Pendekar Aneh (Lie Tee Kie Eng) Jilid 03

 
Sesudah mangkatnya kaizar Hanko-couw, Lauw Pang, Lu-houw merampas kekuasaan dan membinasakan banyak sekali anggauta keluarga kaizar. Adalah Lauw Ciang yang telah bangkit dan bergulat, sehingga akhirnya ia bisa memulihkan kekuasaan kaizar kedalam tangannya keluarga Lauw lagi.

Mendengar perkataan pemuda itu, untuk sekian kalinya Wan Jie terkejut dan ia dongak mengawasi muka orang.

Sesaat itu, si-pemuda pun sedang menatap wajahnya sendiri, sehingga tanpa tercegah lagi, dua pasang mata lantas bentrok.

Buru2 sinona menunduk dengan paras muka ke- merah2-an.

"Kemari kau.....!" tiba2 si-sasterawan berkata sambil menggapai.

Hampir berbareng, ia maju setindak, mencekel tangan si-nona dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya lalu menyingkap rambut yang menutup sudut dahi.

Perbuatan yang kurang ajar itu tentu saja menggusarkan sangat hati si-nona.

Tapi sebelum ia memberi teguran keras, pemuda itu sudah tertawa nyaring. "Benar saja tak salah;" katanya. "Kau Wan Jie, bukan ?"

Si-nona lagi2 terkejut.

Sesaat kemudian, satu ingatan berkelebat didalam otaknya.

"Aduh....! Sie-cu !" teriaknya. (Sie-cu berarti pangeran).

Si-sasterawan melepaskan cekelannya dan berkata seraya tertawa: "Tak heran, begitu bertemu, aku merasa seperti juga berhadapan dengan seorang yang sudah dikenal lama. Hanya kutak ingat lagi dimana kita pernah bertemu. Kalau bukan melihat bekas luka didahimu, aku pasti tak akan berani menyebutkan namamu."

Hati si-nona me-luap2 dengan rasa girang. "Sie-cu," katanya.

"Mengapa kau tidak berdiam dikota raja ? Mengapa kau berkelana dalam dunia Kang-ouw dengan menyamar seperti ini ?"

Pangeran itu tertawa.

"Negara sudah jatuh kedalam tangan orang she Bu, mengapa kau masih juga menggunakan istilah 'Sie-cu' ? Aku dan kau tiada bedanya, sama ter-lunta2. Aku panggil kau Wan Jie dan kau pun panggil saja namaku, Lie It."

Siapa sebenarnya pemuda itu?

---o^^dwkz^0^Tah^^o---

IA ADALAH TURUNAN kaizar kerajaan Tong. Kakeknya,  Lie  Kian  Seng,  adalah  kakak  Tong-thay-

cong Lie Sie Bin dan puteraputera Bu Cek Thian adalah saudara sepupunya. Lie Sie Bin mendapat kedudukan kaizar dari tangan Lie Kian Seng dan oleh karenanya, turunan Lie Kian Seng mendapat perlakuan baik sekali. Semenjak kecil, Lie It tinggal dikeraton dan ia sering bertemu dengan Siangkoan Wan Jie yang sering mengikut kakek dan ayahnya datang dikeraton. Lie It berusia tujuh tahun lebih tua daripada Wan Jie dan diwaktu kecil, ia paling suka bermain-main dengan si- nona. Pada suatu hari mereka main petak dan dengan menutup kedua matanya dengan saputangan, si-nona coba menangkap Lie It. Apa mau la jatuh dan sudut dahinya terluka dan luka itu meninggalkan bekas yang tak bisa hilang. Demikianlah asal-usul persahabatan antara kedua orang muda itu.

Sesudah berselang beberapa saat, si-nona menghela napas seraya berkata: urusan kakek dan ayahku mungkin sudah diketahui olehmu.

Lie It mengangguk.

"Aku kabur dari keraton justeru sesudah terjadinya peristiwa menyedihkan itu." katanya. "Untung sekali aku bisa lihat salatan terlebih siang. Kalau tidak buru-buru menyingkirkan diri, jiwaku tentu sudah melayang. Hai.......! Mungkin kau masih belum tahu, bahwa selama tujuh tahun, iblis perempuan itu telah membinasakan tigapuluh orang anggauta keluarga kaizar dan menteri2 besar. Disamping itu, masih banyak orang2 lain yang tidak begitu penting. Celaka sungguh.....! Perempuan kejam itu malahan tak bisa mengampuni anaknya sendiri. Kalau ingat itu, bulu romaku bangun semua."

"Aku sudah dengar kejadian2 itu dari Tiangsun Pehpeh," kata si-nona.

"Sedikitpun aku tak pernah menduga, bahwa kau juga terpaksa mesti menyingkirkan diri."

Mereka lantas saja saling menuturkan pengalaman mereka selama tujuh tahun yang lampau. Ternyata, pengalaman Lie It banyak miripnya dengan apa yang dialami Wan Jie. la telah kabur ketempat seorang bekas menteri besar yang seluruhnya pernah membuat banyak pahala dijaman kaizar almarhum. Menteri besar itu yalah U-tie Ciong, turunan U-tie Kiong yang telah bantu membangun kerajaan Tong. Ilmu silat U-tie Ciong tidak berada disebelah bawah Tiangsun Kun Liang, sedang pergaulannya malahan lebih luas daripada Kun Liang. Maka itu, selama tujuh tahun, bukan saja Lie It mewarisi semua ilmu silatnya U-tie Ciong, tapi juga memperoleh berbagai ilmu dari sahaba2 Utie Ciong.

Mendengar Wan Jie ingin membunuh Bu Cek Thian, Lie It bengong sejenak.

"Keraton dijaga keras luar biasa dan tak gampang orang bisa turun tangan," katanya dengan suara perlahan.

“Disamping itu, sayap siiblis sudah terpentang kuat. Dengan hanya membunuh dia seorang, tak banyak gunanya."

"Bagaimana pendapatmu?" tanya si-nona.

Lie It dongak dan menjawab dengan suara gemetar: "Aku ingin mengumpulkan tentara suka-rela diseluruh negeri untuk membasmi kawanan siluman!"

"Kau mau perang?" menegas si-nona dengan rasa terkejut.

Sesaat itu, ia ingat keadaan yang tenteram-sentosa disepanjang jalan dan omong2an rakyat jelata.

"Kalau keluarga Lie berebut takhta, yang celaka  adalah rakyat," katanya didalam hati.

Sekali lagi Lie It menghela napas. "Aku juga tahu, bahwa banyak orang menyokong iblis perempuan itu," katanya. "Tapi semenjak dulu, perempuan tak! pernah menjadi kaizar. Jangankan aku memang mendendam sakit hati besar terhadap memedi itu, sedangkan tak punya sakit hati sekalnpun, aku masih sungkan mengakui dia sebagai junjungan."

"Jalan pikiran ini tiada beda dengan jalan pikiran Tiangsocn Pehpeh," kata si-nona dalam hatinya. Mengingat perkataan sikakek penjual teh, ia tertawa dalam hatinya.

"Kau tak puas se-orang perempuan menjadi kaizar, tapi rakyat berpecndapat lain," pikirnya.

Dilain saat, ia merasa, bahwa soal ini bukan soal lucu dan paras mukanya lantas saja berubah suram.

Sesaat kemudian, ia menengok kepada Lie It dan berkata: "Tadi dengan menyebut nama Hok Cu Beng dan Cu-hie-houw, kau membandingkan Bu Cek Thian seperti Lu-houw. Tapi menurut pendapatku, perbandingan itu adalah kurang tepait."

"Benar..., kau memang benar. ," kata pangeran ltu.

"Tapi, kau tahu satu...., tak tahu dua. "

"Mengapa begitu?" tanya sinona.

"Lu-houw tidak berkepandaian tinggi dan pemandangannya tidak luas," menerang-kan Lie It.

"Dalam hal ini, ia memang tak bisa dibandingkan dengan Bu Cek Thian. Bu Cek Thian adalah manusia yang pandai sekali memilih dan memakai orang, yang mempunyai kecerdasan, kepintaran serta angan2 yang sangat besar. Menurut penglihatanku ia malahan tak kalah dari Thay-cong Hong-tee. Dalam hal ini, musuh2nya, terhitung juga aku sendiri, sungguh merasa kagum. Tapi biar bagaimana juga, jika memedi itu tidak siang2 disingkirkan dari dunia, kerajaan Tong tak bisa berdiri lagi."

Ia berhenti sejenak dan kemudian berkata pula: "Bu Cek Thian tentu saja banyak lebih lihay daripada Lu- houw. Tapi ada suatu hal yang bersamaan dengan Lu- houw. Apa itu? Kekuasaannya tidak kokoh-teguh."

Sesudah mendengar dan melihat kejadianya disepanjang jalan, Wan Jie menyangsikan kebenaran pernyataan Lie It, tapi ia tidak membuka suara.

"Apa kau tidak percaya?" tanya pemuda itu.

"Coba kau pikir: Betapa pun lihaynya Bu Cek Thian, dia tak nanti bisa menaklukkan atau membasmi seantero menteri setia dalam kerajaan. Ada banyak menteri yang memegang kekuasaan besar, tidak takluk terhadapnya. Aku datang dari Yang-ciu. Pembesar yang berkuasa dikota itu, Gouw-kok-kong Cie Keng, sudah membuat rencana untuk menggerakkan tentara sesudah lewatnya musim rontok. Waktu mau berangkat, aku malahan dengar, bahwa Gouw-kok-kong sedang berusaha mencari Lok Pin Ong untuk minta ia menyusun se-buah surat selebaran guna menghukum Bu Cek Thian."

Mendengar keterangan itu, sinona ter-menung2. la sendiri adalah musuh Bu Cek Thian.

Ia sendiri ingin membunuh kaizar wanita itu.

Tapi, apakah suatu pemberontakan bersenjata, yang pada hakekatnya akan mencelakakan rakyat, dapat dibenarkan? "Karena kuatir tenaganya tidak mencukupi, maka Gouw-kok-kong sudah minta bantuanku," kata pula Lie It.

Mendengar itu, Wan Jie yang berotak sangat cerdas, lantas saja bisa menebak sebagian sepak tejangnya pemuda itu.

la tersenyum seraya berkata: "Kalau begitu, kedatanganmu ke-Pa-siok tentulah juga bertujuan untuk mengumpulkan orang2 gagah guna membantu usahamu yang besar. Bukankah begitu?

Kawanan perampok itu rupanya sudah mendengar desas-desus dan mereka ingin tampil kemuka untuk membantu kau, supaya dikemudian hari mereka bisa jadi menteri2 pendiri kerajaan. Hanya sayang, mereka terlalu ceroboh."

"Itulah yang sangat mengecewakan hatiku," kata Lie

It.

"Andai-kata aku bisa menggunakan tenaga kawanan

Liok-lim itu, pekerjaan besar apakah yang kubisa lakukan?"

"Kawanan penjahat itu sebenarnya datang untuk mengabdi kepada kau," kata si-nona sambil bersenyum.

"Menurut dugaanku, mereka coba membunuh Thio Lo- sam karena dengar orang tua itu mau kekota raja untuk melaporkan satu rahasia.

Mereka tak tahu apa yang mau dilaporkannya dan kuatir, kalau2 laporan itu bersangkut-paut dengan dirimu. Mereka tentu tak pernah mimpi, bahwa pada akhirnya, kaulah yang sudah menolong jiwa Thio Lo-sam."

"Thio Lo-sam seorang miskin yang banyak menderita dan aku tentu tak akan mengawasi kebinasaan dengan berpeluk tangan," kata Lie It.

"Tidak dinyana, tindakanku itu sudah mengakibatkan dugaan, bahwa aku kaki-tangannya kaizar."

"Kalau begitu bukankah itu berarti, bahwa tidak semua perbuatan Bu Cek Than bisa dikatakan salah ?" kata sinona.

Lie It kelihatan kaget.

la bengong dan beberapa saat kemudian, barulah menjawab: "Jika ia tidak bisa menarik hatinya rakyat, bagaimana dia bisa merebut kerajaan Tong ?"

"Apa maksud kunjunganmu ke Pa-ciu ?" tanya Wan Jie.

"Apakah untuk menengok saudara sepupumu, bekas Thaycu Lie Ban ?"

"Memang, aku memang mempunyai niatan begitu," jawabnya.

"Sayang, sifat Lie Ban adalah sifat kutu buku yang tolol. Meskipun didalam hati ia mempunyai keinginan untuk menentang Buhouw, ia tidak punya keberanian."

Mendadak ia menghela napas dan berkata : "Sudahlah

! Jangan kita bicarakan lagi hal2 yang menjengkelkan hati. Wan Jie, apakah selama beberapa tahun ini kau tak pernah ingat diriku ?" "Beberapa hari berselang aku telah menggubah sebuah syair," jawabnya.

"Coba kau dengar." Syair itu adalah syair yang telah digubahnya di-Kiam-kok dan dihafalnya waktu Tiangsun Thay dan Tiangsun Pek berlatih ilmu pedang.

Sehabis berkata begitu, sambil tersenyum si-nona lalu mulai menghafal lagi syairnya:

"Di telaga Tong-teng daun2 baru rontok ditiup angin, kuingat ia yang terpisah jauh berlaksa li "

Lie It memotong:

"Penghidupan manusia sungguh sukar ditaksir, terpisah berlaksa li, tapi belakangan, jalan ber-sama2."

Wan Jie tersenyum dan lalu meneruskan syairnya :

"Kabut tebal, memakai selimut masil terasa dlngin,

Bulan doyong, kebelakang sekosol tiada bayangannya lagi.

Kuingin menabuh lagu dari Kanglam, Kuingin membaca syair Hopak Utara,

Kitab syair bebas dari maksud lain yang dalam, Ku hanya bersedih karena sudah lama berpisah." Mendengar itu, kedua matanya Lie it lantas saja berubah merah dan air mata mengalir turun dikedua pipinya.

Siangkoan Wan Jie juga tidak kurang terharunya, tapi ia memaksakan untuk tertawa.

"Sudahlah," katanya.

"Kita jangan ingat2 lagi kejadian yang menyedihkan." Demikianlah, kedua orang muda itu lalu menuju ke-

Pa-ciu   ber-sama2   dengan   menunggang   tunggangan

mereka masing2, yalah Wan Jie menunggang keledai dan Lie It menunggang kuda.

Dengan menunggang tunggangan mereka masing2, yalah Wan Jie menunggang keledai dan Lie It menunggang kuda

Disepanjang jalan, pangeran itu kelihatannya gembira, tapi sering2, diantara kegembiraan, paras mukanya mendadak berubah sedih dan ia menghela napas ber- ulang2. Beberapa orang yang kebetulan melihat perubahan mendadak itu, jadl merasa heran.

Hanya Wan Jie seorang, yang tahu isi-hatinya, dapat mengerti keanehan itu.

---o^^dwkz^0^Tah^^o---

SESUDAH berjalan dua hari, mereka tiba disatu tempat yang yauhnya hanya seratus li lebih dari kota Pa-ciu.

Karena sudah mendekati kota, jalanan lebih rata daripada apa yang sudah dilewati.

"Lebih baik kita ambil jalanan kecil,'' kata Lie It.

"Mulai dari sini, sebaiknya kita jangan terlalu berdekatan, supaya orang tidak menduga, bahwa. kita jalan ber-sama2."

Wan Jie yang berotak sangat cerdas, lantas saja dapat menebak maksud kawannya.

"Benar," katanya sambil tertawa.

"Jika kita mengambil jalanan raya, kita mungkin bertemu dengan tentara Khu Sin Sun.

Kau adalah se-orang anggauta keluarga kaizar dan memang paling baik menyingkirkan diri."

Lie It mencambuk kudanya dan si-kurus lantas saja lari congklang, Si-nona tertawa dan berkata : "Tungganganmu kurus dan sangat jelek rupanya, tapi larinya benar2 cepat." Lie It mengebas tangannya, sebagai isyarat supaya Wan Jie jangan mengukuti terus. Si-nona lantas saja menahan les dan sesudah terpisah puluhan tombak, barulah ia mengeprak keledai yang lalu mengikuti dari belakang.

Sesudah berjalan beberapa lama, didepan menghadang sebuah gunung kecil.

Jalanan raya terletak disebelah selatan, sedang jalanan kecil disebelah utara gunung. Selagi Wan Jie memutari gunung itu, disebelah kejauhan tiba2 ia dengar suara berbengernya ratusan kuda dari satu pasukan tentara.

"Dia tak mau berdekatan dengan aku karena rupanya dia tidak ingin me-rembet2 aku," kata si-nona dalam hatinya.

"Aku adalah seorang yang mendendam sakit hati besar dan aku berniat untuk membinasakan musuh dengan tangan sendiri. Masakah aku takut ke-rembet2 ?"

Kira2 tengah-hari, Lie It dan Wan Jie sudah melewati gunung kecil itu.

Si-nona menengok dan melihat ber-kibar2nya ribuan bendera, di iringi dengan suara gemuruh.

Ternyata pasukan tentara itu mengikuti dibelakang dalam jarak beberapa li.

"Untung juga kami sudah mendahului didepan," pikirnya.

"Kalau tidak, biarpun tidak terjadi apa2, perjalanan akan terhambat." Se-konyong2 terdengar suara terompet dan seorang perwira, yang di ikuti oleh dua orang serdadu, membedal tunggangan mereka dan mengejar dari belakang.

"Tahan....! Orang yang didepan, tahan....!" teriak perwira itu.

"Aku salah apa ?" Wan Jie balas berteriak. "Perempuan kurang ajar..... !" caci si-perwira seraya

melepaskan sebatang anak panah.

"Mendengar, cerita orang, tak sama seperti mengalami sendiri," pikir si-nona dengan mendongkol.

"Kalau begitu, kaki-tangan Bu Cek Thian hanya tukang menghina rakyat."

la mengayun tangan dan sebilah pisau melesat kearah anak panah itu. "Cring....!", pisau Wan Jie terpental, tapi anak panah itu pun mencong jalannya dan jatuh disamping keledai.

Si-nona kagum bukan-main.

la tak duga, perwira itu mempunyai tenaga yang begitu besar.

Buru2 ia mencambuk tunggangannya.

Tapi keledai itu, yang rupanya sudah jadi kaget, kabur kesawah dipinggir jalan.

Perwira itu mengudak terus.

"Berhenti. !" bentaknya dengan suara menggeledek.

Busur menjepret dan sebatang anak, panah kembali menyambar. Baru saja Wan Jie mau menghunus pedang untuk menangkis anak panah itu, sekonyong-konyong dari tengah-tengah sawah melompat seorang petani.

"Thian-houw telah mengeluarkan firman supaya kaum petani dilindungi secara pantas," katanya dengan suara gusar.

"Mengapa kau meng-injak2 sawahku ? Mentang2 memakai kulit macan....! Apa kau rasa boleh menghina rakyat sembarangan ?"

Seraya mengomel, ia menjemput dua butir batu yang lalu dilontarkan.

Kedua batu itu menyambar, seperti kilat, yang satu mengenakan jitu anak panah yang sedang menyambar, sedang yang lain menghantam kepala kuda siperwira.

Kuda itu berjingkrak, berbunyi keras dan berlutut ditanah, sehingga perwira itu lantas terpelanting kebawah.

Mimpi pun tidak, si-nona belum pernah mimpi bahwa seorang petani mempunyai kepandaian yang begitu tinggi.

Belum hilang kagetnya, dua penunggang kuda yang mengikuti dari belakang, sudah tiba disitu.

"Bagus. !" teriak si-petani.

"Selama beberapa tahun, belum pernah aku bertemu dengan pasukan tentara yang begini tak mengenal aturan. Aku mau pergi kepada Cu-sweemu (Cuswee - jenderal yang mimpin angkatan perang) untuk bicara !" Seraya berkata begitu, ia melonjorkan kedua lengannya untuk menahan kedua tunggangan yang sedang kabur keras.

Tenaga menerjang kedua ekor binatang itu, mungkin tak kurang dari seribu kati.

Tapi dengan sekali menolak, kedua binatang itu terdorong mundur dan kemudian roboh diatas tanah, berikut penunggangnya.

Dengan gusar perwira yang barusan jatuh melompat bangun sambil menghunus golok untuk menyerang.

Mendadak terdengar suara terompet dan waktu mereka menengok, seorang Gee-ciang (nama pangkat militer) meng-goyang2kan satu bendera besar, sebagai isyarat bahwa mereka harus lantas balik kembali.

Paras muka perwira itu lantas saja berubah pucat.

Buru2 ia membangunkan kudanya yang lalu ditunggangi dan dilarikan balik ke-pasukannya.

Kedua pengikutnya merogo saku dan melemparkan beberapa potong perak hancur di atas tanah.

"Sudahlah kau jangan ribut," kata satu diantaranya dengan suara membujuk: "Kamilah yang salah. Uang itu untuk mengganti kerugianmu."

"Hm.....! Apa dengan uang sebegitu kau ingin menutup mulutku ?" tanya si-petani dengan suara mendongkol.

Ketika itu, Wan Jie berada di tempat yang jauhnya kira2 sepanahan dari si-petani. Apa yang sudah terjadi telah didengar dan dilihat olehnya.

Sebenarnya ia ingin kembali untuk menghaturkan terima kasih kepada petani itu, tapi ia mengurungkan niatan-nya karena Lie It menggoyangkan tangan sambil men-cambuk kudanya yang lantas saja kabur.

Wan Jie juga merasa, bahwa sesudah lolos dari bahaya, tak perlu ia balik kembali untuk cari2 urusan.

---o^^dwkz^0^Tah^^o---

Oleh karena begitu, meskipun tahu, bahwa si-petani bukan sembarang orang dan ia sebenarnya kepingin sekali berkenalan, ia lalu mencambuk keledainya yang lantas saja lari mengikuti kuda sipemuda.

Diwaktu magrib, mereka tiba dikota Pa-ciu. Lie It dan Wan Jie berlagak tak kenal satu sama lain.

Sesudah Lie It masuk kesatu rumah penginapan, si- nona masih jalan2 tanpa juntrungan. Kota itu ramai bukan main dan disemua sudut jalanan terdapat penjagaan tentara yang keras.

Si-nona mengerti, bahwa itu semua merupakan persiapan untuk menyambut tentara Khu Sin Sun.

la tak berani jalan sembarangan dan lalu pergi kerumah penginapan yang tadi untuk minta kamar.

Ia tak tahu dimana kamar Lie It dan sebagai seorang gadis, ia merasa tak pantas untuk menanyakan pelayan.

Sesudah makan malam, baru saja ia mau keluar dari kamarnya untuk menyelidiki dimana kamar Lie It, tiba2 didepan jendela berkelebat bayangan manusia yang melemparkan sebutir batu kedalam kamarnya.

la melompat, membuka jendela dan melongok keluar.

Dari jauh, ia lihat Lie It sedang berjalan keluar dengan tindakan cepat.

la menjemput batu kecil itu yang ternyata dibungkus dengan sepotong kertas yang ada tulisannya.

Buru2 ia membuka lembaran kertas itu dan membaca bunyinya: "Aku pergi untuk satu urusan penting, malam ini belum tentu kembali. Malam ini, sebelum tengah malam, kau harus menemui Thay-cu dan minta ia  berlaku hati2. la tidak boleh bertemu dengan Khu Sin Sun."

Wan Jie jadi bingung.

"Khu Sin Sun datang kesini atas perintah Bu Cek Thian, mana bisa Thay-cu tidak menemuinya," pikirnya.

"Apa benar" Bu Cek Thian mau mencelakakan puteranya sendiri ?"

Dibawah kertas itu terdapat juga sebuab peta yang mengunjuk tempat tinggalnya bekas Thay-cu Lie Hian.

Menjelang tengah malam, Siangkoan Wan Jie sagera menukar pakaian jalan malam dan bagalkan seekor kucing, ia melompat keluar dari rumah penginapan itu.

---o^^dwkz^0^Tah^^o--- BAGIAN : 09 KISAH SI THAY-KAM TUA

MALAM itu malam tak berbintang, langit ditutup awan gelap dan bumi disiram hujan gerimis.

Jalanan sunyi-senyap dan gerar-gerik si-nona tidak diketahui oleh siapapun juga.

Tapi sebab gelap, beberapa kali ia nyasar dan sesudah membuang banyak tempo, barulah ia tiba juga digedung bekas Thay-cu.

Sebagal hukuman untuk bekas putera mahkota itu, Bu Cek Thian perintah orang membuat Ciang-hoay Ong-hu (gedung raja muda Ciang-hoay), tempat tinggal putera tersebut, secara sederhana sekali.

Gedung itu hanya mempunyai tujuh-delapan kamar, sebuah taman kecil dan tlnggi tembok luarnya hanya satu tombak lima kaki, sehingga jika dibandingkan, gedung itu masih kalah bagus dari tempat tinggalnya seorang Tiehu.

Begitu melompat masuk kedalam taman, Wan Jie lihat sinar lampu diatas sebuah ranggon kecil disebelah timur taman.

"Thaycu gemar sekali membaca buku dan mungkin ia sendiri yang berada diatas ranggon itu," katanya didalam hati.

Memikir begitu, ia lantas melompat nalk keatas ranggon.

Dengan mengintip dari jendela, ia lihat didalam ruangan itu duduk seorang pemuda kurus yang dikawani oleh seorang Thay-kam tua (orang kebiri, sedang diatas meja terbuka sejilid kitab Sie-kie (Kitab Sejarah). Diwaktu masih kecil, sinona pernah bertemu dengan Lie Hian dan sampai sekarang samar2 ia masih mengenalinya.

Baru saja Ia mau masuk keruangan itu, tiba2 terdengar suara Lie Hian.

"Ong Kongkong," katanya.

"Selama dua hari ini hatiku selalu merasa tidak enak. Tentara Khu Sin Sun sudah tiba diluar kota dan besok pagi, ia pasti akan menemui aku. Apa tak baik kita mabur malam ini juga ?"

Thay-kam tua itu kelihatannya sangat heran.

"Thian-hee (panggilan untuk seorang putera kaizar)," katanya "Aku justeru menganggap, bahwa kedatangan Khu Tay-ciang-kun, yang datang kesini atas perintah Thian-houw untuk menengok kau, adalah kejadi ini yang sangat menggirangkan. Bukan tak bisa jadi dalam tempo cepat Thian-houw akan panggil kau pulang kekota raja. Mengapa Thian-hee mau melarikan diri ?"

"Aku....aku... takut. ” jawabnya, ter-putus2.

"Bu-houw telah mengatakan, bahwa ia mau perintah The Un datang kemari. Jika di-hitung2, The Un sudah harus berada disini pada sepuluh hari berselang. Tapi sekarang, sebaliknya dari The Un, yang dikirim kemari adalah Khu Sin Sun. The Un seorang pembesar sipil dan aku tidak menaruh kecurigaan apapun juga. Tapi Khu Sin Sun seorang jenderal perang dan .... dan.....ia juga membawa satu pasukan tentara. Apakah .....

apakah. " "Apakah Thian-hee takut Khu Sin Sun berbuat apa2 yang tidak baik terhadap mu?" tanya si Thay-kam.

Lie Hian tidak menjawab tapi dilihat dari paras mukanya, pertanyaan Thay-kam itu mengenakan jitu pada hatinya.

Orang tua itu menghela napas panjang.

Tiba2 ia berlutut dan berkata dengan suara perlahan : " ..... Hambamu ingin mengeluarkan perkataan yang bisa mendapat hukuman mati. Sebelum Thian-hee memberi ampun, tak berani hamba bicara."

Lie Hian buru2 membangunkannya.

"Ong Kong-kong, kau adalah seorang yang pernah melayani Hu-hong (ayahanda kaizar) dan aku selalu memandang kau sebagai orang sendiri." katanya dengan suara halus.

"Ada perkataan apakah yang kau tak boleh mengatakannya ?"

"Kalau begitu, barulah hamba berani membuka isi hati hamba." katanya. "Bagaimanakah perlakuan Thian-houw terhadap Thian-hee ?"

"Bagaimana pendapatmu ?" Lie Hian balas tanya. "Menurut  penglihatan  hamba,  walaupun Thian-houw

sangat repot mengurus urusan2 pemerintahan dan tak

bisa sering2 bertemu dengan Thian-hee, tapi ia sangat mencintai Thian-hee," jawabnya.

"Memang....., memang jika dibandingkan dengan perlakuannya terhadap kakakku, Bu-houw lebih menyayang aku," kata bekas putera mahkota itu. "Kalau begitu, hamba, lagi2 mengambil keberanian untuk mengajukan sebuah pertanyaan yang sangat tak layak," kata pula si Thay-kam. "Bolehkah hamba mendapat tahu, mengapa Thian-hee merasa curiga terhadap Thian-houw ?"

Paras muka Lie Hian lantas saja berubah pucat. "Ong Kong-kong," katanya dengan suara gemetar.

"Aku minta kau suka berterus terang. Apakah benar2 aku putera Thian-houw, putera tulen ? Jawablah pertanyaanku tanpa tedeng aling2."

"Apa ?" menegas si-tua.

"Hamba tak mengerti perkataan Thian-hee."

"Dalam keraton sudah lama tersiar desas-desus, bahwa aku bukan dilahirkan oleh Bu-houw sendiri !" jawabnya.

"Hmm. ! Ada desas-desus itu ?" katanya.

Didengar dari suaranya, Thay-kam itu rupanya sudah mendengar desas-desus tersebut.

Lie Hian menatap wajah si Thay-kam dan kemudian berkata pula dengan suara parau : "Mereka mengatakan, bahwa ibu kandungku adalah Han-kok Hujin, kakak Thian-houw.

Belakangan, ibuku binasa karena diracun Thian-houw.

Kakakku, yaitu mendiang Thay-cu Lie Hong, juga bukan anak kandung Thian-houw dan ia pun binasa diracuni Thian-houw dikeraton Hap-pek-kiong !"

Mendengar perkataan itu, bukan main kagetnya Wan Jie. Sesudah berdiam sejenak, bekas Thay-cu itu berkata pula : "Sedari mendengar desas-desus itu, selama beberapa tahun, pikiranku selalu terganggu. Aku selalu berkuatir ... kalau2 Thian-houw pun turunkan tangan jahat terhadap diriku. Maka itu .... maka itu Ong

Kong-kong, biarlah aku membuka semua rahasia hatiku kepadamu. Apakah kau tahu, sebab apa aku dibuang ke- Pa-ciu ?"

"Thian-houw ingin Thian-hee belajar hidup melarat diantara rakyat jelata, supaya dikemudian hari kau bisa memerintah negeri dan rakyat secara bijaksana" jawabnya.

"Bukan.....! Bukan....begitu.....!" kata Lie Hian dengan suara keras.

"Sebabnya adalah begini : "Karena kuatir Thian-houw turunkan tangan jahat secara menggelap, maka aku sudah menyembunyikan sejumlah tentara pilihan dikeraton Tong-kiong. Aku menganggap, daripada dibinasakan, lebih baik aku turun tangan lebih dulu dan merampas kembali kekuasaan keluarga Lie. Tapi tak dinyana, rahasia itu bocor"

"Thian-hee, cara bagaimana kau bisa melakukan perbuatan itu ?" kata si Thay-kam dengan suara menyesal.

"Dengan demikian telah terbukti, bahwa Thian-houw sangat mencintai kau dan memperlakukan kau luar biasa baik."

"Kau juga mengambil pihak-nya ?" tanya Lie Hian dengan paras muka berduka. la berdiam sejenak dan kemudian berkata pula dengan suara gemetar : "Karena ia memperlakukan aku luar biasa baik, maka tempo2 aku menyangsikan tentang kebenarannya desas-desus dalam keraton.

Pernah kejadian, waktu mendapat sakit berat dan tersadar ditengah malam, aku lihat ia duduk disampingku dan mengawasiku dengan air mata ber-linang2, seperti juga seorang ibu yang paling menyintai anaknya.

Pada detik itu, aku ingin sekali meminta-ampun kepadanya dan ingin menyingkirkan semua kecurigaan dari dalam hatiku."

"Tapi mengapa Thian-hee tidak mewujudkan keinginan itu ?" tanya si Thay-kam.

"Aku kuatir ia hanya berpura-pura," jawabnya. "Ah.......!  Pikiranku  sangat  kalut....,  sangat kalut.....

Aku  tak  dapat  membedakan  lagi  apa  yang  benar apa

yang salah. Otakku se-akan2 diliputi kabut yang tebal." Thay-kam tua itu menghela napas panjang.

"Dalam keraton memang banyak sekali desas-desus," katanya dengan suara perlahan.

"Sungguh untung, malam ini Thian-hee telah bicara terus-terang kepada hamba, yang tahu jelas hal-ihwal segala persoalan itu."

"Ong Kong-kong, lekaslah ceritakan apa yang sebenarnya," kata Lie Hian dengan ter-gesa"

"Apakah Thian-houw benar2 ibu kandungku ?" "Baik Thian-hee maupun kakak Thian-hee ke-dua2nya adalah anak kandung dari Thian-houw sendiri !" jawabnya dengan suara tetap.

"Akan tetapi desas-desus dalam keraton juga bukan tiada alasannya. Se-benarnya, hamba tidak berani menceritakan urusan ini, tapi sebab Thian-hee mempunyai syak wasangka terhadap Thian-houw, maka dengan terpaksa hamba mesti membuka juga rahasia ini. Kakakmu, mendiang. Thay-cu Lie Hong terlahir pada bulan Chiagwee (Bulan Pertama) Tahun Enghui ketiga dari mendiang kaizar, sedang Thian-hee sendiri terlahir pada Capjie-gwee, (Bulan Duabelas). Pada waktu itu, Thian-houw........ masih jadi Nie-kouw (pandeta wanita) dalam kuil Kiam-in-sie.”

Paras muka Lie Hian lantas saja berubah merah.

la juga tahu, bahwa Bu-houw pernah menjadi selir kakeknya, yaitu Thay-cong Hong-tee Lie Sie Bin.

Sesudah Lie Sie Bin meninggal dunia, Bu Cek Thian telah "dianugerahi" kesempatan untuk menjadi pendeta.

Dengan keterangannya itu, terang2 Thay-kam tersebut mengunjuk, bahwa waktu masih jadi pendeta, ibunya sudah mengadakan hubungan rahasia dengan ayahnya.

Maka itulah, biarpun ia sekarang mendapat kepastian, bahwa Bu Cek Thian adalah ibu kandungnya, ia juga merasa sangat jengah dan malu.

"Pada waktu itu, Sian-tee (mendiang kaizar) belum menyambut Thian-houw pulang kekeraton dan oleh karena kuatir tersiarnya omongan2 kurang baik, maka Sian-tee telah menyerahkan kalian berdua kepada Han- kok Hujin untuk dipelihara," Thay-kam itu melanjutkan keterangannya.

"Inilah sumber dari segala desas-desus didalam keraton.”

"Dan bagaimana kakakku sampai menjadi mati ?" tanya pula Lie Hian.

"Hal ini pun mempunyai latar belakang yang tidak banyak diketahui orang," menerangkan si Thay-kam tua.

"Pada belasan tahun berselang, seorang asing telah membuat semacam obat yang katanya mempunyai kasiat untuk memungkinkan hidup abadi, untuk Sian-tee, Thian- houw mencegah Sian-tee makan obat itu dengan mengatakan, bahwa dalam dunia tak mungkin ada obat yang seperti itu.

Sian-tee menurut nasehat itu dan obat tersebut lalu disimpan didalam keraton Hap-pek-kiong.

Diluar dugaan, kakakmu telah mencuri obat itu.

Kau sendiri tahu, bahwa kakakmu bertubuh lemah dan sesudah makan obat itu, ia binasa dalam keraton tersebut dengan mengeluarkan banyak darah dari mulut, mata dan kupingnya.

Kejadian ini telah disaksikan oleh hambamu dengan mata kepala sendiri dan manusia2 yang telah memfitnah Thian-houw, benar2 berdosa besar.

Mendengar keterangan itu, bukan main kagetnya Lie Hian.

la tak bisa mengeluarkan sepatah kata dan hanya mengawasi Thay-kam tua itu dengan mata membelalak. Selang beberapa saat, sesudah menghela napas panjang, orang tua itu berkata pula : "Tentang meninggalnya Han-kok Hujin, lebih2 tiada sangkut- pautnya dengan Thian-houw."

Oleh karena Thian-hee bercuriga, mau tak mau, aku harus menceritakan segala apa yang tidak boleh diceritakan.

Dalam hal ini, yang salah adalah Sian-tee sendiri. Dalam mewakili Sian-tee mengurus negeri, siang-

malam Thian-houw selalu repot.

Waktu itu, Han-kok Hujin sering2 berada dalam keraton.

Dan Sian-tee ....... ah..... ! Sian-tee........ ia telah melakukan perbuatan yang ia harus merasa malu terhadap Thian-houw.

Apa mau. , perbuatan itu diketahui Thian-houw.

Karena tak tahan malu, Han-kok Hujin akhirnya membunuh diri sendiri dengan makan racun."

"Kalau begitu, apakah semua cerita yang tersiar cerita bohong?" tanya Lie Hian.

Orang tua itu kembali menghela napas panjang. "Dengan   mengangkat   diri   sendiri   menjadi kaizar,

Thian-houw  telah  digusari  oleh  banyak  sekali  orang,"

katanya.

"Tapi sebab ia memerintah secara bijaksana, orang2 itu tak dapat menyerang kebijaksanaannya dalam mengendalikan pemerintahan, maka jalan satu2-nya adalah menyiarkan cerita2 yang tidak2 mengenai penghidupan pribadi Thian-houw.

Paras muka Lie Hian sebentar merah, sebentar pucat, sedang didalam hati, ia merasa malu bukan main.

"Sedang sebagai anak, aku sendiri masih membenci Bu-houw, bagaimana orang lain?" katanya didalam hati.

Sesudah berdiam sejenak, Thay-kam itu berkata pula : "Pada sebelum berangkat dari kota raja untuk mengikuti Thian-hee, Thian-houw telah memesan wanti2, supaya hamba merawat Thian-hee se-baik2nya, sebab Thian-hee tidak bisa menyayang diri.

Hamba dipesan, bahwa Thian-hee harus makan dalam tempo yang tentu dan tidak boleh bekerja terlalu berat. Thian-houw malahan menyesali diri sendiri, bahwa karena repotnya, ia tak mempunyai tempo lagi untuk merawat dan mendidik anak2.

Waktu memesan begitu, Thian-houw kelihatannya berduka sangat dan hamba pun sampai teturutan merasa pilu.

Tapi, dalam seantero pembicaraan, tak sepatahpun Thian-houw menyebutkan perbuatan Thian-hee yang sudah menyembunyikan tentara didalam keraton Tong- kiong."

Sehabis berkata begitu, air mata mengalir turun dikedua pipi Thay-kam tua itu.

Bukan main rasa malu dan dukanya Lie Hian.

Kalau tidak ingat kedudukannya, ia tentu sudah memeluk Thay-kam tua itu dan menangis keras. Tapi biar bagaimana pun juga, ia tak dapat menahan rasa sedihnya dan lalu menangis dengan perlahan.

Sesudah membuka isi hatinya, si Thay-kam merasa tak enak dan mendengar tangisan itu, ia terkejut dan menanya : "Hamba benar2 berdosa besar, Thian-hee, mengapa kau ?"

Mendadak Lie Hian mengambil pit dan selembar kertas.

"Ong Kong-kong, kau tidak berdosa," katanya dengan suara parau.

"Yang berdosa besar adalah aku sendiri. Guna kepentinganku, siang-malam Bu-houw bekerja untuk mengurus negeri, tapi aku sendiri sedikitpun tidak mengerti pengorbanan yang sangat besar itu. Cie Keng mempunyai niatan untuk memberontak dan pada bulan yang lalu, ia telah mengirim utusan rahasia untuk menemui aku. Aku malahan sudah bersekutu dengannya dan ingin menggerakkan tentara ber-sama2 ia untuk melawan ibu sendiri. Ah. ! Dari dulu sampai sekarang,

mana ada anak yang begitu put-hauw (tidak berbakti)? Hmm.......! Biar bagaimana pun juga, aku pernah membaca buku dan mengenal aturan. Maka itu, aku sekarang ingin memohon ampun kepada Bu-houw dan aku ingin adukan Cie Keng. Aku juga mau minta supaya Bu-houw jatuhkan hukuman atas diriku !"

"Gouw-kok-kong Cie Keng mau memberontak ?" menegas Thay-kam itu dengan rasa kaget dan heran.

Lie Hian sudah mulai menulis surat dan sambil menulis terus ia berkata : "Kau heran ? Beberapa hari berselang, malahan aku sendiri ingin berontak. Baiklanh, besok aku akan menemui Khu Sin Sun dan menyerahkan surat ini kepadanya, supaya ia dapat mempersembahkan kepada Bu-houw."

Sementara itu, Siangkoan Wan Jie yang secara kebetulan telah mendengar rahasia itu, jadi bingung bukan main.

Dengan menulis surat untuk membuka segala rahasia kepada ibunya, bukankah Lie Hian merusak segala rencana Lie It.

Tapi dilain pihak, ia ingat, bahwa inilah untuk pertama kali dalam hati bekas Thay-cu itu timbul rasa cinta yang sungguh2 terhadap ibu kandungnya.

Biarpun Bu Cek Thian musuh besarnya, bagaimana ia tega untuk merusakkannya?

---o^^dwkz^0^Tah^^o---

SELAGI ia bersangsi, dibawah ranggon mendadak terdengar seruan orang : "Utusan Khu Tay-ciang-kun mohon bertemu dengan Thian-hee !"

Seruan itu disusul dengan munculnya dua perwira yang terus naik keatas ranggon.

Jantung si-nona memukul keras, karena ia ingat pesanan Lie It supaya mencegah pertemuan antara Lie Hian dan Khu Sin Sun.

Kedatangan utusan Khu Sin Sun justeru terjadi tepat pada tengah malam. Pada sesaat yang sangat pendek itu, dalam otak Wan Jie berkelebat beberapa. ingatan.

Ingatan yang pertama yalah, sesuai dengan pesanan Lie It, ia harus mencegah Lie Hian menemui orang itu.

Tapi segera juga ia membantah pikirannya sendiri. Mengapa ia mesti bertindak begitu ?

Apakah bisa jadi Khu Sin Sun mengirim orang untuk melakukan pembunuhan ?

Khu Sin Sun adalah seorang jenderal besar dan kecuali diperintah oleh Bu Cek Thian sendiri, tak mungkin ia mencelakakan bekas Thay-cu itu.

Sesudah mendengar keterangan si Thay-kam tua, jangankan Lie Hian, sedangkan ia sendiri sekalipun tidak percaya bahwa Bu Cek Thian akan membunuh puteranya sendiri.

Sementara itu, ia pun ingat, bahwa kedatangan Lie It di Pa-ciu adalah untuk berserikat dengan Lie Hian guna menggerakkan tentara.

Dengan adanya perubahan yang mendadak, dimana bekas Thay-cu itu sekarang berdiri dipihak ibunya dan mungkin akan segera menyerahkan surat pengaduannya kepada utusan Khu Sin Sun, maka dalam surat itu ia pasti akan menyebutkan juga rencana Lie It.

Dengan demikian, dengan terbukanya rahasia pemberontakan itu, banyak sekali menteri setia dari kerajaan Tong bakal binasa.

Tapi hampir berbareng, lain pikiran masuk kedalam otaknya. Jika Cie Keng memberontak, rakyat jelata yang sukar dihitung berapa jumlahnya, akan menjadi korban peperangan.

Kecelakaan yang menimpa rakyat adalah ribuan kali lipat lebih hebat dari pada kecelakaan yang menimpa menteri2 setia.

Ia pun ingat, bahwa biarpun Bu Cek Thian bukan seorang kaizar yang mulia, tapi dimata rakyat, dia sedikitnya bukan kaizar yang jahat.

Dalam bingungnya, Wan Jie tak tahu harus berbuat apa.

Mendadak, ia merasakan berkesiurnya angin dibelakangnya.

Dengan kaget ia menengok dan melihat satu bayangan hitam baru saja hinggap diatas tembok.

Orang itu segera menuding ruangan dimana Lie Hian berada dan kemudian menunjuk dadanya sendiri.

la tentu bermaksud untuk memberitahukan, supaya sinona memperhatikan apa yang terjadi dalam ruangan itu dan memberi isyarat, bahwa ia adalah seorang kawan.

Siapa orang itu ?

Tapi Wan Jie tak sempat memikir panjang2, sebab suara kaki kedua perwira itu sudah kedengaran masuk kedalam ruangan dimana Lie Hian berada.

Sesudah melihat tegas, si-nona lantas saja mengenali, bahwa salah seorang adalah perwira yang telah melepaskan anak panah kepadanya ditengah jalan. Lie Hian segera bangun berdiri untuk menyambut tetamunya.

Tiba2, perwira yang menjadi kepala membentak : "Lie Hian, apa kau tahu dosamu?"

"Thia Ciangkun, aku berdosa apa ?" tanya bekas Thay- cu itu.

"Anak melawan ibu, menteri melawan kaizar," jawabnya.

"Thian-houw telah memerintahkan untuk segera menjalankan hukuman mati terhadapmu !"

"Justa !" teriak si Thay-kam tua.

"Tak mungkin....., tak mungkin Thian-houw

memberi perintah begitu !"

Lie Hian terkejut sejenak, tapi sesaat kemudian, ia berkata dengan suara perlahan: "Keluarkan firman. !

Jika benar Bu-houw sendiri yang menghendaki kehinasaariku, aku rela menerima hukuman karena aku memang berdosa sangat besar dan pantas dapat hukuman mati !"

Paras muka si Thay-kam jadi pucat bagaikan mayat dan ia berteriak dengan suara gemetar : "Thian-hee ! Jangan.......percaya .......segala omongan gila2!

Meskipun ada firman ....., firman itu .........

Belum habis perkataannya, sudah terdengar teriakan menyayat hati dan Thay-kam itu sudah dibacok mati oleh perwira yang satunya lagi.

Kejadian itu terjadi dengan mendadak, sehingga Wan Jie tidak keburu berbuat apapun juga. Sesudah Thay-kam itu roboh, ia mengayunkan tangan dan dua pisau terbang masuk dengan melewati jendela. Tapi pada saat itu, terdengar teriakan Thay-cu, yang mungkin telah dibinasakan oleh panglima she Thia itu.

Kedua perwira itu ternyata bukan sembarang orang.

Dengan sekali melompat, mereka berhasil meloloskan diri dari sambaran pisau terbang dan hampir berbareng, mereka menerjang keluar seraya mengayun golok.

Apa mau, pada detik yang bersamaan, Wan Jie juga sedang melompat masuk, sehingga tiga senjata lantas saja beradu dengan mengeluarkan suara keras, disusul dengan robohnya seorang kebawah ranggon.

"Anak melawan Ibu, menteri melawan kaizar," perwira yiang menjadi kepala membentak, "Thian-houw telah memerintahkan untuk segera menjalankaan hukuman mati terhadapmu!"

"Justa !" teriak si Thay-kam tua. "Tak mungkin...., tak mungkin Thian-houw mem-beri perintah begitu !" Belum habis perkataannya sudah terdengar teriakan menyalat hati dan Thay-kam itu. sudah dibacok mati oleh perwira yang satunya lagi.

Kejadian itu terjadi dengan mendadak, sehingga Wan Jie tidak keburu berbuat apapun juga, Sesudah Thay- kam itu roboh, Wan Jie mengayun tangan dan dua pisau terbang masuk dengan melewati jendela. Tapi pada saat itu, terdengar teriakan Thay-cu, yang munkin telah dibinasakan oleh Panglima she Thia itu.

Orang yang roboh adalah Siang koan Wan Jie sendiri. Ilmu pedang si-nona sebenarnya tidak terlalu lemah,

tapi Lweekangnya masih kalah jauh dari kedua lawannya itu.

Maka itu, dalam bentrokan senjata, ia telah terpukul jatuh. Untung juga, ujung kakinyanya masih keburu mentotolkan dan dengan meminjam tenaga, ia memutar badan sehingga jatuhnya jadi banyak lebih enteng.

Begitu jatuh, dengan gerakan Lee-hie-tah-teng (Ikan- gabus-meletik), ia lantas melompat bangun kembali.

Dalam bentrokan senjata yang barusan, karena si- nona menggunakan pedang mustika, maka golok perwira yang satu kena terbabat putus.

Dilain saat, ia mendengar suara beradunya  senjata dan melihat seorang lelaki bertopeng, yang menyekel senjata warna hitam, sedang bertempur hebat melawan kedua periwira itu.

Melihat begitu, sambil memutar pedang, ia melompat untuk memberi bantuan.  "Apa kau mau cari mati ?" bentak si-lelaki bertopeng. "Lekas lari. !”

Wan Jie terkejut, karena suara itu seperti juga sudah

pernah didengar olehnya, entah dimana. Sekarang ia mendapat kenyataan, bahwa senjata orang itu adalah sebatang hun-cwee (pipa panjang) yang terbuat daripada baja.

Si-perwira she Thia yang ilmu silatnya tinggi dan tadi berhasil menyelamatkan goloknya dari papasan pedang si-nona, dalam sekejap sudah terdesak dan mata goloknya tumpul dibeberapa bagian, karena kebentrok dengan hun-cwee itu, yang kepalanya sangat besar dan tembakaunya masih menyala, sehingga saban2 mengeluarkan peletikan api dan asap.

Si-orang bertopeng lihay sekali. Hunrcwee yang menyambar kian kemari bagaikan hujan-angin digunakan sebagai tombak pendek yang menikam musuh dan sebagai Poan-koan-pit yang saban2 coba menotok jalan darah orang.

Beberapa saat kemudian, kedua perwira itu sudah ter- sengal2 dan hampir tidak dapat mempertahankan diri lagi.

Melihat begitu, Wan Jie merasa heran.

"Ia sudah berada diatas angin dan jika aku membantu, kedua musuh itu bisa lantas dirobohkan," pikirnya.

"Tapi mengapa ia menyuruh aku melarikan diri ?"

Sementara itu, orang2 dalam Ong-hu sudah tersadar dan suara teriakan terdengar ramai sekali. Se-konyong2 disebelah kejauhan terdengar suara tertawa yang merdu, tapi menyeramkan.

Suara itu tidak terlalu keras, tapi heran sungguh, telah menindih semua teriakan yang ramai,

Mendadak, seraya membentak keras, si-orang bertopeng mengempos semangat dan menyerang dengan hebat.

Dengan saling susul, kedua perwira itu roboh terguling sambil berteriak kesakitan.

Pada saat itulah, suara tertawa yang menyeramkan tiba didepan pintu.

Bukan main kagetnya si-nona, karena ia segera mengenali, bahwa suara itu bukan lain daripada tertawanya Tok-sian-lie !

Sekarang baru ia tahu, mengapa si-orang bertopeng menyuruh ia melarikan diri.

Bagaikan kilat, si-orang bertopeng melompat kearah Wan Jie seraya berbisik : "Kau dan aku harus kabur dengan mengambil jalan terpisah."

Baru saja Wan Jie melompat keluar dari tembok belakang, ia mendengar suara Tok-sianlie : "Thia Ciangkun, mengapa kau sudah turun tangan sebelum aku datang ? Apa kau takut aku merebut pahalamu? Celaka......! Kau. "

Rupanya; pada saat itu, baru ia tahu, bahwa si-orang she Thia telah dirobohkan dan lalu memberi pertolongan.

Tanpa berani menengok, si-nona kabur terus.

---o^^dwkz^0^Tah^^o--- SESUDAH melewati beberapa jalan raya, se-konyong2 ia dengar suara gembrengan dan ribut2.

Segera juga ia mendapat kenyataan, bahwa satu pasukan tentara sedang mengurung rumah penginapan dimana ia dan Lie It bermalam.

"Baik juga Lie It Koko tidak berada dalam penginapan itu," katanya didalam hati.

Se-konyong2 disebelah kejauhan terdengar suara terompet, disusul dengan terlihatnya obor2 dalam rerotan panjang dan kemudian, terdengar teriakan2 rakyat.

Tak bisa salah lagi, pikir si-nona, tentara yang masuk kedalam kota dan menggeledah rumah2 rakyat, adalah tentara Khu Sin Sun.

Buru2 ia masuk kedalam sebuah lorong kecil untuk menyembunyikan diri.

Malam itu malam tidak berbintang dan seluruh kota diliputi kegelapan, dengan saban2 turun hujan gerimis.

Dalam suasana yang sedemikian, hati Wan Jie pun ditindih kedukaan dan rupa2 pertanyaan berkelebat dalam otaknya.

Manusia bagaimana Bu Cek Thian itu ?

Sebelum turun gunung, ia menganggap kaizar wanita itu sebagai iblis perempuan. Sesudah turun gunung, berdasarkan cerita2 yang didengarnya, Bu Cek Thian agaknya tidak terlalu jahat.

Tapi sekarang, ia kembali menghadapi sebuah teka- teki yang sangat sulit.

Apakah Bu Cek Thian yang memerintahkan pembunuhan atas diri Lie Hian ?

Kalau bukan diperintah oleh kaizar itu sendiri, bisa jadi orang2nya Khu Sin Sun mempunyai nyali yang begitu besar?.

Mendadak saja, ia berduka bukan main.

Ia berduka, karena dalam, hati kecilnya ia mengagumi Bu Cek Thian, tapi sekarang sesudah menyaksikan peristiwa hebat itu dengan mata kepala sendiri, ia berbalik membenci kaizar wanita itu.

Tanpa merasa ia meraba gagang pedang dan sekali lagi ia bersumpah untuk membunuh musuh besar itu.

Dari jalanan raya, tentara yang melakukan penggeledahan mulai masuk ke-jalanan2 kecil.

Wan Jie ingin melarikan diri, tapi ia bersangsi sebab tidak mengenal jalanan.

Jika keluar dari lorong itu, ia kuatir bertemu dengan tentara negeri.

Selagi bersangsi, tiba2 berkelebat satu bayangan manusia yang berkata dengan suara per-lahan2 : "Ikut aku. !"

Dengan bantuan sinar obor yang masuk dari jalanan raya, ia lihat, bahwa orang itu, seorang lelaki yang bertubuh kekar, mengenakan pakaian jalan malam yang berwarna hitam dan ia segera mengenali, bahwa dia bukan lain daripada si-petani yang ia bertemu pada siang tadi.

la girang tercampur kaget.

Ternyata si-orang bertopeng yang telah menolong jiwanya, adalah petani yang gagah itu.

Si-baju hitam paham akan jalanan-jalanan dan larang- lorong dalam kota Pa-ciu.

Dengan mengambil jalanan-jalanan kecil, mereka berhasil meloloskan diri dari razia dan akhirnya tiba dipintu kota sebelah utara.

Ketika itu, tentara negeri yang masuk dari pintu kota sebelah selatan belum sampai dipintu kota itu, yang hanya dijaga oleh beberapa serdadu.

Dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, mereka keluar dari tembok kota.

Sesudah keluar kota, Wan Jie sangat dngin menanyakan she dan nama orang itu, tapi ia tidak mendapat kesempatan karena si-baju hitam terus lari se- cepat2nya, sehingga mau tak mau, ia terpaksa mengikuti dari belakang.

Selang dua jam lebih, mereka sudah melalui kurang- lebih tigapuluh li, tapi orang itu masih tetap belum menghentikan tindakannya.

"Hei ! Berhentilah dulu, kita mengaso." seru si-nona dengan napas tersengal2.

"Tak bisa....!" jawabnya dengan pendek dan lari terus, malah lebih cepat lagi daripada tadi. "Apa dia mau adu ilmu mengentengkan badan denganku?" pikir si-nona dengan mendongkol.

Baru saja ia, berpikir begitu, dibelakangnya sudah terdengar suara tertawa menyeramkan, yang disusul dengan bentakan nyaring seperti genta : "Bocah ...! Disini bukan Kiam-kok. Apa kau rasa masih bisa melarikan diri ?"

Hati si-rona mencelos.

Mereka bukan saja menghadapi Tok-sian-lie, tapi juga Ok-heng-cie !

la menengok kebelakang, tapi tak terlihat bayangan satu manusia pun.

Mungkin sekali kedua musuh itu masih terpisah beberapa li, tapi suaranya sudah terdengar begitu tegas.

Wan Jie tahu, bahwa hal itu hanya bisa terjadi ka:ena kedua musuh itu mempunyai Lweekang yang sangat tinggi, sehingga mereka dapat mengirimkan gelombang suara dari tempat yang jauh.

Biarpun kepandaian si-nona masih belum seberapa, tinggi, tapi sebagai muridnya seorang ahli silat kelas utama, dia sudah mengenal seluk beluk itu.

"Tak heran kalau, Tiang-sun Pehpeh kalah dalam tangan mereka," katanya didalam hati.

Beberapa saat kemudian, lapat2 sudah terdengar suara tindakan musuh.

"Apakah sahabat yang berada didepan bukan Ma Goan Thong yang menyembunyikan diri di-Pa-san ?" tanya Tok-sian-lie seraya tertawa. "Dulu, pada waktu jago2 Tiong-goan mengepung kami, kau juga turut serta. Waktu itu, bukan man kegagahanmu ! Tapi mengapa sekarang kau lari lintang- pukang seperti anjing buduk yang takut penggebuk ? Huhhuh.......! Ma Goan Thong ! Hari ini adalah hari terakhir dari penghidupanmu !"

Siangkoan Wan Jie sudah lelah sekali, tenaganya sudah hampir habis.

Ma Goan Thong tertawa diagin: "Jangan kau buka suara besar," katanya.

"Saat kau menyandak kami adalah saat kematianmu !" Sehabis berkata begitu, ia lari semakin cepat.

”Huh-huh-huh !" Tok-sian-lie tertawa pula.

"Pada jaman ini, dimana ada jago-jago lagi yang bisa mengerubuti kami ? Andaikata kau menyembunyikan kawan ditengah jalan, sedikitpun kami tak takut."

Si-nona tidak berani menengok.

la lari seperti diubar setan dan sembari lari, diam-diam ia merasa heran, karena, dalam ketakutan hebat, tenaganya bertambah beberapa kali lipat.

Dalam sekejap mereka sudah melalui lagi belasan lie.

Mendadak awan-awan hitam membuyar dan langit berubah terang, sehingga dusun2 dengan rumah-rumah penduduknya yang tengah dilewati mereka, memberi pemandangan yang menyegarkan pada fajar yang sejuk itu.

Tapi ditengah-tengah alam yang indah terdapat hawa pembunuhan yang menyeramkan ! Tindakan kedua musuh terdengar semakin nyata.

Tiba2 sambil tertawa berkakakan, Ok-heng-cia melepaskan sebatang Swee-kut-chie-piauw.

Siangkoan Wan Jie melompat kesamping, sedang Ma Goan Thong mengebas dengan hun-cweenya dan.....tepat sekali, piauw beracun itu masuk kemulut kepala hun-cwee.

"Bagus....!" teriak Ok-heng-cia seraya melepaskan lagi dua batang piauw.

Sehabis menangkis dengan hun-cweenya, Ma Goan Thong mengeluarkan teriakan gusar.

Ternyata, dua batang piauw yang masuk kemulut kepala hun-cwee, telah meretakkan gagang pipa panjang itu.

Ketika itu, Ma Goan Thong dan Wan Jie sudah lari kelereng gunung, dimana terdapat hutan pohon tho yang kembangnya sedang mekar.

Se-konyong2 Ma Goan Thong tertawa berkakakan. "Kalau kamu mengejar terus, hutan pohon tho ini akan

menjadi kuburanmu...!" teriaknya. Ok-heng-cia gusar bukan main.

Dengan berbareng ia mengayun kedua tangan dan melepaskan puluhan piauw beracun dengan ilmu Boan- thian-hoa-ie (Hujan-bunga-dilangit).

Selagi puluhan piauw itu menyambar bagaikan kilat, tiba2 turun angin, bunga2 tho rontok melayang kebawah dan..... sungguh mengherankan, begitu tersentuh bunga2, begitu piauw2 itu jatuh berarakan diatas tanah

....!

Meskipun masih berusia muda, Wan Jie sudah sering menyaksikan kejadian luar biasa.

Tapi apa yang dilihatnya sekarang, benar2 puncaknya keanehan.

Menurut pantasnya, tiupan angin itu, yang tidak begitu besar, paling banyak hanya bisa merontokkan daun2 bunga.

Tapi kenyataannya, yang rontok adalah  seluruh bunga, sekuntum demi sekuntum, dan sesudah terbentur dengan Swee-kut-chie-piauw, barulah daun2 bunga itu hancur berantakan.

Apa yang lebih aneh lagi, bunga2 itu dapat memukul jatuh senjata rahasianya Ok-heng-cia, yang dilepaskan dengan menggunakan Lweekang yang sangat tinggi, sehingga tenaga menyambarnya tidak kalah daripada anak panah.

Ok-heng-cia dan Tok-sian-lie juga kaget bukan main dan menghentikan tindakan mereka didepan hutan itu.

Se-konyong2 dari antara pohon2 terdengar suara tertawa yang merdu nyaring, seperti bunyi kelenengan perak dan dilain saat, dari dalam hutan muncul seorang wanita muda yang baru berusia kira2 delapanbelas tahun.

Nona itu, yang berparas sangat cantik ayu, mengenakan pakaian warna biru, sedang pada rambutnya yang hitam jengat tertancap sebatang tusuk konde burung Hong. Dengan tindakan lemah melambai, ia mendekati kedua memedi itu.

Ma Goan Thong bersama Siangkoan Wan Jie tengah di-ubar2 oleh Ok-heng-cia dan Tok-sian-lie.

Tok-sian-lie adalah seorang yang biasanya sombongkan kecantikannya sendiri, tapi melihat si-nona, ia mengakui kekalahannya.

Ke-ayuan gadis itu yang mengandung keangkeran, telah membuat kedua memedi itu tidak bisa tertawa atau mencaci.

"Ma Goan Thong," kata sinona sambil mengerutkan alisnya yang kecil-bengkok seperti bulan sisir.

"Lagi2 kau cari pekerjaan untukku." "Kedua manusia itu mempunyai asal-usul yang tidak kecil," kata Ma Goan Thong.

"Harap Kouwnio suka menolong jiwaku." "Siapa mereka ?" tanya si nona.

"yang perempuan adalah Tok-sian-lie yang dalam kalangan Kang-ouw dikenal sebagai situkang mencabut roh," jawabnya.

"Yang lelaki, si-pembetot nyawa, adalah Ok-heng-cia."

---od0eo---

NONA itu tertawa geli. "Oh begitu ?" katanya seraya menuding dengan ranting tho yang dicekel dalam tangannya.

"Jangan kau menakut-nakuti aku. Belum tentu mereka bisa mencabut roh atau membetot nyawa. Sudahlah. !

Biarlah aku men-jajal2, apa mereka ada harganya untuk aku turun tangan sendiri."

la tersenyum dan lalu membentak dengan suara keres

: "Hei....! Kau menyerang dengan puluhan, Chie-piauw, sekarang aku membalas budi dengan sebatang Tho-cian (anak-panah dari kayu tho)."

Hampir berbareng dengan bentakannya, ranting tho itu melesat seperti anak panah baru terlepas dari busurnya. Mendengar kesiuran angin yang sangat hebat, Ok- heng-cia tidak berani menyambuti dengan  tangannya dan buru2 ia menghunus golok, yang lalu digunakan untuk menyabet ranting itu.

Tapi bacokannya meleset dan batang pohon itu, sesudah membentur badan golok yang jadi ber-goyang2, terus menyambar kearah Tok-sian-lie.

"Sungguh lihay timpukan Cek-yap-hui-hoa itu "

memuji simemedi perempuan.

"Cek-yap-hui-hoa adalah ilmu melepaskan senjata rahasia yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.

Dengan menggunakan Lweekang yang sangat tinggi, seseorang bisa menggunakan daun atau bunga sebagai senjata rahasia yang dapat membinasakan musuh.

Begitu lekas ranting tho itu datang cukup dekat, Tok- sian-lie mementil dengan jerijinya, sehingga batang pohon tersebut patah jadi dua potong.

Tapi, biarpun sudah patah, tenaga menyambar batang pohon itu tidak berkurang.

Baru saja, si-memedi ter-girang2, satu patahan menyambar lehernya.

Bukan main kagetnya Tok-sian-lie yang dengan cepat manggutkan kepalanya dalam gerakan Hong-tiam-tauw (Burung Hong - manggutkan - kepala), tapi tak urung pantek kondenya kena kesambar juga dan jatuh ditanah.

"Tenaga-dalam Tauw-to muka jelek itu masih cetek," kata si-nona seraya tertawa.

"Karena sedang senggang, biarlah aku melayani kamu berdua untuk sementara waktu." Selama malang-melintang dalam dunia Kang-ouw, belum pernah Ok-heng-cia dipandang begitu rendah.

Darahnya lantas saja meluap dan sambil memutar badan, ia melepaskan sebatang Swee-kut-chie-piauw ke- jalanan darah In-tay-hiat, didada si-nona.

Timpukan itu, yang dinamakan Hoan-pie-im-piauw (Timpukan piauw-sambil- membalik-lengan), hebat luar biasa, karena dilepaskan dengan menggunakan seluruh tenaga Lweekang yang dipusatkan dilengan.

Timpukan Boan-thian-hoa-ie yang digunakannya lebih dulu, sudah cukup lihay, tapi sebab jumlah piauw terlalu banyak, maka tenaga menyambarnya sangat berkurang dan mudah dipukul jatuh.

Kali ini adalah lain.

Piauw itu bukan saja melesat dengan tenaga Lweekang yang sangat dahsyat, tapi jaraknya pun dekat sekali, sehingga Siangkoan Wan Jie terkesiap dan Ok- heng-cia kegirangan.

Tapi nona itu tetap tenang. la tersenyum tawar seraya berkata : "Hm......! Mutiara sebesar beras juga ingin memperlihatkan cahayanya. !"

Piauw menyambar terus, tapi ia tidak berkelit atau mengangkat tangan untuk menangkap atau menangkisnya dan selama ia bicara, senjata rahasia itu sudah hampir menyentuh dadanya. ! "

Semua orang mengawasi sambil menahan napas.

Pada detik yang sangat berbahaya, tiba2 saja, diluar taksiran semua orang, senjata rahasia itu berubah arahnya dan....... "tak......!", menancap didahan pohon tho yang berdekatan. !

Wan Jie mengawasi dengan mata membelalak dan mulut ternganga.

Hampir2 ia tak percaya matanya sendiri.

"Ciecie ini cantik bagaikan dewi," katanya di dalam: hati.

"Apa ia seorang dewi yang baru turun dari kayangan ? Manusia biasa mana mampu menangkis piauw itu tanpa bergerak ?"

Sebenarnya, si-jelita bukan tidak bergerak, hanya gerakannya tidak dilihat Wan Jie.

Apa yang diperbuat nona itu telah mengejutkan sangat hatinya Tok-sian-lie dan Ok-heng-cia, yaitu orang yang mempunyai kepandaian sangat tinggi dan sudah kawakan dalam dunia Kang-ouw.

Apa yang sebenarnya terjadi adalah, piauw itu berubah arahnya karena ditiup!

Lweekang semacam itu, lebih hebat daripada Lweekang Cek-yap-hui-hoa, sukar diukur bagaimana tingginya.

Tapi cara bagaimana seorang gadis yang masih berusia begitu muda, bisa memiliki tenaga-dalam yang begitu hebat ?

Inilah pertanyaan yang hampir tak dapat dijawab.

Tapi, meskipun sudah menyaksikan kelihayan sang lawan, kedua memedi itu tentu saja sungkan menyerah mentah2. "Siauw-moay-cu (adik) benar2 lihay," kata Tok-sian-Iie sembari tertawa.

"Sekarang biarlah aku yang meminta pelajaran."

la maju beberapa tindak dan waktu sudah berada sangat dekat dengan si-nona, tiba2 ia mengangkat tangan dan.... "srr......srr....... srr......", jarum2 yang sangat halus menyambar dari berbagai penjuru. !

Jarum2 itu yang besar jumlahnya sudah pasti tak bisa ditangkis dengan sekali tiup dan sebatang saja, kalau menancap dibadan si-nona, sudah cukup untuk mengambil jiwanya.

Bahwa Tok-sian-ke ditakuti dalam kalangan Kang-ouw, sebagian besar adalah karena jarum Touwhiat-sin-ciam itu.

"Siauw-moay-cu, awas.......!" serunya sambil tertawa nyaring dan maju lagi dua tindak seraya mengebas tangannya untuk memberi dorongan lebih keras kepada jarum2nya.

Si-nona berbaju biru sedang dikerubuti oleh Ok-heng- cia dan Tok-sian-lie. Pada detik yang sangat genting, mata si-memedi mendadak ber-kunang2 karena berkelebatnya sehelai sinar merah.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar