Naga dari Selatan BAGIAN 43 : BERGENIT DENGAN MAUT

 
BAGIAN 43 : BERGENIT DENGAN MAUT

Tiba2 didengar diatas dinding jalanan rahasia ada suara hiruk pikuk. Bermula Yan-chiu tertegun, tapi pada lain saat berbalik menjadi girang, serunya: „Disinilah. Suara hiruk pikuk itu tentu menandakan adanya orang2 yang berada diruang pertempuran. Kita harus lekas2 berpencar untuk mencari tempat dinamit itu!"

Baru saja ia mengucap begitu, tiba2 disebelah atas terdengar suara orang tertawa mengekeh.

„Ai, keliru! Yang ketawa mengekeh itu tentulah Hwat Siau dan isterinya. Kemungkinan besar mereka sudah akan turun kebawah untuk menyulut dinamit. Kalau  masih belum berhasil menemukan, celaka sudah!" Yan-chiu mengeluh sendirian. Ia menyusur kemuka lagi. Belum beberapa jauh, diatas langit jalanan itu kembali terdengar ada suara „duk..., duk..... Lagi2pun Yan-chiu tertegun berhenti. Tiba2 terasa ada getaran keras dan dari atas langit jalanan situ, dindingnya sama berguguran. Yan-chiu makin sibuk tak keruan. Sebaliknya dengan penuh keyakinan kedua to- thong itu menyatakan bahwa diatasnya situlah ruangan pertempuran itu.

„Itu tentulah sucou tengah unjuk kelihayannya, menginjak hancur marmar lantai. Kalau tidak masakan bisa kejadian begini!" kata mereka berdua.

Yan-chiu sependapat dengan dugaan kedua to-thong itu. Baru ia hendak suruh mereka berpencar mencari, tiba2 terdengarlah kumandang orang ber-cakap2. Astaga, itulah suara Hwat Siau dan Swat Moay yang mendatang.

„Koanjin, terang kalau kedua mulut jalanan dibawah tanah ini dibuka orang. Bahkan disana tadi terdapat mayat2 bergelimpangan. Jangan2 rencana kita bocor ini!" seru yang perempuan.

,,Niocu, ayangan kuatir. Siapa yang berani mencabut kumis harimau, biarlah dia bertamasya keakherat sana!" kata sileiaki.

Dari kumandang suaranya, nyata mereka masih terpisah jauh dari tempat Yan-chiu bertiga. Pada lain saat tampak  api dinyalakan. Rupanya kedua suami iateri itu sudah mulai akan menyulut sumbu. Yan-chiu makin cemas seperti dikejar setan. la mendongak dan hai, benda apakah yang menonjol dilangitan dinding itu? Tanpa buang tempo lagi,  la segera loncat keatas dan menarik benda itu kebawah. Ketika di-amat2inya, itulah salah seutas sumbu yang menyambung keluar tempat Hwat Siau sana. Cepat ia memijat sekuat2nya dan putuslah kabel sumbu itu. „Hwat Siau Swat Moay, silahkan menyulut. Habis menyulut kau tentu lari ter-birit2. Siapa tahu sampai ditempat ini sumbunya sudah putus, jadi dinamit itu takkan meledak, ha, ha!" Yan-chiu berkata seorang diri dengan gea dan puas.

Entah bagaimana, api yang menerangi tempat Hwat Siau Itu tiba2 padam.

„Hai, mengapa kau padamkan api itu?" Hwat Siau menegur isterinya.

„Kalau ada orang mengetahui rencana kita, dan siang2 memutuskan kabel dinamit itu, bukantah sia2 saja jerlh payah kita ini? Rasanya kalau tak memeriksa tempat dinamit itu, tak lega, hatiku. Diatas masih bertempur seru, kalau menjenguk kesana, rasanya takkan terlambat!" sahut Swat Moay.

Hwat Siau puji ketelitian isterinya, serunya: „Benar, benar! Kalau sampai terjadi begitu memang sia2 sajalah segala jerih payah kita ini!"

Pada waktu kata2nya yang terakhir itu diucapkan, suaranya sudah dekat sekali dengan tempat Yan-chiu yang kelabakan setengah mati. Untuk melawan kedua iblis itu, terang ia tak mampu ia ambil putusan nekad. Dijemputnya dinamit itu, terus dibawanya lari kemuka. Kira2 empat lima tombak jauhnya mereka bertiga berhenti sejenak.  Tapi pada, saat itu kumandang suitan Hwat Siau melengking ditelinga mereka. Suitan itu aneh dan seram kedengarannya, hingga membuat bulu roma berdiri. Menyusul dengan itu Hwat Siau segera menghamburkan kata2nya yang mengguruh laksana guntur berbunyi: „Entah ko-chiu (jago silat) manakah yang mengganggu-usik pekerjaan kami berdua suami isteri ini?. Seorang jantan tak nanti berbuat secara menggelap, silahkan keluar!" Saking gelinya disebut seorang ko-chiu, pecah mulut Yan-chiu bercekikikan. Memang genit betul dara Lo-hu-san Itu. Masa dalam keadaan sedemikian genting berbahaya itu ia masih berani main2! Dan karena ketawa Itu, kini ketahuanlah sudah tempat persembunyiannya. Tapi diluar dugaan, kedua suami isteri itu tak berani gegabah menyerbunya.

Memang adat sepasang suami isteri itu berlainan. Silelaki berangasan, tapi isterinya lebih cermat dan teliti. Kala mereka tiba ditempat dinamit situ, Yan-chiu sudah menyingkir kira2 5 tombak jauhnya dan bersembunyi ditempat gelap. Demi melihat kabel (sumbu) putus dan dinamitnya lenyap, Swat Moay mereka dugaan, bahwa rencana pendinamitan itu dirahasiakan sekali, terbukti dari kenyataan bahwa sekalipun Ang Hwat cinjin tak diberitahukan hal itu. Kecuali ke 18 jagoan sebawahannya itu, tiada setan lagi yang tahu. Kalau toh ternyata ada orang yang tahu, dia tentunya seorang ko-chiu yang dapat mencuri dengar rencana persiapannya. Menilik kepandaian mereka (Hwat Siau - Swat Moay), orang yang dapat mencuri dengar pembicaraan itu, tentulah seorang jago yang berkepandaian tinggi.

Dengan purbasangka itulah maka lebih dulu Hwat Siau telah mengajukan pertanyaannya tadi. Dengari terdengarnya suara ketawa Yan-chiu tadi, makin cenderunglah mereka akan dugaannya tadi. Setelah berhasil menggondol dinamit dia memutuskan kabel, orang itu tetap berada disitu tak mau melarikan diri, terang kalau bukan seorang yang memiliki kepandaian ber-lebih2an, tentu tak Bernyali sebesar itu. Saking gusarnya, Hwat Siau terus hendak turun tangan tapi cepat dicegah sang isteri.

„Koanjin, janganlah kite sampai berkubur bangkai disini. Ke 18 orang kita itu sudah turun gunung, kita terpencil sendirian. Kalau ribut2, Ang Hwat tentu akan mengetahui peristiwa dinamit ini. Kalau sampai demikian, kita pasti tergencet hebat. Kasih aku yang memberesinyalah!"

Hwat Siau dapat dibikin mengerti. Dan dengan suara nyaring melengking Swat Moay sudah kedengaran berseru:

„Kesaktian cunke (anda) itu, kami suami isteri berdua sangat mengagumi sekali. Diempat penjuru lautan ini, semuanya adalah saudara. Kalau cunke sudi membantu urusan kami kali ini, budi ini tentu akan kami ukir sampai mati !"

Yan-chiupun tahu mengapa mereka tak  menyerbunya itu, sinakal dengan lega hati ia terus mundur lagi kesebelah dalam. Dari Ceng Bo den Tay Siang Siansu, ia sudah mewarisi ilmu mengentengi tubuh yang sempurna, ketambahan setelah minum mustika batu itu, gerakannya makin enteng dan lincah. Pengundurannya itu tadi, sedikitpun tak menerbitkan soara apa2. Tapi iapun ternyata hanya dapat beringsut sejauh 2 tombak saja, karena ketika berpaling kesebelah dalam hatinya segera mengeluh cemas.

Kiranya sampal ditempat itu, jalanan dibawah tanah situ sudah buntu. Disekeliling situ tiada jalan tembusan lagi. la, andaikata ada, pada saat itu terang ia tak sempat menyelidikinya. Kegelisahan Yan-chiu, sukar dilukiskan,

„Niocu, rupanya sahabat Itu tak mempedulikan kita!" tiba2 kedengaran Hwat Siau berkata dengan iringan tertawa sinis.

Tapi  rupanya  sang  isteri  masih  berputus  asa,  serunya:

„Kami berdua suami isteri yang bodoh ini, adalah Hwat Siau dan Swat Moay dari Tiang-peksan. Oleh karena baru pertama kali berkunjung kedaerah selatan, jadi tak faham akan golongan orang gagah didaerah ini, sehingga dalam perjalanan    itu    kita    lalai    untuk    membuat  kunjungan kehormatan. Apabila bersalah terhadap saudara, mohon saudara sudi memberi maaf se-besar2nya. Dengan tak memberi jawaban suatu apa, apakah saudara benar2 tak suka berkenalan dengan kami?"

Tu lihatlah! Bagaimana merendah Swat Moay dalam kata2nya itu. Ia tetap jerikan Yan-chiu yang dikiranya seorang jago sakti itu. Jadi kecemasannya tak lebih kurang darl Yan-tihiu sendiri.

Memang dalam keputusan asa, Yan-chiu audah membulatkan tekadnya. Kalau saja kedua orang itu berani menerjang, ia sudahh siap untuk menyambutnya dengan melemparkan dinamit itu. Sekalipun tidak meledak, tapi sekurang2nya dinamit itu pasti akan pecah berantakan. Biarkan ia seorang diri binasa, asal sekian banyak orang gagah pejoang kemerdekaan itu tak sampai lebur. Semangatnya me-nyala2 dan nyalinyapun besar. Mati untuk perjoangan kemerdekaan negara, adalah mati sahid. Walaupun jasadnya hancur lebur, tapi namanya tetap bersemarak diagungkan sepanjang masa!.

Dan kalau dipikir lebih jauh, lambat atau laun, manusia itu tentu akan mati, pendirian Yan-chiu makin teguh.  Orang menyohorkan suami isteri Hwat Siau-Swat Moay itu sebagai jagoan silat yang sakti. Tapi apa yang dapat dibanggakan oleh mereka berdua itu? Andaikata Yan-chiu nanti binasa, bukantah ia akan lebih disanjung dan diabadikan sebagai seorang Srikandi, jauh lebih terhormat daripada Hwat Siau dan Swat Moay itu? Pandangan terhadap nilai kedua suami isteri jagoan itu menurun beberapa derajat. Maka atas ulangan pertanyaan  Swat Moay tadi, ia hanya menyambutnya dengan sebuah tertawa dingin menghina. Mendengar itu Hwat Siau dan Swat Moay terkesiap.

„Kalau benar2 cunke tak mau keluar, cayhe (aku) hendak mohon pengajaran barang sejurus!"

Dalam istilah2 yang maksudnya menyelomoti orang (menipu),     ada     salah    satu    yang     berbunyi  demikian

„mengobati kuda mati se-olah2 binatang itu seperti hidup". Dan Yan-chiu yang teringat akan peribahasa itu, segera mempraktekkannya. Dengan melengkingkan nada suaranya setajam mungkin, berserulah ia „Hem......, siapa kalian karena takut lalu menakuti orang itu, akupun sudah mengetahuinya. Ah.       , heran, mengapa Tolkun mengutus

sebangsa kantong nasi macam kalian berdua itu untuk melakukan tugas sebesar ini!"

Keheranan kedua suami isteri makin men-jadi2. Dari nada suaranya teranglah itu seorang wanita, tapi mengapa sedemikian beraninya? Sewaktu berkunjung kedaerah selatan situ, pernah dari salah seorang ke 18 jagoan itu mereka mencari keterangan tentang tokoh2 dunia persilatan didaerah selatan. Kesemuanya mengemukakan Kui-ing-cu, Ang Hwat cinjin, Tay Siang Siansu dan Kang Siang Yan, adalah empat datuk besar dari daerah situ. Lain2nya seperti Ceng Bo siangjin, Sin-eng Ko Thay, Nyo Kong-lim dan lain2, walaupun cukup kosen, tapi tak ber-lebih2an. Tapi terhadap „tokoh" yang melengking nada suaranya dan yang begitu bernyali besar untuk memanggil nama Tolkun tanpa sebutan gelarnya, belum pernah mereka mendengarnya! Dan ternyata mereka merasa jeri juga, tak berani gegabah menyerbu.

Sebelum mati berpantang ajal. Yan-chiu gunakan tepat sekali ajaran pepatah itu. Ini disebabkan ia berada didalam lorong jalanan rahasia, sehingga musuh dapat dikelabuinya. Coba ditempat yang lebar, tak nanti ia dapat mempermainkan Hwat Siau dan Swat Moay yang memiliki panca indera tajam itu.

Memang tempat itu membantu banyak kepada Yan-chiu. Kumandang suara Hwat Sisu Swat Moay, telah bergulung campur dengan kumandang nada suaranya (Yan-chiu), apalagi sengaja ia buat nadanya itu sedemikian rupa.

„Kang Siang Yan kah?" kedua suami isteri itu bertukar pandang seraya men-duga2 dalam hati. Tapi mengingat bahwa tokoh itu masih berada diatas dan sedang terlibat dalam pertempuran dengan Ang Hwat, tentu bukan dianya.

„Sukakah kiranya cunke memberitahukan nama dan gelaran cunke yang mulia itu? Walaupun kepandaian kami berdua memang cetek, tapi kalau benar2 cunke hendak menghalangi pekerjaan ini, rasanya tak mudah jugalah!" kembali Swat Moay berseru.

Yan-chiu mengambil keputusan, sedapat mungkin ia hendak ulur waktu hingga mudah2an nanti terjadi suatu perobahan yang tak terduga.

„Bangsa 'kantong nasi' macam kalian itu, hendak melawan aku? Nyalimu sih besar juga berani datang kedaerah Selatan sini, tapi ternyata hanya begitu macam kepandaianmu, masakan Lamhay Hu Liong-poh saja kalian sudah tak mengenalnya!"

Untuk mengaku seorang lelaki terang akan. ketahuan karena ia bernada perempuan, maka cepat2 ia sembarangan mengaku sebagai Hu Liong-poh, Itu tokoh wanita yang menduduki mahkota tertinggi dalam dunia persilatan daerah selatan. Benar juga, kedua suami isteri itu segera tersentak kaget mendengarnya. Memang nama tokoh wanita itu sangat berkumandang dikolong jagad, tapi menurut kabar sudah lama meninggal. Apakah desas desus itu bohong belaka? Tanpa terasa kedua suami isteri itu berjajar bahu membahu, yalah sikap yang dilakukan apabila mereka berhadapan dengan musuh yang tangguh.

Andaikata Yan-chiu tak ngoceh lagi, se-kurang2nya pastl dalam sejam lamanya Hwat Siau dan Swat Moay tak berani berkutik. Tapi entah bagaimana ia merasa kuatir sendiri jangan2 lawan tak mempercayai keterangannya tadi, maka pada lain saat ia segera beraeru. lagi: „Huh, sampaipun anak murid dari beliau siorang tua itu saja kalian tak mengetahui, masih mau mengagulkan diri begitu macam!"

„Melukis ular tapi diberi kaki", kata2 ini menyatakan bahwa karena bermaksud hendak menyempurnakan pekerjaannya, kalau tak dipikir masak2, sebaliknya bisa malah merusak pekerjaan itu seluruhnya. Memang pengetahuannya tentang tokoh2 persilatan, Yan-chiu masih kurang. Sebaliknya walaupun Hwat Siau dan Swat  Moay itu selalu berdiam didaerah utara dan hanya sekali itu datang kedaerah selatan, tapi mereka cukup faham bahwa Hu Liong-poh itu tidak mempunyai barang seorang muridpun juga. Pengakuan Yan-chiu segera terbuka kedoknya.

„Koanjin, dia bohong, Hu Liong-poh tak pernah menerima murid!" bisik Swat Moay kepada suaminya.

„Benar, kita harus lekas2 turun tangan, kalau terlambat tentu akan gagal!" sahut Hwat Siau.

Walaupun jaraknya dengan Yan-chiu hanya terpisah 3 tombak, tapi dengan kepandaian sakti yang dimilikinya itu, mereka dapat bergerak tanpa dapat diketahui. Tahu2 Hwat Siau sudah maju kemuka dan jelas kelihatan dimuka sana tampak ada sesosok tubuh kecil langsing. Kini tahulah mereka kalau diselomoti orang. Masih Yan-chiu tak merasa akan perobahan posisi itu, maka masih juga ia enak2an mengancam: „Mengapa kalian tak lekas2 tinggalkan tempat ini? Menilik sesama kaum persilatan, janganlah hendaknya sampai meretakkan perhubungan "

Belum sampai ia menyelesaikan kata2nya itu atau Hwat Siau yang sudah jelas akan sandiwara itu, segera berkisar maju dan mengirim hantaman.

1

dan baru Yan Chiu hendak meneruskan sandiwaranya atau mendadak Hwat Siau sudah menubruk maju terus melontarkan serangan ganas

Terik panas membara laksana hawa ditengah muaim kemarau, adalah perasaan Yan-chiu kala dia menerima hantaman itu. Memang ilmu lwekang yang diyakinkan Hwat Siau itu adalah lwekang yan-hwat (api positip). Lwekang itu dapat menyalurkan hawa sepanas api. Ilmu itu adalah warisan dari seorang persilatan aneh dari jaman Song, bernama Hwat Bu-hay (api tak mempan) yang tinggal dipulau Bu-ti-to dilaut Pak-hay. Lwekang yang di yakinkan itu berlawanan sifatnya dengan yang difahamkan oleh Swat Moay. Apabila menghadapi musuh tangguh, selalu kedua suami isteri itu bahu membahu Saking tak tahannya dibakar lwekang itu, Yan-chiu loncat mundur. Hwat Siau murka karena dipermainkan tadi. Kini dengan beringas, dia loncat menerkam tangan sinona. Karena tak dapat mundur lagi, Yan-chiu menghindar kesamping. Tapi diaini ia segera rasakan hawa dingin merangsang tubuhnya, hingga sampai menggigil gemetar. Dalam sibuknya, segera ia loncat keatas untuk menggelantung, kemudian loncat kebawah lagi. Dengan jalan begitu, barulah ia dapat terlolos dari hantaman maut. Dalam pada itu iapun segera siap untuk melemparkan dinamit itu. Tapi saat itu Hwat Siau dan Swat Moay sudah maju berbareng hingga ia, tak mempunyai kesempatan sama sekali.

Hanya pada lain kejab saja, atau Yan-chiu segera rasakan lengannya seperti terjepit besi, sakitnya bukan olah2.

„Aii........." mulutnya melengking keluh, dan dinamit yang dipegang itupun jatuh ketanah, dan cepat2 dipungut oleh swat Moay.

„Koanjin, putusan sumbunya, masih dapat disambung. Kau jaga dia, biar aku yang memasangnya lagi!" seru Swat Moay.

Hwat Siau mengiakan dan lalu menepuk bahu Yan-chiu siapa terus saja mendeprok ketanah tak dapat berkutik. Tapi dalam keadaan itu, masih jelas ia, melihat kedua suami isteri itu sibuk memasang dinamit dan menyambung kabelnya lalu menyulutnya. Suara sumbu menyala men- desis2 dan mereka lalu mundur, terus lenyap dari situ. Penderitaan Yan-chiu kala itu sukar dilukiskan. Matanya melihat bahaya, namun badan tak berdaya. Seingatnya saejak sebesar itu, baru pertama kali itu ia, mengalami siksaan yang sedemikian hebatnya. Sis...., sis......, sis. ,

demikianlah sumbu itu terus merayap.

---oodwkz0tahoo--- Baik kita tinggalkan dulu Yan-chiu yang tengah menantikan maut itu dan mari kita tengok kembali keruangan pertempuran sana. Seperti diketahui kala Tio Jiang rubuh dengan mulut berbuih busa, sekalian orang gagah sama menuduh bahwa arak yang dihidangkan orang Ang Hun Kiong itu tentu ditaruhi racun. Saat itu suasana hiruk pikuk bukan buatan.

„Manusia yang  tak tahu malu, mengagungkan diri sebagal datuk cabang persilatan, tapi tak tahunya sedemikian licik dan keji perbuatannya, menaruh racun dalam arak. Sungguh biadab!" sekalian orang2 gagah dalam rombongan Ceng Bo ber-teriak2 dengan marah.

2

Heran sekali Ceng Bo Siangjin ketika mendadak melihat Tio Jiang menggeletak dengan mulut mengeluarkan busa dan kemudian telah sadar sendiri, ia menjadi ragu2 apakah sang  murid itu mempunyai penyakit ayan ?

Ang Hwat marah besar, tapi ketika melirik kearah Tio Jiang dilihatnya memang pemuda itu dalam keadaan pingsan tak ingat dan mulutnya mengeluarkan busa.  Diapun terperanjat, dan karena sedikit meleng itu, hampir2 ia kena digenjot Kang Siang Yan, cepat ia pusatkan perhatiannya kembali menghadapi lawannya itu.

Dalam pada itu, karena sama mengira sudah keracunan, beberapa orang diantaranya yang aseran terus ikut mengerubut kearah Ang Hwat Cinjin dan The Go. Melihat gelagat jelek, lekas2 The Go keluarkan Ceng-ong-sin dan diabat-abitkan, hingga para pengeroyok itu terpaksa mundur.

„Berhenti semua!" se-konyong2 Ang Hwat Cinjin membentak sambil melompat mundur.

Karena suara gertakan keras itu, semua orang menjadi terpengaruh dan berhenti bertempur. Begitu pula Hang Siang Yan ikut tertegun. Dan selagi Ang Hwat Cinjin hendak menyangkal tak menaruh racun didalam arak, tiba2 terdengar seorang berkata dengan dingin:

”Bocah itu tentu terkena racun obat 'Sip-jit-tui-hun-tan' milik kepala suku Biau, Kiat-bong-to, tiada sangkut-pautnya dengan siapapun."

Waktu semua orang berpaling, kiranya yang bicara adalah satu diantara 18 jago dimeja sana, yang berperawakan liecil, orang kenal dia bernama Can Bik San, berjuluk „Ngo-tok-lian-cu-piau" atau piau berantai panca bisa, yaitu karena lima macam racun yang dibuat merendam senjata rahasianya, saking jahat racun yang dipakainya itu, asal lecet saja sasarannya, pasti jiwa akan melayang. Sebab itu, nama Can Bik San dengan cepat terkenal. Tapi karena kelakuannya yang tidak pandang kawan atau lawan, maka ia terdesak dikediamannya dan terpaksa menggabungkan diri pada pemerintah Ceng. Kini melihat suasana kacau-balau, boleh jadi akan merusak rencananya, maka cepat ia bersuara untuk menghilangkan curiga semua orang.

Ketika semua orang memandang Tio Jiang, pemuda itu ternyata sudah baikan, busanya sudah sedikit, wajahnya mulai memerah. Dengan menahan sakit dilengannya, Ceng Bo Siangjin mendekati muridnya itu dan memeriksa pernapasannya, tapi urat nadi Tio Jiang berjalan biasa, tampaknya bukan terkena racun. Karuan Ceng Bo sangat heran, kalau pemuda ini tidak keracunan, lalu kenapa mendadak roboh dengan mulut berbusa? Jangan2 punya penyakit ayan!

Selagi Ceng Bo ragu2, terdengar Tio Jiang sudah bisa bersuara seperti orang baru bangun tidur. Ceng Bo pikir dalam keadaan demikian, kalau pertarungan dilakukan secara kerubutan, tentu takkan menguntungkan pihaknya, apalagi pihak musuh masih ada dua jago yang belum turun kalangan. Maka serunya: „Harap semua orang kembali tempat duduknya masing2!"

Tapi baru selesai perkataannya, mendadak-terdengar suara jeritan ngeri.

(Oo-dwkz-tah-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar