Naga dari Selatan BAGIAN 42 : PAHIT EMPEDU

 
BAGIAN 42 : PAHIT EMPEDU

Pada saat itu Ceng Bo sudah dipapah Ko Thay untuk kembali ketempat duduknya. Lengannya kanan telah dipatahkan oleh hantaman Ang Hwat. Betapapun lihaynya, tetap dia tak kuat menahan rasa sakitnya. Kepalanya basah kuyup dengan keringat. Tio Jiang sibuk tak keruan tak tahu apa yang hendak diperbuat. Rasanya ia rela menggantikan luka suhunya itu. Ko Thay memijat lengan itu  dan dapatkan bahwa bagian tulang yang remuk itu tak seberapa besar, jadi masih ada harapan untuk sembuh lagi. Dia suruh Tio Jiang cabut dua batang terali (jeruji) lankan dan sepotong kayu papan. Lengan Ceng Bo yang patah itu segera dipres dengan potongan papan itu, kemudian dibalut dengan kain.

Ceng Bo tahankan sakitnya, sepatahpun tak mengerang. matanya memandang kearah 18 orang yang baru datang itu. Diantara sekian banyak jagoan itu, hanya seorang yang dikenalnya sebagai orang kelahiran Kwitang yang pernah belajar silat digunung Ngo-tay-san. Orang itu mahir sekali dalam ilmu senjata rahasia. Setelah habis pelajarannya, dia segera menganas didaerah Kwiciu, tapi kena dikalahkannya. Sejak itu tak pernah dia bersua dengan orang itu lagi. Ah, tak kira kalau kini dia sudah berhamba pada pemerintah Ceng. Orang yang dikenalnya, itu bernama Pui Hoan berjejuluk Boan-thian-ce (bintang bertaburan dilangit). Saat itupun tengah memandang Ceng Bo dengan sorot mata menggagah (menantang). Rupanya dia belum lupa akan peristiwa 10 tahun yang lampau itu. Lain2 yang ke 17 orang itu sama bertubuh kekar garang. Lebih2 siorang jangkung kurus yang duduk dimuka sendiri itu. Pelipisnya agak menonjol, air mukanya aneh entah dari cabang persilatan mana dia itu.

Se-konyong2 terdengarlah suara jeritan mengaduh dan sesosok tubuh gemuk terbang melayang. Aha, kiranya itulah tubuh Long Tek-san yang kena disengkelit kemudian ditendang oleh Kui-ing-cu. Dalam waktu dan tempat seperti itu, tetap Kui-ing-cu tak lupa akan kenakalannya. Ketika tubuh Long Tek-san tadi melayang diatas ke 18 orang jagoan itu, Kui-ing-cu segera gerakkan dua buah serangan kosong dan entah bagaimana caranya tubuh Long Tek-san berhenti dengan tiba2, lalu jatuh menimpa kebawah.

Tahu2 Su-mo Long Tek-san telah mencelat kena disengkelit Kui-ing-cu terus melayang ketempat duduk ke-18 jagoan yang dibawa datang oleh Hwat Siau dan Swat Moay itu. "Sahabat Long, berdirilah yang jejak!" serentak berbangkitlah sikurus jangkung tadi seraya menyanggapi tubuh Long Tek-san.

Merah padam selebar muka Long Tek-san yang lalu mengambil tempat duduk. Melihat sukonya tak berani maju lagi, Im Thian-kuipun lalu putar tubuhnya hendak angkat kaki seribu. Tapi, Kui-ing-cu rupanyapun tak mau mengejarnya, Malah hanya ber-teriak2 menyuruhnya lekas lari.

"Lari kencang, ayuh lekas lari yang kencang!" serunya.

---oodwkz0tahoo---

Im Thian-kui tak peduli setan belang apa lagi. Dia  benar2 lari se-kencang2nya menurut anjuran musuhnya tadi. Melihat adegan lucu itu, ke 18 jagoan tersebut sama ter-bahak2. Menandakan bahwa mereka tak memandang mata, lagi pada orang2 Ang Hun Kiong. Merahlah daun telinga The Go. Tapi ketika melirik kearah Ang Hwat  didapatinya sang sucou itu masih menjublek diam ditengah gelanggang, berhadapan pandang dengan Kang Siang Yan.

Walaupun nampaknya kedua tokoh tersebut  berdiam diri, tapi ternyata mereka itu tengah mengadu lwekang dengan jalan saling lekatkan senjatanya masing2. Ketika im-yang-pian membentur pedang kuan-wi-kiam tadi, cepat2 Ang Hwat salurkan lwekangnya untuk menyampok jatuh senjata lawan. Tapi baru saja lwekang Ang Hwat menyalar kearah im-yang-pian, siang2 Kang Siang Yan mengerti maksud orang. Maka betapalah kejut Ang Hwat ketika didapatinya saluran lwekangnya itu telah mendapat reaksi hebat berupa sebuah dorongan lwekang yang kuat. Buru2 diapun segera "tancap gas penuh", mengerahkan seluruh lwekangnya. Sejak berhasil memahamkan ilmu lwekang thay-im-lian- seng, belum pernah Kang Sing Yan berjumpa dengan  musuh setangguh Ang Hwat ini. Memang karena urusan Yan-chiu, ia telah "bentrok" dengan Tay Siang Siansu. Tapi karena paderi itu sudah tak memikirkan akan gengsi dan nama kosong, begitu "kortsluiting" (benturan aliran lestrik) sebentar, paderi itu segera angkat kaki. Kini berhadapan dengan Ang Hwat lainlah halnya. Seluruh kebiasannya telah ditumplak habis, maka walaupun digelanggang situ terjadi hiruk pikuk tak keruan, kedua seteru itu tetap tulikan telinga butakan mata, seluruh perhatian dan semangatnya ditujukan pada pergulatan seru itu.

Gaya Kang Siang Yan gemulai nampaknya, namun mengandung kekuatan baja yang kokoh. Beberapa kali Ang Hwat coba undang seluruh tenaganya untuk mendesaknya, tapi selalu dibuyarkan oleh lawan. Sebaliknya untuk melukai Ang Hwat pun sukar juga bagi Kang Siang Yan. Hampir lebih dari setengah jam pergulatan itu berlangsung, namun tetap sama kuatnya. Saking geramnya se-konyong2 Ang Hwat mengeluarkan suara menggerung laksana singa mengaum, dahsyatnya bukan buatan. Tapi berbareng pada saat itu, Kang Siang Yan pun melengking nyaring macam jangkerik berbunyi. Suasana dalam ruangan itu pekak dengan aum dan denging. Hanya saja jelas kedengaran bahwa lengking suara Kang Siang Yan itu dapat menembus pecah suara aum Ang Hwat.

Se-konyong2 lengan mereka menurun kebawah dan pada lain saat tampak ada selingkar api merah dan  segumpal asap sama2 meluncur kebelakang. Tempat yang diinjak mereka itu, tampak ada 4 buah telapak kaki sedalam 3 dim. Lantai ruangan itu terbuat dari batu marmar hijau yang kokoh, kalau toh sampai "amblong" sedemikian dalamnya, mudahlah dibayangkan sampai ditingkat mana kepandaian kedua tokoh besar itu. Sekalian orang sama leletkan lidah, sedang ke 18 orang yang sikapnya amat congkak itu, diam2 juga tergetar hatinya.

Kini kedua tokoh itu saling berpandangan. Saking cemas akan keselamatan isterinya, lupalah Ceng Bo akan sakitnya tadi. Bek Lianpun sudah berulang kali hendak berdiri tapi selalu dicegah The Go. Kini tak dapat lagi ia menahan perasaan hatinya dan menjerit: "Mah !"

Adalah karena teriakan Bek Lian itu maka perhatian Kang Siang Yan agak terganggu dan adalah karena sedikit lubang itu, maka Ang Hwat sudah segera loncat menerjangnya lagi. Tak peduli. bagaimana hebatnya bahaya yang mengancam dihadapannya itu, namun Kang Siang Yan masih perlukan "mencuri" kesempatan untuk berpaling menengok puterinya. Serta dilihatnya Bek Lian tak kurang suatu apa, barulah ia turunkan tubuhnya kebawah lalu melejit kesamping untuk menghindar. Memang sedemikian besarlah kasih seorang ibu terhadap anaknya.

Sekalipun ia dapat menghindar dari terjangan lawan, namun karena tak dapat balas menyerang, berarti ia kalah satu set. Tanpa memberi kesempatan lagi, Ang Hwat sudah ayunkan im-yang-pian-nya untuk menutuk jalan darah si- peh-hiat. Jalan darah itu terletak dibawah mata. Dalam gugupnya Kang Siang Yan segera menghantam pian itu. Separoh bagian atas dari plan itu sebenarnya sangat lemas, hanya karena kepandaian Ang Hwat maka ujung itu dapat kencang lurus macam sebuah alat pit. Ujungnya dapat ditolak kesamping oleh hantaman Kang Siang Yan  tadi, tapi pangkalnya cepat digerakkan Ang Hwat untuk menusuk dada lawan. Jalan satu2nya bagi Kang Siang Yan yalah menyelinap kebelakang musuh. la segera bergerak dengan cepat sekali, tapi Ang Hwatpun tak kalah sebatnya. Baru Kang Siang Yan lewat disisinya, kepala Ang Hun Kiong itupun sudah memutar tubuhnya kebelakang. Disitulah dia ”cegat" lawan. Belum lagi Kang Siang Yan dapat mengambil posisi kaki, atau dia sudah mencambuk dengan im-yang-pian.

9

Dengan gaya yang khas, Kang Siang Yan putar pedangnya sedemikian dahsyatnya hingga Ang Hwat Cinjin dipaksa bertahan melulu tak sempat menyerang lagi

Kang Siang Yan bukan jago sembarang jago. Untuk menyambut hajaran pian musuh, ia gerakkan pedangnya untuk membabat. Sekali ini Ang Hwat salah terka akan kelihayan ilmu thay-im-lian-seng. Dalam kesempurnaannya, ilmu itu dapat dikuasai penuh menurut sekehendak hatinya. Biar Ang Hwat lihay, tapi tetap dia tak dapat  menyelamatkan   im-yang-piannya   lagi. Tring.........

kutunglah buku yang teratas dari pian itu terbabat kuan-wi- kiam. Begitu ujungnya terpapas, maka berhamburanlah ber- puluh2   jarum   halus   menyambar   keluar.   Entah  berapa banyakkah batang2 jarum itu, tapi yang nyata saja sesaat itu terdengarlah bunyi macam nyamuk men-denging2.

Teranglah jarum2 itu keluar dari lubang pangkal imyang- pian tadi. Dan memangnya im-yang-pian itu diperlengkapi dengan senjata rahasia jarum halus untuk menggempur para akhli lwekang yang menjadi lawannya. Jarum2 yang halus itu akan  menyusup melalui jalan darah terus masuk kejantung, Betapa lihaynya seorang akhli Iwekang, namun menghadapi senjata yang sedemikian ganasnya itu, tak urung akan binasa juga jiwanya.

Insyaf akan keganasan senjata itu, Kang Siang Yan sampai kucurkan keringat dingin. Cepat2 la putar pedangnya dengan gencar sembari berteriak dengan murkanya: "Hai, imam siluman tua, tebal sekall kulit mukamu"

Dalam kedudukan sebagai ketua sebuah cabang persilatan, memang tak selayaknya Ang Hwat gunakan senjata rahasia macam begitu. Ya, walaupun hal itu terjadi diluar kemauannya, tapi dengan memiliki senjata macam begitu saja itu sudah berarti mengunjuk mentalitiet peribadinya yang ganas. Maka merah padamlah selebar muka kepala gereja Ang Hun Kiong seketika itu. Dari malu, dia menjadi marah. Tanpa menyahut sepatah pun, dia segera-putar pian untuk menghajar. Demikianlah kedua tokoh itu kembali terlibat dalam pergumulan yang seru.

Mendengar ibunya memaki "imam siluman tua", Bek Lian mengeluh dalam hati. Kedepannya, hubungannya dengan The Go pastilah akan menemui kesukaran besar. Bek Lian yang  dibutakan oleh api asmara itu hanya memikirkan kepentingan diri sendiri.

"Engkoh Go, mamah dan sucou, telah bertempur sedemikian serunya, rasanya urusan kita tentu kapiran, maka lebih baik sedangnya mereka tengah bertempur, kita tinggalkan tempat ini menuju kesalah sebuah pulau di Lam- hay. Disana kita, dapat menuntut penghidupan yang aman dan tenteram, ah......, betapakah bahagianya!" bisiknya kepada sang kekasih yang ,manja' itu.

Sewaktu melihat sucounya terlibat dalam pertempuran yang sangat lama, hati The Go dicengkeram oleh kegelisahan. Atas pernyataan Bek Lian, tadi, dia hanya mendengus "hem......" selaku jawaban. Tapi tiba2 terkilas dalam benaknya suatu rencana yang jahat. Tadi sewaktu Bek, Lian meneriaki ibunya, Kang  Siang Yan segera terdesak dibawah angin oleh sucounya. Ah, mengapa dia tak suruh Bek Lian mencobanya lagi? Tapi kali ini jangan sampai keblinger gagal lagi.

Otaknya bekerja. Dibayangkannya, kalau Kang Siang Yan kalah, rombongan Ceng Bo tentu dapat diatasi. Dengan begitu terbukalah kesempatan baginya menggabungkan diri pada rombongan Hwat Siau, untuk menghadap Sip-ceng-ong Tolkun. Dengan memiliki kepandaian bun dan bu (sastera dan ilmu silat), masakan Tolkun takkan memandang mata kepadanya? Misalnya  saja, kalau dia tuturkan bagaimana dahulu dengan menuruti usul rencananya (The Go) dapatlah Li Seng Tong menduduki daerah, Kwiciu, tentu dia akan mendapat pujian tinggi dari menteri Ceng itu.

Soal berpaling haluan, itu tiada sangkut pautnya dengan dia. Coba jenderal itu tak berlaku begitu, pastilah saat ini dia sudah mengenakan pakaian pembesar tinggi dari kerajaan Ceng! Ah......., kalau mengingat itu, terkutuklah jenderal she Li Itu! Terkilas pula dalam lubuk kenangannya, bagaimana dengan tindakannya secara radikal, ganas dan setempo melewati garis2 perikemanusiaan dahulu itu, telah dapat mengangkatnya ketempat kedudukan yang tinggi (dekat dengan orang besar), maka mengapa sekarang tidak? Bukantah ujar2 kuno mengatakan "kalau tidak ganas itu bukan seorang lelaki?" Jika dia tak berlaku begitu, bagaimana dia dapat melaksanakan pekerjaan besar dan mencapal kedudukan tinggi ?

Sampai pada puncak pertentangan batinnya, wajahnya menampilkan hawa pembunuhan dan berserulah dia menegas: "Apa katamu tadi?"

Mendengar penyahutan sedemikian kerasnya itu, Bek Lian terkesiap. Tapi api asmara yang telah membakar seluruh hati sanubarinya itu telah membuatnya buta..., buta hati..., buta mata...., buta malu...., ya pendek kata lupa se- gala2nya. Tanpa malu didengar orang lagi, ia segera mengulangi kata2nya tadi.

Wajah The Go mengerut kening dan mulutnya mendengus deham "hem......" Diiringkan dengan seringai- tawa kejam, melengkinglah mulutnya: "Perempuan hina, siapa yang kesudian ber-senang2 hidup bersama kau?!"

Bek Lian tak percaya akan alat pendengarannya.

Wajahnya berobah seketika.

"Engkoh Go, apa katamu itu?" ia menegas.

Kembali The Go tertawa iblis, serunya: "Belum pernah ada seorang gadis me-ngejar2 seorang lelaki macam kau ini!"

Suaranya sengaja diucapkan dengan keras hingga sekalian orang diruangan situ sama mendengarnya. Kini semua mata ditujukan kepada kedua orang muda itu. "Engkoh Go, kau ini bagaimana? Apakah kau tidak

cinta padaku?" seru Bek Lian dengan ter-bata2.

The Go tertawa gelak2, sahutnya: "Apakah kau tetap bertebal kulit ?"

Saat itu Tio Jiang sudah dapat meraba apa yang telah dipertengkarkan sang suci dengan kekasihnya itu. Darahnya serasa berhenti berdenyut ketika hawa kemarahannya menguap naik.

0

”Apa katamu, engkoh Go?" Bek Lian menegas karena nista The Go itu. Mendadak gumpulan darah menyembur keluar dari mulutnya.

"The Go, kau ini bangsat!" teriaknya memaki. Dia tak pandai bermain lidah, jadi hanya begitu saja caranya memaki. Makian pertama meluncur, diapun sudah tak dapat melanjutkan lagi makian berikutnya.

"Siaoko, apakah kau tahu artinya kata "bangsat" itu? Bukalah telingamu lebar?. Seorang lelaki yang galang galung dengan wanita2 yang tak tahu malu itu pasti akan ternoda namanya. Itulah dia yang pantas disebut 'bangsat'!" Saking berkobarnya api kemarahan dalam hatinya, dengan ter-huyung2 bangkitlah Bek Lian dari kursinya. Dengan jari yang menggigil gemetaran, ia menuding The. Go, mulutnya komat kamit tapi sampai sekian lama tak dapat melancarkan kata2. Setelah sekian saat bibirnya bergemeretukan, akhirnya dapatlah ia mengucap dengan nada ter-putus2: ,,Kau ..... kau ...... sampaipun anak yang kukandung ini juga tak mau tahu lagi?"

Bek Lian telah dijelmakan sebagai seorang gadis jelita yang dapat membuat sirik hati para bidadari. Sejak kecil ia, dimanjakan dengan kasih sayang sang ayah. Adalah karena sekali salah pilih menyintai seorang manusia berhati serigala macam pemuda tampan The Go, achirnya ia harus mengalami derita siksaan bathin yang sedemikian mengenaskan itu. Sampai2 "rahasia" yang sebenarnya tak pantas dikeluarkan itu, terdengar juga oleh sekian banyak orang. Ia telah memetik buah yang ditanamnya sendiri..........

Wajah Ceng Bo pucat lesi, sedang tangan Tio Jiang menggigil gemetar. The Go tak kepalang tanggung.  Kembali 'dia tertawa sinis' serunya: "Nona Bek,  kau dan aku baru saja setengah tahunan berjumpa, tapi perutmu sudah sedemikian besarnya, anak itu ......ha, ha!"

Dari ucapan itu jelaslah kiranya bahwa The Go tak mengakui kandungan Bek Lian sebagai anaknya. Atau lebih tegas lagi, dia menganggap Bek Lian itu serupa dengan wanita lacur. Kalau achli pemikir menelurkan teori bahwa dunia ini berputar, mungkin orang masih belum 100 persen mempercayainya karena orang tak merasakan perputaran bumi itu. Tapi bagi Bek  Lian hal itu memang suatu kenyataan. Bumi yang dipijaknya serasa ber-putari, alam diaekelilingnya gelap  gelita dan  huak           segumpal darah

menyembur dari mulutnya dan orangnyapun lalu terhuyung jatuh menelungkupi meja, wur...., wur..... tak henti2nya mulutnya menyembur darah segar...............

Apa yang dipercakapkan oleh Bek Lian dan The Go tadi, terdengar juga oleh Kang Slang Yan. Tapi karena dia  tengah bertempur mati2an dengan Ang Hwat, ia tak dapat berbuat apa2. hanya dalam batinnya ia menetapkan keputusan, bahwa setelah selesai pertempuran itu ia tentu akan me-robek2 tulang belulang pemuda itu. Tapi Bek Lian terus menerus muntah darah, ia tak dapat berdiam diri saja. Setelah melancarkan sebuah gerak serangan kosong, segera ia loncat menghampiri Bek Lian. Pikirnya kalau tak lekas2 ditolong, Bek Lian tentu putus jiwanya!

Tapi ternyata Ang Hwat tak mau kasih hati. Begitu Kang Siang Yan hendak loncat menyingkir, dia segera gerakkan piannya untuk menyabat punggungnya. Betapapun keinginan, Kang Siang Yan untuk lekas2 menolong Bek Lian, namun terpaksa ia harus menghalau serangan maut itu dulu. Secepat kilat ia berputar tubuh saegera  ia lancarkan 3 buah serangan pedang ber-turut2, sehingga Ang Hwat terpaksa mundur beberapa tindak. Tapi tatkala ia hendak berputar, lagi untuk menghampiri Bek Lian, pian Ang Hwat cinjin sudah merangsangnya lagi. Pada saat itu hati dan pikiran Kang Slang Yan hanya pada Bek Lian seorang. Sedikitpun ia tak mempunyai semangat untuk bertempur lagi. Adalah karena lawan tetap melibatnya, terpaksa ia melayaninya dengan seru. Sekalipun begitu kedahsyatan pedang dan pukulannya sudah tak sehebat  tadi.

Melihat siasatnya berhasil, puaslah The Go. Tampak Bek Lian muntah2 darah sedemikian rupa, dia tetap tertawa dingin tak menghiraukan sama sekali. Oleh karena sekalian orang tak mengerti duduk perkaranya, apalagi sedari permulaan muncul digelangang situ mereka berdua (Bek Lian dan The Go) tampaknya rukun ber-kasih2an, jadi mereka hanya keheranan melihati saja. Berbeda dengan Kui-ing-cu, Ih Liok dan lain2. Wajah mereka menampilkan kemarahan dan bersikap hendak menghajar pemuda bangsat itu. Tapi Ceng Bo yang berhati baja itu segera memberi isyarat tangan mencegahnya disertai dengan makian terhadap puterinya itu: "Biar ia, merasakan buah perbuatannya sendiri!"

Hanya Tio Jiang yang tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Sembari loncat ketengah gelanggang, dia meneriaki sumoaynya: "Siao Chiu, jangan lepaskan bajingan Itu!"

Tadi para kawan2nya Ceng Bo sibuk menolongi siangjin itu dan nengikuti jalannya pertempuran Kang Siang Yan dengan Ang Hwat. Mereka tak tahu sama sekall kemana gerangan lenyapnya sigenit Yan-chiu tadi. Kui-ing-cu dan  Ih Liok menyapukan matanya untuk mencari sigenit kesekeliling gelanggang situ, tapi tiada ada. Dipanggilnya ber-ulang2pun, tidak menyahut. Ai, kemana ia?  Para tokoh2 itu mulai gelisah.

Mungkin kegelisahan para cianpwe itu akan lebih besar lagi kalau mengetahui bahwa pada saat dan detik itu Yan- chiu menggelepar dibawah tanah tak ingat diri lagi!

Kala Tio Jiang memburu kearah The Go tadi, belum lagi dia sampai kesana tiba2 tubuhnya tampak meregang kaku lalu rubuh ketanah. Mulutnya ber-buih2 mengeluarkan busa.

"Arak yang dihidangkan kawanan anjing itu ada racunnya!" se-konyong2 ada orang berteriak dengan nyaring cemas.

Oleh karena penulis hanya mempunyai sebuah Mata pena, pada hal banyaknya kejadian2 yang berlangsung pada waktu yang bersamaan itu, jadi terpaksa sekaligus tak dapat memaparkan. Maka baiknya kita tinggalkan dulu suasana hiruk pikuk yang terjadi digelanggang pertempuran akibat rubuhnya Tio Jiang itu, Kini mari kami ajak pembaca mengikuti keadaan Yan-chiu yang pingsan tak sadarkan-diri itu dulu.

---oodwkz0tahoo---

Pada waktu ia tersadar, didapatinya kaki dan tangannya sudah dapat digerakkan. Sudah tentu ia heran dibuatnya. Rupanya Kuan Hong dan Wan Gwat tahu apa yang diherankan cicinya itu, maka buru2 mereka berebut memberi keterangan: "Cici, ilmu penutuk jalan darah dengan melalui tulang, karena kami berkelakuan baik, sucou telah menurunkan barang dua buah kepada kami. Ternyata ada gunanya juga ilmu itu!"

Kini baru jelaslah Yan-chiu mengapa kaki dan tangannya saat itu dapat digerakkan. Buru2 ia menanyakan berapa lamanya ia pingsan tadi. Kedua anak itu mengatakan hanya sebentar saja. Yan-chiu duduk mengambil napas, Walaupun dadanya agak terasa sakit, tapi tiada mengakibatkan suatu apa. Itulah disebabkan karena ia dulu memakan biji kuning mustika batu itu.

"Ayuh, kita lekas2 mencari mulut jalanan dibawah tanah itu!" serunya seraya loncat bangun. Tapi berbareng pada, saat itu, mulut pintu lubang disebelah atas sana menjadi gelap pula dan pada lain- saat kedengaran orang berseru memanggil: "Toa-supeh!"

Yan-chiu cepat menjemput terali besi serta memberi isyarat mata, pada Kuan Hong dan Wan Gwat. Walaupun masih kecil rupanya kedua imam anak2 itu cerdas juga. Mereka menangkap maksud Yan-chiu. "Toa-supeh berada disinilah!" serunya menyahuti.

Beberapa tosu yang berada diatas itu segerera turun kebawah. Jelas diketahui Yan-chiu bahwa mereka berjumlah 6 orang. la taksir dapat mengatasi mereka. Maka belum lagi mereka menghampiri dekat, ia sudah menerjangnya. Terowongan situ walaupun diberi lampu penerangan, tapi tetap gelap remang2. Ketika tosu yang berjalan dimuka sendiri melihat ada, angin menyambar, dia kira kalau Ciang Tay-bing atau toa-supehnya, maka buru2lah dia berseru: "Toa-supeh, ampun "

Belum sempat dia melanjutkan kata2nya minta ampun, atau ujung terali besi Yan-chiu sudah menusuk dadanya. Sekali dorong tubuhnya terjerembab kebelakang menjatuhi ketiga kawannya yang berada dibelakangnya. Begitu ketiga orang itu jatuh tumpang tindih, Kuan Hong dan Wan Gwat segera menubruk untuk menutuk jalan darah mereka. Sedang Yan-chiupun secepat kilat sudah menerjang lagi kemuka dan mencekik leher kedua imam yang berjalan paling belakang sendiri.

"Awas, kalau berani bercuit,  nyawamu kucabut!" Melihat bahwa toa-supehnya (Ciang Tay-bing)

menggeletak ditanah dalam keadaan tiga perempat mati, kedua orang itu copot nyalinya. Takut kalau dipergoki orang lagi, Yanchiu seret kedua imam itu keujung dinding sana lalu mulai mengorek keterangan: "Kalian ini siapakah yang mengetahui adanya jalanan dibawah tanah yang menembus ruangan pertempuran sana? Ayuh, katakan yang benar, supaya badanmu tetap bernyawa!"

Salah seorang dari kedua imam itu yang janggutnya sudah mulai putih, segera menyahut dengan ter-bata2:" Sejak 10 tahun lamanya siao-to (aku) menjadi tosu di Ang Hun Kiong sini, belum pernah mendengar akan hal itu!" Sedang kawannya yang seorang menyatakan bahwa kecuall terowongan disitu itu, tiada lain jalanan dibawah tanah lagi. Saking gelisahnya, Yan-chiu banting2 kaki lalu benturkan kepala kedua imam itu kedinding, hingga pingsanlah mereka.

"Kalau benar jalanan itu tidak ada, dimanakah mereka memasang dinamit itu ?" Yan-chiu ber-sungut seorang diri seraya menghela napas.

Tapi baru ia mengucapkan kata2 itu, atau Kuan Hong dan Wan Gwat segera berebut menanyakan: "Cici, apa yang kau katakan tadi?"

"Ah, kau anak kecil tahu apa!" seru Yan-chiu dengan uring2an.

"Memang lain2 hal aku tak tahu, tapi apa itu yang kau sebut 'dinamit' pernah aku mendengarnya," bantah Kuan Hong dengan jebikan bibirnya.

Girang Yan-chiu tak terkata. Semangatnya segar lagi. Ia menduga tentulah kedua to-thong itu menjadi murid kesayangan Ang Hwat. siapa tahu mungkin mereka mengetahui rahasia itu. Tapi pada lain saat, ia geleng2kan kepala. Bukankah, kedua anak itu beberapa hari lamanya di "gantung" dibawah tanah, bagaimana mereka tahu akan hal Itu? Maka Yan-chiupun tak mau bertanya lagi.

"Cici, mengapa kau tak menanyakan lagi?" Kuan Hong menegurnya dengan sibuk. Dengan menghela napas, terpakaa Yan-chiu ceritakan juga tentang bencana yang hendak dibawakan rombongan jagoan itu dengan rencananya memasang dinamit dibawah tanah. Mendengar itu kedua anak itu saling berpandangan.

"Cici, bukankah orang yang memasang dinamit itu seorang yang bertubuh gemuk kate?" "Entahlah!" sahut Yan-chiu. Tapi pada lain saat ia memperoleh pikiran baru dan menyusuli pertanyaan: "Apakah kalian mengetahuinya?"

”Kemaren ada dua orang, satu pendek gemuk dan yang lain bertubuh tinggi besar, lewat dimuka kamar tutupan kami dengan membawa sebuah bungkusan besar. Entah apa yang dipercakapkan waktu itu, hanya antara lain mereka mengatakan sekali meledak pasti akan habis seluruhnya. Kami berduapun tak menaruh perhatian. Lewat  sekian lama baru kelihatan mereka lalu lagi dikamar situ, tapi sudah tak membawa bungkusan lagi!"

"Hai, kiranya terowongan itu masih ada tembusannya lagi? Ayuh kita lekas2 mencarinya!" seru Yan-chiu kegirangan.

Tapi sampai sekian saat, merabah kesini mengorek kesana, tetap tak memperoleh apa2. Terowongan dibawah tanah itu tetap merupakan sebuah lorong sepanjang 8 tombak. Kalau menurut keterangan Kuan Hong, kedua orang itu kemaren lalu dimuka kamar tahanan, jadi nyata kalau mulut jalanan rahasia tentu berada diujung lorong terowongan Itu. Yan-chiu gunakan terali besi untuk me- nutuk2 dinding terowongan tapi tetap nihil hasilnya. Saking gemasnya Yan-chiu banting terali besi itu kebawah; tring.........

”Hai, kiranya mulut jalanan rahasia itu berada dibawah lantai. Celaka, tadi aku hanya mencarinya diatas dinding saja!" serunya berjingkrak kegirangan.

Lantai itu tiada tampak ciri2 yang luar biasa. Yan-chiu gunakan ujung terali untuk mengoreknya dan berhasil menjungkit dua ubin warna hijau. Begitu ubin terangkat, disitu terdapat sebuah tutupan besi dan dua buah kunci. Yanchiu me-mutar2 kunci itu kekanan kiri lalu menarik dan mendorongnya. Krek....., krek......, tiba2 terbukalah sebuah lubang berbentuk pesegi, besarnya menyerupai mulut terowongan dibawah perapian dupa itu.

Yan-chiu menghembuskan napas lega, lalu melambai pada kedua anak itu diajak masuk. Didalam jalanan rahasia dibawah tanah itu, gelapnnya bukan main. Lewat beberapa saat kemudian, barulah mata, Yan-chiu agak biasa dengan keadaan disitu. Ternyata lorong jalanan rahasia itu panjang sekali. Mereka bertiga terus menyusur kemuka, namun belum berhasil menemukan sumbu dinamit pun tak mengetahui batas manakah yang tembus pada ruangan pertempuran itu.

(Oo-dwkz-tah-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar