Naga dari Selatan BAGIAN 41 : RENCANA KEJI

 
BAGIAN 41 : RENCANA KEJI

Dengan setengah menyeret Chiu-yap yang masih dengkelen (gemetar kakinya) itu, Yan-chiu sampai didepan gedung disebelah tempat ruangan Hwat Siau dan isterinya tadi. Kiranya rumah itu kosong, maka Yan-chiu segera ajak anak itu masuk dari jendela. Setelah menutup daun jendela, ia lalu tempelkan telinganya pada dinding tembok yang memisahkan ruangan itu dengan ruangan sebelah tempat Hwat Siau - Swat Moay tadi. Ai, kiranya kedengaran juga pada saat itu Hwat Siau tengah pasang omong dengan isterinya.

"Niocu, kali ini kalau kita dapat berhasil dengan usaha yang luar biasa hebatnya ini, kaum persilatan diseluruh jagad, tentu akan tunduk pada kita," kata Hwat Siau.

"Koanjin, kata2mu itu benar adanya. Tadi kudengar laporan bahwa Ang Hwat cinjin sudah bertempur dengan Hay-te-kau dan Kang Siang Yan. Biarkan mereka berkelahi mati2an sendiri, kita tinggal enak2an memetik buahnya!" sahut Swat Moay.

Niocu berarti nyonyah, digunakan oleh seorang lelaki untuk menyebut isterinya. Dan "koajin" berarti suami, bahasa sebutan yang diucapkan oleh seorang wanita kepada suaminya:

"Niocu, belum2 jangan banyak bicara dulu, kita harus menjaga telinga diruangan sebelah ini!" kata Hwat Siau. Yan-chiu seperti dipagut ular, tapi pada lain saat ia dapat berlaku tenang lagi. Diam2 ia menyeringai urung, masa manusia macam begitu masih berbicara dalam bahasa  halus. Se-konyong2 dari luar terdengar derap kaki orang mendatangi menuju keruangan Hwat Siau. Dari  suara derap kaki, terang ada beberapa orang jumlahnya.

Hening sejenak.

"Bagaimana keadaaan diluar ?" tiba2 Hwat Siau memecah kesunyian. "Masih bertempur!" sahut suatu suara yang mengguntur laksana genta.

Hwat Siau mendengus, tanyanya pula: "Apakah segala sesuatu sudah disiapkan diterowongan itu ?"

"Sudah beres semua. Tinggal sekali sulut, sumbunya akan menjalar tepat kebawah ruangan yang dibuat bertempur itu!" kembali siorang yang lantang suaranya itu menyahut.

Lagi Yan-chiu tersentak kaget, malah kali ini jawaban atas terkaannya itu, disana kedengaran Hwat Siau tertawa terkekeh2 macam iblis menangis, ujarnya: "Apabila pekerjaan besar itu berhasil, Sip-ceng-ong tentu akan memberi hadiah besar. Saudara2 sekalian boleh menikmati hari tua dengan kesenangan dunia, maka harap sukalah bekerja dengan hati2. Apakah tak perlu memeriksa sekali lagi ?"

"Ah, tak usahlah. Apabila cayhe (aku) yang memasang obat peledak sampai setengah jalan macet, jangan panggil aku si Hwat-yok-ong (raja dinamit) lagi!'' kata lain orang yang rupanya penasaran karena Hwat Siau tak memandang mata pada pekerjaannya.

Hwat Siau mengekeh lagi, ujarnya: "Harap cunke (anda) jangan meradang dulu. Sebelum dapat menduduki wilayah Kwiciu, hati Sip-ceng-ong tetap belum puas. Dia taruh harapan besar pada Li Seng Tong, tapi tiada tahunya orang itu mendadak sontak berpaling haluan. Sudah tentu kedudukan Lam Beng kini agak kuat. Manusia penghianat macam begitu harus dilenyapkan. Ang Hwat cinjin itu pun jangan sampai tahu rencana kita ini. Nanti apabila saudara melihat pertempuran keatas lagi, begitu mereka sudah ber- tele2, harap saudara2 lekas tinggalkan tempat ini dan menunggu aku dikaki gunung. Biarlah kami yang menyulut dinamit itu sendiri, biarkan mereka habis ludas semua tiada seorangpun yang dapat lolos. Setelah itu, nanti kita lakukan penyelidikan tempat harta karun kim-jiang-giok-toh itu!"

Keheranan Yan-chiu makin men-jadi2. la baru tahu betapa ganasnya kaki tangan kaum penjajah Ceng itu. Sampai pun Ang Hwat cinjin yang sudah jual tenaga untuk mereka pun akan dibinasakan. Tentang harta karun kim jiang-giok-toh itu, belum pernah la mendengarnya dari siapapun juga. Ah, syukurlah ia "mencuri" percakapan mereka, kalau tidak ai........ yang dimaksudkan dengan terowongan dibawah tanah itu, tentulah lubang gua yang berada dibawah perapian perdupaan itu. Ah, kalau ia tak lekas2 bertindak, tentu hancur binasalah semua orang gagah dan seluruh cindil abang gereja Ang Hun Kiong itu! Dan yang penting baginya, sukonyapun akan turut sirna.

Yan-chiu tak mau berayal lagi. Setelah orang2 disebelah kamar itu sama pergi, ia segera loncat keluar dari jendela. Tapi sampai sekian lama mencari kesana-sini, tak dapat ia tiba ditempat perapian tadi. Makin gugup ia, makin tak dapat menemukan arah yang benar. Yan-chiu sudah mandi keringat. Akhirnya diputuskan untuk mencari seseorang guna menanyakan jalan.

Tengah ia men-cari2 orang, tiba2 disebelah muka sana ada 3 sosok tubuh kecil, aha, kiranya mereka bertiga adalah Kuan Hong, Wan Gwat dan Chiu-yap. Wajah ketiga anak itu cemas sekali tampaknya dan baru agak lega ketika melihat Yan-chiu.

"Cici, kita tak dapat lolos !" seru mereka.

"Sst...., jangan kesusu pergi dulu," sahut  Yan-chiu dengan berbisik, "kita masih mempunyai suatu tugas yang maha penting. Dimanakah letak mulut jalanan dibawah tanah itu ? Apakah jalanan itu dapat menembus sampai dibawah ruangan pertempuran itu ?"

Diluar dugaan ketiga imam anak2 itu sama menggeleng, sahutnya: "Yang kami ketahui Yalah jalanan dibawah  tanah itu sepanjang 30-an meter, yalah yang kita masuki tadi. Adakah jalanan itu bisa tembus sampai dibawah ruangan pertempuran, kami tak mengetahuinya!"

Tiada lain jalan kecuali Yan-chiu ajak ketiga anak itu untuk masuk kedalam jalanan terowongan dibawah perapian perdupaan tadi. Kiranya disitu kedua imam tadi masih mendelik tiada berkutik. Tapi ketika Yan-chiu hendak masuk kedalam lubang terowongan, tiba2 dari balik hiolo (tempat perdupaan) itu berkelebat dua  sosok bayangan. Masing2 terus menyerang dengan golok.

"Kura2 yang bernyali besar, berani melepaskan tawanan penting!" mereka mendamprat.

Karena tak bersiaga hampir saja Yan-chiu termakan golok. Untung Kuan Hong dan Wan Gwat cepat menarik kedua kaki Yan-chiu untuk ditariknya keluar. Kiranya kedua penyerangnya itu adalah dua tosu penjaga. Ketika tiba gilirannya untuk menjaga, dilihatnya kedua kawannya sudah tak berkutik lagi dan tempat perapian dupa itu berkisar terbuka. Mereka menyusup masuk dan dapatkan kedua tawanan Kuan Hong dan Wan Gwat sudah lenyap. Buru2 mereka naik keatas dan justeru berpapasan pada Yan-chiu Yang tengah hendak menyusup turun.

Walaupun kakinya ditarik keatas, tapi kepalanya masih belum sempat keluar. Ketika golok, kedua tosu Itu  melayang Yan-chiu segera gunakan ilmu gong-chiu-toh- peh-jim (dengan tangan kosong merampas senjata) ajaran Tay Siang Siansu. Tempo diadu dengan The Go, ia berhasil merampas pedang kuan-wi-kiam dari tangan anak, muda itu, karena mengandal ilmu tersebut. Itu saja si Cian-bin Long-kun The Go, apalagi hanya kedua tosu saja. Sekali gerak, dapatlah ia menyambar golok mereka dan begitu menariknya, golok sudah terpental jatuh. Ketika ia susuli mendorong, kedua tosu itu lantas menggelepar jatuh mencium tanah. Kuan Hong dan Wan Gwat buru2 menubruknya dan menutuk jalan darah pelemas mereka lalu diseretnya keluar.

"Bagus!" Yan-chiu tepuk2 memuji.

"Ah, cici sendiri yang lihay!" seru. kedua an Dinding dan atap terowongan situ terbuat daripada bahan beton yang dikapur putih; tiada terdapat sela2 lubang sedikitpun jua. Saking mendongkolnya, Yan-chiu cabut kopiah imam-nya dan tanggalkan jubah pertapaan yang dipakainya itu.

"Huh, jubah ini tebal dan berat, dalam hawa sepanas ini, bagaimana kalian dapat tahan memakainya ?"

Ketiga anak itu tak mengerti mengapa cicinya itu marah2 Tapi mereka tak berani menanyakan. Ketika berempat hendak menyusur keluar, tiba2 diatas (luar) sana ada orang berseru: "Keempat binatang kecil itu berada didalam. Salah seorang dari mereka sangat lihay, jangan2 mata2 musuh yang menyelundup kemari. Lekas tutup mulut pintunya dan lapor pada toa-supeh!"

"Ya, jangan kasih mereka lolos!" sahut dua orang kawannya lagi.

Tahulah Yan-chiu bahwa gerak geriknya telah kepergok musuh. Biar bagaimana ia harus dapat menobros  keluar dari terowongan itu. Bukan karena sayang akan jiwanya sendiri, tapi kuatir kalau tak dapat menggagalkan rencana Hwat Shiu yang ganas itu. Ia segera berjongkok, lalu dengan gerak han-te-pat-jong ia hendak loncat menobros keatas. Tapi mendadak lubang terowongan itu tertutup. Masih untung ia cepat2 berdaya untuk mencapai dasar bagian bawah perapian itu untuk kemudian loncat turun lagi kebawah. Coba tidak, tentu kepalanya akan terbentur besi tempat perapian itu. Paling tidak ia tentu akan pusing tujuh keliling.

5

Karena tak menemukan jalan keluar dari terowongan dibawah tanah itu, Yan Chiu dan ketiga iman kecil itu menjadi kelabakan kian kemari.

Setelah mengetahui tak dapat keluar dari mulut lubang itu. Yan-chiu menanyakan pada ketiga anak itu adakah terowongan dibawah tanah itu dapat dibobol tembus keluar. Ketiga to-thong itu menggeleng dengan wajah kecemasau dim mengatakan bahwa tempat api perdupaan itu beratnya tak kurang 3 ribu kati. Yan-chiu gelisah seperti semut diatas kuali panas. la berlari menghampiri kamar tutupan sana untuk mencabut sebatang terali (jeruji) besi. Dengan benda itu ia me-nusuk2 seluruh dinding terowongan hingga guguran temboknya sama bertebaran ke-mana2. Melihat kelakuan Yan-chiu sekalap itu, ketiga to-thong itu menjadi ketakutan dan sembunyi lekas2 pada ujung dinding. Setelah puas "mengamuk" itu, rupanya  Yan-chiu menjadi tenang dan duduk ditanah. Kini ia garuk2 kepalanya untuk mengasah otak. Diam2 ia memaki dirinya sendiri yang sudah begitu gegabah masuk keterowongan situ. Seharusnya setelah tak dapat menemukan jalanan dibawah tanah itu, ia pergi saja memberi tahukan pada suhunya. Mungkin dalam sekian banyak, orang itu, tentu mempunyai bermacam pendaphat yang bagus. Kini ia tersikap dalam terowongan itu seorang diri dengan ketiga anak yang tak mempunyai kepandaian apa2. Saking geramnya, kembali ia hendak "mengamuk" lagi. Tapi se- konyong2 mulut terowongan tadi terbuka dan disana terdengar orang berseru: "Selain Kuan Hong Wan  Gwat dan Chiu-yap, masih ada siapa lagikah yang berada dalam terowongan itu ?"

Mendengar nada suara itu, wajah ketiga to-thong menjadi pucat lesi.

"Cici, itulah toa-supeh, habis sudah riwayat kita!" seru mereka bertiga dengan penuh kecemasan.

Yang dimaksudkan dengan toa-supeh itu bukan lain adalah Ciang Tay-bing, itu toa-mo (iblis pertama) dari kawanan su-mo (4 iblis) gereja Ang Hun Kiong. Tak yakin Yan-chiu, adakah ia sanggup menghadapi Tay-bing itu. Hanya ia berharap agar Tay-bing itu masuk seorang diri. Dengan tenaga 4 orang, mungkin juga ia dapat mengatasi toa-mo itu. Maka ia memberi isyarat tangan agar ketiga to- thong itu jangan membuka suara.

"Yang satu itu merupakan wajah baru, yang asing, umurnya masih muda, mungkin dia orang baru dari gereja ini !" kedengaran ada orang berkata, disebelah atas sana: "Ngaco! Sudah lebih dari setahun ini kita tak mendatangkan orang baru, mana bisa terdapat wajah asing disini ?" bentak Ciang Tay-bing.

"Jangan2 Hwat siau yang membawanya!" orang itu masih membantah.

"Dia hanya membawa 18 orang jagoan kelas satu dari pemerintah Ceng, yaitu pasukan berani-mati-nya Tolkun sendiri. Mana bisa ada yang berumur muda? Sudah, jangan banyak bicara lagi, biar aku turun kebawah untuk memeriksanya!" bentak Ciang Tay-bing untuk yang kedua kalinya.

Yan-chiu siap sedia. Begitu Tay-bing loncat turun, ia segera enjot tubuhnya keatas atap dinding terowongan. la jarinya pada sela2 kecil yang terdapat pada dinding atas dari terowongan itu. Dengan berbuat begitu dapatlah  ia  rapatkan tubuhnya lekat2 pada dinding atas itu.

Cara Itu tak ubah seperti ilmu bik-hou-yu-jiang (cicak merayap didinding) yang sakti. Sebenarnya Yan-chiu tak mengerti akan ilmu mengentengi tubuh yang sakti itu, tapi sejak ia makan biji kuning mustika dalam batu tempo hari, tubuhnya serasa enteng lincah macam burung waled saja.

Cukup dengan gunakan sedikit tenaga, dapatlah ia merapat pada dinding atas tanpa kesukaran sedikitpun juga.

Ketika yang didapati hanya Kuan Hong, Wan Gwat dan Chiu-yap bertiga siapa tengah menggigil ketakutan, Tay- bing segera menghardiknya: "Hem...., sungguh berani mati benar kalian ini, hendak coba2 melarikan diri ya ? Siapa kawanmu yang seorang lagi tadi, ayuh lekas katakan!"

Chiu-yap adalah sahabat karibnya Kuan Hong dan Wan Gwat. Cepat2 dia jatuhkan diri berlutut seraya menyahut dengan menangis: "Kesemuanya ini adalah kesalahan tecu, tiada sangkut pautnya dengan mereka berdua!"

Kiranya Chiu-yap itu adalah murid Ciang Tay-bing, maka dia membahasakan dirinya sebagai te-cu (murid). Mengingat hubungan antara guru dan murid, ia harap suhunya itu akan menaruh belas kasihan. Tapi kali ini ternyata Ciang Tay-bing marah benar2. Ini disebabkan dia menaruh dugaan bahwa "siwajah baru yang asing" itu, adalah mata2 musuh yang menyelundup kesitu.

"Lekas katakan, siapa dan dimana kawanmu yang seorang itu!" bentaknya seraya angkat tangan hendak menempeleng kepala Chiu-yap.

Ketika tampak Ciang Tay-bing seorang diri saja masuk, Yan-chiu sudah lantas putar otak cara bagaimana ia dapat sekali pukul bikin knock-out. Tiba2 ia teringat akan jubahnya yang dibukanya itu tadi. Ya, dapatlah ia gunakan benda Itu untuk alat senjata. Sepelahan mungkin ia segera lolos jubah itu, tapi walaupun demikian tak urung terdengar berkeresekan juga dan itu cukup membuat Ciang Tay-bing dongakkan kepala untuk memandang keatas. Melihat saatnya sudah tiba, Yan-chiu segera apungkan diri melayang turun.

"Yang satu ada disinilah!" seru sigadis.

Cepat dan sebat Yan-chiu bertindak hingga Ciang Tay- bing tak keburu bersiap. Tahu2 kepalanya telah kena terkerudung jubah itu. Dalam kejutnya Tay-bing segera menghantam kalang kabut dan kasihan Ciu-yap, oleh karena dia hendak maju menubruk jadi kena hantaman yang dahsyat itu. Dengan mengeluarkan jeritan ngeri, rubuhlah, anak itu tak bernyawa lagi........

Pilu hati Yan-chiu, tapi dalam keadaan segenting itu terpaksa ia kuatkan hatinya, terus menyelinap kebelakang Tay-bing. Setelah menjemput terali besi, ia segera menyapu sekuat2nya dengan jurus "menyapu seribu lasykar". Mendengar sambaran angin, hendak Tay-bing menghindar, tapi oleh karena kepalanya dikerukup jubah jadi dia gelagapan sendiri, bluk tulang betisnya remuk dan jatuhlah dia terjerembab kemuka. Yan-chiu tak mau kepalang tanggung. Dengan sebat ia menutuk jalan darah ci-tong-hiat dipunggung orang itu. Huk......, hanya sekali iblis nomor satu Ang Hun Kiong itu berkuik akan kemudian tak dapat berkutik lagi.

6

Cepat sekali Yan Chiu kerudung jubahnya keatas kepalanya Ciang Tay-bing hingga murid Ang Hwat Cinjin itu kerupukan berusaha melepaskan diri.

Setelah dapat memberesi, kedengaran Yan-chiu mengambil napas, kemudian menarik lepas jubah dikepala Taybing.

"Coba lihat sekarang, siapakah yang satu itu!" Ciang Tay-bing hanya deliki matanya tapi tak dapat mengucap apa2.

“Kau sayang jiwamu tidak ?" bentak Yan-chiu sembari lekatkan ujung jeruji besi kedada orang, kalau sayang jiwa begitu kubuka jalan darahmu kau harus menjawab setiap pertanyaanku dengan jujur. Kalau kau sudah bosan hidup, asal tanganku bergerak, dadamu tentu akan berhias sebuah lubang!"

Yan-chiu percaya sebagai murid pertama dari Ang Hwat, orang she Ciang itu tentu tahu akan rahasia jalanan dibawah itu. Tapi ia salah terka. Ciang Tay-bing  itu ternyata juga bukan bangsa yang takut mati. Tadi dia dapat dirobohkan itu karena diserang secara begitu mendadak. Dia mengangguk dan Yan-chiupun segera pakai ujung terali besi untuk menutuk buka jalan darahnya. Tay-bing segera salurkan lwekang, kecuali sakit nyeri pada bagian betisnya dia rasakan tubuhnya tetap segar. Dengan lwekang dan gwakangnya yang kokoh, lalu tulang patah itu tak menjadikan soal. Walaupun ujung jeruji besi dilekatkan didadanya, dia tak ambil pusing. Sekalipun begitu, dia pura2 mengerang kesakitan, tapi dalam pada itu diam2 dia salurkan lwekang kearah lengannya kiri, siap sedia digunakan setiap waktu.

"Jalanan dibawah tanah dari Ang Hun Kiong yang dapat tembus sampai dibawah gelanggang pertempuran itu terletak dimana, ayuh lekas bilang!" Yan-chiu mulai ajukan pertanyaan.

Ciang Tay-bing menggeliat, tapi tetap enggan menyahut. "Jangan   bergerak!"   bentak   Yan-chiu   sembari  ajukan

iijung  terali  besi.  Ciang  Tay-bing  insyaf  bahwa  lwekang

sinona  itu cukup  kuat,  maka diapun tak mau sembarangan bertindak. Kalau sekali pukul tak kena, tentu dia akan mendapat siksaan yang lebih hebat lagi.

"Itu adalah rahasia gereja Ang Hun Kiong, sebenarnya tak boleh sembarang memberitahukan orang. Tapi oleh karena aku sudah jatuh dalam kekuasaanmu, bagaimana lagi ? Tapi siapakah nama nona ini ?" Ciang Tay-bing coba merigulur waktu.

"Aku bernama Liau Yan-chiu, lekas bilangkan pintu masuk jalanan itu!"

"Baiklah, kau dengarkan yang jelas. Keluar dari sini, langsung melewati 3 buah ruangan, biluk kekiri, biluk kekanan lagi, dari situ memiluk kekanan lagi, lalu mundur kebelakang, lalu berputar kebarat "

Sengaja dia mengatakan dengan cepat, tapi Yan-chiu mengira kalau karena ketakutan dia sudah mengatakan dengan sebenarnya, maka didengarkannyalah dengan penuh perhatian. Mulutnya tak henti2nya mengulang kata2 yang diucapkan Tay-bing itu. Makin lama Tay-bing makin cepatkan keterangannya dan buyarlah perhatian Yan-chiu terpikat kesitu. Merasa saatnya sudah tiba, Ciang Tay-bing segera bertindak. Se-konyong2 tangannya kiri mendorong terali besi lalu tangannya kanan  membarengi dengan hantaman kedada sinona.

Ciang Tay-bing telah gunakan seluruh sisa kekuatannya, cepat dan sebat. Ketika Yan-chiu tersadar, ia sudah tak keburu lagi untuk menghindar. Dalam gugupnya, dia gerakkan tangannya yang mencekal terali besi tadi untuk menghalau.

Benar separoh bagian dapat dibuyarkan tapi yang  separoh lagi tetap bersarang kedadanya. Seketika itu dadanya terasa sesak dan mulutnya memancarkan rasa manis. Dalam murkanya, ia teruskan terali besinya itu untuk menghantam rusuk (iga) Tay-bing hingga tulangnya patah lagi beberapa biji, Tapi pada saat tangannya itu menurun (karena habis menghantam), Tay-bingpun berhasil menutuk jalan darahnya dibagian paha. Seketika itu tak ampun lagi, mendeproklah Yan-chiu rubuh ketanah.

Sewaktu rubuh, mata dan kepala Yan-chiu ber-kunang2 tapi hatinya masih sadar dan  memaksa dirinya untuk berusaha membuka jalan darah yang tertutuk itu. Pikirannya hanya satu harus lekas2 mendapatkan jalanan dibawah tanah itu, atau kalau terlambat, habislah seluruh isi penghuni Ang Hun Kiong.

Ciang Tay-bing adalah murid kepala dari Ang Hwat cinjin, seorang akhli tutuk besar didunia persilatan. Tututkannya tadi menggunakan ciong-chiu-hwat (tutukan berat), yaitu tutukan jalan darah melalui tulang. Lewat sekian saat, Yan-chiu baru dapat tersadar, namun serongga dadanya terasa sesak sakit sekall. Ketika menoleh kearah Tay-bing didapatinya orang itu lebih payah lagi lukanya. Mukanya pucat seperti kertas, napasnya memburu. Kuan Hong dan Wan Gwat menelungkupi, mayat Chiu-yap dan menangis tersedu sedan. Yan-chiu tak dapat berbuat apa2 karena tak berkutik. Marah dan gelisah merangsang benaknya dan ketika hawa perasaannya itu naik keatas kepala, matanya serasa gelap dan pingsanlah ia tak sadarkan diri.

---oodwkz0tahoo---

Sekarang mari kita tengok keadaan diruang pertempuran itu. Pertempuran makin menghebat dan ganas. Melihat, dengan ilmupedang han-kang-kiam-hwat tak memberi hasil, Kang Siang Yan segera berganti dengan ilmu thay-im- lianseng. Begitu menjungkir-putarkan tangkai pedang, tubuhnya segera merapat kedekat Ang Hwat, dari situ ia terus lancarkan hantamannya yang tak bersuara itu.

Ang Hwat cukup kenal akan thay-im-ciang tersebut. Dia insyaf sampai dimana kelihayan pukulan itu, maka cepat2 dia tekan im-yang-pian supaya menjulur panjang kemudian dengan gerak po-gwat-siu-kwat (memeluk rembulan menjaga keraton), dia gerak2an im-yang-pian untuk melindungi tubuhnya. Kalau Kang Siang Yan nekad teruskan hantamannya, jalan darah pada telapak tangannya pasti akan tertutuk pian. Maka belum sampai tangannya menghantam, tiba2 ia urungkan dan berganti dengan serangan Kok-ho-jo-kiau (melintasi sungai menarik jembatan). Cepat dan hebatnya serangan itu telah membuat Ang Hwat tak dapat menduganya lebih dahulu.

Tempo dahulu Lamhay Ho Liong-poh dengan mengandal ilmu thay-im-lian-seng tersebut telah malang melintang merajai seluruh wilayah Kwisay dan Kwitang, sehingga suku bangsa Li yang tinggal dikepulauan Lam-hay sama mengagungkannya sebagai dewi malaekat. Keistimewaan dari ilmu lwekang itu, dapat digerakkan sekehendak hati pada setiap saat dengan sedikitpun tak mengeluarkan suara apa2. Betapapun tajam alat indera dari seorang persilatan yang berkepandaian tinggi, namun terhadap serangan yang tak mengeluarkan suara itu, mati juga kutunya.

Bahwa Kang Siang Yan dapat dengan tiba2 merobah gerak serangannya, dari menyerang dada berganti menyerang kaki, telah membuat datuk persilatan macam Ang Hwat cinjin kesima juga. Dia segera miringkan kaki kirinya lalu gunakan tangkai pian untuk membentur serangan orang.

Melihat serangan kedua tak berhasil, tangan kiri Kang Siang Yan yang masih mencekali pedang tadi segera dibuat menusuk dengan gerak kang-sim-poh-lou (salah satu jurus dari hoan-kang-kiam-hwat) Jurus2 yang berlangsung tadi, dilakukanya dengan kesebatan yang luar biasa, sehingga sudah sejak tadi Ceng Bo ketinggalan spoor. Ketika Kang Siang Yan lancarkan serangan pedang yang terachir Itu barulah Ceng Bo sempat untuk gerakkan yap-kun-kiam menusuk punggung Ang Hwat. Hanya sayang dia bergerak dengan jurus hay-lwe-sip-ciu sedang Kang Siang Yan tadi dengan kang-sim-poh-lou, pasangan permainan yang tidak serasi.

Ang Hwat rasa sudah hampir sejam lamanya dia bertempur tanpa berkesudahan. Kalau sampai tak dapat menundukkan kedua suami isteri itu, dimata pemerintah Ceng, namanya tentu akan jatuh harga. Maka andaikata Ceng Bo tak menyerangnya, diapun tetap akan mencarinya. Maka kebenaran sekali kini Ceng Bo maju menyerang lagi. Merasa ada sambaran angin serangan senjata dari arah belakang, se-konyong2 dia tarik sepasang lengannya kebelakang, lebih dahulu yang kiri kemudian yang kanan. Dua buah sikunya dibenturkan kebelakang tubuhnya. Dalam pada itu lengan jubahnya mengibas kemuka untuk menghalau pukulan thay-im-ciang dari Kang Siang Yan itu.

Dengan dua buah ciu-jui (benturan siku tangan) Itu walaupun dia cukup tahu takkan mengenai tubuh Ceng Bo, tapi tenaga lwekang yang disalurkan disitu tentu akan memberi hasil. Tepat juga perhitungan itu. Seketika itu Ceng Bo rasakan dadanya sesak terhimpit tenaga dahsyat. Dalam keadaan seperti saat itu sudah tentu dia tak berani adu lwekang dengan Ang Hwat, maka buru2 dia tarik pulang pedangnya.

Ang Hwat mundur selangkah, sebelum Kang Siang Yan mengejar dia sudah lancarkan 3 hantaman untuk menahannya. Membarengi Kang Siang Yan mundur, dia gerakkan lengannya. Im-yang-pian menjulur sampai 4 kali panjangnya, tahu2 menutuk kearah Ceng Bo yang berada disebelah belakang tadi. Kaget Ceng Bo bukan buatan, hendak dia menghindar terang sudah tak keburu lagi. Jalan satu2nya dia segera meniarap telentang kebawah dengan gerak tiat-pian-kio, wut hanya beberapa centi saja ujung

pian itu menyambar diatas dadanya. Walaupun berbahaya, namun Ceng Bo merasa longgar napasnya karena mengira bahaya sudah lewat.

Tapi Ang Hwat bukan kepala gereja Ang Hun Kiong yang menduduki salah satu mahkota cabang persilatan didunia persilatan, kalau hanya begitu saja kepandaiannya. Hampir 40 tahun lamanya dia benamkan diri dalam peyakinan im-yang-pian itu, sehingga ruyung itu se-olah2 sudah menjadi salah satu anggauta badannya yang dapat digerakkan menurut sesuka hatinya. Sekalipun saat itu dia membelakangi Ceng Bo namun punggungnya bagaikan mempunyai mata, dapat melihat tegas bagian2 jalan darah musuh. Baru saja mulut Ceng Bo bernapas longgar, atau tiba2 im-yang-pian itu sudah menjulur lagi satu buku (kira2 setengah meter) dan cukup dengan sedikit gerakan tangan, ujung ruyung lemas itu sudah melengkung kebawah dan menutuk jalan-darah hoa-kay-hiat didada Ceng Bo. 7

Dengan tangkasnya Ang Hwat Cinjin menyabet kedepan, menyusul menyikut kebelakang hingga terpaksa Kang Slang Yan berkelit dan Ceng Bo Siangjin menyingkir mundur.

Hoa-kay-hiat, merupakan alat penutup bagi alat2 jeroan dalam dada. Jangan lagi terkena tutukan seorang achli besar macam Ang Hwat, sedang ditutuk oleh seorang persilatan biasa saja, tentu sudah akan membuat siorang itu kalau tidak binasa tentu terluka parah. Ceng Bopun cukup menginsafi hal itu. Tapi apa daya, dia sudah tak kuasa untuk menghindar lagi. Itulah disebabkan setelah bahaya ancaman pian sudah lewat diatas dadanya, buru2 dia hendak terus angkat tubuhnya bangun. Siapa tahu, im-yang- pian telah dapat dimainkan secara begitu luar biasa. Jadi ketika ujung ruyung itu melengkung hendak memagut, justeru dada Ceng Bopun terangkat naik, maka tampaknya seperti menyongsong.

Semua orang yang menyaksikan sama menahan napas karena mengira Ceng Bo tentu akan tamat riwayatnya. Tapi se-konyong2 dalam saat2 yang segenting itu terdengarlah suara orang menggerung keras, lalu menyusul sebuah benda hitam yang bentuknya panjang dan besar melayang kearah im-yang-pian, trang .....begitu ujung im-yang-pian itu terpental, benda hitam itupun jatuh menggedebuk ketanah.

Kala semua mata mengawasi, kiranya benda hitam panjang itu adalah sebuah pikulan kayu bakar, sedang siorang yang melontarkannya tadipun serentak juga sudah tegak berdiri. Hai, kiranya si Ma Cap-jit yang bergelar Hoasan kiau-cu (pencari kayu dari gunung Hoasan). Sewaktu ujung ruyung terpental, dengan sebat Ceng Bopun segera menggeliat loncat kesamping. Namun Ang Hwat cepat goyangkan tangann ya dan ujung ruyung itu bagaikan seekor ular, segera menerkam betis Ceng Bo. Sekali tarik, buk. menggeleparlah Ceng Bo jatuh ketanah.

Ceng Bo lekas2 hendak gunakan gerak "ikan lele berjumpalitan" untuk loncat keudara. Tapi  baru tubuh melayang, Ang Hwat sudah mengirim sebuah hantaman. Jurus serangan ber-tubi2 itu hanya berlangsung dalam sekejab mata saja, hingga Kang Siang Yan yang menyurut kebelakang karena diburu oleh hantamannya tadi, belum sempat balas menyerang. Walaupun hanya 3 bagian tenaga yang digunakan Ang Hwat dalam hantamannya itu, tapi karena tubuh Ceng Bo sedang melayang diatas jadi dia tak berdaya untuk menangkis, bluk .......... sekali ini benar2 dia jatuh knock-out.

Gempar suara jatuhnya itu, namun tak sampai membuat Ceng Bo luka dalam, kecuali apabila Ang Hwat segera susuli lagi dengan sebuah hantaman fatal (mematikan) tentu celakalah siangjin itu. Tapi mimpipun tidak, kalau begitu jatuh ditanah, Ceng Bo secepat kilat sudah babatkan yap- kun-kiam bret jubah bagian bawah dari Ang Hwat

telah terpapas robek. Sayang karena terlambat sedikit, ujung yap-kun-kiam itu tak berhasil mengenai daging kaki lawan.

Sekalipun begitu, hal itu cukup membuat Ang Hwat gusar sekali. Dia anggap serangan itu sebagai suatu hinaan besar. Dan pandangannya akan arti pertempuran itu makin nyata kau atau aku yang binasa!

Sedang difihak Ceng Bo pun tak kurang beringasnya, Tahu dirinya terancam, setelah membabat tadi terus susuli lagi dengan serangan kedua. Tepat sesaat itu, Kang Siang Yan-pun sudah mengirim serangan membalas. Ang Hwat mengaum keras. Im-yang-pian tiba2 menyurut lagi hingga tinggal setengah meter panjangnya, untuk menyongsong pedang Kang Siang Yan itu. Bahwa pedang kuan-wi-kiam milik wanita gagah itu adalah pedang pusaka yang dapat memapas segala macam logam, diketahui juga oleh Ang Hwat. Tapi cara tangkisannya tadi, memang tepat sekali, tring..... ujung ruyung itu persis menutuk bilah pedang itu. Dan dalam pada itu, sempat pula dia melancarkan hantaman kearah Ceng Bo.

Kala itu Ceng Bo tengah merangsang maju menyerang, jadi sukarlah kiranya untuk Menghindar, krek......, lengan bahunya sebelah kanan terasa sakit sekali dan otomatis terkulai kebawah sampaipun jarinya tak kuasa lagi untuk mencekal yap-kun-kiam, tring....... jatuhlah pedang pusaka itu ketanah. Melihat itu Kui-ing-cu segera enjot kakinya melayang kemuka. Sedang difihak sana Su-mo Im Thian- kui dan Sam-mo Long Tek-san juga menobros maju, menyambut Kui-ing-cu. Dalam sekejab saja, ketiganya sudah saling berhantam.

The Go yang sedari tadi mengawasi jalannya pertempuran itu dengan seksama, segera tak mau men- sia2kan kesempatan sebagus itu. Sekali tangan menekan meja, tubuhnya melayang kemuka dan tangannya segera hendak menjemput yap-kun-kiam. Tapi berbareng pada saat itu, Ma Cap-jit pun tampil kegelanggang untuk menjemput pikulannya. Sekali ayunkan pikulannya, bluk......

terpelantinglah The Go mencium tanah. Memang lihay sekali ilmu permainan pikulan dari si Pencari Kayu Hoasan Ma Cap-jit itu. Kalau si The Go meringis berkenalan dengan lantai, adalah yap-kun-kiam sudah berada ditangan Ma Cap-jit.

The Go sapukan pandangan matanya keseluruh gelanggang. Disana Kui-ing-cu masih bertempur rapat dengan Im Thian-kui dan Long Tek-san, tapi sebelah pipi dari orang she Long itu sudah begap matang biru. Rupanya dia sudah terima "hadiah" dari Kui-ing-cu. Kang Siang Yan dan Ang Hwat tertegun berhenti bertempur. Sedang rombongan. Ceng Bo sudah sama serempak bangkit, trang...., tring......, disana sini terdengar suara gemeroncang-gemerincing dari senjata dilolos. Untuk melawan Ma Cap-jit, terus terang saja, dia sudah tobat tujuh turunan kalau disuruh mencium tanah lagi. Jalan satu2nya ialah lekas2 mengundang supaya Hwat Siau dan Swat Moay serta ke 18 jagoan itu, keluar membantu.

Baru dia hendak bertindak, atau dari tengah ruangan besar sana muncul beberapa belas orang. Walaupun dandanan mereka seperti imam dari Ang Hun Kiong situ, tapi mata The Go yang celi segera mengetahui bahwa mereka itu bukan lain adalah rombongan jagoan yang dibawa Hwat Siau. Begitu muncul disitu, mereka lalu sama duduk dipinggir gelanggang. Buru2 The Go menghampirinya.

"Ah....., liatwi sudah datang, tentu hendak membantu kami liwat dan Swat kedua cianpwe itu dimana?" ujarnya.

Seorang bertubuh kurus jangkung yang rupanya menjadi kepala  rombongan,  segera  menyahut  dengan   garang: "Ai. , takut apa? Satu lawan satu atau secara keroyokan,

sama saja. Langit sudah akan roboh, siapa yang dapat menyelamatkan diri ? Mengapa ter-buru2 begitu macam ?"

The Go mendapat hidung panjang. Kalau pada hari2 biasa, dia tentu sudah marah. Tapi dikarenakan dia memerlukan tenaga mereka, jadi terpaksa ditelannya saja amarahnya itu.

"Ah, memang, memang!" serunya ikut2an tertawa.

Hidung sikurus itu mendengus selaku jawaban, lalu alih pandangannya kearah gelanggang. Ya, memang ke 18 jagoan itu sedang melakukan perintah Hwat Siau untuk melihat jalannya pertempuran. Apabila sudah tiba saatnya, mereka disuruh lekas2 memberitahukan kepada Hwat Siau agar dapat menyulut sumbu dinamit.

(Oo-dwkz-tah-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar