Naga dari Selatan BAGIAN 46 : DUKA MERANA

 
BAGIAN 46 : DUKA MERANA

Tersirap darah Yan-chiu mendengar nada itu. Mengapa orang itu bisa datang kemari ? Kalau ia, tak kena apa2, terang suhu dan sukonya tentu juga selamat. Hati Yan-chiu serasa terang gembira. Benar juga ketika dekat, orang yang bersenandung (nyanyi2 kecil) itu ternyata seorang perempuan muda. Walaupun mengunjuk rasa kedukaan sehingga pucat lesi wajahnya, namun tak mengurangkan kecantikannya yang luar biasa itu.

Nada senanjung itu, sukar ditebak, entah melukiskan kegirangan atau kesedihan. Begitu melihat ketiga orang tersebut (Hwat Siau, Swat Moay, Yan-chiu) ia hanya mengangkat kepala sambil mengerlingkan ekor mata, sebentar, lalu bersenandung pula:

"Daun kuning tiada angin rontok sendiri, awan dimusim rontok tiada hujan tapi mendung terus. Kalau dunia ini memang ada percintaan sampai kaki nini, suka benci kasih hanya tinggal kenangan, kemanakah hendak kucarinya!"

Hati Yan-chiu serasa tertikam. Ia memangnya seorang nona yang berhati welas asih. Begitu dihidungnya berkembang kempis, air matanya mengalir deras dan mulutnya segera berseru dengan suara terharu: "Lian suci!".

Kiranya wanita muda itu bukan lain adalah Say-hong- hong Bek Lian. Sekalipun tak menyetujui akan  keperibadian sucinya itu, namun dalam keadaan begitu, tak tega ia untuk tak menegurnya. Yan-chiu tak mengetahui bahwa sucinya itu telah dihianati cintanya oleh The Go. Tapi yang nyata saja, sucinya itu kini begitu kurus kering ibarat tulang terbungkus kulit. Sengaja ia, berseru keras2, namun agaknya Bek Lian se-olah2 tak menghiraukan.

"Suka duka benci kasih hanya tinggal kenangan, kemanakah hendak kucarinya? Suka duka benci  kasih hanya tinggal kenangan, kemanakah hendak kucarinya?" demikian mulutnya berulang kali bersenanjung  sembari sang kaki melangkah kemuka.

Mendengar, Yan-chiu memanggil "suci" kepada  gadis itu, Hwat Siau dan Swat Maoy timbul kecurigaannya. Ya, tak salah lagi kiranya, gadis itu adalah anak perempuan dari Kang Siang Yan yang dijumpainya didalam gereja  Ang Hun Kiong kemaren dulu. Mengapa ia sekarang pura2 menjadi orang gila ? Adakah hendak menarik perhatian Kang Siang Yan supaya datang kesitu? Ah, rasanya nona itu (Bek. Lian) tentu mengetahui apa yang terjadi dalam gereja Ang Hun Kiong ketika dinamit meledak. Setelah saling memberi isyarat mata, kedua suami isteri itu segera lompat majau menghadang dimuka Bek Lian, serunya:

"Hai, berhenti dahulu !"

Bek Lian tertegun, lalu menghindar kesamping tanpa menghiraukan Swat Moay, yang berdiri tepat dihadapannya. Swat Moay ulurkan tangannya untuk menepuk pelahan2 dan itu saja sudah cukup untuk membuat Bek Lian menggigil kedinginan.

"Aduh, dinginnya! Engkoh Go, nyalakan api untuk memanasi pakaian. Nanti kita tinjau lagi tempat apakah disini ini!" Bek Lian mengoceh sendiri.

Swat Moay makin heran. Pada hal saat itu Bek Lian terkenang akan kejadian kala ia, bersama The Go terombang-ambing ditengah lautan, kemudian terdampar dipulau kosong. Disitu The Go segera nyalakan api dan malam itu adalah untuk pertama kali ia serahkan diri pada The Go. Sudah tentu kenangan itu tergurat dalam2 pada lubuk ingatannya.

"Hai, kau pura2 gila ya?" kembali Swat Moay membentaknya. Karena kerasnya bentakan itu, Bek Lian terkesiap sampai beberapa saat. Pada lain saat tiba2 ia menangis tersedu sedan.

"Ma, anakmu ini sungguh bernasib malang! Ayah hendak membunuh aku!" serunya meratap tangis.

Hwat Siau menghampiri datang. Setelah memperhatikan keadaan nona itu sesaat, dia berkata kepada isterinya: "Niocu, nona ini gila karena patah asmara, sudahlah jangan mempedulikannya!"

Yan-chiu mencekal lengan Bek Lian yang beberapa kall di-guncang2kan seraya bertanya: "Lian suci, dimana suhu dan Jiang suko ? Ya, dimana sekarang mereka itu ?"

Namun Bek Lian se-olah2 tak mendengarnya, hanya terus menangis saja. Akhirnya setelah sekian lama menangis, se-konyong2 Bek Lian tertawa: "Ah, sudah tentu aku ini menjadi milikmu sampai diakhir jaman!"

Yan-chiu kewalahan benar2. Tiba2 terdengarlah suatu suara orang memanggil2. Walaupun agak lemah karena jaraknya yang jauh, namun apa yang diteriakkannya itu jelaslah sudah: "Lian-ji, kau berada dimana?"

Suara itu makin mendekati dan berobahlah wajah Swat Moay seketika.

"Koanjin, ayuh lekas pergi, itulah Kang Siang Yan!" serunya kepada sang suami. Tapi rupanya Hwat Siau tak memandang mata pada Kang Siang Yan, sahutnya: "Takut apa sih?" .

"Bukannya takut, tapi pada saat ini lebih baik kita,  jangan cari perkara dengan orang itu dulu!" menerangkan Swat Moay. Dan dalam beberapa detik pembicaraan itu saja, suara Kang Siang Yan sudah makin mendekat. Buru2 Swat Moay tarik Yan-chiu untuk diajak sembunyi ditempat yang gelap. Yang didengar hanya ucapan Kang Siang Yan ketika menjumpai Bek Lian yakni "Ah Lian", karena pada waktu itu Yan-chiu dapatkan dirinya sudah diseret jauh dari tempat Bek Lian tadi.

Dalam cengkeraman sepasang suami isteri iblis itu, Yan- chiu tak dapat lobs lagi. Setiap 6 hari, urat nadi Yan-chiu yang tertutuk itu dibuka sekali, tapi hanya untuk beberapa waktu saja, kemudian ditutuk lagi. Dengan begitu Yan-chiu tetap berada dalam genggaman kedua iblis itu.

---oodwkz0tahoo---

Demikianlah dengan singkat saja, musim rontok telah berganti dengan musim semi atau berarti sudah berganti tahun. Tahun itu merupakan tahun ke 5 dari pemerintahan kaisar Sun Ti dari kerajaan Ceng, dan tahun ke 2 dari kerajaan Lam Beng, yang dirajai oleh baginda Ing  Lek. Kala itu sudah menginjak bulan dua, sudah hampir 10 bulan lamanya Yan-chiu berada ber-sama2 kedua suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay. Selama dalam 10 bulan itu, Yan-chiu sudah makin dewasa, perangai ke-kanak2an makin berkurang. Ia tak suka banyak bicara lagi, satu2nya harapan yalah supaya dapat berjumpa dengan suhu atau orang2 gagah yang dikenalnya.

Baginda Ing Lek bersemayam dikota raja Siau Ging. Hwat Siau dan isterinya sudah menjelajahi seluruh pelosok propinsi Kwitang dan sebagian dari Kwisay, tapi selama itu mereka tak berani datang ke Siau Ging, karena kuatir kebentrok dengan para wi-su (bayangkari) istana dan ketahuan kedoknya. Sebab hampir semua pelosok Kwiciu sudah dikunjungi, akhirnya diputuskan untuk menyusup kekota Ko-yau-koan yang termasuk dalam lingkungan Siau Ging.

Sedari Li Seng Tong berbalik haluan menakluk pada kerajaan Beng, maka perlawanan terhadap  pemerintah Ceng timbul dari daerah timur dan utara. Dan untuk sementara waktu, kerajaan Lam Beng agak aman. Maka kota Ko-yau-koanpun ramai sekali. Begitu masuk kekota itu, disitu terdapat dua buah jalan besar. Mereka bertiga memilih salah sebuah. Tapi baru berjalan tak berapa lama, tiba2 terdengar suara teriakan orang: "kereta pesakitan datang, ayuh minggir...., minggir !" Menyusul dengan itu

gerobak2 dari 3 buah kereta beroda tiga yang didorong oleh beberapa serdadu tampak mendatangi. Kepala dari pesakitan2 itu menonjol keluar diatas lantai atap kereta.

Bermula Yan-chiu tak menghiraukan, karena mengira pesakitan itu tentulah bangsa penjahat. Tapi ketika tanpa disengaja matanya tertumbuk pada kepala salah seorang pesakitan, seketika pucatlah wajahnya. Hendak ia berteriak, tapi tenggorokannya serasa tersumbat suatu arang hingga tak dapat mengeluarkan suara. Ia memburu maju, tapi baru saja melangkah beberapa tindak, punggungnya sudah dicengkeram kencang2 oleh Swat Moay (lihat gambar diatas).

"Hm, ah-thau, kau hendak melarikan diri?"

Dalam pada Yan-chiu me-ronta2 itu, kereta pesakitan sudah berjalan jauh, hingga saking marahnya Yan-chiu banting2 kaki berseru: "Kau bilang tidak takut aku melarikan diri bukan ? Tapi mengapa baru aku bergerak sedikit saja kau sudah begitu ketakutan?"

Kata2 itu sengaja ia, ucapkan keras2, sehingga banyak orang yang sama berhenti mengawasi. Hal mana membuat kedua suami isteri itu gugup dan membentaknya: "Awas, kui-ah-thau, kalau berani membangkang tentu akan segera kubunuh!"

Berlainan dengan sikapnya dahulu, kini Yan-chiu tak mau sungkan lagi, dengan separoh meratap ia, meminta kelonggaran: "Jiwi cianpwe, idinkanlah aku  mengejar kereta pesakitan itu tadi untuk berbicara beberapa patah pada sipesakitan. Bukantah jalan darah ki-hiat-ku telah kalian tutuk ? Kalau dalam 5 hari tak kembali, aku pasti mengalami siksaan hebat, masakan aku tak sayang akan jiwaku?"

"Apamu sipesakitan itu ?" tanya Swat Moay.

"Yang dua aku tak kenal, tapi yang satunya itu adalah sukoku!"

"Hem, kami ber-sama2 kesana!" Swat Moay mengerang.

Yan-chiu yakin bahwa kepala yang menonjol diatas kereta pesakitan itu, adalah Tio Jiang. Dalam tahun yang terakhir ini, bayangan Tio Jiang makin melekat dalam sanubarinya, maka walaupun dalam keadaan rambut kusut masai muka kotor, namun Yan-chiu masih tetap dapat mengenalnya. Begitu permintaannya disetujui, ia lupa  segala apa. Ditengah hari bolong, diantara sekian banyak orang, ia segera gunakan ilmu berjalan cepat. Sekali berloncatan macam burung walet (seriti), ia sudah melampaui dua buah jalanan dan tampaklah kini ketiga kereta pesakitan itu disebelah muka sana.

"Jiang suko, Jiang suko!" serunya sambil memburu kemuka seraya terus menarik baju kedua serdadu yang mendorong kereta itu. Seketika kedua serdadu itu mendeprok ketanah seperti kehilangan tenaga.

"Jiang suko!" seru Yan-chiu seraya mendekap terali kereta. Dari sepasang matanya, butir2 air menetes bercucuran.

Tio Jiangpun terkesiap mendengar seruan Yan-chiu itu, hingga sampai beberapa saat dia ter-longong2. "Siao Chiu dimanakah sekarang kita ini ?"

"Jiang suko, kenapa kau sampai begini? Bukantah ini kota. Ko-yau-koan?" kata Yan-chiu dengan terharu dan girang.

Tio Jiang menghela napas. Baru dia hendak menyahut, ketiga perwira yang mengiring kereta pesakitan itu sudah menghampiri datang dengan beringas. Salah seorang cepat melolos goloknya dan membentak: "Perempuan liar dari mana ini, yang berani bicara dengan pesakitan ? Kalau dituduh hendak merampok pesakitan, kau tentu dihukum tabas kepala!"

Mendengar. kini Tio Jiang disebut pesakitan negeri, marah Yan-chiu bukan kepalang. Tanpa tunggu siperwira habis bicara, ia sudah mendampratnya: "Fui, kentut busuk, ayuh lekas enyah!" .

Siperwira terkesiap kaget. Mimpipun tidak dia kalau sinona begitu katak (garang). Setelah tersadar, segera dia julurkan goloknya kemuka dada Yan-chiu, seraya mengancam: "Kalau kau berkeras kepala, tentu ku "

Belum lagi siperwira menyelesaikan kata2nya, Yan-chiu sudah menyepit ujung golok dengan dua buah jari, lalu disentakkan kebelakang. Perwira itu hanya seorang militer yang bertubuh kokoh kekar, dalam hal ilmu silat sudah tentu dia tak sepersepuluhnya kepandaian Yan-chiu. Bluk...... bukan saja goloknya terlepas, orangnya pun turut tertarik dan jatuh kemuka.

"Aku tak mau pergi. Ayuh, beri hormat padaku dengan 3 kali anggukan kepala?" seru Yan-chiu sembari tancapkan batang golok ketengkuk siperwira. Serasa terbang semangat siperwira dibuatnya, hingga tak dapat berkata apa2.

Dalam pada itu, kedua kawan perwira yang melihat kejadian itu, segera ber-teriak2: "Pemberontak mengacau, pemberontak mengacau!"

Dengan memutar golok, mereka maju menyerang, tring....., tring....., Yan-chiu menangkis dengan goloknya dan tangan kedua perwira itu merasa kesemutan. Sekali dua Yan-chiu menggerakkan goloknya lagi, kedua golok lawan sudah terlepas dan kedua perwira itupun terhuyung mundur beberapa tindak.

"Kereta pesakitan dirampok......! Kereta pesakitan dirampok......!" entah bagaimana serdadu2 pendorong kereta itu sama2 berlarian seraya berteriak2. Dalam sekejab saja, terjadilah kekacauan. Orang2 sama2 berserabutan lari, toko2 sama2 menutup pintu hingga dalam waktu yang singkat saja, jalanan yang semula hiruk pikuk itu kini menjadi sunyi senyap. Yang masih tertampak hanya beberapa gelintir orang yang bernyali besar serta Hwat Siau dan Swat Moay yang berdiri dikejauhan.

Ko-yau-koan meskipun dekat dengan kediaman raja, tapi tak lebih tak kurang dari sebuah kota kecil saja. Dalam sekejab waktu saja, peristiwa Yan-chiu itu sudah tersiar diseluruh kota.

"Siao, Chiu, jangan bikin onar!" Tio Jiang memberi peringatan. Sedang kedua pesakitan yang lain itu, tinggal diam saja.

Yan-chiu tak habis mengerti, mengapa Tio Jiang tak dapat keluar dari sebuah kereta yang terbuat dari pada  kayu. Maka segera ia tabaskan goloknya untuk menghancurkan terali kayu itu, tapi hai, goloknya telah membentur besi logam. Kiranya terali (ruji) kereta  itu terbuat daripada besi baja dan ketika diperiksanya, terali itu hanya satu dim besarnya.

Tiba2 terkilas dalam pikiran Yan-chiu, bahwa pada 10 bulan yang lalu ketika menolong Kuan Hong dan Wan Gwat didalam gereja Ang Hun Kiong, ia telah dapat mendorong terbuka terali besi. Cepat golok dibuangnya, kemudian dicekalnya dua buah terali terus dingangakannya, krek, krek, putuslah terali itu. Dengan ber-nyala2 segera ia mematahkan terali2 besi kereta itu semua. Didapatinya tangan dan kaki Tio Jiang diikat dengan rantai besi sebesar jari. Siku dan pergelangan tangannya tampak bekas noda2 lecetan berdarah. Melihat itu hati Yan-chiu makin meluap.

"Jiang suko, siapa yang menyiksamu sedemikian rupa? Bilanglah, tentu akan kucincang lebur orang itu!" Yan-chiu menjerit seperti orang kalap.

Bahwa Tio Jiang itu seorang pesakitan penting, seluruh kota situ sudah lama mengetahuinya. Jadi orang yang hendak dicincang oleh Yan-chiu itu bukan lain adalah baginda sendiri. Orang2 yang tadinya masih bernyali untuk melihat ramai2 disitu, kini sudah sama ngacir bubar. Hwat Siau dan Swat Moaypun segera mengumpat diujung jalan, menantikan perkembangan selanjutnya.

Walaupun Yan-chiu sangat bernapsu menghujani pertanyaan, namun Tio Jiang hanya menghela napas saja tak menyahut. "Akupun tak tahu!" akhirnya dia memberi keterangan.

"Tio-heng, jangan takut mengatakan! Terhadap orang2 macam begitu, memang pantas dicincang seperti yang dikatakan nona ini tadi!" tiba2 kedua pesakitan itu turut bicara. Yan-chiu segera menghampiri kereta mereka untuk membuka terali besi, begitu juga borgolan yang mengikat kaki tangan mereka. Tapi ketika ia, hendak membuka borgolan rantai Tio Jiang, anak muda itu sudah mendahului gerakkan tangannya sendiri untuk mematahkan rantai borgolannya.

Tanpa menghiraukan rasa sungkan apa2 lagi, Yan-chiu segera rubuhkan kepalanya kedada sang suko untuk menangis ter-isak2. Biar bagaimana ia adalah seorang gadis remaja. Tadi memang ia sangat garang sekali melabrak serdadu dan perwira pengawal kereta pesakitan itu. Tapi kini ia laksana seekor anak kambing yang jinak. Terkenang akan penderitaannya selama 10 bulan ini, apalagi chit-jit- hiatnya masih tertutuk dan Tio Jiang menjadi pesakitan negara. Nasib sial yang ber-turut2 menimpah pada diri mereka itu, telah membuat Yan-chiu menangis tersedu sedan.

"Sudahlah, Siao Chiu, jangan menangis!" Tio Jiang menghibur.

"Bagaimana kau dapat lolos dari Ang Hun Kiong?" Yan-chiu menyapu air matanya dan hendak memberi penyahutan, tapi tiba2 terdengar derap kaki kuda mendatangi. Pada lain saat, jalanan itu telah dikepung dengan pasukan berkuda yang tak terhitung jumlahnya. Empat orang buciang (panglima) dengan garang menobros kemuka. Demi melihat ketiga pesakitan itu sudah terlepas, mereka terbeliak kaget. Salah seorang dari mereka menusuk Tio Jiang dengan tombak, tapi anak muda itu cepat menghindar kesamping. Dalam murkanya, Yan-chiu hendak menangkap tombak orang, tapi ternyata buciang itu bukan seorang jago lemah. Tombak diputar laksana kitiran, begitu diturunkan kebawah, lalu ditusukkan kepada sinona. Yan-chiu tak mau unjuk kelemahan. Ia membungkuk kebawah sambil merapat. maju. Disambarnya goloknya yang terletak ditanah tadi, tangkai golok itu disodokkan keperut kuda sibuciang tadi. Sudah tentu kuda itu  meringkik tersentak keatas dan membarengi dengan itu, Yan-chiu segera memapas tombak sibuciang hingga kutung menjadi dua. Kebenaran pula kutungan tombak itu tepat melayang  mengenai  punggung  sibuciang,  aduh ia

mengerang dan jatuh kebawah, lalu diinjak oleh Yan-chiu. "Ayuh, siapa yang berani maju lagi?"

Ketiga huciang (bawahannya buciang) melihat pemimpinnya tertangkap, tak berani ambil tindakan keras. Mereka hanya perintahkan anak buahnya  untuk mengepung rapat2 tempat itu sambil ber-teriak2.

Entah sudah berapa kali Tio Jiang dan Yan-chiu bertempur melawan kawanan tentara Ceng. Tapi kejadian itu mengambil tempat dihutan, tidak seperti. saat  itu ditengah jalanan ramai apalagi pasukan Beng itu semua berkuda. Kalau mereka sama menyerang rapat, kemungkinan besar bisa keinjak mati. Maka Yan-chiu segera gunakan akal. Begitu ada seorang serdadu mau menghampiri dekat, cepat2 ia jiwir telinga panglima tadi, serunya: "Lekas suruh mereka mundur!"

Tapi ternyata panglima itu juga seorang jantan. Dalam kota raja orang berani main rampas pesakitan ditengah hari bolong, berani pula melawan tentara pemerintah, andaikata pemberontak2 itu bisa melarikan diri, dia (buciang) pun akan mendapat hukuman mati. Maka dengan kertek gigi, dia tahan kesakitan tak mau menyahut.

Melihat itu Yan-chiu gelisah sendiri. "Jiang suko, ayuh kita serbu!" akhirnya ia berseru. Tio Jiang ragu2 tampaknya, tapi Yan-chiu secepat kilat sudah mengambil keputusan.

"Terimalah panglima ini!" serunya seraya melempar tubuh sibuciang kearah kawanan tentara Beng, Yan-chiu, menyambar sebuah rantai besi, tangannya kiri mencekal sebatang golok, serunya; "Tolol, kalau tak menyerbu, apa mau tunggu kematian ?"

Tio Jiang tersadar, lalu menjemput sebatang rantai untuk di-putar2. Tapi begitu mengetahui pemimpinnya tak kurang apa2, ketiga huciang itu segera maju merapat. Pada jarak dua tombak, mereka kedengaran berteriak keras2: "Serbu!"

Dari empat jurusan, kuda mendesak maju. Hiruk pikuk kud2, meringkik, se-olah2 memecah bumi. Yan-chiu sibuk sekali. Untung pada saat2 yang berbahaya itu, se-konyong', terdengar dua buah suitan aneh. Menyusul dengan itu, dua sosok bayangan, satu merah satu hitam, meluncur turun dari atas wuwungan sebuah rumah. Bayangan merah menghamperi Tio Jiang, bayangan hitam mendekati Yan- chiu. Mereka ternyata adalah suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay. Tanpa berkata ba atau bu, Swat Moay segera mengepit Yan-chiu dibawah ketiak, kemudian sekali enjot kakinya, Swat Moay bawa Yan-chiu melayang keatas wuwungan. Gerakannya bagai seekor burung waled.

Sebaliknya Hwat Siau yang hendak meniru perbuatan isterinya, telah mengalami kesukaran terhadap Tio Jiang. Begitu tangan Hwat Siau mengulur, Tio Jiang turunkan bahunya lalu mengirim sebuah hantaman kemuka. Hwat Siau tersentak kaget. Cengkeramannya luput, malah berbalik didorong oleh tenaga dahsyat. Cepat dia robah gerakannya, memutar tangan untuk merangsang bahu sianak muda. Tapi dia tetap tak mau menghindar dari sodokan Tio Jiang tadi, maka tangan Tio Jiangpun tepat dapat mengenai sasarannya dan uh tangannya itu serasa memegang api membara. Dalam pada dia terkejut, tahu2 bahunya sudah tercengkeram tangan Hwat Siau. Hendak dia meronta, tapi sekali diputar tahu2 tubuhnya sudah pindah diatas pundak Hwat Siau.

Tepat pada saat itu pasukan berkuda lawan sudah merapat dekat. Hwat Siau perdengarkan suara ketawa mengejek, sekali enjot sang kaki, dia melayang keatas wuwungan rumah. Saking herannya, pasukan berkuda itu ter-longong2 kesima.          Untuk melampiaskan kemengkalannya, mereka segera menghujani kedua pesakitan dengan tombak dan golok, hingga tubuh mereka tercincang hancur.

Sampai kerajaan Beng berhijrah kedaerah selatan dan berganti dengan nama Lam Beng (Beng Selatan), namun adat kebiasaan buruk dari para pembesar sipil dan militer masih melekat dalam2. Hanya membunuh dua orang pesakitan yang tak berdaya, mereka menghaturkan laporan keatas kalau pemberontak yang hendak merampas pesakitan itu dapat dibunuh semua. Hal ini untuk menutupi kelemahan mereka dan mengidamkan pahala dan hadiah.

(Oo-dwkz-tah-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar