Naga dari Selatan BAGIAN 48 : PEMILIHAN UMUM

 
BAGIAN 48 : PEMILIHAN UMUM

Mereka berlayar kearah barat dan menjelang tengah hari, tibalah di Kwiciu. Kala itu, didalam kota Kwiciu sudah sangat ramainya. Kuatir terbitkan hal2 yang tak diinginkan, Swat Moay usul supaya mengambil jalan mengitari saja dan tak usah masuk kota. Oleh karena kepingin buru2 tiba di Lo-hu-san, Tio Jiangpun menyetujui. Begitu malamnya setelah melintasi kota Keng-seng, mereka segera lanjutkan perjalanan ke Lo-hu-san.

Malam itu rembulan remang, hawanya dingin dan angin malam tak henti2nya mengantar bunyi burung kukukbeluk. suatu suasana yang memberikan alamat kurang balk. Tio Jiang dan Yan-chiu berjalan dimuka sedang kedua suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay mengikutinya dari belakang. Diam2 Yan-chiu mencatat dalam hati bahwa The Go sebenarnya mempunyai banyak sekali kesempatan untuk melarikan diri, tapi nyatanya tidak mau, bahkan senantiasa berada dekat Hwat Siau dan Swat Moay kasak kusuk entah apa yang dirundingkannya,

Kini Yan-chiu sudah memastikan bahwa  kepergian ketiga orang ke Lo-hu-san itu, tentu tak bermaksud baik. Tapi sayangnya, selama ini ia tak mempunyai kesempatan untuk memberitahukan hal itu kepada sukonya. Dalam kesempatan yang sebaik seperti pada saat Itu, ia harus bertindak. Namun ia agak meragu, mengingat Swat Moay tempo hari telah menolong jiwanya dari kepungan tentara Lam Beng. Lama setelah merenung akhirnya ia ambil ketetapan untuk mengatakan juga.

"Suko, kalau misalnya kau hanya hidup untuk 3  hari saja, apa yang kau lakukan?" tanyanya.

Tio Jiang menghela napas. Setelah beberapa saat berpikir, menyahutlah dia: "Apa yang hendak dikerjakan itu, banyaklah kiranya! Ai......, Siao Chiu, perlu apa kau tanyakan hal itu ? "

Kini giliran Yan-chiu yang menghela napas, lalu berkata: "Suko, andai kata ada seseorang yang menolong jiwamu, bagaimana tindakanmu?"

"Tentu saja, kubalas budinya!" "Tapi   kalau   penolongmu   itu   ternyata    seorang jahat. taruh kata saja semisal Cin-bin Long-kun, lalu

kau bagaimana ?"

"Kalau itu, lain halnya. Sudah beberapa kali dia berhamba pada penjajah Ceng, merugikan kepentingan rahayat. Soal budi perseorangan, itulah nomor dua. Jadi tak dapat kita lepaskan orang Itu!"

Mendengar jawaban itu, Yan-chiu terperanjat. la mengagumi sukonya itu. Diam2 ia membatin, jangan2 tindakannya terhadap kedua suami isteri selama ini, kurang benar. Segera ia membuat suaranya serendah mungkin, membisikinya: "Suko, jadi kalau menurut anggapanmu, Hwat Siau dan Swat Moay kedua orang itu, walaupun telah menolong jiwa kita namun juga tak boleh dibantu?"

"Siao Chiu, kau bicara apa itu?" menegas Tio Jiang seraya tertawa karena rupanya dia tak mendengar jelas, "lebih baik kita mati daripada mengatakan kalau kedua orang itu menolong kita!"

Yan-chiu dongakkan kepala memandang lekat2 kearah sukonya. Tio Jiang dapatkan dalam sorot mata sumoaynya itu tiada lagi dari seorang anak perempuan kecil, tapi pandangan mata seorang gadis dewasa. Tio Jiang ke- malu2an dibuatnya.

"Suko, kau ini bagaimana? Kalau tempo terkepung tentara. Beng di Siau Ging, kita tak dapat lolos, apa kau lebih suka binasa daripada suruh kedua suami isteri itu menolongmu?" tanya Yan-chiu pula.

"Binasa ditangan bangsa sendiri adalah jauh lebih utama dari pada ditolongi oleh kaki tangan pemerintah Ceng!" sahut Tio Jiang dengan tegas ringkas.

Tubuh Yan-chiu menggigil bergemetaran. "Suko, ah, repotlah ini! Yang menolongi kita, memang Hwat Siau dan Swat Moay!"

Hampir Tio Jiang tak mempercayai pendengarannya. Serentak dia berdiri bertanya keras: "Siao Chiu, apa katamu tadi ?"

"Benar, yang menolongmu itu adalah Hwat Siau dan Swat Moay!" tiba2 Hwat Siau mendahului menyahut. Dan berbareng pada saat itu, Tio Jiang rasakan ada angin panas menyambar disisinya dan tahu2 orang lelaki kurus yang bermula dikiranya seorang cianpwe itu, kini sudah menghadang disebelah muka. Dengan bercekak pinggang, sikurus Itu menatap mereka (Tio Jiang dan Yan-chiu) dengan tajam sekali.

Dalam gugupnya Tio Jiang berpaling kebelakang dan disana siwanita kuruspun menyeringai iblis memandangnya. Jadi kini Tio Jiang dipegat dari muka belakang oleh kedua suami isteri itu. Ah, jadi mereka itulah Hwat Siau dan Swat Moay, itu sepasang suami isteri yang menjadi orang kepercayaan pemerintah Ceng! Celaka, tadi dia telah memberitahukan semua apa yang terjadi di Lo-hu- san. Keringat dingin membasahi tubuh Tio Jiang. Sedang pada saat itu, terdengar The Go tertawa panjang. Darah Tio Jiang serasa mendidih.

"Siao Chiu, tak nyana kau ... kau juga ikut pada mereka!" dia damprat sang sumoay.

Yan-chiu tak dapat menyatakan kesukaran yang dideritanya, maka dengan ter-isak2 ia menyahut: "Suko, aku hanya  belum mengatakan saja. mereka melarang

aku berkata apa2. Setelah berjumpa denganmu, kegirangan telah membuat aku lupa segala apa. Suko, dalam pandanganmu hanya terdapat Lian suci seorang. Kau tak memikirkan    bagaimana    aku.........    memikirkan dirimu. Ah........, toh aku hanya mempunyai waktu 3 hari untuk hidup. Mati ber-sama2 kau, adalah suatu kebahagian!"

Walaupun tak mengerti persoalannya, namun kini barulah Tio Jiang terbuka hatinya bahwa sumoaynya itu telah menaruh hati padanya. Bukan sehari dua, melainkan sudah lama sekali. Tapi oleh karena keadaan pada saat itu sangat genting, burul dia berkata: "Siao Chiu, yang kita hadapi ini bukan terbatas persoalan kita berdua. Kalau ketiga orang Itu sampai ikut naik ke Giok-li-nia, entah akan mendatangkan bahaya apa saja. Jerih susah setengah tahun, tak boleh rusak dalam sehari saja. Ayuh, lekas kita berjalan!"

Dengan menarik lengan Yan-chiu, dia menobros kesebelah kiri. Tapi disitu Hwat Siau sudah menghadang. Tio Jiang sudah menduga akan hal itu, maka dia surutkan tubuhnya mendongak, lalu melayang datar keluar. Gerak itu mengunjukkan suatu penguasaan ilmu lwekang yang sempurna. Tapi Hwat Siau dan Swat Moay menyerang berbareng. Swat Moay sudah siang2 menunggu dibelakang, belum kaki Tio Jiang menginjak tanah, wanita jahat itu sudah lepaskan hantaman.

Tio Jiang rasakan punggungnya terasa dingin, sebenarnya dapat dia menghindar kesamping, tapi sesaat terkilas pada pikirannya untuk lolos dua orang terang tak mungkin, maka lebih baik dia bertahan sendiri, tapi dapat lemparkan sumoaynya keluar. Menilik kepandalan mengentengi tubuh dari sumoay itu, tentu akan dapat melompat lima enam tombak jauhnya dan bisa melarikan diri.

Begitu mengambil keputusan, begitu dia hanya miringkan tubuhnya sedikit untuk menyambut serangan Swat Moay. Dan berbareng pada saat itu, dengan tangan kanan dia samber tubuh Yan-chiu terus dilemparkan keatas sampai setombak tingginya. Dan untuk menghadang kemungkinan Swat Moay mengejar sang sumoay, dia segera gunakan jurus tong-cu-pay-hud (anak memuja Buddha), menghantam kedada siwanita seraya berseru nyaring: "Siao Chiu, lekas naik keatas gunung memberitahukan suhu, jangan bikin kapiran urusan besar!"

Sewaktu melayang diatas, Yan-chiu masih belum mengerti maksud sukonya. Tapi serta Tio Jiang meneriakinya begitu, baru jelaslah ia. Tapi bagaimana ia tega biarkan sukonya bertempur seorang diri  melawan Hwat Siau dan Swat Moay ? Bukankah itu berarti membiarkan dia mati? Dalam detik2 yang genting, pilihannya jatuh pada diri Tio Jiang daripada rombongan orang gagah yang berada di Lo-hu-san itu. Ah, memang begitulah kalau hati sedang dicengkeram asmara. Ia melirik kebawah dan dapatkan sukonya sedang menyerang Swat Moay.

"Tidak, kalau binasa biarlah ber-sama!" serunya.

Mulut mengucap, tubuh sudah berjumpalitan diudara. Dengan gerak gan-lok-ping-sat (burung meliwis mendatar turun dipasir, ia meluncur ketanah terus lancarkan permainan ugo-hok-kun (ilmu silat 5 kelelawar). Dua buah jurus yang istimewa dart permainan ilmu silat itu, yani jurus song-hok-seng-hang (sepasang kelelawar berbaris sejajar) dan ngo-hok-lim-bun (5 kelelawar tiba dipintu),  ia serangkan sekali gus.

Ngo-hok kun itu, kecuali harus disertai ilmu  lwekang pun yang penting harus dimainkan dengan ilmu kepandaian mengentengi tubuh yang tinggi. Sedari makan mustika batu, tubuh Yan-chiu selincah burung walet, jadi serangannya tadipun laksana angin pesatnya. Merasa hantaman Tio Jiang itu cukup kuat untuk menghancurkan batu, Swat Moay menyurut kebelakang, tapi tak disangkanya sama sekali kalau Yan-chiu meluncur balik dan melancarkan dua buah serangan. Serangan pertama song-hok-seng-hang dapat dihindari, tapi untuk serangan yang kedua yani ngo-hok-lin-bun, tak  dapat wanita itu menyingkir lagi. Blak...., blak...., blak...., blak. ,

blak. , 5 buah hantaman tepat jatuh diperut Swat Moay.

Benar lwekang Yan-chiu tak sehebat Swat Moay, namun karena nona itu kalap hendak mengadu jiwa, jadi pukulannya tadipun keras juga hingga membuat Swat Moay meringis. Namun ia tak dapat memutar diri karena tengah tumpahkan perhatiannya kepada Tio Jiang. Kini ia rangkapkan sepasang tangan lalu mendorong kemuka  sianak muda. Jurus ini disebut thian-it-seng-cui (Alam pertama kali mengadakan air), salah sebuah jurus yang paling lihay dari ilmu im-cui-kang.

Mengetahui sumoaynya tak mau mendengarkan perintahnya dan berkeras untuk ber-sama2 mengadu jiwa, bukannya terima kasih tapi sebaliknya Tio Jiang marah sekali.

"Siao Chiu, kalau kau tak lekas pergi, aku tak mau mengaku sumoay lagi padamu!"

Tapi baru saja dia berteriak begitu, serangan thian-it- seng-cui sudah tiba. Karena tak tahu akan kelihayan serangan itu, dia buru2 surutkan kembali tangannya untuk dibuat menangkis. Tapi begitu berbentur, segera tubuhnya merasa kedinginan, celaka....... demikian dia mengeluh terus dengan ter-sipu2 miringkan tubuhnya untuk gunakan jurus hong-cu-may-ciu meloloskan diri. Tapi secepat kilat Swat Moay susuli lagi dengan sebuah dorongan, hingga Tio Jiang yang belum sempat menginjak bumi itu, merasti punggungnya sangat dingin sekali. Masih dia berusaha untuk menghuyung kemuka, tapi kepalanya serasa pening mata ber-kunang2.

"Tio-heng, berdirilah yang jejak!" seru Hwat Siau sembari tertawa keras.

Masih telinga Tio Jiang mendengar seruan itu, tapi tubuh2nya  ter-putar2  dan matanya   berpudaran   dan bluk. jatuhlah dia tak kabarkan diri lagi.

Yan-chiu terperanjat melihat sukonya dirubuhkan oleh kedua suami isteri itu.

"Siao-ah-thau, berdamping dengan kekasih, kau puas tidak?" Swat Moay tertawa menyeringai. Tapi Yan-chiu tak menghiraukan hanya terus menubruk tubuh sukonya. la menangis keras, tapi air matanya tak keluar, karena sudah habis.

Hwat Siau tak mau buang banyak waktu. Begitu tangan diangkat, segera dia hendak menghantam kepala sinona. Tapi tiba2 dia tersentak kaget, karena mendengar suara tangisan bayi. Dan pada lain saat terdengar seorang wanita membujuknya: "Jangan menangis, buyung! Biar nenek mencarinya siapa yang mengganggu tidurmu ini, nanti nenek usir mereka, sudah jangan menangis!"

Bujuk rayuan itu bernada kesayangan seorang nenek terhadap cucu yang dikasihinya. Tapi Hwat Siau dan Swat Moay sudah ketakutan setengah mati, "Ayuh, lekas pergi!" Swat Moay bisiki suaminya. Sekali gerak, Hwat Siau sudah meluncur setombak jauhnya. Tapi disitu ia berhenti sejenak untuk kibaskan tangannya kearah Yan-chiu. Yan-chiu tak bersiaga sama sekali, sesaat dia merasa seperti disamber hawa panas hingga seketika ia tak dapat bernapas!

Swat Moay, Hwat Siau dan The Go bertiga secepat kilat sudah lari menuju sebuah jalanan kecil. Dengan kepandaian mengentengi tubuh yang sempurna, menjelang terang tanah, mereka sudah masuk ke Lo-hu-san. Oleh karena pernah mengunjungi Giok-li-nia, jadi The Go faham akan jalanan disitu. Dia terkenang akan kunjungannya pertama digunung situ bersama 4 orang kawannya serta pertemuannya yang pertama kali dengan Bek Lian.

Ketika matahari menjulang diufuk timur, mereka sudah tak seberapa jalih dari Giok-li-nia. Dari kejauhan tampak dipuncak itu terdapat barisan kemah ber-jajar2, dan hixuk pikuk suara orang. The Go berhenti, katanya: "Kita harus bekerja menurut rencana kita itu"

"Cian-bin Long-kun, kalau kali ini berhasil, nanti dihadapan Sip-ceng-ong kami berdua tentu akan mengusulkan dirimu!" kata Swat Moay.

The Go pura2 merendah. Makin mendekati ketempat itu, tampak the-Go makin beraksi seperti orang yang bersedih, hingga membuat Hwat Siau geli.

"Niocu, kalau ada salah seorang dari mereka yang mengenali kita, bukankah urusan akan menjadi runiam ?" tanya Hwat Siau pada sang isteri.

"Hem, hal itu siang2 sudah kupikirkan," ujar Swat Moay sembari mengeluarkan dua stel pakaian dari buntelannya. ternyata pakaian itu pakaian biasa (orang preman). "Sejak kita datang keselatan sini, belum pernah menampakkan muka. Dengan berganti pakaian tak nanti ada orang yang mengenali kita lagi!"

Benar juga setelah bersalin pakaian, keduanya menjadi orang baru. Sekalipun orang yang pernah berjumpa, namun dalam sesingkat waktu, sukarlah untuk mengenalinya. Apalagi selama itu mereka telah bekerja dengan cermat sekali. Ketika digereja Ang Hun Kiong, selain Ang Hwat cinjin, keempat muridnya dan The Go serta Kang Siang Yan dan Bek Lian, tiada seorang lain lagi yang pernah melihatnya. Orang hanya mendengar namanya tapi belum pernah melihat wajahnya.

Mereka segera membawa The Go lanjutkan perjalanan. Terdengar suara petasan dipasang dengan gempar, pertanda bahwa hari itu Thian Te Hui akan mengadakan pemilihan pemimpin. Memang sebagian besar dari orang2 itu berasal dari daerah Kwiciu. Turut naluri kebiasaan rakyat daerah itu, setiap ada peristiwa besar, tentu membakar mercon untuk meramaikan. Begitu tiba, dilihatnya banyak sekali jumlahnya orang2 yang berkumpul disitu. Barisan kemah walaupun kasar pembuatannya, namun ber-jajar2 secara teratur sekali.

Sepasang suami isteri itu sudah menjelajahi kedua propinsi Kwitang dan Kwisay. Tak sedikit jumlahnya kemah tentara Beng yang dilihatnya. Kecuali orang sebawahan Li Seng Tong yang agak lumayan, lain2nya itu tak ubahnya seperti macam sarang burung saja. Tapi apa yang dilihatnya dipuncak Giok-li-nia situ, sungguh membuatnya kagum. Kalau mereka dibiarkan saja, kelak pasti akan menjadi suatu bahaya besar bagi kedudukan pemerintah Ceng. Sembari berjalan mereka bertiga tak henti2nya memeriksa keadaan disekelilingnya. Tiba dikaki gunung, segera mereka dihadang oleh para penjaga yang menanyai maksud kedatangannya.

"Harap saudara melapor ke Giok-li-nia sana bahwa persaudaraan Song dari Liau-tang, Song Hou dan Song Pa datang mengunjuk hormat kemari beserta orang tawanan Cian-bin Long-kun The Go!" seru Swat Moay dengan sengaja membesarkan nada suaranya.

Nama Song Hou dan Song Pa,  cukup termasyhur. Walaupun mereka tinggal didaerah Liau-tang,  namun setiap kaum persilatan kenal akan namanya. Penjaga itu juga bukan sembarang orang persilatan, jadi merekapun menjadi girang atas kedatangan kedua tokoh lihay itu. Buru2 disuruh seorang bawahannya untuk melapor keatas gunung.

Kala itu para tokoh2 terkemuka sedang bermusyawarah. Antaranya terdapat Ceng Bo siangjin, Ki Ce-tiong,  Kiau To, Kui-ing-cu, Thaysan sin-tho Ih Liok, Sin-eng Ko Thay dan lain2nya. Mendengar laporan tentang kedatangan kedua saudara she Song itu, mereka sama bergirang. Kegirangan mereka makin besar demi mendapat laporan bahwa Cian-bin Long-kun The Go telah ditangkap oleh kedua saudara Song Itu serta dibawanya kesitu juga.

Hanya sibongkok Ih Liok yang berpendapat lain, katanya

: "Kedua saudara Song itu tinggal diwilayah Liau-tang yang jauh sekali. Daerah itu masih merupakan kantong kaki tangan pemerintah Ceng. Untuk apa mereka datang kemari?"

"Mungkin karena mendengar induk gerakan kami ini makin besar, mereka datang untuk membantu. Biar bagaimana karena toh mereka jauh2 sudah  perlukan datang, sungkanlah kita untuk menolaknya!" kata Ceng Bo siangjin.

Dipikir sanggahan siangjin itu beralasan, Ih Liokpun ikut turun gunung menyambutnya. Apa yang mereka jumpai adalah dua orang lelaki kurus (Swat Moay juga menyamar jadi orang lelaki), semangatnya ber-api2, pelipisnya agak menonjol, pertanda lwekangnya mendalam. Dengan  mereka ikut seorang pemuda yang lemah berantai tak bersemangat, bukan lain yalah Cian-bin Long-kun The Go !

Maju menghampiri kemuka, Ceng Bo ulurkan tangan menjabat seraya memberi salam: "Cayhe adalah Ceng Bo, apakah tuan2 berdua ini persaudaraan Song? Ah, sudah lama cayhe sangat mengagumi nama jiwi!"

Hwat Siau menjabat tangan Ceng Bo dengan hangat mesra, sahutnya: "Cayhe adalah Song Hou dan ini adikku Song Pah. Mendengar siangjin dan lain2 saudara membangunkan organisasi melawan Ceng membantu Beng, kamti berdua sengaja jauh2 dari Liau-tang datang kemari untuk menggabungkan diri. Disamping itu kami hendak menyampaikan berita duka pada, siangjin serta menyerahkan orang ini untuk sesaji upacara penaikan bendera!"

Lebih dahulu Ceng Bo perkenalkan kedua saudara Song itu kepada saudara2 lainnya. Tiba giliran Kui-ing-cu, sejak tenaganya sudah pulih kembali dia pun kumat lagi  penyakitnya suka ugal2an, dia segera mengetahui bahwa lwekang dari kedua persaudaraan Song itu luar biasa coraknya serta teramat sempurnanya. Mungkin tidak dibawah Ih Liok, Ko Thay dan Ceng Bo siangjin. Menilik dalam pembicaraan kedua saudara Song itu selalu membawa diri merendah, Kui-ing-cu tak menyangka jelek. Namun sekalipun begitu, tetap ia ingin mencoba sampai dimana tinggi rendahnya lwekang mereka itu.

Begitu berjabat tangan, dia segera meng-guncang2kannya sampai 3 kali. Dalam pengguncangannya itu diam2 dia salurkan lwekang, apabila lwekang lawan kurang dalam, pasti akan tak tahan. Menjaga agar sang tetamu jangan sampai mendapat malu, Kui-ing-cu hanya gunakan 3 bagian dari tenaganya..

Hwat Siau bukan anak kemaren sore. Tahu sudah dia akan maksud orang hendak mengujinya itu. Diam2 diapun kerahkan lwekang, dengan tertawa tawar dia halau lwekang Kui-ing-cu via guncangan tangan tadi. Kemudian seolah2 tak terjadi suatu apa, berkatalah dia dengan tertawa: "Heng- tay (saudara) terlalu sungkan sekalilah!"

Sekalian orangpun tahu kalau Kui-ing-cu tengah menguji kepandaian orang, maka mereka buru2 alihkan pembicaraan untuk melerainya. Perangai Hwat Siau bengis, tapi dalam menghadapi urusan sepenting itu, dia terpaksa mengendalikan diri. Ah, memang urusan didunia ini seringkali terjadi karena kebetulan saja. Coba tadi Kui-ing- cu salurkan lwekang ketelapak tangan untuk memijat,  sudah tentu Hwat Siau akan salurkan lwekang untuk melawannya juga, dan ilmunya yang-hwat (api positip) tentu akan ketahuan. Telapak tangannya pasti akan berobah merah membara, dan walaupun Kui-ing-cu tak dapat "menelanjangi" penyaruannya dengan seketika, namun se- kurang2nya dapatlah dia menaruh curiga.

Kini bukan saja Kui-ing-cu tak dapat mengetahui peribadi aseli dari Hwat Siau, pun sebaliknya dia malah merasa dirinya agak "keterlaluan" memperlakukan tetamu. Diam2 dia menyesal dan terkikislah kecurigaannya. Bagi kaum persilatan, tidaklah banyak berlaku sungkan. Hanya dengan beberapa patah kata perkenalan, mereka sudah seperti sahabat lama. Ceng Bopun segera menanyakan berita yang hepdak dibawakan Hwat Siau tadi. Kedua  suami isteri itu main aksi, katanya: "Urusan ini sungguh lain dari yang lain, setelah bertemu dengan para thaubak (kepala regu anak buah), baru dapat kami haturkan."

Ceng Bo tak mau mendesak, lalu ajak mereka berdua. naik gunung. Tak antara berapa lama, kembali ada 3 atau 4 puluh orang be-ramai2 datang kegunung situ. Mereka ter- diri dari para orang gagah yang baik nama maupun kepandaiannya sudah terkenal didunia persilatan. Mereka datang kesitu untuk menggabungkan diri. Diantara sekian banyak orang baru, ada dua orang yang membuat Hwat Siau dan Swat Moay terbeliak kaget. Juga kedua oorang itupun tak. kurang kejutnya. Namun dalam beberapa detik saja, mereka segera dapat menguasai diri dan berlaku se- olah2 tidak terjadi suatu apa.

Ceng Bo perkenalkan mereka sama lain. Kiranya salah satu dari kedua orang tadi yang bertubuh kate bernama Ciu Sim-ih, bergelar sam-chun-ting (si Paku 3 dim).  Sedang yang satunya, pada mukanya terdapat sebuah tanda hitam (tembong), bernama Hek-bin-sin Ho Gak atau si Malaekat berwajah hitam. Hwat Siau dan Swat Moay tahu jelas bahwa kedua orang itu adalah benggolan dinas rahasia dari pemerintah Ceng. Mungkin karena mereka (Hwat Siau dan Swat Moay) lama belum berhasil, maka Tolkun telah mengirim kedua jagoan itu, dan dengan licinnya mereka dapat menyelundup masuk ke Giok-li-nia. Dihadapan sekian banyak orang, Hwat Siau dan isterinya hanya mengucapkan tegur salam seperlunya saja.

Memang dalam phase pembentukan sebuah organisasi yang beranggautakan sekian banyak orang itu, sukarlah untuk menjaga kemungkinan perembesan pijat2 dalam selimut (musuh dalam selimut). Maka yang perlu diselesaikan lebih dahulu, ialah mengangkat seorang pemimpin. Pada pemimpin itulah ditaruh seluruh kekuasaan untuk memegang tampuk pimpinan, demi kelancaran gerakan besar itu.

Pada lain saat, barulah Hwat Siau menjelaskan apa  berita yang dibawanya itu: "Ada seorang saudara, bernama Tio Jiang, adakah dia itu anggauta perserekatan kita ini?"

"Itulah muridku. Bagaimana dia?" buru2 Ceng Bo menyahut.

"Ai, sayang, sayang!" seru Hwat Siau sembari geleng2 kepala. "Dia menuju ke Siau Ging, apakah ditengah jalan mendapat bahaya?" tanya sibongkok Ih Liok. Lagi2 Hwat Siau menggeleng kepala sebelum mend yawab.

"Dia tak mendapat bahaya suatu apa ditengah jalan. Hanya setibanya dikota Siau Ging, terus ditangkap oleh kaisar Ing Lek sebagai pemberontak, kemudian dihukum penggal kepala! !

"Adakah hal itu benar?!" seru Ceng Bo dengan terbeliak. "Mengapa kami berdua saudara harus berbohong

:"Kaisar Ing Lek menuduh kita ini tak ubahnya seperti macam Thio Hian Tiong dan Li Seng Tong. Mengumpulkan anak buah dan kuda karena hendak memberontak. Inilah 'keistimewaan' dari pemerintahan Siau Ging, semua orang sudah maklum, jadi tak perlu disangsikan lagi!"

Ucapan Hwat Siau itu termakan betul2 dalam hati sekalian orang gagah. Memang dengan mengutus Tio Jiang menghadap kaisar Ing Lek, mereka sudah menduga belum tentu pemerintah Siau Ging menyetujuinya. Namun tidak menduga, kalau sedemikian hebat kesudahannya. Suasana menjadi panas dengan luapan kemarahan.

"Jahanam, ayuh kita serbu Siau Ging dan usir kaisar gila itu. Apa sih kaisar itu, toa-ah-ko dari Thian Te Hui, itulah yang pantas menjadi kaisar!" seru salah seorang.

"Keparat, kita ini dianggap sebagai Thio Hian Tiong? Basmi saja raja begitu!" seru lagi yang lain. Juga Hekbin-sin Ho Gak turut memaki dengan suara lantang: "Setan lanat, apakah dunia ini sudah tiada ada kebenaran lagi?!"

Hati Ceng Bopun dirangsang kemurkaan hebat. Namun dia cukup sadar, bahwa  kalau dia umbar kemarahan menurut kemauan mereka, paling banyak hanya dapat memuaskan hati orang2 itu sad ya. Diantara sekian ban yak orang, hanya Kui-ing-cu-lah yang dianggapnya paling lihay sendiri kepandaiannya. Maka buru2 dia melirik kearah tokoh itu, siapa ternyata tahu juga akan maksud imam gagah itu. Segera tokoh yang aneh itu bersuit keras  bagaikan ringkikan naga. Seketika itu siraplah hiruk pikuk suara dalam ruangan situ. Kini semua mata ditujukan kearah Ceng Bo siangjin untuk menantikan apa yang hendak diutarakannya itu.

Wajah Ceng Bo menampilkan kedudukan dan kemarahan, jadi untuk beberapa saat tak dapat dia mengucap apa2. Tak tahu dia bagaimana hendak memulaikan kata2-nya. Dia seorang yang berperibadi lurus perwira. Tio Jiang adalah muridnya yang paling dikasihi. Hubungan antara guru dan murid itu bagaikan ayah dengan puteranya. Dibawah asuhannya. Tio Jiang telah menjadi seorang patriot yang menyerahkan segenap jiwa raganya untuk kepentingan negara dan rakyat bangsanya.  Jadi dalam perjoangan, boleh dianggap Tio Jiang itu sebagai seorang kawan seperjoangan yang setia.

Berita kematian dari murid kesayangannya itu, telah membuat hati Ceng Bo seperti disayat sembilu pedihnya. Kalau menuruti kemauan sekalian kawan itu untuk menyerbu Siau Ging, tentulah kaisar Ing Lek akan memanggil Li Seng Tong untuk menghadapinya. Dengan begitu, perbatasan daerah akan menjadi kosong. ini berarti mengundang penjajah Ceng untuk menyerbunya. Setelah merenung beberapa jurus, akhirnya imam itu berpendapat bahwa sakit hati adalah urusan kecil, yang utama penting adalah urusan negara.

"Harap saudara2 sekalian tenang. Dengan tindakan itu terhadap kita, paling2 fihak kerajaan hanya bersalah karena kurang bijaksana. Tapi demi untuk kepentingan negara, se- kali2 tak boleh kita tinggalkan gi (kebenaran), Kesampingkan saja soal itu dan jangan diungkat lagi!" kata Ceng Bo dengan tegas, walaupun hatinya hancur mengenang nasib muridnya.

Pernyataan perwira itu mendapat sambutan baik dari Thaysan sin-tho Ih Liok, Sin-eng Ko Thay dan lain" orang gagah yang menjunjung keluhuran semangat cinta negeri. Tapi reaksi lain timbul dari kawanan pijat's dalam selimut itu yakni Hek-bin-sin Ho Gak dan Sam-chun-ting Ciu Sim-i. Mereka salah terka siapakah Ceng Bo siangjin, imam perwira yang berbudi luhur itu, yang mendahulukan kepentingan nekara dari kepentingan peribadi. Menyelami bahwa ada sementara orang gagah lainnya yang dapat di- ombang-ambingkan pendiriannya, majulah Hok Gok kemuka dengan berseru keras: "Keliru! Kita kaum gagah persilatan, selamanya tak mau mandah diperbuat se- wenang2 oleh fihak pemerintah. Seorang pemuda ksatrya macam saudara Tio Jiang itu telah dibinasakan secara penasaran sekali oleh fihak kerajaan. Kalau suhu dari saudara Tio Jiang itu tak mau membalaskan sakit hatinya, kita kaum persilatan yang menjunjung semangat setiakawan, tak mau berpeluk tangan mengawasi saja!" 9

Dengan licin Hek-bin-tui Ho Gak terus berseru menghasut: "Tidak, kita sebagai orang persilatan tidak bisa antapkan seorang pemuda perwira seperti saudara Tio Jiang dibinasakan begitu saja oleh raja yang tak kenal gelagat itu, kita segera harus bertindak !"

Siapakah tokoh Hek-bin-sin Ho Gak dan Sam-chun-ting Ciu Sam-i itu, sebenarnya sekalian orang2 gagah itu tak mengetahui jelas. Tapi seruannya tadi, telah membangkit rasa symphati dari sementara orang. Sikate Ciu sim-i ternyata seorang yang lincah sekali. Diantara sekian ribu orang, dia menyusup kesana sini untuk melakukan provokasi. Suasana kembali menjadi gaduh. Berulang kali Ceng Bo berseru menenangkan, tapi tak dapat menguasai suasana riuh itu.

Memang perwatakan dari para orang gagah yang hampir semuanya terdiri dari kaum persilatan itu. paling menguta:nakan budi dan dendam. Setiap budi tentu dibalas, dendam harus dihimpas. Segala apa didasarkan atas suara hati, tak mau berfikir panjang tentang akibat dikemudian harinya. Pemuda Tio Jiang memiliki kepandaian tinggi, tapi rendah hati jadi dapat menawan simphati orang. Berita kematiannya, telah membangkitkan kemarahan umum dan ketekadan untuk menuntutkan balas. Pernyataan Ceng Bo tadi terlalu kabur pada anggapan mereka. Ditambah minyak oleh Ho Gak dan Ciu Sim-i, maka menyalalah semangat dendam mereka.

Untuk mengatasi keadaan, terpaksa Ceng Bo siangjin bersuit keras. Tapi belum lagi dia sempat membuka suara, Hwat Siau telah mendahului berseru nyaring: "Sukakah sekalian saudara mendengar sedikit omonganku?" Lwekang Hwat Siu sangat tinggi, jadi seruannya tadi menggema laksana guntur. Dengan suitan Kui-ing-cu tadi, walaupun berbeda nadanya, tapi setingkat hebatnya. Tapi kalau dibanding dengan suitan Ceng Bo, terang lebih tinggi. Sekalian orang sama terkesiap.

"Cayhe berdua saudara baru saja datang, seharusnya tak boleh banyak bicara. Tapi mengingat ujar2 orang kuno 'kalau dua hati bersatu, emaspun dapat dibelah', kupikir kedatangan kita semua kemari ini yalah untuk satu tujuan. Tak boleh membawa mau sendiri. Kudengar hari ini perserekatan kita Thian Te Hui hendak memilih pimpinan. Turut pendapatku yang cupat, biarlah kita jangan bertengkar dulu. Setelah terpilih ketua, segala sesuatu harus menurut perintah pimpinan. Barang siapa yang membangkang, akan berlaku undang2 militer. Kalau kita belum2 sudah berselisih pendapat, itu berarti mem-buang2 waktu saja. Nah, bagaimana pendapat saudara2 sekalian?"

Lihatlah betapa lihaynya Hwat Siau. Tak kecewalah dia itu menjadi orang pilihan pemerintah Ceng, karena dia itu memang seorang bun-bu-song-jwan (achli silat dan sastera). Ucapannya itu kena benar, tiada seorangpun yang membantah. Malah Kui-ing-cu dan Thaysan sin-tho Ih Liok serempak berseru: "Benar, tepat sekali! Apabila Thian Te Hui yang beranggauta puluhan ribu itu tiada pimpinan yang tegas, bukankah akan menjadi semacam sarang tawon saja? Oleh karena baru, orang gagah dari empat penjuru sudah berkumpul semua digunung ini, sebaiknya Ki-heng dan Kiau-heng lekas memulaikan upacara untuk memilih ketua!"

Dari tengah2 orang banyak, tampillah Ki Ce-tiong dan Kiau To, itu toa-ah-ko dan ji-ah-ko dari Thian Te Hui dahulu. Kepergian Kiau To dari gereja Ang Hun Kiong untuk mencari suhunya (Tay Siang Siansu) ternyata tak berhasil. Ketika mendengar kabar gereja itu dimusnakan dinamit, dia ber-gegas2 menuju kesana. Tapi ditengah jalan telah berpapasan dengan Ko Thay yang memberitahukan tentang persiapan yang diadakan digunung Lo-hu-san. Dia segera mengikut Ko Thay pergi kegunung tersebut.

Ki Ce-tiong dan Kiau To adalah pimpinan lama dari Thian Te Hui, maka Kui-ing-cu menereaki mereka supaya keluar. Dan ini tidak mendapat tentangan dari orang banyak. Keduanya sama berbaju hitam, bercelana putih, mengenakan ikat kepala sebagai seorang militer.  Juga sepatu mereka separoh hitam separoh putih. Itulah pakaian seragam (uniform) dari Thian Te Hui.

Dari saku bajunya Ki Ce-tiong mengeluarkan 4 buah thong-pay (piagam atau plaket dari tembaga) panjang 1 dim, lebar 2 dim. Tangan kanan kiri masing2 memegang 2 thong-pay, dan orangnya tegak berdiri dengan chidmat. Kiau To menghamperi kearah seonggok tumpukan kayu bakar yang sudah disiapkan disitu lebih dahulu. Setelah nyalakan api, terus dilempar ketengah onggok kayu itu. Terkena tiupan angin, kayu bakar itu segera  berkobar. Habis membakar, Kiau To lalu mundur kebelakang berdiri disamping Ki Ce-tiong.

Suasana pada saat itu tampak khidmat sekali. Semua orang sama menahan napas, tiada yang bicara sendiri.

(Oo-dwkz-tah-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar