Naga dari Selatan BAGIAN 49 : LELATU YANG BERBAHAYA

 
BAGIAN 49 : LELATU YANG BERBAHAYA

Setengah jam kemudian api yang marong itu, menjadi reda, dan kini tinggal setumpuk lelatu setinggi satu meter, tapi masih mengeluarkan bunyi letikan. KI Ce-tiong maju selangkah, berseru lantang: "Dengan gagalnya Thian Te Hui yang lama, tampuk pimpinan ketua yang dijabat olehku, orang she Ki ini, turut berakhir. Bahwasanya kini atas dukungan para enghiong hohan dari seluruh penjuru Thian Te Hui akan dibangun lagi, aku aiorang she Ki tak mau terus mengangkangi kurai ketua Itu. Ho-pay (tanda kekuasaan) dari keempat tampuk pimpinan pada saat ini berada disini. Enghiong siapa sajapun yang nanti dipilih menjadi ketua, silahkan mengambil ho-pay ini dari unggun lelatu. Sejak itu, saudara2 anggauta Thian Te Hui, harus taat dan tunduk pada perintah pimpinan, seperti kebaktian seorang putera terhadap orang tuanya!"

Habis berkata itu, keempat thong-pay tadi terus dilemparkan kedalam unggun lelatu. Walaupun api unggun sudah reda, namun cukup panas untuk membakar thong- pay tersebut. Ini bukan dimaksud untuk menyukarkan ketua baru nanti, tapi sekedar upacara simbolis yang berfatwa (bermakna): hendaknya tampuk pimpinan jangan jeri menghadapi kesukaran. Tradisi lni dimulaikan sejak pendirian Thian Te Hui pada masa kerajaan Beng sebelum hijrah keselatan.

Dan menurut tradisi itu pula, begitu thong-pay dilempar kedalam unggun lelatu, pemilihan ketua akan  dapat berjalan dengan cepat dan lancar. Oleh karena sebelumnya, orang sudah mempunyai calon yang pantas diangkat. Tapi dengan menyelundupnya Hwat Siau Swat Moay kedua kepala jagoan pemerintah Ceng disitu, pemilihan berjalan dengan seret kalau tak mau dikatakan agak kacau.

"Hay-te-kau Bek Ing seorang tokoh yang berkepandaian tinggi dan berbudi luhur, selayaknya dia diangkat menjadi toa-ah-ko Thian Te Hui!" tiba2 kedengaran Kisu To berseru nyaring. Gemuruh riuh orang menyambut usul itu dengan gembira. Melihat gelagat jelek, Swat Moay segera memberi isyarat mata kepada Hek-bin-sin Ho Gak, siapa rupanya mengerti. Tampil kemuka, Ho Gak segera berseru dengan nyaring juga: "Rasanya ucapan Kiau-heng itu kurang tepat! Bangunnya Thian Te Hui lagi kali ini, menghadapi tugas yang maha berat. Sekalipun Ceng Bo siangjin namanya cukup termasyhur dan budinya sangat luhur, tapi ada beberapa hal yang masih kurang. Pertama, kepandaiannya silat tidak cukup untuk menundukkan orang  banyak. Kedua, tidak berhasrat menuntut balas atas kematian sdr. Tio Jiang. Adalah kita semua yang menganggap diri sebagai orang gagah persilatan ini rela diperbuat se-mau2nya oleh fihak pemerintah ? Ketiga, dia masih termasuk seorang pertapaan yang menurut keagamaan. Dengan dia menjadi ketua, bukan kita sekalian ini akan menjadi imam nantinya? Kukatakan, hal ini tidak tepat!"

Merah padam muka Kiau To karena gusarnya ada orang menentang usulnya.

"Turut katamu, siapakah yang pantas menjadi toa-ahko?" tanyanya dengan marah.

Menuding kearah Hwat Siau, Ho Gak serentak berseru: "Kedua persaudaraan Song, namanya menggetarkan daerah selatan sampai utara. Ilmunya silat menjagoi seluruh gelanggang. Meskipun aku belum kenal, tapi telah lama kudengar Song lotoa (Song Hou) itu seorang bun-bu- songcwan. Orang tawanan yang dibawanya itu. Cian-bin Longkun The Go sibebodoran dunia persilatan, kalau dibuat sesaji bendera, tentu akan lebih membangkitkan semangat para saudara sekalian. Terhadap orang itu, Ceng Bo siangjin sudah lama memaukannya, tapi sampai sekian waktu masih belum dapat membekuknya. Pertanda bahwa kepandaian kedua saudara Song itu jauh melebihi dari dia. Jabatan toa-ah-ko, sudah pada tempatnya kalau diserahkan pada Song lotoa!"

Diam2 Hwat Siau bergirang didalam hati, namun terpaksa dia harus menyalakan kesungkanannya. "Cayhe orang baru, mana boleh merebut kedudukan setinggi itu? Kuharap sahabat itu suka menimbang lagi yang lebih panjang!"

Bluk......., serentak bangunlah Sam-chun-ting Ciu Sim-i, terus berseru keras2: "Demi kepentingan negara dan rahayat, mengapa main merendah diri? Dengan Song lotoa menjadi toa-ah-ko, pasti akan memimpin kita sekalian untuk menuntut balas pada raja Lam Beng, kemudian melawan tentara Ceng, melaksanakan tugas bersama yang mulia ini!"

Seketika itu, tidak sedikit jumlahnya orang  yang memberi persetujuan. Fihak Ko Thay, Ih Liok, Kui-ing-cu dan kawan2 sedikitpun tak menyangka kalau bakal menghadapi kejadian seperti hal itu. Untuk lain2 jabatan, aih..... tak mengapa. Tapi kedudukan toa-ah-ko itu, merupakan motor yang utama dan teramat gawat penting. Karena ketika dipertengahan pemerintahan kaisar Ceng Tik dari ahala Tay Beng, Thian Te Hui pernah mengalami penghianatan dari dalam. Syukurlah waktu itu sam-ah-ko dapat bertindak dengan tegas, membunuh biangkeladi penghianatan itu serta menghukum berat gerombolannya. Kedudukan toa-ah-ko, mempunyai kekuasaan yang mutlak. Jadi apabila sampai jatuh ketangan orang yang-tak bertanggung jawab, tentu akan rusak binasa akibatnya.

Sampaipun seorang tokoh macam Kui-ing-cu yang tinggi ilmu kepandaiannya, tak berani memegang jabatan itu. Hanya seorang tokoh macam Ceng Bo siangjin yang mempunyai peribadi kuat. Dengan dia sebagai toa-ah-ko, barulah Thian Te Hui mempunyai dayaguna (potensi) untuk melawan penjajah Ceng. Penentangan dari fihak Ho Gak dan Ciu Sim-i itu, harus ditindas.

Maka melantanglah suara sibongkok Ih Liok di-tengah2 permusyawaratan: "Berbicara tentang kepandaian silat, sekalipun saudara Bek Ing tak sangat melebihi orang, tapi kebesaran nama Hay-te-kau, cukup mengesankan. Tentang dirinya itu seorang imam, apanya yang perlu dikuatirkan. Andaikata yang jadi toa-ah-ko itu seorang piau-thau (kepala perusahaan mengantar barang), adakah kita semua  ini lantas menjadi pegawai kantor piauhang? Pencalonan Hayte-kau sebagai toa-ah-ko, rasanya tak perlu diperdebatkan lagi!"

"Dan barang siapa yang menentang,  silahkan berhadapan dengan aku orang she Kiau ini!" Kiau To turut menambahkan.

"Hm, permainan anak2!" Hek-bin-sin Ho Gak menyahut dengan sinis, "kalau toh tak boleh lain orang lagi selain Hay-te-kau, perlu apa diadakan pemilihan? Kalau siang2 tahu begini, apa gunanya kita ribut2 naik kemari.  Ayuh, kita sama bubaran sendiri untuk ngeluruk ke Siau Ging membereskan raja buta itu!"

Sesaat itu tidak sedikit jumlahnya orang yang serentak mengiakan.

Ceng Bo merasa tak enak, karena tersebab dirinya lalu timbul pertengkaran. Memang sama sekali dia tak mengetahui kalau Thian Te Hui sudah kemasukan pijat2 dalam selimut. Dia hanya mengira, kejadian itu timbul karena perselisihan pendapat mengenai tokoh yang dicalonkan. Memang kejadian itu sering terdapat dikalangan persilatan. Baginya yang penting adalah usaha melawan penjajah Ceng. Soal dirinya duduk atau tidak menjadi pemimpin, itu tak dipusingkan. Ini memang tegas menjadi pendiriannya.

"Harap saudara2 jangan pergi dahulu! Nah, siapa lagi yang hendak mengemukakan calonnya?" katanya dengan ter-sipu2.

Seketika itu juga lantas terdengar ada orang berseru: "Kui-ing-cu! Kui-ingcu!"

Ceng Bo ulangi penawarannya kepada orang banyak kalau masih ada lain calon lagi. Tapi setelah sampai dua kali, tiada orang menyahut, barulah dia berkata: "Persoalan ini mudah diputuskan. Baik diadakan pertandingan silat untuk menentukannya, jadi perlu apa mesti ramai2?"

Kejut Kui-ing-cu bukan terhingga mendengar pernyataan Ceng Bo itu.

"Bek-heng, kau. "

"Ing-cu-heng, kita harus bertindak menurut jalan yang benar, atau kedudukan tanpa kewibawaan diindahkan orang, apa gunanya!" tukas Ceng Bo akan pernyataan heran Kui-ing-cu itu.

Kui-ing-cu terdiam diri. Pikirnya, kalau persoalan itu terjadi antara dia dengan siangjin itu, ah mudahlah. Asal  dia pura2 mengalah sedikit, tentu beres. Tapi kini soalnya menjadi gawat dengan munculnya "Song lotoa" itu. Dilihat naga2nya, orang itu mempunyai lwekang yang lebih tinggi dari Ceng Bo. Kalau benar Ceng Bo tak dapat menandinginya, urusan pasti akan ber-larut2. Taruh  kata dia keluarkan seluruh kepandaiannya untuk memenangkan kedua orang itu Ceng Bo dan Hwat Siau, bagaimana kalau dia nanti dipilih menjadi toa-ah-ko? Pertama, dia tak inginkan jabatan itu dan kedua kali karena memang dia merasa kurang cakap untuk kedudukan itu. Sebaliknya dilain fihak, Hwat Siau menyambut dengan girang atas usul Ceng Bo itu. Diam2 dia telah siapkan rencana. Se-kurang2nya, dalam pertandingan itu Ceng Bo pasti takkan keluar sebagai pemenang.  Tapi  biar bagaimana, diam2 dia taruh perindahan atas kejujuran imam itu. "Cayhe tiada mempunyai pendapat apa2, tersilah kepada saudara2 sekalian!" buru2 dia berkata.

Pikir punya pikir, orang2 itu tiada mendapat jalan lain kecuali menyetujui usul Ceng Bo tadi. Mereka menyatakan persetujuannya. Dalam pada itu, setelah memeras otak, Kui-ing-cupun telah dapatkan suatu siasat. Ya, hanya dengan begitulah nantinya Ceng Bo akan dapat diangkat menjadi toa-ah-ko. Sekalipun rencana itu mengandung resiko, tapi apa boleh buat. Rencananya itu adalah begin! lebih dahulu dialah yang akan bertanding melawan Song lotoa. Dia nanti pura2 kalah, tapi dalam pada itu  hendak dia "peras" tenaga orang she Song itu sampai habis, agar apabila berhadapan dengan Ceng Bo, mudahlah imam itu mengatasinya.

Rencana itu memang cukup baik, tapi dia tak memperhitungkan akan "pion kecil" yang dimainkan oleh fihak lawan. Dan justeru pion atau hal kecil yang tak berart: itulah yang akan merusakkan rencananya tadi. Memang segala apa itu sering2 mengalami kegagalan dikarenakan satu dua faktor kecil yang tak berarti. Dan kesalahan Kui- ing-cupun terletak pada hal itu.

Setelah tetap dengan rencananya, berserulah Kui-ing-cu: "Sahabat Song, ayuh kita main2 dulu barang  beberapa jurus, bertanding secara bun atau secara bu!"

Pertandingan "bun" yakni masing2 mengunjuk demonstrasi kepandaian sendiri, mana, yang lebih hebat, dialah yang menang. Sementara secara "bu" yalah secara bertempur satu sama lain. Thaysan sin-tho Ih Liok bermula heran mengapa Kui-ing-cu hendak turun kegelanggang dahulu, tapi setelah direnungkan sejenak, tahulah dia apa maksud tujuan tokoh itu. Juga dia anggap siasat Kui-ing-cu itu cukup sempurna."

"Kita kan orang sendiri. Pertandingan bu, tentu merenggangkan persahabatan jadi lebih baik secara bun saja!" Ih Liok buru2 menyusuli.

Diam2 Kui-ing-cu girang mendengar usul Ih Liok itu. Karena dalam pertandingan adu lwekang secara bun, paling menghabiskan tenaga lwekang. Dan ini akan memberi kesempatan baik untuk Ceng Bo mengambil kemenangan nanti. Maka buru2 dia mengiakan.

Hwat Siau tak tahu kemana arah tujuan usul itu, tapi isterinya yang ternyata lebih cerdik segera dapat mencium bau. Buru2 ia berkata, kepada sang suami: "Koanjin, Kuiing-cu itu tentu akan mengalah terhadapmu. Pertandingan bu itu lazimnya terdiri dari 3 babak: ilmu mengentengi tubuh, ilmu main senjata dan ilmu lwekang. Yang dua dimuka dia tentu mengalah, tapi untuk yang penghabisan yalah mengadu lwekang, dia tentu akan berjoang mati2an untuk mengalahkan kau.  Sebaiknya dalam bagian itu, kau mengalah saja. Dua kali menang, sekali kalah, masih menang artinya. Kepandaian dari Ceng Bo siangjin itu hanya biasa saja, jadi jangan sampai dia mendapat kemenangan secara begitu murahnya!"

Kini baru terbukalah mata, Hwat Siau. Maju kemuka dia memberi hormat kepada Kui-ing-cu, serunya: "Lama sudah kudengar kebesaran nama cunke sebagai pendekar terkemuka dari kedua propinsi Kwi. Sebenarnya aku tak berani lancang mengunjukkan permainan jelek, tapi karena sekalian saudara menghendakinya, apa boleh buat terpaksa aku memberanikan diri. Dalam hal ini harap cunke suka memberi pengunjukan!" Begitu merendah ucapan itu dirangkai Hwat Siau, namun Kui-ing-cu telah mengambil putusan untuk memenangkan babak pertama Itu.

"Bagaimana kalau kita adu kepandaian mengentengi tubuh dahulu?" tanyanya. Hwat Siau setuju.

Ditepi tanah datar Giok-li-nia situ terdapat sebuah bukit setinggi 5 tombak. Bentuknya mirip dengan bung (bibit bambu), dari bawah sampai atas merupakan karang yang hanya ditumbuhi rotan, jadi tiada dapat dipijak kaki.

"Kita berlomba naik keatas puncak sana, coba saja siapa yang akan mencapainya lebih dahulu!" kata Kui-ingcu.

Hwat Siau melirik keatas puncak dan mengiakan. Diapun hendak memenangkan pertandingan babak pertama itu.

Mereka berdua sama mundur dan sekalian orang banyakpun menyingkir kesamping. Sedang Kiau To segera melolos jwan-pian, katanya: "Apabila kukebutkan jwan- pian ini, jiwi boleh segera mulai!"

Setelah masing2 siap, Kiau To segera kebutkan jwanpian, dan meluncurlah dua sosok tubuh keatas. Kui- ing-cu jejakkan kaki dan tubuhnya lurus melambung keatas. Pada lain saat dia julurkan tangan untuk menekan karang dan dengan meminjam tenaga tekanan itu, lagi2 dia melayang setombak tingginya. 0

Sekali Kiau To memberi tanda maka meloncatlah Kui-ing-cu melambung tinggi keatas. Hwat Siau pun tidak mau ketinggalan, cepat iapun merayapi bukit karang itu dengan ilmu "bik-hou-yu- jiang" atau cecak merayap dinding, segera ia menyusul lawannya dalam perlombaan itu.

Sebaliknya Hwat Siau menggunakan cara lain. Menghamperi karang, dia gunakan kaki dan tangan untuk merayap, dengan jurus bik-hou-yu-jiang (cicak merayap dinding). Namun jangan dikira merayap asal merayap, karena rayapan itu menggunakan ilmu yang sakti, hingga dapatlah dia menyamai loncatan Kui-ing-cu tadi. Keduanya berada setinggi dua tombak, dan nyata2 mereka sama lihaynya.

Kui-ing-cu empos semangat, kedua tangannya  ditebaskan kekarang, hingga menimbulkan tenaga-balik yang kuat. Dibarengi dengan gerak peh-ho-jong-thian (burung ho menobros langit), dia melayang lagi sampai hampir dua tombak. Dengan menancap gas itu, dapatlah dia melampaui lawan sampai setengah meter jauhnya. Dan gemuruh riuhlah sorak sorai orang2 yang menontonnya.

Tapi Hwat Siau tak mau kehilangan muka. Selagi Kuiing-cu menebaskan tangan tadi, dia sudah merayap dengan pesatnya, hingga hampir menyamai lawan. Puncak sudah tinggal berapa meter saja. Dan Kui-ing-cupun segera melakukan "pukulan" yang penghabisan. Dengan gerak yancu-bwan-sim (burung waled membalik diri), dia menjejakkan kaki dan tubuhnya seperti rocket meluncur keatas.

Ketika kakinya menginjak puncak yang runcing itu, Hwat Siaupun sudah tengel2 naik, tapi sudah tak dapat menempatkan lagi kakinya karena sudah diduduki oleh lawan. Kui-ing-cu gerakkan kakinya untuk meluncur kebawah, sembari tertawa: "Maaf"

Hwat Siau meringis tak dapat berbuat apa2 kecuali pura2 berlaku ksatrya, sahutnya: "Ah, ilmu mengentengi tubuh cunke, benar2 sakti. Kalau terus melambung, tentu akan mencapai angkasa. Aku merasa tunduk!"

Dalam pada mengucap kata2 itu, mata Hwat Siau melirik kearali isterinya, seraya menggerutu dalam hati: "Ah, niocu, niocu, kau suka memintari. hingga salah menaksir orang!"

Babak pertama telah memberi kesudahan yang menguntungkan pada Kui-ing-cu. Ber-gegas2 si Bongkok menyambut kedatangan Kui-ing-cu, seraya ber-bisik2: "Ing- heng, ilmu kepandaian orang itu aneh benar, dikuatirkan Bek-heng sukar untuk memenangkannya. Apakah tidak lebih baik kau menangkan saja pertandingan ini, kemudian nanti kau mengalah pada Bek-heng?"

"Akupun berpendapat begitu," Kui-ing-cu menghela napas, "tapi peribadi Bek-heng rasanya kau sudah cukup mengenal. Sekali dia sudah mengatakan mengadakan pilihan dengan bertanding, tak nanti dia mau menerima maksud orang untuk mengalah! Dan lagi orang2pun tentu mengetahui, nantinya tetap mereka tak mau tunduk pada Bek-heng. Ketaatan inilah yang justeru dibutuhkan untuk mengendalikan sebuah perserekatan besar macam Thian Te Hui lni!"

Ih Liok dapat memahami. Babak kedua, yalah adu kelihayan memainkan senjata. Setelah berunding dengan isterinya, Hwat Siau dianjurkan harus memenangkannya. Oleh karena kalau sampai kalah, Ceng Bo sianjin pasti terpilih menjadi toa-ah-ko. Hwat Siau segera pasang kuda2. Tangannya kiri sedikit diangkat keatas. Sekalian mengira, orang itu tentu hendak memainkan ilmu silat tangan kosong. Tapi diluar dugaan, setelah beberapi kali membolak-balikkan tangan, tahu2 tangannya sudah mencekal sebuah gulungan benda merah. Dan sekali lengannya digoyangkan, gulungan merah itu segera bertebar menjadi selembar angkin (selendang) panjang, lebarnya antara setengah dim.

Bermula orang2 sama mengira, angkin sutera merah itu tentulah senjata istimewa dari tokoh itu. Tapi setelah diawasinya dengan perdata, ternyata salah. Angkin itu adalah angkin biasa yang mudah didapat dipasar atau toko. Panjangnya ada 4 tombak. Tertiup angin, angkin itupun berkibaran. Melihat keheranan orang, berkatalah Hwat Siau: "Benda biasa, kepandaian biasa. Angkin ini tiada sesuatu yang luar biasa, tapi biarlah kumainkan untuk penambah kegembiraan saudara2 sekalian!"

Habis mengucap, lengannya bergoyang. Setelah bergoyang gantai laksana ombak mendampar, angkin itu lalu lurus terkulai ketanah. Kemudian sekali berputar tubuh, angkin itu menebar keatas dengan mengeluarkan auara men-deru2. Itulah gerak ilmu pedang dan semua orangpun sudah sama mengetahuinya. Tapi yang membuat orang sama terperanjat, yalah dengan benda yang lemas sepanjang

4 tombak itu, dapatlah Hwat Siau menggunakannya menjadi semacam senjata yang keras. Riuh rendah orang2 bertampik sorak.

Masih Hwat Siau hendak unjuk demonstrasi yang mengherankan. Dia putar angin itu seru sekali hingga merupakan sebuah lingkaran api, kemudian membungkus dirinya didalam lingkaran itu. Saking serunya, tubuhnya se- akan2 lenyap dibungkus lingkaran merah. Setelah beberapa kali orang gempar memuji, barulah dia bersuit pelahan dan tiba2 hilanglah lingkaran itu, sebagai gantinya tampak dia berdiri tegak ditempat. Lingkaran angkin merah itu telah ditarik dan disimpannya lagi dengan cepat sekali.

Sampaipun dalam mata seorang tokoh macam Kui- ingcu, tetap tak dapat membayangkan cara bagaimana tadi orang itu menyimpan angkinnya. Kini giliran Kui-ing-cu. Dia mempertunjukkan ilmu pedang. Walaupun cukup mempesonakan, namun tak sehebat dan seluar biasa permainan Hwat Siau tadi. Secara sportif, dia mengaku kalah. Menang satu, kalah satu, jadi serie. Babak  ketiga atau yang penghabisan yalah adu lwekang.

Teringat akan pasan sibongkok Ih Liok tadi, Kui-ing-cu agak meragu. Kalau dia harus memenangkan, terang dia bakal menjadi toa-ah-ko, suatu kedudukan yang tak diingini apalagi memang tak cakap untuk menjabatnya. Namun kalau mengalah, jangan2 lawan mengetahui dan tak mau keluarkan tenaganya sungguhan. Ah....., baik dia gunakan taktik begini, pada permulaan dia akan mengunjuk kepandaian betul2 hingga lawan terpancing mengeluarkan seluruh kebisaannya. Setelah itu pada detik2 terakhir, barulah dia nanti mengalah.

Siasat ini lebih sempurna dan lebih maju dari rencananya semula tadi. Tapi biar bagaimana, tetap dia tak mengira kalau nanti masih terdapat kekurangan yang mutlak. Dia usulkan suatu cara dan Hwat Siaupun menyetujui. Segera dia suruh orang untuk menebang sebatang puhun setinggi dua orang dan besarnya sepemeluk lengan orang. Cara bertanding, setiap orang harus memelintir batang puhun itu sampai patah. Barang siapa yang lebih dulu dapat 'memelintir sampai patah, dialah yang menang.

Ternyata puhun yang disiapkan itu lebih dari sepeluk orang besarnya. Sekalipun digergaji, juga makan waktu yang lama. Tadi belasan orang dengan gunakan kapak dan beliung menabas puhun itu, namun tetap menggunakan waktu lebih sejam lamanya baru dapat memenggalnya putus. Sekalipun kedua tokoh itu nanti dapat memelintir putus, namun tenaga lwekang mereka pasti  habis dibuatnya. Dan ini memang yang dikehendaki Kui-ing-cu untuk memeras tenaga lawan.

Begitulah keduanya segera mulai bertanding. Yang satu memelintir ujung sini, yang lain mengerjakan ujung sana.

Dalam pelintiran pertama, Kui-ing-cu telah dapat merontokkan kulitnya. Dalam tiga kali memelintir, batang puhun sudah memperlihatkan bekas telapak tangannya, kira2 setengah dim dalamnya.

Sebaliknya Hwat Siau yang percaya akan  omongan isterinya bahwa lawan tentu mengalah, tetap enak2an saja merabah2 batang itu. Tapi ketika melihat Kui-ing-cu sudah sedemikian cepatnya, dia segera deliki mata kearah sang isteri. Pesan isterinya dibuang dan dikerahkannya tenaga yang-hwat-kang. Sepasang tangannya me-melintir2 dengan cepatnya hingga dalam waktu singkat kemudian, barulah dia dapat menyamai lawan.

Tampak gerakan lawan itu, Kui-ing-cu teramat girangnya. Kini sengaja dia perlambat pelintirannya, sekalipun begitu bubuk kayu atau rontokan kepingan kecil2 (tatal) tak hentitnya berguguran ketanah. Hwat Siau sebaliknya ngotot benar. Sampaipun tubuhnya ikut berputar-putar mengelilingi batang kayu itu.  

1

Dengan lwekang yang sama-sama hebatnya, Kui-ing-cu berusaha menghabiskan tenaga Hwat Siau dalam perlombaan memelintir batang pohon, sebelum cecunguk itu bertanding melawan Ceng Bo Siangjin

Demikian kedua saingan itu, masing2 unjukkan kepandaiannya yang mengagumkan. Tahu2 dua jam telah berlalu. Karena keliwat gunakan tenaga, Hwat Siau sudah keletihan. Gerakannya kinipun makin lambat, dahinya ber- ketes2 mengucurkan peluh. Kui-ing-cu dapat mengetahui hal itu. Tapi gerakannya malah lebih cepat. Jadi gambaran itu telah mengunjuk tegas, bahwa lwekang Kui-ing-cu lebih unggul.

Memang Hwat Siau mempunyai kesulitan sendiri. Dia tak berani keluarkan ilmunya lwekang yang terlihay yakni sam-cay-liat-hwat-ciang. Dengan ilmu lwekang sakti itu, begitu tangan bersentuhan dengan batang kayu, kayu itu pasti akan terbakar menjadi arang, jadi mudah untuk dipatahkan. Tapi kalau dia sampai mengeluarkan ilmu itu, terang peribadinya akan diketahui lawan. Jadi hatinya mulai resah. Demi tampak Kui-ing-cu makin cepat, dia segera empos seluruh semangat, lalu mati2an mengitari batang kayu itu seraya kerjakan tangannya dengan kuat2. Lewat beberapa jurus kemudian terdengarlah suara "bluk", putuslah ujung dari batang puhun itu. Sampai disini barulah Hwat Siau berhenti untuk melihati lawannya.  Kiranya lewat beberapa detik kemudian barulah Kui-ing-cu dapat mematahkan ujung yang satunya.

Hwat Siau seperti mendapat lotre girangnya. Tapi mendadak tubuhnya serasa kosong lunglai, matanya berkunang kabur. Buru2 dia salurkan semangatnya untuk menenangkan diri. Betul perasaannya agak nyaman, tapi kaki tangannya serasa lemah lunglai tak  bertenaga. Keadaan itu tak luput dari pandangan mata Kui-ing-cu yang tajam.

"Sahabat Song sungguh memiliki lwekang yang luar biasa. Silahkan kini bertanding dengan Bek-heng untuk memperebutkan kedudukan toa-ah-ko!" serunya dengan gembira.

Kini semua orang alihkan perhatiannya untuk menyaksikan pertandingan Ceng Bo siangjin lawan Hwat Siau. Bahkan Ceng Bo sudah tampil kemuka seraya menawarkan bertanding secara bun atau bu. Tapi secepat kilat, Swat Moay segera menyela ditengah seraya berseru: "Tahan dulu!"

"Mengapa?" tanya Ceng Bo.

"Kita harus berpegang pada keadilan bukan ? Toa-ah-ko atau siao-ah-ko itu bukan mutlak. Tapi kalau kalah bertanding, nama persaudaraan Song pasti akan tercemar. Tadi kakakku habis bertanding dengan Kui-ing-cu dalam suatu cara, yang menghabiskan tenaga. Siapapun tentu mengetahui akan hal itu. Kalau Ceng Bo Siangjin hendak bertanding dengan orang yang sudah lelah, adakah itu pantas? Kuusulkan supaya pertandingan ini dipertangguhkan sampai besok pagi saja!"

Mendengar itu Kui-ing-cu dan Ih Liok mengeluh dalam hati "percuma, percuma". Mereka mulai menginsyafi faktor kekurangan-sempurna rencana mereka. Kalau orang lain tentu menolaknya, tapi tokoh macam Ceng Bo tentu lain halnya. Dan dugaan kedua orang itu memang beralasan.

"Ucapan Song-heng itu memang beralasan. Tadi aku agak chilaf, harap dimaafkan!" sahut Ceng Bo dengan serentak. Dia terus mundur dari gelanggang dan minta agar Kiau To simpan lagi thong-pay kekuasaan dari Thian Te Hui itu.

Malamnya Kui-ing-cu berunding dengan kawan2. Dengan sudah beristirahat satu malam, tenaga Hwat Siau tentu akan pulih segar dan Ceng Bo sudah tentu bukan tandingannya. Rupanya siangjin itu tak menghiraukan harapan orang banyak, karena berduka memikirkan kebinasaan Tio Jiang.

Juga Hwat Siau mengadakan pembicaraan dengan isterinya, Hek-bin-sin Ho Gak, Sam-chun-ting Ciu  Sim-i dan lainnya. Mereka bersuka ria menyambut hasll rencananya. Berkata Swat Moay: "Besok begitu menerima thong-pay kekuasaan toa-ah-ko, pertama yang harus dikerjakan yalah menutuk jalan darah pembisu dari The Go dan menyajykan anak muda itu untuk sesaji sembahyangan bendera. Setelah itu, kalian harus menuntut supaya toa-ah- ko menggerakkan anak buah Thian Te Hui menyerang Siau Ging guna membalaskan sakit hati Tio Jiang. Ha...., ha..., serbuan besar itu tentu akan merepotkan fihak Siau Ging. Dua2nya akan mengalami keruntuhan, sungguh sedap menikmati pemandangan itu!" Keesokan harinya, kembali api unggun dinyalakan dan Ki The-tiong lemparkan thong-pay kedalam unggun lelatu. Ceng Bo dan Hwat Siau tampil kemuka. Si bongkok ih Liok cukup yakin bahwa ilmu pedang to-hay-kiam-hwat Ceng Bo, tiada lawannya didunia. Apalagi siangjin itu memakai pedang Pusaka yap-kun-kiam yang lihay. Maka dia memberi kisikan agar Ceng Bo mengusulkan 3 macam pertandingan. Pertama, adu ilmu mengentengi tubuh. Kedua, bertempur dengan pedang dan Ketiga, adu ilmu lwekang. Si Bongkok memperhitungkan, babak pertama siangjin itu tentu kalah. Tapi dalam babak kedua yang bertempur dengan senjata, siangjin itu tentu dapat merebut kemenangan malah sedapat mungkin harus dapat melukai lawan. Dan untuk babak terakhir, kemenangan  tentu difihak Ceng Bo.

Rupanya usul itu disetujui Ceng Bo dan mendapat persetujuan juga dari Hwat Siau. Begitulah babak pertama segera dimulai, adu ilmu mengentengi tubuh mendaki puncak bukit yang runcing tadi. Tapi ketika Ceng Bo baru mendaki separoh lebih, Hwat Siau sudah berada diatas puncak sembari tertawa keras. Jadi babak pertama  itu, Hwat Siau menang.

Hal itu memang sudah diperhitungkan. Maka ketika Ceng Bo meluncur turun, si Bongkok segera mendekatinya dan berkata: "Bek-heng, sepuluh tahun yang lalu karena tak percaya kabar2 yang disiarkan orang bahwa karena jeri  akan ancaman kau telah serahkan pedangmu pada musuh, aku telah menjadi orang gagu dan merobah diriku menjadi imam Hwat Kong dibiara Cin Wan Kuan. Maksudku tak lain bukan yalah hendak membuktikan kebenaran berita itu. Sebenarnya tak ada rencanaku untuk menetap di Giok-li-nia sampai 6 tahun, tapi oleh karena tertarik akan peribadimu maka aku tak mau meninggalkan tempat itu. Apabila Sik Lo-sam tak memecahkan rahasia diriku, akupun tentu tetap tak mau pergi."

"Bek-heng, dalam pandanganku aibongkok ini, kau adalah orang gagah nomor satu dikolong langit. Kedudukan toa-ah-ko, kupercaya bagimu bukan soal yang mutlak. Tapi terhadap kepentingan sekian 'puluh ribu saudara2' yang bernaung dibawah panji Thian Te Hui, dirimu itu merupakan faktor yang teramat penting. Dalaih pertandingan babak kedua nanti, apabila ada kesempatan menang, janganlah men-sia2kannya. Menangkanlah, ingat bahwa kau sedang bertempur guna kepentingan belasan  ribu saudara!"

Pesan itu diucapkan dengan sungguh dan termakan betul dalam hati Ceng Bo hingga untuk beberapa saat aiangjin Itu termenung.

"Baiklah, akan kuturut pesan Ih-heng itu!" sahutnya kemudian, lalu melolos yap-kun-kiam. Ditimpa oleh cahaya matahari, pedang itu ber-kilau?an cahayanya. Setelah pasang kuda2, segera dia mempersilahkan Hwat Siau.

Sebaliknya ketika memandang kearah Hwat Siau, sekalian orang sama terkesiap heran. Ditangan "Song lotoa" itu tiada lain senjata kecuali gulungan angkin merah kemaren itu lagi. Ceng Bo siangjin sendiripun heran. Untuk dibuat demonstrasi, angkin Itu sih boleh juga. Tapi kalau untuk bertempur melawan musuh, masa dapat digunakan? Ditilik tingkat lwekangnya, orang itu belum mencapai tingkat kesempurnaan seperti yang dilukiskan sebsgai "mematah daun dapat melukal orang, menghambur bunga dapat mematikan lawan". Tapi mengapa dia berbuat begitu naif? Tapi selagi Ceng Bo me-nimang2 pikirannya, Hwat Siau sudah rangkapkan kedua tangan memberi hormat seraya berseru: "Siangjin, maafkanlah!"

2

Dengan ilmu pedang Hoan-kang-kiam-hoat Ceng Bo Siangjin terlibat dalam pertandingan memperebutkan Toa-ah-ko dengan Hwat Siau yang menyamar sebagai Song Hou

Sekali tangan melambai, bertebaranlah angkin sepanjang 4 tombak itu bergerak melayang kearah Ceng Bo. Melihat gerakan yang aneh dari angkin yang lemah gemulai itu. Ceng Bo memperhitungkan andaikata muka sampai kena kesabet angkinpun tak nanti merasa kesakitan. Maka begitu dia bergerak dengan jurus Tio-ik-cut-hay memapas keatas, kutunglah ujung angkin itu sepanjang 1 meter.

Dengan dibawa tiupan angin, kutungan angkin itu ber- kibar2 melayang keudara.

Kecuali Swat Moay seorang, Ceng Bo siangdiin maupun sekalian orang sama heran memikirkan kediadian itu. Terang dalam beberapa tabasan angkin itu akan habis, dan bagaimana nanti Hwat Siau hendak menghadapi pedang pusaka macam yap-kun-kiam itu ? Dengan tangan kosongkah ?

Adalah dalam saat orang2 sedang men-duga2 itu, Ceng Bo siangjin sudah melancarkan jurus kedua yakni boa- thian-kok-hay. Pagutan ujung pedang laksana hujan mencurah. Tujuh macam serangan isi dan serangan kosong dari ilmu pedang itu telah dimainkan secara mengagumkan sekali. Hwat Siau tampak kerepotan menghindar kekanan kiri. Ketujuh serangan itu sama, menghasilkan 7 buah kuntungan angkin masing2 sepanjang setengah meter. Andaikata angkin itu merupakan tubuh orang, itu berarti 7 buah luka. Dari gambaran ini, nyatalah sudah bahwa ilmu pedang to-hay-kiam-hwat Ceng Bo siangdiln Itu, merupakan ilmu pedang yang menjagoi seluruh gelanggang perpedangan.

Melihat "Song lotoa" tak mau membalas serangan, timbul kicurigaan Ceng Bo. Adakah dia, sengaja hendak mengalah? Kalau benar demikian, tak selayaknya dia melukai orang itu. Tapi pada lain kilas, teringatlah dia akan pesan Ih Liok tadi. Tanpa berayal lagi, dia segera lancarkan jurus cing-wi-thian-hay untuk menusuk tenggorokan Hwat Siau.

Tapi kali ini, Hwat Siau mengambil lain haluan, begitu pedang berkelebat, dia sudah mendahului menyelinap kebelakang Ceng Bo. Ceng Bo tak memandang  mata, karena mengira angkin itu hanya sutera merah biasa. Maka secepat membalik diri, dia segera menusuk lagi. Se- konyong2 Hwat Siau lemparkan gulungan angkin itu sama sekali keudara sembari me-mutar2kannya. Anehnya walau tadi sudah terpapas beberapa meter, angkin merah itu masih tetap panjang, tak kurang dari 3 tombak panjangnya. Kini angkin itu menjadi 7 atau 8 buah lingkaran diudara. Ketika tusukan Ceng Bo tiba, Hwat Siau menghindar kesamping sembari tarik turun lingkaran angkin tadi kebawah. Karena merupakan benda yang ringan, ketika bertebaran turun, angkin itu sedikitpun tak mengeluar suara apa2. Hanya tahu2 tubuh Ceng Bo telah tergubat. Hendak Ceng Bo mencongkel dengan pedang, tapi sudah tak  keburu. Melihat jaringannya sudah mengenai, secepat kilat Hwat Siau loncat mundur dan mengikatlah angkin itu erat2 kepada tubuh Ceng Bo.

Bermula Ceng Bo mengira, bahwa asal dia kerahkan lwekangn,ya, tentu putuslah angkin sutera itu. Tapi hai !,

ketika dia hendak gerakkan lengannya kiri, ternyata tak mampu bergerak. Sedang dalam saat itu, Hwat Siau kedengaran tertawa lebar sembari berseru: "Siangjin, maafkanlah!

Menilik hasil pertandingan itu dimana Ceng Bo kena kejirat basah tanpa dapat berkutik, rasanya sudah cukup berbicara jelas. Jadi pertandingan ketiga tak  usah dilanjutkan lagi, karena dua kali sudah kalah.

Sehabis Hwat Siau mengucap tadi, barulah Ceng Bo dapat keluar dari jaring angkin itu. Ketika di-amat2i dengan perdata, kiranya angkin itu berlainan dengan angkin yang kemaren. Pada kedua tepiannya, ternyata terbuat dari anyaman kawat logam yang halus. Ah, makanya tadi  dia tak mampu meronta! Sebagai seorang ksatrya, serentak berka-talah Ceng Bo: "Kedudukan toa-ah-ko 'Thian Te Hui, harap song-heng suka menerimanya!"

Tanpa banyak bicara lagi, Hwat Siau segera menghampiri unggun lelatu dan manjemput salah satu thong-pay yung terbesar. Thong-pay itu sudah membara panas, tapi oIeh karena dia jago ilmu lwekang yang-hwat- kang (api positip), jadi sedikitpun tak jeri. Thong-pasy itu dipegangnya, lalu berserulah dia kepada sekalian orang: "Aku yang rendah kini menjadt toa-ah-ko, harap sekalian saudara suka membantu!"

Thaysan sin-tho Ih Iiok lemas tak bersemangat, tapl sebaliknya Ceng Bo diam saja sikapnya. Saat itu lalu dilakukan lain2 pilihan dengan kesudahan Ceng Bo siangjin menjadi ji-ah-ko, Ki Ce-tiong menjadi sam-ah-ko dan Ko Thay menjadi su-ah-ko.

Setelah susunan pimpinan Thian Te Hui terpilih lengkap, berserulah Hwat Siau dengan lantang: "Kini bawalah bebodoran dunia persilatan d Cian-bin Long-kun The Go keluar, terserah bagaimana saudara2 hendak menghukumnya!"

Sehabis mengucapkan perintah pertama itu, dia memberi isyarat ekor mata kepada sang isteri.

Dalam hati kecil Hui-ing-cu dan lain orang yang menunjang pencalonan Ceng Bo sebegai toa-ah-ko tadi, tetap tidak puas akan hasil pemilihan itu. Bahwa seorang baru terus saja berhasil merebut kedudukan toa-ah-ko, mereka tetap tidak dapat menerima. Maka  dengan waspada, diikutilah tindakan yang dilakukan oleh toa-ah-ko itu. Asal nyeleweng, mereka segera akan bertindak. Maka demi nampak tindakan pertama untuk membunuh The Go sebagai sesaji sembahyang bendera itu, telah disambut dengan lega oleh kelompok Kui-ing-cu dan kawan-kawan. Diam2 mereka menganggap kedua besaudara Song itu juga bangsa orang gagah kesatrya sejati. Rasa antipahti (tidak senang) pun menurun beberapa derajat.

Tak berapa lama, The Go dibawa keluar. Sejak datang ke Giok-li-nia situ, dia disekap dalam tahanan, jadi tak tahu sama sekali apa yang terjadi diluaran selama itu. Pada pikirnya, begitu Hwat Siau sumi isteri sudah menyelesaikan pekerjaan besar itu. Dia tentu akan dibawa kekota raja menghadap Sip-ceng-ong Tolkun untuk menerima pangkat sebagai budak bangsa Ceng.

Demi dengan tangan terikat dia keluar, segera dilihatnya berpuluh orang gagah deliki mata kepadanya dengan sorot gusar. Malah jelas kelihatan ada beberapa yang memancarkan sorot mata ber-api2. Hatinya berdebar keras. Ketika mengalihkan pandangan kesebelah muka, disana terdapat Hwat Siau tengah memegang thong-pay toa-ah-ko berdiri dibawah sebuah bendera putih hitam. Bendera itu terpancang ditengah lapangan, ber-kibar2 ditiup angin.

Sebagai seorang durjana yang cerdas, dia tersirap kaget menghadapi kenyataaan itu. Terang Hwat Siau telah menggunakan siasat "habis melintasi jembatan, lalu mengangkat jembatan itu", atau artinya setelah berhasil Hwat Siau hendak membasmi mulutnya (membunuhnya). Tak peduli bagaimana, dia hendak nekad memanggil Hwat Siau. Biar kalau toh mati, sama2 dalam satu liang. Baru dia ngangakan mulut hendak berseru, atau Swat Moay tampak mengangkat tangan dan sebuah batu kecil melayang.........

hek!, lambungnya terasa kesemutan dan mulutnya tak dapat bersuara lagi. Jalan darah pembisu, telah kena tertutuk.

Sedemikian cepat gerakan Swat Moay tadi, apalagi gerakan itu tanpa bersuara sama sekali. Maka kecuali The Go yang merasa, tiada seorang lainpun yang mengetahui kejadian itu. Sekalian orang itu tahunya hanya puas dan geram melihat The Go. Seluruh perhatian ditumpahkan kearah anak muda yang pintar keblinger itu.

The Go coba kerahkan semangatnya untuk melepaskan jalan darahnya itu, tapi sia2 saja. Membayangkan bahwa dalam beberapa detik nanti, dia bakal menerima kematian secara ngeri sekali, tanpa terasa ber-butir keringat sebesar biji kedele menetes turun dari selebar mukanya. (Oo-dwkz-tah-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar