BAGIAN 52 : PERANG TANDING
Hwat Siau dan Swat Moay tertawa ter-kekeh2, ujarnya: "Wahai, apakah didunia ini terdapat hal yang begitu murahnya?"
"Habis, apa maksud kalian?" bentak Tio Jiang dengan gusar.
"Selekas kau katakan dimana letak 'kim-jiang-giok-toh' itu, selekas itu pula akan kubuka jalan darah siao-ah-thau itu!" Swat Moay menyahut dengan berbisik.
Usus emas perut permata atau kim-jiang-giok-toh yang dimaksudkan itu, serambut dibelah tujuhpun Tio Jiang tak tahu sama sekali. Maka terbeliaklah dia. Kala dia belum dapat menyahut, Yan-chiu sudah menyanggapinya: "Jangan mimpi kejatuhan rembulan! Jangan lagi tidak tahu, sekalipun tahu, tak nanti kami memberitahukan kepada kalian bangsa budak Ceng !"
Merah darah muka Swat Moay seperti kepiting direbus. "Kau tidak takut mati, ha?!" bentaknya.
Yan-chiu tertawa sinis, sahutnya: "Kaulah yang takut mati!!! Kalau tak menemukan 'kim-jiang-giok-toh' tuanmu pasti takkan memberi ampun padamu !" Kata2 yang terakhir itu, tepat sekali mengenai kandungan hati Swat Moay. Karena lama sekali Hwat Siau dan Swat Moay bersama ke 18 jagoan didaerah selatan tiada kabar beritanya, maka Sip-ceng-ong Tolkun segera mengutus Hek-bin-sin Ho Gak dan kawan2 menyusul dengan pesan: lain2 persoalan misalnya gerakan Thian Te Hui dan sebagainya tidaklah begitu penting. Tapi yang mutlak adalah soal harta karun peninggalan Thio Hian Tiong itu, harus didapatkan.
Maka dapat dibayangkan betapa gelisah hati kedua suami isteri itu karena Yan-chiu menolak keras untuk memberitahukan letak harta karun itu. Tapi sebagal kepala jagoan yang kenyang pengalaman, mereka tetap menguasai perasaannya.
"Ratakan Kong Hau Si, pasti akan ketemu. Apanya yang susah sih?" Swat Moay tertawa dingin.
Tapi mulut Yan-chiu yang tajam itu segera menusukkan lagi kata2 yang pahit: "Disini adalah daerah kekuasaan kerajaan Tay Beng, mana dapat kalian ber-suka2 sendiri ! Ayuh, kalau benar2 mempunyai kepandaian, mari unjukkanlah !"
Walaupun mulutnya menggarang, namun hatinya tak lepas dari kegoncangan. Tanpa disangka-sangkanya, perpesiarannya ke gereja Kong Hau Si itu telah mempunyai arti yang penting. Kiranya gereja agung itu menjadi simpanan dari harta karun yang menjadi buah bibir setiap orang. Mengingat betapa pentingnya hal itu terhadap kelangsungan gerakan Thian Te Hui menentang penjajah, Yan-chiu membuladkan tekadnya dan memperkecil harga jiwanya sendiri.
Swat Moay adalah kepala jagoan yang mempunyai kepandaian tinggi. Tapi dalam menghadapi keadaan yang sepenting itu, mereka tak berani sembarangan turun tangan. Jadi kedua fihak sama2 gelisah, yang satu kuatirkan kepandaian fihak lawan, yang lainpun takut2 kalau rahasia harta karun itu tetap tak diketahuinya.
Pada saat2 kedua fihak berdiam diri, tiba2 dari ujung ruangan sana tampak muncul seseorang. Mata Yan-chiu yang tajam segera dapat menangkapnya. "Kiau-jisiok!" serunya dengan girang.
Orang itu mengenakan ikat kepala warna putih hitam, sikapnya gagah dan memang tak lain adalah Kiau To.
"Siao Chiu, kaupun disini!" iapun segera menyahut dengan gembira. Tapi begitu tampak Hwat Siau dan Swat Moay berada disini, segera dia kerutkan alisnya.
"Hai, kiranya kedua saudara Song yang 'mulia' juga berada disini!" serunya sembari mencabut jwan-pian. Tanpa banyak ini-itu lagi, dengan jurus ceng-coa-jut-cui (ular hijau keluar keair) dan kuay-bong-jan-mo (ular melibat batu), dia segera menghantam kearah salah seorang dari rombongan Hwat Siau yang berada disamping situ. Orang itu tak keburu berkelit hingga kakinya kiri kena tergubat. Sekali Kiau To menyentakkan tangannya, orang itu segera terlempar keatas atap rumah, geluduk....., geluduk......
Berdasarkan dengan suara keras itu, muncullah sekawan hweshio. Demi menampak Kiau To, mereka segera menegur dengan serempak: "Kiau sicu, ada urusan apa?"
Kiau To dahulu adalah seorang murid hweshio dari gereja Liok Yong Si, jadi banyaklah para hweshio Kong Hau Si situ yang mengenalnya. Sebaliknya Kiau To pun cukup tahu bahwa walaupun gereja Kong Hau Si situ menjadi tempat pangkalan menetap Tat Mo Cuncia, tapi para hweshio gereja situ tiada seorangpun yang mengerti ilmu silat. "Harap kalian menyingkir saja. Orang2 itu adalah kawanan budak bangsa Ceng, satupun tak boleh diberi ampun !" sahut Kiau To.
Orang yang dilontarkan keatas atap rumah tadi, memang salah satu dari sisa ke 18 jagoan yang dipimpin oleh Hwat Siau. Dengan munculnya Kiau To, Hwat Siau dan rombongannya segera menduga bahwa rombongan Thian Te Hui dengan tokoh2nya seperti Kui-ing-cu, Ceng Bo siangjin, Kang Siang Yan dan lain-lain sudah tiba disitu. Cepat Hwat Siau bersuit keras selaku tanda, kemudian dengan dipeloporinya dia segera menerjang kemuka.
Sesaat tangan Hwat Siau menghantam kemuka, Kiau To segera rasakan dadanya sesak untuk bernapas. Tapi dengan empos semangatnya, Kiau To segera gunakan pangkal jwanpian (ruyung lemas) untuk menutuk jalan darah ki- bun-hiat didada lawan. Hwat Siau kisarkan tangannya kesamping untuk merebut ruyung.
Duapuluh tahun lamanya Kiau To melatih diri dalam permainan ilmu ruyung. Jadi ruyung itu se-olah2 menjadi bagian dari tubuhnya yang dapat digerak-goyangkan menurut sang kemauan. Disempurnakan lagi dengan ilmu ruyung Liok-kin-pian-hwat yang kaya dengan gerak perobahan sukar diduga itu, Kiau To laksana seekor harimau yang mempunyai sayap.
Gerakan Hwat Siau tadi memang sebat sekali, tapi mana dapat semudah itu dia hendak merebut ruyung Kiau To? Sekali tangan Kiau To menurun, tiba2 ruyung yang tegak lurus itu berobah mendatar untuk menyapunya. Maka betapapun lihaynya kepala jagoan pemerintah Ceng itu, namun dalam sesingkat waktu tak dapatlah dia lolos darl libatan -Kiau To. "Berpencar lolos!" kedengaran dia menyerukan kawannya.
Mendengar seruan itu swat Moay segera mendahului tampil kemuka, tapi Tio Jiang tak mau membiarkan begitu saja, lalu menghadangnya. Tahu bahwa dirinya bukan lawan wanita iblis itu, namun Tio Jiang tetap memburunya dengan mati2-an. Yan-chiupun tak mau berpeluk tangan. Begitu dia, merampas sebatang pentung dari salah seorang hweshio, ia segera main menyapu,
Ruangan disitu amat sempit. Tatkala Yan-chiu "menari" dengan pentungnya, rombongan Hwat Siau tak dapat pencarkan diri dan terpaksa terdesak diujung sudut. Dari kawanan kaki tangan pemerintah Ceng itu, rupanya sam- chun-ting Ciu Sim-i yang paling lincah, ketambahan pula tubuhnya kate kecil. Seperti kelinci menyusup, dia segera menobros di-sela2 kawannya dan serta sudah tiba dimuka terus menempur Yan-chiu dengan tan-to (golok).
Melihat ada lubang kesempatan, Hek-bin-sin Ho Gak enjot tubuhnya keatas. Pada saat2 dia merasa akan dapat mencapai wuwungan atap, se-konyong2 ada deru senjata mengaum diudara dibarengi dengan kilauan cahaya berkilat. Saking kagetnya buru2 dia surutkan kepalanya kebelakang, tapi tak urung segumpal rambut kepalanya telah terpapas. Mendongak keatas dilihatnya ada seorang wanita mencekal sepasang gelang kim-kong-lun. Gelang itu besar dan kecil, pada kedua lingkarannya, dalam dan luar terdapat gigi2 yang tajam.
"Siao-ko-ji (engkoh kecil), kemana perginya adikku?" serunya meneriaki Tio Jiang.
Ya, memang wanita itu bukan lain adalah Kim-kong-lun Ciok ji-soh, itu kakak ipar dari Lamhay hi-li Ciok siao-lan. Melihat itu, Swat Moay makin sibuk. Hantamannya dilancarkan ber-tubi2, hingga tubuh Tio Jiang menggigil dan saking tak tahannya segera menyingkir kesamping. Kesempatan itu tak di-sia2-kan Swat Moay. Sesosok bayangan hitam, berkilap loncat keluar.
Melihat isterinya sudah lolos, Hwat Siaupun segera bernapsu. Tiga-buah serangan dia lancarkan ber-turut2, Begitu Kiau To terdesak kesamping dia lalu menobros keluar.
Sam-chun-ting Ciu Sim-i mau tiru2. Kuatir dia kalau terpencil sendirian. Tapi saat itu Yan-chiu sudah kedengaran menyahut pertanyaan Ciok ji-soh tadi, serunya: "Ciok ji-soh, lebih dahulu bantuilah kami menghajar kawanan bangsat ini, nanti kukasih tahu padamu!"
Perangai Ciok ji-soh juga keras. Semua 'bajak dari lautan Lamhay sama memakluminya. Kalau tidak demikian, masakan seorang wanita macam ia, dapat mengepalai keluarga Ciok untuk merajai lautan situ? Dengan berseru keras, ia loncat turun....... wut.......... ia, hantam perut dan dada Ho Gak dengan gerak giok-tho-se-seng (kelinci kumala loncat kebarat).
Orang she Ho yang bermuka tembong itu, pun juga bukan orang lemah. Menyingkir kesamping, dia sudah siapkan sepasang poan-koan-pit (senjata macam alat pena pit). Tring......, dideringkannya sepasang pit itu satu sama lain, yang satu keatas yang lain menurun, masing2 menutuk jalan darah ing-hiang-hiat dan cui-hun-hiat si nyonya.
"Bagus!" seru Ciok ji-soh sembari tangkiskan kim- konglunnya. Tring......, kedua senjata itu saling berbentur. Seperti diketahui, lingkaran dalam dan luar dari gelang Itu mempunyai gigi tajam, gunanya untuk mengait senjata lawan. Begitu saling berbentur, ia segera putar tangannya lalu menarik se-kuat2nya seraya membentak keras2 : "Lepas!"
Tangan Ho Gak serasa kesemutan dan hampir dia lepaskan cekalannya. Tapi sebagai jago kawakan, dia tak mau menyerah begitu mudah. Dibiarkan saja pitnya itu ditarik, tapi disamping itu dia gerakkan pit satunya untuk menutuk jalan darah cui-hun-hiat lawan.
Menghadapi gerakan orang yang begitu. lihay, terpaksa Ciok ji-soh tak jadi mengait pit. Begitu empos semangat, ia mengisar kakinya dalam gerak chit-che-poh (langkah 7 bintang) menghindar. Kemudian ia kembangkan sepasang kim-kong-lunnya untuk berserabutan menghantam sepasang pit dari Hek-bin-sin Ho Gak yang hendak mengarah jalan darahnya itu. Begitulah kedua seteru itu terlibat dalam pertempuran seru.
Difihak sana, Kiau To masih heran memikirkan mengapa suami isteri Hwat Siau Swat Moay itu lari tunggang langgang untuk lolos. Diukur kepandaiannya, terang dia bukan lawan dari sepasang suami isteri itu. Sesaat dia ter-longong2 dan ketika tersadar dia segera tumpahkan kemarahannya kepada dua orang dari rombongan Hwat Siau yang masih berada disitu. Salah seorang dari mereka yang juga bersenjata jwan-pian, coba berusaha untuk menobros lolos. Tapi sekali membentak Kiau To telah membikin terkesiap orang itu. Membarengi itu, tahu2 jwan-pian Kiau To menyambar. Orang itu menjadi gelagapan, lalu gerakkan jwan-piannya untuk menangkis.
Kiau To tertawa dingin. Sekali membalik tangan, dia libatkan jwan-pan ke jwan-pian musuh. Begitu saling menggubat, Kiau To lalu menariknya kuat2. Orang itu terhuyung2 terjerumus kemuka. Sekali Kiau To menghantam kebatok kepala, tanpa bersuara lagi orang itu sudah tamat riwayatnya. Tapi walaupun mati, orang itu tetap mencekal jwan-piannya. Dan karena tadi sengaja Kiau To lepaskan jwan-pian untuk menghantam dengan pukulan tangan, maka jwan-piannya pun masih terlibat pada jwan- pian korban itu.
Kiau To mengawasi keaekeliling gelanggang. Dilihatnya disana Yan-chiu masih bertempur seru dengan Ciu Sim-i, sedang Tio Jiang tengah "bergumul" rapat dengan salah seorang yang bergegaman ho-chin-kao (gaetan tangan). Kiau To keisengan. Tubuh mayat orang yang bersenjata jwan-pian tadi diangkatnya, terus di-putar2 macam senjata untuk menyerang Ciu Sim-i.
Oleh karena menghadapi Yan-chiu yang hanya bersenjatakan pentung kayu, Ciu Sim-i berada diatas angin. Tapi baru saja dia hendak laksanakan niatnya untuk menobros keluar, tiba2 ada angin menyambar dari belakang. Dalam gugupnya dia berpaling kebelakang, hai, kiranya ada segumpal benda hitam besar melayang kearah dirinya. Dalam kegugupannya, tak dapat dia meneliti benda apakah itu, karena dia buru2 terus loncat kesamping. Tapi tepat pada saat itu, pentung Yan-chiu menyapu, auk......lambungnya kena, sakitnya bukan kepalang, tapi terpaksa dia tahankan dan terus hendak lari. Tapi pada detik itu, Kiau To menyongsongnya dengan sebuah hantaman.
Ciu Sim-i gregetan (marah). Dia babat tangan Kiau To dengan goloknya, sehingga Kiau To terpaksa tarik pulang tangannya. Membarengi itu Ciu Sim-i loncat menobros keluar. Tapi belum lagi kakinya menginjak tegak diatas lantai, Yan-chiu sudah memburu tiba. Sekali sodok, ujung pentungnya tepat mengenai jalan darah tay-meh-hiat dilambung orang, gedebuk ........ jatuhlah Ciu Sim-i mencium tanah. "Wah, begini lho!" berseru Kiau To memuji seraya tunjukkan jempol tangannya.
Yan-chiu hanya tersenyum pahit, terus menghampiri kearah Tio Jiang untuk mengepung orang yang bersenjata ho-chiu-kau tadi. Sedang Kiau Topun segera mendekati Ciok-ji-soh dan serunya: "Cok-ji-soh, kau mundurlah!"
"Ngaco!" bentak Ciok-ji-soh seraya deliki mata kepada Kiau To. Bukannya terima kasih, ia masih merasa terhina oleh Kiau To. Sepasang gelang kim-kong-lun diputar makin seru. Setiap gerakannya merupakan gerak serangan yang hebat. Oleh karena Ho Gak tiada hati untuk melawan sungguh2 hingga terlibat lama disitu, maka sibuk juga dia kini dibuatnya.
"Ai....., terhadap bangsa budak macam begini, tak usah pakai rasa sungkan memegang teguh kesopanan persilatan lagi. Dapat satu kita bunuh satu!" seru Kiao To melihat kesempatan sebagus itu. Dan tanpa menghiraukan perasaan Ciok ji-soh lagi, dia segera julurkan jwan-piannya macam seperti pit untuk menutuk jalan darah jip-tong-hiat dipunggung Ho Gak.
Jip-tong-hiat, merupakan jalan darah berbahaya dari tubuh orang. Ho Gakpun cukup mengetahuinya. Tapi celakanya, dia sedang diburu oleh Ciok ji-soh. Dengan sepasang gelang roda yang bergigi tajam, nyonya itu seperti orang kerangsokan setan, hingga dia tak dapat menghindar dari tutukan Kiau To tadi. Huk....., jantungnya serasa berhenti berdetak ketika ujung ruyung Kiau To tepat mengenai jalan darah berbahaya itu. Tanpa kuasa lagi, tubuhnya terjerembab jatuh kemuka. Justeru pada saat itu Ciok ji-soh tengah lancarkan serangan thui-jong-ong-gwat (mentiorong jendela melihat rembulan). Separoh bagian lebih dari kum-kong-lun telah bersarang didada Hek-bin-sin Ho Gak. Darah menyembur keluar dan jiwanyapun melayang keakherat.............
Waktu membantu sukonya tadi, Yan-chiu sudah lantas gunakan ilmu gong-chiu toh-peh-jim (dengan tangan kosong merampas senjata musuh). Ilmu itu ajaran dari Tay Siang Siansu, terdiri dari 6 jurus. Orang itu kesima heran melihat Yan-chiu "menari", tapi pada lain saat dia segera menjadi gelagapan ketika tahu2 senjatanya ho-chiu-kau pindah ketangan sinona.
Sebenarnya tak tahu Yan-chiu akan ilmu permainan senjata ho-chiu-kau itu. Tapi demi melihat bentuk senjata gaetan itu, kecuali ujung melengkung dan berbentuk seperti bulan sabit, hampir menyerupai dengan pedang biasa, maka begitu merampas segera pindahkan ho-chiu-kau itu ketangan kiri (ilmu pedang boan-kang-to-hwat ajaran Kang Siang Yan dimainkan dengan tangan kiri). Sekali ia lancarkan gerak kut-cu-tho-kang, ujung ho-chiu-kau itu sudah menowel betis orang itu. Berbareng pada waktu itu, Tio Jiang telah merangsang dengan salah satu jurus hong- cu-may-ciu yang disebut "keringkan lagi 3 cawan". Jalan darah tay-kay-hiat orang itu terkena tutukan Tio Jiang. Sedang membarengi dengan itu Yan-chiu susuli dengan sebuah hantaman. Tak ampun lagi dada orang itu menjadi "amblong"
Jadi hanya dalam waktu setengah jam, 4 orang jagoan rombongan Hwat Siau telah ber-turut2 dikirim keakhirat. Teringat bahwa dirinya telah menjadi korban dari siksaan Hwat Siau dan Swat Moay, Yan-chiu tumpahkan kebenciannya kepada Ciu Sim-i. Dengan mencekal ho-chiu- kau ia berlari2an menghampiri Sam-chun-ting Ciu Sim-i, lalu hendak mengeraplang batok kepalanya. Tapi buru2 dicegah Kiau To: "Siao Chiu, jangan!"
"Kenapa?!" tanya Yan-chiu...... ”Tinggalkan sebuah mulut yang dapat kita tanyai keterangan!" sahut Kiau To.
Yan-chiu mengiakan. Setelah mengambil napas sejenak, baru dia bertanya pula: "Kiau-jisiok, bagaimana kau bisa tiba kemari?"
"Ah, panjang nian ceritanya!" sahut Kiau To. Dia pesan para hweshio disitu supaya mengurusi korban2 tadi, kemudian dengan sebelah tangan dijinjingnya tubuh Ciu Sim-i kekamar hweshio. Disitu barulah dia menuturkan apa yang terjadi di Giok-li-nia.
Mendengar bahwa kedua kaki The Go sudah dikutungi, Tio Jiang dan Yan-chiu menghela napas. Bukan karena kasihan pada si Cian-bin Long-kun tapi karena turut memikirkan perasaan Ciok Siao-lan apabila tiba di Giok-li- nia dan menampak keadaan sang kekasih. Ah, betapa pilu hati nona hitam manis itu !
"Ah, biarlah budak itu hatinya terguyur air dingin!" ujar Ciok-ji-soh.
Kiau To buru2 menanyakan halnya dan diapun turut menghela napas setelah tahu peraoalan Ciok Siao-lan itu. Yan-chiu dan Tio Jiang masing2pun menceritakan pengalamannya selama itu. Teringat akan kejadian yang menimpa diri Yan-chiu, dengan air mata ber-linang2 berkatalah Tio Jiang: "Siao Chiu, apakah kau benar2 hanya tinggal 3 hari saja hidup? Ah, kukira kau hanya bergurau saja !"
Yan-chiu tertawa getir. "Tiga hari terus menerus selalu didampingmu, cukuplah sudah rasanya. Apa yang patut disedihkan?" Mulutnya mengucap begitu, tapi hati Yan-chiu hancur di-remas2. ”Kalau demikian halnya, 'kim-jiang-giok-toh' itu tentu berada dalam Kong Hau Si sini! Belasan ribu saudara di Lohu-san telah minta tolong pada kerajaan Lam Beng, tapi raja rupanya tak menghiraukan. Sebenarnya kita masih ada setitik harapan untuk minta bantuan Li Seng Tong. Namun disebabkan soal Ciok Siao-lan, dia tentu timpahkan kemarahannya kepada kita. Kini masih pentinglah artinya harta karun itu bagi gerakan kita!" Kiau To alihkan pembicaraan. "Walaupun lolos, tapi dipercaya Hwat Siau dan Swat Moay itu tentu kembali kesini lagi. Entah apakah mereka juga sudah mencium bau tentang tempat harta karun itu?" ujar Tio Jiang.
"Ah, mudahlah!" sahut Kiau To terus memijat lambung Ciu Sim-i hingga yang tersebut belakang itu mengerang kesakitan. Tapi setelah Kiau To menampar mulutnya, orang itu tak berani berteriak lagi.
"Sebenarnya dimanakah letak kim-jiang-giok-toh itu, ayuh lekas bilang!" bentak Kiau To.
"Di Kong Hau Si sini, tapi entah terletak dibagian mana!" sahut Ciu Sim-i. "
"Huh, masih berani membangkang!" kembali Kiau To membentaknya dengan bengis.
"Kau tentu menyiksa aku, kalau benar tahu sungguh2 mengapa aku tak mau mengatakan?" sahut orang she Ciu itu dengan wajah minta dikasihani.
Melihat itu, Tio Jiang segera menyela: "Tadi Hwat Siau dan Swat Moay mau membayar jiwa Yan-chiu asal ditunjuki tempat harta itu. Jadi terang mereka belum tahu juga. Ah......., alangkah baiknya kalau kita mengetahui tempat tempat itu! Sungguh kurela menukarkan rahasia tempat itu dengan jiwa Yan-chiu, asal ia bisa hidup terus!" Kiau To juga merasa sayang tak tahu tempat itu. Sebaliknya Yan-chiu tak setuju.
"Kiau-jisiok, suko, kalian ini bagaimana? Dengan mendapatkan harta karun itu, belasan saudara Thian Te Hui akan mendapat ransum cukup dan dapat menahan serbuan tentara Ceng ke Kwiciu. Bukantah jutaan rahayat akan tertolong? Pantaskah selembar jiwaku ini berharga lebih dari sekian banyak orang?"
Kiau To dan Tio Jiang pilu mendengarnya. Memandang kewajah sinona itu, sifat ke-kanak2-annya masih jelas kelihatan. Tapi bahwasanya ia dapat mengucap kata2 sedemikian luhurnya itu, tentulah buah gemblengan Ceng Bo siangjin.
Su Go-hwat, Bun Thian-siang dan lain-lain pahlawan, dijunjung dan diagungkan karena memiliki sifat2 ksatryaan yang luhur. Namun kalau teringat akan diri sinona yang masih begitu muda-belia, kedua orang itu tak tega melihati ia sampai binasa.
Tanpa terasa butiran air mata ber-ketes2 turun dari pelapuk mata Tio Jiang. Lama kelamaan, Yan-chiupun tak kuasa lagi menahan kesedihannya. Ia segera jatuhkan kepalanya kedada sang suko dan pecahlah sedu sedannya mengiring hamburan air matanya ..........
”Hai, sudahlah jangan menangis. Aku tak percaya kalau dikolong dunia ini tiada orang yang dapat membuka jalan darahmu itu. Lebih perlu berusaha menolong jiwanya daripada mati2an mencari harta itu!" seru Ciok ji-soh. Ia seorang wanita keras, tapi menghadapi suasana yang sedemikian merawankan, iapun tak tega.
"Andaikata kita berhasil menemukan harta itu, kita rela membagi separoh bagian asal Hwat Siau mau menolongi jiwa Yan-chiu. Rasanya kalau Bek-heng berada disini, diapun tentu akan memutuskan begitu!" kata Kiau To. Dia hanya turuti perasasn hatinya terhadap Yan-chiu. Seorang macam Hwat Siau dan Swat Moay, mana mau diberi separoh bagian saja? Bukantah dengan begitu Thian Te Hui akan tetap berdiri?.
Akhirnya karena tak dapat memikir lain daya, Tio Jiang menanyakan tokoh2 achli tutuk yang termasyhur didunia persilatan.
"Sudah tentu Ang Hwat cinjin dari Ang Hun Kiong. Tapi tempat itu sedemikian jauhnya, kira2 perjalanan 3 hari baru sampai kesana!" sahut Cio ji-soh.
Kiau To menghela napas, ujarnya: "Ang Hun Kiong sudah diledakkan oleh kaki tangan pemerintah Ceng. Ang Hwat cinjin entah menghilang kemana. Sedang suhuku juga tak ketahuan beradanya. Kedatanganku ke Kong Hau Si ini, juga mencarinya. Ah. , hanya 3 hari waktunya!"
"Habis, bagaimana nih!" dalam kecemaean Tio Jiang sampai tak lampias suaranya.
"Ai, sudahlah, usah ribut2! Mati hidupku ini tak penting, yang terutama kita harus berusaha mencari tempat harta itu!" ujar Yan-chiu dengan tenang. Ketenangan itu diperoleh selama hampir satu tahun ia dicengkeram oleh Hwat Siau dan Swat Moay itu.
Rupanya peringatan itu menyadarkan Kiau To dan Tio Jiang. Memang adakah nantinya harta itu diangkut semua ke Lo-hu-san atau untuk barter dengan nyawa Yan-chiu, tapi yang perlu harta itu harus diketemukan dulu! Lebih dulu Kiau To menutuk jalan darah si Ciu Sim-i, kemudian dia menanyai keterangan pada hweshio yang sudah puluhan tahun tinggal di Kong Hau Si situ. Tapi mereka semuanya sama menggeleng tak tahu. Hanya Ti-khek-ceng (hweshio penyambut tetamu) mengatakan bahwa ada belasan orang datang menginap digereja situ sampai hampir 3 bulan lamanya. Bertalian dengan harta karun itu, kini hweshio itu baru timbul kecurigaannya terhadap orang2 itu. Tapi pada hakekatnya, Kiau To tak dapat pengunjukan apa2 dari keterangan itu. Dia pesan pada hweshio bagian pengurus gereja, bahwa kalau terjadi apa2 yang mencurigakan, supaya lekas2 memberitahukan padanya. Setelah itu Kiau To lalu ajak kedua anak muda itu kembali kedalam kamar. Begitupun Ciok ji-soh.
"Rombongan orang yang disebut oleh Ti-khek-ceng itu, tentulah membawa barang2 berharga. Karena simpanan harta itu disebut kim-jiang-giok-toh, maka tentu berada didalam patung. Setiap patung arca besar kecil harus kita periksa. Ayuh, kita berpencar mencarinya, masakan tak dapat?" Yan-chiu mengobarkan semangat yang disambut, dengan baik oleh ketiga kawannya.
Tapi baru mereka hendak bergerak, tiba2 terdengar orang hiruk pikuk berteriak2: "Ada pencuri! Ada pencuri!"
Ketika keempat orang itu keluar menanyakan, ternyata diloteng tempat penyimpan kitab2 (perpustakaan) telah terjadi pencurian sejumlah besar kitab2 gereja. Dugaan bahwa Hwat Siau dan kawan2 tentu tak mau sudah dan kini coba2 men-cari2 diruang perpustakaan itu, diakui kebenarannya oleh keempat orang itu.
Sedemikian besarnya gereja Kong Hau Si itu tapi sedemikian kecil jumlah mereka berempat. Walaupun Hwat Siau dan Swat Moay, hanya dua orang, tapi mereka berempat terang bukan tandingannya. Namun kalau melapor ke Lo-hu-san, berarti akan kurang seorang tenaga lagi. Karena keadaan sangat mendesak, akhirnya diputuskan mereka akan berjoang mati2an untuk berebut dengan lawan. Sudah tentu dalam perebutan itu tak terbatas pada ilmu silat saja, tapi pun harus mengandalkan kecerdasan otak. Artinya siapa yang lebih dahulu menemukan tempat harta itu, dialah yang menang.
Begitulah tanpa terasa tahu2 hari sudah malam. Setelah mengisi perut, mereka lalu mulai berpencar mencari. Nanti tengah malam akan balik berkumpul lagi diruangan situ.
Kiau To lebih faham akan keadaan gereja situ, maka dia segera membentangkan peta letak seluruh tempat gereja itu kepada Tio Jiang bertiga. Dia sendiri lalu berniat hendak menyelidiki ruang Tay-hiong-po-tian, Ciok ji-soh ke ruang Ka-lan-tian yang terletak disebelah jendela timur dari Tay- hiong-po-tian, Yan-chiu keruang Lo-han-tong sedang Tio Jiang menyelidiki Swi-hud-kek, Hong-boan-tong. dan lain- lain. Apabila berpapasan dengan musuh dan perlu bantuan supaya bersuit. Habis mengatur pembagian tugas, mereka berempat mulai bekerja.
---oodwkz0tahoo--- Pertama, marilah kita ikuti Kiau To.
Tiba diruang Tayhiong-po-tian, didapatinya penerangan disitu masih terang benderang, asap dupa ber-kepul2. Para hweshio tengah melakukan latihan sembahyang dan membaca kitab. Dikedua sisi arca Hud (Buddha) yang besar, ber-jajar2 para hweshio. Suara bok hi (dua potong kayu alat sembahyang), kedengaran berbunyi terus menerus.
Dengan ber-indap2 Kiau To segera enjot tubuhnya keatas altar (persada) kayu yang berada dikedua samping dari 5 paturig malaekat. Patung malaekat itu menurut cerita Hong Sin, adalah keempat saudara yakni Mo Le-hong, Mo Le-ceng, Mo Le-hay dan Mo Le-siu. Setelah meninggal, mereka dijadikan malaekat oleh Kiang Cu Ge, masing2 ada yang membawa pedang, pipeh (harp), payung dan ular yang melambangkan kegarangan senjata, kehalusan musik, kebesaran alam (hujan) dan ketaatan. Pada setiap gereja besar, tentu terdapat keempat malaekat penjaga itu. Sebelum gereja Kong Hau Si menderita kerusakan akibat pendudukan serdadu2 yang berperang, keempat patung malaekat kim-kong Itu tak kurang dari 2 tombak tingginya.
5
Dengan ber-indap2 segera Kiau To melompat kepanggung arca itu buat memeriksa patung2 yang disangka tempat penyimpanan harta karun itu.
Ketika tangan Kiau To agak keras menekan, maka terasalah patung itu berguguran. Dia mengira kalau patung2 itu terbuat dari tanah, tapi ketika diketuknya dengan jari ternyata suaranya seperti kayu. Terang kalau disitu tiada terdapat sesuatu apa. Begitulah dalam sekejab saja, keempat patung telah diperiksanya dengan teliti. Perbuatan itu dilihat juga oleh beberapa hweshio, tapi mereka tak berani mencegahnya karena diperingatkan oleh Kiau To.
Patung besar kecil seisi ruangan situ itu habis diperiksa, seluruhnya, tapi tiada terdapat sesuatu apa. Ketika dia hendak berlalu, tiba2 terlihat ada salah seorang hweshio tundukkan kepala hingga sampai mengenai dada. Oleh karena yang lain2 tak begitu, maka timbullah kecurigaan Kiau To. Tapi dalam suasana seperti itu, tak dapatlah dia bertindak secara gegabah, memeriksa muka orang selagi para hweshio tengah bersembahyang. Maka lebih baik dia dekati saja. Tapi baru saja berjalan beberapa tindak, hweshio tadi sudah melenyapkan diri. Kejut Kiau To tak terhingga. Hwat Siau dan Swat Moay masih belum tinggalkan tempat itu, kalau saja hweshio itu tadi penyaruan salah satu dari mereka, wah tentu repot juga.
Cepat Kiau To melangkah keluar untuk menuju keruang Ka-lan-tian. Disitu tampak Ciok ji-soh tengah berdiri dibahu sebuah arca Buddha. Kiau To memberi peringatan dengan bisik2 bahwa Hwat Siau dan Swat Moay menyaru jadi hweshio. Setelah itu dia ber-gegas2 menuju keruang Lo- hantong untuk memberitahukan juga pada Yan-chiu.
Ruang Lo-han-tong itu terletak di-tengah2 gereja situ. Begitu masuk, Kiau To dapatkan suasana disitu agak luar biasa. Penerangannya suram, sedang patung Kim-lo-han yang terdapat disitupun aneh tampaknya. Tapi Yan-chiu tak kelihatan bayangannya. "Siao Chiu, Siao Chiu!" bisiknya memanggil nona genit itu sembari mengelilingi ruangan tersebut. Tapi tiada penyahutan sama sekali.
"Huh, kemana perginya budak perempuan itu?" Kiau To ber-sungut2. Baru dia hendak tinggalkan ruang itu, tiba2 serasa ada angin dingin menyambar. Dan berbareng itu, terdengar suara "bluk......" dan padamlah ruangan Lo-han- tong itu menjadi gelap gelita.
Sudah tentu Kiau To gelagapan. Terang kalau perbuatan itu bukan Yan-chiu yang melakukan tapi kemungkinan besar tentu Swat Moay atau Hwat Siau. Lekas2 dia menyelinap kesamping, bersembunyi dibelakang patung Lo- han. Sekejab saja matanya sudah menguasai keadaan disitu dan samar2 tampak ada sesosok bayangan hitam loncat kian kemari ber-putar2. Gerakannya sebat sekali. Entah apa yang dilakukan-nya itu.
Kiau To biarkan saja kejadian itu berlangsung sampa3 sekian saat. Se-konyong2 diluar ruangan sana terdengar derap kaki. Tiba diambang pintu, terdengarlah suara seruan "......hi" Dari nada suaranya, itulah Yan-chiu. Mendengar itu bayangan tadi buru2 melesat bersembunyi dibalik salah sebuah patung lainnya. Tersirap darah Kiau To menyaksikan hal itu. Kalau saja Yan-chiu masuk, terang ia bakal celaka. Baru dia (Kiau To) mengambil keputusan hendak nyalakan api lampu tiba2 terdengar orang berseru: "Jangan lari!"
Yan-chiu tak jadi masuk, tapi dalam pada itu diatas genteng terdengar suara injakan kaki orang. Kiau To kuatir kalau2 terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan. Sesaat dia sudah terus hendak menyusul keluar tapi pada lain saat ter- kilaslah dalam pikirannya jangan2 didalam ruangan situ benar2 terdapat sesuatu rahasia, maka dia urungkan niatnya dan menantikan perkembangan selanjutnya. Tapi hampir setengah jam lamanya, tetap keadaan masih sunyi2 saja. Kalau tak mengingat betapa gawatnya urusan itu, turut perangainya, tadi2 dia tentu sudah memberosot keluar.
---oodakz0tahoo---
Kita, tinggalkan dulu Kiau To dan marilah kita ikuti Ciok ji-soh. Setelah mendapat kisikan dari Kiau To, Ciok ji- soh lalu tinggalkan ruangan situ menuju keruang Liok-cou- tian. Begitu masuk, ia terpesona melihat patung Liok-cou yang terdapat diruangan situ.
Arca Hui Leng, Liok-cou (soko guru angkatan ke-6) dari agama Buddha yang terbuat daripada bahan tanah liat, sudah banyak kali Ciok ji-soh melihatnya diberbagai gereja. Tapi yang mirip seperti "hidup", baru sekali ini ia menyaksikannya. Tulang belulang dari tubuhnya yang sedemikian kurus, sebuah demi sebuah tampak dengan nyatanya. Sedang matanyapun tampak ber-kilau2an memandang kearahnya: Walaupun sudah banyak pengalamannya sebagai kelana dunia persilatan, namun Ciok ji-soh tetap seorang wanita yang percaya akan agama. Melihat keangkeran Liok-cou tersebut, iapun merasakan kerendahan hati. Maka serta merta ia membungkuk memberi hormat dengan chidmat, serunya: "Siao-li-cu Ciok ji-soh, apabila terdapat kesalahan2 terhadap Posat, sudilah memberi ampun !" "
Habis berdoa, baru ia berani mendekati untuk menusuk dengan jari. Astaga, benar2 ia terkejut bukan kepalang. Tusukan jarinya tadi mengeluarkan bunyi seperti menusuk kayu lapuk. Ai, tentulah Liok-cou murka ni, demikian pikirnya lalu buru2 keluar. Tiba diambang pintu, hatinya kepingin sekali lagi melihat patung itu dan menoleh ia, hai
....... tring, ....... tring, sebat sekali ia siapkan sepasang gelang kim-kong-lunnya !
Kiranya patung Liok-cou Hui Leng itu sudah berobah keadaannya. Jelas tadi dilihatnya bahwa patung itu mengenakan pakaian warna kelabu (dari tanah), tapi mengapa kini berobah menjadi jubah warna putih. Benar tulang2 dadanya masih nampak dengan jelas, tapi pancaran sinar matanya sudah lain.
"Siapa yang main gila itu ?!" seru Ciok ji-soh dengan setengah berbisik. Oleh karena sampai sekian saat tiada penyahutan, iapun segera masuk kembali untuk menutuk patung itu lagi. Dan ternyata bunyinyapun tak sama lagi.
Sayang ia terlalu dipengaruhi oleh rasa kesujutan. Diam2 ia mengira perbuatannya tadi telah membuat amarah Liokcou, sehingga menimbulkan kejadian luar biasa seperti itu. Maka buru2 ia tinggalkan tempat itu untuk mendapatkan Kiau To. Tapi baru melalui dua buah ruangan samping, didengarnya suara orang bertempur diatas genteng. Ketika mengawasi keatas, dilihatnya Yan- chiu tengah bertempur dengan seseorang yang bertangan kosong.
Tanpa berayal lagi, Ciok ji-soh terus loncat keatas genteng. Dan tanpa menanyakan apa2 lagi, ia terus menyerang dari belakang. Orang itu terjepit, antara pedang dan kim-kong-lun. Tapi ternyata dia bukan makanan empuk. Dengan tangkasnya dia menurunkan tubuh dan menyelinap kesamping. Kalau Ciok ji-soh tak lekas2 menahan kimkong-lunnya, pasti akan berbenturan sendiri dengan pedang Yan-chiu. Kala menginjak tepian payon, tampak payon itu cekung kebawah tapi tak sampai roboh. Dan membarengi dengan tenaga injakannya itu, orang tadi laksana burung waled sudah loncat turun dan menghilang dalam kegelapan.
6
Baru saja Ciok ji-soh keluar, segera dilihatnya Yan-chiu sedang bertempur dengan seorang diatas genteng, cepat iapun melompat Keatas untuk membantunya. "Nona Yan, siapakah orang itu?" tanya Ciok ji-soh.
"Aku sendiripun tak melihatnya jelas, tapi dia memakai dandanan seperti seorang hweshio dan mukanya memakai kerudung. Apakah kau mendapat hasil?" sahut Yan-chiu balas bertanya.
"Ai, sial benar. Tidak berhasil menemukan suatu apa bahkan telah membuat Liok-cou gusar!" kata Ciok ji-soh lalu menuturkan kejadian yang dialamin ya tadi.
"Akupun nihil. Baru hendak masuk keruang Lo-han- tong, lampunya sama padam. Diluar pintu seperti ada orang mengejar, lalu aku menyongsongnya, tapi tiada tampak seorangpun jua. Ketika aku hendak balik masuk kedalam ruangan itu lagi, tahu2 ada angin pukulan menyambar dari belakang. Aku dipikatnya keatas genteng. Rupanya kepandaiannya lebih unggul dari aku. Sewaktu kau datang, dia segera ngacir tadi itu!"
Keduanya sama heran, tapi tak dapat memecahkan rahasia kejadian tadi. Kala itu sudah tengah malam dan Ciok ji-soh segera ajak Yan-chiu pulang lagi kekamarnya saja.
"Dengan menyelidiki cara begini, susahlah kita mendapat hasil. Tadi Kiau loji mengatakan Hwat Siau dan Swat Moay menyamar jadi hweshio, disamping itu ada lain orang lagi yang mengacau dibelakang layar. Baik kita rundingkan lagi siasat untuk menghadapi mereka!" kata Ciok ji-soh.
Tak lama setelah mereka berdua tiba dikamar, Kiau To pun datang.
"Aneh....., aneh......! Terang dalam ruang Lo-han-tong terdapat seorang yang bersembunyi, tapi berulang kali kuhardiknya dan 3 buah batu kulemparkan ternyata tiada barang seorang manusia pun disitu!" Kiao To menerangkan dengan menggerutu.
"Ah, kalau bukan si Hwat Siau dan Swat Moay siapa lagi. Baik kita tunggu kedatangan suko saja!"
Tapi hampir lewat tengah malam, tetap Tio Jiang belum muncul.
(Oo-dwkz-tah=oO)