.
Semakin lama mereka bertempur semakin hebat dan belakangan gerakan mereka adalah sedemikian cepat, sehingga orang sukar membedakan lagi yang mana Lie It, yang mana Ui-ho atau Ceng-siong. Tong Hong Pek yang baru saja bertempur dengan pemuda itu, merasa kagum bukan main. Kalau tadi dia menggunakan pedang, aku benar2 bukan tandingannya," pikirnya.
Siangkoan Wan Jie yang bersembunyi di-rebung batu, mengawasi jalan pertempuran itu dengan hati ber- debar2.
Meskipun ilmu silatnya masih cetek, tapi gurunya, Tiangsun Kun Liang, adalah seorang ahli silat pedang kenamaan, sehingga ia pun mempunyai pengertian yang agak mendalam mengenai kiam-hoat.
Ia mengarti, bahwa biarpun Lie It masih bisa mempertahankan diri, pemuda itu sudah berada dibawah angin.
Kedudukannya yang jelek untuk sementara waktu masih dapat diimbangi dengan pedang mustikanya dan , kecerdasan otaknya.
Dalam keseluruhannya, pihak yang lebih unggul adalah Ui-ho dan Ceng-siang.
Selang beberapa lama lagi, sedang pertandingan itu mencapal puncaknya kehebatan, mendadak terdengar suara "trang .......!" yang sangat nyaring, disusul dengan melompatnya kedua tosu itu keluar gelanggang.
Ui-ho tertawa ter-bahak2 seraya berkata : "Tak salah jika dikatakan orang, bahwa gelombang yang disebelah belakang mendorong gelombang yang didepan.
Dalam dunia ini, yang baru menggantikan yang lama, yang muda mengambil tempatnya yang tua.
Kata2 itu sedikitpun tak salah. Lie Kongcu, enampuluh empat jalan dari kiam-boat kami sudah digunakan semua, tapi kau tetap tidak bergeming.
Pinto sungguh merasa kagum dan kita tak usah bertand:ng lagi."
Lie It merangkap kedua tangannya dan menjawab sambil membungkuk : "Bahwa Jie-wie Locian-pwee sudah sudi memberi pelajaran, boanpwee merasa berterima kasih dan bersyukur tak habisnya."
---o~dw.kz~0~Tah~o--
KOK SIN ONG yang tadi berkuatir sangat, sekarang lega hatinya.
Ia tertawa ter-bahak2 dan berjalan ke-tengah2 lapangan.
Sambil mencekel tangan Lie It, ia berkata dengan suara nyaring "Saudara2, sesudah melihat ilmu silat Lie Kongcu, yang malah telah mendapat pujian dari tetua Pek-ma-koan, kurasa kalian tak akan mengatakan, bahwa aku telah memberi pujian kosong. Masih ada satu hal yang aku ingin memberitahukan kepada kalian.
Lie Kongcu adalah buyut Kocouw Hongtee (Lie Yan) dan cucu dari Thay-cong Hongtee (Lie Sie Bin).
Dalam dunia yang kalut ini, kita tidak boleh terus menerus menyembunyikan diri.
Dengan mendapat pimpinan dari seorang pandai dan turunan kaizar, kita bisa membuat usaha yang besar" Mendengar pengumuman itu, orang2 yang memang sudah tahu, lantas saja bersorak sorai, sedlang mereka yang belum tahu, sebagian besar segera turut ber- tepuk2 tangan, sebagai tanda menyetujui usul Kok Sin Ong untuk mengangkat Lie It sebagai Beng-cu.
Tapi pemuda itu sendiri merasa agak kurang senang. Ia sebenarnya sudah mengadakan persetujuan dengan
Kok Sin Ong, bahwa sesudah Ia berhasil merebut kedudukan Beng-cu dengan kepandaiannya sendiri, barulah Kok Sin Ong akan mengumumkan asal-usulnya.
"Dengan demikian, bukankah mereka jadi mengalah terhadapku dan aku berhasil merebut kursi Beng-cu hanya karena kedudukanku sebagai turunan kaazar ?" tanyanya didalam hati.
Memang juga, dengan pengumumannya, Kok Sin Ong mengandung maksud begitu.
Ia tahu, bahwa diantara, para hadirin masih terdapat beberapa ahli silat yang kepandalannya tidak berada disebelah bawah Tong Hong Pek, Ui-ho atau Ceng-siong. Jika mereka turun kegelanggang, ia kuatir Lie It tak dapat melayaninya.
Benar saja, sesudah pengumuman itu, tiada orang lagi yang maju untuk coba merebut kursi Beng-cu.
Tapi sementara itu beberapa orang mengajukan pertanyaan mengenai usaha besar yang mau dilakukan Lie It.
Kok Sin Ong tertawa dan seraya meng-urut2 jenggotnya, Ia berkata : "Pertemuan kita pada hari ini dinamakan Eng-hiong Tay-hwee (pertemuan para orang gagah).
Saudara2 yang hadir semuanya terdiri dari orang2 gagah yang tentu saja sungkan menunduk dibawah kekuasaan orang perempuan.
Semenjak jaman purba, yang tampil kemuka sebagai jago2 adalah orang2 lelaki.
Sungguh tak dinyana, pada jaman ini, orang perempuanlah yang memerintah dikolong langit.
Bagaimana pendapat Saudara2 ?
Aku, Kok Sin Ong, merasa sangat penasaran.
Menurut pikiranku, orang2 yang menganggap dirinya sebagai orang gagah, haruslah membantu usaha Lie Kongcu untuk menggulingkan kaizar wanita itu, guna melampiaskan kedongkolan kaum pria diseluruh negeri."
Sebagai seorang yang mengenal baik watak jago2 Kang-ouw, Kok Sin Ong sudah sengaja menggunakan kata2 yang tegas-polos dan benar saja keterangannya itu mendapat sambutan hangat.
Tapi diantara suara2 setuju terdengar juga suara tidak setuju.
"Aku biasa hidup bebas dan sudah merasa puas jika bisa makan kenyang," kata seorang.
"Bagiku, siapa yang jadi kaizar tak jadi soal."
Orang yang berkata begitu adalah Thay-ouw In-hiap Yang Keng Beng, seorang pendekar yang menyembunyikan diri didaerah telaga Thay-ouw.
"Menyesal aku tak bisa turut," kata seorang lain. "Lo-hu sudah tua dan tak niat menjadi pembesar negeri.”
Ia adalah Cu Koan Gouw dari Ceng-shia-sap.
Dengan ber-turut, beberapa orang lain menyatakan tak ingin turut dalam usaha Lie It.
Mereka itu adalah orang2ternama dalam Rimba Persilatan.
Kok Sin Ong merasa sangat tidak puas, tapi ia tak bisa memperlihatkan rasa dongkolnya.
Ia tertawa terpaksa dan berkata : "Setiap orang mempunyai pendirian sendiri2. Siapapun bebas untuk tidak turut-serta dalam usaha ini. Saudara2 yang ingin mengikut Beng-cu baru harap suka bangun berdiri."
"Aku tunjang Beng-cu baru dengan segenap hati !"
terriak Yo Cee-cu dari Im-ma-coan dipropinsi Shoatang.
"Semenjak raja iblis Bu Cek Thian menjadi kaizar, semakin lama kita jadi semakin sukar mencari hidup. Hm
........! Andaikata dia seorang lelaki, aku tetap akan menentangnya. !"
Pernyataan Yo Cee-cu tentang kesukaran yang dialami oleh kaum Liok-Lim, memang benar adanya.
Sesudah memegang tampuk pemerintahan, Bu Cek Thian menjalankan tindakan "lembek" dan "keras" terhadap kawanan Lioklim.
Mereka yang suka menakluk dan kembali kedalam masyarakat untuk menjadi rakyat baik, diberi pengampunan, sedang terhadap mereka2 yang membandal, ia menggunakan tangan besi. Sebagian beser orang2 Liok-lim menjadi penjahat karena sukarnya penghidupan.
Sesudah Bu Cek Thi-an menjalankan tindakan membagi sawah kepada rakyat, maka kawanan penjahat yang kembali kedalam masyarakat, bisa mencari nafkah dengan menjadi petani.
Dengan demikian, kekuatan dan pengaruh Liok-lim semakin lama jadi semakin berkurang dan mereka yang tetap jadi penjahat adalah orang2 yang tidak suka bekerja berat sebagai petani.
Maka tentulah, perkataan Yo Ceetu telah disambut hangat oleh orang2 kalangan Hek-to (Jalanan-hitam = kawanan perampok).
Disamping kalangan Liok-lim, Lie It pun mendapat dukungan dari orang2' yang ingn mendapat pangkat dan harta. Begitu, kecuali beberapa belas orang gagah yang mengundurkan diri, yang lainnya semua bangun berdiri dengan serentak sebagai pernyataan menunjang pangeran itu.
---o~dwkz^0^Tah~o--
BARU saja Lie It ingin membuka suara untuk menghaturkan terima kasih, se-konyong2 terdengar suara tertawa yang nyaring bagaikan kelenengan perak.
Semua orang dongak mengawasi kearah suara itu. Mereka mendapat kenyataan, bahwa diantara ratusan Hud-teng, seorang wanita muda yang mengenakan pakaian warna putih sedang melayang turun dari sebuah tanjakan.
Selagi badannya melayang, dengan sekali mengebas dengan kedua tangan bajunya, Hud-teng itu buyar seperti ditiup taufan.
Semua orang terperanjat dan seluruh lapangan jadi sunyi-senyap.
Siangkoan Wan Jie terkejut, karena ia kenali, bahwa wanita itu bukan lain daripada Bu Hian Song.
Mengingat cara2 nona Bu dalam menghukum enam penjahat dalam gedungnya, hatinya ber-debar2.
Dengan sikap dan tindakan agung, Hian Song masuk kelapangan perhimpunan dan sambil berjalan, ia tertawa tiga kali, yang satu lebih nyaring dari yang lain dan menusuk telinga para pendengar.
Kok Sin Ong kaget. "Bagaimana wanita yang masih begitu muda, sudah memiliki Lweekang yang begitu tinggi ?" katanya didalam hati.
Setelah nona Bu datang cukup dekat, Lie It mengangkat kedua tangannya seraya menanya; "Mengapa Siocia tertawa ?
"Aku tertawa karena segala kawanan burung berani mengadakan apa yang dinamakan Enghiong Tay-hwee," jawabnya dengan angkuh.
Diantara jaga-jago itu Hiong Kie Teng-lah yang beradat paling berangasan. "Bocah kurang ajar !" bentaknya dengan gusar. "Kau berani tertawai para enghiong (orang gagah) !"
"Benarkah?" menegas Hian Song dengan suara mengejek.
"Kalau kamu semua dapat dinamakan eng-hiong, jumlah enghiong dalam dunia ini tak dapat dihitung lagi."
"Kurang ajar !" caci Hiong Kie Teng.
"Kalau tak kasihan melihat badanmu yang begitu kecil- lemah, dengan sekali tonjok, kau hancur-luluh. Pergi !"
Nona Bu tidak menghiraukan ancaman raksasa itu. Dengan tindakan tenang dan perlahan, ia maju terus. Bukan main gusarnya Hiong Kie Teng.
Sambil melompat dan menggeram, ia mementang sepuluh jarinya dan coba menyengkeram si-nona dengan ilmu Toalek Eng-jiauw-kang (ilmu Cengkeraman-kuku- garuda).
"Hiong Ceecu, jangan semberono !" seru Kok Sin Ong. Baru habis seruan itu, tubuh Hiong Kie Teng yang tinggi- besar seperti pagoda sudah "terbang" keatas dan jatuh ambruk ditanah, dengan melewati kepala beberapa orang.
Ternyata, pada sebelum jari-jari si raksasa menyentuh tubuhnya, nona Bu sudah mendahului dengan kebasan tangan bajunya.
Lie It kaget tak kepalang, karena ia tahu, bahwa nona itu telah merobohkan lawannya dengan Ciam-ie Sip-pat- tiat, serupa ilmu yang dapat menjatuhkan musuh dengan mengebaskan tangan baju atau lain-lain bagian pakaian. Mendadak terdengar tertawa menyeramkan dari Tong Hong Pek, yang tahu-tahu sudah berada dibelakang Hian Song.
"Kalau kami semua bukan eng-hiong, aku sekarang ingin meminta pelajaran dari seorang eng-hiong wanita !" bentaknya sambil mengangkat kipas yang, bagaikan kilat, menyambar kejalanan darah Hong-ie-hiat, yang terletak kira-kira tiga dim dibawah leher.
Serangan itu diluar dugaan semua orang.
Bahwa Tong Hong Pek, seorang yang berkedudukan cukup tinggi dalam kalangan Kang-ouw, sudah membokong seorang wanita remaja merupakan perbuatan yang memalukan.
Maka itu, walaupun tidak mengambil pihak si-nona, tanpa merasa beberapa orang mengeluarkan seruan kaget dan beberapa orang pula berteriak, sebagai isyarat supaya nona itu berwaspada.
Tapi Bu Hian Song seolah-olah tidak mendengar teriakan itu dan berjalan terus.
Untuk mengambil hati Lie It, Tong Hong Pek, yang menduga pasti, bahwa nona itu mau mengacau, sudah menyerang dengan menggunakan seantero tenaganya.
Pada detik kipas itu hampir menyentuh Hong-ie-hiat, mendadak Hian Song menggelengkan kepala seraya berkata : "Sianseng memuji aku terlalu tinggi !"
Hampir berbareng terdengar suara "cring... !" dan
....tulang kipas patah !
Antara jago-jago yang berada disitu, hanya Kok Sin Ong yang lihat cara si-nona memunahkan serangan itu. Pada saat Hian Song menggelengkan kepala, sebatang tusuk konde perak menyambar, bukan saja telah mematahkan tulang kipas itu, tapi juga sudah menembuskan lengan Tong Hong Pek yang seketika itu juga tidak dapat digunakan lagi.
Tak usah dikatakan lagi, kejadian itu sudah mengejutkan sangat hati Kok Sin Ong.
Sementara itu dengan sikap acuh tak acuh, Bu Hian Song sudah berjalan masuk ketengah-tengah lapangan.
"Nona, apakah kau datang untuk merebut kedudukan Beng-cu ?" tanya Kok Sin Ong. ,Sedari dulu, orang perempuan belum pernah turut-serta dalam Eng-hiong- hwee. Andai-kata nona berhasil merebut kedudukan Beng-cu ......ha...., ha......! Kejadian itu benar-benar menggelikan. !"
Dengan berkata begitu, Kok Sin Ong coba bikin panas hatinya jago-jago dan benar saja, beberapa orang segera melompat keluar dan menantang Hian Song.
Si-nona tidak meladeni.
Seraya mengebas tangannya, ia berkata kepada Lie It dengan suara dingin : "Menurut pendapatku, kursi Beng- cumu sesen pun tiada harganya. Kalau mau jadi Beng-cu, jadilah Beng-cu yang ada harganya."
Kok Sin Ong jadi gusar sekali. "Nona !" bentaknya.
"Kau terlalu sombong."
"Lo-hu sudah tua dan tidak ingin berebut nama. Tapi orang-orang yang hadir dalam pertemuan ini adalah pentolan-pentolan dalam Rimba Persilatan, diantaranya terdapat ciangbunjin dari beberapa partai. Kau mengatakan, kami semua bukannya eng-hiong. Bolehkah aku mendapat tahu, orang bagaimana baru boleh disebut eng-hiong ?"
Hian Song tertawa, tapi ia tetap menghadapi Lie It. "Apakah seorang eng-hiong hanya mengandalkan ilmu
silat ?" tanyanya.
"Kalau tidak mengandalkan ilmu silat, mengandalkan apa ?" teriak seorang.
"Seorang eng-hiong dihormati karena dia mempunyai jiwa kesatria," jawabnya.
"Jika seseorang hanya mengandalkan kekuatannya, bukankah ia hanya merupakan manusia kasar yang ganas ?"
"Nona, kau sungguh berani mati," kata Kok Sin Ong. "Bagaimana kau berani menamakan kami sebagai
orang-orang kasar yang ganas ?"
"Apa dia Beng-cumu ?" tanya Hian Song sambil menuding Lie It.
"Sebagai Beng-cu Eng-hiong-hwee, maka dia merupakan enghiong terbesar yang dibayang-bayangkan dalam alam pikiranmu.
Tapi eng-hiong apa dia ? Sesudah menjadi Beng-cu, dia bermaksud menggiring kamu dalam usaha merebut negeri untuk kepentingan pribadi dan dalam niatannya itu, ia sedikitpun tidak memikiri penderitaan hebat yang bakal dialami rakyat. Apakah itu perbuatannya seorang eng-hiong yang mempunyai jiwa kesatria ?" Lie it gusar bukan main.
"Bu Cek Thian perempuan cabul dan kejam. Apa kau tahu, berapa banyak menteri-menteri setia sudah dibinasakan olehnya ?" tanyanya.
"Yang dibinasakan olehnya adalah manusia-manusia yang menindas rakyat," jawab si-nona dengan suara tenang.
"Dengan menindas kejahatan, barulah orang baik-baik bisa hidup tenang.
Terus-terang aku ingin menyatakan, sebenarnya ia masih berlaku terlalu murah hati !"
Perkataan Hian Song mengenakan jitu hatinya banyak orang, karena sebagian besar hadirin adalah kawanan Liok-lim.
Maka itu, lantas saja terdengar teriakan-teriakan gusar dari berbagai penjuru.
"Oho..........! Kalau begitu, perempuan kurang ajar ini kaki-tangan Bu Cek Thian !" teriak Hiong Kie Teng.
"Jangan ladeni dia ! Mampuskan saja !"
Si-nona dongak dan tertawa terbahak-bahak. "Bagus. !" katanya.
"Kamu mau mengerubuti aku dengan jumlah yang besar. Baiklah..., Hayo...! maju! Aku memang ingin menjajal-jajal kepandaian kamu."
"Saudara-saudara .........!" teriak Lie It. "Kalian mundur dulu ! Biarlah aku yang lebih dulu meminta pelajarannya." "Baik. Tapi bagaimana caranya kita menjajal kepandaian. ?" tanya si-nona sambil tertawa.
"Nona seorang tamu, sedang aku tuan rumah, sehingga menurut pantas, kaulah yang harus mengajukan usul," jawabnya.
"Aku lihat kau mahir dalam ilmu pedang dan kita boleh bertanding dengan menggunakan senjata itu," kata si- nona.
"Jika kau kalah, aku minta kau segera membubarkan apa yang dinamakan Eng-hiong-hwee ini."
"Bagaimana andai-kata kalau aku yang menang ?"
tanya Lie It.
Hian Song tertawa.
"Jika dalam sepuluh jurus aku masih belum bisa merobohkan kau, aku akan berlutut dihadapan enghiong- enghiongmu!" jawabnya.
Dalam kegusarannya yang meluap-luap, Lie It berbalik tertawa.
"Bagus..... ! Bagus. !" teriaknya.
"Kalau kau bisa menangkan aku dalam sepuluh jurus, aku pun akan berlutut tiga kali dihadapanmu !"
"Aku tak kepingin menerima hormatmu," kata Hian Song sembari bersenyum.
"Aku hanya ingin minta, supaya jika kau kalah, Eng- hiong-hwee ini harus segera bubar dan enghiong- enghiong besar yang hadir disini tak usah tongolkan kepalanya lagi dalam dunia Kang-ouw.
Apakah sebagai Beng-cu kau suka memberi janjimu ?" Semua jago, antaranya Kok Sin Ong sendiri, yang sudah menyaksikan kiam-hoat Lie It, sedikitpun tidak percaya, bahwa Beng-cu mereka bisa dirobohkan dalam sepuluh jurus.
Maka itu, mendengar si-nona, mereka gusar tak kepalang dan berteriak-teriak.
"Kalau Beng-cu kami kalah, kamipun tak ada muka untuk berkelana lagi dalam dunia Kang-ouw," teriak mereka.
---o~dw.kz~0~Tah~o---
MENDENGAR dukungan kawan-kawannya, hati Lie It jadi semakin besar.
"Srt........!", ia menghunus pedang seraya berkata : "Tak usah banyak bicara lagi. Hayolah !"
Tapi Hian Song tidak bergerak.
"Kau boleh lebih dulu mengirim tiga serangan dan aku tidak akan membalas," katanya.
"Apa ?" menegas Lie It.
"Aku akan mengalah dan menerima tiga seranganmu tanpa membalas," mengulangi si-nona.
"Andai-kata aku mati tertikam, sedikitpun aku tidak merasa menyesal. Hayolah! Kau tak usah malu-malu ."
Lie It adalah seorang sabar, tapi diejek pulang-pergi, ia merasa dadanya seperti mau meledak.
"Jagalah.....!" ia membentak sambil menikam pinggang si-nona dengan pedangnya. Dengan gerakan Hong-yang-loh-hoa (Tiupan-angin menjatuhkan-bunga) yang sangat indah, Hian Song kelit tikaman itu seraya berkata : "Masakah seorang Beng-cu hanya bisa mengeluarkan kiam-hoat ini ?"
Dalam serangan tadi, memang Lie It belum turunkan pukulan yang membinasakan.
Tapi sesudah serangannya dipunahkan secara begitu mudah dengan disertai ejekan, ia segera menyerang tanpa mengenal kasihan lagi.
Dalam serangan kedua, dengan pukulan Pek-hong- koan-jit (Bianglalamenembus-matahari), ia menikam tenggorokan lawan.
Tapi diluar dugaan, dengan hanya mengebas tangan bajunya, si-nona sudah dapat memunahkan serangan itu dan pedang Lie It terpental kesamping.
Pemuda itu lantas saja mengempos semangat dan dalam serangan ketiga, ia menggunakan pukulan Hui- incie tian (Awan mengeluarkan-kilat), serupa ilmu pedang yang sangat jarang terlihat dalam Rimba Persilatan.
Semua jago sudah bersiap untuk bersorak-sorai.
Tapi mendadak terdengar suara "cring....!" dan pedang Lie It terpental karena pentilan si-nona dengan menggunakan dua jari tangannya ! Jago-jago itu mengawasi dengan mata membelalak.
Beberapa ahli yang berkepandaian merasa heran bukan main, karena pentilan yang barusan adalah ilmu Kim-kong-cie dari Siauw-lim-sie.
Mereka tidak mengerti, karena untuk memiliki ilmu tersebut, paling sedikit seseorang harus berlatih belasan tahun, sedang dilihat mukanya, nona itu tidak. berusia lebih daripada duapuluh tahun.
Selagi orang terheran-heran, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa si-nona yang secepat kilat menghunus sebatang pedang pendek.
"Beng-cu, jagalah sepuluh seranganku," katanya dengan suara merdu.
Berbareng dengan perkataannya, tanpa menggerakkan kaki, ia menikam.
Sambil memusatkan perhatian, Lie It mengawasi serangan lawan dan tiba-tiba saja ia terkesiap, karena luar biasanya serangan itu.
Pedang itu ternyata menyambar dengan ujung tergetar dan dalam satu tikaman itu, ujung pedang sambar tujuh jalanan darahnya !
Buru-buru Lie It mengeluarkan kiam-hoatnya yg paling liehay untuk melindungi diri.
Dengan pukulan Go-houw-cong-liong (Harimau-tidur- naga-me-nyembunyikan diri), ia memutar pedangnya bagaikan titiran untuk menutupi seluruh badannya.
Dilain saat, dengan beruntun terdengar bentrokan2 senjata yang nyaring, tapi yang gerakan-gerakannya tak bisa dilihat oleh bagian besar jago-jago yang berada disitu.
Apa yang lebih mengejutkan lagi, yalah, walaupun Lie It menggunakan pedang mustika dan senjata Hian Song hanya pedang biasa, tapi dalam tujuh bentrokan itu, pedang si-nona masih tetap utuh.
Sebab musabab dari kenyataan itu adalah karena gerakan Hian Song yang luar biasa cepat, sehingga dalam setiap bentrokan, sebelum tenaga Lie It keburu digunakan untuk memutuskannya, pedang si-nona sudah menyingkirkan diri.
Selagi Lie It memikiri cara untuk melawan serangan yang berikutnya, si-nona kembali tertawa nyaring. "Pukulan kedua !" serunya.
Pemuda itu tidak berani mendahului menyerang, ia hanya mengempos semangat sambil menunggu serangan lawan.
Dilain detik, kedua pedang berbentrokan dan terus menempel tanpa mengeluarkan suara.
Mendadak Lie It merasakan dorongan tenaga yang sangat besar dari pedang lawan, sehingga pedangnya sendiri, yang seolah-olah dihisap, pedangnya terputar beherapa kali, hampir-hampir terlepas dari tangannya.
Secepat kilat, ia memusatkan seluruh tenaganya dilengan kanan dan sesudah mendorong, ia menarik pulang senjatanya.
Untung ia berhasil dan lalu melompat mundur dengan mengeluarkan keringat di ngin.
"Bagus. ! Lihay juga kau," katanya. Tiba-tiba sambil membentak keras, ia mengirim tiga serangan dengan beruntun-runtun.
Dengan melompat kian-kemari dan mengeluarkan kiam-hoatnya yang paling lihay, barulah Lie It dapat menyelamatkan diri dari tiga serangan itu.
"Masih ada lima serangan, awaslah !" kata si-nona.
Serangan keenam dikirim dengan gerakan perlahan, tapi dengan Lweekang yang sangat tinggi.
Sambil menggigit gigi dan mengeluarkan seantero tenaga-dalamnya, sehingga pakaiannya basah dengan peluh, pemuda iiu menolak serangan tersebut.
Dalam serangan ketujuh, Hian Song kembali mengubah caranya.
Kali ini ia menyerang seperti arus listerik cepatnya. Dengan gerakan Cit-seng-po (Tindakan-tujuh bintang),
kaki kiri Lie It menyerosot kekanan dan sambil memutar
badan, ia balas menyerang dengan pukulan Hui-po-liu- hong (Air-tumpah-beterbangan-bianglala-melengkung).
Bahwa dalam keadaan yang sangat berbahaya, ia masih bisa melindungi diri dengan balas menyerang, adalah kediadian yang luar biasa.
"Bret. !", tangan bajunya robek.
Kalau terlambat sedikit saja, pergelangan tangannya tentu sudah putus.
"Masih ada tiga serangan," kata si-nona.
"Kau berhati-hatilah. Kalau kau bisa menyambut tiga serangan lagi, aku akan berlutut dihadapanmu. Kalau tidak, huh-huh. !" Sehabis berkata begitu, ia menebas dan Lie It buru- buru melintangkan pedangnya untuk menangkis.
Hian Song tahu, bahwa pedang lawan adalah senjata mustika, tapi ia terus menebas, sehingga kedua senjata berbentrokan dengan keras.
Sebelum Lie It keburu membalik mata pedang untuk memapas senjata si-nona, pedang Hian Song sudah menindih badan pedangnya.
Sambil mengerahkan Lweekang, ia coba meloloskan senjatanya, dari "tempelan" pedang si-nona, tapi ia terperanjat, karena pedangnya melekat terus dan tidak bergeming.
Ia mengerti, bahwa dalam keadaan yang sedemikian, jalan satu-satunya adalah mengadu kekuatan Lweekang.
Dengan hati, berdebar-debar, jago-jago mengawasi adu tenaga yang hebat itu.
Sambil tersenyum-senyum, Hian Song mengempos semangatnya, sedang Lie It mengerahkan seantero tenaga-dalamnya, sehingga keringatnya mengucur.
Besarnya tenaga yang dikerahkan oleh kedua belah pihak, dapat dibayangkan dengan melihat melesaknya tanah yang di-injak mereka.
Pinggang Lie It semakin, lama jadi semakin membungkuk, sedang pedangnya pun semakin tertindih kebawah.
Seluruh lapangan sunyi-senyap dan para eng-hiong berkuatir sangat akan keselamatan pemimpin mereka yang sudah jatuh dibawah angin. Semua mata ditujukan kegelanggang pertempuran tanpa berkesip.
Mereka mengerti, bahwa pertempuran itu bukan saja bersangkut-paut dengan nama Lie It, tapi juga mengenakan langsung nasib mereka.
Pada saat yang sangat genting, se-konyong2 Liong Sam Sianseng melompat kedalam gelanggang.
"Saudara-saudara !" teriaknya.
"Perempuan siluman ini tak salah lagi kaki-tangan Bu Cek Thian. Ada dia, tak ada kita. Sekarang kita tak perlu lagi kukuhi lagi peraturan Kang-ouw."
Kawan-kawannya mengiakan dan dalam sekejap, Hian Song sudah dikepung oleh belasan orang.
Kok Sin Ong jadi serbah salah.
Kalau ia menahan orang-orang itu, Lie It memang sudah tidak dapat mempertahankan dirinya lagi dan jika pangeran itu roboh, semua jago yang hadir disitu, antaranya ia sendiri, harus mengundurkan diri dari dunia Kang-ouw.
Tapi kalau ia tidak mencegah pengeroyokan itu, ia sungguh harus merasa malu dengan kedudukannya sebagai Beng-cu.
Dilain pihak, begitu lekas belasan jago meluruk, sambil tertawa nyaring, si-nona menarik pulang pedangnya dan melompat mundur.
Lie It, yang sedang mempertahankan diri dengan mengerahkan tenaga Cian-kin-tui, jadi limbung dan hampir-hampir ia jatuh terguling. Sementara itu, Hian Song sudah melompat tinggi. "Bagus .....! Hari ini aku mau menjajal kepandaiannya
para eng-hiong !" teriaknya sambil membabat kebawah.
Dalam sekejap, digelanggang pertempuran terdengar teriakan-teriakan kesakitan.
Pedang sinona menyambar-nyambar bagaikan hujan- angin dan dalam beberapa saat saja, ia sudah melukakan tujuh perampok.
Ia turunkan tangan tanpa sungkan-sungkan lagi dan biarpun lukanya tidak membahayakan jiwa, sesudah sembuh, ketujuh penjahat itu akan jadi orang bercacad.
"Saudara-saudara. !" teriak Liong Sam Sianseng.
"Berendeng pundak. ! Hajar terus !"
Semakin lama jumlah pengepung jadi semakin banyak.
Hian Song memutar pedangnya bagaikan titiran dan melompat kian-kemari bagaikan seckor kera, tapi karena jumlah musuh terlalu banyak, maka, meskipun ia telah berhasil melukakan beberapa orang lagi, tak gampang- gampang ia bisa menoblos keluar dari kepungan.
Sesudah bertempur beberapa lama, tiba-tiba sebatang golok menyambar dengan dahsyatnya dan Hian Song buru-buru menangkis, tapi penyerang mempunyai tenaga luar biasa besar dan pedangnya terpental kesamping. Orang itu adalah Sian Thian Hiong, Pang-cu dari Hong- cek-pang.
Melihat kesempatan baik, Liong Sam menghantam dengan gaetannya dan "bret....!", baju si-nona, dibagian pundak, robek. Liong Sam Sianseng adalah murid Kok Sin Ong yang paling disayang.
Dalam pertempuran, ia selalu menggunakan dua senjata, yaitu tangan kirinya menggunakan Houw-tauw- kauw (gaetan kepala harimau), sedang tangan kirinnya sebatang tongkat besi.
Dalam kalangan Kang-ouw, ia sangat disegani orang, sebagian karena ilmu silatnya memang cukup tinggi dan sebagian pula, karena orang memandang muka Kok Sin Ong.
Ia sebenarnya she Liong bernama Siauw Seng, putera ketiga dari kedua orang tuanya.
Sebagai tanda mengindahkan, orang-orang Kang-ouw tidak pernah menyebut namanya dan memanggilnya sebagai Liong Sam Sianseng.
"Bagus......! Kamu coba menarik keuntungan dengan mengeroyok !" bentak si-nona dengan gusar.
"Aku sekarang tak boleh main kasihan lagi."
Berbareng dengan perkataannya, ia membabat dengan membuat sebuah lingkaran.
Hebat sungguh babatan itu ! Golok Sian Thian Hiong putus, sedang gaetan Liong Sam pun terpapas putus dua giginya.
Selagi dua lawannya melompat mundur, Hian Song meraba pinggang dan dilain saat, ia sudah mencekel sehelai selendang sutera merah.
Dengan beberapa kali berkelebat saja tujuh-delapan senjata sudah kena digulung, disentak dan dilemparkan ketanah. "Yo Ceecu, Kat Liok-ko, Teng Cianpwee !" teriak Liong Sam Sianseng.
"Hayolah bantu. !"
Ketiga orang itu adalah pentolan-pentolan yang berkepandaian tinggi dan sebegitu lama mereka belum turun tangan, karena merasa malu dengan kedudukannya sendiri, jika mesti turut mengeroyok seorang wanita remaja.
Sesudah diteriaki Liong Sam, mau tak mau, mereka terpaksa turun tangan juga, sehingga Bu Hian Song lantas saja terkurung ditengah-tengah gelanggang.
Dengan sengit si-nona mengamuk dan menerjang kesana-sini.
Kadang-kadang terdengar jeritan kesakitan atau terlihat terbangnya senjata, tapi karena jumlah pengepung terlalu besar, maka biarpun ia dapat merobohkan beberapa orang lagi, tidak mudah untuk ia meloloskan diri.
Sesudah perkelahian berjalan beberapa lama lagi, tiba- tiba Hian Song bersiul nyaring beberapa kali, yang disambut dengan dua siulan dari dalam hutan, satu panjang dan satu pendek.
"Hm! Untuk membasmi kamu, aku terpaksa memanggil dua pembantu!" kata si-nona sembari tersenyum.
Jago-jago itu kaget.
Nona itu saja mereka belum mampu robohkan. Apa lagi kalau dia dibantu oleh dua kawannya. ---o^dw-kz^0^Tah^o---
BEGITU lekas siulan berhenti, dari sebelah kejauhan mendatangi dua bayangan manusia, yang, sesudah tiba dilapangan itu, ternyata adalah dua wanita muda yuga
........
"Perlu apa Siocia memanggil kami ?" tanya satu antaranya.
Siangkoan Wan Jie yang menyembunyikan diri dalam "rebung batu," segera kenali, bahwa mereka adalah budak-budaknya Bu Hian Song.
"Beng Cu, Jie Ie, tolong bereskan senjata-senjata para eng-hiong itu," kata si-nona.
Eng-hiong-hwee dihadiri oleh seratus orang lebih dan diantara mereka, sebagian kecil sudah mengepung Hian Song, sedang bagian yang lebih besar menonton pertempuran itu.
Mendengar perkataan si-nona, baru mereka tahu, bahwa kedua gadis remaja itu adalah budak-budak yang diperintah oleh majikannya untuk merampas senjata mereka.
Mereka adalah jago-jago yang ditakuti rakyat dan jarang sekali menerima hinaan seperti itu.
Dengan gusar mereka segera menghunus senjata sambil berteriak-teriak: "Mari..., mari......! Coba-coba rampas senjata kami."
Seperti majikannya, kedua wanita muda itu lantas saja mengeluarkan selendang sutera yang lalu digunakan untuk menyabet dan menggulung senjata lawan. Ilmu silat mereka tentu saja belum dapat menandingi kepandaian Hian Song, tapi karena lawannya hanyalah ahli-ahli silat tingkatan kedua atau ketiga, sebab jago- jago yang paling lihay sudah mengepung Hian Song sendiri, maka baru saja bertempur beberapa jurus, banyak senjata sudah digulung dan dilemparkan ketengah udara.
Beberapa orang yang tidak keburu lari, sudah tertimpa senjata-senjata yang jatuh.
Dalam sekejap keadaan dilapangan itu berubah kalut.
Sambil tertawa nyaring, Hian Song memperhebat serangannya dan pedangnya mencecer beberapa orang yang lebih lemah, sehingga mereka terpaksa mundur beberapa tindak.
Dengan menggunakan kesempatan itu, ia melompat keluar dari kepungan dan lalu mempersatukan diri dengan kedua budaknya.
Dengan bekerja sama, ketiga gadis remaja itu sudah menghajar kalang-kabut kawanan jago itu dan macam- macam seajata berserakan diatas tanah.
Melihat perkembangan itu, beberapa ahli silat kelas satu, seperti kepala kuil Pek-ma-koan Ui-ho Tojin, Chungcu Kwie in-chung Long Kee It dan lain-lain, yang tidak turut mengerubuti Hian Song, saling mengawasi sambil menghela napas.
"Hm ......! Eng-hiong Tay-hwee ini benar-benar menjadi sebuah lelucon," kata Ui-ho. "Perlu apa kita berdiam disini lama-lama ? Apa kita tidak merasa malu jika mesti bertempur dengan budak- budaknya gadis itu ?"
Sehabis berkata begitu, ia segera berlalu bersama Suteenya dan kemudian, beberapa orang lain pun meninggalkan lapangan dengan berutun.
Dengan berlalunya jago-jago kenamaan itu, keadaan jadi semakin kalut, karena sebagian orang runtuh semangatnya dan pihak Lie It jadi semakin keteter.
Liong Sam Sianseng jadi kalap.
Sambil berteriak keras, ia menerjang. secara nekat, Houw-tauw-kauw yang dipegang dengan tangan kirinya coba menggaet pcrgelangan tangan Beng Cu, sedang tongkatnya disabetkan kepinggang Jie Ie.
Kedua serangan2 itu yang dikirim dengan seantero tenaganya, hebat bukan main dan menyambar bagaikan kilat.
Pada saat yang sangat berbahaya, Hian Song meloncat dan menyentak dengan selendangnya.
Kedua senjata Liong Sam lantas saja tergulung dan terpental ketengah udara...!
Si-nona tak mau memberi kesempatan lagi kepada lawannya itu.
Ia mengangkat pedangnya dan "kres.....!", tulang pundak Liong Sam putus.
"Hm.... ! Dalam tiga puluh tahun kau tidak akan bisa berkelahi lagi," kata Hian Song dengan suara dingin.
Melihat begitu, semua orang jadi ciut nyalinya. Kok Sin Ong yang sedari tadi masih menonton pertempuran itu, rasakan dadanya seperti mau meledak dan mendadak, dengan jenggot dan kumis bangun berdiri bahna gusarnya, ia melompat ketcngah-tengah gelanggang.
"Aha.......! Lo-Beng-cu (Beng-cu tua) akhirnya turun tangan juga !" kata Hian Song dengan suara mengejek.
"Aku merasa beruntung, bahwa hari ini aku bisa bertemu derngan seorang eng-hiong yang namanya menggetarkan dunia."
"Semua mundur ..........!" teriak Kok Sin Ong sambil mengawasi sinona dengan mata berapi.
"Siapa gurumu ? Siapa kedua orang tuamu ?" tanyanya dengan suara dingin.
Hian Song tertawa geli.
"Aku bukan ingin merebut kedudukan Beng-cu, perlu apa kau menanya begitu melit ?" katanya.
"Satu hal yang aku dapat beritahukan, yalah kedudukanku tidak seagung orang lain."
Dengan ‘orang lain’, si-nona maksudkan Lie It.
"Jika kau tak mau bertahukan, aku juga tak ingin memaksa," kata Kok Sin Ong dengan suara menyeramkan.
"Kita sekarang bertempur saja secara adil. Jika kau menang, dalam dunia Kang-ouw tidak akan terdapat lagi seorang yang bernama Kok Sin Ong. Tapi kalau kau yang kalah, maaf nona, aku akan habiskan ilmu silatmu." Sesudah menyaksikan kepandaian Hian Song, Kok Sin Ong merasa heran karena ia tak juga dapat menebak asal-usul ilmu silat si-nona.
Maka itu, sebelum turun tangan, ia lebih dulu coba mendapat keterangan.
Nona Bu yang dapat menduga jalan pikiran orang tua itu, lantas saja bersenyum seraya berkata : "Bagus ! Aku pun memang ingin sekali bisa belajar kenal dengan Liap- in-kiam yang kesohor dikolong langit. Kau boleh legakan hati dan keluarkanlah seantero kepandaianmu. Aku tanggung guruku tak akan maju untuk membalas sakit hati. Hayo, hunus senjatamu !"
"Sesudah kau menangkan kedua tanganku, baru aku gunakan pedang," kata Kok Sin Ong.
"Kalau begitu, marilah!" kata si-nona mengedut selendangnya yang lantas saja menyambar kearah orang tua itu, Kok Sin Ong mementang lima jarinya dan memapaki selendang itu.
"Brett.......!", selendang itu robek tapi tangannya pun sakit dan kesemutan.
"Sungguh lihay ilmu Kim-kong-cie itu!" memuji si- nona.
Tiba-tiba, sambil menarik pulang selendangnya dan melompat, si-nona menikam jalanan darah Hong-hu-hiat, dibelakang pundak Kok Sin Ong, dengan pukulan Giok- lie-coan-ciam (Dewi-memasukkan-benang kelubang- jarum). Kedua lawan itu sebenarnya berdiri berhadapan, tapi secepat kilat Hian Song sudah berada dibelakang Kok Sin Ong.
Tapi orang tua itu pun memiliki ilmu Liap-in Po-hoat (Tindakan-mengejar lawan) yang tidak kurang lihaynya.
Hampir berbareng dengan berkelebatnya sinar pedang, ia sudah memutar badan dan mengirim tinjunya.
Dengan di iringi suara merotoknya tulang, tiba-tiba lengannya mulur kira-kira setengah kaki dan tinjunya menyambar dari satu arah yang tidak didugaduga.
Tapi Hian Song tak kalah cepat, cepat otaknya dan cepat pula gerakannya.
Begitu pedangnya menikam tempat kosong, begitu ia mengubah gerakan dan pada detik yang sangat berbahaya, kakinya menotol tanah dan, bagaikan walet menembus awan, badannya melesat dan meloloskan diri dari samping kanan Kok Sin Ong.
Selagi badannya melesat, pedangnya sudah mengirim tiga tikaman dengan beruntun.
Kok Sin Ong kagum bukan main.
Nona itu bukan saja sudah bisa meloloskan diri dari serangan Thong-pie-kun, tapi dalam kelitannya itu, ia masih bisa balas menyerang.
Pertempuran dilangsungkan terus dengan dahsyatnya.
"Beng Cu, Jie le!" mendadak Hian Song berteriak. "Mengapa kau berhenti? Perlu apa kau berdiri seperti patung?" Sesudah Kok Sin Ong turun tangan, pertempuran antara jago-jago lainnya dan kedua budak itu lantas saja berhenti, karena semua orang merasa ketarik dengan pertempuran yang baru terjadi.
Mendengar seruan majikannya, Beng Cu dan Jie le lantas saja memutar lagi selendang mereka dan dalam beberapa saat, beberapa senjata sudah terbang dan jatuh ditanah.
Sedang pertempuran berlangsung, seorang pemuda berjalan keluar dari gelanggang sambil menundukkan kepala.
Orang itu bukan lain daripada Lie It!
la datang dengan semangat berkobar-kobar dan pergi dengan semangat runtuh.
"Andaikata enghiong-enghiong itu dapat merobohkan ketiga wanita, kemenangan itu masih sangat memalukan," pikirnya.
Ia tersadar dan kecewa bukan main.
Sekarang ia mengarti, bahwa orang-orang yang hadir dalam Eng-hiong Tay-hwee, hampir semuanya adalah kawanan bebodoran yang ingin memburu kekayaan, sedang orang-orang yang benar-benar mempunyai kepandaian hanya beberapa gelintir saja dan mereka itu sudah berlalu tanpa pamitan lagi.
Yang masih ketinggalan hanya Kok Sin Ong seorang yang dengan mati-matian masih coba menolong mukanya. Dengan demikian, Eng-hiong Tay-hwee yang semula begitu menggemparkan, pada akhirnya hanya merupakan sebuah lelucon.
Mengingat begitu, hatinya dingin.
Ia tahu, bahwa angan-angannya untuk menggulingkan Bu Cek Thian telah menjadi gagal dan ia berlalu dengan putus harapan.
Ketika itu pertempuran sedang berlungsung dengan dahsyatnya, sehingga tak ada orang yang memperhatikannya.
Ia mempunyai kepandaian yang banyak lebih tinggi dari kedua budaknya Hian Song, tapi karena hatinya sudah dingin dan juga sebab ia merasa malu untuk bertempur dengan wanita2 tingkatan budak, maka, sambil berkelit beberapa kali untuk meloloskan diri dari sambaran selendang, ia berjalan terus.
---o*dwkz^0^Tah*o---
TIBA-TIBA ia dengar bentakan Kok Sin Ong : "Baiklah memaksa lo-hu menggunakan pedang. Maaflah, sekarang aku tak akan berlaku sungkan-sungkan lagi."
Ternyata, sesudah serang-menyerang beberapa puluh jurus, biarpun Lweekangnya lebih tinggi, Kok Sin Ong yang sudah berusia lanjut masih kalah cepat dari Bu Hian Song yang muda-belia. Sebagaimana diketahui, Kok Sin Ong memiliki tiga rupa ilmu istimewa, yaitu pukulan Thong-piekocen, Kim- kong-cie dan Liap-in Kiam-hoat.
Selama belasan tahun, ia tak pernah menggunakan pedang, sebab, dengan tangan kosong saja, ia sudah tak bisa menemui tandingan.
Tapi diluar dugaan, hari ini ia bertemu dengan lawan herat.
Ia mengerti, bahwa tak gampang-gampang ia bisa menjatuhkan nona itu, tapi karena sudah omong besar, ia merasa malu untuk menghunus senjata.
Sesudah berkelahi beberapa lama, dengan gusar ia menyerang dengan menggunakan dua rupa ilmu, tangan kirinya meninju dengan Thong-pie-kun, sedang lima jari tangan kanannya menotok dengan Kim-kong-cie.
Melihat serangan yang hebat itu, Hian Song kaget bukan main.
Ia ingin melompat mundur, tapi sudah tidak keburu lagi.
Dalam keadaan terdesak, mau tak mau ia terpaksa menyambut kekerasan dengan kekerasan.
Sambil mengempos semangat, ia memapaki kedua tangan lawan dengan pedang dan selendang.
Hampir berbareng, selendang sutera menggulung pergelangan tangan kiri Kok Sin Ong dan sinar pedang menyambar ketangan kanan.
Sambil membentak keras, orang tua itu mementil badan pedang si-nona yang lantas saja terbang ketengah udara dan dengan sekali mengetarkan lengan kirinya, selendang sutera itu jadi hancur berkeping-keping !
Hian Song tertawa nyaring.
Ia melompat tinggi dan menyambut pedangnya yang sedang melayang turun.
Sekarang orang tua itu jadi kalap.
Tanpa memperdulikan lagi nama dan kedudukannya lagi, ia segera menghunus senjata.
Ia mengerti, bahwa tanpa menggunakan pedang, tak nanti ia bisa merobohkan nona yang lihay itu.
Sementara itu, melihat Kok Sin Ong mengeluarkan senjata, Lie It menghela napas dan berjalan terus. Baru saja ia tiba dipinggir lapangan, matanya yang celi mendadak melihat ujung ikatan pinggang yang menongol dari sebuah batu besar.
Ia terkejut dan membentak : "Siapa?"
Bentakan itu disusul dengan melompat keluarnya Siangkoan Wan Jie.
"Lie It Koko, aku!" serunya.
Lie It terkejut, ia merasa seperti juga berada dalam mimpi.
Semenjak berpisahan di Pa-ciu, belum pernah sedetikpun ia tidak memikiri keselamatan si-nona.
Pada malam itu, setelah tiba di Pa-ciu, ia dikunjungi Liongsam Sianseng yang meminta supaya ia pergi kesatu tempat diluar kota untuk bertemu dengan Kok Sin Ong, guna merundingkan pertemuan para orang gagah dipuncak Kim-teng. Karena tak mau membuka rahasia, maka sesudah si- nona tiba dipenginapan itu, ia hanya meninggalkan secarik kertas dengan pemberitahuan bahwa ia harus segera berangkat untuk suatu urusan penting dan kemudian berlalu dengan tergesa-gesa.
Diluar dugaan, malam itu Lie Hian dibunuh orang dan dalam peristiwa pembunuhan itu, muncul juga Ok-heng- cia dan Toksian-lie.
Begitu mendapat warta, ia jadi bingung bukan main, karena kuatir akan keselamatan Wan Jie.
Ia menyesalkan dirinya sendiri, yang, meskipun ada urusan penting, dianggapnya sangat tak pantas meninggalkan si-nona dengan begitu saja.
Mimpipun ia tak pernah mimpi, bahwa ia bisa bertemu dengan nona Siangkoan ditempat itu.
Untuk sejenak ia menatap wajah si-nona dengan mata membelalak dan mulut ternganga.
Sebelum ia dapat mengeluarkan sepatah kata, sekonyong-konyong menerjang seorang yang, begitu berhadapan, segera menghantam pinggang Wan Jie dengan tinjunya yang sebesar mangkok.
Orang itu adalah si-sembrono Hiong Kie Teng.
Ia menyerang karena menduga, bahwa Wan Jie adalah kawan Bu Hian Song yang sengaja bersembunyi disitu untuk mencegat Lie It.
"Tahan !" bentak Lie It dengan kaget. Tapi tinju yang sudah menyambar tak dapat ditarik kembali, sehingga dengan hati mencelos, Lie It menotol bumi dengan kakinya dan badannya lantas saja melesat kedepan. Pada detik itulah, tiba-tiba berkelebat sehelai sutera merah, disusul dengan bentakan seorang wanita : "Siapa berani melukakan sahabat Siociaku ?"
Dengan sekali berkelebat, selendang sutera itu sudah menggulung tubuh Hiong Kie Teng yang lantas saja terbang beberapa tombak jauhnya.
Tapi Wan Jie sendiri tidak terluput dengan tinju si- semberono, sehingga badannya bergoyang-goyang dan kemudian roboh ditanah.
Wanita yang melontarkan Hiong Kie Teng adalah Jie le, yang sambil menengok kearah Lie It, membentak dengan suara gusar : "Beng-cu tak punya malu ! Mengapa kau menghina seorang wanita yang tak mengerti ilmu silat ?"
Sehabis membentak, ia segera menyerang dengan selendangnya, sehingga Lie It tak dapat memberi keterangan.
Dilain saat, sejumlah orang gagah, yang melihat pemuda itu sedang bertempur, sudah memburu.
"Siapapun jua tak boleh mencelakakan wanita yang rebah ditanah. !" teriak Lie It.
"Terima kasih banyak atas kecintaan kalian, tapi aku tak berharga untuk menjadi Beng-cu."
Hampir berbareng, ia mengenjot badan dan dengan melompati kepala Jie le, ia kabur keatas gunung.
Untuk sejenak, semua orang tertegun, karena mereka tak duga, pemuda itu benar-benar kabur.