Naga dari Selatan BAGIAN 50 : HALILINTAR DI SIANG HARI

 
BAGIAN 50 : HALILINTAR DI SIANG HARI

Hwat Siau sedikitpun tak merasa sayang akan nasib orang muda itu. Itulah upahnya orang yang suka berhamba pada kaum penjajah, pikirnya.

"Benar dengan penghianat ini aku belum pernah bercidera, tapi karena dia telah melakukan perbuatan merugikan rakyat, memimpin tentara Ceng masuk kewilayah Swiciu, mencelakai tiga laksa saudara2 Thian Te Hui digunung Gwat-siu-san, melakukan penggeropyokan pada ke 72 markas Hoasan dan lain2 kejahatan, maka kalau manusia macam begitu tak disirnakan, kita bangsa Han tentu tiada punya muka lagi. Nah, silahkan siapa saja saudara yang hendak mulai turun tangan!" seru Hwat Siau dengan tertawa dingin.

Gegap gempita sekalian orang menyambut pernyataan Hwat Siau yang "ksatrya" itu. Dan sekali melesat, tampillah Thaysan sin-tho Ih Liok, Dia menyiakkan orang2 itu kesisi untuk memberi jalan. Sebagaimana telah kita ketahui, ketika di Hoasan dia diselomoti mentah2 oleh The Go, dia telah memapas kuntung jari kirinya selaku sumpah: "Kalau tak dapat mencincang lebur tubuh The Go, biarlah luka jarinya itu busuk rusak!"

Bahwa kini kesempatan untuk melaksanakan sumpahnya itu terbentang di depan mata, telah membuatnya beringas seperti harimau lapar melihat kambing. Dengan meringis berikeriyutan macam srigala mengunjukkan taring, setindak, demi setindak dia maju menghampiri kearah The Go. Sepasang matanya ber-api2. Dalam keadaan begitu, segala kecerdaaan dan akal siasat yang dimiliki Cian-bin Long-kun, sia2 semua. Kedua tangannya diikat, jalan darah pembisu ditutuk. Masih dia kerahkan seluruh lwekangnya untuk berseru keras menelanjangi keadaan diri Hwat Siau yang aseli, namun tak berdaya. Suaranya tak mau keluar. Dan yang  nyata, disebelah muka sana tampak si Bongkok, dengan sorotan mata buas, jari tangan kiri yang kuntung, ber-indap2 mendatangi seperti hendak menelannya hidup2.

Sesal kemudian tak berguna. Rupanya pepatah ini diakui kebenarannya oleh The Go. Pada detik2 kematian meregut itu ter-bayang2 perbuatannya dimasa lampau yang penuh berlumuran dosa itu. Taruh kata saat itu dia kuasa berseru unttk membuka kedok Hwat Siau, rasanya tiada  seorangpun yung mau mempercayainya. Memang setiap kejahatan itu tentu menimbulkan penyesalan dikemudian hari, tapi sesal kemudian tak berguna, demikian bunyi pepatah diatas.

Yang lebih mengesan dalam lubuk kenangannya pada detik2 terakhir itu, yalah diri Bek Lian. Bagaimana bahagia hari2 berdampingan dengan sijelita itu, dan bagaimana tulua ichlas nona itu mempersembahkan kasihnya, tapi ah, bagaimana pula kejamnya dia menghancurkan hati nona itu hingga  kandungann  ya  sampai  hampir  gugur.  Dan  ai.   ,

Ciok Siao-lan, sihitam manis yang ter-gila2 padanya itu, telah dia persakiti tubuh  dan hatinya, "Chuh". tahu2

segumpal ludah menampar kemukanya. Itulah semburan Ih Liok yang walaupun hanya dengan air ludah tapi cukup membuat The Go nyeri kesakitan hebat, seperti dikebut dengan sapu kawat. Seketika mukanya ber-gurat2 mengeluarkan darah. Dia cukup sadar bahwa dengan jatuh ditangan musuh macam  si  Bongkok,  dia tentu  mengalami siksaan yang maha hebat. Tapi dalam keadaan seperti saat itu, apa daya? Dia meramkan kedua mata paserah nasib.

Si bongkok deliki mata memandang sejenak padanya dan timbullah keheranannya. Biasanya The Go itu seorang seorang pemuda yang tangkas bicara, mengapa saat itu membisu saja? Adakah dia sudah bertobat? Tapi apa peduli. Berpaling kebelakang,dia berseru: "Saudara yang manakah suka meminjami aku sebilah pisau untuk membelek hati bangsat ini. Coba kita lihat bagaimana warnanya!"

3

"Chuh" tiba2 The Go dipersen ludah oleh si Bongkok Ih Liok, berbareng baju si pemuda dirobek dan belati siap mencingcang tubuh The Go yang culas itu.

Serentak Ceng Bo mencabut yap-kun-kiam untuk diserahkan, tapi Ih Liok menolaknya: "Pedang ini terlampau tajam, sekali dodet sudah selesai. Itu terlalu enak baginya. Aku maukan sebilah yang tumpul, supaya dapat men-dobet2nya sampai lama!"

Ceng Bo sebenarnya kasihan juga, tapi karena sekalian orang mengunjuk kemurkaan, jadi diapun tak berani melarangnya. Pada lain saat ada  seorang yang mengantari Ih Liok sebatang pedang pendek, terbuat daripada besi biasa.

"Bagus, inilah yang cocok!" seru si Bongkok. Berputar kearah The Go dia berkata: "Orang she The, tahukah kau entah berapa banyak jiwa yang melayang ditanganmu? Kalau hanya mengganti selembar jiwa, apakah kau masih tidak terima?"

Dari kerut wajahnya yang gelisah ketakutan, dapat diketahui bagaimana perasaan hati The Go saat itu. Namun tetap dia tak dapat berkata apa2. Tadi semprotan ludah si Bongkok, telah membuat mukanya berlumuran darah, hingga dari seorang pemuda tampan kini dia berobah menjadi simuka merah. Namun mencari jalan hidup adalah pembawaan setiap insan. Dalam kebingungannya itu, dia telah memperoleh selarik sinar harapan. Atas pertanyaan si Bongkok "apa kau masih tidak terima" tadi, dia mengangguk dua kali, sembari mengawasi kebawah.

Ih Liok heran, lalu melihat kebawah kearah yang diawasi The Go. Ternyata kaki kanan The Go tengah ber-gerak2 seperti menulis sesuatu. Tapi karena tanah disitu merupakan batu padas, jadi apa yang dituliskan itu tak dapatlah si Bongkok mengetahuinya. Memang bermula si Bongkok agak tertegun memikirkan, tapi demi teringat sudah berapa kali dia makan getah dari siasat orang muda yang selicin belut Itu, tak mau dia menghiraukannya lagi.

Cret............, ujung pedang pendek itu menikam bahu The Go. Begitu dicabut, darah menyembur keluar. Saking sakitnya, hampir pingsan The Go dibuatnya.

“Tikaman kesatu!" seru si Bongkok.

Karena si Bongkok tak menghiraukan tulisan kakinya tadi, habislah sudah harapan The Go. Dengan mata melotot dia deliki suami isteri Hwat Siau Swat Moay, tapi kedua orang itu tetap tenang2 saja se-olah2 seperti tak kejadian suatu apa. Ea Liok angkat tangann ya hendak melancarkan tikaman yang kedua, saking tak tega berserulah Ceng Bo: "Ih-heng, lekaslah habisi saja nyawanya!"

Belum si Bongkok menyahut atau dari lamping gunung sana terdengar hiruk pikuk suara orang ber-teriak2. Lama2 dengan cepatnya suara gaduh itu menjalar kepuncak dan berbareng itu laksana kilat sesosok bayangan hitam meluncur datang. Belum sempat sekalian orang melihat siapakah orang itu, siorang sudah mendahului berteriak dengan nyaring: "Tahan!", kemudian terus memburu kearah si Bongkok untuk merebut pedangnya tadi.

Si Bongkok melawan dan barulah mengetahui kalau lawannya itu bukan lain adalah Kang Siang Yan. Dia turunkan pedang kebawah terus dibabatkan. Tapi tanpa berkisar kaki, Kang Siang Yan miringkan tubuhnya sedikit, lalu julurkan tangan untuk menerkam siku si Bongkok. Keduanya bertempur rapat.

Disana, Ceng Bopun cepat dapat mengenal bahwa yang datang itu adalah isterinya. Dia terperanjat disamping mengeluh atas seruan isterinya tadi, yang terang hendak memenolongi The Go lagi. Beberapa kali dia gagal membunuh pemuda penghianat itu karena pada. detika terakhir, isterinya selalu datang mencegah. Ah......, biar bagaimana kali ini harus diselesaikan, jangan sempat gagal lagi. Dikala sang isteri masih sibuk melayani si Bongkok, cepat dia memburu kearah The Go dan menabas

......................

Walaupun kepandaian Kang Siang Yan lebih unggul dari si bongkok, namun dalam tiga empat gebrak sukarlah untuknya mengalahkan. Waktu melihat suaminya lari menghampiri The Go, ia sudah was-was. Begitu tangan Ceng Bo diangkat, ia pun segera lontarkan gumpalan benda yang semula sudah dikepitnya tadi.

Bermula Ceng Bo tak menghiraukannya benda apa yang diIontarkan isterinya itu, pokok asal yap-kun-kiam melayang tiba, kepala The Go tentu menggelinding. Maka diapun tak mau kurangi gerak tabasannya tadi. Tapi demi benda, itu hampir tiba dihadapannya, bukan kepalang kejutnya! Itulah seorang orok bayi yang bagus wajahnya. Buru2 dia hendak tarik pulang tabasannya, agar jangan sampai mengenai orok itu. Tapi sukarnya bukan kepalang. Tadi karena kuatir membikin kapiran urusan, dia sudah menabas se-kuat2-nya, jadi untuk menariknya secara mendadak, tak seemudah kemauan sang hati. Namun bila diteruskan tabasanya itu, The Go dan orok itu pasti akan terbelah kutung. Dalam gugupnya, dia kerahkan tenaganya untuk menurunkan tangannya, cret ........ popok (pakaian) orok itu terpapas rowuk dan kedua belah kaki The Go pun terpisah dari pahanya. Darah segar memuncrat laksana air pancuran dan rubuhlah The Go tak ingat diri..........

4

Disamping Kang-siang-yan merintangi niat si Bongkok yang hendak menghabiskan jiwa The Go, disebelah sana Ceng Bo Siangjin cepat bertindak, sekali pedangnya menyabet, terkuntunglah kedua kaki The Go.

Ceng Bo tak mau hiraukan adakah The Go itu mati atau belum. Yang dipikirkan hanya siorok tadi. Begitu menabas, dia segera membungkuk kebawah untuk menyanggapi orok itu. Diam2 dia kucurkan keringat dingin, karena ngeri memikir nasib siorok yang hampir saja menjadi korban pedangnya. Mengawasi kearah Kang Siang Yan, dilihatnya sang isteri Itu sudah berhasil merebut senjata si Bongkok dan dengan 3 buah hantaman berhasillah ia mengundurkan lawan.

Ceng Bo geram sekali terhadap isterinya itu. Betapapun kecintaannya terhadap sang isteri namun urusan negara adalah diatas segala. Dia anggap sang isteri itu membawa kemauan sendiri, datang2 membikin ribut.

"Hong-moay, hari ini adalah upacara persembahyangan bendera Thian Te Hui, mengapa kau mengadu biru bikin onar?" serunya dengan gusar. Sepanjang ingatnya, belum pernah dia sedemikian marahnya terhadap isteri yang dikasihinya itu.

Kang Siang Yan buru2 menghampiri The Go, lalu menutuk ke 12 jalan darah besar pemuda itu, untuk memberhentikan pendarahan. Setelah itu baru dia mendongak menatap Ceng Bo siangjin, sahutnya: "Aku mengadu biru? Kalau terlambat sedikit aku datang kemari, orang2 Thian Te Hui akan  menjadi tumpukan bangkai semua!"

"Hong-moay, apa maksudmu?" menegas Ceng Bo dengan terperanjat. Tidak menyahut pertanyaan sang  suami, sebaliknya Kang Siang Yan memandang kearah orang banyak. Satu demi satu, diawasinya dengan perdata, kemudian berseru nyaring : "Swat Moay dan Hwat Siau, dimana kedua orang Itu? Ayuh, mengapa tak berani unjuk diri bertempur secara ksatrya?"

Mendengar wanita gagah itu menantang tokoh Swat Moay dan Hwat Siau, bukan olah2 terkejutnya orang2 sekalian.

"Apa katamu?" serempak Kui-ing-cu, Ceng Bo siangjin, Ko Thay dan si Bongkok berseru.

Namun Kang Siang Yan tak mau menjawab. Ia mondar mandir menyusup keluar masuk dalam kelompok orang yang ber-jubal2 itu. Dengan gunakan ilmu mengentengi tubuh sakti thay-yang-lian-seng, ia menyusup keluar masuk. Yang dirasakan oleh ribuan orang disitu, hanyalah semacam deru angin menyambar saja. Hal mana membuat orang2 sama kagum dibuatnya. Setelah tak berhasil menemukan yang dicari, barulah kedengaran ia berkata keheranan: "Ai. , kemana lenyapnya kedua bangsat itu?"

"Hong-moay, apakah sesungguhnya yang kau ucapkan itu?" tanya Ceng Bo.

"Apa......? Apa kalian tak mengetahui bahwa Swat Moay dan Hwat Siau menyelundup kemari ?" Kang Siang Yan balas bertanya.

Kini baru semua orang sama termadar, mereka saling celingukan kesana sini. Semua anggauta masih lengkap, kecuali kedua saudara Song, Hek-bin-sin Ho Gak dan Sam- chun-ting Ciu Sim-i yang tak kelihatan batang hidungnya. Saat itu barulah semua orang mengetahui duduk perkaranya. Kang Siang Yan, gerak gerikmu selama ini menimbulkan anti pathi orang. Tapi kali ini kami semua berhutang budi seru Kui-ing-cu seraya tunjukkan jempol jarinya selaku memuji.

”Fui ....., siapa sudi mendengar ocehanmu itu. Kalau bukan Thio Jiang yang memberitahukan padaku, aku juga tak tahu!" sahut Kang Slang Yan.

"Apa .... ? Tio Jiang belum binasa" seru Ceng Bo dengan terperanjat.

"Mati sih belum, tapi tengah meregang jiwa (sekarat).

Yan-chiu berada disampingnya!"

"Hai......., ternyata Yan-chiu juga masih hidup!" seru sekalian orang dengan girangnya.

Ceng Bo yang sedari tadi masih mengempo siorok,  segera bertanya :

"Hong-moay, dari manakah orok ini?"

"Itulah cucu-luar-mu sendiri! Masa kau tak  mengenalnya, bukankah wajahnya mirip dengan kau!"

Ceng Bo meng-amat2i dengan tajam dan benar dapatkan wajah orok itu agak mirip dengan dirinya. Tapi demi teringat bahwa orok itu adalah anak Bek Lian dan The Go, meluapIah kemarahannya.

"Mari ambillah, aku lebih suka tak mengakuinya sebagai cucu!" serunya seraya angsurkan orok itu kepada sang isteri.

"Orang tuanya yang salah, mengapa anaknya di- ikut2kan?" Kang Siang Yan menghela napas sambil menyambuti orok itu, lalu di-tepuk2nya pe-lahan2: "Nenekmu ini tetap menyayangimu nak, jangan takut!"

Melihat tingkah laku seorang wanita gagah macam Hang Siang Yan tetap tak meninggalkan sifat2 kasih sayang seorang nenek terhadap cucunya, Kui-ing-cu dan semua orang sama tertawa geli.

Kang Siang Yan tampak menciumi orok itu,  lalu ujarnya: "Orok ini tak boleh dilahirkan tanpa melihat ayahnya!"

Habis berkata begitu, Hang Siang Yan melirik kearah The Go. Kini kedua kaki The Go sudah kutung dan setelah ke 12 urat besarnya ditutuk Kang Siang Yan, timbullah perobahan dalam dirinya. Jalan darah pembisu yang tertutuk tadi, sudah terbuka sendiri. Keadaannya seperti orang limbung, sadar2 tidak. Tapi serta merasa dapat ber- kata2, segera dia paksakan bicara dengan ter-putus2: "Kedua  saudara Song sebenarnya......Hwat Siau dan

Swat Moay"

Habis ber-kata2, kembali dia pingsan.

"Kakinya sudah buntung, orangnya pun telah kalian siksa sedemikian rupa. Pandanglah mukaku  dan lepaskanlah dia!" se-konyong2 meluncur kata2 perikemanusiaan dari bibir Kang Siang Yan.

Bahwasanya seorang wanita keras macam Kang Siang Yan, dapat mengucap kata2 yang sedemikian halus merawankan, telah membuat orang2 ter-heran2, Memang kedatangan Kang Siang Yan kepuncak Giok-li-nia situ, pertama untuk memberitahukan suaminya bahwa Hwat Siau dan Swat Moay menyelundup kesitu dan kedua kalinya juga untuk urusan The Go.

Kiranya setelah peristiwa digereja Ang Hun Kiong selesai dan masing2 orang sama berpencar, keadaan Bek Lian sangat mereras sekali. Bek Lian telah kehilangan peribadinya. Ia berkeliaran ke-mana2 seperti orang gila. Setelah dua hari mencarinya, barulah Kang Siang Yan mendapatkan puterinya yang bernasib malang itu. Bahwa anaknya sampai menemui nasib yang sedemikian mengenaskan, kemarahan Kang Siang Yan sudah memuncak. Tapi dikarenakan keadaan Bek  Lian sedemikian rupa, terpaksa ia, tak dapat meninggalkannya. Maka, dicarinya sebuah tempat per-istirahatan yang sunyi disekitar sungai situ untuk tempat menetap sementara, perlu merawat penyakit Bek Lian.

Tiga bulan kemudian, barulah kesehatan Bek Lian ber- angsur2 pulih. Tapi pada saat itu, ia melahirkan seorang orok. Melihat orok itu sangat mungil, Kang Siang Yan merasa gembira. Tapi sebaliknya, Bek Lian sendiri tetap berduka. Ia tak senang kepada anak kandungnya itu, sehingga menyusuipun tak mau. Apa boleh buat, Kang Siang Yan terpaksa menggendong orok itu keatas gunung, untuk mencari binatang alas. Baik serigala, harimau, rusa, dan lain2 binatang berkaki empat, diburunya kemudian diperas air susunya untuk orok itu. Pada kebalikannya, pertumbuhan badan orok itu luar biasa sehatnya.  Belum lagi setengah tahun umurnya, orok itu sudah hampir menyamai seperti seorang berusia satu tahun.

Pada hari itu, rupanya Kang Siang Yan membawa cucunya ketempat yung agak jauh, hingga dua hari baru pulang. Tapi tiba dirumah, ternyata Bek  Lian sudah menghilang. Ia hanya meninggalkan secarik tulisan yang menyatakan sebagai berikut:

Bunda,

Anak telah merasa sesat jalan dan terjerumus dalam lumpur duka nestapa. Berdasarkan ajaran2 luhur dari ayah, seharusnya anak tak layak hidup didunia lagi. Tapi mengingat anak belum dapat membalas budi ayah bunda selama ini, kalau harus bunuh diri tentu akan lebith put-hau (tak berbakti) lagi. Oleh karena itu, hendak anak tinggalkan nyawa dalam hayat untuk mengabdikan diri menjadi nikoh (paderi perempuan) selaku penebus dosa. Selama hayat masih dikandung badan, tentu akan dapat berjumpa pula. Harap jangan mencari lagi, karena niat anak sudah tetap.

Bek Lian

Kang Siang Yan termangu. Betapapun halnya, tetap ia hendak mencari puterinya itu. Tapi rupanya niat Bek Lian itu tetap. Dua hari yang lalu, ketika Kang Siang Yan keluar pintu, iapun segera terus berkemas tinggalkan pondok itu. Dua hari Kang Siang Yan baru pulang dan selama itu entah sampai kemana Bek Lian mengayun langkahnya. Lebih dari sebulan Kang Siang Yan mencari jejak puterinya itu, tapi tetap hilang tak ketahuan rimbanya. Akhirnya terpaksa ia lepaskan penyelidikannya, kembali pulang kepondoknya tadi. Syukurlah, ada sang cucu sebagai kawan.

Pada waktu Tio Jiang dan Yan-chiu bertempur melawan suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay, hiruk kegaduhannya telah membuat orok itu terbangun kaget dan menangis. Telinga Kang Siang Yan yang  tajam, segera dapat mengetahui bahwa suara ribut2 itu terjadi karena ada perkelahian kaum persilatan. Orang persilatan saling membalas dendam itu sudah jamak, iapun tak ambil pusing. Tapi yang menjengkelkan hatinya, ribut2 itu sudah membikin kaget cucunya. Maka sembari menghibur bujuk, dibawanya orok itu keluar untuk melihat ribut2 itu. Tapi begitu ia muncul, Hwat Siau dan isterinya sudah buru2 ngacir, tertinggal Tio Jiang dan Yan-chiu menggeletak ditanah luka parah.

Bermula Kang Siang Yan kira mereka sudah binasa, tapi serta diperiksa ternyata jantungnya masih berdetak. Dan untuk kekagetannya, kedua orang itu ternyata Tio Jiang dan Yan-chiu adanya. Sejak pertemuannya dengan Ceng Bo di Hoasan tempo hari, sebenarnya ia sudah berbaik lagi dengan sang suami itu. la berjanji setelah mendapatkan pedang kuan-wi-kiam, ia akan memulai penghidupan baru ber-sama2 suaminya. Tapi adalah belakangan karena  urusan Bek Lian dan The Go, kembali ia bentrok dengan Ceng Bo.

Perangai Kang Siang Yan memang aneh. Ia selalu membawa kemauannya sendiri. Tempo digereja Ang Hun Kiong, ia berdiri difihak Ang Hwat cinjin dan Hwat Siau dan Swat Moay. Kemudian baru setelah mengetahui kebinatangan hati The Go, ia tersadar dan menggabungkan diri pada Pihak suaminya. Dan waktu gereja tersebut dihancurkan dengan dinamit, makin tegas keiakinannya terhadap Ceng Bo. Kedua anak muda itu adalah murid suaminya, jadi tak beda dengan muridnya juga. Benar pernah, Yan-chiu menipu mengeruk kepandaiannya tapi itu karena gara2 Kui-ing-cu apalagi hal itu tak menjadi soal baginya.

Kedua anak muda itu segera diangkut kedalam pondok dan diupayakan supaia tersadar. Hampir setengah harian Tio Diiang tak ingat diri. Begitu membuka mata, tanpa menghiraukan siapa, yang berada dibadapannya, dia segera berseru: "Lekas..., lekas...! Hwat Siau dan Thian-bin Long- kun semua pergi ke Gwat-li-nia!"

Setelah berulang kali mendengar seruan itu, barulah Kang Siang Yan menangkap maksudnia. Tay-hiat atau urat nadi besar kedua anak itu dltutuknya, supaya mereka dapat mengaso tenang. Yan-chiu tak menghiraukan suatu apa. Ia merasa dalam beberapa hari ajalnya sudah akan  tiba. Biarkan Kang Siang Yan berbuat apa saja ia tak peduli. Ia hanya baringkan diri disamping sukonya dan ber-bisik2 apa saja yang sang mulut Ingin mengatakan. Luka Tio Jiang tidak ringan, dengan sadar tak sadar dia hanya mendangari saja dan mengiakan. Kang Siang Yan menggendong cucunya, tarus berangkat menuju ke Giok-li- nia. Kedatangannya itu tepat sekali, dimana si bongkok tengah menggorok The Go.

Kemudian Kang Siang Yan mengakhiri penuturaannya, lalu memintakan keringanan untuk The Go. Sekalian orang berpendapat bahwa dengan kedua kakinya buntung, The Go sudah menjadi orang tanpadaksa (invalid), rasanya cukup untuk menghukumnya.

"Kang Siang Yan, aku pernah bersumpah kalau tak mencingcangnya sampai hancur lebur, lukaku ini akan busuk !" Thatsan sin-tho Ih Liok menyanggah.

"Ih Liok", sahut Kang Siang Yan, "Segala apa jangan main mutlak2an. Tadi sewaktu tersadar, dia tak mengucapkan apa2 tapi lantas mengatakan soal Hwat Siau dan Swat Moay. Apakah itu tak kau anggap dia masih mempunyai liang-sim (hati baik) ?"

Si Bongkok tertawa: "Kang Slang Yan, bilakah kau belajar falsafat macam Tay Siang Siansu itu ?"

Kang Siang Yan deliki mata kepadanya.

"Ya, sudahlah," Ih Liok mengalah, "dengan memandang muka kalian Kang Siang Yan dan Hay-te-kau berdua, aku sibongkok suka mengampuninya, Tapi awas, kalau kelak dia berbuat jahat lagi, aku tentu akan meminta pertanggungan jawabmu berdua!"

"Hai, Ih-heng, mengapa aku di-bawa2?" Ceng Bo tertawa getir.

Si Bongkok tertawa: "Huh, siapa yang tak mengetahui hubungan suami-isteri kalian kini saling berebut mengempo cucu! Bagaimana hendak meniadakan dirimu?" Ceng Bo dan Kang Siang Yan saling berpandangan sembari ketawa. Mengingat bahwa betapa jahat si Cian-bin Long-kun itu dahulunya, tapi dengan kedua kakinya sudah buntung dia sudah tak berdaya lagi, maka sekalian orangpun menyetujui keputusan untuk memberi keringanan. Ceng Bo segera suruh gotong orang muda itu kedalam biara, kemudian dia segera  mengajukan pertanyaan kepada sekalian orang: "Toa-ah-ko sudah melarikan diri, habis bagaimana urusan ini?"

"Sudah tentu Hay-te-kaulah yang menjadi toa-ah-ko!" serempak sekalian orang berseru. Disamping itu, mereka menyerukan supaya Kiau To menjadi siao-ah-ko.

Ceng Bo tak mau banyak bicara lagi. Segera dia pegang pucuk pimpinan. Tindakan pertama yalah mengatur susunan organisasi. Thian Te Hui yang beranggautakan lebih dari 10 ribu orang Itu, dibagi menjadi 10 tay-tong (batalyon). Setiap taytong dipimpin oleh tongcu dan wakil tongcu. Dibawah taytongcu (pemimpin taytong) diangkat lagi 20 orang siao-tongcu yang masing2 menguasai  100 anak buah. Dengan penyusunan itu, terdapatlah suatu organisasi yang rapi. Melihat itu diam2 Kang Siang Yan mengagumi kecakapan suaminya.

Selesai menetapkan susunan Thian Te Hui, berkatalah Ceng Bo kepada sang isteri: "Hong-moay, mari kita turun untuk menjenguk bagaimana keadaan Siao Ciu dan Jiang-ji itu!"

"Astaga!" tiba2 Kang Siang Yan seperti orang  dlsadarkan, mereka luka parah tiada orang yang merawati, aku seharusnya lekas2 kembali. ”Kau mempunyai tugas berat, tak perlu pergi. Kalau dapat menemukan Tay Siang Siansu untuk meminta beberapa butir pil sam-kong-tan, lebih baik lagi. Tapi kalau tidak, biarlah aku sendiri saja yang merawat.” Girang hati Ceng Bo mendengar kesanggupan sang isteri itu. Dan tanpa berayal lagi, Kang Siang Yan terus minta diri. Setelah itu Ceng Bo segera mengadakan rundingan dengan para tay-tongcu dan hu-tongcu (wakil tongcu) untuk rencana penyerangan selanjutnya. Tapi dalam rundingan itu, mereka terbentur pada kenyataan pahit tiada ransum, tiada uang!

Tanpa ransum, tentara tak dapat bergerak. Jadi sekalipun lasykar sudah terkumpul sampai ribuan jumlahnya, tapi tiada gunanya bahkan menimbulkan kesulitan besar mengenai jaminan makanan mereka. Perang tanpa makan bagaimana jadinya?

Tadi menurut penuturan Kang Siang Yan, sekalipun Tio Jiang tak sampai terbunuh, tapi dia sudah dianggap sebagai pemberontak. Jadi hubungan dengan fihak kerajaan Lam Beng, sudah putus. Hal ini diinsyafi benar oleh para perunding, hingga sampai sekian saat mereka tak dapat menyatakan apa2.

"Apakah sekalian saudara pernah mendengar tentang cerita kim-jong-giok-toh yang tersiar dikalangan persilatan?" tiba2 ada seorang tongcu memecah kesunyian.

Sudah sejak beberapa tahun ini, Ceng Bo selalu mondar mandir sibuk dengan usaha pergerakan Thian Te Hui Tambahan pula dia orangnya jujur bersih, jadi walaupun pernah juga dia mendengar desas desus harta karun itu, namun tak dihiraukannya.

"Belum pernah mendengar!" sahutnya.

"Benar, sejak dari Ang Hun Kiong mencari suhu, akupun pernah, mendengar hal itu. Katanya harta karun Itu simpanan dari Thio hian Tiong. Tapi tiada  seorangpun yang tahu akan hal itu dengan jelas. Ada sementara orang persilatan yang melakukan penyelidikan, ada juga orang2 yang tak ketahuan asal usulnya turut memancing diair keruh," ujar Kiau To.

Ceng Bo merenung sejenak, lalu berkata: "Ya, biarpun harta karun itu ada, tapi apa gunanya? Apakah orang dapat memakan emas berlian?"

"Ah, bukan begitu!" sahut lh Liok, "dengan harta dapat kita memperolch ransum. Kwisay berbatasan dengan Siam dan Annam (Vietnam), kedua negeri itu merupakan gudang beras. Jangan lagi hanya belasan ribu sedang ratusan ribu orang pun tiada menjadi soal!"

Semangat sekalian hadirin tergugah. Tapi kim-jong-giok- toh itu se-olah2 merupakan mythos (dongeng) saja, ada desas desusnya tapi tiada kenyataannya. Menilik namanya, harta karun itu mempunyai hubungan dengan susunan tubuh orang, tapi masakan perut (toh) terdapat hartanya? Tapi ah....., kemungkinan besar hal itu terdapat pada bangsa patung.

Karena belum mendapat pegangan yang pasti, terpaksa untuk sementara itu Ceng Bo belum mau menggerakkan tentaranya. Satu2nya usaha yalah mengadakan hubungan dengan Li Seng Tong. Dan ini baik kita tinggalkan dulu untuk mengikuti perjalanan Kang Slang Yan turun dari Lo- hu-san tadi.

---oodwkz0tahoo---

Dengan ber-gegas2 wanita gagah itu kembali kepondoknya, tapi tiba disitu ternyata Tio Jiang dan Yan- chiu, sudab tak kelihatan batang hidungnya, keadaan tempat itu kalang kabut seperti bekas digarong orang.

Hanya dua hari ia berlalu dan keadaan mereka begitu payah, andai kata naik ke Giok-li-nia tentu juga berpapasan, tapi nyatanya kedua anak itu sudah lenyap. Kemanakah gerangan mereka itu ? demikian Kang Siang Yan bertanya sendiri. Tiba2 terkilas pada pikirannya, bahwa ketika dia tiba di Giok-li-nia tadi, Hwat Siau dan isterinya sudah cepat2 menghilang. Ah....., apa tak mungkin mereka lolos dan mencari kedua anak muda itu. Kalau demikian halnya, ia sangat malu. Bukantah tadi ia sudah menyatakan hendak menjaga Tio Jiang dan Yan-chiu? Jika mereka jatuh ketangan suami isteri ganas itu, terang akan celaka. Ah. ,

ia bertanggung jawab atas kejadian itu!

Cepat2 ia kemasi pakaian sang cucu, lalu  titipkan orok itu kepada keluarga petani yang  tinggal didekat situ. Kemudian seorang diri ia berangkat mencari jejak kedua anak muda itu. Tapi dunia begini luas, kemanakah ia hendak mencarinya.

Memang dugaan Kang Siang Yan itu salah. Pada waktu ia tiba dan merampas senjata si Bongkok, Hwat Siau dan Swat Moay yang melihat gelagat jelek, terus memberi isyarat mata kepada Ho Gak dan Ciu Sim-i. Membarengi kesempatan keadaan kacau balau, mereka berempat segera menyelinap angkat kaki langkah seribu. Oleh karena keadaan hiruk pikuk, jadi tiada seorangpun yang mengetahui akan tindakan mereka itu. Baru ketika Kang Siang Yan mencari gerombolan Hwat Siau Itu, orang2 sama mengetahul kalau mereka sudah lari ngacir.

Demi melihat usahanya gagal, Hwat Siau dan Swat Moay marah.

"Aneh, mengapa Kang Siang Yan tahu kalau kita berada di Giok-li-nia?" tanya Hwat Siau.

"Huh....., masih bertanya! Siapa lagi kalau bukan anak haram yang kau hajar tapi belum mampus itu. Begitu Kang Siang Yan datang, dia tentu menceritakan semuanya!" Hwat Siau banting2 kaki, serunya: "Jahanam! Budak Iaki dan perempuan itu tentu masih berada dihutan sana. Ayuh, kita hajar mereka se-puas2nya!"

Begitulah setelah berunding, keempat orang itu segera menyerbu ketempat Tio Jlang dan Yan-chiu di sana.

(Oo-dwkz-tah-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar