Naga dari Selatan BAGIAN 44 : ANJING GILA

 
BAGIAN 44 : ANJING GILA

Kiranya ketika mendengar bentakan keras dari  Ang Hwat Cinjin tadi, Kang Siang Yan agak tertegun. Tapi ternyata Ang Hwat tak menyerang, maka Kang Siang Yan buru2 menghampiri Bek Lian. Tapi pada saat itu keadaan Bek Lian sudah keliwat payah. Keguncangan yang, dideritanya adalah sedemikian hebat, hingga kandungannya turut bergerak keras. Sekali mulut menguap, segumpal darah segar muntah keluar dan limbunglah ia antara sadar tak sadar.......... Masih ia dapat mengenali wajah ibunya, tapi karena tenaganya sudah habis, sepasang bibirnya yang pucat seperti tak berdarah itu ber-gerak2, namun tak dapat mengeluarkan sepatah katapun jua!

Melihat puteri biji matanya mengalami penderitaan yang sedemikian sengsaranya, kemurkaan Kang Siang Yan meluap. Ia deliki mata kearah The Go, dimana saat itu justeru sedang memandang kearah Bek Lian dan Kang Siang Yan. Pancaran mata Kang Siang Yan ternyata sedemikian ber-api2, hingga jantung The Go serasa berdebar keras.

"Bangsat, tak nanti kau terlepas dari tanganku!" pikir Kang Siang Yan. la anggap jiwa Bek. Lian lebih utama dahulu, maka segera ia salurkan lwekang untuk menjalankan perdarahan tubuh Bek Lian. Lewat beberapa jurus kemudian, barulah Bek Lian kedengaran menangis.

"Sudah, nak, jangan menangis. Biar ibumu yang membalaskan!" hibur Kang Siang Yan dengan rawan.

Mendengar itu The Go takut setengah mati. Kalau Kang Siang Yan sampai turun tangan, habislah riwayatnya. Dari segala macam siasat membela diri, angkat kaki adalah yang paling selamat. Sebat sekali dia lalu hendak ngacir, tapi ternyata Kang Siang Yan lebih sebat darinya.  Hanya tampak tubuhnya berguncang sedikit, atau tahu2 wanita gagah itu sudah berada disampingnya dan terus ulurkan tangannya hendak mencengkeram. Cian-bin Long-kun The Go coba hendak menangkis dengan ular ceng-ong-sin, tapi cukup dengan dua buah jari saja Kang Siang Yan telah dapat menjepit erat2 angsang ular itu, hingga tak dapat berkutik lagi. Malah berbareng itu, lima buah jari tangan kirinya mencengkeram bahu The Go, menekan bagian tulang pi-peh-kun. Maka seketika itu The Go rasakan kesakitan hebat dan mengeranglah dia dengan jeritan seram.

"Hem, kukira kau seorang jantan, berani berbuat berani tanggung resiko, tak tahunya hanya bangsa 'kantong nasi', belum mati sudah men-jerit2 ketakutan!" Kang Siang Yan menyeringai.

Wajah The Go berobah pucat lesi, butiran keringat sebesar kacang hijau ber-ketesa turun dari dahinya. Mukanya seperti orang dicekik setan tampaknya. Kang Siang Yan sentuhkan lengannya ketangan The Go dan kelima jari sianak muda yang mencekali ular itu segera kendor. Tahu2 ceng-ong-sin sudah pindah ketangan Kang Siang Yan.

Karena angsangnya dipijat, ular itu tak dapat berkutik, hanya lidahnya saja yang menjulur surut. Demi dirangsang oleh kebenciannya terhadap "mantu"nya yang manis itu,

Kang Siang Yan acungkan ular ceng-ong-sin  kemuka The Go. Bau amis segera menyampok hidung The Go ketika lidah ceng-ong-sin itu terpisah hanya setengah dim dari kulit mukanya. Hilang semangat The Go  dibuatnya dan serentak merintih dia dengan ter-iba2: "Gakbo, ampun! Siausay mengaku salah!" 3

"Ampun, Gakbo (ibu mertua) :" teriak The Go ketika kena dicengkeram Kang Siang Yan.

Terjentik sanubari Kang Siang Yan mendengar rintihan sang "menantu" itu. Puterinya sudah terlanjur memilihnya dan sudah pula mengandung, kalau dia dibunuh, berarti juga Bek Lian nanti akan menjadi janda sebelum kawin. Suatu hal yang memalukan sekali. Tanpa terasa tangan wanita gagah itu disurutkan kebelakang untuk menarik ular ceng-ong-ain.

"Hong-moay, jangan kena diakali bangsat itu! Dia tak boleh diberi hidup lagi!" kedengaran Ceng Bo siangjin berseru demi dilihatnya sang isteri hendak membatalkan rencana. Juga Thaysan-sim-tho Ih Liok berteriak keras2 untuk menganjuri, hingga membuat Kang Siang Yan menjadi serba salah.

Dilain fihak, Ang Hwat cinjin gelisah sekali. Dia sangat sayang anak muda itu melebihi dari semua murid2nya. Namun hendak dia menolong, berarti akan mempercepat kematian The Go, karena terang nanti Kang Siang Yan tentu akan turun tangan lebih lekas. Jadi keadaan cinjin itupun seperti 'sibisu makan getah' atau menderita tapi tak dapat menyatakan. Maka sekalipun dia seorang jago lihay, namun tak dapat berbuat apa2 untuk menolong muridnya. Tiba2 terkilas dalam pikirannya sebuah siasat. Digenggamnya dua buah thi-lian-cu (senjata rahasia berbentuk biji terate) dan wut...., wut. melayanglah dua

buah thi-lian-cu, satu kearah kepala ular ceng-ong-sin dan satu kelengan Kang Siang Yan!

Tokoh macam Ang Hwat sebenarnya tak perlu menggunakan senjata rahasia lagi. Tapi karena keadaan memaksa, terpaksa dia gunakan thi-lian-cu, suatu senjata rahasia yang dikuasainya sejak dia masih muda. Dan kuatir kalau dua buah thi-lian-cu tadi akan gagal, dia merogoh kedalam saku dan menyusuli lagi dengan ber-puluh2 buah. Tak kurang dari 30-an buah thi-lian-cu menabur kearah Kang Siang Yan, laksana hujan tercurah dari langit, suaranya meng-aum2 memecah angkasa.

Jaraknya dengan Kang Siang Yan hanya terpisah setombak lebih, jadi persentasinya tentu mengenai. Kang Siang Yan sedikitpun tak sayang akan ular ceng-ong-sin, tapi ia tak sudi lengannya sampai terkena senjata rahasia yang lihay itu. Ia cukup sadar thi-lian-cu merupakan suatu senjata rahasia yang berbahaya, sekalipun orang memiliki ilmu thiat-po-san (tak mempan senjata) namun sukarlah rasanya untuk menahan serangan senjata tersebut yang dilepas oleh seorang tokoh macam Ang Hwat  cinjin. Namun kalau hendak menghindar berarti memberi kesempatan The Go lari, suatu hal yang tak dikehendaki Kang Siang Yan. Tiba2 dalam keadaan yang serba sulit itu, terdengarlah suara bergemerincing. Ah, kiranya Kui-ing-cu telah bertindak dengan sebat.

Tokoh aneh itu tahu bahwa Ang Hwat hendak membinasakan ceng-ong-sin agar The Go terhindar dari pagutan maut. Tahu juga dia bahwa Kang Siang Yan tak ambil mumet dengan ular sakti yang diperoleh susah payah oleh oleh Sik Lo-sam, maka cepat dia ambil sebuah sendok perak yang sekali dipijat menjadi patah macam sebuah senjata rahasia, lalu ditimpukkan. Oleh karena dia lebih dekat dengan Kang Siang Yan, maka sekalipun tak dapat membikin jatuh tapi se-kurang2nya dapatlah kepingan sendok itu membuat thi-lian-cu itu miring arah layangnya dan jatuh kesamping! Kalau tadi Kiang Siang Yan masih ragu2, kini dengan adanya tindakan Ang Hwat itu, ia menjadi beringas. Sekali mendorong, The Go segera terjerembab kedalam taburan hujan thi-lian-cu. Ber-puluh2 thi-lian-cu menghujani tubuh pemuda culas itu. Ceng Bo lega, tapi sebaliknya Bek Lian masih merasa iba melihatnya. Ting..., ting...., ting...., ber- puluh2 thi-lian-cu telah menghantam tubuh The Go, tapi begitu kena semua senjata rahasia itu pada jatuh ketanah. Sedikitpun anak muda itu tak kena apa2, malah terus gunakan gerak hong-cu-may-cin, berosot kesamping terus lari sipat kuping!

Kang Siang Yan terlongong karena kekebalan sang "mantu" yang manis itu, hingga tak keburu menangkapnya. Dan ketika ia tersadar hendak mengejar, Ang Hwat telah menyambutnya dengan hantaman yang dahsyat. Dalam beberapa kejab saja, keduanya telah saling berhantam sampai 10 jurus, kemudian baru saling surut kebelakang. Ang Hwat tertawa ter-kekeh2.

"Kang Siang Yan, kau juga seorang cianpwe, mengapa memusuhi seorang anak? Kalau pinto tak keburu unjukkan sedikit permainan, namamu tentu tercemar!"

Saking gusarnya Kang Siang Yan buang ceng-ong-sin, serunya: "Imam tua Ang Hwat, kau ngoceh apa itu? Kalau harini belum kucincang tulang belulang anak itu, jangan harap aku tinggalkan tempat ini!"

Ang Hwat jebirkan bibirnya, menyeringai: "Kau hendak tinggalkan tempat ini? Hem, rasanya harus memerlukan idinku dahulu!"

Keduanya siap hendak bertempur lagi, rupanya kedua fihak makin lebih ngotot dari tadi.  

4

Meski dibanting kelantai oleh Kang Siang Yan, tapi Ceng-ong- sin bukan sembarangan ular, begitu menyentuh tanah, segera badannya meringkuk sambil menjulurkan kepalanya keatas. Melihat kesempatan itu, cepat Can Bik San melompat maju hendak menangkapnya, tapi Kui-ing-cu tak mau ketinggalan, segera iapun melayang maju terus menghantam.

Dilempar oleh orang macam Kang Siang Yan, apapun tentu hancur. Tapi ceng-ong-sin bukan ular sembarang ular. Binatang itu merupakan suatu benda ajaib yang jarang terdapat didunia. Begitu jatuh ditanah terus melingkar dan angkat kepalanya sembari menjulur2kan lidahnya, siap menyerang orang yang hendak mengganggunya. Melihat kesempatan sebagus itu, Ngo-tok-lian-cu-piau Can Biksan segera tampil hendak menangkap. Tapi Kui-ing-cu dengan sebatnya segera apungkan tubuhnya keatas. Belum orangnya tiba ditanah, pukulannya sudah menderu datang.

Can Bik-san merasa ada suatu tenaga dahsyat menekannya. Hendak dia menghindar tapi sudah tak keburu. Tiga batang piauw kecil yang bergemerlapan cepat dia timpukkan kelawan. Orang she Can itu biasa saja ilmunya silat. Kepandaian yang diandalkan, hanyalah ilmunya menyabit piau dengan kedua tangannya maju berbareng. Piaunya itu berbentuk bulat panjang, mempunyai tiga buah ujung yang sangat tajam. Tapi karena puncak ujungnya itu semuanya bundar, jadi sewaktu melayang tak menerbitkan suara apa2.

Perhatian Kui-ing-cu dicurahkan untuk, mencegah orang merampas ceng-ong-sin, maka sedikitpun dia tak mengira kalau orang she Can itu sedemikian ganasnya. Dalam gugupnya dia segera gunakan tenaga dalam untuk menghindar kesamping, tapi hasilnya ternyata runyam. Sebagaimana telah diketahui, karena menolong Sik Lo-sam yang terkena hantaman Kang Siang Yan tempo hari, dia telah kekurangan lwekang dan tenaga murni. Maka bukan kepalang kagetnya demi diketahui bahwa gerakannya kini tak segesit dahulu. Dua buah piau hanya terpisah beberapa dim disisi tubuhnya, tapi nomor tiga yang terachir tepat sekali menyusup kepahanya. Seketika dia rasakan bagian anggauta tubuhnya mati-rasa. Cepat2 dia cabut piau beracun itu, begitu tubuh menurun dia sapukan kaki dan berbareng menangkap ceng-ong-sin. Menurunkan tubuh, mengaitkan kaki, mencabut piau dan menangkap ular, 4 macam gerakan dia lakukan berbareng sekaligus.

Can Bik-san yang biasa saja ilmunya silat, mana dapat bertahan diri atas  kemarahan Kui-ing-cu itu. Krek ,

krek....... kedua kakinya patah tersapu gerakan Kui-ing-cu. Syukur kawan2nya lekas maju menolong. Kedelapan belas orang itu saling memberi isyarat mata. Yang tujuhbelas segera keluar dari gereja Ang Hun Kiong itu, sementara yang satu lalu memberitahu pada Hwat Siau dan Swat Moay supaya lekas2 bertindak. Pada saat itu perhatian Ang Hwat tengah dicurahkan untuk menghadapi Kang Siang Yan, jadi dia tak mempunyai keluangan untuk mengurusi orang2nya itu. Sedang difihak Ceng Bo dan kawan2 sedikitpun tak mengetahui akan adanya suatu rencana yang ganas itu. Mereka mengira, orang2 itu membawa Can Bik-san keluar untuk diobatinya. Ada beberapa orang yang mengetahui kedahsyatan piau buatan orang2 suku Thiat-theng-biauw itu segera menganjurkan supaya Kui-ing-cu potong saja bagian daging yang terkena piau itu. Tapi piau buatan suku Biauw itu sangatlah hebatnya.

Tadipun adanya Tio Jiang tak hujan tak angin sekonyong2 menjadi seperti orang kalap tak sadarkan diri, adalah terkena pengaruh racun dari pil cap-jit-tui-hun-tan (merampas jiwa dalam 10 hari) buatan suku Thiat- thengbiauw, ketika Tio Jiang minum teh yang dihidangkan Kitbong-to digunungnya. Walaupun dengan gunakan lwekang dia muntahkan lagi teh beracun itu, namun sisa sedikit yang masuk kedalam perut cukup membuatn ya tak sadar, begitu waktunya tiba. Tapi karena lwekangnya kini maju pesat, maka dapatlah pengaruh obat racun yang hanya sedikit itu, dipunahkan dan diapun segera ingat diri pula.

Sebaliknya racun piau Can Bik-san itu disebut "hong- sinsan" (obat membikin gila). Walaupun dengan  sebat sekali Kui-ing-cu segera mencabutnya, namun racun tersebut sudah keburu masuk kedalam pembuluh darah dan naik keatas. Amputasi atau pemotongan sebagian anggauta badan, hanya berguna terhadap racun biasa. Namun racun buatan Kit-bong-to itu lain sifatnya. Sekalipun andaikata paha Kui-ing-cu itu dipotong semua, akan sia2 jua.

Dan begitu racun merangsang, pikiran Kui-ing-cu sudah limbang, jadi begitu ada orang mengajak bicara, biji matanya membalik, sikapnya beringas. menakutkan, sehingga kawan2nya sama terkesiap jeri. Sebaliknya The Go bergendang paha, serunya: "Ho, orang itu terkena ngo- tok-lian-hoan-piau. Dia bakal seperti anjing gila, mana mau dengar kata2mu ? !"

Ceng Bo terperanjat dan deliki mata, sedang Thaysan sin-tho Ih Liok segera memaki habis2an. ”Mengapa si Cianbin long-kun tetap sehat walafiat? Marilah kami mundur dahulu.”

Kiranya Ang Hwat telah memperhitungkan bahwa Kang Siang Yan tentu akan membuat The Go sebagai umpan, maka taburan thi-lian-cu tadi dia gunakan  trick (permainan). Dalam jarak yang sudah diukurnya begitu mengenai tubuh, puluhan thi-lian-cu itu hilang daya kekuatannya dan jatuh berhamburan ketanah. Sedemikian indah permainan kepala gereja Ang Hun Kiong itu, hingga Kang Slang Yan sampai kena dikelabuhi dan lepaskan The Go. Bermula The Go sudah paserah nasib, tapi serentak terasa taburan thi-lian-cu itu sudah punah dayanya, tahulah dia maksud sucounya itu. Dan sebagai orang yang cerdas, dapatlah dia menggunakan kesempatan itu, se-bagus2nya. Demikianlah rahasia kekebalan The Go.

Sekarang mari kita ikuti keadaan Kui-ing-cu lagi. Begitu terkena penyakit anjing gila, Kui-ing-cu lupa daratan tak kenal mana lawan maupun kawan. Sampaipun Kang Siang Yan dan Ang Hwat sama alihkan pandangannya kepada tokoh itu, siapa tampak matanya menjadi merah membara.

"Kui-heng, kau bagaimana?" seru Ceng Bo, Ko Thay dan si Bongkok dengan serempak. Namun Kui-ing-cu kembali menggerung keras.

"Ang Hwat cinjin, mengapa sampai seorang buaya darat macam Can Bik-san, kau ajak berserekat?" teriak Ceng Bo Siangjin. Sekalipun Ang Hwat membantu pemerintah Ceng, tapi dia seorang ketua dari sebuah aliran cabang persilatan, jadi se-kurang2nya dia masih memegang kehormatan. persilatan. Tahu Kui-ing-cu belum apa2 sudah kena piau beracun, diapun agak kurang enak. Berpaling kebelakang, didapatinya hanya ada dua orang muridnya saja.

"Tek-san undanglah Ngo-tok-lian-cu-piau Can Bik-san kemari!" katanya kepada Ji-mo Long Tek-san, siapa mengiakan dan terus berlalu.

Pada saat Itu, se-konyong2 Kui-ing-cu loncat setombak lebih tingginya. Diatas udara dia berjumpalitan dan begitu menginjak tanah, kembali dia perdengarkan teriakan aneh sampai dua kali. Sepasang matanya makin beringas merah. Oleh karena tahu bagaimana kelihayan tokoh itu, kawan2nya tak berani menghampiri, malah sama menyingkir.

Juga Ceng Bo cemas akan perobahan sahabatnya itu. Oleh karena Can Bik-san belum muncul maka Ceng Bo segera perintah kawan2n ya menyingkir saja. Begitulah ketika dia memberi aba2, kawan2nya sama bubar dan tinggalkan ruangan itu. Pun seorang tokoh2 macam Ang Hwat dan Kang Siang Yan tak urung cemas juga. Kang Siang Yan segera menggendong Bek Lian sedang Ang Hwat pun lalu menarik tangan The Go untuk diajak berlalu.

Menurut anggapan orang banyak, hanya Tio Jiang seorang yang paling akrab sekali hubungannya dengan Kui- ing-cu. Tapi keadaan anak itu baru saja sembuh terkena racun, jadi kasihan kalau sampai kena apa2. Dalam pada itu, Kui-ing-cu makin men-jadi2 keadaannya. Sepasang matanya ber-api2 dan se-konyong2 dia pentang kedua lengannya. Lengan kanan masih tetap mencekali ceng-ong- sin, sedang tangannya kiri menghantam dua kali pada sebuah tiang sepemeluk lengan besarnya, Tiang besar itu rompal bertebaran ke-mana2. Kui-ing-cu rupanya masih penasaran dan digeragotinyalah tiang itu.

"Kui locianpwe, kau ini kena apa?" Tio Jiang yang merasa kasihan segera bertanya.

Kui-ing-cu angkat kepalanya dan deliki mata pada Tio Jiang sembari tertawa meringkik, sehingga Tio Jiang berdiri bulu romanya. Kui-ing-cu undur selangkah. Kembali dia tertawa meringkik dan tiba2..... bang....., bang....., bang. ,

tahu2 tiang itu didorongnya rubuh sehingga ujung rumah itu ambruk sebagian. Orang2 yang sama menyingkir disebelah luar ruangan itu, makin cemas.

"Coba tengok lagi, mengapa sdr. Can itu belum kemari!" Ang Hwat banting2 kakinya seraya menyuruh Im Thian- kui, siapa lalu pergi dengan lekas.

Sementara itu Ceng Bo yang terus menerus mengikuti keadaan Kui-ing-cu, dapatkan bahwa tokoh itu kini melekatkan pandangannya kepada Tio Jiang.

"Jiang-ji, kembalilah lekas, jangan cari bahaya!" serunya memanggil sang murid. Tapi sudah terlambat. Membarengi seruan Ceng Bo, Kui-ing-cu yang sudah lupa orang itu segera menghantam dada sianak muda.

Tio Jiang tak berani menangkis, maka cepat dia menghindar saja. Tapi walaupun gila, ternyata kepandaian Kuiing-cu masih utuh. Secepat kilat diaa berputar, terus mencengkeram dada Tio Jiang. Dalam gugupnya Tio Jiang surutkan dadanya kebelakang. Benar badannya terhindar, tapi bajunya kena tersambar robek. Robekan baju itu digigit2 Kui-ing-cu, dikunyah lalu dimakannya dengan lahap.

Tio Jiang kucurkan keringat dingin. Kalau tadi dia sampai kena tercengkeram, mungkin dia akan mengalami nasib serupa seperti bajunya itu. Saking getar perasaannya, cepat2 dia loncat dua tiga tombak keluar. Tapi Kui-ing-cu sudah terlanjur mengawasinya. Melihat orang bergerak, diapun segera membayangi, sehingga kini mereka saling kejar2an. Selagi mengejar itu, Kui-ing-cu kerjakan kaki tangannya. Tiang, meja, kursi, ya pendekn ya 10-an meja perjamuan berikut semua kursinya, telah sungsang sumbal habis diamuknya.

Sebenarnya Tio Jiang kalah cepat larinya dengan Kui- ing-cu, tapi karena Kui-ing-cu menghajar meja kursi, jadi sampai sekian lama dapatlah dia terhindar. Sebuah meja dari kayu mahoni yang keras dan kokoh, sekali hantam dapat dipecah menjadi dua belah oleh Kui-ing-cu. Sudah tentu hati Tio Jiang kebat kebit dibuatnya. Puncak kecemasannya memuncak, ketika Kui-ing-cu lepaskan kepala ceng-ong-sin, hingga ular itu kini me-lingkar2. Tapi rupanya Kui-ing-cu tak menghiraukan. Tio Jiang makin gelisah, tapi pada saat itu Yan-chiu yang telah ditutuk jalan darahnya dalam jalanan rahasia dibawah tanah, lebih2 cemas lagi perasaannya.

Kiranya begitu ketujuh belas orang2 pemerintah Ceng itu mengundurkan diri mereka lalu melapor pada sepasang suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay. Kedua orang ini segera turun masuk diterowongan bawah tanah untuk menyulut sumbu bahan peledak (dinamit). Karena kena tertutuk jalan darahnya, Yan-chiu tak dapat menghalangi. Pada saat Ceng Bo perintahkan kawan2nya keluar dari ruangan itu, sumbu obat peledak tengah disulut Hwat Siau.

Benar tak berdaya, tapi pikiran Yan-chiu masih terang dan dapat membayangkan bagaimana ngerinya nanti apabila dinamit itu meledak. Hatinya berdoa agar sumbu itu pelahan saja nyalanya, namun matanya melihat jelas bagaimana api sumbu itu menjalar dengan cepat makin lama makin dekat. Saking diterkam, ketakutan, ia sudah layap2 antara sadar tak sadar.

Tiba2 ia mendengar suara "bang.............." yang keras sekali, sehingga ia tersentak kaget. Suara atap dan tiang gempar menggelegar, malah ada beberapa pecahan genting yang jatuh menimpa badannya, sehingga buru2 ia menutup mata menanti ajal. Tapi heran, setelah tebaran debu dan pecahan atap itu sirap, suasananya masih tetap hening saja. la rasakan dirinyapun tiada kurang suatu. apa. Lekas2 ia membuka mata dan hai, kiranya sisa sumbu itu masih antara 4 meter panjangnya.

Sudah tentu ia tak mengetahui bahwa suara gelegar yang gempar itu berasal dari tiang yang dihantam rubuh oleh Kui-ing-cu tadi. Guncangan itu membikin sumbu ikut terpental, kini kira2 dua meter saja dari tempatnya. Sumbu itu tetap menyala dengan cepatnya, sesenti demi sesenti terus menjalar hingga kini hanya tinggal 2 meter. Pada lain saat, tinggal 1½ meter, satu meter, setengah meter.........

duk, duk, duk, demikian jantung Yan-chiu berdetak keras. Suatu siksaan urat syaraf hebat yang belum pernah dialaminya selama ini!

Tiba2 terdengar derap kaki orang mendatangi. Dua sosok tubuh kecil ber-lari2an masuk, terus menghampiri Yan-chiu. Yang satu mengangkat kepala dan yang satu menggotong kaki, kedua anak itu membawa Yan-chiu menyusur terowongan. Yan-chiu cepat mengenali mereka sebagai Kwan Hong dan Wan Gwat, itu kedua to-thong (murid imam) dart Ang Hun Kiong. Sudah tentu girangnya bukan kepalang. Sewaktu masih sempat mengerlingkan mata, dilihatnya sumbu itu sudah menyala sampai dipangkal penghabisan. Asap ber-kepul2 mengiring suara desisan.

Kiranya kedua to-thong itu membawa Yan-chiu kemulut jalanan keluar dari terowongan itu. Dalam kegirangannya, Yan-chiu diam2 sesali kebodohan kedua anak itu. Bukantah tak perlu jerih payah menggotong dan cukup menginjak saja toh sumbu itu tentu padam. Sayang ia tak dapat berkutik dan berbicara. Adalah ketika sudah berhasil dibawa keluar dart terowongan rahasia itu, barulah kedengaran suara ledakan yang maha dahsyat. Kedahsyatannya melebihi letusan meriam tentara Ceng tempo hari. Sampaipun Yan- chiu yang berbaring ditanah pada jarak yang cukup jauh, ikut merasa berguncang keras.

Sirapnya ledakan dahsyat itu diausul dengan gulungan asap yang memenuhi udara, kemudian gelegaran atap dan dinding beserta alat2 perabotnya, muncrat hancur beterbangan keempat penjuru. Saking takutnya, Kuan Hong dan Wan Gwat sampai pucat lesi serta ter-longong2 sampai sekian lama.

"Oh, sedikit saja kami terlambat datang, cici ini tentu takkan ketolongan," akhirnya setelah suasana hening lagi, Kuan Hong baru kedengaran buka suara.

"Sekarang kita hendak kemana nih ? Rasanya nasib kami tergantung pada cici!" sahut Wan Gwat.

Disamping berterima kasih pada kedua anak itu, hati Yan-chiu terasa sunyi rawan sekali. Bukantah satu2nya orang yang dikasihi (Tio Jiang) ikut binasa bersama seluruh rombongannya? Ditempat sebesar gereja Ang Hun Kiong itu, hanya tinggal dirinya bertiga yang masih hidup. Adakah hidup itu mash berarti baginya lagi? Air mata bercucuran mengalir pada kedua belah pipinya ...............

Melihat keadaan Yan-chiu yang sedemikian itu, kedua tothong itu segera menutuki tubuh Yan-chiu, pikirnya coba2 hendak membuka jalan darahnya yang tertutuk itu. Sebagai anak murid seorang akhli tutuk, kedua anak itupun sedikit2 mengerti juga ilmu tutuk. Tapi habis sekujur badan Yan-chiu ditutukinya, tetap mereka tak mengerti macam ilmu apa yang digunakan untuk menutuk Yan-chiu itu.

Kiranya sepasang suami isteri Hwat Siau -  Swat Moay itu memiliki suatu ilmu tutukan yang luar biasa. Bukan saja tutukan itu menggunakan tenaga dalam yang dapat menembus urat2 dibawah tulang pun selain 36 urat nadi besar dan 72 urat kecil, masih memahami pula 13 buah jalan darah yang sukar dan aneh letaknya. Segala macam ilmu tutukan Iainnya, tak dapat menolong. Sekalipun Ang Hwat sendiri yang datang, rasanya tak mudah untuk memberi pertolongan cepat2, apalagi kedua anak itu.

Urat Yan-chiu yang terkena tutukan itu yalah yang disebut urat goh-si-hiat. Letaknya ditengah sela2 tulang pundak. Sekali Hwat Siau menyentuh bahu Yan-chiu, maka mengalirlah lwekangnya untuk menutup jalan darah yang sukar letaknya itu. Jadi taruh kata orang mengerti adanya  ke 13 buah jalan darah istimewa itu, kalau Iwekangnya kurang sempurna juga percuma sajalah. Itu saja tadi karena buru2 hendak menyulut sumbu, Hwat Siau hanya menekan pe-lahan2, coba tidak siang2 Yan-chiu pasti sudah  melayang jiwanya dengan seketika.

Dan karena kurang keras tekanannya itu, maka secara kebetulan, saja dapatlah Kwan Hong dan Wan Gwat menutuk lepas jalan darah pembisu, hingga seketika berkaoklah Yan-chiu "ah. ", serunya dengan lega, karena

kini ia sudah dapat bicara lagi sekalipun kaki tangannya masih belum dapat bergerak.

"Cici, bagaimana kami berdua ini?" kedua anak itu buru2 membungkuk kebawah dan bertanya.

Sebenarnya Yan-chiu kepingin menangis untuk melonggarkan kesesakan hatinya, karena ia sendiri tak tahu apa yang harus dikerjakan. Tapi demi melihat wajah kedua anak yang mohon perlindungan itu, seketika timbullah semangatnya pula.

"Lebih dahulu angkutlah aku keruangan yang hancur itu!" sahut Yan-chiu. Perintah mana, segera dikerjakan dengan segera. Tapi baru masuk beberapa tindak diterowongan itu tadi, ternyata hampir seluruh lorong disitu terhalang oleh puing atap dan lantai. Syukurlah kedua anak itu mengerti ilmu silat, jadi walaupun dengan susah payah achirnya berhasillah mereka menyusuri lorong terowongan yang berliku2 itu dan kini tiba disebuah jalan lurus datar. Keadaan tempat itu hancur tak keruan, kutungan kayu bekas kaki meja dan kursi berserakan disana sini.

"Cici, ini ruangan pertempuran tadi!" kata kedua anak itu. Yan-chiu mengawasi keseluruh ruang situ, tapi untuk keheranannya tiada terdapat barang sesosok mayat pun juga. Yang tampak, kecuali puing dan kutungan kayu, ada lagi sebuah lubang besar pada lantai. Hati Yan-chiu seperti disayat melihat pemandangan yang merawankan  itu. Dalam anggapannya, dinamit itu maha dahayatnya, sehingga mayat2 orang2 yang berada diruangan pertempuran itu sama hancur sirna menjadi abu semua.

"Adakah kalian tahu akan jalan, singkat turun kegunung. Kita harus lekas2 turun dan atur rencana membalas dendam sedalam lautan ini!" tanya Yan-chiu pada lain saat setelah ia teringat kemungkinan kedua benggol kaki tangan pemerintah Ceng itu melakukan pengejaran:

"Ya, ada. Baik kita ambil jalan itu saja!" sahut Kuan Hong dan Wan Gwat. Mereka lalu memanggul Yan-chiu terus keluar dari pintu belakang gereja itu.

Pagar tembok gereja Ang Hun Kiong itu masih utuh lierdiri dengan kokohnya. Bentuk pemandangan gereja itu memang indah sekali. Tapi ah. , hanya beberapa hari saja gereja itu telah meminta korban puluhan jiwa kaum gagah persilatan. Malah suhu dan suhengnya sudah binasa. Memikir sampai disini kembali Yan-t yhiu berduka sekali.

Jalan singkat itu ternyata naik turun tak rata, hingga dengan susah payah kedua to-thong itu memanggul Yan- chiu. Tiba dikaki gunung mataharipun sudah terbenam. Kedua anak gereja itu segera lepas pakaian imam  dan berganti dengan pakaian biasa.

Menjelang tengah malam, lagi2 mereka harus memutari sebuah gunung, hingga saking lelahnya napas kedua anak itu memburu keras. Rasanya untuk keluar dari gunung Ko- to-san dan mencari penginapan dikota, sukarlah. Yang nyata saja samar2 dari kejauhan sana ada sebidang tanah pekuburan yang luas.

"Ayuh, kita beristirahat dikuburan sana! Ah, kalau aku dapat bergerak tentu tak sampai membuat kalian begini lelahnya!" kata Yan-chiu.

"Ai, janganlah cici mengatakan begitu. Kalau cici tak menolong kami, siang2 kami tentu sudah mati!"  sahut Kwan Hong dan Wan Gwat sambil mengusap keringatnya.

Tiba dipekuburan luas itu, tampak ada sebuah kuburan besar yang dikelilingi dengan puhun jati tua yang batangnya hampir sepemeluk lengan besarnya. Dimuka kuburan itu ada dua buah orang2an batu dan dua kuda batu. Tulisan pada batu nisan itu sudah tak jelas karena dihapus hujan clan angin berpuluh tahun. Hanya menilik bentuknya, kuburan itu tentu kepunyaan bangsa pembesar tinggi atau orang hartawan. Lantai dimuka dan dibelakang kuburan itu sudah sama rusak, penuh ditumbuhi rumput alang2 setinggi orang. Suasana disitu cukup menyeramkan, lebih2 kalau puhun jati ber-derak2 ditiup angin malam dan burung hantu menyanyi lagu kematian. Karena masih kanak2, walaupun mengerti ilmu silat namun Kuan Hong dan Wan Gwat tak terlepas dart rasa takut. Melihat itu Yan-chiu mendampratnya: "Huh, kalian kan sudah belajar ilmu silat mengapa masih bernyali seperti tikus begitu? Ketika dahulu aku mulai naik Lo-hu-san, usiaku masih lebih kecil dari kalian sekarang ini. Ya, marilah kita berstirahat dahulu disini. Ya, bagaimana kalian mengetahui kalau aku berada didalam terowongan dibawah tanah !tu?"'

"Ada seorang engkoh menyuruh kami mencarimu disitu. Karena tak kenal dia, aku tak mengatakan apa2 padanya dan hanya mencarinya sendiri. Begitu masuk kedalam terowongan, kami membaui asap mesiu maka buru2 kami menyelamatkanmu lebih dadulu!" sahut Kuan Hong yang rupanya lebih cekat bicara dari Wan Gwat.

"Siapakah orang itu?"

"Alisnya tebal, orangnya baik, dia menyebutmu sumoay!"

Kalau tubuh Yan-chiu dapat bergerak, mungkin saat itu ia tentu akan lompat me-nari2, "Itulah suko Tio Jiang!" serunya kegirangan.

"Kami tak kenal padanya, harap cici jangan sesalkan kami!"

Melihat sikap ke-kanak2an yang wajar dari kedua anak itu, Yan-chiu tak tega mendamprat dan hanya menanyakan dimana mereka menjumpai orang muda itu. Kuan Hong dan Wan Gwat memberitahukan, bahwa pemuda  Itu berada diruang samping sebelah ruangan pertempuran itu. "Mengapa dia berada disitu, apa dia tak turut berkelahi?" Yan-chiu menegas dengan keheranan. "Dia dan seluruh rombongannya semua tak berkelahi, digelanggang pertempuran situ hanya terdapat seorang gila karena terkena racun piau, tengah mengamuk sendirian. Engkoh itu dan  orang2 sama menyingkir disana dan kebenaran telah berpapasan dengan kami, lalu menyuruh kami mencarimu!" menerangkan Wan Gwat.

"Siapakah yang terkena piau beracun itu dan bagaimana kejadiannya?" tanya Yan-chiu.

"Kami sendiri tak begitu jelas. Hanya kami mengetahui sucou memanggil orang she Can, karena ada seorang jago lihay terkena senjata piau. Selebihnya karena kami perlu menolongmu lebih dahulu, maka kami tak mendengar apa2 lagi. Hanya sepatah kata dari sucou yang termakan dalam hati kami yang peringatannya tentang 'obat peledak', dan inilah yang mendorong kami lekas2 mencarimu"

(Oo-dwkz-tah-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar